soe hok gie (riwayat singkat)

10
1 Soe Hok Gie (Riwayat Hidup Singkat) Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu Yi dalam bahasa Mandarin (dialek Pinyin). Anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, ini sejak kecil amat suka membaca, mengarang dan memelihara binatang. Keluarga sederhana itu tinggal di bilangan Kebon Jeruk, di suatu rumah sederhana di pojokan jalan, bertetangga dengan rumah orang tua Teguh Karya. Saudara laki-laki satu-satunya Soe Hok Djien yang kini kita kenal sebagai Arief Budiman, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal sebagai seorang akademisi, sosiolog, pengamat politik dan ketatanegaraan yang kini bermukim di Australia. Sejak SMP, ia menulis buku catatan harian, termasuk surat-menyurat dengan kawan dekatnya. Semakin besar, ia semakin berani menghadapi ketidakadilan, termasuk melawan tindakan semena-mena sang guru. Sekali waktu, Gie pernah berdebat dengan guru SMP-nya. Tentu saja guru itu naik pitam. Di dalam catatan hariannya yang kemudian dibukukan dalam Catatan seorang Demonstran, ia menulis: "Guru model begituan, yang tidak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau." Begitu tulis Soe Hok Gie di Puncak Pangrango, 1967

Upload: awan

Post on 25-Jun-2015

249 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

riwayat singkat sosok yang banyak menginspirasi generasi muda ,mahasiswa,aktivis Indonesia saat ini,..di ujung usianya yang masih muda, Soe Hok Gie dikenal sebagai seorang pemuda yang idealis dan kritis,.tulisan-tulisanny a yang tajam membuat tak sedikit 'penjahat' memusuhinya.,,sampai sat ini pun, kematiannya di puncak semeru tepat sehari menjelang hari ulang tahunnya masih menjadi misteri yang belum terungkap,..

TRANSCRIPT

Page 1: Soe Hok Gie (Riwayat Singkat)

1

Soe Hok Gie(Riwayat Hidup Singkat)

Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra

dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. Nama Soe Hok Gie adalah

dialek Hokkian dari namanya Su

Fu Yi dalam bahasa Mandarin

(dialek Pinyin). Anak keempat

dari lima bersaudara keluarga

Soe Lie Piet alias Salam

Sutrawan, ini sejak kecil amat

suka membaca, mengarang dan

memelihara binatang. Keluarga

sederhana itu tinggal di

bilangan Kebon Jeruk, di suatu

rumah sederhana di pojokan

jalan, bertetangga dengan

rumah orang tua Teguh Karya.

Saudara laki-laki satu-satunya

Soe Hok Djien yang kini kita kenal sebagai Arief Budiman, dosen Universitas Kristen Satya

Wacana yang juga dikenal sebagai seorang akademisi, sosiolog, pengamat politik dan

ketatanegaraan yang kini bermukim di Australia. Sejak SMP, ia menulis buku catatan harian,

termasuk surat-menyurat dengan kawan dekatnya. Semakin besar, ia semakin berani

menghadapi ketidakadilan, termasuk melawan tindakan semena-mena sang guru. Sekali

waktu, Gie pernah berdebat dengan guru SMP-nya. Tentu saja guru itu naik pitam. Di dalam

catatan hariannya yang kemudian dibukukan dalam Catatan seorang

Demonstran, ia menulis: "Guru model begituan, yang tidak tahan dikritik boleh masuk

keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau." Begitu tulis

Soe Hok Gie di Puncak Pangrango, 1967

Page 2: Soe Hok Gie (Riwayat Singkat)

2

anak muda yang sampai hari ajalnya, tetap tak bisa mengendarai sepeda motor, apalagi

mobil. Tulisnya lagi: “Gue cuma bisa naik sepeda, juga pandai nggenjot becak.”

Sikap kritisnya semakin tumbuh ketika dia mulai berani mengungkit kemapanan. Misalnya,

saat dirinya menjelang remaja, Gie menyaksikan seorang pengemis sedang makan kulit buah

mangga. Dia pun merogoh saku, lalu memberikan uangnya yang cuma Rp 2,50 kepada

pengemis itu. Di catatannya ia menulis: "Ya, dua kilometer dari pemakan kulit mangga,

‘paduka’ kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-

cantik. Aku besertamu orang-orang malang." Gie melewatkan pendidikan SMA di Kolese

Kanisius. Tahun 1962-1969 ia melanjutkan studinya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia

Jurusan ilmu sejarah. Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang

meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk

orang pertama yang mengritik tajam rezim Orde Baru. Ketika keadaan perekonomian di tanah

air semakin tidak terkendali sebagai akibat adanya depresi perekonomian pada sekitar dekade

enam puluhan yang mengakibatkan kemudian pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan

seperti pemotongan nilai mata uang (Sanering) yang menurut Gie hal ini akan semakin

mempersulit kehidupan rakyat Indonesia .Ia kemudian masuk organisasi Gerakan Mahasiswa

Sosialis (GEMSOS).

Sementara keadaan ekonomi makin kacau. Gie resah. Dia mencatat: "Kalau rakyat Indonesia

terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi, maka

akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak." Maka lahirlah sang demonstran.

Mulai saat itulah hari-hari Gie diisi dengan berbagai aktivitas di dalam dunia pergerakan

seperti rapat-rapat, demonstrasi, aksi pasang memasang ribuan selebaran propaganda,

sampai dengan ancaman teror serta cacian dari penguasa karena aktivitas pergerakannya

menjadi suatu hal yang lumrah bagi Gie, “Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini, menyadari

bahwa mereka adalah the happy selected few yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus

menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya. Dan kepada rakyat aku ingin

tunjukkan, bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan dengan

menyatukan diri di bawah pimpinan patriot-patriot universitas,” begitu tulisnya.

Page 3: Soe Hok Gie (Riwayat Singkat)

3

Tahun 1966 ketika mahasiswa tumpah ke jalan melakonkan Aksi Tritura, Gie kemudian

menggabungkan diri di dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) ia termasuk di

barisan paling depan. Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di

era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian

selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66.

Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya. Seperti

yang telah diceritakan diatas, Gie adalah juga salah seorang tokoh kunci terjadinya aliansi

mahasiswa-militer pada tahun 1966. Gie sendiri dalam buku Catatan Seorang Demonstran,

menulis soal aktivitas gerakannya tersebut: "Malam itu aku tidur di Fakultas Psikologi. Aku

lelah sekali. Lusa Lebaran dan tahun yang lama akan segera berlalu. Tetapi kenang-kenangan

demonstrasi akan tetap hidup." Dia adalah batu tapal daripada perjuangan mahasiswa

Indonesia. Batu tapal dalam revolusi Indonesia dan batu tapal dalam sejarah Indonesia.

Karena yang dibelanya adalah keadilan dan kejujuran.

Tertulis di akhir kalimatnya, Jakarta, 25 Januari 1966. Selain itu juga Gie ikut mendirikan

Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin

pendakian gunung Slamet 3.442 m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya:

“Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat

and sleep with the earth.” Pemikiran

dan sepak terjangnya tercatat dalam

catatan hariannya. Pikiran-pikirannya

tentang kemanusiaan, tentang hidup,

cinta dan juga kematian. Tahun 1968

Gie sempat berkunjung ke Amerika

dan Australia, dan piringan hitam

favoritnya Joan Baez disita di bandara

Sydney karena dianggap anti-war dan

komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan

meneruskan menjadi dosen di

almamaternya. Soe Hok Gie dikenal

sebagai penulis produktif di beberapa

Page 4: Soe Hok Gie (Riwayat Singkat)

4

media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan

Indonesia Raya. Beberapa tulisannya benar-benar tajam dan menohok pemerintah kala itu,

sehingga seringkali ia mendapat ancaman dari berbagai pihak. Salah satu tulisannya yang

terkenal adalah “Betapa Tak Menariknya Pemerintah Sekarang”, yang pernah dimuat di

harian Kompas, 16 Juli 1969 Dalam tulisannya, aktivis gerakan mahasiswa 1966 ini menyoroti

kinerja kabinet di bawah Presiden Soeharto.

Gie melihat adanya kesenjangan antara persepsi masyarakat luas dengan kinerja

pemerintahan Soeharto saat itu. Menlu Adam Malik yang bolak-balik ke luar negeri

dipersepsikan masyarakat sebagai usaha untuk mendapat utang-utang baru dari negara

donor. “Nama Adam Malik dapat diganti dengan nama Emil Salim, Widjojo Nitisastro,

Presiden Soeharto dan seterusnya. Seolah-olah seluruh usaha diplomasi kita adalah diplomasi

cari utang untuk kelangsungan hidup repulik kita yang sudah 24 tahun usianya,” tulis Gie. Gie -

-saat itu-- menganggap pemerintah Soeharto yang baru dibentuk merupakan antitesis dari

pemerintah Soekarno yang korup dan tidak berpijak pada realitas. Pemerintah Soekarno dan

pemerintah Soeharto memiliki cita-cita yang sama besarnya dalam menyejahterakan

masyarakat. Namun caranya berbeda.

Dan di sinilah subjektivitas Hok Gie muncul. “Jauh lebih mudah membuat sebuah monumen

dengan emas di puncaknya daripada membuat dan memperbaiki 1000 kilometer jalan raya,”

katanya menyinggung proyek Monumen Nasional yang dibangun di jaman Presiden Soekarno.

Adik Arief Budiman ini juga melihat mispersepsi masyarakat terhadap kinerja kabinet muncul

karena tidak adanya partisipasi sosial dan mobilisasi sosial yang dilakukan pemerintah. “Usaha

Adam Malik dan kawan-kawan mencari kredit baru, menunda pembayaran utang-utang

adalah bagian permulaan daripada usaha besar. Tetapi apakah pemuda-pemuda lulusan SMP

di Wonosobo menyadari soal ini?” Pemerintah yang pragmatis dan kegagalan komunikasi

yang dimengerti masyarakat umum pada akhirnya gagal menimbulkan gairah dan sokongan

kerja masyarakat. Masyarakat dijejali istilah rule of law, human rights, tertib hukum dari Ketua

Mahkamah Agung, Jaksa Agung dan bahkan Presiden Soeharto.

Namun di lain pihak, setiap hari mereka mendengar oknum militer yang menampar rakyat,

anak-anak penggede yang ngebut serta penyelundupan yang dilindungi. Gie pernah berkata

pada Arief, kakaknya, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya

Page 5: Soe Hok Gie (Riwayat Singkat)

5

lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak

benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit

orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa

sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau

keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang

konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”. Gie menulis kritik-kritik

yang keras di koran-koran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama. Dia pernah

mendapat surat-surat kaleng yang antara lain memaki-maki dia, antara lain, “Cina yang tidak

tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja”. Ibu Gie sering gelisah dan berkata, “Gie, untuk

apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang”. Terhadap ibunya

dia cuma tersenyum dan berkata, “Ah, mama tidak mengerti”.

Kemudian, Gie juga pernah jatuh cinta dengan seorang gadis. Tapi orang tuanya tidak setuju --

mereka selalu dihalangi untuk bertemu. Orang tua gadis itu adalah seorang pedagang yang

cukup kaya dan Gie sudah beberapa kali bicara dengan dia. Kepada Arief, Gie berkata,

“Kadang-kadang, saya merasa sedih. Kalau saya bicara dengan ayahnya si ***, saya merasa

dia sangat menghargai saya. Bahkan dia mengagumi keberanian saya tanpa tulisan-tulisan

saya. Tetapi kalau anaknya diminta, dia pasti akan menolak. Terlalu besar risikonya. Orang

hanya membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri saya”. Karena itu, ketika

seorang temannya dari Amerika menulis kepadanya: “Gie seorang intelektual yang bebas

adalah seorang pejuang yang sendirian, Selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan

suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi

sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar

keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini,

kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian,

penderitaan”. Surat ini dia tunjukkan kepada Arief.

Arief menuturkan, “Dari wajahnya saya lihat dia seakan mau berkata: Ya, saya siap.” Gie,

berdasarkan kedudukannya dapat disetarakan dengan tentara yang kembali dari medan

perang. Ia dipuji dan dielu-elukan rakyat, namun ketika sang tentara hendak mencari

pasangan hidup, tentu orang tua sang wanita tak akan rela menyerahkan anak gadisnya untuk

dinikahi sang tentara. Kenapa begitu? Biarpun yang ia lakukan itu benar dan berjasa besar,

Page 6: Soe Hok Gie (Riwayat Singkat)

6

namun tindakannya terlaku berbahaya dan beresiko. “…Kelompok yang berjaga-jaga mulai

keluar dengan berpakaian serba hitam dan bersenjatakan pedang, pisau, pentungan dan

bahkan senjata api. Rumah-rumah penduduk yang diduga sebagai anggota PKI dibakar

sebagai bagian pemanasan (warming up) bagi dilancarkannya tindakan-tindakan yang lebih

kejam. Kemudian pembantaian pun terjadi dimana-mana…” Tulis Gie dalam buku hariannya.

Gie adalah salah satu tokoh yang sangat menyoroti tragedi G30/S/PKI, tragedy yang sangat

memilukan dalam sejarah kelam Bangsa Indonesia. Tapi tidak demikian halnya dengan

pengungkapan reaksi balik yang tidak kalah biadabnya dari gerakan 30 September 1965 yang

menimpa orang dituduh anggota dan simpatisan PKI. Pembantaian, pemberangusan,

penghilangan lawan politik yang sungguh biadab dan diluar batas nilai-nilai kemanusiaan.

Cerita pembantaian massa PKI Bali ditulis oleh Robert Cribb, Soe Hok Gie serta tambahan

laporan dari Pusat Studi Pedesaan Universitas Gajah Mada yang dicatat dari pemberitaan

harian Suara Indonesia yang terbit di Denpasar. Juga ada dokumen dari Dinas Sejarah TNI

Angkatan Darat tentang penumpasan G30S/PKI di Bali. Cribb dan Gie mengawali catatannya

untuk menggambarakan bagaimana brutal dan sadisnya pembantaian PKI di Bali. Komandan

RPKAD, Sarwo Edhi, yang pasukannya tiba pada akhir Desember 1965, dilaporkan pernah

berkata, “Di Jawa kami harus menghasut penduduk untuk membantai orang-orang komunis.

Di Bali kami harus menahan mereka, untuk memastikan bahwa mereka tidak bertindak terlalu

jauh.” Situasi di Bali dalam catatan Soe Hok Gie memang agak terlamabat menerima komando

untuk melakukan pembantaian.

Elite-elite politik di Bali lama mengamati pertarungan yang terjadi di Jakarta dan menunggu

siapa yang keluar sebagai pemenang. Banyak para keluarga di Bali yang kehilangan anggota

keluarganya dalam Tragedi 65 melakukan ritual ini untuk menutup rapat tragedi menyedihkan

tersebut. Ada sebuah catatan kecil dari pemikiran Soe Hok Gie tentang konsep kebudayaan

yang ada di buku hariannya ketika ia sedang berdiskusi dengan Ong Hok Ham yang dicatatnya

pada tanggal 31 Desember 1962. Di sana dia menulis, ”Lihat di Irian Barat, telanjang,

bercawat, tidak ada kebudayaan.” Nampaknya waktu itu Soe Hok Gie masih terpengaruh ide

yang berpendapat bahwa hal-hal yang masih primitif itu adalah hal-hal yang belum mengenal

atau tersentuh oleh kebudayaan. Konsep yang sudah ketinggalan jaman pada waktu itu

sebenarnya. Semoga saja pendapatnya ini berubah seiring dengan berjalannya waktu.

Page 7: Soe Hok Gie (Riwayat Singkat)

7

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676 meter.

Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie

berkata kepada teman-temannya: “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan

bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak

mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu

secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat

ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa

yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami

naik gunung.” Dalam suasana yang seperti inilah Gie meninggalkan Jakarta untuk pergi ke

puncak gunung Semeru. Pekerjaan terakhir yang dia kerjakan adalah mengirim bedak dan

pupur untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan supaya mereka

bisa berdandan dan dengan begitu akan tambah cantik di muka penguasa. Suatu tindakan

yang membuat dia tambah terpencil lagi, kali ini dengan beberapa teman-teman mahasiswa

yang dulu sama-sama turun ke jalanan pada tahun 1966. 8 Desember sebelum Gie berangkat

sempat menuliskan catatannya:

“Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian

Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada

kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan

juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya

kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”

Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie

di puncak gunung tersebut. Gie tewas bersama rekannya, Idhan Lubis. Tanggal 16 Desember

1969, Soe Hok Gie yang berencana merayakan ulang tahunnya di puncak Mahameru

menghembuskan nafasnya yang terakhir karena terjebak gas beracun. 24 Desember 1969 Gie

dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke

Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober

sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat

ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di

gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya

disebar di puncak Gunung Pangrango

Page 8: Soe Hok Gie (Riwayat Singkat)

8

BEBERAPA QUOTE YANG DIAMBIL DARI CATATAN HARIANNYA GIE:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua

dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu.

Bahagialah mereka yang mati muda.”

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang

dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar

dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi

di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati,

dapat merasai kedukaan…”

Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman

Peralihan, Di Bawah Lentera Merah (yang ini saya belum punya) dan Orang-Orang di

Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan

Intelektual Muda Melawan Tirani.

Kata Kata Soe Hok Gie

* Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab

bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin

mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada

suatu yang lebih besar: kebenaran.

* Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi

suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.

* Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu

benar, dan murid bukan kerbau.

* Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang

tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.

Page 9: Soe Hok Gie (Riwayat Singkat)

9

* Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik

diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.

* Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia

berkembang menjadi "manusia-manusia yang biasa". Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-

pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia

yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang

pemuda dan sebagai seorang manusia.

* Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang

mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang

dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai

kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan

apapun.

* Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi

menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain.

Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban

baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.

* Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada?

Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?

* Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap

pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis…

* Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani

menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.

* Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan

kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita.

* Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah

kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia.

Page 10: Soe Hok Gie (Riwayat Singkat)

10

* To be a human is to be destroyed.

* Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.

* Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah

kejahatan.

* I’m not an idealist anymore, I’m a bitter realist.

* Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya

keluar air mata.

* Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai,

dapat iba hati, dapat merasai kedukaan.

* Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat lampu-

lampu kerucut dan arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya

diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra tapi

kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada

menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasai saya. Saya

ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada

semua-muanya.

* Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun.

Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang

lebih baik.

*** diolah dari berbagai sumber. (kurniawan)