aki

25
1 BAB 1 PENDAHULUAN Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut (GGA, acute renal failure [ARF]) merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi yang dalam 15 tahun terakhir menunjukkan peningkatan insidens. Beberapa laporan dunia menunjukkan insidens yang bervariasi antara 0,5-0,9% pada komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 20% pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU), dengan angka kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia berkisar 25% hingga 80%. Insidens di negara berkembang, khususnya di komunitas, sulit didapatkan karena tidak semua pasien AKI datang ke rumah sakit. Diperkirakan bahwa insidens nyata pada komunitas jauh melebihi angka yang tercatat. Peningkatan insidens AKI antara lain dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas kriteria diagnosis yang

Upload: anggina-mita-amalia

Post on 08-Dec-2015

8 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

AKI

TRANSCRIPT

Page 1: AKI

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal

akut (GGA, acute renal failure [ARF]) merupakan salah satu sindrom dalam

bidang nefrologi yang dalam 15 tahun terakhir menunjukkan peningkatan

insidens. Beberapa laporan dunia menunjukkan insidens yang bervariasi antara

0,5-0,9% pada komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawat di rumah sakit,

hingga 20% pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU), dengan

angka kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia berkisar 25% hingga 80%.

Insidens di negara berkembang, khususnya di komunitas, sulit didapatkan

karena tidak semua pasien AKI datang ke rumah sakit. Diperkirakan bahwa

insidens nyata pada komunitas jauh melebihi angka yang tercatat. Peningkatan

insidens AKI antara lain dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas kriteria

diagnosis yang menyebabkan kasus yang lebih ringan dapat terdiagnosis. Selain

itu, juga disebabkan oleh peningkatan nyata kasus AKI akibat meningkatnya

populasi usia lanjut dengan penyakit komorbid yang beragam, meningkatnya

jumlah prosedur transplantasi organ selain ginjal, intervensi diagnostik dan

terapeutik yang lebih agresif.

1

Page 2: AKI

2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Istilah Gagal Ginjal Akut (Acute Renal Failure- ARF)

Menjadi Gangguan Ginjal Akut (Acute Kidney Injury-AKI)

Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga

minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung

reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme

nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (Sinto,

2010).

Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya

normal (AKI “klasik”) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease).

Dahulu, hal di atas disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi

operasional yang seragam, sehingga parameter dan batas parameter gagal

ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai kepustakaan (Sinto,

2010).

Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan

membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan

sensitivitas kriteria untuk membuat diagnosis dini dan spesifisitas kriteria

untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat menggambarkan

prognosis pasien (Sinto, 2010).

Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang

beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun 2002

sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal

2

Page 3: AKI

3

menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam,

sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat

menggambarkan patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi

AKI menyangkut beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus

mencakup semua tahap penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin

(Cr) serum ternyata mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis

mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan urine

output (UO) yang seringkali mendahului peningkatan Cr serum; (4)

penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG

mengingat belum adanya penanda biologis (biomarker) penurunan fungsi

ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di mana saja. ADQI mengeluarkan

sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3 kategori

(berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria

UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori

yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada

tabel 1 (Sinto, 2010).

Tabel 1. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007Kategori Peningkatan kadar Cr

serumPenurunan LFG Kriteria UO

Risk ≥1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, ≥6 jam

Injury ≥2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, ≥12 jam

Failure ≥3,0 kali nilai dasar

Atau ≥4mg/dL dengan kenaikan akut ≥0,5 mg/dL

>75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam, ≥24 jam atau anuria ≥12 jam

Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama > 4 minggu

End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama > 3 bulan

Page 4: AKI

4

Kriteria RIFLE sudah diuji dalam berbagai penelitian dan

menunjukkan kegunaaan dalam aspek diagnosis, klasifikasi berat penyakit,

pemantauan perjalanan penyakit dan prediksi mortalitas (Sinto, 2010).

Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah

kolaborasi nefrolog dan intensivis internasional, mengajukan modifikasi atas

kriteria RIFLE. AKIN mengupayakan peningkatan sensitivitas klasifikasi

dengan merekomendasikan (1) kenaikan kadar Cr serum sebesar >0,3 mg/dL

sebagai ambang definisi AKI karena dengan kenaikan tersebut telah

didapatkan peningkatan angka kematian 4 kali lebih besar (OR=4,1; CI=3,1-

5,5); (2) penetapan batasan waktu terjadinya penurunan fungsi ginjal secara

akut, disepakati selama maksimal 48 jam (bandingkan dengan 1 minggu

dalam kriteria RIFLE) untuk melakukan observasi dan mengulang

pemeriksaan kadar Cr serum; (3) semua pasien yang menjalani terapi

pengganti ginjal (TPG) diklasifikasikan dalam AKI tahap 3; (4) pertimbangan

terhadap penggunaan LFG sebagai patokan klasifikasi karena penggunaannya

tidak mudah dilakukan pada pasien dalam keadaan kritis. Dengan beberapa

modifikasi, kategori R, I, dan F pada kriteria RIFLE secara berurutan adalah

sesuai dengan kriteria AKIN tahap 1, 2, dan 3. Kategori LE pada kriteria

RIFLE menggambarkan hasil klinis (outcome) sehingga tidak dimasukkan

dalam tahapan.Klasifikasi AKI menurut AKIN dapat dilihat pada tabel 2.

Sebuah penelitian yang bertujuan membandingkan kemanfaatan modifikasi

yang dilakukan oleh AKIN terhadap kriteria RIFLE gagal menunjukkan

Page 5: AKI

5

peningkatan sensitivitas, dan kemampuan prediksi klasifikasi AKIN

dibandingkan dengan kriteria RIFLE (Sinto, 2010).

Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan Kriteria AKIN, 2005

Tahap Peningkatan kadar Cr serum Kriteria UO

1 ≥1,5 kali nilai dasar atau penigkatan ≥0,3 mg/dL <0,5 mL/kg/jam, ≥6 jam

2 ≥2,0 kali nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, ≥12 jam

3 ≥3,0 kali nilai dasar atau ≥4 mg/dL dengan kenaikan akut ≥0,5 mg/dL atau inisiasi terapi pengganti ginjal

<0,3 mL/kg/jam, ≥24 jam atau anuria ≥12 jam

2.2 Definisi Gangguan Ginjal Akut (GGA)

Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan

kadar kreatinin serum ≥0,3 mg/dL (≥26,4 µmol/l), presentasi kenaikan

kreatinin serum ≥50% (1,5x kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan

produksi urin (oliguria yang tercatat ≤0,5 ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6

jam) (Sudoyo, 2009).

Kriteria diatas memasukan baik nilai absolut maupun nilai presentasi

dari perubahan kreatinin untuk menampung variasi yang berkaitan dengan

umur, gender, indeks masa tubuh dan mengurangi kebutuhan untuk

pengukuran nilai basal kreatinin serum dan hanya diperlukan 2 kali

pengukuran dalam 48 jam. Produksi urin dimasukkan sebagai kriteria karena

mempunyai prediktif dan mudah diukur. Kriteria diatas harus memperhatikan

adanya obstruksi saluran kemih dan sebab-sebab oliguria lain yang reversible.

Kriteria diatas diterapkan berkaitan dengan gejala klinik dan pasien sudah

mendapat cairan yang cukup (Sudoyo, 2009).

Page 6: AKI

6

2.3 Klasifikasi Etiologi

Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan

patogenesis AKI, yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal

tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%);

(2) penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim

ginjal (AKI renal/ intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi

saluran kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat

tergantung dari tempat terjadinya AKI. Salah satu cara klasifikasi etiologi

AKI dapat dilihat pada tabel 3 (Sinto, 2010).

Tabel 3. Klasifikasi Penyebab AKI

AKI Prarenal

I Hipovolemia

-Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi usus- Kehilangan darah- Kehilangan cairan ke luar tubuh Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui saluran kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit (luka bakar)

II Penurunan curah jantung

- Penyebab miokard: infark, kardiomiopati- Penyebab perikard: tamponade- Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal- Aritmia- Penyebab katup jantung

III Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik

- Penurunan resistensi vaskular periferSepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan (contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi)

- Vasokonstriksi ginjal Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus, amphotericin B- Hipoperfusi ginjal lokal Stenosis a.renalis, hipertensi maligna

IV Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal

Page 7: AKI

7

- Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferenPerubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi kronik, PGK (penyakit ginjal kronik), hipertensi maligna), penurunan prostaglandin (penggunaan OAINS, COX-2 inhibitor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia, sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus, radiokontras)

- Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen- Penggunaan penyekat ACE, ARB- Stenosis a. renalis

V Sindrom hiperviskositas- Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia

AKI Renal/intrinsik

I Obstruksi renovaskular- Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli, diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis, kompresi)

II Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal- Glomerulonefritis, vaskulitis

III Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)- Iskemia (serupa AKI prarenal)- Toksin- Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi, pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemolisis, asam urat, oksalat, mieloma)

IV Nefritis interstitial- Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bakteri, viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis), idiopatik

V Obstruksi dan deposisi intratubular- Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat, sulfonamida

VI Rejeksi alograf ginjal

AKI Pascarenal

I Obstruksi ureter- Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi eksternal

II Obstruksi leher kandung kemih- Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, keganasan, darah

III Obstruksi uretra- Striktur, katup kongenital, fimosis

2.4. Diagnosis

Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan

yang telah dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan

tersebut memang merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada

PGK. Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua keadaan ini

antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI,

pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit

Page 8: AKI

8

(pemulihan pada AKI) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya

dapat dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil pada PGK, namun

dapat pula berukuran normal bahkan membesar seperti pada neuropati

diabetik dan penyakit ginjal polikistik. Upaya pendekatan diagnosis harus

pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuan

komplikasi (Sinto, 2010).

2.4.1 Pemeriksaan Klinis

Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus,

penurunan UO dan berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut

berkaitan dengan penggunaan OAINS, penyekat ACE dan ARB. Pada

pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi ortostatik dan

takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor

kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi

portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia

menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak

memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan

data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen

(misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat). Diagnosis AKI renal

lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang menyokong

seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi

maligna. AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut

kostovertebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal,

kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang menjalar

ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut. Keluhan terkait

Page 9: AKI

9

prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat

pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat

pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan

dengan pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom

(Sinto, 2010).

2.4.2 Pemeriksaan Penunjang

Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda

inflamasi glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati

kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan

mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga

menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan

piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat.

AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan

pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown” granular

cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada

ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis

tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented “muddy brown” granular

cast pada nefritis interstitial (Sinto, 2010).

Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma)

dan urin (osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat

mengarahkan pada penentuan tipe AKI, seperti yang terlihat pada tabel

4) (Sinto, 2010).

Page 10: AKI

10

Tabel 4. Kelainan Analisis Urin

Indeks diagnosis AKI prarenal AKI renal

Urinalisis Silinder hialin Abnormal

Gravitasi spesifik >1,020 ~1,010

Osmolalitas urin (mmol/kgH2O) >500 ~300

Kadar natrium urin (mmol/L) <10 (<20) >20 (>40)

Fraksi ekskresi natrium (%) <1 >1

Fraksi ekskresi urea (%) <35 >35

Rasio Cr urin/Cr plasma >40 <20

Rasio urea urin/urea plasma >8 <3

Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokonstriksi

pembuluh darah ginjal akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi

natrium oleh tubulus hingga mencapai 99%. Akibatnya, ketika sampah

nitrogen (ureum dan kreatinin) terakumulasi di dalam darah akibat

vasokonstriksi pembuluh darah ginjal dengan fungsi tubulus yang

masih terjaga baik, fraksi ekskresi natrium (FENa = [(Na urin x Cr

plasma)/(Na plasma x Cr urin)] mencapai kurang dari 1%, FEUrea

kurang dari 35%. Sebagai pengecualian, adalah jika vasokonstriksi

terjadi pada seseorang yang menggunakan diuretik, manitol, atau

glukosuria yang menurunkan reabsorbsi Na oleh tubulus dan

menyebabkan peningkatan FENa. Hal yang sama juga berlaku untuk

pasien dengan PGK tahap lanjut yang telah mengalami adaptasi kronik

dengan pengurangan LFG. Meskipun demikian, pada beberapa keadaan

spesifik seperti ARF renal akibat radiokontras dan mioglobinuria,

Page 11: AKI

11

terjadi vasokonstriksi berat pembuluh darah ginjal secara dini dengan

fungsi tubulus ginjal yang masih baik sehingga FENa dapat pula

menunjukkan hasil kurang dari 1% (Sinto, 2010).

Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI

pascarenal adalah pemeriksaan urin residu pascaberkemih. Jika volume

urin residu kurang dari 50 cc, didukung dengan pemeriksaan USG

ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil

kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan pencitraan

lain seperti foto polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal

dapat dilakukan sesuai indikasi (Sinto, 2010).

Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan

penyebab renal yang belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal

sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan tersebut terutama dianjurkan

pada dugaan AKI renal non- ATN yang memiliki tatalaksana spesifik,

seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain (Sinto, 2010).

2.5 Penatalaksanaan

Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI

dan pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan

inisiasi (kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata

laksana optimal penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI

berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah prarenal/

hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi

pascarenal, dan menghindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan

dan pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria

Page 12: AKI

12

(tahap pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami

defisit cairan yang cukup berarti, sehingga pemantauan ketat serta pengaturan

keseimbangan cairan dan elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi

cairan harus diawasi secara ketat dengan pedoman volume urin yang diukur

secara serial, serta elektrolit urin dan serum (Sinto, 2010).

2.5.1 Terapi Nutrisi

Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit

dasarnya dan kondisi komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem

klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status katabolisme diajukan

oleh Druml pada tahun 2005 (Sinto, 2010).

2.5.2 Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin

Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang

sudah digunakan selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan

penggunaannya bersifat kontoversial. Obat-obatan tersebut antara lain

diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat

Na+/ K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi

sel thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan

prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan

pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi yang

berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik,

sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan

dan mengurangi kebutuhan dialisis. Namun, penelitian dan meta-

analisis yang ada tidak menunjukkan kegunaan diuretik untuk

pengobatan AKI (menurunkan mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah

Page 13: AKI

13

dialisis, proporsi pasien oligouri, masa rawat inap), bahkan penggunaan

dosis tinggi terkait dengan peningkatan risiko ototoksisitas (RR=3,97;

CI: 1,00-15,78). Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas

dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan

kelebihan cairan tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada

penggunaan diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI adalah:

1. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak

dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP

atau dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc

dalam 15-30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi

terlebih dahulu.

2. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna

pada AKI pasca renal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada

AKI tahap awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam).

Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika

manfaat tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan

cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20

mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut

dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk

meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut

tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan

terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan

dapat menyebabkan toksisitas.

Page 14: AKI

14

Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke

intravaskuler sehingga dapat digunakan untuk tatalaksana AKI

khususnya pada tahap oligouria. Namun kegunaan manitol ini tidak

terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena

bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan

kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian

manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan

sekalipun dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak

memperbaiki prognosis pasien (Sinto, 2010).

Dopamin dosis rendah (0,5-3 µg/kgBB/menit) secara historis

digunakan dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor

dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis rendah dapat

menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat

Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal,

LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat

menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang

diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons

tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang

baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin.

Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara

umum yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh

darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga

beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada

dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis pada literatur. Dalam

Page 15: AKI

15

penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak

terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti

iskemia miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangren

digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin

dapat dicoba dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak

terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan

penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat

digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai

indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal. Obat-

obatan lain seperti agonis selektif DA1 (fenoldopam) dalam proses

pembuktian lanjut dengan uji klinis multisenter untuk penggunaannya

dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis adenosin tidak terbukti efektif

pada tata laksana AKI (Sinto, 2010).

Page 16: AKI

16

BAB 3

KESIMPULAN

Acute kidney injury merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi

dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Diagnosis AKI ditegakkan

berdasarkan klasifikasi RIFLE/AKIN, yang selain menggambarkan berat penyakit

juga dapat menggambarkan prognosis kematian dan prognosis kebutuhan terapi

pengganti ginjal. Diagnosis dini yang meliputi diagnosis etiologi, tahap penyakit,

dan komplikasi AKI mutlak diperlukan. Tatalaksana AKI mencakup upaya tata

laksana etiologi, pencegahan penurunan fungsi ginjal lebih jauh, terapi cairan dan

nutrisi, serta tatalaksana komplikasi.

16