bab i pengantar -...
TRANSCRIPT
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Wayang golek merupakan salah satu khazanah kesenian
unggulan Jawa Barat yang tergolong ke dalam rumpun seni
pertunjukan teater boneka tradisi. Dalam perkembangannya, seni
pertunjukan wayang golek telah memberikan warna tersendiri
sebagai suatu realitas budaya yang dinamis. Perubahan dalam
perspektif kebudayaan merupakan sesuatu yang logis dari sebuah
bentuk proses dinamika kebudayaan yang selalu merambah
kepada berbagai aspek kehidupan, termasuk kesenian dengan
beragam fenomena perkembangannya. Kebudayaan suatu
masyarakat atau bangsa pada umumnya dapat disebut maju atau
berkembang apabila di dalamnya terdapat anasir budaya baru,
yaitu karena ada penemuan baru (invensi) atau karena ada
percampuran (akulturasi).1
Kesenian merupakan bagian dari unsur kebudayaan yang
perwujudannya sangat beragam berdasarkan jenis dan fungsinya.
Seni adalah produk masyarakat,
2
1Timbul Haryono, Seni Dalam Dimensi Bentuk, Ruang, dan Waktu
(Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra, 2009), 2. 2Arnold Hauser, The Sociology of Art, Translated by Kenneth J.Northcott
(Chicago and London: The University of Chicago Press, 1974), 94.
termasuk di dalamnya seni
pedalangan dalam hal ini adalah seni pertunjukan wayang golek.
2
Seni pertunjukan wayang golek merupakan salah satu bentuk
produk kebudayaan rakyat (folk culture) yang berkembang secara
turun temurun melalui paguron3
Eksistensi sebuah paguron dalang akan sangat nampak di
mata masyarakat, apabila paguron bersangkutan mampu
mencetak atau melahirkan lulusan siswa dalangnya hingga
menjadi dalang terkenal dan menjadi panutan di masyarakat
penggemarnya. Untuk menuju ke arah itu, maka masing-masing
paguron dalang akan berlomba menemukan ciri khasnya serta
dalang dengan bentuk dan gaya
pertunjukan yang mencirikan sebagai madzhab paguron masing-
masing.
Keberadaan paguron dianggap telah berperan besar dalam
pemeliharaan, penyebaran dan pengembangan jagat pedalangan
Sunda. Dilihat dari perspektif sistem pewarisan budaya, maka
paguron dalang merupakan wadah kegiatan yang bersifat non
formal akan tetapi mampu menyelenggarakan sebuah sistem yang
melembaga dengan kekuatan tradisinya dalam hal mencetak dan
mendidik para catrik (Jawa; cantrik) siswa dalang. Sistem dan tata
cara pembelajaran yang berlaku di paguron dalang tersebut, pada
dasarnya merupakan sebuah sistem transmisi seni pedalangan
yang bersifat tradisional.
3Paguron dalang merupakan padepokan milik seorang dalang sebagai
tempat berlangsungnya penyelenggaraan pendidikan dalang yang bersifat non formal dan berkembang secara tradisional di masyarakat tradisi pedalangan.
3
selalu berupaya menjunjung tinggi dan mempertahankan konsep
dan pencitraan terhadap kebesaran paguronnya. Munculnya ciri
khas dari masing-masing paguron tersebut, melahirkan yang
disebut gaya (style) pedalangan yang dalam tradisi pedalangan
Sunda disebut sejak padalangan4. Pengertian kata gaya tidak
hanya dapat ditafsir secara khusus, melainkan secara umum
dapat diartikan sebagaimana dipaparkan oleh Sartono Kartodirjo
bahwa konsep gaya sebagai sistem cara-cara atau pola-pola
koheren untuk melakukan sesuatu. Menurutnya, konsep gaya
semacam itu juga dapat digunakan dalam konteks seni dan
budaya. Unsur-unsur seni yang disusun secara berhubung-
hubungan dalam sebuah karya seni pada suatu wilayah budaya
dan zaman tertentu disebut sebagai sebuah gaya.5
Gaya dalam konteks pertunjukan wayang adalah cara atau
penampilan dilihat dari karakteristik seseorang pembawa atau
penyaji dalam hal ini dalang, yang kadang juga dipandang sebagai
pencipta seni, yang terbedakan dari yang lain. Gaya pribadi
menandai orangnya, merupakan sesuatu yang dipelihara
kelangsungannya dalam keberhasilannya, dan merupakan ciri
khas tersendiri yang sekaligus menjadi daya tarik bagi para
4Sejak padalangan artinya gaya pedalangan yang menjadi ciri dari
paguron dalang, seperti sejak giri harja, sejak munggul pawenang, sejak panca komara dan sejak-sejak padalangan lainnya.
5Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif (Jakarta: Gramedia, 1982), 127.
4
pengagumnya atau penggemarnya.6
Secara payung besarnya, pedalangan Jawa Barat saat ini
lebih dikenal dengan sebutan pedalangan Gaya Priangan. Namun
di samping gaya besar Priangan juga terdapat gaya-gaya di luar
Priangan (sub Priangan) yang memiliki ciri masing-masing, antara
lain gaya Cirebon, gaya Kaleran (lintas utara) meliputi : Karawang,
Subang, Purwakarta dan juga pedalangan gaya Betawi yang
berkembang di daerah Bekasi dan sekitarnya. Keberadaan
pedalangan gaya Priangan pada prinsipnya berpusat di daerah
Bandung yang banyak melahirkan dalang-dalang berbakat yang
tersebar di paguron-paguron dalang. Oleh karenanya, Bandung
(wilayah kota dan kabupaten) disebut sebagai sentra pedalangan
Sunda. Berkenaan dengan kondisi tersebut, maka munculah
istilah pedalangan gaya Bandung yang juga terbagi menjadi dua
kubu atau kelompok yaitu gaya Bandung Kidul (Bandung Selatan)
dan gaya Bandung Kaler (Bandung Utara). Kedua gaya Bandung
inilah yang hingga saat ini dapat dijadikan barometer pedalangan
Jawa Barat dengan masing-masing dapat mencirikan gaya
pertunjukannya yang khas.7
6Kasidi Hadiprayitno, Suluk Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta
(Yogyakarta: Bagaskara, 2009), 37. 7Periksa Cahya, “Pedalangan Gaya Kaler dan Kidul Serta Pengaruhnya
Terhadap Gaya Pedalangan Daerah Lainnya di Jawa Barat” (Laporan Penelitian Puslitmas STSI Bandung, 2003),17.
Gaya paguron yang kini dimiliki oleh
kedua gaya pedalangan Bandung Kidul dan Bandung Kaler
5
tersebut, pada mulanya berupa gaya perseorangan sebagai cikal
bakal pendiri paguron masing-masing. Sebagai kelanjutannya,
maka paguron-paguron tersebut dapat berkembang sejalan dengan
tuntutan zamannya. Seiring dengan perjalanannya, lambat laun
paguron tersebut dapat menghasilkan dalang-dalang yang terampil
dan mumpuni hasil dari didikannya. Para dalang lulusan paguron-
paguron tersebut mengikuti gaya guru dalangnya, dan jadilah
sebuah kekuatan gaya paguron yang menjadi ciri khas
pertunjukannya.
Saat ini paguron-paguron dalang yang dianggap masih eksis
berperan dalam keberlangsungan seni pedalangan Sunda (wayang
golek) antara lain adalah paguron dalang Panca Komara
(Karawang), Munggul Pawenang (Kota Bandung) dan Giri Harja
(Kabupaten Bandung). Ketiga paguron inilah hingga saat ini
dipandang sebagai paguron yang produktif melahirkan dalang -
dalang berkualitas sebagai generasi penerusnya masing-masing.
6
Gambar 1. Ki Tjetjep Supriadi (Dokumen Panca Komara, 2007)
Di antara ketiga paguron dalang tersebut yang tergolong
memiliki keunikan dalam gaya pertunjukannya adalah paguron
Panca Komara yang didirikan pada tahun 1968 oleh Tjetjep
Supriadi di kabupaten Karawang Jawa Barat. Panca Komara
merupakan salah satu paguron dalang yang ada di Karawang
dengan memiliki sejumlah cantrik (siswa dalang) yang digembleng
langsung oleh tangan dingin seorang Tjetjep Supriadi. Sebagai
seniman tradisi, ia dikenal memiliki semangat belajar seni yang
tinggi rajin dan ulet dalam mengasah dan melatih bakat seni yang
dimilikinya. Walau ia bukan dilahirkan sebagai putra dari seorang
dalang, tetapi semangat belajar ingin menjadi dalang begitu kuat.
7
Mulanya Tjetjep dikenal sebagai seniman juru alok (wira suara)
dalam sajian pertunjukan wayang maupun kiliningan. Berbekal
semangat dan keuletan yang tertanamkan dalam dirinya untuk
belajar mendalang, walau mengandalkan dari hasil mendengarkan
caset rekaman dan menonton langsung dari dalang-dalang
kondang, tetapi lambat laun ia dapat menjelma menjadi seorang
dalang yang populer terutama di wilayah Karawang.
Tjetjep Supriadi dikenal sebagai dalang yang memiliki gaya
tersendiri terutama dalam sajian sekaran dalang (nyanyian
dalang), gaya melantunkan kakawen, haleuang tokoh Rahwana
dan murwa. Salah satu lakon yang menjadi andalannya adalah
Nurkala Kalidasa sebuah lakon carangan yang menceritakan sosok
manusia yang berupaya mencari kepuasan atas sebuah
pertanyaan ”naon hartina perikamanusaan?” (apa artinya
perikemanusiaan?). Lakon tersebut sarat dengan ajaran moral-
spiritual yang menitikberatkan kepada pentingnya seseorang
memiliki jati diri dan prinsip hidup dengan saling menghormati,
menghargai antar sesama manusia. Hal yang dijadikan lahan
utama garap pertunjukannya adalah aspek haleuang kakawen
(Jawa;suluk), pendalaman vokabuler bahasa (ulin bahasa8
8Ulin bahasa adalah sebuah istilah yang berlaku dalam tradisi
pedalangan Sunda, seorang dalang yang mahir dan menguasai dalam bahasa maka lajim disebut ulin bahasa yang mengandung pengertian dalang tersebut sangat mahir dan menguasai bahasa dalam menyajikan gaya pertunjukannya.
) dan
8
olah dramatiknya.9 Kepiawaiannya dalam mengolah dramatik
pada adegan perang, Tjetjep mampu menutupi kelemahan pada
aspek sabet yakni dengan cara menampilkan trik perang kata-kata
atau perang argumen antara dua tokoh yang sedang berdebat.
Dengan menyuguhkan debat yang sengit antara kedua tokoh yang
sedang bertikai, akhirnya penonton larut dalam emosi tersebut
yang akhirnya terdapat salah seorang kalah dalam perang
argumen tersebut. Itulah cara mensiasati kelemahan pada garap
sabet Tjetjep Supriadi menutupinya dengan bermain dramatisasi
adegan melalui bahasa antawaca yang mumpuni. Menurutnya,
bahwa dalang itu harus pandai-pandai mensiasati adegan dan
memiliki kekuatan menafsir lakon dan mendramatisirnya.10
Gaya penampilan pertunjukan Tjetjep Supriadi
semakin dikenal oleh masyarakat pecinta wayang di tatar Sunda.
Terlebih ketika ia terpilih menjadi juara pada penyelenggaraan
Binojakrama11
9Wawancara dengan Wawan Gunawan, tanggal 26 April 2011. 10Wawancara dengan Tjetjep Supriadi, tanggal 1 Mei 2011.
11Binojakrama adalah sebuah event kegiatan semacam pasanggiri atau festival yang diselenggarakan oleh Yayasan Pedalangan dan Pepadi Jawa Barat dengan format dan sasaran kegiatan yang mengarah kepada upaya pelestarian dan sekaligus evaluasi terhadap rebah bangkitnya mutu seni pedalangan Sunda. Binojakrama diikuti oleh dalang-dalang terpilih sebagai utusan dari tiap-tiap daerah kabupaten dan kota, untuk berlomba menjadi dalang pinilih (juara) Binojakrma yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi para dalang di tatar Sunda.
Padalangan Jawa Barat pada tahun 1978. Massa
keemasan Tjetjep Supriadi berkisar antara tahun 1975-an s/d
1990-an) dan hingga kini pun ia masih mendalang walau dalam
frekuensi yang terbatas. Pada kurun waktu itulah tingkat
9
produktifitas acara pentasnya sangat padat untuk meladeni
permintaan pentas di berbagai daerah dan event kegiatan sebagai
rutinitas pentasnya. Berkat popularitas dan produktivitasnya,
maka Tjetjep telah berhasil menyelesaikan rekaman kaset
sebanyak lebih dari seratus lakon. Tjetjep Supriadi sangat akrab di
mata penggemarnya melalui lakon Nurkala Kalidasa di samping
terkenal dengan sajian haleuang dalang (kakawen dan ceurik
wayang). Kepopuleran Tjetjep Supriadi tidak hanya sebatas
didukung oleh bakat dan keterampilan mendalang yang
dimilikinya, melainkan didukung oleh keberadaan istrinya Idjah
Hadidjah yang dikenal sebagai pesinden tersohor di Jawa Barat
dengan warna suaranya yang khas. Dua sumber kekuatan inilah
yang menghantarkan daya popularitas Tjetjep Supriadi dan Idjah
Hadidjah sebagai ”pasangan ideal” (dalang dan sinden) dengan
kualitas dan gaya pertunjukan yang tidak diragukan lagi di mata
masyarakat penikmat wayang golek. Melalui kontinuitas dan
produktivitas kekaryaannya sebagai dalang handal, masyarakat
pedalangan Sunda memandangnya Tjetjep Supriadi sebagai ikon
pedalangan gaya Karawang (Gaya Kaleran).
10
Gambar 2. Ki Tjetjep Supriadi saat pentas (Foto: Cahya, 2011)
Tokoh dalang berikutnya adalah Dede Amung Sutarya yang
memiliki paguron dalang Munggul Pawenang di kota Bandung.
Dede Amung Sutarya dikenal sebagai salah seorang dalang
kondang di Jawa Barat yang memiliki gaya dan ciri khas dalam
membawakan pertunjukannya. Dede Amung memiliki grup atau
perkumpulan seni wayang golek dengan nama Munggul Pawenang
yang beralamat di Jl. Padasuka Kota Bandung.
11
Gambar 3. Ki Dede Amung Sutarya (Dokumen Munggul Pawenang, 2007)
Kiprah Dede Amung dalam dunia pedalangan sudah dimulai
sejak masa anak-anak (usia 8 tahun). Ia besar di lingkungan
keluarga seniman, pamannya seorang dalang kondang di era
1970-an yaitu Ki dalang Amung Sutarya. Ia akhirnya berhasil
menjelma sebagai dalang yang populer hingga sekarang karena
hasratnya yang bigitu kuat ingin menjadi seorang dalang. Proses
perjalanan meniti kariernya telah dilalui dengan penuh
pengorbanan sebagai bentuk keseriusan dalam perjuangan
hidupnya. Bahkan masa pendidikan yang ia lalui terpaksa kandas
hanya sampai di tingkat SD. Dede tidak bisa melanjutkan jenjang
pendidikan formalnya, dikarenakan waktu kesehariannya banyak
tercurahkan kepada dunia pedalangan yang ia geluti dengan cara
berguru langsung ke pamannya. Ia selalu mengikuti kemanapun
12
pamannya pentas wayang, maka di sana pula Dede selalu hadir
sebagai cantrik (asisten dalang) dari pangung ke panggung lainnya,
begitulah rutinitas proses belajar dalang yang Dede lalui.
Pada tahun 1976 akhirnya Dede dapat menyandang gelar
paguron dengan nama lengkap Ki Dede Amung Sutarya setelah
secara resmi ditawajuh (ritual pemberian gelar paguron) sebagai
tanda berakhirnya masa belajar mendalang dari sebuah paguron
dalang. Maka pada saat itu pula Dede Amung Sutarya mendirikan
sebuah perkumpulan atau grup wayang golek dengan nama
Munggul Pawenang yang anggotanya kebanyakan dari kerabat
keluarganya, di samping ada beberapa pangrawit (pemain
gamelan) yang dari luar kerabat.
Gambar 4. Ki Dede Amung Sutarya saat pentas (Dokumen Munggul Pawenang, 2003)
13
Nama Dede Amung Sutarya semakin dikenal oleh
masyarakat sebagai dalang muda yang kreatif dan memiliki
kualitas suara yang mumpuni terutama dengan timbre dalang
yang khas. Di samping itu ia juga memiliki kelebihan tersendiri di
antara sesama dalang, yakni mahir dalam menyajikan Kakawen
(vokal nyanyian dalang) disertai dengan daya musikalitas
(kepekaan musikal) yang kuat, sehingga banyak penonton yang
tertarik dengan sajian haleuang kakawen (nyanyian lagu
kakawen). Olah kreativitas lainnya adalah selalu berupaya
menampilkan sabet wayang yang mumpuni, baik dalam teknik
memainkan wayang sedang menari maupun teknik wayang sedang
berperang. Kepiawaian yang dimiliki oleh seorang Dede Amung
dipandang sangat mumpuni sebagai seorang dalang kondang
dengan penampilan ciri dan gaya pertunjukannya yang khas.
Selama ini gaya penyajian pertunjukan Dede Amung dikenal
sebagai dalang yang patuh terhadap pakem12
12Pakem adalah sebuah konfensi tradisi yang berlaku di lingkungan
tradisi pedalangan Sunda yang di dalamnya mengandung segala aturan, ketentuan dan lain-lainnya sebagai pedoman pedalangan Sunda.
pedalangan Sunda.
Konsistensi kekaryaan dalam menggarap pertunjukannya hingga
kini Dede Amung dipandang sebagai dalang yang masih setia
dengan pola pertunjukan yang tradisional, yang oleh dalang lain
kebanyakan sudah mengenyampingkan hal-hal yang berhubungan
dengan pakem dalam membawakan pertunjukannya. Dalang kudu
14
patuh kana pakem jeung tetekon, ngadalang ulah sakaparan-
paran.13
Beberapa lakon yang menjadi andalan Dede Amung
sekaligus menjadi daya tarik penggemarnya di antaranya adalah
lakon Bisma Gugur dan lakon Wahyu Cakraningrat. Kedua lakon
tersebut dipopulerkan oleh Dede Amung pada tahun 1980-an
ketika meraih juara Binojakrama padalangan. Pada saat itulah
Dede Amung mulai masuk dapur rekaman sebagai bentuk
penghargaan masyarakat pasar (dunia bisnis) terhadap
kepopulerannya karena pertimbangan kualitas mendalangnya. Hal
lain yang digandrungi oleh penonton terhadap sajian pertunjukan
Dede Amung adalah, haleuang lalaguan panakawan (nyanyian
lagu-lagu Cepot, Dawala, dan Gareng). Ketiga tokoh pawongan
atau punakawan tersebut selalu melantunkan lagu-lagu khusus
yang menggambarkan keceriaan suasana kerakyatan dengan
menghadirkan bentuk-bentuk lagu yang humoris, komunikatif dan
edukatif. Kondisi tersebut sangat didukung oleh bekal
keterampilan Dede Amung yang mahir dalam melantunkan
nyanyian dan menguasai titi laras (menguasai nada, irama dan
harmoni) yang dalang lain jarang memilikinya, oleh karena Dede
Amung termasuk dalang yang pandai bermain lagu atau nyanyian
13Wawancara dengan Dede Amung Sutarya, tanggal 16 Agustus 2011.
15
(ulin sora).14 Dede Amung salah seorang dalang yang memiliki
kepekaan laras yang kuat, hapal lagu-lagu dan juga memiliki
kualitas suara yang baik (alus sora).15
14Ulin sora adalah sebuah istilah yang menunjukkan seseorang mahir dan menguasai dalam hal menyajikan nyanyian lagu-lagu dengan penguasan teknik dan keterampilan menyajikan yang mumpuni.
15Wawancara dengan Pandi Upandi, tanggal 2 Mei 2011.
Pada tahun 1980 Dede Amung Sutarya dinobatkan sebagai
Dalang Terbaik Jawa Barat pada penyelenggaraan Binojakrama
Padalangan tingkat Jawa Barat. Momentum itulah yang
menjadikan Ki Dalang Dede Amung Sutarya dapat lebih dikenal
oleh masyarakat Jawa Barat, yang secara otomatis jadwal
pementasannya pun semakin bertambah padat dari bulan ke
bulannya berkeliling sesuai jadwal permintaan pentas. Permintaan
pentas tidak hanya dari kalangan masyarakat umum biasa saja
sebagai komsumsi hiburan rakyat, akan tetapi kalangan
pemerintahan pun sering memintanya untuk pentas pada acara
resmi seperti pada acara hari-hari besar, peresmian hingga ke
acara ruatan yang dilaksanakan olem PEMDA setempat. Sebuah
event internasional telah diikuti oleh Dede Amung Sutarya ketika
berangkat ke Australia untuk memenuhi undangan Festival
Wayang Internasional pada tahun 1994. Keberadaan Dede Amung
Sutarya di jagat pedalangan Sunda telah dipandang sebagai ikon
pedalangan gaya Bandung Kaler.
16
Gambar 5. Ki Asep Sunandar Sunarya (Dokumen Giri Harja 3, 2008)
Selain kedua paguron tersebut di atas yang sama-sama
dikenal oleh masayarak pedalangan Sunda, adalah keberadaan
paguron dalang Giri Harja di Kabupaten Bandung. Tokoh yang
menjadi ikon padepokan Giri Harja saat ini adalah dalang Asep
Sunandar Sunarya dengan paguron Giri Harja 3. Disebut Giri Harja
3, karena Asep Sunandar Sunarya merupakan pewaris paguron
Giri Harja yang ke 3. Adapun Giri Harja 1 adalah Abah Sunarya
(ayahanda Asep), sedangkan Giri Harja 2 adalah Ade Kosasih
Sunarya (kakanda Asep). Kehadiran sosok Asep dalam dunia
pedalangan Sunda dipandang telah banyak memberikan warna
yang cukup fenomenal dalam menyuguhkan gaya penampilan
pertujukannya. Melalui teknik dan kualitas menyajikan garap
pertunjukan wayangnya, Asep sangat populer dikenal oleh
berbagai lapisan masyarakat termasuk para kawula muda yang
17
menggemari tontonan wayang golek yang tidak hanya sekedar
sebagai hiburan saja. Setelah Asep membuat gebrakan dengan
format inovasinya, Asep berhasil menjadikan wayang sebagai
tontonan yang segar, digemari oleh semua tingkatan masyarakat
(tua, muda, dan anak), sehingga wayang golek kembali mendapat
tempat dihati penggemarnya.16
Gambar 6. Ki Asep Sunandar Sunarya saat pentas (Foto: Cahya, 2014)
Asep Sunandar dibesarkan oleh lingkungan keluarga
seniman pedalangan. Ayah Asep adalah seorang dalang legendaris
Abah Sunarya yang juga cucu dari seorang dalang bernama Ki
Juhari. Hasil buah perkawinan antara Abah Sunarya dan Tjutjun
Jubaedah, pada tgl 5 Mei 1955 lahirlah Asep Sunandar sebagai
putra ke-7 dari 12 bersaudara. Asep mulai belajar mendalang
16Wawancara dengan Dana Setia, tanggal 11 Oktober 2011.
18
pada usia 7 tahun dengan cara melihat dan mendengar langsung
dari sang ayahnya ketika sedang mendalang dari panggung satu
ke panggung lainnya.17
Waktupun berjalan secara alami, maka Asep Sunandar yang
memiliki bakat keterampilan mendalang yang mumpuni, maka
pada akhirnya Asep secara resmi diberi gelar paguron Giri Harja
melalui upacara Tawajuh
Kekuatan bakat dan hasratnya yang tinggi
untuk belajar mendalang, maka pada akhirnya Asep harus
memilih dari dua pilihan antara lanjut sekolah dengan putus
sekolah untuk konsentrasi belajar mendalang mengikuti jejak
ayahnya. Asep memilih untuk berhenti sekolah hanya sampai
kelas dua SMP, selanjutnya ia konsentrasi menekuni ilmu
pedalangan dan praktek mendalang dari sang ayah Abeng
Sunarya.
18
17Cahya, ”Asep Sunandar Tokoh dan Kreator Pedalangan Sunda” (Tesis
pada Sekolah Pasca Sarjana Program Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjahmada Yogyakarta, 2000), 19-25.
18Tawajuh adalah sebuah tradisi ritual paguron dalang yang dilakukan ketika meresmikan (melantik) seorang catrik (siswa dalang) oleh sang guru dalang sekaligus pemberian anugrah gelar paguron dengan cara menambahkan nama sang guru di belakang nama lengkap siswa dalang yang telah di Tawajuhan.
sebagai tanda berakhirnya menempuh
pendidikan dalang di sebuah paguron dalang. Mulai saat setelah
itulah Asep Sunandar mendapat gelar paguron ”Sunarya” yakni
Asep Sunandar Sunarya dengan nama perkumpulannya
(rombongan) Giri Harja 3. Dengan berbekal rasa percaya diri yang
tinggi dalam setiap akan melaksanakan pentas pertunjukannya,
19
maka Asep Sunandar Sunarya berhasil menjelma menjadi seorang
dalang yang handal dengan segala keterampilannya dalam
menyajikan pertunjukan wayang golek.
Kehadirannya di dunia pedalangan Sunda, Asep mampu
menunjukkan kepada publik dengan sikap dan pemikirannya yang
konstruktif terhadap keberlangsungan mutu seni pedalangan
Sunda. Oleh karenanya Asep dikenal sebagai dalang yang
moderat-inovatif dengan selalu haus kreativitas, progresif untuk
mencari terobosan-terobosan garap baru pertunjukan wayang
golek yang atraktif, komunikatif dan apresiatif. Asep adalah sosok
dalang yang kreatif, berjiwa terbuka dan selalu mengharapkan
kritik demi peningkatan dan pekembangan mendalangnya.19
Pada tahun 1985 Asep Sunandar Sunarya berhasil
memperoleh gelar Juara Dalang Pinilih pada pelaksanaan
Binojakrama Pedalangan tingkat provinsi Jawa Barat dan berhak
memboyong Bokor Kancana sebagai lambang supremasi tertinggi
pada dunia pedalangan Sunda. Asep Sunandar Sunarya
dipandang sebagai tokoh fenomenal dengan julukan dalang
Sebagai putra dari seorang dalang legendaris, Asep tidak merasa
cepat puas dengan bentuk dan patron yang ada, termasuk
keberadaan pakem pun, oleh Asep dijadikan sebagai sumber
inspirasi dalam berkaryanya.
19 Wawancara dengan Yoyo Risyaman, tanggal 12 Juli 2012.
20
motekar Jawa Barat yang mendunia. Masyarakat pedalangan
Sunda cukup dikagetkan dengan gaya keterampilan memainkan
wayang (sabetan) yang dapat memukau penonton, di samping gaya
banyolannya yang menggelitik. Ketika kondisi seni pedalangan
wayang golek Sunda mengalami masa keburaman berada dalam
titik transisi keterpurukan, maka munculah sosok Asep Sunandar
yang haus kreativitas. Tepatnya pada pertengahan 1985-an
melalui gagasan Dana Setia (sebagai Kepala Dinas Debdikbub Kota
Bandung saat itu) mencoba membuat upaya terobosan dengan
cara memasukkan pertunjukan wayang ke sekolah-sekolah dalam
acara Samen (ritual tahunan mengakhiri masa studi dan kenaikan
kelas) di wilayah kota Bandung.20
Upaya tersebut dilakukan sebagai cara memberikan
apresiasi seni tradisional wayang golek kepada kalangan remaja
anak sekolah di samping memberi kesempatan dan pencerahan
bagi seniman wayang golek untuk dapat mengenal dunia
pendidikan formal.
21
20Periksa Cahya, 2000, 22. 21Wawancara dengan Dana Setia, tanggal 11 Oktober 2011.
Hasilnya cukup menggembirakan, melalui
kekuatan berimprovisasi dalam bentuk keterampilan memainkan
wayang (sabetan) dan membangaun suasana yang kocak penuh
gelak tawa (ngabojeg), pertunjukan Asep di sekolah-sekolah
mendapatkan sambutan yang hangat. Mulai saat itu nama Asep
21
Sunandar Sunarya dikenal oleh publik mulai dari kalangan anak-
anak, remaja sampai kalangan orang tua, sehingga seni wayang
golek seolah bangkit kembali dengan suasana dan konsep baru
sebagai hiburan rakyat yang segar, komunikatif dan edukatif.
Kehadiran Asep Sunandar Sunarya sebagai dalang
fenomenal dengan bentuk-bentuk kreativitas kekaryaanya, telah
menjadi idola di tengah-tengah masyarakat pecinta pedalangan
Sunda. Adalah sajian banyolan (humor) malalui tokoh Cepot dan
Dawala yang mampu membuat penonton tertawa-tawa karena
ulah tingkah lelucon dari tokoh keduanya. Lebih dari itu Asep
memiliki kekuatan dalam membangun banyol pada adegan wadia
balad buta dengan menampilkan bentuk-bentuk boneka wayang
buta hasil olah kreativitasnya. Berbagai macam karakter wayang
buta, ia rancang sendiri sesuai dengan daya imajinasi dan
khayalnya hasil isnpirasi yang ia peroleh dari seputar fenomena
kehidupan sehari-hari.
Kebesaran Asep membangun warna baru pada garap
pertunjukan wayang golek di hadapan publik dengan skill dan
mental moderat (terbuka), secara otomatis membawa keharuman
panji kebesaran paguron Giri Harja padalangan Gaya Bandung
Kidul. Keberhasilan yang diperoleh dalang Asep baik secara
personal maupun bersama (mewakili gaya kidul), pada dasarnya
itu semua terjadi karena adanya faktor-faktor yang saling
22
berkaitan baik eksternal maupun internal. Sebagai fakta dari hasil
olah kreativitas yang dilakukan oleh Asep antara lain berupa
karya-karya inovatifnya dengan membuat wayang-wayang atraktif
seperti: wayang muntah mie, wayang pecah kepala, wayang lidah
menjulur, wayang calawak, dll.
Dengan menghadirkan wayang-wayang atraktif tersebut,
Asep Sunandar mampu menarik minat para pecinta wayang
khususnya kalangan generasi muda menjadi gemar menonton
wayang. Lebih dari itu, Asep ditunjang oleh bekal keterampilan
(skill) memainkan wayang (sabet) baik dalam teknik wayang
perang maupun teknik wayang menari. Begitu pula kekuatan
dalam hal garap lakon melalui daya tafsirnya, Asep mahir
mengolah alur dramatik lakon dengan cara menjiwai dan
mengekspresikan setiap tokoh wayang berdasarkan karakter dan
situasi adegan yang sedang dibangun dalam lakon bersangkutan.
Lakon yang menjadi andalan dalam menyajikan pertunjukannya
adalah Kumbakarna Gugur, sebuah lakon dari Ramayana yang
sarat dengan ajaran moral dan spiritual tinggi. Kekuatan-
kekuatan itulah yang menjadikan Asep Sunandar dapat dikenal
oleh publik sebagai dalang kondang dipandang sebagai ikon
pedalangan Bandung Gaya Kidul.
Sebagai bentuk penghargaan masyarakat terhadap
eksistensi dan kredibilitas ketiga tokoh dalang kondang tersebut,
23
maka pada tanggal 26 Desember 2010 Universitas Padjadjaran
(UNPAD) Bandung mementaskannya dalam format ”Geunjleung
Wayang ” Salalakon Tilu Dalang: Tjetjep Supriadi, Dede Amung
Sutarya, Asep Sunandar Sunarya. (Heboh Wayang: Satu lakon tiga
dalang) di gedung serbaguna Bale Sanusi UNPAD. Acara
pertunjukan akbar tersebut digelar dalam event ”Pidangan Seni
Budaya Rumawat Padjadjaran”. Momentum tersebut adalah
sebuah fakta dan realitas budaya yang menghadirkan bentuk
kearifan lokal pada sebuah tradisi seni pedalangan Sunda. Event
tersebut sekaligus merupakan saksi sejarah keberlangsungan
kehidupan seni pedalangan Sunda yang penuh dengan warna dan
kompleksitas keragaman dari masing-masing paguron dalang yang
tersebar di bumi tatar Sunda.
Gambar 7: Rektor UNPAD bersama tiga dalang kondang dalam event: Geunjleung Wayang: Salalakon Tilu Dalang
(Dokumen UNPAD,2010)
Mencermati fakta-fakta yang ada terhadap eksistensi dan
kredibilitas kekaryaan dari ketiga tokoh dalang tersebut, sejauh ini
24
peran ketiganya dipandang telah memberikan pengaruh besar
terhadap bangkitnya kehidupan seni pedalangan Sunda. Daya
magnetis dari ketiga tokoh dalang tersebut telah mampu menyihir
publik penggila wayang golek untuk tetap setia menjadikan
pertunjukan wayang golek sebagai bagian dari kehidupan dalam
perspektif sebagai menu hiburan (tontonan dan tuntunan).
Kredibilitas ketokohan dari ketiganya sudah tidak diragukan lagi
baik secara keterampilan (skill) maupun secara wawasan keilmuan
(pangaweruh) dengan berdasar kepada fakta-fakta yang ada.
Dengan demikian maka persoalan proses kekaryaan ketiga dalang
tersebut, menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji dalam
sebuah bentuk penelitian. Hal yang dianggap penting berkaitan
dengan kualitas mendalang dari ketiga tokoh dalang tersebut,
adalah persoalan penguasaan dan keterampilan teknik
menyajikan unsur-unsur pertujukan wayang (Jawa; Pakeliran)
yang disebut garap pertunjukan dengan unsur-unsur pokok
terkaitnya. Berkenaan dengan mengungkap persoalan garap
unsur-unsur pertunjukan yang menjadi bagian intergral dari
kemantapan dan keutuhan sebuah pertunjukan wayang golek,
maka aspek pengkajian difokuskan kepada lakon, sabet, kakawen,
dan antawacana. Empat unsur garap ini dipandang sebagai roh
pembentuk keutuhan dan kemantapan pertunjukan wayang golek
25
purwa Sunda dengan dalang sebagai pelaku utama dalam
pertunjukan.
Pembahasan lakon metitikberatkan kepada sumber lakon,
jenis lakon, dan struktur dramatik lakon (pola bedripan). Sabet
meliputi teknik cepengan, tanceban, dan raehan gerak ( ibingan,
perangan, lagaan, jaranan, gunungan, dan rempahan/senjata).
Kakawen (Jawa; Suluk) diarahkan kepada teknik vokal, timbre
(warna suara), senggol (ornamentasi melodis), rumpaka (syair
kakawen), dan gending atau lagu iringannya. Adapun antawacana
mengarah kepada teknik vokal, timbre (warna suara), bahasa, dan
intonasi.
B. Rumusan Masalah
Persoalan garap dalam dunia kesenian tradisi khususnya
pada lingkup seni pedalangan dan seni karawitan dipandang
sebagai sesuatu yang sudah akrab dan menyatu dengan para
seniman sebagai pelaku garap itu sendiri. Oleh karena itu
kehadiran garap dalam praktek berkesenian tradisi dianggap
sesuatu yang penting untuk dilakukan dalam upaya menuju
kemantapan penyajian pertunjukan oleh para pelaku garap. Istilah
garap dalam tradisi Sunda lebih akrab ditemukan pada sisi
kehidupan dan kebiasaan para petani tradisional yang terbiasa
dengan tradisi ”menggarap” sawah dan ladang. Artinya si petani
mengolah tanah (sawah dan ladang) dengan cara-caranya
26
tersendiri sebagai upaya meningkatkan kualitas hasil produksi
garapannya (bercocok tanam). Istilah garap dalam fenomena
kehidupan selain terdapat pada tradisi petani, juga dapat dijumpai
pada tradisi pengerjaan sesuatu barang atau bangunan. Sudah
menjadi kebiasaan bahwa sesorang yang sedang memiliki tugas
pekerjaan membuat sesuatu yang melibatkan banyak orang,
sering menyebut istilah garap. Sebagai contoh, ketika seseorang
menggarap gedung pertokoan bertingat, artinya sedang melakukan
pekerjaan dalam membangun gedung bertingkat. Dengan
menyimak ilustrasi tersebut yang berkaitan dengan bentuk
pekerjaan seseorang, maka istilah garap dalam tradisi kesenian
tidak terlepas dari sisi kehidupan manusia sehari-hari.
Berkaitan dengan penelitian ini, yakni perihal garap dalam
pertunjukan wayang golek, sebagaimana telah disebutkan di atas
bahwa aspek pengkajian terfokus kepada lokon, sabet,
antawacana, dan kakawen. Keempat unsur tersebut dijadikan
objek pokok pembahasan untuk mengungkap bagaimana ketiga
dalang: Tejtjep Supriadi, Dede Amung, dan Asep Sunandar
menggarapnya dalam gaya pertunjukannya masing-masing. Untuk
kepentingan analisis dalam membedah garap lakon, sabet,
kakawen, dan antawacana tersebut, maka dipilih lakon unggulan
dari ketiga dalang tersebut sebagai pilihan pengkajian. Tjetjep
Supriadi dengan lakon Nurkala Kalidasa, Dede Amung Sutarya
27
dengan lakon Wahyu Cakraningrat, dan Asep Sunandar Sunarya
dengan lakon Kumba Karna Gugur.
Mencermati latar belakang dan ruang lingkup yang telah
dipaparkan di bagian depan, nampak jelas perlu adanya
perumusan masalah dalam upaya memfokuskan arah dan sasaran
penelitian. Beberapa permasalahan terkait yang dianggap menarik
untuk mendapatkan pemecahan dalam penelitian ini, maka dapat
dirumuskan berupa pertanyaan penelitian sebagai berikut.
1. Mengapa kedudukan lakon, sabet, kakawen, dan
antawacana dalam garap pertunjukan wayang golek
dianggap penting?
2. Bagaimana bentuk garap lakon, sabet, kakawen, dan
antawacana yang disajikan oleh dalang Tjetep Supriadi,
Dede Amung, dan Asep Sunandar dalam mencirikan gaya
pertunjukannya?
3. Faktor-faktor apa saja yang membentuk garap lakon, sabet,
kakawen dan antawacana sajian tiga dalang tersebut,
sehingga dapat membangun kualitas estetik dalam
keutuhan dan kemantapan pertunjukannya?
Ketiga pertanyaan tersebut dengan sendirinya perlu dijawab
dan dieksplanasi dengan cara menggunakan pendekatan dan
konsep yang mencakup kerangka berpikir dan metodologi
penelitian. Kerangka berpikir digunakan sebagai pedoman bagi
28
seluruh langkah kajian, sedangkan kerangka metodologi penelitian
digunakan sebagai strategi operasional untuk memperoleh
informasi di lapangan yang akan digunakan sebagai fakta yang
layak untuk dijadikan bukti dalam penarikan kesimpulan.22
Diagram 1: Siklus keterkaitan aspek-aspek garap pertunjukan wayang golek (diagram disusun oleh Cahya)
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
• Tujuan Penelitian
Untuk lebih mempertegas sekaligus sebagai alasan
dilakukannya penelitian ini, maka perlu diperjelas dengan
mengacu kepada tujuan yang diharapkan dari penelitian ini.
Tujuan utama yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah
sebagai berikut.
22Metthew B. Miles dan A. Michael Huberman, terjemahan Tjetjep
Rohendi Rohidi, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metoda-metoda Baru (Jakarta: UI Press, 1992), 5.
ANTAWACANA
SABET
LAKON
GARAP PERTUNJUKAN
WAYANG
KAKAWEN
29
1. Ingin menjelaskan tentang kedudukan dan peranan unsur
lakon, sabet, kakawen, dan antawacana dalam pertunjukan
wayang golek purwa Sunda kaitannya dengan kepentingan
garap pertunjukan yang dijadikan sumber acuan kekaryaan
bagi seorang dalang dalam menyajikan pertunjukannya.
2. Ingin menjelaskan dan mengidentifikasi ciri-ciri bentuk
garap pertunjukan ketiga tokoh dalang tersebut dalam
menyajikan gaya pertunjukannya sebagai totalitas berkarya
pedalangan dalam aspek garap lakon, sabet, kakawen, dan
antawacana.
3. Ingin menjelaskan faktor-faktor yang membentuk garap
lakon, sabet, kakawen, dan antawacana sajian ketiga
dalang tersebut, sehingga dapat membangun ruang
penikmatan dan pemaknaan estetik dalam pertunjukan
wayang golek purwa Sunda.
• Manfaat Penelitian
Temuan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
berbagai pihak yang bergulat dalam dunia pedalangan dan/atau
pewayangan. Untuk para praktisi pedalangan, dengan terungkap-
nya berbagai hal yang berkaitan dengan garap pertunjukan
melalui unsur-unsur garap pilihannya, diharapkan dapat memacu
kreativitas dalang-dalang lainnya terutama para dalang muda
30
sebagai pewaris masa depan pedalangan Sunda. Begitu pula
untuk para pengkaji pedalangan dan/atau pewayangan,
penelitian ini diharapkan dapat memacu penelitian lebih lanjut
dengan wilayah kajian yang lebih mendasar menurut tujuan, cara
pandang dan sasaran penelitian yang bersangkutan. Melalui
penelitian ini pula diharapkan dapat menumbuhkan teori
pedalangan baru sebagai sesuatu yang paling bernilai tinggi dalam
cakrawala disiplin keilmuan pedalangan nusantara. Begitu pula
melalui penelitian ini diharapkan dapat menambah
pembendaharaan sumber referensi pedalangan khususnya
pedalangan Sunda dan umumnya pedalangan nusantara.
D. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan oleh peneliti,
bahwa kajian atau hasil penelitian tentang keberadaan dari ketiga
tokoh dalang (Tjetjep, Dede dan Asep) yang secara mendalam
mengungkap tentang peran ketiganya dalam jagat pedalaangan
Sunda belum banyak dilakukan. Terutama yang berkaitan dengan
proses kreatif dan analisis bentuk garap pertunjukan dari ketiga
tokoh tersebut belum pernah dilakukan. Untuk memberikan
gambaran orisinilitas atau keaslian penelitian dan relevansinya
dengan sumber-sumber terkait, di bawah ini tercantum referensi
sebagai berikiut.
31
“The Sundanese Wayang Golek : The Rod Puppet Theatre of
West Java”, sebuah Disertasi yang ditulis oleh Kathy Foley (1979)
membahas wayang golek Sunda sebagai sebuah bentuk seni
pertunjukan tradisional yang memiliki kekayaan nilai dan makna
yang terkandung di dalamnya. Penelitian tersebut lebih
difokuskan untuk mengangkat persoalan unsur-unsur teater
rakyat yang memiliki ciri dan keunikan tersendiri dalam sebuah
sistem tradisi yang terjadi pada paguron dalang di Sunda Jawa
Barat. Aspek-aspek pengkajiannya meliputi: wayang sebagai media
utama, dalang sebagai aktor pelaku, sinden, cantrik dan nayaga
(pengrawit) sebagai penyaji pendukung, gamelan sebagai unsur
pendukung musikal. Adapun dari sisi pembahasan dramatiknya
meliputi: struktur lakon, bentuk lakon, bahasa dan sastra
pedalangan, sedangkan aspek garapan dalang dibahas tentang
lagu dan nyanyian dalang, termasuk bentuk dialog wayang
(antawacana) dan narasi dalang. Walaupun isinya menyangkut
penjelasan unsur-unsur pertunjukan, tetapi tulisan ini tidak
mengarah kepada tiga tokoh dalang (Tjetjep, Dede, dan Asep).
Estetika Pedalangan, tulisan Soetarno, Sunardi, dan
Sudarsono (2007), membahas tentang unsur-unsur estetika
pedalangan, konsep-konsep estetika pedalangan, konsep estetik
unsur garap meliputi: konsep estetika lakon, catur, sabet dan
karawitan pakeliran. Kemudian juga dibahas konsep “rasa”
32
sebagai orientasi estetik pertunjukan wayang, mencakup
pengertian rasa, klasifikasi rasa estetik seni pertunjukan wayang,
indikator rasa estetik dalam sajian pertunjukan wayang, dan
bagian akhir membahas metode analisis estetik pertunjukan
wayang. Secara konprehensif tulisan ini sangat erat terkait dengan
aspek pengkajian dalam penelitian ini, namun tidak menyangkut
kepada bentuk dan ciri-ciri garap pertunjukan terhadap tiga
dalang.
Teater Wayang Asia, tulisan Soetarno (2010), membahas
tentang jenis-jenis wayang yang populer di kawasan Asia, yaitu
wayang China, wayang Malaysia, wayang Kamboja, wayang
Thailand dan wayang India, termasuk wayang di Timur Tengah
yaitu wayang Iran dan negara Arab lainnya: Karakoz, Legenda dan
Marionet Jepang. Begitu pula jenis-jenis wayang yang ada di
Nusantara seperti: wayang gedog, wayang golek, wayang madya,
wayang klithik, wayang sasak dan lain-lain. Buku ini juga
membahas makna, nilai, struktur lakon Palasara dan Bimacusi.
Walaupun menjelaskan tentang struktur lakon, tetapi tulisan ini
tidak menyangkut kepada bentuk garap pertunjukan kepada tiga
dalang.
Dalang di Balik Wayang, tulisan Victoria M. Clara van
Groenendael (1987) yang diindonesiakan dari disertasinya berjudul
The Dalang behind the Wayang-The Role of the Surakarta and the
33
Yogyakarta Dalang in Indonesian-Javanese Society (1985), yang
merupakan hasil penelitian pada tahun 1976–1978 memfokuskan
perhatian pada perubahan peranan dalang wayang kulit purwa di
tengah-tengah masyarakat. Mula-mula dalang berperan sebagai
guru masyarakat dengan kekuatan-kekuatan gaib yang dimiliki-
nya. Setelah munculnya keterbukaan tradisi yang ditandai
berdirinya kursus pedalangan keraton, peranan dalang berubah
menjadi abdi kerajaan dengan menyebarkan tradisi pedalangan
gaya keraton. Pada masa Orde Baru, peranan dalang berubah
menjadi abdi negara untuk menyebarkan pesan-pesan
pembangunan ekonomi dan politik. Penjelasan-penjelasan penting
yang terkait dengan proses menjadi dalang, dianggap berguna
dalam penelitian ini, namun secara keterkaitan isi, tulisan ini
tidak menyangkut kepada bentuk garap sajian tiga dalang.
Shadow of Empire: Colonial Discourse and Javanese Tales,
tulisan Laurie J. Sears (1996), berisi kajian pertunjukan wayang
kulit sebagai wahana bercerita yang dihubungkan dengan aspek
agama, upacara, ruwatan, dan estetika. Walaupun cerita wayang
purwa berasal dari India, bagi orang Jawa dianggapnya sebagai
milik sendiri. Cerita Ramayana dan Mahabharata di tangan para
sastrawan Indonesia mengalami penafsiran yang berbeda-beda
sesuai dengan ideologi zamannya: masa pengaruh India, Islam,
Barat, dan post-kolonial. Pada bagian awal dipaparkan peranan
34
Islam dalam kebudayaan Hindu-Jawa pada awal abad XIX,
selanjutnya diteliti pengaruh Belanda dalam tradisi Ramayana dan
Mahabharata. Selain itu juga dikemukakan para intelektual Jawa
yang mengambil inisiatif untuk mengombinasikan corak Jawa
dengan theosofi pada tahun 1910–1920-an. Lebih jauh dijelaskan,
bahwa tradisi wayang dikaitkan dengan penilaian estetika India,
Islam, kolonial, dan post-kolonial sampai masa kini yang banyak
dipengaruhi gagasan estetika Barat. Walaupun diantaranya
mengupas tentang estetika dan sumber lakon, tetapi tulisan ini
tidak mengkait kepada garap pertunjukan tiga dalang.
Kelir Tanpa Batas, tulisan Umar Kayam (2001), berisi kajian
tentang perubahan tatanan dunia pedalangan Jawa, meliputi
dalang, seni pertunjukan wayang, dan penonton, akibat kooptasi
Orde Baru. Disebutkan bahwa sejak tahun 1970-an, pada tataran
makro terjadi perubahan ekonomi dan kelas golongan baru yang
dibentuk Orde Baru. Dalam masa itu, para dalang larut dan
mengikuti tatanan ekonomi baru, sehingga lebih mementingkan
segi kuantitas daripada kualitas garapan pakeliran. Perubahan
pada segi pertunjukan wayang diindikasikan dengan memudarnya
pakem pedalangan, sehingga tidak ada lagi batas masing-masing
gaya pedalangan. Dalam hal estetika pedalangan, terdapat per-
ubahan unsur garap estetik pakeliran. Gejala meningkatnya
kuantitas pertunjukan wayang untuk kepentingan elite penguasa
35
maupun perhelatan masyarakat menengah ke bawah
memunculkan selera baru di kalangan penonton. Penonton
terhanyut pada bentuk pertunjukan wayang yang bersifat glamour,
gebyar, fantastis, dan hedonistik daripada nilai-nilai yang
disampaikan oleh dalang. Walaupun membahas unsur garap
pakeliran (pertunjukan wayang) dan aspek-aspek terkait lainnya,
tetapi tulisan ini tidak mengkait kepada bentuk garap pertunjukan
tiga dalang.
Dalang Negara Masyarakat: Sosiologi Dalang, tulisan
Mohamad Jazuli (2003), mengungkap variasi ideologi dalang dalam
perspektif hubungan Negara dan masyarakat. Menurut Jazuli,
pada tataran idiologis terdapat tiga varian ideologi dalang yaitu:
ideologi konservatif, ideologi progresif, dan ideologi pragmatis.
Ideologi konservatif menjadi pegangan bagi para dalang dengan
gaya pedalangan klasik yang banyak mengacu pada pakem
pedalangan. Para dalang tipe ini memiliki cara berpikir yang
masih berorientasi pada masa lampau dan bertujuan
mempertahankan status quo, yang memitoskan wayang sebagai
pertunjukan yang penuh dengan nilai tuntunan. Dalam
melakukan tugas mendalang harus bersikap netral dan berpegang
pada pancadarma dalang. Mereka ini mendapatkan sebutan
sebagai dalang idealis, dalang pakem, atau dalang klasik. Ideologi
progresif dimiliki oleh para dalang yang selalu mengikuti
36
perubahan dan inovasi dengan tetap mempertimbangkan
keklasikan pertunjukan wayang. Dalang-dalang ini berada pada
dua jalur yang seimbang, antara tontonan dan tuntunan dalam
pergelarannya. Mereka berorientasi pada masa kini dan masa
depan dengnan mengadakan pembaruan untuk memunculkan
nilai baru. Tugas dalang menyampaikan informasi secara jujur,
terbuka, bebas, bijaksana. Mereka mendapatkan julukan sebagai
dalang kontemporer. Ideologi pragmatis dipergunakan bagi
dalang-dalang yang mengejar tujuan-tujuan ekonomi dan segi
pragmatis lainnya. Ada dua varian dalang pragmatis, yaitu
pragmatis yang ambivalen dan pragmatis yang moderat. Berkaitan
dengan posisi ideologi dalang dalam hubungan setiap tipe ideologi
dalang telah berada pada posisi menurut konteks dan kepentingan
tiap-tiap dalang. Isi kandungannya banyak terkait dengan aspek
pengkajian dalam penelitian yang penulis lakukan, tetapi tidak
menyangkut kepada bentuk garap pertunjukan ketiga dalang.
Buku Filsafat Keindahan, Suluk Wayang Kulit Purwa Gaya
Yogyakarta, tulisan Kasidi Hadiprayitno (2009) mengungkap
peranan Suluk dalam konteks filsafat keindahan dan fenonema-
fenomenanya sebagai fakta muatan kefilsafatan dalam
pewayangan. Suluk merupakan bentuk nyanyian dalang yang
disajikan untuk memberi kesan mempertegas pada suasana
adegan dan tokoh teretntu. Dalam buku ini Suluk ditinjau dari
37
kaca pandang kefilsafatan dalam konteks filsafat keindahan. Di
dalamnya memuat tentang contoh-contoh suluk yang ditafsir
berdasarkan pemahaman estetik dan aspek-aspek filsafat lainnya.
Rincian pembahasannya : 1) Pengertian sulukan wayang dalam
estetika Jawa: tinjauan umum tentang hakikat sulukan wayang,
estetika Jawa sulukan wayang, bentuk dan isi sulukan wayang,
jenis dan fungsi sulukan wayang, penyajian syair sulukan wayang
kulit purwa gaya Yogyakarta. 2) Konsep estetika penciptaan
sulukan wayang; konsep estetik sulukan wayang, penciptaan
komposisi sulukan wayang, variasi sulukan, pengelompokan
sulukan, epistemologi sulukan, fenomologi sulukan., 3). Tinjauan
Umum Estetika; pengertian, tokoh filsafat keindahan, estetika
pewayangan, estetika tradisional, filsafat joged Mataram,
pengalaman seni, estetika dan gaya pedalangan, estetika tontonan
4) Estetika sulukan wayang kulit purwa gaya yogayakarta:
pengertian, estetika sulukan, estetika bunyi, estetika persajakan,
nilai keindahan dan relasi estetika. 5) Hubungan Suluk dengan
Etika, Moral dan budi pekerti: Sulukan wayang kulit sebagai
media ajaran moral, dimensi etis dan estetis, sulukan sebagai
cermin kawruh ajaran sangkan paraning dumadi dan
pembentukan budi pekerti luhur. Walaupun di dalamnya banyak
membahas aspek terkait dalam penelitian ini, tetapi tidak
mengkait kepada bentuk garap pertunjukan tiga dalang yang
38
penulis teliti.
Wayang Golek Sunda, Kajian Estetika Rupa Tokoh Golek,
tulisan Jajang Suryana (2002) merupakan sebuah buku tentang
bedah estetika rupa tokoh golek yang ditulis berdasarkan
pendekatan kajian seni rupa. Isinya berupa uraian tentang: 1)
Pengertian wayang berdasarkan beberapa pendapat ahli, asal-
muasal wayang berdasarkan bukti-bukti peninggalan sejarah
terkait, titimangsa wayang, jenis-jenis wayang, bahan golek dan
keahdirannya di bumi priangan. 2) Raut Golek Rurwa; anekan
raut golek purwa, pengertian wanda, nama-nama wanda golek
purwa, wanda pada wayang kulit,penanda raut golek purwa,
bentuk mata, bentuk hidung, bentuk mulut, warna wajah golek. 3)
Arah Kecenderungan Penggunaan Ciri pakem Raut dalam
Pembuatan Golek : gaya Cibiru dan Giri Harja, ciri pakem raut
golek, golek satria, golek ponggawa, golek bura (danawa), golek
punakawan, rumusan pakem pembuatan raut golek, aturan raut
golek satria, ponggawa, buta dan punakawan, unsur-unsur visual
golek satria, ponggawa, buta dan panakwan. Bagian terakhir diisi
oleh penutup sekaligus kesimpulan. Tulisan tentang wayang golek
yang fokus kepada kajian seni rupa ini, tidak menyangkut kepada
bentuk garap pertunjukan sajian tiga dalang (Tjetjep, Dede, dan
Asep).
Padalangan, tulisan M.A. Salmun (1961) membahas tentang
39
seluk beluk pedalangan Sunda yang meliputi: sejarah pedalangan
Sunda, kepercayaan dan anggapan, kesusanteraan, peralatan
pertunjukan, aturan mendalang, keharusan dan larangan, dalang
dan pesinden, kakawen, adat dan bakat, ukuran wayang, lakon
wayang, ngaruat, nama-nama wayang, pakeman basa. Tulisan ini
sangat berguna bagi penelitian ini, namun isinya tidak
menyangkut kepada bentuk garap pertunjukan sajian dalang
Tjetjep, Dede, dan Asep.
Wayang Golek Purwa Gaya Priangan, tulisan Atik Soepandi
(1985) membahas aspek-aspek garap pedalangan yang menjadi
tugas pokok garapan seorang dalang sebagai penyaji. Aspek-aspek
tersebut : lakon, bahasa, antawacana, amardawalagu, kakawen,
murwa, nyandra dan gending iringan. Di samping itu pula, dalam
buku ini dicontohkan beberapa murwa dan nyandra dari gaya
pedalangan konvensional yang berlaku di wilayah Priangan Jawa
Barat. Walaupun banyak membahas tentang keterkaitan unsur-
unsur pertunjukan pada wayang golek purwa Sunda, tetapi
tulisan ini tidak menyangkut kepada bentuk garap pertunjukan
Tjetjep, Dede, dan Asep.
”Asep Sunandar Sunarya: Tokoh dan Kreator Pedalangan
Sunda: Sebuah Biografi”, tulisan Cahya (2000) merupakan sebuah
tesis yang membahas tentang liku-liku proses berkesenian seorang
Asep Sunandar Sunarya dalam menjalani karirnya sebagai dalang
40
dimulai dari masa anak-anak sampai pada akhirnya dapat
menjelma sebagai dalang kondang hingga sekarang. Dalam
pembahasannya, dipaparkan berbagai aspek dan faktor-fakrot
pendukung yang menjadikan Asep Sunandar hingga menjadi
dalang kondang, antara lain dikupas tentang: latar belakang
kehidupan, sikap dan pemikiran, proses kreatif yang
dijalankannya, cara dan metoda pembelajaran selama menjadi
cantrik (siswa dalang di paguron), pengalaman spiritual yang
berkaitan dengan dunia pedalangan, sistem manajerial yang
diberlaku di sanggar Giri Harja 3, prinsip dan filsafat hidup yang
dianutnya, ide dan gagasan berkarya, sejumnlah hasil oleh
kreatifnya yang inovatif dan produktif, respons masyarakat
tentang gaya pertunjukannya, penghargaan yang telah diraihnya,
catatan kisah perjalanan pentas dari dalam negeri hingga keliling
dunia, dan penjelasan-penjelasan lainnya. Walaupun terkait
langsung dengan objek pengkajian pada tulisan ini, tetapi tidak
membahas secara detail menyangkut garap lakon, sabet,
kakawen, dan antawacana terlebih yang berkaitan dengan garap
pertunjukan Dede dan Asep dalam tulisan ini tidak tercamtum.
”Gaya Mendalang Murid-Murid Asep Sunandar Sunarya:
Studi Fenomenologi Komunikasi Dalang Wayang Golek Purwa”
tulisan Athur (2013). Sebuah Disertasi yang di dalamnya
mengupas tentang pernak-pernik berkesenian Asep Sunandar
41
sebagai dalang kondang dengan murid-murid paguron Giri Harja 3
sebagai objek kajian. Sebagai sebuah studi komunikasi estetik
yang menyoroti peran seorang dalang selaku komunikator, tulisan
ini lebih fokus membahas kepada aspek-aspek komunikasi yang
terkait dengan pertunjukan wayang golek. Walaupun terkait
dengan Asep Sunandar sebagai objek kajian, tetapi tulisan ini
tidak menyangkut empat unsur garap pertunjukan secara detail.
Dengan mencermati sumber-sumber pustaka di atas, dapat
disimpulkan bahwa tidak ada satupun yang membahas tentang
kajian empat unsur garap pertunjukan (lakon, sabet, kakawen,
dan antawacana) sajian ketiga dalang kondang tersebut. Dengan
demikian penelitian ini menunjukan masih orsinil belum ada yang
pernah melakukannya.
E. Landasan Teori
Pada dasarnya sebuah seni pertunjukan merupakan sebuah
peristiwa diskursif yang kompleks, yang merupakan jalinan dari
beberapa elemen-elemen ekspresif yang diorganisasi menjadi
sebuah entitas.23
23Marco De Marinis, The Semiotics of Performance. Terj. Aine O’Healy
(Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press, 1993),1-2; Seperti dikutip oleh RM. Soedarsono, (Bandung: Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, 2001), 69.
Cara pandang yang digunakan untuk memotret
sejumlah permasalahan terkait dalam penelitian ini, adalah
menggunakan paradigma tekstual dan kontekstual. Paradigma
tekstual memandang sebuah karya seni sebagai sebuah teks yang
42
dapat dibaca, diberi makna, ataupun dideskripsikan strukturnya.
Adapun paradigma kontekstual memandang sebuah karya seni
berada di tengah konstelasi sejumlah elemen, bagian, atau
fenomena yang berhubungan dengan fenomena tersebut.24
Pendekatan utama yang digunakan adalah pendekatan
estetika pertunjukan wayang dalam hal ini mengacu kepada
konsep-konsep yang ditawarkan oleh Marco de Marinis.
Sebagaimana kita ketahui bahwa seni pertunjukan wayang golek
purwa adalah sebagai bentuk seni pertunjukan rakyat, tidak
terlepas dari tiga aspek pokok, yaitu (1) seniman pengkarya atau
penyajinya, dalam hal ini adalah dalang dan segenap
pendukungnya (pengrawit, pesindhèn, dan wiraswara): (2) karya
seni yang disajikannya dengan unsur-unsur penggarapannya dan
(3) masyarakat pengguna dan atau penikmat (publik). Dengan
demikian, untuk menjawab berbagai persoalan yang berkaitan
Oleh
karena itu dalam pengkajiannya diperlukan pendekatan multi-
disiplin dengan cara meminjam pendekatan disiplin terkait yang
dipandang dapat memperkaya dan mempertajam proses
pengerjaan analisis materi pengkajian.
24R.M. Soedarsono, 1999, 69.
43
dengan garap pertunjukan wayang golek purwa, diperlukan
analisis tekstual dengan pendekatan multidisiplin.25
Melengkapi pendekatan estetika pertunjukan wayang
kaitannya dengan persoalan garap pertunjukan wayang sebagai
objek utama pengkajian, maka diperlukan konsep rasa estetik
yang akan bersentuhan dengan peran dalang sebagai pelaku garap
pertunjukan dalam membangun rasa estetik pertunjukannya.
Berkaitan dengan hal tersebut, untuk melengkapinya meminjam
konsep rasa estetik pertujukan wayang kulit purwa yang dibahas
oleh Nojowirongko dalam pakem pedalangan keraton.
Nojowirongko menyatakan bahwa pertunjukan wayang kulit dapat
dikatakan memiliki derajat estetik jika mengandung konsep:
(1)regu, artinya: suasana pada saat jejer [sore hari] dapat berkesan
agung, berwibawa; (2) greget, artinya: adegan dalam suasana
tegang atau seram dapat berkesan seolah-olah peristiwa nyata
sehingga menggetarkan jiwa penikmatnya; (3) sem, artinya:
menghanyutkan; adegan percintaan atau yang bernuansa asmara
dapat menyentuh rasa asmara; (4) nges, artinya: adegan
bersuasana sedih dapat menimbulkan perasaan iba; (5) unggah
ungguh, artinya: dalang dalam mengungkapkan bahasa, dialog,
genealogi, menancapkan wayang, menggerakkan wayang,
25Marco De Marinis, The Semiotics of Performance. Terj. Aine O’Healy (Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press, 1993),1-9.
44
menyajikan adegan perang, dan sebagainya selalu
mempertimbangkan etika; (6) renggep, artinya: dalang dalam
menyajikan pertunjukan wayang harus selalu bersemangat,
pantang menyerah atau tidak kendur; (7) antawecana, artinya:
dalang dalam menyajikan narasi harus sesuai dengan melodi
gending [rasa pathet] yang mengiringi, dalam menyajikan
dialog/monolog wayang harus sesuai dengan bentuk dan roman
muka wayangnya; (8) cucut, artinya: dalang harus mampu
membangkitkan rasa humor/lucu bagi penonton; (9) tutug,
artinya: dalang di dalam menyajikan wacana pakeliran harus
mudah ditangkap maknanya, pola pikirnya harus urut/sistematis,
dan artikulasinya harus jelas; dan (10) trampil, artinya: dalang
harus menguasai seluruh teknik pakeliran; sabêtnya terampil dan
sesuai dengan bentuk wayang; narasi dan percakapannya sesuai
dengan suasana adegan; gending, sulukan, dhodhogan, dan
keprakan mendukung suasana adegan; ilmu pengetahuan yang
disampaikan relevan dengan lakon, tokoh wayang, dan suasana
adegan serta mudah dipahami oleh penonton; dapat
mempersingkat ataupun menambah durasi pertunjukan.26
Konsep rasa esetik yang dikemukakan oleh Nojowirongko
yang notabene sebagai konsep estetika pertunjukan wayang kulit
26Nojowirongko, Serat Tuntunan Pedalangan Tjaking Pakeliran Lampahan
Irawan Rabi (Yogyakarta: Tjabang Bagian Bahasa Jogjakarta Djawatan Kebudajaan Departemen P.P dan K, 1960), 57.
45
tersebut, selanjutnya akan diadaptasi kembali dengan konsep
dramaturgi pedalangan Sunda yaitu konsep dua belas tetekon dan
panca curiga. Konsep dua belas tetekon padalangan Sunda yaitu:
antawacana, renggep, enges, tutug, banyol, sabet, kawiradya,
paramakawi, amardibasa, paramasastra, awicarita, dan
amardawalagu. 27 Konsep panca puriga meliputi; silib, sindir,
simbul, siloka, dan sasmita.28
“Sebuah alur dalam wayang dibangun atas tiga unit dasar. Pertama, pembagian babak yang terdiri dari tiga pathet (nem, sanga dan manyuro). Kedua, pembagian adegan dasar, yaitu (1) jejer; (2) adegan; dan (3) perang. Ketiga, pembagian komponen dasar yaitu gambaran tentang situasi, dialog, dan tindakan”.
Kedua konsep dramaturgi inilah
yang dijadikan landasan analisis unsur garap pertunjukan wayang
golek Sunda (lakon, sabet, antawacana, dan kakawen).
Untuk membahas tentang bentuk struktur garap
pertunjukan berdasarkan pertimbangan lakon yang disajikan oleh
masing-masing dalang tersebut, maka digunakan konsep Becker
tentang struktur dramatik yang menjelaskan bahwa:
29
Konsep tersebut akan dipertegas kembali oleh konsep Pola
Pengadegan pada pertunjukan wayang golek yang dibahas oleh
Saini KM, bahwa struktur pertunjukan wayang golek sebagai
27M.A. Salmun, Padalangan (Jakarta: Balai Pustaka, 1961), 188-200. 28Hidayat Suryalaga, Kasundaan Rawayanjati (Bandung: SundaNet.com-
Wahana Raksa Sunda, 2003), 54. 29AL. Becker, “Text-Building, Epistemology and Aesthetics in Javanese
Shadow Theatre” dalam The Imagination of Reality Essays in Southeast Asian Coherence Systems (New Jersey: Ablex Publishing Corporation Norwood, 1979), 211-243.
46
bentuk teater tradisional berorientasi kepada siklus tempat yaitu:
karaton-luar keraton dan keraton, atau berdasar kepada siklus
keadaan yaitu harmoni-disharmoni-harmoni.30 Keraton adalah
sebuah ruang yang dianalogikan sebagai lambang kemakmuaran,
keagungan dan keharmonisan, luar keraton adalah sebuah simbol
ketidak teraturan (disharmoni) dengan penuh konflik atau
peristiwa. Pola global inilah yang menjadi ide dasar struktur lakon
dalam wayang golek. Konsep lain yang dipergunakan dalam
pembahasan yang berkaitan dengan struktur pertunjukan, adalah
konsep struktur lakon sebagaimana dijelaskan oleh Soetarno
dalam bukunya yang berjudul Teater Wayang Asia (2010) bahwa
unsur-unsur struktur lakon adalah (1) Tema dan amanat, (2) Alur
(plot), (3) Penokohan (perwatakan) dan (4) Latar (setting).31
Adapun untuk membahas bentuk garap pertunjukan pada
aspek kakawen yang dilakukan oleh ketiga tokoh dalang tersebut,
maka digunakan konsep-konsep karawitan Sunda yang menjadi
landasan musikalitas bagi seorang dalang. Konsep-konsep
tersebut adalah: laras, patet, surupan, embat dan wirahma.
Selanjutnya seorang dalang, dalam menyajikan kakawen harus
menggunakan teknik melantunkan (menyuarakan) dengan baik,
dan teknik-teknik tersebut adalah (1) santek, (2) embat, dan (3) eur-
30Saini KM., Teater Modern Indonesia dan Beberapa Masalahnya
(Bandung: ITB Press,1988),16. 31Soetarno, Teater Wayang Asia (Solo: ISI Press, 2010), 213.
47
eur.32
Kreativitas adalah akibat dari motivasi aktualisasi diri sebab individu-individu kreatif berciri khas dengan kebutuhan mereka untuk mengaitkan diri dengan alam di sekitar mereka. Mengaktualisasikan diri berarti mengaktualkan potensi-potensi pribadi pada suatu kerja konkret.
Menyajikan kakawen tidak cukup dengan penguasaan
teknik dan penjiwaan (ekspresi), tetapi harus didukung oleh faktor
kualitas dan warna suara (timbre) dalang yang memadai.
Selanjutnya untuk membahas atas pertanyaan mengenai
mengapa ketiga tokoh dalang tersebut melakukan garap
pertunjukan dan apa motivasinya? maka akan dipinjam konsep
Maslow tentang kreativitas seperti yang dikutip oleh Irma
Damayanti, adalah sebagai berikut.
33
“There are also a set of interpersonal and socially oriented personality traits that are relevant to artistic creativity, one of which is rebellion, or nonconformity. Artists, perhaps more than almost any other members of society, tend to question and rebel against established norms. Some may even argue, questioning, challenging, and pushing the limits of what is
Masih berkenaan dengan konsep kreativitas yang kaitannya
dengan faktor personal sebagai seniman dalang, maka digunakan
konsep perihal kepribadian dalam kreativitas seniman yang dapat
melihat sifat dan karakteristik kekaryaan seorang seniman dalang,
sebagaimana dipaparkan oleh Gregory J.Feist dalam Handbook of
Creativity sebagai berikut.
32 Wawancara dengan Dede Amung Sutarya, tanggl 7 April 2011.
33Periksa Irma Damajanti, Psikologi Seni (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2006), 86.
48
acceptable, that may be the defining traits of being an artist in modern society.”34
Konsep lainnya yang dipergunakan dalam rangka
mengungkap proses garap pertunjukan yang dilakukan ketiga
tokoh dalang tersebut (Tjetjep, Dede dan Asep) adalah konsep
proses kreatif dari seorang dalang. Mengungkap kreativitas dari
ketiga tokoh dalang tersebut berarti membahas seluk beluk dan
tahapan-tahapan kegiatan yang dilalui oleh ketiganya melalui
cara-caranya tersendiri, dan itu yang disebut proses kreatif.
35
Begitu pula Jakob Sumardjo menjelaskan bahwa, pada dasarnya
hakekat kreativitas adalah menemukan sesuatu yang baru atau
hubungan-hubungan baru dari sesuatu yang telah ada. Manusia
menciptakan sesuatu bukan dari kekosongan, tetapi dari sesuatu
yang telah ada sebelumnya. Setiap seniman menjadi kreatif dan
besar karena bertolak dari bahan yang telah tercipta sebelumnya
yakni tradisi yang hidup dalam suatu masyarakat.36
34 Gregory J. Feist, “The Influence of Personality on Artistic and Scientific
Creativity” dalam Robert J.Sternberg, (ed), Handbook of Creativity (Cambridge, University Press, 1999), 248.
35Saini K.M., Taksonomi Seni (Bandung: STSI Press, 2001), 21. 36Jakob Sumardjo, Filsafat Seni (Bandung: Institut Teknologi Bandung,
2000), 84.
Terkait dengan masalah kreativitas, Dedi Supriadi
mengartikan kreativitas sebagai kemampuan seseorang untuk
melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun
karya nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada
49
sebelumnya. Dalam hal ini Wallas seperti yang dikutip oleh Dedi
Soepriadi menjelaskan bahwa proses kreatif melalui empat tahap:
persiapan, inkubasi, iluminasi dan verifikasi.37 Adapun Rhodes
dalam bukunya An Analysis of Creativity membagi dimensi
kreativitas menjadi empat elemen “the Four P’s of Creativity.”
Keempat elemen tersebut adalah pribadi (person), proses (process),
dorongan (press), dan produk (product).38
37Dedi Supriadi, Kreativitas, Kebudayaan & Perkembangan Iptek.
(Bandung: Afabeta 2001), 52-54. 38M. Rhodes, An Analysis of Creativity (Phi Delta Kappan, 1961); seperti
yang dikutip oleh Dedi Supriadi, Kreativitas, 2001, 7.
Dimensi-dimensi
tersebut memiliki hubungan yang erat saling berhubungan yang
mungkin tidak bisa dipisahkan dalam proses kreatif, termasuk
yang dilakuakn oleh ketiga tokoh dalang tersebut sebagai seniman
penggarap. Konsep-konsep tersebut akan dapat membantu dalam
upaya mengungkap cara dan tahapan yang dilakukan oleh ketiga
dalang tersebut dalam menggarap aspek-aspek pertunjukan
wayang melalui daya interpretasi dan sensibilitas musikal yang
dimilikinya.
Untuk membedah permasalahan garap dalam penyajian
pertunjukan wayang golek, maka konsep garap yang ditawarkan
oleh Rahayu Supanggah dianggap relevan untuk dijadikan pisau
bedah pengkajian masalah garap pertunjukan yang dilakukan oleh
Tjetjep Supriadi, Dede Amung dan Asep Sunandar.
50
Kata garap39 dalam dunia seni pertunjukan tradisi, diartikan
sebagai sebuah sistem atau rangkaian kerja kreatif seorang atau
kelompok dalam menyajikan keterampilannya untuk dapat
menghasilkan wujud penampilan dan kualitas tertentu dalam
sajian kekaryaanya. Dalam dunia pedalangan, garap sering
disebut dengan istilah sanggit.40
39Rahayu Supanggah, Bothekan Karawitan II: GARAP (Surakarta: Prog.
Pasca Sarjana ISI Surakarta 2009), 3-4, 204. 40Rahayu Supanggah, 2009, 4.
Konsep garap pada konteks ini
akan lebih diperjelas lagi dengan memahami piranti atau parabot
garap (vokabuler garap) yang menyatu pada keadaan jiwa,
pengalaman estetis pelaku garap (senimannya) bersifat imajiner
yang berada dalam benak seniman itu sendiri termasuk ide,
gagasan untuk menggarap sesuatu kekaryaanya. Terkait dengan
permasalahan garap dalam kekaryaan seni pedalangan, maka
terdapat tiga elemen sebagai pembentuk terjadinya proses garap
yang dilakukan oleh seorang seniman yaitu: (1) pelaku garap yaitu
dalang dengan latar belakang kesenimanannya, (2) unsur garap
yaitu aspek-aspek pertunjukan wayang golek: lakon, kakawen,
sabet, bahasa dan iringan, (3) pertimbangan garap meliputi faktor
internal dan eksternal yang berperan mempengaruhi
berlangsungnya proses garap oleh seorang seniman. Ketiga elemen
tersebut saling terkait, saling berinteraksi dan saling
51
mendukung.41
Dalam hal membedah aspek musikal yang terdapat dalam
kakawen, maka meminjam konsep dan pendekatan cara kerja
etnomusikologi dengan mengurai struktur melodi pada kakawen
yaitu melodi, frase dan periode kalimat lagu.
Mengapa ketiga tokoh dalang tersebut melakukan pola
penggubahan terhadap garap pertunjukan dengan pertimbangan
unsur garap pertunjukan masing-masing pilihannya? Dalam
konteks ini dianalisis dengan meminjam teori perubahan Alvin
Boskoff yang menyatakan bahwa terjadinya perubahan dapat
disebabkan oleh dua faktor, yakni faktor eksternal dan faktor
internal. Faktor eksternal adalah sebuah perubahan terjadi
karena adanya kontak antarbudaya yang menjanjikan harapan-
harapan lebih menguntungkan, sedangkan faktor internal adalah
terjadinya suatu perubahan disebabkan adanya perubahan yang
terdapat dalam masyarakat itu sendiri sebagai akibat kesadaran
individu akan kekurangan-kekurangan di sekelilingnya serta
perasaan tidak puas terhadap keadaan yang ada.42
41Sugeng Nugroho, ”Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Gelar Safari
Dalang” dalam Timbul Haryono, Seni Dalam Dimensi Bentuk, Ruang dan Waktu (Yogyakarta: Wedatama Widya Sastra, 2009),19. 42Alvin Boskoff, “Recent Theories of Social Change” dalam Ed. Warner J. Cahnman & Alvin Boskoff, Sociology and History: Theory and Research. (London: The Free Press of Glencoe, 1964).143-147
52
Diagram 2: Skema analisis studi kasus garap pertunjukan wayang sajian tiga dalang (diagram disusun oleh Cahya)
Soetarno dalam bukunya berjudul Pertunjukan Wayang &
Makna Simbolisme, membagi dalang menjadi empat kategori, yaitu:
(1) dhalang apik; (2) dhalang wasis; (3) dhalang pinter; dan (4)
dhalang sabet. Dhalang apik maksudnya lebih memperhatikan
kaidah-kaidah dan nilai estetis (Ki Pujosumarto). Dhalang wasis
maksudnya lebih mengutamakan dramatikal dan garap karakter
(Ki Wignyosutarno dan Ki Nartasabdo). Dhalang pinter maksudnya
lebih sangat intens menyampaikan pesan moral, spiritual dan
BENTUK PERTUNJUKAN WAYANG SAJIAN TIGA
DALANG: TJETJEP, DEDE, ASEP
GENETIK, OBJEKTIF, AFEKTIF
WAWASAN dan KEPEKAAN ESTETIK
TEKNIK dan EKSPRESI GARAP
PARABOT GARAP
NYARI Puncak akumulasi
ekspresi estetik
ESTETIKA PERTUNJUKAN
WAYANG GOLEK SUNDA
KONSEP 12 TETEKON
KONSEP PANCA CURIGA
(PANCA “S”)
KONSEP GARAP
UNSUR GARAP PERTUNJUKAN WAYANG:
LAKON,SABET, ANTAWACANA, KAKAWEN
53
kritik sosial (Ki Tikna Sudarsa) Dhalang sabet maksudnya lebih
menonjolkan pada kemampuan sabet (Ki Manteb Soedarsono).43
Untuk mengungkap sistem pewarisan paguron dalang dari
ketiga tokoh dalang tersebut, digunakan sebuah terminologi
sistem pewarisan budaya yang berlaku di lingkungan tradisi
pedalangan Sunda. Terdapat tiga kelompok pewarisan dalang
yaitu: (1) Dalang Turunan, (2) Dalang Katurunan dan (3) Dalang
Tuturunan.
44
Terkait dengan bentuk sistem pewarisan dalam tradisi
pedalangan Sunda tersebut, dalam upaya mendeskripsikan cara-
cara dan kecenderungan memperoleh ilmu mendalangnya, maka
Dalang Turunan adalah sesorang yang menjadi
dalang dikarenakan memiliki darah keluarga keturunan dalang
(bapak, kakek atau buyutnya). Dalang Katurunan adalah
seseorang yang menjadi dalang dengan cara berguru langsung
kepada paguron dalang (guru dalang) secara resmi, walaupun
dalang tersebut tidak memiliki darah keluarga keturunan dalang.
Sedangkan Dalang Tuturunan adalag sesorang menjadi dalang
dengan tidak berguru kepada siapapun (paguron dalang maupun
personal guru dalang) serta dalang tersebut tidak memiliki darah
keluarga keturunan dalang.
43Soetarno, Pertunjukan Wayang & Makna Simbolisme (Surakarta: STSI
Press, 2005), 2-3. 44Periksa Cahya, 2000, 12.
54
dipinjam konsep perilaku manusia sebagaimana diungkapkan oleh
Desmond Morris, sebagai berikut.
“ As a species we are strongly imitative and it is impossible for a healthy individual to grow up and live in a community without becoming infected with its typical action-patterns.” 45
Dalam upaya memperoleh sumber berupa data-data yang
kredibel serta relevan dengan permasalahan yang akan diteliti,
maka diperlukan sebuah metode penelitian sebagai piranti
membedah dan mengungkap dari berbagai permasalahan terkait.
Penelitian ini adalah bersifat kualitatif, dengan demikian dasar
yang dipakai untuk analisisnya adalah data, kehadiran data harus
ditempatkan sebagai sebuah totalitas.
F. Metode Penelitian
46
45Desmond Morris, Manwatching; A Field Guide to Human Behavior (New
York: Harry N. Abrams, Inc. Publisher, 1977), 18. 46Mengacu pendapat RM. Soedarsono dalam Metodologi Penenlitian Seni
Pertunjukan dan Seni Rupa (Bandung: MSPI,1999),34; yang mengutip pendapat dari Pertti Alasuutari dalam bukunya Reserching Culture: Qualitative Method and Culural studies (Landon: Sage Publication,1999) 8-12.
Sebagai sebuah bentuk penelitian kualitatif, maka data-
data yang diperlukan dari berbagai sumber itu pun adalah
berbentuk data kualitatif. Salah satu sifat dari data kualitatif
adalah bahwa data itu merupakan data yang memiliki kandungan
yang kaya, yang multi-dimensional, dan kompleks. Sebuah data
kualitatif ibarat sebuah ‘teka-teki’ atau sebuah ‘misteri’. Dalam
menebak teka-teki itu selalu harus mengarah untuk menjawab
pertanyaan ‘mengapa’, dan bukan sekedar menjawab pertanyaan
55
’apa’.47
Salah satu yang dapat mencirikan dari bentuk penelitian
kulaitatif ini adalah mengedapankan bentuk pertanyaan ‘mengapa’
kemudian dieksplanasi dengan secermat mungkin dalam upaya
menuju pada hasil penelitian yang berkualitas. Kekuatan
menafsir, memahami, menginterpretasi, dan menganalisis juga
merupakan menu utama dalam penelitian kualitatif sehingga
metodologinyapun berbentuk deskriptif analisis.
Penelitian ini tidak hanya cukup menggunakan satu
pendekatan disiplin terkait saja, maka dengan demikian
diperlukan pendekatan multidisiplin sebagai pisau bedah alat
bantu untuk mengungkap permasalahan-permasalahan terkait.
Beberapa disiplin ilmu yang terkait erat hubungannya dengan
topik penelitian ini, antara lain disiplin sejarah, etnomusikologi,
estetika, psikologi dan sosiologi. Kelima disiplin inilah diharapkan
dapat membantu dalam mengungkap sejumlah permaslahan yang
dianggap kredibel dalam menjawab butir-butir pertanyaan
rumusan masalah.
Rancang bangun dasar penelitian yang akan dilakukan ini,
pada dasarnya terbagi menjadi tiga langkah kerja yang sudah
direncanakan adalah sebagai berikut.
47 Soedarsono,1999,46.
56
1. Lokasi dan Objek Primer Penelitian.
Seperti telah dipaparkan pada latar belakang masalah,
bahwa yang menjadi tempat atau lokasi penelitian ini yaitu
Bandung dan sekitarnya (kota dan kabupaten) sebagai barometer
kekuatan pedalangan Sunda dengan berbagai fenomenologinya.
Bandung sebagai cikal bakalnya lahirnya seni pertunjukan wayang
golek di Jawa Barat (tatar Pasundan), maka tidak mengherankan
Bandung telah memunculkan sejumlah dalang maestro yang
dikenal oleh masyarakat khalayak luas. Dalang-dalang kondang
dengan kemaestroannya tersebut, masing-masing memiliki gaya
(style) pertunjukan yang mencirikannya.
Oleh karena itu atas dasar pertimbangan dari berbagai
sudut pandang, maka pemilihan tiga tokoh dalang (Tjetjep, Dede
dan Asep) sebagai objek utama pengkajian sebagai sesuatu yang
representatif baik secara kualitas kesenimanannya maupun
ketokohannya di jagat pedalangan Sunda. Penelitian ini mengarah
pada objek atau tokoh seniman dalang, namun penelitian ini
bukan dalam format biografi, walaupun di dalamnya akan muncul
pembahasan aspek biografi sebagai bagian dari pemaparan dan
pendeskrifsian ketokohannya.
2. Sistem dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini pada prinsipnya mengacu pada tiga bentuk
sumber data primer yang dijadikan sumber rujukan (referensi).
57
Pertama adalah sumber tulisan berupa buku-buku terkait
(langsung dan tidak langsung), manuskrip, artikel, makalah, dan
bentuk tulisan lainnya. Sumber-sumber tersebut dilakukan
dengan cara studi pustaka. Sumber kedua adalah berbentuk lisan
yang berupa hasil wawancara dengan beragam sumber terpilih
dan teruji berdasarkan kategorisasi yang telah ditentukan.
Sumber wawancara ini dapat terbagi menjadi wawancara langsung
dan tak langsung. Wawancara langsung dengan menggunakan
teknik berdialog langsung dengan nara sumber pokok dan sumber
pendukung. Untuk sumber pendukung diklasifikasikan kepada
sumber primer dan sekunder. Adapun bentuk sumber yang ketiga
adalah berupa benda atau artefak terkait. Benda tersebut lebih
tertuju pada dokumentasi kekaryaanya seperti rekaman kaset
audio, CD, VCD dan bentuk-bentuk dokumen lainnya.
Untuk memperkaya dan mempertajam pengumpulan data-
data yang diperlukan, maka penelitian ini akan menggunakan
teknik atau cara participant observer. Keterlibatan peneliti sangat
membantu dalam hal mengorek data-data penting dalam
kepentingan analisis dan interpretasi. Sehubungan dengan
kedudukannya peneliti sebagai participant observer, maka perlu
sekali langkah antisipasi untuk menghindar dari subyektivitas
yaitu dengan cara membuat jarak sebagai kontrol dengan
mengedepankan azas kejujuran ilmiah dalam oprasional
58
penelitian. Langkah dan cara-cara lainnya pun tentunya akan
selalu ditempuh dalam rangka mengungkap data-data penting,
termasuk ke hal-hal yang privasi sekalipun bila memungkinkan
dan diperlukan sepanjang tidak melanggar norma dan etika ilmiah
penelitian.
3. Analisis Data
Memasuki pada tataran analisis data, maka langkah -
langkah yang harus segera dilakukan adalah mengolah dan
mengklasifikasi dan menilai data yang sudah terkumpul secermat
mungkin untuk memperoleh hasil analisis yang maksimal. Pada
akhirnya akan muncul kelompok-kelompok data berdasarkan
tingkatannya, seperti kelompok data pokok dan kelompok data
pendukung atau pembanding. Data-data tersebut diperoleh hasil
dari upaya melakukan studi pustaka, pengamatan, dan wawan-
cara. Ketiga cara ini diharapkan dapat saling mendukung dan
melengkapi data-data yang diperlukan dalam penelitian.
Dalam melakukan penganalisisan data yang berasal dari
dokumen kekaryaannya (kaset radio tape recorder, CD,VCD-DVD),
itu semua akan diklasifikasi berdasarkan dokumen rekaman
urutan tahun produksi. Adapun untuk mengungkap garap
kekinian (garap yang paling mutakhir) yang disajikan oleh ketiga
tokoh dalang tersebut, yaitu melalui data video rekaman dari
59
pertunjukan langsung yang dianggap terbaru (dokumen terkini)
sesuai dengan kurun waktu masa penelitian.
G. Sistematika Penulisan
Bab I Pengantar meliputi latar belakang, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Gambaran Umum Wayang Golek Sunda, meliputi: sekilas
awal munculnya wayang golek di Sunda, unsur-unsur estetika
pertunjukan wayang, dan aspek-aspek wilayah garap dalang.
Bab III Nyari dan Unsur-unsur Pembentuknya dalam Estetika
Pedalangan Sunda, meliputi: konsep nyari dalam estetika
pedalangan Sunda, unsur-unsur pembentuk nyari dalam
pertunjukan wayang, norma-norma pedalangan Sunda: konsep
dua belas tetekon padalangan Sunda dan panca curiga.
Bab IV Struktur dan Ciri-ciri Garap pertunjukan Tjetjep Supriadi,
Dede Amung, dan Asep Sunandar Sunarya, meliputi: struktur
pertunjukan wayang golek, pola bedripan lakon Nurkala Kalidasa
sajian Tjetjep Supriadi, pola bedripan lakon Wahyu Cakraningrat
sajian Dede Amung Sutarya, pola bedripan lakon Kumbakarna
Gugur sajian asep sunandar sunarya.
Bab V Faktor-Faktor Pembentuk Ekspresi Garap Pertunjukan
Sajian Tjetjep Supriadi, Dede Amung Sutarya, dan Asep Sunandar
Sunarya, dalam Membentuk Kualitas Estetik Keutuhan dan
60
Kemantapan Pertunjukannya, meliputi: Faktor Internal:
Pengalaman Ketubuhan Dalang (Proses, wawasan,dan Ekspresi),
Nyari dalam ekspresi garap pertunjukan Tjetjep Supriadi, Nyari
dalam ekepresi garap pertunjukan Dede Amung Sutarya, dan
Nyari dalam ekspresi garap pertunjukan Asep Sunandar Sunarya.
Faktor Eksternal: faktor genetik, faktor objektif, dan faktor afektif.
Bab VI Kesimpulan