perempuan bali dalam ritual subak -...

36
177 Bab Delapan Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak Pengantar Dari bahasan bab-bab empiris sebelumnya, pada bab sintesa ini saya membahas tentang bagaimana perempuan memiliki peran yang sentral dalam pelaksanaan ritual-ritual subak. Sebagai salah satu daerah dengan budaya dan adat yang masih kuat, maka perempuan Bali sering dihadapkan pada isu-isu ketidak setaraan gender. Walaupun dari penggalian data di lapangan maka isu kesetaraan gender terutama pada pelaksanaan ritual subak tidak sepenuhnya terbukti. Justru dalam pelaksanaan ritual subak akses bagi perempuan sangat terbuka, terutama akses akan pengambilan keputusan. Hal ini dapat dibuktikan pada saat anggota perempuan harus memutuskan semua persiapan ritual sampai dengan pelaksanaannya, tanpa campur tangan anggota subak laki-laki. Peran masing-masing gender dalam hal ini adalah khas. Jadi dalam studi ini kesetaraan gender lebih berkaitan dengan budaya, sehingga terkadang perempuan memaknainya sebagai suatu kewajiban. Ritual sebagai salah satu unsur yang terkait dengan pura subak juga berperan penting dalam setiap gerak langkah subak. Kondisi dilematis antara pelestarian kearifan lokal (revitalisasi pertanian) dan perkembangan Bali sebagai daerah wisata memberikan dampak secara menyeluruh (multiplier effects) pada keberadaan subak dengan kegiatan ritualnya. Permasalahan yang dihadapi umat Hindu di Bali tentang bagaimana keefektifan pelaksaaan ritual baik secara individu maupun kolektif dan perubahan pada elemen subak yang lain seperti

Upload: truonglien

Post on 21-Mar-2019

252 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

177

Bab Delapan

Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak Pengantar

Dari bahasan bab-bab empiris sebelumnya, pada bab sintesa ini saya membahas tentang bagaimana perempuan memiliki peran yang sentral dalam pelaksanaan ritual-ritual subak. Sebagai salah satu daerah dengan budaya dan adat yang masih kuat, maka perempuan Bali sering dihadapkan pada isu-isu ketidak setaraan gender. Walaupun dari penggalian data di lapangan maka isu kesetaraan gender terutama pada pelaksanaan ritual subak tidak sepenuhnya terbukti. Justru dalam pelaksanaan ritual subak akses bagi perempuan sangat terbuka, terutama akses akan pengambilan keputusan. Hal ini dapat dibuktikan pada saat anggota perempuan harus memutuskan semua persiapan ritual sampai dengan pelaksanaannya, tanpa campur tangan anggota subak laki-laki. Peran masing-masing gender dalam hal ini adalah khas. Jadi dalam studi ini kesetaraan gender lebih berkaitan dengan budaya, sehingga terkadang perempuan memaknainya sebagai suatu kewajiban.

Ritual sebagai salah satu unsur yang terkait dengan pura subak juga berperan penting dalam setiap gerak langkah subak. Kondisi dilematis antara pelestarian kearifan lokal (revitalisasi pertanian) dan perkembangan Bali sebagai daerah wisata memberikan dampak secara menyeluruh (multiplier effects) pada keberadaan subak dengan kegiatan ritualnya. Permasalahan yang dihadapi umat Hindu di Bali tentang bagaimana keefektifan pelaksaaan ritual baik secara individu maupun kolektif dan perubahan pada elemen subak yang lain seperti

Page 2: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

178

luasan lahan pertanian, mobilitas anggota subak serta sarana irigasi yang tidak terhindarkan akibat adanya pengaruh perkembangan pulau Bali sebagai daerah pariwisata menjadi sesuatu yang perlu dipikirkan pemecahannya. Yang menjadi menarik adalah di tengah perubahan-perubahan yang terjadi maka subak masih tetap melaksanakan kegiatan ritual yang berkaitan dengan kegiatan di lahan pertanian. Situasi seperti ini oleh (Nordholt dalam Harris et al, 2004) disebut dengan konsep "changing continuities" menggambarkan apa yang 'tetap bertahan' dalam ‘perubahan’ sebagai-mana terjadi dalam sebuah proses perkembangan. Elemen lain seperti lahan pertanian, anggota subak dan sistem irigasi boleh berubah (seperti telah dikemukakan dalam bab empiris), akan tetapi ritual yang berkaitan dengan elemen pura subak tetap bertahan.

Walaupun sangat sulit untuk menjelaskan secara logis makna dari setiap pelaksanaan ritual tersebut, akan tetapi realitasnya ritual tersebut menjadi spirit yang mampu menjamin keajegan pertanian dan produksi pangan di Subak Wongaya Betan. Di samping itu adanya kepercayaan dan keyakinan akan agama Hindu yang dianut anggota subak, maka ritual seperti sebuah habitus bagi anggota subak. Sehingga subak akan merasakan kehilangan identitas apabila tidak melaksanakan ritual dalam pengusahaan lahan pertanian mereka. Konsep habitus yang dikemukakan Bourdieu (1990) yang menyatakan bahwa akan ada keterkaitan antara praktik, habitus dan ranah (practice, habitus and field), pemaknaan realitas kehidupan (Berger and Luckman, 2006), dan spiritualitas (Zohar and Marshall, 2004) merupakan beberapa konsep yang saling mendukung dalam menjelaskan fenomena ritual di lahan pertanian yang tetap diajegkan oleh subak dalam rangka menjamin ketahanan pangan dan katahanan hayati di Subak Wongaya Betan.

Peran Ritual dalam Kehidupan Masyarakat Hindu di Bali

Dalam pemahaman umat Hindu di Bali Ritual atau Upacara merupakan bagian dari tiga filosofi Agama Hindu yaitu Tattwa, Etika dan Upakara (ritual). Dalam pelaksanaannya memang diakui dari ketiga filosofi tersebut aspek ritual masih menempati posisi terbanyak

Page 3: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak

179

dilakukan Umat Hindu di Bali. Hal ini diduga karena memang dari sisi penghayatan tentang ajaran agama Hindu maka masyarakat di Bali masih memilih melaksanakan filosofi ritual dalam mengungkapkan rasa Bhakti kehadapan Sang Pencipta. Walaupun aspek Tattwa dan Etika tetap menjadi dasar dalam setiap tindakan umat. Karena dalam pelaksanaannya ketiga filosofi ini akan berjalan bersamaan, walaupun memang porsi penekanannya berbeda sesuai dengan penghayatan masing-masing individu atau kelompok.

Ada pengertian yang ambigu (mendua) tentang manfaat ritual dalam pelaksanaannya. Dari persepsi suci baan banten, suci baan kenehe, yang memiliki arti kesucian bisa diraih dengan banten (sesajen), dan kesucian juga dapat diraih dengan perasaan (kenehe) tanpa banten (tanpa ritual) maka kesucian atau kebahagiaan hidup sebenarnya dapat diraih baik melalui perasaan suci, maupun bisa dicapai melalui pelaksanaan ritual yang menggunakan sesajen sebagai perangkatnya. Berger and Luckman (1990) menyikapi ambigusitas dari ritual dan menyatakan adanya pengertian yang mendua dari manfaat ritual mendorong banyak keraguan dengan fungsi dan manfaat dari ritual terutama dikalangan generasi muda, yang mulai merasakan adanya keterbatasan waktu karena tuntutan pekerjaan terutama disektor pariwisata. Golongan yang lebih memberikan penekanan pada konsep suci baan kenehe (meraih kesucian tanpa melalui pelaksanaan ritual) biasanya akan lebih memilih penekanan pada filosofi etika dibandingkan dengan kerepotan melaksanakan ritual yang tentu saja harus disertai dengan persiapan pembuatan sesajen, sehingga sering ada persepsi bahwa pelaksanaan ritual pada agama Hindu sebenarnya merupakan implikasi dari budaya dan adat di Bali. Hal ini sebenarnya sudah diamati oleh Geertz (1992) bahwa agama Hindu di Bali memang tidak dapat dipisahkan dari adat, budaya dan seni yang sudah mengakar pada masyarakat Bali.

Pada penelitian ini ditemukan bahwa masyarakat Hindu di Bali termasuk subak masih memposisikan ritual sebagai cara yang terbaik untuk mengekspresikan ketaatan dan kepercayaan terhadap Tuhan. Sehingga ritual adalah sesuatu yang mutlak dan menjadi spirit bagi

Page 4: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

180

masyarakat untuk tetap mempertahankan kawasan suci sebagai refleksi tempat berstananya (tempat tinggal) Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasiNya.

Sebagai agama yang diakui oleh Negara maka ritual dalam agama Hindu akan berbeda dengan ritual suku yang masih eksis di beberapa daerah (misalnya seperti Marapu di Sumba1 dan Sedulur Sikep di Sukalila)2. Ritual dalam agama Hindu memiliki legitimasi sehingga dalam pelaksanaannya mendapat dukungan penuh dari pemerintah, sehingga pengakuan akan ritual-ritual dalam agama Hindu lebih mempermudah untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah dan lebih mempermudah menggunakannya sebagai modal pemberdayaan masyarakat dalam hal ini dalam menjamin ketahanan pangan dan ketahanan hayati khususnya untuk Bali. Fenomena ini yang kemudian menimbulkan penguatan pada kebalian orang Bali (identitas orang Bali sebagai umat Hindu dan anggota adat). Aspek kebalian ini juga diteliti oleh Yulianto (2011) pada komunitas masyarakat Bali Nuraga di Lampung. Akan tetapi Yulianto belum secara eksplisit membahas tentang manfaat dari kebertahanan kebalian komunitas Bali Nuraga terhadap peran serta komunitas tersebut dalam mendukung pemba-ngunan. Padahal sebenarnya banyak aspek dari kebalian yang di-pertahankan oleh komunitas Bali Nuraga yang dapat diarahkan men-jadi sebuah partisipasi dalam pembangunan berkelanjutan.

Penelitian ini membuktikan keterkaitan yang sangat erat antara masyarakat Hindu Bali dengan konsep Tri Hita Karana yang meng-hormati keseimbangan hubungan antara manusia dengan Sang Pen-cipta, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Di samping itu masih eksisnya kearifan lokal (subak) yang secara intensif dan berkelanjutan melaksanakan kepercayaan dan keyakinannya untuk menghormati alam dalam rangka menjamin ketahanan pangan dan ketahanan hayati. Demikian juga dengan adanya kawasan suci terma-suk pura subak yang harus dipelihara dan disungsung oleh anggota subak dengan mengimplementasikan konsep Tri Hita Karana untuk

1 Marapu hasil penelitian Palekahelu, (2010) 2 Sedulur Sikep hasil penelitian Samiyono, D (2010)

Page 5: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak

181

menjamin ketahanan pangan dan hayati. Selain itu adanya pengakuan dunia terhadap keberhasilan subak dalam menjaga kelestarian budaya dan lingkungan dengan adanya pengakuan wilayah ini sebagai kawasan budaya dunia (culture heritage) yang lebih menguatkan wilayah ini sebagai model pemberdayaan masyarakat dalam rangka penjaminan ketahanan pangan dan ketahanan hayati seperti disajikan dalam Gambar 1.

Sumber Daya Perempuan sebuah Kekuatan dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Hayati di Bali

Dalam mengimplemtasikan konsep harmonisasi Tri Hita Karana ternyata peran perempuan sangatlah besar. Malahan pada beberapa kegiatan seperti persiapan dan pelaksanaan ritual peran tersebut sangat dominan. Seperti telah dipaparkan pada bab enam bahwa perempuan sebagai bagian dari subak sangat menentukan pelaksanaan ritual pertanian yang berkaitan dengan awig-awig subak. Walaupun terka-dang ritual yang dilakukan secara personal sebagai bagian dari keluarga Hindupun menjadi tanggung jawab perempuan. Kegiatan ritual yang dilakukan sangat intensif dan merupakan realitas kehidupan perem-puan sebagai individu maupun sebagai bagian dari anggota subak. Hal ini bila dikaitkan dengan adanya pura yang harus disungsung3 sebagai bagian keluarga Hindu dan anggota subak yang termasuk dalam desa Adat, maka dapat dikatakan bahwa ritual sebagai realitas kehidupan perempuan dan Subak Wongaya Betan. Sebagai anggota desa Adat ada Pura Kahyangan Tiga yang harus disungsung, sedangkan sebagai bagian dari anggota Subak Wongaya Betan mereka memiliki pura subak yang harus disungsung.

Walaupun sering perempuan dikatakan masih menghadapi keti-dak setaraan dalam setiap perannya, akan tetapi dalam hal penentuan kegiatan ritual dalam keluarga dan subak, ternyata perempuan memi-liki otoritas. Jadi pada saat akan melakukan kegiatan ritual di subak ternyata yang menentukan hari pelaksanaan ritual adalah sangkep

3Nyungsung adalah bentuk kata kerja dari sungsung yang berarti melakukan persem-bahyangan wajib di pura tersebut.

Page 6: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

182

(rapat) krama istri subak. Setelah diperoleh kesepakatan antar krama istri, baru kemudian disiarkan kepada seluruh anggota subak yang lainnya (dijelaskan dengan lebih detail pada bab enam). Jadi fakta ini menunjukkan bahwa dalam komunitas Hindu dan juga subak ternyata ketimpangan peran yang selalu didengungkan dialami oleh perempuan tidak terjadi. Pengambilan keputusan dalam beberapa kegiatan dapat dilakukan oleh krama istri. Dalam pelaksanaan ritual di komunitas Hindu di Bali termasuk subak, tidak terjadi ketimpangan peran gender.

Malahan dari hasil wawancara dan observasi di lapangan, ter-nyata banyak sekali kewenangan yang dimiliki oleh krama istri. Misalnya saja anggota perempuan Subak Wongaya Betan memiliki peran khusus dalam mengatur organisasi pengolah teh dan kopi beras merah organik KTT Kuntum Sari. Seperti diketahui Subak Wongaya Betan mengusahakan pertanian beras organik dan pengolahan limbah ternak sapi. Dalam pelaksanaan usaha ini memang anggota secara struktural adalah anggota subak pria, akan tetapi dalam pelaksanaan kegiatan seperti pemasaran produk dan pemeliharaan jaringan dengan pihak pembeli dilakukan oleh anggota subak perempuan. Salah satunya adalah Ibu Kadek Rusmini selaku Ketua Kelompok Kuntum Mekar. Dari fenomena ini dapat dilihat bahwa Subak Wongaya Betan tidak memposisikan perempuan sebagai anggota kelas dua, tetapi subak memberikan kewenangan yang sama kepada perempuan. Hal ini juga dibuktikan dengan tidak adanya pembatasan peran gender dalam awig-awig subak yang menjadi kaki dan tangan dari organisasi subak, sekaligus akan mematahkan pendapat bahwa pada masyarakat dengan adat dan budaya yang masih berlaku kuat, biasanya perempuan ditem-patkan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan pria. Ter-bukti di Bali terutama dalam organisasi tradisional subak ketimpangan posisi ini tidak ditunjukkan baik dalam bentuk peraturan maupun implikasinya di lapangan.

Perlu mendapat perhatian pemerintah terutama yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat pedesaan dan Dinas Pertanian terkait dengan ruang lingkup subak untuk lebih memperhatikan pemberdayaan perempuan sebagai aset yang memiliki potensi yang

Page 7: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak

183

sama dengan petani pria. Untuk ke depannya tidak akan terdengar lagi slogan-slogan bahwa ”petani itu selalu dianalogikan dengan pria’. Hal ini untuk lebih memberikan pemberdayaan yang lebih merata dalam konteks gender. Hasil penelitian yang dilakukan Griya (1985) di Subak Rejasa juga menghasilkan kenyataan bahwa etos kerja merupakan prinsip kehidupan petani. Dengan prinsip ini maka petani sebagai anggota subak akan terus berusaha untuk bekerja. Prinsip kehidupan petani berupa etos kerja berlaku baik bagi petani pria maupun perem-puan. Karena memang secara normatif jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan adalah spesifik gender. Walaupun memang pada kasus di Subak Wongaya Betan, masa kini banyak pekerjaan petani pria diambil alih oleh petani perempuan.

Inti dari bahasan sub bab ini adalah perempuan merupakan sumber daya yang mampu mendukung pencapaian ketahanan pangan dan hayati. Hal ini sangat relevan dikedepankan karena semua aspek yang berkaitan dengan pelestarian budaya, lingkungan, ketahanan pangan dan ketahanan hayati hampir semuanya mendapat sentuhan pemikiran perempuan. Misalnya saja dari peran perempuan dalam keluarga, dalam subak dan dalam masyarakat adat yang ditempatkan pada posisi-posisi strategis. Jadi pada kenyataannya masyarakat Hindu dan subak di Bali menganut kehidupan berprinsip etos kerja spesifik gender.

Hubungan Sebab Akibat (Karmapala) sebagai Buffer

Kepercayaan dan keyakinan akan adanya reinkarnasi (roh tidak pernah mati akan tetapi akan kembali menjelma pada kehidupan berikutnya) juga merupakan satu kekuatan yang melekat sebagai identitas Umat Hindu di Bali. Keterkaitan keyakinan reinkarnasi ini akan terimplikasi pada keyakinan dan kepercayaan adanya Karmapala (pahala dan sanksi) bagi umat Hindu yang melakukan perbuatan baik dan buruk (bertentangan dengan aturan agama Hindu). Fenomena ini akan sangat terkait dengan adanya sanksi moral, sosial dan spiritual pada setiap gerak kehidupan umat Hindu di Bali. Dari makna kata karmapala yang berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti karma

Page 8: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

184

adalah perbuatan dan pala adalah buah atau pahala atas perbuatan yang dilakukan maka setiap gerak gerik umat Hindu akan selalu terikat dengan konsep karmapala ini. Pandit (2005: 112-122) menyatakan sesuai dengan kepercayaan Hindu bahwa manusia menciptakan nasib sendiri, melalui pikiran dan perbuatan masing-masing individu, sehingga ada petikan dari tulisannya yaitu ”apa yang engkau tanam, itulah yang akan engkau tuai”.

Perbuatan manusia tidak terjadi begitu saja tanpa akibat, akan tetapi diyakini oleh umat Hindu bahwa perbuatan akan selalu bersifat dinamis. Yang lebih menguatkan dan meyakinkan umat terhadap konsep ini adalah bahwa segala karmapala yang dihadapi akan ber-pengaruh pada keturunan berikutnya. Jadi kalau generasi saat ini berbuat maka dengan adanya kepercayaan dan keyakinan reinkarnasi maka generasi berikut akan mewarisi semua pahala generasi sebelum-nya. Jadi konsep-konsep yang diyakini oleh umat Hindu di Bali dari Tri Hita Karana, Karmapala dan juga Reinkarnasi merupakan spirit bagi umat Hindu untuk berbuat yang terbaik dalam setiap fase kehidupan-nya. Konsep ini memang merupakan konsep yang dianut oleh agama-agama kuno seperti halnya juga Buddha, yang mungkin agak berbeda dengan sanksi hukuman dan pahala pada agama modern (Islam dan Kristen) yang mungkin tidak akan diwariskan kepada generasi berikutnya.

Menyimak fakta di lapangan maka sebenarnya kehidupan menurut pandangan hidup masyarakat Hindu termasuk petani di Bali ditentukan oleh dua hal yaitu nasib dan perbuatan. Hal ini memiliki makna bahwa kehidupan petani memiliki dua dimensi yaitu niskala (berhubungan dengan kepercayaan terhadap Tuhan dan hal-hal yang diluar batas dunia nyata), dan sekala yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan dunia nyata. Sebenarnya konsep ini pun sangat terkait dengan filosofi Tri Hita Karana yang masih terimplementasi dengan baik pada seluruh aras kehidupan masyarakat petani. Ini tampak pada kehidupan petani yang bersifat religius dan juga realistis, bahwa dalam setiap sendi kehidupan petani akan muncul aktivitas dan kreativitas di samping juga kekuatan supranatural. Kenyataan ini merupakan suatu

Page 9: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak

185

hubungan yang sangat kuat di tengah semakin ditinggalkannya bebe-rapa kearifan lokal yang sebenarnya masih mengakar di masyarakat petani. Dalam setiap kehidupan petani akan selalu dilandasi dengan keyakinan dan kepercayaan bahwa apa yang diperbuat saat ini akan mendatangkan sesuatu yang bersifat causa prima (sebab akibat). Keyakinan ini sebenarnya merupakan kekuatan untuk tetap menjaga setiap perbuatan dalam kehidupan nyata.

Sesuai dengan tema pada bagian ini yaitu karmapala sebagai buffer (penyangga) segala perbuatan umat Hindu untuk selalu ber-pegang pada konsep keseimbangan Tri Hita Karana dan keyakinan akan karmapala, maka sangat mungkin konsep-konsep ini menjadi sebuah modal tetap bertahannya cara-cara berkehidupan secara tradisional yaitu kehidupan berpegang pada praktek kearifan lokal menuju ketahanan pangan dan ketahanan hayati.

Praktik Kearifan Lokal Modal Kearifan Lingkungan

Pengertian kearifan lokal yang masih dipraktikkan di daerah penelitian adalah kepercayaan lokal dan praktik tradisional yang masih dilakukan sejak jaman nenek moyang sampai saat ini. Jadi nilai kearifan lokal merupakan nilai warisan leluhur yang masih dipercaya dan diyakini oleh masyarakat sehingga tetap dilaksanakan sampai saat ini. Kalau menyimak kearifan lokal yang dibahas oleh Gerung (2008) yang akan merekonstruksi kebudayaan, maka kearifan lokal yang masih eksis di Bali memang merupakan bagian dari budaya Bali dan bahkan agama yang dianut masyarakat Bali. Jadi kearifan lokal adalah bagian dari kebudayaan karena secara tidak langsung apabila kearifan lokal sudah memiliki nilai dan menjadi norma bagi masyarakat sekitar maka kearifan lokal tersebut akan dapat disebut sebagai kebudayaan. Seperti misalnya kepercayaan dan keyakinan umat Hindu di Bali akan adanya azab apabila salah satu ritual yang harus dilaksanakan dilanggar oleh penganut Hindu. Kepercayaan dan keyakinan inilah yang mendorong begitu kuatnya keterikatan umat Hindu di Bali termasuk subak untuk melaksanakan ritual-ritual yang telah ditetapkan pada penanggalan

Page 10: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

186

Hindu termasuk ritual-ritual di lahan pertanian yang dilakukan oleh anggota subak.

Palekahelu (2010) sebenarnya juga membahas tentang praktik tradisional Marapu di Sumba yang disebut dengan kepercayaan lokal, yang dipercaya oleh masyarakat sebagai kekuatan dalam memper-tahankan ketersediaan pangan pada masyarakat Wunga. Akan tetapi praktik Marapu hanya berdasarkan kepada agama suku yang tidak mendapatkan legitimasi dari negara, sehingga tidak memiliki kekuatan mengikat terhadap pemerintah. Berbeda halnya dengan ritual yang menjadi kepercayaan lokal masyarakat Hindu di Bali yang merupakan implementasi dari agama Hindu yang diakui pemerintah sebagai agama negara. Keuntungan dari ritual yang dipraktikkan oleh agama Hindu adalah adanya dukungan dari pemerintah terhadap praktik-praktik yang dilaksanakan, sehingga akan mempermudah melegalisasi praktik-praktik agama negara untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pembangunan. Dengan kata lain bahwa ritual maupun praktik tradi-sional yang dilaksanakan subak akan lebih mudah mendapatkan legitimasi sebagai salah satu modal mempercepat pembangunan melalui penjaminan ketahanan pangan dan hayati. Karena seperti penjelasan Triguna (2006) bahwa kearifan lokal adalah modal sosial dalam ke-arifan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya alam sebagai basis dalam pemenuhan kehidupan manusia. Sehingga dengan praktik-praktik kearifan lokal maka kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan dasar manusia baik berupa sandang, pangan dan papan selalu akan mengacu pada pelestarian sumberdaya alam yang merupakan asas dasar dari pembangunan berkelanjutan.

Ritual sebagai Media Penghayatan Religiositas dan Modal Sosial

Pada beberapa penjelasan bab terdahulu memang ritual menda-tangkan berbagai tanggapan baik dari umat non-Hindu bahkan dari Umat Hindu sendiri. Banyak yang menilai ritual yang dilakukan demikian intensif oleh umat Hindu tidak masuk akal, hanya hura-hura, pemborosan dan tanpa makna yang jelas. Berbagai pandangan ini memang akhirnya menjadi tantangan bagi umat Hindu untuk men-

Page 11: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak

187

jelaskan dan meyakinkan diri bahwa berbagai pandangan tersebut tidak semuanya benar. Pertama yang perlu dipahami bahwa ritual yang dilakukan umat Hindu memiliki tujuan dan maksud tertentu yang dipercaya dan diyakini oleh umat yang melaksanakannya. Kedua adalah keyakinan para pelaksana ritual akan arti ritual yang dilak-sanakan sangatlah penting karena dengan kayakinan penuh maka akan muncul kesadaran untuk melaksanakan ritual dengan tulus ikhlas sesuai dengan makna sebenarnya (dalam istilah Hindu bagian Tattwa).

Pandit (2005: 123-127) menyatakan ritualisme yang dilakukan oleh umat Hindu sebenarnya dimaksudkan sebagai alat pemula dalam menjalankan kehidupan spiritual. Dalam Hindu ritualisme dianggap mampu menciptakan lingkungan yang suci, yang mendorong timbul-nya rasa pengabdian bagi umat ke hadapan Sang Pencipta. Walaupun memang pernah disinggung bahwa ritual sebenarnya bukan merupa-kan keharusan untuk dilakukan oleh Umat Hindu. Akan tetapi dari hasil penelitian Geertz (1992) tentang Kebudayaan dan Agama maka bagi umat Hindu di Bali agama, budaya dan seni adalah saling men-dukung dan menguatkan. Sehingga bagi umat Hindu di Bali ritualisme sudah terikat dalam budaya kehidupan masyarakat Hindu Bali. Pada kenyataannya memang setiap ritual keagamaan yang dilakukan memi-liki dasar filsafat (dasar keilmuan), tidak ada ritual yang dilakukan atas dasar dogma (hanya mengikuti yang sudah dilaksanakan oleh penda-hulu tanpa pemahaman yang jelas). Fenomena ini juga dapat dibuk-tikan dalam serangkaian ritual yang dilakukan oleh subak di daerah penelitian. Misalnya, ritual yang mengawali kegiatan pertanian di sawah yaitu mendak toya (mapag toya) merupakan satu ritual yang dimaksudkan untuk menjemput air dari sumber air yang terletak di hulu subak. Dalam pelaksanaan ritual ini maka seluruh anggota subak (laki-laki) akan melakukan pembersihan di sekitar sumber air, mem-perbaiki saluran air menuju masing-masing sawah anggota subak.

Dari kegiatan ini terlihat arti yang sangat dalam bahwa subak harus selalu menjaga dan memelihara sumber air agar tetap mampu menyediakan air bagi sawah anggota subak. Di sisi lain adalah bahwa masih ada hubungan yang baik antara anggota subak dalam memikir-

Page 12: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

kan kepentingan bersama. Dalam rangka persiapan sesajen untuk ritual juga terlihat adanya kebersamaan diantara anggota subak perempuan yaitu dalam mempersiapkan sesajen (pada bab 7 sudah dipaparkan dengan lebih jelas tentang proses persiapan sesajen), sehingga dalam setiap kegiatan ritual di samping terjadi penggalangan kebersamaan juga terjadi penghayatan religiositas bagi anggota subak. Kalau dilihat dari realitas ini maka sangat jelas terlihat bahwa ada usaha pemeliharaan modal sosial dalam aktivitas ritual yang dilaksanakan.

Gambar 23

Sumber air Subak Wongaya Betan (Sumber: Dokumentasi Martiningsih, 2010)

Seperti dijelaskan juga dalam Pandit (2005) bahwa ritual ke-agamaan Hindu sebenarnya juga membantu dalam perkembangan dan peningkatan kualitas moral. Hal ini ditunjukkan dengan adanya persembahan materi (sesajen) yang dilakukan dengan ketulusan hati

188

Page 13: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak

189

r

nghormati

dan pengabdian sehingga ritual akan mengarahkan manusia Hindu untuk melayani diri sendiri. Sangatlah tepat apabila ritual Hindu sebenarnya merupakan habitus4 bagi umat Hindu di Bali karena dengan pelaksanaan ritual maka akan mengarahkan individu maupun komunitas kepada penyucian ego. Kebajikan yang terdapat dalam individu akan jauh lebih mulia dan berarti untuk perkembangan individu, yang akan mengarahkan perubahan sosial yang lebih ber-martabat. Perubahan sosial yang terjadi disini dalam konteks perubah-an yang mengarah pada manusia sebagai individu yang lebih meng-hargai lingkungan. Konsep pemujaan kehadapan Sang Pencipta melalui itual merupakan alat efektif mengejar keyakinan akan konsep Tri Hita

Karana, Karmapala dan Reinkarnasi, juga merupakan spirit bagi umat Hindu untuk selalu meningkatkan kualitas diri dalam mesesama ciptaan Tuhan yang dipercaya mengandung atman.

Dalam kaitannya dengan intensitas ritual yang dilakukan di Subak Wongaya Betan, dan bagaimana keyakinan anggotanya akan fungsi dan kebermanfaatan dari ritual yang dilakukan maka dapat dikatakan bahwa “ritual sebagai realitas kehidupan Subak Wongaya Betan”. Memang secara realita anggota subak merasa harus dan yakin bahwa ritual sangat penting dilaksanakan dalam rangka memohon keberhasilan pertanian mereka. Namun jika pendekatannya dari sisi identitas maka ritual merupakan identitas subak di Bali. Dari kemam-puan Subak Wongaya Betan dalam menerima inovasi dan meman-faatkan teknologi moderen, maka identitas Subak Wongaya Betan terbentuk secara terbuka (Nordolt, 2007). Dari bahasan ini dapat dikatakan bahwa ritual adalah identitas petani Hindu di Bali dan penghayatan pribadi terimplikasi dalam penghayatan komunitas, sesuai dengan konsep habitus yang dikemukakan oleh Bourdieu (1990: 2003).

Gambar 24 menunjukkan diagram proses habitualisasi individu perempuan terhadap ritual yang berdasarkan kesadaran dilakukan

4 Menurut Bourdieu, 2003: 5-8) praktik individual dan kolektif akan dibangun berda-sarkan pengalaman individual dan kolektif sehingga pengalaman akan menjadi penentu arah kehidupan selanjutnya. Pada pelaksanaan ritual umat Hindu, selain sebagai arah kehidupan juga mampu sebagai penyucian ego dan ambisi sehingga individu mampu bersikap lebih bijak.

Page 14: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

190

3 hubungan termasuk dengan pelestarian pertanian dan lingkungan.

sehingga terjadi keberlanjutan dalam pelaksanaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Strisno dan Putranto (2005) yang membahas tentang teori modal Bourdieu bahwa dengan keterikatan individu maupun masyarakat dengan budaya maka praktik-praktik budaya yang dilaku-kan oleh statu individu maupun komunitas akan memiliki keterikatan emosional dengan pelaksananya. Hal ini akan berimplikasi pada keter-gantungan untuk tetap melaksanakan kegiatan tersebut. Oleh karena pelaksanaan ritual di subak dilakukan berdasarkan tuntunan agama Hindu sehingga semua pelaksanaannya dilakukan dengan berdasarkan pada kesadaran pelaksananya. Bertitik tolak dari Gambar 20 pada bab enam, maka pemaknaan individu perempuan akan ritual akan dimulai dengan terbentuknya kesadaran, kemudian dengan adanya keterikatan emosional akan ritual tersebut karena berkaitan denga keyakinan veragama dan kepercayaan terhadap Tuhan maka keberlanjutan akan praktik tersebut akan terbentuk. Dari proses ini kalau menyimak pendapat Luckman and Burger (1999) bahwa sesuatu yang sudah menjadi kegiatan sehari-hari (the reality of life) suatu individu akan mendorong terjadinya pemaknaan akan praktik-praktik yang dilaku-kan. Pemaknaan ini akan membentuk habitus dalam anggota subak akan pelaksanaan ritual, dimulai dengan terbentuknya kesadaran akan keberlanjutan kehidupan karena anugrah Tuhan yang kemudian di-mplikasikan dengan pelaksanaan ritual yang berlanjut. Berfiloisofi pada konsep Tri Hita Karana, maka pelaksanaan ritual harus menjaga keber-lanjutan keseimbangan ke

Page 15: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak

Anggota subak

habitualisasi

keberlanjutan Habitus

Praktek/ internalisasi kesadaran

Gambar 24Proses habitualisasi (pembentukan habitus) ritual

pada tingkat individu anggota subak

Ritual

Kawasan Suci sebagai Identitas Hindu di Bali

191

Seperti telah disinggung pada bahasan terdahulu (bab empat) tentang empat elemen subak dan fungsi subak maka yang berkaitan khusus dengan konsep pertama Tri Hita Karana adalah hubungan keseimbangan dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widi Wasa). Berkaitan dengan hubungan keseimbangan ini maka subak yang didasari oleh kepercayaan dan keyakinan Hindu maka ritual adalah salah satu fungsi subak dalam mengimplementasikan salah satu konsep Tri Hita Karana. Implementasi ini juga berhubungan erat dengan elemen subak yaitu adanya pura subak (Water Temple). Dalam kepercayaan dan keyakinan agama Hindu di Bali maka konsep Tri Hita Karana akan diaktualisasi oleh umat Hindu dengan melakukan persembahan berupa sesajen melalui kegiatan ritual. Kegiatan ritual dalam kepercayaan Hindu (Krisnu, 1991) merupakan salah satu dari tiga dasar filosofi Hindu di Bali (tattwa, etika dan upacara/ritual). Sebagai umat Hindu maka masyarakat di Bali akan melakukan ritual baik secara personal di

Page 16: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

192

rumah tangga masing-masing, juga ritual kolektif yang berkaitan dengan kegiatan keluarga besar (klan) adanya pura kawitan, adat (adanya pura Kahyangan Tiga) maupun dalam lingkup organisasi seperti juga dalam subak (pura Subak).

Semua jenis kawasan suci (pura) tersebut di atas menjadi tanggung jawab individu dan komunitas dalam pemeliharaannya maupun dalam pelaksanaan ritual-ritualnya, sehingga akan selalu ada keterkaitan antara pura-pura tersebut dengan pelaksanaan ritual. Kawasan suci ini bagi umat Hindu di Bali memiliki kekuatan untuk tetap dilestarikan, sehingga kawasan suci sebenarnya juga merupakan identitas orang Hindu di Bali. Pada saat individu tersebut sebagai sebuah anggota klan maka dia akan merepresentasikan diri sebagai warga dari klan tertentu dengan mengikuti pelaksanaan ritual pada pura kawitan klan tersebut. Sedangkan pada saat yang berbeda ketika individu tersebut berperan sebagai anggota adat, maka dia akan mempresentasikan identitas dari desa adat tempat individu tersebut bergabung, demikian juga pada saat individu tersebut berperan dalam subak sebagai anggota subak, maka identitas sebagai anggota subak tertentu akan muncul pada individu itu. Identitas seorang Hindu di Bali dapat diketahui juga dari lokasi kawasan sucinya. Dengan adanya keterkaitan antara identitas individu dengan kawasan suci maka akan terbentuk kekuatan untuk tetap mempertahankan identitas dengan tetap mempertahankan kawasan suci mereka. Konsep menjadikan kawasan suci sebagai identitas akan mampu memperkuat pelestarian kawasan suci itu sendiri dan lingkungan sekitarnya. Hal ini juga akan terjadi pada pura subak, dimana anggota subak (Subak Wongaya Betan) masih secara intensif melaksanakan ritual pada masing-masing tahapan kegiatan di lahan pertanian, baik secara personal maupun kolektif.

Fenomena ini menunjukkan bahwa kesadaran individu terka-dang lebih berpengaruh dibandingkan dengan kesadaran kelompok. Kesadaran personal dari tiap anggota subak akan terlihat dari ketakutan setiap anggota dengan sanksi yang tidak terlihat terhadap kehidupan mereka, sedangkan untuk kegiatan ritual kolektif selain karena kesadaran personal juga akibat adanya awig-awig yang mengikat setiap anggota subak. Ketika anggota subak melakukan pelanggaran maka

Page 17: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak

193

mereka harus menanggung sanksi finansial disamping sanksi moral dan ritual.

Seperti telah dijelaskan bahwa subak memiliki awig-awig yang berkaitan dengan Tri Hita Karana yaitu awig-awig-parhyangan, awig-awig-palemahan dan awig-awig pawongan (dijelaskan pada bab 4). Oleh karena awig-awig sangat mengikat anggota subak, maka konsep Tri Hita Karana yang terimplementasi salah satunya melalui kegiatan ritual, menjadikan ritual merupakan suatu kewajiban tetap bagi anggota subak. Walaupun dari hasil wawancara di lapangan ternyata ritual sebenarnya juga merupakan sesuatu yang melekat sebagai sebuah kesadaran dari individu.

Jadi sebenarnya kesadaran pribadi lebih memiliki kekuatan mendorong fenomena ritual yang khas dilakukan oleh umat Hindu anggota subak. Seperti pemikiran Bourdieu (1990) tentang fenomena sosial bahwa yang mendasari adalah aktivitas individu, yang kemudian menjadi kesadaran kolektif sehingga mampu menghasilkan sebuah fenomena sosial. Fenomena sosial yang terjadi di antara umat Hindu di Bali adalah fenomena bahwa masyarakat tidak mampu terlepas dari pelaksanaan ritual, yang hampir dilakukan dalam setiap tindak kehi-dupannya. Apalagi dalam pandangan Hindu, individu adalah atman5 (Pandit 2005) yang berada dalam tubuh manusia, hewan maupun tumbuhan. Dengan kepercayaan bahwa dalam setiap individu baik manusia, hewan dan tumbuhan berstana atman, maka secara tidak langsung akan terjadi hubungan saling menghormati dalam setiap indi-vidu tersebut. Hal ini yang akan menguatkan bahwa modal religius6 (agama) dan modal budaya akan mendorong munculnya modal spiritual pada masyarakat Hindu di Bali.

5 Atman adalah sebutan bagi Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan) yang berada dalam diri setiap manusia atau bisa juga disebut dengan roh yang dalam kepercayaan Hindu bersifat kekal abadi. 6 Religiositas dan spiritualitas adalah sesuatu yang memiliki pengertian yang berbeda (Zohar and Marshall, 2004). Hal ini disebabkan karena nilai-nilai religiositas selalu bisa dikaitkan dengan kegiatan keagamaan, akan tetapi nilai-nilai spiritual terkadang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan keagamaan, akan tetapi mampu di kenali me-lalui peruabahan-perubahan yang terjadi dalam individu atau masyarakat.

Page 18: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

194

Kaitannya dengan masyarakat petani yang tergabung dalam organisasi subak, maka di Bali subak merupakan elemen penting dalam pelestarian pertanian, ketahanan pangan dan lingkungan (hayati) (Sirtha, 1996: Sutawan, 2008; Wiguna dan Surata, 2008). Di samping itu adanya keyakinan dan kepercayaan terhadap konsep Tri Hita Karana mendukung adanya spirit harmonisasi antara hubungan manu-sia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan ling-kungan. Harmonisasi ini sangat melekat pada masyarakat Hindu di Bali temasuk warga subak. Seperti yang teramati dari beberapa praktik di lapangan yaitu pada kegiatan ritual yang menyebabkan terjadinya resiprositas antara Tuhan, manusia dan lingkungan. Harmonisasi juga mendorong adanya kegiatan perluasan dan pemeliharaan jejaring baik antara anggota dalam Subak Wongaya Betan (bonding), jejaring antara subak di satu wilayah dengan subak wilayah lainnya melalui ritual pertanian seperti mendak toya, nangluk merana (briging), dan juga jejaring antara subak dengan pemerintah (linking). Perluasan dan pemeliharaan jejaring ini tentu saja masih dalam keterkaitannya dengan katahanan pangan dan hayati, melalui pelestarian pertanian dan lingkungan.

Menyimak pemikiran Berger dan Luckman (2006) bahwa realitas kehidupan manusia adalah merupakan refleksi dari pemaknaan manu-sia terhadap segala sesuatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan mereka. Kalau dikaitkan dengan keterikatan manusia Hindu dengan ritual yang merupakan ungkapan rasa syukur, rasa terimakasih dan malahan rasa bersalah terhadap Tuhan, manusia dan lingkungan maka ritual tidak mungkin dipisahkan dengan umat Hindu di Bali. Dalam setiap gerak langkah umat Hindu dan juga anggota subak yang terefleksi dari awig-awig subak maka ritual dapat dikatakan sebagai habitus bagi masyarakat Hindu di Bali termasuk bagi anggota subak.

Walaupun banyak yang mempertanyakan relevansi pelaksanaan ritual dengan realitas kehidupan masyarakat petani, akan tetapi akhir-nya disadari bahwa sangat sulit mencari penjelasan yang logis. Dalam melaksanakan kegiatan ritual melekat kepercayaan, sugesti, keyakinan, kewajiban, rasa syukur, kepasrahan, persembahan sehingga akan

Page 19: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak

195

tercermin hubungan yang sangat kompleks antara individu-individu dalam organisasi subak. Kalau dicermati tentang sanksi yang akan mereka tanggung kalau melanggar awig-awig parahyangan, maka biasanya anggota subak sebagai individu akan merasa lebih takut akan sanksi moral dan sanksi ritual yang diyakini diberikan oleh Sang pencipta, dibandingkan dengan sanksi moral dan sanksi finansial yang dikenakan oleh awig-awig subak. Menariknya lagi bahwa sanksi moral dan sanksi finansial akan lengkap terbayar kalau sudah dilaksanakan sanksi ritual untuk menebus kesalahan yang dilakukan oleh masing-masing anggota baik sebagai anggota subak maupun sebagai personal di rumah tangga mereka masing-masing. Dari fenomena ini dapat katakan bahwa ritual merupakan spirit dalam rangka penghormatan terhadap Sang Pencipta, memanusiakan manusia dan alam lingkungan. Ritual Berperan Penting dalam Subak (Elemen Pelestarian Budaya Pertanian)

Pada bab-bab sebelumnya telah disinggung tentang budaya Bali yang sangat identik dengan budaya pertanian (Geertz, 1973; 1983) menjelaskan bagaimana perbedaan perkembangan pertanian yang terjadi di Pulau Jawa dan Bali, khususnya di kota Tabanan. Selanjutnya dijelaskan sampai saat ini pertanian di Bali masih mampu melestarikan praktik-praktik tradisional yang telah dilakukan petani-petani di Bali beberapa tahun lalu. Berbeda halnya dengan praktik pertanian di Pulau Jawa (Geertz, 1989) yang hampir meninggalkan semua warisan praktik-praktik tradisional yang juga pernah dikenal oleh petani-petani di Pulau ini. Fenomena ini menunjukkan bahwa petani di Bali lebih mampu menjaga warisan leluhur dan lebih selektif dalam menerima inovasi baru yang berkaitan dengan praktik-praktik pertanian. Selektif dalam konteks ini berarti petani tetap menerima masukan teknologi baru, akan tetapi tetap menyesuaikan dengan praktik-praktik tradisi-onal yang sudah mereka yakini tetap menjaga keseimbangan antara hubungan dengan kehidupan saat ini dan kehidupan niskala. Hal ini karena Bali memiliki keterkaitan yang sangat kuat antara kepercayaan terhadap Agama Hindu dengan budaya Bali. Jadi walaupun berbagai

Page 20: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

196

kebudayaan menggempur Bali sejak tahun 1980-an, akan tetapi beberapa daerah sampai hari ini masih melakukan praktik tradisional dan masih setia dengan praktik-praktik ritual sehari-hari maupun yang berkaitan dengan pertanian.

Pengaruh modernisasi berupa industri pariwisata yang sangat kuat dan terus menerus, ternyata tidak menyebabkan masyarakat Hindu di Bali keluar dari pakem budaya Hindu Bali akan tetapi justru masyarakat Bali masih tetap melaksanakan praktik tradisional seperti misalnya masih eksisnya organisasi pembagian air tradisional yaitu Subak. Walaupun di satu sisi dengan berkembangnya industri pari-wisata menyebabkan lahan pertanian semakin menyempit karena ter-desak dengan alih fungsi sebagai insfrastruktur pariwisata, akan tetapi subak sebagai organisiasi yang berkaitan langsung dengan pengelolaan lahan sawah tetap menggeliat. Salah satunya karena ternyata masya-rakat Bali dan pemerintah tersadar bahwa di tengah terjepitnya kehi-dupan sebagai petani, ternyata kehidupan ini memiliki daya tahan yang lebih kuat dibandingkan dengan perekonomian yang hanya menggan-tungkan perekonomian pada industri pariwisata. Salah satu bukti bahwa sektor pertanian merupakan penyangga perkembangan industri pariwisata adalah kejadian bom Bali pada tahun 2002. Dari pengalaman ini akhirnya masyarakat Bali dan pemerintah disadarkan bahwa industri pariwisata tanpa dukungan sektor pertanian adalah sangat rapuh. Hal tersebut sebenarnya sudah banyak dibuktikan oleh bebe-rapa kelompok masyarakat yang melakukan praktik pertanian sebagai dasar pengembangan industri pariwisata yaitu dengan mengembangkan wisata alam seperti salah satunya adalah kawasan Catur Angga yang mengembangkan industri pariwisata pada keindahan pemandangan sawah bertingkat yang selama ini dikoordinir oleh kelompok masya-rakat (adat ) setempat.

Seperti dijelaskan dan digambar dalam bab empat, Gambar 7, dimana kedudukan subak dalam kelembagaan desa dan adat di desa Mengesta, lebih menguatkan bahwa sebenarnya subak adalah bagian dari adat. Walaupun dalam kenyataannya sering terjadi negosiasi dalam pelaksanaan kegiatan antara kelembagaan-kelembagaan tersebut. Hal

Page 21: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak

197

ini sesuai dengan konsep desa kala patra dari komunitas Hindu di Bali. Konsep ini menjelaskan tentang adanya kelenturan dan fleksibilitas dalam segala pelaksanaan kehidupan termasuk kegiatan-kegiatan budaya dan ritual.

Dengan sedemikian kuatnya peran subak dalam melestarikan pertanian di Bali dan dengan adanya struktur dan awig-awig subak yang dapat mengikat baik ke dalam organisasi subak maupun ke luar organisasi maka sangat tepat dikatakan bahwa subak merupakan satu elemen yang berfungsi sebagai pelestari pertanian di Bali dan juga penyumbang kelestarian ketahanan hayati dan ketahanan pangan bagi masyarakat pedesaan di Bali. Hal ini juga dikuatkan dengan adanya konsep keseimbangan Tri Hita Karana yang menjadi filosofi organisasi subak. Konsep ini akan selalu diterapkan oleh subak dalam setiap kegiatannya. Windia (2010) dan Sutawan (2008) menekankan adanya empat elemen subak yang harus selalu dilestarikan adalah adanya lahan pertanian (sawah), organisasi, anggota dan pura subak. Dengan adanya elemen ini maka subak memiliki peran dalam pelestarian ketahanan pangan dan hayati. Apalagi bila dikaitkan dengan adanya pura subak yang sangat berkaitan erat dengan konsep keseimbangan Tri Hita Karana dalam menjaga hubungan yang harmonis dengan Sang Pencipta.

Seperti yang dijelaskan oleh Geertz (1992) tentang hubungan dengan Tuhan akan divisualisasikan dalam agama Hindu yang dianut semua anggota subak. Selanjutnya Agama Hindu di Bali tidak terpi-sahkan dengan adat dan budaya yang sangat mengikat kehidupan masyarakat di Bali. Hal ini juga menjadi penekanan Surata (2009) yang menyatakan hampir setiap pengambilan keputusan di tingkat komu-nitas di Bali kepemimpinan lokal (adat) lebih berpengaruh dibanding-kan dengan pemerintah. Ini merupakan satu kekuatan bagi lembaga tradisional seperti organisasi subak untuk berperan sebagai penerus kebijakan pemerintah yang mengarahkan pada kebijakan pencapaian ketahanan pangan dan ketahanan hayati di tingkat komunitas.

Bukti lainnya yang menunjukkan organisasi tradisional memiliki kekuatan dalam menggerakkan masyarakat pedesaan di Bali adalah

Page 22: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

198

bagaimana subak mampu lebih berperan sebagai penengah konflik antar masyarakat dalam hal pembagian air di lahan pertanian demikian juga dengan konflik lainnya yang berkaitan dengan kelembagaan tradisional. Ada pengalaman menarik yang dialami pemerintah Bali khususnya Dinas Pekerjaan Umum dalam menangani konflik pemba-gian air. Konflik tersebut merupakan dampak dari adanya bantuan saluran irigasi teknis kepada subak dari pemerintah, yang menyebab-kan terjadi perubahan dalam aturan pembagian air. Konflik ini akhir-nya mampu diselesaikan dengan baik oleh subak. Kejadian ini mem-buktikan bagaimana kelembagaan tradisional lebih memiliki kekuatan dalam mengatasi masalah dibandingkan dengan kelembagaan dinas. Sehingga bagi masyarakat pedesaan di Bali pelestarian cara-cara lokal (kearifan lokal) dalam beberapa aspek kehidupan masyarakat sangat diperlukan.

Subak ternyata memiliki kekuatan yang harus diperhitungkan dalam mentransfer kebijakan pemerintah terutama dalam kebijakan-kebijakan pertanian. Hal ini telah dibuktikan dengan bagaimana kuatnya pengaruh subak pada saat dimulainya teknologi modern yang dikenal dengan revolusi hijau. Pemerintah pada saat itu seolah meman-faatkan organisasi subak dalam mempercepat kesuksesan program-program revolusi hijau. Pemerintah pada masa itu memanfaatkan pengurus subak dalam mentransfer atau meneruskan teknologi revolusi hijau kepada masyarakat petani di pedesaan. Walaupun sebenarnya ada perlawanan dari anggota subak akan tetapi karena yang diberikan wewenang adalah kepala subak (pekaseh) yang memiliki kekuasaan dalam menjalankan awig-awig subak maka semua anggota subak memiliki kewajiban untuk melaksanakan kebijakan revolusi hijau pada masa itu.

Di sisi lain pada saat terjadinya transformasi pertanian organik pun ternyata petani inovator yang juga warga Subak Wongaya Betan, akhirnya mampu meneruskan teknologi pertanian organik kepada seluruh warga subak. Pada saat ini praktik pertanian organik sudah menjadi salah satu awig-awig subak di Wongaya Betan, sehingga melaksanakan pertanian organik merupakan kewajiban anggota subak

Page 23: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak

199

di Wongaya Betan. Pengusulan Kawasan Catur Angga sebagai kawasan budaya dunia (world heritage) pun sebenarnya berkaitan dengan keberhasilan subak di kawasan ini (termasuk Subak Wongaya Betan) dalam menjaga kelestarian lingkungan dan wilayah pertanian (terutama pemandangan sawah bertingkatnya).

Seperti dalam bab 4 disebutkan bahwa paling tidak ada 15 subak yang berada dalam kawasan budaya dunia tersebut. Hal ini menim-bulkan konsekuensi yang sangat berat bagi subak-subak di kawasan itu. Dengan adanya penetapan sebagai kawasan budaya dunia (world heritage) maka di satu sisi ada kebanggaan dari masyarakat setempat dan juga warga Bali, akan tetapi di sisi lainnya masyarakat merasa akan ada konsekuensi moral dan ekonomis yang harus mereka hadapi. Sehingga masyarakat yang nantinya akan berada pada kawasan budaya dunia memerlukan dukungan dan perhatian pemerintah baik berupa sosialisasi dan pendampingan secara terus menerus dalam memper-tahankan prestasi yang telah dicapai. Misalnya saja dukungan kebijak-an dan aturan pemerintah yang tegas tentang bagaimana kontribusi yang akan diberikan kepada wilayah subak yang termasuk dalam kawasan world heritage tersebut.

Beberapa realitas tersebut menunjukkan bahwa subak merupa-kan salah satu elemen yang mampu mempertahankan budaya perta-nian di Bali. Hal ini juga diperkuat dengan adanya perhatian dan aturan pemerintah (dalam bab 4) bahwa subak memang telah diakui keberadaannya sebagai organisasi tradisional yang selain berperan dalam pengorganisasian air bagi petani padi tetapi juga mampu ber-peran sangat relevan sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam meneruskan kebijakan-kebijakan pemerintah, baik kebijakan pertanian maupun kebijakan-kebijakan lainnya. Mengingat posisi subak dalam struktur desa di Bali berada di bawah struktur desa dinas dan desa adat, akan tetapi kalau melihat kewenangan dan otoritas subak maka subak merupakan organisasi yang mandiri. Akan tetapi sering memiliki peran yang sangat penting dalam keputusan dan kegiatan desa adat dan desa Dinas (Gambar 3 dalam bab 4).

Page 24: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

200

Oleh karena kekuatan dan peran penting dari subak dalam organisasi pemerintahan desa di Bali maka memberdayakan elemen subak, fungsi subak dan awig-awig subak dalam percepatan pelak-sanaan kebijakan ketahanan pangan dan hayati di Bali sangat penting. Pemberdayaan ini mendorong percepatan pencapaian dan pelestarian ketahanan pangan dan hayati serta penyelamatan lingkungan di Bali. Sehingga subak dapat dikatakan sebagai unsur pelestarian pertanian, sebagai modal kolektif dalam pencapaian ketahanan pangan dan ketahanan hayati. Keterkaitan Ritual dengan Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati

Dalam bahasan ini ketahanan pangan dan ketahanan hayati akan dibahas dalam satu kesatuan, karena penulis menganggap bahwa antara ketahanan pangan dan ketahanan hayati merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Istilah ketahanan pangan yang menjadi wacana pemerin-tah adalah kemampuan masyarakat petani menghasilkan pangan terutama beras, dan tersedianya akses bagi masyarakat untuk membeli pangan (Sujono, 2009). Ketercapaian ketahanan pangan akan secara otomatis menghasilkan katahanan hayati dalam lingkungannya, karena menurut Surata (2009) ketahanan hayati adalah lestarinya sumber-sumber hayati yang sangat terkait dengan kehidupan manusia termasuk sumber pangan. Dalam setiap usaha pencapaian ketahanan pangan melalui kecukupan produksi pangan, maka ketahanan hayati yang meliputi kelestarian makhluk hidup disekitar area produksi pangan harus juga mendapat perhatian untuk pelestariannya.

Dalam konteks ketahanan pangan dan ketahanan hayati di Subak Wongaya Betan terlihat bahwa dengan kembalinya anggota subak pada praktek organik, maka beberapa hewan sawah seperti capung, belut, dan ular sawah sudah terlihat lagi di areal persawahan Subak Wongaya Betan (Wiguna, 2008). Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan dengan proses pencapaian ketahanan pangan dengan ketahanan hayati. Di samping itu konsep kelestarian lahan pertanian juga sangat terkait dengan kelestarian sumberdaya alam dan ketahanan hayati. Seperti

Page 25: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak

201

yang dikemukakan oleh Menteri Perikanan dan Kelautan (2007)7 bahwa dengan tercapainya ketahanan hayati maka akan mendorong ketahanan pangan secara berkelanjutan.

Konteks katahanan pangan dan hayati di tingkat subak sebenar-nya sudah terimplikasi pada beberapa ritual yang ditujukan kepada alam8. Dengan adanya ritual kepada alam, kepercayaan dan keyakinan masyarakat tentang perlunya menjaga kelestarian alam dan lahan pertanian akan muncul dengan sendirinya sehingga akan mengikat setiap gerak individu untuk melaksanakan ritual-ritual tersebut. Bagaimana implementasi ritual dengan ketahanan pangan dan hayati di Subak Wongaya Betan akan dilandasi dengan kepercayaan akan konsep suci leteh (cemar) umat Hindu di Bali.

Konsep Suci dan Leteh (cemar) sebagai Dasar Ketahanan Pangan dan Hayati

Konsep ketahanan pangan bagi masyarakat adalah tersedianya bahan pangan (beras), adanya kemampuan dan akses masyarakat untuk membeli, dan juga tidak adanya ketergantungan pangan masyarakat. Berbicara masalah ketahanan pangan tidak akan terlepas dari perta-nian, karena sampai saat ini pertanian adalah satu-satunya sumber pangan masyarakat. Kalau memang pemerintah ingin mempertahankan ketahanan pangan masyarakat maka setidaknya ada keinginan dan tindakan nyata pemerintah melindungi usaha pertanian. Usaha perta-nian akan berhasil apabila beberapa sarana pendukung seperti air, lahan pertanian, pemasaran harus tersedia dengan baik. Dilema yang dihadapi pemerintah maupun masyarakat dunia saat ini adalah semakin menyempitnya lahan pertanian, semakin berkurangnya sumber air bagi pertanian karena terdesak oleh pembangunan sarana lainnya seperti perumahan, infrstruktur baik pariwisata maupun kebutuhan untuk tempat tinggal umat manusia.

7 ) Disampaikan pada konferensi tentang perubahan iklim Global di Nusa Dua Bali. 8 Pengertian ketahanan pangan dan ketahanan hayati bagi SWB telah dipaparkan pada bab lima.

Page 26: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

202

Dilema ini sebenarnya tidak dapat hanya diperdebatkan saja, akan tetapi harus diatasi dan dicari jalan keluarnya. Karena pangan selalu dibutuhkan, sehingga permasalahan pangan harus mendapat prioritas utama dalam kebijakan pemerintah saat ini. Keterancaman ketahanan pangan saat ini hampir melanda seluruh belahan dunia (Lovett, 2009), sehingga akhirnya ada beberapa wacana masalah ketahanan pangan dan juga ketahanan hayati yang muncul baik di tingkat nasional maupun internasional. Di Indonesia baru-baru ini muncul wacana menyewa lahan petani dengan tujuan jika terjadi kegagalan pada pelaksanaannya, maka tidak seluruh resiko ditanggung oelh petani, tetapi juga ditanggung oleh penyewa lahan (Boser, 2011)9. Wacana ini sebenarnya sangat prospektif, akan tetapi perlu aturan pelaksanaan yang jelas, sehingga masing-masing pihak baik pemerintah maupun petani sama-sama memiliki kekuatan hukum yang jelas.

Khusus untuk daerah Bali sebenarnya sektor petanian masih potensial untuk digarap mengingat sebagian besar masih terdapat lahan subur walaupun memang harus diakui sudah banyak dari lahan ter-sebut beralih fungsi terutama untuk prasarana pariwisata. Menghadapi permasalahan ini pemerintah Bali mulai memotivasi masyarakat untuk kembali menekuni pertanian ataupun lebih giat mengusahakan sektor pertanian, karena sudah banyak bukti bahwa pariwisata tanpa didasari dengan sektor pertanian yang kuat akan rapuh karena sangat rentan dengan isu-isu keamanan sehingga akan lebih cepat mengalami goncangan. Pemerintah Bali sebenarnya telah memiliki modal yang sangat kuat dalam usaha menggalakkan sektor pertanian yaitu adanya kearifan lokal seperti subak yang masih eksis dan memiliki kekuatan yang mengikat baik ke dalam anggotanya maupun keluar organisasi-nya. Hal ini akan sangat menguntungkan pemerintah Bali di dalam mentransfer teknologi terutama dalam rangka penguatan pertanian di pedesaan, agar sektor pertanian bergairah lagi.

Dengan adanya rencana ditetapkannya beberapa wilayah di Bali sebagai kawasan budaya dunia, maka komitmen pemerintah dalam

9 Dimuat dalam Kompas, Senin 13 Juni 2011 dengan judul artikel: Ketahanan Pangan: Jangan Serahkan Swasta, Berdayakan Petani.

Page 27: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak

203

membantu dan memfasilitasi daerah-daerah tersebut harus mulai dibangun. Karena masyarakat di kawasan budaya dunia sudah mulai mengkhawatirkan dampak dari adanya konsekuensi sebagai daerah yang diawasi oleh perjanjian dengan lembaga dunia dalam hal ini UNESCO. Dengan diakuinya wilayah Subak Wongaya Betan menjadi salah satu kesatuan areal kawasan budaya dunia, maka konsekuensi terhadap masyarakatnya adalah menjaga keajegan dan kelestarian lingkungan dan situasi wilayah sedemikian rupa, sehingga kesucian wilayah tetap terjaga yang akan berimbas pada pelestarian lahan pertanian, sumber air, keanekaragaman hayati dan ketahanan pangan harus terjaga. Pada situasi ini terjadi penguatan jaringan antara pemerintah dengan masyarakat untuk menyukseskan penghargaan ini, sehingga akan terjadi koordinasi melalui penguatan linking antara masyarakat dengan pemerintah.

Dengan keyakinan yang kuat terhadap agama yang dianut, adanya budaya yang mengikat dan sistem kepemimpinan lokal yang sangat berpengaruh, pelaksanaan pemberdayaan masyarakat di bidang ketahanan pangan dan ketahanan hayati akan lebih mudah dilakukan. Bali dengan sistem kepemimpinan lokal (desa Adat) dan kepemim-pinan pemerintahan formal (desa Dinas) yang memiliki koordinasi yang sangat harmonis sangat ideal sebagai sebuah model dalam pem-berdayaan masyarakat di pedesaaan. Apalagi di dalam desa adat akan ada beberapa organisasi lokal yang sangat inovatif dan memiliki aturan (awig-awig) yang mengikat sangat kuat kedalam (antar anggota) seperti misalnya banjar (yang berkaitan dengan urusan kemanusiaan dan hubungan sosial), subak (yang berhubungan dengan pertanian) dan juga sekeha (yang berhubungan dengan kebersamaan kepentingan). Secara lebih jelas telah ditampilkan pada bab 4, Gambar 3. Dengan kekuatan lokal yang dimiliki dengan ciri khas masing-masing maka model pemberdayaan masyarakat yang berbasis kearifan lokal sangat memberikan tantangan untuk dilaksanakan di Bali.

Khusus pemberdayaan masyarakat yang berkaitan dengan keta-hanan pangan dan ketahanan hayati maka subak merupakan ujung tombak sebagai penggerak. Hal ini karena dari struktur subak dan awig-awig yang ditaati masing-masing anggota subak memungkinkan

Page 28: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

204

organisasi ini mendorong pemerintah agar melestarikan pertanian sebagai fondasi pembangunan ekonomi. Apalagi menurut hasil peneli-tian Wiguna dan Surata (2008), ternyata 90.6 persen dari masyarakat Bali masih menginginkan subak untuk diajegkan di Bali sebagai ujung tombak pelestarian ketahanan pangan dan hayati. Di samping itu dari hasil wawancara di Subak Wongaya Betan (bab 5) ternyata ketahanan pangan dan ketahanan hayati yang mereka pahami adalah bagaimana masyarakat di daerah tersebut masih mampu bertanam padi di sawah-nya dan subak masih mampu melaksanakan ritual yang terkait dengan usaha pertanian padi mereka.

Kalau dilihat lebih dalam memang selain awig-awig yang mengikat baik ke dalam maupun ke luar organisasi, ternyata dengan adanya pura subak sebagai salah satu elemen subak maka masyarakat pasti akan tetap melaksanakan ritual sehingga implikasinya adalah mereka harus tetap menjaga lahan pertanian mereka. Hasil penelitian Lansing (1991) menyatakan bahwa keberadaan pura subak (water temple) menyebabkan terjadinya pemeliharaan jaringan (networking) antar anggota subak dalam satu subak dan juga antara subak-subak di beberapa wilayah di Bali. Hal ini karena adanya beberapa pura yang harus diberi persembahan oleh subak yang berada pada kabupaten atau wilayah yang berbeda. Misalnya seperti pura Ulun Danu yang meru-pakan sumber air irigasi Subak Wongaya Betan terletak di desa Panca Sari Kabupaten Buleleng, atau Pura Pekendungan yang terletak di desa Tanah Lot. Jadi adanya pura subak di samping sebagai modal spiritual untuk tetap menghargai keseimbangan antara Tuhan, manusia dan lingkungan, maka pura subak juga merupakan arena atau area untuk mempertahanankan jejaring yang berfungsi sebagai modal sosial dalam menjaga kelestarian pertanian di Bali. Sesuai dengan pendapat Bourdieu (1992 dalam Basis No. 11-12, 2003) menyatakan bahwa arena adalah kekuatan untuk membangun sebuah relasi atau hubungan dalam mengakses sumberdaya.

Hal penting yang menjadi landasan juga bahwa subak merupakan salah satu kearifan lokal yang dapat digunakan sebagai modal dalam pencapaian ketahanan pangan adalah adanya bangunan jineng (lumbung) tempat penyimpanan hasil padi. Bangunan ini memiliki

Page 29: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak

205

bagian bawah yang merupakan area yang terbuka yang biasanya digunakan sebagai tempat beristirahat setelah kegiatan menyimpanan hasil padi selesai dilakukan. Sebelum padi disimpan dalam jineng, maka ritual kehadapan Dewi Sri dilakukan terlebih dahulu. Untuk jineng kelompok (subak), maka ritual dilakukan seluruh warga subak, sedang-kan untuk jineng masing-masing anggota subak ritual akan dilakukan secara personal. Setiap anggota subak biasanya akan menyimpan hasil panennya sebagai persediaan pangan di jineng mereka masing-masing. Pada jaman sebelum adanya program revolusi hijau, simpanan pangan ini masih mampu digunakan sebagai tambahan membiayai sekolah putra-putri anggota subak. Pada masa sekarang walaupun mungkin simpanan pangan hanya cukup dimanfaatkan sebagai persediaan pangan, akan tetapi dari masyarakat subak masih percaya bahwa jineng adalah merupakan pemberi spirit bagi lahan mereka untuk berproduksi lebih baik, karena mereka percaya bahwa dengan masih memiliki jineng mereka meyakini pasti akan ada saja hasil berlebih yang dapat disimpan dalam jineng tersebut. Hal ini terlihat dari elemen seluruh rumah anggota subak selain terdiri dari bangunan tempat tidur, pasti juga akan ada bangunan jineng.

Mulai pertengahan tahun 2010 Subak Wongaya Betan sudah memiliki jineng (lumbung) cadangan pangan yang difungsikan sebagai sarana simpan pinjam padi pada saat situasi paceklik. Jadi dengan adanya lumbung cadangan pangan, anggota Subak Wongaya Betan yang memerlukan pinjaman padi diperbolehkan meminjan dengan membayar bunga berupa padi pada panen berikutnya. Fenomena ini merupakan suatu kebersamaan yang positif, di samping memberikan pembelajaran untuk tetap menjaga jejaring dan kebersamaan dalam mengatasi masalah. Di samping pemberdayaan yang bersifat nyata, maka kalau dilihat dari struktur dan tatanan pura subak, pasti akan memiliki jineng sebagai tempat penyimpanan sumbangan anggota subak yang berupa padi (sarin taun). Jadi bangunan jineng merupakan implikasi bahwa subak memiliki konsep ketahanan pangan.

Seperti sudah dijelaskan pada bab terdahulu bahwa prinsip suci dan leteh dalam kepercayaan agama Hindu sangat dipegang teguh dalam setiap aspek kehidupan umat Hindu di Bali. Misalnya saja

Page 30: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

206

dengan tetap dijaganya kesucian sumber-sumber alam yang berkaitan dengan lahan pertaniannya dengan implementasi pelaksanaan ritual yang dilakukan secara intensif. Ritual bagi masyarakat petani adalah merupakan kebutuhan hidupnya sehingga harus dilakukan secara ber-kelanjutan, karena ritual merupakan implementasi hubungan langsung dengan Sang Pencipta. Di samping itu prinsip suci dan leteh akan sangat berkaitan dengan konsep pelestarian ketahanan hayati di lingkup subak di Bali. Sedangkan konsep leteh (cemar) adalah konsep yang bertolak belakang dengan suci, sehingga masyarakat Hindu Bali akan sangat menghindari leteh dalam setiap aspek kehidupannya. Kalau hal ini dijelaskan dengan realitas di lapangan maka pencemaran dari sumberdaya alam merupakan sesuatu yang leteh, sehingga akan sangat tabu bagi masyarakat petani di Bali melakukan hal-hal yang leteh (mencemari) sumberdaya alam. Konsep ini tentu saja sangat bermanfaat dalam pemberdayaan masyarakat untuk tetap memperta-hankan ketahanan pangan dan hayati diwilayah mereka.

Dari bahasan ini dapat disimpulkan bahwa konsep rwa bineda (suci dan leteh) menjadi landasan hidup petani dalam pelestarian sumberdaya alam menuju ketahanan pangan dan hayati.

Ritual sebagai Spirit Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati di Bali

Menyikapi pendapat dari McCauley and Lawson (2002) bahwa sebenarnya ada tiga hal yang harus dijelaskan untuk menjawab perta-nyaan-pertanyaan tentang keefektifan ritual yaitu adanya penjelasan tentang bentuk ritual agama, hubungan ritual dengan agama dan bagai-mana keefektifan kegiatan ritual yang dilaksanakan baik oleh individu maupun secara kolektif. Kedua peneliti ini membahas bahwa ritual adalah bahasa personal yang menentukan sistem ritual yang dilaksa-nakan sehingga kedua keterikatan ini akhirnya menghasilkan istilah “Symbolic Cultural-System”. Penulis mengartikan bahwa ritual juga merupakan simbol dari sistem budaya. Sebenarnya hal ini juga yang terjadi pada masyarakat Hindu di Bali bahwa ritual merupakan bagian dari agama yang mereka anut, sehingga akan sangat terikat dengan

Page 31: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak

207

kepercayaan dan keyakinan akan adanya kekuasaan Tuhan, dan bagi masyarakat yang beragama kepercayaan akan Tuhan adalah mutlak.

Geertz (1979) pun menyatakan bahwa agama Hindu di Bali terikat dengan kebudayaan Bali, sehingga kadang kala ritual agama akan sangat bias dengan pelaksanaan ritual adat. Hal ini sebenarnya sudah menimbulkan sikap apriori sebagian masyarakat yang kurang memaknai ritual itu sendiri. Misalnya kegelisahan sebagian masyarakat Hindu di Bali terutama generasi muda akan keefektifan ritual yang dilakukan di tengah semakin banyaknya mereka yang terlibat dengan budaya luar dan industri pariwisata yang memilki ketentuan waktu yang sangat ketat. Hal ini penulis anggap sebagai sebuah pertanyaan praktis dari generasi muda, oleh karena mereka dari sisi pemahaman dan keterlibatan dalam pelaksanaan ritual sangat kurang, sehingga penghayatan secara mendalam akan ritual yang dilakukan pun sangat dangkal. Sebagian dari mereka hanya berpikiran praktis bahwa hidup memerlukan pekerjaan yang mendatangkan sesuatu untuk pemenuhan kebutuhan, sedangkan dari sisi pemahaman bahwa agama mengajarkan untuk selalu menghargai suatu kekuasaan yang tidak terlihat sangatlah penting. Esensi dari ritual yang sangat intensif dilakukan oleh umat Hindu di Bali, karena masyarakat Hindu masih sangat menekankan pelaksanaan ritual sebagai sebuah penghayatan religius untuk menda-patkan perlindungan dari Sang Pencipta.

Berbeda dengan pendapat Geertz (1992), adat (yang di sana disebut agama adat) bahwa ritual yang dilakukan secara personal memiliki tujuan yang lebih bersifat pribadi sesuai dengan keperluan individu tersebut, akan tetapi kadangkala dianggap lebih tidak penting dibandingkan dengan ritual kolektif yang dilakukan di aras keluarga dan juga di pura-pura yang lebih besar. Ini merupakan salah satu ciri yang mampu membuat agama Hindu di Bali sebagai salah satu modal keberlanjutan Bali dan keeratan hubungan antar komunitas yang semakin kuat. Demikian juga dengan adanya keeratan bonding antara anggota masyarakat dalam pelaksanaan ritual juga melambangkan bagaimana masyarakat Bali masih memiliki keeratan hubungan selain dengan Tuhan, juga dengan para leluhur termasuk untuk kesejah-teraan.

Page 32: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

208

Geertz (1990) masih belum membahas bagaimana perasaan dan keyakinan dari masyarakat pelaku ritual secara individu terhadap makna ritual yang dilakukan, karena Geertz melihat bahwa pelaksana ritual tidak mempermasalahkan apa yang mereka pikirkan bagaimana perasaan mereka atau kepercayaan mereka yang penting seolah mereka sudah mampu melaksanakan ritual yang diwajibkan terasa sudah cukup (disini diistilahkan dengan theatre). Dari pembahasannya ini maka Geertz (1990) sebenarnya belum menemukan pemaknaan individu yang melaksanakan ritual tersebut. Geertz (1990) hanya melihat bahwa dalam pelaksanaan ritual akan terjadi hubungan yang harmonis antara individu pelaksana ritual terutama pada saat pelaksanaan ritual kolek-tif. Jadi sebenarnya Geertz (1990) pun telah mengakui bahwa ritual terutama yang dilakukan secara kolektif akan merupakan sebuah modal ataupun spirit untuk membina hubungan antar masyarakat pelaksana ritual untuk tetap menjaga hubungan yang harmonis di antara mereka.

Sebagai penekanan pada hasil kajian dari Geertz (1990) bahwa notifikasi dari keberadaan dan pengakuan agama dan keeratan hubungan antara umat Hindu di Bali adalah dengan adanya pelak-sanaan ritual yang dilakukan secara kolektif. Bagaimana kewajiban yang bersifat resiprositas mampu mengeratkan masyarakat pada waktu yang bersamaan mengikat mereka pada tujuan yang sama, sehingga ritual mengandung nilai kebersamaan yang merupakan spirit masya-rakat untuk bertindak bersama dalam hubungan yang saling mengisi (resiprositas).

Berger and Luckman (1990) justru lebih menekankan pada bagaimana peran individu di dalam berpartisipasi dalam kegiatan bersama. Dalam kegiatan kolektif akan terjadi interaksi antara individu yang menghasilkan sebuah hubungan yang saling mengeratkan. Lebih lanjut dalam karyanya ini mereka ingin lebih melihat secara logis bagaimana hubungan individu dalam masyarakat baik dari sisi realitas objektif maupun subjektif, sehingga dipahami bagaimana keyakinan akhirnya terbentuk dari kegiatan keseharian dan pengalaman individu yang bersangkutan. Dari realitas yang dialami individu akhirnya ter-cermin dalam realitas masyarakat.

Page 33: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak

209

Jadi pernyataan Geertz (1989) bahwa pelaksanaan ritual yang dilakukan secara personal hanya bermakna bagi individu itu ternyata tidak sepenuhnya dapat diterima, karena dengan adanya pemaknaan secara personal terhadap ritual yang dilaksanakan maka pada saat individu tersebut terbentuk dalam masyarakat maka akan terjadi akumulasi pemaknaan yang lebih kuat terhadap sesuatu yang dilaku-kan sehingga keyakinan secara kolektif akan dapat terbentuk juga. Menurut Berger and Luckman (1990) sebenarnya ada tahapan dalam mencari penjelasan secara logis tentang bagaimana realitas sosial ter-konstruksi di masyarakat di mana menurut mereka semua aktivitas manusia adalah merupakan proses habitualisasi. Kalau dikaitkan dengan pemikiran Bourdieu (1990) tentang pembentukan habitus, maka di dalam proses habitualisasi akan selalu ada unsur modal, ranah (area) dan praktik. Kalau ritual yang dilakukan masyarakat Hindu di Bali merupakan habitus, maka memang terbentuk karena ritual meru-pakan kegiatan keseharian masyarakat. Seperti telah dikemukakan dalam bab empiris bahwa selain ritual secara kolektif yang dilaksana-kan oleh anggota subak, ternyata mereka juga melaksanakan ritual secara personal, yang tentu saja merupakan tanggung jawab hubungan antar individu dengan Tuhannya.

Jadi ritual sebagai habitus masyarakat Hindu di Bali termasuk bagi anggota Subak Wongaya Betan terbentuk menjadi sebuah kegiatan kolektif yang mampu memberdayakan masyarakat dalam pelestarian katahanan pangan dan ketahanan hayati di daerah penelitian. Subak merupakan modal kolektif dalam pelestarian pertanian di Bali, maka dengan melaksanakan ritual dalam setiap fase kegiatan pertanian, akan mendorong kesadaran dan keterikatan anggota subak akan situasi religius dari pelaksanaan ritual. Dengan adanya kesadaran dan pem-buktian sanksi-sanksi ritual yang dialami anggota subak akan terjadi internalisasi personal terhadap situasi religius yang akan membentuk pemaknaan individu. Pemaknaan individu akan terintegrasi secara bertahap secara kolektif sehingga akan terjadi habitualisasi dalam komunitas.

Page 34: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

210

Gambar 25 menunjukkan model tata kelola katahanan pangan dan ketahanan hayati yang idealnya dilakukan oleh pemerintah dan elemen terkait, di dalam usaha mentransfer kebijakan ketahanan pangan dan ketahanan hayati kepada masyarakat. Dari Gambar ini dapat dijelaskan bahwa peran keluarga, komunitas dalam hal ini subak dengan aturan ritual yang mengikat dan meng’habitus’, mampu mengimplementasikan kebijakan pemerintah pada kegiatan nyata yaitu penjaminan ketahanan pangan dan ketahanan hayati. Gambar ini juga menunjukkan ada peran yang spesifik bagi perempuan anggoa subak dalam hal pelaksanaan ritual. Perempuan bebas mengekspresikan perannya dalam ritual, baik dalam pembuatan keputusan hingga tanggung jawab pelaksanaannya. Sehingga dengan model ini isu kese-taraan peran yang masih menjadi wacana bagi pemerhati gender terbantahkan. Justru dalam pelaksanaan ritual terjadi pembagian peran yang khas di antara gender, sehingga isu gender tidak menjadi masalah yang harus diperdebatkan. Walaupun model yang penulis rancang ini masih memungkinkan untuk dikembangkan, tetapi dalam tulisan ini penulis berharap bahwa dengan model ini akan terlihat bagaimana pemberdayaan kearifan lokal pada masyarakat harus memadukan kebijakan pemerintah dengan kebijakan lokal yang berlaku di tingkat komunitas. Untuk kasus pada penelitian ini kebijakan lokal adalah kebijakan subak yang tetuang dalam awig-awignya.

Page 35: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak

211

Page 36: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/9/D_902009009_BAB VIII.pdf · Ritual Subak. Pengantar . Dari bahasan bab-bab empiris

Berperan sentralRitual Subak

(Kearifan Lokal)

Kebijakan Internal

(awig-awig)

Pembangunan Berkelanjutan

Laki-laki

Komunitas di Kawasan Budaya

Dunia (Culture heritage)

Regional dan Nasional

Kebijakan eksternal (pemerintah)

Ketahanan Pangan dan Hayati * Pertanian Organik

Subak (Subak Wongaya Betan)

Kebijakan Ketahanan Pangan dan Hayati

UU No. 7 Tahun 1996 UU No. 4 Tahun 2006

Perempuan

Gambar 25Model Tata Kelola Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati di Subak Wongaya Betan