vol.vi no.03 i p3di februari 2013

20
- 1 - Vol. VI, No. 03/I/P3DI/Februari/2014 H U K U M Info Singkat © 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI www.dpr.go.id ISSN 2088-2351 Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini IMPLIKASI PUTUSAN MK NO. 14/PUU-IX/2013 TERHADAP PENYELENGGARAAN PEMILU DI INDONESIA Marfuatul Latifah*) Abstrak Beberapa waktu yang lalu MK telah membacakan Putusan No. 14/PUU-IX/2013. Putusan tersebut menyatakan bahwa Pasal 3 Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1), (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112 UU No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak sah dan tidak mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945. Namun demikian, putusan yang membutuhkan selang waktu 10 bulan untuk dibacakan tersebut baru dapat diberlakukan pada Pemilu dan Pilpres 2019. Hal tersebut akan berimplikasi pada praktek penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, baik bagi pemilu yang pelaksanaannya sudah dekat maupun Pemilu pada masa yang akan datang. Pendahuluan Pada tanggal 23 Januari 2014 Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan uji materiil atas UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) yang diajukan oleh Effendi Gazali. Dalam permohonan tersebut, setidak-tidaknya terdapat lima pasal yang diuji. Pasal-Pasal tersebut adalah Pasal 3 Ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 Ayat (1), (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112 UU No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Berdasarkan pokok perkara dalam permohonan tersebut setidak-tidaknya ada dua hal yang dipersoalkan, yaitu, pertama soal pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) yang terpisah dengan Pemilihan Presiden (Pilpres), dan yang kedua adanya ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Atas perkara tersebut MK kemudian mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa Pasal 3 Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1), (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112 UU Pilpres bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dengan adanya putusan tersebut MK memutuskan bahwa pelaksanaan Pileg yang tidak bersamaan dengan Pilpres inkonstitusional, sehingga pasal-pasal yang telah disebutkan sebelumnya tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum. Namun demikian, dalam sidang perkara tersebut MK tidak mengabulkan permasalahan yang kedua, yaitu pemohonan untuk menyatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden bertentangan dengan UUD 1945. Dalam putusan uji materiil MK juga mengeluarkan putusan lain yang kemudian cukup menuai reaksi dari berbagai pihak *) Peneliti Muda Tim Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Upload: infosingkat

Post on 25-Nov-2015

37 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

IMPLIKASI PUTUSAN MK NO. 14/PUU-IX/2013 TERHADAP PENYELENGGARAAN PEMILUDI INDONESIAMASYARAKAT SIPIL DAN TRANSISI DEMOKRASIDI TIMUR TENGAHKONTRIBUSI PSYCHOLOGICAL FIRST AID (PFA) DALAM PENANGANAN KORBAN BENCANA ALAMPERSPEKTIFEKONOMIKEbIjAKAN PENANGGULANGAN BANjIRFUNGSI PENDIDIKAN POLITIK PERS NASIONAL DALAM PEMILU 2014

TRANSCRIPT

  • - 1 -

    Vol. VI, No. 03/I/P3DI/Februari/2014H U K U M

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

    IMPLIKASI PUTUSAN MK NO. 14/PUU-IX/2013 TERHADAP PENYELENGGARAAN PEMILU

    DI INDONESIA Marfuatul Latifah*)

    Abstrak

    Beberapa waktu yang lalu MK telah membacakan Putusan No. 14/PUU-IX/2013. Putusan tersebut menyatakan bahwa Pasal 3 Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1), (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112 UU No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak sah dan tidak mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945. Namun demikian, putusan yang membutuhkan selang waktu 10 bulan untuk dibacakan tersebut baru dapat diberlakukan pada Pemilu dan Pilpres 2019. Hal tersebut akan berimplikasi pada praktek penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, baik bagi pemilu yang pelaksanaannya sudah dekat maupun Pemilu pada masa yang akan datang.

    PendahuluanPada tanggal 23 Januari 2014 Mahkamah

    Konstitusi (MK) membacakan putusan uji materiil atas UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) yang diajukan oleh Effendi Gazali. Dalam permohonan tersebut, setidak-tidaknya terdapat lima pasal yang diuji. Pasal-Pasal tersebut adalah Pasal 3 Ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 Ayat (1), (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112 UU No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Berdasarkan pokok perkara dalam permohonan tersebut setidak-tidaknya ada dua hal yang dipersoalkan, yaitu, pertama soal pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) yang terpisah dengan Pemilihan Presiden (Pilpres), dan yang kedua adanya ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).

    Atas perkara tersebut MK kemudian mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa Pasal 3 Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1), (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112 UU Pilpres bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dengan adanya putusan tersebut MK memutuskan bahwa pelaksanaan Pileg yang tidak bersamaan dengan Pilpres inkonstitusional, sehingga pasal-pasal yang telah disebutkan sebelumnya tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum. Namun demikian, dalam sidang perkara tersebut MK tidak mengabulkan permasalahan yang kedua, yaitu pemohonan untuk menyatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden bertentangan dengan UUD 1945.

    Dalam putusan uji materiil MK juga mengeluarkan putusan lain yang kemudian cukup menuai reaksi dari berbagai pihak

    *) Peneliti Muda Tim Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

  • - 2 -

    baik di kalangan akademisi, politisi maupun masyarakat Indonesia. Hal tersebut karena setelah menyatakan Pilpres yang tidak dilaksanakan secara bersamaan dengan Pileg merupakan kegiatan yang inkonstitusional, MK menyatakan bahwa ketentuan tersebut berlaku untuk penyelenggaraan Pemilu tahun 2019 dan pemilu seterusnya.

    Sikap mendua yang tercantum dalam putusan MK tersebut cukup menarik perhatian karena setelah membatalkan pasal yang menjadi pijakan hukum bagi pelaksanaan Pemilu 2014 yang sudah di ambang mata, MK kemudian membuat masyarakat bertanya-tanya bagaimana legalitas penyelenggaraan Pemilu 2014 dan bagaimana kekuatan hukum dari hasil penyelenggaraan Pemilu 2014 tersebut, serta implikasi apa saja yang akan timbul.

    Putusan Multitafsir Sebelum putusan atas permohonan

    uji materiil tersebut dibacakan, pada Desember 2013, Yusril Ihza Mahendra selaku ketua Majelis Syura Partai Bulan Bintang mengajukan permohonan yang secara substansi sama dengan permohonan yang diajukan oleh Effendi Gazali. Hanya saja permohonan yang diajukan oleh Yusril berbeda dari sisi kepentingan dan kedudukan hukum sebagai pemohon. Pada permohonan ini Yusril mengajukan permohonan dengan pertimbangan bahwa dirinya tidak bisa secara otomatis maju sebagai calon Presiden di Pemilu 2014 karena harus menunggu hasil Pileg yang diikuti oleh partainya.

    Berbeda dengan Yusril, Effendi Gazali mengajukan permohonan uji materiil dilandaskan pada pemikirannya pada hak sebagai rakyat Indonesia yang tidak terpenuhi untuk mendapatkan Pemilu yang hemat dan efisien serta berkualitas ketika Pilpres tidak dilaksanakan bersamaan dengan Pileg dan calon presiden yang tersedia hanya berdasarkan hasil Pileg. Artinya calon presiden lain yang berkualitas belum tentu dapat maju pada Pilpres.

    Lebih jauh Effendi Gazali menyatakan bahwa pelaksanaan Pileg yang lebih dahulu dari Pilpres bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 karena tidak sesuai dengan kehendak pembuat undang-undang dasar (original intent). Pendapat tersebut berdasarkan bukti yang tercantum dalam risalah Rapat Komisi A Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 tanggal 4 sampai 8 November 2001. Dalam risalah

    rapat tersebut ditemukan dialog terkait dengan pelaksanaan Pileg dan Pilpers antara anggota MPR, Tjetje Hidayat Patmadinata dengan Ketua Komisi A, Slamet Efendy Yusuf.

    Risalah percakapan tersebut menjelaskan bahwa pelaksanaan pemilihan dilakukan secara serentak dengan menggunakan lima kotak suara yang harus diisi oleh rakyat Indonesia yang melaksanakan hak pilih. Kelima kotak tersebut masing-masing untuk anggota DPRD tingkat kabupaten/kota, DPRD tingkat provinsi, anggota DPD, anggota DPR RI, serta kotak terakhir untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Sedangkan soal ambang batas pencalonan presiden yang juga menjadi materi gugatan, pengajuan gugatan tersebut karena perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pileg sebagai penentuan ambang batas bagi partai politik yang ingin mengajukan calon presiden, bertentangan dengan semangat pemilihan serentak yang tercantum dalam kehendak pembuat UUD sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Selanjutnya pemohon juga menyatakan bahwa ketika Pemilu dilaksanakan secara serentak maka secara otomatis akan mengeliminir ketentuan mengenai ambang batas yang menjadi prasyarat pengajuan calon presiden dan wakil presiden.

    Atas permohonan tersebut, majelis hakim konstitusi melalui putusan MK No. 14/PUU-IX/2013, mengabulkan permohonan Effendi Gazali agar pemilu dilaksanakan secara serentak. Hal tersebut karena majelis hakim yang diketuai oleh Hamdan Zoelva menyatakan bahwa permohonan tersebut memiliki dasar yang cukup kuat sehingga pasal mengenai pelaksanaan Pilpres setelah adanya hasil Pileg dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

    Walaupun demikian, MK menyatakan bahwa keputusan tersebut tidak bisa diberlakukan pada pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan dilaksanakan pada tahun 2014. MK dalam amar putusannya menyatakan bahwa pemilu secara serentak hanya berlaku pada Pemilu 2019 dan seterusnya. Alasan MK menunda berlakunya putusan tersebut antara lain karena terbatasnya waktu, tahapan penyelenggaraan Pemilu 2014 telah dan sedang berjalan mendekati waktu pelaksanaan, peraturan perundang-undangan, tata cara pelaksanaan pemilihan umum, dan persiapan teknis telah diimplementasikan.

  • - 3 -

    Selain itu, dengan adanya keputusan MK yang mengeliminasi ketentuan pelaksanaan Pilpres setelah Pileg, maka diperlukan aturan baru sebagai dasar pelaksanaan Pilpres dan Pileg secara serentak melalui undang-undang. Jika aturan tersebut dipaksakan untuk dibuat dan di selesaikan demi pelaksanaan pemilu 2014 secara serentak, majelis khawatir waktu yang tersisa tidak cukup memadai untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan komprehensif.

    Sementara mengenai permohonan yang kedua, yaitu adanya presidential threshold, MK menolak permohonan tersebut sehingga pasal 9 UU Pileg masih dinyatakan sesuai dengan UUD 1945 karena merupakan penjabaran dari Pasal 6A UUD 1945 sehingga masih memiliki kekuatan mengikat.

    Putusan tersebut menuai berbagai reaksi dari berbagai kalangan baik akademisi, politisi, maupun masyarakat. Pada umumnya partai politik besar yang menjadi peserta Pemilu 2014 menyatakan bahwa putusan tersebut menguntungkan semua pihak. Salah satu politisi PDIP, Eva Kusuma Sundari, menyatakan bahwa putusan yang dikeluarkan MK merupakan putusan yang mengedepankan kepentingan bangsa dan negara. Menurutnya ketika pemilu serentak langsung dilaksanakan pada tahun ini maka hal tersebut akan mengganggu perencanaan dan strategi yang telah disiapkan oleh PDIP selama ini. Eva juga menegaskan bahwa pelaksanaan pemilu serentak tanpa perencanaan yang matang akan mengganggu kualitas pemilu dan mengakibatkan kacaunya Daftar Pemilih Tetap.

    Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh politisi, akademisi Saldi Isra menyatakan bahwa sikap ambigu putusan MK tersebut tentunya akan memicu perdebatan mengenai keabsahan konstitusionalitas pemilu 2014 sendiri, bahkan bukan tidak mungkin perdebatan akan terus hadir sampai tahapan akhir penyelenggaraan pemilu serta hasilnya.

    Legitimasi Putusan MK Terlepas dari reaksi yang timbul, putusan

    MK berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat. Selain itu putusan MK merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir. Oleh karena itu, selanjutnya akan dikaji implikasi yang akan timbul ketika putusan tersebut dijadikan pijakan bagi pelaksanaan Pemilu 2014.

    Terkait dengan hal tersebut, Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa konsekuensi

    dari Putusan MK yang bersifat mendua ini adalah pelaksanaan Pemilu 2014 dilakukan berdasarkan pasal-pasal yang sudah inkonstitusional yang menyebabkan pemilu 2014 kehilangan sandaran yuridisnya. Konsekuensinya, hasil dari pemilihan tersebut juga inkonstitusional. Konsekuensi lebih lanjut, DPR, DPR, DPRD, serta presiden dan wapres yang terpilih dalam pemilu 2014 juga akan inkonstitusional. Hal ini akan membahayakan stabilitas nasional sehingga memicu ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga demokrasi.

    Senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Yusril, Margarito Kamis menyatakan bahwa Putusan MK tersebut semakin membuat Pemilu tidak memiliki pijakan yang kuat. Terkait dengan penundaan penyelenggaraan pemilu secara serentak sampai dengan tahun 2019, Margarito menyatakan bahwa hal tersebut akan menjadi dagelan politik sebab kita membenarkan hal yang sudah kita akui salah dan tetap dijalankan.

    Sedangkan Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan bahwa legitimasi terhadap putusan MK tersebut dapat dilihat dari tiga konsep legitimasi, yaitu legitimasi hukum, sosiologis, dan moral. Putusan MK No. 14/PUU-IX/2013 disandarkan pada metode penafsiran original intent anggota MPR yang terdapat dalam risalah rapat. Pendapat yang diungkapkan oleh anggota MPR tersebut belum tentu mewakiili pandangan seluruh anggota MPR yang turut dalam proses memutuskan amandemen UUD 1945. Sangatlah mungkin ketika MK menggunakan metode lain dalam melakukan penafsiran atas uji materiil pasal-pasal tersebut, putusannya akan berbeda seperti yang terjadi pada tahun 2009 atas permohonan uji materiil yang berbeda namun terkait substansi yang sama.

    Dengan demikian yang menentukan sebuah hal konstitusional adalah pendapat MK melalui metode penafsiran yang digunakannya bukan semata-mata UUD 1945 menyatakan demikian, karena UUD 1945 bukanlah pengaturan yang bersifat lugas hanya pengaturan yang bersifat umum. Ketentuan yang tercantum dalam UUD 1945 perlu mendapatkan tafsiran lebih lanjut agar lebih jelas maksud yang terkandung didalamnya. Dengan adanya penafsiran MK melalui putusan No. 14/PUU-IX/2013 tersebut, maka dapat dikatakan putusan ini telah memenuhi legalitas secara hukum sebab dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang melakukan penafsiran terhadap ketentuan yang diatur dalam UUD

  • - 4 -

    1945. Selanjutnya putusan MK tersebut

    sepertinya telah memperoleh sambutan hangat dari parpol-parpol kelas atas, seperti Golkar, PDIP dan Demokrat. Hal ini menunjukkan putusan MK tersebut dinilai bermanfaat dan diterima oleh masyarakat walaupun hanya melalui cerminan parpol. Hal ini dapat mempertegas bahwa putusan MK No. 14/PUU-IX/2013 memenuhi legitimasi sosiologis.

    Dalam putusan tersebut, MK berpendapat bahwa penundaan pelaksanaan pemilu serentak sampai dengan 2019 bertujuan untuk menyiapkan peraturan hukum dan teknis terkait penyelenggaraan pemilu yang baik dan komprehensif, dengan jeda waktu yang ada antara 2014 sampai dengan 2019 DPR dan pemerintah memiliki banyak waktu untuk menyusun peraturan hukum dan teknis terkait penyelenggaraan pemilu serentak, efisien, dan berbiaya murah yang komprehensif.

    Dengan adanya regulasi yang komprehensif terkait dengan pemilu serentak, efisien dan berbiaya murah pelaksanaan pemilu di masa yang akan datang akan cenderung terhindar dari keributan besar jika dibandingkan dengan pelaksanaan pemilu serentak yang dipaksakan tahun ini dan berpotensi konflik. Atas dasar hal-hal tersebut maka putusan MK dapat di nyatakan memenuhi legitimasi secara moral.

    Penutup Putusan MK telah memenuhi ketiga

    unsur legitimasi sebagaimana ditegaskan di atas. Dengan demikian, kita dapat dapat menyimpulkan bahwa putusan MK tersebut telah memiliki legitimasi, sehingga pelaksanaan pemilu 2014 walaupun tidak dilaksanakan secara serentak dapat berjalan tanpa kekhawatiran akan keabsahannya.

    Dengan dibatalkannya pengaturan mengenai penyelenggaraan Pilpres setelah Pileg, maka Indonesia di masa yang akan datang sangat membutuhkan regulasi terkait Pemilu yang lebih baik dan komprehensif. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan kodifikasi terhadap pengaturan mengenai penyelenggaraan Pemilu. Kodifikasi yang dimaksud tidak hanya melakukan penggabungan regulasi saja, perlu juga dilakukan singkronisasi atas pasal-pasal yang ada dan melakukan harmonisasi substansi antara ketentuan yang ada didalamnya baik untuk Pileg maupun Pilpres.

    Rujukan1. MK Tak Ubah Pemilu 2014, Republika,

    24 Januari 2014, hlm. 1.2. Pemilu Serentak 2019 Putusan Bijak,

    Media Indonesia, 24 Januari 2014, hlm. 1.3. Saldi Isra, Jalan Panjang Menuju Pemilu

    Serentak, Media Indonesia, 27 Januari 2014, hlm. 14.

    4. Meragukan Keabsahan Pemilu Setelah Putusan MK, Majalah Forum Keadilan Tahun XXII/27 Jan-02 Feb 2014, hlm.12-15.

    5. Agust Reiwanto, Implikasi Hukum Putusan MK tentang Pemilu Serentak, Media Indonesia, 29 Januari 2014, hlm. 7.

    6. Abdul Hakim Garuda Nusantara, Legitimasi Konstitusional Pemilu 2014, Kompas, 6 Februari 2014, hlm. 7.

  • - 5 -

    Vol. VI, No. 03/I/P3DI/Februari/2014HUBUNGAN INTERNASIONAL

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

    MASYARAKAT SIPIL DAN TRANSISI DEMOKRASI DI TIMUR TENGAH

    Humphrey Wangke*)

    Abstrak

    Masyarakat sipil merupakan kelompok-kelompok di dalam sebuah gerakan sosial yang tidak terikat dalam bentuk organisasi atau keanggotaan, namun lebih diikat oleh jaringan sosial dari para pendukungnya. Berbekal kemampuan itu, masyarakat sipil mampu mengendalikan kesewenang-wenangan kalangan atas di negaranya. Revolusi Arab Spring di Mesir, Tunisia, Yaman, dan Suriah adalah bukti bagaimana kekuatan masyarakat sipil dapat menjadi pendorong dalam upaya demokratisasi melawan rezim penguasa yang lalim.

    Latar BelakangProses perubahan pemerintahan negara-

    negara di Timur Tengah yang dimulai sejak Desember tahun 2010 hingga saat ini masih belum memperlihatkan hasilnya. Konflik kekerasan baik secara horizontal maupun vertikal masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Berbagai upaya masih terus dilakukan agar proses transisi menuju negara yang lebih demokratis seperti yang dikehendaki oleh revolusi tahun 2010 yang dikenal dengan sebutan Arab Spring bisa terlaksana secara damai.

    Arab Spring telah membawa perubahan mendasar dalam dinamika partisipasi politik di dunia Arab. Di bawah sistem otoriter di Tunisia, Mesir, Libya, Suriah, dan negara-

    negara Arab lainnya, partisipasi politik formal sebagian besar terbatas pada kegiatan partai yang berafiliasi dengan rezim yang berkuasa, partisipasi masyarakat sipil terkooptasi, atau pemungutan suara dalam pemilihan tidak transparan dan sering terjadi penipuan. Partisipasi politik informal seperti melalui jaringan sosial seperti facebook dan twitter, gerakan politik bawah tanah, dan gerakan sosial, seringkali menjadi satu-satunya cara bagi warga negara untuk menantang rezim mereka.

    Meskipun revolusi Arab Spring tidak sepenuhnya membalikkan tren ini di seluruh negara-negara Arab, tetapi fenomena ini telah membawa perubahan yang signifikan pada sejumlah perbaikan kunci yang memfasilitasi

    *) Peneliti Utama Tim Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

  • - 6 -

    partisipasi politik formal, terutama di Mesir dan Tunisia. Namun demikian, ada juga sejumlah tantangan penting dalam mengembangkan partisipasi politik formal di dunia Arab di era transisi demokrasi saat ini. Tuntutan perubahan yang terjadi di Suriah sejak tiga tahun lalu hingga saat ini masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Medan pertempuran bukan hanya terjadi di kota Homs dan Allepo di Suriah tetapi juga di Kota Genewa di Swiss, tempat berlangsung perundingan antar-pihak yang bertikai di Suriah.

    Di Mesir, setelah tiga tahun revolusi, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang belum berubah, yaitu pertama, militer masih tetap berkuasa sama seperti sebelum revolusi; kedua, Al-Ikhwanul Al-Muslimin (IM) tetap dilarang untuk ambil bagian dalam percaturan politik. IM bahkan telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Ketiga, Mesir tetap mempertahankan diri sebagai negara yang pluralis yang secara tegas disebut dalam konstitusi baru. Konstitusi baru Mesir telah mendapat persetujuan 98,1 persen pemilih dalam referendum yang diadakan pada tanggal 14-15 Januari 2014 ditengah-tengah konflik antara pendukung IM dan petugas keamanan..

    Tunisia sejauh ini menjadi satu-satunya negara yang berhasil memasuki era demokrasi pasca-tumbangnya rezim diktator Presiden Zine al-Abidine Ben Ali melalui revolusi rakyat tahun 2011. Pada tanggal 27 Januari 2014, konstitusi baru Tunisia berhasil disahkan. Konstitusi tersebut merupakan konstitusi kedua setelah konstitusi tahun 1959. Sama seperti konstitusi tahun 1959, konstitusi baru ini tetap mempertahankan prinsip emansipasi wanita dan identitas negara sipil. Konstitusi baru ini juga menegaskan Islam sebagai agama negara. Konstitusi tahun 1959 selama ini dikenal sebagai konstitusi paling sekular di negara-negara Arab. PM Mahdi Jomaah yang ditunjuk pada tanggal 14 Desember 2013 akan segera menyiapkan pemilu legislatif dan presiden berdasarkan konstitusi yang baru tersebut.

    Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menjelaskan mengapa proses transisi demokrasi di Timur Tengah pasca-Arab Spring berjalan sangat lamban?

    Transisi Demokrasi Secara teoritis, transisi demokrasi

    dibedakan dalam dua fase, yaitu fase pembebasan dari pemerintahan yang otoriter dan pembentukan konstitusi yang demokratis.

    Jika kekuasaan represif masih bertahan selama masa transisi maka proses yang pertama akan terjadi. Tetapi jika lembaga represif itu dapat dihancurkan maka proses kedua akan terjadi. Jika transisi demokrasi ingin berlangsung secara simultan, maka ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu: 1) sejumlah besar tokoh reformis pemerintah harus dapat mencapai kesepakatan dengan kelompok moderat dari lawannya; 2) para reformis harus dapat membujuk militer agar mau bekerja sama melakukan perubahan kelembagaan; dan 3) kelompok moderat harus berisi sekutu mereka sendiri.

    Setiap tahapan transisi demokrasi memiliki konsekuensi yang berbeda mengingat bentuk pemerintahan negara-negara Arab memiliki tipe yang berbeda. Michelin Ishay membedakan pemerintahan negara-negara Arab dalam 3 tipe, yaitu: 1) negara homogen,; 2) negara otoriter; dan 3) monarki kaya.

    Negara yang masyarakatnya homogen secara etnik dan agama seperti Mesir dan Tunisia sangat mudah dimobilisasi untuk meruntuhkan rezim pemerintahan yang rapuh karena kekurangan manusia dan modal ekonomi untuk melakukan transisi demokrasi secara damai. Namun demikian, negara-negara yang homogen biasanya lemah dari sisi demokrasi karena belum mempunyai masyarakat sipil yang tangguh.

    Negara yang otoriter seperti Libya, Suriah dan Yaman lebih lambat dalam melakukan pembebasan karena memiliki masyarakat sipil yang terfragmentasi dalam bentuk sektarian atau suku yang seringkali tumpang tindih dengan pembagian ekonomi. Sebaliknya, negara-negara monarki kaya praktis tidak memiliki masyarakat sipil. Meskipun demikian, monarki keturunan Arab terbukti lebih stabil daripada rezim yang mendasarkan legitimasi mereka pada ideologi yang belum tentu kebal terhadap perubahan rezim.

    Peran Masyarakat Sipil dalam Transisi Demokrasi: Kasus Tunisia

    Masyarakat sipil dapat didefinisikan sebagai struktur sosial yang secara spontan terpisah dari negara. Untuk membantu mengembangkan demokrasi, masyarakat sipil mempunyai peran penting dalam memajukan partisipasi politik rakyat. Kelebihan lainnya dari masyarakat sipil adalah kemampuannya dalam membatasi dan mengontrol kekuasaan pemerintahan, serta mengekspos korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Kelompok masyarakat sipil juga mempunyai kemampuan

  • - 7 -

    memberikan informasi kepada masyarakat mengenai isu-isu spesifik. Karena itu, masyarakat sipil dinilai istimewa karena nilai strategis yang disandangnya itu.

    Masyarakat sipil hanya bisa lahir dari sebuah komunitas yang mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses politik. Karena itu, partisipasi politik yang dihasilkannya selalu berkaitan dengan proses pembebasan. Kemunculannya tidak terlepas dari revolusi industri di negara-negara Barat. Ketika itu, industrialisasi melahirkan nilai-nilai kewirausahaan yang merangsang produktivitas masyarakat. Akibatnya, muncul kelompok yang memiliki beberapa kelebihan, antara lain kekuatan dan kemandirian ekonomi, profesionalisme, dan intelektualitas.

    Keberhasilan Tunisia dalam proses transisi demokrasi tidak terlepas dari peran masyarakat sipil didalamnya. Meskipun Tunisia tidak memiliki masyarakat sipil dalam jumlah yang besar sebagaimana di negara-negara yang sudah maju tingkat demokrasinya, akan tetapi kemajuan perekonomian negara itu telah membantu mempercepat proses pembentukan kelompok masyarakat sipil melalui komunikasi elektronik. Mereka bukan hanya berperan penting dalam masa transisi, tetapi juga telah memimpin dan bekerja sama dengan pihak eksternal melawan kediktatoran.

    Masyarakat sipil Tunisia telah berpartisipasi dalam sebuah proses yang secara berkelanjutan menekankan pentingnya kemerdekaan, demokrasi, kebebasan, kesetaraan dan keadilan sosial. Perkembangan masyarakat sipil di Tunisia tidak dimaksudkan untuk menggantikan partai politik tetapi sebaliknya dimaksudkan untuk membangun proyek-proyek politik di mana orang-orang dapat beroperasi.

    Transisi demokrasi di Tunisia dinilai sangat berhasil mengingat kelompok masyarakat sipil negara ini sangat diatur, dibatasi, dan seringkali dilarang. Rezim yang berkuasa seringkali mengendalikan dan bahkan mengooptasi organisasi masyarakat sipil untuk tujuan mereka sendiri. Kendati demikian, meskipun peraturan yang dikeluarkan oleh rezim merupakan bentuk dari penindasan, akan tetapi kelompok masyarakat sipil di Tunisia memperoleh manfaat dari kohesifitas dan sikap toleran yang dimilikinya selama ini yaitu sebuah masyarakat yang bebas dari konflik etnik.

    Transisi demokrasi di Tunisia dimulai sejak tahun 2011 dengan melakukan proses reformasi konstitusi. Reformasi kelembagaan dimulai dari pemilik otoritas yang lebih

    tinggi, mendistribusikan kekuasaan presiden yang sangat besar ke lembaga-lembaga pemerintahan, dan memilih anggota parlemen yang baru. Pemerintah sementara Tunisia juga membentuk komite khusus yang ditugasi menangani masalah-masalah terkait dengan konstitusi seperti keamanan dan korupsi serta kebenaran dan rekonsiliasi. Sebuah komisi pemilihan umum dibentuk dengan melibatkan tokoh oposisi Kemal Jendoubi sebagai ketuanya, dan ditugasi menetapkan parameter bagi Majelis Konstituante Nasional untuk kelancaran pemilu.

    Semangat solidaritas di kalangan kelas menengah Tunisia meskipun dalam jumlah yang sangat terbatas telah menandai dimulainya sejarah baru di Timur Tengah sebagai agen perubahan dan menjadi titik awal dimulainya kebebasan berserikat dan reformasi kelembagaan untuk kegiatan masyarakat sipil. Munculnya masyarakat sipil dan pemberdayaan masyarakat sering disebut sebagai salah satu pendorong demokratisasi. Tunisia menjadi negara pertama dari negara-negara Arab Spring yang merasakan pentingnya peran organisasi masyarakat sipil dalam hubungan negara-masyarakat dan lembaga dan pengaruhnya terhadap berbagai aktivis sipil.

    Apa yang Dapat Dilakukan Indonesia

    Pasca reformasi tahun 1998, Indonesia telah berubah menjadi negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara. Salah satu keberhasilan memajukan demokrasi adalah pemberdayaan masyarakat sipil. Dalam menghadapi masa transisi negara-negara Timur Tengah pasca revolusi Arab Spring, Indonesia dapat berperan sebagai fasilitator perdamaian. Pengalaman Indonesia dalam menyelesaikan konflik di Kamboja tahun 1997-1998, operasi penjaga perdamaian di Timor Leste tahun 1999, rekonsiliasi Aceh tahun 2005, topan Nargis di Myanmar tahun 2008 adalah contoh kasus mediasi dan resolusi yang berhasil diselesaikan ASEAN dimana Indonesia aktif terlibat.

    DPR RI juga dapat memanfaatkan forum pertemuan Organisasi Konperensi Persatuan Negara-negara Islam (PUIC) untuk mencari solusi damai di Timur tengah. Pertemuan PUIC yang akan berlangsung di Teheran dalam bulan Februari ini dapat menjadi awal dari partisipasi aktif DPR RI dalam menjalankan diplomasi parlementer di Timur Tengah. Dalam pertemuan itu, Indonesia dapat mengusulkan

  • - 8 -

    langkah-langkah perdamaian di Timur Tengah atas dasar persatuan sesama muslim. Persatuan merupakan hal yang paling mendasar bagi umat Islam dan karenanya harus menjauhi sifat ekstrim dan fanatisme kelompok agar dapat tercipta suatu pendekatan dan kerja sama diantara kelompok Muslim. Atas dasar itu, Indonesia dapat mengusulkan perlunya dialog untuk menyelesaikan perselisihan di Timur Tengah.

    RujukanAlan Richards, Summer, 2005, Democra-1. cy in the Arab Region: Getting There From Here, Middle East Policy, Vol. XII, No. 2.Arab World Has Changed, so should US, 2. The Jakarta Post, 28 Januari 2014.Bursa Calon Presiden Mulai Memanas, 3. Kompas, 28 Januari 2014.Jason William Boose, Democratization 4. and Civil Society: Libya, Tunisia and the Arab Spring, International Journal of So-cial Science and Humanity, Vol. 2, No. 4, July 2012.Jenderal Al-Sisi Maju pada Pemilihan 5. Presiden, Media Indonesia, 7 Februari 2014.Konstitusi Baru Disahkan, Kompas, 28 6. Januari 2014Micheline Ishay, The Spring of Arab Na-7. tions? Paths toward Democratic Transi-tion, Philosophy and Social Criticism, Vol. 1, No. 11, 2013.Trias Kuncahyono, Revolusi Mesir Tiga 8. Tahun Telah Berlalu, Kompas, 25 Januari 2014.Tunisia finally passes progressive consti-9. tution, The Jakarta Post, 28 Januari 2014.

  • - 9 -

    Vol. VI, No. 03/I/P3DI/Februari/2014KESEJAHTERAAN SOSIAL

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

    KONTRIBUSI PSYCHOLOGICAL FIRST AID (PFA)

    DALAM PENANGANAN KORBAN BENCANA ALAMSulis Winurini*)

    Abstrak

    Bencana memberikan dampak secara fisik dan psikologis. Oleh sebab itu, pemberian bantuan kepada korban bencana harus bersifat menyeluruh. Psychological First Aid (PFA) adalah bentuk pertolongan pertama untuk meredakan reaksi emosional seseorang terhadap peristiwa bencana yang dialaminya untuk menghindari dampak negatif lebih lanjut. PFA memfasilitasi korban untuk pulih, kembali menjadi individu yang sehat secara fisik dan mental. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa PFA memiliki manfaat bagi korban dan manfaatnya bahkan bisa dirasakan dalam jangka panjang.

    PendahuluanMengawali tahun 2014, bencana alam

    terjadi secara hampir bersamaan di Indonesia. Bencana pertama adalah letusan Gunung Sinabung di Sumatera Utara. Musibah ini menewaskan 16 orang dan hingga saat ini pengungsi bertambah setiap harinya, mencapai angka 31.739 jiwa. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan saat ini ada 19 gunung lainnya di Indonesia berstatus waspada. Bencana kedua adalah gempa bumi yang mengguncang wilayah Jawa Tengah. Gempa dengan kekuatan 6.5 Skala Richter ini dirasakan amat kuat di Kebumen, Purworejo, Yogyakarta, dan sejumlah wilayah pesisir Pantai Selatan Jawa. Selain kedua bencana tersebut, BNPB mencatat adanya 182 kejadian bencana hidrometeorologi di bulan Januari 2014. Termasuk di dalamnya adalah

    banjir di wilayah Jakarta dan Pantura; banjir bandang di Manado dan Kudus; tanah longsor di Jombang, Semarang, Situbondo, Malang, Jepara, dan beberapa daerah lainnya. Kasus yang sama bencana angin puting beliung di beberapa daerah di Pulau Sulawesi, Jawa, dan Nusa Tenggara. BNPB memperkirakan tren bencana hidrometeorologi ini masih akan terus meningkat. Ancaman banjir dan longsor diprediksikan akan terus berlanjut hingga Maret 2014 di sebagian besar wilayah di Indonesia.

    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menggambarkan bencana sebagai peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan masyarakat serta menimbulkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, serta adanya dampak psikologis. Definisi tersebut memperlihatkan bahwa

    *) Peneliti Muda bidang Psikologi Tim Kesejahteraan Sosial pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

  • - 10 -

    bencana merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan. Bencana alam adalah peristiwa yang sulit diprediksi dan mengancam keselamatan jiwa. Seseorang yang terkena bencana bisa kehilangan orang-orang yang disayangi, harta benda, mata pencaharian, sekaligus kesulitan memenuhi kebutuhan hidup dalam waktu yang bersamaan.

    Pengalaman yang tidak menyenangkan ini berakibat pada ketidakseimbangan kondisi psikologis pada korban, misalnya seperti yang dialami pengungsi letusan Gunung Sinabung. Setelah enam bulan lamanya mereka mengungsi, mereka mengalami kebingungan. Salah satu pengungsi mengeluhkan tidak tahu harus ke mana lagi karena tempatnya mencari nafkah sudah hancur terkena lumpur lahar dingin. Sementara pengungsi lainnya mengalami perasaan frustasi, jenuh, dan bingung dengan keadaannya saat ini yang dianggap penuh ketidakpastian. Apa yang mereka rasakan ini mewakili keluhan semua korban bencana yang mengalami permasalahan yang sama.

    Reaksi ini merupakan hal yang wajar karena umumnya korban bencana mengalami reaksi emosional awal seperti kebingungan, ketakutan, putus asa, ketidakberdayaan, sulit tidur, sakit fisik, cemas, marah, shock, dorongan agresivitas, ketidakpercayaan, keguncangan spiritual, dan kehilangan rasa percaya diri. Reaksi yang demikian merupakan reaksi yang normal dialami oleh mereka sebagai bentuk penyesuaian dirinya terhadap kejadian bencana. Namun demikian, kendati dianggap sebagai reaksi normal sekalipun, reaksi-reaksi semacam ini tetap perlu diatasi karena apabila tidak, akan mengganggu fungsi psikis, sosial, dan spiritual, yang pada akhirnya akan memperlemah kemampuan bertahan korban.

    Salah satu intervensi yang digunakan untuk mengatasi reaksi emosional awal di atas adalah Psychological First Aid (PFA). PFA merupakan tanggapan pertama, dalam durasi yang singkat, yang diberikan kepada orang yang mengalami tekanan karena bencana atau keadaan darurat untuk membantu keadaan pada saat itu. Evolusi konsep dan operasionalisasi PFA telah menjadikan tindakan ini diakui secara internasional dan menghasilkan sejumlah rekomendasi dan panduan yang baik. PFA saat ini direkomendasikan oleh National Institute for Mental Health, the National Child Traumatic Stress Network, World Health Organisation, dan lembaga ternama lain seperti International Red Cross.

    Apakah PFA Itu?Menurut WHO (2011), PFA merupakan

    perawatan dasar yang bersifat praktis, suportif, dan humanis, yang digunakan untuk menolong orang yang mengalami tekanan karena bencana atau keadaan krisis, diberikan segera setelah bencana terjadi, dengan pendekatan yang tidak memaksa dan disesuaikan dengan nilai-nilai yang berlaku. PFA memfokuskan kepada beberapa hal, yaitu sebagai berikut: 1) penyediaan dukungan dan perawatan praktis yang bersifat tidak memaksa; 2) pengenalan dan pemenuhan kebutuhan dasar; 3) kesediaan untuk mendengarkan korban tanpa memaksanya berbicara; 4) kesediaan untuk membuat korban merasa nyaman; 5) membantu korban mendapatkan informasi tentang pelayanan dan dukungan sosial; dan 6) melindungi korban dari hal-hal yang membahayakan.

    PFA bukanlah suatu pendekatan yang hanya bisa dilakukan oleh praktisi kesehatan mental atau tenaga profesional, tetapi bisa dilakukan oleh masyarakat yang bertugas saat tanggap darurat. PFA juga bukan berupa konseling, tanya jawab, atau diskusi psikologis yang digunakan untuk menganalisa apa yang terjadi pada diri korban. PFA justru merupakan bentuk alternatif dari diskusi psikologis. Melalui PFA korban bisa menceritakan permasalahannya apabila memang ingin menceritakannya. PFA adalah pertolongan psikologis pertama kepada korban bencana yang dilakukan dengan membuatnya merasa nyaman, aman, tenang dan penuh harapan.

    Menurut beberapa penelitian, PFA justru menolong pemulihan dalam jangka waktu panjang. PFA tidak hanya memberikan ketenangan kepada korban tetapi juga membantu korban untuk mampu berhubungan dengan yang lain, mampu mengakses dukungan emosi, fisik dan sosial, serta mampu menolong diri mereka sendiri, baik sebagai individual maupun komunitas.

    Secara umum, PFA memiliki 3 (tiga) prinsip, yaitu melihat, mendengar, dan menghubungkan. Masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut:1. Melihat, tercakup di dalamnya adalah

    mengecek reaksi distress yang serius, mengecek keselamatan, dan mengecek kebutuhan dasar korban;

    2. Mendengar, tercakup di dalamnya adalah mendekati mereka yang memerlukan dukungan, bertanya tentang perhatian dan kebutuhannya, mendengar keluhannya, menerima semua perasaan yang mereka tumpahkan, dan membantunya merasa

  • - 11 -

    tenang;3. Menghubungkan, tercakup di dalamnya

    adalah menolong mereka yang tertekan untuk mendapatkan kebutuhan dasarnya, membantu mereka mengakses pelayanan dan mengatasi permasalahannya, membantu mereka mendapatkan informasi yang faktual, membantu mereka menghubungi orang-orang terdekat, serta mempermudah mereka mendapatkan akses dukungan sosial.

    Kontribusi PFA terhadap Pemulihan Psikologis Korban Bencana

    Prinsip-prinsip yang diterapkan di dalam PFA didasari kepada pemenuhan kebutuhan dasar korban. Menurut Nicolds (1969 dalam Rusmiyati, 2012), kebutuhan dasar manusia meliputi: 1) rasa aman dari ancaman lingkungan serta aman dari gangguan penyakit; 2) kasih sayang, baik dari keluarga maupun masyarakat di lingkungannya; 3) mencapai cita-cita dalam kondisi kehidupan sesuai yang diinginkan; dan 4) penerimaan eksistensi diri di tengah masyarakat sekitarnya. Pengalaman kehilangan akibat bencana membuat korban kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya tersebut.

    Untuk memulihkan korban, PFA memfasilitasi korban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Hapsarini Nelma (2014) menguatkan pandangan WHO bahwa kunci agar seseorang dapat bertahan dalam kondisi darurat seperti bencana adalah adanya rasa aman, ketenangan, keterhubungan dengan lingkungan sosial, pandangan positif terhadap kemampuan diri, serta akses terhadap ketersediaan pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis. Dengan mengacu kepada 3 (tiga) prinsipnya, PFA berupaya meningkatkan kemampuan bertahan korban. Hal ini sejalan dengan penjelasan WHO (2003) mengenai konsep kesehatan mental, yaitu sebagai berikut:

    Concepts of mental health include subjective wellbeing, perceived self-efficacy, autonomy, competence, intergenerational dependence and recognition of the ability to realize ones intellectual and emotional potential. It has also been defined as a state of wellbeing whereby individuals recognize their abilities, are able to cope with the normal stresses of life, work productively and fruitfully, and make a

    contribution to their communities.

    Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa untuk sehat secara mental, seseorang harus

    sadar dengan kemampuan yang dimiliki, mampu mengatasi stres di dalam kehidupan, mampu bekerja secara produktif, dan berkontribusi di dalam komunitas. PFA lebih dari hanya memenuhi kebutuhan dasar korban. PFA mendukung korban untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, membantu memecahkan masalahnya sendiri, mendukung harapan bahwa segalanya akan pulih, serta meyakinkan korban bahwa yang dirasakan adalah normal. Melalui upayanya tersebut, PFA mendukung kapasitas korban untuk dapat pulih sehingga mampu mengatasi situasi sulit dan mampu menolong diri sendiri, dalam artian tidak menggantungkan diri pada lingkungan.

    PFA di IndonesiaDi Indonesia, PFA diterapkan

    bersamaan dengan psychosocial support, yang dilakukan oleh Palang Merah Indonesia (PMI) pascabencana tsunami Aceh tahun 2004 lalu. Sementara dari sisi pemerintah, pemberian bantuan masih banyak terfokus kepada bantuan fisik, sementara bantuan nonfisik, seperti halnya PFA, belum banyak terlihat.

    Pilot project mengenai PFA sebenarnya pernah dilakukan pada tahun 2010, yaitu pada saat bencana Merapi. Dalam rangka menyikapi kasus-kasus terkait kesehatan jiwa pasca bencana Merapi, pada saat itu BNPB bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk menyelenggarakan pembekalan PFA bagi 200 relawan dari perawat jiwa dan tenaga kesehatan jiwa yang telah bekerja di rumah sakit. Setelah mendapat pembekalan, mereka dimobilisasi ke tempat pengungsian untuk mendampingi korban bencana selama 1 bulan. Dengan adanya pilot project ini, maka kesiapan tenaga terlatih di semua daerah bencana diharapkan bisa meningkat. Namun demikian, ketika bencana secara beruntun terjadi pada tahun 2014, ketersediaan tenaga untuk PFA masih menjadi permasalahan.

    PenutupPerlunya penanganan korban bencana

    terkait masalah psikologisnya menuntut beberapa tindakan sebagai berikut. Pertama, peningkatan DPR RI melalui Komisi VIII dan Komisi IX DPR RI untuk mendorong pemerintah, terutama BNPB dan kementerian terkait penanggulangam bencana (Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraaan Rakyat), untuk melakukan tindakan konkrit berkenaan dengan penanganan bencana yang bersifat

  • - 12 -

    nonfisik, di samping yang bersifat fisik. Dalam hal ini, PFA perlu dipertimbangkan sebagai salah satu layanan permanen dalam penanganan bencana karena bisa menghambat munculnya gangguan kejiwaan pada mereka yang terkena efek bencana. Kedua, perlunya memasukan substansi PFA dalam pedoman penanganan bencana karena pedoman ini akan mempermudah koordinasi penanganan bencana antara pusat dengan daerah. Ketiga, mengelola pelayanan PFA agar terintegrasi dengan layanan penanggulangan bencana lainnya. Mengingat PFA bukan tindakan pertolongan yang profesional dan hanya berupa perawatan dasar yang digunakan sebagai tanggapan pertama, maka PFA perlu terintegrasi dengan layanan profesional lainnya seperti layanan pemenuhan kebutuhan dasar, layanan medis, layanan kesehatan jiwa, dan lain sebagainya. Keempat, perlu ditetapkan mekanisme koordinasi yang jelas di dalam kebijakan penanggulangan bencana. Kelima, melakukan pembekalan PFA bagi tenaga relawan diperlukan supaya mereka mampu bertindak sesuai kebutuhan. Pembekalan perlu diberikan terutama kepada tenaga lokal di daerah rentan bencana supaya penanganan bisa dilakukan dengan cepat dan tepat. Keenam, masyarakat yang rentan terkena bencana perlu diberikan edukasi tentang pertolongan pertama untuk meningkatkan kemandirian dan ketangguhan menghadapi bencana.

    RujukanUndang-undang Nomor 24 Tahun 2007 1. Tentang Penanggulangan Bencana.WHO.2003.Investing in Mental Health, 2. http://www.who.int/mental_health/me-dia/investing_mnh.pdf, diakses tanggal 12 Februari 2014.World Health Organization, Psy-3. chological First Aid: Guide for Fields Workers, http://whqlibdoc.who.int/publications/2011/9789241548205_eng.pdf, diakses pada tanggal 3 Februari 2014.Psychological First Aid dan Pengemban-4. gannya Dalam Penanggulangan Bencana, http://www.puskrispsiui.or.id/pfa-dan-pengembangannya-dalam-penanggulan-gan-bencana-wahyu-cahyono/, diakses pada tanggal 3 Februari 2014.137 Tewas dan 1,1 Juta Mengungsi Akibat 5. Bencana Selama Januari 2014, http://www.beritasatu.com/nasional/163361-137-tewas-dan-11-juta mengungsi-akibat-ben-cana-selama-januari-2014.html, diakses pada tanggal 3 Februari 2014.

    Kumpulan Berita Tanah Longsor ,http://6. www.merdeka.com/tag/t/tanah-longsor/, diakses pada tanggal 3 Februari 2014.Hapsarini Nelma, Bantuan Psikologis Ben-7. cana, Republika, 24 Januari 2014.Korban Awan Panas Sinabung Bertam-8. bah Jadi 16 Orang, regional.kompas.com/read/2014/02/05/1016067/Korban.Awan.Panas.Sinabung.Bertambah.Jadi.16.Orang, diakses pada tanggal 3 Februari 2014.Ini 5 bencana besar dalam 1 bulan terakh-9. ir, http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-5-bencana-besar-dalam-1-bulan-tera-khir/gempa-65-sr-guncang-kebumen-ja-wa-tengah.html, diakses pada tanggal 28 Januari 2014.Pengungsi Sinabung Ingin Segera Dire-10. lokasi, http://www.antarajateng.com/de-tail/index.php?id=91238#.UvOyuVOiK50, diakses pada tanggal 3 Februari 2014.Noriyu: Kementerian Kesehatan Tak 11. Boleh Gagap Bencana, Andalkan Saja PFA, http://metrobali.com/2014/01/22/noriyu-kementrian-kesehatan-tak-boleh-gagap-bencana-andalkan-saja-pfa/, diakses pada tanggal 3 Februari 2014.Pemerintah Pantau Kesehatan Jiwa Para 12. Pengungsi, http://mis.bnpb.go.id/web-site/asp/berita_list.asp?id=179, diakses pada tanggal 3 Februari 2014. Catharina Rusmiati,Penanganan Dampak 13. Sosial Psikologis Korban Bencana Merapi, puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/1d9dd7c11ce880b889bbc6397c241b1.pdf, di-akses pada tanggal 3 Februari 2014.

  • - 13 -

    Vol. VI, No. 03/I/P3DI/Februari/2014EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

    PERSPEKTIf EKONOMI KEbIjAKAN PENANGGULANGAN bANjIR

    Ariesy Tri Mauleny*)

    Abstrak

    Banjir merupakan fenomena alam sebagai dampak kerusakan lingkungan dan tingginya curah hujan, terjadi pada ruang dan waktu yang seharusnya dapat diprediksi. Banjir potensial menimbulkan resiko kerugian ekonomi yang menjadikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi semu. Kebijakan penanggulangan yang dilakukan belum efektif, terbukti dari semakin sering dan parahnya dampak banjir yang terjadi. Perlu kerja sama semua pihak dalam menciptakan terobosan inovatif dalam masterplan pencegahan dan penanggulangan banjir.

    PendahuluanBanjir adalah fenomena alam yang

    potensial menimbulkan kerusakan, terjadi pada kondisi, waktu dan daerah tertentu. Risiko kerugian akibat banjir akan meningkat pada daerah yang padat penduduknya. Selain itu, penutupan lahan dan penggunaan lahan juga sangat berpengaruh terhadap aliran sungai atau limpasan (run off) permukaan.

    Banjir menyebabkan mobilitas transportasi orang dan barang menuju Jakarta sebagai pusat perkotaan dan pemerintahan hamnpir lumpuh, jalur transportasi publik, baik bus maupun kereta api, terganggu sehingga menghambat perekonomian sektor riil. Kerugian yang terjadi menjadikan capaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi semu dikarenakan belum mengakomodasi

    nilai kerusakan lingkungan. Aparat birokrasi terkadang lebih mementingkan target perolehan retribusi dan pendapatan asli daerah daripada menggalakkan upaya konservasi dan memperbaiki tata kota.

    Banjir beresiko menaikkan harga kebutuhan pokok 10 hingga 20 persen karena distribusi barang-barang terhambat. Fakta memunculkan kritik bahwa penyebabnya kebijakan ekonomi, kebijakan tata ruang, dan kebijakan lainnya yang antilingkungan hidup, baik di Jakarta atau di luar Jakarta. Kerakusan ekonomi menyebabkan kerusakan lingkungan karena pembangunan ekonomi pasar tidak mengindahkan kaidah-kaidah etika lingkungan dan kepentingan sosial yang luas.

    Persaingan pasar yang berorientasi kepentingan modal menyebabkan kepentingan

    *) Peneliti Muda Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected].

  • - 14 -

    lingkungan hidup dikesampingkan di bawah otoritas pasar. Konsekuensinya, kebijakan perekonomian menabrak jalur hijau, mengubah serapan air menjadi bangunan, menghilangkan waduk kecil dan serangkaian kebijakan anti-lingkungan hidup lainnya. Pasar memang dapat menggerakkan ekonomi tetapi tidak dapat mengakomodasi nilai-nilai moral dan etika. Pembangunan ekonomi Jabodetabek yang cepat menempatkan pemilik modal dan investor sebagai pahlawan pertumbuhan. Kepentingan sosial dan lingkungan pasti terabaikan jika etika, moral, dan regulasi tidak ditegakkan untuk menahan dampak eksternalitas negatif pasar.

    Penyebab Banjir dan Dampaknya terhadap Perekonomian

    Bencana banjir yang melanda daerah-daerah rawan di Indonesia pada dasarnya disebabkan tiga hal. Pertama, kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan tata ruang dan berdampak pada perubahan alam. Kedua, peristiwa alam seperti curah hujan yang sangat tinggi, kenaikan permukaan air laut, dan badai. Ketiga, pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai, dan sebagainya.

    DKI Jakarta (DKI) merupakan daerah yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Dari 530 wilayah kota di tujuh negara yang dikaji, yakni Indonesia, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Malaysia dan Filipina, lima wilayah kota administrasi di DKI Jakarta masuk dalam 10 besar kota yang rentan terhadap perubahan iklim, dengan urutan sebagai berikut: 1) Jakarta Pusat; 2) Jakarta Utara; 3) Jakarta Barat; 4) Mandol Kiri (Kamboja); 5) Jakarta Timur; 6) Rotano Kiri (Kamboja); 7) National Capital Region (Filipina), 8) Jakarta Selatan; 9) Bandung (Jawa Barat); 10) Surabaya (Jawa Timur).

    Pada tahun 2014, banjir di Jakarta telah berlangsung hampir sebulan penuh dimulai dari 12 Januari dan menghampiri wilayah-wilayah rawan banjir datang dan pergi dengan tingkat kerugian yang semakin meningkat. Hal ini terjadi karena tingginya curah hujan (2.000-4.000 mm/tahun), air laut pasang, permukaan laut yang meningkat, aliran 13 sungai, 40 persen dataran rendah, tingginya pertumbuhan penduduk, penurunan kualitas lingkungan di daerah hulu, tidak terkontrolnya perubahan penggunaan lahan, banyaknya hunian ilegal di daerah bantaran sungai, sistem drainase yang kurang baik, dan penurunan muka tanah (1-28 cm/tahun).

    Tabel Persandingan Deskripsi Banjir Tahun 2002 s.d. 2014

    Deskripsi 2002 2007 2013 2014Curah Hujan 361,7mm

    (rata-rata DKI Jakarta selama 10 hari)

    327mm (rata-rata Jabodetabek selama 6 hari)

    250-300mm (rata-rata DKI Jakarta)

    135-195mm (Jakarta), 76-118,5mm (Bogor), 65-147mm (depok)

    Luas Genangan 331 km2 di Jakarta100 km2 di Botabek

    454,8 km2 di Jakarta221km2 di Tanggerang 250 km2 total Depok, Bogor, Bekasi

    500 RT, 203 RW di 44 kelurahan yang tersebar di 25 kecamatan di Jakarta

    564 RT di 97 kelurahan di 30 kecamatan di DKI Jakarta

    Korban Jiwa 80 orang 79 orang (status 12 Feb 07)

    20 orang (status 22 Januari 13)

    23 orang (status 26 Januari 2014)

    Jumlah Pengungsi

    381 orang 590.407 orang (status 6 Feb 07)

    33.500 orang di Jakarta (status 22 Januari 2013)

    63.958 orang di Jakarta (status 21 Januari 2014)

    Dampak Kerusakan

    Langsung: Rp5,4TEkonomi: Rp4,5T

    Langsung: Rp5,2TEkonomi: Rp3,6T

    Total Kerugian Langsung dan Ekonomi: Rp20T (data Antara)

    Langsung: Rp12T untuk DKI JakartaEkonomi: n.a

    Laju Inflasi 1,99 persen 1,07 persen 0,88 persen 1,05 persen

    Sumber: diolah dari data Bappenas dan berbagai media massa

    Penurunan muka tanah di Jakarta disebabkan pengambilan air tanah yang masif dan beban bangunan/gedung yang melebihi kapasitasnya. Pada tahun 2013, DKI membuat 1.507 sumur resapan di sejumlah titik untuk memasukkan air 52.997 meter kubik per hari. Menurut Indonesia Water Institute, volume tersebut jauh lebih kecil daripada volume air yang disedot warga dan sektor usaha yaitu 602.739 meter kubik per hari.

    Terjadinya banjir menurut eksternalitas disebabkan oleh tidak memadainya pengelolaan barang-barang publik, seperti sungai dan saluran air. Sungai yang semakin dangkal dan menyempit merupakan fenomena ekonomi, yang akan mengurangi kemampuan menampung air. Agar barang-barang publik tersebut dapat dikelola dengan optimal, maka diperlukan partisipasi dari pemerintah dan masyarakat. Peranan pemerintah jelas sebagai penyedia, pengelola, dan penanggung jawab barang publik sementara masyarakat dibebani pemerintah dengan pajak agar mempunyai sejumlah dana untuk pengelolaan barang-barang publik.

    Tidak kalah pentingnya adalah peran pengguna barang publik, yaitu masyarakat dan pengusaha. Selain sebagai pembayar pajak, andil mereka juga memberikan sumbangan dalam bentuk kepedulian menjaga dan memelihara barang publik agar memberikan manfaat optimal. Apabila banjir dipandang sebagai fenomena ekonomi, berlakulah hukum permintaan dan penawaran, yang menuntut semakin baiknya kualitas sungai dan saluran air, sehingga beresiko pada meningkatnya kebutuhan anggaran untuk pengelolaan barang-barang publik dan mendorong

  • - 15 -

    pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan pajak. Namun sebelum dilakukan perlu dikaji apakah pengelolaan barang-barang publik sudah efisien dan efektif?

    Secara keseluruhan dampak bencana banjir terhadap perekonomian dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, dampak langsung meliputi kerugian finansial dari kerusakan aset-aset ekonomi (tempat tinggal, tempat usaha, pabrik, infrastruktur, lahan pertanian perkebunan dan sebagainya). Dalam istilah ekonomi, nilai kerugian ini dikategorikan sebagai stock value. Adanya bencana banjir menyebabkan penurunan stock value dari perekonomian. Kedua, dampak tidak langsung meliputi terhentinya proses produksi, hilangnya output dan sumber penerimaan. Dalam istilah ekonomi, nilai kerugian ini dikategorikan sebagai flow value. Ketiga, dampak sekunder atau lanjutan yang bisa berwujud terhambatnya pertumbuhan ekonomi, terganggunya rencana-rencana pembangunan yang telah disusun, meningkatnya defisit neraca pembayaran, meningkatnya hutang publik dan meningkatnya angka kemiskinan.

    Kebijakan PenanggulanganSebagai ibukota negara, Jakarta

    seharusnya telah bertransformasi menjadi kota jasa modern yang mampu menciptakan kegiatan produktif yang bernilai tambah tinggi. Pemerintah bisa secara aktif menawarkan mekanisme insentif agar pabrik-pabrik yang bernilai tambah rendah bersedia keluar Jakarta secara sukarela. Warga Jakarta memperoleh insentif untuk berpindah dari kawasan padat dan kumuh ke kawasan pemukiman baru yang dibangun secara terpadu.

    Paradigma pengurangan resiko bencana banjir merubah responsif menjadi preventif dengan pendekatan manajemen resiko. Pertama-tama dilakukan tindakan memisahkan potensi bencana yang mengancam dengan elemen beresiko (element at risk) atau pencegahan (risk avoidance). Apabila potensi bencana dengan elemen beresiko tersebut tidak dapat dipisahkan maka upaya yang dilakukan adalah pengurangan resiko (risk reduction). Bila pengurangan resiko sudah dilakukan dan masih tetap ada resiko maka dilakukan pengalihan resiko ke pihak lain (risk transfer). Jika masih tetap ada resiko maka menerima resiko (risk acceptance) dengan upaya-upaya kesiapsiagaan.

    Dalam rangka terlaksananya risk avoidance, pembangunan seharusnya tidak lagi menempatkan DKI sebagai pusat

    segala kegiatan ekonomi, tetapi secara aktif memperluas basis kegiatan ekonomi ke luar DKI, dimulai dari sistem transportasi dan memperlancar terbentuknya kawasan bisnis yang tersebar di pinggiran Jakarta serta daerah sekitarnya, bukan sekedar mengutamakan kelancaran arus manusia masuk ke pusat kota. Revitalisasi infrastruktur jalur kereta api yang sudah ada di sekeliling Jakarta patut dilakukan sehingga tercipta sentra-sentra bisnis yang lebih tersebar dan lebih cepat mendorong efek penularan ke daerah yang semakin jauh dari Jakarta. Tanpa mendorong agar pembangunan di daerah-daerah lain lebih cepat, maka Jakarta tidak akan pernah mampu menyelesaikan masalah-masalah klasiknya, yaitu banjir.

    Dalam rangka menjadikan Jabodetabek tahan bencana perlu dilakukan penyesuaian antara gedung dan hunian; sebanyak 45 persen untuk mengurangi penggunaan air tanah, sampah, dan ruang hijau; sebanyak 27,5 persen untuk memperbesar area penyerapan air hujan dan ruang biru; sebanyak 27,5 persen memperbesar penampungan air melalui danau, waduk dan kanal-kanal banjir. Sementara area hunian di Jakarta saat ini 43.550 hektar (65 persen) dari luas wilayah 67.000 hektar dengan jumlah penduduk sebanyak 9 juta orang. Hal ini terjadi karena besarnya penggunaan air tanah, tingginya fenomena urbanisasi dan lemahnya penegakkan aturan.

    Peran DPR dan Prinsip Otonomi Daerah

    Pemerintah memerlukan dana yang lebih besar untuk mengatasi bencana banjir melalui pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan infrastruktur. DPR berperan dalam memastikan tersedianya alokasi anggaran bagi penanggulangan bencana banjir dan digunakan sebenar-benarnya sesuai peruntukkannya melalui pembahasan RUU APBN. Melalui fungsi legislasi, DPR berperan dalam menghasilkan peraturan perundang-undangan yang dapat memaksa penduduk dan pengusaha melakukan aktivitas perekonomian yang ramah lingkungan. Untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR berperan dalam memastikan ketersediaan kebijakan pemerintah dan peraturan perundangan dibawahnya yang mendukung upaya-upaya penanggulangan bencana banjir. DPR juga meminta Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi juga mulai fokus untuk mengawasi kualitas proyek-proyek infrastruktur apakah sesuai dengan spesifikasi dan harga yang wajar atau harga tidak dimark-

  • - 16 -

    up yang menyebabkan kerugian uang negara.Pelaksanaan otonomi daerah yang

    tepat seharusnya semakin memberi ruang bagi terciptanya kesinambungan kerja-kerja pembangunan yang mengedepankan aspek lingkungan, namun seringkali permasalahan yang muncul justru dari pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah maupun antar pemerintah daerah sendiri. Terkadang pemerintah daerah sulit berkoordinasi dalam menciptakan pembangunan daerah yang lebih berkelanjutan ditengah keterbatasan rupiah yang dimiliki daerah. Kebijakan pembangunan antar pemerintah daerah dalam menghilangkan dampak negatif eksternalitas namun tetap mencapai pertumbuhan dan mempertahankan daya saing daerah melalui instrumen ekonomi lingkungan hidup.

    Saat ini, peraturan perundangan di daerah dirasakan terbatas dan belum mencerminkan instrumen ekonomi lingkungan hidup, sehingga penegakan hukum masih terbatas pada penggunaan lahan secara ilegal dan pelanggaran garis sempadan sungai, padahal instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong pemerintah, pemerintah daerah atau setiap orang ke arah pelestarian lingkungan hidup. Penting untuk dicermati, upaya-upaya preventif bagaimana menjalankan penegakan hukum yang lebih keras terhadap perusak barang publik. Misalnya terhadap pembuang sampah sembarangan, pencemaran oleh pabrik, pembangunan liar oleh penduduk, dan pembangunan oleh pengembang yang mengabaikan jalur hijau dan daerah resapan.

    PenutupParadigma pengurangan resiko bencana

    banjir mengubah pola pikir yang responsif menjadi preventif dengan pendekatan manajemen resiko. Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang potensial menimbulkan kerusakan, terjadi pada kondisi, waktu, dan daerah tertentu. Resiko kerugian banjir pun baik secara langsung maupun tidak langsung bisa diprediksi semakin meningkat dari tahun ke tahun meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulanginya. Hal ini mengharuskan pemerintah dan stakeholders terkait melakukan terobosan dan upaya kerja sama semua pihak dalam menciptakan masterplan penanggulangan banjir Jabodetabek. DPR perlu memastikan Pemerintah mendorong DKI Jakarta sebagai pilot project pelaksanaan otonomi daerah yang

    lebih baik.DPR melalui ketiga fungsinya berperan

    penting dalam penanggulangan bencana banjir. DPR berperan dalam pengalokasian anggaran yang menjamin tersedianya dana di setiap Kementerian terkait agar tindakan preventif dalam upaya pencegahan dan penanggulangan banjir. Melalui fungsi legislasi, DPR dapat memperkuat peraturan perundang-undangan yang memaksa semua pihak menciptakan perekonomian yang ramah lingkungan. DPR juga perlu memperkuat pengawasan atas kinerja pemerintah dan jajarannya dalam upaya penanggulangan banjir yang lebih efektif.

    Rujukan1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana,

    Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014, Lampiran Peraturan Kepala BNPB Nomor 3 Tahun 2010.

    2. Banjir Dampak Salah Urus, Kompas, 7 Februari 2014, hal 1.

    3. Jan Sopaheluwakan, Penanggulangan Banjir; Jadikan Jakarta Tahan Bencana, Kompas, 24 Januari 2014, Hal.14.

    4. DKI Jakarta Rentan Perubahan Iklim, http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita_detail.asp?nNewsId=33477, diakses tanggal 4 Februari 2014.

    5. Dampak Banjir Terhadap Perekonomian Nasional, http://rri.co.id/index.php/editorial/183/Dampak-Banjir-Terhadap-Perekonomian-Nasional#.Uu3lcvldWzQ, diakses tanggal 10 Februari 2014.

    6. Kerugian Banjir Jakarta, http://www.tribunnews.com/nasional/2014/01/29/total-kerugian-karena-banjir-di-seluruh-indonesia-bisa-mencapai-rp-50-t, diakses 3 Februari 2014.

  • - 17 -

    Vol. VI, No. 03/I/P3DI/Februari/2014PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

    FUNGSI PENDIDIKAN POLITIK

    PERS NASIONAL DALAM PEMILU 2014Ahmad budiman*)

    Abstrak

    Keberadaan persuratkabaran (pers) nasional pada Pemilu 2014 mampu mendorong masyarakat untuk berpartisipasi aktif dan cerdas memilih calon wakil rakyat yang akan duduk di parlemen. Pers nasional berfungsi sebagai media pendidikan politik, alat kontrol sosial, dan alat informasi dan aspirasi masyarakat. Persoalannya adalah prinsip independensi dan netralitas media tidak begitu saja dapat ditegakkan. Independen dalam arti merdeka menjalankan ideologi jurnalisme. Netral artinya berimbang, akurat, tidak memihak, kecuali kepentingan publik terutama pada tahun politik 2014 ini.

    *) Peneliti Madya bidang Komunikasi Politik tim Politik Dalam Negeri pada Pusat Pengkajian Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, email: [email protected]

    PendahuluanPelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu)

    2014 sesungguhnya bisa dijadikan salah satu indikator untuk menilai kualitas pelaksanaan tugas pers nasional dalam menyajikan berita kepada masyarakat. Kita harus mengakui bahwa pers nasional merupakan wadah sekaligus kekuatan informasi dan komunikasi yang memiliki kedudukan yang strategis dalam pembentukan opini publik, terutama opini mengenai Pemilu 2014.

    Pemilu 2014 baik Pemilu legislatif pada tanggal 9 April 2014 yang akan memilih para anggota legislatif (DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) dan Pemilu Presiden pada tanggal 9 Juli 2014 yang akan

    memilih presiden dan wakil presiden adalah agenda politik bangsa karena merupakan arah penentu perjalanan nasib bangsa Indonesia. Pelaksanaan Pemilu legislatif 2014 dikuti oleh 15 kontestan partai politik (parpol) yang lolos verifikasi terdiri dari 13 parpol nasional dan 3 parpol lokal di Provinsi Aceh. Salah satu indikator dari penilaian keberhasilan pelaksanaan agenda bangsa ini yaitu tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan Pemilu.

    Namun sayangnya, partisipasi politik masyarakat dari pemilu ke pemilu cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 1999 partisipasinya sebesar 92,7 persen; tahun 2004 sebesar 84,07 persen; dan tahun 2009 sebesar 71 persen. Lalu pertanyaannya, apakah Pemilu

  • - 18 -

    2014 dengan total jumlah pemilih 186.612.255 orang dimana 20-30 persen nya adalah pemilih pemula, juga akan mengalami penurunan tingkat partisipasinya dalam Pemilu?

    Kondisi seperti ini jelas sejauh mungkin harus dicegah dan sebaliknya harus terjadi peningkatan angka partisipasi masyarakat dalam memilih. Oleh karenanya, peranan pers sebagai media informasi dan komunikasi tentunya merupakan sebuah komponen penting dalam menyosialisasikan sekaligus memantau pelaksanaan dan perkembangan Pemilu 2014 yang akan di laksanakan serentak di seluruh Indonesia pada tanggal 9 April 2014 mendatang.

    Pers dalam Pemilu 2014Pengertian pers menurut Undang-

    Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yaitu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Berdasarkan pengertian tentang pers tersebut, maka dalam konteks pelaksanaan Pemilu 2014, pers nasional berfungsi sebagai media pendidikan politik, alat kontrol sosial, dan alat informasi dan aspirasi masyarakat.

    Persoalannya apakah dalam menjalankan ketiga fungsi yang dimilikinya secara optimal, pers nasional dapat bekerja dengan profesional dan independen? Masih banyak pihak yang meragukan kondisi ideal seperti ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) misalnya, pernah mengimbau insan pers untuk tidak melakukan, setidak-tidaknya, black campaign menjelang Pemilu 2014 karena walaupun kecil (hanya sekitar 3 persen) hal ini akan mengganggu proses pemilu.

    Kepemilikan media baik cetak maupun penyiaran juga bisa menjadi penentu bagi terpenuhinya prinsip objektivitas penyajian berita kepada masyarakat. Beberapa kasus menunjukkan keterlibatan media massa dengan kegiatan politik, tidak semata-mata mencerminkan perhatian media terhadap politik. Sebaliknya, secara tersirat justru menunjukkan adanya relasi kepentingan antara media tersebut dengan kekuatan politik yang diberitakan. Kepentingan dimaksud, dapat berupa kepentingan ekonomi, politik, ataupun ideologi. Sedangkan di sisi lain, ditataran

    politik nasional, banyak partai politik berusaha menguasai media (pers) untuk berbagai kepentingan, menyampaikan suara partai dan mempengaruhi massa partai, menjaga nama baik partai bersangkutan, dan bahkan kalau perlu menyerang partai lain.

    Menurut Ibnu Hamad, tugas paling mendasar yang dibebankan kepada media dalam percaturan politik adalah memenangkan wacana politik dengan memonopoli kebenaran. Usaha ini dilatarbelakangi alasan mengingat wacana politik memiliki posisi berkenaan nantinya yang akan menentukan persepsi dan opini publik terhadap suatu partai atau penguasa. Potensi demikian terutama di Indonesia, memiliki sejarah yang panjang, mulai masa berlakunya rezim kolonial hingga masa kemerdekaan, dan bahkan hingga disetiap berlakunya sistem politik era demokrasi liberal, era demokrasi terpimpin, era demokrasi Orde Baru, hingga dimasa sistem politik yang disebut era reformasi, di mana setiap penguasa cenderung menunjukkan hubungan simbiosis mutualistis dengan pers, termasuk dunia penyiaran. Independensi pers baik karena pengaruh kepemilikan atau memihak pada salah satu kepentingan menjadi sebuah pertanyaan di tahun politik ini.

    Pertarungan kepentingan oligarki elit dan kepentingan publik melalui media massa, merupakan kecenderungan yang sangat mudah terjadi di tengah proses politik utamanya pada tahun politik 2014. Biaya politik persaingan pemilu di tingkat nasional (sebagai anggota legislatif dan paket presiden/wakil presiden), yang semakin mahal, juga menjadi pendorong bagi pentingnya setiap pemangku kepentingan untuk merebut akses informasi melalui pers baik cetak maupun elektronik (penyiaran).

    Patut kita sadari bahaya atas upaya memenangkan wacana politik dengan memonopoli kebenaran oleh pers, yaitu pers sudah benar-benar tidak bisa lagi menjalankan fungsinya sebagai lembaga pencari dan penyebarluasan informasi secara independen. Pers adalah alat politik dari penguasa partai sekaligus pemilik media, untuk membentuk opini publik. Masyarakat hanya boleh mempercayai apa yang disampaikan penguasa partai/pemilik media itu saja yang paling benar, sedangkan yang dilakukan oleh partai lain adalah keliru.

    Persoalan independensi media memang terkait dengan terpenuhinya kebutuhan informasi bagi masyarakat. Pada tataran konsep, pakar media, Bill Kovach dan Tom Rosentiel, merumuskan tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan informasi

  • - 19 -

    yang dibutuhkan publik agar mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri sendiri. Selanjutnya dalam menjalankan tugas untuk mencapai tujuan itu terdapat sembilan elemen, antara lain: kewajiban utama jurnalisme adalah pada kebenaran; berupaya membuat yang penting menarik dan relevan; loyalitas pertama kepada publik; disiplin dalam verifikasi; menjaga independensi terhadap narasumber; harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan; harus menyediakan forum publik untuk kritik ataupun dukungan warga; juga harus menjaga berita agar komprehensif dan proporsional.

    Pada tataran normatif, UU Pers menyatakan peranan pers nasional antara lain memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai demokrasi, serta mendorong terwujudnya supremasi hukum dan HAM, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi tepat, akurat dan benar, melakukan pengawasan, kritik dan saran terhadap hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran (Pasal 6). UU Pers juga secara jelas menyatakan, wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Mukadimah KEJ juga merumuskan ideologi jurnalisme. Dengan demikian, jurnalisme bukan hanya sesuatu yang bersifat teknis penyajian, melainkan terdapat idealisme. Jurnalistik adalah implementasi dari ideologi jurnalisme

    Dalam jurnalisme dan kegiatan jurnalistik, terdapat prinsip independensi dan netralitas yang harus ditegakkan. Independen dalam arti merdeka menjalankan ideologi jurnalisme. Netral artinya berimbang, akurat, tak memihak, kecuali kepentingan publik. Independensi dan netralitas itu berbeda, tetapi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Bila ingin menjadi media yang baik, kedua prinsip itu harus dijalankan.

    Sementara itu, Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga menyatakan dalam satu tarikan napas: Lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran (Pasal 11 Ayat 2 P3). Dalam SPS diatur secara lebih detail dan tegas bahwa independensi dan netralitas harus dijaga dengan antara lain menyatakan bahwa program siaran wajib dimanfaatkan untuk kepentingan publik, tidak untuk kelompok tertentu, dan dilarang untuk kepentingan pribadi pemilik dan kelompoknya (Pasal 11). Selanjutnya, program jurnalistik harus akurat, adil, berimbang, dan tidak berpihak (Pasal 40).

    Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012

    tentang Pemilu Legislatif, Pasal 96 mengatur soal larangan: menjual blocking segment dan blocking time, menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan iklan kampanye pemilu, serta menjual spot iklan yang tidak dimanfaatkan oleh peserta pemilu kepada peserta pemilu lainnya. Pasal 97, batas maksimum pemasangan iklan kampanye pemilu di televisi secara kumulatif sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 30 detik untuk setiap stasiun televisi setiap hari pada masa kampanye. Di radio, 10 spot berdurasi paling lama 60 detik

    Independensi media sesungguhnya menjadi penentu dari kepercayaan publik terhadap penyajian isi media, terutama terkait kegiatan Pemilu 2014. Kepercayaan publik untuk menggunakan dan mengakses media akan berdampak besar bagi meningkatkanya pengetahuan publik terhadap urgensi pelaksanaan Pemilu 2014. Apalagi bila hal ini dilakukan oleh para pemilih pemula yang memang memiliki karakteristik yang berbeda dengan karakter pemilih lainnya.

    Pemilih pemula cenderung kritis, mandiri, independen, anti status quo atau tidak puas dengan kemapanan, pro perubahan dan sebagainya. Karakteristrik itu cukup kondusif untuk membangun komunitas pemilih cerdas dalam pemilu yakni pemilih yang memiliki pertimbangan rasional dalam menentukan pilihannya. Misalnya karena integritas tokoh yang dicalonkan partai politik, track record-nya atau program kerja yang ditawarkan.

    Perilaku pemilih pemula erat kaitannya dengan faktor sosiologis dan psikologis dalam menjatuhkan pilihan politiknya jika ditinjau dari studi voting behaviors. Preferensi yang dijadikan sandaran dalam melakukan pemilihan cenderung tidak stabil atau mudah berubah-ubah sesuai dengan informasi yang ia terima.

    Pemilih pemula perlu mendapatkan pendidikan politik yang secara spesifik, dalam pendidikan pemilih pemula, disampaikan arti penting suara pemilih pemula dalam pemilu, berbagai hal yang terkait dengan pemilu, seperti fungsi pemilu, sistem pemilu, tahapan pemilu, peserta pemilu, lembaga penyelenggara pemilu dan sebagainya. Tujuannya agar pemilih pemula memahami apa itu pemilu, mengapa perlu ikut pemilu dan bagaimana tatacara menggunakan hak pilih dalam pemilu. Setelah pemilih pemula memahami berbagai persoalan pemilu diharapkan dapat berpartispasi menggunakan hak pilihnya.

    Pelaksanaan tugas pers yang netral dan indepedenden akan mampu mengarahkan

  • - 20 -

    pemilih pemula supaya menjadi pemilih yang kritis dan rasional (critical and rational voters). Artinya dalam menjatuhkan pilihannya bukan karena faktor popularitas, kesamaan etnis, dan kedekatan emosional, namun karena faktor rekam jejak, visi misi, kredibilitas dan pengalaman birokrasi. Upaya tersebut adalah bagian dari political empowerment bagi warga negara terutama perilaku pemilih pemula dan karena melihat potensi suara pemilih pemula yang signifikan pada Pemilu 2014.

    Penutup Pers memang memiliki peran vital dan

    strategis dalam memantau pemilu 2014 akan datang. Peran Pers dalam Pemilu 2014 ini harus menyajikan informasi yang benar-benar akurat, tepat dan berimbang. Keberadaan Pers nasional pada Pemilu 2014 mampu mendorong masyarakat untuk berpartisipasi aktif dan cerdas memilih calon wakil rakyat yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat sehingga lembaga negara ini bisa berjalan lebih profesional kedepannya.

    Penyempurnaan regulasi khususnya terkait dengan media penyiaran juga sedang dilakukan. Independensi lembaga penyiaran swasta, dijaga melalui pasal yang mengatur tentang kepemilikan media penyiaran, kepemilikan silang media dan keanekaragaman isi siaran serta pengaturan waktu iklan (termasuk juga iklan politik). Kewajiban untuk menjalankan sistem penyiaran berjaringan juga menyebabkan semakin terdistribusikannya konten siaran yang dikondisikan atas prosentasi isi siaran media penyiaran. Atas pelaksanaan itu semua, perlu diperkuat peran regulator penyiaran untuk mengawasi dan memberikan sanksi bila terjadi pelanggaran atas aturan tersebut.

    Bila ingin menjadi media pers nasional yang baik, maka independensi dan netralitas harus ditegakkan. Bila tidak, pers akan ditinggalkan audience, serta bisa mendapat sanksi etik dan/atau hukum. Semakin tinggi derajat independensi dan netralitas media, semakin tinggi pula kredibilitasnya, serta semakin disukai dan semakin mampu membentuk opini publik. Namun, sulit kiranya menciptakan media yang sepenuhnya independen dan netral.

    RujukanIbnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik 1. dalam Media Massa Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik, 2007, Jakarta, Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Jelang Pemilu 2014, Presiden SBY Imbau 2. Pers Hindarkan Black Campaign, http://www.majalahpotretindonesia.com/index.php/potret-utama/nasional/item/375-jelang-pemilu-2014-presiden-sby-imbau-pers-hindarkan-black-campaign, diakses tanggal 4-2-2014.Mahfudz Siddiq, Independensi Media 3. Penyiaran di Tahun Politik, makalah dis-ampaikan pada acara Diskusi di Aliansi Jurnalistik Independen (AJI), Jakarta, 11 Desember 2013. Menggelorakan Semangat Pemilih Pe-4. mula, http://mpn.kominfo.go.id/index.php/2014/01/22/menggelorakan-seman-gat-pemilih-pemula/, diakses tanggal 4-2-2014.Menjaga Idealisme, Tantangan Pers 5. Nasional, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/3/7/b1.html, diakses tanggal 4-2-2014.Rizaldi Nazaruddin, Peran Vital Pers di 6. Arena Pemilu 2014, http://www.radar-banjarmasin.co.id/berita/detail/65541/peran-vital-pers-di-arena-pemilu-2014.html, diakses tanggal 4-2-2014.