tafsir surah al-ma'un

21
Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Qur’an surah ke-107 ini terdiri dari tujuh ayat dan digolongkan ke dalam surah-surah Makkiyah (surah Makkiyah adalah surah yang diturunkan di kota Mekah, pada umumnya ayat-ayat pendek, dan berisi mengenai ketauhidan). Surah al- Ma’un ini diturunkan setelah surah at-Takasur. Nama surah ini yaitu al-Ma’un, diambil dari kata “al-ma’un” yang terdapat dalam ayat ke-7 dari surah itu sendiri yang berbunyi “wayam nauu nal maa’uun”. Arti al –Ma’un itu sendiri adalah barang- barang yang berguna. Setiap wahyu Allah ini turun selalu diikuti oleh sebuah peristiwa atau yang lebih dikenal dengan kata “Asbabun nuzul”, begitu juga dengan al-Qur’an surah al- Ma’un ini : “Pada zaman Rasullah dulu ada sekelompok kaum munafik yang rajin ibadah, dalam hal ini mengejarakan sholat. Namun patut disayangkan bahwa setiap mereka sholat itu tidak diniatkan karena Allah, melainkan karena ingin dilihat oleh orang lain. Ketika ada orang yang melihat mereka sholat maka mereka akan sholat dengn khusuyunya tetapi jika tidak ada orang yang melihatnya maka mereka sholat dengan seenaknya bahkan mereka tidak mengerjakannya. Apa yang dikerjakan selalu ingin mendapatkan pujian dari orang lain atau dengan kata lain riya selain itu kaum munafik ini enggan untuk memeberikan barang-barang berguna 1

Upload: muktadir-aliyah

Post on 03-Jul-2015

3.435 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tafsir Surah Al-Ma'Un

Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Qur’an surah ke-107 ini terdiri dari tujuh ayat dan digolongkan ke dalam surah-

surah Makkiyah (surah Makkiyah adalah surah yang diturunkan di kota Mekah, pada

umumnya ayat-ayat pendek, dan berisi mengenai ketauhidan). Surah al-Ma’un ini

diturunkan setelah surah at-Takasur. Nama surah ini yaitu al-Ma’un, diambil dari kata

“al-ma’un” yang terdapat dalam ayat ke-7 dari surah itu sendiri yang berbunyi “wayam

nauu nal maa’uun”. Arti al –Ma’un itu sendiri adalah barang-barang yang berguna.

Setiap wahyu Allah ini turun selalu diikuti oleh sebuah peristiwa atau yang lebih dikenal

dengan kata “Asbabun nuzul”, begitu juga dengan al-Qur’an surah al-Ma’un ini : “Pada

zaman Rasullah dulu ada sekelompok kaum munafik yang rajin ibadah, dalam hal ini

mengejarakan sholat. Namun patut disayangkan bahwa setiap mereka sholat itu tidak

diniatkan karena Allah, melainkan karena ingin dilihat oleh orang lain. Ketika ada orang

yang melihat mereka sholat maka mereka akan sholat dengn khusuyunya tetapi jika

tidak ada orang yang melihatnya maka mereka sholat dengan seenaknya bahkan mereka

tidak mengerjakannya. Apa yang dikerjakan selalu ingin mendapatkan pujian dari orang

lain atau dengan kata lain riya selain itu kaum munafik ini enggan untuk memeberikan

barang-barang berguna yang dimikinya kepda orang yang membutuhkannya dengan

kata lain kaum munafik ini enggan untuk megeluarkan zakat. Allah tidak menyukai kaum

seperti ini, oleh karena itu Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad saw.

dengan perentara malaikat jibril sebagai ancaman kepada kaum munafik tersebut dan

menggolongkan mereka ke dalam orang-orang yang mendustakan agama Allah. Itulah

yang melatari turunnya wahyu Allah, al-Qur’an surah al-Ma’un ini.

1

Page 2: Tafsir Surah Al-Ma'Un

B. Rumusan Masalah

1) Apa yang terkandung dalam surah al-Maun ayat 1-3?

2) Apa yang terkandung dalam surah al-Ma’un ayat 4-7?

C. Tujuan Pembahasan

1) Untuk mengetahui makna/tafsir surah al-Ma’un ayat 1-3.

2) Untuk mengetahui makna/tafsir surah al-Ma’un ayat 4-7.

2

Page 3: Tafsir Surah Al-Ma'Un

Bab II

Tafsir Surah al-Ma’un

Surah ini menurut mayoritas ulama adalah surah Makkiyah. Sebagian menyatakan

Madaniyyah, dan ada lagi yang berpendapat bahwa ayat pertama sampai dengan ayat ketiga

turun di Mekah dan sisanya di Madinah. Ini dengan alasan bahwa yang dikecam oleh ayat

keempat dan seterusnya adalah orang-orang munafik yang baru dikenal keberadaannya setelah

hijrah Nabi Muhammad saw. ke Madinah.

Nama surah ini cukup banyak. Ada yang menamainya surah ad-Din, surah at-Takzib,

surah al-Yatim, surah Ara’aita, surah Ara’aita alladzi, dan yang paling popular adalah surah al-

Ma’un.

Tema utamanya adalah kecaman terhadap mereka yang mengingkari keniscayaan

Kiamat dan yang tidak memperhatikan substansi shalatnya. Menurut al-Biqa’I, tujuan utamanya

adalah peringatan bahwa pengingkaran terhadap hari Kebangkitan merupakan sumber dari

segala kejahatan, karena dia mendorong yang bersangkutan untuk melakukan aneka akhlak

yang buruk serta melecehkan aneka kebajikan.

Surah al-Ma’un diterima Nabi Muhammad saw. ketika beliau masih bertempat di

Mekah. Demikian pendapat banyak ulama. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa awal

surah ini turun di Mekah, sebelum Nabi saw. berhijrah, sedangkan akhirnya yang berbicara

tentang mereka yang riya’ (tidak ikhlas) dalam shalatnya turun di Madinah.

Yang berpendapat surah ini Makkiyah, menyatakan bahwa ia adalah wahyu yang ke-17

yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. Ia turun sesudah at-Takatsur dan sebelum surah al-

Kafirun. Jumlah ayatnya menurut cara perhitungan mayoritas ulama sebanyak 6 ayat.

3

Page 4: Tafsir Surah Al-Ma'Un

AYAT 1-3

“Apakah engkau telah melihat orang yang mendustakan hari kemudian? Maka itu yang

mendorong dengan keras anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi pangan orang miskin.”

Pada surah Quraish, dijelaskan bahwa Allah swt. memberi anugerah pangan kepada

manusia, dalam arti mempersiapkan lahan dan sumber daya alam sehingga dengan anugerah

itu mereka tidak kelaparan. Sedangkan dalam surah al-Ma’un ini Allah mengecam mereka yang

berkemampuan, tetapi enggan, jangankan memberi, menganjurkan pun tidak. Allah berfirman:

Apakah engkau wahai Nabi Muhammad atau siapa pun telah melihat yakni beritahulah Aku

tentang orang yang mendustakan hari kemudian? Jika engkau belum mengetahui maka

ketahuilah bahwa dia itu adalah yang mendorong dengan keras yakni menghardik dan

memperlakukan sewenang-wenang anak yatim, dan tidak senantiasa menganjurkan dirinya,

keluarganya dan orang lain memberi pangan buat orang miskin.

Dalam beberapa riwayat, dikemukakan bahwa ada seseorang – yang diperselisihkan

siapa dia, apakah Abu Sufyan atau Abu Jahal, al-Ash Ibn Walid atau selain mereka – konon

setiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang meminta

sedikit daging yang telah disembelih itu namun ia tidak diberinya bahkan dihardik dan diusir.

Peristiwa ini merupakan latar belakang turunnya ketiga ayat di atas1.

Pertanyaan yang diajukan ayat pertama ini bukannya bertujuan memperoleh jawaban,

karena Allah Maha Mengetahui, tetapi bermaksud menggugah hati dan pikiran mitra bicara,

agar memperhatikan kandungan pembicaraan berikut. Dengan pertanyaan itu ayat di atas

mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama, yang tanpa

itu keberagamaannya dinilai sangat lemah, kalau enggan berkata nihil.

1 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm. 545.

4

Page 5: Tafsir Surah Al-Ma'Un

Kata dzalika/ itu digunakan untuk menunjuk kepada sesuatu yang jauh. Ini memberi

kesan betapa jauh tempat dan kedudukan yang ditunjuk dari pembicara, dalam hal ini Allah

swt.

Kata yukadzdzibu/ mendustakan atau mengingkari dapat berupa sikap batin dan dapat

juga dalam bentuk sikap lahir, yang terwujud dalam bentuk perbuatan.

Kata ad-din dari segi bahasa antara lain berarti agama, kepatuhan, dan pembalasan.

Kata ad-din dalam ayat di atas sangat populer diartikan dengan agama, tetapi dapat juga

berarti pembalasan. Pendapat ini didukung oleh pengamatan yang menunjukkan bahwa al-

Qur’an bila menggandengkan kata ad-din dengan yukadzdzibu, maka konteksnya adalah

pengingkaran terhadap hari Kiamat, perhatikan antara lain QS. al-Infithar [82]: 9 dan at-Tin [95]:

7. Selanjutnya jika kita mengaitkan makna kedua ini dengan sikap mereka yang enggan

membantu anak yatim atau orang miskin karena menduga bahwa bantuannya kepada mereka

tidak menghasilkan apa-apa, maka itu berarti bahwa pada hakikatnya sikap mereka itu adalah

sikap orang-orang yang tidak percaya akan adanya (hari) Pembalasan. Bukankah yang percaya

dan meyakini, bahwa kalaulah bantuan yang diberikannya tidak menghasilkan sesuatu di dunia,

namun yang pasti ganjaran serta balasan perbuatannya itu akan diperoleh di akhirat kelak.

Seseorang yang kehidupannya dikuasai oleh kekinian dan kedisinian, tidak akan

memandang ke hari Kemudian yang berada jauh di depan sana. Sikap demikian merupakan

pengingkaran serta pendustaan ad-Din, baik dalam arti agama lebih-lebih lagi dalam arti hari

Kemudian.

Agama menuntut adanya kepercayaan kepada yang gaib. Kata gaib disini bukan sekedar

kepercayaan kepada Allah atau malaikat, tetapi ia berkaitan dengan banyak hal, termasuk janji

Allah melipatgandakan anugerah-Nya kepada setiap orang yang memberi bantuan.

Kepercayaan ini mengantarnya meyakini janji Ilahi itu, melebihi keyakinannya

menyangkut segala sesuatu yang didasari oleh perhitungan-perhitungan akalnya semata-mata,

sehingga ketika itu wahyu akalnya membisikkan bahwa: “Sikap yang akan diambilnya

5

Page 6: Tafsir Surah Al-Ma'Un

merugikan atau tidak menguntungkan,” namun jiwanya yang percaya itu mendorong untuk

melakukannya.

Kata yadu’-‘u berarti mendorong dengan keras. Kata ini tidak harus diartikan terbatas

pada dorongan fisik, tetapi mencakup pula segala macam penganiayaan, gangguan dan sikap

tidak bersahabat terhadap mereka. Walhasil ayat ini melarang untuk membiarkan dan

meninggalkan mereka. Arti ini didukung oleh bacaan syadz yakni yada’u al-yatim yang artinya

adalah mengabaikan anak yatim.

Kata al-yatim terambil dari kata yutm yang berarti kesendirian, karena itu permata yang

sangat indah dan tidak ada bandingnya dinamai ad-durrah al-yatamah. Bahasa menggunakan

kata tersebut untuk menunjuk anak manusia yang belum dewasa yang ayahnya telah wafat,

atau anak binatang yang induknya telah tiada. Kematian ayah, bagi seseorang yang belum

dewasa, menjadikannya kehilangan pelindung, ia seakan-akan menjadi sendirian, sebatang

kara, karena itulah ia dinamai yatim. Perlu dicatat bahwa walaupun ayat ini berbicara tentang

anak yatim, namun maknanya dapatdiperluas sehingga mencakup semua orang yang lemah dan

membutuhkan pertolongan dan hal ini dikuatkan pula dengan kandungan ayat berikutnya.

Kata yahudhdhu/ menganjurkan mengisyaratkan bahwa mereka yang tidak memiliki

kelebihan apapun tetap dituntut paling sedikit berperan sebagai “penganjur pemberi pangan”.

Peranan ini dapat dilakukan oleh siapa pun, selama mereka merasakan penderitaan orang lain.

Ayat di atas tidak memberi peluang sekecil apapun bagi setiap orang untuk tidak berpartisipasi

dan merasakan betapa perhatian harus diberikan kepada setiap orang untuk tidak

berpartisipasi dan merasakan betapa perhatian harus diberikan kepada setiap orang lemah dan

membutuhkan bantuan.

Kata tha’am berarti makanan atau pangan. Ayat tersebut tidak menggunakan redaksi

ith’am/ memberi makan, tetapi tha’am/ pangan agar setiap orang yang menganjurkan dan atau

memberi itu, tidak merasa bahwa ia telah memberi makan ornag-orang yang butuh. Ini

mengisyaratkan bahwa pangan yang mereka anjurkan atau mereka berikan itu, pada hakikatnya

walaupun diambil dari tempat penyimpanan yang “dimiliki” si pemberi, tetapi apa yang

diberikannya itu bukan miliknya, tetapi hak orang-orang miskin dan butuh itu.

6

Page 7: Tafsir Surah Al-Ma'Un

Dari Sabab Nuzul ayat yang penulis kemukakan pada awal uraian dapat terbaca bahwa

kecaman dapat tertuju walaupun kepada mereka yang membagi-bagikan bantuan apabila

bantuan yang diberikannya itu tidak mengenai sasaran yang dikehendaki Allah, dalam hal ini,

sasaran tersebut adalah mereka yang benar-benar membutuhkan pertolongan. Memang, boleh

jadi seseorang memberi kepada pihak lain, tetapi di balik pemberiannya itu, dia mengharapkan

pula sesuatu, dia enggan memberi kepada yatim dan miskin, karena tidak terdapat sesuatu

diharapkannya dari mereka. Anda dapat menjumpai sekian banyak orang yang memberi kepada

mereka yang sebenarnya tidak membutuhkan bantuan sebesar yang diberikannya itu, tetapi

pada saat yang sama ia mengabaikan banyak lainnya yang justru sangat membutuhkan, dan

akan sangat bergembira bila memperoleh walai sekecil apapun.

AYAT 4-7

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalat

mereka, orang-orang yang berbuat riya, dan menghalangi (menolong dengan) barang

berguna.”

Setelah menguraikan sifat buruk pengingkar agama dan hari Kemudian terhadap kaum

lemah, ayat-ayat di atas menguraikan sikap buruknya terhadap Allah swt.

Dapat juga dikatakan bahwa melalui ayat-ayat yang lalu telah dijelaskan bahwa mereka

yang menghardik anak yatim dan tidak memperlakukannya dengan baik, demikian pula yang

tidak saling anjur-menganjurkan memberi pangan kepada orang yang butuh, merupakan orang-

orang yang mendustakan agama dan mengingkari hari Pembalasan. Maka ayat-ayat di atas

menekankan kecelakaan mereka dan kecelakaan siapa yang lalai akan makna shalatnya itu,

karena kelalaian ini menunjukkan bahwa keadaan mereka tidak berbeda dengan yang

mengingkari agama dan hari Pembalasan, buktinya adalah sifat riya’ dan keengganan mereka

membantu orang-orang yang butuh.

7

Page 8: Tafsir Surah Al-Ma'Un

Dengan demikian kedua bagian surah ini saling lengkap-melengkapi, bagian pertama

(ayat 1-3) menjelaskan siapa yang mendustakan agama tanpa menjelaskan kecelakaan yang

akan menimpa mereka, sedang bagian kedua (4-7) mengandung ancaman kecelakaan yang

akan mereka hadapi, tanpa menjelaskan bahwa mereka pada hakikatnya juga mendustakan

agama dan hari Pembalasan. Dengan kata lain, apa yang diinformasikan pada bagian pertama

tidak lagi dijelaskan pada bagian kedua, demikian pula sebaliknya, sehingga wajar apabila

bagian kedua ini dimulai dengan kata penghubung.

Apapun hubungannya, yang jelas ayat-ayat di atas menyatakan bahwa: Maka

kecelakaan besar-lah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari esensi

shalat mereka, yaitu orang-orang yang senantiasa berbuat riya, pamrih serta bermuka dua dan

menghalangi dirinya dan orang lain untuk menolong dengan barang berguna.

Pada awal uraian tentang surah ini telah dikemukakan bahwa sebagian ulama

berpendapat bahwa awal surah al-Ma’un turun di Mekah, sedangkan ayat 4 dan seterusnya

turun di Madinah. Tidak ada alasan yang kuat untuk memisahkan waktu turun kedua surah ini,

bahkan redaksi dan kandungannya sangat berkaitan erat sehingga justru menguatkan

pandangan yang menyatakan bahwa keseluruhan surah ini turun sekaligus. Ini antara lain

terlihat dari huruf fa’/ maka pada awal ayat 4 di atas yang berfungsi menghubungkan kalimat

sebelumnya dengan kalimat sesudahnya bagaikan hubungan sebab akibat.

Kata wail digunakan dalam arti kebinasaan dan kecelakaan yang menimpa akibat

pelanggaran dan kedurhakaan. Ia biasanya digunakan sebagai ancaman. Ada juga yang

memahaminya dalam arti nama dari salah satu tingkat siksaan neraka, dengan demikian ayat ini

merupakan ancaman terjerumus ke neraka “wail”. Ada juga yang memahaminya dalam arti

ancaman kecelakaan tanpa menetapkan waktu serta tempatnya. Ini berarti bahwa kecelakaan

itu dapat saja menimpa pendurhaka dalam kehidupan duniawai atau ukhrawi. Pendapat ini

menggunakan kata wail untuk menunjuk adanya pembatasan waktu atau tempat. Benar,

bahwa ada ayat yang secara tegas mengatakan bahwa salah satu penyebab keterjerumusan ke

dalam neraka Saqar adalah mengabaikan shalat (QS. al-Muddatstsir [74]: 42-43), namun ini

8

Page 9: Tafsir Surah Al-Ma'Un

bukan berarti bahwa wail adalah nama salah satu tingkat neraka, atau bahwa kecelakaan dan

kebinasaan itu hanya dialami di akhirat kelak.

Kata al-mushallin walaupun dapat diterjemahkan dengan orang-orang yang shalat,

tetapi dalam penggunaan al-Qur’an ditemukan makna khusus baginya. Biasanya al-Qur’an

menggunakan kata aqimu dan yang seakar dengannya bila yang dimaksudnya adalah shalat

yang sempurna rukun dan syarat-syaratnya, karena kata aqimu atau yang seakar dengannya itu,

mengandung makna pelaksanaan sesuatu dalam bentuk yang sempurna. Sepanjang

pengamatan penulis, tidak ada perintah atau pujian menyangkut shalat (sembahyang) dan

orang-orang yang melaksanakannya – baik yang wajib maupun sunnah, tanpa didahului oleh

kata yang berakar pada kata aqimu kecuali dalam satu atau paling banyak dua ayat.

Pertama dalam QS. an-Nisa’ [4]: 102 yang menjelaskan tentang shalat al-Khauf (shalat

dalam situasi terancam atau peperangan). Ini wajar karena memang situasi demikian tidak

memungkinkan tercapainya kesempurnaan shalat tersebut. Kedua pada akhir surah al-Kautsar

[108]: 3, tetapi perintah shalat ini tidak mutlak dipahami dalam arti ibadah yang dimulai dengan

takbir dan diakhiri dengan salam (shalat), bisa juga dalam arti doa. Kalaupun dia diartikan

shalat, maka kata li Rabbika yang mendahului perintah tersebut, dapat dinilai sebagai pengganti

kata aqimu.

Jika demikian, kata al-mushallin pada ayat di atas tidak didahului oleh kata yang seakar

dengan aqimu (bandingkan dengan QS. an-Nisa’ [4]: 162 dan al-Hajj [22[: 35), mengisyaratkan

bahwa shalat mereka tidak sempurna, tidak khusyu’, tidak pula memperhatikan syarat dan

rukun-rukunnya, atau tidak menghayati arti dan tujuan hakiki dari ibadah tersebut.

Kata sahun terambil dari kata saha/ lupa, lalai yakni seseorang yang hatinya menuju

kepada sesuatu yang lain, sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan pokoknya.

Kata ‘an berarti tentang/ menyangkut. Kalau ayat ini menggunakan redaksi fi shalatihim,

maka ia merupakan kecaman terhadap orang-orang yang lalai serta lupa dalam shalatnya, dan

ketika itu ia berarti celakalah orang-orang yang pada saat shalat, hatinya lalai, sehingga menuju

kepada sesuatu selain shalatnya. Dengan kata lain, celakalah orang-orang yang tidak khusyu’

9

Page 10: Tafsir Surah Al-Ma'Un

dalam shalatnya, atau celakalah orang-orang yang lupa jumlah rakaat shalatnya. Untung ayat ini

tidak berbunyi demikian, karena alangkah banyaknya di antara kita yang demikian itu halnya.

Syukur bahwa ayat tersebut berbunyi ‘an shalatihim sehingga kecelakaan tertuju kepada

mereka yang lalai tentang esensi makna da tujuan shalat.

Kata yura’un terambil dari kata ra’a yang berarti melihat. Dari akar kata yang sama lahir

kata riya’ yakni siapa yang melakukan pekerjaannya sambil melihat manusia, sehingga jika tidak

ada yang melihatnya mereka tidak melakukannya. Kata itu juga berarti bahwa mereka ketika

melakukan sesuatu pekerjaan selalu berusaha atau berkeinginan agar dilihat dan diperhatikan

orang lain untuk mendapat pujian mereka. Dari sini kata riya’ atau yura’un diartikan sebagai

“melakukan suatu pekerjaan bukan karena Allah semata, tetapi untuk mencari pujian atas

popularitas.”

Riya adalah sesuatu yang abstrak, sulit bahkan mustahil dideteksi orang lain, bahkan

yang bersangkutan sendiri terkadang tidak menadarinya, apalagi jika ia sedang tenggelam

dalam satu kesibukan. Riya diibaratkan sebagai semut kecil lagi hitam berjalan dengan perlahan

di tengah kelamnya malam di tubuh seseorang. Rujuklah ke QS. al-Baqarah [2]: 264 untuk

mengetahui secara kongkret hasil suatu pekerjaan yang dilandasi oleh riya.

Kata al-ma’un menurut sementara ulama terambil dari akar kata ma’unah, yang berarti

bantuan. Huruf ta’ marbuthah pada kata itu – menurut mereka – diganti dengan alif dan

diletakkan sesudah mim sehingga terbaca ma’un. Ada juga yang berpendapat bahwa al-ma’un

adalah bentuk maf’ul dari kata a’ana – yu’inu yang berarti membantu dengan bantuan yang

jelas baik dengan alat-alat maupun fasilitas yang memudahkan tercapainya sesuatu yang

diharapkan. Tetapi kedua pendapat di atas tidak popular. Tidak sedikit ulama yang berpendapat

bahwa kata ini terambil dari kata al-ma’n yang berarti sedikit.

Tidak kurang dari sepuluh pendapat tentang maksud kata al-ma’un/ bantuan (yang

sedikit itu), antara lain:

1) Zakat,

2) Harta benda,

10

Page 11: Tafsir Surah Al-Ma'Un

3) Alat-alat rumah tangga,

4) Air,

5) Keperluan sehari-hari seperti periuk, piring, pacul, dsb.

Sebenarnya tidak ada suatu alasan untuk menolak pendapat-pendapat terperinci di

atas, sebagaimana tidak pula beralasan untuk memilih salah satunya, karena ayat itu sendiri

tidak menetapkan suatu bentuk atau jenis bantuan. Penulis cenderung memahami kata al-

ma’un dalam arti sesuatu yang kecil dan dibutuhkan, sehingga dengan demikian ayat ini

menggambarkan betapa kikir pelaku yang ditunjuk, yakni jangankan bantuan yang sifatnya

besar hal-hal yang kecil pun enggan.

Mengapa riya dan menghalangi pemberian bantuan merupakan tanda tidak menghayati

makna dan tujuan shalat?

Shalat berintikan doa bahkan itulah arti harfiahnya. Doa adalah keinginan yang

dimohonkan kepada Allah swt., atau dalam artinya yang lebih luas, shalat adalah “permohonan

yang diajukan oleh pihak yang rendah dan butuh kepada pihak yang lebih tinggi dan mampu”.

Jika anda berdoa atau bermohon, maka anda harus merasakan kelemahan dan kebutuhan anda

di hadapan Dia yang kepada-Nya anda bermohon. Hal ini harus anda buktikan dalam ucapan

dan sikap kita di dalam shalat, keseluruhannya harus menggambarkan kerendahan diri dan

kebutuhan kita serta kebesaran dan keagungan allah semata.

Menurut sementara ulama, dalam shalat yang dilaksanakan seorang muslim, telah

terhimpun segala bentuk dan cara penghormatan serta pengagungan yang dikenal oleh umat

manusia sepenjang sejarah perjalanannya. Ada orang yang menunjukkan penghormatan serta

pengagungannya kepada sesuatu dengan pengakuan dan ucapan memuji atau memuja, ada

juga dengan berdiri tegak lurus, atau dengan ruku’, atau sujud, dan sebagainya. Itulah cara-cara

yang ditempuh manusia guna memberi penghormatan dan pengagungan kepada sesuatu, dan

itu pula sebagian dari apa yang dilakukan seorang muslim di dalam shalatnya. Walhasil dapat

disimpulkan bahwa shalat menggambarkan kelemahan manusia dan kebutuhannya kepada

Allah, sekaligus menggambarkan keagungan dan kebesaran-Nya. Kalau demikian, wajarkah

manusia bermuka dua (riya)’ ketika melakukannya, wajarkah bahkan mampukah manusia

11

Page 12: Tafsir Surah Al-Ma'Un

menipu-Nya? Mereka yang berbuat demikian, tidak menghayati esensi shalatnya serta lalai dari

tujuannya2.

Yang melaksanakan shalat adalah mereka yang butuh kapada Allah serta mendambakan

bantuan-Nya. Kalau demikian wajarkah yang butuh ini menolak membantu sesamanya yang

butuh, apalagi jika ia memiliki kemampuan? Tidakkah ia mengukur dirinya dan kebutuhannya

kepada tuhan? Tidakkah ia mengetahui bahwa Allah akan membantunya selama ia membantu

pula saudaranya? Bukankan Nabi saw. telah bersabda: “Allah akan memberi pertolongan

kepada seseorang, selama ia memberi pertolongan kepada saudaranya.” Jika ia enggan

memberi pertolongan, maka pada hakikatnya ia tidak memnghayati arti dan tujuan shalat,

seperti yang diuraikan di atas.

Pada awal uraian dijanjikan untuk menguraikan hubungan ayat keempat ini dengan

ayat-ayat sebelumnya.

Surah al-Ma’un yang terdiri dari 7 ayat pendek ini, berbicara entang suatu hakikat yang

sangat penting, di mana terlihat secara tegas dan jelas bahwa ajaran Islam tidak memisahkan

upacara ritual dan ibadah sosial, atau membiarkannya berjalan sendiri-sendiri. Ajaran ini -

sebagaimana tergambar dalam ayat-ayat di atas – menekankan bahwa ibadah dalam

pengertiannya yang sempit pun mengandung dalam jiwa dan esensinya dimensi sosial, sehingga

jika jiwa ajaran tersebut tidak dipenuhi maka pelaksanaan ibadah dimaksud tidak akan banyak

artinya.

Dari surat ini ditemukan dua syarat pokok atau tanda utama dari pemenuhan hakikat

shalat.

Pertama, keikhlasan melakukannya demi Allah. Kedua, merasakan kebutuhan orang-

orang lemah dan kesediaan mengulurkan bantuan walau yang kecil sekalipun.

Demikian terlihat, agama yang diturunkan Allah ini menuntut kebersihan jiwa, jalinan

kasih sayiag, kebersamaan dan gotong royong antara sesama makhluk Allah, karena tanpa

2 Ibid.

12

Page 13: Tafsir Surah Al-Ma'Un

semua itu mereka yang shalat pun dinilai Allah sebagai mendustakan agama atau hari

Kemudian.

Sayyid Quthub dalam tafsirnya menulis: “Mungkin jawaban al-Qur’an tentang siapa yang

mendustakan agama atau hari Kemudian yang dikemukakan dalam surah ini, mengagetkan jika

dibandingkan dengan pengertian iman secara tradisional, tetapi yang demikian itulah inti

persoalan dan hakikatnya. Hakikat pembenaran ad-Din bukannya ucapan dengan lidah, tetapi ia

adalah perubahan dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebijakan terhadap

saudara-saudara sekemanusiaan, terhadap mereka yang membutuhkan pelayanan dan

perlindungan. Allah tidak menghendaki dari manusia kalimat-kalimat yang dituturkan, tetapi

yang dikehendaki-Nya adalah karya-karya nyata yang membenarkan kalimat yang diucapkan

itu, sebab kalau tidak, maka itu semua hampa tidak berarti dan tidak dipandangnya.”

Selanjutnya Sayyid Quthub menulis, “Kita tidak ingin memasuki diskusi dalam bidang

hukum sekitar batas-batas iman dan Islam, karena batasan-batasan para ahli itu berkaitan

dengan interaksi sosial keagamaan. Sedangkan surah ini menegaskan hakikat persoalan dari

sudut pandang dan penilaian Ilahi, yang tentunya berbeda dengan kenyataan-kenyataan

lahiriah yang menjadi landasan penilaian interaksi antar manusia3.”

Dari surah ini juga ditarik kesimpulan, bahwa kewajiban dan tuntutan agama yang

ditetapkan Allah, sedikit pun tidak bertujuan kecuali untuk kemaslahatan seluruh makhluk,

khususnya umat manusia. Allah menghendaki di balik kewajiban dan tuntutan itu,

keharmonisan hubungan antar seluruh makhluk-Nya demi kebahagiaan mereka di dunia dan di

akhirat.

Awal surah ini menjelaskan kecelakaan orang-orang yang mendustakan agama dan

mengingkari hari Kemudian, sedangkan akhirnya menguraikan tandanya yaitu pamrih dalam

shalat dan enggan member bantuan. Demikian bertemu awal dan akhir surah ini, Maha Besar

Allah dalam segala firman-Nya.

3 Ibid.

13

Page 14: Tafsir Surah Al-Ma'Un

Bab III

14

Page 15: Tafsir Surah Al-Ma'Un

Penutup

A. Kesimpulan

Kita tidak pernah tahu sampai kapan umur kita akan berakhir, Jangan samapai umur

yang sedikit ini kita habiskan untuk kesenangan duniawi semata, tanpa sedikit pun

memikirkan hari akhir. Berlomba-lobalah di dalam melakukan kebaikan dan awalilah

setiap amal perbuatan dengan niat karena Allah hingga pekerjaan itu selesai, serta

jangan lalaikan apa pun yang sudah menjadi kewajiban kita semua.

B. Saran

Berdoalah semoga Allah melindungi kita selalau dan tidak menggolongkan diri kita

kedalam orang-orang yang mendustakan Agama Allah (Naudzubillahiminzalik).

Daftar Pustaka

15

Page 16: Tafsir Surah Al-Ma'Un

Shihab, M. Quraish, 2002. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an,

Lentera Hati, Jakarta.

16