sindrom hepatorenal
DESCRIPTION
fhddhfdhdhgfxdghghdghdhghdgttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Pasien sirosis hepatis dan asites sering berkembang menjadi gagal ginjal
bentuk khusus, yang lebih dikenal dengan nama sindrom hepatorenal, yang
disebabkan oleh terjadinya vasokonstriksi pada sirkulasi ginjal. Vasokonstriksi
pembuluh darah ginjal ini memicu retensi air dan natrium di ginjal, dan penurunan
laju filtrasi glomerulus (LFG).
Sindrom hepatorenal adalah sindrom klinis yang terjadi pada pasien
penyakit hati kronik dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai
oleh penurunan fungsi ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan
aktifitas sistem vasoactive endogen. Sindrom hepatorenal itu sendiri merupakan
permulaan dari gagal ginjal, dimana peningkatan kadar kreatinin dan urea darah
sangat menentukan fungsi ginjal. Rusaknya ginjal sebagai organ yang
mengekskresi kreatinin mengakibatkan kadar urea dan kreatinin darah meningkat.
Sindrom hepatorenal ditandai dengan peningkatan kreatinin dan urea di dalam
darah (azotemia) tanpa disertai kelainan ginjal itu sendiri yang terlihat secara
klinis maupun anatomis, atau penyebab dari gagal ginjal telah disingkirkan
terlebih dahulu.
Seringkali sindrom hepatorenal adalah komplikasi yang fatal, dan hingga
saat ini pengobatan yang terbaik yang tersedia hanyalah transplantasi hati atau
ginjal. Sejumlah terapi telah banyak dilakukan dalam sejumlah penelitian namun
penelitian tersebut tidak memegang bukti yang cukup kuat. Penatalaksanaan yang
diajukan oleh berbagai penelitian tersebut hanyalah menjurus kepada transplantasi
hati semata, juga dengan beberapa tindakan pengobatan simtomatis, namun
hasilnya masih sering mengalami kejadian kekambuhan yang cukup tinggi.
Pengobatan yang terbaik adalah dengan membalikkan keadaan hipertensi portal,
vasodilatasi pembuluh darah splangnik, dan atau vasokonstriksi pembuluh darah
ginjal.
1
1.2. Tujuan penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan
penatalaksanaan sindrom hepatorenal secara komprehensif mulai dari terapi
suportif, farmakologis, hingga terapi operatif serta sebagai persyaratan menempuh
ujian kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit dalam di Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat Gatot Subroto Jakarta.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Sindrom hepatorenal adalah suatu kondisi medis yang berbahaya dan
mengancam nyawa yang ditandai dengan perubahan fungsi ginjal yang terjadi
pada pasien sirosis hepatis maupun pasien gagal hati berat. Sindrom hepatorenal
biasanya fatal meskipun telah dilakukan transplantasi hati.1
Perubahan fungsi hati diyakini menyebabkan perubahan suplai darah ke
saluran pencernaan, mengubah aliran darah, dan tonus pembuluh darah di ginjal.
Gagal ginjal merupakan konsekwensi dari perubahan aliran darah tersebut. Ginjal
tampak normal jika dilihat dengan mata telanjang maupun dengan bantuan
mikroskop dan ginjal dapat berfungsi normal jika ditransplantasikan pada orang
sehat. Diagnosis sindrom hepatorenal didasarkan pada hasil pemeriksaan
laboratorium untuk orang yang rentan terhadap kondisi tersebut. Sindrom
hepatorenal digolongkan menjadi sindrom hepatorenal tipe 1 dan sindrom
hepatorenal tipe 2 yang berkaitan dengan adanya asites di rongga abdomen.1,2,3
2.2. Klasifikasi
Chan MH dkk. mengatakan sindrom hepatorenal merupakan gagal ginjal
bentuk khusus yang sering terjadi pada penderita sirosis hepatis dan lebih jarang
pada penderita gagal hati fulminan maupun hepatitis fulminan. 4 Sindrom tersebut
ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah ginjal dan vasodilatasi dari
pembuluh darah splangnikus di abdomen yang memperdarahi saluran cerna.5
Sindrom hepatorenal diklasifikasikan menjadi dua tipe, tipe 1 dan tipe 2, yang
keduanya merupakan bentuk khusus dari gagal ginjal. Kedua tipe tersebut ditandai
dengan meningkatnya kadar kreatinin darah atau penurunan jumlah klirens
kreatinin (creatinin clearance) di urin.6
Tipe 1 sindrom hepatorenal ditandai dengan gangguan fungsi ginjal yang
berlangsung cepat dan mendadak diikuti dengan peningkatan dua kali lipat serum
kreatinin yang normalnya sekitar 1,5 mg/dL; atau penurunan klirens kreatinin
menjadi kurang dari 20 mL/menit selama jangka waktu tertentu dalam kurun
waktu kurang dari dua minggu. Prognosis dari tipe 1 sindrom hepatorenal ini
3
sangat buruk dengan angka kematian sebesar 50% pada kurun waktu satu bulan
setelah awitan.78,9,10 Pasien tipe 1 sindrom hepatorenal biasanya lemah, bertekanan
darah rendah, dan membutuhkan terapi obat-obatan inotropik dan vasopresor.11
Tipe 2 sindrom hepatorenal berlangsung lebih lambat dan tidak mendadak,
ditandai dengan peningkatan serum kreatinin >1,5 mg/dL atau penurunan jumlah
sodium urin (Na) <10mmol/L dan penurunan klirens kreatinin menjadi <40
ml/menit.12 Tipe 2 sindrom hepatorenal biasanya berkembang dari asites akibat
dari akumulasi cairan di rongga abdomen yang diakibatkan oleh meningkatnya
tekanan hidrostatik arteriola splangnikus di saluran cerna.
2.3. Gejala dan Tanda
Kedua tipe SHR mempunyai tiga komponen mayor: perubahan fungsi hati,
kelainan sirkulasi, dan gagal ginjal; dan pasien sindrom hepatorenal ditandai
dengan salah satu atau lebih dari ketiga komponen tersebut yang dilihat
berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium. Biasanya, pasien sindrom
hepatorenal yang berkembang dari sirosis hepatis mempunyai penampakan kuning
(jaundice), perubahan status mental dan gizi, dan adanya asites; sedangkan
oliguria, merupakan penanda sindrom hepatorenal dilihat dari gagal ginjal.5
Karena gejala dan tanda-tanda tersebut tidak selalu ada pada sindrom
hepatorenal, maka tidak dibuat criteria mayor maupun minor untuk penyakit ini.
Untuk mendiagnosa penyakit ini cukup dilihat dari hasil laboratorium saja.9
2.4. Etiologi
SHR berkembang biasanya dari penyakit sirosis hepatis maupun orang yang
mempunyai gangguan pembuluh dari portal seperti hipertensi portal. Selain itu
SHR juga dapat berkembang dari penyakit hepatitis fulminan, sirosis hati
fulminan, hepatitis alkoholik, sirosis alkoholik, maupun gagal hati fulminan.
Kadang sindrom hepatorenal dapat berkembang oleh karena pemberian medikasi
(iatrogenik) untuk mengatasi asites, seperti pemberian diuretik besar-besaran, dan
pengeluaran cairan asites dengan parasentesis tanpa mempertimbangkan terapi
kehilangan cairan dengan penggantian cairan intravena.8
2.5. Diagnosis
Terdapat kriteria mayor dan minor sebagai penentu diagnosis tipe SHR,
kriteria mayor berisi penyakit hati kronik dengan hipertensi portal dan gagal hati,
4
seperti sirosis hati; penurunan GFR, yang diindikasikan dengan peningkatan
serum kreatinin >1,5 mg/dl atau klirens kreatinin <40 ml/menit per 24 jam, tidak
adanya syok, infeksi, riwayat penggunaan obat-obatan nefrotoksik sebelumnya,
maupun kehilangan cairan melalui traktus gastrointestinal (muntah atau diare);
tidak adanya proteinuria (<500mg/hari), penyakit ginjal, maupun gangguan aliran
darah ginjal yang terdeteksi dengan pemeriksaan USG. Sementara itu kriteria
minor berisi oliguria (<500 mL/hari), rendahnya kadar natrium dalam urin (<10
mEq/l), osmolalitas urin lebih rendah daripada di darah, tidak adanya sel darah
merah di urin (50/HPF), dan konsentrasi sodium serum <130 mEq/l.9,13
2.6. Patofisiologi
Gagal ginjal pada sindrom hepatorenal berkembang dari perubahan tonus
pembuluh darah di ginjal. Teori yang paling dominan saat ini adalah
vasokonstriksi pembuluh darah ginjal yang didahului oleh vasodilatasi pada
pembuluh darah arteriola splangnikus di abdomen yang diakibatkan oleh
pengeluaran sejumlah besar mediator-mediator vasoaktif seperti NO,
prostaglandin, dan beberapa mediator vasoaktif lainnya yang dihipotesiskan dapat
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah splangnikus tersebut. Sehingga pada
akhirnya terjadilah yang dinamakan dengan asites. Konsekwensi dari fenomena
ini adalah berkurangnya aliran darah ginjal dan ginjal mendeteksi perubahan ini
oleh sel-sel aparatus jukstaglomerular dengan mengeluarkan renin. Selanjutnya
sistem renin-angiotensin–aldosteron dan saraf simpatis menjadi aktif dan
menyebabkan retensi cairan dalam tubuh yang berlebihan dan semakin sedikitnya
aliran darah yang melewati ginjal.14
Beberapa vasoaktif kimia lainnya sudah teridentifikasi sebagai penyebab
vasodilatasi arteiola splangnikus, diantaranya adalah ANP (atrial natriuretic
peptide), prostasiklin, tromboksan A2, dan endotoksin.15
Menurut Moore (1999), pada tahap awal sirosis, aliran darah ginjal masih
dipertahankan normal dikarenakan efek dari vasodilator-vasodilator lokal yang
menghambat terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah ginjal. Ketika terjadi
stimulasi pada vasokonstriktor endogen, vasodilator endogen juga teraktivasi
(NO, prostaglandin, ANP), untuk mengatur aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus. Walaupun NO dan ANP meningkat pada sirosis hepatis dengan asites
5
tanpa sindrom hepatorenal, namun seiring progresivitas penyakit, vasokonstriktor
endogen melampaui jumlah dan kemampuan vasodilator-vasodilator endogen
dalam mengatur aliran darah ginjal sehingga menyebabkan perubahan aliran darah
ginjal dan penurunan LFG yang dalam hal ini mengakibatkan peningkatan kadar
urea dan kreatinin darah.16,17
Gambar 1. Gambaran skematik yang menunjukkan patofisiologi asites dan sindrom hepatorenal. (Blendis L, Wong F, 2003)
Gambar 2. Diagram yang menunjukkan hubungan antara keadaan klinis dengan patofisiologi asites dan sindrom hepatorenal. (Blendis L, Wong F, 2003)
2.7. Pencegahan
Beberapa tindakan untuk mengobati sirosis, seperti tindakan parasentesis,
dan pemberian diuretic secara berlebihan merupakan pencetus utama untuk
terjadinya sindrom hepatorenal, oleh karenanya harus dihindari. Kemudian
6
pemberian albumin dirasa cukup ampuh untuk mengurangi progresivitas penyakit
dan memperbaiki aliran darah ginjal.18
2.8. Penatalaksanaan
Terdapat tiga pengobatan utama untuk Sindrom hepatorenal, pemberian
obat-obatan, pengobatan prosedural, dan transplantasi hati. Hingga sekarang
transplantasi hati masih merupakan terapi yang utama pada penyakit sindrom
hepatorenal karena transplantasi hati merupakan terapi yang menyingkirkan
penyebab utama adanya proses-proses patofisiologis yang menandai sindrom
tersebut yaitu dengan mengganti organ hati yang disfungsional.19 Transplantasi
hati ditentukan dengan skor MELD (model for end-stage liver disease) ataupun
kriteria Child-Pugh. Xu X, Ling Q, Zhang M, et al. menyatakan transplantasi
yang baik dan benar dapat menurunkan angka kematian sebesar 25%. Sebagai
antisipasi tambahan sebelum melaksanakan transplantasi, pasien sebaiknya
diberikan terapi albumin 6-8 gram, vasopressin, pintasan radiologis (radiological
shunt, untuk mengurangi tekanan pembuluh darah portal), dan dialysis.
Sebagai penatalaksanaan umum terdapat beberapa Tindakan yang harus
dihindari, di antaranya adalah tirah baring, menghindari pemakaian diuretik yang
agresif, parasentesis asites, dan retriksi cairan yang berlebihan. Terapi suportif
yang harus dilakukan di ataranya adalah berupa diet tinggi kalori dan rendah
protein. Kalori yang diberikan adalah sekitar 2000-3000 kkal/hari. Bila pasien
tidak disertai dengan koma hepatik diberikan protein 1 gr/kgBB/hari. Diet rendah
garam juga harus dilakukan. Konsumsi garam (NaCl) harian adalah
40-60mEq/hari.Selain itu pasien harus dikoreksi keseimbangan asma basanya,
menghindari pemberian OAINS, mengobati dan mencegah peritonitis bakterial
spontan dan ensefalopati hepatik. Pemberian diuretik yang diperkenankan adalah
antialdosteron (spironolakton 1-600mg/hari). Namun efek spronolakton dinilai
kurang poten dalam menyebabkan diuresis sehingga dipakai terapi diuretika
kombinasi yaitu spironolakton dan furosemid. Tujuan pengobatan diuretik
kombinasi ini adalah menurunkan berat badan pada pasien sirosis hepatis dengan
asites sehingga berat badan turun 400-1500gr/hari.3
Untuk terapi dengan obat-obatan, pasien bisa diberikan analog vasopressin,
agonis alfa (midodrine), analog somatostatin – hormon yang dapat mengubah
7
tekanan pembuluh darah di saluran pencernaan – (octreotide). Kesemua obat-
obatan tersebut bekerja selektif sebagai vasodilator pembuluh darah sistemik,
tetapi sebagai vasokonstriktor pembuluh darah portal maupun splangnik. Studi
kasus menunjukkan 3 dari 13 pasien sindrom hepatorenal yang diberi midodrine
peroral dan ocreotide subkutan dapat pulang dengan kondisi yang lebih baik.20
Terapi farmakologis
1. Albumin
Albumin adalah suatu penambah volume intravaskular yang efektif yang
rutin digunakan untuk mendiagnosis dan mengobati pasien sindrom
hepatorenal tipe 1. Albumin digunakan bersamaan dengan infus NaCl
0,9% dengan dosis 1gr/kgbb/hari dengan dosis maksimum mencapai
100gr /hari.
2. Vasopresin
Vasopresin adalah suatu vasokonstriktor yang sangat kuat yang bekerja
pada reseptor V1, V2, dan V3. Reseptor V1 dan V2 banyak terdapat
pada pembuluh darah splangnik yang mana merupakan reseptor untuk
osmoregulasi atau pengaturan keseimbangan cairan tubuh. Sementara
V3 adalah reseptor untuk pengeluaran kortikosteroid.21 Akibat dari
vasokonstriksi yang ditimbulkan oleh vsopresin di pembuluh darah
splangnik, terjadi penurunan tekanan hidrostatik di dalam arteri tersebut
dan mengembalikan volume intavaskular menjadi normal dan jugayang
paling penting adalah efeknya terhadap mekanisme kompensasi yang
dilakukan oleh sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS). Vasopresin
menghambat sistem tersebut dan dengan demikian memperbaiki aliran
darah ke ginjal yang berkurang.
Vasopresin sudah jarang ditemukan dan keberadaannya kini telah
digantikan oleh analog terbarunya yaitu telipresin atau ornipresin.
Vasopresin hanya dijumpai di tempat-tempat dimana telipresin tidak
tersedia. Terdapat banyak penelitian mengenai terlipresin dan efeknya
terhadap sindrom hepatorenal. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
terlipresin menaikkan aliran darah ginjal, meningkatkan produksi urin,
mengurangi serum kreatinin menjadi < 1,5 mg/dl dan meningkatkan
8
klirens kreatinin.22 Dosis terlipresin adalah 0,5-2 mg intravena setiap 6
atau 12 jam sedangkan ornipresin adalah 2-6U/jam.
3. Agonis alfa Adrenergik (norepinefrin)
Norepinefrin secara efektif meningkatkan jumlah urin, ekskresi natrium,
konsentrasi natrium serum, klirens kreatinin, MAP, aktivitas renin
plasma, dan aktivitas aldosteron. Dosis norepiefrin adalah 8-50ug/menit
4. Agonis Dopamin
Dopamin telah dikenal mempunyai efek yang baik terhadap pembuluh
darah ginjal. Dopamin mengurangi resistensi pembuluh darah ginjal dan
meningkatkan aliran darah ginjal.23 Sehingga dapat dihipotesiskan
bahwa dopamin dapat memperbaiki gejala-gejala sindrom hepatorenal.
Namun penelitian-penelitian yang ada menyebutkan bahwa penmberian
dopamin sebagai monoterapi kurang memberikan efek yang nyata
sehingga pemberiannya harus digabungkan dengan analog dopamin
seperti fenoldopam. Fenoldopam adalah suatu analog dopamin terbaru
yang sering digunakan untuk mengobati sindrom hepatorenal. Sebuah
penelitian membandingkan pemberian fenoldopam 0.1 μg/kg/menit
dengan dopamin 2 μg/kg/menit pada 100 pasien yang menderita sindrom
hepatorenal dengan kegagalan fungsi ginjal tahap awal, menunjukkan
penurunan yang sangat nyata dari kadar kreatinin serum pada pasien
yang mendapatkan terapi fenoldopam.24
5. Antagonis adenosin (teofilin & FK352)
Reseptor renal adenosin 1 dapat menginduksi retensi natrium dan
air dan vasokonstriksi pembuluh darah ginjal. Antagonis adenosin,
seperti teofilin dan FK352, dapat meningkatkan ekskresi natrium dan
meningkatkan aliran urine pada pasien sirosis hepatis; namun, obat-
obatan tersebut belum dilaporkan mempunyai efek yang menguntungkan
pada pasien dengan sindrom hepatorenal.25,26 Penelitian lebih lanjut pada
pasien sindrom hepatorenal dibutuhkan sebelum pemakaian obat-obatan
ini dapat direkomendasikan.
9
Untuk terapi prosedural, terdapat beberapa pilihan, diantaranya
Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS), hemodialisis, dan
transplantasi hati.
Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS)
TIPS adalah suatu prosedur tindakan dengan memasangkan sten kecil di
antara vena porta dan vena hepatica. Dengan cara tersebut dapat mengurangi
tekanan pembuluh darah porta, mengembalikan aliran darah vena cava,
mengembalikan fungsi ginjal dan dengan demikian meningkatkan angka harapan
hidup pasien sirosis dan asites. Penelitian menyebutkan pemasangan TIPS dalam
4 hari sejak onset awal sindrom hepatorenal dapat meningkatkan kembalinya
fungsi ginjal dan angka ketahanan hidup.27,28 Namun prosedur ini tidak lepas dari
adanya komplikasi yang merugikan. Komplikasi dari TIPS adalah ensefalopati
hepatik – akibat dari tidak terdegradasinya toksin-toksin yang ada dalam darah
yang seharusnya melewati hati sehingga zat-zat toksin tersebut kembali ke jantung
dan diedarkan kembali keseluruh tubuh – dan perdar ahan.
Gambar 3: gambaran skematis TIPS dan gambaran radiologis TIPS (Sapna Puppala, emedicine, 2012)
Hemodialisis
Pelaksanaan hemodialisis secara berkesinambungan memberikan
kesempatan untuk mengembalikan fungsi ginjal yang hilang pada pasien sindrom
hepatorenal. Namun, penelitian yang ada baru sedikit sekali. Penelitian
observasional terakhir meneliti faktor-faktor penentu dan angka harapan hidup
10
satu bulan pada 30 pasien dengan sirosis hepatis Child-Pugh kelas 3 dan sindrom
hepatorenal. Lima belas pasien memerlukan ventilasi mekanik dan mendapat
hemodialisis vena ( CVVD-continuous venovenous hemodialysis), dan 15 pasien
mendapat hemodialisis di hari yang lain (4–5-jam). Delapan (27%) dari 30 pasien
selamat selama 30 hari (rata-rata 21 hari). Hanya tiga pasien yang menjalani
transplantasi hati dapat bertahan lebih dari satu tahun.30
Indikasi hemodialisis pada pasien sinrom hepatorenal adalah: adanya
keadaan umum yang buruk dengan gejala klinis yang nyata, K serum > 6mEq/L,
ureum darah > 200 mg/dL, pH darah <7,1, anuria berkepanjangan (>5 hari), dan
kelebihan cairan (fluid overload).31
Jika pelaksanaan hemodialisis terbukti ampuh memperpanjang angka
harapan hidup pasien sindrom hepatorenal, akan terdapat masalah baru dalam
dunia kesehatan, di antaranya adalah meningkatnya lama rawat inap dan
meningkatnya penyakit-penyakit hati lainnya pada pasien sindrom hepatorenal.32
Saat ini, penggunaan hemodialisis pasien sindrom hepatorenal dapat dilakukan
pada pasien yang mempunyai beberapa indikasi penting dilakukannya
hemodialisis (seperti uremia berat dan hiperkalemia). Pemilihan pasien
berdasarkan tingkat keparahan menurut skor Child-Pugh dan MELD dan
kecocokan dalam transplantasi hati harus dipertimbangkan semua sebelum
menjalankan terapi dialisis.
Transplantasi hati
Ada tiga kriteria umum resipien yang akan dilakukan transplantasi hati,
yaitu pasien tidak sembuh dengan tindakan pengobatan apapun termasuk operasi
dan medikamentosa, tidak ada kontra indikasi dilakukannya transplantasi hati, dan
adanya pengertian keluarga pasien mengenai penyakit serta konsekuensi dari
tindakan transplantasi yang akan dilakukan, meliputi risiko, keuntungan, dan
biaya yang diperlukan.33
Ada empat macam kategori penyakit hati yang diindikasikan untuk
dilakukan transplantasi hati, yaitu: 1). Penyakit hati kronik irreversibel oleh sebab
11
apapun; 2). Keganasan hati non metastatik; 3). Gagal hati fulminan; 4). Gangguan
metabolisme herediter.33
Seperti yang telah diberitahukan sebelumnya, transplantasi hati merupakan
terapi yang utama pada penyakit sindrom hepatorenal karena transplantasi hati
merupakan terapi yang menyingkirkan penyebab utama adanya proses-proses
patofisiologis yang menandai sindrom tersebut.19 Transplantasi hati dapat secara
drastis meningkatkan survival rate pada pasien-pasien sindrom hepatorenal. pada
penelitian yang mengevaluasi 79 orang pasien sindrom hepatorenal yang
mendapat transplantasi hati, 2- dan 5-tahun survival rate nya adalah 73.8% dan
67.1%. Mortality rate atau angka kematian pada pasien sindrom hepatorenal yang
mendapat transplantasi hati tidak berbeda secara signifikan dengan pasien tanpa
sindrom hepatorenal yang mendapat transplantasi hati (67.1% dan 70.1%,
respectively). Hanya 8.9% pasien dengan sindrom hepatorenal yang mendapat
transplantasi hati berkembang menjadi gagal ginjal stadium akhir dan
membutuhkan transplantasi ginjal. Oleh sebab itu pada pasien-pasien sindrom
hepatorenal sebaiknya dilakukan transplantasi hati dan ginjal. Kombinasi
transplantasi tersebut meningkatkan angka harapan hidup pasien-pasien sindrom
hepatorenal dibandingkan dengan pasienyang hanya menjalani transplantasi hati
saja. Sebagia penelitiannya, Persatuan Pendonor Organ nasional (UNOS – United
Nation of Organ Sharing) melaporkan angka harapan hidup sekitar 70.1% dan
62.2%, pasien yang menjalani transplantasi kombinasi sedangkan yang hanya
menjalani transplantasi hati saja adalah 58% and 50.4%, dengan angka kreatinin
serum di atas 2,0g/dl.
Tentu saja, tidak semua pasien dengan sindrom hepatorenal yang
diindikasikan menjalani transplantasi kombinasi karena transplantasi dapat
menyebabkan kerusakan kembali pada ginjal. Oleh karena itu perkiraan untuk
melakukan transplantasi kombinasi haruslah benar-benar matang. Pasien-pasien
sindrom hepatorenal yang mempunyai gagal ginjal tahap terminal atau akhir yang
memerlukan terapi pengganti ginjal atau hemodialisis serta pasien dengan gagal
ginjal akut yang memiliki prognosis jelek merupakan pasien yang sangat
diindikasikan melakukan transplantasi kombinasi tersebut.34
12
BAB III
KESIMPULAN
13
Sindrom hepatorenal adalah suatu kondisi medis yang berbahaya dan
mengancam nyawa yang ditandai dengan perubahan fungsi ginjal yang terjadi
pada pasien sirosis hepatis maupun pasien gagal hati berat. Penatalaksanaan yang
cepat, benar, dan terpadu adalah kunci keberhasilan pengobatan penyakit ini. Tiga
pengobatan utama adalah untuk mengurangi angka kematian dan memperpanjang
angka harapan hidup pasien, di antaranya adalah pemberian obat-obatan,
pengobatan prosedural, dan transplantasi hati. Seringkali, pasien sindrom
hepatorenal tidak dapat bertahan hidup lebih lama hanya dengan pengobatan-
pengobatan simtomatik, sehingga penatalaksanaan yang sampai sekarang masih
merupakan terapi yang sering dilakukan adalah transplantasi hati, ataupun dengan
kombinasi transplantasi hati dan ginjal, karena mekanisme patofisiologi dar
sindrom hepatorenal itu sendiri adalah berasal dari jaringan hati yang rusak yang
menyebabkan gangguan-gangguan secara berurutan sistem pembuluh darah porta
dan ginjal.
Di samping itu penatalaksanaan suportif berupa tirah baring, pemberian
diuresis, diet rendah garam, dan diet tinggi kalori rendah protein juga harus
diterapkan sebagai pelengkap pengobatan pasien sindrom hepatorenal dalam
rangka pengobatan yang komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
14
1. Lawrence SF.Liver, biliary tract, & pancreas. In: Lawrence MT,Stephen JM,Maxine AP, editors. Current Medical Diagnosis & Treatment. San Fransisco: McGraw-Hill, 2003;p628-73.
2. Blendis L, Wong F. "The natural history and management of hepatorenal disorders: from pre-ascites to hepatorenal syndrome". Clin Med 3 (2003) (2): 154–9. PMID 12737373.
3. Nurjanah S. Sirosis hati. Dalam: Sudoyo AW,Setyohadi B,Alwi I,Simadhirata M,Setiati S,editors. Ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007;p.443-46
4. Ng CK, Chan MH, Tai MH, Lam CW. "Hepatorenal syndrome". Clin Biochem Rev 28 (February 2007) (1): 11–7.
5. Gine’s P Arroyo V. Hepatorenal syndrome. J Am Soc Nephrol. 1999:10;1833-9.
6. Arroyo V, Gines P, Gerbes AL, et al. Definition and diagnostic criteria of refractory ascites and hepatorenal syndrome in cirrhosis. International Ascites Club. Hepatology. Jan 1996;23(1):164-76.
7. Arroyo V, Guevara M, Ginès P. "Hepatorenal syndrome in cirrhosis: pathogenesis and treatment" Gastroenterology 122 (2002) (6): 1658–76.
8. Gines A, Escorsell A, Gines P, et al. Incidence, predictive factors, and prognosis of the hepatorenal syndrome in cirrhosis with ascites. Gastroenterology 1993;105:229–36.
9. Arroyo V, Gines P, Gerbes AL, et al, for the International Ascites Club. Definition and diagnostic criteria of refractory ascites and hepatorenal syndrome in cirrhosis. Hepatology 1996;23:164–76.
10. Gines P, Guevara M, Arroyo V, Rodes J. Hepatorenal syndrome. Lancet 2003;362:1819–27.
11. Mukherjee, S. Hepatorenal syndrome. emedicine.com. Retrieved on 2009-08-02
12. Ginés P, Arroyo V, Quintero E, et al.. "Comparison of paracentesis and diuretics in the treatment of cirrhotics with tense ascites. Results of a randomized study". Gastroenterology 93 (1987) (2): 234–4.
13. Salerno F, Gerbes A, Gines P, Wong F, Arroyo V. Diagnosis, prevention and treatment of hepatorenal syndrome in cirrhosis. Gut 2007;56:1310–18.
14. Schrier RW, Arroyo V, Bernardi M, Epstein M, Henriksen JH, Rodés J. "Peripheral arterial vasodilation hypothesis: a proposal for the initiation of renal sodium and water retention in cirrhosis". Hepatology 8 (1988) (5): 1151–7.
15. Lenz K, Hörtnagl H, Druml W, et al.. "Ornipressin in the treatment of functional renal failure in decompensated liver cirrhosis. Effects on renal hemodynamics and atrial natriuretic factor". Gastroenterology 101 (1991) (4): 1060–7.
16. Moore K. Arachidonic acid metabolism and the kidney in cirrhosis. In: Arroyo V, Gines P, Rodes J, Schrier RW, eds. Ascites and and renal dysfunction in liver disease. Malden (MA): Blackwell Science, 1999:249-72.
17. Cardenas A, Uriz J, Gines P, et al. Hepatorenal syndrome. Liver Translation 2000;4(suppl 1)S63-S61
18. Velamati PG, Herlong HF. "Treatment of refractory ascites". Curr Treat Options Gastroenterol 9 (2006) (6): 530–7
15
19. Gonwa TA, Morris CA, Goldstein RM, Husberg BS, Klintmalm GB. Long-term survival and renal function following liver transplantation in patients with and without hepatorenal syndrome: experience in 300 patients. Transplantation 1991;51:428–30.
20. Pomier-Layrargues G, Paquin SC, Hassoun Z, Lafortune M, Tran A. "Octreotide in hepatorenal syndrome: a randomized, double-blind, placebo-controlled, crossover study". Hepatology 38 (2003) (1): 238–43.
21. Treschan TA, Peters J. The vasopressin system: physiology and clinical strategies. Anesthesiology 2006;105:599–612; quiz 639–40.
22. Solanki P, Chawla A, Garg R, Gupta R, Jain M, Sarin SK. Beneficial effects of terlipressin in hepatorenal syndrome: a prospective, randomized placebo-controlled clinical trial. J Gastroenterol Hepatol 2003;18:152–6.
23. Elkayam U, Ng TM, Hatamizadeh P, Janmohamed M, Mehra A. Renal vasodilatory action of dopamine in patients with heart failure: magnitude of effect and site of action. Circulation 2008;117:200–5.
24. Brienza N, Malcangi V, Dalfino L, et al. A comparison between fenoldopam and low-dose dopamine in early renal dysfunction of critically ill patients. Crit Care Med 2006;34:707–14.
25. Forrest EH, Bouchier IA, Hayes PC. Acute effect of low-dose theophylline on the circulatory disturbances of cirrhosis. Gut 1997;40:139–44.
26. Stanley AJ, Forrest EH, Dabos K, Bouchier IA, Hayes PC. Natriuretic effect of an adenosine-1 receptor antagonist in cirrhotic patients with ascites. Gastroenterology 1998;115:406–11.
27. Rossle M, Ochs A, Gulberg V, et al. A comparison of paracentesis and transjugular intrahepatic portosystemic shunting in patients with ascites. N Engl J Med 2000;342: 1701–7.
28. Gerbes AL, Gulberg V, Waggershauser T, Holl J, Reiser M. Renal effects of transjugular intrahepatic portosystemic shunt in cirrhosis: comparison of patients with ascites, with refractory ascites, or without ascites. Hepatology 1998;28:683–8.
29. Sapna Puppala, Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt emedicine.com. Retrieved on 2013-05-03
30. Witzke O, Baumann M, Patschan D, et al. Which patients benefit from hemodialysis therapy in hepatorenal syndrome? J Gastroenterol Hepatol 2004;19:1369–73.
31. Rahardjo P, Susalit E, Suhardjono. Hemodialisis Dalam: Sudoyo AW,Setyohadi B,Alwi I,Simadhirata M,Setiati S,editors. Ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007;p.579-80
32. Capling RK, Bastani B. The clinical course of patients with type 1 hepatorenal syndrome maintained on hemodialysis. Ren Fail 2004;26:563–8.
33. Nusi A Iswan. Transplantasi Hati Dalam: Sudoyo AW,Setyohadi B,Alwi I,Simadhirata M,Setiati S,editors. Ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007;p.501-3
34. Davis CL. Impact of pretransplant renal failure: when is listing for kidney-liver indicated? Liver Transpl 2005;11(11 suppl 2):S35–44.
16