pilositik astrositoma

28
PENDAHULUAN Tumor otak adalah lesi oleh karena ada desakan ruang baik jinak maupun ganas yang tumbuh di otak, meningen dan tengkorak. Kraniofaringioma adalah tumor dari sel epitel embrionik dari duktus kraniofaringeal yang terletak di area hipotalamus di atas sella tursika atau bagian infundibulum. Kraniofaringioma merupakan tumor kistik yang berkalsifikasi, ekstra-aksial, epitel-skuamosa, dan tumbuh dengan lambat yang timbul dari sisa-sisa duktus kraniofaringeal dan/atau celah Rathke dan menempati bagian suprasellar. Insidensi kraniofaringioma menempati 4% dari tumor intracranial. Lokasi kraniofaringioma yang paling sering ditemukan adalah pada regio suprasella. Kraniofaringioma merupakan 13% dari keseluruhan tumor suprasella dan 56% tumor suprasella pada anak-anak. Kraniofaringioma berasal dari sel skuamosa sisa kantung Rathke yang terletak antara adenohipofisis dan neurohipofisis. Kraniofaringioma dianggap didapat secara kongenital dan timbul dari sisa-sisa kantong Rathke's di persimpangan batang infundibular dan hipofisis. Manifestasi klinis kraniofaringioma bergantung dari lokasi tumor, ukuran, pola pertumbuhan dan kaitannya dengan struktur serebral yang lain. Manifestasi klinis kraniofaringioma biasanya timbul perlahan-lahan. Terdapat

Upload: owoongkwon

Post on 04-Jan-2016

51 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

referat radiologi

TRANSCRIPT

Page 1: pilositik astrositoma

PENDAHULUAN

Tumor otak adalah lesi oleh karena ada desakan ruang baik jinak maupun ganas

yang tumbuh di otak, meningen dan tengkorak. Kraniofaringioma adalah tumor dari sel

epitel embrionik dari duktus kraniofaringeal yang terletak di area hipotalamus di atas

sella tursika atau bagian infundibulum. Kraniofaringioma merupakan tumor kistik yang

berkalsifikasi, ekstra-aksial, epitel-skuamosa, dan tumbuh dengan lambat yang timbul

dari sisa-sisa duktus kraniofaringeal dan/atau celah Rathke dan menempati bagian

suprasellar.

Insidensi kraniofaringioma menempati 4% dari tumor intracranial. Lokasi

kraniofaringioma yang paling sering ditemukan adalah pada regio suprasella.

Kraniofaringioma merupakan 13% dari keseluruhan tumor suprasella dan 56% tumor

suprasella pada anak-anak.

Kraniofaringioma berasal dari sel skuamosa sisa kantung Rathke yang terletak

antara adenohipofisis dan neurohipofisis. Kraniofaringioma dianggap didapat secara

kongenital dan timbul dari sisa-sisa kantong Rathke's di persimpangan batang

infundibular dan hipofisis.

Manifestasi klinis kraniofaringioma bergantung dari lokasi tumor, ukuran, pola

pertumbuhan dan kaitannya dengan struktur serebral yang lain. Manifestasi klinis

kraniofaringioma biasanya timbul perlahan-lahan. Terdapat interval 1-2 tahun antara

onset gejala dengan diagnosis. Regio suprasella dikelilingi oleh struktur-struktur saraf

yang berpotensi untuk menampilkan gejala defisit neurologis seperti gangguan

penglihatan, gangguan endokrin, peningkatan tekanan intrakranial serta gangguan

psikiatri.

Referat ini akan membahas mengenai kraniofaringioma. Selain itu, pada referat

ini juga akan dibahas mengenai anatomi dan embriologi terutama sella dan area

sekitarnya.

Page 2: pilositik astrositoma

ANATOMI DAN FISIOLOGI

A. REGIO SELLA TURSIKA

Fossa hipofisis dibatasi pada anterior, posterior dan inferior oleh struktur

tulang sella tursika.1 Batas anterior disebut tuberkulum sella. Batas posterior

adalah dorsum sella. Pada bagian anterior dan sedikit superior dari tuberkulum

terdapat sulkus kiasmatikus yang berujung pada tiap sisi foramen optikus. Batas

superolateral dorsum sella membentuk struktur bulat yang disebut prosesus

Klinoideus posterior yang merupakan tempat menempelnya dura. prosesus

klinoideus anterior memiliki fungsi yang sama dan berkaitan dengan sisi

anterolateral dari sella tursika.2

Batas bawah dari fossa hipofiseal dibentuk oleh atap sinus sfenoideus,

tergantung ukuran sinus tersebut. Apabila sinus berukuran kecil, atapnya hanya

membentuk dasar bagian anterior dari sella tursika dan sisanya dibentuk oleh

tulang sfenoid. Derajat pneumatisasi tulang sfenoid dan ketebalan tulang yang

memisahkan sinus sfenoid dari fosa hipofiseal sangat bervariasi. Pola struktur

tulang trabekula yang membagi sinus sfenoid juga tidak konstan. Septum

intrasinus menempel pada bagian tengah dinding sella anterior dan hanya pada

20% kasus dan dapat pula tidak ada. Pada 20% kasus lain, perlekatan posterior

dari septum intrasinus adalah pada prominensia karotis.2,3

2

Page 3: pilositik astrositoma

Kontur dari sella juga sangat bervariasi. Meskipun konturnya bulat dan oval

namun dapat juga datar. Saat lahir, sella tursika terdiri dari depresi dangkal dan

bagian dorsum belum terosifikasi. Pada saat usia 4 tahun, bentuk sella menjadi

semakin bulat. Dimensi sagital meningkat sebanyak 0,5 – 1 mm per tahun hingga

masa pubertas (ketika bentuk sella sudah definitif menjadi bulat). Rata-rata

dimensi anteroposterior sella pada bidang midsagital adalah 1,07 cm, sedangkan

rata-rata dalam dan dimensi transversumnya adalah 0,8 cm dan 1,21 cm. Ukuran

Rata-rata sella pada pria maupun wanita sama.2

Diafragma sella, yaitu lipatan dura dengan defek sentral akan membentuk

atap tidak komplit di atas sella tursika. Diafragma sella memisahkan lobus

anterior dengan kiasma optikus. Batas diafragma menempel pada tuberkulum

sella, prosesus klinoideus anterior, bagian superior dorsum sella dan prosesus

klinoideus posterior. Pada bagian lateral, diafragma berlanjut dengan lipatan dura

yang menyusun dinding lateral fossa hipofisis.2

B. PARASELLA DAN SUPRASELLA

Lipatan duramater yang membentuk dinding lateral fossa hipofisis berisi

sinus kavernosus, yang terdiri dari kanal-kanal yang dipisahkan oleh trabekula

fibrosa.1 Kedua sinus saling berhubungan dari sinus interkavernosus anterior dan

posterior atau sinus sirkularis. Sinus ini melintas pada diafragma sella di depan

dan belakang infundibulum.2

Nervus okulomotorius, nervus troklearis, dan nervus trigeminus divisi satu

dan dua terdapat pada dinding lateral sinus kavernosus, di antara perbatasan

endotelial dan dura mater. Sedangkan nervus abdusen terdapat pada sinus

tersebut. Sinus kavernosus juga membungkus satu bagian dari arteri karotid

interna dan pleksus nervus simpatikus yang mengelilinginya. Segmen kavernosus

dari arteri karotid interna berjalan kedepan dekat dengan permukaan superolateral

tulang sfenoid pada lekukan yang disebut sulkus karotikus. Arteri ini kemudian

membelok ke superior, medial dari prosesus klinoid anterior, pada bagian akhir

anterior sulkus karotikus, dimana arteri ini menembus ke dura dan memasuki

ruang subaraknoid.2

3

Page 4: pilositik astrositoma

Hipofisis terletak dibawah hipotalamus dan jaras visual. Variabilitas

perkembangan permukaan superior dari tulang sfenoid yang letaknya anterior dari

fossa hipofiseal mengakibatkan variasi letak antara kelenjar hipofisis,

infundibulum, diafragma sella, sulkus kiasmatikus dan aparatus optikus. Terdapat

empat pola yang ditemui:2

1. Pada beberapa kasus, tulang sfenoid berkembang sehingga sulkus

kiasmatikus terletak lebih inferior dari biasanya. Ini akan mengakibatkan

posisi foramen optikus menjadi lebih rendah sehingga kiasma optikus

letaknya lebih dekat dengan diafragma sella. Batas anterior kiasma

berdekatan dengan sulkus kiasmatikus dan sering kali bersinggungan

dengan dinding posterior atas dari sinus sfenoideus. Nervus optikus di

intrakranial jarasnya relatif pendek dan infundibulum terletak posterior dari

jaras ini dari hipotalamus ke diafragma sella. Ekstensi tumor hipofisis

suprasela dapat mengakibatkan disetensi diafragma sella sehingga

mengakibatkan tekanan tertinggi terdapat pada bagian medial traktus

optikus.

2. Pada kasus lain, jaras nervus optikus di intrakranial lebih panjang serta

keseluruhan kiasma optikus terletak pada bagian anterior diafragma sella.

Infundibulum dengan jalur vertikal melewati hipotalamus menuju ke

apertura sentralis. Kiasma optikus merupakan struktur yang paling rentan

4

Page 5: pilositik astrositoma

terhadap ekstensi tumor hipofisis ke suprasella. Struktur kedua ini

ditemukan pada 12% kasus.

3. Pada struktur ketiga ini, kiasma optikus terletak lebih posterior dibanding

kedua struktur sebelumnya, terletak pada aspek posterior dari diafragma

sella dan pada bagian anterior dorsum sella. Infundibulum terdapat di

anterior dan melewati hipotalamus menuju ke diafragma. Struktur ini

ditemukan pada 75% kasus.

4. Pada struktur ini, kiasma optikus terletak pada dan dibelakang dorsum sella.

Infundibulum terdapat di depannya dan mengarah ke apertura sentralis.

Struktur ini terdapat padaa 4% - 11% kasus. Pada struktur ini, aspek medial

dari nervus optikus merupakan bagian yang paling rentan pada ekstensi

tumor intrasella ke bagian suprasella.

C. KELENJAR HIPOFISIS

Hipofisis terletak pada bagian inferior diensefalon. Hipofisis melekat pada

hipotalamus melalui infundibulum dan disokong oleh sella tursika tulang sfenoid.

Hipofisis memiliki fungsi endokrin dan secara struktural dan fungsional dibagi

menjadi bagian anterior yang disebut adenohipofisis dan bagian posterior yang

disebut neurohipofisis. Adenohipofisis dibagi menjadi pars distalis (hipofisis

anterior) dan pars tuberalis. Neurohipofisis terdiri dari hipofisis posterior.2

5

Page 6: pilositik astrositoma

Berat rata-rata kelenjar hipofisis saat lahir adalah sekitar 100 mg.

pertumbuhan cepat terjadi pada masa kanak-kanak, diikuti oleh pertumbuhan

lebih lambat hingga dewasa. Saat dewasa berat rata-rata hipofisis adalah sekitar

500 – 600 mg. Hipofisis dewasa berukuran panjang 10 mm, lebar 10 – 15 mm dan

tinggi 5 mm. Hipofisis pada wanita biasanya 20% lebih berat dibandingkan

dengan pria akibat perbedaan relatif ukuran pars distalis dan pada saat kehamilan

berat hipofisis bertambah sebanyak 12% - 100% akibat pembesaran pars distalis.

Volume hipofisis berkurang seiring penambahan usia.2

Regulasi neural fungsi hipofisis terjadi akibat dua mekanisme, yaitu

proyeksi langsung dan tidak langsung:2

1. Proyeksi langsung hipotalamus ke neurohipofisis mengandung terminal

akson yang berakhir pada lobus posterior dan melepaskan produk

neurosekretori langsung ke aliran darah.

2. Regulasi adenohipofisis via hormon tropik yang diproduksi di hipotalamus

dan diteruskan ke lobus anterior via sistem vena porta.

Kelenjar hipofisis mendapat suplai darah dari dua kelompok arteri, yaitu

arteri hipofiseal superior (AHS) yang memberikan suplai primer ke lobus anterior

dan arteri hipofiseal inferior (AHI) yang memberiksan suplai ke pars nervosa.

AHS berasal dari arteri karotid interna (AKI) atau dari arteri komunikans

posterior sedangkan AHI berasal dari trunkus meningohipofiseal, cabang dari

segmen kavernosa AKI. AHS terdiri dari pembuluh darah kecil yang keluar dari

bagian inferomedial AKI dibawah nervus optikus. Mereka memperdarahi

infundibulum, adenohipofisis dan permukaan inferior nervus optikus dan kiasma.

6

Page 7: pilositik astrositoma

Arteri-arteri kecil ini beranastomosis dengan bagian sisi kontralateralnya dan

dengan AHI untuk membentuk pleksus yang mengelilingi eminensia media dan

bagian atas infundibulum. Eminensia media menerima ujung-ujung sel

hipotalamik yang memproduksi faktor pelepas dan inhibisi yang berkaitan dengan

kontrol fungsi adenohipofiseal. Cincin vaskular ini terbagi menjadi pleksus primer

kapiler yang berfenestra yang bercabang melalui jaringan-jaringan dan menerima

faktor regulatori yang disekresikan oleh jaringan. Kapiler-kapiler bergabung

menjadi venula dan membentuk vena porta hipofiseal. Setelah mentransmisikan

faktor regulatori menuju adenohipofisis dan menerima hormon yang disekresi

lobus anterior, kapiler-kapiler ini kemudian bergabung menjadi vena hipofiseal

lateral eferen yang mendrainase sinus kavernosus.1,2

Lobus posterior mendapat suplai darah dari cabang AHI. Pembuluh darah

ini melewati bagian medial dari asalnya dibawah diafragma sella untuk memasuki

lekukan diantara pars distalis dan pars nervosa. Pada lokasi ini, terbagi menjadi

cabang asendens dan desendens yang bergabung dengan cabang lainnya dari AHI

kontralateral dan membentuk cincin arteri. Anastomosis ini kemudian membentuk

arteriol dan kapiler yang bercabang sepanjang pars nervosa, menerima produk

neurosekretori dari akson terminal. Cabang lain memberi suplai ke kapsul pars

nervosa dan infundibulum. Drainase vena lobus posterior juga secara primer oleh

sinus kavernosus dan sinus sirkularis. Lobus intermedius relatif avaskular, namun

dapat diperdarahi suplai kolateral dari hubungan anastomosis antara kapiler lobus

anterior dan posterior.1,2

7

Page 8: pilositik astrositoma

PILOCYTIC ASTROCYTOMA

A. DEFINISI

Tumor otak adalah lesi oleh karena ada desakan ruang baik jinak maupun

ganas yang tumbuh di otak, meningen dan tengkorak.6 Kraniofaringioma adalah

tumor dari sel epitel embrionik dari duktus kraniofaringeal yang terletak di area

hipotalamus di atas sella tursika atau bagian infundibulum.7 Kraniofaringioma

merupakan tumor kistik yang berkalsifikasi, ekstra-aksial, epitel-skuamosa, dan

tumbuh dengan lambat yang timbul dari sisa-sisa duktus kraniofaringeal dan/atau

celah Rathke dan menempati bagian suprasellar.8

B. EPIDEMIOLOGI

Insidensi kraniofaringioma menempati 4% dari tumor intrakranial.

Distribusi usia pada tumor ini puncaknya adalah pada usia 5-14 tahun dan 50-60

tahun. Insidensi tumor ini yaitu 0,5 hingga 2,5 per 1.000.000 populasi. Tidak ada

variasi jenis kelamin ataupun ras. Tidak ada hubungan genetik yang diidentifikasi

dan kasus keturunan pada keluarga jarang ditemukan.8

Lokasi kraniofaringioma yang paling sering ditemukan adalah pada regio

suprasella. Kraniofaringioma merupakan 13% dari keseluruhan tumor suprasella

dan 56% tumor suprasella pada anak-anak dimana merupakan 5% - 10% dari

keseluruhan tumor intrakranial pada anak.8

C. ETIOLOGI

Kraniofaringioma berasal dari sel skuamosa sisa kantung Rathke yang

terletak antara adenohipofisis dan neurohipofisis.7

Dua hipotesis telah disusun untuk menjelaskan etiologi kraniofaringioma,

yaitu teori embriogenik dan teori metaplastik.8

TEORI EMBRIOGENIK

8

Page 9: pilositik astrositoma

Teori embriogenik berkaitan dengan perkembangan adenohipofisis dan

transformasi sel yang tersisa dari duktus kraniofaringeal dan kantung Rathke.

Pada minggu keempat kehamilan, infundibulum yang merupakan evaginasi

diencephalon kearah bawah, kontak dengan kantung Rathke yang merupakan

invaginasi dari cavitas “orissto primitive” (stomodenum). Tangkai dari kantung

ini merupakan duktus craniopharyngeus yang lama kelamaan akan menyempit,

menutup dan terpisah dari stomodenum pada akhir gestasi bulan kedua. Vesikel

yang baru terbentuk ini kemudian akan rata dan mengelilingi infundibulum dan

dindingnya akan membentuk struktur hipofisis. Vesikel tersebut kemudian akan

berinvolusi. Dari sel embriologik yang menyusun duktus kraniofaringeus atau

kantung Rathke inilah terbentuk kraniofaringioma.8

TEORI METAPLASTIK

Teori metaplastik menyatakan bahwa terdapat kemungkinan

kraniofaringioma berasal dari metaplasia sel squamosal dan sel epitel residual

yang berasal dari stomodenum primitive dan normalnya terdapat pada

adenohipofisis. Kedua teori ini dapat diterima dan dapat menjelaskan spektrum

histopatologis dari kraniofaringioma.8

D. PATOGENESIS

Kraniofaringioma dianggap didapat secara kongenital dan timbul dari sisa-

sisa kantong Rathke's di persimpangan batang infundibular dan hipofisis.

Kraniofaringioma adalah tumor epitel yang jinak. Sel-sel skuamosa yang

ditemukan menunjukkan gambaran metaplastik dan dapat menetap untuk suatu

jangka masa yang signifikan sebelum transformasi terjadi. Terdapat juga pendapat

yang mengatakan bahwa tumor ini berasal dari malformasi dari sel embrio yang

terlalu lama menetap di daerah tersebut dan tidak diserap sewaktu janin sehingga

menyebabkan pertumbuhan yang abnormal. Pada saat tumor telah mencapai

diameter 3 sampai 4 cm, hampir selalu menjadi kistik dan sebagian terkalsifikasi.

Biasanya terletak di atas sella tursika dan menekan kiasma optik hingga ke

ventrikel ketiga. Tumor yang besar dapat menghambat aliran CSF.8

9

Page 10: pilositik astrositoma

E. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis kraniofaringioma bergantung dari lokasi tumor, ukuran,

pola pertumbuhan dan kaitannya dengan struktur serebral yang lain.6

Kraniofaringioma biasanya secara umum tumbuh dengan lambat, gejala

dapat timbul secara gradual sehingga manifestasi klinis dapat timbul 1- 2 tahun

diantara gejala onset dan diagnosis. Pada dewasa, gejala klinis yang paling sering

muncul adalah defisit lapang pandang dan tanda hipohipofisis. Pada sekitar 40-

80% pasien dengan ekstensi tumor suprasella yang menekan kiasma optikus dapat

mengakibatkan gangguan pada tajam penglihatan dan gangguan pada lapang

pandang (hemianopsia bitemporal asimetris). Pada penelitian dari 78 pasien

dewasa, 57% pasien wanita melaporkan menstruasi yang tidak teratur atau

amenore dan 28% pasien mengeluh adanya gangguan fungsi seksual. Gejala lain

seperti nausea dan muntah (26%), kekurangan energi (32%) dan letargi (26%)

juga sering pada pasien dewasa. Gejala-gejala ini indikatif merupakan gejala

disfungsi hipofisis anterior.7

Secara umum, defisiensi hormon pertumbuhan sering ditemukan, diikuti

oleh defisiensi gonadotropin, hormon adenokortikotropin (ACTH), tiroid

stimulating hormone (TSH). Kompresi infundibulum dapat mengakibatkan

diabetes insipidus (DI) dengan gejala poliuria dan polidipsia pada 17-38,5%

kasus. Keterkaitan hipotalamus dapat mengakibatkan peningkatan berat badan

signifikan yang merupakan manifestasi klinis dari 13-15,4% pasien. Nyeri kepala

berat juga sering kali dijumpai (56%) dan dapat merupakan akibat dari

peningkatan tekanan intrakranial akibat masa tumor tersebut, maupun akibat

hidrosefalus obstruksi akibat kompresi ventrikel tiga atau akibat kebocoran masa

kista yang dapat mengakibatkan iritasi meningeal.7

Manifestasi klinis kraniofaringioma biasanya timbul perlahan-lahan.

Terdapat interval 1-2 tahun antara onset gejala dengan diagnosis. Regio suprasella

dikelilingi oleh struktur-struktur saraf yang berpotensi untuk menampilkan gejala

defisit neurologis seperti gangguan penglihatan, gangguan endokrin, peningkatan

tekanan intrakranial serta gangguan psikiatri.8 Manifestasi klinis kraniofaringioma

dibagi menjadi:

10

Page 11: pilositik astrositoma

1. Manifestasi akibat peningkatan tekanan intrakranial akibat obstruksi pada

foramen Monro7

- Nyeri kepala

Nyeri kepala dilaporkan pada 55% - 86% pasien. Nyeri kepala bersifat

tumpul namun memberat secara progresif, bersifat terus menerus dan

kadang-kadang bersifat posisional. Penyebab nyeri kepala adalah akibat

peningkatan tekanan intrakranial akibat hidrosefalus sekunder atau

kompresi sella duramater atau sella diafragma.

- Muntah proyektil

2. Gangguan visual8

Gangguan visual akibat kompresi nervus optikus, kiasma optikus atau

traktus optikus terjadi pada 40%-70% pasien. Gangguan visual juga dapat

terjadi akibat papilledema. Papilledema disebabkan oleh hidrosefalus akibat

obstruksi pada ventrikel 3 oleh tumor. Defek lapang pandang yang terjadi

yaitu bitemporal hemianopia.

3. Disfungsi endokrin8

Sering kali pada kraniofaringioma timbul manifestasi nonendokrin,

namun sering terjadi kegagalan fungsi hipofisis anterior. Defisiensi hormon

pertumbuhan sering ditemui. Manifestasi lain yang sering muncul adalah

hipotiroid, yang terjadi pada 40% pasien. Manifestasi insufisiensi adrenal

juga dapat muncul. Sekitar 20% pasien mengalami diabetes insipidus.

Delapan puluh persen pasien dewasa mengeluh penurunan libido. Impotensi

dan amenorea sering dijumpai.

Terdapat tiga sindrom klinis yang berkaitan dengan lokasi anatomis tumor.

Bila tumor terletak prechiasma, maka terdapat manifestasi seperti penurunan

tajam penglihatan progresif dan konstriksi dari lapang pandang serta dapat

dijumpai atrofi optik. Bila tumor terletak di retrokiasma maka akan terjadi

manifestasi peningkatan tekanan intrakranial dan hidrosefalus. Bila tumor terletak

intrasella maka pasien biasanya mengeluh nyeri kepala dan terdapat

endokrinopati.8

Pertumbuhan tumor ekstensif ke frontal atau lobus temporal dapat

menimbulkan anosmia atau kejang, ke fosa posterior akan menyebabkan

abnormalitas fungsi saraf otak IV dan VI, traktus piramidalis dan serebelum.

11

Page 12: pilositik astrositoma

Jarang sekali kraniofaringioma menimbulkan defisit neurologis yang berat seperti

disfungsi N. VIII.6

Ekstensi tumor parasella dengan infiltrasi sinus kavernosus dapat

mengakibatkan kelumpuhan nervus kranialis dengan diplopia dan paresis otot

okuli. Keterlibatan lobus temporal dapat mengakibatkan kejang dan pada orang

tua tumor ukuran besar dapat mengakibatkan gangguan kemampuan kognitif dan

perubahan kepribadian.6,8

F. DIAGNOSIS

Diagnosis pasien dengan kraniofaringioma adalah berdasarkan temuan

klinis, yaitu gejala neurologis dan endokrin serta temuan radiologi, yaitu massa

solid yang kistik dan mengalami kalsifikasi, dan kemudian dikonfirmasi dengan

temuan histologis yang khas.

Pemeriksaan penunjang untuk kraniofaringioma dapat dilakukan dengan

pemeriksaan radiologi, endokrin, oftalmologi, dan patologi anatomi.

1. Pemeriksaan Radiologi

Tampilan klasik dari kraniofaringioma adalah separuh bagian sellar

atau para sellar yang padat, dan separuhnya bagian cyctic calcified mass

lesion. Tumor ini terjadi pada daerah supra sellar (75%), supra dan infra

sellar (20%), dan infra sellar (5%).8

CT scan sangat sensitif untuk melihat kalsifikasi, yang terdapat pada

85% pasien dengan kraniofaringioma. Kalsifikasi lebih sering terjadi pada

anak-anak (90%) disbanding dewasa (50%). CT scan juga berguna untuk

melihat kista pada tumor. Hingga 75% kraniofaringioma merupakan masa

kistik. Kista biasanya memiliki densitas yang sama dengan cairan

serebrospinal. Bagaimanapun, Magnetic resonance imaging (MRI)dengan

kapasitas gambar yang multiplanar, sangat penting untuk menentukan

anatomi local dan merupakan pemeriksaan radiologi terbaik untuk

perencanaan pembedahan dan follow up pasien. Namun karena MRI tidak

dapat menunjukkan kalsifikasi dengan baik, CT scan digunakan untuk

membantu diagnosa.8

12

Page 13: pilositik astrositoma

2. Pemeriksaan Endokrin

Evaluasi endokrin harus meliputi evaluasi hormon-hormon hipofisis

anterior, yaitu terdiri dari hormon pertumbuhan, hormon tiroid, serta

luteinizing hormone (LH) dan follicle-stimulating hormone (FSH) harus

diukur bersama-sama dengan tingkat kortisol dan penilaian terhadap serum

dan osmolalitas urin. Selain itu, perkiraan usia tulang dan, untuk wanita

muda, USG ovarium sangat berguna. Idealnya, setiap kelainan harus

diperbaiki pra-bedah, paling tidakpun, tingkat kortisol yang rendah dan

diabetes insipidus harus ditangani sebelum prosedur bedah.6,7

3. Pemeriksaan Oftalmologi

Sebagian besar pasien dewasa dengan kraniofaringioma memiliki

manifestasi defisit lapang pandang.6 Pemeriksaan lapang pandang dan

ketajaman visual harus dinilai. Selain itu, visualisasi dari diskus optikus,

untuk menyingkirkan papilloedema, dan visual evoked potential harus

dilakukan.7

4. Pemeriksaan Patologi Anatomi

13

Page 14: pilositik astrositoma

Kraniofaringioma merupakan suatu tumor suprasellar yang

mengandung dua komponen yaitu padat dan kistik. Bagian padatnya

merupakan suatu masa dengan permukaan rata, lunak, dan berwarna abu

kemerahan, sedangkan bagian kistiknya lebih lunak lagi, di mana

konsistensi dan warnanya tergantung dari ketebalan dindingnya. Adanya

deposit kalsium dapat menjadikan tumor itu mengeras. Adanya perubahan

degeneratif menyebabkan kista tumor ini membesar, dinding dalamnya

dapat mengandung papil-papil dan terisi cairan kecoklatan seperti lumpur

yang mengandung kristal-kristal kolesterol.7

Gambaran mikroskopik bagian padat kraniofaringioma terdiri dari

jaringan epitel kolom atau kuboid dengan lapisan tengahnya mengandung

sel-sel polygonal serta massa sentral sel epitel. Bagian kistiknya mempunyai

dinding dengan ketebalan yang bervariasi yang histologisnya sama dengan

bagian yang padat. Ada membrana basalis yang membentuk suatu

perbatasan antara tumor dengan jaringan otak atau meningen sekitarnya.7

G. TATALAKSANA

Tatalaksana kraniofaringioma membutuhkan penanganan dari beberapa

aspek yaitu bedah saraf, endokrin, neurooftalmologi, neuropsikologi dan radiasi

onkologi. Pemeriksaan endokrin sangat dibutuhkan. Gangguan endokrin seperti

hipotiroid , insufisiensi adrenal dan diabetes insipidus harus diperhatikan karena

hal ini dapat meningkatkan morbiditas intraoperative dan postoperative.

Insufisiensi adrenal harus ditatalaksanai dengan terapi steroid sebelum dilakukan

terapi terhadap hipotiroid karena terapi hormone tiroid sebelum terapi steroid

dapat mempresipitasi insufisiensi adrenal akut. Hidrosefalus akut simptomatik

perlu ditatalaksanai dengan pemasangan drainase ventrikel. Adanya hidrosefalus

yang tidak ditangani dapat memperburuk prognosis pasien.8

Pembedahan merupakan terapi pilihan pada kraniofaringioma, pembedahan

secara transfenoideal bila memungkinkan, namun karena tumor ini juga memiliki

komponen ekstrasella, rekurensi setelah pembedahan sering dijumpai. Mayoritas

pasien memerlukan radioterapi setelah pembedahan. Konsekuensi terapi

bervariasi berkaitan dengan luas dan lokasi tumor. Diabetes insipidus dan

kegagalan hipofisis anterior sering ditemukan setelah pembedahan dan hal ini

14

Page 15: pilositik astrositoma

bersifat permanen. Evaluasi ACTH dan TSH serta keseimbangan cairan harus

dilakukan setelah pembedahan.8

Teknik pembedahan yang dipilih berdasarkan lokasi, ukuran dan tipe tumor.

Terdapat tiga struktur penting yang harus diperhatikan dalam pembedahan

kraniofaringioma agar tidak terjadi kerusakan pada struktur-struktur ini, yaitu

pituitary stalk, hipotalamus dan arteri.8

Pola pertumbuhan berkaitan dengan asal tumor, di atas atau di bawah dari

diafragma sella. Pada kraniofaringioma dengan pertumbuhan prekiasma, reseksi

tumor harus dilakukan dengan menggunakan teknik transfenoideal. Untuk

kraniofaringioma dengan pertumbuhan retrokiasma yang tidak ditutupi oleh sella

diafragmatika dan berhubungan langsung dengan jaringan otak, dengan mudah

dapat robek bila dilakukan traksi, sehingga harus dilakukan kraniotomi.

Kraniotomi merupakan pembedahan standar yang dilakukan selama bertahun-

tahun. Kraniotomi diindikasikan untuk tumor suprasella dan memungkinkan

visualisasi nervus optikus, kiasma optikus dan hubungan tumor dengan struktur

ini. Untuk tumor ukuran kecil yang predominan terletak pada sella, teknik

transfenoideal adalah pilihan. Namun apabila tumor terletak pada infundibulum,

pendekatan pterional atau subfrontal dan craniotomi orbitofrontal (dengan

endoskopi atau bantuan mikroskop) dapat dilakukan. Lesi kecil intraventrikel

dapat diraih melalui lamina terminalis atau transventrikular (pendekatan

transkalosal atau transventrikular). Teknik yang digunakan untuk tumor ukuran

besar adalah pterional, subfrontal transbasal, bifrontal, orbitozigomatik,

temporopolar, fronto orbitozigomatik 8

Pada pasien dengan tumor rekuren, pembedahan lanjutan diperlukan dengan

marsupialisasi komponen kistik, internal atau eksternal shunting dan injeksi

radionukleotida ke kista tersebut. Pemantauan jangka panjang adalah yang utama

dari tatalaksana pasien dengan tumor rekuren. Sebagian besar pasien memerlukan

terapi sulih hormon total, termasuk desmopresin dan hormon pertumbuhan.8

Radioterapi untuk Kraniofaringioma

Tatalaksana kraniofaringioma membutuhkan penanganan dari beberapa

aspek yaitu bedah saraf, endokrin, neurooftalmologi, neuropsikologi dan radiasi

15

Page 16: pilositik astrositoma

onkologi. Pembedahan merupakan terapi pilihan pada kraniofaringioma,

pembedahan secara transfenoideal bila memungkinkan, namun karena tumor ini

juga memiliki komponen ekstrasella, rekurensi setelah pembedahan sering

dijumpai. Mayoritas pasien memerlukan radioterapi setelah pembedahan.

Radioterapi didefinisikan sebagai pengobatan penyakit kanker dengan

menggunakan energi tinggi radiasi yang difokuskan pada jaringan kanker yang

bertujuan untuk membunuh dan menghentikan pertumbuhan sel sel kanker. Istilah

radioterapi juga dikenal dengan terapi radiasi.

Radioterapi merupakan salah satu modalitas penting dalam penatalaksanaan

proses keganasan. Berbagai penelitian klinis telah membuktikan bahwa modalitas

terapi pembedahan akan memberikan hasil yang lebih optimal jika diberikan

kombinasi terapi dengan kemoterapi dan radioterapi. Sifat dan lokasi tumor otak

seringkali menimbulkan proses desak ruang yang akan meningkatkan tekanan

intrakranial, terlebih pada kasus metastasis tumor ganas pada intrakranial akan

cepat menimbulkan edema serebri yang akan memperburuk tekanan intrakranial.

Sebagian besar tumor otak bersifat radioresponsif (moderately sensitive),

sehingga pada tumor dengan ukuran terbatas pemberian dosis tinggi radiasi

diharapkan dapat mengeradikasi semua sel tumor. Namun demikian pemberian

dosis ini dibatasi oleh toleransi jaringan sehat disekitarnya. Semakin dikit jaringan

sehat yang terkena maka makin tinggi dosis yang diberikan. Guna menyiasati hal

ini maka diperlukan metode serta teknik pemberian radiasi dengan tingkat presisi

yang tinggi.

Perencanaan radiasi seperti 3-dimensional conformal theraphy, penggunaan

multi leaf collimators dan IMRT (Intensity Modulated Radiation Therapy)

merupakan metode radiasi yang saat ini digunakan dan masih terus

dikembangkan.

Stereotactic Radiosurgery (SRS) merupakan metode radiasi yang bertujuan

untuk memberikan dosis radiasi setinggi mungkin pada lesi jaringan otak dengan

meminimalkan dosis yang diterima oleh jaringan sehat sekitar tumor. Digunakan

alat leksel gamma knife yang menggunakan sumber radiasi Cobalt-60. metode

radiasi lain menggunakan sumber radiasi sinar X pada alat Linier accelerator

16

Page 17: pilositik astrositoma

(Stereotactic Radiotheraphy, SRT). Selain berbeda pada sumber, metode

pemberiannya juga berbeda. Pada SRS radiasi diberikan dalam fraksi tunggal

mengingat perencanaan dan pelaksanaannya yang lebih rumit, hal ini berbeda

dengan SRT dimana radiasi dapat diberikan dalam beberapa fraksi. Baik SRS

maupun SRT, berkombinasi dengan radiasi eksterna seluruh otak, terbukti

memberikan hasil yang efektif. Sebanyak 94% dan 73% tumor terkontrol pada

bulan ke-13 dan 26. Disamping tumor otak SRS dilaporkan juga memberikan

hasil yang baik dibandingkan dengan microsurgery pada kasus neuroma akustikus

dalam hal timbulnya neuropati fasial dan trigeminus, lama perawatan, gangguan

pendengaran serta kekambuhan. Lesi non maligna intrakranial lain yang tercatat

dapat memberikan hasil pengobatan yang baik adalah arterio venous

malformation (AVM).

Pada kraniofaringioma, radioterapi yang diberikan setelah terapi

pembedahan memiliki hasil jangka panjang yang lebih baik, terutama untuk

mencegah rekurensi. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Harrabi et al, hasil

jangka panjang dari pemberian fractioned stereotactic radiotherapy (FSRT) untuk

pasien dengan kraniofaringioma hasilnya sangat memuaskan. Setelah 6 bulan,

14% kasus yang diberikan terapi FSRT mengalami regresi total dan 83,3% kasus

mengalami regresi tumor parsial.

Kesimpulannya, FSRT mengarah pada hasil yang memuaskan untuk

penatalaksanaan pasien dengan kraniofaringioma dengan pertimbangan kontrol

lokal yang baik, perbaikan secara keseluruhan, dan dalam mempertahankan fungsi

organ.

H. PROGNOSIS

Kelangsungan hidup lima tahun secara keseluruhan adalah 80%. Tetapi

pada anak-anak prognosisnya lebih baik, yaitu 85% untuk kelangsungan hidup 5

tahun. Sedangkan pada orang dewasa yang lebih tua prognosisnya 40% untuk

kelangsungan hidup 5 tahun.

17

Page 18: pilositik astrositoma

DAFTAR PUSTAKA

1. Jones R, Editor. Netter’s Neurology. 2nd edition. Philadelphia: Saunders; 2012

2. Amar AP, Weiss MH. 2003. Pituitary Anatomy and Physiology. USA: Elsevier;

2003

3. Fitzgerald MJ, Gruener G, Mtui E. Clinical Neuroanatomy and Neuroscience. 6 th

edition. Philadelphia: Saunders; 2012

4. Sadler, TW. Langman’s Medical Embryology. 11th edition. Philadelhia: Wolters

Kluwer; 2010

5. Ropper AH, Victor M. Adam and Victor’s Principles of Neurology. 7th edition.

United States: The McGraw-Hill Companies; 2001

6. Gilroy, J. Basic Neurology. 3rd edition. United States: The McGraw-Hill Companies;

2000

7. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis topic neurologis duus: anatomi, fisiologi, tanda,

gejala. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2012

8. Demonte F, Gilbert MR, Mahajan A, McCutheon IE. Tumors of Brain and Spine.

United States: Springer Science; 2007

18