skenario d
DESCRIPTION
kedokteranTRANSCRIPT
1. Bagaimana penegakan diagnosis TB kasus kambuh?
Pasien kambuh adalah pasien yang telah menjalani pengobatan secara teratur dan adekuat sesuai
dengan rencana, tetapi dalam control ulangan ternyata sputum BTA kembali positif baik secara
mikroskopik langsung ataupun secara biakan. Kasus kambuh yakni pasien yang pernah
dinyatakan sembuh dari TB, kemudian timbul lagi TB aktifnya. Frekuensi kekambuhan ini
adalah antara 2-10% tergantung pada jenis obat yang dipakai.
Umunya kekambuhan terjadi pada tahun pertama setelah pengobatan selesai, dan sebagian besar
kumannya masih sensitive terhadap obat-obat yang dipergunakan semula. Penanggulangan
terhadap pasien kambuh ini adalah:
1. berikan pengobatan yang sama dengan pengobatan pertama
2. lakukan pemeriksaan bakteriologis optimal yakni periksa sputum BTA mikroskopis lamgsung
3 kali, biakan, dan resistensi
3. evaluasi secara radiologis luasnya kelainan paru
4. identifikasi adakah penyakit lain yang memberatkan tuberculosis seperti diabetes mellitus,
alkoholisme, atau pemberian kortikosteroid yang lama
5. sesuaikan obat-obat dengan hasil tes kepekaan resistensi
6. nilai kembali secara ketat hasil pengobatan secara klinis, radiologis, dan bakteriologis tiap –
tiap bulan.
2. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi
anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan
alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen; serta
reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang
langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan,
sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa
sesak di mulut dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital,
pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama
setelah pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah
bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah
kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama
dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-
tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang
pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala
disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang
terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang
irreversible.
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu
atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan
saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada
fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan
kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.
szs
Organ Systems Signs and Symptoms
Cardiovascular Hypotension, tachycardia, arrhytmias
Pulmonary Bronchospasm, cough, dyspnea, pulmonary
edema, laryngeal edema, hypoxia
Dermatogical Urticaria, facial edema, pruritus
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada
rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang
menjadi gelap dan bengkak. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa
hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan saturasi
oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal. Obstruksi
saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi
napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema
mukosa.
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma
merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi,
takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel
yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi
hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat
penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut.
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,
peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem gastrointestinal
merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos, berupa nyeri abdomen,
mual-muntah atau diare.
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi
trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada system
neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid,
dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob
menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi
keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.
3. Komplikasi
Komplikasi pada skenario ini dapat berakibat sampai kematian akibat henti napas dan henti
jantung, Kerusakan otak juga dapat terjadi pada kasus syok anafilaktik.
Learning Issue
Syok Anafilaktik
a) DD
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak spesifik dari
anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit lainnya yang
memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh system
organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan
basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap
reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok
anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris,
Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika.
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien
tampakpingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada
reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun
tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik. Sementara
infarkmiokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran.
Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien
tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun
tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik
ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tanda-
tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya
sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare,
serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa
keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG
lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah,
kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan
tanpa MSG.
Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara
napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas
fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini
menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata
berair yang disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.
b) WD
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah
terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American
Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria. Kriteria pertama
adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapajam) dengan terlibatnya
kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh,
pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing , penurunan PEF,
hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ
sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah terpapar
alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu
keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh,
pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah- uvula); Respiratory compromise (misalnya
sesaknafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan
darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala
gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang
diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak,
tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%.
Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan
darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.Sedangkan kriteria dari Syok Anafilaksis
sebagai berikut :
1. Secara tiba-tiba onsetnya dan progresi yang cepat dari gejala seperti di bawah ini, yaitu :
- Pasien terlihat baik atau tidak baik
- Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit, jarang reaksi terjadi lebih lambat dari onset.
- Waktu onset reaksi anfilaksis tergantung tipe trigger.
- Trigger intravena akan lebih cepat onsetnya daripada sengatan, dan cenderung disebabkan lebih
cepat onsetnya dari trigger ingesti oral.
- Pasien biasanya cemas dan dapat mengalami “sense of impending”.
2. Life-threatening Airway and/or Breathing and/or Circulation Problems Pasien dapat
mengalami masalah A atau B atau C atau kombinasinya.
Airway Problem :
- Pembengkakan jalan nafas seperti tenggorokan dan lidah membengkak (faring/laring edem).
Pasien sulit bernafas dan menelan dan merasa tenggorokan tertutup.
- Suara Hoarse.
- Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang mengalami obstruksi.
Breathing Problems :
- Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas.
- Wheezing.
- Pasien menjadi merasa lelah.
- Kebingungan karena hipoksia.
- Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign.
- Respiratory arrest.
Circulation problem
- Tanda syok, pucat, berkeringat.
- Peningkatan frekuensi nadi (takikardi).
- Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness), kolaps.
. - Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran.
- Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah walaupun individu
dengan normal arteri kononer.
- Cardiac arrest.
3. Perubahan Kulit dan/atau Mukosa Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari
80% dari reaksi anafilaksis.
Mukosa dan Kulit
- Dapat berlangsung halus atau secara dramatis.
- Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan mukosa, atau keduanya.
- Mungkin eritema setengahnya atau secara general, rash merah.
- Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna pucar, merah muda, atau
merah dan mungkin menunjukan seperti sengatan.
- Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan lebih dalam sering pada
kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut dan tenggorokan
c) Definisi
Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang
berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis)
justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau
anaphylaxis).
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas yang berat yang diperantarai oleh IgE
(Hipersensitivitas tipe 1) yang mengancam jiwa dan menimbulkan gejala sistemik / generalisata.
Reaksi ini ditandai dengan gangguan pada airway, breathing dan circulation yang mengancam
jiwa dan berkembang dengan cepat. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinik
dari anafilaksis yang ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah
sehingga perfusi dan oksigenasi ke jaringan tidak adekuat.
Menurut WHO pada tahun 2003, anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas generalista atau
sistemik yang berat dan mengancam kehidupan. Anafilaksis sendiri dibagi menjadi tiga, alergi,
non alergi, dan idiopatik. Anafilaksis alergi terjadi bila diperantarai suatu mekanisme imunologi,
diperantarai IgE, atau diperantarai antibodi-IgE. Sedangkan anafilaksis non alergi atau pseudo
alergi (atau anafilaktoid ) diperantarai penyebab non imunologi. Sedangkan anafilaksis idiopatik,
yaitu anafilaksis yang tidak diketahui penyebabnya.
d) Epidemiologi
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka kejadian
anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat penggunaan antibiotik
golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat.
Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis
dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan
prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa
anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan
insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa
muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.
e) Etiologi dan Faktor Resiko
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen, jalur
pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang
sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan
lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan
susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang
bisa menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena,
relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid,OAT, vitamin B1, asam folat, agen kometerapi seperti
carboplatin dan doxorubicin serta agen biologis seperti antibody monoclonal, selain itu dapat
juga disebabkan oleh obat-obatan herbal.
Pencetus anafilaksis lain yang juga sering terjadi adalah pemakaian media kontras untuk
pemeriksaan radiologic. Media kontras menyebabkan reaksi yang mengancam nyawa pada 0,1 %
dan reaksi yang fatal terjadi antara 1 : 10.000 dan 1 : 50.000 prosedure intravena. Kasus
berkurang setelah dipakainya media kontras yang hyperosmolar.selain itu imunoterapi dan uji
kulit (terutama intradermal) juga dapat berpotensi menyebabkan anafilaksis. Lateks (Natural
Rubber Latex) yang terdapat pada peralatan medis seperti masker, endotracheal tube, sarung
tangan juga dapat mencetuskan reaksi anafilaksis.
Table 1 : Penyebab reaksi anafilaksis dan anafilaktoid
Sedangkan faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis antara lain:
Atopi
Pada studi berbasis populasi di Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki riwayat
penyakit atopi. Penelitian lain menunjukkan bahwa atopi merupakan faktor risiko untuk reaksi
anfilaksis terhadap makanan, reaksi anafilaksis yang diinduksi olehlatihan fisik, anafilaksis
idiopatik, reaksi terhadap radiokontras, dan reaksi terhadap latex. Sementara, hal ini tidak
didapati pada reaksi terhadap penisilin dan gigitan serangga.
Cara dan waktu pemberian
Berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral lebih sedikit
kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak berat, meskipun reaksi
fatal dapat terjadi pada seseorang yang memang alergi setelahmenelan makanan. Selain itu,
semakin lama interval pajanan pertama dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis
akan muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE
spesifik seiring waktu.
Asma
Merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90% kematian karena anafilaksis
makanan terjadi pada pasien asma.
Penundaan pemberian epinefrin juga merupakan faktor risiko yang berakibat fatal.
Gambar 1: gejala yang ditimbulkan anafilaktik
f) Klasifikasi
Geja;a anafilaktik dapat berupa gejala ringan maupun berat hingga dapat menyebabkan kematian, sehingga reaksi anafilaksis diklasifikasikan menurut Brown terdapat tiga grade anafilaktik, yaitu :
1. Mild (mengenai kulit dan jaringan subkutan saja). : eritema menyeluruh,urticaria, edema periorbital, atau angioedema
2. Moderate (melibatkan pernafasan, system kardiovaskuler, atau pencernaan, shortness of breath, mengi, mual, muntah, dizziness (pre sinkop), diaphoresis, dada atau tenggorokan seperti tertekan, atau sakit di daerah abdomen.
3. Severe (hipoksia, hipotensi, atau gangguan neurologis): sianosis atau SpO2 ≤90% pada stage beberapapun, hipotermi (tekanan darah sistol < 90 mmHg pada dewasa, bingung, kolaps, hilang kesadaran, atau inkontinensia).
Menurut Mueller berdasarkan tingkat keparahnnya, anafilaktik dapat dikelompokkan menjadi 4 grade yaitu :
g) Patofisiologi
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I (Immediate
type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase
sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan
waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.
Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi
anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang
berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan
reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.
Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE.
Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat
anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan ditangkap oleh
Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia
akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadisel
Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian
terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi
pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen
yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu
pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan
vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.
Gambar 1 : Patofisiologi Reaksi Anafilaksis
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang
akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah
degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon
yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,
meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan
kontraksi otot polos.
Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan
neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena
maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik
sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian
terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang
berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.
Gambar 2 : Patofisiologi Reaksi Anafilaksis
Kadar dan Grade Histamin
Histamine (ng/ml) Biological Activities
0-1 Tidak ada reaksi
1-2 Meningkatkan sekresi asam lambung
3-5 Takikardi, reaksi pada kulit (urtikaria,dll)
6-8 Turunnya tekanan arteri
9-12 Spasme bronkus
>100 Cardiac arrest
Derajat dan Tanda Klinis akibat meningkatnya kadar histamin
Derajat Tanda Klinis
I Tanda kutaneus-mukus : eritema, urtikaria dengan atau tanpa angioderma.
II Tanda multiviseral moderat : tanda kutaneus-mukus ± hipotensi ± takikardi ±
dispneu ± gangguan gastrointestinal.
III Tanda mono/multiviseral yang mengancam jiwa : kolaps kardiovaskular,
takikardi atau bradikardi ± cardiac disrythmia ± bronkospasme ± tanda muco-
kutaneus ±gangguan gastrointestinal.
IV Cardiac arrest
h) Manifestasi klinis
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi
anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan
alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen; serta
reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang
langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan,
sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa
sesak di mulut dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital,
pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama
setelah pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah
bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah
kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama
dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-
tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang
pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala
disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang
terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang
irreversible.
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu
atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan
saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada
fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan
kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.
szs
Organ Systems Signs and Symptoms
Cardiovascular Hypotension, tachycardia, arrhytmias
Pulmonary Bronchospasm, cough, dyspnea, pulmonary
edema, laryngeal edema, hypoxia
Dermatogical Urticaria, facial edema, pruritus
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada
rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang
menjadi gelap dan bengkak. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa
hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan saturasi
oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal. Obstruksi
saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi
napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema
mukosa.
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma
merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi,
takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel
yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi
hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat
penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut.
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,
peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem gastrointestinal
merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos, berupa nyeri abdomen,
mual-muntah atau diare.
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi
trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada system
neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid,
dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob
menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi
keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.
i) Tatalaksana & Preventif
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral maupun
parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi dan
menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera
baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk
meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan
tekanan darah. Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari
tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar.
o Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan
sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak
jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu
ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan
napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi,
atau trakeotomi.
o Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda
bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang
disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan,
juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter/menit.
o Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a. femoralis),
segera lakukan kompresi jantung luar.
Obat-obatan
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok
anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh
darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai
penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah
meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi
serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga
menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi pada
sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin
memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok,
absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml
larutan 1:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas
dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan
perbaikan. Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan tertentu
saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien
tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang
benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan
dosis 500 mcg (5ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100
mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10
mcg/kg BB(0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena
lambat selama beberapa menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok
anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara
penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang
lain dapat memberikan adrenalin tersebut. Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita
anafilaksis, obat-obat yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan
bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan
peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator
dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat
pengganti adrenalin. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena.
Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150mg) harus diencerkan dengan 20 ml
NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin
pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Antihistamin yang juga
dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang
tiap 6 jam selama 48 jam.
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak
banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang
hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang.
Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian.
Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang
biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 200 mg/Kg BB, dilanjutkan
dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 0,2 mg/kg BB.
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4- 7 mg/KgBB
selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6mg/Kg
BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan
sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan
salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan
melalui nebulisasi.
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor
melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrose
(konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit (dengan
infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau
aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5%
dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan dextrose
5%.
Terapi Cairan.
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam
mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah
jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid
tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan
kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat
kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat
diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.
Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam
melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume nterstitial, dan
intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik
intravaskuler.
Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke
rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka
penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang
tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap
dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita
jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6 jam
berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik.
Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital
sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan komplikasi karena edema
laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan
cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard,
aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih
dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.
Gambar. Algoritma Resusitasi Syok Anafilaksis
Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik
terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita
dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu
yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap
banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit
negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak
berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif
dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3%
dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur
subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian.
Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang
sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi.
Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal
yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi
anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik adalah
pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.
j) Komplikasi
Komplikasi pada skenario ini dapat berakibat sampai kematian akibat henti napas dan henti
jantung, Kerusakan otak juga dapat terjadi pada kasus syok anafilaktik.
k) Prognosis
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip kegawatdaruratan, reaksi
anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh
kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi
setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih
luas lagi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang akan
menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi, penyakit
kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit,
obat-obatan yang dikonsumsi seperti β- blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari
mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.
l) SKDI
4A
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit
tersebut secara mandiri dan tuntas. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonym. Anafilaksis (Reaksi Alergi Akut). 2009. Available at:
http://medicastore.com/penyakit/150/Anafilaksis_reaksi_alergi_akut.html .
Accessed on October 18, 2013.
2. Longecker, DE. Anaphylactic Reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology.
2008; Chapter 88, hal 1948-1963.
3. Mustafa, SS. Anaphylaxis. April 8, 2013. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview . Accessed on October
18, 2013.
4. Balentine, JR. Severe Allergic Reaction (Anaphylactic Shock). 2008. Available
at:
http://www.emedicinehealth.com/severe_allergic_reaction_anaphylactic_shock/
page2_em.htm . Accessed on October 18, 2013.
5. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316. Hal
1442-1445.
6. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Perioperative and Critical Care
Medicine. In: Belval B, Lebowitz H. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. 5th edition. United States: McGraw-Hill; 2013. p. 1217-22.
7. Sampson HA, et al. Clinical Immunology and Allergy. Margaret and Fremantle
Hospitals, Western Australia; 2006.
8. Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Allergy
Clinical Immunology. Hobart, Australia; 2004. p.371-376.
9. Simons FER, Camargo Jr CA. Anaphylaxis: Rapid recognition and Treatment.
In: Bochner BS. August 8, 2013. Available at:
http://www.uptodate.com/contents/anaphylaxis-rapid-recognition-and-treatment .
Accessed on October 19, 2013.
10. Mullins RJ, Gold MS, Brown SGA. Anaphylaxis: Diagnosis and Management.
2006. Available at: https://www.mja.com.au/journal/2006/185/5/2-anaphylaxis-
diagnosis-and-management . Accessed on October 19, 2013.