vol iv no 23 i p3di desember 2012

20
Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme Monika Suhayati *) Abstrak Pendanaan merupakan salah satu faktor penting dalam aksi terorisme, sehingga upaya penanggulangan terorisme harus diikuti dengan upaya pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme. Indonesia telah memiliki UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Indonesia telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999. Indonesia perlu meningkatkan upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme dengan membentuk UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. H U K U M A. Pendahuluan Salah satu aspek penting dalam tindak pidana terorisme adalah pendanaan kegiatan terorisme. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat, hingga saat ini sudah ditemukan 97 aliran dana ke teroris. Menurut Ketua PPATK Yunus Husein, 97 transaksi mencurigakan tersebut mengalir ke pihak yang diduga sebagai teroris. Transaksi dilakukan sejak 2003 melalui beberapa bank di Indonesia. Pihak yang diduga teroris biasanya melakukan penarikan dana antara Rp400 ribu hingga Rp5 juta setiap kali transaksi. Cara lain pengumpulan dana terorisme adalah melalui perampokan. Pada 25 November 2012, Densus 88 Antiteror Mabes Polri berhasil menangkap pencari dana bagi para teroris di Kabupaten Tojo Una Una, Sulawesi Utara. Densus 88 juga menyita barang bukti sebuah senjata api rakitan, lima butir peluru, buku-buku jihad, dan puluhan sepeda motor. Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Suhardi Alius, mengatakan, peranan seorang dari tiga terduga teroris tersebut adalah pencari fa’i atau dana dari hasil rampasan dengan cara mencuri motor untuk mendanai kegiatan mereka. Modus pengumpulan dana lainnya yaitu melalui multi level marketing (MLM). Pada 21 Juni 2012, Densus 88 Antiteror Mabes Polri melakukan penyitaan asset yang dimiliki terduga teroris Rizki Gunawan. Rizki Gunawan bersama empat rekannya telah ditangkap di Jakarta pada 3 Mei 2012. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Ansyaad Mbai mengatakan aset sekitar Rp8 miliar diduga milik jaringan terorisme di Medan, Sumatera Utara yang berhasil disita aparat Densus 88 Mabes Polri diduga dikumpulkan melalui sistem berjenjang alias multi level marketing. *) Peneliti bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected] - 1 - Vol. IV, No. 23/I/P3DI/Desember/2012

Upload: yulia-indahri

Post on 05-Aug-2015

68 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Monika Suhayati) KTT ASEAN ke-21 dan Perkembangan Kawasan (Poltak Partogi Nainggolan) Kebijakan Upah Minimum dan Kesejahteraan Buruh (Dinar Wahyuni) Pengelolaan BBM Bersubsidi dan Penyediaan Energi Kedepan (Hariyadi) Reaksi Masyarakat terhadap RUU Keamanan Nasional (Aryojati Ardipandanto).

TRANSCRIPT

Page 1: Vol IV No 23 I P3DI Desember 2012

Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme

Monika Suhayati*)

Abstrak

Pendanaan merupakan salah satu faktor penting dalam aksi terorisme, sehingga upaya penanggulangan terorisme harus diikuti dengan upaya pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme. Indonesia telah memiliki UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Indonesia telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999. Indonesia perlu meningkatkan upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme dengan membentuk UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

H U K U M

A. PendahuluanSalah satu aspek penting dalam

tindak pidana terorisme adalah pendanaan kegiatan terorisme. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat, hingga saat ini sudah ditemukan 97 aliran dana ke teroris. Menurut Ketua PPATK Yunus Husein, 97 transaksi mencurigakan tersebut mengalir ke pihak yang diduga sebagai teroris. Transaksi dilakukan sejak 2003 melalui beberapa bank di Indonesia. Pihak yang diduga teroris biasanya melakukan penarikan dana antara Rp400 ribu hingga Rp5 juta setiap kali transaksi.

Cara lain pengumpulan dana terorisme adalah melalui perampokan. Pada 25 November 2012, Densus 88 Antiteror Mabes Polri berhasil menangkap pencari dana bagi para teroris di Kabupaten Tojo Una Una, Sulawesi Utara. Densus 88 juga menyita barang bukti sebuah senjata api

rakitan, lima butir peluru, buku-buku jihad, dan puluhan sepeda motor. Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Suhardi Alius, mengatakan, peranan seorang dari tiga terduga teroris tersebut adalah pencari fa’i atau dana dari hasil rampasan dengan cara mencuri motor untuk mendanai kegiatan mereka.

Modus pengumpulan dana lainnya yaitu melalui multi level marketing (MLM). Pada 21 Juni 2012, Densus 88 Antiteror Mabes Polri melakukan penyitaan asset yang dimiliki terduga teroris Rizki Gunawan. Rizki Gunawan bersama empat rekannya telah ditangkap di Jakarta pada 3 Mei 2012. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Ansyaad Mbai mengatakan aset sekitar Rp8 miliar diduga milik jaringan terorisme di Medan, Sumatera Utara yang berhasil disita aparat Densus 88 Mabes Polri diduga dikumpulkan melalui sistem berjenjang alias multi level marketing.

*) Peneliti bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

- 1 -

Vol. IV, No. 23/I/P3DI/Desember/2012

Page 2: Vol IV No 23 I P3DI Desember 2012

B. Pendanaan TerorismeTerorisme merupakan kejahatan

yang luar biasa dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak yang paling dasar yaitu hak hidup. Di Indonesia, rangkaian peristiwa pemboman yang terjadi di wilayah Negara Republik Indonesia mulai terjadi sejak akhir tahun 1990-an telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban, menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, dan kerugian harta benda, sehingga menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional. Kegiatan terorisme sudah memiliki jaringan yang kuat baik di dalam maupun di luar negeri.

Para pelaku terorisme tidak akan pernah berhasil melakukan aksinya tanpa adanya berbagai bentuk fasilitas dan instrumen pedukung lainnya, yang salah satunya adalah pendanaan. Dalam kegiatan terorisme, dana sangat dibutuhkan untuk mempromosikan ideologi, membiayai anggota teroris dan keluarganya, mendanai perjalanan dan penginapan, merekrut dan melatih anggota baru, memalsukan identitas dan dokumen, membeli persenjataan, dan untuk merancang dan melaksanakan operasi.

Pendanaan terorisme bisa bersumber dari aktivitas ilegal seperti penculikan, perampokan, pembajakan, narkoba; melalui barter/trading atau hasil dari bisnis yang legal yang dimiliki/dijalankan teroris; donasi ke yayasan atau LSM; melalui hawala, internet banking, cash couriers. Pendanaan terorisme menjadi sangat berbahaya dibandingkan bentuk kriminal lainnya dikarenakan strategi dalam menggunakan organisasi amal atau nirlaba sebagai sumber pendanaan dan kemampuannya menginfiltrasi sistem keuangan negara-negara miskin dan berkembang. Selain itu, sumber dana terorisme yang dapat berasal dari sumber halal atau legal semakin mempersulit penelusuran dan pembuktian aliran dana terorisme. Pemalsuan identitas juga mudah dilakukan karena semakin menjamurnya e-business dan kemudahan transaksi keuangan via internet di era globalisasi.

Upaya pemberantasan tindak pidana terorisme dengan cara konvensional

“follow the suspect” (menghukum para pelaku teror) bukan satu-satunya cara untuk mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme. Upaya lain yang perlu dilakukan dengan menggunakan sistem dan mekanisme “follow the money” yaitu dengan melibatkan penyedia jasa keuangan, aparat penegak hukum, dan kerjasama internasional untuk mendeteksi adanya suatu aliran dana yang digunakan atau diduga digunakan untuk pendanaan kegiatan terorisme.

C. Regulasi Pendanaan Terorisme di Indonesia

Berdasarkan alinea ke-IV Pembukaan UUD Tahun 1945, salah satu tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Salah satu bentuk pelaksanaan tujuan nasional ini adalah dengan melindungi segenap bangsa Indonesia dari ancaman aksi terorisme. Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen dalam upaya pemberantasan tindak pidana terorisme dengan mengesahkan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU pada 4 April 2003 (selanjutnya disebut UU Terorisme).

Pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme telah diatur dalam beberapa UU antara lain Pasal 8 UU Terorisme yang mengatur berbagai tindak kejahatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme. Pasal 11 UU Terorisme menyatakan “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme.” Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan, “Harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris,

- 2 -

Page 3: Vol IV No 23 I P3DI Desember 2012

- 3 -

atau teroris perseorangan, disamakan sebagai hasil tindak pidana.” Pasal 29 ayat (1) UU Terorisme menyatakan penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada bank dan lembaga jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme dan/atau tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme.

D. RUU Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme

Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme, Indonesia telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 melalui UU Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 pada 5 April 2006 (selanjutnya disebut Konvensi SFT). Ratifikasi Konvensi SFT merupakan pemenuhan kewajiban Indonesia sebagai anggota PBB terhadap Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373.

Untuk memberlakukan ketentuan dalam Konvensi SFT ke dalam hukum nasional, Indonesia perlu membentuk suatu UU yang spesifik mengatur mengenai pemberantasan pendanaan terorisme. RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme merupakan usul inisiatif Pemerintah. RUU ini terdapat dalam Program Legislatif Nasional DPR Tahun 2009-2014 dan merupakan Prolegnas Prioritas pada tahun 2012. RUU ini terdiri atas 12 bab dan 47 pasal.

Urgensi RUU ini adalah: Pertama, terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengancam kedaulatan setiap negara. Negara wajib melindungi masyarakat dari ancaman tindak pidana terorisme dan aktivitas yang mendukung terorisme. Kedua, pendanaan merupakan faktor penting dalam aksi terorisme sehingga upaya penanggulangan terorisme harus diikuti dengan pencegahan dan pemberantasan terhadap pendanaan

terorisme. Ketiga, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pendanaan terorisme belum mengatur pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme secara memadai dan komprehensif. Keempat, Indonesia wajib untuk membuat atau menyelaraskan peraturan perundang-undangan terkait pendanaan terorisme sehingga sejalan dengan Konvensi SFT.

Dari perspektif internasional, urgensi pembentukan RUU ini adalah: Pertama, Indonesia harus memperbaiki kelemahan dalam memenuhi 9 Rekomendasi Khusus FATF mengenai Pendanaan Terorisme yang antara lain meliputi menyatakan kegiatan pendanaan terorisme sebagai suatu kejahatan yang dapat dipidana. Kriminalisasi dimaksud bukan hanya sebatas tindakan pendanaan terhadap aksi terorisme, akan tetapi juga pendanaan terhadap organisasi teroris serta individu teroris sekalipun pendanaan tersebut tidak ada hubungannya secara langsung dengan terjadinya tindakan terorisme. Kedua, hasil penilaian atau Mutual Evaluation (ME) yang dilakukan oleh Asia Pasific Group on Money Laundering (APG), yang intinya menilai bahwa penanganan anti pendanaan terorisme di Indonesia dipandang masih lemah.

Dalam Sidang Tahunan FATF pada 16 Februari 2012 di Paris, Perancis, FATF memasukkan Indonesia ke dalam dokumen FATF Public Statement yang tergolong kategori sebagai negara/jurisdiksi yang belum memiliki komitmen rencana aksi yang dibangun oleh FATF dalam memenuhi defisiensi-defisiensi kunci pada bulan Februari 2010. Apabila hingga bulan Februari 2013 mendatang belum juga terdapat perkembangan yang memadai atas pemenuhan ketentuan implementasi Resolusi DK PBB No. 1267 dan Resolusi DK PBB No. 1373 beserta resolusi penerusnya, maka Indonesia dapat dikelompokkan sebagai negara yang dilakukan “countermeasure” setara dengan Iran dan Korea Utara saat ini dalam Dokumen FATF Public Statement.

Pembahasan RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme dimulai dalam Rapat Kerja antara Panitia Khusus

Page 4: Vol IV No 23 I P3DI Desember 2012

RUU dengan Pemerintah pada 14 Juni 2012. Salah satu substansi yang perlu mendapatkan pendalaman dalam RUU ini yaitu pemblokiran terhadap dana dan harta kekayaan yang secara langsung atau tidak langsung, patut diduga digunakan atau akan digunakan baik seluruh atau sebagian untuk tindak pidana terorisme. Pemblokiran dilakukan paling lama 90 hari oleh PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan meminta atau memerintahkan pengguna jasa keuangan atau pihak berwenang untuk melakukan pemblokiran. Apabila terdapat keberatan atas pemblokiran, orang yang merasa keberatan dapat mengajukan keberatan terhadap pelaksanaan pemblokiran kepada PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim.

Substansi lainnya yaitu mengenai daftar terduga teroris atau organisasi teroris yang dikeluarkan pemerintah. Pencantuman orang atau korporasi dalam daftar terduga teroris atau organisasi teroris atas permohonan Kapolri kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Terhadap orang atau korporasi tersebut dilakukan pemblokiran secara serta merta terhadap seluruh harta kekayaan dan dana yang dimiliki atau dikuasai, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh orang atau korporasi. Apabila terdapat keberatan atas pemblokiran, orang atau korporasi dapat mengajukan keberatan terhadap pelaksanaan pemblokiran kepada Kapolri.

E. PenutupUU Terorisme dan UU TPPU telah

memberikan pengaturan mengenai pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme, namun pengaturan tersebut belum mampu memberantas baik kejahatan terorisme maupun pendanaannya. Hal ini sangat memprihatinkan, karena kejahatan terorisme merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup.

Momentum saat ini di mana dunia internasional, khususnya FATF, meminta Indonesia menyesuaikan peraturan perndang-undangan dengan Kovensi SFT harus dijadikan kesempatan untuk meningkatkan upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme dan

pendanaannya melalui pembentukan UU. Upaya ini sejalan dengan tujuan nasional pembentukan negara Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia. Adapun dalam pembentukan UU ini perlu menyelaraskan dengan peraturan perundang-undangan terkait yang berlaku saat ini antara lain ketentuan mengenai tindak pidana pencucian uang serta peraturan yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga pengawas dan pengatur.

Pembentukan UU ini harus dipastikan tidak melanggar hak asasi manusia khususnya berkaitan dengan adanya pengaturan mengenai pemblokiran dana dan harta kekayaan dan pencantuman orang atau korporasi dalam daftar terduga teroris atau organisasi teroris. UU yang dihasilkan perlu memastikan pelaksanaan kedua upaya ini tidak melanggar hak asasi orang atau korporasi yang tidak terlibat aksi terorisme.

Rujukan:1. “Densus 88 Tangkap Penggalang Dana

Teroris,” http://www.tempo.co/read/news/2012/11/26/078444095/Densus-88-Tangkap-Penggalang-Dana-Teroris, diakses 3 Desember 2012.

2. “Tiga Orang DPO Teroris di POSO Tertangkap di Tojo Una-Una,” http:/ /www.bisnis-kt i .com/index.php/2012/11/tiga-orang-dpo-teroris-di-poso-tertangkap-di-tojo-una-una/, diakses 3 Desember 2012.

3. Dana Teroris Ditransfer dari Bank Besar, http:/ /www.hariansumutpos.com/arsip/?p=36576, diakses 3 Desember 2012.

4. “BNPT: dana teroris digalang ala multi level marketing,” http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2012/06/120621_penyitaan_aset_terorisme.shtml, diakses 3 Desember 2012.

5. FATF Public Statement - 16 February 2012, http://www.fatf-gaf i .org/ topics /high-r iskandnon-cooperativejurisdictions/documents/fatfpublicstatement-16february2012.html, diakses 3 Desember 2012.

6. Naskah Akademik Rancangan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

- 4 -

Page 5: Vol IV No 23 I P3DI Desember 2012

KTT ASEAN ke-21 dan Perkembangan Kawasan

Poltak Partogi Nainggolan*)

Abstrak

KTT ASEAN baru saja berlangsung. Hasilnya, di satu pihak diakui sebagai kemajuan, namun di lain pihak dinilai bukan hal yang signifikan ataupun terobosan dari kebuntuan. Tiga hal penting adalah konflik teritorial, persoalan HAM, dan prospek komunitas ekonomi ASEAN. Pembahasan atas capaian di ketiga persoalan ini membantu kita melihat prospek pembentukan Komunitas ASEAN 2015.

HUBUNGAN INTERNASIONAL

A. PendahuluanKTT ASEAN ke-21 telah berlangsung

pada 18-20 Nopember 2012 lalu, namun banyak masalah masih tersisa. Para pengambil keputusan, diplomat, menteri, pejabat negara negara anggota, serta pihak luar seperti pengamat dan pers mengharapkan pertemuan puncak pemimpin ASEAN tersebut dapat memberikan hasil yang signifikan bagi penyelesaian masalah yang ada, terutama yang krusial belakangan ini di antara mereka dan dalam kaitannya dengan negara lain. Masalah-masalah tersebut adalah upaya membangun kembali persatuan dan soliditas ASEAN, yang belakangan terganggu dan terancam retak akibat klaim teritorial yang tumpang tindih, persoalan perlakuan terhadap buruh migran, konflik sektarian antar-kelompok etnik yang berdampak ke negara tetangga, serta tekanan demokratisasi dan penghormatan HAM secara konsisten. Sementara, dalam waktu bersamaan, ASEAN dihadapkan

pada tuntutan bersama untuk segera mewujudkan komitmen membentuk sebuah Komunitas ASEAN 2015.

B.KonflikTeritorial

Mengenai klaim teritorial, masalah Laut Cina Selatan adalah yang terpelik dan tergenting bagi ASEAN, karena benar-benar mengancam kesatuan ASEAN, yang diperparah oleh tekanan kepentingan negara luar kawasan, yakni RRC. Kesatuan ASEAN benar-benar terancam setelah selama lebih 4 dasawarsa sejak pembentukannya dapat menciptakan dan menjaga stabilitas politik dan keamanan kawasan. Hal ini disebabkan sikap negara kecil anggota barunya, yaitu Kamboja, yang sempat didukung Myanmar dan Laos, yang asertif mempertahankan aspirasi dan kepentingan bukan anggota ASEAN, yakni RRC. Akibatnya, Pertemuan Tahunan tingkat Menteri (ASEAN MInisterial Meeting --AMM) ke-45 yang diselenggarakan di Kamboja pada Juli lalu gagal menghasilkan Komunike Bersama.

*) Peneliti Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Vol. IV, No. 23/I/P3DI/Desember/2012

- 5 -

Page 6: Vol IV No 23 I P3DI Desember 2012

- 6 -

Dalam KTT di Kamboja pada pertengahan hingga akhir Nopember 2012 ini, kejadian berulang, ini membuat tekad para pejabat tinggi ASEAN tidak terbukti. Dalam pidato penutupannya, terhadap klaim teritorial di Laut Cina Selatan, PM Hun Sen menyampaikan kesimpulan seolah-olah KTT telah mencapai konsensus tidak akan menginternasionalisasi masalahnya, dengan tidak akan membicarakannya lagi di antara sesama negara anggota, atau dalam lingkup ASEAN. Akibatnya, Presiden Filipina, Benigno Aquino III, menginterupsi pidato PM Hun Sen, dan mengatakan tidak ada (mengakui) konsensus semacam itu. Ini artinya, KTT ASEAN sekalipun, telah gagal mencari solusi atas Laut Cina Selatan, dengan menganggapnya tidak ada masalah, dan berusaha menguburnya. Sebenarnya ini bukan cara baru ASEAN dalam menyelesaikan masalah. Berbagai analisis yang kritis telah memperlihatkan bahwa inilah salah satu karakter the ASEAN Way, yang selalu berupaya lari dari masalah ketika dihadang persoalan harus menyelesaikan masalah di antara sesama anggotanya. Dengan kasus interupsi itu, ASEAN tampak jelas kembali diganggu oleh masalah Laut Cina Selatan.

Dikhawatirkan, hal yang sama dapat terjadi untuk klaim teritorial yang berbeda di masa depan, jika cara ASEAN tidak berubah dalam menyikapi konflik teritorial melalui KTT. Sebab, beberapa klaim teritorial yang tumpang tindih dan telah mengarah pada perang terbuka antara angkatan bersenjata dua negera yang berkonflik, telah terjadi beberapa tahun lalu. Contohnya adalah di perbatasan Thailand dan Kamboja, yang berebut kedaulatan atas Kuil Preah Vihear, dan di perbatasan Indonesia dan Malaysia yang berebut penguasaan atas Ambalat. Mekanisme High Council untuk menyelesaikan konflik di antara sesama negara anggota tidak pernah digunakan, dan sia-sia saja kehadirannya. Walaupun tidak dikuatirkan, karena masih dalam skala terbatas, tetapi hal ini tidak pernah terjadi di masa lalu, ketika ASEAN masih beranggotakan 5 negara pendiri.

Klaim teritorial atas Kuil Preah Vihear yang terletak di perbatasan Thailand dan Kamboja sebetulnya belum selesai tuntas,

sebab bisa muncul lagi sewaktu-waktu, karena tidak adanya penyelesaian yang tuntas. Ini seperti kasus Laut Cina Selatan, yang telah berlangsung sejak dasawarsa 1990. Pembicaraan ke arah pembuatan Aturan Berperilaku (Code of Conduct) selalu gagal, dan upaya mengangkatnya kembali dalam forum tertinggi ASEAN melalui KTT ke-21 di Kamboja mengalami kegagalan. Posisi Kamboja sebagai Ketua ASEAN mempersulit tindak lanjut dari berbagai lobi yang dilancarkan Indonesia untuk memulai kembali penyusunan Code of Conduct, sekalipun dengan zero draft, yang masih bersifat awal dan sangat terbuka sekali untuk diisi dan dibicarakan substansinya. Padahal, semula zero draft ini disambut baik mayoritas anggota ASEAN untuk ditindaklanjuti, agar masalah Laut Cina Selatan untuk sementara dapat memliki mekanisme mengatasi keamanan dan stabilitas keamanan demi menjamin keamanan pelayaran dan navigasi di kawasan perairan tersebut. Dengan kegagalan ini, ASEAN mengalami kemunduran besar karena the Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea yang ditandatangani pada tahun 2002, tidak dapat diimplementasikan.

Di akhir KTT terjadi perkembangan menarik. Para pemimpin negara anggota dan tuan rumah, Kamboja mengakhiri sikap egois mereka dengan bersedia membuat komunike bersama, sebagaimana tradisi KTT ASEAN selama ini, di mana mereka menegaskan kembali komitmen untuk melanjutkan mencari solusi masalah Laut Cina Selatan. Jadi, tidak ada larangan atau tabu untuk membicarakannya kembali dalam kerangka ASEAN, sesuai dengan deklarasi tahun 2002 di atas. Sayangnya, langkah maju belum ada, masih terus berupa komitmen, sebagaimana solusi a la the ASEAN way selama ini, yang tidak lebih menyerupai kebijakan basa-basi saja daripada memperlihatkan kebuntuan ataupun perpecahan di antara mereka, negara anggota, yang tidak elok dilihat orang luar.

C. Masalah HAMKTT ASEAN ke-21 bukan tanpa

catatan sukses. Salah satu sukses itu adalah penandatanganan Deklarasi Hak Asasi

Page 7: Vol IV No 23 I P3DI Desember 2012

- 7 -

Manusia (HAM), yang diklaim ASEAN sebagai langkah maju, karena ASEAN kini telah punya pegangan (pedoman) tersendiri tentang HAM. Namun, kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) masih menilai butir-butir pengaturan dalam deklarasi HAM ASEAN itu justru mendegradasi dan mereduksi ketentuan dalam Deklarasi HAM Universal yang sudah ada sejak lama. Mekanisme penyusunan deklarasi yang tertutup dan absennya konsultasi dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil selama penyusunan naskah, telah mengundang kritik dan sekaligus kecurigaan bahwa isinya sulit memenuhi harapan mereka untuk dapat melindungi sekitar 600 juta jiwa warga di kawasan.

Walaupun diklaim lebih maju dari Deklarasi HAM universal oleh para penyusunnya para pemimpin negara ASEAN, karena memasukkan pasal-pasal pencegahan penistaan agama dan perdagangan manusia, serta memberikan hak kebebasan beragama, tetapi masih dikuatirkan, deklarasi ini substansinya di bawah standar internasional dan dapat disalahgunakan oleh pemerintah negara anggotanya. Pendekatan relativisme kultural yang masih belum ditanggalkan sepenuhnya, dengan melihat konteks nasional dan regional, serta berbagai latar belakang dan kekhasan negara-negara anggota ASEAN, yang membuatnya harus tunduk pada mekanisme hukum-hukum domestik, membuat analis pesimis dengan substansi yang dapat disepakati (diamandemen) dan implementasinya. Yang ditunggu dari KTT ASEAN ke-21 adalah juga pembentukan the ASEAN institute for Peace and Reconciliation (AIPR), sebagai tindak lanjut dari mandat Pasal 22, 23, dan 24 Piagam ASEAN yang diadopsi tahun 2007.

Institusi tersebut diharapkan menjadi penguat upaya penyelesaian masalah di antara negara anggota secara damai, yang dapat diterima semua pihak yang bersengketa. Namun, soal pembentukan institusi ini masih ditunggu realisasinya. Padahal, AIPR dapat lebih jauh bertindak dalam pencegahan konflik, dengan banyak kesempatan yang diberikan untuk melakukan pendalaman atas akar masalah berbagai konflik yang muncul

dan berkembang di antara anggota ASEAN. Institusi internal ASEAN ini dapat menjadi penengah konflik dan pemantau proses perdamaian dalam jangka panjang, serta terlibat dalam upaya post-conflict peace building, atau pembangunan di wilayah konflik setelah perdamaian tercipta, sehingga perdamaian dapat dipertahankan selamanya. Semula diharapkan, kemajuan penyusunan Deklarasi HAM ASEAN ini dapat mendorong demokratisasi di negara anggota. Sementara, pelanggaran HAM terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya terus berlangsung, dengan belum dipikirkannya nasib mereka. Begitu pula, kasus-kasus penganiayaan terhadap TKI terus terjadi di Malaysia.

D. Komunitas EkonomiTerhadap sasaran pembentukan

komunitas ekonomi sebagai salah satu pilar perwujudan Komunitas ASEAN 2015, sebelum KTT, para pemimpin negara ASEAN mengharapkan, KTT dapat menetapkan ukuran tertentu patokan pencapaian komunitas ekonomi bersama untuk tahun 2015. Sebab, sasaran detail dalam cetak biru Bali Concord tidak mungkin terpenuhi seluruhnya dalam tempo kurang dari 3 tahun ke depan, selain setiap negara mempunyai permasalahan khas. Ukuran dimaksud mencakup antara lain terciptanya kebijakan satu jendela dalam bentuk teknologi informasi dan komunikasi di pelabuhan (single window), penyatuan ketentuan yang menyangkut perdagangan ekspor-impor ASEAN dalam portal (ASEAN trade repository), dan adanya pengakuan standar kualifikasi di sektor jasa, yang sifatnya kualitatif dan legal, karena ada beberapa negara yang belum meratifikasi perjanjian tertentu. Ini artinya, komunitas ekonomi ASEAN bukan sekedar pembebasan tarif, tetapi menuntut kerja sama bea-cukai antar-negara dan sistemnya, yang harus selaras di antara negara-negara anggota ASEAN.

Dengan dapat diukurnya implementasi cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN hingga Oktober 2012 yang mencapai 74,5%, di mana Indonesia mencapai 82%, atau tertinggi ketiga di bawah Malaysia dan Singapura, parameter yang diharapkan itu telah terpenuhi. Jadi, sektor (pilar) ekonomi

Page 8: Vol IV No 23 I P3DI Desember 2012

ASEAN memperlihatkan perkembangan yang lebih baik dalam KTT ASEAN ke-21 di Kamboja. Namun, bukan tidak ada masalah terkait tindak lanjut liberalisasi, sebab diakui hal ini tergantung pada capaian pembangunan politik, ekonomi, dan sosial di masing-masing negara anggota ASEAN. Di samping itu, keterbatasan capaian cetak biru disebabkan pula oleh kurangnya sosialisasi Masyarakat Ekonomi ASEAN oleh sejumlah kementerian, lembaga negara, pemerintah daerah, dan pelaku usaha, yang seharusnya menjadi pionir.

Di luar masalah keterbatasan capaian, ASEAN berhasil meluncurkan kerja sama ekonomi regional yang komprehensif dengan 6 negara (maju) non-ASEAN, antara lain, RRC, Korea Selatan, Jepang, Selandia Baru, Australia, dan India. Upaya ini dikatakan sebagai bagian dari penciptaan arsitektur ekonomi baru di kawasan. Namun, optimisme tidak lolos dari dikritik oleh realitas bahwa pemimpin ASEAN sesungguhnya telah berunding dengan lame-duck guests, atau tamu-tamu pemimpin negara non-anggota yang tidak akan menjabat lagi dalam pemerintahan berikutnya, karena akan kalah pemilu, tidak terpilih lagi, ataupun akan pensiun dari posisinya, seperti PM RRC Wen Jiabao, PM Jepang Yoshihiko Noda, dan Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak. Sementara, Indonesia sendiri dikuatirkan banyak pihak belum siap, karena akan terancam diinvasi pekerja asing.

E. PenutupKTT ASEAN ke-21 di Kamboja

mencerminkan sejauh mana perkembangan ASEAN telah berlangsung setelah lebih dari 4 dasawarsa berdiri. Dari KTT itu juga dapat dilihat sejauh mana capaian realisasi Komunitas ASEAN 2015. Pilar Politik dan Keamanan mulai berani menapak maju mengkristalisasikan soal pandangan HAM. Namun, universalisme pandangan dan implementasinya masih dipertanyakan dan mengundang kritik serius. Sementara, Pilar Ekonomi tidak terbebas dari jurang perbedaaan pencapaian sasaran di antara negara anggota dan kemampuan meraih manfaat. Dapat dinilai, KTT ASEAN kali ini tidak memberikan hasil yang jauh lebih baik daripada KTT-KTT ASEAN sebelumnya.

Padahal, seharusnya dapat memberikan hasil yang jauh lebih baik, mengingat target pembentukan Komunitas ASEAN 2015 semakin dekat. Ini juga berarti, KTT belum dapat merespons perkembangan kawasan secara lebih baiik dan memuaskan.

DPR dapat berperan dengan mendorong lebih banyak legislasi yang mendukung lebih cepat perwujudan Komunitas ASEAN 2015 di semua pilar apakah itu politik-keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya, serta sektor-sektor terkait yang belum tersentuh. DPR juga dapat memainkan peran lebih aktif dalam melakukan fungsi pengawasan dan penyediaan anggaran nasional untuk meningkatkan konektifitas ASEAN, melalui pembangunan infrastruktrur yang lebih banyak lagi di daerah-daerah perbatasan dengan negara-negara anggota ASEAN. Melalui rapat-rapat kerja dengan berbagai mitra kerjanya dari pemerintah dan pihak swasta, DPR dapat mengkaji dan mengevaluasi sektor-sektor yang masih harus dibenahi untuk memulai realisasi Komunitas ASEAN 2015.

Rujukan:1. “ASEAN-China Jaga Stabilitas,” Kompas,

21 Nopember 2012: 9.2. “ASEAN Dorong Pertumbuhan,”

Kompas, 19 Nopember 2012: 10.3. “ÄSEAN leaders meet with lame-duck

guests,” The Jakarta Post, November 20, 2012:1.

4. “ASEAN Tandatangani Deklarasi HAM,” Suara Pembaruan, 19 Nopember 2012: 15.

5. “Kebuntuan Tidak Akan Terulang Lagi,” Kompas, 17 Nopember 2012: 10.

6. “KTT Terganggu Laut Cina Selatan, Kompas, 20 Nopember 2012: 6.

7. Makarim Wibisono, “Meraih Kembali Keutuhan ASEAN,” Kompas, 20 Nopember 2012: 6.

8. Masyarakat Ekonomi ASEAN Hampir Final,” Kompas, 19 Nopember 2012: 19.

9. Novan Iman Santossa,”ASEAN leaders meet with lame-duck guests,” the Jakarta Post, November 20, 2012: 1.

10. “Pekerja Asing Incar Indonesia,” Kompas, 21 Nopember 2012: 9.

11. “Ukuran Ekonomi ASEAN Dibahas,” Kompas, 17 Nopember 2012: 19.

- 8 -

Page 9: Vol IV No 23 I P3DI Desember 2012

Kebijakan Upah Minimum dan Kesejahteraan Buruh

Dinar Wahyuni*)

Abstrak

Upah dan kesejahteraan buruh merupakan masalah krusial di Indonesia. Kebijakan kenaikan UMP dan UMK 2013 yang ditetapkan Pemerintah menimbulkan polemik. Kalangan pengusaha menolak kenaikkan UMP yang terlalu tinggi karena dapat mengancam kelangsungan perusahaan, khususnya pada sektor industri padat karya serta usaha mikro kecil dan menengah. Sementara di kalangan buruh, kenaikan upah minimum akan membantu mempertahankan daya beli pekerja dalam memenuhi kebutuhan hidup.

K E S E J A H T E R A A N S O S I A L

A. Pendahuluan Masalah upah buruh merupakan salah

satu isu klasik di Indonesia. Bila buruh menginginkan upah yang memadai untuk menunjang gaya hidupnya, maka pengusaha berusaha menekan pengeluaran. Dalam neracanya, upah menempati pos biaya terbesar yang harus dikeluarkan pemberi kerja. Jelas nilai upah ini mempengaruhi baik buruh maupun pengusaha. Perbedaan sudut pandang antara kedua belah pihak seringkali berujung pada konflik.

Tidak bertemunya kepentingan antara buruh dan pengusaha mendorong buruh melakukan aksi massa menuntut peningkatan kesejahteraan. Sepanjang tahun 2012, sudah beberapa kali terjadi aksi buruh besar-besaran di berbagai daerah. Isu yang diusung tetap sama, yaitu penghapusan upah murah, pemberlakukan jaminan kesehatan, dan penghapusan sistem outsourcing.

Di Surabaya misalnya, pada 20 November 2012, buruh se-Jawa Timur menduduki gedung Grahadi Surabaya. Absennya Gubernur Jawa Timur pada waktu itu menyebabkan buruh mengamuk dan bertindak anarkis. Hal serupa terjadi di Bekasi, menurut para buruh, upah minimum yang diterima saat ini masih dalam kisaran Rp1.750.000.

Di Jakarta, selama hampir dua bulan puluhan ribu buruh dari sejumlah kawasan industri dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Karawang, dan Purwakarta bersatu menuntut perbaikan kesejahteraan. Aksi berpusat di Bundaran Hotel Indonesia, Istana Negara, Balaikota Jakarta, dan Gedung DPR. Aksi ini berdampak pada kemacetan di sepanjang jalan Sudirman dan Thamrin serta Bundaran Senayan. Akibatnya aktivitas warga Jakarta banyak yang terganggu dan operasional perusahaan juga terhambat.

*) Peneliti bidang Sosiologi pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

- 9 -

Vol. IV, No. 23/I/P3DI/Desember/2012

Page 10: Vol IV No 23 I P3DI Desember 2012

B. Kebijakan Upah Minimum di Indonesia

Dalam pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Oleh karena itu perlu dilakukan pembangunan tenaga kerja yang bermutu sesuai dengan permintaan dunia industri. Salah satunya adalah melalui penetapan kebijakan upah minimum. Sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL) dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Tingkat upah minimum ditetapkan secara sektoral dan regional. Besarnya tingkat Upah Minimum Regional (UMR) ditentukan melalui Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja. Sedangkan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) diserahkan kepada Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing daerah.

Pada awalnya, kebijakan upah minimum ditetapkan berdasarkan besaran kebutuhan fisik minimum. Pada era otonomi daerah, penentuan besaran tingkat upah minimum didasarkan beberapa pertimbangan, yaitu: (1) biaya KHL; (2) Indeks Harga Konsumen; (3) tingkat upah minimum antardaerah; (4) kemampuan, pertumbuhan, dan keberlangsungan perusahaan, (5) kondisi pasar kerja; dan (6) pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Dengan kata lain, kebijakan upah minimum harus ditetapkan untuk meningkatkan kehidupan yang layak khususnya bagi para pekerja tanpa merugikan kelangsungan hidup perusahaan yang bisa mengancam keberlanjutan kondisi ekonomi dam produktivitas nasional.

Menurut Keputusan Dewan Pengupahan Nasional serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, pemerintah akan menambah 4 komponen KHL bagi perhitungan Upah Minimum Regional (UMR) tahun 2012 sehingga UMR 2013 diperkirakan hanya bertambah sekitar Rp15.000 sampai Rp20.000. Besaran upah minimum tersebut dinilai tidak layak diberlakukan di Indonesia. Terutama jika membandingkan Produk Domestik Bruto menempati urutan 17 di dunia, namun rata-rata UMR Indonesia berada di urutan

ke 68 dari 190 negara dengan hanya sekitar U$120 per bulan.

Aksi unjuk rasa bergelombang selama dua bulan terakhir mendapat respon positif dari pemerintah. Gubernur DKI Jakarta menyetujui usulan kenaikan UMP DKI Jakarta 2013 dari Rp1.529.000 menjadi Rp2.200.000. Besaran kenaikan didasarkan pada KHL di Jakarta serta produkivitas dan inflasi yang mungkin terjadi. Kebijakan kenaikan UMP DKI Jakarta 2013 merupakan kenaikan upah tertinggi sejak 10 tahun terakhir. Besaran kenaikan UMP 2012 adalah 18,5%, sedangkan UMP tahun-tahun sebelumnya rata-rata hanya naik 10%.

Sejak UMP DKI Jakarta 2013 disetujui naik, daerah lain bergejolak menuntut hal yang sama. Buruh di Jawa Timur misalnya, meminta kenaikan UMP dengan besaran sama dengan Jakarta. Artinya, kenaikan untuk seluruh kota/kabupaten di Jawa Timur. Masuk akal jika besaran kenaikan UMK Jakarta apabila diterapkan di Surabaya sebagai kota metropolitan sekaligus kota industri msuk. Namun hal itu tidak masuk akal untuk daerah-daerah lain di Jawa Timur yang tidak produktif industrinya dan biaya hidup jauh lebih murah.

Penetapan UMP harus melihat banyak faktor. Permasalahan tidak selesai hanya dengan memenuhi tuntutan buruh. Kebijakan kenaikan UMP berimplikasi luas. Kalangan buruh menyambut gembira kebijakan kenaikan UMP 2013, namun tidak demikian dengan pengusaha. Mereka telah menyiapkan 4 opsi untuk merespon kenaikan UMP di sejumlah daerah. Pertama, meminta Pemerintah menunda pelaksanaan kenaikan UMP. Menurut pengusaha, penundaan UMP akan berpengaruh pada pertumbuhan sektor industri padat karya dan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Kedua, melakukan upaya hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara terkait penentuan UMP oleh Pemerintah. Ketiga, perusahaan khususnya industri padat karya dan UMKM, akan mengurangi biaya produksi dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hal ini dilakukan karena perusahaan berskala kecil tidak mampu menanggung biaya produksi yang akan naik tajam akibat naiknya upah minimum. Keempat, langkah terakhir yang akan diambil perusahaan apabila sudah tidak sanggup melaksanakan kebijakan

- 10 -

Page 11: Vol IV No 23 I P3DI Desember 2012

- 11 -

kenaikan UMP adalah menghentikan produksi atau merelokasi usaha ke daerah dengan tingkat upah lebih rendah.

C. Kenaikan Upah Minimum dan Kesejahteraan Buruh

Secara kasat mata, kesejahteraan buruh dapat dilihat dari upah minimum yang diberikan. Upah minimum mencerminkan hubungan antara pemilik modal, buruh, dan negara. Dalam penetapan upah minimum, negara mempunyai peranan yang paling menonjol. Menurut Squire, penetapan upah minimum merupakan ciri utama intervensi negara pada pasar tenaga kerja di banyak negara sedang berkembang. Tujuan penetapan upah minimum adalah menghilangkan bagian dari kemiskinan yang disebabkan bagian tingkat upah yang tidak memungkinkan pekerja memperoleh penghasilan untuk mencapai standar minimum kehidupan. Ketidakmungkinan ini disebabkan oleh surplus tenaga kerja, sumber daya manusia yang rendah, dan kondisi fisik buruh.

Kebijakan pemerintah menaikkan UMP 2013 menimbulkan polemik. Di kalangan buruh, kebijakan kenaikan upah minimum akan membantu mempertahankan daya beli masyarakat pekerja di tengah besarnya angka inflasi dan kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Daya beli masyarakat pekerja adalah kata kunci dalam upaya mendorong pasar dalam negeri dan menggerakkan sektor riil. Berbagai studi menemukan bahwa masyarakat pekerja adalah penggerak dan pembelanja utama produk ekonomi lokal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sementara pusat-pusat industri dan pemukiman pekerja adalah jantung kegiatan ekonomi lokal yang sangat nyata. Upah yang rendah akan berimplikasi pada penurunan konsumsi. Penurunan konsumsi mempengaruhi kelesuan kegiatan perekonomian.

Sebaliknya, bagi pengusaha kenaikan besaran upah minimum yang ditetapkan pemerintah berada di atas asumsi anggaran yang telah dibuat oleh masing-masing perusahaan. Rata-rata perusahaan memperkirakan kenaikan upah sebesar 10-20%. Dengan kenaikan sebesar 43,87% ini, tentu akan mempengaruhi kondisi finansial perusahaan, khususnya sektor

industri padat karya dan UMKM yang jumlahnya diperkirakan mencapai 90% dari total pengusaha yang ada. Belum lagi efek domino dari kenaikan ini, perusahaan harus mengeluarkan upah sundulan bagi pekerja yang sudah mempunyai gaji di atas UMK sebelumnya. Tidak mengherankan apabila total konsekuensi yang harus ditanggung perusahaan bisa naik sampai 60%, hanya dari aspek biaya tenaga kerja saja. Dalam situasi ini, perusahaan terpaksa melakukan efisiensi di sektor pengeluaran, beban termasuk tenaga kerja agar tetap mencapai efektivitas, produktivitas serta profitabilitas. Akibatnya, buruh harus bersiap kehilangan pekerjaan akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan dalih efisiensi.

Kebijakan kenaikan upah minimum memang tampak menguntungkan bagi sebagian pekerja, tetapi merugikan pekerja yang lain. Pekerja kerah putih menjadi pihak yang diuntungkan dari kenaikan upah minimum. Mereka mampu bertahan di perusahaan dengan bekal pendidikan dan keterampilan yang tinggi. Sementara pekerja yang rentan terhadap perubahan kondisi pasar kerja harus siap kehilangan pekerjaan. Ironisnya, kondisi ketenagakerjaan di Indonesia didominasi oleh pekerja yang rentan terhadap perubahan kondisi pasar kerja seperti pekerja pendidikan rendah, usia muda dan perempuan. Mereka akan sulit bersaing di dunia kerja yang menuntut pendidikan dan keahlian tertentu. Akibatnya, kelompok rentan ini semakin termarginalisasi dalam pasar tenaga kerja.

Ada beberapa pendekatan dalam melihat perspektif solusi kesejahteraan. Pertama, dari pihak buruh. Berdasarkan Marx, selama ini buruh terjebak dalam kesadaran palsu di mana buruh merasa diperlakukan baik oleh pemilik modal. Buruh harus mengubah pandangannya dengan menciptakan kesadaran kelas dalam serikat-serikat. Kedua, dari pemilik modal. Cara pandang terhadap buruh harus diubah. Buruh bukan lagi komoditas maupun faktor produksi, tetapi buruh merupakan stakeholder juga bagi perusahaan. Dengan demikian untuk mengurangi beban produksi tidak lagi mengurangi kesejahteraan buruh atau PHK, tetapi dengan efisiensi, misalnya Corporate Social Responsibility (CSR). CSR dapat diwujudkan melalui pembangunan

Page 12: Vol IV No 23 I P3DI Desember 2012

- 12 -

perumahan bagi buruh, sekolah gratis hingga fasilitas kesehatan. Ketiga, dari pihak negara. Negara memainkan peran penting dalam peningkatan kesejahteraan buruh. Berdasarkan Pasal 27 Ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, peran negara adalah memenuhi hak-hak warga negaranya termasuk buruh dalam menciptakan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Salah satunya melalui penetapan kebijakan upah minimum. Kebijakan upah minimum perlu disesuaikan dengan biaya KHL, pertumbuhan ekonomi dan inflasi agar tidak merugikan pihak-pihak tertentu.

D. Penutup Munculnya permasalahan buruh

disebabkan tidak bertemunya kepentingan buruh, pengusaha dan pemerintah. Upah buruh yang masih rendah menyebabkan buruh ingin memperbaiki kesejahteraannya. Di sisi lain, motif pengusaha adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga memandang buruh sebagai faktor produksi. Di sinilah peran pemerintah untuk menjaga lancarnya kegiatan perekonomian. Kebijakan penyesuaian kembali UMP/UMK 2013 yang dikeluarkan pemerintah ternyata menimbulkan pro kontra berbagai kalangan.

Peliknya masalah kesejahteraan buruh akan menemukan titik terang apabila masing-masing pihak mau duduk bersama mencari upaya penyelesaian. Pengusaha harus menempatkan buruh sebagai mitra kerja, bukan sebagai faktor produksi. Pemerintah sebagai mediator harus dapat memberikan rasa aman kepada buruh dengan upah yang layak. Ketika pengusaha mendapatkan tenaga yang sesuai dengan apa yang telah dikorbankan, maka kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah harus mampu mengakomodasi kepentingan buruh dan pengusaha. Upah adil bukanlah upah yang mampu menjamin buruh mampu memenuhi kebutuhannya, melainkan upah yang sama dengan kontribusi buruh terhadap perusahaan.

DPR RI dapat berperan dalam melakukan pengawasan pelaksanaan kebijakan upah minimum. Kenaikan upah minimum yang signifikan hendaknya diiringi kemudahan bagi para pengusaha, terutama dalam hal perizinan. Selama

ini beban berat yang harus ditanggung kalangan pengusaha adalah besarnya biaya birokrasi yang tidak pasti akibat masih rumitnya prosedur birokrasi sehingga banyak muncul biaya perizinan. Seandainya biaya birokrasi tersebut bisa dihilangkan dan dikonversi untuk kenaikan biaya tenaga kerja, nasib buruh akan lebih sejahtera, pengusaha tetap aman dalam menjalankan aktivitasnya dan iklim investasi di Indonesia tetap tinggi.

Rujukan:1. “Ancaman PHK,” http://akatiga.

o r g / i ndex .php / a r t i k e ldanop in i /perburuhan/58-ancaman-phk, diakses 30 November 2012.

2. “Dilema Kenaikan Upah,” http://berita.indah.web.id/kompas_properti/read/2012/ 12/02/1727171/Dilema.Kenaikan.Upah?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp, diakses 4 Desember 2012.

3. Hendrastomo, Grendi, “Menakar Kesejahteraan Buruh: Memperjuangkan Kesejahteraan Buruh di antara Kepentingan Negara dan Korporasi,” http://ebookbrowsw.com/menakar-kesejahteraan-buruh-pdf-d306700700, diakses 28 November 2012.

4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep 231/Men/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum.

5. Lembaga Penelitian SMERU, Dampak Kebijakan Upah Minimum Terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan Indonesia, Laporan Penelitian, Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU, 2001.

6. “Mengapa Upah Buruh Indonesia Murah?” http://log.viva.co.id/news/read/ 356470-mengapa-upah-buruh-indonesia-murah-, diakses 30 November 2012.

7. “Pengusaha Siapkan Empat Opsi Hadapi UMP 2013,” http://www.antaranews.com/berita/346005/pengusaha-siapkan-empat-opsi-hadapi-ump-2013, diakses 3 Desember 2012.

8. Priyono, Edy, “Situasi Ketenagakerjaan Indonesia dan Tinjauan Kritis Terhadap Kebijakan Upah Minimum,” Jurnal Analisis Sosial, Vol. 7, No. 1 Februari 2002.

Page 13: Vol IV No 23 I P3DI Desember 2012

Pengelolaan BBM Bersubsidi dan Penyediaan Energi Kedepan

Hariyadi*)

Abstrak

Subsidi BBM yang terus mengalami kenaikan menjadi persoalan anggaran yang secara kumulatif akan memperlemah daya tahan fiskal. Hal ini akan menghadapkan pemerintah pada persoalan ekonomi, sosial dan bahkan politik. Dengan demikian, kemauan politik pemerintah diperlukan untuk merubah politik subsidi BBM dalam rangka menciptakan disain anggaran yang lebih terarah dan ketahanan energi ke depan. Sejumlah kebijakan terobosan dalam mengelola persoalan ini dapat ditempuh. Pertama, menaikkan harga BBM bersubsidi. Kedua, upaya nyata dalam pencapaian politik bauran energi nasional khususnya diversifikasi energi berbasis non-fosil, dan ketiga, upaya penghematan konsumsi energi di kantor-kantor pemerintah perlu digalakkan kembali.

EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK

A. PendahuluanUpaya pemerintah mengendalikan

kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada tahun anggaran 2012 ini akhirnya dihentikan setelah muncul gejolak sosial di tanah air. Pemerintah melalui Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) tertanggal 7 November 2012 melakukan pengendalian distribusi sisa kuota BBM bersubsidi tahun anggaran 2012. Kebijakan ini ditempuh karena sampai dengan 25 November 2012, penyaluran BBM bersubsidi telah mencapai 40,36 juta kiloliter (kl) atau 91,6% dari kuota yang ditetapkan sebesar 44,04 juta kl. Dengan tingkat konsumsi ini, BBM bersubsidi akan mengalami kekurangan pasokan sebesar 1,2 juta kl karena diperkirakan kuota akan habis pada 24 Desember 2012.

Tidak lama setelah kebijakan pengendalian penyaluran ini dilaksanakan resistensi rakyat mulai merebak. Pada tanggal 23 November 2012 lalu, gejolak

- 13 -

sosial terjadi di Kecamatan Barong Tiongkok, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Barat. Konflik sosial yang diawali dengan cekcok antara warga dengan petugas agen penyalur minyak dan solar berujung pada kerusuhan sosial dengan implikasi raturan rumah dan toko terbakar. Kecenderungan kekurangan pasokan BBM bersubsidi juga ditemui di sejumlah wilayah. Dalam rangka mengantisipasi merebaknya konflik sosial, akhirnya Pertamina sebagai menghentikan kebijakan tersebut.

Pemerintah berupaya mengoptimalkan sejumlah kebijakan pengendalian sebelumnya dan langkah himbauan penghematan termasuk di dalamnya kegiatan Gerakan Nasional Hari Tanpa Bensin Bersubsidi pada tanggal 2 Desember 2012 di wilayah Jawa-Bali dan lima kota besar di luar pulau Jawa, yakni Medan, Batam, Palembang, Balikpapan dan Makasar dilakukan.

Vol. IV, No. 23/I/P3DI/Desember/2012

*) Peneliti bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 14: Vol IV No 23 I P3DI Desember 2012

- 14 -

Namun demikian, akhirnya pemerintah memandang bahwa semua langkah itu tidak akan mampu menjaga kuota BBM bersubsidi sampai akhir tahun. Pemerintah telah mengajukan usulan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tambahan kuota BBM bersubsidi sebesar 1,23 juta kl. Dengan pertimbangan menjaga gejolak sosial, DPR RI telah menunjukkan sinyal politiknya untuk menyetujui usulan tersebut. Info singkat ini akan mengulas langkah apa saja yang seharusnya dilakukan pemerintah dalam mengelola semakin besarnya subsidi BBM menuju kemandirian energi nasional.

B. Subsidi BBM dan Beban Anggaran

Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2005 dan tahun-tahun setelah itu yang mencapai lebih dari 70 dolar AS menghadapkan pemerintah pada situasi yang semakin dilematis dalam mengelola kebutuhan BBM bersubsidi. Di satu sisi, subsidi BBM yang terus mengalami kenaikan tajam dan semakin mengarah pada ambang batas aman secara psikologis akan mengurangi kemampuan fiskal negara. Secara empiris dengan terus meningkatnya tingkat konsumsi BBM secara nasional semakin menempatkan pemerintah pada ruang gerak yang sempit dalam mengelola subsidi BBM di sisi lain. Sejumlah faktor telah berperan dalam hal ini seperti borosnya tingkat konsumsi per kapita, peningkatan secara signifikan jumlah kendaraan bermotor, tingkat kemacetan di kota-kota besar dan dorongan menopang pertumbuhan ekonomi.

Tidak hanya itu, faktor status Indonesia sebagai net importer minyak bumi dan keluarnya keanggotaan Indonesia di OPEC pada tahun 2008 turut mengurangi ketahanan energi fosil secara nasional. Indikasinya, target produksi minyak siap jual (lifting) dalam tiga tahun terakhir (lihat Tabel 1) terus merosot. Sejalan dengan kondisi tersebut nilai subsidi BBM pun semakin menggerogoti kemampuan anggaran pemerintah. Tidak hanya itu saja, dalam lima tahun terakhir kecenderungan mengalami kelebihan kuota yang ditetapkan dalam APBN pun terus terjadi (lihat Tabel 2).

Pada tahun 2012, kuota BBM bersubsidi ditetapkan sebesar 40 juta kl atau senilai Rp137,38 triliun. Dalam perubahan anggaran tahun 2012 (APBN-P), kuota ini ditambah menjadi 44,04 juta kl senilai Rp153,38 triliun. Dalam perkembangannya, jumlah kuota ini pun dipastikan akan habis sebelum akhir tahun. Dalam kondisi ini pun, langkah katup pengaman harus dipersiapkan apalagi mengantisipasi implikasi gejolak sosial akibat kebutuhan BBM bersubsidi menjelang Perayaan Natal dan Tahun Baru. Pemerintah pun hampir dipastikan mengajukan usulan kenaikan kuota BBM bersubsidi sebesar 1,23 juta kl senilai 6 triliun. Itu artinya, realisasi subsidi BBM tahun 2012 ini akan mencapai Rp159,38 triliun.

Diperhitungkan dengan komponen subsidi energi lain, nilai subsidi BBM tahun 2013 mencapai Rp193,8 triliun. Nilai ini masih di bawah nilai pagu tahun ini yang mencapai Rp216,77 triliun. Namun demikian, penurunan nilai pagu ini untuk sebagian karena asumsi harga jual minyak Indonesia (ICP) turun dari 105 dolar AS per barel menjadi 100 dolar AS pada tahun 2013. Bagaimana pun dengan melihat realisasi over kuota BBM bersubsidi selama lima tahun terakhir praktis nilai subsidi tahun anggaran 2013 pun akan mengalami hal yang sama. Itu artinya, tanpa adanya kebijakan terobosan dalam pengelolaan subsidi ke depan, persoalan beban anggaran akan terus terjadi.

Persoalannya tidak semata-mata hanya pada potensi budget crunch. Subsidi energi yang terus meningkat secara kumulatif akan berefek bola salju bagi perekonomian secara umum karena resiko menurunnya stimulus APBN. Seperti kita ketahui bahwa selama ini belanja modal selalu lebih rendah daripada belanja subsidi energi. Kasus yang sama pada APBN 2013, di mana subsidi energi mencapai Rp274,7 triliun sementara belanja modal hanya senilai Rp216,1 triliun. Pada gilirannya, potensi penurunan pertumbuhan ekonomi pun menjadi sesuatu mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Dalam rangka mengelola persoalan ini pemerintah dituntut untuk melakukan sejumlah langkah terobosan.

Page 15: Vol IV No 23 I P3DI Desember 2012

- 15 -

C. Upaya Terobosan Pemenuhan Kebutuhan BBM

Kemauan politik pemerintah dalam rangka mengambil serangkaian kebijakan atau langkah terobosan dalam mengelola persoalan penyediaan BBM bersubsidi kini menjadi taruhan. Tidak hanya itu, secara normatif kebijakan dan langkah tersebut pun nilaianya sangat strategis tidak hanya untuk penyelesaian persoalan penyediaan BBM bersubsidi tetapi yang lebih penting adalah menjaga ketahanan energi nasional. Sejumlah kebijakan atau langkah terobosan ini antara lain sebagai berikut.

Pertama, kenaikan harga BBM bersubsidi. Persoalan disparitas harga yang sangat tinggi antara BBM bersubsidi dan non-bersubsidi selama ini menjadi akar persoalan ketidakmauan publik beralih ke BBM non-subsidi. Situasi seperti ini juga berpotensi membuka ruang bagi terjadinya penyalahgunaan atau pencurian BBM bersubsidi untuk kepentingan komersial secara individual maupun pelaku usaha yang dilarang menggunakan BBM bersubsidi. Terbongkarnya kasus pencurian

BBM dengan cara melubangi pipa penyaluran BBM di Plaju, Sumatera Selatan beberapa waktu lalu dan pengakuan Pertamina bahwa pencurian ini sebenarnya fenomena gunung es memperkuat hal ini.

Dengan demikian, upaya kenaikan harga BBM secara nasional menjadi pilihan yang sangat rasional. Penundaan kenaikan harga BBM bersubsidi hanya akan berdampak pada penundaan persoalan ke depan. Secara politis penundaan ini juga menjadi semakin beresiko karena ketika APBN telah sampai pada titik ambang batas kemampuan menyediakan BBM subsidi sesuai dengan tingkat perkembangan harga minyak dunia yang tidak bersahabat, gejolak dan konflik sosial tidak terhindarkan. Kini dengan ruang yang lebih fleksibel bagi pemerintah sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (10) dalam undang-undang APBN Tahun 2013 menjadi ujian penting dalam mengelola subsidi BBM dan penyelamatan beban APBN ke depan.

Kedua, langkah nyata dalam pencapaian politik bauran energi

nasional 2025. Hal ini menyiratkan perlunya upaya diversifikasi energi khususnya yang berbasis non-fosil seperti bahan bakar nabati (BBN), tenaga surya, panas bumi, bio-massa dan lain-lain. Melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, pemerintah menetapkan sebuah politik bauran energi optimal bagi terpenuhinya peran jenis energi non-fosil (biofuel) sebesar lebih dari 5% terhadap konsumsi energi nasional pada tahun 2025. Politik bauran energi ini sekaligus menjadi momentum penetapan politik pengembangan energi dan pengembangan energi alternatif berdasarkan UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi. Secara kelembagaan, berdasarkan UU ini pembentukan Dewan Energi Nasional (DEN) yang bertugas menetapkan politik energi secara umum maupun dalam rangka penetapan langkah-langkah penanggulangan kondisi krisis dan darurat energi secara nasional.

Namun demikian, pengembangan energi non-fosil selama ini praktis jalan di tempat. Dalam kasus pengembangan

Tabel 1. Target Produksi Minyak Siap Jual (lifting)

Tahun Anggaran (ribu barel/hari)

2011 2012 (APBN-P) 2013

898,5 930,0 900,0

Sumber: Kompas, 23 November 2012.

Tabel 2. Besaran Nilai Realisasi Subsidi 2007-2013

Tahun

Besaran Kuota dan Realisasi (juta kl)

Nilai Subsidi (Rp triliun)

Kuota RealisasiOver Kuota

APBN-P Realisasi

2007 36,03 38,67 2,63 55,60 83,79

2008 35,54 38,94 3,40 126,82 139,11

2009 37,46 37,01 -0,45 52,39 45,04

2010 36,50 38,22 1,72 88,90 82,35

2011 40,49 41,76 1,27 129,72 165,16

2012 44,04 45,24 1,2 159,4 -

2013 46,01 - - -

Sumber: Kemenkeu dan Kemen-ESDM, Suara Pembaruan, 27 Nov. 2012.

Page 16: Vol IV No 23 I P3DI Desember 2012

- 16 -

BBN misalnya, cetak biru Pengembangan BBN untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran Periode 2006-2025 sampai sekarang masih belum jelas arahnya. Hal yang sama pada cetak biru Pengembangan Industri Bioenergi Nasional 2010-2025. Kebijakan mandatoris penggunaan biofuel berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain, kini baru mencapai kira-kira 7%. Jadi, kemauan politik pemerintah dalam mengarahkan pencapaian kebijakan ini menjadi pilihan strategis dalam mengelola kebutuhan energi ke depan.

Ketiga, upaya hemat energi secara mandatoris di kantor-kantor pemerintah. Pelaksanaan kebijakan penghematan energi nasional yang mulai berlaku Juni tahun ini belum menunjukkan kinerja yang diharapkan. Itu artinya, bersama-sama dengan kebijakan yang sama melalui serangkaian Inpres pada tahun 2005, 2008 dan 2011 nasibnya seperti “macan kertas.” Dengan demikian, hal ini bisa menjadi pengingat bagi pemerintah karena potensi penghematannya yang besar. Kita ambil kasus tapakan konsumsi energi di lembaga DPR misalnya, yang notabene dihuni lebih dari 3000 orang per hari. Untuk konsumsi listrik saja, karena kultur maupun infrastruktur tata lampu yang boros energi, penggunaan listrik menjadi sasaran penghematan yang potensial bagi langkah penghematan secara nasional. Rumor yang berkembang, nilai rekening listrik DPR menembus angka hampir mendekati satu miliar rupiah per bulan. Penguatan kebijakan penghematan energi khususnya di sektor pemerintah menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dioptimalkan.

D. Penutup Subsidi BBM setiap tahun akan

memberikan beban yang semakin berat terhadap APBN. Beban anggaran untuk subsidi juga pada gilirannya akan memperlemah pemerintah dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan demikian, kebijakan mempertahankan alokasi subsidi BBM yang tanpa batas akan menjadi sumber persoalan ekonomi, sosial dan bahkan politik ke depan.

Kemauan politik pemerintah untuk mengambil kebijakan atau langkah terobosan dalam mengelola persoalan penyediaan BBM bersubsidi kini harus lebih terarah. Apalagi dalam kerangka menjaga ketahanan energi nasional. Sejumlah kebijakan atau terobosan ke depan, pertama, menaikkan harga BBM bersubsidi dalam rangka mengendalikan tingkat konsumsinya. Kedua, langkah nyata dalam pencapaian politik bauran energi nasional. Upaya diversifikasi energi khususnya yang berbasis non-fosil seperti bahan bakar nabati (BBN), tenaga surya, panas bumi, bio-massa dan lain-lain kiranya mendesak. Ketiga, upaya penghematan konsumsi energi secara mandatoris di kantor-kantor pemerintah. Memberdayakan pelaksanaan sejumlah Instruksi Presiden terkait dengan langkah-langkah penghematan di kantor-kantor pemerintah harus dihidupkan kembali.

Rujukan:1. Tim Nasional Pengembangan BBN, Bahan

Bakar Nabati, Depok: Penebar Swadaya, 2008.

2. Rama Prihandana dan Roy Hendroko, Energi Hijau, Pilihan Bijak Menuju Negeri Mandiri Energi, Depok, 2007.

3. “Ruang Fiskal 2013 Terbatas,” Kompas, 24/10/2012.

4. “Harga BBM Jadi Kunci,” Kompas, 24/10/2012.

5. “2 Desember 2012, Hari Bebas BBM Bersubsidi,” Kompas, 26/11/2012.

6. “Setelah Kerusuhan Kutai Barat, Pembatasan BBM Disetop,” Kompas, 26/11/2012.

7. “Pemerintah Tak Serius Kendalikan,” Suara Pembaruan, 27 November 2012.

8. Kementerian ESDM, Blueprint Pengembangan Industri Bioenergi Nasional 2010-2025. Jakarta: Kementerian ESDM.

9. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi

10. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional

11. Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain.

12. “DPR Menyetujui Tambahan Kuota BBM,” Republika, 4 Desember 2012.

Page 17: Vol IV No 23 I P3DI Desember 2012

Reaksi Masyarakat terhadap RUU Keamanan Nasional

Aryojati Ardipandanto*)

Abstrak

Rencana DPR RI untuk membahas RUU tentang Keamanan Nasional menimbulkan banyak kontroversi. 29 Tokoh Masyarakat bahkan telah mengeluarkan Petisi untuk menolak RUU ini. Alasan inti penolakan adalah dikhawatirkan akan diterapkan kembali sistem seperti pada masa rezim Orde Baru yang akan menghambat terwujudnya kehidupan yang demokratis. Di sisi lain, pihak yang mendukung dibentuknya RUU tentang Keamanan Nasional menyatakan bahwa tidak tepat untuk membandingkan kondisi politik saat ini dengan kondisi politik pada masa Orde Baru dalam menilai perlu-tidaknya RUU tersebut dibentuk. Hal penting yang diperlukan untuk menjamin bahwa RUU ini tidak akan membahayakan demokrasi adalah bahwa substansinya harus memenuhi syarat yaitu semua aktor keamanan nasional difungsikan secara optimal dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga memberikan jaminan atas tercapainya keamanan negara, keamanan masyarakat, dan keamanan insani tanpa terlanggarnya ketentuan hukum yang berlaku dan nilai-nilai demokrasi.

PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

A. PendahuluanSejak diusulkan hingga akan

disahkannya RUU Keamanan Nasional, RUU ini mendapat reaksi keras dari berbagai tokoh masyarakat Indonesia. Tokoh masyarakat itu terutama adalah para aktifis hak asasi manusia yang merasa terancam jika RUU Keamanan nasional disahkan menjadi UU, karena akan menjadi hambatan bagi tegaknya demokrasi serta terjaminnya hak azasi manusia.

Namun demikian, Pemerintah dengan berbagai alasan belum juga berhenti dari tujuannya semula, yakni ingin supaya RUU Keamanan Nasional

segera disahkan oleh DPR. Paling tidak 29 kelompok masyarakat dengan keras menolak disahkannya RUU Keamanan Nasional tersebut. Mereka membuat petisi bersama untuk menolak RUU Keamanan Nasional itu, dan menyerukan agar DPR segera mengembalikan RUU Keamanan Nasional itu kepada Pemerintah.

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menolak RUU Keamanan Nasional. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa RUU tersebut membuat tumpang tindih wewenang dari undang-undang yang sudah ada sebelumnya. Ketua Fraksi PDIP Puan Maharani mengaku sejak awal tidak

- 17 -

Vol. IV, No. 23/I/P3DI/Desember/2012

*) Peneliti bidang Politik dan Pemerintahan Indonesia pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected].

Page 18: Vol IV No 23 I P3DI Desember 2012

- 18 -

menyetujui lahirnya RUU Kamnas tersebut. PDIP juga menghimbau fraksi lainnya mengambil langkah serupa, dengan alasan bila RUU itu disahkan akan mengintimidasi partai politik dan juga lainnya.

Hal yang sama diungkapkan Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso bahwa pihaknya menolak RUU Kamnas. Menurutnya, RUU tersebut tumpang tindih dengan wewenang yang ada.

B. Pandangan MasyarakatAda 29 tokoh masyarakat yang

menyatakan Petisi menolak RUU tentang Keamanan Nasional. Ada 4 hal yang dikritisi kelompok petisi 29 dari RUU ini, yaitu:

Pertama, RUU Keamanan Nasional tidak jelas maksudnya sehingga bisa saja digunakan kedepan untuk membungkam berbagai aktivis-aktivis HAM ataupun untuk menyingkirkan lawan-lawan politik oleh para penguasa.

Kedua, RUU Keamanan Nasional banyak mengandung pasal-pasal “karet” yang bisa digunakan hanya untuk kepentingan penguasa dalam konteks mempertahankan kekuasaannya.

Ketiga, selain RUU Keamanan Nasional itu juga bisa mengancam hak asasi manusia (HAM) dan sistem demokrasi Indonesia yang mulai tumbuh, juga di Indonesia sudah banyak memiliki legislasi yang bukan hanya mengatur keamanan negara saja tetapi juga mengatur keamanan manusia.Terkait RUU Keamanan Nasional itu, aktivis Kontras, Usman Hamid di Hotel Aryaduta Jakarta pada tanggal 18 November 2012 mengatakan, ada beberapa UU yang “ditabrak” oleh RUU Keamanan Nasional, antara lain UU TNI Nomor 3 tahun 2004 UU Polri Nomor 2 tahun 2002, UU Pertahanan Negara Nomor 3 tahun 2002, UU Pemberantasan Teroris Nomor 15 tahun 2003, UU Intelijen Negara Nomor 17 tahun 2011, UU HAM Nomor 39 tahun 1999, dan UU Penanggulangan Bencana Nomor 24 tahun 2007.

Keempat, RUU Kemanan Nasional memberikan wewenang kepada Presiden untuk mengerahkan TNI dalam status

tertib sipil tanpa melalui pertimbangan Parlemen dalam menghadapi ancaman keamanan nasional. Wewenang yang diberikan kepada Presiden seperti itu akan bertentangan dengan UU TNI Pasal 7 ayat( 3 ) jo Penjelasan Pasal 5, bahwa pengerahan kekuatan TNI harus didasarkan kepada keputusan politik negara yang berarti harus melalui proses pertimbangan Parlemen.

Berbagai kalangan mengkhawatirkan jika RUU Keamanan Nasional disahkan oleh DPR ,maka akan menjadi pasal-pasal “karet” yang pernah di pakai oleh rezim Orde baru untuk mengganjal berbagai lawan-lawan politiknya. Bagi wartawan, RUU Kemanan nasional akan mengancam aktivitas mereka, serta hak asasi manusia lainnya serupa halnya dengan UU Subversif PNPS tahun 1963 yang merupakan “senjata ampuh” bagi rezim Presiden Soeharto untuk “membungkam” semua pihak yang berseberangan dengannya.

C. Keabsahan RUU Keamanan Nasional

Salah satu dalil yang mengemuka dari kelompok yang menentang RUU Keamanan Nasional adalah kekhawatiran bahwa RUU ini akan membawa Indonesia seperti pada masa Orde Baru. Namun demikian, tampaknya perlu diperhatikan juga bahwa keamanan nasional sebagai fungsi pemerintahan negara pada masa Orde Baru dengan saat ini tentu berbeda, karena lingkungan strategis, sistem kenegaraan, jenis, bentuk, dan intensitas ancaman memang mengalami perubahan.

Tabel Peta Sikap Fraksi-fraksi atas RUU tentang Keamanan Nasional

Mendukung Menolak

Fraksi Partai Demokrat (148 orang)Fraksi Partai Golkar (107 orang)Fraksi PKS (57 orang)Fraksi PAN (46 orang)Fraksi PPP (37 orang)Fraksi PKB (28 orang)

Fraksi PDI Perjuangan (94 orang)Fraksi Partai Gerindra (26 orang)Fraksi Partai Hanura (17 orang)

Page 19: Vol IV No 23 I P3DI Desember 2012

- 19 -

Membandingkan keamanan nasional sebagai suatu hasil dari dua keadaan yang berbeda belum tentu tepat. Dalam menilai pelaksanaan fungsi Keamanan Nasional harus menggunakan dua parameter. Yaitu, parameter hasil dan parameter proses atau cara mencapai hasil. Sementara hasil dari fungsi keamanan nasional adalah keadaan aman dan rasa aman masyarakat. Hasil tersebut harus dicapai melalui proses atau upaya-upaya yang tidak boleh melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan ketentuan hukum.

Betapa pun negara dapat menciptakan keadaan aman dan rasa aman di masyarakat, namun bila dicapai dengan berbagai pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi, seperti pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum, maka pelaksanaan fungsi keamanan nasional seperti itu tidak dapat dikatakan berhasil.

Yang benar adalah apabila semua aktor keamanan nasional berfungsi optimal dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga memberikan jaminan atas tercapainya keamanan negara, keamanan masyarakat, dan keamanan insani tanpa terlanggarnya ketentuan hukum yang berlaku dan nilai-nilai demokrasi. Itulah sesungguhnya yang ingin dicapai. Dan apabila hal-hal tersebut di atas merupakan inti dari pengaturan yang ada di RUU tentang Keamanan Nasional, maka itulah sebenarnya yang menjadi kebutuhan Bangsa Indonesia.

Penyusunan RUU Kamnas harus memperhatikan tiga syarat keabsahan pembentukan undang-undang. Yaitu, keabsahan filosofis, keabsahan sosiologis, serta keabsahan yuridis. Keabsahan filosofis adalah adalah kesesuaian antara UU Keamanan Nasional dengan sistem nilai filsafat dan ideologi kenegaraan, dalam konteks Indonesia itu tercantum padat dalam empat alinea Pembukaan UUD 1945. Kemudian, Keabsahan Sosiologis yaitu kesesuaian antara UU Keamanan Nasional dengan sistem nilai bangsa Indonesia yang sangat majemuk dari aspek ras, etnik, suku, agama maupun tingkat sosial.

Selanjutnya, Keabsahan Yuridis adalah kesesuaian dan konsistensi antara norma yang tercantum dalam UU

Keamanan Nasional dengan keseluruhan sistem hukum positif di Indonesia. Dengan memperhatikan tiga hal tersebut dalam pembentukan UU tentang Keamanan Nasional, abuse of power oleh instrumen negara seperti tindakan represif yang berlebihan ataupun pelanggaran HAM dan lain sebagainya tidak akan terjadi.

D. Penutup

Ada beberapa hal yang harus disusun secara hati-hati, yaitu pertama, Pasal 54 huruf (e) ada kewenangan untuk menyadap, menangkap, memeriksa, dan memaksa. Klausul ini sangat berpotensi melanggar Hak Azasi Manusia. Kedua, Pasal 22 Jo 23 ada peran yang terlalu luas bagi intelijen sebagai penyelenggara Keamanan Nasional (Kamnas).

Ketiga, Pasal 17 (4) yang menyatakan bahwa ancaman potensial dan non-potensial akan diatur oleh Kepres. Di sini, rezim berkuasa bisa menggunakan RUU Keamanan Nasional sebagai senjata untuk menghabisi oposisi dan aksi-aksi protes, dan keempat, Pasal 17 ayat 2 (9), yaitu pengkategorian ancaman yang dapat berupa diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi. Artinya, ketidaksetujuan terhadap regulasi atau aturan yang dibuat pemerintah oleh masyarakat bisa dikategorikan ancaman keamananan nasional. Melihat pandangan banyak kalangan bahwa hal ini sama saja dengan “pemberangusan” semangat kebebasan menyampaikan pendapat, sudah seharusnya DPR RI dapat meninjau ulang substansi ini untuk menjamin bahwa kekhawatiran masyarakat tersebut tidak akan terjadi.

Mengacu kepada UUD 1945, maka beberapa hal perlu diperhatikan agar substansi RUU tidak menyimpang dari norma UUD 1945, yaitu:1. UU yang diamanatkan untuk dibentuk

adalah UU Pertahanan dan Keamanan dan bukan UU Keamanan Nasional. Mengingat masalah pertahanan telah diatur dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, maka ada pemisahan pengaturan pertahanan dan keamanan. Dengan demikian,

Page 20: Vol IV No 23 I P3DI Desember 2012

- 20 -

seharusnya judul RUU adalah RUU tentang Keamanan Negara. Hal ini merupakan konsistensi dari Pasal 30 UUD 1945 serta UU Pertahanan Negara;

2. UU Keamanan Negara, seharusnya menjadi kewenangan Polri karena dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 secara jelas dicantumkan Polri sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Dengan demikian, Polri seharusnya yang memiliki kewenangan untuk membuat draft RUU tersebut;

3. Pembentukan UU Pertahanan dan UU Keamanan seharusnya tetap mengacu pada kewenangan instansi yang bertanggung jawab pada masing-masing bidang, mengatur hubungan pelaksanaan kewenangan TNI dan Polri, serta hak dan kewajiban warga Negara dalam usaha pertahanan dan keamanan.

Dari segi substansial, ada beberapa rekomendasi untuk diperhatikan, yaitu:

Pertama, RUU Kamnas harus jelas mengatur bagaimana mekanisme keterlibatan warga negara di bidang keamanan nasional. Sesuai dengan Pasal 30 UUD 1945, seharusnya UU ini memberikan ruang kepada setiap warga negara untuk turut terlibat dalam proses keamanan negara.

Kedua, mengacu pada Pasal 30 UUD 1945, UU Kamnas seharusnya mengatur koordinasi antar lembaga terkait dalam proses pertahanan dan keamanan. Dikatakan koordinasi, karena sifat dan tujuannya hanyalah mengkoordinasikan instansi terkait tanpa merubah struktur, kewenangan serta tanggung jawab masing-masing intstansi. Draft RUU nampaknya telah “mengamputasi” kewenangan instansi lainnya, khususnya Polri. Dalam Pasal 64 jelas disebutkan bahwa unsur keamanan nasional adalah TNI. Polri hanya sebagai pelengkap, dan akan berperan bila dibutuhkan oleh TNI. Ketentuan ini merupakan upaya untuk mengembalikan Polri di bawah kekuasaan TNI, sebagaimana terjadi pada jaman Orde Baru.

Ketiga, RUU Kamnas tidak boleh bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.” Ketentuan dalam UUD ini nampak diabaikan ketika terdapat ancaman dari Negara lain. Dalam Pasal 29 draft RUU Keamanan Nasional, nampak bahwa TNI memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam menghadapi situasi darurat. Bahkan, Pasal 29 ayat (4) dan (5) memberikan kekuasaan kepada TNI untuk mengambil langkah-langkah darurat terlebih dahulu, untuk selanjutnya selambat-lamatnya 1 X 24 jam melapor kepada Presiden. Ketentuan ini tentunya sangat membahayakan posisi Presiden, karena dalam waktu 1 X 24 Jam, TNI dapat melakukan tindakan tanpa sepengetahuan Presiden. Ketentuan ini juga membuka peluang terjadinya kudeta.

Referensi1. “RUU Keamanan Nasional Mengancam

HAM?,” http://politik.kompasiana.com/2012/11/19/ruu-keamanan, diakses 1 Desember 2012.

2. “PDIP Menolak RUU Keamanan Nasional,” http://nasional.kontan.co.id/news/pdip-menolak-ruu-keamanan-nasional, diakses 1 Desember 2012.

3. “Fraksi PKB Setujui Pembahasan RUU Keamanan Nasional,” http://www.antaranews.com/berita/337718/fraksi-pkb-setujui-pembahasan, diakses 1 Desember 2012.

4. “Tolak RUU Keamanan Nasional!,” http://www.berdikarionline.com/editorial/, diakses 1 Desember 2012.

5. “Partai Koalisi Sepakat Terima Draf RUU Keamanan Nasional,” http://politik.news.viva.co.id/news/read/360389, diakses 1 Desember 2012.

6. “RUU Keamanan Nasional Mengancam HAM?,” http://politik.kompasiana.com/2012/11/19/ruu-keamanan, diakses 1 Desember 2012.