dermatitis seboroik

12
DERMATITIS SEBOROIK I. DEFINISI Dermatitis seboroik merupakan suatu istilah yang digunakan untuk golongan kelainan kulit yang didasari oleh faktor konstitusi yang predileksinya di tempat- tempat seboroik seperti pada daerah tubuh berambut, terutama pada kulit kepala, alis mata, dan muka, kronik, dan superficial. (1,2, 3) Dermatitis seboroik merupakan salah satu manifestasi kulit yang terbanyak pada pasien dengan infeksi Human Imunodefisiensi Virus (HIV) dan Acquired Immuno- Defisiensi Syndrome (AIDS). (4) II. ETIOLOGI Penyebabnya belum diketahui pasti. Hanya didapati aktifitas kelenjar sebasea yang berlebihan. Dermatitis seboroik dijumpai pada bayi dan pada usia setelah pubertas. Kemungkinan ada pengaruh hormon. Glandula sebasea aktif pada bayi yang baru lahir, kemudian menjadi tidak aktif selama 9-12 tahun akibat stimulasi hormon androgen dari ibu berhenti. Penelitian lain menunjukkan bahwa Pityrosporum ovale (Malassezia ovale) , jamur hipofilik, banyak jumlahnya pada penderita dermatitis seboroik. Pada orang yang telah mempunyai faktor predisposisi, timbulnya dermatitis seboroik dapat 1

Upload: nunu-almaidin

Post on 30-Nov-2015

26 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

j

TRANSCRIPT

DERMATITIS SEBOROIK

I. DEFINISI

Dermatitis seboroik merupakan suatu istilah yang digunakan untuk golongan

kelainan kulit yang didasari oleh faktor konstitusi yang predileksinya di tempat-

tempat seboroik seperti pada daerah tubuh berambut, terutama pada kulit kepala,

alis mata, dan muka, kronik, dan superficial.(1,2, 3)

Dermatitis seboroik merupakan salah satu manifestasi kulit yang terbanyak pada

pasien dengan infeksi Human Imunodefisiensi Virus (HIV) dan Acquired

Immuno-Defisiensi Syndrome (AIDS).(4)

II. ETIOLOGI

Penyebabnya belum diketahui pasti. Hanya didapati aktifitas kelenjar sebasea

yang berlebihan. Dermatitis seboroik dijumpai pada bayi dan pada usia setelah

pubertas. Kemungkinan ada pengaruh hormon. Glandula sebasea aktif pada bayi

yang baru lahir, kemudian menjadi tidak aktif selama 9-12 tahun akibat stimulasi

hormon androgen dari ibu berhenti. Penelitian lain menunjukkan bahwa

Pityrosporum ovale (Malassezia ovale), jamur hipofilik, banyak jumlahnya pada

penderita dermatitis seboroik. Pada orang yang telah mempunyai faktor

predisposisi, timbulnya dermatitis seboroik dapat disebabkan oelh faktor

kelelahan, stress emosional, infeksi atau defisiensi imun. (1,2)

III. PATOGENESIS

Pertumbuhan P. Ovale yang berlebihan dapat mengakibatkan reaksi inflamasi,

baik akibat produk metabolitnya yang masuk ke dalam epidermis, maupun karena

sel jamur itu sendiri, melalui aktivasi sel limfosit T dan sel Langerhans. Ketika

Malassezia datang dan berkontakan langsung dengan serum, akan mengaktifkan

komplemen secara langsung maupun tidak langsung dan menimpulkan gejala

inflamasi. Dermatitis seboroik dapat diakibatkan oleh proliferasi epidermis yang

meningkat seperti pada psoriasis. Hal ini dapat menerangkan mengapa terapi

dengan sitostatik dapat memperbaikinya. (1,4)

1

Dermatitis seboroik sekarang ditetapkan sebagai penanda kemungkinan infeksi

HIV awal, dan eksaserbasi dapat dilihat dengan perkembangan infeksi HIV,

mungkin karena peningkatan pertumbuhan jamur yang disebabkan oleh

imunodefisiensi. Hal ini juga membuktikan bahwa imunosupresi kulit lokal dapat

meningkatkan prevalensi dermatitis seboroik. (5)

IV. GEJALA KLINIS

Kelainan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak

kekuningan, berbatas agak kurang jelas. Dermatitis seboroik yang ringan hanya

mengenai kulit kepala berupa skuama-skuama halus, mulai sebagai bercak kecil

yang kemudian mengenai seluruh kulit kepala dengan skuama-skuama halus dan

kasar. Kelainan tersebut disebut pitiriasis sika (ketombe, dandruff). Bentuk yang

berminyak disebut pitiriasis steatoides yang dapat disertai eritema dan krusta-

krusta yang tebal. Rambut pada tempat-tempat tersebut mempunyai

kecenderungan rontok, mulai di bagian vertex dan frontal.(1)

Dermatitis seboroik yang berat dapat mengenai alis mata, kening, pangkal hidung,

sulkus nasolabialis, belakang telinga, daerah presternal, dan daerah diantara

scapula. Blefaritis ringan sering terjadi. Bila lebih berkembang lagi,lesinya dapat

mengenai daerah ketiak, inframammae, sekitar pusar (umbilicus), daerah

anogenital, lipatan gluteus, dan daerah inguinal.(2)

Gambar 1. Dermatitis seboroik yang berada di

sekitar telinga (diambil dari kepusttakaan 5)

2

Gambar 2. Dermatitis seboroik pada bayi (diambil dari kepustakaan 4)

Gambar 3. Dermatitis seboroik yang mengenai kulit kepala (diambil dari

kepustakaan 4)

HISTOPATOLOGI

Gambaran histologik dermatitis seboroik tidak spesifik, bervariasi sesuai dengan

stadium penyakit. Pada bagian epidermis, dijumpai parakeratosis dan akantosis.

Pada korium, dijumpai pembuluh darah melebar dan serbukan perivaskuler. Pada

stadium akut dan subakut, epidermis mengalami ortokeratosis, parakeratosis, dan

spongiosis. Pada tepi muara folikel rambut yang melebar dan tersumbat massa

keratin, ditemukan dundukan parakeratosis yang mengandung neutrofil.

Gambaran ini merupakan gambaran yang khas. Pada dermis bagian atas, dijumpai

sebukan ringan limfohistiosit perivaskuler. Pada yang kronis, gambarannya

hampir sama dengan gambaran pada psoriasis.(2)

3

Gambar 4. Dermatitis Seboroik. Terlihar ortokeratosis dan parakeratosis pada

epidermis. (diambil dari kepustakaan 6)

Gambar 5. Dermatitis seboroik. Terlihat fragmen leukosit polimorfnuklear dalam

keratosis di atas epidermis yang akantosis. (diambil dari kepustakaan 6)

4

V. DIAGNOSIS

Pada kasus klasik , dermatitis seboroik mudah didiagnosis, namun pada beberapa

kasus, diagnosis dermatitis seboroik susah ditegakkan, sebagian besar disebabkan

oleh kurangnya criteria diagnosis yang jelas. Gejala klinis yang khas pada

dermatitis seboroik ialah skuama yang berminyak dan kekuningan dan berlokasi

di tempat-tempat seboroik.(1,5)

Saat ini ssangat penting untuk mempertimbangkan kemungkinan infeksi HIV

pada pasien yang mengalami dermatitis seboroik berat, khususnya pada pasien

yang terlibat dalam kegiatan beresiko tinggi terkena infeksi HIV.(5)

VI. DIAGNOSIS BANDING

Psoriasis berbeda dengan dermatitis seboroik karena terdapat skuama-skuama

yang berlapis-lapis, disertai tanda tetesan lilin dan Auspitz. Tempat predileksinya

juga berbeda. Jika psoriasis mengenai scalp sukar dibedakan dengan dermatitis

seboroik. Perbedaannya adalah skuamanya lebih tebal dan putih seperti mika,

kelainan kulit juga pada perbatasan wajah dan scalp dan tempat-tempat lain sesuai

dengan tempat predileksinya. Psoriasis inversa yang mengenai daerah fleksor juga

dapat menyerupai dermatitis seboroik.(1)

Pada lipatan paha dan perianal dapat menyerupai kandidosis. Pada kandidosis

terdapat eritema berwarna merrah cerah berbatas tegas dengan satelit-satelit di

sekitarnya. Dermatitis seboroik yang menyerang saluran telinga luar mirip

otomikosis dan otitis eksterna. Pada otomikosis akan terlihat elemen jamur pada

sediaan langsung. Otitis eksterna menyebabkan tanda-tanda radang, jika akut

terdapt pus.(1)

5

Gambar 6. Psoriasis. Plak eritema berbatas tegas disertai dengan skuama putih di

permukaan ekstremitas ekstensor. (diambil dari kepustakaan 6)

VII. PENATALAKSANAAN

Secara umum, terapi ditujukan untuk menghilangkan skuama dan krusta,

menghambat kolonisasi jamur, mencegah dan mengontrol infeksi sekunder, serta

meredakan eritema dan rasa gatal. Pada pasien dewasa sebaiknya dijelaskan

bahwa penyakit ini merupakan penyakit yang kronik dan terapinya untuk

mengontrol penyakit ini, bukan untuk menyembuhan. Harus dihindari faktor

pencetus seperti stress emosional, makanan berlemak, dan sebagainya. (2,4)

Pengobatan sistemik. Kortikosteroid digunakan pada bentuk yang berat, dosis

prednisone 20-30 mg sehari. Jika telah ada perbaikan dosis diturunkan perlahan-

lahan. Kalau disertai infeksi sekunder diberi antibiotik. Isotretinoin dapat

digunakan pada kasus yang rekalsitran. Efeknya mengurangi aktivitas kelenjar

sebasea. Ukuran kelenjar tersebut dapat dikurangi sampai 90%, akibatnya terjadi

6

pengurangan produksi sebum. Dosisnya 0,1-0,3 mg per kg berat badan per hari

perbaikan tampak setelah 4 minggu. Sesudah itu diberikan dosis pemeliharaan 5-

10 mg per hari selama beberapa tahun yang ternyata efektif untuk mengontrol

penyakitnya. (1)

Pada dermatitis seboroik berat juga dapat diobati dengan narrow band UVB (TL-

01) yang cukup aman dan efektif. Setelah pemberian terapi 3 kali seminggu

selama 8 minggu sebagian besar penderita mengalami perbaikan. Bila pada

sediaan langsung terdapat terdapat P. Ovale yang banyak dapat diberikan

ketokonazole, dosis 200 mg per hari.(1)

Pengobatan topical. Digunakan sampo yang mengandung sulfur atau asam salisil

dan selenium sulfide 2%, 2-3 kali seminggu selama 5-10 menit. Atau dapat

diberikan sampo yang mengandung sulfur, asam salisil, zing pirition 1-2%.

Kemudian dapat diberikan krim untuk tempat yang tidak berambut atau losion

/gel kortikosteroid untuk daerah berambut. Kortikosteroid yang diberikan jangan

yang berpotensi tinggi, terutama untuk daerah muka. Dapat juga diberikan salap

yang mengandung asam salisil 2%, sulfur 4% dan ter 2% ketokonazol. Pada bayi

dapat diberikan asam salisil 3-5% dalam minyak mineral.(2)

VIII. PROGNOSIS

Biasanya penyakit ini akan berlangsung selama bertahun-tahun untuk beberapa

decade dengan periode perbaikan di musim hangat dan periode eksaserbasi di

musim dingin. Seperti telah dijelaskan pada sebagian kasus yang mempunyai

faktor konstitusi penyakit ini agak sukar disembuhkan, meskipun terkontrol. (1,4)

7

Daftar Pustaka

1. Juanda A. Dermatosis eritroskuamosa. Dalam Juanda A, Hamzah M,

Aisah S, Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi kelima. Cetakan pertama.

Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal: 200-202

2. Roesyanto, Irma D, Mahadi. Ekzema dan Dermatitis. Dalam Harahap,

Mawarli. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates. 2000. Hal : 14-16

3. Brown R.G., Burns T. Eksema. In : Brown R.G., Burns T. Lecture Notes

Dermatologi. Edisi kedelapan. Jakarta: Erlangga. 2005.

4. Plewig G, Jansen T. Seborrheic dermatitis. In Fitzpatrick TB, Eisen AZ,

Wolff K, Freedberg IM, Austen KF. Dermatology in general medicine.

Volume 1&2. Seventh edition. United States of America : Mc Grow Hill ;

2008 : 219-25

5. Jones, Berth J. Eczema, Lichenification, Prurigo and Erythroderma. In:

Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of

Dermatology. Volume 1. Eighth edition. : United Kingdom: Wiley

Blackwell ; 2010 : 23.29-34

6. Eider, David E. Elenitsas, Rosalie. Johnson, Bennet. Loffreda. Disorders

of the Superficial Cutaneous Reactive Unit. In: Eider, David E. Elenitsas,

Rosalie. et all. Atlas and Synopsis of Lever's Histopathology of the Skin.

2nd Edition. USA : Lippincott Williams & Wilkins. 2007. p:235-518

8