teori hukum

Upload: neysaonline

Post on 03-Mar-2016

29 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Teori Hukum

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Konfigurasi diartikan sebagai bentuk atau wujud yang menggambarkan sesuatu Dalam beberapa kamus lain juga disebutkan bahwa konfigurasi itu berarti susunan atau konstruksi (pemikiran). Oleh Montesque (1698-1755) filosof Perancis, menjabarkan konsepTrias Politika, dimana fungsi seorang pemerintahan dikategorikan dalam badan legeslatif, eksekutif dan yudikatif. Karenanya beberapa pakar hukum dan ilmuwan menyepakati objek studi bidang hukum dan politik. Khususnya hukum dan tata Negara memiliki kesamaan diantaranya tentang Negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan, kebijaksanaan (policy), dan pembagian (distribution atau allocation).Hukum adalah peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan (pemerintah) atau adat yang berlaku bagi semua orang disuatu masyarakat (Negara) atau diartikan pula sebagai undang-undang (peraturan). Untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat.Negara hukum menurut Aristoteles dalam perumusannya masih terkait dengan polis menurutnya : pengertian negara hukum itu timbul dari polis yang mempunyai wilayah negara negara sekarang ini yang mempunyai negara luas dan berpenduduk banyak dimana urusan negara dilakukan dengan musyawarah dimana seluruh warga negaranya yang ikut dalam penyelenggaraan negara.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

Negara hukum adalah untuk menjamin keadilan bagi warga negara. keadilan merupakan syarat terciptanya suatu kebahagiaan bagi warga negara dalam berbangsa dan bernegara. Disisi lain salah satu dasar daripada keadilan adalah adanya rasa susila kepada manusia dan menganggap bahwa peraturan perundang-undangan hanya ada, jika peraturan itu mencerminkan rasa keadilan.Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, negara hukum adalah:negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warganya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.Dalam beberapa hal, negara hukum sulit dibedakan dengan demokrasi sekalipun tidak dapat dipersamakan.. Keduanya ibarat dua sisi dari sekeping mata uang yang sulit dipisahkan satu dengan yang lainnya. Negara hukum tidak harus demokratis, pemerintahan monarchis atau paternalistik sekalipun dapat saja taat kepada hukum tanpa tunduk kepada kaedah-kaedah demokrasi. Tetapi demokrasi yang bukan negara hukum bukanlah demokrasi dalam arti sesungguhnya. Moh. Mahfud, MD., menilai bahwa, demokrasi tanpa hukum tidak akan terbangun dengan baik bahkan mungkin menimbulkan anarki, sebaliknya hukum tanpa sistem politik yang demokratis hanya akan menjadi hukum yang elastis dan represif. Oleh karena itu bagaimanapun baiknya suatu hukum tanpa ditopang oleh demokrasi maka hukum itu akan lumpuh. Dan juga bagaimanapun baiknya suatu sistem yang demokratis tetapi tidak ditopang oleh hukum maka akan muncul kesewenang-wenangan di tengah masyarakat. Tidaklah berlebihan jika Franz Magnis Suseno SJ. dengan mengutip pendapat Lobkowics, menyatakan bahwa demokrasi merupakan cara yang paling aman dalam mempertahankan kontrol atas negara hukum. Prinsipnya negara hukum adalah suatu sistem pemerintahan yang dikendalikan oleh rakyat dan dijalankan berdasarkan atas hukum.Istilah negara hukum merupakan terjemahan dari konsep rechtsstaat dan the rule of low, sekalipun beberapa pakar hukum berbeda pendapat dengan dua istilah tersebut tetapi ada juga yang mempersamakannya. Azhary misalnya, dengan rechtsstaat atau rule of low, mengingat istilah tersebut mempunyai arah yang sama; yaitu mencegah kekuasaan absolut demi pengakuan dan perlindungan hak asasi. Perbedaannya lanjut beliau, terletak pada arti materil atau isi dari kedua istilah tersebut yang disebabkan oleh latar belakang sejarah dan pandangan hidup suatu bangsa. Rechtstaat yang berkembang di Jerman dan di negara-negara Eropa kontinental lainnya, dan konsep rule of low yang berkembang di Inggris atau negara-negara Anglo Sazon pada umumnya. Perbedaan yang paling pokok antara keduanya terletak pada keberadaan Peradilan Administrasi (tata usaha) negara pada konsep (rechtsstaat) sedangkan pada negara yang menganut konsep Rule of Law tidak terdapat dalam sistem peradilan administratif, sebab negara-negara Anglo Saxon pada umumnya lebih menekankan perinsip persamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law). Dengan prinsip itu, diharapkan agar setiap orang dipandang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum atau dihadapan pengadilan, tidak terkecuali para pejabat publik (administrasi) maupun pejabat militer. Dengan demikian mereka tidak merasa perlu memiliki sistem peradilan khusus atau peradilan Administrasi.

BAB IIIPEMBAHASAN

Sudardjo Gautama senada dengan sunaryanti Hartono menyamakan rule of law bagi negara hukum ia mengemukakan: Bahwa dalam suatu negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. Negara tidak maha kuasa, tidak bertindak sewenang-wenang tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum inilah apa yang oleh ahli hukum Inggris dikenal sebagai the rule of lawPandangan di atas memberi ketegasan bahwa dalam konsep rule of law itu kekuasaan bukanlah kekuasaan absolut, melainkan kekuasaan yang dibatasi oleh hukum dan perundang-undangan. Padmo Wahjono pun menilai bahwa negara hukum dalam istilah rechtsstaat dan rule of law tidak menunjukkan perbedaan yang mendasar sebagaimana pendapat beberapa pakar terdahulu, beliau mengemukakan sebagai berikut : Dilingkungan Anglo Saxon (Inggris, Amerika dan negara-negara lain yang mengikuti pola bernegaranya) menolak adanya suatu pengadilan khusus seperti halnya pengadilan administrasi dalam negara hukum (liberal). Mereka mengutamakan persamaan dalam hukum sehingga tidak perlu ada perbedaan dalam forum pengadilan konsepsi mereka dikenal dengan istilah teknis rule of law. Dari pendapat di atas, bahwa di negara-negara Anglo Saxon tidak terdapat adanya pengadilan khusus atau peradilan administrasi negara yang mengadili secara khusus pelanggaran-pelanggaran di bidang administrasi pemerintahan tetapi secara teknis menitikberatkan pada persamaan warga di depan hukum sehingga semua orang dapat diadili pada pengadilan yang sama, hukum yang sama, baik sebagai kapasitas pejabat pemerintahan maupun warga biasa.Dalam penjelasan Undang-undang Dasar 1945 dan keputusan Indonesia negara hukum diterjemahkan dari kata (rechtsstaat). Sekalipun dalam praksisnya konsep itu tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen oleh karena pengaruh dari konsep rule of law dan nilai budaya bangsa sendiri yang telah dianut dan berlaku di dalamnya. Selain pendapat di atas oleh Philipus M. Hadjon tidak menyetujui istilah negara hukum disamakan antara rechtsstaat dengan rule of law, terlebih jika dikaitkan dengan pengakuan akan harkat dan martabat manusia ia membedakan antara rechtsstaat dengan the rule of low dengan melihat latar belakang sejarahnya dengan sistem hukum yang menopang kedua istilah tersebut. Hadjon berpendapat bahwa: Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep the rule of law berkembang secara evolusioner. Hal ini tampak dari kriteria rechtsstaat dan kriteria the rule of lawSejarah pemikiran negara hukum sebetulnya sudah sangat tua. Jauh lebih tua dibandingkan dengan usia ilmu negara ataupun ilmu ketatanegaraan lainnya. Menurut Azhary citanegara hukum itu untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Plato dan kemudian pemikiran itu dipertegas oleh Aristoteles dalam karya Republic-nya. Plato menyatakan bahwa negara yang paling ideal adalah negara yang dipimpin oleh para filosof guna mewujudkan negara ideal tersebut, Plato membagi struktur sosial sebuah negara menjadi tiga bagian :1. Kelompok filosofis yang diberi amanah untuk memerintah, karena, mereka mempunyai pengertian tentang. yang baik sehingga akan lebih aktif. Dalam memimpin negara.2. Adalah golongan ksaktria atau prajurit, mereka sebagai penjaga keamanan negara yang mengawasi warga negara agar segala tindak pada para filosof. 3. Golongan rakyat biasa yakni para petani, tentang yang menopang kehidupan ekonomi rakyat. Sekedar catatan, Plato maupun Aristotels tidak mendukung tipe negara yang berlandaskan demokrasi (banyak orang) oleh karena hanya mengandalkan keinginan yang tak perlu (unnecessary desire) yang dapat membahayakan warga dan tidak praktis. Mereka mendambakan suatu Aristoteles yang dipimpin oleh para filosof karena punya kelebihan, keutamaan dan pandangan jauh ke depan.

Jika Plato dalam mengembangkan pikiran menggunakan dengan metode deduktif. Maka Aristoteles (murid Plato) memakai metode induktif dengan cara terlebih dahulu mengadakan penyelidikan terhadap 158 konstitusi-konstitusi yang berlaku dalam polis-polis (negara-kota) di Yunani yang kemudian dituangkan dalam bukunya yang berjudul Politica. Dalam bukunya itu ia membedakan tiga bentuk negara yang sempurna, yakni monarkhi yang dipimpin oleh seorang, Aristokrasi oleh sejumlah kecil orang dan politea yang dipimpin banyak orang. Sedang bentuk negara yang tidak sempurna terdiri dari, yakni; Despotie, Tirani, Oligarki, Platokrasi serta Demokrasi disampaikannya bahwa pemerintah yang berdasarkan konstitusi memiliki tiga unsur, yaitu: Pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasar ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi, ketiga, kehendak rakayat pada tahap ini, sejarah pemikiran negara hukum dapat di sebut sebagai fase Yunani Kuno.Pasca keruntuhan Yunani Kuno (klasik) maka yang menggantikannya adalah peradaban romawi atau fase Romawi (500 SM-1SM). Romawi merupakan pewaris dari Yunani dipandang dari segi filsafat (pemikiran). Pada masa ini, romawi membentuk pemerintahan imperium, yang merupakan bentuk negara yang memiliki daerah kekuasaan yang luas sekali tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan yang terdapat antara rakyat yang diperintahnya dari segi kebangsaan agama, bahasa, warna kulit dan sebagainya.28 Dibidang kenegaraan dunia Romawi hampir tidak memberikan kontribusi baru dari segi pemikiran filosofis tetapi lebih mengarahkan pada pembentukan istitusi negara secara sentralistik untuk memperkuat sistem pemerintahan dimana Roma sebagai pusatnya. Pembentukan konsul, senat dan Dewan atau Majelis (assembly) dengan pola kekeluargaan kebapakan (patriarchal family) adalah untuk mengukuhkan kekuasaan negara.29 Maka pemerintah Romawi lebih mengutamakan kewenangan dan kewibawaan penguasa (authority) dan sistem keamanan negara (stability) ketimbang kebebasan (liberty) dan pemerintahan demokratis (democracy). Di sini negara hukum sebagaimana yang dimaksudkan di atas menjadi terkubur oleh kekuasaan.Pada pertengahan (abad VI-XV dengan runtuhnya Romawi Barat (476 M) dan keruntuhan Romawi Timur (1453 M) sering juga disebut sebagai masa kegelapan (the dark ages) karena tidak muncul gagasan besar yang pantas dibanggakan masa ini dimensi ketuhanan (teoritis) menjadi acuan utama dalam hampir seluruh kehidupan termasuk lapangan ketatanegaraan. Santo Agustinus (354-430) pemikir abad pertengahan-banyak dipengaruhi oleh pemikiran patristik ke-kristenan yang sangat eskatologis menolak Kota Bumi dan lebih memberikan perhatian kepada Kota Tuhan. Baginya kota Bumi dianggap sebagai Kota Setan yang hanya memberikan kesengsaraan umat manusia. konsep kota Tuhan (the city of god) Santo Agustinus merupakan refleksi penolakannya terhadap konsep negara di dunia yang dinilai penuh dosa dan ketidak-jujuran dan menyeru kepada negara Tuhan yang di dalamnya cinta hanyalah bagi Tuhan saja, sekalipun harus membenci diri. Penguasa sudah pasti tidak lagi menuruti apa yang diminta daging dan darah, akan tetapi menuruti apa yang dikehendaki Tuhan.Filosof lain yang hidup pada masa pertengahan ini adalah Thomas Aquinas (1225-1274), pikirannya tentang negara dan hukum dihimpun dalam bukunya De Regimene Pricipun (pemerintahan raja-raja) dan dalam Summa Thelogica yang memuat tentang ketuhanan. Thomas Aquinas banyak dipengaruhi oleh ajaran Aristoteles oleh karena interaksinya dengan timur tengah (dunia Islam) saat-saat berkunjung ke tempat suci agama kristen dimana dunia Islam mengkaji pikiran Aristoteles dan filosof Yunani lainnya penguasa negara menurutnya, adalah penguasa yang menjalankan pemerintahan negara sesuai dengan kepentingan umum untuk mencapai tujuan bersama. Apa yang menjadi tujuan hidup manusia, maka itu pula tujuan negara. Kemudian dikemukakan bahwa tujuan manusia adalah mencapai kemuliaan abadi dan kemuliaan abadi dapat dicapai jika menuruti tuntutan gereja. Di sini terlihat betapa ajaran teo sentris ikut serta mempelajarinya.Ajaran Thomas Aquinas tentang pemerintahan negara terlihat pengaruh Aristoteles yang menurut sifatnya terbagi dalam tiga macam, yaitu, pertama, pemerintahan satu orang, yang baik disebut monarki yang jelek disebut tirani, kedua, pemerintahan oleh beberapa orang, yang baik disebut Aristokrasi, yang jelek disebut oligarki; ketiga, pemerintahan oleh seluruh rakyat yang disebut politeia dan yang jelek adalah demokrasi. Dalam melaksanakan pemerintahan negara, penguasa harus menjadikan undang-undang dasar atau konstitusi untuk mengatur dan membatasi tindakan-tindakan pemerintah yang dapat mencegah pemerintahan tirani.

BAB IVPENUTUPTeori hukum, tidak kurang dari sebuah `dokumen manusia' yang mencerminkan jejak pergulatan `manusia historis' menata dirinya dalam tiap episode zaman (dengan tantangan khasnya masing-masing). Perbedaan roh zaman,melahirkan dialog antara generasi teori. Karena itu, teori hukum sejak awal, tidak tumbuh dalam ruang kosong. Ia pun tidak lahir acak. Selain mencerminkan kosmologi zamannya, tiap teori hukum lahir dalam proses dialektika. Teori yang satu memicu teori yang lain yang terkonfigurasi dalam bentangan tesis-antitesis. Seolah, semuanya terurai dalam satu rangkaian gerak dari teologis-metafisika-positivis model Comte. Pergeseran tahap satu ke yang lain, bukan terutama mencerminkan kualitas teori. Tiap teori memperlihatkan strategi budaya dari manusia penghuni zamannya. Ya, sebuah jawaban manusia (wi) atas diri dan lingkungannya, kini dan di sini. Sebuah jawaban khas manusia kebudayaan. Teori hukum, dengan demikian, adalah teori tentang manusia. Lebih jelas, teori tentang `manajemen hidup manusia' sebagai pembutuh tertib hidup.Pandangan dunia yang teologis (dewa-dewi religi kuno), tercatat menjiwai pemikiran awal tentang hukum. Kemunculan hukum yang berawal di Babilonia (2000 tahun seb. Masehi) dan di Yunani (600 seb.Masehi), memperlihatkan realitas itu. Dalam cakrawala religius zaman dulu, hukum yang dibentuk oleh seorang raja dianggap langsung berasal dari `yang ilahi'. Dalam kosmologi Yunani kuno, `yang ilahi' itu ada dalam alam. Logika alam adalah logika ilahi. Dewa-dewilah yang menjadi causa remota dari apa yang terjadi dalam alam, baik tatanannya maupun kehidupan penghuninya, termasuk manusia. Di sinilah muncul gagasan tentang hukum alam yang kemudian mendapat makna yang berbeda-beda dari zaman ke zaman. Dengan kian menipisnya cakrawala mitis-religius itu, kosmologi alam berganti dengan akal. Ini melahirkan era metafisika. Hukum pun menjadi obyek kajian metafisika. Meski begitu, nuansa teologis tidak sirna sama sekali. Hanya tidak dominan saja. Para filsuf klasik Athena, misalnya masih percaya bahwa akal manusia tidak lepas dari logos ilahi. Hukum pun harus mencerminkan logos itu dalam wujud keadilan. Inilah satunya-satunya prinsip hukum. Dengan demikian, campur tangan ilahi itu bisa tampil, entah melalui logika alam, melalui ajaran religi, atau melalui aturan-aturan yang adil yang ditentukan oleh yang berkuasa, dan lain sebagainya. Memasuki abad pertengahan, hukum mendapat warna baru bernuansa agama-agama samawi dengan tetap melekat cara pandang metafisika. Pengaruh helenisme, tidak lalu hilang. Sampai derajat tertentu, justru mewarnai teologi agama samawi, terutama filsafat Plato, Aristoteles, dan Stoicisme. Pengaruh itu juga berdampak pada teori hukum di era ini. Teori dari pemikir paling teras abad pertengahan, Agustinus dan Thomas Aquinas tentang hukum, memperlihatkan warna kosmologi zamannya. Hukum dihubungkan dengan tatanan Allah. Pada zaman modern yang diawali Renaissance, sentrum teori hukum beringsut (bergeser) dari alam dan agama, kepada otonomi manusia. Manusia duniawi, menjadi pokok perhatian dalam pemikiran hukum. Ini dipelopori tokoh-tokoh utama humanisme seperti Petrarca, Desiderius Erasmus, dan Thomas More. Melalui ilmu-ilmu empiris (utamanya fisika), dunia ditemukan kembali dengan cara khas. Dampak ilmu-ilmu terhadap pandangan dunia manusia kian terasa pada abad ke-15, yang kemudian kian kokoh pada abad-abad berikutnya. Pada zaman modern, orang makin mencari kebenaran dalam fakta-fakta yang nyata di dunia pengalaman. Dunia ditemukan juga dalam suatu tata politik baru akibat timbulnya negara-negara bangsa di bawah pemerintahan raja-raja yang kuat. Rasa nasionalisme pun mewarnai pembentukan negara-bangsa tersebut. Pada kurun waktu itu, kesadaran politik berubah juga karena diperluasnya daerah kekuasaan raja-raja (Eropa) lewat kolonialisme . Bagi para pemikir tentang hukum, perubahan-perubahan tersebut besar artinya. Sesuai mentalitas baru, pembentukan hukum dianggap sebagai bagian kebijakan manusia di dunia. Organisasi negara nasional disertai pemikiran tentang peraturan hukum, baik untuk dalam negeri, maupun untuk hubungan dengan luar negeri (hukum internasional). Oleh sebab peraturan yang berlaku bagi negara dibuat atas perintah-perintah raja-raja, maka raja dipandang sebagai pencipta hukum. Dapat disimpulkan, sejak zaman baru, tekanan tidak terletak lagi atas hukum alam yang berada di luar kebijakan manusia, melainkan atas hukum positif. Namun pada umumnya filsuf-filsuf zaman itu masih juga menerima adanya suatu hukum alam, yang nampak dalam akal manusia, umpamanya saja tentang perlunya hukuman apabila ditemukan adanya pelanggaran . Pada abad ke-17 dan ke-18 kepercayaan kepada kekuatan akal makin bertambah. Sebab itu disebut zaman rasionalisme atau Aufklarung (zaman pencerahan). Rene Descartes tampil sebagai perintis filsafat rasionalisme itu. Menurut Descartes, terdapat ide-ide yang terang pada manusia yang mutlak dapat dipercaya. Ide-ide itu berakar dalam kesadaran tiap-tiap manusia tentang dirinya sebagai pribadi yang berakal dan bebas. Dengan demikian, manusia sebagai subyek dijadikan titik tolak seluruh pandangan hidup, dan juga teori hukum. Sesudah Descartes, filsafat zaman ini menjurus ke dua arah. Arah yang satu adalah rasionalisme, yang mengunggulkan ide-ide akal murni, seperti Montesqieu, Voltaire, Rousseau, dan Immanuel Kant. Sedang arah yang kedua ialah empirisme, yang menekankan perlunya basis empiris bagi semua pengertian Qohn Locke dan David Hume). Sebenarnya empirisme itu, yang berkembang di lnggris sejak abad ke17, merupakan suatu berpikir secara rasionalisme juga. Akan tetapi di sini metode empiris diutamakan, yakni apa yang tidak dapat dialami, tidak dapat diakui kebenarannya. Teori hukum zaman itu adalah suatu usaha untuk mengerti hukum sebagai bagian suatu sistem pikiran yang lengkap yang bersifat rasional belaka. Dalam usaha tersebut, para filsuf bertolak dari arti hukum sebagai yang berlaku dalam negara, lalu menyelidiki manakah prinsipprinsip umum hukum yang berlaku di mana-mana karena berazaskan pada akal tiap-tiap manusia. Di sini hukum positif merupakan objek pemikiran yang utama. Namun pada umumnya diakui juga adanya suatu hukum kodrat yang berasal dari rasio manusia juga, dan berfungsi sebagai dasar hukum positif. Menurut Huijbers, ide-ide baru tentang hukum yang muncul pada zaman ini berkaitan dengan perubahan pandangan atas pemerintahan masyarakat dalam negara, yakni idealisme negara hukum . Locke membela hak-hak warga negara terhadap pemerintah yang berkuasa. Montesqieu terkenal karena perumusannya tentang Tria.r Politica. Sedangkan Rousseau mewartakan keunggulan manusia sebagai subjek hukum. Bila hukum menjadi bagian suatu kehidupan bersama yang demokratis, maka raja sehagai pencipta hukum perlu diganti dengan rakyat. Rakyat menjadi pencipta serentak subyek hukum. Seperti dikatakan Immanuel Kant, pembentukan tatahukum merupakan inisiatif manusia guna mengembangkan suatu kehidupan bersama yang bermoral. Pada akhir abad ke-18, suatu era baru dalam kehidupan politik mulai diwujudkan di Amerika (1776) dan di Prancis (1789). Revolusi Prancis itu berdasarkan semboyan: liberte, egalite, fraternite. Dituntut suatu tata hukum baru atas dasar kedaulatan rakyat. Tata hukum itu dibentuk oleh para sarjana Prancis, atas perintah Kaisar Napoleon. Code czvil atau Code Napoleon itu (1804) menjadi sumber kodeks banyak negara modern, antara lain Belanda dan akhirnya juga Indonesia. Pada abad ke-19, ide-ide itu makin berkembang, dan semua gejala hidup dikelola secara rasional-ilmilah. Pada abad ini, empirisme mendapat bentuk baru dalam positivisme. Nuansa metafisika yang melekat pada empirisme lama, diganti menjadi pengolahan ilmiah dalam positivisme. Dasar bagi positivisme ini diletakkan oleh August Comte. Kosmologi positivisme berpengaruh atas hukum dalam dua bentuk:I. Memunculkan positivisme yuridis. Di sini, hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu diolah secara tertentu pula. Tujuan positivisme yuridis adalah pembentukan struktur-struktur rasional, berupa sistem-sistem yuridis (aturan dan doktrin) yang hendak diterapkan sebagai hukum positif. Dengan begitu, hukum menjadi ciptaan para ahli di bidang hukum. Dalam positivisme yuridis, terdapat konsepsi kuat bahwa hukum yang mempunyai arti yuridis yang sungguh-sungguh adalah hukum yang ditentukan oleh pemerintah suatu negara, yakni undang-undang. Implikasinya, peraturan yang berlaku dalam lembaga yang non-negara, perlu pengakuan negara supaya berlaku sungguh-sungguh secara yuridis. Juga hukum adat hanya dipandang sebagai hukum yang berlaku secara efektif, bila disahkan oleh pemerintah negara yang bersangkutan.Memang realitas berbagai aturan di luar lembaga negara, tetap diakui. Ini tampak dari penggolongan Austin tentang hukum. Ada hukum Tuhan dan ada hukum manusia. Hukum Tuhan menurut Austin, lebih sebagai moral hidup bagi manusia daripada hukum dalam arti yang sejati. Sedangkan hukum manusia (yang merupakan peraturan yang dibuat oleh manusia sendiri), masih dapat dibedakan dalam dua bentuk, yakni1. Hukum yang sungguh-sungguh (properly so callec), yaitu peraturan perundangan yang berasal dari negara. 2. Hukum yang bukan hukum sejati (improperly so callec), yaitu peraturan-peraturan yang berasal dari lembaga-lembaga non-negara yang diijinkan oleh pemerintah. Peraturan-peraturan ini tidak tergolong hukum dalam arti sejati, sebab tidak berkaitan dengan pemerintah sebagai pembentuk hukum.Dapat disimpulkan, bidang yuridis di mata positivisme yuridis mendapat suatu tempat yang terbatas, yakni menjadi unsur negara. Wilayah hukum bertepatan dengan wilayah suatu negara. Hukum dalam arti yang sesungguhnya adalah hukum yang berasal dari negara dan yang dikukuhkan oleh negara. Hukum-hukum lain tetap dapat disebut hukum, tetapi tidak mempunyai arti yuridis yang sesungguhnya. Itulah sebabnya, positivisme yuridis bertopang pada beberapa prinsip berikut ini:1. Hukum sama dengan undang-undang. Dasarnya ialah hukum muncul sebagai berkaitan dengan negara: hukum yang benar adalah hukum yang berlaku dalam suatu negara.2. Tidak terdapat suatu hubungan mutlak antara bidang yuridis dan moral.3. Hukum itu tidak lain daripada hasil karya para ahli di bidang hukum. 4. Hukum merupakan suatu close logical ystem. Peraturan-peraturan dapat dideduksikan (disimpulkan secara logis) dalam undang-undang yang berlaku tanpa perlu meminta bimbingan dari norma-norma sosial, politik, dan moral.

II. Memunculkan positivisme sosiologis. Di sini, hukum dipandang sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Hukum bersifat terbuka bagi kehidupan sosial di luarnya. Dalam positivisme sosiologis, hukum ditanggapi secara lebih konkret sebagai bagian dari realitas sosial. Dan' sini pula muncul kajian-kajian yang memberi tekanan pada aspek manusia dan masyarakat. Melalui Comte dan Spencer, penglihatan terhadap hukum ditempatkan dalam kerangka evolusi sosial dan budaya manusia. Sayangnya, di kalangan penstudi hukum lebih ditonjolkan positivisme yuridis ketimbang positivisme sosiologis. Padahal, meski terdapat kekurangan di sana-sini, pendekatan-pendekatan evolusionisme lebih mampu mengangkat dimensi pergulatan manusia dalam teori hukum ketimbang pendekatan legal-yuridis. Memasuki abad 20, muncul kosmologi baru yang memberi penekanan pada humanisasi hidup manusia. Berbagai pendekatan pun tampil berdesakan, mulai dari pendekatan yang neo-kantianisme, neohegelian, neo-marxisme, sampai pada pendekatan sosio-antropologis. Bahkan di penghujung abad 20, muncul kembali teori hukum alam. Tidak hanya itu, di era ini tampil juga pendekatan realisme (baik versi Amerika maupun versi Skandinavia) dan pendekatan kritis di bidang hukum. Jika neo-kantianisme, neo-hegelian, dan neo-marxismebergerak di aras filsafat, maka pendekatan sosio-antropologi bergerak di areal yang lebih empiris. Hukum dilihat bagian integral dari sistem sosial budaya yang lebih besar. Dengan pemahaman ini, tertib hidup manusia dikelola dalam sistem yang utuh yang tidak melulu diserahkan pada aturan hukum positif. Aturan hukum positif (yang hanya merupakan salah satu satu dari tatanan hidup manusia), tidak dijadikan sebagai fenomena sui generis (unik dan tersendiri). la merupakan unit yang kait mengait dengan sub-sub sistem lain dari tatanan tertib manusia yang lebih besar, seperti religi, adat, politik, ekonomi, dan institusi-institusi sosial lainnya. Tertib hidup manusia dikelola secara bersama-sama dan sinergis oleh semua tatanan tersebut. Pendekatan realisme pun, pada dasarnya, menolak kredo suigeneris dari hukum. Realisme hukum Amerika, selain mengakui eksistensi tatanan-tatanan lain di luar hukum yang turut menentukan tertib hidup seorang manusia, juga menyodorkan kepeloporan para hakim (yang arif dalam menghadirkan keadilan. Teks-teks aturan tidak bisa diandalkan sebagai alat satu-satunya menghadirkan keadilan. Kebijaksanaan para hakim, justru jauh lebih realistis untuk menciptakan keadilan. Sementara realisme hukum Skandinavia memberi penekanan yang berbeda. Aliran ini menempatkan keberlakuan hukum dalam konteks psikis manusia. Keberlakuan hukum hanya dapat dipahami dalam konteks dan dalarn kaitan dengan `perasaan wajib' dari individu.Bagaimana dengan pendekatan kritis? Pendekatan ini bersifat emansipatoris (pembebasan). Manusia perlu dibebaskan dari segala ikatan-ikatan struktural yang membelenggu hidupnya sebagai individu yang otonom dan bebas. Jadi di sini, isunya adalah isu pembebasan. Karena hukum positif (sampai derajat tertentu) merupakan bagian struktur yang membelengu individu itu, maka la menjadi salah satu sub-struktur yang perlu dibongkar kepalsuannya. Ideologi-ideologi palsu yang terbungkus dalam tatahukum (entah ideologi bias jender, bias kepentingan, bias rasisme, dan bias-bias lainnya), harus dibongkar untuk membangun tatanan baru yang equal dan adil.

KONFIGURASI TEORI HUKUM

OLEH : dr. Janti Marbun ( NPM. 261210240976)PENGAMPU : Dr. Sigit Irianto, SH, MHum

PROGRAM MAGISTER HUKUM KESEHATANUNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 (UNTAG) SEMARANG2014