46195950 analgesik non narkotika

Upload: mahendra-ella

Post on 16-Oct-2015

34 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • ANALGESIK NON-NARKOTIKA (ANALGESIK-ANTIPIRETIKA DAN

    ANTIINFLAMASI) DAN OBAT PIRAI

    PENDAHULUAN

    Analgesik non-narkotika adalah golongan obat analgesik untuk menghilangkan rasa

    nyeri ringan sampai sedang. Mekanisme dan tempat kerja obat ini berbeda dengan kerja

    analgesik narkotika. Golongan obat ini di samping bekerja sebagai analgesik umumnya dapat

    memberikan efek antipiretik dan antiinflamasi, sehingga disebut juga obat analgesik-

    antipiretik dan antiinflamasi. Kekuatan efek analgesik, antipireti, dan antiinflamasi setiap obat

    golongan ini berbeda-beda. Ada yang efek antiinflamasinya lebih kuat dari pada efek

    analgesik dan antipiretikanya, sehingga obat tersebut hanya digunakan sebagai antiinflamasi

    atau antirematik (misalnya, fenilbutazon). Ada juga yang efek antiinflamasinya sangat lemah

    tetapi efek analgesik dan antipiretiknya kuat (misalnya, asetaminofen/parasetamol). Di

    samping itu, sebagian obat ini mempunyai efek urikosurik.

    Golongan analgesik non-narkotika atau obat analgesik-antipiretik dan antiinflamasi

    merupakan kelompok obat yang heterogen, secara kimia banyak yang tidak berhubungan

    (meskipun kebanyakan obat tersebut termasuk asam organik), tetapi semuanya mempunyai

    kerja terapeutik dan efek samping tertentu yang sama. Aspirin atau asetosal dikenal sebagai

    prototipe obat golongan analgesik non-narkotika, sehingga golongan obat ini disebut juga obat

    menyerupai aspirin (aspirin-like drugs) atau sering juga disebut obat antiinflamasi non-steroid

    (non-steroid antiinflammatory drugs).

    Pada tulisan ini akan dibahas jenis-jenis golongan obat ini, yang secara umum dibagi

    atas :

    1. Turunan salisilat (mis. asetosal dan natrium salisilat)

    2. Turunan para aminofenol (mis. asetaminofen dan fenasetin)

    3. Turunan pirazolon (mis. antipirin, aminopirin, dan fenilbutazon)

    4. Turunan asam fenilpropionat (mis. fenoprofen, ibuprofen, nafroksen, dan ketoprofen)

    5. Turunan indol (mis. indometasin, sulfindak, dan tolmetin)

    6. Turunan asam antranilat (mis. asam mefenamat, diklofenat, dan meklofenamat)

    7. Turunan oksikam (mis. piroksikam)

    1

  • Di samping itu, akan dibahas pula obat-obat untuk penyakit pirai (gout) dan hiperurikemia,

    yaitu kolkisin, alopurinol, dan probenisid.

    Golongan analgesik non-narkotika digunakan untuk mengobati (1) rasa nyeri yang

    ringan sampai sedang dan / atau demam dan (2) artritis dan gangguan inflamasi lain. Penyakit

    artritis meliputi artritis reumatoid, artritis juvenile, ankylosing spondylitis, artritis psoriatik,

    Reiters syndrome, dan osteoartritis.

    Obat yang digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri dan demam antara lain asetosal,

    asetaminofen, fenoprofen, ibuprofen, nafroksen, dan ketoprofen, sedangkan untuk artritis dan

    inflamasi lainnya meliputi asetosal, fenoprofen, ibuprofen, nafroksen, ketoprofen,

    fenilbutazon, indometasin, sulfindak, tolmetin, meklofenamat, diklofenat, dan piroksikam.

    MEKANISME KERJA ANALGESIK NON-NARKOTIKA

    Golongan obat ini bekerja sebagai analgesik dan antipiretik dengan menghambat kerja

    enzim siklooksigenase, sehingga pembentukan prostaglandin dari asam arahidonat terhambat

    atau menjadi berkurang. Prostaglandin itu sendiri sangat berperan dalam proses terjadinya rasa

    nyeri, peningkatan suhu tubuh, dan inflamasi.

    Obat ini dapat menurunkan demam dengan menghambat biosintesis prostaglandin di

    daerah hipotalamus tempat pengatur suhu tubuh. Demam biasanya disebabkan oleh infeksi

    virus atau bakteri. Produk-produk dinding sel tertentu dari mikroorganisme pirogenik

    merangsang sintesis dan pelepasan pirogen yang masuk ke dalam sistem saraf pusat dan

    memacu pelepasan prostaglandin dalam hipotalamus. Obat penghambat siklooksigenase

    menurunkan suhu tubuh yang naik dengan memblok sintesis prostaglandin.

    2

  • Lipid membran

    Asam arahidonat

    Lipoksigenase Siklooksigenase

    Leukotrien Prostaglandin

    Tromboksan

    Prostasiklin

    Mobilisasi fagosit, Inflamasi

    perubahan permebilitas

    vaskular, inflamasi

    Respons inflamasi diperantarai oleh zat-zat endogen, yang meliputi faktor-faktor

    imunologik dan kemotaktik, protein dari sistem komplemen, histamin, serotonin, bradikinin,

    leukotrien, dan prostaglandin. Leukotrien dan prostaglandin ke duanya merupakan penyebab

    utama terjadinya gejala inflamasi. Prostaglandin memacu udem/bengkak dan infiltrasi

    leukotrien dan meningkatkan kemampuan bradikinin dalam menghasilkan nyeri. Leukotrien

    meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan selanjutnya meningkatkan mobilisasi

    mediator-mediator inflamasi. Seperti disebutkan di atas, obat analgesik non-narkotika dapat

    menghambat pembentukan prostaglandin dengan memblok aktivitas siklooksigenase, tetapi

    ada beberapa obat golongan ini yang bersifat antiartritis bekerja mencegah pembentukan

    leukotrien dengan penghambatan aktivitas enzim lipoksigenase. Beberapa obat antiinflamasi

    memblok biosintesis prostaglandin dan oembentukan leukotrien, sedangkan obat-obat lainnya

    bekerja lemah terhadap siklooksigenase tetapi kuat terhadap lipoksigenase. Beberapa obat

    antiinflamasi juga menghambat pembentukan anion superoksida, agregasi leukosit,

    fagositosis, dan pelepasan enzim lisosomal.

    3

  • EFEK SAMPING YANG TIDAK DIINGINKAN

    Obat analgesik non-narkotika memberikan beberapa efek samping yang tidak

    diinginkan. Efek samping yang paling umum terjadi adalah pada saluran pencernaan. Obat ini

    dapat menyebabkan ulkus pada lambung atau usus, yang kadang-kadang diikuti dengan

    pendarahan sehingga terjadi anemia. Kerusakan pada lambung/usus ini dapat disebabkan

    paling sedikit oleh dua mekanisme yang berbeda, yaitu efek iritasi langsung obat tersebut pada

    mukosa lambung atau efek sistemik melalui penghambatan biosintesis prostaglandin dalam

    lambung. Prostaglandin itu sendiri berfungsi sebagai faktor protektif lambung terhadap

    pengaruh cairan lambung yang bersifat iritatif atau agresif. Prostaglandin berfungsi antara lain

    merangsang sekresi mukus dan bikarbonat yang dapat melindungi mukosa lambung dari

    pengaruh asam lambung, mempertahankan aliran darah mukosa, dan berpartisipasi dalam

    regenerasi dan pertumbuhan sel epitel.

    Efek samping lain yang berkaitan dengan penghambatan sistesis prostaglandin adalah

    gangguan pada fungsi platelet, perpanjuangan pendarahan, dan perubahan pada fungsi ginjal.

    Fungsi platelet terganggu karena golongan obat ini mencegah pembentukan platelet

    tromboksan A2 (TXA2), yaitu suatu zat agregasi yang poten. Dengan demikian obat tersebut

    cencerung memperpanjang waktu pendarahan. Aspirin merupakan penghambat fungsi platelet

    yang efektif, sehingga sering digunakan untuk pencegahan gangguan tromboembolik. Obat ini

    memberikan efek samping yang kecil terhadap fungsi ginjal pada orang sehat. Tetapi dapat

    memperparah penyakit ginjal pada penderita gangguan ginjal karena obat ini dapat

    mengurangi aliran darah ke ginjal dan kecepatan filtrasi glomerulus.

    1. GOLONGAN SALISILAT

    Asam asetil salisilat atau asetosal adalah obat golongan aslisilat yang paling banyak

    digunakan. Obat ini selain sebagai prototipe golongan analgesik-antipiretik dan antiinflamasi,

    sering digunakan sebagai pembanding dalam menilai intensitas efek obat sejenis.

    Efek Analgesik

    Salisilat menghilangkan nyeri ringan sampai sedang, seperti sakit kepala, nyeri otot

    (mialgia), dan nyeri sendi (artralgia). Obat ini menghilangkan rasa nyeri secara perifer melalui

    penghambatan pembentukan prostaglandin di tempat inflamasi. Tetapi efek langsung terhadap

    4

  • SSP mungkin juga terjadi dengan bekerja pada hipotalamus. Pada pemakaian jangka panjang,

    obat ini tidak menimbulakan toleransi atau adiksi, dan toksisitasnya lebih rendah dari pada

    analgesik narkotika.

    Efek Antipiretik

    Obat golongan salisilat dapat menurunkan suhu tubuh dengan cepat dan efektif. Efek

    penurunan suhu tubuh terjadi karena penghambatan pembentukan prostaglandin pada

    hipotalamus. Penurunan panas ini dipermudah dengan bertambahnya aliran darah ke perifer

    dan pembentukan keringat. Pada dosis toksik, obat ini mempunyai efek piretik yang

    menyebabkan keringat banyak ke luar sehingga menaikan dehidrasi.

    Efek pada Pernapasan

    Salisilat merangsang pernapasan secara langsung ataupun tidak langsung. Dosis terapi

    mempertinggi konsumsi oksigen dan produksi CO2 (terutama pada otot rangka). Peningkatan

    produksi CO2 ini merangsang pernapasan. Produksi CO2 yang bertambah diimbangi oleh

    peningkatan ventilasi alveoli, sehingga pengeluaran CO2 melalui alveoli bertambah, dan

    dengan demikian P CO2 plasma tidak berubah. Pada awal terjadinya peningkatan ventilasi

    alveoli, pernapasan lebih dalam dan frekuensinya sedikit bertambah.

    Salisilat secara langsung juga merangsang pusat pernapasan di medula. Hal ini

    menyebabkan hiperventilasi pada alveoli, yang ditandai oleh pernapasan yang dalam dan

    bertambahnya kecepatan bernapas. Dosis tinggi atau penggunaan yang lama menyebabkan

    efek depresi pada medula. Dosis toksik menimbulkan paralisis reepirasi pusat dan depresi

    vasomotor.

    Efek pada Keseimbangan Asam-Basa

    Dosis terapi salisilt menyebabkan perubahan keseimbangan asm-basa dan komposisi

    elektrolit. Perubahan awal ditunjukkan oleh terjadinya alkalosis pernfasan. Alkalosis

    pernafasan terkompensasi/tertanggulangi oleh peningkatan ekskresi bikarbonat melalui ginjal,

    yang diikuti oleh ion Na dan K, sehingga bikarbonat plasma menurun, dan pH darah kembali

    ke normal. Keadaan ini disebut alkalosis respirasi terkompensasi. Pada dosis toksik, perubahan

    asam-basa dan komposisi elektrolit akan berlanjut dan menimbulkan asidasis metabolik.

    5

  • Efek pada Kardiovaskuler

    Pada dosis besar salisilat menyebabkan vasodilatasi pembuluh perifer karena efek

    langsung terhadap otot polos jantung. Dosis toksik mendepresi sirkulasi secara langsung dan

    karena paralisis vasomotor sentral. Pemberian Na salisilat atau asetosal dosis besar, seperti

    pada penderita demam reumatik akut, volume plasma meningkat (sekitar 20%), hematokrit

    menurun, dan curah dan kerja jantung meningkat. Keadaan ini dapat menyebabkan

    kegagalan/payah jantung dan edem paru-paru.

    Efek pada Saluran Pencernaan

    Salisilat dapat menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan, rasa mual, dan

    muntah. Gangguan saluran pencernaan berupa ulkus/tukak lambung sampai perdarahan

    lambung. Kambuhnya tukak lambung dan perdarahan lambung dapat terjadi karena

    penggunaan salisilat dosis besar secara terus menerus, dan jarang terjadi dengan dosis kecil.

    Perdarahan lambung karena salisilat terjadi tanpa disertai rasa nyeri dan dapat menyebabkan

    anemia defisiensi zat besi.

    Efek pada Hati

    Salisilat dapat menyebabkan hepatotoksik. Efek toksik ini bergantung pda dosis, dan

    biasanya dengan konsentrasi plasma di atas 150 mg/ml. Indikasi utama adanya kerusakan pada

    hati dilihat dari adanya peningkatan aktivitas enzim (transamininase).

    Efek Urikosurik

    Efek salisilat terhadap eksresi asam urat sangat bergantung pada dosis. Dosis rendah

    (1-2 g per hari) dapat menurunkan ekskresi asam urat dan meningkatkan konsentrasi asam urat

    dalam plasma. Dosis sedang (3 g per hari) biasanya tidak mempengaruhi ekskresi asam urat.

    Dosis lebih besar (> 5 g per hari) memberikan efek urikosurik (meningkatkan ekskresi asam

    urat ) dan menurunkan kadar asam urat dalam plasma.

    Efek pada Darah

    Astosal dapat memperlama waktu perdarahan. Efek ini mungkin disebabkan oleh

    asetilasi siklooksigenase platelet dan akibatnya terjadi pengurangan pembentukan tromboksan

    6

  • (TXA2). Pasien dengan kerusakan hati yang parah, hipoprotombinemia, defisiensi vit. K, atau

    hemofilia harus menghindari penggunaan asetosal karena penghambatan hemostasis platelet

    dapat menyebabkan perdarahan.

    Efek terhadap Metabolisme

    Salisilat pada dosis besar dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemia (kadar glukosa

    dalam darah tinggi) dan glukosuria (kadar glukosa dalam air kemih tinggi). Hal ini diduga

    disebabkan oleh peningkatan epineprin yang dilepaskan dari medula adrenal. Obat ini juga

    dapat mengurangi lipogenesis (pembentukan lemak dalam jaringan ).

    Efek pada Sistem Endokrin

    Salisilat dalam dosis besar dapat menyebabkan pelepasan epinephrin dari medula

    adrenal dan menyebabkan terjadinya hiperglikemia; dapat merangsang sekresi steroid oleh

    korteks adrenal melalui efeknya terhadap hipotalamus.

    Efek Samping

    Penggunaan salisilat sering menyebabkan gangguan alat pencernaan, mual, muntah,

    gastritis dan ulkus peptikum karena sifatnya yang iritatif. Selain itu dapat terjadi alergi yang

    menyebabkan kulit kemerahan, urtikaria, edem laring, asam dan anafilaktik (reaksi alergi yang

    mendadak).

    2. GOLONGAN PARA-AMINOFENOL

    Turunan para-aminofenol terdiri atas asetaminofen, fenasetin, dan asetanilid. Efek

    analgesik dan antipiretik asetaminofen dan fenasetin sama kuat dengan efek asetosal, tetapi

    efek antiinflamasinya sangat lemah. Obat ini tidak menyebabkan iritasi pada lambung, dan

    dianggap paling aman efek sampingnya terhadap lambung.

    Asetaminofen dan fenasetin kadang-kadang menyebabkan eriterm (kemerahan pada

    kulit) atau urtikaria. Meskipun asetaminofen merupakan metabolit fenasetin, tanda-tanda dan

    gejala-gejala intoksikasi akut ke dua obat tersebut sangat berbeda. Efek toksik yang paling

    serius dari asetaminofen pada dosis tinggi adalah terjadinya nekrosis hati, kadang-kadang juga

    terjadi nekrosis tubuli ginjal. Dosis tinggi fenasetin yang diberikan terus-menerus dapat

    7

  • menyebabkan metemoglobinemia (adanya metemoglobin dalam darah) dan anemia hemollitik.

    Dosis letal fenaseetin tidak ada kaitan dengan kerusakan hati, tetapi berhubungan dengan

    sianosis (kebiruan kulit & selaput lendir karena kurangnya oksihemoglobin dalam kapiler,

    kadang-kadang karena adanya metemoglobin dalam darah), depresi pernafasan dan cardiac

    arrest.

    Toksisitas pada hati (efek hepatotoksik) asetaminofen dapat terjadi setelah pemberian

    dosis 10-15 g (150-250 mg/kg). Mekanismenya adalah sebagai berikut: asetaminofen di dalam

    hati dimetabolisme menjadi N-asetil-benzokuinoneimin, yang sangat reaktif. Dosis besar

    asetaminofen dapat menghasilkan metabolit tersebut dalam jumlah yang cukup, sehingga

    dapat mengeluarkan/mengosongkan glutation dalam hati. Dalam keadaan ini, reaksi metabolit

    tersebut dengan gugus sufridril dalam glutation meningkat dan akibatnya terjadi nekrosis hati.

    3. GOLONGAN PIRAZOLON

    Turunan pirazolon terdiri atas fenilbutazon, oksifenbutazon, antipirin, aminopirin,

    dipiron, dan apazon. Dalam pemakaian terapeutik, fenilbutazon merupakan turunan pirazolon

    yang paling penting, sedangkan antipirin, dipiron dan aminopirin sekarang ini jarang

    digunakan.

    Efek antiinflamasi fenilbutazon sama dengn efek salisilat, tetapi toksisitasnya berbeda.

    Seperti aminopirin, fenilbutazon dapat menyebabkan agranulositosis (berkurangnya granulosit

    dalam darah). Untuk nyeri yang bukan disebabkan oleh reumatik, efek analgesik fenilbutazon

    lebih rendah dari pada efek salisilat. Pada dosis 600 mg per hari, efek urikosuriknya tidak

    begitu besar, mungkin disebabkan oleh salah satu metabolitnya yang dapat menurunkan

    reabsorpsi asam urat pada tubuli ginjal. Konsentrasi kecil dapat menghambat sekresi asam urat

    dan menyebabkan retensi asam urat. Fenilbutazon dapat menyebabkan retensi ion Na da Cl,

    diikuti dengan pengurangan volume urin, sehingga terjadi udem.

    Efek samping yang tidak diinginkan yang paling sering adalah mual, muntah, rasa

    tidak enak pada lambung (perut), dan ruam kulit. Efek samping yang lebih serius adalah tukak

    lambung dengan pendarahan, hepatitis, nefritis (radang ginjal), anemia, leukopenia (jumlah

    leukosit dalam darah berkurang), agranulositosis, dan trombositopenia. (jumlah trombosit

    dalam darah berkurang). Di amping itu, kadang-kadang terjadi diare, vertigo, insomnia,

    euforia, dan udem.

    8

  • 4. ANTIREUMATIK DAN ANALGESIK LAIN

    Golongan obat ini meliputi indometasin, fenoprofen, asam mefenamat, dan asam

    flufenamat.

    a. Indometasin

    - Indometasin dipakai sejak tahun 1963 untuk penyakit reumatoid artritis dan sejenisnya.

    - Efek antiinflamasi dan antipiretiknya kuat sebanding dengan asetosal.

    - Efek analgesiknya tidak jelas/sangat lemah

    - Efek antiinflamasinya berdasarkan penghambatan pembentukan prostaglandin.

    - Obat ini diindikasikan untuk penyakit pirai akut, 50 mg 3 x sehari, biasanya 3-5 hari, tidak

    mempunyai efek urikosurik, jadi tidak berguna untuk pengobatan pirai kronik.

    Untuk penyakit reumatoid artritis dan sejenisnya, 25 mg 2-3 x sehari. Dosis dapat

    dinaikkan tiap minggu sampai dosis maksimum 150-200 mg/hari.

    - Penggunaannya terbatas karena toksisitasnya tinggi.

    Efek samping

    - Gangguan pada alat pencernaan, mis. anoreksia (hilangnya nafsu makan), mual, sakit

    perut, dan ulkus peptikum.

    - Gangguan pada SSP: sakit kepala bagian frontal (depan), vertigo (pusing seperti berputar-

    putar), depresi, halusinasi.

    - Agranulositosis (jumlah leukosit banyak berkurang), anemia aplastik (tidak ada

    pertumbuhan baru), dan trombositopenia (junlah trombosit berkurang dalam darah).

    - Efek alergi: gatal-gatal dan serangan asma.

    Kontraindikasi

    - Wanita hamil, wanita sedang menyusui, anak dibawah 14 tahun, penderita dengan tukak

    lambung.

    b. Fenopropen

    - Suatu derivat asam fenilpropionat

    9

  • - Mempunyai khasiat seperti aspirin

    - Mempunyai efek antinflamasi analgesik dan antipiretik

    - Efektif untuk reumatoid artritis, mengurangi rasa nyeri, kekakuan sendi dan

    pembengkakan.

    - Efek 2,4 g fenopropen seimbang dengan 3,9 g aspirin sehari.

    - Pada penyakit osteoartritis, 2 g fenopropen sama efektifnya dengan 300 mg fenilbutazon

    sehari.

    - Menghambat biosisntesis prostaglandin.

    Efek samping

    - Gangguan pada saluran pencernaan : mual, konstipasi, muntah-muntah, tapi efeknya lebih

    kecil dari pada efek asetosal.

    - Pada SSP: ngantuk, sakit kepala, pusing dan bingung.

    c. Ibuprofen

    - Suatu derivat asam fenilpropionat

    - Khasiatnya sama dengan fenoprofen

    - Efek sampingnya sama dengan efek fenoprofen, selain itu dapat menurunkan ketajaman

    penglihatan dan kesukaran membedakan warna.

    d. Asam Mefenamat

    - Tidak dianjurkan untuk anak-anak di bawah 14 tahun, karena reakasinya sukar diramalkan.

    - Dapat digunakan untuk berbagai penyakit reumatik.

    - Efek analgesiknya untuk : nyeri akut atau kronis yang sedang, nyeri kepala, nyeri otot

    - Efek analgesik tidak lebih dari asetosal

    - Lebih toksik daripada asetosal

    e. Piroxicam

    - Salah satu derivat oxicam

    10

  • - Merupakan obat antiinflamasi yang efektif, hampir sama potensinya dengan indometasin,

    sebagai penghambat biosintesis prostaglandin.

    - Memberikan efek analgesik dan antipiretik.

    - Pada dosis tertentu, ekivalen dengan aspirin atau indometasin pada penggunaan jangka

    panjang untuk reumatoid artritis atau osteoartritis.

    - Keuntungan utama dari piroxicam adalah waktu paruhnya panjang, sehingga

    pemberiannya cukup 1 x sehari.

    - Memberikan efek samping pada saluran pencernaan, yaitu dapat menyebabkan iritasi pada

    lambung dan memperpanjang waktu pendarahan.

    OBAT PIRAI (GOUT)

    Serangan pirai (gout) secara akut terjadi akibat adanya reaksi inflamasi terhadap kristal asam

    urat yang mengendap dalam jaringan sendi-sendi. Respon inflamasi ini melibatkan infiltrasi

    lokal granulosit, yang memfagositosis (menelan ) kristal urat. Obat pirai ini meliputi kolcisin,

    alopurinol, dan probenosid.

    1. Kolcisin

    - Kolcisin merupakan antiinflamasi yang unik, dimana obat ini sangat efektif hanya

    terhadap artritis gout.

    - Kolcisin tidak mempengaruhi ekskresi asam urat melalui ginjal ataupun konsentrasi asam

    urat dalam darah. Obat ini menghambat migrasi granulosit ke daerah inflamasi, sehingga

    mengurangi pelepasan asam laktat dan enzim-enzim proinflamasi yang terjadi selama

    fagositosis dan memecahkan siklus/rangkaian yang mengarah pada terjadinya respon

    inflamasi.

    - Kolcisin juga dapat memberikan efek farmakologi lain, a.l. menurunkan suhu tubuh,

    meningkatkan sensitivitas terhadap depresi sentral, mendepresi pusat pernapasan,

    menyebabkan konstriksi pembuluh darah, dan menginduksi hipertensi yang disebabkan

    oleh stimulasi vasomotor.

    - Efek samping yang paling umum dari kolcisin dosis besar adalah nausea (mual), muntah,

    diare, dan sakit pada abdominal (perut).

    11

  • - Keracunan akut menyebabkan pendarahan lambung, kerusakan vaskular, nefrotoksisitas,

    dan paralisis SSP.

    2. Alopurinol

    - Alopurinol efektif untuk pengobatan gout karena dapat mengurangi kadar asam urat dalam

    darah.

    - Berbeda dengan obat urikosurik yang meningkatkan ekskresi asam urat dalam ginjal,

    allopurinol dan metabolit utamanya yaitu aloksantin (oksipurinol) bekerja menghambat

    biosintesis asam urat pada tahap akhir dengan penghambat enzim xantin oksidase.

    Asam urat itu sendiri dibentuk terutama oleh oksidasi hipoksantin dan xantin yang

    dikatalisis oleh enzim xantin oksidase.

    - Penghambat biosintesis asam urat mengurangi konseentrasi asam urat dalam plasma darah

    dan meningkatkan kecepatan ekskresi xantin dan hipoksantin yang lebih mudah larut

    dalam air.

    3. Probenisid

    - Probenisid merupakan zat urikosurik, yang meningkatkan eksresi asam urat dalam ginjal

    melalui penghambatan reabsorpsi asam urat pada tubuli ginjal. Secara normal, sekitar 90

    % urat yang terfiltrasi direabsorpsi, dan hanya sekitar 10 % yang diekskresikan.

    12

    MEKANISME KERJA ANALGESIK NON-NARKOTIKA