sindrom hepatorenal

25
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pasien sirosis hepatis dan asites sering berkembang menjadi gagal ginjal bentuk khusus, yang lebih dikenal dengan nama sindrom hepatorenal, yang disebabkan oleh terjadinya vasokonstriksi pada sirkulasi ginjal. Vasokonstriksi pembuluh darah ginjal ini memicu retensi air dan natrium di ginjal, dan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Sindrom hepatorenal adalah sindrom klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronik dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan fungsi ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktifitas sistem vasoactive endogen. Sindrom hepatorenal itu sendiri merupakan permulaan dari gagal ginjal, dimana peningkatan kadar kreatinin dan urea darah sangat menentukan fungsi ginjal. Rusaknya ginjal sebagai organ yang mengekskresi kreatinin mengakibatkan kadar urea dan kreatinin darah meningkat. Sindrom hepatorenal ditandai dengan peningkatan kreatinin dan urea di dalam darah (azotemia) tanpa disertai kelainan ginjal itu sendiri yang terlihat secara klinis maupun anatomis, atau 1

Upload: andreas-kristian

Post on 01-Dec-2015

254 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

fhddhfdhdhgfxdghghdghdhghdgtttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttt

TRANSCRIPT

Page 1: sindrom hepatorenal

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Pasien sirosis hepatis dan asites sering berkembang menjadi gagal ginjal

bentuk khusus, yang lebih dikenal dengan nama sindrom hepatorenal, yang

disebabkan oleh terjadinya vasokonstriksi pada sirkulasi ginjal. Vasokonstriksi

pembuluh darah ginjal ini memicu retensi air dan natrium di ginjal, dan penurunan

laju filtrasi glomerulus (LFG).

Sindrom hepatorenal adalah sindrom klinis yang terjadi pada pasien

penyakit hati kronik dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai

oleh penurunan fungsi ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan

aktifitas sistem vasoactive endogen. Sindrom hepatorenal itu sendiri merupakan

permulaan dari gagal ginjal, dimana peningkatan kadar kreatinin dan urea darah

sangat menentukan fungsi ginjal. Rusaknya ginjal sebagai organ yang

mengekskresi kreatinin mengakibatkan kadar urea dan kreatinin darah meningkat.

Sindrom hepatorenal ditandai dengan peningkatan kreatinin dan urea di dalam

darah (azotemia) tanpa disertai kelainan ginjal itu sendiri yang terlihat secara

klinis maupun anatomis, atau penyebab dari gagal ginjal telah disingkirkan

terlebih dahulu.

Seringkali sindrom hepatorenal adalah komplikasi yang fatal, dan hingga

saat ini pengobatan yang terbaik yang tersedia hanyalah transplantasi hati atau

ginjal. Sejumlah terapi telah banyak dilakukan dalam sejumlah penelitian namun

penelitian tersebut tidak memegang bukti yang cukup kuat. Penatalaksanaan yang

diajukan oleh berbagai penelitian tersebut hanyalah menjurus kepada transplantasi

hati semata, juga dengan beberapa tindakan pengobatan simtomatis, namun

hasilnya masih sering mengalami kejadian kekambuhan yang cukup tinggi.

Pengobatan yang terbaik adalah dengan membalikkan keadaan hipertensi portal,

vasodilatasi pembuluh darah splangnik, dan atau vasokonstriksi pembuluh darah

ginjal.

1

Page 2: sindrom hepatorenal

1.2. Tujuan penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan

penatalaksanaan sindrom hepatorenal secara komprehensif mulai dari terapi

suportif, farmakologis, hingga terapi operatif serta sebagai persyaratan menempuh

ujian kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit dalam di Rumah Sakit Pusat

Angkatan Darat Gatot Subroto Jakarta.

2

Page 3: sindrom hepatorenal

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Sindrom hepatorenal adalah suatu kondisi medis yang berbahaya dan

mengancam nyawa yang ditandai dengan perubahan fungsi ginjal yang terjadi

pada pasien sirosis hepatis maupun pasien gagal hati berat. Sindrom hepatorenal

biasanya fatal meskipun telah dilakukan transplantasi hati.1

Perubahan fungsi hati diyakini menyebabkan perubahan suplai darah ke

saluran pencernaan, mengubah aliran darah, dan tonus pembuluh darah di ginjal.

Gagal ginjal merupakan konsekwensi dari perubahan aliran darah tersebut. Ginjal

tampak normal jika dilihat dengan mata telanjang maupun dengan bantuan

mikroskop dan ginjal dapat berfungsi normal jika ditransplantasikan pada orang

sehat. Diagnosis sindrom hepatorenal didasarkan pada hasil pemeriksaan

laboratorium untuk orang yang rentan terhadap kondisi tersebut. Sindrom

hepatorenal digolongkan menjadi sindrom hepatorenal tipe 1 dan sindrom

hepatorenal tipe 2 yang berkaitan dengan adanya asites di rongga abdomen.1,2,3

2.2. Klasifikasi

Chan MH dkk. mengatakan sindrom hepatorenal merupakan gagal ginjal

bentuk khusus yang sering terjadi pada penderita sirosis hepatis dan lebih jarang

pada penderita gagal hati fulminan maupun hepatitis fulminan. 4 Sindrom tersebut

ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah ginjal dan vasodilatasi dari

pembuluh darah splangnikus di abdomen yang memperdarahi saluran cerna.5

Sindrom hepatorenal diklasifikasikan menjadi dua tipe, tipe 1 dan tipe 2, yang

keduanya merupakan bentuk khusus dari gagal ginjal. Kedua tipe tersebut ditandai

dengan meningkatnya kadar kreatinin darah atau penurunan jumlah klirens

kreatinin (creatinin clearance) di urin.6

Tipe 1 sindrom hepatorenal ditandai dengan gangguan fungsi ginjal yang

berlangsung cepat dan mendadak diikuti dengan peningkatan dua kali lipat serum

kreatinin yang normalnya sekitar 1,5 mg/dL; atau penurunan klirens kreatinin

menjadi kurang dari 20 mL/menit selama jangka waktu tertentu dalam kurun

waktu kurang dari dua minggu. Prognosis dari tipe 1 sindrom hepatorenal ini

3

Page 4: sindrom hepatorenal

sangat buruk dengan angka kematian sebesar 50% pada kurun waktu satu bulan

setelah awitan.78,9,10 Pasien tipe 1 sindrom hepatorenal biasanya lemah, bertekanan

darah rendah, dan membutuhkan terapi obat-obatan inotropik dan vasopresor.11

Tipe 2 sindrom hepatorenal berlangsung lebih lambat dan tidak mendadak,

ditandai dengan peningkatan serum kreatinin >1,5 mg/dL atau penurunan jumlah

sodium urin (Na) <10mmol/L dan penurunan klirens kreatinin menjadi <40

ml/menit.12 Tipe 2 sindrom hepatorenal biasanya berkembang dari asites akibat

dari akumulasi cairan di rongga abdomen yang diakibatkan oleh meningkatnya

tekanan hidrostatik arteriola splangnikus di saluran cerna.

2.3. Gejala dan Tanda

Kedua tipe SHR mempunyai tiga komponen mayor: perubahan fungsi hati,

kelainan sirkulasi, dan gagal ginjal; dan pasien sindrom hepatorenal ditandai

dengan salah satu atau lebih dari ketiga komponen tersebut yang dilihat

berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium. Biasanya, pasien sindrom

hepatorenal yang berkembang dari sirosis hepatis mempunyai penampakan kuning

(jaundice), perubahan status mental dan gizi, dan adanya asites; sedangkan

oliguria, merupakan penanda sindrom hepatorenal dilihat dari gagal ginjal.5

Karena gejala dan tanda-tanda tersebut tidak selalu ada pada sindrom

hepatorenal, maka tidak dibuat criteria mayor maupun minor untuk penyakit ini.

Untuk mendiagnosa penyakit ini cukup dilihat dari hasil laboratorium saja.9

2.4. Etiologi

SHR berkembang biasanya dari penyakit sirosis hepatis maupun orang yang

mempunyai gangguan pembuluh dari portal seperti hipertensi portal. Selain itu

SHR juga dapat berkembang dari penyakit hepatitis fulminan, sirosis hati

fulminan, hepatitis alkoholik, sirosis alkoholik, maupun gagal hati fulminan.

Kadang sindrom hepatorenal dapat berkembang oleh karena pemberian medikasi

(iatrogenik) untuk mengatasi asites, seperti pemberian diuretik besar-besaran, dan

pengeluaran cairan asites dengan parasentesis tanpa mempertimbangkan terapi

kehilangan cairan dengan penggantian cairan intravena.8

2.5. Diagnosis

Terdapat kriteria mayor dan minor sebagai penentu diagnosis tipe SHR,

kriteria mayor berisi penyakit hati kronik dengan hipertensi portal dan gagal hati,

4

Page 5: sindrom hepatorenal

seperti sirosis hati; penurunan GFR, yang diindikasikan dengan peningkatan

serum kreatinin >1,5 mg/dl atau klirens kreatinin <40 ml/menit per 24 jam, tidak

adanya syok, infeksi, riwayat penggunaan obat-obatan nefrotoksik sebelumnya,

maupun kehilangan cairan melalui traktus gastrointestinal (muntah atau diare);

tidak adanya proteinuria (<500mg/hari), penyakit ginjal, maupun gangguan aliran

darah ginjal yang terdeteksi dengan pemeriksaan USG. Sementara itu kriteria

minor berisi oliguria (<500 mL/hari), rendahnya kadar natrium dalam urin (<10

mEq/l), osmolalitas urin lebih rendah daripada di darah, tidak adanya sel darah

merah di urin (50/HPF), dan konsentrasi sodium serum <130 mEq/l.9,13

2.6. Patofisiologi

Gagal ginjal pada sindrom hepatorenal berkembang dari perubahan tonus

pembuluh darah di ginjal. Teori yang paling dominan saat ini adalah

vasokonstriksi pembuluh darah ginjal yang didahului oleh vasodilatasi pada

pembuluh darah arteriola splangnikus di abdomen yang diakibatkan oleh

pengeluaran sejumlah besar mediator-mediator vasoaktif seperti NO,

prostaglandin, dan beberapa mediator vasoaktif lainnya yang dihipotesiskan dapat

menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah splangnikus tersebut. Sehingga pada

akhirnya terjadilah yang dinamakan dengan asites. Konsekwensi dari fenomena

ini adalah berkurangnya aliran darah ginjal dan ginjal mendeteksi perubahan ini

oleh sel-sel aparatus jukstaglomerular dengan mengeluarkan renin. Selanjutnya

sistem renin-angiotensin–aldosteron dan saraf simpatis menjadi aktif dan

menyebabkan retensi cairan dalam tubuh yang berlebihan dan semakin sedikitnya

aliran darah yang melewati ginjal.14

Beberapa vasoaktif kimia lainnya sudah teridentifikasi sebagai penyebab

vasodilatasi arteiola splangnikus, diantaranya adalah ANP (atrial natriuretic

peptide), prostasiklin, tromboksan A2, dan endotoksin.15

Menurut Moore (1999), pada tahap awal sirosis, aliran darah ginjal masih

dipertahankan normal dikarenakan efek dari vasodilator-vasodilator lokal yang

menghambat terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah ginjal. Ketika terjadi

stimulasi pada vasokonstriktor endogen, vasodilator endogen juga teraktivasi

(NO, prostaglandin, ANP), untuk mengatur aliran darah ginjal dan laju filtrasi

glomerulus. Walaupun NO dan ANP meningkat pada sirosis hepatis dengan asites

5

Page 6: sindrom hepatorenal

tanpa sindrom hepatorenal, namun seiring progresivitas penyakit, vasokonstriktor

endogen melampaui jumlah dan kemampuan vasodilator-vasodilator endogen

dalam mengatur aliran darah ginjal sehingga menyebabkan perubahan aliran darah

ginjal dan penurunan LFG yang dalam hal ini mengakibatkan peningkatan kadar

urea dan kreatinin darah.16,17

Gambar 1. Gambaran skematik yang menunjukkan patofisiologi asites dan sindrom hepatorenal. (Blendis L, Wong F, 2003)

Gambar 2. Diagram yang menunjukkan hubungan antara keadaan klinis dengan patofisiologi asites dan sindrom hepatorenal. (Blendis L, Wong F, 2003)

2.7. Pencegahan

Beberapa tindakan untuk mengobati sirosis, seperti tindakan parasentesis,

dan pemberian diuretic secara berlebihan merupakan pencetus utama untuk

terjadinya sindrom hepatorenal, oleh karenanya harus dihindari. Kemudian

6

Page 7: sindrom hepatorenal

pemberian albumin dirasa cukup ampuh untuk mengurangi progresivitas penyakit

dan memperbaiki aliran darah ginjal.18

2.8. Penatalaksanaan

Terdapat tiga pengobatan utama untuk Sindrom hepatorenal, pemberian

obat-obatan, pengobatan prosedural, dan transplantasi hati. Hingga sekarang

transplantasi hati masih merupakan terapi yang utama pada penyakit sindrom

hepatorenal karena transplantasi hati merupakan terapi yang menyingkirkan

penyebab utama adanya proses-proses patofisiologis yang menandai sindrom

tersebut yaitu dengan mengganti organ hati yang disfungsional.19 Transplantasi

hati ditentukan dengan skor MELD (model for end-stage liver disease) ataupun

kriteria Child-Pugh. Xu X, Ling Q, Zhang M, et al. menyatakan transplantasi

yang baik dan benar dapat menurunkan angka kematian sebesar 25%. Sebagai

antisipasi tambahan sebelum melaksanakan transplantasi, pasien sebaiknya

diberikan terapi albumin 6-8 gram, vasopressin, pintasan radiologis (radiological

shunt, untuk mengurangi tekanan pembuluh darah portal), dan dialysis.

Sebagai penatalaksanaan umum terdapat beberapa Tindakan yang harus

dihindari, di antaranya adalah tirah baring, menghindari pemakaian diuretik yang

agresif, parasentesis asites, dan retriksi cairan yang berlebihan. Terapi suportif

yang harus dilakukan di ataranya adalah berupa diet tinggi kalori dan rendah

protein. Kalori yang diberikan adalah sekitar 2000-3000 kkal/hari. Bila pasien

tidak disertai dengan koma hepatik diberikan protein 1 gr/kgBB/hari. Diet rendah

garam juga harus dilakukan. Konsumsi garam (NaCl) harian adalah

40-60mEq/hari.Selain itu pasien harus dikoreksi keseimbangan asma basanya,

menghindari pemberian OAINS, mengobati dan mencegah peritonitis bakterial

spontan dan ensefalopati hepatik. Pemberian diuretik yang diperkenankan adalah

antialdosteron (spironolakton 1-600mg/hari). Namun efek spronolakton dinilai

kurang poten dalam menyebabkan diuresis sehingga dipakai terapi diuretika

kombinasi yaitu spironolakton dan furosemid. Tujuan pengobatan diuretik

kombinasi ini adalah menurunkan berat badan pada pasien sirosis hepatis dengan

asites sehingga berat badan turun 400-1500gr/hari.3

Untuk terapi dengan obat-obatan, pasien bisa diberikan analog vasopressin,

agonis alfa (midodrine), analog somatostatin – hormon yang dapat mengubah

7

Page 8: sindrom hepatorenal

tekanan pembuluh darah di saluran pencernaan – (octreotide). Kesemua obat-

obatan tersebut bekerja selektif sebagai vasodilator pembuluh darah sistemik,

tetapi sebagai vasokonstriktor pembuluh darah portal maupun splangnik. Studi

kasus menunjukkan 3 dari 13 pasien sindrom hepatorenal yang diberi midodrine

peroral dan ocreotide subkutan dapat pulang dengan kondisi yang lebih baik.20

Terapi farmakologis

1. Albumin

Albumin adalah suatu penambah volume intravaskular yang efektif yang

rutin digunakan untuk mendiagnosis dan mengobati pasien sindrom

hepatorenal tipe 1. Albumin digunakan bersamaan dengan infus NaCl

0,9% dengan dosis 1gr/kgbb/hari dengan dosis maksimum mencapai

100gr /hari.

2. Vasopresin

Vasopresin adalah suatu vasokonstriktor yang sangat kuat yang bekerja

pada reseptor V1, V2, dan V3. Reseptor V1 dan V2 banyak terdapat

pada pembuluh darah splangnik yang mana merupakan reseptor untuk

osmoregulasi atau pengaturan keseimbangan cairan tubuh. Sementara

V3 adalah reseptor untuk pengeluaran kortikosteroid.21 Akibat dari

vasokonstriksi yang ditimbulkan oleh vsopresin di pembuluh darah

splangnik, terjadi penurunan tekanan hidrostatik di dalam arteri tersebut

dan mengembalikan volume intavaskular menjadi normal dan jugayang

paling penting adalah efeknya terhadap mekanisme kompensasi yang

dilakukan oleh sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS). Vasopresin

menghambat sistem tersebut dan dengan demikian memperbaiki aliran

darah ke ginjal yang berkurang.

Vasopresin sudah jarang ditemukan dan keberadaannya kini telah

digantikan oleh analog terbarunya yaitu telipresin atau ornipresin.

Vasopresin hanya dijumpai di tempat-tempat dimana telipresin tidak

tersedia. Terdapat banyak penelitian mengenai terlipresin dan efeknya

terhadap sindrom hepatorenal. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa

terlipresin menaikkan aliran darah ginjal, meningkatkan produksi urin,

mengurangi serum kreatinin menjadi < 1,5 mg/dl dan meningkatkan

8

Page 9: sindrom hepatorenal

klirens kreatinin.22 Dosis terlipresin adalah 0,5-2 mg intravena setiap 6

atau 12 jam sedangkan ornipresin adalah 2-6U/jam.

3. Agonis alfa Adrenergik (norepinefrin)

Norepinefrin secara efektif meningkatkan jumlah urin, ekskresi natrium,

konsentrasi natrium serum, klirens kreatinin, MAP, aktivitas renin

plasma, dan aktivitas aldosteron. Dosis norepiefrin adalah 8-50ug/menit

4. Agonis Dopamin

Dopamin telah dikenal mempunyai efek yang baik terhadap pembuluh

darah ginjal. Dopamin mengurangi resistensi pembuluh darah ginjal dan

meningkatkan aliran darah ginjal.23 Sehingga dapat dihipotesiskan

bahwa dopamin dapat memperbaiki gejala-gejala sindrom hepatorenal.

Namun penelitian-penelitian yang ada menyebutkan bahwa penmberian

dopamin sebagai monoterapi kurang memberikan efek yang nyata

sehingga pemberiannya harus digabungkan dengan analog dopamin

seperti fenoldopam. Fenoldopam adalah suatu analog dopamin terbaru

yang sering digunakan untuk mengobati sindrom hepatorenal. Sebuah

penelitian membandingkan pemberian fenoldopam 0.1 μg/kg/menit

dengan dopamin 2 μg/kg/menit pada 100 pasien yang menderita sindrom

hepatorenal dengan kegagalan fungsi ginjal tahap awal, menunjukkan

penurunan yang sangat nyata dari kadar kreatinin serum pada pasien

yang mendapatkan terapi fenoldopam.24

5. Antagonis adenosin (teofilin & FK352)

Reseptor renal adenosin 1 dapat menginduksi retensi natrium dan

air dan vasokonstriksi pembuluh darah ginjal. Antagonis adenosin,

seperti teofilin dan FK352, dapat meningkatkan ekskresi natrium dan

meningkatkan aliran urine pada pasien sirosis hepatis; namun, obat-

obatan tersebut belum dilaporkan mempunyai efek yang menguntungkan

pada pasien dengan sindrom hepatorenal.25,26 Penelitian lebih lanjut pada

pasien sindrom hepatorenal dibutuhkan sebelum pemakaian obat-obatan

ini dapat direkomendasikan.

9

Page 10: sindrom hepatorenal

Untuk terapi prosedural, terdapat beberapa pilihan, diantaranya

Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS), hemodialisis, dan

transplantasi hati.

Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS)

TIPS adalah suatu prosedur tindakan dengan memasangkan sten kecil di

antara vena porta dan vena hepatica. Dengan cara tersebut dapat mengurangi

tekanan pembuluh darah porta, mengembalikan aliran darah vena cava,

mengembalikan fungsi ginjal dan dengan demikian meningkatkan angka harapan

hidup pasien sirosis dan asites. Penelitian menyebutkan pemasangan TIPS dalam

4 hari sejak onset awal sindrom hepatorenal dapat meningkatkan kembalinya

fungsi ginjal dan angka ketahanan hidup.27,28 Namun prosedur ini tidak lepas dari

adanya komplikasi yang merugikan. Komplikasi dari TIPS adalah ensefalopati

hepatik – akibat dari tidak terdegradasinya toksin-toksin yang ada dalam darah

yang seharusnya melewati hati sehingga zat-zat toksin tersebut kembali ke jantung

dan diedarkan kembali keseluruh tubuh – dan perdar ahan.

Gambar 3: gambaran skematis TIPS dan gambaran radiologis TIPS (Sapna Puppala, emedicine, 2012)

Hemodialisis

Pelaksanaan hemodialisis secara berkesinambungan memberikan

kesempatan untuk mengembalikan fungsi ginjal yang hilang pada pasien sindrom

hepatorenal. Namun, penelitian yang ada baru sedikit sekali. Penelitian

observasional terakhir meneliti faktor-faktor penentu dan angka harapan hidup

10

Page 11: sindrom hepatorenal

satu bulan pada 30 pasien dengan sirosis hepatis Child-Pugh kelas 3 dan sindrom

hepatorenal. Lima belas pasien memerlukan ventilasi mekanik dan mendapat

hemodialisis vena ( CVVD-continuous venovenous hemodialysis), dan 15 pasien

mendapat hemodialisis di hari yang lain (4–5-jam). Delapan (27%) dari 30 pasien

selamat selama 30 hari (rata-rata 21 hari). Hanya tiga pasien yang menjalani

transplantasi hati dapat bertahan lebih dari satu tahun.30

Indikasi hemodialisis pada pasien sinrom hepatorenal adalah: adanya

keadaan umum yang buruk dengan gejala klinis yang nyata, K serum > 6mEq/L,

ureum darah > 200 mg/dL, pH darah <7,1, anuria berkepanjangan (>5 hari), dan

kelebihan cairan (fluid overload).31

Jika pelaksanaan hemodialisis terbukti ampuh memperpanjang angka

harapan hidup pasien sindrom hepatorenal, akan terdapat masalah baru dalam

dunia kesehatan, di antaranya adalah meningkatnya lama rawat inap dan

meningkatnya penyakit-penyakit hati lainnya pada pasien sindrom hepatorenal.32

Saat ini, penggunaan hemodialisis pasien sindrom hepatorenal dapat dilakukan

pada pasien yang mempunyai beberapa indikasi penting dilakukannya

hemodialisis (seperti uremia berat dan hiperkalemia). Pemilihan pasien

berdasarkan tingkat keparahan menurut skor Child-Pugh dan MELD dan

kecocokan dalam transplantasi hati harus dipertimbangkan semua sebelum

menjalankan terapi dialisis.

Transplantasi hati

Ada tiga kriteria umum resipien yang akan dilakukan transplantasi hati,

yaitu pasien tidak sembuh dengan tindakan pengobatan apapun termasuk operasi

dan medikamentosa, tidak ada kontra indikasi dilakukannya transplantasi hati, dan

adanya pengertian keluarga pasien mengenai penyakit serta konsekuensi dari

tindakan transplantasi yang akan dilakukan, meliputi risiko, keuntungan, dan

biaya yang diperlukan.33

Ada empat macam kategori penyakit hati yang diindikasikan untuk

dilakukan transplantasi hati, yaitu: 1). Penyakit hati kronik irreversibel oleh sebab

11

Page 12: sindrom hepatorenal

apapun; 2). Keganasan hati non metastatik; 3). Gagal hati fulminan; 4). Gangguan

metabolisme herediter.33

Seperti yang telah diberitahukan sebelumnya, transplantasi hati merupakan

terapi yang utama pada penyakit sindrom hepatorenal karena transplantasi hati

merupakan terapi yang menyingkirkan penyebab utama adanya proses-proses

patofisiologis yang menandai sindrom tersebut.19 Transplantasi hati dapat secara

drastis meningkatkan survival rate pada pasien-pasien sindrom hepatorenal. pada

penelitian yang mengevaluasi 79 orang pasien sindrom hepatorenal yang

mendapat transplantasi hati, 2- dan 5-tahun survival rate nya adalah 73.8% dan

67.1%. Mortality rate atau angka kematian pada pasien sindrom hepatorenal yang

mendapat transplantasi hati tidak berbeda secara signifikan dengan pasien tanpa

sindrom hepatorenal yang mendapat transplantasi hati (67.1% dan 70.1%,

respectively). Hanya 8.9% pasien dengan sindrom hepatorenal yang mendapat

transplantasi hati berkembang menjadi gagal ginjal stadium akhir dan

membutuhkan transplantasi ginjal. Oleh sebab itu pada pasien-pasien sindrom

hepatorenal sebaiknya dilakukan transplantasi hati dan ginjal. Kombinasi

transplantasi tersebut meningkatkan angka harapan hidup pasien-pasien sindrom

hepatorenal dibandingkan dengan pasienyang hanya menjalani transplantasi hati

saja. Sebagia penelitiannya, Persatuan Pendonor Organ nasional (UNOS – United

Nation of Organ Sharing) melaporkan angka harapan hidup sekitar 70.1% dan

62.2%, pasien yang menjalani transplantasi kombinasi sedangkan yang hanya

menjalani transplantasi hati saja adalah 58% and 50.4%, dengan angka kreatinin

serum di atas 2,0g/dl.

Tentu saja, tidak semua pasien dengan sindrom hepatorenal yang

diindikasikan menjalani transplantasi kombinasi karena transplantasi dapat

menyebabkan kerusakan kembali pada ginjal. Oleh karena itu perkiraan untuk

melakukan transplantasi kombinasi haruslah benar-benar matang. Pasien-pasien

sindrom hepatorenal yang mempunyai gagal ginjal tahap terminal atau akhir yang

memerlukan terapi pengganti ginjal atau hemodialisis serta pasien dengan gagal

ginjal akut yang memiliki prognosis jelek merupakan pasien yang sangat

diindikasikan melakukan transplantasi kombinasi tersebut.34

12

Page 13: sindrom hepatorenal

BAB III

KESIMPULAN

13

Page 14: sindrom hepatorenal

Sindrom hepatorenal adalah suatu kondisi medis yang berbahaya dan

mengancam nyawa yang ditandai dengan perubahan fungsi ginjal yang terjadi

pada pasien sirosis hepatis maupun pasien gagal hati berat. Penatalaksanaan yang

cepat, benar, dan terpadu adalah kunci keberhasilan pengobatan penyakit ini. Tiga

pengobatan utama adalah untuk mengurangi angka kematian dan memperpanjang

angka harapan hidup pasien, di antaranya adalah pemberian obat-obatan,

pengobatan prosedural, dan transplantasi hati. Seringkali, pasien sindrom

hepatorenal tidak dapat bertahan hidup lebih lama hanya dengan pengobatan-

pengobatan simtomatik, sehingga penatalaksanaan yang sampai sekarang masih

merupakan terapi yang sering dilakukan adalah transplantasi hati, ataupun dengan

kombinasi transplantasi hati dan ginjal, karena mekanisme patofisiologi dar

sindrom hepatorenal itu sendiri adalah berasal dari jaringan hati yang rusak yang

menyebabkan gangguan-gangguan secara berurutan sistem pembuluh darah porta

dan ginjal.

Di samping itu penatalaksanaan suportif berupa tirah baring, pemberian

diuresis, diet rendah garam, dan diet tinggi kalori rendah protein juga harus

diterapkan sebagai pelengkap pengobatan pasien sindrom hepatorenal dalam

rangka pengobatan yang komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA

14

Page 15: sindrom hepatorenal

1. Lawrence SF.Liver, biliary tract, & pancreas. In: Lawrence MT,Stephen JM,Maxine AP, editors. Current Medical Diagnosis & Treatment. San Fransisco: McGraw-Hill, 2003;p628-73.

2. Blendis L, Wong F. "The natural history and management of hepatorenal disorders: from pre-ascites to hepatorenal syndrome". Clin Med 3 (2003) (2): 154–9. PMID 12737373.

3. Nurjanah S. Sirosis hati. Dalam: Sudoyo AW,Setyohadi B,Alwi I,Simadhirata M,Setiati S,editors. Ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007;p.443-46

4. Ng CK, Chan MH, Tai MH, Lam CW. "Hepatorenal syndrome". Clin Biochem Rev 28 (February 2007) (1): 11–7.

5. Gine’s P Arroyo V. Hepatorenal syndrome. J Am Soc Nephrol. 1999:10;1833-9.

6. Arroyo V, Gines P, Gerbes AL, et al. Definition and diagnostic criteria of refractory ascites and hepatorenal syndrome in cirrhosis. International Ascites Club. Hepatology. Jan 1996;23(1):164-76.

7. Arroyo V, Guevara M, Ginès P. "Hepatorenal syndrome in cirrhosis: pathogenesis and treatment" Gastroenterology 122 (2002) (6): 1658–76.

8. Gines A, Escorsell A, Gines P, et al. Incidence, predictive factors, and prognosis of the hepatorenal syndrome in cirrhosis with ascites. Gastroenterology 1993;105:229–36.

9. Arroyo V, Gines P, Gerbes AL, et al, for the International Ascites Club. Definition and diagnostic criteria of refractory ascites and hepatorenal syndrome in cirrhosis. Hepatology 1996;23:164–76.

10. Gines P, Guevara M, Arroyo V, Rodes J. Hepatorenal syndrome. Lancet 2003;362:1819–27.

11. Mukherjee, S. Hepatorenal syndrome. emedicine.com. Retrieved on 2009-08-02

12. Ginés P, Arroyo V, Quintero E, et al.. "Comparison of paracentesis and diuretics in the treatment of cirrhotics with tense ascites. Results of a randomized study". Gastroenterology 93 (1987) (2): 234–4.

13. Salerno F, Gerbes A, Gines P, Wong F, Arroyo V. Diagnosis, prevention and treatment of hepatorenal syndrome in cirrhosis. Gut 2007;56:1310–18.

14. Schrier RW, Arroyo V, Bernardi M, Epstein M, Henriksen JH, Rodés J. "Peripheral arterial vasodilation hypothesis: a proposal for the initiation of renal sodium and water retention in cirrhosis". Hepatology 8 (1988) (5): 1151–7.

15. Lenz K, Hörtnagl H, Druml W, et al.. "Ornipressin in the treatment of functional renal failure in decompensated liver cirrhosis. Effects on renal hemodynamics and atrial natriuretic factor". Gastroenterology 101 (1991) (4): 1060–7.

16. Moore K. Arachidonic acid metabolism and the kidney in cirrhosis. In: Arroyo V, Gines P, Rodes J, Schrier RW, eds. Ascites and and renal dysfunction in liver disease. Malden (MA): Blackwell Science, 1999:249-72.

17. Cardenas A, Uriz J, Gines P, et al. Hepatorenal syndrome. Liver Translation 2000;4(suppl 1)S63-S61

18. Velamati PG, Herlong HF. "Treatment of refractory ascites". Curr Treat Options Gastroenterol 9 (2006) (6): 530–7

15

Page 16: sindrom hepatorenal

19. Gonwa TA, Morris CA, Goldstein RM, Husberg BS, Klintmalm GB. Long-term survival and renal function following liver transplantation in patients with and without hepatorenal syndrome: experience in 300 patients. Transplantation 1991;51:428–30.

20. Pomier-Layrargues G, Paquin SC, Hassoun Z, Lafortune M, Tran A. "Octreotide in hepatorenal syndrome: a randomized, double-blind, placebo-controlled, crossover study". Hepatology 38 (2003) (1): 238–43.

21. Treschan TA, Peters J. The vasopressin system: physiology and clinical strategies. Anesthesiology 2006;105:599–612; quiz 639–40.

22. Solanki P, Chawla A, Garg R, Gupta R, Jain M, Sarin SK. Beneficial effects of terlipressin in hepatorenal syndrome: a prospective, randomized placebo-controlled clinical trial. J Gastroenterol Hepatol 2003;18:152–6.

23. Elkayam U, Ng TM, Hatamizadeh P, Janmohamed M, Mehra A. Renal vasodilatory action of dopamine in patients with heart failure: magnitude of effect and site of action. Circulation 2008;117:200–5.

24. Brienza N, Malcangi V, Dalfino L, et al. A comparison between fenoldopam and low-dose dopamine in early renal dysfunction of critically ill patients. Crit Care Med 2006;34:707–14.

25. Forrest EH, Bouchier IA, Hayes PC. Acute effect of low-dose theophylline on the circulatory disturbances of cirrhosis. Gut 1997;40:139–44.

26. Stanley AJ, Forrest EH, Dabos K, Bouchier IA, Hayes PC. Natriuretic effect of an adenosine-1 receptor antagonist in cirrhotic patients with ascites. Gastroenterology 1998;115:406–11.

27. Rossle M, Ochs A, Gulberg V, et al. A comparison of paracentesis and transjugular intrahepatic portosystemic shunting in patients with ascites. N Engl J Med 2000;342: 1701–7.

28. Gerbes AL, Gulberg V, Waggershauser T, Holl J, Reiser M. Renal effects of transjugular intrahepatic portosystemic shunt in cirrhosis: comparison of patients with ascites, with refractory ascites, or without ascites. Hepatology 1998;28:683–8.

29. Sapna Puppala, Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt emedicine.com. Retrieved on 2013-05-03

30. Witzke O, Baumann M, Patschan D, et al. Which patients benefit from hemodialysis therapy in hepatorenal syndrome? J Gastroenterol Hepatol 2004;19:1369–73.

31. Rahardjo P, Susalit E, Suhardjono. Hemodialisis Dalam: Sudoyo AW,Setyohadi B,Alwi I,Simadhirata M,Setiati S,editors. Ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007;p.579-80

32. Capling RK, Bastani B. The clinical course of patients with type 1 hepatorenal syndrome maintained on hemodialysis. Ren Fail 2004;26:563–8.

33. Nusi A Iswan. Transplantasi Hati Dalam: Sudoyo AW,Setyohadi B,Alwi I,Simadhirata M,Setiati S,editors. Ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007;p.501-3

34. Davis CL. Impact of pretransplant renal failure: when is listing for kidney-liver indicated? Liver Transpl 2005;11(11 suppl 2):S35–44.

16