hubungan kebisingan dengan gangguan pendengaran …
TRANSCRIPT
HUBUNGAN KEBISINGAN DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN
PADA TENAGA KERJA DI BAGIAN PRODUKSI PABRIK KELAPA
SAWIT PT. SALIM IVOMAS PRATAMA Tbk, PERKEBUNAN
SUNGAI DUA KABUPATEN ROKAN HILIR RIAU
TAHUN 2017
SKRIPSI
OLEH:
RUTH DAMERIA MARPAUNG
NIM. 131000279
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ix
HUBUNGAN KEBISINGAN DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN
PADA TENAGA KERJA DI BAGIAN PRODUKSI PABRIK KELAPA
SAWIT PT. SALIM IVOMAS PRATAMA Tbk, PERKEBUNAN
SUNGAI DUA KABUPATEN ROKAN HILIR RIAU
TAHUN 2017
Skripsi ini diajukan sebagai
Salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat
OLEH:
RUTH DAMERIA MARPAUNG
NIM. 131000279
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
i
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Dengan ini saya mengatakan bahwa skripsi yang berjudul “HUBUNGAN
KEBISINGAN DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA
KERJA DI BAGIAN PRODUKSI PABRIK KELAPA SAWIT PT. SALIM
IVOMAS PRATAMA Tbk, PERKEBUNAN SUNGAI DUA KABUPATEN
ROKAN HILIR RIAU TAHUN 2017” ini beserta seluruh isinya adalah benar
hasil karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan
dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam
masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko atau
sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya
pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak
lain terhadap keaslian karya saya ini.
Medan, Januari 2018
Yang Membuat Pernyataan
Ruth Dameria Marpaung
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iii
ABSTRAK
Kebisingan di tempat kerja dapat mengurangi ketenangan kerja, juga
mengakibatkan penurunan daya dengar dan akhirnya dapat mengakibatkan
ketulian menetap kepada tenaga kerja yang terpapar kebisingan. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui hubungan kebisingan dengan gangguan pendengaran
pada tenaga kerja bagian produksi di PT. Salim Ivomas Pratama Tbk.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian survei analitik dengan desain
penelitian cross sectional, penelitian dilakukan di PT. Salim Ivomas Pratama Tbk
mulai Februari 2017 sampai dengan selesai. Populasi penelitian yaitu pekerja
bagian produksi di 4 stasiun berbeda sebanyak 22 orang. Teknik pengambilan
sampel dalam penelitian ini adalah total sampling dan diperoleh jumlah sampel
sebanyak 22 orang.
Hasil pengukuran intensitas kebisingan pada 4 stasiun diperoleh dari
perusahaan. Stasiun kamar mesin dan kernel memiliki intensitas kebisingan diatas
Nilai Ambang Batas (85 dB) sedangkan stasiun press dan klarifikasi tingkat
kebisingannya masih dibawah Nilai Ambang Batas (85 dB). Untuk pemeriksaan
gangguan pendengaran menggunakan audiometer oscilla SM 950, untuk telinga
kanan dari 22 orang diperoleh 11 orang mempunyai pendengaran normal dan 11
orang mengalami tuli ringan, untuk telinga kiri dari 22 orang diperoleh 12 orang
mempunyai pendengaran normal, 9 orang mengalami tuli ringan dan 1 orang
mengalami tuli berat. Hasil uji Korelasi Spearman menunjukkan bahwa ada
hubungan kebisingan dengan gangguan pendengaran pada tenaga kerja
ditunjukkan dengan p = 0,000 untuk telinga kanan dan p = 0,001 untuk telinga
kiri.
Kepada perusahaan disarankan untuk mengadakan penyuluhan dan
sosialisasi kepada pekerja akan pentingnya pemakaian alat pelindung telinga saat
bekerja di lingkungan kerja yang bising.
Kata kunci : Kebisingan, Gangguan Pendengaran
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iv
ABSTRACT
Noise at work can reduce working calm, also resulting in decreased
hearing power and may eventually lead to persistent deafness to exposed
workforce. The purpose of this study is to determine the relationship of noise with
hearing loss in the labor of production at PT. Salim Ivomas Pratama Tbk.
This research uses analytic survey type research with cross sectional
research design, research done in PT. Salim Ivomas Pratama Tbk from February
2017 to completion. The research population is production workers in 4 different
stations as many as 22 people. Sampling technique in this study is the total
sampling and obtained the number of samples of 22 people.
The result of noise intensity measurement at 4 stations was obtained from
the company. The engine room and kernel stations have a noise intensity above
the Threshold Threshold (85 dB) while the noise and clarification stations are
below the Threshold Limit Value (85 dB). For hearing loss examination using
audiometer oscilla SM 950, for the right ear of 22 people obtained 11 people had
normal hearing and 11 people had light deafness, for the left ear of 22 people
obtained 12 people had normal hearing, 9 people had light deafness and 1 person
experiencing severe deafness. Spearman Correlation test results show that there
is a noise relationship with hearing loss in labor shown with p = 0.000 for the
right ear and p = 0.001 for the left ear.
To the company it is advisable to conduct counseling and socialization to
the workers about the importance of using ear protective equipment while
working in noisy working environment.
Keywords: Noise, Hearing Loss
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat
yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Hubungan Intensitas Kebisingan Dengan Gangguan Pendengaran Pada
Tenaga Kerja Di Bagian Produksi Pabrik Kelapa Sawit PT. Salim Ivomas
Pratama Tbk, Perkebunan Sungai Dua Kabupaten Rokan Hilir Riau Tahun
2017”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam
menyelesaikan pendidikan pada program studi strata 1 di Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak menerima bimbingan
dan dukungan dari berbagai pihak, maka penulis mengucapkan terimakasih
kepada :
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera
Utara.
2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak
memberikan bimbingan dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
4. Ir. Kalsum, M.Kes selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak
memberikan bimbingan dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vi
5. dr. Makmur Sinaga, MS selaku Dosen Penguji I Skripsi yang telah banyak
memberikan masukan dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini.
6. Arfah Mardiana Lubis, M. Psi. selaku Dosen Penguji II Skripsi yang telah
banyak memberikan masukan dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini.
7. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian., M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik,
yang telah banyak memberikan bimbingan dan motivasi selama studi di FKM
USU.
8. Seluruh Dosen FKM USU dan Staf FKM USU yang telah memberikan ilmu,
bimbingan serta dukungan moral kepada penulis selama mengikuti
perkuliahan di FKM USU.
9. Bapak Rozikin selaku Manager PKS Sungai Dua Factory dan Bapak Ramses
Simanjuntak selaku Askep PKS Sungai Dua Factory yang telah banyak
memberikan bimbingan dan mengarahkan penulis selama penelitian untuk
menyelesaikan skripsi ini.
10. Seluruh Staff dan Karyawan PKS Sungai Dua Factory yang telah banyak
memberikan bimbingan dan mengarahkan penulis selama penelitian untuk
menyelesaikan skripsi ini.
11. Sahabat-sahabat yang saya kasihi, terkhusus Lusiyanti Simamora, Melfa
Harefa, Lastiar Marpaung, Sara Tamba, Hillary Siagian, Sri Sianturi, Swanry
Nainggolan, Rona Mauli Simamora Am. Keb dan Bang Toni Simamora.
12. Teman-teman peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan teman-teman
stambuk 2013 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vii
Teristimewa kepada orangtua terkasih, Saidi Marpaung (Bapak) dan
Rusmaidah Sitohang (Mama), abang saya Andrew Carniage Marpaung, S.H dan
adik saya Veronika Marpaung, terima kasih banyak untuk semua kasih sayang,
cinta, doa, perhatian dan semangat yang tak terbatas yang telah diberikan kepada
penulis. Terima kasih untuk selalu mendukung penulis.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak
yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca.
Medan, Januari 2018
Penulis,
Ruth Dameria Marpaung
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
ABSTRAK ................................................................................................. iii
ABSTRACT ................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ................................................................................ v
DAFTAR ISI .............................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1. Latar Belakang................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .............................................................................. 7
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................... 7
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 9
2.1. Bunyi ................................................................................................. 9
2.1.1. Definisi Bunyi .......................................................................... 9
2.2. Kebisingan ......................................................................................... 9
2.2.1. Definisi Kebisingan .................................................................. 9
2.2.2. Jenis Kebisingan ...................................................................... 11
2.2.3. Sumber Kebisingan .................................................................. 12
2.2.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kebisingan ........................ 14
2.2.5. Nilai Ambang Batas Kebisingan ............................................... 14
2.2.6. Mekanisme Pendengaran .......................................................... 16
2.2.7. Pengukuran Kebisingan ............................................................ 18
2.2.8. Pengendalian Kebisingan ......................................................... 21
2.3. Gangguan Pendengaran...................................................................... 25
2.3.1. Definisi Gangguan Pendengaran............................................... 25
2.3.2. Klasifikasi Gangguan Pendengaran .......................................... 26
2.3.3. Faktor-faktor Penyebab Gangguan Pendengaran....................... 28
2.3.4. Diagnosis Gangguan Pendengaran Akibat Bising ..................... 31
2.4. Dampak Kebisingan Terhadap Manusia ............................................. 32
2.5. Tes Pendengaran ................................................................................ 36
2.6. Kerangka Konsep .............................................................................. 39
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ix
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................... 41
3.1. Jenis Penelitian .................................................................................. 41
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 41
3.3. Populasi dan Sampel .......................................................................... 41
3.4. Metode Pengumpulan Data ................................................................ 42
3.5. Variabel dan Defenisi Operasional ..................................................... 43
3.6. Metode Pengukuran ........................................................................... 43
3.7. Metode Analisa Data ......................................................................... 46
BAB IV HASIL PENELITIAN ................................................................ 48
4.1. Gambaran Umum Perusahaan ............................................................ 48
4.1.1. Sejarah Ringkas Perusahaan ..................................................... 48
4.1.2. Lokasi PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk ............................. 48
4.1.3. Data Geografi ........................................................................... 48
4.1.4. Jumlah Karyawan ..................................................................... 48
4.1.5. Jam Kerja ................................................................................. 49
4.1.6. Sistem Pengupahan .................................................................. 50
4.1.7. Proses Produksi ........................................................................ 50
4.2. Karakteristik Responden Pabrik Kelapa Sawit ................................... 58
4.2.1. Umur Sampel ........................................................................... 58
4.2.2. Masa Kerja Sampel .................................................................. 58
4.2.3. Stasiun Kerja Sampel ............................................................... 59
4.2.4. Intensitas Kebisingan ............................................................... 59
4.2.5. Gangguan Pendengaran ............................................................ 60
4.3. Tabulasi Silang antara Umur dan Masa Kerja Dengan Gangguan
pendengaran....................................................................................... 61
4.4. Tabulasi Silang antara Stasiun Tempat Kerja Dengan Gangguan
Pendengaran ...................................................................................... 62
4.5. Tabulasi Silang antara Intensitas Kebisingan Dengan Gangguan
Pendengaran ...................................................................................... 63
4.6. Hubungan Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran ...................... 64
BAB V PEMBAHASAN ........................................................................... 66
5.1. Karakteristik Responden Pabrik Kelapa Sawit ................................... 66
5.1.1. Umur Sampel ............................................................................ 66
5.1.2. Masa Kerja Sampel ................................................................... 67
5.1.3. Stasiun Kerja ............................................................................ 68
5.1.4. Gangguan Pendengaran ............................................................ 70
5.2. Hubungan Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran ...................... 72
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
x
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN.................................................... 75
6.1. Kesimpulan........................................................................................ 75
6.2. Saran ................................................................................................. 76
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 77
LAMPIRAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Intensitas dan Waktu Paparan Bising yang Diperkenankan ..... 16
Tabel 3.1 Aspek Pengukuran Variabel Penelitian .................................... 46
Tabel 4.1 Jumlah Tenaga Kerja PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk,
Sungai Dua .............................................................................. 49
Tabel 4.2 Jam Kerja Karyawan Bagian Kantor PKS PT. Salim Ivomas
Pratama Tbk, Sungai Dua ........................................................ 49
Tabel 4.3 Distribusi Sampel Menurut Umur Tenaga Kerja Bagian
Produksi PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua
Tahun 2017 .............................................................................. 58
Tabel 4.4 Distribusi Sampel Menurut Masa Kerja Tenaga Kerja Bagian
Produksi PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua
Tahun 2017 .............................................................................. 58
Tabel 4.5 Jumlah Sampel Berdasarkan Stasiun Kerja PKS PT. Salim
Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Tahun 2017 ......................... 59
Tabel 4.6 Intensitas Kebisingan Pada Stasiun Kerja Sampel Tenaga
Kerja Bagian Produksi PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk,
Sungai Dua Tahun 2017 ........................................................... 59
Tabel 4.7 Distribusi Sampel Berdasarkan Klasifikasi Tingkat Gangguan
Pendengaran Tenaga Kerja Bagian Produksi PKS PT. Salim
Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Tahun 2017 ......................... 60
Tabel 4.8 Tabulasi Silang antara Umur dan Masa Kerja dengan
Gangguan Pendengaran............................................................ 61
Tabel 4.9 Tabulasi Silang antara Stasiun Kerja dengan Gangguan
Pendengaran ............................................................................ 62
Tabel 4.10 Tabulasi Silang antara Intensitas Kebisingan dengan
Gangguan Pendengaran............................................................ 63
Tabel 4.11 Hubungan Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran
Tenaga Kerja Bagian Produksi PKS PT. Salim Ivomas
Pratama Tbk, Sungai Dua Tahun 2017 ..................................... 64
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Master Data .......................................................................... 80
Lampiran 2. Output SPSS ......................................................................... 83
Lampiran 3. Dokumentasi ........................................................................ 91
Lampiran 4. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kesehatan Masyarakat..... 97
Lampiran 5. Surat Izin Telah Melakukan Penelitian dari PKS PT. Salim
Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua......................................... 98
Lampiran 6. Surat Peminjaman Alat Audiometer ...................................... 99
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xiii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Ruth Dameria Marpaung, lahir pada 9 Januari 1996 di
Balam. Berasal dari Kelurahan Balai Jaya Kecamatan Balai Jaya Balam Km 37.
Penulis merupakan anak dari pasangan Saidi Marpaung dan Rusmaidah Sitohang.
Penulis bersuku Batak Toba dan beragama Kristen Protestan.
Jenjang pendidikan formal pada penulis di mulai dari TK Yosef Arnoldi
Bagan Batu (2000-2001), SD Swasta Yosef Arnoldi Bagan Batu (2001-2007),
SMP Swasta Yosef Arnoldi Bagan Batu (2007-2010), SMA ST. Thomas 2 Medan
(2010-2013) dan penulis menempuh pendidikan tinggi pada Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara (2013-2017).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tujuan kesehatan kerja adalah berusaha meningkatkan daya guna dan hasil
guna tenaga kerja dengan mengusahakan pekerjaan dan lingkungan kerja yang
lebih serasi dan manusiawi. Pelaksanaannya diterapkan melalui Undang-undang
RI No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja. Undang-undang keselamatan
kerja lebih bersifat pencegahan (preventif), maka sangat diperlukan usaha-usaha
pengendalian lingkungan kerja, supaya semua faktor-faktor lingkungan kerja yang
mungkin membahayakan atau dapat menimbulkan gangguan kesehatan tenaga
kerja dapat dihilangkan (Anggraeni, 2006).
Dalam dunia usaha dan dunia kerja, kesehatan kerja berkontribusi dalam
mencegah kerugian dengan cara mempertahankan, meningkatkan derajat
kesehatan dan kapasitas kerja fisik pekerja, serta melindungi pekerja dari efek
buruk pajanan hazard ditempat kerja (yaitu hazard yang bersumber dari
lingkungan kerja, kondisi ergonomi pekerjaan, pengorganisasian pekerjaan dan
budaya kerja), selain itu juga berkontribusi dalam membentuk perilaku hidup
sehat dan perilaku kerja yang kondusif bagi keselamatan dan kesehatannya.
Peningkatan industrialisasi tidak terlepas dari peningkatan teknologi
moderen. Di saat kita menerima peningkatan dan perubahan dari pada teknologi,
maka kita pun akan juga harus menerima efek samping dari teknologi tersebut.
Namun masih banyak perusahaan/industri yang lebih berorientasi pada kegiatan
produksinya dibandingkan pengelola sumber daya manusia. Menganggap bahwa
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
teknologi yang sebenarnya menjadi kebutuhan utama bukan keselamatan kerja.
Industri tidak menyadari dampak teknologi yang mereka adopsi tidak bisa
menjamin keselamatan para tenaga kerja. Antara lain pemakaian mesin-mesin
otomatis menimbulkan suara atau bunyi yang cukup besar, dapat memberikan
dampak terhadap gangguan komunikasi, konsentrasi dan kepuasan kerja bahkan
sampai pada cacat (Anizar, 2009).
Salah satu faktor lingkungan kerja yang dapat menimbulkan penyakit akibat
kerja adalah kebisingan. Kebisingan di tempat kerja dapat mengurangi
kenyamanan, dan ketenangan kerja, mengganggu indera pendengaran,
mengakibatkan penurunan daya dengar dan bahkan pada akhirnya dapat
mengakibatkan ketulian menetap kepada tenaga kerja yang terpapar kebisingan.
Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss/NIHL)
adalah penurunan pendengaran tipe sensorineural, yang pada awalnya tidak
disadari karena belum mengganggu percakapan sehari-hari. Sifat gangguannya
adalah tuli sensorineural tipe koklea dan umumnya terjadi pada ke dua telinga.
Faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian ialah intensitas
bising, frekuensi, lama pajanan perhari, lama masa kerja, kepekaan individu, umur
dan faktor lain yang dapat berpengaruh.
Salah satu faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian
ialah intensitas bising (Manoppo, dkk. 2013). Semakin tinggi intensitas bising dan
semakin lama pekerja terpajan bising, maka risiko pekerja untuk mengalami
gangguan pendengaran akan semakin tinggi pula (European Agency for Safety
and Health at Work, 2008).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
Di Indonesia intensitas kebisingan yang disepakati sebagai pedoman bagi
perlindungan alat pendengaran agar tidak kehilangan daya dengar untuk
pemaparan 8 (delapan) jam sehari dan 5 (lima) hari kerja atau 40 jam kerja
seminggu adalah 85 dB (A) (Suma’mur, 2013).
Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan
dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
dan kenyamanan lingkungan (PER.48/MENLH/11/1996), atau semua suara yang
tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi atau dari alat-alat
kerja pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran
(PER.13/MEN/X/2011). Risiko yang timbul akibat kebisingan dengan tingkat
tekanan bunyi diatas nilai ambang batas pendengaran adalah dapat merusak
pendengaran atau gangguan pendengaran.
Di negara-negara industri, bising merupakan masalah utama kesehatan.
World Health Organisation (WHO, 2007), menyatakan bahwa prevalensi ketulian
di Indonesia mencapai 4,2%. Negara-negara di dunia telah menetapkan bahwa
Noise Induced Hearing Loss (NIHL) merupakan penyakit akibat kerja yang
terbesar diderita. Sebesar 16% dari ketulian yang diderita oleh orang dewasa
disebabkan oleh kebisingan di tempat kerja, sehingga NIHL dapat dijadikan
masalah yang perlu ditangani dan mendapatkan perhatian khusus (Permaningtyas,
dkk. 2011).
Di Amerika Serikat sekitar 10 juta orang dewasa dan 5,2 juta anak-anak
sudah menderita gangguan pendengaran akibat bising dan 30 juta lebih lainnya
dapat terkena dampak bising yang berbahaya setiap harinya. Survei terakhir dari
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4
Multi Center Study (MCS) juga menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah
satu dari empat negara di Asia Tenggara dengan prevalensi gangguan
pendengaran cukup tinggi, yakni 4,6% sementara tiga negara lainnya yakni Sri
Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3%). Menurut studi tersebut
prevalensi 4,6% sudah bisa menjadi referensi bahwa gangguan pendengaran
memiliki andil besar dalam menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat
(Tjan, dkk. 2013).
Hasil penelitian Utami (2010) menunjukkan hanya 15 responden yang
berada diatas ambang bising menyatakan mengalami ketulian, sebanyak 27
responden menyatakan tidak mengalami ketulian. hanya 12 responden yang
berada diatas ambang bising menyatakan mengalami tinitus, sedangkan sebanyak
30 responden menyatakan tidak mengalami tinitus. Dan 18 responden yang berada
diatas ambang bising menyatakan mengalami vertigo, sebanyak 24 responden
menyatakan tidak mengalami vertigo. Hasil analisis yang lain menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan antara tingkat kebisingan dengan terjadinya
ketulian (p=0,001), tinnitus (p=0,000) dan vertigo (p=0,011).
Dari hasil penelitian Siregar (2010) ada 18 lokasi yang diukur diperoleh 12
lokasi memiliki intensitas kebisingan diatas Nilai Ambang Batas (85 dB). Untuk
pemeriksaan kemampuan pendengaran menggunakan audiometri, untuk telinga
kanan dari 18 orang diperoleh 5 orang mempunyai pendengaran normal, 12 orang
mengalami tuli ringan dan 1 orang mengalami tuli berat, untuk telinga kiri dari 18
orang diperoleh 7 orang mempunyai pendengaran normal, 10 orang mengalami
tuli ringan dan 1 orang mengalami tuli sedang. Hasil uji Korelasi Product Moment
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5
Pearson menunjukkan bahwa ada hubungan kebisingan dengan kemampuan
pendengaran pada tenaga kerja ditunjukkan dengan p = 0,044 untuk telinga kanan
dan p = 0,041 untuk telinga kiri.
Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Deo (2012) tentang pengaruh
intensitas kebisingan terhadap gangguan fungsi pendengaran pada tenaga kerja
bagian weaving di PT. Iskandar Indah Printing Textile Surakarta menunjukkan
ada hubungan intensitas kebisingan dengan gangguan fungsi pendengaran p =
0,000 (p<0,05).
PT. Salim Ivomas Pratama Tbk merupakan perusahaan pengolahan kelapa
sawit yang memproduksi kelapa sawit menjadi minyak sawit (CPO) dan inti sawit
(kernel) melalui beberapa tahapan proses di beberapa stasiun yang tidak terlepas
dari bahaya kebisingan. Ada 10 stasiun yang terdiri dari stasiun loading ramp,
perebusan, bantingan, hoisting crane, press, klarifikasi, kernel/biji, ketel uap
(boiler), kamar mesin, dan water treatmen. Bahaya kebisingan di area PT. Salim
Ivomas Pratama Tbk berasal dari mesin di proses produksi.
Pada penelitian ini penulis meneliti tentang hubungan kebisingan terhadap
gangguan pendengaran pada tenaga kerja bagian produksi Pabrik Kelapa Sawit
PT. Salim Ivomas Pratama Tbk. Proses kerjanya meliputi proses penimbangan,
loading ramp, perebusan, bantingan, hoisting crane, press, klarifikasi, kernel/biji,
ketel uap (boiler), kamar mesin, dan water treatment. Pada proses kerja ini
digunakan mesin-mesin seperti genset, blower, polishing drum, dan ripple mill,
yang menghasilkan intensitas kebisingan yang cukup tinggi, serta kurangnya
pemakaian alat pelindung telinga pada tenaga kerja yang terpapar kebisingan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6
Dari survei awal yang dilakukan oleh peneliti, kondisi lingkungan kerja
perstasiun mempunyai intensitas kebisingan yang cukup tinggi. Hal tersebut
didukung oleh data sekunder yang telah diperoleh dari PT. Salim Ivomas Pratama
Tbk pada tahun 2016 dan 2017. Sumber kebisingan yang cukup tinggi pada tahun
2016 dan 2017 terdapat pada stasiun kamar mesin (86,96 dBA) / (86,35 dBA),
stasiun kernel (86,23 dBA) / (86,35 dBA), stasiun press (82,12 dBA) / (84,81
dBA) dan stasiun klarifikasi (83,47dBA) / (83,39 dBA). Jenis kebisingannya
termasuk kebisingan kontinu atau kebisingan tetap.
PT. Salim Ivomas Pratama Tbk memiliki 60 orang pekerja tetap di bagian
produksi. Pada stasiun loading ramp terdapat 10 pekerja, stasiun rebusan 4
pekerja, stasiun bantingan 10 pekerja, stasiun hoisting crane 4 pekerja, stasiun
press 4 pekerja, stasiun klarifikasi 4 pekerja, stasiun kernel 6 pekerja, stasiun
boiler 6 pekerja, stasiun kamar mesin 8 pekerja, dan stasiun water treatment 4
pekerja, yang terbagi menjadi 2 shift kerja, yaitu shift I mulai pukul 07.00 s/d
16.00 (pagi) dan shift II pukul 16.00 s/d 24.00 (malam) dengan rotasi setiap
seminggu sekali. Lama bekerja selama 8 jam juga mempengaruhi pendengaran
pekerja karena terpapar bising yang melebihi NAB. Hal ini diperburuk dengan
tidak digunakannya alat pelindung telinga oleh pekerja ketika bekerja, sebagian
pekerja juga bersuara keras ketika berbicara dengan pekerja lainnya, padahal APD
tersebut sudah disediakan oleh PT. Salim Ivomas Pratama Tbk.
Adapun sumber kebisingan di lokasi produksi tersebut disebabkan karena
adanya mesin seperti genset, blower, polishing drum, ripple mill, dan lain-lain.
Menurut asisten pengolahan, dari 10 stasiun terdapat 4 stasiun yang sangat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7
berpengaruh terhadap tingginya intensitas kebisingan di pabrik, karena 4 stasiun
tersebut tidak memiliki sekat atau ruangan tambahan di area tersebut, dan 4
stasiun ini merupakan lokasi yang paling sering dilewati oleh pekerja. Oleh sebab
itu pihak perusahaan hanya melakukan pengukuran kebisingan di stasiun kamar
mesin, stasiun press, stasiun kernel dan stasiun klarifikasi.
Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Hubungan Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran Pada Tenaga Kerja di
Bagian Produksi Pabrik Kelapa Sawit PT. Salim Ivomas Pratama Tbk Sungai Dua
Kabupaten Rokan Hilir Riau 2017”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimana hubungan kebisingan dengan gangguan
pendengaran pada tenaga kerja bagian produksi di pabrik kelapa sawit PT. Salim
Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2017 ?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
kebisingan dengan gangguan pendengaran pada tenaga kerja bagian produksi di
PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Kabupaten Rokan Hilir Riau.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui intensitas kebisingan pada area produksi di PT. Salim Ivomas
Pratama Tbk, Sungai Dua Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2017.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
2. Untuk mengetahui gangguan pendengaran pada tenaga kerja area produksi
di PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Kabupaten Rokan Hilir
Tahun 2017.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan bagi pihak PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua
Kabupaten Rokan Hilir Riau tentang hubungan kebisingan dengan
gangguan pendengaran sehingga dapat dijadikan informasi yang bermanfaat
untuk melaksanakan tindakan koreksi agar didapat lingkungan kerja yang
aman dan nyaman.
2. Menambah wawasan dan pengalaman bagi penulis tentang intensitas
kebisingan dan dampaknya terhadap gangguan pendengaran.
3. Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bunyi
2.1.1. Definisi Bunyi
Suma’mur (2009) mengemukakan bahwa bunyi didengar sebagai
rangsangan pada sel saraf pendengar dalam telinga melalui gelombang
longitudinal yang timbul dari getaran sumber bunyi dan manakala bunyi tersebut
tidak dikehendaki, maka dinyatakan sebagai kebisingan. Kualitasnya terutama
ditentukan oleh frekuensi dan intensitasnya.
Frekuensi bunyi adalah jumlah gelombang bunyi yang lengkap yang
diterima oleh telinga setiap detik. Frekuensi bunyi yang bisa diterima oleh telinga
manusia terbatas mulai frekuensi 16-20.000 Hertz. Bunyi dengan frekuensi
kurang dari 16 Hz disebut infrasonik dan di atas 20.000 Hz disebut ultrasonic.
Frekuensi bunyi yang terutama penting untuk komunikasi (pembicaraan) yaitu
sekitar 250 Hz-3.000 Hz. Intensitas bunyi adalah besarnya tekanan yang
dipindahkan oleh bunyi. Tekanan ini biasa diukur dengan microbar. Untuk
mempermudah pengukuran digunakan satuan decibel (Anizar, 2009).
2.2. Kebisingan
2.2.1. Definisi Kebisingan
Kebisingan didefinisikan sebagai semua suara yang tidak dikehendaki
yang bersumber dari alat- alat proses produksi dan atau alat kerja yang pada
tingkat tertentu dapat rnenyebabkan gangguan pendengaran
(PER.13/MEN/X/2011).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
Menurut Suma’mur (2009) kebisingan adalah bunyi atau suara yang
keberadaannya tidak dikehendaki (noise is unwanted sound). Dalam rangka
perlindungan kesehatan tenaga kerja kebisingan diartikan sebagai semua
suara/bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi
dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan
pendengaran.
Sementara dalam bidang kesehatan kerja, kebisingan diartikan sebagai
suara yang dapat menurunkan pendengaran, baik secara kualitatif (penyempitan
spektrum pendengaran) maupun secara kuantitatif (peningkatan ambang
pendengaran), berkaitan dengan faktor intensitas, frekuensi, dan pola waktu
(Buchari, 2008). Kebisingan adalah bunyi maupun suara-suara yang tidak
dikehendaki dan dapat mengganggu kesehatan, kenyamanan, serta dapat
menimbulkan gangguan pendengaran (ketulian).
Kebisingan juga didefinisikan sebagai “suara yang tidak dikehendaki”,
misalnya suara yang menghalangi terdengarnya suara-suara yang diinginkan,
seperti musik, perbincangan, perintah, dan sebagainya atau yang menyebabkan
rasa tidak nyaman bagi tubuh. Bising merupakan bahaya golongan fisika yang
terdapat di lingkungan kerja sebagai efek samping pemakaian peralatan/
perlengkapan kerja seperti mesin dan proses yang dilakukan. Efek utama yang
menyertai kehadiran bising ini ialah kemungkinan timbulnya ketulian pada
pekerja yang dipengaruhi oleh lamanya paparan dan karakteristik bising tersebut
(Rachmatiah, dkk. 2015).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
2.2.2. Jenis Kebisingan
Menurut Suma’mur (2009), kebisingan yang sering ditemukan adalah:
a. Kebisingan menetap berkelanjutan tanpa putus-putus dengan spektrum
frekuensi yang lebar (steady state, wide band noise), misalnya bising
mesin, kipas angin dapur pijar dan lain-lain.
b. Kebisingan menetap berkelanjutan dengan spektrum frekuensi tipis (steady
state, narrow band noise), misalnya bising gergaji sirkuler, kutup gas, dan
lain-lain.
c. Kebisingan terputus-putus (intermittent noise), misalnya bising lalu lintas,
suara kapal terbang di bandara.
d. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti bising pukulan
palu, tembakan bedil atau meriam, dan ledakan.
e. Kebisingan impulsif berulang, misalnya bising mesin tempa di perusahaan
atau tempaan tiang pancang bangunan.
Di tempat kerja, kebisingan diklasifikasikan ke dalam dua jenis golongan
besar, yaitu kebisingan tetap (steady noise) dan kebisingan tidak tetap (non-steady
noise) (Tambunan, 2005).
Kebisingan tetap (steady noise) dipisahkan lagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frequency noise)
Kebisingan ini berupa “nada-nada” murni pada frekuensi yang beragam,
contohnya suara mesin, suara kipas, dan sebagainya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
b. Broad band noise
Kebisingan dengan frekuensi terputus dan broad band noise sama-sama
digolongkan sebagai kebisingan tetap (steady noise). Perbedaannya adalah
broad band noise terjadi pada frekuensi yang lebih bervariasi (bukan
“nada” murni).
Sementara itu, kebisingan tidak tetap (unsteady noise) dibagikan lagi
menjadi:
a. Fluctuating noise
Kebisingan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu.
b. Intermittent noise
Sesuai dengan terjemahannya, intermitten noise adalah kebisingan yang
terputus-putus dan besarnya dapat berubah-ubah, contohnya kebisingan
lalu lintas.
c. Impulsive noise
Kebisingan impulsif dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi
(memekakkan telinga) dalam waktu relatif singkat, misalnya suara ledakan
senjata api dan alat-alat sejenisnya.
2.2.3. Sumber Kebisingan
Menurut Subaris dan Haryono (2008), sumber kebisingan dilihat dari
sifatnya dibagi menjadi dua yaitu:
a. Sumber kebisingan statis: pabrik, mesin, tape, dan lainnya.
b. Sumber kebisingan dinamis: mobil, pesawat terbang, kapal laut, dan
lainnya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
Sumber bising yang dilihat dari bentuk sumber suara yang dikeluarkannya
ada dua, yaitu: (Subaris dan Haryono, 2008)
a. Sumber bising yang berbentuk sebagai suatu titik/bola/lingkaran.
Contoh: sumber bising dari mesin-mesin industri/mesin yang tak bergerak.
b. Sumber bising yang berbentuk sebagai suatu garis, misalnya kebisingan
yang timbul karena kendaraan-kendaraan yang bergerak.
Di tempat kerja, disadari maupun tidak, cukup banyak fakta yang
menunjukkan bahwa perusahaan beserta aktivitas-aktivitasnya ikut menciptakan
dan menambah keparahan tingkat kebisingan di tempat kerja, misalnya:
(Tambunan, 2005)
a. Mengoperasikan mesin-mesin produksi “ribut” yang sudah cukup tua.
b. Terlalu sering mengoperasikan mesin-mesin kerja pada kapasitas kerja
cukup tinggi dalam periode operasi cukup panjang.
c. Sistem perawatan dan perbaikan mesin-mesin produksi ala kadarnya,
misalnya mesin diperbaiki hanya pada saat mesin mengalami kerusakan parah.
d. Melakukan modifikasi/perubahan/penggantian secara parsial pada
komponen-komponen mesin produksi tanpa mengindahkan kaidah-kaidah
keteknikan yang benar, termasuk menggunakan komponen-komponen mesin
tiruan.
e. Pemasangan dan peletakan komponen-komponen mesin secara tidak tepat
(terbalik atau tidak rapat/longgar), terutama pada bagian penghubung antara
modul mesin (bad connection).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14
f. Penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan fungsinya, misalnya
penggunaan palu (hammer)/alat pemukul sebagai alat pembengkok benda-benda
metal atau alat bantu pembuka baut.
2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebisingan
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kebisingan antara
lain:
a. Intensitas, intensitas bunyi yang dapat didengar telinga manusia
berbanding langsung dengan logaritma kuadrat tekanan akustik yang dihasilkan
getaran dalam rentang yang dapat didengar. Jadi, tingkat tekanan bunyi di ukur
dengan logaritma dalam decibel (dB).
b. Frekuensi, frekuensi yang dapat didengar oleh telinga manusia terletak
antara 16-20000 Hertz. Frekuensi bicara terdapat antara 250-4000 Hertz.
c. Durasi, efek bising yang merugikan sebanding dengan lamanya paparan
dan berhubungan dengan jumlah total energi yang mencapai telinga dalam.
d. Sifat, mengacu pada distribusi energi bunyi terhadap waktu (stabil,
berfluktuasi, intermiten). Bising impulsive (satu/lebih lonjakan energi bunyi,
dengan durasi kurang dari 1 detik) sangat berbahaya.
2.2.5. Nilai Ambang Batas Kebisingan
Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Kebisingan di tempat kerja adalah
intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima oleh
tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu
terus-menerus tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu (Soeripto, 2008).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
15
NAB kebisingan sebagai faktor bahaya di tempat kerja adalah standar
sebagai pedoman pengendalian agar tenaga kerja masih dapat menghadapinya
tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-
hari untuk waktu tidak melebihi 8 (delapan) jam sehari dan 5 (lima) hari kerja
seminggu atau 40 jam seminggu (Suma’mur 2013).
NAB kebisingan adalah 85 dBA. NAB kebisingan tersebut merupakan
ketentuan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor :13 /MEN/X/2011
tentang NAB Faktor Fisika dan Kimia di Tempat Kerja. Nilai Ambang Batas
iklim kerja (panas), kebisingan, getaran tangan-lengan dan radiasi sinar ultra ungu
di tempat kerja (Suma’mur 2013).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16
Berdasarkan Permenaker RI No.13 /MEN/X/2011 tentang NAB Faktor
Fisika dan Kimia di Tempat Kerja, batas-batas NAB kebisingan adalah sebagai
berikut :
Tabel 2.1 : Intensitas dan waktu paparan bising yang diperkenankan
Waktu pemaparan per hari Intensitas kebisingan dalam dBA
8
4
2
1
Jam
85
88
91
94
30
15
7,5
3,75
1,88
0,94
Menit
97
100
103
106
109
112
28,12
14,06
7,03
3,52
1,76
0,88
0,44
0,22
0,11
Detik
115
118
121
124
127
130
133
136
139
Batas kebisingan yang diperkenankan menurut Permenaker RI No. 13
/MEN/X/2011 adalah maksimal 139 dBA sehingga tenaga kerja tidak boleh
terpajan lebih dari 140 dBA walaupun sesaat.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
17
2.2.6. Mekanisme Pendengaran
Untuk memahami mekanisme terjadinya gangguan pendengaran, perlu
diketahui anatomi telinga manusia secara garis besar. Telinga manusia dapat
mendengar karena terdiri atas bagian besar (Gambar 2.1).
a. Telinga Bagian Luar
Telinga luar, terdiri atas daun telinga dan lubang luar telinga sampai pada
membrana timpani. Telinga luar akan menerima dan meneruskan gelombang
suara ke dalam telinga tengah.
b. Telinga Bagian Tengah
Telinga tengah, terdiri atas membrana timpani, yang melekat pada tiga
tulang kecil maleus, inkus, stapes, dan berakhir pada membrana oval. Seluruh
telinga tengah berisi udara dan berhubungan dengan rongga mulut lewat tuba
Eustachius. Getaran yang diterima oleh membrana timpani diteruskan oleh
tigatulang kecil pada membrana oval.
c. Telinga Bagian Dalam
Telinga dalam terdiri atas tube berspiral seperti rumah siput berisi cairan.
Getaran dari membrana oval akan diteruskan pada cairan. Cairan ini akan
bervibrasi yang menstimulasi rambut sel yang berada pada dinding spiral,
meneruskan implus saraf ini ke saraf otak pendengaran. Pajanan yang lama dalam
taraf kebisingan tinggi dapat merusak sel rambut dan sel saraf yang halus,
menyebabkan ketulian. Ketulian sejenis ini juga terjadi karena usia lanjut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
18
Pengenalan sifat dan akibat kebisingan ini kemudian akan digunakan
untuk melakukan evaluasi paparan kebisingan di industri dan lingkungan kerja
lainnya (Rachmatiah, dkk 2015).
Gambar 2.1 Struktur Organ Pendengaran Manusia
2.2.7. Pengukuran Kebisingan
Telinga manusia sama sekali tidak dapat dijadikan “referensi” tingkat
kebisingan yang terdapat pada sebuah temapat. Berdasarkan hasil percobaan, pada
intensitas kebisingan sesungguhnya berkurang 2 dB dari tingkat kebisingan awal,
pengurangan kebisingan yang dirasakan oleh telinga manusia adalah sekitar 15%,
sedangkan pada saat pengurangan (actual) sebesar 20% maka kebisingan yang
dirasakan akan berkurang sebesar 81%. Untuk mendapatkan hasil pengukuran
tingkat kebisingan yang akurat, diperlukan alat-alat khusus (Tambunan, 2005).
Bunyi diukur dengan satuan yang disebut decibel. Dalam hal ini mengukur
besarnya tekanan udara yang ditimbulkan oleh gelombang bunyi. Satuan decibel
diukur dari 0 sampai 140, atau bunyi terlemah yang masih dapat didengar oleh
manusia sampai tingkat bunyi yang dapat mengakibatkan kerusakan permanen
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
pada telinga manusia. Desibel biasa disingkat dB dan mempunyai skala A, B, dan
C. Skala yang terdekat dengan pendengaran manusia adalah skala A atau dBA
(Anies, 2009).
Dua suara atau lebih dengan intensitas sama, jika digabungkan akan
menghasilkan intensitas kebisingan yang lebih tinggi. Untuk memperoleh hasil
pengukuran kebisingan di tempat kerja yang teliti, maka kebisingan dari setiap
sumber sebaiknya diukur secara terpisah atau satu per satu (Subaris dan Haryono,
2008).
Menurut Suma’mur (2013), maksud dilakukannya pengukuran kebisingan
ada dua hal, yaitu:
a. Memperoleh data tentang frekuensi dan intensitas kebisingan di
perusahaan atau di mana saja.
b. Menggunakan data hasil pengukuran kebisingan untuk mengurangi
intensitas kebisingan tersebut, sehingga tidak menimbulkan gangguan dalam
rangka upaya konservasi pendengaran tenaga kerja, atau perlindungan masyarakat
dari gangguan kebisingan atas ketenangan dalam kehidupan masyarakat atau
tujuan lainnya.
Alat utama dalam pengukuran kebisingan adalah Sound Level Meter. Alat
ini mengukur kebisingan antara 30 – 130 dB dan dari frekuensi 20 – 20.000 Hz.
Suatu sistem kalibrasi terdapat dalam alat itu sendiri, kecuali untuk kalibrasi
mikrofon diperlukan pengecekan dengan kalibrasi tersendiri. Sebagai alat
kalibrasi dapat dipakai pengeras suara yang kekuatan suaranya diatur oleh
amplifier. Atau suatu piston phone dibuat untuk maksud kalibrasi tersebut yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20
tergantung pada tekanan udara, sehingga perlu koreksi berdasarkan atas perbedaan
tekanan barometer. Kalibrator dengan intensitas tinggi (125 dB) lebih disukai oleh
karena alat pengukur intensitas kebisingan demikian mungkin dipakai untuk
mengukur kebisingan yang intensitasnya tinggi (Suma’mur, 2013).
Adapun bagian-bagian yang terdapat pada Sound Level Meter adalah
sebagai berikut (Subaris dan Haryono) :
a. Tombol pengatur hidup/mati atau power on/off
b. Tombol pengontrol battery
c. Tombol pengatur penunjuk cepat lambat (slow/fast)
d. Tombol pengukur skala angka puluhan
e. Tombol pengatur penunjuk maksimum (max hold)
f. Microphone
g. Filter microphone
h. Kalibrator
i. Display
Komponen dasar sebuah Sound Level Meter adalah sebuah microphone,
penguat suara (amplifier) dengan pengatur frekuensi dan sebuah layar indikator.
Sesuai namanya, fungsi dasar minimum yang harus ada pada sebuar Sound Level
Meter adalah sebagai alat ukur tingkat suara (dB). Fungsi-fungsi tambahan lain
cukup bervariasi, seperti fungsi pengukuran TWA (Time Weigted Average) secara
otomatis dan pengukuran dosis kebisingan (Tambunan, 2005).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
21
2.2.8. Pengendalian Kebisingan
Menurut Suma’mur (2013), kebisingan dapat dikendalikan dengan cara
sebagai berikut, yaitu:
1. Pengurangan kebisingan pada sumbernya
Pengurangan kebisingan pada sumbernya dapat dilakukan misalnya
dengan menempatkan peredam pada sumber getaran, tetapi pada umumnya hal itu
dilakukan dengan melakukan riset dan membuat perencanaan mesin atau peralatan
kerja yang baru. Membuat desain mesin dan memproduksi mesin baru dengan
standar intensitas kebisingan yang lebih baik.
2. Penempatan penghalang pada jalan transmisi
Isolasi tenaga kerja atau mesin atau unit operasi adalah upaya segera dan
baik dalam upaya mengurangi kebisingan. Untuk itu perencanaan harus matang
dan material yang dipakai untuk isolasi harus mampu menyerap suara. Penutup
atau pintu keruang isolasi harus mempunyai bobot yang cukup berat, menutup pas
betul lobang yang ditutupinya dan lapisan dalamnnya terbuat dari bahan yang
menyerap suara.
3. Penggunaan Alat Pelindung Diri
Cara terbaik untuk melindungi pekerja dari bahaya kebisingan adalah
dengan pengendalian secara teknis pada sumber suara. Kenyataannya bahwa
pengendalian secara teknis tidak selalu dapat dilaksanakan, sedangkan
pengendalian administratif biasanya akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu
pemakaian APD merupakan cara terakhir yang harus dilakukan. APD yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
22
digunakan untuk lingkungan kerja bising adalah alat pelindung telinga (APT)
seperti ear plug dan ear muff (soeripto, 2008).
Menurut Permenakertrans RI Nomor PER.08/MEN/VII/2010 tentang
APD, APT adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi alat
pendengaran terhadap kebisingan atau tekanan yang dapat menurunkan kerasnya
bising yang melalui hantaran udara sampai 40 dB(A) tetapi umumnya tidak lebih
dari 30 dB(A). Jenis alat pelindung telinga terdiri dari:
a. Sumbat telinga (ear plug) yang dapat mengurangi bising sampai dengan
30 dB(A). Sumbat telinga dapat terbuat dari kapas (wax), plastik karet alami dan
sintetik.
b. Penutup telinga (ear muff) yang digunakan untuk mengurangi bising
sampai dengan 40-50 dB(A). Tutup telinga terdiri dari dua buah tudung untuk
tutup telinga, dapat berupa cairan atau busa yang berfungsi untuk menyerap suara
frekuensi tinggi.
4. Pelaksanaan waktu paparan bagi intensitas di atas NAB
Untuk intensitas kebisingan yang melebihi NAB nya, telah ada standart
waktu paparan dari pengaturan waktu kerja sehingga memenuhi ketentuan yang
diperkenankan, namun masalahnya adalah pelaksanaan dari pengaturan waktu
kerja sehingga dapat memenuhi ketentuan tersebut.
Menurut Tambunan (2005), tiga komponen penting yang harus
diperhatikan untuk melakukan pengendalian kebisingan (engineering control
principle) adalah:
1) Sumber kebisingan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
23
2) Media perantara kebisingan
3) Penerima kebisingan
Pengendalian teknik yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat
kebisingan di tempat kerja adalah:
1) Menggunakan atau memasang pembatas atau tameng atau perisai yang
dikombinasi dengan akustik (peredam suara) yang dipasang dilangi-langit.
Kebisingan dengan frekuensi tinggi dapat dikurangi dengan menggunakan
tameng/perisai yang akan menjadi lebih efektif jika lebih tinggi dan lebih dekat
dengan bunyi. Kegunaan tameng/perisai akan berkurang bila tidak dikombinasi
dengan peredam suara (akustik).
2) Menggunakan atau memasang partial enclosure di sekeliling mesin agar
bunyi dengan frekuensi tinggi lebih mudah dipantulkan. Bunyi dengan frekuensi
tinggi jika membentur suatu permukaan yang keras, maka akan dipantulkan
seperti halnya cahaya dan sebuah cermin. Bunyi ini tidak dapat merambat
mengelilingi suatu sudut ruang dengan mudah. Pengendalian kebisingan bisa
dilakukan dengan cara membuat tudung (tutup) isolasi mesin, sehingga kebisingan
yang terjadi akan dipantulkan oleh kaca dan kemudian diserap oleh dinding
peredam suara.
3) Menggunakan complete enclosure kebisingan frekuensi rendah merambat
ke semua bunyi dan tempat terbuka. Penggunaan complete enclosure maka mesin
yang menimbulkan kebisingan dapat ditutup secara keseluruhan dengan
menggunakan bahan dinding atau peredam suara. Memisahkan operator dalam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
24
sound proof room dan mesin yang bising dengan penggunaan remote control
(pengendali jarak jauh).
4) Mengganti bagian-bagian logam (yang menimbulkan intensitas kebisingan
tinggi) dengan dynamic dampers, fiber glass, karet atau plastik, dan sebagainya.
5) Memasang muffer pada katup penghisap, pada cerobong dan sistem
ventilasi.
6) Memperbaiki pondasi mesin dan menjaga agar baut atau sambungan tidak
ada yang renggang.
7) Pemeliharaan dan servis teratur.
Menurut Tambunan (2005) pengendalian secara administratif dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Menetapkan peraturan tentang rotasi pekerjaan yang bertujuan untuk
mengurangi akumulasi dampak kebisingan pada pekerja.
2. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.
3. Pemantauan lingkungan kerja.
4. Menetapkan peraturan tentang keharusan bagi pekerja untuk beristirahat
dan makan di tempat khusus yang tenang atau tidak bising.
5. Menetapkan peraturan tentang sanksi bagi pekerja yang melanggar
ketetapan-ketetapan perusahaan yang berkaitan dengan pengendalian kebisingan.
6. Pemasangan safety sign atan rambu-rarnbu kebisingan.
7. Pemasangan noise mapping.
8. Perneriksaan kesehatan pekerja secara berkala.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
25
Menurut Soeripto (2008), cara terbaik untuk melindungi pekerja dari
bahaya kebisingan adalah dengan pengendalian secara teknis pada sumber suara.
Kenyataannya bahwa pengendalian secara teknis tidak selalu dapat dilaksanakan,
sedangkan pengendalian administratif biasanya akan mengalami kesulitan. Oleh
karena itu, pemakaian APD merupakan cara terakhir yang harus dilakukan. APD
yang digunakan untuk lingkungan kerja bising adalah alat pelindung telinga
(APT) seperti ear plug dan ear muff.
2.3. Gangguan Pendengaran
2.3.1. Definisi Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total
untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Gangguan
pendengaran akibat bising atau noise induced hearing loss (NIHL) adalah
penurunan pendengaran tipe sensorineural, yang pada awalnya tidak disadari
karena belum mengganggu percakapan sehari-hari. Sifat gangguannya adalah tuli
sensorineural tipe koklea dan umumnya terjadi pada ke dua telinga. Faktor risiko
yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian ialah intensitas bising,
frekuensi, lama pajanan perhari, lama masa kerja, kepekaan individu, umur dan
faktor lain yang dapat berpengaruh (Manoppo, N Fauziah, dkk. 2013).
Gangguan pendengaran terjadi karena peningkatan ambang dengar dari
batas nilai normal (0 – 25 dBA) pada salah satu telinga ataupun keduanya
(Soepardi, dkk. 2012). Telinga manusia hanya mampu menangkap suara yang
ukuran intensitasnya 85 dBA (batas aman) dan dengan frekuensi suara berkisar
antara 20 sampai dengan 20.000 Hz. Batas intensitas suara tertinggi adalah 140
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
26
dBA dimana jika seseorang mendengarkan suara dengan intensitas tersebut maka
akan timbul perasaan sakit pada alat pendengaran dan memicu seseorang terkena
gangguan pendengaran atau peningkatan ambang dengar.
Menurut Soepardi, dkk. (2012), seseorang dikatakan memiliki
pendengaran yang normal apabila mampu mendengar suara dengan intensitas ≤ 25
dBA sedangkan seseorang yang mengalami peningkatan ambang pendengaran
atau derajat ketulian akan dibagi menjadi tuli ringan, tuli sedang, tuli sedang
berat, tuli berat.
2.3.2. Klasifikasi Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan sebagai (ASHA, 2011):
a. Tuli Konduktif
Tuli konduktif terjadi ketika suara tidak diteruskan dengan mudah melalui
saluran telinga luar ke membran timpani dan ke tulang pendengaran dibagian
telinga tengah. Tuli konduktif membuat suara terdengar lebih halus dan sulit
didengar. Tipe tuli ini dapat dikoreksi dengan obat-obatan atau operasi. Beberapa
penyebab yang mungkin dapat menyebabkan tuli konduktif antara lain : cairan di
telinga tengah, infeksi telinga (otitis media), fungsi tuba yang menurun, lubang di
membran timpani, terlalu banyak serumen, benda asing di saluran telinga dan
malformasi dari telinga bagian luar ataupun tengah.
b. Tuli Sensorineural (NIHL)
Tuli sensorineural terjadi ketika terdapat kerusakan pada telinga bagian
dalam (koklea) atau saraf dari telinga dalam menuju ke otak. Tipe tuli ini
merupakan tipe tuli yang biasanya bersifat permanen. Pada tuli sensorineural
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
27
terjadi penurunan kemampuan untuk mendengar suara lemah, atau suara yang
sudah cukup keras tetapi masih terdengar tidak jelas atau redup. Beberapa
penyebab yang mungkin dapat menyebabkan tuli sensorineural antara lain: obat
yang toksik terhadap pendengaran, genetik, penuaan, trauma kepala, malformasi
telinga bagian dalam dan paparan terhadap bising.
c. Tuli Campuran
Bila gangguan pendengaran/ketulian konduktif dan sensorineural terjadi
secara bersamaan.
Derajat gangguan pendengaran berdasarkan International Standard
Organization (ISO) adalah :
a. Normal (0 – 25 dB) : pendengaran masih normal dan masih mampu
mendengar suara bisikan
b. Tuli ringan (26 – 40 dB) : Mengalami sedikit gangguan dalam membedakan
beberapa jenis kosonan dan mengalami sedikit masalah saat berbicara.
c. Tuli sedang (41 – 60 dB) : Mampu mendengarkan dan mengulangi kata-kata
dengan cara menaikkan nada pada jarak 1 meter.
d. Tuli berat (61 – 90 dB) : Mampu mendengarkan beberapa kata-kata dalam
keadaan posisi teriak.
e. Tuli sangat berat (>90 dB) : Tidak dapat mendengar dan mengerti suara yang
dihasilkan walaupun dalam keadaan teriak. Derajat gangguan pendengaran ini
untuk melihat jumlah tingkatan ambang dengar yang dapat didengar (oleh
orang dewasa. WHO, 2015).
2.3.3. Faktor-Faktor Penyebab Gangguan Pendengaran
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
28
1. Faktor Karakteristik Individu
a. Umur
Umur yang semakin bertambah dapat mengakibatkan sebagian sel-sel
rambut mati karena tua sehingga manusia menjadi tuli. Namun apabila seseorang
mendapatkan tekanan kebisingan dengan intensitas tinggi secara kontiniu untuk
jangka waktu yang panjang, maka banyak sel-sel rambut pada organ pendengaran
menjadi mati ketika masih berumur muda. Apabila terdapat sejumlah sel rambut
organ pendengaran yang mati, maka ia akan menderita kehilangan pendengaran
(Tambunan, 2005).
Sel rambut berfungsi sebagai reseptor nada tinggi akan lebih dahulu mati,
sehingga kemunduran pendengaran akan pertama kali terjadi untuk daerah
frekuensi 4000 – 6000 Hz. Oleh karena frekuensi bicara 500-3000 Hz, maka
Noise Induced Hearing Loss (NIHL) awal biasanya tidak disadari, bahkan oleh
orang yang bersangkutan. Terkecuali bagi seorang pemusik akan menyadari
gangguan lebih dini karena apresiasi musik membutuhkan kepekaan yang lebih
tinggi daripada untuk mendengar percakapan (Tambunan, 2005).
b. Masa Kerja
Masa kerja yang lama di tempat kerja yang bising merupakan faktor yang
mempengaruhi kemampuan pendengaran. Tetapi hal ini tidak berarti semakin
lama masa kerja, tingkat kemampuan pendengarannya lebih buruk dibandingkan
dengan yang masa kerjanya lebih sedikit. Penurunan kemampuan pendengaran
akibat bising dapat terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama, biasanya lima
tahun atau lebih (Soepardi, dkk. 2012).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
29
c. Lama Paparan
Menurut Kusumawati (2012), gangguan pendengaran yang disebabkan
oleh kebisingan berkaitan erat dengan lama paparan yang diperoleh pekerja.
Pekerja yang pernah atau sedang bekerja di lingkungan kerja dalam waktu yang
cukup lama berisiko terhadap kejadian gangguan pendengaran. Berdasarkan lama
paparan, pekerja yang berisiko mengalami gangguan pendengaran jika bekerja
lebih dari 8 jam per hari dengan intensitas kebisingan melebihi 85 dB (A).
Menurut Anizar (2009), bagian yang paling penting adalah:
1. Intensitas kebisingan (tingkat tekanan suara)
2. Jenis kebisingan (wide band, narrow band, impulse)
3. Lamanya terpapar per hari
4. Jumlah lamanya terpapar (dalam tahun)
5. Usia yang terpapar
6. Masalah pendengaran yang telah diderita sebelumnya
7. Lingkungan yang bising
8. Jarak pendengaran dengan sumber kebisingan
Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI
Nomor PER 13/MEN/X/ 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan
Faktor Kimia di Tempat Kerja, dengan paparan suara 85 dB (A) waktu yang
diperbolehkan maksimal 8 jam. Apabila lebih akan menimbulkan gangguan
kesehatan pada seseorang seperti perubahan ketajaman pendengaran, gangguan
pembicaraan dan gangguan lainnya.
2. Faktor Intensitas Kebisingan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30
Kebisingan merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan
gangguan pendengaran. Bising dengan intensitas lebih dari 85 dB (A) dapat
merusak reseptor pendengaran di telinga dalam, yang mengalami kerusakan
adalah organ corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 Hz sampai
dengan 6000 Hz, dan yang paling berat kerusakannya adalah organ corti untuk
reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000 Hz (Soetirto, dkk. 2001).
Gejela yang ditimbulkan antara lain kurangnya pendengaran disertai
tinnitus. Bila sudah cukup parah disertai dengan sukarnya mendengar percakapan.
Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi
adaptasi, yaitu peningkatan pendengaran sementara atau tetap. Reaksi adaptasi
merupakan salah satu respon kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi dengan
intensitas 70 dB (A) atau kurang. Peningkatan ambang dengar sementara
merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang denga akibat bising dengan
intensitas cukup tinggi. Pemulihannya dapat berlangsung selama beberapa menit
atau jam (Soetirto, dkk. 2001).
Sedangkan peningkatan ambang dengar tetap adalah keadaan terjadinya
peningkatan ambang dengar menetap akibat bising dengan intensitas tinggi dan
berlangsung cepat atau lama. Kerusakan biasanya terdapat pada organ corti, sel-
sel rambut, vaskularis dan lainnya. Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh
kebisingan berkaitan erat dengan masa kerja dan intensitas kerja. Pekerja yang
pernah atau sedang berkeja di lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup
lama berisiko terhadap kejadian gangguan pendengaran (Kusumawati, 2012).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
31
Jika dilihat berdasarkan masa kerja, pekerja akan mulai terkena gangguan
pendengaran setelah bekerja selama lima tahun atau lebih. Namun jika dilihat
berdasarkan intensitas kerja, pekerja berisiko terkena gangguan pendengaran jika
bekerja lebih dari 8 jam per hari dengan intensitas bising yang melebihi 85 dB (A)
(Kusumawati, 2012).
2.3.4. Diagnosis Gangguan Pendengaran Akibat Bising
Diagnosa atau identifikasi suatu penyakit akibat hubungan kerja yang
terjadi pada suatu populasi pekerja dapat dilakukan dengan menggunakan dua
pendekatan, yaitu pendekatan epidemiologis dan pendekatan klinis.
a. Pendekatan epidemiologis
Pendekatan ini terutama digunakan apabila ditemukan adanya gangguan
kesehatan atau keluhan pada sekelompok pekerja. Pendekatan ini perlu untuk
mengidentifikasi adanya hubungan kausal antar suatu pajanan dengan penyakit.
Sebagai hasil dari penelitian epidemologis, banyak berhasil diidentifikasi pajanan
yang dapat menyebabkan penyakit. Identifiksi tersebut mempertimbangkan
kekuatan asosiasi, konsistensi, spesifitas, adanya hubungan waktu dengan
kejadian penyakit, hubungan dosis dan penjelasan patofisiologis.
b. Pendekatan klinis (individual)
Pendekatan ini perlu dilakukan untuk menentukan apakah seseeorang
menderita penyakit yang diakibatkan oleh pekerjaannya atau tidak. Langkah-
langkah yang dilakukan adalah:
1. Menentukan diagnosis klinis.
2. Menentukan pajanan yang dialami induvidu tersebut dalam pekerjaan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
32
3. Menentukan apakah ada hubungan antara pajanan dengan penyakit.
4. Menentukan apakah pajanan cukup besar.
5. Menentukan apakah ada faktor- faktor individu yang berperan.
6. Menentukan apakah ada faktor lain diluar pekerjaan.
7. Menentukan diagnosis penyakit akibat hubungan kerja (Buchari, 2007).
Diagnosis Tuli akibat bising :
1) Keadaan sebelum kerja : umur, penyakit telinga, pemeriksaan THT,
audiometri. Gangguan pendengaran akibat bising dapat dianalisis melalui hasil
pemeriksaan audiometri apabila ambang dengar hantaran tulang dan ambang
dengar hantaran udara keduanya tidak normal dan saling berhimpit membuat takit
pada frekuensi 4000 Hz. Penurunan nilai ambang dengar dilakukan pada kedua
telinga.
2) Keadaan bising lingkungan kerja.
3) Pekerja : lama pajanan/hari, alat pelindung telinga, pemeriksaan
pendengaran tiap 6 bulan.
4) Pemeriksaan pendengaran : tes berbisik dalam jarak 6 meter, audiometri
nada murni dengan waktu 16 – 36 jam bebas pajanan bising (Buchari, 2007).
2.4. Dampak Kebisingan Terhadap Manusia
Dampak utama dari kebisingan terhadap kesehatan manusia adalah
kerusakan indera-indera pendengaran yang dapat mengakibatkan ketulian
(Suma’mur, 2013). Pengaruh kebisingan terhadap manusia tergantung
karakteristik fisik, karaktenistik individu, masa kerja dan lama kerja. Pengaruh
tersebut berbentuk gangguan yang dapat menurunkan kesehatan, kenyamanan,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
dan rasa aman manusia. Beberapa bentuk gangguan yang diakibatkan oleh
kebisingan adalah sebagai berikut (Listiyaningrum, 2011):
a. Gangguan Pendengaran
Pendengaran manusia merupakan salah satu indera yang berhubungan
dengan komunikasi audio/suara. Kerusakan pendengaran (ketulian) merupakan
penurunan sensitivitas yang berlangsung secara terus menerus terhadap organ
pendengaran.
b. Gangguan komunikasi
Kebisingan dapat mengganggu percakapan sehingga mempengaruhi
komunikasi yang berlangsung (tatap muka/via telephone). Sebagai pegangan,
gangguan komuniakasi oleh kebisingan telah terjadi, apabila komunikasi
pembicaraan dalam pekerjaan harus dijalankan dengan sura yang kekuatannya
tinggi dan lebih nyata lagi apabila dilakukan dengan cara berteriak. Gangguan
komunikasi seperti itu menyebabkan terganggunya pekerjaan, bahkan mungkin
mengakibatkan kesalahan atau kecelakaan, terutama pada penggunaan tenaga
kerja baru oleh karena timbulnya salah paham dan salah pengertian (Suma’mur
2013).
c. Gangguan psikologis
Kebisingan dapat menimbulkan gangguan psikologis seperti kejengkelan,
kecemasan dan ketakutan. Gangguan psikologis akibat kebisingan tergantung
pada intensitas, frekuensi, periode, saat dan lama kejadian, kompleksitas,
spektrum/kegaduhan, dan ketidakteraturan kebisingan.
d. Gangguan produktivitas kerja
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
Kebisingan dapat mempengaruhi gangguan terhadap pekerjaan yang
sedang dilakukan seseorang yang dimulai dan gangguan psikologis dan gangguan
komunikasi sehingga menurunkan produktivitas kerja.
e. Gangguan fisiologis
Gangguan berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi, basal
metabolisme, konstruksi pembuluh darah kecil terutama pada bagian kaki dan
dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.
Sedangkan menurut Tambunan (2005), kebisingan dapat menyebabkan
dua jenis gangguan terhadap manusia yaitu:
1. Dampak Auditorial
Dampak auditorial dan kebisingan cukup banyak jenisnya dengan tingkat
keparahan yang beragam, mulai dari bersifat sementara dan dapat sernbuh dengan
sendirinya atau disembuhkan hingga yang bersifat permanen.
Tenaga kerja yang mengalami gangguan pendengaran umumnya kesulitan
membedakan kata yang memiliki kemiripan atau yang mengandung konsonan
pada rentang frekuensi agak tinggi, seperti konsonan S, F, dan C. Salah satu
dampak auditorial yang cukup terkenal adalah tinnitus. Gangguan jenis ini dapat
dikenali dan adanya bunyi deringan atau siulan ditelinga saat suara yang
memekakkan telinga dihentikan dan terus berlanjut hingga waktu yang cukup
lama.
Menurut Tambunan (2005), dampak auditorial juga dapat dikiasifikasikan
berdasarkan letak atau posisi gangguan pendengaran pada sistem pendengaran
manusia. Dampak tersebut antara lain :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
a. Conductive hearing loss (Tuli Konduktif)
b. Sensorineureal hearing loss (Tuli Sensorineural)
c. Mixed hearing loss
Jika kedua threshold konduksi menunjukkan adanya kehilangan atau
gangguan pendengaran, namun porsi kehilangan lebih besar pada konduksi udara.
2. Dampak non auditorial (non auditorial effect)
Selain menimbulkan dampak negatif (permanen atau sementara) terhadap
sistem pendengaran, kebisingan juga dapat mengganggu :
a. Sistem keseimbangan
b. Cardiovascular
c. Kualitas tidur (noise induced sleep)
d. Kondisi kejiwaan pekerja (stress)
Dampak bising terhadap kesehatan para pekerja menurut Buchari (2008)
antara lain :
a. Gangguan fisiologis
Pada umumnya bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi
terputus-putus atau yang datangnya tiba-tiba. Gangguan ini berupa peningkatan
tekanan darah (mmHg), peningkatan nadi, basal metabolisme, konstruksi
pembuluh darah kecil terutama pada bagian kaki, dapat menyebabkan pucat dan
gangguan sensoris.
b. Gangguan psikologis
Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi,
susah tidur, emosi dan lain-lain. Pemaparan jangka waktu lama dapat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
menimbulkan penyakit psikosomatik seperti gastristis, penyakit jantung koroner
dan lain-lain.
c. Gangguan komunikasi
Gangguan komunikasi ini menyebabkan terganggunya pekerjaan, bahkan
mungkin terjadi kesalahan, terutama bagi pekerja bagi yang belum
berpengalaman. Gangguan komunikasi secara tidak langsung akan mengakibatkan
bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja, karena tidak mendengar
teriakan atau isyarat tanda bahaya dan tentunya akan dapat menurunkan mutu
pekerjaan dan produktivitas kerja.
2.5. Tes Pendengaran
Menurut Soepardi, dkk. (2012), untuk mengetahui seseorang mengalami
gangguan pendengaran maka perlu dilakukan tes pendengaran, yaitu sebagai
berikut :
1. Tes Berbisik
Pemeriksaan ini bersifat semi kuantitatif yakni menentukan derajat
ketulian secara kasar dengan hasil tes berupa jarak pendengaran (jarak antara
pemeriksa dengan pasien). Hal yang perlu diperhatikan dalam tes berbisik ini
adalah ruangan yang cukup tenang dengan panjang minimal 6 meter. Seseorang
yang mampu mendengar dengan jarak 6 sampai dengan 8 meter dikatagorikan
normal, kurang dari 6 sampai dengan empat meter dikatagorikan tuli ringan,
kurang dari empat sampai dengan satu meter dikatagorikan tuli sedang, kurang
dari satu meter sampai dengan 25 cm dikatagorikan tuli berat dan kurang dari 25
cm dikatagorikan sebagai tuli total.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
2. Tes Audiometri
Pemeriksaan audiometri bertujuan untuk mengetahui derajat ketulian
secara kuantitatif dan mengetahui keadaan fungsi pendengaran secara kualitatif
(pendengaran normal, tuli konduktif, tuli sensorineural dan tuli campuran).
Pemeriksaan audiometri diawali dengan menempatkan pasien pada ruangan kedap
suara, selanjutnya pasien akan mendengarkan bunyi yang dihasilkan oleh
audiogram melalui earphone. Pasien harus memberi tanda saat mulai mendengar
bunyi dan saat bunyi tersebut menghilang.
Cara membaca hasil audiometri adalah dengan melihat grafik yang
dihasilkan. Grafik Air Conductor (AC) untuk menunjukan hantaran udara,
sedangkan grafik Bone Conductor (BC) untuk melihat hantaran tulang. Telinga
kiri ditandai dengan warna biru, sedangkan telinga kanan ditandai dengan warna
merah. Derajat ketulian dapat dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher,
adapun rumus dari indeks Fletcher yaitu: Ambang Dengar (AD) = AD 500 Hz +
AD 1.000 Hz + AD 2.000 Hz + AD 4.000 Hz .
Derajat pendengaran seseorang yang masih berada diantara 0 sampai
dengan 25 dBA dikatagorikan normal, 26 sampai 40 dBA dikatagorikan sebagai
penurunan gangguan pendengaran ringan, 41 sampai 60 dBA dikatagorikan
sebagai penurunan gangguan pendengaran sedang, 61 sampai 90 dBA
dikatagorikan sebagai tuli berat, dan jika lebih dari 90 dBA maka dikatagorikan
sebagai tuli sangat berat. Jika dilihat berdasarkan hasil grafik audiogram,
seseorang dikatagorikan normal apabila konduksi udara lebih bagus dari konduksi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38
tulang. Hal ini dapat teridentifikasi apabila grafik BC berimpit dengan grafik AC
dan AC serta BC sama atau kurang dari 25 dBA.
Gangguan pendengaran konduktif dapat teridentifikasi jika grafik AC
turun lebih dari 25 dBA dan BC normal atau kurang dari 25 dBA. Kondisi
gangguan pendengaran konduktif terjadi jika konduksi tulang lebih baik dari
konduksi udara. Kemudian, seseorang dikatakan gangguan pendengaran
sensorineural jika konduksi udara lebih baik dari konduksi tulang. Letak grafik
pada penderita gangguan sensorineural adalah grafik BC berimpit dengan grafik
AC, namun kedua grafik turun lebih dari 25 dBA. Sedangkan gangguan
pendengaran campuran terjadi jika grafik BC turun lebih dari 25 dBA dan AC
turun lebih besar dari BC.
3. Tes Garputala
Pemeriksaan menggunakan garputala atau tes penala merupakan
pemeriksaan secara kualitatif. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui jenis
gangguan pendengaran. Terdapat berbagai macam tes garputala seperti:
a. Tes Rinne
Pada saat dilakukannya tes, pasien harus fokus terlebih dahulu setelah
pasien fokus maka tindakan selanjutnya adalah menggetarkan garputala.
Garputala yang sedang bergetar diletakkan di prosesus mastoid setelah tidak
terdengar maka garputala diletakkan di depan telinga kira-kira 2,5 cm. Apabila
bunyi garputala masih terdengar maka disebut tes Rinne positif (+) namun
apabilabunyi garputala tidak terdengar maka disebut tes Rinne negatif (-).
b. Tes Weber
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
Garputala yang bergetar diletakkan pada garis tengah kepala (di vertex,
dahi, pangkal hidung, ditengah-tengah gigi seri atau dagu). Apabila bunyi
garputala tedengar lebih keras pada salah satu telinga maka disebut lateralisasi
kepada telinga yang mendengar bunyi tersebut. Bila pasien tidak dapat
membedakan telinga yang mendengar bunyi lebih keras maka disebut weber tidak
ada lateralisasi.
c. Tes Schwabach
Garputala yang bergetar didekatkan pada prosesus mastoideus sampai
tidak terdengar bunyi. Kemudian garputala dipindahkan pada prosesus mastoideus
telinga pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat
mendengar bunyi garputala maka disebut schwabach memendek.
Namun jika pemeriksa tidak mendengar, pemeriksaan akan diulang
dengan cara sebaliknya yakni garputala yang sudah digetarkan diletakkan pada
prosesus mastoideus pemeriksa lebih dahulu. Bila pasien masih dapat mendengar
bunyi garputala maka disebut schwabach memanjang namun bila pemeriksa dan
pasien sama-sama mendengar maka disebut schwabach sama dengan pemeriksa.
2.6. Kerangka Konsep
1. V
Intensitas Kebisingan Gangguan Pendengaran
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
40
1. Variabel independen ialah intensitas kebisingan yang terdapat pada
bagian produksi di PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua.
2. Variabel dependen ialah gangguan pendengaran tenaga kerja yang bekerja
pada bagian produksi di PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian survei analitik dengan desain
penelitian cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari kolerasi antara
faktor-faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau
pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoadmojo, 2005).
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1. Lokasi
Penelitian dilaksanakan di pabrik kelapa sawit PT. Salim Ivomas Pratama
Tbk, Sungai Dua Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau, dengan alasan belum
pernah dilakukannya penelitian mengenai hubungan kebisingan dengan gangguan
pendengaran pada tenaga kerja bagian produksi di PT. Salim Ivomas Pratama
Tbk, Sungai Dua.
3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Februari 2017 sampai dengan selesai.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Notoadmojo, 2005). Penelitian ini
dilakukan dengan populasi sebanyak 22 orang pekerja pada bagian produksi di
stasiun kamar mesin, press, kernel dan klarifikasi yang melakukan pekerjaan pada
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
42
shift 1 mulai pukul 07.00 s/d 16.00 (pagi) dan shift 2 pukul 16.00 s/d 24.00
(malam).
3.3.2. Sampel
Sampel adalah sebagian kecil populasi yang digunakan dalam uji untuk
memperoleh informasi statistik mengenai keseluruhan populasi. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling. Total sampling
adalah teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi.
Untuk itu, jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 22 orang pekerja pada
bagian produksi di stasiun kamar mesin, press, kernel dan klarifikasi yang
melakukan pekerjaan pada shift 1 dan shift 2.
3.4. Metode Pengumpulan Data
3.4.1. Data Primer
Data primer penelitian ini yaitu data hasil pengukuran tes pendengaran
audiometri yang bertujuan untuk mengetahui keadaan fungsi pendengaran pada
pekerja yang terpapar bising.
3.4.2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua
meliputi data intensitas kebisingan yang telah dilakukan pengukuran sebelumnya
pada tanggal 16 Maret 2017 yang masih berlaku selama 1 tahun, data yang
berkaitan dengan pekerja dan gambaran umum PT. Salim Ivomas Pratama Tbk,
Sungai Dua Kabupaten Rokan Hilir.
3.5. Variabel dan Definisi Operasional
3.5.1. Variabel
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
43
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu variabel
independen berupa kebisingan dan variabel dependen berupa gangguan
pendengaran.
3.5.2. Definisi Operasional
a. Intensitas kebisingan adalah suara yang tidak dikehendaki yang bersumber
dari mesin-mesin produksi di pabrik. Pada penelitian ini, kebisingan di
tempat kerja diambil dari data sekunder yang di peroleh dari PT. Salim
Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Kabupaten Rokan Hilir.
b. Gangguan pendengaran ketidakmampuan secara parsial atau total untuk
mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Pada penelitian ini
gangguan pendengaran di ukur dengan tes pendengaran audiometri.
3.6. Metode Pengukuran
Aspek pengukuran adalah mengukur gangguan pendengaran pada pekerja di
pabrik. Untuk dapat mengetahuinya dilakukan pengukuran dengan melakukan tes
pendengaran audiometri.
3.6.1. Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran diukur dengan pemeriksaan audiometri dilakukan
oleh petugas Balai K3 yang bertujuan untuk mengetahui keadaan fungsi
pendengaran pada pekerja yang terpapar bising.
Alat ukur : audiometer Oscilla SM 950
Hasil pengukuran :
a. Normal 0-25 dB
b. Tuli ringan 26-40 dB
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
44
c. Tuli sedang 41-60 dB
d. Tuli berat 61-90 dB
e. Tuli sangat berat >90 dB
Prosedur pengukuran :
a. Siapkan alat dan audiogram (sesuai dengan jumlah tenaga kerja yang
diperiksa).
b. Hidupkan alat yang telah dikalibrasi dengan menekan tombol ON/power.
c. Pasang earphone pada kedua telinga pasien.
d. Dahulukan telinga yang lebih baik pendengarannya atau telinga kanan
(tekan tombol nada merah untuk memeriksa telinga kanan).
e. Mulai pemeriksaan pada Frek. 500/1000 Hz dengan menekan atau
memutar tombol Frek. Sesuai dengan 500/1000 Hz.
f. Mulai dengan intensitas 50 dB dengan menekan atau memutar tombol
Intensitas sesuai dengan 50 dB,lepaskan tombol nada/signal bila terdapat
respon/pekerja yang diperiksa mendengar ( 1 – 2 detik penekanan tombol
nada/signal).
g. Turunkan intensitas 10 dB secara bertahap sampai pekerja yang diperiksa
tidak mendengar.
h. Lalu naikkan 5 dB secara bertahap dan beri nada/signal sampai pekerja
yang diperiksa mendengar.
i. Beri nada atau signal 3X,ada respon 1X dari 3X pemberian signal,naikkan
lagi bertahap 5 dB dan beri signal 3X, sampai minimal 2X respon dari 3X signal
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
45
sama dengan Perpaduan antara penurunan dan penambahan (Batas Ambang
Dengar).
j. Frekuensi berikutnya dapat dimulai dengan intensitas 15 dB lebih rendah
dari intensitas pada pemberian signal Frekuensi 500/1000 Hz.
k. Selanjutnya begitu seterusnya seperti diatas sampai pada Frekuensi 2000,
3000, 4000 dan 6000 Hz.
l. Catat pada audiochart pena merah dengan tanda bulat (O) telinga kanan,
pena biru dengan tanda (X) telinga kiri.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
46
Tabel 3.1.Aspek Pengukuran Variabel Penelitian
No Variabel Cara ukur dan
Alat Ukur
Hasil Ukur Skala
Ukur
1. Kebisingan Data sekunder 1. Kebisingan ≤
85 dB
2. Kebisingan >
85 dB
Ordinal
2. Gangguan
Pendengaran
Pengukuran
( Audiometri )
1. 0 – 25 dB
(Normal)
2. 26 - 40 dB
(ringan)
3. 41 – 60 dB
(sedang)
4. 61 – 90 dB
(tuli berat)
5. > 90 dB
(tuli sangat berat)
Ordinal
3.7. Metode Analisa Data
Dalam sebuah penelitian, analisis data merupakan salah satu langkah yang
penting. Hal ini disebabkan karena ada data yang diperoleh langsung dari
penelitian masih mentah dan belum memberikan informasi. Data-data tersebut
dianalisis menggunakan program Statistic Package For The Social Science
(SPSS).
Analisis penelitian mencakup :
1. Analisa univariat, yaitu analisis yang menggambarkan secara tunggal
variabel independen dengan dependen dalam bentuk distribusi frekuensi. Entry
Data, data yang telah diberikan kode tersebut kemudian dimasukkan dalam
program komputer untuk selanjutnya akan diolah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
47
2. Analisa bivariat, yaitu analisis lanjutan untuk melihat hubungan antara
variabel independen (kebisingan) dan variabel dependen (gangguan pendengaran)
menggunakan uji korelasi spearman dengan taraf signifikansi α sebesar 0,05 pada
taraf kepercayaan 95%. Jika P value < 0,05 terdapat korelasi yang bermakna
antara dua variable yang diuji. Jika P value > 0,05 artinya tidak terdapat korelasi
yang bermakna antara dua variabel yang diuji.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
48
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Perusahaan
4.1.1. Sejarah Ringkas Perusahaan
Pabrik Kelapa Sawit PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua
dibangun tahun 1997 dan mulai beroperasi bulan mei tahun 1998. Luas bangunan
PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk seluas 7,28 Ha dan luas areal pabrik :
IPAL/Waduk (M²) seluas 15.393 Ha. Produksi tandan buah segar (TBS) kelapa
sawit diolah di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang dimiliki oleh PT. Salim Ivomas
Pratama Tbk sendiri. PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk memiliki kapasitas
produksi yaitu 45 ton/jam. PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk memproduksi
CPO (Crude Palm Oil) dan inti sawit (kernel). Realisasi produksi pada tahun
2016 untuk kelapa sawit (TBS) sebanyak 204.371 ton.
4.1.2. Lokasi PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua
Perkebunan PT. Salim Ivomas Pratama Tbk – PKS Sungai Dua terletak di
Kecamatan Balai Jaya, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau.
4.1.3. Data Geografi
Secara geografis lokasi PT. Salim Ivomas Pratama Tbk. – PKS Sungai
Dua berada diantara koordinat E = 100o 35' 27.6 N = 01o 45’ 03.4.
4.1.4. Jumlah Karyawan
Jumlah tenaga kerja di kebun PT. Salim Ivomas Pratama Tbk. – PKS
Sungai Dua pada periode 2016.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
49
Tabel 4.1. Jumlah Tenaga Kerja PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk,
Sungai Dua
No Jenis Karyawan Jumlah
1 Staff 9
2 Pekerja Tetap SKU 122
Total 131
4.1.5 Jam Kerja
Jam kerja yang berlaku di PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua
dibagi atas dua bagian, yaitu:
a. Bagian Kantor
Untuk bagian ini hanya ada 1 shift kerja dengan 7 jam per hari dan 40 jam per
minggu adalah sebagai berikut:
Tabel 4.2. Jam Kerja Karyawan Bagian Kantor PKS PT. Salim Ivomas
Pratama Tbk, Sungai Dua
Hari Kerja Jam Kerja Keterangan
Senin-Sabtu 07.00-12.00
12.00-14.00
14.00-16.00
Kerja aktif
Istirahat
Kerja aktif
b. Bagian Pengolahan
Untuk bagian pengolahan pekerja dibagi atas 2 shift, yaitu:
1. Shift I : (Pukul 07.00-16.00)
2. Shift II : (Pukul 16.00-24.00)
Waktu istirahat untuk karyawan bagian pengolahan diberikan selama 1 jam tetapi
tidak ditentukan jadwal yang tetap. Waktu istirahat tersebut tergantung pada
pengaturan waktu tenaga kerja di stasiun kerja masing-masing dengan ketentuan
di setiap stasiun tidak boleh kosong. Pergantian shift dilakukan setiap 7 hari sekali
dan mendapat hari libur 1 hari yaitu hari Minggu.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
50
4.1.6. Sistem Pengupahan
Pembagian upah/gaji karyawan PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk,
Sungai Dua dilakukan 1 kali setiap bulannya. Selain gaji bulanan, karyawan juga
mendapat upah lembur dihitung diluar jam kerja ditambah dengan setiap
karyawan mendapat beras setiap kali gajian.
Untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan, perusahaan juga
menyediakan fasilitas seperti:
1. Perumahan untuk setiap staff atau pimpinan dan karyawan pelaksana yang
berada di lokasi perkebunan sekitar pabrik.
2. Air dan listrik untuk keperluan rumah tangga.
3. Jaminan Kesehatan.
4. Klinik Central yang memberikan pelayanan kesehatan bagi karyawan.
5. Sarana pendidikan/sekolah gratis bagi anak karyawan yang disediakan
oleh Perkebunan.
6. Tempat ibadah di sekitar perumahan karyawan.
7. Transportasi.
4.1.7. Proses Produksi
Pabrik Kelapa Sawit PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua
menghasilkan CPO (Crude Palm Oil) atau minyak kelapa sawit sebagai hasil
utama dan inti sawit sebagai hasil sampingan. Untuk menghasilkan CPO dan inti
sawit terdapat 10 stasiun kerja yang terkait yaitu stasiun loading ramp, stasiun
bantingan, stasiun perebusan (sterilizer), stasiun penebah (hoisting crane), stasiun
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
51
kempa (press), stasiun klarifikasi, stasiun kernel, stasiun ketel uap (boiler), stasiun
kamar mesin dan stasiun water treatment.
1) Loading Ramp
Fungsi dari stasiun ini adalah sebagai tempat penampungan TBS untuk
beberapa saat sambil menunggu proses awal dari pengolahan dan tempat proses
sortasi TBS. TBS kemudian diletakkan ke dalam pintu-pintu kompartement untuk
seterusnya dimasukkan ke dalam lori.
2) Stasiun Perebusan
Tandan buah dan berondolan yang telah disortasi di stasiun loading ramp
akan diangkut oleh lori dan direbus di dalam sterilizer. Sterilizer adalah bejana
uap yang digunakan untuk merebus TBS. Sterilizer yang ada pada PKS PT. Salim
Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua sebanyak 3 unit dengan kapasitas masing-
masing sebesar 11 lori (45 ton). Tujuan dilakukannya proses perebusan adalah
sebagai berikut :
1. Mensterilkan tandan dan menonaktifkan enzim lipase untuk mencegah
larutnya asam lemak bebas.
2. Memudahkan berondolan lepas dari tandan sebelum pemisahan mekanik.
3. Mempersiapkan kemudahan pelepasan inti dari cangkang dengan
mengurangi daya rekat keduanya, serta mengeringkan inti sawit.
4. Mengurangi kadar air pada buah.
Proses perebusan atau sterilization dilakukan dengan sistem perebusan tiga
puncak. Puncak pertama dan kedua berlangsung selama 15 menit dan puncak
ketiga selama 60 menit.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
52
3) Stasiun Bantingan (Thresher)
Thresher berfungsi untuk memisahkan buah dari janjangannya dengan
cara membanting tandan buah segar (TBS) ke dalam drum thresher. Thresher ini
berupa drum silinder panjang yang berputar secara horizontal dengan kecepatan
putar 21 rpm. Drum dirancang dengan kisi–kisi yang berfungsi untuk meloloskan
berondolan. Thresher ini berkapasitas 30 ton/jam.
Stasiun Threshing terdiri dari beberapa bagian alat atau mesin dan dalam
proses pengoperasiannya sangat berkaitan satu sama lain. Maksud dan tujuan
desain dari pada stasiun ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk melepaskan buah (tandan buah segar yang sudah direbus) dengan
tandannya dengan sistem bantingan.
2. Untuk menjaga kestabilan/pemerataan secara kontinu agar kapasitas
pengolahan Tandan Buah Segar dapat tercapai sesuai desain pabrik dengan
pengoperasian hoist cycle, rpm auto feeder maupun supervisi yang benar.
3. Menjaga oil loss maupun kernel loss seoptimal mungkin agar berada
dibawah target/parameter yang sudah disepakati perusahaan.
4. Jadi, kapasitas desain saja tidaklah cukup untuk mendapatkan tujuan di
atas tanpa kesatuan sistem pengoperasian alat yang benar pada stasiun ini maupun
dukungan dari stasiun-stasiun lainnya.
4) Stasiun hoisting crane
Stasiun hoisting crane (penebah) adalah tahapan pemipilan berondolan
sawit dari tandannya. Prinsip penebahan adalah memutar dan membanting-
banting bahan dalam mesin penebah. Lori yang berisi tandan buah dan berondolan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
53
sawit masak diangkat menggunakan hoisting crane oleh seorang operator
hyskrane kemudian dituangkan ke dalam thresher atau mesin penebah.
5) Stasiun Press
Stasiun press merupakan stasiun utama dalam proses pemisahan minyak
dari sabut dan inti buah kelapa sawit. Pada stasiun ini, terdapat dua proses penting
yaitu digestion dan pressing.
Digestion merupakan proses pelumatan dan pelepasan daging buah dari
biji kelapa sawit. Alat yang digunakan adalah digester. Pada digester terdapat 6
pasang pisau yang terdiri dari 1 pasang pisau pelempar dan 5 pasang pisau
pengaduk.
Setelah proses digestion, tahap selanjutnya adalah pressing. Tahap ini
merupakan pemisahan minyak dari daging buah yang telah dilumatkan pada
proses digestion. Pada proses ini, bubur yang terdiri atas minyak, serat dan biji
akan dikempa secara padat ke segala arah sehingga minyak akan terlepas dari
ampas. Dari proses ini diperoleh minyak kasar, serat dan biji.
6) Stasiun Klarifikasi
Stasiun ini berperan dalam pemurnian minyak kasar yang diperoleh dari
hasil stasiun sebelumnya. Masukan dari stasiun ini adalah minyak kasar yang
berasal dari stasiun pengempaan. Partikel-partikel halus dalam minyak kasar
disaring menggunakan vibrating screen dengan dua tingkat saringan. Minyak
yang sudah disaring kemudian diendapkan untuk memisahkan minyak dengan
lumpur. Minyak murni disimpan pada storage tank atau tangki penimbunan
minyak. Tangki timbun yang digunakan sebanyak 3 unit dimana 2 unit tangki
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
54
masing-masing berkapasitas 500 ton dan 1 tangki berkapasitas 950 ton, sedangkan
lumpur akan dialirkan ke kolam penampungan limbah.
7) Stasiun Pabrik Biji (Kernel)
Pabrik biji berfungsi sebagai tempat untuk memisahkan kernel dan
cangkang, untuk menghasilkan inti sawit dengan mutu sesuai dengan standar yang
ditetapkan. Biji dan serat yang berasal dari stasiun pengempaan akan dipisah
menggunakan depericarper. Biji yang masih mengandung serabut akan
dibersihkan serabutnya menggunakan mesin polishing drum. Kemudian biji akan
dipecah menggunakan ripple mill. Cangkang yang sudah terpisah dari inti akan
dialirkan menuju boiler untuk dijadikan bahan bakar, sedangkan inti akan
ditampung dan dikeringkan di silo inti. Pengeringan dilakukan selama 12-14 jam.
Inti yang telah dikeringkan akan ditampung di kernel storage. Inti sawit ini
kemudian dikemas dan diangkut ke pengolahan inti sawit di PKS Bangko.
8) Stasiun Boiler (Ketel Uap)
Ketel uap merupakan suatu alat konversi energi yang merubah Air menjadi
Uap dengan cara pemanasan dan panas yang dibutuhkan air untuk penguapan
diperoleh dari pembakaran bahan bakar pada ruang bakar ketel uap. Uap (energi
kalor) yang dihasilkan ketel uap dapat digunakan pada semua peralatan yang
membutuhkan uap di pabrik kelapa sawit, terutama turbin. Turbin disini adalah
turbin uap dimana sumber penggerak generatornya adalah uap yang dihasilkan
dari ketel uap.
Selain turbin alat lain di pabrik kelapa sawit yang membutuhkan uap
seperti di sterilizer (Alat untuk memasak TBS) dan distasiun pemurnian minyak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
55
(Klarifikasi), oleh karena itu kualitas uap yang dihasilkan harus sesuai dengan
kebutuhan yang ada dipabrik kelapa sawit tersebut. karena jika tidak akan
mengganggu proses pengolahan dipabrik kelapa sawit.
Agar kualitas uap yang dihasilkan dari ketel uap sesuai dengan yang
diinginkan/dibutuhkan maka dibutuhkan sejumlah panas untuk menguapkan air
tersebut, dimana panas tersebut diperoleh dari pembakaran bahan bakar di ruang
bakar ketel. Untuk mendapatkan pembakaran yang sempurna didalam ketel maka
diperlukan beberapa syarat, yaitu:
1. Perbandingan pemakaian bahan bakar harus sesuai (cangkang dan
serabut).
2. Udara yang dipakai harus mencukupi.
3. Waktu yang diperlukan untutk proses pembakaran harus cukup.
4. Panas yang cukup untuk memulai pembakaran.
5. Kerapatan yang cukup untuk merambatkan nyala api
Dalam hal ini bahan bakar yang digunakan adalah serabut dan cangkang,
Adapaun alasan mengapa digunakan serabut dan cangkang sebagai bahan bakar
adalah :
1. Bahan bakar cangkang dan serabut cukup tersedia dan mudah diperoleh
dipabrik.
2. Cangkang dan serabut merupakan limbah dari pabrik kelapa sawit apabila
tidak digunakan.
3. Nilai kalor bahan bakar cangkang dan serabut memenuhi persyaratan
untuk menghasilkan panas yang dibutuhkan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
56
4. Sisa pembakaran bahan bakar dapat digunakan sebagai pupuk untuk
tanaman kelapa sawit.
5. Harga lebih ekonomis.
9) Stasiun Kamar Mesin
Secara umum, sumber energi yang digunakan PKS PT. Salim Ivomas
Pratama Tbk, Sungai Dua untuk menggerakkan mesin-mesin dan peralatan dalam
jumlah besar ada tiga, yaitu PLN, ketel uap (boiler) dan diesel genset. Sumber
utama yang digunakan untuk proses pengolahan adalah listrik yang dihasilkan
oleh boiler. Apabila boiler tidak mampu untuk proses pengolahan, maka diesel
genset pada stasiun kamar mesin akan dioperasikan. Sedangkan listrik PLN
biasanya digunakan untuk kebutuhan kantor.
10) Stasiun Water Treatment
Stasiun water treatment merupakan salah satu sarana pendukung yang
terdapat di PKS PT.Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua. Water Treatment
adalah stasiun pengolahan air yang digunakan untuk mendukung kelancaran
proses produksi. Air yang digunakan berasal dari waduk yang kemudian dipompa.
Sebelum operasi perlu diperhatikan beberapa hal seperti :
a. Pemeriksaan Pompa
1. Check alat berikut perangkat pendukungnya, (pastikan dalam kondisi baik
dan siap dioperasikan).
2. Pastikan tidak ada kebocoran atau sumbat pada pipa dan tangki.
3. Merekap Flow meter pada setiap pagi untuk perkiraan penggunaan air.
4. Periksa kondisi pompa dan motor dalam keadaan baik.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
57
5. Pastikan kawasan lingkungan bahan kimia bersih
b. Pengoperasian Mesin
1. Hidupkan Genset Hydrant setiap pagi selama 10 menit dan pastikan genset
dalam kondisi siap pakai.
2. Hidupkan pompa air dari waduk ke tangki Clarifier, dan nyalakan pompa
chemical.
3. Gunakan chemical sesuai dengan dosis yang telah ditentukan oleh pihak
laboratorium.
4. Pastikan air dari tangki Clarifier menuju ke Water Basin bersih dan jernih.
5. Pastikan level air pada Water Basin aman dan matikan pompa air dari
waduk ke tangki Clarifier apabila air di Water Basin sudah overflow.
6. Pastikan Sand Filter dalam kondisi baik dan lakukan backwash 3 jam
sekali atau sesuai kondisi.
7. Pastikan level air pada tangki tower selalu penuh.
8. Pastikan pengaturan air untuk proses dan domestik sudah sesuai dengan
ketentuan dari perusahaan.
4.2. Karakteristik Responden Pabrik Kelapa Sawit
4.2.1. Umur Sampel
Tabel 4.3. Distribusi Sampel Menurut Umur Tenaga Kerja Bagian Produksi
PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Tahun 2017
No. Umur (Tahun) Jumlah Persen (%)
1.
2.
3.
4.
26-30
31-35
36-40
41-45
3
1
11
7
13,6
4,5
50,0
31,8
Jumlah 22 100
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
58
Dari tabel diatas dapat dilihat distribusi sampel menurut umur yang
terbanyak pada kelompok umur 36-40 tahun sebanyak 11 orang (50,0%) dan
yang terkecil terdapat pada kelompok umur 31-35 tahun sebanyak 1 orang (4,5
%).
4.2.2. Masa Kerja Sampel
Tabel 4.4. Distribusi Sampel Menurut Masa Kerja Tenaga Kerja Bagian
Produksi PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua
Tahun 2017
No. Masa Kerja (Tahun) Jumlah Persen (%)
1.
2.
3.
4.
1-5
6-10
11-15
16-20
2
1
4
15
9,1
4,5
18,2
68,2
Jumlah 22 100
Dari tabel diatas dapat dilihat distribusi sampel menurut masa kerja yang
terbanyak pada kelompok 16-20 tahun sebanyak 15 orang (68,2%), kelompok 11-
15 tahun sebanyak 4 orang (18,2%), kelompok 6-10 tahun sebanyak 1 orang
(4,5%) dan kelompok 1-5 tahun sebanyak 2 orang (9,1%).
4.2.3. Stasiun Sampel Kerja
Tabel 4.5. Jumlah Sampel Berdasarkan Stasiun Kerja PKS PT. Salim
Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Tahun 2017
No. Stasiun / Bagian Jumlah (Orang)
1.
2.
3.
4.
Press
Kernel
Klarifikasi
Kamar Mesin
4
6
4
8
Jumlah 22
Dari tabel diatas dapat dilihat sampel terbanyak berasal dari stasiun kerja
kamar mesin sebanyak 8 orang, stasiun kerja kempa/pressan 4 orang, klarifikasi 4
orang, dan kernel sebanyak 6 orang.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
59
4.2.4. Intensitas Kebisingan
Tabel 4.6. Intensitas Kebisingan Pada Stasiun Kerja Sampel Tenaga Kerja
Bagian Produksi PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai
Dua Tahun 2017
No. Stasiun / Bagian Intensitas Kebisingan (dB)
1.
2.
3.
4.
Press
Kernel
Klarifikasi
Kamar Mesin
84,41
86,35
83,39
86,35
Dari tabel diatas dapat dilihat sebagian besar stasiun kerja tempat sampel
bekerja mempunyai intensitas kebisingan diatas 85 dB yaitu sebanyak 2 stasiun.
Untuk stasiun kernel intensitas kebisingannya diatas 85 dB dan Press mempunyai
intensitas kebisingan dibawah 85 dB. Stasiun ini menggunakan mesin tetapi
tingkat kebisingannya masih dibawah standart NAB, tetapi sumber kebisingan
lainnya berasal dari mesin-mesin yang ada pada stasiun lainnya. Untuk stasiun
klarifikasi intensitas kebisingannya masih dibawah 85 dB, dan kamar mesin
mempunyai kebisingan diatas 85 dB.
4.2.5. Gangguan Pendengaran
Tabel 4.7. Distribusi Sampel Berdasarkan Klasifikasi Tingkat Gangguan
Pendengaran Tenaga Kerja Bagian Produksi PKS PT. Salim
Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Tahun 2017
No. Gangguan Pendengaran Telinga Kanan Telinga Kiri
N % N %
1.
2.
3.
4.
5.
Normal 0-25 dB
Tuli ringan 26-40 dB
Tuli sedang 41-60 dB
Tuli berat 61-90 dB
Tuli sangat berat >90 dB
11
11
0
0
0
50,0
50,0
0
0
0
12
9
0
1
0
54,5
40,9
0
4,5
0
Jumlah 22 100 22 100
Dari tabel diatas dapat dilihat untuk telinga kanan sampel yang
pendengarannya normal sebanyak 11 orang (50,0%), tuli ringan sebanyak 11
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
60
orang (50,0%). Untuk telinga kiri sampel yang pendengarannya normal sebanyak
12 orang (54,5%), tuli ringan sebanyak 9 orang (40,9%), dan tuli berat sebanyak 1
orang (4,5%).
4.3. Tabulasi Silang antara Umur dan Masa Kerja dengan Gangguan
Pendengaran
Tabel 4.8. Tabulasi Silang antara Umur dan Masa Kerja dengan Gangguan
Pendengaran
Gangguan Pendengaran
Telinga Kanan
Total Gangguan Pendengaran
Telinga Kiri
Total
N TR TS TB TSB N TR TS TB TSB
Umur
26-30
31-35
36-40
41-45
3
1
3
4
0
0
8
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
1
11
7
3
1
4
4
0
0
7
2
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
3
1
11
7
Total 11 11 0 0 0 22 12 9 0 1 0 22
Masa
kerja
1-5
6-10
11-15
16-20
2
1
1
7
0
0
3
8
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
1
4
15
2
1
2
7
0
0
2
7
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
2
1
4
15
Total 11 11 0 0 0 22 12 9 0 1 0 22
Keterangan:
N : Normal 0-25 dB
TR : Tuli ringan 26-40 dB
TS : Tuli sedang 41-60 dB
TB : Tuli berat 61-90 dB
TSB : Tuli sangat berat >90 dB
Dari tabel 4.8. dapat dilihat hasil penelitian menunjukkan umur jumlah
sampel yang paling banyak mengalami gangguan pendengaran yaitu pada
kelompok umur 36-40 tahun dengan tuli ringan sebanyak 8 orang pada telinga
kanan dan 7 orang pada telinga kiri. Sedangkan telinga normal paling banyak
terdapat pada kelompok umur 36-40 tahun sebanyak 3 orang pada telinga kanan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
61
dan 4 orang pada telinga kiri. Pada kelompok umur 41-45 tahun terdapat 3 orang
yang mengalami tuli ringan pada telinga kanan, 2 orang mengalami tuli ringan
pada telinga kiri dan 1 orang mengalami tuli berat pada telinga kiri.
Berdasarkan masa kerja dapat dilihat masa kerja 16-20 tahun paling
banyak mengalami tuli ringan pada telinga kanan yaitu sebanyak 8 orang, serta 7
orang mengalami tuli ringan pada telinga kiri dan 1 orang mengalami tuli berat
pada telinga kirinya. Masa kerja 11-15 tahun paling banyak mengalami tuli ringan
pada telinga kanan sebanyak 3 orang dan terdapat 2 orang yang mengalami tuli
ringan pada telinga kanan.
4.4. Tabulasi Silang antara Stasiun Kerja dengan Gangguan Pendengaran
Tabel 4.9. Tabulasi Silang antara Stasiun Kerja dengan Gangguan
Pendengaran
Keterangan:
N : Normal 0-25 dB
TR : Tuli ringan 26-40 dB
TS : Tuli sedang 41-60 dB
TB : Tuli berat 61-90 dB
TSB : Tuli sangat berat >90 dB
Gangguan
Pendengaran Telinga
Kanan
Total Gangguan
Pendengaran Telinga
Kiri
Total
N TR TS TB TSB N TR TS TB TSB
Stasiun
Press
Kernel
Klarifikasi
Kamar
Mesin
4
2
4
1
0
4
0
7
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4
6
4
8
4
2
4
2
0
4
0
5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
4
6
4
8
Total 11 11 0 0 0
22 12 9 0 0 1 22
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
62
Pada tabel 4.9. hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 8 orang
pekerja pada stasiun press dan klarifikasi yang tingkat kebisingannya dibawah 85
dB, masih memiliki pendengaran yang normal pada telinga kanan dan telinga
kirinya. Sedangkan 14 pekerja lainnya pada stasiun kernel dan kamar mesin yang
tingkat kebisingannya sudah diatas 85 dB, didapat 3 orang yang pendengarannya
masih normal untuk telinga kanan dan 4 orang pada telinga kirinya. Dan terdapat
11 pekerja mengalami tuli ringan pada telinga kanan dan 9 pekerja mengalami
gangguan tuli ringan pada telinga kirinya, serta ada 1 pekerja mengalami
gangguan tuli berat pada telinga kirinya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
63
4.5. Tabulasi Silang antara Intensitas Kebisingan dengan Gangguan
Pendengaran
Tabel 4.10. Tabulasi Silang antara Intensitas Kebisingan dengan Gangguan
Pendengaran
Keterangan:
N : Normal 0-25 dB
TR : Tuli ringan 26-40 dB
TS : Tuli sedang 41-60 dB
TB : Tuli berat 61-90 dB
TSB : Tuli sangat berat >90 dB
Pada tabel 4.10. hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 8 orang
pekerja yang bekerja pada kebisingan dibawah 85 dB, masih memiliki
pendengaran yang normal pada telinga kanan dan telinga kirinya.
Sedangkan dari 14 orang yang bekerja pada tingkat kebisingan diatas 85 dB,
didapat 3 orang yang pendengarannya masih normal untuk telinga kanan dan 4
orang pada telinga kiri. Dan terdapat 11 orang mengalami tuli ringan pada telinga
kanan dan 9 orang pada telinga kiri, serta 1 orang mengalami tuli berat pada
telinga kiri.
4.6. Hubungan Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran
Setelah data diperoleh, maka data kebisingan dan gangguan pendengaran
telinga kanan dan telinga kiri harus diuji apakah telah berdistribusi normal. Untuk
Gangguan
Pendengaran Telinga
Kanan
Tota
l
Gangguan
Pendengaran Telinga
Kiri
Tota
l
Intensitas
Kebisinga
n
≤ 85 dB
>85 Db
N
T
R
T
S
T
B
TS
B
N T
R
T
S
T
B
TS
B
8
3
0
11
0
0
0
0
0
0
8
14
8
4
0
9
0
0
0
1
0
0
8
14
Total 1
1
11 0 0 0 22 1
2
9 0 1 0 22
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
64
menguji kenormalan data digunakan One Sample Kolmogorof Smirnov Test. Dan
untuk melihat hubungan kebisingan dengan gangguan pendengaran tenaga kerja
bagian produksi di PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Kabupaten
Rokan Hilir tahun 2017, maka dilakukan Uji Korelasi Spearman dengan taraf
signifikansi ( α ) sebesar 0,05.
Hasil pengujian statistik hubungan kebisingan dengan gangguan
pendengaran dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.11. Hubungan Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran Tenaga
Kerja Bagian Produksi PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk,
Sungai Dua Tahun 2017
No. Hubungan Variabel N R p
1.
2.
Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran Telinga
Kanan
Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran Telinga
Kiri
22
22
0,756
0,679
0,000
0,001
Untuk telinga kanan, didapat korelasi positif antara intesitas kebisingan
dengan gangguan pendengaran pekerja, artinya terdapat hubungan antara kedua
variabel yaitu kenaikan intensitas kebisingan akan diikuti naiknya nilai ambang
gangguan pendengaran pada tenaga kerja. Hal ini dapat dilihat dari hasil koefisien
korelasi sebesar 0,756. Dari hasil uji korelasi diatas, didapat p < 0,05 yang artinya
ada hubungan kebisingan dengan gangguan pendengaran.
Untuk telinga kiri, didapat korelasi positif antara intensitas kebisingan
dengan gangguan pendengaran pekerja, artinya terdapat hubungan antara kedua
variabel yaitu kenaikan intensitas kebisingan akan diikuti naiknya nilai ambang
gangguan pendengaran pada tenaga kerja. Hal ini dapat dilihat dari hasil koefisien
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
65
korelasi sebesar 0,679. Dari hasil uji korelasi diatas, didapat p < 0,05 yang artinya
ada hubungan kebisingan dengan gangguan pendengaran.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
66
BAB V
PEMBAHASAN
5.1.Karakteristik Responden Pabrik Kelapa Sawit
5.1.1. Umur Sampel
Dari tabel 4.3. dapat dilihat bahwa sampel terbanyak terdapat pada
kelompok umur 36-40 tahun sebanyak 11 orang (50,0%) dan kelompok umur 41-
45 tahun sebanyak 7 orang (31,8%).
Secara umum faktor usia merupakan salah satu faktor risiko yang
berhubungan dengan terjadinya penurunan pendengaran, walaupun bukan
merupakan faktor yang terkait langsung dengan kebisingan di tempat kerja.
Beberapa perubahan yang terkait dengan pertambahan usia dapat terjadi pada
telinga. Membran yang ada di telinga bagian tengah, termasuk di dalamnya
gendang telinga menjadi kurang fleksibel karena bertambahnya usia. Selain itu,
tulang-tulang kecil yang terdapat di telinga bagian tengah juga menjadi lebih kaku
dan sel-sel rambut di telinga bagian dalam dimana koklea berada juga mengalami
kerusakan.
Penyebab paling umum terjadinya gangguan pendengaran terkait usia
adalah presbycusis. Presbycusis ditandai dengan penurunan persepsi terhadap
bunyi frekuensi tinggi dan penurunan kemampuan membedakan bunyi.
Presbycusis diasumsikan menyebabkan kenaikan ambang dengar 0,5 dB setiap
tahun, dimulai dari usia 40 tahun (Djojodibroto, 1999). Namun apabila seseorang
sering terpapar kebisingan diatas 85 dB, walaupun usianya belum sampai 40
tahun, kemampuan pendengarannya dapat menurun. Hal ini dapat dilihat dari
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
67
tabel 4.3. dimana pada sampel dengan umur dibawah 40 tahun yaitu kelompok
umur 36-40 tahun dari 11 sampel sebanyak 8 orang mengalami tuli ringan pada
telinga kanannya, dan pada telinga kiri 7 orang mengalami tuli ringan.
Usia diatas 40 tahun ditambah terpapar kebisingan yang tinggi dapat
memperparah tingkat ketulian, hal ini dapat dilihat untuk untuk kelompok umur
41-45 tahun dari 7 orang sampel, pada telinga kanan terdapat 3 orang mengalami
tuli ringan dan pada telinga kiri 2 orang mengalami tuli ringan bahkan 1 orang
mengalami tuli berat. Dalam hal ini faktor lain yaitu tingkat kebisingan
mempengaruhi tingkat ketulian tersebut (Boeis, 1997).
5.1.2. Masa Kerja Sampel
Lama bekerja sampel yang lebih dari 8 jam sehari menyebabkan sampel
terpapar kebisingan lebih lama. NAB kebisingan menurut Permenaker RI
No.13/MEN/X/2011 adalah 85 dB untuk 8 jam kerja perhari. Lama bekerja
sampel yang melewati NAB dapat menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya
gangguan pendengaran pada sampel.
Pada tabel 4.9. dapat dilihat untuk gangguan pendengaran, pada telinga
kanan terdapat 3 orang dengan masa kerja 11-15 tahun yang mengalami tuli
ringan dan pada telinga kiri 2 orang mengalami tuli ringan, masa kerja 16-20
tahun pada telinga kanan 8 orang dengan mengalami tuli ringan dan pada telinga
kiri 7 orang mengalami tuli ringan, 1 orang mengalami tuli berat.
Masa kerja yang lama di tempat kerja yang bising merupakan faktor yang
mempengaruhi kemampuan pendengaran. Fahri (2009) dalam penelitiannya
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
68
menemukan ada hubungan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran
pekerja. Tetapi hal ini tidak berarti semakin lama masa kerja, tingkat kemampuan
pendengarannya lebih buruk dibandingkan dengan yang masa kerjanya lebih
sedikit, hal ini dapat dilihat dari hasil dimana masa kerja 11-15 tahun terdapat 1
orang yang pendengarannya normal pada telinga kanan dan 2 orang normal pada
telinga kiri, pada masa kerja 16-20 tahun terdapat 7 orang mempunyai
pendengaran yang normal.
(Soepardi, dkk. 2012) mengatakan masa kerja yang lama di tempat kerja
yang bising merupakan faktor yang mempengaruhi kemampuan pendengaran.
Tetapi hal ini tidak berarti semakin lama masa kerja, tingkat kemampuan
pendengarannya lebih buruk dibandingkan dengan yang masa kerjanya lebih
sedikit. Penurunan kemampuan pendengaran akibat bising dapat terjadi dalam
jangka waktu yang cukup lama, biasanya lima tahun atau lebih. Pekerja yang
menjadi sampel dalam penelitian ini telah memiliki masa kerja yang lama (>10
tahun), hal ini menyebabkan semua sampel beresiko mengalami penurunan
kemampuan pendengaran.
5.1.3. Stasiun Kerja
Dari hasil pengukuran dapat dilihat bahwa intensitas kebisingan di
beberapa stasiun kerja bagian produksi ini telah melewati NAB kebisingan
menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No.13/MEN/X/2011 yaitu 85 dB
untuk waktu kerja 8 jam sehari. Untuk stasiun kamar mesin dan kernel intensitas
kebisingannya diatas 85 dB untuk stasiun klarifikasi dan press mempunyai
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
69
intensitas kebisingan dibawah 85 dB. Stasiun ini tidak menggunakan mesin tetapi
sumber kebisingannya berasal dari mesin-mesin pada stasiun lain.
Stasiun pabrik biji (kernel) mempunyai intensitas kebisingan diatas 85 dB.
Hal ini disebabkan oleh penggunaan mesin-mesin seperti depericarper, polishing
drum dan ripple mill. Selain itu posisi stasiun pabrik biji berada dekat dengan
kamar mesin yang menyebabkan intensitas kebisingannya cukup tinggi. Dengan
posisi mesin yang saling berdekatan, hampir seluruh pekerja beresiko terpapar
kebisingan yang tinggi. Walaupun ada stasiun kerja yang tidak menggunakan
mesin, tetap saja intensitas kebisingannya cukup tinggi. Hal ini disebabkan letak
stasiun kerja yang berdekatan dan berada dalam satu lokasi. Adanya kebijakan
perusahaan yang melakukan pertukaran pekerja antar stasiun juga menyebabkan
setiap pekerja pernah terpapar kebisingan.
Pada stasiun kernel dan kamar mesin terdapat 11 orang mengalami tuli
ringan pada telinga kanannya, 9 orang mengalami tuli ringan pada telinga kirinya
dan terdapat 1 pekerja di stasiun kamar mesin mengalami tuli berat pada telinga
kirinya. Pekerja pada stasiun ini merupakan sampel yang paling banyak
mengalami gangguan pendengaran 11 pekerja pada telinga kanan dan 10 pekerja
pada telinga kiri, dikarenakan kondisi lingkungan yang sangat bising.
Beberapa stasiun seperti kamar mesin, stasiun pabrik biji (kernel), stasiun
klarifikasi dan stasiun boiler lokasinya saling berdekatan sehingga mesin-mesin
yang beroperasi mengeluarkan intensitas kebisingan cukup tinggi, pekerja juga
jarang menggunakan APT saat bekerja. Karena jenis APT yang diberikan
perusahaan kurang nyaman untuk dipakai, sehingga beberapa pekerja memilih
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
70
untuk tidak menggunakan APT dan ada yang menggunakan kapas sebagai
penyumbat telinga.
Beberapa pekerja tidak mengetahui bahwa dengan menggunakan kapas
saja tidak dapat mengurangi paparan bising yang ada di lingkungan kerja, hal
tersebut menyebabkan pekerja pada kedua stasiun ini lebih beresiko mengalami
gangguan pendengaran, untuk itu kepada perusahaan disarankan melakukan
pengawasan terhadap pekerja dalam penggunaan alat pelindung telinga. Bagi
pekerja di stasiun pabrik biji (kernel) dan kamar mesin supaya di ganti jenis APT
nya menjadi tutup telinga (ear muff), tutup telinga ini biasanya lebih efektif dari
pada sumbat telinga (ear plug) dan dapat lebih besar menurunkan intensitas
kebisingan yang sampai ke saraf pendengar serta nyaman untuk digunakan ketika
bekerja.
5.1.4. Gangguan Pendengaran
Dari pengukuran audiometri, dapat dilihat klasifikasi tingkat kemampuan
pendengaran pekerja. Dari tabel 4.7. telinga kanan sampel lebih banyak
mengalami gangguan pendengaran dibandingkan telinga kiri. Hal ini dapat dilihat
dari jumlah pendengaran normal untuk telinga kanan sebanyak 11 orang (50,0%),
lebih sedikit daripada jumlah pendengaran normal untuk telinga kiri sebanyak 12
orang (54,5%). Tuli ringan untuk telinga kanan jumlahnya lebih banyak yaitu
sebanyak 11 orang (50,0%) dibandingkan tuli ringan untuk telinga kiri sebanyak 9
orang (40,9%). Untuk tuli sedang pada telinga kanan dan telinga kiri tidak ada.
Untuk tuli berat pada telinga kanan tidak ada, sedangkan pada telinga kiri
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
71
sebanyak 1 orang (4,5%) dan untuk tuli sangat berat pada telinga kanan dan
telinga kiri tidak ada.
Pekerja yang telinga kanan dan kirinya normal keseluruhan besar bekerja
pada stasiun yang intensitas kebisingannya di bawah 85 dB. Untuk tuli ringan
pada telinga kanan terdapat pada 11 orang yang bekerja di stasiun dengan
intensitas kebisingan diatas 85 dB, yaitu pada pekerja stasiun kamar mesin dan
stasiun pabrik biji (kernel) dengan intensitas kebisingan masing-masing 86,35 dB,
umur diatas 36 tahun dengan masa kerja diatas 11 tahun. Untuk tuli ringan pada
telinga kiri terdapat 9 orang yang bekerja di stasiun dengan intensitas kebisingan
diatas 85 dB, yaitu pada pekerja stasiun kamar mesin dan pabrik biji (kernel)
dengan intensitas kebisingan 86,35 dB, dengan umur diatas 36 tahun dan masa
kerja lebih dari 11 tahun.
Terdapat 1 orang pekerja mengalami tuli berat pada telinga kirinya dan
tuli ringan pada telinga kanan. Pekerja tersebut bekerja pada stasiun kamar mesin
dengan intensitas kebisingan 86,35 dB, masa kerja yang sudah cukup lama
hampir 15 tahun serta usia yang sudah diatas 40 tahun menjadi salah satu faktor
yang mempengaruhi pekerja tersebut mengalami gangguan pendengaran pada
kedua telinganya. Pekerja juga memiliki riwayat gangguan pendengaran pada
telinga kirinya, hal ini disebabkan masuknya cairan kedalam telinga namun tidak
pernah diobati. Sehingga saat ini gangguan pendengaran yang dialaminya semakin
parah akibat terpaparnya kebisingan di tempat kerja.
Stasiun kamar mesin lokasinya sangat dekat dengan stasiun pabrik biji
(kernel) dan boiler yang juga menghasilkan intensitas kebisingan cukup tinggi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
72
(impulsive noise). Namun ada 2 orang pekerja pada stasiun kamar mesin masih
memiliki pendengaran yang normal pada telinga kanan dan kirinya, hal ini
dipengaruhi karena pekerja rutin menggunakan APT ketika bekerja dan usianya
yang masih dibawah 40 tahun. Menurut Achmadi (2013), bahwa usia merupakan
faktor yang tidak secara langsung memengaruhi keluhan subjektif gangguan
pendengaran akibat kebisingan, namun pada usia di atas 40 tahun akan lebih
mudah mengalami gangguan pendengaran dan rentan terhadap trauma akibat
bising. Penurunan daya dengar secara alamiah yang diasumsikan mengakibatkan
peningkatan ambang pendengaran 0,5 dB(A) tiap tahun sejak usia 40 tahun.
Terdapat perbedaan pada gangguan pendengaran antara telinga kanan dan telinga
kiri, hal ini dikarenakan posisi pekerja lebih sering mengahadap ke sebelah kanan
ketika sehingga telinga kanan lebih sering terpapar kebisingan.
5.2.Hubungan Intensitas Kebisingan dengan Kemampuan Pendengaran
Salah satu faktor lingkungan kerja yang dapat menimbulkan penyakit
akibat kerja adalah kebisingan. Kebisingan di tempat kerja dapat mengakibatkan
mengurangi kenyamanan, ketenangan kerja, mengganggu indera pendengaran,
mengakibatkan penurunan daya dengar dan bahkan mengakibatkan ketulian
menetap kepada tenaga kerja yang terpapar kebisingan.
Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss/NIHL)
adalah penurunan pendengaran tipe sensorineural, yang pada awalnya tidak
disadari karena belum mengganggu percakapan sehari-hari. Sifat gangguannya
adalah tuli sensorineural tipe koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga.
Faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian ialah intensitas
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
73
bising, frekuensi, lama pajanan perhari, lama masa kerja, kepekaan individu, umur
dan faktor lain yang dapat berpengaruh (Manoppo, dkk. 2013).
Pendengaran normal mempunyai nilai ambang batas pendengaran dari 0
dB sampai 25 dB. Tenaga kerja mengalami gangguan pendengaran akibat bising
apabila nilai ambang pendengarannya diatas 25 dB. Dari tabel 4.7. dapat dilihat
dari 22 sampel, sebanyak 11 sampel mengalami gangguan pendengaran untuk
telinga kanan dan 10 sampel mengalami gangguan pendengaran untuk telinga kiri.
Gangguan pendengaran terjadi secara perlahan, sehingga hal ini sering tidak
disadari oleh penderitanya. Ketika penderita mulai mengeluh kurang pendengaran,
biasanya penurunan kemampuan pendengaran sudah dalam tahap yang tidak dapat
disembuhkan.
Dari hasil pengukuran diperoleh sampel yang bekerja pada stasiun yang
memiliki intensitas kebisingan lebih tinggi mengalami gangguan pendengaran, hal
tersebut juga dipengaruhi dengan lama paparan yang diperoleh pekerja, masa
kerja yang cukup lama serta kurangnya pemakaian alat pelindung telinga ketika
bekerja. Dalam hal ini masa kerja juga merupakan salah satu faktor yang
menentukan derajat penurunan pendengaran. Masa kerja berpengaruh besar
terhadap kondisi temporary threshold shift (TTS) yang dialami pekerja. Ketika
kelompok pekerja yang menderita TTS banyak dengan masa kerja pekerja yang
lama maka akan meningkatkan jumlah gangguan pendengaran pada pekerja.
Berdasarkan hasil observasi terlihat bahwa terdapat perilaku buruk pekerja
yaitu tidak selalu menggunakan alat pelindung telinga ketika bekerja di tempat
yang bising. Pekerja tersebut beralasan bahwa APT yang diberikan tidak nyaman
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
74
dan kadang menimbulkan sakit di telinga. Walaupun alat pelindung telinga
tersebut tidak nyaman seharusnya pekerja tetap menggunakannya untuk
mengurangi paparan bising kontinu yang diterima pekerja. Pada penelitian ini
masih ada juga ditemukan beberapa pekerja yang menggunakan pelindung telinga
berupa kapas dan headset. Beberapa faktor- faktor diatas merupakan penyebab
terjadinya gangguan pendengaran pada pekerja.
Untuk melihat apakah ada hubungan kebisingan dengan gangguan
pendengaran pada tenaga kerja bagian produksi digunakan uji korelasi spearman
dengan taraf signifikansi α sebesar 0,05. Dari hasil uji diketahui ada hubungan
intensitas kebisingan dengan gangguan pendengaran pada tenaga kerja baik untuk
telinga kanan maupun telinga kiri dari nilai p < 0,05, dan didapat korelasi positif
antara intensitas kebisingan dengan gangguan pendengaran tenaga kerja, artinya
terdapat hubungan antara kedua variabel.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
75
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Dari 10 stasiun yang ada di PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai
Dua hanya 4 stasiun kerja yang diukur, intensitas kebisingan pada 2
stasiun kerja telah melebihi 85 dB yaitu pada stasiun kamar mesin dan
stasiun pabrik biji (kernel). 2 stasiun lainnya memiliki tingkat kebisingan
dibawah 85 dB yaitu stasiun klarifikasi dan stasiun press.
2. Dari 22 orang pekerja yang menjadi sampel, sebagian besar sampel
mengalami gangguan pendengaran pada telinga kanan maupun telinga kiri.
Pada telinga kanan 11 orang mempunyai pendengaran normal, 11 orang
mengalami tuli ringan. Pada telinga kiri 12 orang mempunyai pendengaran
normal, 9 orang mengalami tuli ringan dan 1 orang mengalami tuli berat.
3. Ada hubungan antara intensitas kebisingan dengan gangguan pendengaran
pekerja.
6.2. Saran
1. Perlu adanya penyuluhan dan sosialisasi kepada pekerja akan pentingnya
pemakaian alat pelindung telinga saat bekerja dan dampak yang
diakibatkan dari kebisingan terhadap kesehatan bila tidak mengunakan alat
pelindung telinga ketika berada di lingkungan kerja yang bising.
2. Melakukan pengawasan terhadap pekerja dalam penggunaan alat
pelindung telinga dan memberikan sanksi kepada pekerja yang tidak
menggunakan alat pelindung telinga.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
76
3. Bagi pekerja yang sudah mengalami gangguan pendengaran agar lebih
rutin menggunakan APT ketika bekerja, supaya kondisi pendengaran nya
tidak semakin memburuk, dan disarankan bagi pekerja yang mengalami
tuli berat untuk mengobati pendengaran nya pada tenaga medis.
4. Bagi perusahaan sebaiknya memberikan APT jenis ear muff untuk pekerja
yang berada di stasiun khususnya yang memiliki intensitas kebisingan
diatas 85 dB.
5. Perusahaan sebaiknya melakukan pemeriksaan kesehatan telinga secara
berkala yaitu sekali 6 bulan kepada pekerja.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
77
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U. F. 1993. Upaya Kesehatan Kerja Sektor Informal di Indonesia.
Jakarta: Depkes RI. http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2015-
08/S45457Endra%20Muhamad%20Fadillah. Diakses pada tanggal 15 Mei
2017.
American Speech-Language Hearing Association (ASHA). 2011. Type, Degree,
and Configuration of Hearing Loss. Audiology Information Series: ASHA.
Anggraeni, D. 2006. Hubungan Antara Lama Pemaparan Kebisingan Menurut
Masa Kerja Dengan Keluhan Subyektif Tenaga Kerja Bagian Produksi PT.
Sinar Sosro Ungaran Semarang. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
Semarang. http://lib.unnes.ac.id/679/1/1249.pdf. Diakses pada tanggal 15
Mei 2017.
Anies. 2009. Kedokteran Okupasi: Berbagai Penyakit Akibat Kerja dan Upaya
Penanggulangan dari Aspek Kedokteran. AR-RUZZ MEDIA, Yogyakarta.
Anizar. 2009. Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri. Cetakan
Pertama. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Candra, B. 2008. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Deo, M. 2012. Pengaruh Intensitas Kebisingan terhadap Gangguan Fungsi
Pendengaran pada Tenaga Kerja Bagian Weaving di PT. Iskandar Indah
Printing Textile Surakarta. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/28454/Pengaruh-Intensitas-
Kebisingan-terhadap-Gangguan-Fungsi-Pendengaran-pada-Tenaga-Kerja-
Bagian-Weaving-di-PT-Iskandar-Indah-Printing-Textile-Surakarta.
Diakses pada 15 Mei 2017.
Djojodibroto, D. R. 1999. Kesehatan Kerja di Perusahaan. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama.
European Agency for Safety and Health at Work. 2008. What Problem Can Noise
Cause. Diunduh dari file:///C:/Users/USER/Downloads/Magazine_8_-
_Noise_at_work.pdf. Diakses pada tanggal 25 September 2017
Gunawanta. 2002. Kebisingan Pada Industri Dampak dan Strategi
Penanggulangannya. Seminar Nasional Pelaksanaan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) Dalam Menghadapi OTDA dan AFTA. Medan.
Kepmenaker No.13 /MEN/X/2011 Tentang NAB Faktor Fisika dan kimia di
Tempat Kerja
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
78
file:///C:/Users/USER/AppData/Local/Temp/PERMENA.pdf. Diakses
pada 30 April 2017.
Kusumawati, I. 2012. Hubungan Tingkat Kebisingan di Lingkungan Kerja dengan
Kejadian Gangguan Pendengaran pada Pekerja di PT X. Skripsi. Depok:
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20320210-S-Indah%20Kusumawati.pdf.
Diakses pada 15 Mei 2017.
Listyaningrum, A. W. 2011. Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Ambang
Dengar Pada Tenaga Kerja Di PT Sekar Bengawan Kabupaten
Karanganyar. Laporan Tugas Akhir. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
https://eprints.uns.ac.id/3763/1/203030811201111431.pdf. Diakses pada
15 Mei 2017.
Manoppo, N. F., Wenny Supit dan Vennetia Danes. 2013. Hubungan Antara
Kebisingan Dan Fungsi Pendengaran Pada Petugas PT. Gapura Angkasa
Di Bandar Udara Sam Ratulangi Manado.
file:///C:/Users/USER/Downloads/3620-6828-1-SM.pdf. Diakses pada 15
Mei 2017.
Notoatmodjo, S. 2005. Metode Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
PER.08/MEN/VII/2010 Tentang Alat Pelindung Diri http://www.gmf-
aeroasia.co.id/wp-content/uploads/bsk-pdf
manager/125_PERMENAKERTRANS_NO._PER.08_MEN_VII_2010_T
ENTANG_ALAT_PELINDUNG_DIRI.PDF. Diakses pada 29 Oktober
2017
Permaningtyas, L. D. 2011. Hubungan Lama Masa Kerja Dengan Kejadian Noise-
Induced Hearing Loss Pada Pekerja Home Industry Knalpot Di Kelurahan
Purbalingga LOR. Mandala of Health.Vol. 5. No. 3. September 2011: 1-5.
http://fk.unsoed.ac.id/sites/default/files/img/mandala%20of%20health/HU
BUNGAN%20LAMA%20MASA%20KERJA%20DENGAN%20KEJADI
AN%20NOISE-
INDUCED%20HEARING%20LOSS%20PADA%20PEKERJA%20HOM
E%20INDUSTRY%20KNALPOT.pdf. Diakses pada 15 Mei 2017.
Primadona, A. 2012. Analisis Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan
Penurunan Pendengaran Pada Pekerja Di PT. Pertamina Geothermal
Energy Area Kamojang. Skripsi. Universitas Indonesia. Jakarta.
file:///C:/Users/USER/AppData/Local/Temp/digital_20295579-S-
Amira%20Primadona.pdf. Diakses pada 25 September 2017.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
79
Sugiono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D); Alfabeta. Bandung
Salami, I. R. S., dkk. 2015. Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan Kerja.
Cetakan Pertama. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Siregar, M. A. P. 2010. Hubungan Kebisingan Dengan Kemampuan Pendengaran
Tenaga Kerja Bagian Pengolahan Pabrik Kelapa Sawit Adolina PTPN IV
Kabupaten Serdang Bedagai
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/29911/Chapter%20
III-VI.pdf?sequence=3&isAllowed=n. Diakses pada tanggal 15 Mei 2017.
Soepardi, E. A. dan Iskandar, N. 2012. Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala &
Leher Edisi ke tujuh cetakan ke 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Soeripto. 2008. Higene Industri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Soepardi, E. A. dan Iskandar, N. 2001. Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala &
Leher Edisi ke 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Subaris, H. dan Haryono. 2008. Hygiene Lingkungan Kerja. Cetakan Kedua.
Mitra Cendikia Press, Yogyakarta.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Cetakan
Kedelapan. Alfabeta, Bandung.
Suma’mur, P. K. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES).
CV Sagung Seto, Jakarta.
Tambunan, S. 2005. Kebisingan di Tempat Kerja (Occupational Noise). Andi.
Jakarta.
Utami, I. W. 2010. Hubungan Tingkat Pemaparan Kebisingan Dengan Gangguan
Pendengaran Pada Pengemudi Becak Mesin Di Kota Pematang Siantar
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/22165. Diakses pada tanggal
15 Mei 2017.
World Health Organization (WHO). 2015. Grades of Hearing Loss Impairment.
Website: http://www.who.int/deafness/hearing_impairment_grades/en/
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
80
Lampiran 1. Master Data
No. Umur Masa
Kerja
Stasiun
Kerja
Intensitas
Kebisingan
Gangguan
Pendengaran
Telinga
Kanan
Gangguan
Pendengara
n Telinga
Kiri
1. 1 1 3 1 1 1
2. 1 1 2 2 1 1
3. 4 4 4 2 2 4
4. 1 2 1 1 1 1
5. 4 4 1 1 1 1
6. 3 3 4 2 2 1
7. 4 4 2 2 1 1
8. 3 4 3 1 1 1
9. 2 3 4 2 1 1
10. 3 4 4 2 2 2
11. 3 4 2 2 2 2
12. 4 4 4 2 2 2
13. 3 4 3 1 1 1
14. 3 3 4 2 2 2
15. 4 4 2 2 2 2
16. 3 4 4 2 2 2
17. 3 4 1 1 1 1
18. 4 4 1 1 1 1
19. 3 4 4 2 2 2
20. 3 4 2 2 2 2
21. 4 4 3 1 1 1
22. 3 3 2 2 2 2
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
81
Keterangan :
a. Umur
1 = 26-30 tahun
2 = 31-35 tahun
3 = 36-40 tahun
4 = 41-45 tahun
b. Masa Kerja
1 = 1-5 tahun
2 = 6-10 tahun
3 = 11-15 tahun
4 = 16-20 tahun
c. Stasiun Kerja
1 = Press
2 = Kernel
3 = Klarifikasi
4 = Kamar Mesin
d. Intensitas Kebisingan
1 = <= 85 dB
2 = > 85 dB
e. Gangguan Pendengaran Telinga Kanan
1 = Normal
2 = Tuli Ringan
3 = Tuli Sedang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
82
4 = Tuli Berat
5 = Tuli Sangat Berat
f. Gangguan Pendengaran Telinga Kiri
1 = Normal
2 = Tuli Ringan
3 = Tuli Sedang
4 = Tuli Berat
5 = Tuli Sangat Berat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
83
Lampiran 2. Output SPSS
I. Karakteristik Sampel
Statistics
umur (tahun)
masa kerja
(tahun)
Stasiun Kerja
Sampel
Intensitas
Kebisingan
Gangguan
Pendengaran
Telinga
Kanan
Gangguan
Pendengaran
Telinga Kiri
N Valid 22 22 22 22 22 22
Missing 0 0 0 0 0 0
umur (tahun)
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 26-30 3 13.6 13.6 13.6
31-35 1 4.5 4.5 18.2
36-40 11 50.0 50.0 68.2
41-45 7 31.8 31.8 100.0
Total 22 100.0 100.0
masa kerja (tahun)
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1-5 2 9.1 9.1 9.1
6-10 1 4.5 4.5 13.6
11-15 4 18.2 18.2 31.8
16-20 15 68.2 68.2 100.0
Total 22 100.0 100.0
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
84
Stasiun Kerja Sampel
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid press 4 18.2 18.2 18.2
kernel 6 27.3 27.3 45.5
klarifikasi 4 18.2 18.2 63.6
kamar mesin 8 36.4 36.4 100.0
Total 22 100.0 100.0
II. Hasil Pengukuran
Gangguan Pendengaran Telinga Kanan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Normal 11 50.0 50.0 50.0
Tuli Ringan 11 50.0 50.0 100.0
Total 22 100.0 100.0
Gangguan Pendengaran Telinga Kiri
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Normal 12 54.5 54.5 54.5
Tuli Ringan 9 40.9 40.9 95.5
Tuli Berat 1 4.5 4.5 100.0
Total 22 100.0 100.0
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
85
III. Uji Kenormalan Data
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Gangguan
Pendengaran Telinga
Kanan
Gangguan
Pendengaran Telinga
Kiri
N 22 22
Normal Parametersa Mean 1.50 1.55
Std. Deviation .512 .739
Most Extreme Differences Absolute .336 .315
Positive .336 .315
Negative -.336 -.230
Kolmogorov-Smirnov Z 1.575 1.479
Asymp. Sig. (2-tailed) .014 .025
a. Test distribution is Normal.
IV. Hasil Uji Korelasi Spearman **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations
Intensitas
Kebisingan
Gangguan
Pendengara
n Telinga
Kanan
Gangguan
Pendengar
an Telinga
Kiri
Spearman's
rho
Intensitas Kebisingan Correlation
Coefficient 1.000 .756** .679**
Sig. (2-tailed) . .000 .001
N 22 22 22
Gangguan
Pendengaran Telinga
Kanan
Correlation
Coefficient .756** 1.000 .898**
Sig. (2-tailed) .000 . .000
N 22 22 22
Gangguan
Pendengaran Telinga
Kiri
Correlation
Coefficient .679** .898** 1.000
Sig. (2-tailed) .001 .000 .
N 22 22 22
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
86
Correlations
Intensitas
Kebisingan
Gangguan
Pendengara
n Telinga
Kanan
Gangguan
Pendengar
an Telinga
Kiri
Spearman's
rho
Intensitas Kebisingan Correlation
Coefficient 1.000 .756** .679**
Sig. (2-tailed) . .000 .001
N 22 22 22
Gangguan
Pendengaran Telinga
Kanan
Correlation
Coefficient .756** 1.000 .898**
Sig. (2-tailed) .000 . .000
N 22 22 22
Gangguan
Pendengaran Telinga
Kiri
Correlation
Coefficient .679** .898** 1.000
Sig. (2-tailed) .001 .000 .
N 22 22 22
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
87
V. Tabulasi Silang antara Umur, Masa Kerja, Stasiun Kerja dan
Intensitas Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
umur (tahun) * Gangguan
Pendengaran Telinga
Kanan
22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
umur (tahun) * Gangguan
Pendengaran Telinga Kiri 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
masa kerja (tahun) *
Gangguan Pendengaran
Telinga Kanan
22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
masa kerja (tahun) *
Gangguan Pendengaran
Telinga Kiri
22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
umur (tahun) * Gangguan Pendengaran Telinga Kanan Crosstabulation
Gangguan Pendengaran Telinga Kanan
Total Normal Tuli Ringan
umur (tahun) 26-30 3 0 3
31-35 1 0 1
36-40 3 8 11
41-45 4 3 7
Total 11 11 22
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
88
umur (tahun) * Gangguan Pendengaran Telinga Kiri Crosstabulation
Gangguan Pendengaran Telinga Kiri
Total Normal Tuli Ringan Tuli Berat
umur (tahun) 26-30 3 0 0 3
31-35 1 0 0 1
36-40 4 7 0 11
41-45 4 2 1 7
Total 12 9 1 22
masa kerja (tahun) * Gangguan Pendengaran Telinga Kanan Crosstabulation
Gangguan Pendengaran Telinga Kanan
Total Normal Tuli Ringan
masa kerja (tahun) 1-5 2 0 2
6-10 1 0 1
11-15 1 3 4
16-20 7 8 15
Total 11 11 22
masa kerja (tahun) * Gangguan Pendengaran Telinga Kiri Crosstabulation
Gangguan Pendengaran Telinga Kiri
Total Normal Tuli Ringan Tuli Berat
masa kerja (tahun) 1-5 2 0 0 2
6-10 1 0 0 1
11-15 2 2 0 4
16-20 7 7 1 15
Total 12 9 1 22
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
89
Stasiun Kerja Sampel * Gangguan Pendengaran Telinga Kanan Crosstabulation
Gangguan Pendengaran Telinga
Kanan
Total Normal Tuli Ringan
Stasiun Kerja Sampel press 4 0 4
kernel 2 4 6
klarifikasi 4 0 4
kamar mesin 1 7 8
Total 11 11 22
Stasiun Kerja Sampel * Gangguan Pendengaran Telinga Kiri Crosstabulation
Gangguan Pendengaran Telinga Kiri
Total Normal Tuli Ringan Tuli Berat
Stasiun Kerja Sampel press 4 0 0 4
kernel 2 4 0 6
klarifikasi 4 0 0 4
kamar mesin 2 5 1 8
Total 12 9 1 22
Intensitas Kebisingan * Gangguan Pendengaran Telinga Kanan Crosstabulation
Gangguan Pendengaran Telinga Kanan
Total Normal Tuli Ringan
Intensitas Kebisingan <=85db 8 0 8
>85db 3 11 14
Total 11 11 22
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
90
Intensitas Kebisingan * Gangguan Pendengaran Telinga Kiri Crosstabulation
Gangguan Pendengaran Telinga Kiri
Total Normal Tuli Ringan Tuli Berat
Intensitas Kebisingan <=85db 8 0 0 8
>85db 4 9 1 14
Total 12 9 1 22
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
91
Lampiran 3. Dokumentasi
Gambar 1. Stasiun Penebah (Threser)
Gambar 2. Operator Klarifikasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
92
Gambar 3. Stasiun Kamar Mesin
Gambar 4. Infomasi Tingkat Kebisingan Di Stasiun Kamar Mesin
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
93
Gambar 5. Stasiun Pengolahan Biji (Nut dan Kernel)
Gambar 6. Stasiun Loading Ramp
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
94
Gambar 7. Stasiun Perebusan
Gambar 8. Pekerja yang bertugas menurunkan lori
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
95
Gambar 9. Pemeriksaan audiometri menggunakan alat Audiometer Oscilla SM
950
Gambar 10. Pemeriksaan audiometri menggunakan alat Audiometer Oscilla SM
950
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
96
Gambar 11. Pemeriksaan audiometri menggunakan alat Audiometer Oscilla SM
950
Gambar 12. Alat Audiometer Oscilla SM 950
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
97
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
98
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
99
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA