pengaruh kecerdasan emosional terhadap komitmen …
TRANSCRIPT
1
Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Komitmen Organisasi pada Guru SMA Swasta di Kota Depok dengan
Kepuasan Kerja sebagai Variabel Mediasi
Paramita Herang, Putri Mega Desiana
Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia
E-mail : [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosinal terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasi, serta untuk mengetahui peran kepuasan kerja sebagai mediator hubungan antara kecerdasan emosional dan komitmen organisasi. Responden dalam penelitian ini adalah guru SMA swasta di Kota Depok sebanyak 102 responden. Desain penelitian ini adalah penelitian konklusif, dengan penelitian deskriptif (single cross-sectional design). Data penelitian ini diolah dengan perangkat lunak Lisrel 8.51, menggunakan teknik Structural Equation Modeling (SEM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosional terbukti berpengaruh signifikan dan secara positif terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasi, serta kepuasan kerja terbukti berperan sebagai mediator hubungan antara kecerdasan emosional dan komitmen organisasi pada guru SMA swasta di Kota Depok.
The Effect of Emotional Intelligence on Organizational Commitment of Private Senior High School Teachers in Depok City with Job Satisfaction as Mediation Variable
Abstract
This study aims to investigate the effect of emotional intelligence on job satisfaction and organizational commitment, and to investigate the role of job satisfaction as a mediator of relationship between emotional intelligence and organizational commitment. Respondents in this study are private senior high school teachers in Depok City with 102 respondents. Design of this research is conclusive research, with descriptive research (single cross-sectional design). Data was processed with Lisrel 8.51 software, using Structural Equation Modeling (SEM) technique. The results showed that there is significant and positive effect of emotional intelligence on job satisfaction and organizational commitment, and job satisfaction proved to role as mediator of relationship between emotional intelligence and organizational commitment of private senior high school teachers in Depok City.
Keywords: Emotional intelligence; job satisfaction; organizational commitment; structural equation modeling.
Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir, komitmen organisasi telah muncul sebagai konsep sentral
dalam studi sikap dan perilaku (Allen & Meyer, 1996). Hart & Willower (2001) dalam
Akomolafe & Olatomide (2013), menjelaskan bahwa komitmen organisasi adalah keinginan
pekerja untuk tetap dalam suatu organisasi, kesediaan untuk mengerahkan upaya besar atas nama
Pengaruh kecerdasan ..., Paramita Herang, FEB UI, 2016
2
organisasi, serta kepercayaan dan penerimaan tujuan dengan nilai-nilai organisasi. Komitmen
organisasi menjadi hal yang penting bagi organisasi, karena kesuksesan organisasi tergantung
pada karyawan yang berkomitmen (Guenzi & Pelloni, 2004 dalam Ahangar, 2012).
Komitmen organisasi dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah kepuasan
kerja. Scherler (2001) dalam Tabatabaei & Farazmehr (2015) mendefinisikan kepuasan kerja
sebagai sejauh mana orang-orang menyukai pekerjaan mereka. Rowden (2002) dalam Chiva &
Alegre (2008) mengatakan ada alasan penting mengapa kita harus peduli dengan kepuasan kerja.
Salah satu yang paling penting adalah bahwa kepuasan kerja dapat mengarahkan perilaku
karyawan, yang dapat mempengaruhi fungsi dan kinerja organisasi. Kemudian, kepuasan kerja
berhubungan dengan berbagai faktor individu, misalnya seperti kecerdasan emosional. Hal ini
seperti yang dikatakan Zhongming, Jinyang, Ping, & Jiaxi (2015), bahwa kecerdasan emosional
merupakan faktor individu yang memiliki hubungan yang dekat dengan kepuasan kerja. Wong &
Law (2002) pun menemukan bahwa kecerdasan emosional mendorong kepuasan kerja. Mayer &
Salovey (1990) dalam Zhongming, Jinyang, Ping, & Jiaxi (2015), mengatakan bahwa kecerdasan
emosional mengacu pada kemampuan individu untuk memahami, mengevaluasi,
mengungkapkan, dan mengelola emosi.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Badawy & Magdy (2015), ditemukan bahwa
kecerdasan emosional yang tinggi itu penting bagi akademisi, karena mencerminkan
keterampilan sosial yang tinggi, yang membantu mereka dalam berinteraksi dengan siswa. Salah
satu contoh akademisi adalah guru, dimana para guru tidak hanya memberikan pengetahuan,
tetapi juga memastikan bahwa siswa memperoleh keterampilan belajar, serta ilmu sosial dan
budaya yang relevan dalam perilaku, sehingga mengajar juga merupakan pekerjaan yang
membutuhkan emosional kerja yang tinggi (Brennan, 2006; Hargreaves, 2001 dalam Vesely,
Saklofske, & Leschied, 2013). Sedangkan, Hirschefld (2000) dalam Yin, Lee, Zhang, & Jin
(2013) mengatakan bahwa kepuasan kerja guru merupakan indikator penting dari kesejahteraan
psikologis guru, dan mencerminkan sejauh mana guru menyukai mengajar. Kemudian,
komitmen organisasi guru terhadap sekolah telah ditemukan dapat memprediksi efektivitas
sekolah (Howell & Dorfman, 1986; Rosenholtz, 1991 dalam Bogler & Somech, 2004).
Guru sebagai salah satu tenaga pengajar dalam bidang akademis, merupakan salah satu
elemen penting di sekolah, sehingga ketersediaan guru yang berkualitas sangat dibutuhkan di
Kota Depok sebagai kota pendidikan. Untuk mewujudkan kota Depok sebagai kota pendidikan,
Pengaruh kecerdasan ..., Paramita Herang, FEB UI, 2016
3
maka tentunya harus didukung oleh instansi pendidikan, seperti sekolah-sekolah yang ada di
Kota Depok. Salah satunya adalah untuk jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), karena inilah
tingkat akhir dalam pendidikan dasar bagi setiap orang sebelum masuk ke perguruan tinggi.
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi bagaimana
kecerdasan emosional mempengaruhi komitmen organisasi, dengan kepuasan kerja sebagai
variabel mediasi.
Tinjauan Teoritis 1. Kecerdasan Emosional
Dalam beberapa tahun terakhir, telah ada penelitian yang cukup besar yang berusaha
untuk memperjelas definisi dari konstruk kecerdasan emosional. Salovey & Mayer (1990) dalam
Joshi, Suman, & Sharma, 2015, mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai bagian dari
kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan untuk melihat dan membedakan perasaan sendiri
dan emosi orang lain, serta menggunakan informasi ini untuk membimbing pemikiran dan
tindakan seseorang. Salovey (1997) dalam Jordan & Troth (2011), berpendapat bahwa karyawan
yang efektif harus sangat menyadari dan mampu mengelola emosi mereka sendiri dan emosi
orang lain di tempat kerja, karena kemampuan kecerdasan emosi memungkinkan individu untuk
dapat memberikan kontribusi dan hubungan yang lebih baik di tempat kerja (Mayer & Salovey,
1997 dalam Jordan & Troth, 2011).
Wong & Law (2002) mengkonsepkan kecerdasan emosional terdiri dari 4 (empat)
dimensi dan definisi yang berbeda, yaitu sebagai berikut:
a) Penilaian Emosi Diri / Self-Emotion Appraisal (SEA)
Hal ini berkaitan dengan kemampuan individu untuk memahami emosi mereka yang
mendalam dan mampu mengekspresikan emosi tersebut secara alami. Orang-orang yang
memiliki kemampuan besar dalam menilai emosi dirinya akan merasakan dan mengakui
emosi mereka dengan baik dibandingkan dengan kebanyakan orang lainnya.
b) Penilaian Emosi Orang Lain / Others’ Emotion Appraisal (OEA)
Hal ini berkaitan dengan kemampuan individu untuk merasakan dan memahami emosi dari
orang-orang di sekitar mereka. Orang yang tinggi dalam kemampuan ini akan jauh lebih
sensitif terhadap perasaan dan emosi orang lain serta membaca pikiran mereka.
Pengaruh kecerdasan ..., Paramita Herang, FEB UI, 2016
4
c) Pengaturan Emosi / Regulation of Emotion (ROE)
Hal ini berkaitan dengan kemampuan orang untuk mengatur emosi mereka, yang akan
memungkinkan pemulihan yang lebih cepat dari tekanan psikologis.
d) Penggunaan Emosi / Use of Emotion (UOE)
Hal ini berkaitan dengan kemampuan individu untuk menggunakan emosi mereka dengan
mengarahkannya ke arah kegiatan yang konstruktif dan kinerja pribadi.
2. Kepuasan Kerja
Spector (1997) menyatakan bahwa secara umum, kepuasan kerja merupakan sejauh mana
orang-orang menyukai (kepuasan) atau tidak menyukai (ketidakpuasan) pekerjaannya.
Menurutnya, kepuasan kerja mengenai bagaimana perasaan orang tentang pekerjaannya dan
aspek yang berbeda dari pekerjaannya. Kepuasan kerja juga dapat dianggap sebagai kumpulan
sikap tentang berbagai aspek atau segi pekerjaan atau sebagai perasaan umum (global feeling)
mengenai pekerjaan. Pertama, pendekatan segi, digunakan untuk mencari tahu apa elemen
pekerjaan yang menghasilkan kepuasan atau ketidakpuasan. Hal ini dapat sangat berguna untuk
organisasi yang ingin mengidaentifikasi area-area ketidakpuasan yang ingin mereka perbaiki.
Kedua, pendekatan global, digunakan untuk menilai kepuasan kerja secara keseluruhan dalam
hubungannya dengan variabel lain yang menarik (Spector, 1997).
Spector (1985) dalam Spector (1997) mengkonsepkan kepuasan kerja terdiri dari 9
(Sembilan) dimensi, yaitu sebagai berikut:
a) Pembayaran / Pay
Kepuasan dengan gaji dan kenaikan gaji.
b) Promosi / Promotion
Kepuasan dengan peluang promosi.
c) Pengawasan / Supervision
Kepuasan dengan atasan langsung orang tersebut.
d) Tunjangan / Fringe Benefits
Kepuasan dengan tunjangan
e) Imbalan Tambahan / Contingent Rewards
Kepuasan dengan imbalan (tidak harus moneter) yang diberikan untuk kinerja yang baik.
f) Kondisi Operasional / Operating Conditions
Kepuasan dengan aturan dan prosedur
Pengaruh kecerdasan ..., Paramita Herang, FEB UI, 2016
5
g) Rekan Kerja / Coworkers
Kepuasan dengan rekan kerja
h) Sifat Kerja / Nature of Work
Kepuasan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan.
i) Komunikasi / Communication
Kepuasan dengan komunikasi dalam organisasi.
3. Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi juga menyangkut tentang sejauh mana anggota organisasi setia dan
bersedia untuk berkontribusi pada organisasi (Tsai & Huang, 2008). Selain itu, komitmen
organisasi dikonsepkan juga sebagai ikatan karyawan untuk sebuah organisasi, yang
mengarahkan individu untuk bertindak secara konsisten dengan keyakinan mereka, serta
memperkuat keterlibatan mereka dalam organisasi (Mathieu & Zajac 1990; Meyer & Allen 1997;
Mowday 1998; Reichers 1985; Steers 1977; dalam Cabarcos, de Pinho, & Rodriguez, 2014).
Hunt, Wood, & Chonko (1989) dalam Tsai & Huang (2008), mengatakan bahwa karyawan yang
berkomitmen untuk perusahaan mereka cenderung untuk mengidentifikasi tujuan dan sasaran
organisasi mereka dan ingin tetap dengan organisasi mereka. Kontribusi dari karyawan yang
tetap berkomitmen untuk organisasi dan berbagi tujuan dan nilai-nilainya merupakan hal penting
agar organisasi dapat mencapai tujuan yang ditetapkan (Buluc, 2009 dalam Buluc & Gunes,
2014).
Allen & Meyer (1990) dalam Allen & Meyer (1996) menyebutkan bahwa komitmen
organisasi terbagi atas 3 (tiga) dimensi, yaitu:
a) Komitmen Afektif / Affective Commitment (AC)
Komitmen afektif didefinisikan sebagai perasaan positif dalam identifikasi, keterikatan dan
keterlibatan dalam pekerjaan di organisasi. Dengan demikian, karyawan dengan komitmen
afektif yang kuat akan tetap dengan organisasi karena mereka ingin melakukannya.
Karyawan mempertahankan posisinya bukan hanya karena ia membutuhkan jabatannya,
tetapi juga karena ia menginginkannya.
b) Komitmen Normatif / Normative Commitment (NC)
Komitmen normatif berdasarkan pada rasa kewajiban untuk organisasi. Karyawan dengan
komitmen normatif yang kuat akan tetap dengan organisasi karena mereka merasa harus
untuk melakukannya. Karyawan akan tetap dengan organisasi karena keyakinan mereka
Pengaruh kecerdasan ..., Paramita Herang, FEB UI, 2016
6
bahwa itu adalah hal yang benar dan bermoral, serta memang hal yang harus dilakukannya.
Komitmen normatif dapat meningkat ketika seseorang merasa setia kepada organisasinya
karena merasa bertanggung jawab untuk bekerja atas manfaat yang ia dapatkan dari
organisasi.
c) Komitmen Berkelanjutan / Continuance Commitment (CC)
Komitmen berkelanjutan adalah tingkat komitmen yang dirasakan karyawan untuk
organisasi mereka ketika mereka mempertimbangkan biaya meninggalkan organisasi.
Karyawan dengan komitmen berkelanjutan yang kuat akan tetap dengan organisasi karena
mereka harus melakukannya. Karyawan tetap dengan organisasi hanya karena ia
membutuhkannya.
4. Hubungan antara Kecerdasan Emosional, Kepuasan Kerja, dan Komitmen Organisasi
Menurut Lopes, Salovey, & Straus (2003) dalam Jordan & Troth (2011), karyawan
dengan tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi, akan mengembangkan hubungan yang
lebih berkualitas. Abraham (1999) dalam Thiruchelvi & Supriya (2009) pun menunjukkan
hubungan antara kepuasan kerja dan kecerdasan emosional, serta menemukan bahwa tingkat
kecerdasan emosional yang lebih tinggi dapat mempengaruhi kepuasan kerja yang lebih tinggi
juga dan hubungan kuat dengan rekan kerja dan supervisor. Kemudian, Nikolaou & Tsaousis
(2002) dalam Groves & Vance (2009), dalam penelitiannya menemukan adanya hubungan
positif antara kecerdasan emosional dan komitmen organisasi, serta menunjukkan bahwa
kecerdasan emosional adalah penentu loyalitas karyawan kepada organisasi.
Menurut literatur, kepuasan kerja dan komitmen organisasi adalah dua perilaku yang
berhubungan dengan pekerjaan, dan kepuasan kerja merupakan faktor penentu penting dari
komitmen organisasi. Ssesanga & Garrett (2005) dalam Seyal & Afzaal (2013) mempelajari
kepuasan kerja antara akademisi universitas di Uganda, dan menemukan bukti terkait kepuasan
kerja antara karyawan universitas, serta variabel anteseden kecerdasan emosional dan komitmen
organisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akademisi dengan nilai-nilai kecerdasan
emosional yang tinggi dan persepsi kepuasan yang tinggi cenderung merasa lebih emosional
dengan organisasi mereka.
Pengaruh kecerdasan ..., Paramita Herang, FEB UI, 2016
7
Metode Penelitian
Menurut Malhotra (2007), desain penelitian merupakan kerangka/cetak biru (blueprint)
yang digunakan untuk melaksanakan penelitian, yang memuat rincian prosedur yang dibutuhkan
guna memberikan struktur dan atau jawaban dari masalah penelitian sebagai bagian dari proses
pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan desain penelitian konklusif,
yaitu dengan jenis penelitian deskriptif, serta single cross-sectional design. Penelitian konklusif
bertujuan untuk membantu dalam pengambilan keputusan guna menyelesaikan masalah yang ada
dalam penelitian (Malhotra, 2007). Kemudian, penelitian deskriptif digunakan untuk menangkap
fenomena dan memahami karakteristik permasalahan yang terdapat pada hipotesis penelitian
(Malhotra, 2007). Selanjutnya, single cross-sectional design merupakan penelitian yang
dilakukan hanya pada satu periode dan satu kelompok saja (Malhotra, 2007).
Dalam metode pengumpulan data, peneliti menggunakan data primer dan data sekunder.
Menurut Umar (2013), data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama, baik dari
individu atau perseorangan seperti hasil pengisian kuesioner yang bisa dilakukan oleh peneliti.
Data primer dalam penelitian ini dikumpulkan melalui metode survei dengan instrumen
kuesioner secara self-administered, yaitu responden mengisi sendiri kuesionernya. Sedangkan,
data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder dari data
yang dibutuhkan peneliti (Bungin, 2005). Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
bersumber dari buku, jurnal penelitian, artikel, dan situs internet yang berhubungan dengan
penelitian, yang digunakan sebagai bahan referensi untuk membantu peneliti dalam
melaksanakan penelitian ini.
Dalam metode pengumpulan sampel, sampel yang digunakan adalah guru tetap dari 10
(sepuluh) SMA swasta berbeda yang ada di Kota Depok. Ukuran sampel ditentukan melalui
metode Maximum Likelihood (ML), dimana setiap indikator dalam kuesioner harus terwakili oleh
5 (lima) responden, sehingga minimal sampel yang dibutuhkan adalah 16 X 5 = 80 responden
(Hair, Black, Babin, Anderson, & Tatham, 2009 dalam Wijanto, 2008). Lalu, teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah nonprobability sampling, yaitu purposive sampling,
dengan judgmental sampling. Judgmental sampling adalah purposive sampling dengan kriteria
berupa suatu pertimbangan tertentu (Hartono, 2013). Kriteria dalam pengambilan sampel
penelitian ini terdiri dari 2 (dua) kriteria, yaitu berdasarkan pada status guru dan lama bekerja
guru di sekolah.
Pengaruh kecerdasan ..., Paramita Herang, FEB UI, 2016
8
Penelitian ini mengacu pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Anari (2012) pada
guru SMA di Kerman, Iran. Gambar 1 di bawah ini merupakan model penelitian yang
merupakan adaptasi dari penelitian Anari (2012).
Gambar 1. Model Penelitian
(Sumber: Anari, 2012 dan telah diolah peneliti)
Adapun hipotesis dalam penelitian ini terdiri atas 3 (tiga) hipotesis, diantaranya adalah:
𝐻! : Kecerdasan emosional berpengaruh signifikan dan secara positif terhadap kepuasan kerja.
Dalam berbagai penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa kecerdasan emosional
memiliki hubungan positif dengan kepuasan kerja, serta ditemukan juga bahwa terdapat
pengaruh kecerdasan emosional terhadap kepuasan kerja (Reisel, Probst, Chia, Maloles, &
Konig, 2010; Wagenaar, Kompier, Houtman, van den Bossche, Smulders, & Taris, 2012; dalam
Zhongming, Jinyang, Ping, & Jiaxi, 2015). Meisler (2014) menemukan bahwa kecerdasan
emosional secara positif terkait dengan kepuasan kerja. Zhongming, Jinyang, Ping, & Jiaxi
(2015) menggunakan pemodelan persamaan struktural dalam penelitiannya dan juga menemukan
bahwa kecerdasan emosional secara signifikan dapat mempengaruhi kepuasan kerja.
Pengaruh kecerdasan ..., Paramita Herang, FEB UI, 2016
9
𝐻! : Kecerdasan emosional berpengaruh signifikan dan secara positif terhadap komitmen
organisasi.
Beberapa studi telah menemukan hubungan positif antara kecerdasan emosional dan
komitmen organisasi, seperti penelitian dari Aghdasi, Kiamanesh, & Ebrahim (2011) yang
menemukan adanya hubungan positif antara kecerdasan emosional dan komitmen organisasi.
Carmeli (2003) juga melaporkan adanya hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional
dan komitmen organisasi. Hal yang sama juga ditemukan oleh Guleryuz, Guney, Aydin, & Asan
(2008), yang menemukan bahwa kecerdasan emosional berhubungan secara signifikan dan
positif dengan komitmen organisasi.
𝐻! : Kepuasan kerja berpengaruh signifikan dan secara positif terhadap komitmen organisasi.
Para peneliti telah menunjukkan bahwa kepuasan kerja mempunyai hubungan yang
positif dengan komitmen organisasi, seperti yang ditemukan oleh Aghdasi, Kiamanesh, &
Ebrahim (2011). Guleryuz et al (2008) juga menemukan adanya hubungan yang signifikan dan
positif antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Aghdasi, Kiamanesh, & Ebrahim (2011)
dalam penelitiannya menemukan bahwa kepuasan kerja memiliki pengaruh positif langsung yang
kuat terhadap komitmen organisasi. Selain itu, Fu & Deshpande (2012) menyatakan bahwa
secara keseluruhan, kepuasan kerja memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap
komitmen organisasi.
Dalam penelitian ini, metode pengukuran sikap yang digunakan adalah skala likert. yaitu
dengan skala penilaian 1-6, serta menggunakan alat ukur yang terbagi atas 3 (tiga), yaitu:
a) Kecerdasan Emosinal
Untuk mengukur kecerdasan emosional, peneliti menggukanan Wong and Law Emotional
Intelligence Scale (WLEIS) yang dikembangkan oleh Wong & Law (2002). WLEIS terdiri
dari 4 dimensi, dimana masing-masing dimensi memiliki 4 indikator, sehingga jumlah
keseluruhan sebanyak 16 indikator. Dimensi WLEIS diantaranya adalah Self-Emotion
Appraisal (SEA), Others’ Emotion Appraisal (OEA), Regulation of Emotion (ROE), dan Use
of Emotion (UOE).
b) Kepuasan Kerja
Untuk mengukur kepuasan kerja, peneliti menggukanan Job Satisfaction Survey (JSS) yang
dikembangkan oleh Spector (1985) dalam Spector (1997). JSS terdiri dari 9 dimensi, dimana
Pengaruh kecerdasan ..., Paramita Herang, FEB UI, 2016
10
masing-masing dimensi memiliki 4 indikator, sehingga jumlah keseluruhan sebanyak 36
indikator. Dimensi JSS diantaranya adalah pay, promotion, supervision, fringe benefits,
contingent rewards, operating conditions, coworkers, nature of work, dan communication.
c) Komitmen Organisasi
Untuk mengukur komitmen organisasi, peneliti menggukanan Organizational Commitment
Questionnaire (OCQ) yang dikembangkan Allen & Meyer (1990) dalam Jaros (2007). OCQ
terdiri dari 3 dimensi, dimana masing-masing dimensi memiliki 8 indikator, sehingga jumlah
keseluruhan sebanyak 24 indikator. Dimensi OCQ diantaranya adalah Affective Commitment
(AC), Normative Commitment (NC), dan Continuance Commitment (CC).
Kemudian, metode analisis data yang digunakan adalah uji validitas dan uji reliabilitas
pada data pretest, serta statistik deskriptif untuk mengetahui frekuensi responden. Keduanya
diolah dengan menggunakan program SPSS 20. Sedangkan, untuk melakukan pengujian
hipotesis pada data final test, peneliti menggunakan Structural Equation Modeling (SEM)
melalui program Lisrel 8.51. Dengan SEM, kita juga dapat melakukan uji kecocokan model
penelitian dan analisis hubungan kausal antar variabel penelitian.
Hasil Penelitian
Gambar 2 di bawah menunjukkan path diagram model struktural akhir setelah dilakukan
respesifikasi dengan menghapus 2 indikator dari variabel laten kepuasan kerja, yaitu indikator
FRB dan NOW, karena kedua indikator tersebut berkorelasi terlalu tinggi dengan indikator dari
variabel laten lain, yaitu AC dari variabel laten komitmen organisasi, sehingga menyebabkan
RMSEA menjadi poor fit sebesar 0,094. Setelah menghapus indikator FRB dan NOW, akhirnya
diperoleh nilai RMSEA sebesar 0,061 dan mencapai good fit.
Pengaruh kecerdasan ..., Paramita Herang, FEB UI, 2016
11
Gambar 2. Path Diagram Model Struktural Akhir (Sumber: Output Lisrel hasil olahan peneliti)
Kemudian, tabel 1 di bawah menunjukkan ringkasan hasil pengujian hipotesis, dimana
dalam penelitian ini terdapat 3 (tiga) hipotesis. Hipotesis penelitian dapat dibuktikan melalui
model persamaan struktural yang telah dibuat. Pengujian hipotesis dapat didasarkan pada nilai t-
values yang diperoleh dari hasil pengolahan data Lisrel, dimana nilai t-values dapat dilihat pada
path diagram model. Hipotesis diterima jika nilai t-values yang diperoleh adalah ≥ 1,96, dan
hipotesis ditolak jika t-values yang diperoleh ≤1,96.
Tabel 1. Hasil Pengujian Hipotesis
(Sumber: Output Lisrel hasil olahan peneliti)
Hipotesis Pernyataan Hipotesis t-values Keterangan Kesimpulan
𝐻!
Kecerdasan emosional berpengaruh signifikan dan secara positif terhadap kepuasan kerja
3,82 Berpengaruh signifikan dan secara positif
Hipotesis diterima
𝐻!
Kecerdasan emosional berpengaruh signifikan dan secara positif terhadap komitmen organisasi
2,51 Berpengaruh signifikan dan secara positif
Hipotesis diterima
𝐻! Kepuasan kerja berpengaruh signifikan dan secara positif terhadap komitmen organisasi
4,26 Berpengaruh signifikan dan secara positif
Hipotesis diterima
Pengaruh kecerdasan ..., Paramita Herang, FEB UI, 2016
12
Pembahasan
Berdasarkan pada hasil pengujian hipotesis sebelumnya, pada 𝐻! diperoleh nilai t-values
sebesar 3,82 ≥ 1,96, sehingga 𝐻! diterima dan dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional
terbukti memberikan pengaruh signifikan dan secara positif terhadap kepuasan kerja. Hal ini
berarti semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional guru, maka semakin tinggi juga kepuasan
kerja yang dirasakannya. Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan, pengaruh signifikan dan
secara positif dari kecerdasan emosional terhadap kepuasan kerja pada guru SMA swasta di Kota
Depok, dapat disebabkan oleh pelatihan dan seminar tentang kecerdasan emosional, yang
diadakan oleh pihak sekolah/yayasan untuk para guru. Selain itu, kecerdasan emosional guru
juga terbentuk dari kegiatan belajar-mengajar, dimana guru dalam kesehariannya menangani
siswa yang memiliki berbagai karakter berbeda, sehingga secara tidak langsung, guru terlatih
dalam mengelola emosinya (Badawy & Magdy, 2015).
Hasil penelitian 𝐻! ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anari (2012), yang
menemukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosional dan
kepuasan kerja. Guru dengan kecerdasan emosional yang tinggi, akan lebih mampu untuk
mengenali, mengelola, dan menggunakan emosinya untuk menyelesaikan masalah dalam
pekerjaannya, sehingga ia bisa merasakan kepuasan kerja yang lebih tinggi juga (Anari, 2012).
Hasil penelitian lain yang menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berpengaruh signifikan
dan secara positif terhadap kepuasan kerja adalah penelitian yang dilakukan oleh Villard (2004)
dan Adeyemo & Ogunyemi (2005) dalam Anari (2012), Carmeli (2003); Meisler (2014);
Zhongming, Jinyang, Ping, & Jiaxi (2015); Sy, Tram, & O'Hara, (2006); dan Guleryuz, Guney,
Aydin, & Asan (2008).
Selanjutnya, pada 𝐻! diperoleh nilai t-values sebesar 2,51 ≥ 1,96, sehingga 𝐻! diterima
dan dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional terbukti memberikan pengaruh signifikan
dan secara positif terhadap komitmen organisasi. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat
kecerdasan emosional guru, maka semakin tinggi juga komitmen organisasi yang dimilikinya.
Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan, pengaruh signifikan dan secara positif dari
kecerdasan emosional terhadap komitmen organisasi pada guru SMA swasta di Kota Depok,
dapat disebabkan oleh seleksi ketat dari pihak sekolah/yayasan dalam penerimaan guru. Seleksi
tersebut memiliki beberapa tahapan, diantaranya tes psikologi, tes akademik, micro teaching,
serta wawancara dengan psikolog, kepala sekolah, dan pihak yayasan. Rangkaian seleksi
Pengaruh kecerdasan ..., Paramita Herang, FEB UI, 2016
13
terhadap guru tersebut dirancang dan dilakukan langsung oleh konsultan psikolog, yang
digunakan oleh pihak sekolah/pihak yayasan (Badawy & Magdy, 2015).
Hasil penelitian 𝐻! ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anari (2012), yang
menemukan terdapat hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosional dan
komitmen organisasi. Guru dengan kecerdasan emosional yang tinggi, akan lebih mampu untuk
memotivasi dan mendorong dirinya sendiri agar berusaha yang terbaik bagi sekolah, sehingga ia
merasa bahwa sekolah memiliki arti penting bagi dirinya, yang berarti ia akan memiliki
komitmen organisasi yang lebih tinggi juga (Anari, 2012). Hasil penelitian lain yang
menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berpengaruh signifikan dan secara positif terhadap
komitmen organisasi adalah penelitian yang dilakukan oleh Abraham (2000) dan Ashforth &
Humphrey (1995) dalam Anari (2012), Carmeli (2003); Guleryuz, Guney, Aydin, & Asan
(2008); Aghdasi (2011); Nikolaou & Tsaousis (2002) dalam Groves & Vance (2009); dan Rathi
& Rastogi (2009).
Kemudian, pada 𝐻! diperoleh nilai t-values sebesar 4,26 ≥ 1,96, sehingga 𝐻! diterima
dan dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja terbukti memberikan pengaruh signifikan dan
secara positif terhadap komitmen organisasi. Hal ini berarti semakin besar tingkat kepuasan yang
dirasakan guru, maka semakin tinggi juga komitmen organisasi yang dimilikinya. Berdasarkan
pada penelitian yang dilakukan, pengaruh signifikan dan secara positif dari kepuasan kerja
terhadap komitmen organisasi pada guru SMA swasta di Kota Depok, dapat disebabkan oleh
berbagai dimensi kepuasan kerja yang diberikan pihak sekolah/yayasan kepada guru. Contohnya
seperti, kepuasan terhadap supervisi diperoleh dari keterbukaan kepala sekolah untuk berdiskusi
tentang apapun, dimana pintu ruangan kepala sekolah selalu terbuka sehingga setiap guru dapat
leluasa untuk menemui kepala sekolah. Contoh lainnya adalah kepuasan dengan komunikasi,
yang diperoleh dari komunikasi yang baik di sekolah, dimana terdapat budaya koordinasi, yaitu
seperti penyampaian informasi dan agenda kegiatan harian, hingga rapat guru yang menjadi
jadwal rutin mingguan, yang menjadi salah satu sarana komunikasi untuk mengemukakan ide,
pemikiran, dan saran (Badawy & Magdy, 2015).
Hasil penelitian 𝐻! ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Anari (2012), yang
menemukan bahwa terdapat hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Guru
dengan kepuasan kerja yang tinggi, akan lebih mampu untuk menjalin hubungan baik di sekolah
dan menyukai apapun yang dilakukannya di sekolah, sehingga ia merasa senang menghabiskan
Pengaruh kecerdasan ..., Paramita Herang, FEB UI, 2016
14
waktunya untuk bekarir di sekolah, yang berarti ia akan memiliki komitmen organisasi yang
lebih tinggi juga (Anari, 2012). Hasil penelitian lain yang menunjukkan bahwa kepuasan kerja
berpengaruh signifikan dan secara positif terhadap komitmen organisasi adalah penelitian yang
dilakukan oleh Arnett, Laverie, & McLane (2002); Fletcher & Williams (1996) dan Yavas &
Bodur (1999) dalam Cabarcos, de Pinho, & Rodriguez (2014); Guleryuz, Guney, Aydin, & Asan
(2008); Aghdasi, Kiamanesh, & Ebrahim (2011); Fu & Deshpande (2012); Knoop (1995) dalam
Akomolafe & Olatomide (2013); Rose (1991) dan Petrides & Furham (2006) dalam Anari
(2012).
Dalam menjelaskan peran kepuasan kerja sebagai mediator hubungan antara kecerdasan
emosional dan komitmen organisasi, Abraham (2000) dalam Anari (2012) mengatakan bahwa
karyawan yang lebih mampu untuk mengenali dan mengekspresikan emosinya, lebih mampu
untuk memahami emosi dirinya dan emosi orang lain, lebih mampu untuk mengelola emosi
positif dan emosi negatif dalam dirinya, dan lebih mampu mengendalikan emosinya secara
efektif di tempat kerja, akan lebih berkomitmen dengan organisasi, sehingga karyawan yang
memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, akan menganggap hubungannya dengan organisasi
sebagai ekstensi/perpanjangan dari hubungan yang dimilikinya dengan rekan kerja dan
atasannya.
Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil pengolahan data dan analisis data yang telah dijelaskan sebelumnya,
maka peneliti memperoleh beberapa kesimpulan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Kecerdasan emosional terbukti berpengaruh signifikan dan secara positif terhadap kepuasan
kerja dan komitmen organisasi pada guru SMA swasta di Kota Depok. Hal ini berarti,
semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki guru, maka semakin tinggi juga
tingkat kepuasan kerja yang dirasakannya. Selanjutnya, semakin tinggi tingkat kecerdasan
emosional yang dimiliki guru, maka semakin tinggi juga tingkat komitmen organisasi yang
dimilikinya terhadap sekolah.
2) Kepuasan kerja terbukti berpengaruh signifikan dan secara positif terhadap komitmen
organisasi pada guru SMA swasta di Kota Depok. Hal ini berarti, semakin besar tingkat
kepuasan kerja yang dirasakan guru, maka semakin besar juga komitmen organisasi yang
Pengaruh kecerdasan ..., Paramita Herang, FEB UI, 2016
15
dimiliki guru terhadap sekolah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja
terbukti berperan sebagai mediator hubungan antara kecerdasan emosional dan komitmen
organisasi pada guru SMA swasta di Kota Depok.
Saran
Berdasarkan pada hasil penelitian, maka terdapat implikasi manajerial, dimana ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pihak sekolah/yayasan, yaitu sebagai berikut:
1. Terkait dengan kecerdasan emosional:
a) Seperti yang telah diketahui sebelumnya dalam pembahasan di Bab 4 bahwa pengaruh
signifikan dan secara positif dari kecerdasan emosional terhadap kepuasan kerja pada
guru SMA swasta di Kota Depok, dapat disebabkan oleh seleksi ketat dari pihak
sekolah/yayasan dalam penerimaan guru dengan menggunakan konsultan psikolog.
Namun, sepertinya belum semua sekolah menerapkan hal tersebut. Oleh karena itu, bagi
sekolah yang ingin memperoleh guru dengan kecerdasan emosional yang baik, peneliti
menyarankan agar pihak sekolah/yayasan dapat menggunakan konsultan psikolog dalam
melaksanakan seleksi penerimaan guru.
b) Selain itu, diketahui juga bahwa kecerdasan emosional terbukti berpengaruh signifikan
dan secara positif terhadap komitmen organisasi pada guru guru SMA swasta di Kota
Depok. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa tingkat kecerdasan emosional guru di
sekolah sudah cukup baik, namun alangkah lebih baik lagi jika pihak sekolah/yayasan
dapat memfasilitasi guru di sekolah dalam tetap menjaga dan lebih mengembangkan
kecerdasan emosionalnya. Pihak sekolah/yayasan diharapkan untuk dapat lebih rutin
lagi dalam mengadakan pelatihan, misalnya dengan pelatihan motivasi. Selain itu,
mungkin pihak sekolah/yayasan dapat menyediakan psikolog khusus untuk mengadakan
sesi konseling dengan guru, misalnya 3 bulan sekali. Hal ini agar guru dapat tetap
mampu dan lebih optimal lagi untuk memotivasi dirinya sendiri dalam pekerjaannya
dan lebih meningkatkan kecerdasan emosionalnya.
2. Terkait dengan kepuasan kerja:
a) Penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja terbukti berpengaruh signifikan dan
secara positif terhadap komitmen organisasi pada guru SMA swasta di Kota Depok.
Pengaruh kecerdasan ..., Paramita Herang, FEB UI, 2016
16
Oleh karena itu, pihak sekolah/yayasan dapat lebih meningkatkan kepuasan kerja guru
di sekolah, salah satunya dengan cara dapat memperbaiki kondisi operasional di sekolah
menjadi lebih efektif dan efisien. Pihak sekolah/yayasan diharapkan untuk dapat
memfasilitasi guru agar semua tugas yang berkaitan dengan dokumen, dapat dilakukan
secara komputerisasi dan terhubung ke jaringan intranet sekolah. Hal ini bertujuan
untuk mempermudah guru dalam meminimalisir tugas yang berkaitan dengan dokumen.
b) Selain itu, pihak sekolah/yayasan juga dapat membantu guru di sekolah dalam
menciptakan hubungan yang berkualitas antara guru dengan rekan kerjanya. Pihak
sekolah/yayasan diharapkan untuk dapat membuat sebuah forum diskusi atau pertemuan
rutin bagi para guru agar dapat saling bertukar pengetahuan dan wawasan, sehingga
mereka dapat saling meningkatkan kompetensinya dalam mengajar. Hal ini penting
dilakukan agar guru dapat merasa bahwa ia tidak harus bekerja keras sendirian dalam
mengajar, karena ia bekerja dengan guru–guru yang kompeten. Kemudian, dalam penelitian ini juga masih terdapat beberapa keterbatasan, yaitu:
1. Periode penelitian bersamaan dengan periode sibuk pihak sekolah, karena bertepatan dengan
persiapan hingga pelaksanaan Ujian Nasional (UN) SMA. Hal ini menyebabkan peneliti
sulit dalam mendapatkan persetujuan untuk melakukan penelitian di sekolah. Selain itu, ada
juga sekolah yang baru menyetujui permohohonan penelitian saat UN telah selesai
dilaksanakan, sehingga menyebabkan peneliti tidak bisa memperoleh responden lebih
banyak lagi dari guru kelas XII karena mereka sudah tidak ada jam mengajar dan tidak
datang ke sekolah.
2. Jumlah responden dalam penelitian ini relatif kecil dan hanya mampu memenuhi batas
minimum responden, karena responden yang terkumpul hanya sebanyak 102 responden,
dengan minimum 80 responden.
3. Peneliti tidak dapat mendampingi responden saat mengisi kuesioner karena kuesioner hanya
boleh dititipkan kepada Kepala Bagian Kurikulum untuk disebar kepada guru. Hal ini yang
mungkin menyebabkan bias dalam pengisian kuesioner dan akhirnya terdapat sejumlah
kuesioner yang tidak valid dan tidak dapat dimasukkan ke dalam pengolahan data, sehingga
mengurangi jumlah responden juga.
4. Terdapat 2 dimensi kepuasan kerja dalam penelitian ini yang menyebabkan masalah dalam
pengolahan data, yaitu dimensi fringe benefits (FRB) dan Nature of Work (NOW) dari
Pengaruh kecerdasan ..., Paramita Herang, FEB UI, 2016
17
variabel kepuasan kerja, yang memiliki tingkat korelasi yang tinggi dengan dimensi affective
commitment (AC) dari variabel komitmen organisasi, sehingga terdapat overlap yang cukup
besar, karena dua dimensi yang seharusnya mengukur variabel yang berbeda, justru
mengukur hal yang sama, yang kemudian menyebabkan model struktural penelitian ini
menjadi poor fit.
Oleh karena itu, peneliti memiliki beberapa saran untuk penelitian selanjutnya agar
peneliti selanjutnya dapat menyempurnakan penelitian ini, yaitu:
1) Jika peneliti selanjutnya juga akan melakukan penelitian pada guru di sekolah, maka
sebaiknya peneliti harus mengajukan permohonan penelitian kepada pihak sekolah sejak
awal periode penelitian, karena pihak sekolah/yayasan membutuhkan waktu yang cukup
lama dalam memberikan persetujuan penelitian. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi agar
jadwal penyebaran kuesioner dapat dilakukan sebelum pelaksanaan ujian nasional (UN),
sehingga peneliti bisa memperoleh responden guru dari sekolah dalam jumlah yang utuh.
2) Jika peneliti selanjutnya juga akan melakukan penelitian pada sampel yang sama, maka
peneliti dapat mengupayakan agar jumlah responden dalam penelitian selanjutnya dapat
terkumpul lebih banyak lagi, karena semakin banyak jumlah sampel, maka data juga akan
semakin bervariasi dan representatif.
3) Sebaiknya peneliti dapat mendampingi responden secara langsung saat responden mengisi
kuesioner. Hal ini bertujuan agar semua kuesioner yang disebar dan dikumpulkan kembali
adalah kuesioner yang diisi dengan valid sehingga dapat dimasukkan semuanya ke dalam
pengolahan data agar tidak mengurangi jumlah responden yang ada.
4) Penelitian dapat dilakukan di bidang lainnya, selain di bidang akademis. Kemudian, jika
peneliti selanjutnya akan menggunakan alat ukur kepuasan kerja yang digunakan dalam
penelitian ini, sebaiknya tetap menggunakan dimensi dan indikator yang lengkap sesuai
aslinya, dikarenakan mungkin saja dimensi atau indikator yang tidak valid dalam penelitian
ini, justru dapat valid dalam penelitian selanjutnya. Selain itu, peneliti selanjutnya juga dapat
menambahkan variabel lain dalam penelitiannya, misalnya seperti variabel keadilan
organisasi, persepsi dukungan organisasi (perceived organizatioal support/POS), dan
perilaku kewargaan organisasi (organizational citizenship behavior).
5) Peneliti dapat mengganti variabel kecerdasan emosional dengan variabel lain yang juga
menjadi anteseden kepuasan kerja, misalnya seperti motivasi ekstrinsik, work-family
Pengaruh kecerdasan ..., Paramita Herang, FEB UI, 2016
18
conflict, job stress, dan person-job fit. Hal ini untuk mengetahui pengaruh anteseden
kepuasan kerja lainnya selain kecerdasan emosional, yang memiliki pengaruh yang mungkin
lebih besar terhadap kepuasan kerja dibandingkan dengan kecerdasan emosional.
Daftar Referensi Aghdasi, S., Ali R. Kiamanesh., and A. N. Ebrahim. (2011). Emotional intelligence and
organizational commitment: Testing the Mediatory Role of Occupational Stress and Job
Satisfaction. Social and Behavioral Sciences, 29, 1965-1976.
Ahangar, R. G. (2012). Emotional intelligence: The most potent factor of job performance
among executives. Emotional Intelligence-New Perspective and Applications, 121-138.
Akomolafe, M. J., and O. O. Olatomide. (2013). Job satisfaction and emotional intelligence as
predictor of organizational commitment of secondary school teachers. Ife PsychologIA,
21 (2), 65-74.
Allen, N. J., and John P. Meyer. (1996). Affective, continuance, and normative commitment to
the organization: An Examination of construct validity. Journal of Vocational Behavior,
49, 252-276
Anari, N. N. (2012). Teachers: emotional intelligence, job satisfaction, and organizational
commitment. Journal of Workplace Learning, Vol. 24 No. 4, 256-269
Badawy, T. A. E., and Mariam M. Magdy. (2015). Assessing the impact of emotional
intelligence on job satisfaction: An empirical study on faculty members with respect to
gender and age. International Business Research, Vol. 8 No. 3, 67-78
Bogler, R., and A. Somech. (2004). Influence of teacher empowerement on teachers’
organizational commitment, professional commitment and organizational citizenship
behavior in schools. Teaching and Teacher Education, 20, 277-289.
Buluc, B., and A. M. Gunes. (2014). Relationship between organizational justice and
organizational commitment in primary schools. Anthropologist, 18 (1), 145-152.
Bungin, H. M. Burhan. (2005). Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Prenamedia
Group.
Pengaruh kecerdasan ..., Paramita Herang, FEB UI, 2016
19
Cabarcos, M. A. L., A. I. M. L. S. de Pinho, and P. V. Rodriguez. (2014). The influence of
organizational justice and job satisfaction on organizational commitment in Portugal’s
hotel industry. Cornell Hospitality Quarterly, Vol. 56 (3), 258-272.
Carmeli, A. (2003). The relationship between emotional intelligence and work attitudes,
behaviour and outcomes: An examination among senior managers. Journal of
Managerial psychology, 18(8), 788- 813.
Chiva, R., and Alegre J. (2008). Emotional intelligence and job satisfaction: The role of
organizational learning capability. Personnel Review, Vol. 37 No. 6, 680-701
Fu, W., and S. P. Deshpande. (2012). Antecedents of organizational commitment in a chinese
construction company. Journal of Business Ethics, Vol. 109 No. 3, 301-307.
Groves, Kevin S., and C. M. Vance. (2009). Examining managerial thinking style, EQ, and
organizational commitment. Journal of Managerial Issues, Vol. 21 No. 3, 344-366.
Guleryuz, G., S. Guney., E. M. Aydin., and O. Asan. (2008). The mediating effect of job
satisfaction between emotional intelligence and organizational commitment of nurses: A
questionnaire survey. International Journal of Nursing Studies, 49, 1625-1635.
Hartono, Jogiyanto. (2013). Metodologi Penelitian Bisnis. Yogyakarta: BPFE.
Jordan, P. J., and A. Troth. (2011). Emotional intelligence and leader member exchange: The
relationship with employee turnover intentions and job satisfaction. Leadership &
Organization Development Journal, Vol. 32 No. 3, 260-280.
Joshi, P., S. K. Suman, and M. Sharma. (2015). The effect of emotional intelligence on job
satisfaction of faculty: A structural equation modeling approach. The IUP Journal of
Organizational Behavior, Vol. 14 No. 3, 58-70.
Malhotra, Naresh K. (2007). Marketing Research an Applied Orientation 5 th ed.New York:
Prentice Hall
Meisler, Galit. (2014). Exploring emotional intelligence, political skill, and job satisfaction.
Employee Relations, Vol. 36 No. 3, 280-293.
Portal Resmi Pemerintah Kota Depok. (2016). http://www.depok.go.id/profil-kota/peta. Diakses
pada tanggal 12 Februari 2016.
Ratih, N., and R. Rastogi. (2009). Assessing the relationship between emotional intelligence,
occupational self-efficacy and organizational commitment. Journal of the Indian
Academy of Applied Psychology, Vol. 35, 93-102.
Pengaruh kecerdasan ..., Paramita Herang, FEB UI, 2016
20
Seyal, A. H., and T. Afzaal. (2013). An investigation of relationship among emotional
intelligence, organizational commitment and job satisfaction: Evidence from academics
in Brunei Darussalam. International Business Research, Vol. 6 No. 3,
Spector, P. E. (1997). Job satisfaction: Application, assessment, causes, and consequences.
Thousand Oaks, CA: Sage.
Sy, T., Tram, S., & O'Hara, L. A. (2006). Relationship of employee and manager emotional
intelligence to job satisfaction and performance. Journal of Vocational Behavior, 68(3),
461-473.
Tabatabaei, S. O., and Z. Farazhmehr. (2015). The relationship between emotional intelligence
and Iranian language institute teachers’ job satisfaction. Theory and Practice in
Language Studies, Vol. 5 No. 1, 184-195.
Thiruchelvi, A., and M. V. Supriya. (2009). Emotional intelligence and job satisfaction. Asia-
Pacific Business Review, Vol. 5 No. 2, 109-115.
Tsai, M. T., and C. C. Huang. (2008). The relationship among ethical climate types, facets of job
satisfaction, and the three components of organizational commitment: A study of nurses
in Taiwan. Journal of Business Ethics, Vol. 80 No. 3, 565-581.
Umar, Husein. (2013). Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: Rajawali Pers.
Vesely, A. K., D. H. Saklofske, and A. D. W. Leschied. (2013). Teachers-the vital resource: The
contribution of emotional intelligence to teacher efficacy and well-being. Canadian
Journal of School Psychology, 28 (1), 71-89.
Wijanto, S. H. (2008). Structural Equation Modeling dengan LISREL 8.8: Konsep dan Tutorial.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Wong, C. S., & Law, K. S. (2002). The effects of leader and follower emotional intelligence on
performance and attitude: An explanatory study. The Leadership Quarterly, 13(3), 243-
274.
Yin, Hong-biao, J. C. K. Lee, Z. Zhang, Y. Jin. (2013). Exploring the relationship among
teachers’ emotional intelligence, emotional labor strategies and teaching satisfaction.
teaching and Teacher Education, 35, 137-145.
Zhongming, O., Jinyan S., Ping L., and Jiaxi P. (2015). Organizational justice and job insecurity
as mediators of the effect of emotional intelligence on job satisfaction: A study from
China. Personality and Individual Differences, 76, 147-152.
Pengaruh kecerdasan ..., Paramita Herang, FEB UI, 2016