blok 27 sindrom down

37
Prenatal Diagnosis dan Konseling Genetik pada Sindrom Down Sherly Liyo - 102010271 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) Jl.Arjuna Utara no.6 Jakarta 11510 [email protected] Pendahuluan Sindrom Down merupakan suatu kelainan yang dikarenakan pada kromosom 21 terjadi trisomi atau translokasi pada kromosom 21 dengan kromosom nomor 14 atau 15. Kelainan ini diuraikan oleh J. Langdon Down pada tahun 1866. Fenotip penderita sindrom ini sangat khas, yakni kepala lebar, wajah khas, mulut selalu terbuka, ujung lidah besar, hidung lebar dan datar, kedua lubang hidung terpisah lebar, kelopak mata memiliki lipatan epikantus yang menyebabkan terjadinya hipertelorism, dan terdapat satu garis lurus pada tangan (simian crease). 1 Penyebab sindrom ini sebagian besar dikarenakan nondisjunction pada kromosom nomor 21. Kejadian ini akan meningkat dengan peningkatan usia ibu ketika melahirkan, terutama pada usia diatas 35 tahun. Biasanya penderita sindroma ini mempunyai kelainan pada jantung dan tidak 1

Upload: leobalda-purnama

Post on 06-Nov-2015

36 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

mklh sd

TRANSCRIPT

Prenatal Diagnosis dan Konseling Genetik

pada Sindrom Down

Sherly Liyo - 102010271

Fakultas Kedokteran

Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)

Jl.Arjuna Utara no.6

Jakarta 11510

[email protected]

Pendahuluan

Sindrom Down merupakan suatu kelainan yang dikarenakan pada kromosom 21 terjadi trisomi atau translokasi pada kromosom 21 dengan kromosom nomor 14 atau 15. Kelainan ini diuraikan oleh J. Langdon Down pada tahun 1866. Fenotip penderita sindrom ini sangat khas, yakni kepala lebar, wajah khas, mulut selalu terbuka, ujung lidah besar, hidung lebar dan datar, kedua lubang hidung terpisah lebar, kelopak mata memiliki lipatan epikantus yang menyebabkan terjadinya hipertelorism, dan terdapat satu garis lurus pada tangan (simian crease).1

Penyebab sindrom ini sebagian besar dikarenakan nondisjunction pada kromosom nomor 21. Kejadian ini akan meningkat dengan peningkatan usia ibu ketika melahirkan, terutama pada usia diatas 35 tahun. Biasanya penderita sindroma ini mempunyai kelainan pada jantung dan tidak resisiten terhadap penyakit. Sebagian besar penderita sindrom Down mengalami kematian yang dikarenakan penyakit jantung yang di deritanya.1 Penanganan pada sindrom Down ini dibutuhkan pengangan yang berkesinambungan tiap tahun untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih lanjut. Pada umumnya penatalaksanaan secara medika sindrom ini dilaksanakan secara simptomatis.1

Anamnesis

Sindrom Down ini merupakan suatu kelainan genetik dan penderitanya dapat mengalami retardasi mental. Jadi, anamnesis dilakukan melalui orang tua pasien yaitu secara alloanamnesis. Menjadi suatu hal yang penting bagi kita untuk menanyakan faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan sindrom Down.1

Sejumlah orang tua memiliki kemungkinan lebih tinggi menghasilkan bayi dengan sindrom Down. Termasuk dalam faktor risiko adalah usia ibu yang sudah lanjut. Kemungkinan melahirkan bayi dengan sindrom Down terus meningkat seiring bertambahnya usia. Mereka yang berusia di bawah 25 tahun memiliki kemungkinan 1:1400. Pada usia 30 risikonya 1:1000. Pada usia 35, kemungkinannya meningkat hingga 1:385. Pada usia 40 tahun, kemungkinannya lebih meningkat 1:106. Pada usia 45, hampir 1 dari 30 jumlah kelahiran bayi menghasilkan bayi dengan sindrom Down.1Riwayat kelahiran sebelumnya juga perlu ditanyakan. Wanita yang pernah melahirkan anak dengan sindrom Down juga memiliki kemungkinan 1% akan melahirkan bayi selanjutnya dengan kondisi yang sama. Orang tua pembawa kelainan genetik sindrom Down juga dapat menurunkan hal ini kepada anak-anak mereka dengan kemungkinan lebih besar dibandingkan orang tua yang tidak memiliki kelainan ini.1Selain itu, penting juga kita tanyakan tentang riwayat keluarga pasien. Perlu kita tanyakan apakah ada yang mengalami sindrom down pada keluarga pasien.1

Pemeriksaan Fisik pada Pasien Sindrom Down

1. Kepala Wajah

Wajah penderita sindrom Down sangat khas. Pada penderita ini akan tampak kepala lebar, wajah membulat, mulut selalu terbuka, ujung lidah besar, hidung lebar dan datar, kedua lubang hidung terpisah lebar, jarak antara kedua mata lebar, kelopak mata memiliki lipatan epikantus sehingga mirip dengan orang oriental.1,2 Mata

Pemeriksaan visus untuk menguji ketajaman penglihatan pada penderita sindrom Down perlu dilakukan. Pada anak yang sudah cukup besar uji ini dilakukan dengan papan snellen yang biasa berupa tulisan atau gambar.2 Telinga

Inspeksi

Daun telinga yang kecil terdapat pada sindrom Down.

Pada kelainan yang disebut low set ear posisi daun telinga lebih rendah dari normal dapat ditemukan pada bayi dengan hidrosefalus, sindrom Apert, Carpenter, Noonan, Pierre Robin, Turner, William, dan Trisomi 13, 18, dan 21.2 Pemeriksaan ketajaman pendengaran dapat dilakukan dengan menggunakan garputala dan audiometer. Hal ini dilakukan untuk menetukan apakah terjadi penurunan ketejaman pendengaran seperti tuli perseptif atau tuli konduktif.2 Mulut

Pemeriksaan gigi digunakan untuk mengetahui waktu dan urutan erupsi, jumlah, karakter, kondisi dan posisi. Perhatikan abnormalitas posisi gigi.2 Makroglosia, lidah yang terlalu besar, terdapat pada hipotiroidisme, simdrom Down, simdrom Hurler, dan neoplasma lidah seperti limfangioma, hemangioma, dan rabdomioma.22. JantungPemeriksaan fisik pada jantung dilakukan untuk menentukan adanya penyakit pada kardiovaskuler yang berkaitan dengan keluhan pasien lemah dalam beraktivitas.

Inspeksi

Pada inspeksi dilihat apakah denyut apeks atau iktus kordis dapat terlihat atau tidak. biasanya sulit dilihat pada bayi dan anak kecil, kecuali pada anak yang sangat kurus atau bila terdapat kardiomegali.2

Palpasi

pemeriksaan palpasi dilakukan untuk menilai teraba tidaknya iktus, dan apabila teraba dinilai kuat angkat atau tidak, iramanya regular atau tidak, dan frekuensinya. Getaran bising (trill) ialah bising jantung yang dapat diraba dengan palpasi ringan. Getaran bising ini dapat teraba pada fase sistolik dan diastolik dan dapat teraba apabila terdapat kelainan pada jantung.2

Perkusi

Perkusi dilakukan untuk menentukan batas jantung.2

Auskultasi

Kegunaan auskultasi ialah untuk memeriksa bunyi jantung, sistol, dan diastol dan kemudian menentukan adanya bunyi jantung yang normal dan abnormal.2

3. Status mental dan fisik

Pada anak usia 6 10 tahun tetapkan orientasi waktu dan tempat, pengetahuan faktual, dan keterampilan bahasa dan angka. Obsevasi keterampilan motorik yang digunakan dalam menulis, mengikat tali sepatu, mengancingkan baju, memotong, dan menggambar.2

4. Anggota gerak

Inspeksi

Tangan dan kaki kelihatan lebar dan tumpul terdapat pada sindrom Down. Selain itu juga dapat ditemukan Jarak antara jari I dan II, baik tangan maupun kaki agak besar.1,2 Telapak tangan memiliki garis tangan yang khas abnormal, yaitu hanya mempunyai sebuah garis mendatar saja (simian crease).2 Tonus otot dinilai dengan memperhatikan gerakan pada otot, dan bila perlu pada anak besar diminta untuk melakukan gerakan-gerakan normal dengan tahanan dari pemeriksa. Pada sindrom Down akan didapatkan hipotonia.2 Hipermobilitas sendi yang ditandai oleh hiperrefelsi dan hiperekstensi biasanya disebabkan oleh relaksasi struktur sekitar sendi. Keadaan ini jelas terlihat pada sindrom Down, amiotonia kongenital, sindrom Ehlers-Dalos, korea, rakitis, dan malnutrisi.25. Antropometri

Parameter ukuran antropometrik yang dipakai dalam penilaian pertumbuhan fisik antara lain:

Pengukuran Berat Badan (BB)

Pengukuran ini dilakukan secara teratur untuk memantau pertumbuhan dan keadaan gizi.2 Pengukuran Tinggi Badan (TB)

Pengukuran tinggi badan pada anak sampai usia 2 tahun dilakukan dengan berbaring., sedangkan di atas umur 2 tahun dilakukan dengan berdiri.2Pemeriksaan Prenatal

Diagnosis prenatal adalah ilmu dan seni untuk mengidentifikasi kelainan struktur dan fungsi pada perkembangan janin. Sekitar 2-3% bayi baru lahir mempunyai masalah dengan kelainan kongenital mayor yang ditemukan pada saat lahir. Kelainan kongenital mayor merupakan salah satu penyebab utama kematian neonatus, dan kelainan genetik merupakan empat besar kasus rawat inap di bagian anak.3

Banyak kelainan pada janin dapat diidentifikasi saat prenatal dan kemajuan teknologi dalam bidang kesehatan telah memungkinkan untuk melakukan pengobatan prenatal, sehingga saat ini diagnosis prenatal merupakan jembatan penting antara obstetri dan pediatrik. Diagnosis prenatal meliputi evaluasi terhadap tiga kategori pasien berupa yaitu :

1. Janin dengan risiko tinggi untuk kelainan genetik dan kongenital.

2. Mereka dengan risiko yang tidak diketahui untuk kelainan kongenital umum.

3. Janin yang pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) ditemukan mempunyai kelainan struktur dan perkembangan.3Kualitas USG mempengaruhi kemampuannya untuk diagnostik prenatal dalam mendeteksi kelainan-kelainan kongenital yang secara klinis sudah jelas tampak, dan juga peningkatan kemampuannya mendeteksi kelainan kongenital yang masih belum tampak jelas secara klinik, selain itu dapat membantu atau sebagai pembimbing yang sangat akurat untuk berbagai prosedur seperti: pemeriksaan amniosintesis, pemeriksaan villi khorialis, pemeriksaan darah janin dan pemeriksaan biopsi janin.3

Upaya pencegahan cacat bawaan dapat dibedakan atas pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer ditujukan pada upaya pencegahan terjadinya kehamilan dengan cacat bawaan, kegiatan utamanya adalah penyaringan atau deteksi dini golongan yang mempunyai risiko untuk mendapat keturunan dengan cacat bawaan, yang meliputi kegiatan skrining, konseling prakonsepsi / pranikah dan tindakan supportifnya berupa keluarga berencana, adopsi atau inseminasi donor.3Pencegahan sekunder ditujukan pada upaya pencegahan kelahiran bayi dengan cacat bawaan dengan melakukan kegiatan pranatal antara lain: skrining genetika dalam kehamilan, konseling prenatal, diagnosis prenatal dan tindakan suportif lainnya berupa terminasi kehamilan, terapi gen maupun terapi janin in utero.3Diagnosis prenatal noninvasif

1. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)

USG adalah prosedur noninvasif untuk pencitraan anatomi janin. Hal ini tidak berbahaya untuk janin dan ibu. USG dapat mengevaluasi usia kehamilan, serta mengidentifikasi kembar, posisi janin, letak plasenta, pertumbuhan janin, perkembangan, dan gerakan, dan setiap cacat lahir structural, dapat menilai volume cairan ketuban. Banyak sistem organ janin dan lesi anatomi, termasuk beberapa kelainan genitourinari, pencernaan, tulang, dan sistem saraf pusat dan kardiopati bawaan, bisa divisualisasikan oleh USG kehamilan antara 16-20 minggu. USG juga digunakan untuk memandu pengambilan sampel invasif, seperti amniosentesis, CVS, kordosentesis, dan biopsi janin. Spina bifida dapat dideteksi di awal kehamilan dengan diameter biparietal (BPD) pada USG. BPD lebih rendah pada bayi dengan spina bifida. Setengah dari cacat bawaan bisa dideteksi oleh modalitas ini. 3 Dengan semakin baiknya resolusi dan sensitifitas pemeriksaan dengan USG, maka telah terjadi peningkatan penggunaan USG untuk diagnosis prenatal dalam mememukan abnormalitas morfologi janin terutama setelah 18 minggu, dengan penggunaan transduser transvaginal memungkinkan deteksi abnormalitas morfologi janin mulai kehamilan 13 minggu. 3

Informasi yang dapat diperoleh dari pemeriksaan ultrasonografi antenatal meliputi :

1. Konfirmasi kehidupan janin

2. Penentuan umur kehamilan yang akurat3. Diagnosis kehamilan ganda dan penentuan korionisitas 4. Deteksi anomali pada janin5. Pemantauan pertubuhan janin6. Penilaian kesejahteraan janin7. Penentuan lokasi plasenta dan tepinya8. Pemantauan real time untuk prosedur invasive9. Deteksi kelainan uterus dan adneksa.Beberapa anomali yang banyak ditemukan antara lain : defek pada jantung, defek dinding perut, kelainan SSP, kelainan gastro intestinal, kelainan ginjal dan nuchal translucency. Kelainan ini dapat tersendiri atau berhubungan dengan anomali kromosom atau bagian dari sindroma mendelian. Dengan demikian pemeriksan dengan USG akan memberikan manfaat yang besar. 3

2. Ekokardiografi janin

Ekokardiografi janin dapat dilakukan pada usia kehamilan 15 minggu dan seterusnya. Bila teknik ini digunakan dengan duplex atau warna aliran Doppler, dapat mengidentifikasi sejumlah besar cacat jantung struktural dan gangguan irama. Ekokardiagrafi janin dianjurkan dalam kasus di mana cacat jantung dicurigai.3

3. Mengukur alfa fetoprotein - serum ibuJanin yang sedang berkembang memiliki 2 protein darah utama, albumin dan alpha-fetoprotein (AFP), sementara orang dewasa hanya memiliki albumin dalam darah mereka. Tingkat MSAFP (maternal serum alfa feto protein) dapat digunakan untuk menentukan tingkat AFP dari janin. Nilai normal MSAFP adalah 0.5-2.5 MoM (Multiple of Median). MSAFP meningkat pada NTD (neural tube defect), misalnya anensefali, spina bifida, juga dapat meningkat pada cacat dinding perut janin. Namun MSAFP juga dapat meningkat sesuai usia kehamilan, pada diabetes gestasional, kembar, kehamilan dengan komplikasi perdarahan, dan dalam hubungannya dengan hambatan pertumbuhan dalam kandungan. 3

Tes MSAFP memiliki sensitifitas terbesar antara 16-18 minggu kehamilan, tetapi juga dapat dilakukan antara 15-22 minggu kehamilan. Kombinasi dari tes MSAFP dan USG mendeteksi hampir semua kasus anensefali dan sebagian besar kasus spina bifida. Juga, NTD dapat dibedakan dari cacat janin lainnya, seperti cacat dinding perut, dengan menggunakan tes acetylcholinesterase dilakukan pada cairan ketuban yang diperoleh dari amniosentesis. Jika acetylcholinesterase meningkat bersama dengan MSAFP hal ini menunjukkan terjadinya NTD. Sebaliknya jika kadar MSAFP rendah, hal ini menunjukkan terjadinya sindrom Down (ditambah dengan kadar estriol serum ibu yang rendah, juga kadar -HCG yang tinggi) atau aneuploidi kromosom lainnya atau gagalnya suatu kehamilan.3

Diagnosis prenatal infasif

Dengan makin meluasnya indikasi untuk melakukan diagnosis prenatal maka metode yang tersedia untuk mendeteksi kelainan-kelainan genetik juga meningkat dengan cepat. Selain amniosintesis, metode diagnostik invasif yang lain meliputi pemeriksaan villi korialis (CVS), pemeriksaan darah janin (FBS) dan biopsi janin untuk indikasi yang spesifik. Sampel yang diperoleh dengan metode ini digunakan untuk analisis sitogenetik (karyotipe dan FISH), diagnosis DNA molekuker (deteksi mutasi langsung, lingkage analysis) dan atau evalusi biokimia, tergantung pada apa yang diinginkan. Tiap prosedur invasif ini mempunyai keuntungan dan kerugian yang perlu dipertimbangkan saat menawarkan pemeriksaan diagnosis prenatal. 4

1. Amniosintesis midsemester

Amniosintesis adalah tindakan mengeluarkan cairan amnion yang mengandung sel-sel janin dan unsur biokimia dari rongga amnion. Amniosentesis diterima secara luas menjadi metode untuk diagnosis prenatal untuk kelainan kromosom, penyakit-penyakit yang diturunkan, dan beberapa infeksi kongenital. 4

Indikasi utama untuk tindakan amniosintesis adalah pemeriksaan karyotype janin. Sel-sel dalam cairan amnion berasal dari kulit janin yang mengalami deskuamasi dan dikeluarkan dari saluran gastrointestinal, urogenital, saluran pernafasan dan amnion. Sel-sel ini dipersiapkan untuk analisis pada tahap metafase maupun untuk pemeriksaan FISH. Namun laboratorium lebih senang bila mendapat sampel dari darah atau villi korialis karena banyak mengandung DNA yang diperlukan untuk kultur. 4

Dahulu cairan amnion juga dipakai untuk pemeriksaan kadar enzym untuk menentukan adanya gangguan metabolisme dan analisis metabolit untuk mendeteksi penyakit kistik fibrosis, namun saat ini telah digantikan dengan pemeriksaan yang lebih akurat yaitu dengan pemeriksaan mutasi DNA yang bertanggung jawab tehadap kondisi ini.4

Amniosintesis midtrimester untuk pemeriksaan genetik umumnya dilakukan pada usia kehamilan antara 15-18 minggu. Pada saat itu jumlah air ketuban sudah memadai (sekitar 150 ml) dan perbandingan antara sel yang viable dan non viable mencapai rasio terbesar. 4

Sebelum amniosintesis terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan USG untuk menentukan jumlah janin, konfirmasi usia kehamilan, memastikan viabilitas janin, deteksi anomali pada janin dan menentukan lokasi plasenta dan insersi tali pusat serta memperkirakan jumlah air ketuban. Dilakukan tindakan antisepsis pada kulit perut ibu dan operator memakai sarung tangan steril. Dengan tuntunan USG, tusukkan jarum ukuran 20-22 pada kantong amnion yang tidak berisi bagian kecil janin atau tali pusat. Sebaiknya dilakukan pada daerah fundus untuk mengurangi risiko robekan selaput ketuban, dan sedapat mungkin menghindari daerah plasenta. Bila terpaksa harus melakukan tusukan pada daerah plasenta sebaiknya dibantu dengan color doppler untuk mengidentifikasi pembuluh darah dan lakukan tusukan pada daerah yang paling tipis jauh dari tepi plasenta. Prosedur ini biasanya tidak memerlukan anestesi lokal. 4

Dapat dilakukan dengan teknik free hand dimana tangan operator yang satu memegang tranduser dan tangan lainnya memegang jarum, atau dapat dipasang pengantar jarum pada tranduser. Cara ini mempunyai keuntungan karena dapat menghindari gerakan jarum ke arah lateral yang dapat meningkatkan ukuran tusukan jarum. Cairan amnion yang pertama diaspirasi dibuang sebanyak 1-2 ml untuk menghindari kontaminasi dengan sel-sel maternal. Dilakukan aspirasi cairan amnion sebanyak 15 ml ke dalam tabung untuk analisa sitogenetika. 4

Bila pada kesempatan pertama gagal untuk mengaspirasi cairan maka dapat dilakukan pada lokasi lain setelah terlebih dahulu menilai kembali keadaan janin dan letak plasenta. Tenting pada selaput ketuban atau kontraksi uterus sering menjadi penyebab kegagalan. Bila tindakan kedua gagal maka tunda tindakan amniosintesis untuk beberapa hari kemudian, jangan melakukan dua kali tindakan pada satu kesempatan yang sama. 4

Walaupun dengan pengalaman selama kurang lebih tiga dekade dengan amniosintesis midtrimester namun masih sulit untuk menentukan risiko prosedur ini yang berhubungan dengan abortus. Pada penelitian prospektif, multisenter yang luas diperkirakan risiko abortus berkisar 0,5 1%. 4

Selain abortus risiko lain pada janin dan ibu juga perlu untuk dipertimbangkan. Sudah ada laporan mengenai terjadinya scar pada tubuh janin akibat tusukan jarum namun jarang terjadi. Amniosintesis yang dilakukan dengan tuntunan USG dapat mengurangi risiko tersebut dan juga risiko perlukaan yang lain. Komplikasi lain dari amniosintesis midtrimester meliputi korioamnionitis, robekan selaput ketuban dan perdarahan pervaginam. Insidens korioamnionitis < 1 per 1000 prosedur, robekan selaput ketuban terjadi pada 1-2% penderita, namun biasanya sembuh sendiri dan terjadi reakumulasi cairan dan pada umumnya luaran kehamilan normal. Insiden perdarahan pervaginam juga sekitar 1% dan berhubungan dengan ukuran jarum yang dipakai. 4

Sudah pernah dilaporkan kasus sensitasi pada wanita dengan rhesus negatif setelah amniosintesis, risikonya sekitar 1%. Risiko ini dapat dikurangi dengan menghindari pendekatan transplasenta, memakai jarum berukuran kecil dan pemberian anti-D immunoglobulin intramuskuler sesudah tindakan amniosintesis terhadap pasien Rh-negatif yang belum tersensitasi. 4

2. Amniosintesis dini

Amniosintesis dini adalah amniosintesis yang dilakukan pada usia kehamilan sebelum 15 minggu (11-14 minggu). Kesulitan teknisnya lebih besar karena jumlah air ketuban belum banyak dan fusi antara amnion dan korion belum sempurna sehinngga sering menyebabkan tenting pada selaput ketuban. Selain itu targetnya lebih kecil, uterus belum berbatasan dengan dinding perut sehingga meningkatkan kemungkinan perlukaan pada usus atau masuknya kuman dari usus ke uterus. 4

Tindakan amniosintesis dini dilakukan dengan maksud untuk melakukan diagnosis prenatal yang lebih dini dan menjadi tindakan alternatif untuk pemeriksaan villi korialis yang tekniknya relatif lebih sulit dan mempunyai lebih banyak komplikasi. Dengan tuntunan USG dilakukan pengambilan cairan amnion sebanyak 10-12 ml. Walaupun jumlah sel yang terambil lebih sedikit namun persentasi sel yang viable lebih besar dibanding dengan pada usia kehamilan yang lebih lanjut. Keberhasilan kultur pada kehamilan 12-14 minggu lebih dari 95% dengan waktu panen rata-rata 12 hari (1-2 lebih lama ) daripada kehamilan 16 minggu. Dibanding dengan CVS, amniosintesis dini mempunyai frekuensi kontaminasi sel maternal dan mosaicsm yang lebih rendah. 4

Beberapa penelitian melaporkan peningkatan risiko abortus pada tindakan amniosintesis dini dibanding dengan amniosintesis midtrimester dan CVS, namun Johnson dkk tidak menemukan adanya perbedaan kejadian abortus antara kelompok amniosintesis dini dan midtrimester. Penelitian lain di Kanada menemukan perbedaan yang bermakna pada kejadian abortus (7,6% vs 5,9%), robekan selaput ketuban (3,5% vs 1,7%) dan deformitas tulang, khususnya talipes equinovarus (1,4% vs 0,4%) antara kelompok amniosintesis dini dan midtrimester, sehingga peneliti ini menganjurkan untuk tidak melakukan amniosisntesis dini kecuali tidak ada alternatif lain. 4

3. Pemeriksaan villi korialis

Diagnosis prenatal yang dikerjakan pada trimester kedua mempunyai beberapa kekurangan antara lain, diagnosis baru dapat diketahui pada usia kehamilan yang lebih lanjut sehingga risiko untuk terminasi kehamilan lebih besar dan terminasi pada saat janin sudah mulai bergerak menimbulkan beban emosional yang berat bagi pasien, sehingga diusahakan untuk melakukan diagnosis prenatal pada trimester pertama.3

Teknik pemeriksaan villi korialis pertama kali diperkenalkan di Cina pada tahun 1975 yang bertujuan untuk menentukan jenins kelamin janin dengan cara memasukkan kateter halus ke dalam uterus dengan hanya dituntun perasaan taktil. Bila terasa ada hambatan, kemudian pengisap dipasang dan dilakukan aspirasi potongan villi. 3

Pemeriksaan villi korialis biasanya dilakukan pada usia kehamilan antara 10-12 minggu, untuk pemeriksaan sitogenetik, molekuler (analisis DNA) dan atau metode biokimia yang dapat diaplikasikan pada jaringan villi. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi anomali kromosom, defek gen spesifik dan aktivitas enzym yang abnormal dalam kehamilan terutama pada penyakit turunan. 3

Jaringan villi dapat diambil dengan teknik transervikal maupun transabdominal. Sebelum tindakan, dilakukan pemeriksaan USG untuk konfirmasi denyut jantung janin dan letak plasenta. Tentukan posisi uterus dan serviks, bila uterus anteversi maka tambahan pengisian kandung kemih dapat membantu untuk meluruskan posisi uterus, namun hindari pengisian kandung kemih yang berlebihan karena dapat mendorong uterus keluar dari rongga pelvis sehingga memperpanjang jarak untuk mencapai tempat pengambilan sampel yang dapat mengurangi kelenturan yang diperlukan untuk manipulasi kateter. 3

Pasien dibaringkan dalam posisis litotomi, antisepsis vulva dan vagina kemudian masukkan spekulum dan lakukan hal yang sama pada serviks. Ujung distal kateter (3-5 cm) sedikit ditekuk untuk membentuk lengkungan dan kateter dimasukkan kedalam uterus dengan tuntunan USG sampai terasa tahanan menghilang pada endoserviks. Operator menunggu sampai sonographer menvisualisasi ujung kateter, kemudian kateter dimasukkan sejajar dengan selaput korion ke tepi distal plasenta. Keluarkan stylet dan pasang tabung pengisap 20 ml yang mengandung medium nutrien. Jaringan villi yang terisap ke dalam tabung dapat dilihat dengan mata telanjang sebagai struktur putih yang terapung dalam media. Kadang kala diperlukan pemeriksaan mikroskop untuk mengkonfirmasi jaringan villi. Sering jaringan desidua ibu ikut terambil namun mudah dikenali sebagai stuktur yang amorf (tak berbentuk). Bila tidak berhasil mendapat jaringan villi yang cukup maka dapat dilakukan insersi kedua. 3,5

Dengan tuntunan USG masukkan jarum spinal ukuran 19 atau 20 ke dalam sumbu panjang plasenta. Setelah stylet dikeluarkan, aspirasi villi ke dalam tabung 20 ml yang berisi media kultur jaringan. Berhubung karena jarum yang dipakai lebih kecil dari kateter servikal maka perlu dilakukan tiga sampai empat kali gerakan maju mundur pada ujung jarum terhadap jaringan plasenta agar jaringan villi dapat terambil. Berbeda dengan teknik transervikal yang dilakukan sebelum usia kehamilan 14 minggu, teknik ini dapat dilakukan sepanjang kehamilan sehingga dapat menjadi alternatif untuk amniosintesis dan pemeriksaan darah janin. 3,5

Komplikasi yang dapat terjadi pada pemeriksaan villi korialis adalah abortus dan yang ditakuti akhi-akhir ini adalah hubungan antara tindakan ini dengan kejadian reduksi anggota gerak. CVS yang dilakukan pada kehamilan < 9 minggu mempunyai risiko untuk reduksi anggota gerak 10-20 kali lebih besar dibandingkan dengan CVS yang dilakukan setelah usia > 11 minggu. 3,4,5

Kontaminasi jaringan desidua ibu pada sampel yang dikultur dapat memberikan hasil negatif palsu, dan hal ini sering terjadi bila hanya sedikit sampel yang terambil, namun di senter yang telah berpengalaman kejadian ini tidak ditemukan lagi. 3

4. Pemeriksaan darah janin / kordosentesis

Pada tahun 1983, Daffos dkk memperkenalkan metode pengambilan darah janin dengan tuntunan USG menggunakan jarum spinal ukuran 20-22 melalui perut ibu ke dalam tali pusat. Teknik ini disebut juga kordosentesis, PUBS (percutaneous umbilical blood sampling), fetal blood sampling atau furnipuncture. Kordosintesis adalah istilah yang sering digunakan. 5

Indikasi pemeriksaan ini dapat dibagi atas indikasi diagnostik dan terapeutik. Umumnya, pemeriksaan darah janin diindikasikan bila keuntungannya lebih banyak dari kerugiannya. Sebelumnya pemeriksaan darah janin dilakukan untuk karyotype cepat namun dengan teknik sitogenetik yang baru memakai metode FISH sampel dari villi korialis dan amniosit juga dapat diperiksa dengan cepat. Indikasi lain untuk pemeriksaan ini adalah bila ditemukan mosaik atau kegagalan kultur pada amniosintesis dan biopsi plasenta. Pemeriksaan darah janin juga dilakukan pada wanita yang datang terlambat (usia kehamilan lanjut) pada kunjungan antenatal dan menginginkan pemeriksaan karyotype atau untuk diagnosis prenatal retardasi mental fragile-X.5Indikasi diagnostik yang lain adalah pemeriksaan hemoglobinopathi, koagulaopathi, penyakit granulomatous kronik dan beberapa kelainan metabolisme serta penentuan anemia dan trombositopenia pada janin. Untuk indikasi terapeutik adalah : terapi anemia pada janin melalui transfusi darah dan pemberian obat antiaritmia pada janin dengan hidrops. 3,5

Dengan tuntunan USG tusukkan jarum melalui dinding perut ibu dan arahkan ke tempat insersi tali pusat di plasenta, tusukan pada bagian tali pusat yang melayang lebih sulit dilakukan. Bila menggunakan pengantar jarum pada tranduser USG maka ukuran jarumnya lebih kecil (22-26) sedang bila menggunakan teknik free hand jarum yang dipakai berukuran 20-22. Bila ujung jarum telah mencapai tali pusat, pasang tabung pengisap dan isap darah kurang lebih 5 ml. Penting untuk menentukan apakah sampel darah ini berasal dari janin atau terkontaminasi darah ibu, walaupun dengan teknik yang baik hal ini jarang terjadi namun lebih bijaksana bila dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya. Sel darah janin akan tampak lebih besar dengan MCV yang lebih besar. Pengambilan sampel darah janin juga dapat dilakukan pada vena intrahepatik maupun jantung janin.3

Komplikasi yang dapat terjadi pada janin pasca kordosintesis adalah : terjadinya hematoma atau perdarahan pada tempat tusukan jarum, bradikardi, infeksi. Kemungkinan untuk terjadinya kematian janin berkisar 1% untuk itu perlu dilakukan pemantauan denyut jantung janin dengan kardiotokografi selama paling sedikit 30 menit. Pada ibu komplikasi yang dapat terjadi adalah isoimunisasi rhesus, sehingga harus diberikan anti-D immunoglobulin pada ibu dengan rhesus negatif. 3

Epidemiologi

Sindroma Down merupakan kelainan kromosomal autosomal yang banyak terjadi pada manusia. Diperkirakan angka kejadian yang terakhir adalah 1 - 1,2 per 1000 kelahiran hidup, dimana 20 tahun sebelumnya dilaporkan 1,6 per 1000. Penurunan ini diperkirakan berkaitan dengan menurunnya kelahiran dari wanita yang berumur. Diperkirakan 20% anak dengan Sindroma Down dilahirkan dari ibu dengan umur diatas 35 tahun. Sindroma Down dapat terjadi pada semua ras. Dikatakan bahwa angka kejadiannya pada bangsa kulit putih lebih tinggi dari pada kulit hitam, tapi perbedaannya tidak bermakna. Insiden Sindrom Down di negara kita tinggi, yaitu satu kasus hagi setiap 660 kelahiran. Risiko mendapat anak Sindrom Down dikaitkan dengan usia ibu ketika mengandung, terutama jika mengandung pada umur diatas 35. Kemungkinan mendapat anak Sindrom Down ialah satu kasus bagi setiap 350 kelahiran (jika umur ibu berusia 35 - 45 tahun) dan satu kasus bagi 25 kelahiran jika usia ibu melebihi 45 tahun.2Etiologi

Semenjak ditemukan adanya kelainan kromosom pada sindrom Down pada tahun 1959, maka sekarang perhatian lebih dipusatkan pada kejadian nondisjunctional sebagai penyebabnya, yaitu: 6

1) Genetik.Diperkirakan terdapat predisposisi genetik terhadap nondisjunctional. Bukti yang mendukung teori ini adalah berdasarkan atas hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan adanya peningkatan risiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan sindrom Down.6

2) Radiasi.Radiasi dikatakan merupakan salah satu penyebab terjadinya nondisjunction pada sindrom Down ini. Uchida 1981 menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan sindrom Down, pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi.6

3) Infeksi.4) Autoimun.Faktor lain yang juga diperkirakan sebagai etiologi sindrom Down adalah autoimun. Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang berkaitan dengan tiroid. Ada penelitian yang secara konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang melahirkan anak dengan sindrom Down dengan ibu kontrol yang umurnya sama.6

5) Umur ibu.

Apabila umur ibu di atas 35 tahun, diperkirakan terdapat perubahan hormonal yang dapat menyebabkan nondisjunction pada kromosom. Perubahan endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan peningkatan secara tajam kdar LH dan FSH secara tiba-tiba dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya nondisjunction.6

6) Umur ayah.

Selain pengaruh umur ibu terhadap sindrom Down, juga dilaporkan adanya pengaruh dari umur ayah. Penelitian sitogenetik pada orang tua dari anak dengan sindrom Down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya. Tetapi korelasinya tidak setinggi dengan umur ibu.6

Trisomi merupakan 3 buah salinan kromosom yang berjumlah lebih banyak dari normal yang seharusnya sepasang. Kebanyakan trisomi pada embrio terjadi pada awal kehamilan. Kelangsungan hidup embrio dengan trisomi 21 bergantung atas keseimbangan genetik dari kromosom spesifik yang terlibat. Usia ibu saat kehamilan berperan penting terhadap terjadinya Trisomi 21. Orang tua pada usia berapapun, yang mempunyai anak dengan trisomi 21 mempunyai faktor risiko yang signifikan untuk mempunyai anak dengan kelainan yang sama, risiko rekurensi ditemukan pada ibu berusia di atas 45 tahun.6

Translokasi merupakan perpindahan kromosom yang terjadi pada badan sel. Sebanyak 5% kasus sindrom Down dihasilkan oleh translokasi seimbang dari salah satu orang tua, pada umumnya translokasi antara kromosom 14 dan 21, dapat pula translokasi antara kromosom 14 dan 22 meskipun jarang. Bayi dengan sindrom Down tipe translokasi akan mempunyai 46 kromosom, salah satunya mempunyai badan genetik dari kromosom 14 dan 21. Sindrom Down tipe translokasi tidak berhubungan dengan usia ibu saat kehamilan, namun akan meningkat risikonya pada orang tua yang merupakan pembawa sifat (sindrom Down familial).6

Mosaicism merupakan tipe yang sangat jarang. Pada tipe ini, embrio memiliki 2 deretan sel dengan kromosom yang berbeda meskipun berasal dari zigot tunggal yang disebabkan oleh nondisjunction atau lambatnya penyatuan kromosom pada awal embryogenesis atau pada saat pembelahan sel. Tidak ada peningkatan risiko pada orang tua dengan autosomal mosaicism untuk melahirkan anak sindrom Down tipe mosaicism pada kelahiran berikutnya. Namun, bagi orang tua yang memiliki autosomal mosaicism ada risiko yang sama pada kelahiran berikutnya untuk mendapat anak sindrom Down tipe Trisomi dan anak dengan non-mosaicism trisomi.6

Patofisiologi

Dari sudut sitologi, dapat dibedakan dua tipe sindrom down :1

1. Sindroma Down Triple 21 atau Trisomi 21, dimana pasien mempunyai kelebihan sebuah autosom nomor 21 sehingga penderita memiliki 47 kromosom. Penulisan kromosomnya sebagai berikut :11. Penderita laki-laki = 47, XY, + 21

2. Penderita perempuan = 47, XX, +21

Cara penulisan + 21 berarti ada kelebihan autosom nomor 21.

Pada Sindroma Down trisomi-21, nondisjunction dalam miosis 1 menghasilkan ovum yang mengandung 2 buah autosom nomor 21 dan bila ovum ini dibuahi oleh spermatozoa normal yang membawa autosom nomor 21, maka terbentuklah zigot trisomi-21

2. Sindrom Down Translokasi.

Translokasi adalah peristiwa terjadinya perubahan struktur kromosom, disebabkan karena suatu potongan kromosom bersambung dengan potongan kromosom lainnya yang bukan homolognya.1

Pada sindrom down translokasi, lengan panjang dari autosom nomor 21 melekat pada autosom lain, kadang kadang dengan autosom nomor 15, tetapi yang lebih sering dengan autosom nomor 14. Dengan demikian individu yang menderita sindroma Down translokasi memiliki 46 kromosom.1Kromosom yang mengalami tranlokasi dinyatakan dengan tulisan : t(14q21q) yang dapat diartikan :2

t

: translokasi

14q

: lengan panjang dari autosom 14

21q

: lengan panjang dari autosom 21

Pada sindrom down translokasi ini dikenal istilah :

a. Translokasi resiprokal : terjadi bila 2 kromosom bertukar sebagai materi genetik

b. Translokasi robertsonian : jenis translokasi resiprokal tapi batas patahnya kromosom pada atau dekat centromere (bagian sentral) 2 buah kromosom jenis akrosentris [jenis kromosom yang lengan pendeknya (p) sangat pendek dan tidak mengandung gen].1Sindrom Down translokasi ini termasuk dalam kelainan struktur kromosom, dimana pada keadaan ini dapat terjadi keadaan yang balans dan tidak balans. Pada pengaturan yang balans bagian seluruh kromosom lengkap, tidak ada penambahan atau pengurangan materi genetik. Umumnya kelainan struktur kromosom yang balans tidak menyebabkan masalah klinik, tetapi seseorang dengan kelainan struktur kromosom balans berpotensi mempunyai keturunan dengan kelainan struktur kromosom yang tidak balans.1

Orang tua yang mempunyai kelainan struktur translokasi Robesrtsonian yang balans maka resikonya berbeda-beda. Misalnya :1

1. Orang tua yang mempunyai kelainan translokasi balans antara kromosom 21 dan 21, artinya kedua kromosom 21 saling melekat sehingga jumlah total kromosom 45, tetapi jumlah kromosom 21 normal yaitu ada 2 tapi saling melekat. Keturunan dari orang tua yang mempunyai kelainan ini tidak ada yang normal. Kemungkinannya hanya trisomi 21 atau monosomi 21.

2. Sementara itu, orang tua yang mempunyai kelainan translokasi robertsonian balans antara kromosom 14 dan 21. Maka keturunannya bisa:

Monosomi 21 (25%)

Trisomi 21 (25%)

Translokasi balans (25%)

Normal (25%).1Manifestasi Klinis

Sindroma Down memiliki banyak ciri khas pada tubuh yang dapat dengan mudah mengenalinya. Selain itu, Sindroma Down juga menyebabkan berbagai gangguan fungsi organ yang dibawa sejak lahir. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut :

Pertumbuhan : tumbuh pendek dan obesitas terjadi selama masa remaja. Sistem saraf pusat : retardasi mental sedang sampai berat, dengan IQ 20-85 (rata-rata 50). Hipotonia meningkat sejalan dengan umur. Gangguan artikulasi. Sleep apnea terjadi ketika aliran udara inspirasi dari saluran napas atas ke paru mengalami hambatan selama 10 detik atau lebih. Hal itu sering mengakibatkan hipoksemia atau hiperkarbia. Tingkah laku : spontanitas alami, sikap yang hangat, menyenangkan, lemah lembut, sabar, dan toleransi. Hanya sedikit pasien yang mengalami kecemasan dan keras kepala. Gangguan kejang : spasme infantil sering terjadi pada masa bayi, sedangkan kejang tonik-klonik sering pada pasien yang lebih tua. Penuaan dini : berkurangnya tonus kulit, kerontokan atau pemutihan rambut lebih awal, hipogonadisme, katarak, kehilangan pendengaran, hipotiroidisme yang berkaitan dengan umur, kejang, keganasan, penyakit vaskular degeneratif, hilangnya kemampuan adaptasi, dan meningkatnya demensia tipe Alzheimer. Tulang tengkorak : brachycephaly, microcephaly, kening melandai, oksiput datar, fontanela besar dengan penutupan yang lambat, patent metopic suture, tidak adanya sinus frontalis dan sfenoidalis, dan hipolplasia sinus maksilaris. Bentuk tulang tengkoraknya asimetris atau ganjil dengan bagian belakang kepalanya mendatar (sutura sagitalis terpisah). Mata : fisura palpebra yang condong ke depan, lipatan epikantus bialteral, brushfield spots (iris yang berbintik), gangguan refrakter (50%), strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis (31%), konjungtivitis, kongenital katarak (3%), pseudopapiledema, kekeruhan lensa yang didapat (30-60%), dan keratokonus pada orang dewasa. Hidung : tulang hidung hipoplastik dan jembatan hidung yang datar. Mulut dan gigi : mulut terbuka dengan penonjolan lidah, lidah yang bercelah, pernapasan mulut dengan pengeluaran air liur, bibir bawah yang merekah, angular cheilitis, anodonsia parsial (50%), agenesis gigi, malformasi gigi, erupsi gigi yang terlambat, mikroodonsia (35-50%) pada pertumbuhan gigi primer dan sekunder, hipoplastik dan hipokalsifikasi gigi, dan maloklusi. Telinga : telinga kecil dengan lipatan heliks yang berlebihan. Otitis media kronis dan hilang pendengaran sering terjadi. Telinganya kecil dan terletak lebih rendah. Leher : atlantoaksial tidak stabil (14%) dapat menyebabkan kelemahan ligamen transversal yang menyangga proses odontoid dekat dengan atlas yang melengkung. Kelemahan itu dapat menyebabkan proses odontoid berpindah ke belakang, mengakibatkan kompresi medula spinalis. Penyakit jantung bawaan : penyakit jantung bawaan sering terjadi. Hal itu biasanya diobservasi pada pasien dengan Sindroma Down yang berada di rumah sakit (62%) dan penyebab kematian yang sering terjadi pada kasus ini pada 2 tahun pertama kehidupan. Penyakit jantung bawaan yang sering terjadi adalah endocardial cushion defect (43%), ventricular septal defect (32%), secundum atrial septal defect (10%), tetralogy of Fallot (6%), dan isolated patent ductus arteriosus (4%). Sekitar 30% pasien mengalami cacat jantung yang berat. Lesi yang paling sering adalah patent ductus arteriosus (16%) dan pulmonic stenosis (9%). Sekitar 70% dari semua endocardial cushion defects berhubungan dengan Sindroma Down. Masalah jantung yang paling kerap berlaku ialah jantung berlubang seperti Ventricular Septal Defect (VSD) yaitu jantung berlubang diantara bilik jantung kiri dan kanan atau Atrial Septal Defect (ASD) yaitu jantung berlubang diantara atria kiri dan kanan. Masalah lain adalah termasuk salur ateriosis yang berkekalan (Patent Ductus Ateriosis / PDA). Bagi kanak-kanak down syndrom boleh mengalami masalah jantung berlubang jenis kebiruan (cynotic spell) dan susah bernafas. Abdomen : rektum diastasis dan hernia umbilikalis dapat terjadi. Sistem saluran cerna (12%) : atresia atau stenosis duodenum. Penyakit Hirschprung (