bab i pengantar -...

60
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Wayang golek merupakan salah satu khazanah kesenian unggulan Jawa Barat yang tergolong ke dalam rumpun seni pertunjukan teater boneka tradisi. Dalam perkembangannya, seni pertunjukan wayang golek telah memberikan warna tersendiri sebagai suatu realitas budaya yang dinamis. Perubahan dalam perspektif kebudayaan merupakan sesuatu yang logis dari sebuah bentuk proses dinamika kebudayaan yang selalu merambah kepada berbagai aspek kehidupan, termasuk kesenian dengan beragam fenomena perkembangannya. Kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa pada umumnya dapat disebut maju atau berkembang apabila di dalamnya terdapat anasir budaya baru, yaitu karena ada penemuan baru (invensi) atau karena ada percampuran (akulturasi). 1 Kesenian merupakan bagian dari unsur kebudayaan yang perwujudannya sangat beragam berdasarkan jenis dan fungsinya. Seni adalah produk masyarakat, 2 1 Timbul Haryono, Seni Dalam Dimensi Bentuk, Ruang, dan Waktu (Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra, 2009), 2. 2 Arnold Hauser, The Sociology of Art, Translated by Kenneth J.Northcott (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1974), 94. termasuk di dalamnya seni pedalangan dalam hal ini adalah seni pertunjukan wayang golek.

Upload: hadat

Post on 06-Mar-2019

246 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Wayang golek merupakan salah satu khazanah kesenian

unggulan Jawa Barat yang tergolong ke dalam rumpun seni

pertunjukan teater boneka tradisi. Dalam perkembangannya, seni

pertunjukan wayang golek telah memberikan warna tersendiri

sebagai suatu realitas budaya yang dinamis. Perubahan dalam

perspektif kebudayaan merupakan sesuatu yang logis dari sebuah

bentuk proses dinamika kebudayaan yang selalu merambah

kepada berbagai aspek kehidupan, termasuk kesenian dengan

beragam fenomena perkembangannya. Kebudayaan suatu

masyarakat atau bangsa pada umumnya dapat disebut maju atau

berkembang apabila di dalamnya terdapat anasir budaya baru,

yaitu karena ada penemuan baru (invensi) atau karena ada

percampuran (akulturasi).1

Kesenian merupakan bagian dari unsur kebudayaan yang

perwujudannya sangat beragam berdasarkan jenis dan fungsinya.

Seni adalah produk masyarakat,

2

1Timbul Haryono, Seni Dalam Dimensi Bentuk, Ruang, dan Waktu

(Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra, 2009), 2. 2Arnold Hauser, The Sociology of Art, Translated by Kenneth J.Northcott

(Chicago and London: The University of Chicago Press, 1974), 94.

termasuk di dalamnya seni

pedalangan dalam hal ini adalah seni pertunjukan wayang golek.

2

Seni pertunjukan wayang golek merupakan salah satu bentuk

produk kebudayaan rakyat (folk culture) yang berkembang secara

turun temurun melalui paguron3

Eksistensi sebuah paguron dalang akan sangat nampak di

mata masyarakat, apabila paguron bersangkutan mampu

mencetak atau melahirkan lulusan siswa dalangnya hingga

menjadi dalang terkenal dan menjadi panutan di masyarakat

penggemarnya. Untuk menuju ke arah itu, maka masing-masing

paguron dalang akan berlomba menemukan ciri khasnya serta

dalang dengan bentuk dan gaya

pertunjukan yang mencirikan sebagai madzhab paguron masing-

masing.

Keberadaan paguron dianggap telah berperan besar dalam

pemeliharaan, penyebaran dan pengembangan jagat pedalangan

Sunda. Dilihat dari perspektif sistem pewarisan budaya, maka

paguron dalang merupakan wadah kegiatan yang bersifat non

formal akan tetapi mampu menyelenggarakan sebuah sistem yang

melembaga dengan kekuatan tradisinya dalam hal mencetak dan

mendidik para catrik (Jawa; cantrik) siswa dalang. Sistem dan tata

cara pembelajaran yang berlaku di paguron dalang tersebut, pada

dasarnya merupakan sebuah sistem transmisi seni pedalangan

yang bersifat tradisional.

3Paguron dalang merupakan padepokan milik seorang dalang sebagai

tempat berlangsungnya penyelenggaraan pendidikan dalang yang bersifat non formal dan berkembang secara tradisional di masyarakat tradisi pedalangan.

3

selalu berupaya menjunjung tinggi dan mempertahankan konsep

dan pencitraan terhadap kebesaran paguronnya. Munculnya ciri

khas dari masing-masing paguron tersebut, melahirkan yang

disebut gaya (style) pedalangan yang dalam tradisi pedalangan

Sunda disebut sejak padalangan4. Pengertian kata gaya tidak

hanya dapat ditafsir secara khusus, melainkan secara umum

dapat diartikan sebagaimana dipaparkan oleh Sartono Kartodirjo

bahwa konsep gaya sebagai sistem cara-cara atau pola-pola

koheren untuk melakukan sesuatu. Menurutnya, konsep gaya

semacam itu juga dapat digunakan dalam konteks seni dan

budaya. Unsur-unsur seni yang disusun secara berhubung-

hubungan dalam sebuah karya seni pada suatu wilayah budaya

dan zaman tertentu disebut sebagai sebuah gaya.5

Gaya dalam konteks pertunjukan wayang adalah cara atau

penampilan dilihat dari karakteristik seseorang pembawa atau

penyaji dalam hal ini dalang, yang kadang juga dipandang sebagai

pencipta seni, yang terbedakan dari yang lain. Gaya pribadi

menandai orangnya, merupakan sesuatu yang dipelihara

kelangsungannya dalam keberhasilannya, dan merupakan ciri

khas tersendiri yang sekaligus menjadi daya tarik bagi para

4Sejak padalangan artinya gaya pedalangan yang menjadi ciri dari

paguron dalang, seperti sejak giri harja, sejak munggul pawenang, sejak panca komara dan sejak-sejak padalangan lainnya.

5Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif (Jakarta: Gramedia, 1982), 127.

4

pengagumnya atau penggemarnya.6

Secara payung besarnya, pedalangan Jawa Barat saat ini

lebih dikenal dengan sebutan pedalangan Gaya Priangan. Namun

di samping gaya besar Priangan juga terdapat gaya-gaya di luar

Priangan (sub Priangan) yang memiliki ciri masing-masing, antara

lain gaya Cirebon, gaya Kaleran (lintas utara) meliputi : Karawang,

Subang, Purwakarta dan juga pedalangan gaya Betawi yang

berkembang di daerah Bekasi dan sekitarnya. Keberadaan

pedalangan gaya Priangan pada prinsipnya berpusat di daerah

Bandung yang banyak melahirkan dalang-dalang berbakat yang

tersebar di paguron-paguron dalang. Oleh karenanya, Bandung

(wilayah kota dan kabupaten) disebut sebagai sentra pedalangan

Sunda. Berkenaan dengan kondisi tersebut, maka munculah

istilah pedalangan gaya Bandung yang juga terbagi menjadi dua

kubu atau kelompok yaitu gaya Bandung Kidul (Bandung Selatan)

dan gaya Bandung Kaler (Bandung Utara). Kedua gaya Bandung

inilah yang hingga saat ini dapat dijadikan barometer pedalangan

Jawa Barat dengan masing-masing dapat mencirikan gaya

pertunjukannya yang khas.7

6Kasidi Hadiprayitno, Suluk Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta

(Yogyakarta: Bagaskara, 2009), 37. 7Periksa Cahya, “Pedalangan Gaya Kaler dan Kidul Serta Pengaruhnya

Terhadap Gaya Pedalangan Daerah Lainnya di Jawa Barat” (Laporan Penelitian Puslitmas STSI Bandung, 2003),17.

Gaya paguron yang kini dimiliki oleh

kedua gaya pedalangan Bandung Kidul dan Bandung Kaler

5

tersebut, pada mulanya berupa gaya perseorangan sebagai cikal

bakal pendiri paguron masing-masing. Sebagai kelanjutannya,

maka paguron-paguron tersebut dapat berkembang sejalan dengan

tuntutan zamannya. Seiring dengan perjalanannya, lambat laun

paguron tersebut dapat menghasilkan dalang-dalang yang terampil

dan mumpuni hasil dari didikannya. Para dalang lulusan paguron-

paguron tersebut mengikuti gaya guru dalangnya, dan jadilah

sebuah kekuatan gaya paguron yang menjadi ciri khas

pertunjukannya.

Saat ini paguron-paguron dalang yang dianggap masih eksis

berperan dalam keberlangsungan seni pedalangan Sunda (wayang

golek) antara lain adalah paguron dalang Panca Komara

(Karawang), Munggul Pawenang (Kota Bandung) dan Giri Harja

(Kabupaten Bandung). Ketiga paguron inilah hingga saat ini

dipandang sebagai paguron yang produktif melahirkan dalang -

dalang berkualitas sebagai generasi penerusnya masing-masing.

6

Gambar 1. Ki Tjetjep Supriadi (Dokumen Panca Komara, 2007)

Di antara ketiga paguron dalang tersebut yang tergolong

memiliki keunikan dalam gaya pertunjukannya adalah paguron

Panca Komara yang didirikan pada tahun 1968 oleh Tjetjep

Supriadi di kabupaten Karawang Jawa Barat. Panca Komara

merupakan salah satu paguron dalang yang ada di Karawang

dengan memiliki sejumlah cantrik (siswa dalang) yang digembleng

langsung oleh tangan dingin seorang Tjetjep Supriadi. Sebagai

seniman tradisi, ia dikenal memiliki semangat belajar seni yang

tinggi rajin dan ulet dalam mengasah dan melatih bakat seni yang

dimilikinya. Walau ia bukan dilahirkan sebagai putra dari seorang

dalang, tetapi semangat belajar ingin menjadi dalang begitu kuat.

7

Mulanya Tjetjep dikenal sebagai seniman juru alok (wira suara)

dalam sajian pertunjukan wayang maupun kiliningan. Berbekal

semangat dan keuletan yang tertanamkan dalam dirinya untuk

belajar mendalang, walau mengandalkan dari hasil mendengarkan

caset rekaman dan menonton langsung dari dalang-dalang

kondang, tetapi lambat laun ia dapat menjelma menjadi seorang

dalang yang populer terutama di wilayah Karawang.

Tjetjep Supriadi dikenal sebagai dalang yang memiliki gaya

tersendiri terutama dalam sajian sekaran dalang (nyanyian

dalang), gaya melantunkan kakawen, haleuang tokoh Rahwana

dan murwa. Salah satu lakon yang menjadi andalannya adalah

Nurkala Kalidasa sebuah lakon carangan yang menceritakan sosok

manusia yang berupaya mencari kepuasan atas sebuah

pertanyaan ”naon hartina perikamanusaan?” (apa artinya

perikemanusiaan?). Lakon tersebut sarat dengan ajaran moral-

spiritual yang menitikberatkan kepada pentingnya seseorang

memiliki jati diri dan prinsip hidup dengan saling menghormati,

menghargai antar sesama manusia. Hal yang dijadikan lahan

utama garap pertunjukannya adalah aspek haleuang kakawen

(Jawa;suluk), pendalaman vokabuler bahasa (ulin bahasa8

8Ulin bahasa adalah sebuah istilah yang berlaku dalam tradisi

pedalangan Sunda, seorang dalang yang mahir dan menguasai dalam bahasa maka lajim disebut ulin bahasa yang mengandung pengertian dalang tersebut sangat mahir dan menguasai bahasa dalam menyajikan gaya pertunjukannya.

) dan

8

olah dramatiknya.9 Kepiawaiannya dalam mengolah dramatik

pada adegan perang, Tjetjep mampu menutupi kelemahan pada

aspek sabet yakni dengan cara menampilkan trik perang kata-kata

atau perang argumen antara dua tokoh yang sedang berdebat.

Dengan menyuguhkan debat yang sengit antara kedua tokoh yang

sedang bertikai, akhirnya penonton larut dalam emosi tersebut

yang akhirnya terdapat salah seorang kalah dalam perang

argumen tersebut. Itulah cara mensiasati kelemahan pada garap

sabet Tjetjep Supriadi menutupinya dengan bermain dramatisasi

adegan melalui bahasa antawaca yang mumpuni. Menurutnya,

bahwa dalang itu harus pandai-pandai mensiasati adegan dan

memiliki kekuatan menafsir lakon dan mendramatisirnya.10

Gaya penampilan pertunjukan Tjetjep Supriadi

semakin dikenal oleh masyarakat pecinta wayang di tatar Sunda.

Terlebih ketika ia terpilih menjadi juara pada penyelenggaraan

Binojakrama11

9Wawancara dengan Wawan Gunawan, tanggal 26 April 2011. 10Wawancara dengan Tjetjep Supriadi, tanggal 1 Mei 2011.

11Binojakrama adalah sebuah event kegiatan semacam pasanggiri atau festival yang diselenggarakan oleh Yayasan Pedalangan dan Pepadi Jawa Barat dengan format dan sasaran kegiatan yang mengarah kepada upaya pelestarian dan sekaligus evaluasi terhadap rebah bangkitnya mutu seni pedalangan Sunda. Binojakrama diikuti oleh dalang-dalang terpilih sebagai utusan dari tiap-tiap daerah kabupaten dan kota, untuk berlomba menjadi dalang pinilih (juara) Binojakrma yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi para dalang di tatar Sunda.

Padalangan Jawa Barat pada tahun 1978. Massa

keemasan Tjetjep Supriadi berkisar antara tahun 1975-an s/d

1990-an) dan hingga kini pun ia masih mendalang walau dalam

frekuensi yang terbatas. Pada kurun waktu itulah tingkat

9

produktifitas acara pentasnya sangat padat untuk meladeni

permintaan pentas di berbagai daerah dan event kegiatan sebagai

rutinitas pentasnya. Berkat popularitas dan produktivitasnya,

maka Tjetjep telah berhasil menyelesaikan rekaman kaset

sebanyak lebih dari seratus lakon. Tjetjep Supriadi sangat akrab di

mata penggemarnya melalui lakon Nurkala Kalidasa di samping

terkenal dengan sajian haleuang dalang (kakawen dan ceurik

wayang). Kepopuleran Tjetjep Supriadi tidak hanya sebatas

didukung oleh bakat dan keterampilan mendalang yang

dimilikinya, melainkan didukung oleh keberadaan istrinya Idjah

Hadidjah yang dikenal sebagai pesinden tersohor di Jawa Barat

dengan warna suaranya yang khas. Dua sumber kekuatan inilah

yang menghantarkan daya popularitas Tjetjep Supriadi dan Idjah

Hadidjah sebagai ”pasangan ideal” (dalang dan sinden) dengan

kualitas dan gaya pertunjukan yang tidak diragukan lagi di mata

masyarakat penikmat wayang golek. Melalui kontinuitas dan

produktivitas kekaryaannya sebagai dalang handal, masyarakat

pedalangan Sunda memandangnya Tjetjep Supriadi sebagai ikon

pedalangan gaya Karawang (Gaya Kaleran).

10

Gambar 2. Ki Tjetjep Supriadi saat pentas (Foto: Cahya, 2011)

Tokoh dalang berikutnya adalah Dede Amung Sutarya yang

memiliki paguron dalang Munggul Pawenang di kota Bandung.

Dede Amung Sutarya dikenal sebagai salah seorang dalang

kondang di Jawa Barat yang memiliki gaya dan ciri khas dalam

membawakan pertunjukannya. Dede Amung memiliki grup atau

perkumpulan seni wayang golek dengan nama Munggul Pawenang

yang beralamat di Jl. Padasuka Kota Bandung.

11

Gambar 3. Ki Dede Amung Sutarya (Dokumen Munggul Pawenang, 2007)

Kiprah Dede Amung dalam dunia pedalangan sudah dimulai

sejak masa anak-anak (usia 8 tahun). Ia besar di lingkungan

keluarga seniman, pamannya seorang dalang kondang di era

1970-an yaitu Ki dalang Amung Sutarya. Ia akhirnya berhasil

menjelma sebagai dalang yang populer hingga sekarang karena

hasratnya yang bigitu kuat ingin menjadi seorang dalang. Proses

perjalanan meniti kariernya telah dilalui dengan penuh

pengorbanan sebagai bentuk keseriusan dalam perjuangan

hidupnya. Bahkan masa pendidikan yang ia lalui terpaksa kandas

hanya sampai di tingkat SD. Dede tidak bisa melanjutkan jenjang

pendidikan formalnya, dikarenakan waktu kesehariannya banyak

tercurahkan kepada dunia pedalangan yang ia geluti dengan cara

berguru langsung ke pamannya. Ia selalu mengikuti kemanapun

12

pamannya pentas wayang, maka di sana pula Dede selalu hadir

sebagai cantrik (asisten dalang) dari pangung ke panggung lainnya,

begitulah rutinitas proses belajar dalang yang Dede lalui.

Pada tahun 1976 akhirnya Dede dapat menyandang gelar

paguron dengan nama lengkap Ki Dede Amung Sutarya setelah

secara resmi ditawajuh (ritual pemberian gelar paguron) sebagai

tanda berakhirnya masa belajar mendalang dari sebuah paguron

dalang. Maka pada saat itu pula Dede Amung Sutarya mendirikan

sebuah perkumpulan atau grup wayang golek dengan nama

Munggul Pawenang yang anggotanya kebanyakan dari kerabat

keluarganya, di samping ada beberapa pangrawit (pemain

gamelan) yang dari luar kerabat.

Gambar 4. Ki Dede Amung Sutarya saat pentas (Dokumen Munggul Pawenang, 2003)

13

Nama Dede Amung Sutarya semakin dikenal oleh

masyarakat sebagai dalang muda yang kreatif dan memiliki

kualitas suara yang mumpuni terutama dengan timbre dalang

yang khas. Di samping itu ia juga memiliki kelebihan tersendiri di

antara sesama dalang, yakni mahir dalam menyajikan Kakawen

(vokal nyanyian dalang) disertai dengan daya musikalitas

(kepekaan musikal) yang kuat, sehingga banyak penonton yang

tertarik dengan sajian haleuang kakawen (nyanyian lagu

kakawen). Olah kreativitas lainnya adalah selalu berupaya

menampilkan sabet wayang yang mumpuni, baik dalam teknik

memainkan wayang sedang menari maupun teknik wayang sedang

berperang. Kepiawaian yang dimiliki oleh seorang Dede Amung

dipandang sangat mumpuni sebagai seorang dalang kondang

dengan penampilan ciri dan gaya pertunjukannya yang khas.

Selama ini gaya penyajian pertunjukan Dede Amung dikenal

sebagai dalang yang patuh terhadap pakem12

12Pakem adalah sebuah konfensi tradisi yang berlaku di lingkungan

tradisi pedalangan Sunda yang di dalamnya mengandung segala aturan, ketentuan dan lain-lainnya sebagai pedoman pedalangan Sunda.

pedalangan Sunda.

Konsistensi kekaryaan dalam menggarap pertunjukannya hingga

kini Dede Amung dipandang sebagai dalang yang masih setia

dengan pola pertunjukan yang tradisional, yang oleh dalang lain

kebanyakan sudah mengenyampingkan hal-hal yang berhubungan

dengan pakem dalam membawakan pertunjukannya. Dalang kudu

14

patuh kana pakem jeung tetekon, ngadalang ulah sakaparan-

paran.13

Beberapa lakon yang menjadi andalan Dede Amung

sekaligus menjadi daya tarik penggemarnya di antaranya adalah

lakon Bisma Gugur dan lakon Wahyu Cakraningrat. Kedua lakon

tersebut dipopulerkan oleh Dede Amung pada tahun 1980-an

ketika meraih juara Binojakrama padalangan. Pada saat itulah

Dede Amung mulai masuk dapur rekaman sebagai bentuk

penghargaan masyarakat pasar (dunia bisnis) terhadap

kepopulerannya karena pertimbangan kualitas mendalangnya. Hal

lain yang digandrungi oleh penonton terhadap sajian pertunjukan

Dede Amung adalah, haleuang lalaguan panakawan (nyanyian

lagu-lagu Cepot, Dawala, dan Gareng). Ketiga tokoh pawongan

atau punakawan tersebut selalu melantunkan lagu-lagu khusus

yang menggambarkan keceriaan suasana kerakyatan dengan

menghadirkan bentuk-bentuk lagu yang humoris, komunikatif dan

edukatif. Kondisi tersebut sangat didukung oleh bekal

keterampilan Dede Amung yang mahir dalam melantunkan

nyanyian dan menguasai titi laras (menguasai nada, irama dan

harmoni) yang dalang lain jarang memilikinya, oleh karena Dede

Amung termasuk dalang yang pandai bermain lagu atau nyanyian

13Wawancara dengan Dede Amung Sutarya, tanggal 16 Agustus 2011.

15

(ulin sora).14 Dede Amung salah seorang dalang yang memiliki

kepekaan laras yang kuat, hapal lagu-lagu dan juga memiliki

kualitas suara yang baik (alus sora).15

14Ulin sora adalah sebuah istilah yang menunjukkan seseorang mahir dan menguasai dalam hal menyajikan nyanyian lagu-lagu dengan penguasan teknik dan keterampilan menyajikan yang mumpuni.

15Wawancara dengan Pandi Upandi, tanggal 2 Mei 2011.

Pada tahun 1980 Dede Amung Sutarya dinobatkan sebagai

Dalang Terbaik Jawa Barat pada penyelenggaraan Binojakrama

Padalangan tingkat Jawa Barat. Momentum itulah yang

menjadikan Ki Dalang Dede Amung Sutarya dapat lebih dikenal

oleh masyarakat Jawa Barat, yang secara otomatis jadwal

pementasannya pun semakin bertambah padat dari bulan ke

bulannya berkeliling sesuai jadwal permintaan pentas. Permintaan

pentas tidak hanya dari kalangan masyarakat umum biasa saja

sebagai komsumsi hiburan rakyat, akan tetapi kalangan

pemerintahan pun sering memintanya untuk pentas pada acara

resmi seperti pada acara hari-hari besar, peresmian hingga ke

acara ruatan yang dilaksanakan olem PEMDA setempat. Sebuah

event internasional telah diikuti oleh Dede Amung Sutarya ketika

berangkat ke Australia untuk memenuhi undangan Festival

Wayang Internasional pada tahun 1994. Keberadaan Dede Amung

Sutarya di jagat pedalangan Sunda telah dipandang sebagai ikon

pedalangan gaya Bandung Kaler.

16

Gambar 5. Ki Asep Sunandar Sunarya (Dokumen Giri Harja 3, 2008)

Selain kedua paguron tersebut di atas yang sama-sama

dikenal oleh masayarak pedalangan Sunda, adalah keberadaan

paguron dalang Giri Harja di Kabupaten Bandung. Tokoh yang

menjadi ikon padepokan Giri Harja saat ini adalah dalang Asep

Sunandar Sunarya dengan paguron Giri Harja 3. Disebut Giri Harja

3, karena Asep Sunandar Sunarya merupakan pewaris paguron

Giri Harja yang ke 3. Adapun Giri Harja 1 adalah Abah Sunarya

(ayahanda Asep), sedangkan Giri Harja 2 adalah Ade Kosasih

Sunarya (kakanda Asep). Kehadiran sosok Asep dalam dunia

pedalangan Sunda dipandang telah banyak memberikan warna

yang cukup fenomenal dalam menyuguhkan gaya penampilan

pertujukannya. Melalui teknik dan kualitas menyajikan garap

pertunjukan wayangnya, Asep sangat populer dikenal oleh

berbagai lapisan masyarakat termasuk para kawula muda yang

17

menggemari tontonan wayang golek yang tidak hanya sekedar

sebagai hiburan saja. Setelah Asep membuat gebrakan dengan

format inovasinya, Asep berhasil menjadikan wayang sebagai

tontonan yang segar, digemari oleh semua tingkatan masyarakat

(tua, muda, dan anak), sehingga wayang golek kembali mendapat

tempat dihati penggemarnya.16

Gambar 6. Ki Asep Sunandar Sunarya saat pentas (Foto: Cahya, 2014)

Asep Sunandar dibesarkan oleh lingkungan keluarga

seniman pedalangan. Ayah Asep adalah seorang dalang legendaris

Abah Sunarya yang juga cucu dari seorang dalang bernama Ki

Juhari. Hasil buah perkawinan antara Abah Sunarya dan Tjutjun

Jubaedah, pada tgl 5 Mei 1955 lahirlah Asep Sunandar sebagai

putra ke-7 dari 12 bersaudara. Asep mulai belajar mendalang

16Wawancara dengan Dana Setia, tanggal 11 Oktober 2011.

18

pada usia 7 tahun dengan cara melihat dan mendengar langsung

dari sang ayahnya ketika sedang mendalang dari panggung satu

ke panggung lainnya.17

Waktupun berjalan secara alami, maka Asep Sunandar yang

memiliki bakat keterampilan mendalang yang mumpuni, maka

pada akhirnya Asep secara resmi diberi gelar paguron Giri Harja

melalui upacara Tawajuh

Kekuatan bakat dan hasratnya yang tinggi

untuk belajar mendalang, maka pada akhirnya Asep harus

memilih dari dua pilihan antara lanjut sekolah dengan putus

sekolah untuk konsentrasi belajar mendalang mengikuti jejak

ayahnya. Asep memilih untuk berhenti sekolah hanya sampai

kelas dua SMP, selanjutnya ia konsentrasi menekuni ilmu

pedalangan dan praktek mendalang dari sang ayah Abeng

Sunarya.

18

17Cahya, ”Asep Sunandar Tokoh dan Kreator Pedalangan Sunda” (Tesis

pada Sekolah Pasca Sarjana Program Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjahmada Yogyakarta, 2000), 19-25.

18Tawajuh adalah sebuah tradisi ritual paguron dalang yang dilakukan ketika meresmikan (melantik) seorang catrik (siswa dalang) oleh sang guru dalang sekaligus pemberian anugrah gelar paguron dengan cara menambahkan nama sang guru di belakang nama lengkap siswa dalang yang telah di Tawajuhan.

sebagai tanda berakhirnya menempuh

pendidikan dalang di sebuah paguron dalang. Mulai saat setelah

itulah Asep Sunandar mendapat gelar paguron ”Sunarya” yakni

Asep Sunandar Sunarya dengan nama perkumpulannya

(rombongan) Giri Harja 3. Dengan berbekal rasa percaya diri yang

tinggi dalam setiap akan melaksanakan pentas pertunjukannya,

19

maka Asep Sunandar Sunarya berhasil menjelma menjadi seorang

dalang yang handal dengan segala keterampilannya dalam

menyajikan pertunjukan wayang golek.

Kehadirannya di dunia pedalangan Sunda, Asep mampu

menunjukkan kepada publik dengan sikap dan pemikirannya yang

konstruktif terhadap keberlangsungan mutu seni pedalangan

Sunda. Oleh karenanya Asep dikenal sebagai dalang yang

moderat-inovatif dengan selalu haus kreativitas, progresif untuk

mencari terobosan-terobosan garap baru pertunjukan wayang

golek yang atraktif, komunikatif dan apresiatif. Asep adalah sosok

dalang yang kreatif, berjiwa terbuka dan selalu mengharapkan

kritik demi peningkatan dan pekembangan mendalangnya.19

Pada tahun 1985 Asep Sunandar Sunarya berhasil

memperoleh gelar Juara Dalang Pinilih pada pelaksanaan

Binojakrama Pedalangan tingkat provinsi Jawa Barat dan berhak

memboyong Bokor Kancana sebagai lambang supremasi tertinggi

pada dunia pedalangan Sunda. Asep Sunandar Sunarya

dipandang sebagai tokoh fenomenal dengan julukan dalang

Sebagai putra dari seorang dalang legendaris, Asep tidak merasa

cepat puas dengan bentuk dan patron yang ada, termasuk

keberadaan pakem pun, oleh Asep dijadikan sebagai sumber

inspirasi dalam berkaryanya.

19 Wawancara dengan Yoyo Risyaman, tanggal 12 Juli 2012.

20

motekar Jawa Barat yang mendunia. Masyarakat pedalangan

Sunda cukup dikagetkan dengan gaya keterampilan memainkan

wayang (sabetan) yang dapat memukau penonton, di samping gaya

banyolannya yang menggelitik. Ketika kondisi seni pedalangan

wayang golek Sunda mengalami masa keburaman berada dalam

titik transisi keterpurukan, maka munculah sosok Asep Sunandar

yang haus kreativitas. Tepatnya pada pertengahan 1985-an

melalui gagasan Dana Setia (sebagai Kepala Dinas Debdikbub Kota

Bandung saat itu) mencoba membuat upaya terobosan dengan

cara memasukkan pertunjukan wayang ke sekolah-sekolah dalam

acara Samen (ritual tahunan mengakhiri masa studi dan kenaikan

kelas) di wilayah kota Bandung.20

Upaya tersebut dilakukan sebagai cara memberikan

apresiasi seni tradisional wayang golek kepada kalangan remaja

anak sekolah di samping memberi kesempatan dan pencerahan

bagi seniman wayang golek untuk dapat mengenal dunia

pendidikan formal.

21

20Periksa Cahya, 2000, 22. 21Wawancara dengan Dana Setia, tanggal 11 Oktober 2011.

Hasilnya cukup menggembirakan, melalui

kekuatan berimprovisasi dalam bentuk keterampilan memainkan

wayang (sabetan) dan membangaun suasana yang kocak penuh

gelak tawa (ngabojeg), pertunjukan Asep di sekolah-sekolah

mendapatkan sambutan yang hangat. Mulai saat itu nama Asep

21

Sunandar Sunarya dikenal oleh publik mulai dari kalangan anak-

anak, remaja sampai kalangan orang tua, sehingga seni wayang

golek seolah bangkit kembali dengan suasana dan konsep baru

sebagai hiburan rakyat yang segar, komunikatif dan edukatif.

Kehadiran Asep Sunandar Sunarya sebagai dalang

fenomenal dengan bentuk-bentuk kreativitas kekaryaanya, telah

menjadi idola di tengah-tengah masyarakat pecinta pedalangan

Sunda. Adalah sajian banyolan (humor) malalui tokoh Cepot dan

Dawala yang mampu membuat penonton tertawa-tawa karena

ulah tingkah lelucon dari tokoh keduanya. Lebih dari itu Asep

memiliki kekuatan dalam membangun banyol pada adegan wadia

balad buta dengan menampilkan bentuk-bentuk boneka wayang

buta hasil olah kreativitasnya. Berbagai macam karakter wayang

buta, ia rancang sendiri sesuai dengan daya imajinasi dan

khayalnya hasil isnpirasi yang ia peroleh dari seputar fenomena

kehidupan sehari-hari.

Kebesaran Asep membangun warna baru pada garap

pertunjukan wayang golek di hadapan publik dengan skill dan

mental moderat (terbuka), secara otomatis membawa keharuman

panji kebesaran paguron Giri Harja padalangan Gaya Bandung

Kidul. Keberhasilan yang diperoleh dalang Asep baik secara

personal maupun bersama (mewakili gaya kidul), pada dasarnya

itu semua terjadi karena adanya faktor-faktor yang saling

22

berkaitan baik eksternal maupun internal. Sebagai fakta dari hasil

olah kreativitas yang dilakukan oleh Asep antara lain berupa

karya-karya inovatifnya dengan membuat wayang-wayang atraktif

seperti: wayang muntah mie, wayang pecah kepala, wayang lidah

menjulur, wayang calawak, dll.

Dengan menghadirkan wayang-wayang atraktif tersebut,

Asep Sunandar mampu menarik minat para pecinta wayang

khususnya kalangan generasi muda menjadi gemar menonton

wayang. Lebih dari itu, Asep ditunjang oleh bekal keterampilan

(skill) memainkan wayang (sabet) baik dalam teknik wayang

perang maupun teknik wayang menari. Begitu pula kekuatan

dalam hal garap lakon melalui daya tafsirnya, Asep mahir

mengolah alur dramatik lakon dengan cara menjiwai dan

mengekspresikan setiap tokoh wayang berdasarkan karakter dan

situasi adegan yang sedang dibangun dalam lakon bersangkutan.

Lakon yang menjadi andalan dalam menyajikan pertunjukannya

adalah Kumbakarna Gugur, sebuah lakon dari Ramayana yang

sarat dengan ajaran moral dan spiritual tinggi. Kekuatan-

kekuatan itulah yang menjadikan Asep Sunandar dapat dikenal

oleh publik sebagai dalang kondang dipandang sebagai ikon

pedalangan Bandung Gaya Kidul.

Sebagai bentuk penghargaan masyarakat terhadap

eksistensi dan kredibilitas ketiga tokoh dalang kondang tersebut,

23

maka pada tanggal 26 Desember 2010 Universitas Padjadjaran

(UNPAD) Bandung mementaskannya dalam format ”Geunjleung

Wayang ” Salalakon Tilu Dalang: Tjetjep Supriadi, Dede Amung

Sutarya, Asep Sunandar Sunarya. (Heboh Wayang: Satu lakon tiga

dalang) di gedung serbaguna Bale Sanusi UNPAD. Acara

pertunjukan akbar tersebut digelar dalam event ”Pidangan Seni

Budaya Rumawat Padjadjaran”. Momentum tersebut adalah

sebuah fakta dan realitas budaya yang menghadirkan bentuk

kearifan lokal pada sebuah tradisi seni pedalangan Sunda. Event

tersebut sekaligus merupakan saksi sejarah keberlangsungan

kehidupan seni pedalangan Sunda yang penuh dengan warna dan

kompleksitas keragaman dari masing-masing paguron dalang yang

tersebar di bumi tatar Sunda.

Gambar 7: Rektor UNPAD bersama tiga dalang kondang dalam event: Geunjleung Wayang: Salalakon Tilu Dalang

(Dokumen UNPAD,2010)

Mencermati fakta-fakta yang ada terhadap eksistensi dan

kredibilitas kekaryaan dari ketiga tokoh dalang tersebut, sejauh ini

24

peran ketiganya dipandang telah memberikan pengaruh besar

terhadap bangkitnya kehidupan seni pedalangan Sunda. Daya

magnetis dari ketiga tokoh dalang tersebut telah mampu menyihir

publik penggila wayang golek untuk tetap setia menjadikan

pertunjukan wayang golek sebagai bagian dari kehidupan dalam

perspektif sebagai menu hiburan (tontonan dan tuntunan).

Kredibilitas ketokohan dari ketiganya sudah tidak diragukan lagi

baik secara keterampilan (skill) maupun secara wawasan keilmuan

(pangaweruh) dengan berdasar kepada fakta-fakta yang ada.

Dengan demikian maka persoalan proses kekaryaan ketiga dalang

tersebut, menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji dalam

sebuah bentuk penelitian. Hal yang dianggap penting berkaitan

dengan kualitas mendalang dari ketiga tokoh dalang tersebut,

adalah persoalan penguasaan dan keterampilan teknik

menyajikan unsur-unsur pertujukan wayang (Jawa; Pakeliran)

yang disebut garap pertunjukan dengan unsur-unsur pokok

terkaitnya. Berkenaan dengan mengungkap persoalan garap

unsur-unsur pertunjukan yang menjadi bagian intergral dari

kemantapan dan keutuhan sebuah pertunjukan wayang golek,

maka aspek pengkajian difokuskan kepada lakon, sabet, kakawen,

dan antawacana. Empat unsur garap ini dipandang sebagai roh

pembentuk keutuhan dan kemantapan pertunjukan wayang golek

25

purwa Sunda dengan dalang sebagai pelaku utama dalam

pertunjukan.

Pembahasan lakon metitikberatkan kepada sumber lakon,

jenis lakon, dan struktur dramatik lakon (pola bedripan). Sabet

meliputi teknik cepengan, tanceban, dan raehan gerak ( ibingan,

perangan, lagaan, jaranan, gunungan, dan rempahan/senjata).

Kakawen (Jawa; Suluk) diarahkan kepada teknik vokal, timbre

(warna suara), senggol (ornamentasi melodis), rumpaka (syair

kakawen), dan gending atau lagu iringannya. Adapun antawacana

mengarah kepada teknik vokal, timbre (warna suara), bahasa, dan

intonasi.

B. Rumusan Masalah

Persoalan garap dalam dunia kesenian tradisi khususnya

pada lingkup seni pedalangan dan seni karawitan dipandang

sebagai sesuatu yang sudah akrab dan menyatu dengan para

seniman sebagai pelaku garap itu sendiri. Oleh karena itu

kehadiran garap dalam praktek berkesenian tradisi dianggap

sesuatu yang penting untuk dilakukan dalam upaya menuju

kemantapan penyajian pertunjukan oleh para pelaku garap. Istilah

garap dalam tradisi Sunda lebih akrab ditemukan pada sisi

kehidupan dan kebiasaan para petani tradisional yang terbiasa

dengan tradisi ”menggarap” sawah dan ladang. Artinya si petani

mengolah tanah (sawah dan ladang) dengan cara-caranya

26

tersendiri sebagai upaya meningkatkan kualitas hasil produksi

garapannya (bercocok tanam). Istilah garap dalam fenomena

kehidupan selain terdapat pada tradisi petani, juga dapat dijumpai

pada tradisi pengerjaan sesuatu barang atau bangunan. Sudah

menjadi kebiasaan bahwa sesorang yang sedang memiliki tugas

pekerjaan membuat sesuatu yang melibatkan banyak orang,

sering menyebut istilah garap. Sebagai contoh, ketika seseorang

menggarap gedung pertokoan bertingat, artinya sedang melakukan

pekerjaan dalam membangun gedung bertingkat. Dengan

menyimak ilustrasi tersebut yang berkaitan dengan bentuk

pekerjaan seseorang, maka istilah garap dalam tradisi kesenian

tidak terlepas dari sisi kehidupan manusia sehari-hari.

Berkaitan dengan penelitian ini, yakni perihal garap dalam

pertunjukan wayang golek, sebagaimana telah disebutkan di atas

bahwa aspek pengkajian terfokus kepada lokon, sabet,

antawacana, dan kakawen. Keempat unsur tersebut dijadikan

objek pokok pembahasan untuk mengungkap bagaimana ketiga

dalang: Tejtjep Supriadi, Dede Amung, dan Asep Sunandar

menggarapnya dalam gaya pertunjukannya masing-masing. Untuk

kepentingan analisis dalam membedah garap lakon, sabet,

kakawen, dan antawacana tersebut, maka dipilih lakon unggulan

dari ketiga dalang tersebut sebagai pilihan pengkajian. Tjetjep

Supriadi dengan lakon Nurkala Kalidasa, Dede Amung Sutarya

27

dengan lakon Wahyu Cakraningrat, dan Asep Sunandar Sunarya

dengan lakon Kumba Karna Gugur.

Mencermati latar belakang dan ruang lingkup yang telah

dipaparkan di bagian depan, nampak jelas perlu adanya

perumusan masalah dalam upaya memfokuskan arah dan sasaran

penelitian. Beberapa permasalahan terkait yang dianggap menarik

untuk mendapatkan pemecahan dalam penelitian ini, maka dapat

dirumuskan berupa pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Mengapa kedudukan lakon, sabet, kakawen, dan

antawacana dalam garap pertunjukan wayang golek

dianggap penting?

2. Bagaimana bentuk garap lakon, sabet, kakawen, dan

antawacana yang disajikan oleh dalang Tjetep Supriadi,

Dede Amung, dan Asep Sunandar dalam mencirikan gaya

pertunjukannya?

3. Faktor-faktor apa saja yang membentuk garap lakon, sabet,

kakawen dan antawacana sajian tiga dalang tersebut,

sehingga dapat membangun kualitas estetik dalam

keutuhan dan kemantapan pertunjukannya?

Ketiga pertanyaan tersebut dengan sendirinya perlu dijawab

dan dieksplanasi dengan cara menggunakan pendekatan dan

konsep yang mencakup kerangka berpikir dan metodologi

penelitian. Kerangka berpikir digunakan sebagai pedoman bagi

28

seluruh langkah kajian, sedangkan kerangka metodologi penelitian

digunakan sebagai strategi operasional untuk memperoleh

informasi di lapangan yang akan digunakan sebagai fakta yang

layak untuk dijadikan bukti dalam penarikan kesimpulan.22

Diagram 1: Siklus keterkaitan aspek-aspek garap pertunjukan wayang golek (diagram disusun oleh Cahya)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

• Tujuan Penelitian

Untuk lebih mempertegas sekaligus sebagai alasan

dilakukannya penelitian ini, maka perlu diperjelas dengan

mengacu kepada tujuan yang diharapkan dari penelitian ini.

Tujuan utama yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah

sebagai berikut.

22Metthew B. Miles dan A. Michael Huberman, terjemahan Tjetjep

Rohendi Rohidi, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metoda-metoda Baru (Jakarta: UI Press, 1992), 5.

ANTAWACANA

SABET

LAKON

GARAP PERTUNJUKAN

WAYANG

KAKAWEN

29

1. Ingin menjelaskan tentang kedudukan dan peranan unsur

lakon, sabet, kakawen, dan antawacana dalam pertunjukan

wayang golek purwa Sunda kaitannya dengan kepentingan

garap pertunjukan yang dijadikan sumber acuan kekaryaan

bagi seorang dalang dalam menyajikan pertunjukannya.

2. Ingin menjelaskan dan mengidentifikasi ciri-ciri bentuk

garap pertunjukan ketiga tokoh dalang tersebut dalam

menyajikan gaya pertunjukannya sebagai totalitas berkarya

pedalangan dalam aspek garap lakon, sabet, kakawen, dan

antawacana.

3. Ingin menjelaskan faktor-faktor yang membentuk garap

lakon, sabet, kakawen, dan antawacana sajian ketiga

dalang tersebut, sehingga dapat membangun ruang

penikmatan dan pemaknaan estetik dalam pertunjukan

wayang golek purwa Sunda.

• Manfaat Penelitian

Temuan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

berbagai pihak yang bergulat dalam dunia pedalangan dan/atau

pewayangan. Untuk para praktisi pedalangan, dengan terungkap-

nya berbagai hal yang berkaitan dengan garap pertunjukan

melalui unsur-unsur garap pilihannya, diharapkan dapat memacu

kreativitas dalang-dalang lainnya terutama para dalang muda

30

sebagai pewaris masa depan pedalangan Sunda. Begitu pula

untuk para pengkaji pedalangan dan/atau pewayangan,

penelitian ini diharapkan dapat memacu penelitian lebih lanjut

dengan wilayah kajian yang lebih mendasar menurut tujuan, cara

pandang dan sasaran penelitian yang bersangkutan. Melalui

penelitian ini pula diharapkan dapat menumbuhkan teori

pedalangan baru sebagai sesuatu yang paling bernilai tinggi dalam

cakrawala disiplin keilmuan pedalangan nusantara. Begitu pula

melalui penelitian ini diharapkan dapat menambah

pembendaharaan sumber referensi pedalangan khususnya

pedalangan Sunda dan umumnya pedalangan nusantara.

D. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan oleh peneliti,

bahwa kajian atau hasil penelitian tentang keberadaan dari ketiga

tokoh dalang (Tjetjep, Dede dan Asep) yang secara mendalam

mengungkap tentang peran ketiganya dalam jagat pedalaangan

Sunda belum banyak dilakukan. Terutama yang berkaitan dengan

proses kreatif dan analisis bentuk garap pertunjukan dari ketiga

tokoh tersebut belum pernah dilakukan. Untuk memberikan

gambaran orisinilitas atau keaslian penelitian dan relevansinya

dengan sumber-sumber terkait, di bawah ini tercantum referensi

sebagai berikiut.

31

“The Sundanese Wayang Golek : The Rod Puppet Theatre of

West Java”, sebuah Disertasi yang ditulis oleh Kathy Foley (1979)

membahas wayang golek Sunda sebagai sebuah bentuk seni

pertunjukan tradisional yang memiliki kekayaan nilai dan makna

yang terkandung di dalamnya. Penelitian tersebut lebih

difokuskan untuk mengangkat persoalan unsur-unsur teater

rakyat yang memiliki ciri dan keunikan tersendiri dalam sebuah

sistem tradisi yang terjadi pada paguron dalang di Sunda Jawa

Barat. Aspek-aspek pengkajiannya meliputi: wayang sebagai media

utama, dalang sebagai aktor pelaku, sinden, cantrik dan nayaga

(pengrawit) sebagai penyaji pendukung, gamelan sebagai unsur

pendukung musikal. Adapun dari sisi pembahasan dramatiknya

meliputi: struktur lakon, bentuk lakon, bahasa dan sastra

pedalangan, sedangkan aspek garapan dalang dibahas tentang

lagu dan nyanyian dalang, termasuk bentuk dialog wayang

(antawacana) dan narasi dalang. Walaupun isinya menyangkut

penjelasan unsur-unsur pertunjukan, tetapi tulisan ini tidak

mengarah kepada tiga tokoh dalang (Tjetjep, Dede, dan Asep).

Estetika Pedalangan, tulisan Soetarno, Sunardi, dan

Sudarsono (2007), membahas tentang unsur-unsur estetika

pedalangan, konsep-konsep estetika pedalangan, konsep estetik

unsur garap meliputi: konsep estetika lakon, catur, sabet dan

karawitan pakeliran. Kemudian juga dibahas konsep “rasa”

32

sebagai orientasi estetik pertunjukan wayang, mencakup

pengertian rasa, klasifikasi rasa estetik seni pertunjukan wayang,

indikator rasa estetik dalam sajian pertunjukan wayang, dan

bagian akhir membahas metode analisis estetik pertunjukan

wayang. Secara konprehensif tulisan ini sangat erat terkait dengan

aspek pengkajian dalam penelitian ini, namun tidak menyangkut

kepada bentuk dan ciri-ciri garap pertunjukan terhadap tiga

dalang.

Teater Wayang Asia, tulisan Soetarno (2010), membahas

tentang jenis-jenis wayang yang populer di kawasan Asia, yaitu

wayang China, wayang Malaysia, wayang Kamboja, wayang

Thailand dan wayang India, termasuk wayang di Timur Tengah

yaitu wayang Iran dan negara Arab lainnya: Karakoz, Legenda dan

Marionet Jepang. Begitu pula jenis-jenis wayang yang ada di

Nusantara seperti: wayang gedog, wayang golek, wayang madya,

wayang klithik, wayang sasak dan lain-lain. Buku ini juga

membahas makna, nilai, struktur lakon Palasara dan Bimacusi.

Walaupun menjelaskan tentang struktur lakon, tetapi tulisan ini

tidak menyangkut kepada bentuk garap pertunjukan kepada tiga

dalang.

Dalang di Balik Wayang, tulisan Victoria M. Clara van

Groenendael (1987) yang diindonesiakan dari disertasinya berjudul

The Dalang behind the Wayang-The Role of the Surakarta and the

33

Yogyakarta Dalang in Indonesian-Javanese Society (1985), yang

merupakan hasil penelitian pada tahun 1976–1978 memfokuskan

perhatian pada perubahan peranan dalang wayang kulit purwa di

tengah-tengah masyarakat. Mula-mula dalang berperan sebagai

guru masyarakat dengan kekuatan-kekuatan gaib yang dimiliki-

nya. Setelah munculnya keterbukaan tradisi yang ditandai

berdirinya kursus pedalangan keraton, peranan dalang berubah

menjadi abdi kerajaan dengan menyebarkan tradisi pedalangan

gaya keraton. Pada masa Orde Baru, peranan dalang berubah

menjadi abdi negara untuk menyebarkan pesan-pesan

pembangunan ekonomi dan politik. Penjelasan-penjelasan penting

yang terkait dengan proses menjadi dalang, dianggap berguna

dalam penelitian ini, namun secara keterkaitan isi, tulisan ini

tidak menyangkut kepada bentuk garap sajian tiga dalang.

Shadow of Empire: Colonial Discourse and Javanese Tales,

tulisan Laurie J. Sears (1996), berisi kajian pertunjukan wayang

kulit sebagai wahana bercerita yang dihubungkan dengan aspek

agama, upacara, ruwatan, dan estetika. Walaupun cerita wayang

purwa berasal dari India, bagi orang Jawa dianggapnya sebagai

milik sendiri. Cerita Ramayana dan Mahabharata di tangan para

sastrawan Indonesia mengalami penafsiran yang berbeda-beda

sesuai dengan ideologi zamannya: masa pengaruh India, Islam,

Barat, dan post-kolonial. Pada bagian awal dipaparkan peranan

34

Islam dalam kebudayaan Hindu-Jawa pada awal abad XIX,

selanjutnya diteliti pengaruh Belanda dalam tradisi Ramayana dan

Mahabharata. Selain itu juga dikemukakan para intelektual Jawa

yang mengambil inisiatif untuk mengombinasikan corak Jawa

dengan theosofi pada tahun 1910–1920-an. Lebih jauh dijelaskan,

bahwa tradisi wayang dikaitkan dengan penilaian estetika India,

Islam, kolonial, dan post-kolonial sampai masa kini yang banyak

dipengaruhi gagasan estetika Barat. Walaupun diantaranya

mengupas tentang estetika dan sumber lakon, tetapi tulisan ini

tidak mengkait kepada garap pertunjukan tiga dalang.

Kelir Tanpa Batas, tulisan Umar Kayam (2001), berisi kajian

tentang perubahan tatanan dunia pedalangan Jawa, meliputi

dalang, seni pertunjukan wayang, dan penonton, akibat kooptasi

Orde Baru. Disebutkan bahwa sejak tahun 1970-an, pada tataran

makro terjadi perubahan ekonomi dan kelas golongan baru yang

dibentuk Orde Baru. Dalam masa itu, para dalang larut dan

mengikuti tatanan ekonomi baru, sehingga lebih mementingkan

segi kuantitas daripada kualitas garapan pakeliran. Perubahan

pada segi pertunjukan wayang diindikasikan dengan memudarnya

pakem pedalangan, sehingga tidak ada lagi batas masing-masing

gaya pedalangan. Dalam hal estetika pedalangan, terdapat per-

ubahan unsur garap estetik pakeliran. Gejala meningkatnya

kuantitas pertunjukan wayang untuk kepentingan elite penguasa

35

maupun perhelatan masyarakat menengah ke bawah

memunculkan selera baru di kalangan penonton. Penonton

terhanyut pada bentuk pertunjukan wayang yang bersifat glamour,

gebyar, fantastis, dan hedonistik daripada nilai-nilai yang

disampaikan oleh dalang. Walaupun membahas unsur garap

pakeliran (pertunjukan wayang) dan aspek-aspek terkait lainnya,

tetapi tulisan ini tidak mengkait kepada bentuk garap pertunjukan

tiga dalang.

Dalang Negara Masyarakat: Sosiologi Dalang, tulisan

Mohamad Jazuli (2003), mengungkap variasi ideologi dalang dalam

perspektif hubungan Negara dan masyarakat. Menurut Jazuli,

pada tataran idiologis terdapat tiga varian ideologi dalang yaitu:

ideologi konservatif, ideologi progresif, dan ideologi pragmatis.

Ideologi konservatif menjadi pegangan bagi para dalang dengan

gaya pedalangan klasik yang banyak mengacu pada pakem

pedalangan. Para dalang tipe ini memiliki cara berpikir yang

masih berorientasi pada masa lampau dan bertujuan

mempertahankan status quo, yang memitoskan wayang sebagai

pertunjukan yang penuh dengan nilai tuntunan. Dalam

melakukan tugas mendalang harus bersikap netral dan berpegang

pada pancadarma dalang. Mereka ini mendapatkan sebutan

sebagai dalang idealis, dalang pakem, atau dalang klasik. Ideologi

progresif dimiliki oleh para dalang yang selalu mengikuti

36

perubahan dan inovasi dengan tetap mempertimbangkan

keklasikan pertunjukan wayang. Dalang-dalang ini berada pada

dua jalur yang seimbang, antara tontonan dan tuntunan dalam

pergelarannya. Mereka berorientasi pada masa kini dan masa

depan dengnan mengadakan pembaruan untuk memunculkan

nilai baru. Tugas dalang menyampaikan informasi secara jujur,

terbuka, bebas, bijaksana. Mereka mendapatkan julukan sebagai

dalang kontemporer. Ideologi pragmatis dipergunakan bagi

dalang-dalang yang mengejar tujuan-tujuan ekonomi dan segi

pragmatis lainnya. Ada dua varian dalang pragmatis, yaitu

pragmatis yang ambivalen dan pragmatis yang moderat. Berkaitan

dengan posisi ideologi dalang dalam hubungan setiap tipe ideologi

dalang telah berada pada posisi menurut konteks dan kepentingan

tiap-tiap dalang. Isi kandungannya banyak terkait dengan aspek

pengkajian dalam penelitian yang penulis lakukan, tetapi tidak

menyangkut kepada bentuk garap pertunjukan ketiga dalang.

Buku Filsafat Keindahan, Suluk Wayang Kulit Purwa Gaya

Yogyakarta, tulisan Kasidi Hadiprayitno (2009) mengungkap

peranan Suluk dalam konteks filsafat keindahan dan fenonema-

fenomenanya sebagai fakta muatan kefilsafatan dalam

pewayangan. Suluk merupakan bentuk nyanyian dalang yang

disajikan untuk memberi kesan mempertegas pada suasana

adegan dan tokoh teretntu. Dalam buku ini Suluk ditinjau dari

37

kaca pandang kefilsafatan dalam konteks filsafat keindahan. Di

dalamnya memuat tentang contoh-contoh suluk yang ditafsir

berdasarkan pemahaman estetik dan aspek-aspek filsafat lainnya.

Rincian pembahasannya : 1) Pengertian sulukan wayang dalam

estetika Jawa: tinjauan umum tentang hakikat sulukan wayang,

estetika Jawa sulukan wayang, bentuk dan isi sulukan wayang,

jenis dan fungsi sulukan wayang, penyajian syair sulukan wayang

kulit purwa gaya Yogyakarta. 2) Konsep estetika penciptaan

sulukan wayang; konsep estetik sulukan wayang, penciptaan

komposisi sulukan wayang, variasi sulukan, pengelompokan

sulukan, epistemologi sulukan, fenomologi sulukan., 3). Tinjauan

Umum Estetika; pengertian, tokoh filsafat keindahan, estetika

pewayangan, estetika tradisional, filsafat joged Mataram,

pengalaman seni, estetika dan gaya pedalangan, estetika tontonan

4) Estetika sulukan wayang kulit purwa gaya yogayakarta:

pengertian, estetika sulukan, estetika bunyi, estetika persajakan,

nilai keindahan dan relasi estetika. 5) Hubungan Suluk dengan

Etika, Moral dan budi pekerti: Sulukan wayang kulit sebagai

media ajaran moral, dimensi etis dan estetis, sulukan sebagai

cermin kawruh ajaran sangkan paraning dumadi dan

pembentukan budi pekerti luhur. Walaupun di dalamnya banyak

membahas aspek terkait dalam penelitian ini, tetapi tidak

mengkait kepada bentuk garap pertunjukan tiga dalang yang

38

penulis teliti.

Wayang Golek Sunda, Kajian Estetika Rupa Tokoh Golek,

tulisan Jajang Suryana (2002) merupakan sebuah buku tentang

bedah estetika rupa tokoh golek yang ditulis berdasarkan

pendekatan kajian seni rupa. Isinya berupa uraian tentang: 1)

Pengertian wayang berdasarkan beberapa pendapat ahli, asal-

muasal wayang berdasarkan bukti-bukti peninggalan sejarah

terkait, titimangsa wayang, jenis-jenis wayang, bahan golek dan

keahdirannya di bumi priangan. 2) Raut Golek Rurwa; anekan

raut golek purwa, pengertian wanda, nama-nama wanda golek

purwa, wanda pada wayang kulit,penanda raut golek purwa,

bentuk mata, bentuk hidung, bentuk mulut, warna wajah golek. 3)

Arah Kecenderungan Penggunaan Ciri pakem Raut dalam

Pembuatan Golek : gaya Cibiru dan Giri Harja, ciri pakem raut

golek, golek satria, golek ponggawa, golek bura (danawa), golek

punakawan, rumusan pakem pembuatan raut golek, aturan raut

golek satria, ponggawa, buta dan punakawan, unsur-unsur visual

golek satria, ponggawa, buta dan panakwan. Bagian terakhir diisi

oleh penutup sekaligus kesimpulan. Tulisan tentang wayang golek

yang fokus kepada kajian seni rupa ini, tidak menyangkut kepada

bentuk garap pertunjukan sajian tiga dalang (Tjetjep, Dede, dan

Asep).

Padalangan, tulisan M.A. Salmun (1961) membahas tentang

39

seluk beluk pedalangan Sunda yang meliputi: sejarah pedalangan

Sunda, kepercayaan dan anggapan, kesusanteraan, peralatan

pertunjukan, aturan mendalang, keharusan dan larangan, dalang

dan pesinden, kakawen, adat dan bakat, ukuran wayang, lakon

wayang, ngaruat, nama-nama wayang, pakeman basa. Tulisan ini

sangat berguna bagi penelitian ini, namun isinya tidak

menyangkut kepada bentuk garap pertunjukan sajian dalang

Tjetjep, Dede, dan Asep.

Wayang Golek Purwa Gaya Priangan, tulisan Atik Soepandi

(1985) membahas aspek-aspek garap pedalangan yang menjadi

tugas pokok garapan seorang dalang sebagai penyaji. Aspek-aspek

tersebut : lakon, bahasa, antawacana, amardawalagu, kakawen,

murwa, nyandra dan gending iringan. Di samping itu pula, dalam

buku ini dicontohkan beberapa murwa dan nyandra dari gaya

pedalangan konvensional yang berlaku di wilayah Priangan Jawa

Barat. Walaupun banyak membahas tentang keterkaitan unsur-

unsur pertunjukan pada wayang golek purwa Sunda, tetapi

tulisan ini tidak menyangkut kepada bentuk garap pertunjukan

Tjetjep, Dede, dan Asep.

”Asep Sunandar Sunarya: Tokoh dan Kreator Pedalangan

Sunda: Sebuah Biografi”, tulisan Cahya (2000) merupakan sebuah

tesis yang membahas tentang liku-liku proses berkesenian seorang

Asep Sunandar Sunarya dalam menjalani karirnya sebagai dalang

40

dimulai dari masa anak-anak sampai pada akhirnya dapat

menjelma sebagai dalang kondang hingga sekarang. Dalam

pembahasannya, dipaparkan berbagai aspek dan faktor-fakrot

pendukung yang menjadikan Asep Sunandar hingga menjadi

dalang kondang, antara lain dikupas tentang: latar belakang

kehidupan, sikap dan pemikiran, proses kreatif yang

dijalankannya, cara dan metoda pembelajaran selama menjadi

cantrik (siswa dalang di paguron), pengalaman spiritual yang

berkaitan dengan dunia pedalangan, sistem manajerial yang

diberlaku di sanggar Giri Harja 3, prinsip dan filsafat hidup yang

dianutnya, ide dan gagasan berkarya, sejumnlah hasil oleh

kreatifnya yang inovatif dan produktif, respons masyarakat

tentang gaya pertunjukannya, penghargaan yang telah diraihnya,

catatan kisah perjalanan pentas dari dalam negeri hingga keliling

dunia, dan penjelasan-penjelasan lainnya. Walaupun terkait

langsung dengan objek pengkajian pada tulisan ini, tetapi tidak

membahas secara detail menyangkut garap lakon, sabet,

kakawen, dan antawacana terlebih yang berkaitan dengan garap

pertunjukan Dede dan Asep dalam tulisan ini tidak tercamtum.

”Gaya Mendalang Murid-Murid Asep Sunandar Sunarya:

Studi Fenomenologi Komunikasi Dalang Wayang Golek Purwa”

tulisan Athur (2013). Sebuah Disertasi yang di dalamnya

mengupas tentang pernak-pernik berkesenian Asep Sunandar

41

sebagai dalang kondang dengan murid-murid paguron Giri Harja 3

sebagai objek kajian. Sebagai sebuah studi komunikasi estetik

yang menyoroti peran seorang dalang selaku komunikator, tulisan

ini lebih fokus membahas kepada aspek-aspek komunikasi yang

terkait dengan pertunjukan wayang golek. Walaupun terkait

dengan Asep Sunandar sebagai objek kajian, tetapi tulisan ini

tidak menyangkut empat unsur garap pertunjukan secara detail.

Dengan mencermati sumber-sumber pustaka di atas, dapat

disimpulkan bahwa tidak ada satupun yang membahas tentang

kajian empat unsur garap pertunjukan (lakon, sabet, kakawen,

dan antawacana) sajian ketiga dalang kondang tersebut. Dengan

demikian penelitian ini menunjukan masih orsinil belum ada yang

pernah melakukannya.

E. Landasan Teori

Pada dasarnya sebuah seni pertunjukan merupakan sebuah

peristiwa diskursif yang kompleks, yang merupakan jalinan dari

beberapa elemen-elemen ekspresif yang diorganisasi menjadi

sebuah entitas.23

23Marco De Marinis, The Semiotics of Performance. Terj. Aine O’Healy

(Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press, 1993),1-2; Seperti dikutip oleh RM. Soedarsono, (Bandung: Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, 2001), 69.

Cara pandang yang digunakan untuk memotret

sejumlah permasalahan terkait dalam penelitian ini, adalah

menggunakan paradigma tekstual dan kontekstual. Paradigma

tekstual memandang sebuah karya seni sebagai sebuah teks yang

42

dapat dibaca, diberi makna, ataupun dideskripsikan strukturnya.

Adapun paradigma kontekstual memandang sebuah karya seni

berada di tengah konstelasi sejumlah elemen, bagian, atau

fenomena yang berhubungan dengan fenomena tersebut.24

Pendekatan utama yang digunakan adalah pendekatan

estetika pertunjukan wayang dalam hal ini mengacu kepada

konsep-konsep yang ditawarkan oleh Marco de Marinis.

Sebagaimana kita ketahui bahwa seni pertunjukan wayang golek

purwa adalah sebagai bentuk seni pertunjukan rakyat, tidak

terlepas dari tiga aspek pokok, yaitu (1) seniman pengkarya atau

penyajinya, dalam hal ini adalah dalang dan segenap

pendukungnya (pengrawit, pesindhèn, dan wiraswara): (2) karya

seni yang disajikannya dengan unsur-unsur penggarapannya dan

(3) masyarakat pengguna dan atau penikmat (publik). Dengan

demikian, untuk menjawab berbagai persoalan yang berkaitan

Oleh

karena itu dalam pengkajiannya diperlukan pendekatan multi-

disiplin dengan cara meminjam pendekatan disiplin terkait yang

dipandang dapat memperkaya dan mempertajam proses

pengerjaan analisis materi pengkajian.

24R.M. Soedarsono, 1999, 69.

43

dengan garap pertunjukan wayang golek purwa, diperlukan

analisis tekstual dengan pendekatan multidisiplin.25

Melengkapi pendekatan estetika pertunjukan wayang

kaitannya dengan persoalan garap pertunjukan wayang sebagai

objek utama pengkajian, maka diperlukan konsep rasa estetik

yang akan bersentuhan dengan peran dalang sebagai pelaku garap

pertunjukan dalam membangun rasa estetik pertunjukannya.

Berkaitan dengan hal tersebut, untuk melengkapinya meminjam

konsep rasa estetik pertujukan wayang kulit purwa yang dibahas

oleh Nojowirongko dalam pakem pedalangan keraton.

Nojowirongko menyatakan bahwa pertunjukan wayang kulit dapat

dikatakan memiliki derajat estetik jika mengandung konsep:

(1)regu, artinya: suasana pada saat jejer [sore hari] dapat berkesan

agung, berwibawa; (2) greget, artinya: adegan dalam suasana

tegang atau seram dapat berkesan seolah-olah peristiwa nyata

sehingga menggetarkan jiwa penikmatnya; (3) sem, artinya:

menghanyutkan; adegan percintaan atau yang bernuansa asmara

dapat menyentuh rasa asmara; (4) nges, artinya: adegan

bersuasana sedih dapat menimbulkan perasaan iba; (5) unggah

ungguh, artinya: dalang dalam mengungkapkan bahasa, dialog,

genealogi, menancapkan wayang, menggerakkan wayang,

25Marco De Marinis, The Semiotics of Performance. Terj. Aine O’Healy (Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press, 1993),1-9.

44

menyajikan adegan perang, dan sebagainya selalu

mempertimbangkan etika; (6) renggep, artinya: dalang dalam

menyajikan pertunjukan wayang harus selalu bersemangat,

pantang menyerah atau tidak kendur; (7) antawecana, artinya:

dalang dalam menyajikan narasi harus sesuai dengan melodi

gending [rasa pathet] yang mengiringi, dalam menyajikan

dialog/monolog wayang harus sesuai dengan bentuk dan roman

muka wayangnya; (8) cucut, artinya: dalang harus mampu

membangkitkan rasa humor/lucu bagi penonton; (9) tutug,

artinya: dalang di dalam menyajikan wacana pakeliran harus

mudah ditangkap maknanya, pola pikirnya harus urut/sistematis,

dan artikulasinya harus jelas; dan (10) trampil, artinya: dalang

harus menguasai seluruh teknik pakeliran; sabêtnya terampil dan

sesuai dengan bentuk wayang; narasi dan percakapannya sesuai

dengan suasana adegan; gending, sulukan, dhodhogan, dan

keprakan mendukung suasana adegan; ilmu pengetahuan yang

disampaikan relevan dengan lakon, tokoh wayang, dan suasana

adegan serta mudah dipahami oleh penonton; dapat

mempersingkat ataupun menambah durasi pertunjukan.26

Konsep rasa esetik yang dikemukakan oleh Nojowirongko

yang notabene sebagai konsep estetika pertunjukan wayang kulit

26Nojowirongko, Serat Tuntunan Pedalangan Tjaking Pakeliran Lampahan

Irawan Rabi (Yogyakarta: Tjabang Bagian Bahasa Jogjakarta Djawatan Kebudajaan Departemen P.P dan K, 1960), 57.

45

tersebut, selanjutnya akan diadaptasi kembali dengan konsep

dramaturgi pedalangan Sunda yaitu konsep dua belas tetekon dan

panca curiga. Konsep dua belas tetekon padalangan Sunda yaitu:

antawacana, renggep, enges, tutug, banyol, sabet, kawiradya,

paramakawi, amardibasa, paramasastra, awicarita, dan

amardawalagu. 27 Konsep panca puriga meliputi; silib, sindir,

simbul, siloka, dan sasmita.28

“Sebuah alur dalam wayang dibangun atas tiga unit dasar. Pertama, pembagian babak yang terdiri dari tiga pathet (nem, sanga dan manyuro). Kedua, pembagian adegan dasar, yaitu (1) jejer; (2) adegan; dan (3) perang. Ketiga, pembagian komponen dasar yaitu gambaran tentang situasi, dialog, dan tindakan”.

Kedua konsep dramaturgi inilah

yang dijadikan landasan analisis unsur garap pertunjukan wayang

golek Sunda (lakon, sabet, antawacana, dan kakawen).

Untuk membahas tentang bentuk struktur garap

pertunjukan berdasarkan pertimbangan lakon yang disajikan oleh

masing-masing dalang tersebut, maka digunakan konsep Becker

tentang struktur dramatik yang menjelaskan bahwa:

29

Konsep tersebut akan dipertegas kembali oleh konsep Pola

Pengadegan pada pertunjukan wayang golek yang dibahas oleh

Saini KM, bahwa struktur pertunjukan wayang golek sebagai

27M.A. Salmun, Padalangan (Jakarta: Balai Pustaka, 1961), 188-200. 28Hidayat Suryalaga, Kasundaan Rawayanjati (Bandung: SundaNet.com-

Wahana Raksa Sunda, 2003), 54. 29AL. Becker, “Text-Building, Epistemology and Aesthetics in Javanese

Shadow Theatre” dalam The Imagination of Reality Essays in Southeast Asian Coherence Systems (New Jersey: Ablex Publishing Corporation Norwood, 1979), 211-243.

46

bentuk teater tradisional berorientasi kepada siklus tempat yaitu:

karaton-luar keraton dan keraton, atau berdasar kepada siklus

keadaan yaitu harmoni-disharmoni-harmoni.30 Keraton adalah

sebuah ruang yang dianalogikan sebagai lambang kemakmuaran,

keagungan dan keharmonisan, luar keraton adalah sebuah simbol

ketidak teraturan (disharmoni) dengan penuh konflik atau

peristiwa. Pola global inilah yang menjadi ide dasar struktur lakon

dalam wayang golek. Konsep lain yang dipergunakan dalam

pembahasan yang berkaitan dengan struktur pertunjukan, adalah

konsep struktur lakon sebagaimana dijelaskan oleh Soetarno

dalam bukunya yang berjudul Teater Wayang Asia (2010) bahwa

unsur-unsur struktur lakon adalah (1) Tema dan amanat, (2) Alur

(plot), (3) Penokohan (perwatakan) dan (4) Latar (setting).31

Adapun untuk membahas bentuk garap pertunjukan pada

aspek kakawen yang dilakukan oleh ketiga tokoh dalang tersebut,

maka digunakan konsep-konsep karawitan Sunda yang menjadi

landasan musikalitas bagi seorang dalang. Konsep-konsep

tersebut adalah: laras, patet, surupan, embat dan wirahma.

Selanjutnya seorang dalang, dalam menyajikan kakawen harus

menggunakan teknik melantunkan (menyuarakan) dengan baik,

dan teknik-teknik tersebut adalah (1) santek, (2) embat, dan (3) eur-

30Saini KM., Teater Modern Indonesia dan Beberapa Masalahnya

(Bandung: ITB Press,1988),16. 31Soetarno, Teater Wayang Asia (Solo: ISI Press, 2010), 213.

47

eur.32

Kreativitas adalah akibat dari motivasi aktualisasi diri sebab individu-individu kreatif berciri khas dengan kebutuhan mereka untuk mengaitkan diri dengan alam di sekitar mereka. Mengaktualisasikan diri berarti mengaktualkan potensi-potensi pribadi pada suatu kerja konkret.

Menyajikan kakawen tidak cukup dengan penguasaan

teknik dan penjiwaan (ekspresi), tetapi harus didukung oleh faktor

kualitas dan warna suara (timbre) dalang yang memadai.

Selanjutnya untuk membahas atas pertanyaan mengenai

mengapa ketiga tokoh dalang tersebut melakukan garap

pertunjukan dan apa motivasinya? maka akan dipinjam konsep

Maslow tentang kreativitas seperti yang dikutip oleh Irma

Damayanti, adalah sebagai berikut.

33

“There are also a set of interpersonal and socially oriented personality traits that are relevant to artistic creativity, one of which is rebellion, or nonconformity. Artists, perhaps more than almost any other members of society, tend to question and rebel against established norms. Some may even argue, questioning, challenging, and pushing the limits of what is

Masih berkenaan dengan konsep kreativitas yang kaitannya

dengan faktor personal sebagai seniman dalang, maka digunakan

konsep perihal kepribadian dalam kreativitas seniman yang dapat

melihat sifat dan karakteristik kekaryaan seorang seniman dalang,

sebagaimana dipaparkan oleh Gregory J.Feist dalam Handbook of

Creativity sebagai berikut.

32 Wawancara dengan Dede Amung Sutarya, tanggl 7 April 2011.

33Periksa Irma Damajanti, Psikologi Seni (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2006), 86.

48

acceptable, that may be the defining traits of being an artist in modern society.”34

Konsep lainnya yang dipergunakan dalam rangka

mengungkap proses garap pertunjukan yang dilakukan ketiga

tokoh dalang tersebut (Tjetjep, Dede dan Asep) adalah konsep

proses kreatif dari seorang dalang. Mengungkap kreativitas dari

ketiga tokoh dalang tersebut berarti membahas seluk beluk dan

tahapan-tahapan kegiatan yang dilalui oleh ketiganya melalui

cara-caranya tersendiri, dan itu yang disebut proses kreatif.

35

Begitu pula Jakob Sumardjo menjelaskan bahwa, pada dasarnya

hakekat kreativitas adalah menemukan sesuatu yang baru atau

hubungan-hubungan baru dari sesuatu yang telah ada. Manusia

menciptakan sesuatu bukan dari kekosongan, tetapi dari sesuatu

yang telah ada sebelumnya. Setiap seniman menjadi kreatif dan

besar karena bertolak dari bahan yang telah tercipta sebelumnya

yakni tradisi yang hidup dalam suatu masyarakat.36

34 Gregory J. Feist, “The Influence of Personality on Artistic and Scientific

Creativity” dalam Robert J.Sternberg, (ed), Handbook of Creativity (Cambridge, University Press, 1999), 248.

35Saini K.M., Taksonomi Seni (Bandung: STSI Press, 2001), 21. 36Jakob Sumardjo, Filsafat Seni (Bandung: Institut Teknologi Bandung,

2000), 84.

Terkait dengan masalah kreativitas, Dedi Supriadi

mengartikan kreativitas sebagai kemampuan seseorang untuk

melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun

karya nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada

49

sebelumnya. Dalam hal ini Wallas seperti yang dikutip oleh Dedi

Soepriadi menjelaskan bahwa proses kreatif melalui empat tahap:

persiapan, inkubasi, iluminasi dan verifikasi.37 Adapun Rhodes

dalam bukunya An Analysis of Creativity membagi dimensi

kreativitas menjadi empat elemen “the Four P’s of Creativity.”

Keempat elemen tersebut adalah pribadi (person), proses (process),

dorongan (press), dan produk (product).38

37Dedi Supriadi, Kreativitas, Kebudayaan & Perkembangan Iptek.

(Bandung: Afabeta 2001), 52-54. 38M. Rhodes, An Analysis of Creativity (Phi Delta Kappan, 1961); seperti

yang dikutip oleh Dedi Supriadi, Kreativitas, 2001, 7.

Dimensi-dimensi

tersebut memiliki hubungan yang erat saling berhubungan yang

mungkin tidak bisa dipisahkan dalam proses kreatif, termasuk

yang dilakuakn oleh ketiga tokoh dalang tersebut sebagai seniman

penggarap. Konsep-konsep tersebut akan dapat membantu dalam

upaya mengungkap cara dan tahapan yang dilakukan oleh ketiga

dalang tersebut dalam menggarap aspek-aspek pertunjukan

wayang melalui daya interpretasi dan sensibilitas musikal yang

dimilikinya.

Untuk membedah permasalahan garap dalam penyajian

pertunjukan wayang golek, maka konsep garap yang ditawarkan

oleh Rahayu Supanggah dianggap relevan untuk dijadikan pisau

bedah pengkajian masalah garap pertunjukan yang dilakukan oleh

Tjetjep Supriadi, Dede Amung dan Asep Sunandar.

50

Kata garap39 dalam dunia seni pertunjukan tradisi, diartikan

sebagai sebuah sistem atau rangkaian kerja kreatif seorang atau

kelompok dalam menyajikan keterampilannya untuk dapat

menghasilkan wujud penampilan dan kualitas tertentu dalam

sajian kekaryaanya. Dalam dunia pedalangan, garap sering

disebut dengan istilah sanggit.40

39Rahayu Supanggah, Bothekan Karawitan II: GARAP (Surakarta: Prog.

Pasca Sarjana ISI Surakarta 2009), 3-4, 204. 40Rahayu Supanggah, 2009, 4.

Konsep garap pada konteks ini

akan lebih diperjelas lagi dengan memahami piranti atau parabot

garap (vokabuler garap) yang menyatu pada keadaan jiwa,

pengalaman estetis pelaku garap (senimannya) bersifat imajiner

yang berada dalam benak seniman itu sendiri termasuk ide,

gagasan untuk menggarap sesuatu kekaryaanya. Terkait dengan

permasalahan garap dalam kekaryaan seni pedalangan, maka

terdapat tiga elemen sebagai pembentuk terjadinya proses garap

yang dilakukan oleh seorang seniman yaitu: (1) pelaku garap yaitu

dalang dengan latar belakang kesenimanannya, (2) unsur garap

yaitu aspek-aspek pertunjukan wayang golek: lakon, kakawen,

sabet, bahasa dan iringan, (3) pertimbangan garap meliputi faktor

internal dan eksternal yang berperan mempengaruhi

berlangsungnya proses garap oleh seorang seniman. Ketiga elemen

tersebut saling terkait, saling berinteraksi dan saling

51

mendukung.41

Dalam hal membedah aspek musikal yang terdapat dalam

kakawen, maka meminjam konsep dan pendekatan cara kerja

etnomusikologi dengan mengurai struktur melodi pada kakawen

yaitu melodi, frase dan periode kalimat lagu.

Mengapa ketiga tokoh dalang tersebut melakukan pola

penggubahan terhadap garap pertunjukan dengan pertimbangan

unsur garap pertunjukan masing-masing pilihannya? Dalam

konteks ini dianalisis dengan meminjam teori perubahan Alvin

Boskoff yang menyatakan bahwa terjadinya perubahan dapat

disebabkan oleh dua faktor, yakni faktor eksternal dan faktor

internal. Faktor eksternal adalah sebuah perubahan terjadi

karena adanya kontak antarbudaya yang menjanjikan harapan-

harapan lebih menguntungkan, sedangkan faktor internal adalah

terjadinya suatu perubahan disebabkan adanya perubahan yang

terdapat dalam masyarakat itu sendiri sebagai akibat kesadaran

individu akan kekurangan-kekurangan di sekelilingnya serta

perasaan tidak puas terhadap keadaan yang ada.42

41Sugeng Nugroho, ”Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Gelar Safari

Dalang” dalam Timbul Haryono, Seni Dalam Dimensi Bentuk, Ruang dan Waktu (Yogyakarta: Wedatama Widya Sastra, 2009),19. 42Alvin Boskoff, “Recent Theories of Social Change” dalam Ed. Warner J. Cahnman & Alvin Boskoff, Sociology and History: Theory and Research. (London: The Free Press of Glencoe, 1964).143-147

52

Diagram 2: Skema analisis studi kasus garap pertunjukan wayang sajian tiga dalang (diagram disusun oleh Cahya)

Soetarno dalam bukunya berjudul Pertunjukan Wayang &

Makna Simbolisme, membagi dalang menjadi empat kategori, yaitu:

(1) dhalang apik; (2) dhalang wasis; (3) dhalang pinter; dan (4)

dhalang sabet. Dhalang apik maksudnya lebih memperhatikan

kaidah-kaidah dan nilai estetis (Ki Pujosumarto). Dhalang wasis

maksudnya lebih mengutamakan dramatikal dan garap karakter

(Ki Wignyosutarno dan Ki Nartasabdo). Dhalang pinter maksudnya

lebih sangat intens menyampaikan pesan moral, spiritual dan

BENTUK PERTUNJUKAN WAYANG SAJIAN TIGA

DALANG: TJETJEP, DEDE, ASEP

GENETIK, OBJEKTIF, AFEKTIF

WAWASAN dan KEPEKAAN ESTETIK

TEKNIK dan EKSPRESI GARAP

PARABOT GARAP

NYARI Puncak akumulasi

ekspresi estetik

ESTETIKA PERTUNJUKAN

WAYANG GOLEK SUNDA

KONSEP 12 TETEKON

KONSEP PANCA CURIGA

(PANCA “S”)

KONSEP GARAP

UNSUR GARAP PERTUNJUKAN WAYANG:

LAKON,SABET, ANTAWACANA, KAKAWEN

53

kritik sosial (Ki Tikna Sudarsa) Dhalang sabet maksudnya lebih

menonjolkan pada kemampuan sabet (Ki Manteb Soedarsono).43

Untuk mengungkap sistem pewarisan paguron dalang dari

ketiga tokoh dalang tersebut, digunakan sebuah terminologi

sistem pewarisan budaya yang berlaku di lingkungan tradisi

pedalangan Sunda. Terdapat tiga kelompok pewarisan dalang

yaitu: (1) Dalang Turunan, (2) Dalang Katurunan dan (3) Dalang

Tuturunan.

44

Terkait dengan bentuk sistem pewarisan dalam tradisi

pedalangan Sunda tersebut, dalam upaya mendeskripsikan cara-

cara dan kecenderungan memperoleh ilmu mendalangnya, maka

Dalang Turunan adalah sesorang yang menjadi

dalang dikarenakan memiliki darah keluarga keturunan dalang

(bapak, kakek atau buyutnya). Dalang Katurunan adalah

seseorang yang menjadi dalang dengan cara berguru langsung

kepada paguron dalang (guru dalang) secara resmi, walaupun

dalang tersebut tidak memiliki darah keluarga keturunan dalang.

Sedangkan Dalang Tuturunan adalag sesorang menjadi dalang

dengan tidak berguru kepada siapapun (paguron dalang maupun

personal guru dalang) serta dalang tersebut tidak memiliki darah

keluarga keturunan dalang.

43Soetarno, Pertunjukan Wayang & Makna Simbolisme (Surakarta: STSI

Press, 2005), 2-3. 44Periksa Cahya, 2000, 12.

54

dipinjam konsep perilaku manusia sebagaimana diungkapkan oleh

Desmond Morris, sebagai berikut.

“ As a species we are strongly imitative and it is impossible for a healthy individual to grow up and live in a community without becoming infected with its typical action-patterns.” 45

Dalam upaya memperoleh sumber berupa data-data yang

kredibel serta relevan dengan permasalahan yang akan diteliti,

maka diperlukan sebuah metode penelitian sebagai piranti

membedah dan mengungkap dari berbagai permasalahan terkait.

Penelitian ini adalah bersifat kualitatif, dengan demikian dasar

yang dipakai untuk analisisnya adalah data, kehadiran data harus

ditempatkan sebagai sebuah totalitas.

F. Metode Penelitian

46

45Desmond Morris, Manwatching; A Field Guide to Human Behavior (New

York: Harry N. Abrams, Inc. Publisher, 1977), 18. 46Mengacu pendapat RM. Soedarsono dalam Metodologi Penenlitian Seni

Pertunjukan dan Seni Rupa (Bandung: MSPI,1999),34; yang mengutip pendapat dari Pertti Alasuutari dalam bukunya Reserching Culture: Qualitative Method and Culural studies (Landon: Sage Publication,1999) 8-12.

Sebagai sebuah bentuk penelitian kualitatif, maka data-

data yang diperlukan dari berbagai sumber itu pun adalah

berbentuk data kualitatif. Salah satu sifat dari data kualitatif

adalah bahwa data itu merupakan data yang memiliki kandungan

yang kaya, yang multi-dimensional, dan kompleks. Sebuah data

kualitatif ibarat sebuah ‘teka-teki’ atau sebuah ‘misteri’. Dalam

menebak teka-teki itu selalu harus mengarah untuk menjawab

pertanyaan ‘mengapa’, dan bukan sekedar menjawab pertanyaan

55

’apa’.47

Salah satu yang dapat mencirikan dari bentuk penelitian

kulaitatif ini adalah mengedapankan bentuk pertanyaan ‘mengapa’

kemudian dieksplanasi dengan secermat mungkin dalam upaya

menuju pada hasil penelitian yang berkualitas. Kekuatan

menafsir, memahami, menginterpretasi, dan menganalisis juga

merupakan menu utama dalam penelitian kualitatif sehingga

metodologinyapun berbentuk deskriptif analisis.

Penelitian ini tidak hanya cukup menggunakan satu

pendekatan disiplin terkait saja, maka dengan demikian

diperlukan pendekatan multidisiplin sebagai pisau bedah alat

bantu untuk mengungkap permasalahan-permasalahan terkait.

Beberapa disiplin ilmu yang terkait erat hubungannya dengan

topik penelitian ini, antara lain disiplin sejarah, etnomusikologi,

estetika, psikologi dan sosiologi. Kelima disiplin inilah diharapkan

dapat membantu dalam mengungkap sejumlah permaslahan yang

dianggap kredibel dalam menjawab butir-butir pertanyaan

rumusan masalah.

Rancang bangun dasar penelitian yang akan dilakukan ini,

pada dasarnya terbagi menjadi tiga langkah kerja yang sudah

direncanakan adalah sebagai berikut.

47 Soedarsono,1999,46.

56

1. Lokasi dan Objek Primer Penelitian.

Seperti telah dipaparkan pada latar belakang masalah,

bahwa yang menjadi tempat atau lokasi penelitian ini yaitu

Bandung dan sekitarnya (kota dan kabupaten) sebagai barometer

kekuatan pedalangan Sunda dengan berbagai fenomenologinya.

Bandung sebagai cikal bakalnya lahirnya seni pertunjukan wayang

golek di Jawa Barat (tatar Pasundan), maka tidak mengherankan

Bandung telah memunculkan sejumlah dalang maestro yang

dikenal oleh masyarakat khalayak luas. Dalang-dalang kondang

dengan kemaestroannya tersebut, masing-masing memiliki gaya

(style) pertunjukan yang mencirikannya.

Oleh karena itu atas dasar pertimbangan dari berbagai

sudut pandang, maka pemilihan tiga tokoh dalang (Tjetjep, Dede

dan Asep) sebagai objek utama pengkajian sebagai sesuatu yang

representatif baik secara kualitas kesenimanannya maupun

ketokohannya di jagat pedalangan Sunda. Penelitian ini mengarah

pada objek atau tokoh seniman dalang, namun penelitian ini

bukan dalam format biografi, walaupun di dalamnya akan muncul

pembahasan aspek biografi sebagai bagian dari pemaparan dan

pendeskrifsian ketokohannya.

2. Sistem dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini pada prinsipnya mengacu pada tiga bentuk

sumber data primer yang dijadikan sumber rujukan (referensi).

57

Pertama adalah sumber tulisan berupa buku-buku terkait

(langsung dan tidak langsung), manuskrip, artikel, makalah, dan

bentuk tulisan lainnya. Sumber-sumber tersebut dilakukan

dengan cara studi pustaka. Sumber kedua adalah berbentuk lisan

yang berupa hasil wawancara dengan beragam sumber terpilih

dan teruji berdasarkan kategorisasi yang telah ditentukan.

Sumber wawancara ini dapat terbagi menjadi wawancara langsung

dan tak langsung. Wawancara langsung dengan menggunakan

teknik berdialog langsung dengan nara sumber pokok dan sumber

pendukung. Untuk sumber pendukung diklasifikasikan kepada

sumber primer dan sekunder. Adapun bentuk sumber yang ketiga

adalah berupa benda atau artefak terkait. Benda tersebut lebih

tertuju pada dokumentasi kekaryaanya seperti rekaman kaset

audio, CD, VCD dan bentuk-bentuk dokumen lainnya.

Untuk memperkaya dan mempertajam pengumpulan data-

data yang diperlukan, maka penelitian ini akan menggunakan

teknik atau cara participant observer. Keterlibatan peneliti sangat

membantu dalam hal mengorek data-data penting dalam

kepentingan analisis dan interpretasi. Sehubungan dengan

kedudukannya peneliti sebagai participant observer, maka perlu

sekali langkah antisipasi untuk menghindar dari subyektivitas

yaitu dengan cara membuat jarak sebagai kontrol dengan

mengedepankan azas kejujuran ilmiah dalam oprasional

58

penelitian. Langkah dan cara-cara lainnya pun tentunya akan

selalu ditempuh dalam rangka mengungkap data-data penting,

termasuk ke hal-hal yang privasi sekalipun bila memungkinkan

dan diperlukan sepanjang tidak melanggar norma dan etika ilmiah

penelitian.

3. Analisis Data

Memasuki pada tataran analisis data, maka langkah -

langkah yang harus segera dilakukan adalah mengolah dan

mengklasifikasi dan menilai data yang sudah terkumpul secermat

mungkin untuk memperoleh hasil analisis yang maksimal. Pada

akhirnya akan muncul kelompok-kelompok data berdasarkan

tingkatannya, seperti kelompok data pokok dan kelompok data

pendukung atau pembanding. Data-data tersebut diperoleh hasil

dari upaya melakukan studi pustaka, pengamatan, dan wawan-

cara. Ketiga cara ini diharapkan dapat saling mendukung dan

melengkapi data-data yang diperlukan dalam penelitian.

Dalam melakukan penganalisisan data yang berasal dari

dokumen kekaryaannya (kaset radio tape recorder, CD,VCD-DVD),

itu semua akan diklasifikasi berdasarkan dokumen rekaman

urutan tahun produksi. Adapun untuk mengungkap garap

kekinian (garap yang paling mutakhir) yang disajikan oleh ketiga

tokoh dalang tersebut, yaitu melalui data video rekaman dari

59

pertunjukan langsung yang dianggap terbaru (dokumen terkini)

sesuai dengan kurun waktu masa penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Bab I Pengantar meliputi latar belakang, rumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Gambaran Umum Wayang Golek Sunda, meliputi: sekilas

awal munculnya wayang golek di Sunda, unsur-unsur estetika

pertunjukan wayang, dan aspek-aspek wilayah garap dalang.

Bab III Nyari dan Unsur-unsur Pembentuknya dalam Estetika

Pedalangan Sunda, meliputi: konsep nyari dalam estetika

pedalangan Sunda, unsur-unsur pembentuk nyari dalam

pertunjukan wayang, norma-norma pedalangan Sunda: konsep

dua belas tetekon padalangan Sunda dan panca curiga.

Bab IV Struktur dan Ciri-ciri Garap pertunjukan Tjetjep Supriadi,

Dede Amung, dan Asep Sunandar Sunarya, meliputi: struktur

pertunjukan wayang golek, pola bedripan lakon Nurkala Kalidasa

sajian Tjetjep Supriadi, pola bedripan lakon Wahyu Cakraningrat

sajian Dede Amung Sutarya, pola bedripan lakon Kumbakarna

Gugur sajian asep sunandar sunarya.

Bab V Faktor-Faktor Pembentuk Ekspresi Garap Pertunjukan

Sajian Tjetjep Supriadi, Dede Amung Sutarya, dan Asep Sunandar

Sunarya, dalam Membentuk Kualitas Estetik Keutuhan dan

60

Kemantapan Pertunjukannya, meliputi: Faktor Internal:

Pengalaman Ketubuhan Dalang (Proses, wawasan,dan Ekspresi),

Nyari dalam ekspresi garap pertunjukan Tjetjep Supriadi, Nyari

dalam ekepresi garap pertunjukan Dede Amung Sutarya, dan

Nyari dalam ekspresi garap pertunjukan Asep Sunandar Sunarya.

Faktor Eksternal: faktor genetik, faktor objektif, dan faktor afektif.

Bab VI Kesimpulan