vol.vi no.02 ii p3di januari 2014

20
- 1 - Vol. VI, No. 02/II/P3DI/Januari/2014 H U K U M Info Singkat © 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI www.dpr.go.id ISSN 2088-2351 Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO. 24 TAHUN 2007 TERHADAP PENANGANAN BENCANA BANJIR Harris Y. P. Sibuea*) Abstrak UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana lahir dengan tujuan di antaranya memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana dan menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh. Namun setelah diimplementasikan hampir kurang lebih tujuh tahun, masyarakat khususnya korban bencana banjir belum merasakan manfaatnya dalam memberikan perlindungan yang cepat dan tepat bagi mereka berikut dampak yang muncul akibat bencana banjir. Sejumlah permasalahan yang muncul dalam implementasi UU No. 24 Tahun 2007 antara lain terkait dengan sejumlah hal, yakni kebijakan, penetapan status bencana, koordinasi antar lembaga, pendanaan, serta belum dibentuknya Badan Penanggulangan Bencana Daerah di beberapa kabupaten/kota. Pendahuluan Bencana silih-berganti menyambangi negeri belakangan ini. Gunung meletus, tanah longsor sampai pada bencana banjir seakan-akan sudah menjadi pengunjung tetap. Namun, semua itu tidak menjadikan pemerintah dan masyarakat semakin sigap menangani bencana. Banjir yang pada akhir-akhir ini melanda hampir di seluruh wilayah Indonesia yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Cirebon, Jambi, Makassar termasuk peristiwa tsunami kecil yang terjadi di Manado, Sulawesi Utara membuat seluruh masyarakat panik dan segera membutuhkan penanganan dari Pemerintah atas bencana ini. Peristiwa tahunan seperti ini seharusnya menjadikan Indonesia lebih pengalaman dalam penanganan bencana. Bencana banjir tersebut seharusnya dapat ditangani dampaknya lebih awal, jika Indonesia mau belajar dan memperbaiki kesalahan- kesalahan dari penanganan bencana banjir sebelumnya. Data jumlah korban tertanggal 18 Januari 2014 di DKI Jakarta sudah terdapat 7 korban tewas akibat bencana banjir dengan perinciannya Jakarta Timur 3 (tiga) orang; Jakarta Selatan 1 (satu) orang; Jakarta Barat 1 (satu) orang; dan Jakarta Utara 2 (dua) orang. Meskipun bencana banjir tahun ini dapat dikatakan tidak lebih besar dari tahun sebelumnya tetapi data korban tewas *) Peneliti Muda bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Upload: info-singkat

Post on 26-May-2017

229 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Vol.VI No.02 II P3DI JANUARI 2014

- 1 -

Vol. VI, No. 02/II/P3DI/Januari/2014H U K U M

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO. 24 TAHUN 2007 TERHADAP PENANGANAN

BENCANA BANJIRHarris Y. P. Sibuea*)

Abstrak

UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana lahir dengan tujuan di antaranya memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana dan menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh. Namun setelah diimplementasikan hampir kurang lebih tujuh tahun, masyarakat khususnya korban bencana banjir belum merasakan manfaatnya dalam memberikan perlindungan yang cepat dan tepat bagi mereka berikut dampak yang muncul akibat bencana banjir. Sejumlah permasalahan yang muncul dalam implementasi UU No. 24 Tahun 2007 antara lain terkait dengan sejumlah hal, yakni kebijakan, penetapan status bencana, koordinasi antar lembaga, pendanaan, serta belum dibentuknya Badan Penanggulangan Bencana Daerah di beberapa kabupaten/kota.

PendahuluanBencana silih-berganti menyambangi

negeri belakangan ini. Gunung meletus, tanah longsor sampai pada bencana banjir seakan-akan sudah menjadi pengunjung tetap. Namun, semua itu tidak menjadikan pemerintah dan masyarakat semakin sigap menangani bencana. Banjir yang pada akhir-akhir ini melanda hampir di seluruh wilayah Indonesia yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Cirebon, Jambi, Makassar termasuk peristiwa tsunami kecil yang terjadi di Manado, Sulawesi Utara membuat seluruh masyarakat panik dan segera membutuhkan penanganan dari Pemerintah atas bencana ini. Peristiwa tahunan seperti ini seharusnya

menjadikan Indonesia lebih pengalaman dalam penanganan bencana. Bencana banjir tersebut seharusnya dapat ditangani dampaknya lebih awal, jika Indonesia mau belajar dan memperbaiki kesalahan-kesalahan dari penanganan bencana banjir sebelumnya.

Data jumlah korban tertanggal 18 Januari 2014 di DKI Jakarta sudah terdapat 7 korban tewas akibat bencana banjir dengan perinciannya Jakarta Timur 3 (tiga) orang; Jakarta Selatan 1 (satu) orang; Jakarta Barat 1 (satu) orang; dan Jakarta Utara 2 (dua) orang. Meskipun bencana banjir tahun ini dapat dikatakan tidak lebih besar dari tahun sebelumnya tetapi data korban tewas

*) Peneliti Muda bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 2: Vol.VI No.02 II P3DI JANUARI 2014

- 2 -

tersebut dapat menunjukkan bahwa sekecil apapun bencana banjir yang terjadi pasti menimbulkan korban.

Tanggung jawab pemerintah terhadap bencana banjir didasarkan pada Pembukaan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 (UUD RI Tahun 1945) yang mengamanatkan bahwa “Pemerintah atau Negara Kesatuan Republik Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Sebagai tindak lanjut dari amanat tersebut, secara yuridis sudah ada peraturan perundang-undangan sebagai solusi dalam hal terjadinya bencana alam termasuk banjir yaitu Pemerintah bersama DPR RI pada tahun 2007 telah menetapkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU Penanggulangan Bencana).

Kajian singkat ini bertujuan untuk menggambarkan dari sisi perspektif hukum bagaimana implementasi UU Penanggulangan Bencana terhadap penanggulangan bencana banjir yang terjadi secara musiman di hampir seluruh wilayah Indonesia serta memberikan masukan kepada para pemangku kepentingan penanganan bencana dalam hal koordinasi penanganan bencana.

Materi UU Penanggulangan Bencana terkait Penanganan Bencana Banjir

Materi muatan UU Penanggulangan Bencana khususnya yang berkaitan langsung dengan penanganan bencana banjir berisikan ketentuan-ketentuan pokok sebagai berikut:1. Penyelenggaraan penanggulangan

bencana merupakan tanggung jawab dan wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah, yang dilaksanakan secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.

2. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam tahap tanggap darurat dilaksanakan sepenuhnya oleh badan nasional penanggulangan bencana dan badan penanggulangan bencana daerah. Badan penanggulangan bencana tersebut terdiri dari unsur pengarah dan unsur pelaksana. Badan nasional

penanggulangan bencana dan badan penanggulangan bencana daerah mempunyai tugas dan fungsi antara lain pengkoordinasian penyelenggaraan penanggulangan bencana secara terencana dan terpadu sesuai dengan kewenangannya

3. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan memperhatikan hak masyarakat yang antara lain mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, mendapatkan perlindungan sosial, mendapatkan pendidikan dan keterampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.

4. Kegiatan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan memberikan kesempatan secara luas kepada lembaga usaha dan lembaga internasional.

5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan pada tahap pra bencana, saat tanggap darurat, pasca bencana, karena masing-masing tahapan mempunyai karakteristik penanganan yang berbeda.

6. Pada saat tanggap darurat, kegiatan penanggulangan bencana selain didukung dana APBN dan APBD juga disediakan dana siap pakai dengan pertanggungjawaban melalui mekanisme khusus.

7. Pengawasan terhadap seluruh kegiatan penanggulangan bencana dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat pada setiap tahapan bencana, agar tidak terjadi penyimpangan dalam penggunaan dana penanggulangan bencana.

Permasalahan UU Penanggulangan Bencana

Implementasi UU Penanggulangan Bencana pada saat ini perlu dikaji lebih dalam dengan tujuan agar ke depannya masyarakat dapat lebih cepat tertolong jika terjadi bencana banjir. Permasalahan implementasi UU Penanggulangan Bencana tersebut antara lain, pertama, permasalahan kebijakan, terkait dengan implementasi UU Penanggulangan Bencana terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah yang tidak berjalan karena kurangnya kesadaran dan

Page 3: Vol.VI No.02 II P3DI JANUARI 2014

- 3 -

kapasitas para penegak hukum. Agar UU Penanggulangan Bencana dan peraturan pelaksanaannya tidak berhenti pada tingkat normatif, sejak disahkan dan diterbitkan (enactment), maka harus dipastikan juga penegakannya (enforcement).

Kedua, status bencana memiliki implikasi sangat besar bagi sistem operasional penanganan bencana. Perlu kejelasan status dengan indikator yang jelas, baik dari sisi kemampuan daerah dalam menangani dampak bencana, jumlah penduduk terkena bencana, luasan, dampak sehingga penetapan status bencana obyektif dan terhindar dari kepentingan lain. Selain itu juga belum ada kategori tentang status bencana apakah termasuk bencana lokal, provinsi, atau nasional. Hal ini sangat penting, karena akan terkait erat dengan sumber daya yang akan digunakan dalam mengatasi kejadian bencana, apakah hanya berasal dari APBD atau APBN atau dengan tambahan bantuan luar. Jika status bencana tidak jelas maka dikhawatirkan pemerintah akan mengeluarkan dana secara sewenang-wenang atau sebaliknya apabila bencana tidak dianggap sebagai bencana maka angggaran tidak akan dikeluarkan sehingga jumlah korban akan semakin meningkat.

Ketiga, permasalahan pelaksanaan dan pengorganisasian dalam hal koordinasi antar-lembaga. Masalah perencanaan dan pelaksanaan atas UU Penanggulangan Bencana dalam kenyataannya merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh berbagai sektor. Hal ini mengakibatkan BNPB mengalami kesulitan dalam menjalankan fungsi koordinasi guna mencegah terjadinya tumpang tindihnya kebijakan, progam dan anggaran baik tingkat nasional maupun di tingkat daerah yang berimplikasi pada masalah koordinasi.

Lemahnya koordinasi tersebut juga diperkuat dengan pernyataan Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto bahwa koordinasi lemah antar-instansi menjadi penyebab penanganan banjir di salah satu wilayah di Indonesia, misalnya Jakarta, berjalan setengah-setengah. Sebenarnya pemerintah sudah memiliki masterplan penanganan banjir, namun koordinasi antar-pemerintah perlu didorong terutama dalam menangani sungai, melalui Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air (TKPSDA). Buruknya koordinasi yang terjadi selama

ini disebabkan tidak jelasnya petunjuk pelaksanaan.

Keempat, permasalahan tentang pendanaan, hal-hal yang terkait dengan sumber-sumber pendanaan dan pengunaannya. Anggaran yang berasal dari DIPA (APBN/APBD), sementara dana untuk keperluan tanggap darurat berasal dari dana siap pakai, selain itu terdapat pula dana-dana yang berasal dari masyarakat. Masalah yang terkait dengan penganggaran meliputi masalah akuntabilitas dan transparansi, serta masalah yang terkait penggunaan anggaran untuk mendorong upaya-upaya penanggulangan bencana.

Kelima, belum terlaksananya secara menyeluruh Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UU Penanggulangan Bencana yang menyatakan bahwa Pemerintah daerah membentuk badan penanggulangan bencana daerah yang terdiri dari: (a) Badan pada tingkat provinsi dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib; dan (b) Badan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah bupati/walikota atau setingkat eselon IIa. Tercatat saat ini 94 kabupaten/kota atau hampir seperempat dari total 496 kabupaten/kota di seluruh Indonesia belum memiliki BPBD.

Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB menyatakan bahwa tanpa BPBD, penanganan bencana hanya dilakukan secara ad hoc. Jika di daerah dibentuk BPBD penanggulangan bencana dapat berjalan dengan baik. Penanganan bencana antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota akan menjadi lebih terorganisasi. Tidak ada sanksi bagi daerah yang belum memiliki BPBD menjadi salah satu faktor kabupaten/kota tidak segera membentuk BPBD.

Semua permasalahan tersebut juga harus dilengkapi dengan penekanan pada pendidikan masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan, tidak membangun di wilayah resapan air, dan tidak mengubah fungsi lahan di daerah hulu seperti Bogor. Dari tataran yuridis UU Penanggulangan Bencana disarankan dilengkapi dengan pembuatan peraturan perundang-undangan terkait dengan manajemen penanganan bencana dari skala kecil sampai dengan skala nasional, sehingga segala bentuk bencana dari skala kecil sampai skala nasional dapat ditangani dengan cepat dan terorganisir.

Page 4: Vol.VI No.02 II P3DI JANUARI 2014

- 4 -

PenutupBencana banjir yang melanda hampir

seluruh wilayah Indonesia terjadi secara musiman yang seharusnya sudah dapat diprediksi oleh pemerintah. Beberapa permasalahan pokok yang tidak dapat diselesaikan UU Penanggulangan Bencana tersebut antara lain kebijakan, penetapan status bencana, koordinasi antar lembaga, pendanaan serta belum dibentuknya BPBD di beberapa kabupaten/kota. Dari beberapa permasalahan tersebut maka UU Penanggulangan Bencana tidak dapat diimplementasikan dengan baik sampai sekarang ini.

Sebagai masukan agar ke depannya bencana musiman banjir yang melanda beberapa wilayah di Indonesia, disarankan para pemangku kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan yakni manajemen penanganan bencana baik bencana skala kecil sampai skala nasional yang nantinya ketika disahkan akan berjalan dengan UU Penanggulangan Bencana.

Rujukan1. UU No. 24 Tahun 2007 tentang

Penanggulangan Bencana.2. “Banjir tidak Kunjung Tuntas karena

Koordinasi Lemah”, Media Indonesia, 16 Januari 2014.

3. “Membenahi Manajemen Dampak Bencana”, Media Indonesia, 18 Januari 2014.

4. “Seperempat Daerah tanpa Badan Bencana”, Media Indonesia, 23 Januari 2014.

5. “Harus Ada Revitalisasi Sistem Penanggulangan Bencana di Indonesia”, http://www.tribunnews.com/nasional/2013/11/28/harus-ada-revitalisasi-sistem-penanggulangan-bencana-di-indonesia, diakses tanggal 16 Januari 2014.

6. “Tujuh Orang Meninggal Akibat Banjir 2014 s.d. Sabtu (18/01)”, http://bpbd.jakarta.go.id/tujuh-orang-meninggal-akibat-banjir-2014-s-d-sabtu-1801/, diakses tanggal 18 Januari 2014.

Page 5: Vol.VI No.02 II P3DI JANUARI 2014

- 5 -

Vol. VI, No. 02/II/P3DI/Januari/2014HUBUNGAN INTERNASIONAL

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

KRISIS POLITIK THAILAND DAN DAMPAKNYA TERHADAP KAWASAN

Sita Hidriyah*)

Abstrak

Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra dituntut oleh masyarakat Thailand untuk mundur dari jabatannya. Demonstrasi besar-besaran ini dipicu kontroversi RUU Amnesti Politik yang didukung pemerintah. Para demonstan menilai dukungan pemerintah atas RUU tersebut merupakan upaya untuk memberi peluang Thaksin kembali ke Thailand tanpa menjalani hukuman atas kasus korupsi. Untuk menghentikan demontrasi, PM Yingluck berencana mengadakan Pemilu di bulan Februari. Usul tersebut ditolak oposisi yang menghendaki pembentukan dewan rakyat untuk menjalankan pemerintahan sebelum pemilu, serta melaksanakan reformasi yang memerangi korupsi. Krisis politik yang berlangsung telah sejak tahun 2013 tersebut memukul perekonomian Thailand dan menelan korban jiwa. Hal ini memicu kekhawatiran terkait stabilitas politik dan keamanan di Thailand dan di Asia Tenggara pada umumnya.

PendahuluanDemonstrasi anti-pemerintah secara

besar-besaran telah berlangsung di Bangkok sejak tanggal 13 Januari 2014. Kelompok anti pemerintah (oposisi) serta Komite Reformasi Demokrasi Rakyat atau People's Democratic Reform Committee (PDRC) menuntut PM Yingluck mundur dan melakukan reformasi sebelum pemilu. Demonstrasi ini melumpuhkan Bangkok (Bangkok Shutdown). Kelompok oposisi bersikukuh reformasi sistem pemilu harus dilakukan sebelum pemilu yang independen siap digelar

setidak-tidaknya satu tahun lagi. Mereka menginginkan terbentuknya "dewan rakyat" yang ditunjuk untuk mengawasi reformasi sebelum pemilu mendatang. Dekrit keadaan darurat diberlakukan untuk meningkatkan keamanan dan memastikan bahwa pemilu dini 2 Februari yang ditentang oleh para demonstran dapat berjalan tanpa gangguan. Sampai pada tanggal 22 Januari 2014, demonstrasi anti-pemerintah terus berlanjut di ibukota Bangkok sementara demonstrasi dengan kekerasan telah meluas di wilayah Thailand utara.

*) Peneliti bidang Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 6: Vol.VI No.02 II P3DI JANUARI 2014

- 6 -

Bangkok Shutdown People's Democratic Reform Committee

(PDRC) mengancam akan melumpuhkan Bangkok (Bangkok Shutdown) dengan tidak mengenal batas waktu. Hal tersebut dilakukan dengan menutup jalan utama ke kompleks pemerintahan serta pusat perekonomian. Demi alasan keamanan para pegawai pemerintah diliburkan, namun pusat-pusat bisnis masih tetap beroperasi secara normal. Pelumpuhan tersebut baru akan dihentikan setelah PDRC memenangkan pertarungan. Pergerakan PDRC itu menuai gerakan massa propemerintah di bagian utara Thailand, yang pada pemilu sebelumnya dikuasai partai Pheu Thai yang pro pemerintah. Sejauh ini para pemimpin partai masih percaya bahwa militer tidak akan melancarkan kudeta.

Perdana Menteri Yingluck telah menegaskan bahwa dirinya tidak akan mundur. Ia menyatakan bahwa sudah menjadi tugasnya untuk menjaga demokrasi dan mempunyai tugas konstitusional untuk tetap menjabat sebagai perdana menteri. PM Yingluck berkeras bahwa satu-satunya jalan untuk menyelesaikan krisis politik yang semakin dalam di Thailand adalah lewat pemilihan umum. PM Yingluck telah memberikan usulan untuk menunda pemilu menjadi 4 Mei 2014 serta mengusulkan pembentukan dewan reformasi nasional sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan krisis politik yang sudah berlangsung beberapa bulan. Jika rakyat tidak lagi menginginkan pemerintahan ini, maka mereka harus datang dan memberikan suara dalam pemilihan umum. Sebagian besar lawan politik Yingluck tidak menginginkan digelarnya pemilu Mereka khawatir lewat pemilu justru keluarga Shinawatra atau sekutunya yang akan berkuasa kembali di Thailand. Kelompok oposisi menolak semua tawaran politik yang diajukan pemerintah berkuasa. Pertikaian politik yang sedang terjadi sepertinya tidak memiliki jalan tengah. Sehingga Yingluck harus mencari alternatif solusi bagi kalangan rakyatnya.

Dampak Terhadap Perekonomian Thailand

Ketidakstabilan politik di Thailand dapat mengikis prospek jangka pendek pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Secara signifikan roda perekonomian Thailand terlihat tidak mengalami dampak negatif.. Namun demikian, jika pertikaian masih terus terjadi, prediksi masa depan suram bisa saja terjadi bagi ekonomi Thailand. Konfrontasi politik telah mengakibatkan penurunan secara signifikan prospek ekonomi tahun 2014. Selain itu, momentum pertumbuhan produk domestik bruto Thailand telah melambat tajam dari tingkat pertumbuhan 6,5 persen pada tahun 2012 menjadi hanya 2,7 persen pada kuartal ketiga tahun 2013. Pemerintah Thailand sendiri baru saja memangkas perkiraan PDB untuk 2014. Menteri Perdagangan Thailand Niwattumrong Boonsongpaisan menyatakan, pada awal Januari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2014 akan berada di kisaran 3 persenmenjadi 3,5 persen, ini jauh lebih rendah dari perkiraan pemerintah sebelumnya empat dan lima persen. Dampak kerusuhan yang utama adalah kemungkinan penundaan proyek-proyek belanja infrastruktur.

Sektor pariwisata, yang menyumbang 7 persendari PDB mengalami penurunan signifikan Banyak negara telah mengeluarkan peringatan perjalanan ke Thailand. Wisatawan mancanegara yang dating ke Bangkok pada pekan pertama Desember 2013 merosot 15 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2012. Bahkan Singapore Airlines membatalkan 19 penerbangan ke Bangkok mulai 14 Januari hingga 25 Februari seiring dengan menurunnya permintaan. Asosiasi Perhotelan Thailand memprediksi tingkat hunian di Bangkok akan anjlok hingga menjadi 70-75 persen pada kuartal pertama dari biasanya yang mencapai 80 persen.

Konflik politik ini mengakibatkan gangguan terhadap perdagangan dan jasa keuangan perbankan dan industri yang terutama berlokasi di ibukota. Arus masuk investasi langsung asing juga cenderung melambat. Namun, produksi sektor pertanian, yang merupakan bagian

Page 7: Vol.VI No.02 II P3DI JANUARI 2014

- 7 -

penting dari ekonomi Thailand, relatif tidak terpengaruh. Banyak perusahaan multinasional yang hadir di Thailand, mulai mengambil tindakan pencegahan yang tepat untuk mempersiapkan risiko dari peningkatan aksi kekerasan.

Dampak Terhadap Kawasan Krisis politik Thailand yang belum

menemukan solusi ini dikhawatirkan dapat memicu kudeta militer. Jika hal ini terjadi, akan dapat berdampak buruk terhadap kawasan Asia Tenggara, khususnya ASEAN. Dampak buruk bisa saja terjadi pada sektor ekonomi dan politik di kawasan. Dengan posisi sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di ASEAN, lumpuhnya Thailand tentunya dapat mempengaruhi seluruh kawasan. Berbagai kerjasama ekonomi di tingkat ASEAN dapat tidak berjalan. Hal ini tentu mengganggu perekonomian di kawasan ASEAN.

Intervensi ASEAN dalam masalah instabilitas politik Thailand tidak dimungkinkan karena prinsip non-intervensi atau tidak turut campur rumah tangga suatu negara. (ASEAN Way). Instabilitas politik Thailand yang berlarut-larut dikhawatirkan dapat mengganggu rencana ASEAN penyatuan komunitas ekonomi ASEAN 2015, untuk menyatu dan bersaing secara sehat dalam satu wadah yang sama di bidang ekonomi. Dengan kondisi tersebut, ASEAN berharap semua pihak di dalam Thailand mampu menahan diri agar tidak melakukan kekerasan dan menghormati aturan hukum.

Bagi Indonesia secara langsung, kisruh politik di Thailand tidak banyak berpengaruh karena gelombang demostrasi lebih terfokus di ibukota Bangkok, dan hampir tidak terjadi di daerah-daerah lain sehingga arus produk dari Thailand ke luar negeri tidak banyak pula terkena dampaknya. Indonesia dapat memperoleh dampak positif dari gelombang demonstrasi di Thailand. Dari segi pariwisata, situasi memanas di Bangkok telah memaksa sebanyak 46 negara mengeluarkan travel warning ke Thailand. Terkait kondisi politik Thailand, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bangkok telah mengeluarkan surat pemberitahuan. Surat tersebut berisi himbauan kepada WNI di Thailand atas adanya aksi demonstrasi. Hal ini sebagai peringatan agar WNI tetap merasa aman dan terlindungi.

Situasi politik Thailand juga mendapat reaksi dari negara luar kawasan seperti Amerika Serikat (AS). Walaupun AS tidak mendapat dampak secara nyata, AS mendesak Thailand untuk mencari jalan damai guna menyelesaikan perbedaan pendapat di negeri itu dan menghormati aturan hukum. Selain itu AS juga memuji pengekangan diri pihak berwenang sejauh ini yaitu aparat keamanan dengan sikap menahan diri dalam menyikapi aksi unjuk rasa. AS sendiri sedang bekerja dengan berbagai negara untuk mendorong dialog dan transisi demokrasi yang damai. Thailand merupakan sekutu AS tertua di Asia. Kedua negara menandatangani perjanjian pada tahun 1833. Diplomasi AS yang bertujuan untuk menyelesaikan instabilitas Thailand sempat menuai protes setelah utusan AS bertemu dengan pihak pro-Thaksin. Pada perkembangannya, travel warning dari Departemen Luar Negeri AS telah dikeluarkan sejak 21 Januari 2014 yang mendesak warganya untuk menjauhkan diri dari protes dan pertemuan-pertemuan besar di Bangkok.

Penutup Apa yang terjadi di Thailand

merupakan sebuah indikasi bahwa proses demookrasi di Asia Tenggara masih akan melalui tahapan yang panjang. Krisis politik Thailand yang berlanjut akan mendorong adanya gelombang ketidakpastian, ketakutan bahkan kekacauan politik yang terjadi lagi sehingga dapat mengguncang stabilitas dan kemanan Asia Tenggara. Krisis politik di Thailand tidak hanya mengancam industri pariwisata, melainkan juga menurunkan kepercayaan publik pada pemerintah yang belum menjamin stabilitas keamanan dalam negeri. Seringnya pergantian pemerintahan di Thailand dapat memperkuat asumsi bahwa hal tersebut menjadi semacam tradisi. Dampaknya menjadi tidak terjaganya stabilitas keamanan terutama dalam jangka panjang di Thailand khususnya dan di Asia Tenggara pada umumnya.

Dengan terjadinya krisis politik yang terjadi di Thailand, dapat menjadi pintu masuk bagi Pemerintah Indonesia untuk mengambil prakarsa dalam yang lebih aktif dalam upaya penyelesaian krisis politik di Thailand. Pemerintah Indonesia diharapkan

Page 8: Vol.VI No.02 II P3DI JANUARI 2014

- 8 -

dapat siap memberikan dukungan secara penuh untuk menciptakan situasi kondusif di Thailand meskipun dalam ASEAN, konsep non-intervensi menjadi salah satu prasyarat bagi konstelasi hubungan antar-negara ASEAN. Menyongsong Komunitas ASEAN pada tahun 2015, upaya penyelesaian krisis politik di Thailand menjadi tantangan semua negara anggota ASEAN.

Pemerintah Indonesia sebagai salah satu pemimpin di ASEAN tentunya memiliki ruang yang lebih legitimate dalam upaya menetralisasi konflik politik di negara tersebut. Karena jika terus dibiarkan akan berdampak buruk bagi negara-negara tetangga di wilayah kawasan.

Rujukan 1. “Krisis Politik Memburuk: Yingluck:

Tugas Saya Menjaga Demokrasi dan Demokrasi Milik Rakyat”, Kompas 15 Januari 2014.

2. “Protest: Thai PM Insists She Won’t Resign”, The Jakarta Post 15 Januari 2014.

3. “Protesters Shut Down Bangkok’s City Center”, International New York Times 15 Januari 2014.

4. “Demo Oposisi Thailand di Bangkok Masuki Hari Ketiga”, http://www.voaindonesia.com/content/demo-opos is i -d i -bangkok-masuki-har i -ketiga/1829547.html, diakses 15 Januari 2014.

5. “Politik Thailand: Oposisï Targetkan Shutdown Hari Ini”, http://www.koran-sindo.com/node/358170, diakses pada tanggal 15 Januari 2014.

6. “PM Thailand Tegaskan Tak Akan Mundur”, http://www.voaindonesia.c o m / c o n t e n t / m e k i p u n - s i d e m o -pm-thailand-bertekad-tidak-akan-mundur/1829553.html, diakses pada tanggal 15 Januari 2014.

7. “Thai Opposition Absent From Forum on Election”, International New York Times 16 Januari 2014.

8. “Teror untuk Hasut Militer Thailand Mengudeta”, Media Indonesia 16 Januari 2014.

9. “Tak Suka dengan Pemerintah, Datanglah ke TPS”, Kompas 16 Januari 2014.

10. Suriah Keluarkan Gelombang Pertama

Bahan Senjata Kimia, http://www.antaranews.com/berita/412998/suriah-keluarkan-gelombang-pertama-bahan-senjata-kimia diakses tanggal 14 Januari 2014.

Page 9: Vol.VI No.02 II P3DI JANUARI 2014

- 9 -

Vol. VI, No. 02/II/P3DI/Januari/2014KESEJAHTERAAN SOSIAL

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

Kajian Singkat terhadap Isu-isu Terkini

SOSIALISASI KETENTUAN JAMINAN SOSIAL 2014

Mohammad Mulyadi*)

Abstrak

Kebijakan pemerintah tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional (BPJS) perlu diketahui dan dipahami oleh seluruh masyarakat Indonesia. Sosialisasi ketentuan Jaminan Sosial dibutuhkan menyangkut segala hal yang diatur dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional, sehingga pada saat pelaksanaannya kelak masyarakat mengerti dan sadar akan hak dan kewajiban mereka serta dapat memanfaatkan jaminan kesehatan dengan baik dan benar. Kurangnya informasi yang diterima masyarakat menjadi kendala pelaksanaan awal BPJS Kesehatan yang mulai diberlakukan 1 Januari 2014 ini.memanfaatkan jaminan kesehatan dengan baik dan benar. Kurangnya informasi yang diterima masyarakat menjadi kendala pelaksanaan awal BPJS Kesehatan yang mulai diberlakukan 1 Januari 2014 ini.

PendahuluanSetiap orang berhak atas jaminan

sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur. Sesuai dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup dan pekerjaan yang layak. Jaminan sosial berhubungan dengan kompensasi dan program kesejahteraan yang diselenggarakan

pemerintah untuk seluruh rakyat Indonesia.Untuk menjamin terselenggaranya

tujuan SJSN tersebut, maka disahkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS merupakan badan hukum yang memiliki tujuan mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan sosial bagi setiap peserta dan anggota keluarganya. Dalam peyelenggaraannya, BPJS ini terbagi menjadi dua, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Penyelenggaraan SJSN di Indonesia mulai berlaku sejak 1 Januari 2014, diawali dengan program jaminan kesehatan. PT

*) Peneliti Madya bidang Sosiologi pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail:[email protected]

Page 10: Vol.VI No.02 II P3DI JANUARI 2014

- 10 -

Askes dan PT Jamsostek yang ditunjuk sebagai lembaga penyelenggara BPJS kemudian beralih bentuk dalam upaya menjalankan fungsi BPJS. PT Askes resmi menjadi badan hukum publik BPJS Kesehatan pada awal 2014 dan PT Jamsostek akan beralih menjadi badan hukum publik BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2015 mendatang.

Pada awal pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 1 Januari 2014, setidaknya ada 121,6 juta peserta yang terdiri dari peserta asuransi kesehatan sosial PT Askes (pegawai negeri sipil/PNS dan pensiunan beserta keluarga, anggota dan pensiunan TNI/Polri dan keluarga), peserta jaminan kesehatan dari PT Jamsostek, perserta yang berasal dari semua BUMN, serta penduduk miskin yang tercakup dalam Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang kemudian menjadi Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Akan tetapi hingga saat ini, berbagai tantangan dan kendala bermunculan dalam upaya persiapan pelaksanaan BPJS tahun 2014. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah sosialisasi ketentuan jaminan sosial. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang bertujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat belum maksimal karena sosialisasi yang tidak optimal. Program BPJS masih membingungkan masyarakat, khususnya pengguna Jamkesmas dan Jamkesda. Bahkan, ada masyarakat yang menjadi panik dan takut tidak memperoleh pelayanan kesehatan BPJS karena tidak memiliki kartu Jamsostek dan Askes. Direktur Lembaga Perlindungan dan Pemberdayaan Konsumen Indonesia (LPPKI), Dr. Agus Kasiyanto, mengatakan, BPJS Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan perlu melakukan sosialisasi secara menyeluruh agar masyarakat lebih mengetahui ketentuan tentang jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan.

Keterbatasan Sosialisasi Ketentuan Jaminan Sosial di Daerah

Kurangnya sosialisasi JKN dirasakan baik oleh pelaksana maupun masyarakat penerima layanan secara umum.

A. Kurangnya sosialisasi pada pelaksana Program JKN yang dijalankan

pemerintah ini sesungguhnya sangat

baik. Namun, kesiapan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk secara aktif menggandeng Pemerintah Daerah (Pemda) mensosialisasikan program tersebut masih kurang seperti terlihat misalnya, di Dinas Kesehatan Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu yang masih belum memahami penyelenggaraan BPJS. Selain di Bengkulu, disinyalir hampir 80 persen petugas kesehatan Sukabumi belum paham soal BPJS, karena memang belum pernah ada sosialisasi apalagi pelatihan untuk menjalankan program asuransi kesehatan pemerintah tersebut. Bahkan pada minggu pertama tahun 2014 unit layanan BPJS untuk masyarakat umum di Sukabumi belum beroperasi. Layanan kesehatan baru diberikan untuk PNS, pensiunan, dan TNI/Polri semata-mata karena petugas belum paham prosedur pelayanannya.

Selain lembaga pelaksana, sosialisasi kepada tenaga kesehatan juga masih belum memadai, baik dalam hal pelayanan maupun insentif yang diterima sebagai balasan performanya. Minimnya sosialisasi bukan hanya disebabkan oleh lemahnya koordinasi antarlembaga terkait, tapi juga faktor geografis yang menyulitkan akses kepada masyarakat di daerah pedalaman, seperti di Papua dan Garut.

B. Kurangnya sosialisasi bagi pengguna layanan

Peserta JKN banyak yang belum mengetahui prosedur kepesertaan. Ada peserta yang tidak mengetahui tempat pendaftaran kepesertaan. Ada juga yang kesulitan mengisi formulir BPJS, seperti kasus di Lebak, Banten. Hal ini karena tidak ada petugas yang memandu masyarakat untuk mempermudah proses pendaftaran.

Peserta juga belum mengetahui keuntungan apa yang diperolah dengan mengikuti program atau perihal iuran premi yang harus dikeluarkan sebagai peserta JKN. Masyarakat menduga-duga premi yang harus dikeluarkan sehingga muncul kekhawatiran bahwa iuran ini akan memberatkan mereka. Selain itu, masih belum terinformasikan dengan baik mengenai tata cara penggunaan kartu BPJS saat peserta berobat di fasilitas kesehatan. Masyarakat yang sebelumnya memiliki akses layanan kesehatan Jamkesmas kebingungan sebab rumah sakit yang sebelumnya melayani mereka meminta kartu BPJS Kesehatan.

Page 11: Vol.VI No.02 II P3DI JANUARI 2014

- 11 -

Arti Penting Sosialisasi Ketentuan Jaminan Sosial

Untuk memberikan sosialisasi mengenai BPJS, Kementerian Kesehatan merilis Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Buku ini secara ringkas memuat informasi tentang JKN yang mencakup arti pentingnya skema jaminan kesehatan nasional serta mekanisme dan penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional. Namun demikian, masih terdapat kebingungan di masyarakat luas, yakni pertama, dalam hal substansi informasi. Informasi yang disampaikan di media massa belum komprehensif meliputi aspek-aspek praktis yang dibutuhkan pengguna layanan. Iklan yang disampaikan di televisi tidak dapat menjelaskan segala hal mengenai BPJS.

Kedua, penggunaan media informasi yang belum tepat guna. Penggunaan media informasi memiliki dampak yang berbeda bagi penerimanya. Masyarakat dengan akses media elektronik dengan mudah menemukan informasi BPJS di internet atau televisi. Namun demikian, hal ini tidak berlaku bagi

masyarakat dengan akses terbatas. Sosialisasi seharusnya dibuat dalam bentuk himbauan, penyuluhan, dan pengumuman di berbagai tempat yang dekat dengan masyarakat, terutama di rumah sakit dan puskesmas. Selain itu, pemerintah disarankan melakukan sosialisasi lebih intensif ke tempat-tempat umum dan pusat keramaian. Sosialisasi BPJS dapat dilakukan di mall-mall, pasar-pasar, terminal, universitas, dan tempat keramaian lainnya.

Sosialisasi yang agak besar pernah dilakukan Presiden SBY namun gaungnya masih di bawah yang diharapkan, yakni pada saat peresmian Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagai penyelenggaran JKN di Istana Bogor, Jawa Barat, pada hari Selasa 31 Desember 2013, dan tinjauan Presiden SBY bersama Ibu Ani Yudhoyono ke Puskesmas Pucang Sewu dan RSUD Dr Soetomo di Surabaya, Sabtu, 4 Januari 2014. Sementara itu, sosialisasi yang dilakukan para menteri tidak terdengar. Yang ada hanyalah pernyataan-pernyataan singkat di media-media soal sudah berjalannya BPJS dan diberlakukan JKN sejak tahun baru.

KENDALA SOSIALISASI

PESERTA

PREMI IURAN

KEPESERTAAN

LAYANAN

PENYELENGGARA

INSENTIF

PROSEDUR

Bagan Masalah Sosialisasi BPJS Kesehatan

sumber: analisis dari berbagai berita media massa

Page 12: Vol.VI No.02 II P3DI JANUARI 2014

- 12 -

Penutup Masyarakat membutuhkan informasi

yang pasti tentang teknis pelaksanaan BPJS Kesehatan, misalnya, informasi tentang manfaat, iuran dan pendaftaran kepesertaan. Salah satu hambatan penyampaian informasi seputar BPJS kepada masyarakat disebabkan oleh lambannya pemerintah menuntaskan regulasi operasional UU SJSN dan UU BPJS. Oleh karenanya, pemerintah dituntut segera menyelesaikan regulasi operasional BPJS.

Kebijakan pemerintah tentang BPJS perlu diketahui dan dipahami oleh seluruh masyarakat Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan penyebarluasan informasi melalui sosialisasi kepada semua pemangku kepentingan atau masyarakat pada umumnya. Sosialisasi ketentuan jaminan sosial penting dilakukan tidak hanya menyasar terhadap pelaksana saja tetapi juga bagi pengguna layanan sehingga JKN dapat digunakan secara optimal.

Rujukan1. Arifianto, Alex. 2004. Reformasi Sistem

Jaminan Sosial di Indonesia: Sebuah Analisis Atas Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional (RUU Jamsosnas). Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU.

2. Yuningsih, Rahmi. 2013. Info Singkat: Permasalahan dalam persiapan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta: P3DI Setjen DPR RI.

3. Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. 2013.Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

4. “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial”, http://www.bpjs-kesehatan.go.id/statis-12-peserta.html, diakses 15 Januari 2014

5. “Warga Miskin Ngawi Kesal Ikut Program BPJS Diharuskan Bayar Iuran”, http://www.tribunnews.com/regional/2014/01/13/warga-miskin, diakses 15 Januari 2014.

6. “Program JKN Bingkungkan Masyarakat”, http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=341915, diakses 21 Januari 2014.

7. “Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional Masih Minim”, http://www.bpjs.info/ber i tabpjs/Sos ia l i sas i_Jaminan_Kesehatan_Nasional_Masih_Minim-5194, diakses 21 Januari 2013.

Page 13: Vol.VI No.02 II P3DI JANUARI 2014

- 13 -

Vol. VI, No. 02/II/P3DI/Januari/2014EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

KETIMPANGAN EKONOMI INDONESIA DI TAHUN POLITIK 2014

Ari Mulianta Ginting*)

Abstrak

Perkembangan indikator makro ekonomi Indonesia beberapa tahun terakhir menunjukkan hasil yang mengembirakan. Pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan dan berada rata-rata 5,85 persen dalam kurun waktu 2008-2013. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada saat yang bersamaan terjadi ketimpangan. Data Indeks Gini Indonesia dari tahun 2004 hingga tahun 2013 menunjukan tren yang meningkat dan bahkan pada tahun 2013 menunjukkan angka 0,413. Indeks Gini tahun 2013 ini merupakan indeks terbesar sepanjang sejarah Indonesia dari tahun 1964 hingga sekarang tahun 2013. Hal ini menunjukkan secara jelas bahwa terjadi ketimpangan dalam masyarakat atau dengan kata lain jurang antara masyarakat kaya dan miskin semakin melebar. Untuk mengatasi ketimpangan tersebut, pemerintah perlu mendorong kesetaraan dan keadilan dalam mengeluarkan kebijakan. Salah satunya adalah dengan mengeluarkan kebijakan anggaran dalam APBN yang dapat mengatasi ketimpangan ekonomi Indonesia. Apalagi momentum tahun politik 2014 dapat dijadikan sebagai suatu titik balik bagi pemerintah dan calon legislatif yang baru untuk dapat mengeluarkan kebijakan baru yang lebih berorientasi pada penciptaan kesejahteraan masyarkat secara adil dan makmur.

PendahuluanKetimpangan ekonomi Indonesia

meningkat tajam dalam satu dekade terakhir dan mencapai rekor tertinggi dengan perubahan koefisien Gini hampir 20 persen dalam periode 1990 sampai dengan 1999 dan 2000 sampai dengan 2012. Pendapat tersebut disampaikan oleh Deputi Rektor Universitas Paramadina Wijaya Samirin dalam orasi ilmiah pada dies natalies ke-16 Universitas Paramadina Jakarta. Prestasi ekonomi tidak menggambarkan dengan jelas siapa yang sesungguhnya menikmati

pertumbuhan ekonomi karena justru rata-rata koefisien Gini menunjukkan angka peningkatan pesat bahkan lebih tinggi dari negara di kawasan lain dan Anggota BRIC (Brasil, Rusia, India dan Cina).

Dalam enam tahun terakhir (2008-2013), perekonomian nasional mampu tumbuh dengan cukup kuat dengan rata rata pertumbuhan sebesar 5,85 persen. Pada tahun 2008 ekonomi Indonesia tumbuh 6,0 persen dengan dorongan dari permintaan domestik yang cukup tinggi. Namun pada tahun 2009,

*) Peneliti Muda Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 14: Vol.VI No.02 II P3DI JANUARI 2014

- 14 -

perekonomian nasional mengalami perlambatan yang cukup signifikan akibat dampak krisis global yang mempengaruhi sisi eksternal, dengan kontraksi ekspor-impor karena menurunnya pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan dunia sehingga hanya tumbuh 4,6 persen. Akan tetapi pada tahun-tahun berikutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu tumbuh meningkat dan stabil, bahkan pertumbuhan ekonomi berada di atas 6,0 persen untuk tahun 2010 hingga tahun 2012, dan sempat mengalami penurunan sedikit pada tahun 2013. (lihat Grafik 1).

Grafik 1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2008-

2013

Sumber: Badan Pusat Statistik (2014)

Pertumbuhan ekonomi terjadi peningkatan dari tahun ke tahun tetapi pada saat yang bersamaan terjadi ketimpangan di Indonesia. Jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan naik 480.000 dari 28,07 juta jiwa pada Maret 2013 menjadi 28,55 juta pada September 2013. Persentase penduduk miskin terhadap jumlah penduduk pun naik dari 11,37 (Maret) menjadi 11,47 persen (September). Apalagi penyebab kenaikan itu kalau bukan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada akhir Juni 2013. Sejak tahun 2006 jumlah persentase penduduk miskin mengalami penurunan secara konsisten, walaupun kecepatan penurunannya melambat, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Penurunan jumlah orang miskin sejalan dengan tambahan penciptaan lapangan kerja sehingga menurunkan tingkat pengangguran (lihat Grafik 2).

Grafik 2 Tingkat Kemiskinan, Pengangguran dan

Pertumbuhan Ekonomi

Sumber : BPS (2014)

Namun, ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, memaparkan hal yang cukup mengganggu

dengan Grafik 2 di atas. Pada kurun waktu 2001 hingga 2005, tingkat pengangguran naik justru ketika pertumbuhan ekonomi meningkat. Sebaliknya, pada periode 2007-2009 dan 2011-2013, tingkat pengangguran justru terus menurun padahal pertumbuhan ekonomi melambat. Bahkan, pada tahun 2009 ketika krisis keuangan global membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup merosot tajam, tingkat pengangguran tetap turun. Hal ini bisa terjadi karena banyak pekerja di Indonesia terlalu miskin untuk menganggur (too poor to be unemployed). Jika terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) hari ini, besok harinya harus mendapatkan pekerjaan baru, apa pun pekerjaan itu, entah memulung, mengojek, mengobjek, menjadi joki 3 in 1, dan sebagainya. Jadi, rendahnya tingkat penganguran tidak mencerminkan kualitas kerja, tingkat kesejahteraan, atau kualitas pertumbuhan.

Ketimpangan Semakin Memburuk Dalam Sejarah Indonesia

Lebih lanjut Faisal Basri menegaskan bahwa data ketimpangan pendapatan yang kian melebar bisa menjelaskan fenomena perekonomian Indonesia pasca reformasi dan krisis tahun 1998. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi bisa menurunkan jumlah orang miskin, yang mencerminkan peningkatan kesejahteraan rata-rata rakyat Indonesia. Namun, lapisan kelas atas tumbuh jauh lebih cepat ketimbang kelas pendapatan bawah yang tumbuh sangat lamban, sehingga menghasilkan jurang yang cukup dalam antara kelas atas dengan kelas bawah, atau antara si kaya dengan si miskin yang semakin melebar. Salah satu koefisien yang menginformasikan kecenderungan itu sama seperti yang telah disebutkan oleh Deputi Rektor Universitas Paramadina di atas terkait Indeks Gini di mana selama enam tahun terakhir mengalami peningkatan dan sejak tahun 2011 menembus angka 0,4.

Tahun 2013 Indeks Gini mengalami peningkatan kembali walaupun tipis menjadi 0,413. Hal tersebut terlihat pada Grafik 3 di bawah berikut. Pada tahun 1964, ketimpangan memang terjadi namun dalam Indeks Gini yang relatif moderat yaitu 0,35. Demikian pula halnya pada tahun 2000 setelah terjadi reformasi bahkan sempat mengecil menjadi 0,3.

Namun, setelah tahun 2004 hingga sekarang Indeks Gini terus mengalami tren peningkatan, hal ini berarti terjadi ketimpangan pendapatan yang semakin melebar diantara masyarakat.

Page 15: Vol.VI No.02 II P3DI JANUARI 2014

- 15 -

Grafik 3 Indeks Gini Indonesia

Sumber: BPS Untuk mengatasi permasalahan

ketimpangan tersebut, menurut Wijayanto pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan untuk mendorong kesetaraan dan keadilan. Keseteraan tersebut diwujudkan dengan meratakan kemakmuran bukan meratakan kemiskinan. Disadari atau tidak , pemerintah kadang-kadang mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada kelompok masyarakat yang sudah berpenghasilan menengah hingga atas. Selain itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2014 masih jauh dari upaya mengatasi ketimpangan ekonomi di Indonesia. Saat belanja modal dan infrastruktur diperlambat dalam APBN 2014, belanja pegawai dan remunerasi justru diangkat. Belanja barang diturunkan 2,23 persen menjadi Rp. 201,89 triliun. Namun, di sisi lain belanja modal hanya naik 6,9 persen menjadi Rp. 205,84 triliun, termasuk belanja infrastruktur di dalamnya yang sekadar meningkat 2,4 persen menjadi Rp. 188, 7 triliun. Padahal berbagai literatur ekonomi menunjukkan, belanja modal, termasuk belanja infrastruktur merupakan jenis belanja pemerintah yang paling memberikan efek berganda (multiplier effect) ke berbagai sektor ekonomi. Efek kontras kebijakan belanja itu terlihat karena pada saat yang sama, belanja pegawai atau belanja pegawai negeri sipil, melesat 13,3 persen menjadi Rp. 263,98 triliun.

Dalam Diskusi Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran (Seknas Fitra) menyampaikan agar fokus perhatian pemerintah ke depan dalam penyusunan APBN sebagai landasan untuk mendorong perumusan kebijakan APBN yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Desain anggaran sekarang belum ditujukan untuk mendorong kemajuan bangsa dan mensejahterakan masyarakat serta

menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat. Menurut Fitra, APBN sekarang kurang berperan optimal untuk mendorong perekonomian nasional. Tingginya pertumbuhan ekonomi tidak ada artinya jika sebagian besar masyarakat tidak memperoleh kesejahteraan.

Sejalan dengan uraian di atas, maka penulis berpendapat bahwa upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi ketimpangan selama ini, pemerintah harus memulai dengan melakukan revisi dan perbaikan terhadap kebijakan yang dikeluarkan. Sebagai otoritas fiskal, pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengeluarkan kebijakan mengenai pendapatan dan belanja negara. Apalagi pada tahun 2014 dilakukan pemilihan umum sehingga pemerintahan yang baru memiliki kebebasan untuk menetapkan kebijakan fiskal tanpa intervensi dari manapun. Dengan demikian, pemerintahan yang baru nanti lebih memperhatikan aspek keadilan dan pemerataan daripada hanya memperhatikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa adanya unsur keadilan dan pemerataan.

Masyarakat sudah menunggu terlalu lama untuk merasakan keadilan dan pemerataan hasil proses pembangunan. Langkah pertama yang dapat pemerintah baru nanti lakukan adalah restrukturisasi belanja negara dalam APBN tahun berikutnya. Selama ini, dalam APBN 2014 maupun tahun sebelumnya dari sisi belanja kurang memperhatikan aspek keadilan dan pemerataan tersebut, terlihat dari proporsi belanja APBN tahun 2014, sebagian besar habis untuk belanja pegawai sebesar Rp276 triliun dan membayar subsidi Rp336 triliun yang notabene masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin tidak menikmati belanja tersebut. Masyarakat membutuhkan rumah sederhana, fasilitas pendidikan yang terjangkau dan berkualitas, jaminan kesehatan bagi setiap warga, akses jalan yang menghubungkan antar-daerah, dan proyek infrastruktur yang berguna bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Penutup Walaupun pemerintah mengklaim

perkembangan ekonomi banyak mengalami kemajuan namun perekonomian Indonesia tidak terlepas dari berbagai ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat. Bahkan data terakhir berdasarkan Indeks Gini, yang mengukur ketimpangan pendapatan masyarakat menunjukkan fenomena yang cukup menghawatirkan. Indeks Gini menunjukkan tren peningkatan sejak tahun 2004 hingga tahun 2013, bahkan tahun 2013 Indeks Gini sebesar 0,413. Hal ini menunjukkan terjadi ketimpangan pendapatan yang semakin

Page 16: Vol.VI No.02 II P3DI JANUARI 2014

- 16 -

melebar di dalam masyarakat. Fenomena inilah yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia, kesenjangan antara kelas atas dengan kelas bawah atau antara si kaya dengan si miskin. Untuk itulah diperlukan langkah cepat oleh Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk melakukan perubahan reorientasi dan meluruskan tujuan utama pembangunan nasional.

Terlebih pada tahun 2014 merupakan tahun politik, di mana Indonesia melakukan pemilihan umum untuk menentukan arah dan kebijakan bangsa Indonesia dalam dekade mendatang. Pemerintah mendatang harus menempatkan dan mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi ketimpangan dan meluruskan esensi dari pembangunan itu sendiri. Anggaran Pendapatan dan Belanja pun harus diarahkan dan didorong kepada tujuan untuk memberikan dorongan bagi kemajuan bangsa dan mensejahterakan rakyat, bukannya terjebak kepada belanja rutinitas dan belanja subsidi energi yang semakin mengerikan. Sehingga tahun 2014 dapat dimanfaatkan untuk memilih calon legislatif dan pemerintah baru yang berorientasi pada Indonesia baru yang memiliki visi dan misi menjalankan amanat untuk mencapai tujuan bernegara sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, kita dapat membangun perekonomian yang tangguh untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur sekaligus menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar dan disegani secara internasional.

Rujukan“Indonesia Hadapi Ketimpangan Ekonomi 1. Terburuk Dalam Sejarah”, Antara News.com, 10 Januari 2014, http://www.antara-bengkulu.com/berita/21359/indonesia-hadapi-ketimpangan-ekonomi-terburuk-dalam-sejarah, diakses 20 Januari 2014.“Segera Atasi Ketimpangan Ekonomi”, Ko-2. ran Jakarta, 11 Januari 2014, http://koran-jakarta.com/?3101-segera%20atasi%20ketimpangan%20ekonomi, diakses 21 Jan-uari 2014.3. “Ketimpangan Kian Memburuk”, Kom-3. pasiana, 16 Januari 2014. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2014/01/16/ketimpangan-kian-memburuk-628132.html, diakses 20 Januari 2014.“Lima Fokus Perhatian APBN 2014”, 4. Seknafitra.org, http://seknasfitra.org/lima-fokus-perhatian-apbn-2014/, diakses 21 Januari 2014.“Memanfaatkan Demokrasi Untuk Kese-5. jahteraan”, Suplemen Bisnis Indonesia, 16 Desember 2013.“Rugi Rp 5 Triliun, Pertamina Naikkan 6. Harga LPG”, (http://www.tempo.co/read/news /2012/09/25/090431751/Rugi-Rp-5-Triliun-Pertamina-Naikkan-Harga-LPG, diakses 7 Januari 2014).

Page 17: Vol.VI No.02 II P3DI JANUARI 2014

- 17 -

Vol. VI, No. 02/II/P3DI/Januari/2014PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

PILKADA SERENTAK DALAM RUU PILKADAIndra Pahlevi*)

Abstrak

RUU Pilkada masih dibahas oleh Komisi II DPR RI dan Pemerintah dan Pimpinan Komisi II DPR RI bertekad untuk menyelesaikannya pada Masa Persidangan ini. Penuntasan RUU ini merupakan momentum yang tepat apalagi adanya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pemilu Serentak yang akan dimulai 2019 mendatang. Sejalan dengan itu beberapa isu krusial yang ada pada pembahasan RUU Pilkada ini dapat bisa seiring dengan Putusan MK tersebut dan dihadirkan gagasan pilkada serentak secara nasional sehingga dalam kurun waktu 5 tahun, Indonesia hanya menyelenggarakan 2 kali pemilihan, yaitu Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pemilihan untuk memilih kepala daerah baik gubernur maupun bupati/walikota

PendahuluanSudah setahun lebih RUU tentang

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilakukan pembahasannya oleh Komisi II DPR RI bersama Pemerintah. Namun hingga awal tahun 2014 ini belum juga terselesaikan. Hal itu disebabkan karena masih ada beberaoa isu krusial yang menjadi perdebatan antar-fraksi serta antara fraksi dan Pemerintah. Beberapa isu tersebut terutama terkait dengan mekanisme pemilihan kepala daerah baik gubernur maupun bupati/walikota. Meskipun pada akhirnya, Pemerintah mengubah posisinya dari semula pemilihan gubernur dilakukan oleh DPRD dan pemilihan bupati/walikota dilakukan secara langsung, berubah posisi menjadi pemilihan gubernur secara langsung dan pemilihan bupati/walikota dilakukan oleh DPRD.

Alasan utama perubahan posisi tersebut,

selain hasil dari beberapa kali lobby antar-fraksi dan Pemerintah juga karena mengingat dampak yang ditimbulkan oleh kedua jenis pemilihan dari kedua tingkatan kepala daerah tersebut. Dengan jumlah lebih dari 500 kabupaten/kota saat ini, maka potensi terjadinya gesekan baik yang bersifat horisontal maupun vertikal akan dapat dikurangi serta dapat menghemat anggaran atau biaya penyelenggaraannya. Selain itu, terdapat alasan agar posisi gubernur dapat lebih “kuat” daripada bupati/walikota yang selama ini selalu muncul “pembangkangan” kepada gubernur karena merasa sama-sama legitimate dan memiliki wilayah dengan otonomi yang berada di kabupaten/kota.

Isu krusial lainnya terkait dengan persoalan paket atau tidak satu paket kepala daerah dan wakil kepala daerah. Hal tersebut sangat terkait dengan alasan pemerintah

*) Peneliti Madya bidang Bidang Politik dan Pemerintahan pada Tim Politik Dalam Negeri, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 18: Vol.VI No.02 II P3DI JANUARI 2014

- 18 -

tentang efektivitas pemerintahan yang selama ini dinilai berdasarkan data bahwa terjadi ketidakharmonisan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah sesaat setelah terpilih dalam pilkada. Apalagi kondisi tersebut diperparah dengan sumber partai politik dari kedua pemimpin daerah tersebut yang berbeda. Oleh karena itu Pemerintah mengusulkan agar wakil kepala daerah diusulkan oleh kepala daerah terpilih, sementara sebagian besar fraksi di Komisi II DPR RI tetap mengharapkan agar pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah tetap dalam satu paket.

Atas beberapa hal krusial tersebut, maka pembahasan menjadi berlarut-larut. Namun demikian Pimpinan Komisi II DPR RI merencanakan akan menyelesaikan RUU Pilkada ini pada awal tahun 2014 dan sudah dimulai pembahasan di tingkat Panitia Kerja pada minggu ketiga Januari 2014 dan selanjutnya akan dibahas secara maraton. Sebenarnya apa saja yang menjadi faktor terhambatnya pembahasan RUU Pilkada ini serta bagaimana proses politik yang berlangsung di Komisi II? Dapat kita bahas pada bagian berikut.

Pembahasan RUU Pilkada RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah

(RUU Pilkada) masuk ke DPR RI pada akhir tahun 2011. Secara formal RUU Pilkada masuk ke DPR RI sesuai dengan Surat Presiden Nomor R-65/Pres/12/2011 tanggal 15 Desember 2011, perihal penunjukan wakil untuk membahas RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pemerintah menugaskan Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Hukum dan HAM baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk mewakili dalam membahas RUU tersebut.

Sesuai dengan Keputusan Rapat Bamus DPR RI tanggal 12 Januari 2012 dan Surat Pimpinan DPR RI Nomor TU.04/00311/DPR RI/I/2012 tanggal 12 Januari 2012, memutuskan/menyetujui Penanganan RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah diserahkan kepada Komisi II DPR RI. Dengan demikian hingga Januari 2014 ini, proses pembahasan sudah berlangsung selama 2 (dua) tahun yang juga belum berhasil untuk disetujui dan apalagi disahkan menjadi undang-undang.

Dalam pembahasan RUU Pilkada hingga awal Januari 2014, masih terdapat setidak-tidaknya 7 (tujuh) kluster isu atau materi yang belum sepenuhnya tuntas memperoleh kesepakatan semua fraksi dan Pemerintah. Adapun ketujuh kluster isu atau materi tersebut adalah:

Tabel7 Kluster Isu RUU Pilkada

No Isu/Materi Keterangan1. Mekanisme

Pemilihansecara umum sudah disepakati untuk pemilihan gubernur secara langsung, namun pemilihan bupati/walikota masih terdapat dua opsi, yaitu secara langsung dan oleh DPRD

2. Paket/Tidak Satu Paket

Pemerintah menginginkan wakil kepala daerah tidak satu paket dan hanya diusulkan oleh kepala daerah terpilih dan dapat berasal dari PNS atau Non-PNS yang didukung beberapa fraksi seperti Fraksi PD. Sementara sebagian besar fraksi lainnya menginginkan satu paket antara calon kepala daerah dan wakil kepala daerah

3. Syarat ikatan perkawainan/darah Kepala Dearah

Sebagian besar fraksi setuju dengan usulan pemerintah bahwa perlu diatur terhadap syarat bagi calon yang memiliki ikatan darah atau perkawinan dengan petahana (incumbent). Tetapi harus diformulasikan dengan ketentuan yang tidak melanggar hak asasi manusia untuk ikut dalam pencalonan.

4. Tugas dan Wewenang

Dilimpahkan kepada RUU tentang Pemerintahan Daerah

Page 19: Vol.VI No.02 II P3DI JANUARI 2014

- 19 -

5. Penyelesaian Sengketa Hasil

Masih terdapat beberapa pilihan yaitu diselesaikan oleh MK untuk kedua jenis pemilihan atau diselesaikan oleh MK hanya untuk gubernur sedangkan sengketa hasil pilbup/walikota oleh MA atau sebaliknya atau keduanya oleh MA. Perkembangan terakhir akan disesuaikan dengan usulan pilkada serentak.

6. Pilkada Serentak

Seluruh fraksi sepakat dengan usulan plkada serentak termasuk Pemerintah. Apalagi adanya Putusan MK terhadap Pemilu Serentak 2019. Namun demikian masih dicari format yang tepat agar tidak terjadi gejolak politik yang tinggi serta sejalan dengan tujuan menciptakan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pilkada.

7. Dana Sebagian besar fraksi sepakat dianggarkan oleh APBD dengan standarisasi dan mekanisme jelas. Namun mengikuti perkembangan Putusan MK tentang Pemilu Serentak, maka perlu dipikirkan bahwa penganggaran pilkada dibebankan kepada APBN.

Sumber: Hasil Lobby dan Pembahasan Rapat Panja RUU Pilkada 23-26 Januari 2014 (diolah)

Berdasarkan matriks di atas terlihat bahwa beberapa isu sudah dapat disepakati seperti syarat ikatan darah atau perkawinan dengan catatan agar tidak dinilai sebagai bentuk pelanggaran hak politik seseorang untuk menjadi calon kepala daerah. Juga terhadap pilkada serentak yang secara substansial dapat disetujui oleh semua fraksi dengan beberapa format dan apalagi setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pemilu serentak tahun 2019. Begitu juga terhadap

penyelesaian sengketa meskipun masih terdapat beberapa pilihan, namun sesungguhnya isu tersebut tidak menjadi sesuatu yang sulit ntuk diputuskan dengan mengingat kebutuhan akan penyelesaian hasil yang terbaik. Berbagai kejadian menjadi pelajaran penting bagi Komisi II dan Pemerintah seperti kasus mantan Ketua MK Akil Mochtar serta Putusan MK tentang Pemilu Serentak. Yang paling utama adalah hadirnya penyelesaian sengketa hasil yang adil dan transparan.

Yang paling mengganjal adalah terkait paket atau tidak satu paket bagi wakil kepala daerah. Hal ini sangat penting bagi partai politik. Sementara Pemerintah berpandangan bahwa efektivitas pemerintahan sangat penting dan salah satu sebabnya adalah tidak harmonisnya antara kepala daerah dan wakil kepala daerah. Terhadap isu ini perlu kiranya dilakukan pendekatan asas manfaat sekaligus tidak menghilangkan akomodasi kepentingan secara terbatas dan terukur. Kepala daerah tetap memiliki kendali tetapi sumbernya tidak harus dari satu sumber dan dubuka seluas-luasnya bagi yang memiliki kompetensi.

Terakhir terhadap mekanisme pemilihan khususnya bagi bupati/walikota, seharusnya keika disepakati adanya pilkada serentak, maka pemilihan langsung menjadi satu pilihan terbaik agar kompatibel dengan gagasan pemilihan yang legitimate, sederhana, mudah, sekaligus murah. Sebab, belum ada jaminan pemilihan oleh DPRD juga lebih murah dan tidak hadirnya konflik baik horisontal maupun vertikal.

Pilkada Serentak Pascalahirnya Putusan MK No. 14/

PUU-XI/2013 tentang Pengujian UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 yang mengabulkan sebagian, yaitu dengan putusan bahwa Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan tersebut berlaku pada tahun 2019. Artinya bahwa ketentuan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang menyebutkan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden diselenggarakan setelah pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD dianggap MK bertentangan dengan konstitusi, sehingga pada pemilu 2019 harus diselenggarakan

Page 20: Vol.VI No.02 II P3DI JANUARI 2014

- 20 -

serentak atau bersamaan dengan pemilihan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Selanjutnya, putusan Mahkamah Konstitusi di atas akan memiliki pengaruh pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang juga memiliki wacana untuk diselenggarakan secara serentak guna mengurangi biaya politik (political cost) serta biaya ekonomi (economical cost) yang selama ini menjadi “senjata” Pemerintah untuk mengembalikannya kepada DPRD. Setidaknya data yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW) memperlihatkan biaya penyelengaraan pilkada di Indonesia 2010 mencapai Rp 3,6 triliun. Sementara, dana yang dikeluarkan para kandidat di 244 Pilkada pada tahun tersebut diperkirakan mencapai Rp 10,9 trilun. Namun demikian tingginya biaya tersebut tidak otomatis menjadi alasan untuk kemudian mengubah pilkada dlakukan oleh DPRD kembali. Alasannya, belum ada jaminan pemilihan oleh DPRD akan mengubah secara signifikan ongkos yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan pilkada. Belum lagi bila dikaitkan dengan soal kualitas dan legitimasinya.

Dengan adanya Putusan MK di atas, maka perlu dikembangkan wacana tentang diselenggarakannya pilkada serentak apapun modelnya guna lebih sinkron lagi dengan penyelenggaraan pemilu serentak. Artinya, gagasan pilada serentak ini dapat mencapai tujuan hadirnya proses pemilihan yang efektif dan efisien baik dari sisi politik maupun ekonominya. Apalagi rakyat kita saat ini cenderung jenuh yang ditandai menurunnya partisipasi pemilih dalam setiap pilkada di daerah-daerah bahkan hingga di bawah 50% dari daftar pemilih.

Lalu bagaimana gagasan pilkada serentak ini dapat terwujud? Salah satunya melalui pengaturannya dalam RUU Pilkada yang masih dibahas oleh Komisi II DPR RI dan Pemerintah saat ini. secara normatif, diatur bahwa penyelenggaraan pilkada dilaksanakan secara bersamaan baik untuk memilih gubernur maupun bupati/walikota. Selanjutnya diatur dalam ketentuan peralihan terhadap berbagai pilkada yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu setelah pemilu 2014 dan selanjutnya akan diselenggarakan pilkada serentak pada tahun 2020 atau setahun setelah pemilu serentak. Hal ini menjadi kewenangan pembentuk undang-undang karena UUD Negara RI Tahun 1945 tidak mengatur periodisasi kepala daerah sehingga ketika ada periode kepala daerah yang terpotong tidak sampai 5 tahun, maka UU

berhak mengaturnya dengan tetap mengingat asas proporsionalitas, keadilan, serta dampak politisnya.

Pada akhirnya rakyat hanya akan dihadapkan kepada 2 kali pemilihan dalam kurun waktu dua tahun yaitu pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pemilihan presiden dan wakil presiden, serta pemilihan serentak untuk memilih kepala daerah satu tahun berikutnya. Sisa waktu dapat difokuskan untuk membangun baik tingkat nasional maupun daerah.

Penutup Sebagai penutup dapat disampaikan

bahwa saat inilah momentum untuk menyelesaikan pembahasan RUU tentang Pilkada. Hal ini sangat penting dengan mengingat berbagai faktor yaitu, pertama, faktor menjelang berakhirnya masa jabatan keanggotaan DPR RI periode 2009 – 2014 yang notabene masih memiliki kewajiban untuk menyelesaikan RUU ini, kedua, seiring dengan momentum putusan MK tentang Pemilu serentak 2019 guna lebih mengefisien dan mengefektifkan penyelenggaraan pemilu, dan ketiga, momentum untuk memperbaiki format penyelenggaraan pilkada yang sejalan dengan penataan pemilu secara keseluruhan tanpa mengurangi nilai demokrasi yang sudah berkembang baik di Indonesia.

Komisi II DPR RI dan Pemerintah serta DPD harus memiliki komitmen untuk menyelesaikannya tanpa melihat secara pragmatis kepentingan setiap fraksi dan/atau partai politik. Kepentingan yang harus muncul adalah kepentingan bangsa dan negara guna mensejahterakan rakyat.

RujukanHasil Pembahasan Panitia Kerja RUU Pilkada 1. tanggal 23 – 26 Januari 2014.Matriks Hasil Lobby RUU Pilkada per tanggal 2. 1 Oktober 2013.Draft RUU Pilkada dari Pemerintah.3. “RUU Pilkada Masih Belum Jelas”, dalam 4. Harian Republika, tanggal 3 Oktober 2013.