sebuah kasus erisipelas bulosa dengan komplikasi...
TRANSCRIPT
1
SEBUAH KASUS ERISIPELAS BULOSA DENGAN
KOMPLIKASI NECROTIZING FASCIITIS PADA
PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE II
TAHUN 2015
dr. Nyoman Suryawati, M.Kes, SpKK
2015
2
PENDAHULUAN
Erisipelas adalah salah satu bentuk infeksi kulit dan jaringan lunak yang mengenai
pembuluh limfa dermis dan jaringan sekitarnya, biasanya disebabkan oleh
Staphylococus aureus atau Streptococcus β-hemolitikus group A.1
Studi epidemiologi di Universitas Sarajevo selama tiga tahun didapatkan 123
pasien infeksi kulit dan jaringan lunak, terdapat 28,45 % kasus erisipelas. Insiden
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah pada periode tahun 2009-2011 terdapat 78
pasien dengan infeksi jaringan lunak yang dirawat inap, 43 orang pasien adalah pasien
erisipelas dengan lokasi terbanyak daerah kruris sebanyak 26 pasien (60,5%) diikuti
daerah antebrachii pada 7 pasien (16,2%), dengan penyakit penyerta tersering adalah
diabetes melitus (21,8%).2
Faktor risiko terjadinya infeksi ini antara lain umur ( pada
anak dan orang tua), diabetes mellitus, sindroma nefrotik, paparan patogen, kerusakan
barier kulit (dermatitis atopik, trauma, pengguanaan obat intravena, pembedahan,
trauma, gigitan serangga, ulkus kronis), obesitas, keadaan imunosupresi dan gangguan
sirkulasi vena (limfaedema, statis vena).1
Necrotizing Fasciitis (NF) adalah infeksi kulit yang kejadiannya jarang namun
bisa menjadi berat.3
Infeksi ini mengenai beberapa lapisan jaringan lunak (dermis,
jaringan subkutan, superficial fascia, deep fascia, otot), yang berhubungan dengan
perubahan dari nekrosis itu sendiri.4
Studi di Jerman yang dikutip oleh Evangelos
(2014), menyebutkan bahwa terdapat 0,4 kasus per 100.000 populasi, dengan rasio laki-
laki: perempuan adalah 3:1 dan lokasi terbanyak adalah ekstrimitas bawah ( 57,8%).5
Kejadian necrotizing fasciitis di RSUP Sanglah Denpasar dalam bulan Januari-
Desember 2014 sebanyak 7 kasus.6
Beberapa faktor risiko necrotizing fasciitis antara lain umur di atas 50 tahun,
diabetes mellitus , pemyakit arteri oklusif, obesitas, konsumsi alkohol, pengguna obat-
obatan serta pasien dengan terapi imunosupresan dan terinfeksi HIV.7,8
Diagnosis NF
terutama melalui gejala klinis, dimana pada fase awal sangat sulit dibedakan dengan
infeksi kulit lain seperti erisipelas dan selulitis.9
3
Diabetes Melitus (DM) adalah kelompok penyakit metabolik yang ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa serum akibat menurunnya produksi insulin, kerja
insulin atau kombinasi keduanya.10
Infeksi kulit, terutama pada kaki sering terjadi dan
merupakan komplikasi yang serius pada pasien diabetes. Diabetes melitus merupakan
faktor risiko terbesar ( 40-605) dari seluruh kejadian necrotizing fasciitis.5
Necrotizing Fasciitis merupakan kasus yang jarang ditemukan, namun berbahaya
dan memerlukan perhatian khusus karena dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas
pada pasien, sehingga diperlukan diagnosis akurat dan penanganan yang tepat dan
cermat. Kasus ini dilaporkan untuk menambah pemahaman tentang erisipelas bulosa
dengan komplikasi necrotizing fasciitis pada penderita diabetes mellitus tipe 2 beserta
penatalaksanaanya.
KASUS
Seorang laki-laki, berusia 46 tahun, suku Bali, status menikah, nomor rekam medis
15.00.11.09 dikonsulkan oleh bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah, pada tanggal 7 januari 2015 dengan diabetes mellitus tipe 2, diabetic foot
grade 1 dan selulitis kruris sinistra. Keluhan utama pasien adalah bengkak dan nyeri
pada kaki kiri sejak 5 hari yang lalu ( 2 Januari 2015) . Awalnya 1 minggu yang lalu
timbul bintik-bintik kecil yang dirasakan gatal pada jari ke 3 dan ke 4 pada kaki kiri
pasien. Karena gatal, bintik-bintik tersebut digaruk sehingga menimbulkan luka Lima
hari sebelum masuk rumah sakit, pasien kemudian mengeluh demam, diikuti timbulnya
bercak kemerahan dan bengkak pada kaki kiri. Pasien juga mengeluh lemas, muntah-
muntah dan nafsu makan berkurang, sehingga pasien dibawa berobat ke ke Rumah Sakit
Umum Daerah Klungkung dan disarankan untuk rawat inap. Di rumah sakit, pasien
diberikan beberapa jenis obat yaitu novorapid dan cefoperazone 3x1 gram intravena,
pantoprazole, ondansentrone. Empat hari sebelumnya (3 Januari 2015), bengkak dan
merah dirasakan bertambah dan disertai rasa yeri sehingga pasien sulit untuk berjalan.
Satu hari sebelum masuk rumah sakit (6 Januari 2015), muncul gelembung-gelembung
berair pada kaki kiri, yang kemudian pecah dan menjadi luka. Kondisi pasien semakin
4
lemas dan tidak ada perbaikan klinis pada kaki kiri, pasien kemudian dirujuk ke Bagian
Ilmu Penyakit Dalam RSUP Sanglah.
Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Riwayat
trauma pada kaki dan imobilisasi lama sebelumnya disangkal. Riwayat pengolesan
minyak tradisional, balsam, atau bahan lainnya disangkal. Pada riwayat penyakit
sebelumnya, pasien didiagnosis diabetes mellitus tipe 2 saat menjalani pemeriksaan
darah di RSUD klungkung ( 2 Januari 2015). Riwayat alergi obat disangkal. Riwayat
penyakit lain seperti tekanan darah tinggi, penyakit ginjal, keganasan ataupun atopi
disangkal. Riwayat keluhan yang sama pada anggota keluarga lain disangkal. Pasien
masih bekerja sebagai polisi.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien sedang, kesadaran
kompos mentis, tekanan darah 110/60mmHg, denyut nadi 70x/menit, frekuensi
pernafasan 20x/menit, suhu aksila 370C, VAS (visual analog scale) 2/10. Pada status
generalis didapatkan kepala normosefali, tidak tampak anemia, ikterus maupun
hiperemis. Pemeriksaan telinga, hidung dan tenggokan didapatkan kesan tenang dan
pada leher tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan toraks
didapatkan suara jantung (S1 danS2) tunggal, reguler, tidak terdapat murmur. Suara
nafas paru vesikuler, tidak ditemukan adanya rhonki ataupun wheezing. Pada
pemeriksaan abdomen , hepar dan lien tidak teraba, bising usus dalam batas normal,
tidak terdapat distensi abdomen. Ekstrimitas bawah sinistra teraba hangat, edema non-
pitting , pulsasi arteri dorsalis pedis sinistra teraba. Ukuran lingkar pertengahan femur
sinistra 37 cm (dekstra 27 cm), lingkar pertengahan kruris sinistra 36 cm (dekstra 31
cm), lingkar tarsal sinistra 25 cm (dekstra 23 cm).
Status dermatologi lokasi kruris sinistra ( Gambar 1a), tampak efloresensi
makula eritema multipel, batas tegas, bentuk bulat-geografika ukuran 1x2-4x7 cm.
Nyeri dan hangat pada perabaan.
5
Gambar 1a
Didapatkan juga erosi multipel, multipel, batas tegas, bentuk bulat-geografika
ukuran 1x1,5 cm-3x4 cm, sebagian ditutupi krusta cokelat kehitaman (Gambar 1b).
Didapatkan pula bula multipel, dinding tegang,bentuk bulat, ukuran diameter 0,5-1,5
cm, berisi cairan serous hemoragik (Gambar 1b). Pada perabaan terasa hangat, nyeri
pada penekanan, edema non-pitting dan tidak terdapat krepitasi.
Gambar 1b
Pada jari kaki keempat dan kelima pedis sinistra, didapatkan erosi multipel, batas
tegas, betuk geografika, ukuran bervariasi 1x1,5 cm - 4x2 cm, beberapa ditutupi krusta
cokelat kehitaman (Gambar1c).
6
Gambar 1c
Diagnosa banding penderita adalah suspek erisipelas bulosa region kruris sinistra
dan necrotizing fasciitis regio kruris sinistra. Penderita direncanakan untuk pemeriksaan
Gram, kultur dan sensitifitas bakteri dari dasart luka, foto regio kruris sinistra, KOH
regio digiti pedis sinistra, pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan urin lengkap, LFT,
RFT, albumin, CRP.
Pemeriksaan penunjang darah lengkap (7 Januari 2015) didapatkan hasil leukosit
31,9 K/µL (4,10-11,00); neutrofil 3,81 K/µL (2,50-7,50); limfosit 1,55 K/µL (1,00-
4,00), monosit 1,52 K/µL (0,10-1,20); eosinofil 0,157 K/µL (0,00-0,50); basofil 0,083
K/µL (0-0,1); RBC 4,98 (4,5-5,9); hemoglobin 13,4 mg/dl (13,50-17,50); hematokrit
42,3 % (41,00-53,00); trombosit 187 K/µL (150,00-440,00), CRP 64,9 mg/dL Pada
pemeriksaan kimia klinik (07-01-2015) didapatkan SGOT 48,2 U/L (11,00-27,00);
SGPT 21,4 U/L (11,00-34,00); albumin 4,19 g/dL (3,40-4,80); BUN 43 mg/dL (8,00-
23,00); kreatinin 1,45 mg/dL (0,70-1,20); natrium 121 mmol/L (136,00-145,00); kalium
4,6 mmol/L (3,5-5,1); glukosa darah sewaktu 213 mg/dL (70,00-140,00).kadar HBA1C
12,2 % (<6,5%).
Hasil pemeriksaan gram dari dasar luka region pedis sinistra (7 Januari 2015)
pada dasar erosi didapatkan leukosit 2-5/lp, kokus gram positif (+), staphylococcus (-),
streptococcus (-), batang gram negatif (-). Pada pemeriksaan potassium hidroksida 10%
(KOH 10%), tidak ditemukan elemen jamur.
Hasil pemeriksaan radiologi kruris sinistra AP/lateral (7 Januari 2015) tidak
tampak kelainan dan suspek gas gangren regio kruris sinistra.
Pada pemeriksaan urinalisis didapatkan pH (5); leukosit (500+++); nitrat positif;
protein (25+); glukosa normal; keton (5+); urobilinogen (8+++); bilirubin (6+++);
7
warna cokelat; sedimen urin: leukosit (10-12/lp); eritrosit (6-8); sel epitel gepeng (4-5);
bakteri (+).
Diagnosa kerja penderita adalah erisipelas bulosa region kruris sinistra.
Penatalaksanaan yang diberikan adalah masuk rumah sakit, terapi cairan intravena NaCl
0,9% 20 tetes per menit oleh bagian penyakit dalam, pemberian obat antibiotik dan
analgetik diberikan sesuai dengan bagian Ilmu Penyakit Dalam , kompres terbuka NaCl
0,9% 3-4x/hari @10-15 menit , pemberian krim natrium fusidat 2x/hari pada erosi yang
kering, dan disarankan untuk elevasi tungkai kiri 30 derajat.
Dari bagian Ilmu Penyakit Dalam penderita didiagnosis dengan diabetes melitus
tipe 2, diabetic foot grade 1 pedis sinistra, infeksi saluran kencing, Acute Kidney Injury
stage 1 et causa prerenal dengan diagnosis banding acquired cystic kidney injury
(ACKD) on chronic kidney disease (CKD), erisipelas kruris sinistra. Penatalaksanaan
yang diberikan rawat bersama, cairan intravena NaCL 0,9% 20 tetes/menit, diet 2300
kkal/hari, antibiotika cefoperazone sulbaktam 2x1 gram intravena, paracetamol tablet
3x650 mg peroral, injeksi lantus 0-0-0-12 unit subkutaneus, injeksi Novorapid 3x8 unit
subkutaneus.
PENGAMATAN LANJUTAN I (19 Januari 2015, hari kedua belas perawatan)
Pengamatan hari ke-12 di rumah sakit,dari keluhan subjektif tidak didapatkan lesi baru,
nyeri sudah berkurang, bengkak pada kaki kiri sudah berkurang, beberapa gelembung
pada kaki telah pecah menjadi luka, keluhan demam disangkal. Dari pengamatan
bengkak dan kemerahan tampak berkurang, serta terlihat jaringan nekrosis. Buang air
besar dan kecil dalam seperti biasa. Makan dan minum seperti biasa.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran
komposmentis. Tekanan darah 130/90 mmHg, denyut nadi 98 kali/menit, frekuensi
pernafasan 20 kali/menit, suhu aksila 362 0
C. VAS 1/10. Status generalis masih dalam
batas normal. Status dermatologi lokasi kruris sinistra didapatkan makula
hiperpigmentasi multipel, batas tegas, bentuk bulat-geografika, ukuran 1x1-3x5 cm
(Gambar 2a).
8
Gambar 2a
Didapatkan pula ulkus dangkal, multipel, batas tegas, bentuk geografika, tepi
menggaung, dasar kotor berisi pus, ukuran 1x1,5x0,3 cm-3x6x0,5 cm, sebagian ditutupi
krusta cokelat kehitaman, dan diantaranya terdapat jaringan nekrotik (Gambar 2b).
Gambar 2b
Pada jari kaki keempat dan kelima pedis sinistra, didapatkan makula
hiperpigmentasi, multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran bervariasi 1x1,5 cm -
4x2 cm. erosi multipel, batas tegas, betuk geografika, ukuran bervariasi 1x1,5 cm - 3x2
cm, beberapa ditutupi krusta cokelat kehitaman (Gambar 2c). Ukuran lingkar
pertengahan femur sinistra 33 cm (dekstra 27 cm), lingkar pertengahan kruris sinistra 35
cm (dekstra 31 cm), lingkar tarsal sinistra 24 cm (dekstra 23 cm).
9
Gambar 2c
Pemeriksaan penunjang darah lengkap (17 Januari 2015) didapatkan hasil
leukosit 12,8 K/µL (4,10-11,00); neutrofil 9,33 K/µL (2,50-7,50); limfosit 2,25 K/µL
(1,00-4,00), monosit 0,92 K/µL (0,10-1,20); eosinofil 0,171 K/µL (0,00-0,50); basofil
0,163 K/µL (0-0,1); RBC 2,48 (4,5-5,9); hemoglobin 6,57 mg/dl (13,50-17,50);
hematokrit 21,3 % (41,00-53,00); trombosit 683 K/µL (150,00-440,00), CRP 64,9
mg/dL (0,0-0,5). Pemeriksaan kimia darah (14 Januari 2015) albumin 1,8 g/dL (3,40-
4,80), Gula Darah Sewaktu (GDS) sebesar 202 mg/dl. Pada pasien dilakukan
perhitungan skor LRINEC pada kasus adalah 6 ( nilai ≥ 6 dicurigai suatu necrotizing
fasciitis, nilai ≥8 prediksi kuat necrotizing fasciitis).
Hasil pemeriksaan kultur dasar luka pertama ( 7 Januari 2015), didapatkan tidak
adanya pertumbuhan kuman. Karena akan dilakukan penggantian obat antibiotik,
dilakukan pemeriksaan kultur dasar luka kedua ( tanggal 16 Januari 2015), didapatkan
hasil kuman Pseudomonas auroginosa yang sensitif terhadap antibiotik Ciprofloxacine
atau Gentamycin.
Diagnosis dari bagian Dermatologi dan Venerologi adalah necrotizing fasciitis
regio kruris sinistra. Penatalaksanaan yang diberikan dalah cairan intravena NaCl 0,9%
20 tetes /menit oleh bagian ilmu penyakit dalam. Pemberian antibiotik dan analgetik
oleh bagian Ilmu Penyakit Dalam, kompres NaCl 0,9% 3-4 kali/hari pada bula dan erosi
. Pemberian krim natrium fusidat 2x/hari pada erosi yang kering dan disarankan juga
untuk elevasi tungkai kiri 30 derajat. Pasien juga disarankan untuk dikonsulkan ke
bagian Bedah Toraks dan Kardiovaskular. untuk penegakan diagnosis necrotizing
fasciitis serta saran untuk dilakukannya debridemen.
10
Dari bagian Ilmu Penyakit Dalam didiagnosis dengan diabetes melitus tipe 2,
Diabetic Foot stadium I pedis sinistra, Chronic Kidney Disease stadium II et causa
Diabetic Kidney Disease, Hipoalbumin et causa inflamasi kronis, anemia normokromik
normositer. Penatalaksanaan yang berikan diet 2300 kalori / hari, cefaperazone
sulbaktam 2x1 gram intravena ( hari ke-13), metronidazole 3x500 mg intavena ( hari ke-
10), injeksi Novorapid 3x16 subkutan, lantus 0-0-0-20 unit subkutan, paracetamol
3x750 mg peroral, albumin 20% 1 flash, transfusi PRC s/d HB 9 mg/dl.
Jawaban konsultasi dari bagian Bedah Toraks dan Kardiovaskular, pasien
didiagnosis dengan necrotizing fasciitis kruris sinistra dengan diagnosis banding selulitis
kruris sinistra dengan diabetes mellitus tipe 2. Penatalaksanaan yang diberikan adalah
rawat bersama bagian Dermatologi Venerologi dan Ilmu Penyakit Dalam, rencana
dilakukan debridemen apabila keadaan umum penderita optimal dan keluarga setuju.
Dilakukan konsultasi ke bagian Anestesi, dimana tidak didapatkan adanya
kontraindikasi untuk pelaksanaan tindakan debridemen.
PENGAMATAN LANJUTAN II (28 Januari 2015, hari ke dua puluh satu
perawatan)
Pengamatan hari ke-21 di rumah sakit dilakukan saat perawatan luka pertama (8 hari
paska operasi debridemen ),dari keluhan subjektif tidak didapatkan lesi baru, nyeri
sudah berkurang dan kadang-kadang dirasakan, bengkak pada kaki kiri sudah tidak
terdapat, tidak terdapat demam. Buang air besar dan buang air kecil seperti biasa. Makan
dan minum seperti biasa.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran
komposmentis. Tekanan darah 110/700 mmHg, denyut nadi 80 kali/menit, frekuensi
pernafasan 20 kali/menit, suhu aksila 360C. Status generalis masih dalam batas normal.
Status dermatologis pada kruris sinistra tampak efloresensi makula hiperpigmentasi
multipel, bentuk bulat geografika, ukuran bervariasi 1x2cm-4x7 cm ( gambar 3a).
11
Gambar 3a
Didapatkan pula ulkus multipel, bentuk geografika, dasar bersih, ukuran
1,5x2x0,5cm-5x10x0,7 cm, tepi tidak rata, dinding landai, tampak jaringan granulasi,
pendarahan (-), pus (-), edema (-) (gambar 3b).
Gambar 3b
Pada jari kaki keempat dan kelima pedis sinistra, didapatkan makula
hiperpigmentasi, multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran bervariasi ±1x1,5 cm
- 4x2 cm. erosi multipel, batas tegas, betuk geografika, ukuran bervariasi ±1x1,5 cm -
3x2 cm (Gambar 3c). Ukuran lingkar pertengahan femur sinistra 28 cm (dekstra 27 cm),
lingkar pertengahan kruris sinistra 31 cm (dekstra 31 cm), lingkar tarsal sinistra 23 cm
(dekstra 23 cm).
12
Gambar 3c
Pemeriksaan penunjang darah lengkap ( 27 Januari 2015) didapatkan hasil
leukosit 9,7 K/µL (4,10-11,00); neutrofil 6,57 K/µL (2,50-7,50); limfosit 2,29 K/µL
(1,00-4,00), monosit 0,52 K/µL (0,10-1,20); eosinofil 0,11 K/µL (0,00-0,50); basofil
0,01 K/µL (0-0,1); RBC 3,79 (4,5-5,9); hemoglobin 10,3 mg/dl (13,50-17,50);
hematokrit 32,3 % (41,00-53,00); trombosit 431 K/µL (150,00-440,00). Hasil
pemeriksaan kimia darah ureum 13 mg/dl (8-23), creatinin 0,82 mg/dl (0,7-1,2), gula
darah sewaktu 124 mg/dL (70,00-140,00).
Hasil pemeriksaan kultur dan sensitivitas tanggal 20 Januari 2015 yang diambil
dari jaringan debridemen didapatkan bakteri Acinetobacter baumanii dan Pseudomonas
aeruginosa , karena hasil pemeriksaan gram tidak menunjukkan adanya pertumbuhan
kuman, disarankan untuk melakukan pemeriksaan kultur dasar luka ulang. Hasil
pemeriksaan biopsi jaringan debridemen pada lokasi kruris sinistra ( diambil tanggal 21
januari 205, hasil keluar 26 januari 2015), didapatkan didapatkan terdapat sebaran
infiltrasi sel radang pada subepidermis, dermis dan tubulus lemak yang didominasi oleh
PMN neutrofil (Gambar 4a, 4b).
Gambar 4a Gambar 4b
13
Terdapat pula trombus pembuluh darah yang dikelilingi sel radang MN dan PM
(Gambar 3c,3d). Dapat disimpulkan dari hasil pemeriksaan biopsi jaringan debridemen
bahwa diagnosis pasien sesuai early necrotizing fasciitis. .
Gambar 4c Gambar 4d
Pasien didiagnosis dengan necrotizing fasciitis regio kruris sinistra hari rawat ke
21, paska debridemen hari ke delapan (membaik). Penatalaksanaan yang diberikan dalah
cairan intravena NaCL 0,9% 20 tetes /menit, pemberian antibiotik dan analgetik oleh
bagian Ilmu Penyakit Dalam. Rawat luka paska operasi dilakukan oleh bagian Bedah
Torak dan Kardiovaskuler. Pasien juga disarankan juga untuk elevasi tungkai kiri 30
derajat. Pasien saat ini direncanakan rawat poliklinis, pasien diberikan komunikasi,
informasi dan edukasi (KIE) mengenai pentingnya perawatan luka, kebersihan pribadi
dan tempat tinggal .Pasien juga disarankan kontrol ke bagian bedah toraks dan
kardiovaskular, kulit dan kelamin, serta poliklinik penyakit dalam sesuai dengan jadwal
kontrol.
Dari bagian Ilmu Penyakit Dalam didiagnosis dengan diabetes melitus tipe 2,
Diabetic Foot stadium I pedis sinistra, Chronic Kidney Disease stadium II et causa
Diabetic Kidney Disease, Suspect Peripheral Arterial Disease ekstrimitas inferior
sinistra, Hipoalbumin et causa inflamasi kronis. Penatalaksanaan yang berikan diet 2300
kalori / hari, levofloxacine 1x500 mg intravena ( hari ke-7) dan paracetamol 3x500 mg
peroral, injeksi Novorapid 3x14 subkutan, lantus 0-0-0-20 unit subkutan, paracetamol
3x500 mg, asetosal 1x50 mg dan rencana rawat poliklinis. Pasien juga direncakan untuk
melakukan pemeriksaan USG Doppler pada regio kruris sinistra.
14
Dari bagian Bedah Toraks dan Kardiovaskular, pasien didiagnosis dengan
necrotizing fasciitis kruris sinistra dengan diabetes mellitus tipe 2. Penatalaksanaan yang
diberikan adalah rawat luka setiap 3 hari dan rencana rawat poliklinis.
PEMBAHASAN
Erisipelas adalah infeksi kulit akut dan jaringan lunak yang disebabkan oleh bakteri
yang mengenai pembuluh darah limfatik dermis superfisial dan jaringan di sekitarnya.
Terdapat gejala-gejala konstitusi pada erisepelas antara lain demam, malaise, flu,
menggigil, nyeri kepala, muntah dan nyeri sendi. Kelainan kulit yang ditemukan adalah
eritema berwarna merah cerah, berbatas tegas dan permukaannya seperti gambaran peau
d’orange ( menyerupai kulit jeruk). Erisipelas dapat disertai edema, vesikel dan bula.
Pada tahap awal kulit tampak kemerahan, panas, nyeri dan bengkak. Vesikel dan bula
bisa terisi cairan seropurulen. Daerah yang sering terkena adalah wajah, kaki dan
berbagai tempat yang melibatkan jaringan limfatik. Awal terjadinya infeksi ini adalah
inokulasi bakteri pada daerah trauma di kulit ditambah faktor-faktor lain seperti umur
(anak atau orang tua), diabetes mellitus, sindrom nefrotik, paparan organisme patogen,
kerusakan barier kulit ( dermatitis atopik, trauma, penggunaan obat intravena,
pembedahan, trauma, gigitan serangga, ulkus kronis), obesitas, keadaan imunosupresi
(AIDS, pengguna obat imunosupresi, keganasan) dan gangguan sirkulasi vena
(limfedema, stasis vena).1,12
Pada kasus penderita adalah seorang laki-laki berumur 46 tahun. Dari anamnesis
pasien mengeluh bengkak dan nyeri pada kaki kiri sejak 5 hari yang lalu . Pasien juga
mengeluh demam, diikuti timbulnya bercak kemerahan dan bengkak pada kaki kiri yang
makin lama dirasakan bertambah berat dan disertai rasa yeri sehingga pasien sulit untuk
berjalan. Satu hari sebelum masuk rumah sakit, muncul gelembung-gelembung berair
pada kaki kiri, yang kemudian pecah dan menjadi luka. Faktor yang diperkirakan
sebagai tempat masuknya kuman adalah kulit yang tidak intak, dimana psien menggaruk
jari 3 dan ke 4 kaki kiri sehingga menimbulkan luka.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan darah lengkap menunjukkan adanya peningkatan
15
leukosit (infeksi yang meluas maupun sistemik), penurunan trombosit (menunjukkan
bakterimia, toxic shock syndrome, gas gangren) dan peningkatan laju endap darah.11
Pemeriksaan gram digunakan sebagai identifikasi awal morfologi, pemeriksaan kultur
dan sensitivitas bertujuan mengidentifikasi organisme penyebab infeksi, pemeriksaan ini
merupakan pemeriksaan definitif untuk menentukan penyebab erisipelas, Pemeriksaan
kultur darah jarang dilakukan dan biasanya dilakukan bila terdapat kecurigaan
bakterimia pada pasien, dengan gejala demam tinggi >38°C, hasilnya positif pada 5%
kasus. Diagnosis banding erisipelas sangat luas, seperti gigitan serangga, ektima
gangrenosum, dermatitis kontak alergi dan necrotizing fasciitis. Erisipelas yang tidak
diobati dapat menimbulkan komplikasi berupa bula, abses, necrotizing fasciitis dan
bakterimia dengan sepsis dan infeksi yang bermetastase ke berbagai organ. 1,11,12
Pada kasus, hasil pemeriksaaan darah lengkap menunjukkan adanya leukositosis
sementara trombosit masih dalam batas normal. Pada hasil pemeriksaan gram pada dasar
erosi ditemukan leukosit 2-5/lp, kokus gram positif (+), staphylococcus (-),
streptococcus (-), batang gram negatif (-). Pemeriksaan kultur dan sensitivitas yang
diambil dari dasar erosi tidak didapatkan pertumbuhan kuman. Pada pemeriksaan kultur
dan sensitivitas ulang didapatkan bakteri Acinetobacter baumanii dan Pseudomonas
aeruginosa. Pada awal masuk, pasien dididiagnosis dengan erisipelas bulosa kruris
sinistra. Penatalaksanaan yang diberikan adalah masuk rumah sakit, terapi cairan
intravena NaCl 0,9% 20 tetes per menit oleh bagian penyakit dalam, obat antibiotik dan
analgetik diberikan sesuai dengan bagian Ilmu Penyakit Dalam yaitu cefoperazone
sulbaktam 2x1 gram intravena, paracetamol tablet 3x650 mg peroral, kompres terbuka
NaCl 0,9% 3-4x/hari @10-15 menit , pemberian krim natrium fusidat 2x/hari pada erosi
yang kering, dan disarankan untuk elevasi tungkai kiri 30 derajat. Pada kasus, tidak ada
perbaikan yang signifikan setelah pemberian antibiotika intravena, bahkan terdapat
nekrosis pada daerah yang erosi. Hasil pemeriksaan laboratorium ulang didapatkan
penurunan leukosit, tetapi LED dan CRP didapatkan tinggi, sehingga timbul kecurigaan
terhadap adanya necrotizing fasciitis.
Necrotizing fasciitis adalah infeksi dari beberapa kompartemen jaringan lunak
(dermis, jaringan subkutan, fascia superfisialis, fascia bagian dalam dan otot) yang
16
dikaitkan dengan perubahan nekrosis, terutama pada fasia. Necrotizing fasciitis ini
menyebabkan kerusakan secara cepat dan dapat menyebabkan sepsis yang mengancam
nyawa. Beberapa faktor resiko antara lain umur di atas 50 tahun, diabetes mellitus ,
pemyakit arteri oklusif, obesitas, penyakit ginjal, hipoalbuminemia, konsumsi alkohol,
pengguna obat-obatan serta pasien dengan terapi imunosupresan dan terinfeksi HIV.
Necrotizing fasciitis sendiri dapat terjadi akibat komplikasi dari erisipelas yang tidak
diobati.1,7,8
Necrotizing fasciitis dapat terjadi di semua bagian tubuh, terbanyak pada
ekstrimitas (36-55%), sisanya bisa di bagian dada (18-64%) dan perineum (±36%).13
Fase awal dari penyakit ini sangat sulit dibedakan dengan infeksi jaringan lunak lainnya,
karena keterlibatan epidermal yang minimal. Pada tahap I perjalanan penyakit ini pada
area yang terlibat dirasakan nyeri oleh penderita, nyeri dapat terlokalisir maupun meluas
dari tempat terinfeksi. Selanjutnya infeksi dapat berkembang dengan adanya demam,
bengkak, eritema, hangat dan nyeri pada perabaan, gambaran klinis yang menyerupai
erisipelas dan selulitis. Pada tahap II dapat ditemukan bula disertai gejala klinis lebih
buruk. Pada tahap II warna kulit berubah menjadi keunguan dan ditemukam adanya
gangrene kutaneus terbuka pada tahap ini, penderita tidak merasakan nyeri akibat
kerusakan saraf superfisialis dalam jaringan subkutan dan oklusi pembuluh darah
kecil.1,13
Pada pasien, dari Bagian Ilmu Penyakit Dalam didiagnosis dengan diabetes
mellitus tipe 2 dan diketahui mengalami penyakit ginjal, pemeriksaan kimia darah juga
ditemukan adanya hipoalbuminemia, dimana ketiga faktor tersebut merupakan faktor
risiko terjadinya necrotizing fasciitis. Pada pasien, daerah yang terkena adalah tungkai
kiri, terjadi perburukan gejala yang cepat dari makula eritema disertai edema, kemudian
terbentuk bula yang berisi cairan serus hemoragik dan adanya perbaikan rasa nyeri,
namun keadaan klinis pasien memburuk.
Pemeriksaan laboratorium berguna untuk membantu penegakkan diagnosis
necrotizing fasciitis. The Laboratory Risk Indicator for Necrotizing Fasciitis (LRINEC)
score digunakan dalam penegakan diagnosis awal NF dan membedakannya dengan
infeksi jaringan lunak lainnya. Skor dihitung dengan kadar CRP, white blood cell
17
(WBC), kadar hemoglobin, kadar natrium, kreatinin dan glukosa darah. Hasil
perhitungan skor dari angka 0-13. Skor LRINEC dapat juga menunjukkan prognosis
penderita. Penderita dengan skor < 6 dan dengan skor ≥ 6 masing-masing memiliki
mortalitas sebesar 11% dan 21%.1
Tabel 1. The Laboratory Risk Indicator for Necrotizing Faciitis Scoring System
Variabel Jumlah Nilai
WBC (mm3) <15
15-25
>25
0
1
2
Hemoglobin (g/dl) >13,5
11-13,5
<11
0
1
2
C-rective protein (mg/dl) <150
≥150
0
4
Sodium (mmol/L) ≥135
<135
0
2
Creatinine (µmol/L) ≤141 atau <1,6mg/dl
>141 atau >1,6mg/dl
0
2
Glukosa (mmol/L) ≤180
>180
0
1
Kategori risiko: rendah <5 (diperkirakan NF <50%), sedang 6-7
(diperkirakan NF 50–75%), dan tinggi >8 (diperkirakan NF >75%).
(Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no 8)
Pada kasus, skor LRINEC adalah 6, didapatkan dari Hb 13,4 g/dL (1 poin),
WBC 31,9 K/µL (2 poin), glukosa 206 mg/dL ( 1 poin), C-reactive protein 64,9 mg/dL
(0 poin), sodium 131 mmol/L (2 poin), kreatinin 1,45 mg/dL (0 poin) sehingga pasien
termasuk resiko sedang untuk menderita necrotizing fasciitis, dengan prognosis
mortalitas 21%.
Pemeriksaan radiologi dapat membantu diagnosis necrotizing fasciitis. Metode
unggul terkini untuk mendeteksi NF adalah CT scan dan MRI dibandingkan dengan
sonografi, scintigraphy dan radiografi polos, yang juga memberikan informasi berguna
untuk memantau dasar dan perluasan infeksi necrotizing.8 Pada CT scan terlihat
18
penebalan fasia yang asimetris, fat stranding, gas jaringan lunak yang merupakan
temuan pencitraan penting pada NF. Pemeriksaan MRI dengan gadolinium dapat
membedakan jaringan nekrotik dan peradangan atau edema.17
Pada kasus,foto kruris kiri didapatkan tulang-tulang kruris kiri tidak tampak
kelainan serta soft tissue swelling di kruris kiri, sehingga dapat disingkirkan adanya
perluasan infeksi pada tulang, seperti osteomeilitis.
Berdasarkan penyebabnya, necrotizing fasciitis dibagi 2 tipe, yaitu tipe 1
(polimikroba) dan tipe 2 (infeksi monomikrobial). Pada infeksi tipe 1 menempati 2/3
dari jenis necrotizing fasciitis, dapat berupa kombinasi dari kuman aerob dan anaerob,
dan paling sering sering terjadi pada pasien imunocompromised atau penyakit kronis
seperti diabetes mellitus.1
Pseudomonas aeruginosa paling banyak terisolasi pada
necrotizing fasciitis tipe ini. Pada NF tipe 2/monomikrobal bisa disebabkan oleh bakteri
hemolytic group A streptococcal (GAS).14,15
Tabel 2 . Penyebab Necrotizing Fasciitis.15
Aerob Anaerob Organisme air Jamur
Gram positif Gram negative
Streptococcal
spp
Grup A
Grup B
Staphylococcal
MRSA
Enterococcus
Bacillus
E.coli
Klebsiella
Citrobacter
Acetinobacter
Pseudomonasaeruginosa
Pateurella multocida
Bacteriodes spp
Peptostretococcus
Clostridium spp
Vibrio spp
V vulnificus
VParahaemolyticus
V alginolyticus
Candida
spp
Aspergillus
spp
Rhizopus
spp
Pada kasus, dari hasil pemeriksaan kultur dan sensitivitas dari dasar luka pertama
tidak didapatkan pertumbuhan kuman. Pada periksaan kultur dan sensitivitas dari dasar
luka ulang, didapatkan hasil kuman Pseudomonas auroginosa. Pada pemeriksaan dari
jaringan debridemen ( 20 januari 2015), didapatkan hasil didapatkan Acinetobacter
baumanii dan Pseudomonas aeruginosa, yang juga pernah dilaporkan terisolasi pada
19
kasus necrotizing fasciitis. Pemeriksaan kultur darah didapatkan tidak dilakukan pada
pasien.
Standar baku emas untuk mendiagnosis necrotizing fasciitis adalah biopsi
jaringan yang dilakukan selama debridemen.16
Gambaran yang terlihat dapat berupa
nekrosis koagulatif fascia superfisialis, lemak subkutan dan fascia profunda. Terdapat
juga banyak infiltrasi sel inflamasi seperti polimorphonuklear leukosit dan sel
mononuklear, trombosis pembuluh darah, mungkin terlihat nekrosis glandula subkutan
dengan atau tanpa infiltrasi bakteri yang jelas dan ditemukan banyak bakteri gram kokus
positif pada bagian atas dermis.16,17
Pada kasus didapatkan terdapat sebaran infiltrasi sel radang pada subepidermis,
dermis dan tubulus lemak yang didominasi oleh PMN neutrofil. Terdapat pula trombus
pembuluh darah yang dikelilingi sel radang MN dan PM. Dapat disimpulkan dari hasil
pemeriksaan biopsi jaringan debridemen bahwa diagnosis pasien sesuai necrotizing
fasciitis.
Prinsip penatalaksanaan pada necrotizing fasciitis adalah mengeradikasi kuman
dengan kombinasi pemberian antibiotika, diikuti radikal debridemen, terapi ajuvan,
perwatan intensif dan rekonstruksi pada luka paska operasi sehingga memeberikan hasil
yang baik pada pasien. Antibiotika yang diberikan harus berdasarkan hasil identifikasi
agen penyebab, sebelum menerima data dari mikrobiologi mengenai agen penyebab
dapat diberikan jenis antibiotika spectrum luas untuk mengatasi agen penyebab infeksi
yang mungkin. Tindakan debridemen sebaiknya dilakukan sedini mungkin dan
memastikan semua jaringan nekrotik termasuk kulit, fascia dan otot terambil saat proses
debridemen. Tindakan debridemen yang dilakukan segera, kurang dari 24 jam
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan penundaan karena akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas.4,7
Penatalaksaan penderita pada kasus, dilakukan secara komperhensif melibatkan
beberapa divisi yaitu Bagian Bedah Toraks dan Kardiovaskular dan Ilmu Penyakit
Dalam. Pada kasus penatalaksaan yang diberikan saat pertama kali masuk rumah sakit
adalah terapi cairan intravena NaCI O,9% 20 tetes/menit oleh, pemberian antibiotika
cefoperazone sulbaktam 2x1 gram intravena. Terapi antibiotika cefoperazone sulbaktam
20
yang diberikan adalah kombinasi antibiotika golongan sefalosporine generasi ke-3 yang
merupakan terapi empiris yang bersifat broad-spectrum. Pemberian cefoperazone
sulbaktam juga dikombinasikan dengan metronidazole 3x500 mg intravena selama 14
hari. Pemberian metronidazole bertujuan untuk mengeradikasi bakteri anaerob.
Kemudian terapi dialihkan menjadi Levofloxacine 1x500 mg intravena. Tindakan
debridemen pada pasien dilakukan pada hari ke 13 pasien dirawat di rumah sakit.
Sekitar 70% dari penderita necrotizing fasciitis mengalami diabetes mellitus.
Diabetes merupakan kumpulan penyakit metabolik yang bercirikan adanya
hiperglikemia akibat gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.
Diabetes melitus terbagi menjadi 2 tipe berdasarkan etiopatogenesisnya, diabetes
mellitus tipe I disebabkan mutlak oleh defisiensi sekresi insulin, sedangkan diabetes
melitus tipe II disebabkan kombinasi antara resistensi terhadap kerja insulin dan tidak
adekuatnya respon terhadap sekresi insulin. Kriteria diagnosis diabetes melitus menurut
American Diabetes Association antara lain adalah; kadar HbA1C ≥ 6,5 ,atau gula darah
puasa ≥126 mg/dl atau gula darah 2 |
jam post prandial ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/l) atau, pada pasien dengan gejala
hiperglikemia dan krisis hiperglikemia didapatkan gula darah ≥200 mg/dl.18,19
Suatu studi epidemiologi mengenai infeksi menunjukkan bahwa insiden infeksi
pada pasien dengan diabetes mellitus lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa diabetes
melitus.8
Penyakit infeksi lebih sering dan lebih berat terjadi pada penderita dengan
diabetes melitus dan berpotensi meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Individu
dengan diabetes melitus merupakan faktor predisposisi terhadap infeksi kulit dan
jaringan lunak.19
Mekanisme utama penderita diabetes mellitus lebih rentan terhadap infeksi
disebabkan antara lain oleh gangguan sistem komplemen, peran sitokin inflamasi,
leukosit polimorfonuklear dan mononuklear, peran antibodi.19
Sistem komplemen merupakan salah satu mekanisme utama yang bertanggung
jawab terhadap sistem imun humoral. sistem komplemen terdiri dari serum dan protein
permukaan yang berfungsi dalam meningkatkan opsonisasi dan fagositosis
mikroorganisme melalui makrofag dan netrofil. dan memicu lisisnya mikroorganisme
21
tersebut.selain itu, aktivasi komplemen juga menghantarkan sinyal sekunder untuk
mengaktifkan limfosit B untuk memproduksi antibodi.
Sitokin inflamatori juga dapat berperan dalam perjalanan diabetes mellitus.Sel
mononuklear dan monosit pada penderita dengan diabetes melitus mensekresi
Interleukin 1 dan interleukin 6 dalam jumlah sedikit sebagai respon terhadap
lipopolisakarida. Rendahnya produksi interleukin akibat adanya kerusakan intrinsik
sel individu dengan diabetes melitus.Studi lain menyatakan peningkatan glikasi dapat
menghambat produksi interleukin-10 oleh sel myeloid, serta interferon gamma dan
tumor nekrosis faktor oleh sel T.
Rendahnya mobilisasi leukosit polimorfonuklear, kemotaksis dan aktivitas
fagositosis dapat timbul dalam keadaaan hiperglikemia. Lingkungan hiperglikemia
juga menghambat fungsi antimikrobial dengan cara menghambat glukosa 6 phosphat
dehidrogenase (G6PD) meningkatkan apoptosis leukosit polimorfonuklear dan
mengurangi transmigrasi leukosit polimorfonuklear melalui endotelium,
Pada jaringan yang tidak membutuhkan insulin untuk transportasi glukosa,
lingkungan hiperglikemia meningkatkan kadar glukosa interselular yang kemudian
dimetabolisme menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Menurunnya kadar NADPH
mencegah regenerasi molekul yang berperan pada mekanisme antioksidan dari sel,
sehingga meningkatkan kerentanan stres oksidatif. Pada pasien dengan diabetes
mellitus, glikasi imunoglobulin timbul seiring dengan peningkatan HbA1c, dan
keadaan ini dapat membahayakan fungsi biologik dari antibodi.
Terapi untuk diabetes melitus tipe II dapat menggunakan agen oral
hipoglikemik (OHA) yang dapat mengurangi resistensi insulin atau membantu sekresi
insulin dan efektif pada tahap awal perjalanan penyakit diabetes melitus, sedangkan
terapi insulin efektif di semua tahap perjalanan penyakit,dan perlu diberikan untuk
mencapai kadar glukosa yang terkontrol.18,19
Pada kasus pasien diterapi dengan menggunakan terapi insulin berupa injeksi
novorapid dan lantus secara subkutaneus.
Pada pasien tindakan rawat luka dan evaluasi paska debridemen dilakukan 48
jam pertama oleh bagian Bedah Toraks dan Kardiovaskular. Rawat luka dilakukan
22
dengan cairan povidon iodine 1% yang dilakukan tiap 2 hari sekali serta direncanakan
tindakan skin graft setelah tumbuh jaringan granulasi.
Prognosis pada kasus ini adalah dubius ad bonam, penderita mengalami
perbaikan klinis, dimana telah terjadi jaringan granulasi , tidak terdapat infeksi
sekunder. Edukasi perawatan luka dengan prinsip aseptik (cuci tangan dengan sabun,
alat yang bersih dan steril, memakai sarung tangan) sehingga mencegah terjadi infeksi
kembali. Penderita memerlukan perhatian khusus terhadap perawatan luka yang
kontinyu dan higienis. Adanya penyakit penyerta pada penderita yaitu diabetes mellitus
tipe 2 turut memperberat keadaan necrotizing fasciitis.
KESIMPULAN
Pada laporan kasus ini dilaporkan satu kasus erisipelas bulosa dengan komplikasi
necrotizing fasciitis regio kruris sinistra pada seorang laki-laki penderita diabetes
mellitus tipe 2 Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan penunjang. Penyakit penyerta yang memperberat keadaan penderita ini
adalah diabetes mellitus tipe 2. Penatalaksanaan pada penderita ini dilakukan secara
komprehensif melibatkan beberapa divisi yaitu bagian Kulit dan Kelamin, Bedah Toraks
dan Kardiovaskuler dan Ilmu Penyakit Dalam. Penderita diberikan terapi cairan NaCl
0,9%, antibiotik cepoferazone sulbaktam 2x1 gram intravena, metronidazole 3x500 mg
intravena, levofloxacine 1x500 mg intravena, kompres NaCl 3-4 kali sehari pada erosi,
tindakan operatif debridemen dan rencana dilakukan skin graft. Respon penderita
terhadap tatalaksana yang telah diberikan baik. Prognosis pada kasus adalah dubius ad
bonam.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Lipworth AD, Saavedra AP, Weinberg AN, Johnson RA. Non-Necrotizing
Infection of the Dermis and Subcutaneus Fat: Cellulitis and Erysipelas. In :
Goldsmith LA, Katz SI, Leffel DJ, Wolff K, eds: Fitzpatrick’s Dermatology In
General Medicine. 8th
ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2012. P 1720-31.
2. Supriyantini IDA, Widyastuti IGAM S, dkk. Profil Penderita Infeksi Jaringan
Lunak yang Dirawat Inap di RSUP Sanglah Denpasar; Pertemuan Ilmiah
Tahunan XII PERDOSKI. Solo, 2012: 223.
3. Taro S and Ysuharu T. Necrotizing Fasciitis. Internal Medicine. 2010: p 1051-
1057.
4. Abhishek V, Rajeev P and Durganna T. Necrotizing Fasciitis; Diagnostic
Challenges and Current Practices. ISRN Infection Diseases. Volume 2014: 8
pages.
5. Misiakos E, Bagias G, Patapis P. Current Concepts in the Management of
Necrotizing Fasciitis. Frontiers in Surgery. Volume 1: p 1-10.
6. Data Buku Besar Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Pendidikan
Sanglah Denpasar tahun 2014.
7. Vijayakumar A, Pullagura R, and Thimmappa D. Necrotizing Fasciitis:
Diagnostic Challenges and Current Practices. ISRN Infectious Diseases. vol.
2014, Article ID 208072, 8 pages.
8. Shaikh N, Khawaiter J, and Al-Thani H. Necrotizing Fasciitis: A Surgical and
Medical Emergency. Sci Res J. 2012; 3: 518-525.
9. Malik Z, Ashraf MN, Akhtar N, Afzal MK and Latif M. Necrotizing Fasciitis of
lower limb: A Surgical Emergency. JRMC. 2012: P 135-137.
10. Hayat AS, Siddiqui MS and Shaikh N. Update in the Management of Cutaneous
Manifestation of Diabetes Meliitus. World Applied Sciences Journal. 2010: p
394-399.
11. Eron LJ. Cellulitis and Soft Tissue Infection: In The Clinic. Amercan Collage of
Physicians.2009: 1-13.
12. Celestin R, Brown J, Kihiczak G, Schwartz RA. Erysipels: A Common
Potentially Dangerous Infection. Acta Dermatoven APA. 2007; 16 (3);123-7.
13. Irwin K, English W. The Diagnosis and Mangement of Necrotizing Faciitis
Infection. Anasthesia Tutorial of the Week 298. 2013: p 1-7.
14. Melissa L, Thompson and Martin C. Management of Necrotizing Fasciitis.
Pharmacology Update. February 2011: p 111-115.
15. Lipworth AD, Saavendra AP, Weinberg AN and Johnson RA, Necrotizing Soft
Tissue Infection: Necrotizing Fasciitis , Gangrenous Cellulitis and Myonecrosis.
Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine.8th
ed USA: McGraw-Hill.2012:
p 2069-2177.
16. Machado NO.Necrotizing Fasciitis ; The Importance of early diagnosis, prompt
surgical debridement and adjuvant theraphy. North American Journal of Medical
Sciences. March 2011: p107-118.
24
17. American Diabetes Association.Diagnosis and Classification of Diabetes
Mellitus.Diabetes care.2013;36 (1):S67-74.
18. Catrina,Lucian Eduard, et al. Soft tissue infections: risk factors in diabetes
mellitus patients.Medica-a journal of clinical medicine.2009;4 (4): 300-305.
19. Casqueiro,Juliana, Casqueiro,Janine, Alves Cresio.Infections in patients with
diabetes mellitus: A review of pathogenesis.Indian Journal of Endocrinology
and Metabolism.2012;16 (1):S27-S36.