responsi dr.eddy

53
BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Secara umum stroke merupakan penyebab kematian yang ketiga terbanyak di Amerika Serikat setelah penyakit jantung dan kanker, demikian juga diberbagai negara di dunia dan setiap tahunnya 700.000 orang akan mengalami stroke baru atau berulang. Kira-kira 500.000 merupakan serangan pertama dan 200.000 merupakan serangan ulang (Hacke dkk,2003; William dkk, 2000; Rosamond dkk,2007). Meskipun data studi epidemiologi stroke secara komprehensif dan akurat belum ada di Indonesia, dengan meningkatnya harapan hidup orang Indonesia tendensi peningkatan kasus stroke akan meningkat pada masa yang akan datang. Di Indonesia, menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dilaporkan bahwa proporsi stroke di rumah sakit antara tahun 1984 -1986 meningkat yaitu 0,72 per 100 penderita tahun 1984 dan naik menjadi 0,89 per 100 penderita pada tahun 1985 dan 0,96 per 100

Upload: elena-agustine

Post on 13-Aug-2015

55 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Referat Perdarahan Intraserebral

TRANSCRIPT

Page 1: Responsi Dr.eddy

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Secara umum stroke merupakan penyebab kematian yang ketiga terbanyak

di Amerika Serikat setelah penyakit jantung dan kanker, demikian juga diberbagai

negara di dunia dan setiap tahunnya 700.000 orang akan mengalami stroke baru

atau berulang. Kira-kira 500.000 merupakan serangan pertama dan 200.000

merupakan serangan ulang (Hacke dkk,2003; William dkk, 2000; Rosamond

dkk,2007).

Meskipun data studi epidemiologi stroke secara komprehensif dan akurat

belum ada di Indonesia, dengan meningkatnya harapan hidup orang Indonesia

tendensi peningkatan kasus stroke akan meningkat pada masa yang akan datang.

Di Indonesia, menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dilaporkan

bahwa proporsi stroke di rumah sakit antara tahun 1984 -1986 meningkat yaitu

0,72 per 100 penderita tahun 1984 dan naik menjadi 0,89 per 100 penderita pada

tahun 1985 dan 0,96 per 100 penderita pada tahun 1986. Dilaporkan pula bahwa

prevalensi stroke pada tahun 1986 adalah 35,6 per 100.000 penduduk, sedangkan

di Jogyakarta pada penelitian Lamsudin dkk (Sjahrir,2003), dilaporkan bahwa

proporsi morbiditas stroke di rumah sakit di Jogyakarta tahun 1991 menunjukkan

kecenderungan meningkat hampir 2 kali lipat (1,79 per 100 penderita)

dibandingkan dengan laporan penelitian sebelumnya pada tahun 1989 (0,96 per

100 penderita).

Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh Survei

ASNA (ASEAN Neurological Association) di 28 rumah sakit di seluruh Indonesia,

pada penderita stroke akut yang dirawat di rumah sakit, dan dilakukan survei

Page 2: Responsi Dr.eddy

mengenai faktor-faktor resiko, lama perawatan, mortalitas dan morbiditasnya.

Penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan dan profil usia di bawah 45

tahun cukup banyak yaitu 11,8%, usia 45-64 tahun berjumlah 54,7% dan diatas

usia 65 tahun 33,5% (Misbach,2007). Sedangkan untuk RSUP.H.Adam Malik

proporsi kejadian stroke perdarahan intraserebral tahun 2007 sebesar 11% dan

tahun 2008 sebesar 16% (catatan medial record RSUP.H.Adam Malik).

Stroke juga merupakan penyebab utama gangguan fungsional dengan 20%

penderita yang masih bertahan hidup membutuhkan perawatan institusi setelah 3

bulan dan 15-30% menjadi cacat permanen. Stroke juga merupakan kejadian yang

dapat merubah kehidupan, bukan hanya mengenai seseorang yang dapat menjadi

cacat tetapi juga seluruh keluarga dan pengasuh yang lain (Goldstein dkk,2006).

Heterogenitas stroke menyebabkan sulitnya memprediksi outcome

fungsional yang terjadi secara akurat dan prediktor apa yang paling menentukan

outcome. Sejumlah prediktor untuk outcome fungsional telah diajukan dan

pengukuran outcome stroke mempunyai berbagai masalah tergantung pada

perjalanan penyakitnya (Caplan,2000).

Pada uji klinis terhadap stroke akut, berbagai pengukuran dilakukan dalam

menentukan outcome dan sering timbul hasil dengan interpretasi yang berbeda.

Belum ada konsensus mengenai pada tingkat mana outcome digunakan, metode

pengukuran yang digunakan, ataupun waktu serta cut off point yang paling tepat.

Beberapa laporan studi terbaru mengenai terapi akut stroke telah melahirkan

kontroversi oleh karena terdapat ketidakkonsistenan antara berbagai outcome pada

tiap-tiap studi. Untuk menentukan berhasil atau tidaknya outcome sering cut off

point dipilih secara berubah-ubah. Dan bila ingin menentukan saat penilaian

outcome harus dipertimbangkan perjalanan waktu pemulihan suatu stroke. Lima

hingga 6 bulan setelah stroke merupakan waktu yang tepat dalam mengukur

outcome neurologis dan fungsional (Duncan dkk,2000).

Untuk stroke perdarahan intraserebral (PIS), ada sejumlah model

prognostik untuk mortalitas dan outcome fungsional setelah terjadinya PIS.

Page 3: Responsi Dr.eddy

Model-model instrumen ini biasanya berhubungan dengan kondisi neurologis,

parameter klinis dan laboratorium lainnya yang bervariasi, dan hasil

neuroimejing. Model-model instrumen ini memang dapat memprediksi outcome

secara akurat, namun cukup bervariasi dalam kemudahan penggunaannya,

khususnya bagi orang yang tidak dilatih khusus dalam neuroimejing dan analisa

statistik. Walaupun ketepatan dari beberapa model ini, tidak ada skala untuk PIS

yang konsisten digunakan untuk triase dan invertensi akut, apakah sebagai bagian

dari penanganan klinis ataupun penelitian (Hemphill dkk,2001).

The Intracerebral Hemorrhage Score (the ICH score) telah dikembangkan

sebagai suatu skala klinis sederhana yang dapat dipakai untuk memprediksi

outcome fungsional atau mortalitas dalam 30 hari pada pasien PIS. Komponen

prediktor yang digunakan dalam skala ini ada 5 karakteristik yaitu nilai Skala

Koma Glasgow (SKG), volume perdarahan, perdarahan intraventrikular, lokasi

perdarahan yang berasal dari infratentorial, dan usia ( Hemphi11,2001).

Dalam perkembangannya, penggunaan ICH score telah mengalami

modifikasi dengan tujuan untuk mencari model prediktor mana yang paling akurat

dalam memprediksi mortalitas pada pasien PIS. Adapun variasi model prediktor

yang dipakai dalam beberapa studi klinis dalam ICH score seperti suhu tubuh saat

masuk rumah sakit, tekanan darah saat masuk, tekanan nadi, lokasi PIS,

intraventricular hemorrhage (IVH), volume perdarahan, adanya perdarahan

subarakhnoid, adanya efek massa, hidrosefalus, dan kadar gula darah saat masuk

(Cheung, 2003; Jamora, 2003; Godoy, 2006; Ruiz-Sandoval,2007).

Ariesen, dkk (2005) mengidentifikasi beberapa model prognostik yang

digunakan dalam memprediksi outcome jangka pendek setelah terjadinya PIS ,

mengevaluasi apakah model-model ini dapat dengan cepat dan mudah digunakan

pada saat kejadian, mengevaluasi apakah prediksi yang dibuat dari model tersebut

cukup akurat. Dari 18 model prognostik yang diamati antara tahun 1966 - 2003,

terdapat 14 model yang cukup mudah untuk digunakan. Pada model yang

divalidasi, proporsi pasien dengan probabilitas kematian ≥ 95% atau outcome

Page 4: Responsi Dr.eddy

jelek berkisar 0% - 43% (median 23%). Kasus kematian dalam 30 hari berkisar

75% - 100% (median 93%). Penelitian ini menyimpulkan banyak model

prognostik yang dapat dengan mudah digunakan dan dapat memprediksi kematian

atau outcome buruk dengan probabilitas yang tinggi. Namun, pasien yang

memiliki probabilitas tinggi proporsinya kecil, dan kasus kematian dalam 30 hari

tidak selalu diprediksi dengan benar. Walaupun model-model terbaru memiliki

keterbatasan, tetapi dapat digunakan untuk memperkirakan kemungkinan pasien

dapat bertahan.

Jamora, dkk (2003) melakukan studi kohort untuk membuktikan validitas

dari ICH score untuk memprediksi bukan saja mortalitas tetapi juga outcome

fungsional pada popoulasi Asia. Pada 243 pasien PIS, tidak ditemukan pasien

dengan ICH score 6. Hanya 3 pasien dengan skor 5 (1%), 18 pasien dengan skor 4

(7%), 28 pasien dengan skor 3 (12%), 52 pasien dengan skor 2 (21%), 70 pasien

dengan skor 1 (29%), dan 72 dengan skor 0 (30%). Penelitian ini menemukan

validitas ICH score dalam memprediksi mortalitas sekaligus outcome fungsional.

Studi konsekutif pada 378 pasien PIS oleh Ruiz-Sandoval,dkk (2007)

dengan menggunakan ICH grading scale (ICH-GS) untuk memprediksi outcome

setelah terjadinya PIS berdasarkan hasil evaluasi pada saat tiba di rumah sakit,

menemukan bahwa ICH-GS merupakan suatu metode yang cukup kuat yang dapat

dipakai untuk memprediksi outcome. Instrumen ini diniliai sederhana dan dapat

dipercaya.

Zahuranec, dkk (2007) dalam studinya terhadap 270 pasien PIS

menyimpulkan bahwa keterbatasan penanganan di awal terjadinya PIS memiliki

hubungan tidak langsung dengan semua penyebab mortalitas baik jangka pendek

maupun jangka panjang setelah terjadinya PIS. Keterbatasan penanganan saat

awal terjadinya PIS ini dapat dipakai sebagai prediktor mortalitas pada PIS.

Halievy, dkk (2002) dalam studi retrospektif terhadap 180 pasien

menggunakan 6 kriteria prognostik sebagai ICH score dalam memprediksi

outcome fungsional jangka pendek pada pasien PIS yaitu umur, kelumpuhan pada

Page 5: Responsi Dr.eddy

tungkai, tingkat kesadaran, efek massa, tuas perdarahan dan perdarahan

intraventrikular. Kriteria ini cukup mudah dinilai saat pasien PIS tiba dirumah

sakit.

Bagaimanapun terdapat beberapa keterbatasan yang penting dalam

penggunaan instrumen-instrumen dalam memprediksi mortalitas pasien PIS.

Faktor bias yang signifikan seperti penghentian pengobatan/penanganan

rnerupakan prediktor paling potensial dalam kematian pasien PIS, sebab semua

nilai-nilai yang diuji dan divalidasi pada penelitian kohort sering didapati

penghentian pengobatan/penanganan. Keterbatasan lain adalah instrumen-

instrumen tersebut tidak memberikan informasi kepada keluarga sebagai pihak

yang paling membantu dalam mencapai pemulihan fungsional, lebih dari sekedar

kemungkinan pasien selamat (Rost, 2008).

Page 6: Responsi Dr.eddy

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. STROKE PERDARAHAN INTRASEREBRAL

II.1.1 Definisi

Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan

fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24

jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang

jelas selain vascular.(Kelompok Studi Serebrovaskuler & Neurogeriatri

Perdossi,1999)

Stroke perdarahan intraserebral atau perdarahan intraserebral primer

adalah suatu sindroma yang ditandai adanya perdarahan spontan ke dalam

substansi otak (Gilroy, 2000).

II.1.2 Epidemiologi

Perdarahan intraserebral dua kali lebih banyak dibanding perdarahan

subarakhnoid (PSA) dan lebih berpotensi menyebabkan kematian atau disabilitas

dibanding infark serebri atau PSA (Broderick dkk, 1999)

Sekitar 10% kasus stroke disebabkan oleh PIS. Sumber data dari Stroke

Data Bank (SDB), (Caplan,2000) menyebutkan bahwa setidaknya 1 dari 10 kasus

stroke disebabkan oleh perdarahan parenkim otak. Populasi dimana frekuensi

hipertensinya tinggi, seperti Amerika-Afrika dan orang-orang Cina, Jepang dan

keturunan Thai, memiliki frekuensi yang tinggi terjadinya PIS. Perdarahan

intraserebral dapat terjadi pada rentang umur yang lebar, dapat terjadi pada

dekade tujuh puluh, delapan puluh dan sembilan puluh. Walaupun persentase

tertinggi kasus stroke pada usia dibawah 40 tahun adalah kasus perdarahan, PIS

sering juga terjadi pada usia yang lebih lanjut.

Page 7: Responsi Dr.eddy

Usia lanjut dan hipertensi merupakan faktor resiko paling penting dalam

PIS. Perdarahan intraserebral terjadi sedikit lebih sering pada pria dibanding

wanita dan lebih sering pada usia muda dan setengah-baya pada ras kulit hitam

dibanding kulit putih di usia yang sama (Broderick, 1999).

II.1.3 Dasar- dasar biopatologik PIS

Kebanyakan kasus PIS terjadi pada pasien dengan hipertensi kronik.

Keadaan ini menyebabkan perubahan arteriosklerotik pembuluh darah kecil,

terutama pada cabang-cabang arteri serebri media, yang mensuplai ke dalam basal

ganglia dan kapsula interna. Pembuluh-pembuluh darah ini menjadi lemah,

sehingga terjadi robekan dan reduplikasi pada lamina interna, hialinisasi lapisan

media dan akhirnya terbentuk aneurisma kecil yang dikenal dengan aneurisma

Charcot-Bouchard. Hal yang sama dapat terjadi pembuluh darah yang mensuplai

pons dan serebelum. Rupturnya satu dari pembuluh darah yang lemah

menyebabkan perdarahan ke dalam substansi otak (Gilroy,2000; Ropper, 2005).

Pada pasien dengan tekanan darah normal dan pasien usia tua, PIS dapat

disebabkan adanya cerebral amyloid angiopathy (CAA). Keadaan ini disebabkan

adanya akumulasi protein β-amyloid didalam dinding arteri leptomeningen dan

kortikal yang berukuran kecil dan sedang. Penumpukan protein β-amyloid ini

menggantikan kolagen dan elemen-elemen kontraktil, menyebabkan arteri

menjadi rapuh dan lemah, yang memudahkan terjadinya resiko ruptur spontan.

Berkurangnya elemen-elemen kontraktil disertai vasokonstriksi dapat

menimbulkan perdarahan masif, dan dapat meluas ke dalam ventrikel atau ruang

subdural. Selanjutnya, berkurangnya kontraktilitas menimbulkan kecenderungan

perdarahan di kemudian hari. Hal ini memiliki hubungan yang signifikan antara

apolipoprotein E4 dengan perdarahan serebral yang berhubungan dengan amyloid

angiopathy (Gilroy, 2000; Ropper, 2005; O'Donnel, 2000).

Suatu malformasi angiomatous (arteriovenous malformation/AVM) pada

otak dapat ruptur dan menimbulkan perdarahan intraserebral tipe lobular.

Page 8: Responsi Dr.eddy

Gangguan aliran venous karena stenosis atau oklusi dari aliran vena akan

meningkatkan terjadinya perdarahan dari suatu AVM (Caplan,2000; Gilroy,2000;

Ropper, 2005).

Terapi antikoagulan juga dapat meningkatkan resiko terjadinya perdarahan

intraserebral, terutama pada pasien-pasien dengan trombosis vena, emboli paru,

penyakit serebrovaskular dengan transient ischemic attack (TIA) atau katub

jantung prostetik. Nilai internationa! normalized ratio (INR) 2,0 - 3,0 merupakan

batas adekuat antikoagulasi pada semua kasus kecuali untuk pencegahan emboli

pada katub jantung prostetik, dimana nilai yang direkomendasikan berkisar 2,5 -

3,5. Antikoagulan lain seperti heparin, trombolitik dan aspirin meningkatkan

resiko PIS. Penggunaan trornbolitik setelah infark miokard sering diikuti

terjadinya PIS pada beberapa ribu pasien tiap tahunnya (Caplan,2000;

Gilroy,2000;Ropper,2005).

System saraf terdiri dari :

1. Unit fungsionil , yaitu neuron yang dihubungkan oleh akson ke neuron

yang lain, dan dikelilingi oleh selaput mielen sebagai isolator.

2. Unit penunjang yang terdiri dari : sel glia, system pembuluh darah,

jaringan ikat, cairan otak, tulang dsb.

Sistem saraf ini sangat kompleks, tetapi pada dasarnya selalu seimbang.

Makin tinggi tingkat evolusi pada makhluk hidup, makin komplek susunan

sarafnya dengan makin tinggi fungsi-fungsi luhurnya , termasuk kecerdasannya

dan makin terpencar pusat-pusatnya dalam anatomi susunan sarafnya.

Bagian rostral lebih komplek dan lebih fungsional dari pada bagian

kaudal, sehingga kerusakan pada bagian rostral, katakanlah di otak, akan

memberikan keluhan dan gejala yang lebih rumit dari pada bila kerusakan di

medulla spinalisnya.

Apabila system saraf mengalami kerusakan, beberapa neuron, akson, dan

glia mati, tetapi jauh lebih banyak jaringan yang hanya mengalami disfungsi

Page 9: Responsi Dr.eddy

proses-proses yang menyebabkan kerusakan otak secara mendadak, proses

kerusakan terjadi secara dinamis dan berkelanjutan. Tugas dokter dengan segenap

timnya adalah secara agresif, sedapat mungkin menghentikan proses berfungsi,

dan mencegah proses sekunder yang menyebabkan kerusakan saraf yang

berkelanjutan dan juga mencegah komplikasi di luar system saraf.

Dalam menentukan lokalisasi lesi pada system saraf sedapat mungkin

tentukan kerusakan pada system anatominya, karena kerusakan apapun sebabnya,

akan memberikan keluhan dan gejala yang sama, apabila kerusakannya di tempat

yang anatominya sama.

Perdarahan intracranial dapat terjadi pada daerah ekstradural, subdural,

subarachnoid, intraserebral dan intraventrikural. Selain disebabkan trauma kapitis,

perdarahan intracranial ini dapat disebabkan trauma kapitis, perdarahan

intracranial ini dapat disebabkan karena berbagai penyebab diantaranya :

hipertensi arterial, aneurisma intracranial, angiopathia serebral, malformasi

vaskuler, tumor otak, pemberian antikoagulansia, kelainan herediter yang

menyebabkan pendarahan, trombositopenia dan obat-obatan simpatomimetik

seperti amphetamine, phenylpropalamine, dan cocaine.

Terdapat hubungan antara tempat kerusakan dan penyebab perdarahan

misalnya pendarahan primer di kortek biasanya disebabkan oleh karena AVM.

Lesi di substantia alba hemisphere otak lebih sering karena hipertensi , perdarahan

karena neoplasma, atau gangguan pembekuan darah. Perdarahan di basal ganglia

hampir selalu ada kaitannya dengan hipertensi sistemik dan biasanya terjadi pada

bagian bawah putamen. Perdarahan pada thalamus tidak lazim terjadi, dan

biasanya diakibatkan oleh karena hipertensi dan AVM. Perdarahan primer pada

batang otak juga tidak umum terjadi dan biasanya lebih disebabkan karena

perdarahan sekunder (Lesi Duret) akibat kenaikan tekanan intracranial.

Perdarahan yang terjadi pada bagian lain dari tubuh, kecuali terjadi secara

massif dan terus menerus, tidaklah member pengaruh banyak pada penderita.

Tidaklah demikian bila terjadi pada susunan saraf pusat, suatu perdarahan

Page 10: Responsi Dr.eddy

sebanyak 75-100 ml dapat menyebabkan kematian pada enderita. Pengaruh

perjalanan penyakitnya sangat bervariasi tergantung dari awalnya, ukuran dan

lokalisasiny lesinya, tetapi perhitungkan pula kerusakan yang terjadi akibat

kerusakan jaringan, pengaruh desak ruang akibat masa perdarahan yang terjadi

menyebabkan kenaikan tekanan intracranial, edema serebri, vaso spasme dan juga

hidrosepalus.

II.1.4. Gejala Klinis

Mayoritas pasien mengalami nyeri kepala akut dan penurunan kesadaran yang

berkembang cepat sampai keadaan koma. Pada pemeriksaaan biasanya di dapati

hipertensi kronik. Gejala dan tanda tergantung lokasi perdarahan. Herniasi uncal

dengan hiiangnya fungsi batang otak dapat terjadi. Pasien yang selamat secara

bertahap mengalami pemulihan kesadaran dlam beberapa hari. Pasien dengan

perdarahan pada lobus temporal atau lobus frontal dapat mengalami seizure tiba-

tiba yang dapat diikuti kelumpuhan kontralateral (Caplan,2000; Gilroy,2000;

Ropper,2005)

Pasien usia tua dengan tekanan darah normal yang mengalami PIS atau

perdarahan intraserebellar karena amyloid angiopathy biasanya telah menderita

penyakit Alzheimer atau demensia progresif tipe Alzheimer dan dalam

perjalanannnya perdarahan dapat memasuki rongga subarakhnoid.(Gilroy,2000).

II.1.5. Diagnosis

Computed Tomography (CT- scan) merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk

PIS dalam beberapa jam pertama setelah perdarahan. CT-scan dapat diulang

dalam 24 jam untuk menilai stabilitas. Bedah emergensi dengan mengeluarkan

massa darah diindikasikan pada pasien sadar yang mengalami peningkatan

volume perdarahan. Magnetic resonance imaging (MRI) dapat menunjukkan

perdarahan intraserebral dalam beberapa jam pertama setelah perdarahan.

Page 11: Responsi Dr.eddy

Perubahan gambaran MRI tergantung stadium disolusi hemoglobin-

oksihemoglobin-deoksihemogtobin-methemoglobin-ferritin dan hemosiderin

(Gilroy,2000)

II.2. OUTCOME FUNGSIONAL

Prediksi akurat untuk outcome pada PIS di unit gawat darurat menjadi masalah

yang penting bukan saja untuk menghadapi keluarga pasien, tapi juga untuk

menilai pasiennya membutuhkan perawatan intensif invasif, yang sering

membutuhkan rujukan rumah sakit. Pada dasarnya, prediksi ini untuk

mengidentifikasi pasien untuk mencapai pemulihan outcome fungsionalnya, lebih

dari sekedar dapat bertahan hidup,yang nantinya dapat memberi arahan kepada

keluarga dan tim medis untuk perawatan selanjutnya ( Rost dkk,2008)

Ada banyak model instrumen untuk memprediksi outcome pada PIS yang telah di

publikasi dan telah diterima luas penggunaanya dalam klinis. Prediktor yang

sering digunakan termasuk volume perdarahan, nilai SKG, hidrosefalus, letak lesi

perdarahan, usia atau adanya perdarahan intraventrikular (Rost dkk,2008)

Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan sebagai

impairments, disabilitas dan handicaps. Ofeh WHO membuat batasan sebagai

berikut (Caplan,2000) :

1. Impairments : menggambarkan hilangnya fungsi fisiologis, psikologis dan

anatomis yang disebabkan stroke. Tindakan psikoterapi, fisioterapi, terapi

okupasional ditujukan untuk memperbaiki kelainan ini.

2. Disabilitas adalah hambatan, kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu

yang seharusnya dilakukan orang yang sehat seperti : tidak bisa berjalan,

menelan, melihat akibat pengaruh stroke.

Page 12: Responsi Dr.eddy

3. Handicaps adalah halangan atau gangguan pada seorang penderita stroke

berperan sebagai manusia normal akibat impairment atau disability tersebut.

II.2.1. GLASGOW OUTCOME SCALE

Glasgow Outcome Scale (GOS) adalah skala yang digunakan untuk mengukur

outcome yang pada awal penggunaannya ditujukan pada pasien trauma kapitis.

Skala ini diciptakan oleh Jennet dkk pada tahun 1975 dan dipakai untuk

mengalokasikan orang-orang yang menderita cedera otak akut pada cedera otak

traumatik maupun non-traumatik ke dalam kategori outcome. Skala ini

menggambarkan disabilitas dan kecacatan dibandingkan gangguan, yang

difokuskan pada bagaimana trauma mempengaruhi fungsi kehidupan (Leon-

Carrion,2006)

Skala yang asli terdiri dari 5 tingkatan sebagai berikut (Leon-Carrion,

2006 ; Capruso dan Levin, 1996) :

0. Death

1. Vegetative State

Tanda dari vegetative state adalah ketiadaan fungsi kognItif yang ditunjukkan

oleh hilangnya komunikasi total, yang menandakan bahwa korteks serebral

tidak berfungsi lagi. Tidak seperti pada pasien koma, pasien pada keadaan

vegetative state memiliki respon buka mata, gerakan bola mata, dan siklus

tidur-bangun. Meskipun pasien dengan

vegetative state dapat menunjukkan berbagai aksi motorik yang reflektif,

kebiasaan ini tidak dapat menunjukkan kesadaran.

2. Severe disability

Pasien sadar, namun membutuhkan pertolongan. Meskipun tingkat

ketergantungan bervariasi, yang termasuk dalam kategori ini adalah pasien yang

bergantung kepada seorang pengasuh untuk seluruh aktifitas sepanyang hari.

Page 13: Responsi Dr.eddy

Pasien yang tidak dapat ditinggal sendiri dan tidak dapat merawat diri mereka

sendiri selama interval 24 jam termasuk dalam kategori ini.

3. Moderate disability

Pasien dalam kategori ini dapat ditinggal sendiri, namun memiliki tingkat

kecacatan fisik dan kognitif yang membatasi mereka dibandingkan tingkat

kehidupan sebelum trauma. Banyak pasien pada kategori ini dapat kembali

bekerja, meskipun dalam pekerjaan mereka diberikan kelonggaran khusus dan

asisten untuk mereka, dan tidak dapat memikul pekerjaan sebesar tanggungjawab

mereka sebelum sakit.

4. Good recovery

Pada kategori ini pasien dapat mandiri dan dapat kembali bekerja pada

pekerjaan atau aktifitas mereka sebelum sakit tanpa adanya keterbatasan

mayor. Pasien dapat menderita defisit neurologi atau kognitif ringan yang

menetap, namun tidak mengganggu keseluruhan fungsi. Pasien dalam kategori

ini kompeten dalam bersosialisasi dan mampu membawa diri dengan baik

tanpa perubahan kepribadian yang berarti.

Tingkatan ini dapat dikelompokkan menjadi outcome buruk (GOS 0-2) dan

outcome baik (GOS 3-4) (Leon-Carrion,2006).

II.3 KEGAWATDARURATAN NEUROLOGIK

Keadaan darurat di bidang kedokteran adalah suatu keadaan dimana

kehidupan seseorang penderita, berada dalam tingkat kegawatan yang sangat berat

dan biasanya terjadi secara mendadak, akibat suatu proses penyakit atau trauma.

Demikian juga keadaan kegawatan neurologi adalah kasus neurologi yang karena

sesuatu hal mengalami kegawatan mendadak dan bila tidak segera ditolong

dengan perawatan yang intensif akan mengalami cacat, kehilangan organ tubuh,

atau meninggal.

Page 14: Responsi Dr.eddy

Diperlukan suatu pengetahuan yang khusus di bidang kegawatan dan

selain itu suatu ketrampilan dalam penerapan pengetahuan yang telah didapatkan

dan disertai sikap yang manusiawi terhadap penderita maupun keluarga penderita,

seharusnya dimiliki oleh setiap petugas yang menghadapi kegawatan medis ini.

Pada kesempatan ini akan dikemukakan suatu contoh penatalaksanaan

kedaruratan neurologic pada perdarah intraserebral (PIS), suatu gangguan

perdarahan otak yang sering dijumpai di rumah sakit ini.

II.3.1. Resusitasi Jantung-Paru-(Otak)

Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

adalah prosedur kegawatdaruratan medis yang ditujukan untuk serangan jantung

dan pada henti napas(5).

RJP adalah kombinasi antara bantuan pernapasan dan kompresi jantung

yang dilakukan pada korban serangan jantung(6).

II.3.1.1 Indikasi

A. Henti Napas

Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak

hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi

asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik,

tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglotis, tercekik

(suffocation), trauma dan lain-lainnya(7).

Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,

pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai

beberapa menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka

pasien akan teselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat

akan berakibat henti jantung(7).

B. Henti Jantung

Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan curah

jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital

Page 15: Responsi Dr.eddy

lainnya secara mendadak dan dapat balik normal, kalau dilakukan

tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan

otak. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis

tentu tidak termasuk henti jantung(7).

Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau

takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel

asistol (+10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (+5%). Dua

jenis henti jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat

gangguan pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi karena

koordinasi aktivitas jantung menghilang.

Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis

femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali,

pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak

bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar(4).

Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar

hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan.

Iskemi melebih 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek

serebri rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung

berdenyut kembali(7).

II.3.1.2 Fase RJPO

Resusitasi jantung paru otak dibagi menjadi 3 fase diantaranya(4):

1. FASE I : Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur

pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan

henti jantung, dan bagaimana melakukan RJP secara benar.

Terdiri dari :

A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.

B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.

C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi

jantung paru.

Page 16: Responsi Dr.eddy

2. FASE II : Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu

tunjangan hidup dasar ditambah dengan :

D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.

E (EKG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin setelah

dimulai KJL, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole

atau agonal ventricular complexes.

F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.

3. FASE III : Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support).

G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita

secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian

mengobatinya.

H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim

saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung,

sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic yang permanen.

H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi

susunan saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.

H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah

manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan

hendaknya berdasarkan perikemanusiaan.

I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan

ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde

lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan

sirkulasi, mengendalikan kejang(4).

II.4. PEMERIKSAAN NEUROLOGIK DAN MONITORING

NEUROLOGIK PADA KEGATAN NEUROLOGIK

II.4.1. Riwayat Penyakit

Pengambilan anamnesa ataupun heteroanamnesa perlu dilakukan secara

cepat, terarah runtut, sehingga dapat dkumpulkan data dasar mengenai keadaan

Page 17: Responsi Dr.eddy

penderita secara holistic. Informasi ini ini akan menuntun suatu tata laksana awal

yang lebih baik, untuk mengantisipasi masalah-masalah yang akan dihadapi dan

juga pemeriksaan neurologic akan lebih terarah.

Dasar ilmu kedaruratan medic secara umum dan kedaruratan neurologic

secara khusus hendaknya telah dimiliki oleh setiap petugas yang menghadapi

kasus-kasus kedaruratan neurologic.

Selain al diatas dipahami keadaan psikologik penderita maupun keluarga

penderita dalam situasi kedaruratan medic ini. Biasanya penderita dan

keluarganya dating dalam keadaan tidak tenang dan bahkan mungkin panic dalam

keadaan ini mereka mudah tersinggung terhadap kata-kata ataupun sikap para

petugas. Diperlukan kesabaran, ketenangan dan kearifan para petugas dalam

setiap situasi semacam ini, kegagalan dalam komunikasi hubungan antar manusia

akan dapat menyebabkan suasana terapeutik menjadi kurang baik dan dengan

sendirinya akan ikut berperan dalam proses penyembuhan penyakit yang diderita

penderita.

II.4.2 Fungsi Vital

A. Suhu Tubuh

Penderita dengan hipotermia dengan suhu tubuh ,32,2oC, sering dijumpai

pada penderita pecandu alcohol, intoksikasi obat-obatan (phenotiazine atau

barbiturate), akibat iklim dan jarang karena insufisiensi adrenal, gangguan

hypothalamus, hipopitutarism atau hipoglikemia dan keadaan ini memperberat

keadaan neurologiknya. Penderita dengan suhu tubuh >32,2oC biasanya dalam

keadaan sadar kecuali bila ada penyebab lain yang menyebabkan keadaan stupor

atau koma. Sedangkan penderita dengan suhu tubuh ,32,2oC dapat jatuh dalam

keadaan koma atau mungkin mengalami kematian otak.

Pada penderita bedah saraf yang mengalami disfungsi serebral, gangguan

neuroogik akibat hipotermi dapat terjadi lebih awal atau pada suhu yang lebih

Page 18: Responsi Dr.eddy

tinggi. Dehidrasi, laktik asidosis aritmia jantung merupakan komplikasi dari

hipotermia yang berat.

Suhu tubuh >42oC juga dapat menyebaban koma. Kenaikan suhu tubuh

biasanya diserai gejala delirium dan pada bangsal bedah saraf atau bangsal saraf

sering dijumpai gangguan psikiatrik ini akibat kenaikan suhu tubuh dan lesi pada

susunan saraf pusatnya. Hipertermia dapat disebabkan kareana heat stroke,

gangguan hipotalamus atau infeksi. Ihpertermia tanpa tanda keradangan sering

disebut sebagai “central fever”, dimana tidak seperti panas pada injeksi yang

dapat naik turun, pada panas karena proses sentral biasanya menetap tinggi. Panas

sentral sering mencapai 40oC. Pada penderita dengan kerusakan otak akut,

fluktuasi suhu tubuh merupakan pertanda prognosis burukdan menandai suatu

kerusakan ipotalamus yang berat.

B. Tekanan Darah

Pada penderita dalam keadaan gawat neurologic bila terdapat kenaikan

TIK akan djumpai hipertensi dan bradikardi, tetapi sering pula hanya djumpai

kenaikan tekanan darah tanpa perubahan detak jantung dan beberapa penderita

bradikardi tanpa hipertensi.

Pada penderita dengan koma, dalam gejala klinis ini sangat berarti dalam

menentukan deteriorasi akibat kenaikan teknan intracranial.

C. Detak Jantung

Monitoring dari detak jantung yang disertai dengan tanda klinis

kardiopulmoner lainnya dapat memberikan informasi yang berarti tentang

keadaan susunan saraf pusat (SSP). Sinus takikardia menunjukkan adanya

rangsangan simpatik seperti rasa sakit, panas atau syok perdarahan awal meskipun

belum ditemukan adanya hipotensi. Bradikardi yang disertai dengan kenaikan

TDS (Tekanan darah Sistole) dan penurunan status mental, menandai suatu

kenaikan TIK (reflek Cushing).

D. Pernafasan

Page 19: Responsi Dr.eddy

Pernafasan adalah aksi sensorimotorik yang terintegrasi dengan baik di

bawah pengaruh system saraf mulai dari tiap level dari otak dan mielum bagian

atas. Pola dan frekuensi pernapasan sangat berarti dalam monitoring setiap

kegawatdaruratan neurologic dan dengan observasi yang ketat, kita dapat

mengetahui perkembangan rostrokaudal dari proses desak ruang.

1. Cheyne stokes: lesi di hemisfer. 

2. Central neurogenic hyperventilation: lesi di mesensefalon-pons

3. Apneustic breath: lesi di pons

4. Ataxic breath: lesi di medulla oblongata

E. Pemeriksaan Neurologik

1.) Kesadaran

Seseorang disebut sadar bila ia sadar terhadap diri dan lingkungannya.

Secara sederhana, tingkat kesadaran dibagi atas : Kesadaran yang normal (compos

mentis), somnolen, sopor, koma ringan dan, titik.

Somnolen. Keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila

dirangsang. Somnolen disebut juga sebagai : letargi, optundasi. Tingkat kesadaran

ini ditandai oleh mudahnya penderita dibangunkan, mampu memberi jawaban

verbal dan menagkis rasa nyeri.

Sopor (stupor). Kantuk yang dalam. Penderita masih dapat dibangunkan

dengan rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia masih

dapat mengikuti suruhan yang singkat, dan masih terlihat gerakan spontan.

Dengan rangsang nyeri penderita tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi

terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban

verbal dari penderita. Gerak motorik untuk menagkis rangsang nyeri masih baik.

Koma ringan (semi koma). Pada keadaan ini, tidak ada respon terhadap

rangsang verbal. Reflek (kornea, pupil, dsb) masih baik. Gerakan terutama timbul

sebagai respon terhadap rangsang nyeri. Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak

Page 20: Responsi Dr.eddy

terorganisasi, merupakan jawaban ”primitif ”. Penderita sama sekali tidak dapat

dibangunkan.

Koma (dalam atau komplit). Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada

jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.

G.C.S

Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan

Glassgow Coma Scale yang memperhatikan tanggapan (respon) penderita

terhadap rangsang dan memberikan nilai pada respon tersebut. Tanggapan /respon

penderita yang perlu diperhatikan adalah :

a. Membuka mata

b. Respon Verbal (bicara)

c. Respon Motorik (gerakan)

a. Membuka Mata

Spontan

Terhadap bicara (suruh pasien mebuka mata)

Dengan rangsang nyeri (tekan pada syaraf supraorbita

atau kuku jari

Tidak ada reaksi (dengan rangsang nyeri pasien tidak

membuka mata)

Nilai

4

3

2

1

b. Respon Verbal (bicara)

Baik dan tidak ada disorientasi

Dapat menjawab dengan kalimat yang baik, tau

dimana ia berada, waktu, hari, bulan

Kacau (”consious”)

Dapat bicara dalam kalimat, namun ada disorintasi

waktu dan tempat

Tidak tepat

Dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak

Nilai

5

4

3

Page 21: Responsi Dr.eddy

merupakan kalimat dan tidak tepat

Mengerang

Tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang

Tidak ada jawaban

2

1

c. Respon Motorik (Gerakan)

Menurut perintah

Misalnya, suruh : ”angkat tangan!”

Mengetahui lokasi nyeri

Berikan rangsang nyeri, misalnya menekan dengan

jari pada supra orbita. Bila dengan rasa nyeri

pasien mengangkat tangannya sampai melewati

dagu untuk maksud menepis rangsang tersebu

berarti ia dapat mengetahui lokasi nyeri

Reaksi menghindar

Reaksi fleksi (dekortikasi)

Berikan rangsang nyeri misalnya menekan dengan

objek keras seperti ballpen pada jari kuku. Bila

sebagai jawaban siku memfleksi terhadap reaksi

fleksi terhadap nyeri (fleksi pada pergelangan

tangan mungkin ada atau tidak ada

Reaksi ekstensi (desereberasi)

Dengan rangsang nyeri tersebut diatas terjadi

ekstensi pada siku. Ini selalu disertai fleksi spastik

pada pergelangan tangan.

Tidak ada reaksi

Sebelum memutuskan bahwa tidak ada reaksi,

haus diyakinkan bahwan rangsang nyeri cukup

adekuat diberikan.

Nilai

6

5

4

3

2

1

Page 22: Responsi Dr.eddy

Bila kita gunakan skala glasgow sebagai patkan untuk koma, maka koma =

tidak didapatkan respon membuka mata, bicara, dan gerakan dengan jumlah nilai

= 3

2.) Batang Otak

Fungsi batang otak hendaknya dievaluasi secara sistematik mulai dari

midbrain dan meluas sampai medulla.

3.) Pupil dan posisi bola mata

Lesi di hemisphere

Deviation Conjugee : deviasi kedua bola mata ke arah lesi hemisphere dan

pupil besar dan reaksi cahaya masih positif

Lesi di thalamus

Kedudukan kedua bola mata melihat ke medial dan ke bawah menjauhi

lesi, pupil mengecil dan reflek cahaya negatif.

Lesi di tegmentum

Pupil biasanya terletak di tengah dan tidak bereaksi

Lesi di pons

Kebanyakan menyebabkan pinpoint dan unreactive pupil. Perdarahan di

dan sekitar ventrikel III pupil kecil dan masih bereaksi terhadap cahaya.

Lesi di mesencephalon

Pupil midriasis ipsilateral, reflek cahaya negatif dan reflek konsentrasi

masih positif dan tampak kelopak mata ptosis.

Herniasi transtentorial menyebabkan kompresi ipsilateral N.III atau

ipsilateral inti N.III dan inti Edinger-Westphal.

Maka Observasi pupil sangat penting untuk mengetahui kemungkinan

terjadinya impending herniasi.

Lesi di cerebelum

Bola mata di tengah, pupil lebar dan reflek cahay normal

3.) Kornea

Page 23: Responsi Dr.eddy

Reflek kornea menggambarkan integritas dari aferen N.V dan efferen

N.VII dan interkoneksinya di pons. Hilangnya reflek kornea menunjukkan adanya

kerusakan di pons

4.) Fungsi Motorik

Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikanmuka penderita, apakah simetris atau

tidak. Perhatikan kerutan pada dahi, pemejaan mata, plika nasolabialis dan sudutn

mulut. Bila asimetri (dari) muka jelas, maka hal ini disebabkan oleh kelumpuhan

jenis perifer. Dalam hal inmi kerutan dahi menghilang, maa kurang dipejamkan,

plika nasolabialis mendatar dan sudut mulut menjadi lebih rendah. Pada

kelumpuhan jenis sentral (supranuklir), muka dapat simetris waktu istirahat,

kelumpuhan baru nyata bila penderita disuruh melakukan gerakan, misalnya

menyeringai.

Meminta penderita mengangkat alis dan mengerutkan dahi.

Perhatikan apakah ini dapat dilakukan, dan apakah ada asimetri. Pada

kelumpuhan jenis supranulkir sesisi, penderita dapat mengankat alis dan

mengerutkan dahinya, sebab otot ini mendapat persarafan bilateral. Pada

kelumphan jenis perifer terlihat adanya asimetri.

Meminta penderita memejamkan mata.

Bila lumpuhnya berat, maka penderita tidak dapat memejamkan mata; bila

lumpuhnya ringan, maka tenaga pmejaman kurang kuat. Hal ini ndapat dinilai

dengan jalan mengangkat kelopak mata dengan tangan pemeriksa, sedangkan

pasien disuruh tetap memejamkan mata. Suruh pula pasien memejamkan matanya

satu persatu. Hal ini merupakan pemeriksaan yang baik bagi parese ringan. Bila

terdapat parese, pnderita tidak dapat memejamkan matanya pada sisi yang

lumpuh. Perlu diingat bahwa ada juga orang normal yang tiak dapat memejamkan

matnya satu persatu.

Meminta penderita menyerinai (menunjukkan gigi geligi), mencucurkan

bibir, menggmbungkan pipi).

Page 24: Responsi Dr.eddy

Perhatikan apakah hal ini dapat dilakukan dan apakah ada simetri.

perhatikan sudut mulutnya. suruh penderita bersiul. penderita yang tadinya dapat

bersiul menjadi tidak mampu lagi setelah adanya kelumpuhan. pada penderita

yang tidak kooperatif atau yang menurun kesadarannya, dan tidak dapat disuruh

menyeringai, dapat dibuat menyeringai bila kepadanua diberi rangsng nyeri, yaitu

dengan menekan pada sudut rahangnya (m.masseter).

II.5. PENATALAKSANAAN UMUM STROKE

A. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat

1. Evaluasi cepat dan diagnosis

Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat

pendek, maka evaluasi dan diagnosis klinis harus dilakukan dengan

cepat, sistematik, dan cermat. Evaluasi gejala klinis stroke akut

meliputi:

a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan,

aktivitas penderita saat serangan, gejala seperti nyeri

kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang,cegukan

(hiccup), gangguan visual, penurunan kesadaran, serta

faktor resiko stroke (hipertensi dan diabetes dan lain-lain).

b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi,

oksimetri dan suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher

(misalnya cedera kepala akibat jatuh saat kejang,

pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen, kulit dan

ekstremitas.

c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan

neurologis terutama pemeriksaan saraf kranialis,

rangsangan selaput otak, system motorik, sikap dan cara

reflex, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala

stroke yang dianjurkan saat ini adalah NIHSS.

Page 25: Responsi Dr.eddy

2. Terapi Umum

a. Stabilisasi jalan napas dan pernapasan

Pemantauan secara terus menerus terhadap status neurologis,

nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen

dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan deficit

neurologis yang nyata.

Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi

oksigen < 95%.

Perbaikan jalan napas termasuk pemasangan pipa orofaring

pada pasien yang tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada

pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau disfungs

bulbar dengan gangguan jalan napas.

Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia

Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak

memerlukan terapi oksigen

Intubasi ETT ( Endo Trakea Tube) atau LMA ( Laryngeal

Mask Airway) diperlukan pada pasien dengan hipoksia,atau

syok, atau pada pasien yang beresiko untuk terjadi aspirasi.

Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2

minggu. Jika pipa terpasang lebih dari 2 minggu, maka

dianjurkan dilakukan trakeostomi.

b. Stabilisasi Hemodinamik

Berikan cairan kritaloid atau koloid intravena (hindari

pemberian cairan hipotonik seperti glukosa)

Dianjurkan pemasangan CVC (central Venous

Catheter),dengan tujuan untuk memantau kecukupan cairan

dan sebagai sarana untuk memasukkancairan dan nutrisi.

Usahakan CVC 5-12mmHg.

Optimalisasi tekanan darah

Bila tekanan darah sistolik <120 mmHgdan cairan

sudah mencukupi, maka obat obat vasopression

Page 26: Responsi Dr.eddy

dapat diberikan secara titrasi seperti dopamine dosis

sedang/tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan

target tekanan darah sistolik berksar 140 mmhg.

Pemantauan jantung harus dilakukan selama 24 jam

pertama setelah stroke iskemik.

Bila terdapat adanya penyakit jantung kongesti

segera atasi.

Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari

penyebabnya. Hipovolemik harus dikoreksi dengan

larutan salin normal dan aritmia jantung yang

mengakibatkan penurunan curah jantung sekuncup

harus dikoreksi.

c. Pemeriksaan awal fisik umum

Tekanan darah

Pemeriksaan jantung

Pemeriksaan neurologis umum awal:

- Derajat kesadaran

- Pemeriksaan jantung

- Pemeriksaan pupil dan akulomotor

- Keparahan hemiparesis

d. Pengendalian peninggian tekanan intra kranial

- Pemantauan ketat terhadap penderita dengan

resiko edema serebral harus dilakukan

dengan memperhatikan perburukan gejala

dan serangan neurologis pada hari- hari

pertama setelah stroke.

- Monitor TIK harus dipasang pada pasien

dengan GCS <9 dan penderita yang

mengalami penurunan kesadaran karena

kenaikan TIK

Page 27: Responsi Dr.eddy

- Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20

mmHg dan CPP.70mmHg.

- Penatalaksanaan penderita dengan

peningkatan tekanan intra cranial meliputi :

o Tinggikan posisi kepala 200-300

o Posisi pasien hendaknya menghindari

penekanan vena jugularis

o Hindari pemberian cairan glukosa atau

cairan hipotonik

o Hindari hipertermia

o Jaga normovolemik

o Osmoterapi atas indikasi

Manitol ),25- 0,50 gr/kgBB, selama > 20

menit, diulang setiap 4-6 jam.

Osmolaritas sebaiknya diperiksa 2 kali

dalam sehari selama pemberian

osmoterapi.

Kalau perlu, berikan furosemide dengan

dosis inisial 1 mg/kgBB IV.

e. Penanganan Transformasi Perdarahan

Tidak ada anjuran tentang transformasi perdarahan

asimtomatik, terapi transformasi perdarahan simtomatik

sama dengan terapi stroke perdarahan antara lain dengan

memperbaiki perfusi serebral dengan mengendalikan

tekanan darah arterial secara hati-hati.

f. Pengendalian kejang

Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20

mg dan diikuti oleh fenitoin loading dose 15-20 mg/kg

bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit. Bila

kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.

Pemberian antikomvulsan profilaksis pada penderita stroke

Page 28: Responsi Dr.eddy

iskemik tampa kejang tidak dianjurkan. Pada stroke

perdarahan intra serebral obat antikonvulsan profilaksis

dapat diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan

dihentikan bila tidak ada kejang selama pengobatan.

g. Pengendalian suhu tubuh

Setiap penderita stroke yang disertai demam harus diobati

dengan antipiretika dan diatasi penyebabnya, berikan

Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,50C atau

37,50C, pada pasien febris atau beresiko terjadi infeksi,

harus dilakukan kultur dan hapusan (trakea, darah, dan

urin) dan diberikan antibiotik.

h. Pemeriksaan penunjang

EKG

Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal,

hematologi, faal hemostasis, kadar gula darah,

analisis urin, analisa gas darah, dan elektrolit)

Bila perlu pada kecurigaan perdarahan subaraknoid,

lakukan punsi lumbal untuk pemeriksaan cairan

serebrospinal

Pemeriksaan radiologi

Foto rontgen dada dan CT scan.

B. Penatalaksanaan Umum di Ruang Rawat

1. Cairan

Berikan cairan isotonic seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga

euvolemi. Tekanan vena sentral pertahankan antara 5-12 mmHg.

Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kg BB/hari (parentral

maupun entral)

Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari

ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi

urin sehari di tambah dengan pengeluaran cairan yang tidak tampak

dan tambah lagfi 300ml per drajat celcius pada penderita panas).

Page 29: Responsi Dr.eddy

Elektrolit (natrium, kalium, kalsium, dan magnesium harus selalu

diperiksa dan diganti bila terjadi kekurangan sampai terjadi nilai

normal.

Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisis

gas darah.

Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaknya

dihindari kecuali pada keadaan hipoglikemi.

2. Nutrisi

Nutrisi entral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam,

nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan

baik.

Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun maka

makanan diberikan melalui pipa nasogastrik

Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan

komposisi:

- Karbohidrat 30-40% dari total kalori

- Lemak 25-35% (pada gangguan napas dapat lebih tinggi 35-

55%)

- Protein 1.4-2.0 g/kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal ,0.8

g/kg BB/hari)

Apabila kemungkinan pemakaian pipa gastric diperkirakan .6

minggu pertimbangkan untuk gastroktomi.

Pada keadaan tertentu, yaitu pemberian nutrisi enteral tidak

memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.

Perhatikan diet pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan

yang diberikan. Contohnya, hindarkan makanan yang banyak

mengandung vitamin K pada pasien yang mendapat warfarin.

3. Pencegahan dan penanganan komplikasi

Page 30: Responsi Dr.eddy

- Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut

(aspirasi, malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena dalam, emboli

paru, dekubitus, dan kontraktur) perlu dilakukan.

- Berikan antibiotik atas indikasi dan usaha sesuai dengan tes kultur

dan sensivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai pola kuman.

- Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas.

- Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli

- Pada pasien tertentu yang beresiko menderita thrombosis vena

dalam, heparin subkutan 5000 IU dua kali sehari. Resiko perdarahan

iskemik dan intraserebral perlu diperhatikan.

4. Penatalaksanaan medis lain

Pemantauan kadar glukosa darah perlu diperhatikan, hiperglikemia

(kadar glukosa darah >180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati

dengan titrasi insulin target yang harus dicapai adalah

normoglikemik. Hipoglikemik berat (< 50 mg/dl) harus diobati

dengan dekstrosa 40 % intravena atau infuse glukosa 10-20%

Jika gelisah dilakukan terapi psikologis

Analgesik dan anti muntah sesuai indikasi

Berikan H2 antagonis apabila ada indikasi perdarahan lambung.

Hati- hati dalam menggerakkan penyedotan lendir atau memandikan

pasien karenan dapat mempengaruhi TIK

Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernapasan stabil

Kandung kemih yang penuh dikosongkan sebaiknya dengan

kateterisasi.

Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium, MRI,

Dupleks carotid, Sonografi dan lain-lain.

Rehabilitasi

Edukasi keluarga

Rencana pengolahan pasien di luar rumah.

II.6. PENATALAKSANAAN PIS (PERDARAHAN INTRASEREBRAL)

Page 31: Responsi Dr.eddy

1. Diagnosis dan penilaian gawat darurat paada perdarahan intracranial

dan penyebabnya :

Pemeriksaan pencitraan yang cepat dengan CT scan atau MRI

direkomendasikan untuk membedakan stroke iskemik dengan

perdarahan intracranial

Angiografi CT dan CT dengan kontras dapat dipertimbangkan

untuk membantu mengidentifikasi pasien dengan resiko perluasan

hematoma. Bila secara klinis atau radiologis terdapat kecurigaan

yang mengarah ke lesi yang struktural termasuk malformasi

vaskuler dan tumor sebaiknya dilakukan angiografi CT, venografi

CT, CT dengan kontras, MRA, dan venografi MR.

2. Tata laksana medis Perdarahan Intrakranial

a. Pasien dengan defisiensi berat faktor koagulasi atau

trombositipenia berat sebaiknya mendapat terapi penggantian

faktor koagulasi atau trombosit

b. Pasien dengan perdarahan intrakranial dan peningkatan INR terkait

obat antikoagulan sebaiknya tidak diberikan warfarin, tetapi

mendapat terapi untuk mengganti vitamin K-dependent factor

mengoreksi INR serta mendapat vitamin K intravena.

c. Apabila terjadi gangguan koagulasi maka dapat dikoreksi sebagai

berikut :

Vitamin K 10 mg IV diberikan pada penderita dengan

peningkatan INR dan diberikan dalam waktu yang sama

dengan terapi yang lain karena efek akan timbul 6 jam

kemudian. Kecepatan pemberian <1 mg/menit untuk

meminimalkan resiko anafilaksis.

FFP (fres frozen plasma) 2-6 unit diberikan untuk mengoreksi

defisiensi faktor pembekuan darah apabila ditemukan sehingga

dengan cepat dapat memperbaiki INR. Terapi FFP ini untuk

mengganti pada kehilangan faktor koagulasi.

Page 32: Responsi Dr.eddy

d. Faktor VIIa rekombinasi tidak mengganti semua faktor pembekuan,

dan walaupun INR pembekuan bisa jadi tidak membaik

e. Kegunaan dari transfuse trombosit pada pasien perdarahan

intracranial dengan riwayat penggunaan antipletelet masih tidaj

jelas dan dalam tahap penelitian.

3. Tekanan darah

Penurunan tekanan darah yang tinggi pada pasien akut sebagai tindakan

rutin tidak dianjurkan kemungkinan dapat memperburuk keluaran

neurologi padasebagian pasien, tekanan darah dengan sendirinya dalam

24 jam pertama setelah serangan stroke. Berbagai Guidelines

(AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan penurunan

tekanan yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan secara hati-hati.

Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut apabia TDS >200

mmhg tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat

antihipertensi ntravena secara continue dengan pemantauan tekanan

darah setiap 5 menit

Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220

mmhg, penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140

mmHg cukup aman.

4. Penanganan di Rumah sakit dan pencegahan kerusakan otak sekunder

Pemantauan awal dan penanganan pasien perdarahan intracranial

sebaiknya dilakukan di ICU dengan dokter dan perawat yang

mempunyai keahlian perawatan intensif neurosains.

Obat kejang dan antiepilepsi

Kejang sebaiknya diterapi dengan obat antiepilepsi.

5. Operasi

Evakuasi hematoma

Page 33: Responsi Dr.eddy

Pasien dengan perdarahan intraserebral yang mengalami

perburukan neurologis, atau yang terdapat dekompresi batang otak

dan atau hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel sebainya

menjalani oerasi evakuasi bekuan darah secepatnya.

PEDOMAN PENATALAKSANAAN PADA STROKE PERDARAHAN

INTRASEREBRAL

Pada stroke perdarahan intraserebral (PIS) dengan tekanan darah sangat

tinggi (tekanan darah sistolik >220 mmHg, tekanan diastolik >120mmHg) harus

diturunkan sedini dan secepat mungkin untuk membatasi pembentukan edema

vasogenik akibat robeknya sawar darah otak pada daerah iskemia sekitar

perdarahan

Penurunan tekanan darah akan menurunkan resiko perdarahan ulang atau

perdarahan yang terus menerus akan tetapi daerah otak sekitar hematom

bertambah iskemik karena autoregulasi pada daerah ini telah hilang. Atas dasar ini

obat anti hipertensi diberikan kalau tekanan sistolik >180mmHg atau tekanan

diastolik >100mmHg.

Dandapani et al menganjurkan penurunan tekanan darah sedini mungkin

pada perdarahan intra serebral dengan tekanan arterial rerata >145mmHg untuk

mencegah perdarahan ulang, pengurangan tekanan intrakranial dan edema otak

serta mencegah kerusakan organ akhir (end organ)

Pedoman penatalaksanaan

1. Bila tekanan darah sistolik >230mmHg atau tekanan darah sistolik

>140mmHg : berikan nikardipin, diltiazem atau nimodipine.

2. Bila tekanan sistolik 180-230mmHg atau tekanan diastolik 105-140

mmHg atau tekanan arteri rerata 130mmHg :

a. Labetalol 10-20 mg IV selama 1-2 menit. Ulangi atau

gandakan setiap 10 menit sampai maksimum 300 mg atau

Page 34: Responsi Dr.eddy

berikan dosis awal bolus diikuti oleh labetalol drip 2-

8mg/menit

b. Nikardipin atau

c. Diltiazem atau

d. Nimodipin

3. Pada fase akut tekanan darah tidak boleh diturunkan lebih dari 20-25%

dari tekanan darah arteri rerata.

4. Bila tekanan sistolik <180mmHg dan tekanan diastolik <105 mmHg,

tangguhkan pemberian obat anti hipertensi

5. Bila terdapat fasilitas pemantauan tekanan intrakranial, tekanan perfusi

otak harus dipertahankan >70mmHg

6. Pada penderita dengan riwayat hipertensi penurunan tekanan darah harus

dipertahankan diawah tekanan arterial rata-rata 130mmHg

7. Tekanan darah arterial rata-rata lebih dari 110mmHg harus dicegah segera

pada waktu pasca operasi dekompresi.

8. Bila tekanan darah arterial sistolik turun <90mmHg harus diberikan obat

menaikkan tekanan darah (vasopressor)

PERHATIAN :

1. Peningkatan tekanan darah dapat disebabkan oleh stress akibat stroke,

kandung kencing yang penuh, nyeri, respon fisiologi dan hipoksia atau

peningkatan tekanan intra-kranial.

2. Dengan memperhatikan dan melakukan penanganan pada keadaan di atas

akan banyak berpengaruh pada tekanan darah sistemik pada fase

menunggu 5-20 menit pengukuran berikutnya.