pengantar sosiologi pendidikan

22
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kunci untuk menapaki masa depan. Dengan menempuh pendidikan, diharapkan seseorang akan mendapatkan pekerjaan sebagai mata pencaharian atau setidaknya mempunyai dasar ketrampilan untuk mencari nafkahnya. Selama ini kita tahu proses belajar atau yang sering kita sebut pendidikan telah kita dapat di sekolah-sekolah, mulai dari TK sampai SMA bahkan sampai perguruan tinggi. Sekolah menjadi penting, artinya melalui sekolah kita mendapat pendidikan yang menentukan arah kehidupan kita dalam menapaki masa depan terutama dalam mencari sebuah pekerjaan. Yang menjadi masalah adalah seberapa penting sekolah membantu kita di dalam dunia kerja. Sedemikian pentingnya pendidikan ini dalam hidup, maka pendidikan selalu menjadi ranah yang selalu hangat untuk diperbincangkan. B. Rumusan Masalah 1. Apa hubungan sekolah dan dunia kerja? 2. Apakah mengajar itu bagian dari pekerjaan atau profesi?

Upload: achmad-ircham

Post on 09-Jan-2017

55 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengantar sosiologi pendidikan

BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan kunci untuk menapaki masa depan. Dengan

menempuh pendidikan, diharapkan seseorang akan mendapatkan pekerjaan

sebagai mata pencaharian atau setidaknya mempunyai dasar ketrampilan untuk

mencari nafkahnya.

Selama ini kita tahu proses belajar atau yang sering kita sebut pendidikan

telah kita dapat di sekolah-sekolah, mulai dari TK sampai SMA bahkan sampai

perguruan tinggi. Sekolah menjadi penting, artinya melalui sekolah kita mendapat

pendidikan yang menentukan arah kehidupan kita dalam menapaki masa depan

terutama dalam mencari sebuah pekerjaan. Yang menjadi masalah adalah

seberapa penting sekolah membantu kita di dalam dunia kerja. Sedemikian

pentingnya pendidikan ini dalam hidup, maka pendidikan selalu menjadi ranah

yang selalu hangat untuk diperbincangkan.

B.       Rumusan Masalah

1.    Apa hubungan sekolah dan dunia kerja?

2.    Apakah mengajar itu bagian dari pekerjaan atau profesi?

C.      Tujuan Penulisan Makalah

1.    Untuk mengetahui hubungan sekolah dan dunia kerja

2.    Untuk mengetahui bahwa mengajar itu bagian dari pekerjaan atau

profsesi

Page 2: Pengantar sosiologi pendidikan

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Hubungan Antar Sekolah dan Dunia Kerja

Hubungan sekolah dengan dunia kerja diartikan sebagai jalinan kerjasama

fungsional yang saling menguntungkan antara sekolah dan dunia kerja dalam

penyelenggaraan Diklat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai pada

tahap evaluasi dan pemasaran tamatan.

Fungsi Sekolah

Anak yang telah menyelesaikan sekolah diharapkan sanggup melakukan

pekerjaan sebagai mata pencaharian atau setidaknya mempunyai dasar

ketrampilan untuk mencari nafkahnya. Hal ini bukan berarti sekolah hanya ingin

memenuhi kebutuhan pragmatis, tetapi pandangan ini berangkat dari persoalan

dan problematika yang dihadapi secara azasi dalam kehidupan manusia. Manusia

terdorong dan bergairah untuk melanjutkan sekolah diantaranya beranggapan

bahwa semakin tinggi pendidikannya, semakin tinggi harapannya memperoleh

pekerjaan yang lebih baik.

a) Fungsi transmisi dan transformasi kebudayaan

Fungsi transmisi dan transformasi kebudayaan pendidikan sekolah ada dua

yaitu: Pertama, transmisi pengetahuan dan ketrampilan, seperti pengetahuan

tentang bahasa, sistem matematika, pengetahuan alam dan sosial, dan penemuan-

penemuan teknologi. Transmisi ketrampilan diajarkan untuk membentuk

ketrampilan anak didik yang sangat dibutuhkan masyarakat, seperti sekolah

teknik. Kedua, transmisi sikap, nilai, dan norma-norma. Sebagian besar sikap dan

nilai dipelajari secara informal melalui situasi formal di kelas dan di sekolah. Di

sekolah melalui contoh pribadi guru, cerita-cerita, buku-buku bacaan, pelajaran

sejarah, dan suasana sekolah yang mencerminkan sikap, nilai dan norma-norma

masyarakat yang dapat dipelajari anak didik.

Page 3: Pengantar sosiologi pendidikan

b)  Fungsi peranan manusia sosial

Sekolah diharapkan membentuk manusia sosial yang dapat bergaul dengan

sesama manusia, meskipun berbeda agama, suku, bangsa, pendirian, ekonomi, dan

sebagainya. Sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan situasi sosial yang

berbeda-beda. Masyarakat kita telah mengenal diferensiasi dan spesialisasi suatu

pekerjaan. Kekurangan atau kelebihan tenaga spesialisasi dalam masyarakat,

selalu menimbulkan berbagai macam masalah sosial. Oleh karena itu, untuk

menjaga keseimbangan tersebut, peran sekolah menjadi sangat penting untuk

membimbing karir anak didik dengan menggunakan beberapa pertimbangan,

antara lain catatan prestasi anak di sekolah dan hasil tes khusus mengenai

kemampuan dan minat anak. Dengan demikian, maka fungsi sekolah adalah

menyaring dan mengarahkan pilihan anak mengenai spesialisasi pekerjaan kelak

dalam masyarakat.

c)  Fungsi membentuk kepribadian sebagai dasar ketrampilan

Sekolah tidak saja mengajarkan tentang pengetahuan dan ketrampilan yang

bertujuan mempengaruhi perkembangan intelektual anak, melainkan juga

memperhatikan perkembangan jasmaniah melalui program olahraga, senam dan

kesehatan. Disamping itu, sekolah juga memperhatikan perkembangan watak anak

melalui latihan kebiasaan dan tata tertib pendidikan agama dan pendidikan budi

pekerti. Dengan demikian, pendidikan sekolah berfungsi mengembangkan

kepribadian anak secara keseluruhan. Kepribadian ini akan menyinari dan

mewarnai ketrampilan-ketrampilan yang akan dimiliki anak didik.

d) Sekolah mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan

Anak yang telah lulus sekolah diharapkan sanggup melaksanakan pekerjaan

sebagai sumber mata pencaharian. Semakin tinggi tingkat pendidikan anak,

semakin besar harapan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Ijazah masih

tetap dijadikan syarat penting untuk suatu jabatan, walaupun ijazah itu sendiri

belum menjamin kesiapan seseorang untuk melakukan pekerjaan tertentu. Akan

tetapi dengan ijazah yang tinggi seseorang dapat memahami dan menguasai

pekerjaan dan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

Page 4: Pengantar sosiologi pendidikan

e)  Integrasi sosial

Dalam masyarakat yang bersifat pluralistik, multikultural, dan heterogen

membutuhkan upaya oleh semua pihak untuk menjamin integrasi sosial. Keutuhan

sosial sangat penting untuk menciptakan keseimbangan hidup masyarakat. Untuk

menjaga keutuhan sosial adalah tugas sekolah yang sangat penting. Upaya-upaya

untuk menjaga integritas sosial antara lain:

1. Sekolah mengajarkan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Dengan bahasa

nasional, seluruh suku, golongan, agama yang berbeda-beda akan merasa dirinya

terikat oleh kesatuan sosial, yaitu bangsa Indonesia.

2. Sekolah mengajarkan pengalaman-pengalaman yang sama kepada anak-anak

melalui kurikulum, buku bacaan, buku pelajaran, dan sebagainya. Pengalaman

yang sama akan membawa ke arah ikatan emosional menuju kebersamaan.

3. Sekolah mengajarkan kepada anak, corak kepribadian nasional melalui

pelajaran sejarah, geografi, upacara bendera, peringatan hari besar nasional, lagu

nasional, dan sebagainya. Yang tidak kalah pentingnya adalah memahami makna

falsafah Pancasila sebagai way of life bangsa Indonesia, nilai-nilai luhur Pancasila

digali dari inti dan sari pati nilai budaya luhur nenek moyang bangsa Indonesia.1

B. Mengajar Sebagai Pekerjaan

Pekerjaan merupakan suatu rangkaian aktivitas untuk memperoleh

pendapatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Oleh karena pekerjaan

dipandang sebagai cara pemenuhan kebutuhan hidup, ketika kebutuhan hidup

telah terpenuhi, maka pekerjaan tersebut dilakukan seadanya sepanjang apa

yang dilakukan tidak memengaruhi perolehan pendapatan yang pada gilirannya

memengaruhi pemenuhan kebutuhan hidup. Mengapa bisa seperti ini? Apabila

suatu rangkaian aktivitas untuk memperoleh pendapatan bagi pemenuhan

kebutuhan hidup dipandang berjalan lancar tanpa hambatan sehingga hidup

sesuai seperti yang diharapkan, maka tidak ada alasan atau kekuatan internal

untuk mengubah visi, cara, ritma, sikap, atau perilaku terhadap pekerjaan ini.

1 http://taufiqismail93.blogspot.co.id/2014/04/sekolah-dan-dunia-kerja.html

Page 5: Pengantar sosiologi pendidikan

Cara pandang seperti di atas kelihatannya sangat dominan di kalangan

para guru, terutama para guru perempuan sebelum adanya sertifikasi guru, di

masa lampau tentang pekerjaan. Kenapa demikian? Dalam masyarakat

Indonesia pada masa lampau, pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki

dikonstruksi sedemikian rupa, dimana perempuan bekerja di ruang domestik

(rumah dan lingkungannya) dan laki-laki ditempatkan di ruang publik (di luar

rumah seperti kantor dan pabrik). Konstruksi sosial budaya seperti ini

dipandang sebagai sesuatu yang seharusnya dan semestinya demikian, yang

terkristalisasi sebagai tradisi, adat, atau kebiasaan. Jika ada perempuan yang

menyimpang dari tradisi ini, maka akan ada resistensi sosial dan budaya

terhadap perilaku atau tindakan yang dipandang menyimpang oleh komunitas,

mungkin berupa penolakan komunitas terhadap perempuan ini untuk dijadikan

sebagai menantu atau ipar dari suatu keluarga besar. Ketika perempuan telah

mulai banyak melakukan perilaku atau tindakan yang dipandang menyimpang

ini, yaitu bekerja di luar rumah, maka komunitas di(ter)paksa secara perlahan

untuk menafsirkan ulang mana tindakan menyimpang atau tidak menyimpang

dalam kaitannya dengan pekerjaan.

Penafsiran ulang pekerjaan yang dipandang menyimpang atau tidak, pada

suatu titik menghasilkan kompromi, yaitu mensinergikan pekerjaan domestik

dan publik. Apa pekerjaan yang dipandang sinergis antara pekerjaan domestik

dan publik menurut masyarakat? Salah satu pekerjaan yang dilihat sinergis

antara pekerjaan domestik dan publik adalah pekerjaan sebagai guru. Mengapa

demikian? Pekerjaan guru, dilihat dari perspektif emik, merupakan “pekerjaan

lanjutan” dari pekerjaan domestik, yang dilakukan dalam rumah tangga.

Aktivitas seperti mengasuh, membesarkan, dan mendidik anak di dalam

keluarga dapat diperbesar cakupan, jangkauan, dan kuantitasnya dengan

memperluas ruang dan memperpanjang waktu melalui memasuki pekerjaan

sebagai guru.

Bekerja sebagai guru bagi seorang perempuan akan memperluas ruang

dan memperpanjang waktu dalam mengasuh, membesarkan, dan mendidik

anak, dalam hal ini anak secara sosial pedagogis, yaitu guru sebagai ibu

Page 6: Pengantar sosiologi pendidikan

sedangkan murid sebagai anak, dalam hal ini anak didik. Kegiatan sebagai

guru, dipahami secara emik oleh masyarakat, bukan merupakan pekerjaan yang

berat dan bertentangan dengan pekerjaan yang dilakukan di rumah tangga;

sebaliknya ia dilihat sebagai kelanjutan dari pekerjaan rumah tangga seperti

tugas pengasuhan dan pendidikan anak. Karena ia dipandang sebagai

“pekerjaan lanjutan” maka bisa dipahami mengapa banyak perempuan masuk

ke sekolah atau perguruan tinggi yang berdimensi atau berkaitan dengan

kependidikan, dimana pekerjaan utama setelah selesai mengikuti pendidikan

adalah guru.

Ketika guru dipandang sebagai “pekerjaan lanjutan” dari pekerjaan

domestik, maka pekerjaan ini dilakukan seperti mengerjakan pekerjaan

domestik. Seperti diketahui bahwa pekerjaan rumah tangga dilakukan dan

dirasakan oleh perempuan sebagai sesuatu yang biasa, monoton, tidak

menantang, dan kurang dinamis. Cara memandang pekerjaan domestik seperti

itu juga memengaruhi cara pandang mereka tentang pekerjaan guru sebagai

“pekerjaan lanjutan” dari pekerjaan domestik, sehingga ia dilakukan seadanya,

monoton, cara dan strategi pembelajaran tidak berbeda jauh dari tahun awal

mengajar sampai saat pension menjadi guru. Untuk menajamkan pemahaman

tentang fenomena ini, mungkin ada baiknya kita ambil contoh lain. Misalnya

dalam masyarakat Minangkabau tradisional mempersiapkan masakan dalam

rumah tangga merupakan tugas perempuan, khususnya istri. Tugas ini

dilakukan setiap hari dan terus-menerus oleh istri, sehingga memasak dirasakan

suatu pekerjaan yang monoton dan tidak jarang membosankan. Berbeda jika

seorang laki-laki yang bekerja sebagai “tukang masak”, dikenal sebagai koki

dalam konsep mo-dern, pada suatu rumah makan atau restoran, tidak akan

melihat apa yang dilakukannya sebagai sesuatu yang monoton dan

membosankan, karena dia melihat apa yang dilakukannya sebagai profesi.

C. Mengajar Sebagai Profesi

Dalam tahun 1925 Carr Saunder telah menyarankan, “ suatu profesi

mungkin bisa diidentifikasikan sebagai pekerjaan yang didasarkan atas studi dan

Page 7: Pengantar sosiologi pendidikan

pendidikan intelektual khusus, yang tujuanya memberikan layanan yang terampil

atau nasihat kepada orang-orang lain dengan imbakan upah atau gaji yang

ditentukan.2

Mengajar sebagai profesi berarti mengkonstruksikan jabatan sebagai

guru dipandang sebagai profesi. Memang tidak dimungkiri bahwa pada masa

lampau para guru, khususnya perempuan, telah ada yang melihat dan

menyadari bahwa pekerjaan mereka sebagai guru merupakan suatu profesi,

bukan sekedar sebagai pekerjaan belaka, namun lebih jauh dari itu. Cara

pandang seperti itu jumlahnya lebih terbatas dibandingkan dengan yang

melihat guru sebagai sekedar pekerjaan, tidak lebih

Kesadaran para perempuan pendidik tentang guru sebagai profesi,

muncul tatkala pekerjaan domestik (pekerjaan di dalam rumah tangga) telah

tidak membebani atau berkurang karena anak-anak telah beranjak besar dan

dewasa, sehingga keterikatan terhadap pekerjaan kerumahtanggaan sudah

melonggar. Konsekuensi dari perkembangan ini, menyebabkan sebagian ibu

guru mulai mengembangkan diri melalui berbagai cara seperti belajar sendiri

(autodidak) melalui berbagai media, mengikuti pelatihan, bahkan melanjutkan

studi ke jenjang yang lebih tinggi. Jadi, kesadaran dalam melihat, memandang,

dan memperlakukan guru sebagai suatu profesi dikarenakan adanya dorongan

dari dalam (faktor internal) seperti semakin banyaknya waktu luang sehingga

bisa dialihkan menjadi waktu untuk belajar dan untuk mempersiapkan diri

lebih matang dalam berbagai materi ajar dan cara serta strategi belajar

mengajar. Apabila dorongan dari dalam ini tidak dimiliki pada saat ada peluang

untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi diri menjadi seorang profesional,

maka sukar diharapkan guru tersebut bisa mejadi profesional sampai dia

memasuki masa pensiun.

Dorongan dan tekanan untuk menjadikan posisi guru sebagai profesi

semakin menguat ketika ada Undang-Undang tentang Guru dan Dosen.

Undang-undang ini memberikan ganjaran dan hukuman terhadap guru dan

2 Philip Robinson, Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan, ( Jakarta : CV Rajawali, 1986) hlm. 166

Page 8: Pengantar sosiologi pendidikan

dosen terhadap aktivitas dan kegiatan yang dilakukannya dalam hubungannya

dengan jabatan guru dan dosen. Semua guru didorong untuk menjadikan semua

aktivitas dan kegiatannya dilakukan secara profesional. Karena adanya

dorongan guru menjadi profesional maka guru diharuskan meningkatkan

kualitas, kompetensi, dan keahlian profesional mereka. Dorongan eksternal ini

sedikit banyaknya telah memberikan motivasi bagi guru untuk mengubah diri

dalam peningkatan kualitas, kompetensi, dan keahlian profesional mereka.

Dalam kenyataannya, setelah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang

Guru dan Dosen ini diimplementasikan, ada kecenderungan banyak para guru

meningkatkan kualifikasi diri melalui mengikuti pendidikan lanjutan strata satu

(S-1) dan strata dua (S-2). Kenyataan seperti itu, tidak terbayangkan pada masa

sebelumnya akan terjadi.

Tidak dipungkiri bahwa tidak semua guru yang telah disertifikasi telah

mengubah diri menjadi guru yang profesional, seperti yang diamanahkan oleh

undang-undang tentang guru dan dosen tersebut. Meskipun demikian, telah

tampak bahwa guru sudah mulai serius dibandingkan sebelumnya untuk

meningkatkan kualitas diri dalam melaksanakan proses belajar mengajar

(PBM). Topik ini akan dibahas pada bagian berikutnya.

Bagaimana sesuatu itu bisa dikatakan sebagai profesi? Persyaratan apa

yang harus dipenuhi sehingga sesuatu dapat disebut sebagai suatu profesi?

Berikut beberapa karakteristik yang harus dipenuhi seseorang sehingga sesuatu

yang dikerjakan tersebut dapat disebut sebagai suatu profesi :

a. Sumber Pendapatan Utama

Suatu jabatan dikatakan bisa memenuhi unsur profesi, salah satunya adalah,

apabila ia dilakukan karena menjadi sumber pendapatan utama bagi

pemenuhan kebutuhan hidup. Karena suatu jabatan dilihat sebagai sumber

pendapatan utama, maka orang akan melakukan sesuatu yang terbaik dan

optimal yang bisa dilakukan terhadap pekerjaan ini. Semakin baik dan

optimal sesuatu itu dilakukan maka semakin besar pula peluang peningkatan

penerimaan pendapatan. Hipotesis ini bisa menjadi masuk akal ketika

dikaitkan dengan sertifikasi guru. Bila seorang guru melakukan sesuatu

Page 9: Pengantar sosiologi pendidikan

dengan baik dan optimal diperkirakan sang guru bisa meraih kompetensi

yang seharusnya dimiliki. Selanjutnya, bila kompetensi ini telah menjadi

bagian dari apa yang menjadi kegiatannya sebagai guru, maka diperkirakan

dia akan lulus sertifikasi guru. Konsekuensi logis dari seorang guru lulus

sertifikasi adalah peningkatan penerimaan pendapatan.

b. Curahan Waktu Kerja Terbesar

Esensi dari karakteristik profesi sebagai pekerjaan utama di atas adalah

curahan waktu kerja terbesar berada pada aktivitas yang menjadi sumber

pendapatan utama. Seorang guru yang profesional, misalnya, akan

mencurahkan waktu kerja yang terbesar pada aktivitas dan kegiatan yang

berhubungan dengan profesinya sebagai guru,seperti mempersiapkan bahan

dan materi, mengoreksi latihan, dan memperdalam cara dan strategi baru

dalam mengajar, bukan pada pekerjaan yang lain. Curahan waktu kerja

terbesar ini berkait dengan karakteristik berikutnya dari profesi yaitu

keahlian dan kompetensi, sebab seperti kata pepatah, “pasar jalan karena

ditempuh, hapal kaji karena diulang”. Melalui pepatah ini, kita juga dapat

menghipotesiskan : “pasar jalan, karena ditempuh, aktivitas profesional,

karena dikompetensi”.

c. Keahlian dan Kompetensi Khusus

Suatu profesi tertentu memiliki keahlian dan kompetensi tertentu pula,

termasuk guru sebagai profesi. Keahlian seorang guru berkait dengan

kemampuannya dalam mengajar, mendidik, membimbing, mengarahkan,

melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Adapun kompetensi dari

seorang guru profesional berhubungan dengan penguasaan materi atau

bahan ajar, perencanaan program proses belajar mengajar, pengelolaan

program belajar mengajar, penggunaan media dan sumber pembelajaran,

pelaksanaan evaluasi dan penilaian prestasi siswa, program bimbingan dan

konseling, diagnosis kesulitan belajar siswa, dan pelaksanaan administrasi

kurikulum atau administrasi guru.

Page 10: Pengantar sosiologi pendidikan

d. Pendidikan dan Pelatihan Khusus

Untuk mendapatkan keahlian dan kompetensi khusus dari suatu profesi

diperlukan pula suatu pendidikan dan pelatihan khusus pula. Seorang yang

ingin menjadi apoteker, suatu profesi yang berhubungan dengan aktivitas

farmasi dan obat-obatan, maka di samping dia harus menyelesaikan

pendidikan pada sarjana strata satu (S-1) di bidang farmasi, selanjutnya dia

juga harus melanjutkan pendidikan keahlian (profesi) sebagai apoteker

selama paling kurang dua semester. Demikian pula, bila seseorang ingin

mejadi dokter, maka selain harus menyelesaikan studi S-1 pada pendidikan

kedokteran, dia juga harus mengambil pendidikan keahlian dalam bidang

medis sebagai dokter umum. Hal yang sama juga harus dilalui oleh seorang

guru. Seorang calon guru harus menyelesaikan pendidikan strata satu yang

berhubungan dengan isi dan substansi yang akan diajarkan seperti

sosiologi, sejarah, dan matematika. Setelah itu, dia harus mengikuti

pendidikan keprofesian sebagai guru di lembaga yang direkomendasikan

menurut aturan perundangan.

e. Standardisasi

Keahlian dan kompetensi memerlukan standar. Melalui standar, setiap

profesional bisa diuji atau dinilai keahlian dan kompetensi yang dimilikinya.

Pengujian dan penilaian terhadap keahlian dan kompetensi yang dimiliki

dilakukan secara periodik dan berkelanjutan, sehingga keahlian dan

kompetensi dari suatu profesi bisa terstandar. Dalam profesi guru,

standardisasi dilakukan melalui sertifikasi guru. Konsekuensi logis adanya

standardisasi keahlian dan kompetensi guru adalah adanya standardisasi

pendapatan dari guru. Adalah suatu hal yang tidak mungkin diharapkan jika

seseorang guru diminta untuk berkualitas dan berkompetensi, sementara

pendapatan yang diterimanya tidak bisa memenuhi hidup layak,

sebagaimana yang diterima oleh profesi lain. Apa yang dilakukan terhadap

guru selama ini dengan “meninabobokkan” para guru sebagai pahlawan

tanpa jasa, sebenarnya, merupakan pengalihan kesadaran objektif guru

untuk memperoleh pendapatan layak sebagai manusia yang bermartabat

Page 11: Pengantar sosiologi pendidikan

secara moral dan material menjadi seorang “malaikat” yang tidak perlu

kehidupan dunia material. Bagaimana lagu Himne Guru “Pahlawan Tanpa

Tanda Jasa”, yang digubah Sartono, mampu mengalihkan kesadaran objektif

para guru menjadi kesadaran palsu sebagai pahlawan tanpa tanda jasa :

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru

Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku

Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku

S’bagai prasasti terima kasih ku ‘ntuk pengabdianmu

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan

Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan

Engkau patriot pahlawan bangsa

Tanpa tanda jasa.

Perulangan penyebutan pahlawan tanpa tanda jasa menyebabkan teorema

Thomas, “when men define situation as real, they are real in their

consequences” (jika orang mendefinisikan situasi sebagai suatu hal nyata,

situasi itu nyata dalam konsekuensinya) terwujud. Ketika guru

diperdengarkan Himne Guru “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” terus-menerus

dan dinyatakan pada setiap kesempatan pertemuan dengan guru bahwa guru

adalah pahlawan tanpa tanda jasa, maka apa yang dilagukan dan dinyatakan

terus menerus tersebut menjadi nyata dalam konsekuensinya. Situasi ini

berimplikasi pada sikap, perilaku, dan tindakan guru yang malu atau merasa

dipermalukan bila membicarakan reward atau penghargaan atas jasa yang

diberikannya kepada masyarakat. Karena guru harus ikhlas, sabar, dan tidak

materialis atas jasa yang telah ditunaikannya kepada masyarakat.

Konsekuensi standardisasi keahlian dan kompetensi seyogianya dibarengi

pula dengan standardisasi penerimaan atau pendapatan yang dapat dicapai

oleh seorang yang berprofesi sebagai guru. Undang-Undang Nomor 14

Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah mengakomodasi hal ini. Selain

mendapatkan gaji pokok dan tunjangan fungsional sebagai guru, guru yang

telah lulus sertifikasi akan memperoleh tunjangan profesi sebanyak satu

bulan gaji pokok yang mereka miliki.

Page 12: Pengantar sosiologi pendidikan

f. Organisasi dan Kode Etik Profesi

Setiap profesi memiliki organisasi dan kode etik profesi. Guru di republik

ini memiliki organisasi profesi yang bernama Persatuan guru Republik

Indonesia (PGRI). Kode etik profesi guru di Indonesia meliputi :

1. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia

Indonesia seutuhya berjiwa Pancasila.

2. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.

3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai

bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.

4. Guru menciptakan suasana sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya

proses belajar mengajar.

5. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat

sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggungjawab bersama

terhadap pendidikan.

6. Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan

meningkatkan mutu dan martabat profesinya.

7. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan

kesetiawanan sosial.

8. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu

organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.

9. Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang

pendidikan.3

3 Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, (Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2012) hlm, 147-155

Page 13: Pengantar sosiologi pendidikan

BAB III

KESIMPULAN

Jadi berdasarkan dari pemaparan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa

dengan melalui sekolah, kita akan mendapat ilmu ataupun keterampilan dimana

ilmu atau keterampilan tersebut akan digunakan di masa depan terutama dalam

pekerjaan. Semakin tinggi pendidikannya, semakin tinggi harapannya

memperoleh pekerjaan yang lebih baik

Mengajar dikatakan sebagai pekerjaan, apabila pekerjaan dipandang

sebagai cara pemenuhan kebutuhan hidup, ketika kebutuhan hidup telah terpenuhi,

maka pekerjaan tersebut dilakukan seadanya sepanjang apa yang dilakukan tidak

mempengaruhi perolehan pendapatan yang pada gilirannya memengaruhi

pemenuhan kebutuhan hidup. Sedangkan mengajar sebagai profesi berarti

mengkonstruksikan jabatan sebagai guru dipandang sebagai profesi. Yaitu

kesadaran dalam melihat, memandang dan memperlakukan guru sebagai suatu

profesi dikarenakan adanya dorongan dari dalam dirinya.

Page 14: Pengantar sosiologi pendidikan