status quo di ambalat
DESCRIPTION
KewarganegaraanTRANSCRIPT
Rabu, 03 Juni 2009, 01:52 WIB
http://www.republika.co.id/berita/54091/status-quo-di-ambalat
Status Quo di Ambalat
Oleh: Hikmahanto Juwana
(Guru Besar Hukum Internasional, FHUI)
Tentera Laut Diraja Malaysia (TLDM) sebagaimana diwartakan oleh berbagai media massa
Indonesia telah memasuki wilayah Ambalat. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-
AL) telah melakukan respons dan berhasil membuat TLDM untuk keluar.Insiden ini jelas bukan
kali pertama. Insiden ini telah berulang-ulang terjadi. Jika saat ini menjadi pemberitaan, itu
karena media massa di Indonesia mengangkatnya.
Pada tahun 2005, insiden serupa yang diwartakan secara luas oleh media massa juga meledak.
Bahkan, ketika itu sejumlah relawan dari berbagai daerah di Indonesia siap untuk diterjunkan
demi mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Klaim tumpang tindih
Di wilayah Ambalat yang merupakan bagian dari Laut Sulawesi, Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Malaysia sama-sama melakukan klaim. Klaim ini yang berakibat di suatu wilayah
laut terjadi tumpang tindih (overlapping claims).Indonesia menamakan wilayah laut tersebut
sebagai Blok Ambalat, sementara Malaysia menamakan Blok ND6 and Blok ND7.
Awal sengketa klaim yang tumpang tindih terjadi karena kedua negara menggunakan Pulau
Sipadan dan Ligitan sebagai titik untuk menarik garis pangkal (baseline ). Ketika itu, dua pulau
tersebut menjadi objek sengketa.Namun, perlu dicatat, sejak awal Indonesia juga mendasarkan
klaim pada dasar praktik negara ( state practice ). Para nelayan Indonesia sudah sejak lama
melakukan penangkapan ikan di wilayah laut Ambalat dan Pemerintah Indonesia mengeluarkan
konsesi bagi perusahaan asing di wilayah tersebut.
Oleh kedua negara, klaim masing-masing telah dituangkan dalam peta jauh sebelum
International Court of Justice atau Mahkamah Internasional (MI) menentukan bahwa kedaulatan
Sipadan dan Ligitan berada di tangan Malaysia. Pascaputusan MI, Pemerintah Malaysia seolah
memiliki kepercayaan tinggi bahwa wilayah Ambalat merupakan miliknya. Logika yang
digunakan sederhana. Bila Sipadan dan Ligitan milik sah dari Malaysia maka Malaysia dapat
menjadikan dua pulau ini sebagai titik terluar dan menjadi garis pangkal.
Logika sederhana Malaysia ini tentu tidak dapat dibenarkan paling tidak karena dua alasan.
Pertama, salah satu hakim MI, Shigeru Oda, ketika menyampaikan putusan telah mengantisipasi
masalah ini. Dalam terjemahan bebas, Oda mengatakan, ''Putusan untuk menentukan kedaulatan
atas dua pulau ini tidak serta-merta memiliki dampak pada penentukan landas kontinen yang
telah menjadi objek sengketa antarkedua negara sejak akhir tahun 1960-an.''
Memang kesepakatan kedua negara ketika membawa ke MI adalah untuk menentukan, siapakah
yang memiliki kedaulatan atas kedua pulau tersebut. Kedua negara dan MI sama sekali tidak
menyentuh tentang konsekuensi lain bila telah ditentukan kedaulatan atas kedua pulau tersebut,
termasuk penentuan wilayah laut.
Terlebih lagi pascaputusan MI, Indonesia menggunakan sebuah karang sebagai titik terluar yang
diberi nama Karang Unarang yang digunakan sebagai titik pangkal. Dengan kata lain, lepasnya
Pulau Sipadan dan Ligitan tidak berpengaruh terhadap klaim Ambalat yang didasarkan pada titik
koordinat.Kedua, klaim Indonesia dilakukan dengan dasar diakuinya negara kepulauan dalam
Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1982 (United Nations Convention on
the Law of the Sea 1982).
Indonesia memenuhi kriteria sebagai negara kepulauan, sementara Malaysia yang juga telah
meratifikasi Konvensi Hukum Laut, tidak.Konsekuensi diakui tidaknya negara kepulauan
berdampak pada cara penetapan garis pangkal dan penentuan wilayah laut.Inilah yang sedang
dicari solusi dalam perundingan antarkedua negara. Dalam hukum internasional, bila dua negara
saling berbatasan dan terjadi klaim tumpang tindih baik di wilayah darat maupun laut,
penyelesaian harus dilakukan secara damai.
Penyelesaian damai dilakukan melalui perundingan antardelegasi atau meminta kepada pihak
ketiga, seperti MI, untuk menentukan.Penggunaan kekerasan (baca: militer) bukanlah opsi dalam
masyarakat dan hukum internasional modern. Perolehan wilayah yang menggunakan kekerasan
justru berakibat pada pelanggaran hukum internasional, tidak diakui dan akan dikutuk (
condemned ) oleh masyarakat internasional.
Provokasi
Mencermati tindakan yang dilakukan oleh TLDM yang memasuki wilayah Ambalat, menjadi
pertanyaan apakah Malaysia hendak menggunakan kekerasan atas klaim wilayah Ambalat?
Boleh jadi jawabannya tidak. Malaysia tahu betul bahwa tindakan demikian tidak akan
membuahkan hasil.Lalu, apa yang hendak dicapai oleh Malaysia? Besar kemungkinan tindakan
TLDM sebagai upaya Malaysia menunjukkan klaimnya secara faktual. Bagi Malaysia, ini
penting agar klaim tidak sekadar di peta saja.
Dalam konsep hukum internasional ini yang disebut sebagai effectivite , di mana suatu negara
menunjukkan penguasaan atas wilayah yang diklaimnya ( show of effective occupation ).Dari
perspektif Indonesia, tentu apa yang dilakukan oleh TLDM adalah suatu tindakan provokasi di
tengah-tengah berjalannya perundingan.
Menunjukkan penguasaan atas suatu wilayah yang diklaim secara sepihak dalam masyarakat
internasional modern, tidak perlu menggunakan kekerasan. Pernyataan resmi pemerintah, bahkan
dengan diadakannya perundingan, adalah memadai untuk menunjukkan suatu negara tidak
hendak melepaskan klaim sepihaknya.
Malaysia seharusnya dapat menahan diri dan sensitif atas tindakan yang diambil. Sebagai negara
tetangga yang bersahabat, seharusnya Malaysia tahu bahwa tindakan yang dilakukan oleh TLDM
akan dipersepsi oleh Indonesia sebagai tindakan provokasi.Terlebih lagi, dalam mekanisme
ASEAN terdapat Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia tahun 1976. Pasal 13
menyebutkan bahwa negara anggota ASEAN wajib menahan diri untuk menggunakan kekerasan
atau ancaman penggunaan kekerasan, dalam menyelesaikan sengketa mereka.
Sementara patroli dan pengawasan yang dilakukan oleh TNI-AL di Ambalat, dapat dibenarkan.
Ini karena Indonesia perlu memastikan status quo dari wilayah yang dipersengketakan dan
dirundingkan, tidak dirusak dan tetap pada sediakala.Dalam konteks demikian, tindakan TNI-AL
tidak dalam rangka menjaga kedaulatan di wilayah yang dipersengketakan karena Indonesia pun
masih melakukan klaim secara sepihak.
Tidak terprovokasi
Bagi Indonesia, tindakan yang paling tepat dalam menghadapi aksi TLDM adalah tidak
terprovokasi. TNI-AL jangan sampai memuntahkan apa pun peluru terlebih dahulu.Peringatan
berupa komunikasi radio, morse kapal, atau lainnya perlu dilakukan. Demikian pula, Departemen
Luar Negeri harus terus mengeluarkan protes diplomatiknya. Bahkan, menteri luar negeri atau
kepala pemerintahan kedua negara bisa saling membuka komunikasi atas insiden ini.
Pemerintah Indonesia perlu mengingatkan para pejabat di Malaysia, pernyataan Perdana Menteri
(PM) Najib Razak ketika berkunjung ke Indonesia bulan April lalu bahwa penyelesaian Ambalat
akan dilakukan melalui meja perundingan.Seharusnya, pernyataan PM harus konsisten hingga
tingkat paling bawah, termasuk TLDM.
Intinya, pemerintah harus dapat meminta Malaysia menghentikan provokasi untuk selamanya
(once and for all).Pemerintah Indonesia harus bergerak cepat dan bersikap tegas. Ini bukan
karena khawatir Ambalat akan diambil oleh Malaysia, tetapi lebih untuk menenangkan
konstituen dan publik dalam negeri.
Bila tidak melihat respons pemerintah yang tegas, di samping kemarahan akan meletup terhadap
pemerintah, publik akan melakukan tindakannya sendiri (taking justice into their own
hands).Salah satunya adalah tindakan destruktif terhadap berbagai kepentingan Malaysia di
Indonesia. Apalagi, saat ini sejumlah berita negatif bermunculan tentang negara jiran tersebut,
terkait Indonesia.Bila ini terjadi, akan sulit bagi pemerintah untuk mengendalikannya.