laporan kasus kematian

99
LAPORAN KASUS KEMATIAN Seorang Laki-Laki usia 49 th dengan SNH, CKD & SEPSIS Untuk memenuhi salah satu tugas Komprehensif di Rumah Sakit Muhammadiyah Roemani Semarang Pembimbing : dr. Menik Hendrawati Disusun oleh : Kurniawati Khusnul Khotimah H2A009027 1

Upload: alifia-assyifa

Post on 15-Apr-2016

83 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

lapsus

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN KASUS KEMATIAN

LAPORAN KASUS KEMATIAN

Seorang Laki-Laki usia 49 th dengan SNH, CKD &

SEPSIS

Untuk memenuhi salah satu tugas Komprehensif

di Rumah Sakit Muhammadiyah Roemani Semarang

Pembimbing :

dr. Menik Hendrawati

Disusun oleh :

Kurniawati Khusnul Khotimah

H2A009027

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2014

1

Page 2: LAPORAN KASUS KEMATIAN

LEMBAR PENGESAHAN

2

Page 3: LAPORAN KASUS KEMATIAN

STATUS PASIEN

I. Identitas Penderita

Nama : Tn. MM

Umur : 49 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Status Perkawinan : Kawin

Pendidikan : S1

Pekerjaan : Swasta

Alamat : purwokerto Rt 01 Rw 01, Brongsong, Kendal

Tanggal Masuk Rumah Sakit : 31/01/2015

Tanggal Keluar Rumah Sakit : 31/01/2015

No CM : 372746

II. SUBYEKTIF

Anamnesis (alloanamnesa dengan istri pasien)

1. Riwayat Penyakit Sekarang

Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran

RPS :

Pada tangal 31/1/2015 pukul 10.00 WIB pasien dating ke IGD dengan

keluhan penurunan kesadaran sejak 1 jam yang lalu, pasien juga mengorok,

tidak dapat diajak komunikasi sejak bangun tidur tadi malam, pasien hanya

terdiam, bila ditanya tidak menjawab, batuk sejak 2 hari yang lalu, pasien

menggigil yang dikeluhkan semenjak habis cuci darah dari kamis, mual (+),

muntah (+), namun tidak nyemprot, demam (-), Pasien disarankan oleh dokter

untuk dirawat diruang ICU dan keluarga menyetujui.

2. Riwayat penyakit dahulu

- Riwayat diabetes mellitus (+)

- Riwayat stroke sebelumnya (-)

- Riwayat hipertensi (+)

3

Page 4: LAPORAN KASUS KEMATIAN

- Riwayat penyakit jantung (-)

- Riwayat CKD (+) Hemodialisa setiap hari senin, kamis (sudah 3

bulan)

3. Riwayat Kebiasaan

- Riwayat merokok (+)

- Riwayat minum alkohol (-)

- Riwayat minum jamu/ obat herbal (-)

4. Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini.

5. Riwayat sosial ekonomi dan pribadi

Penderita bekerja sebagai wirausaha, tinggal dirumah sendiri bersama istri

dan 3 orang anaknya.

Kesan : sosial ekonomi cukup.

III. OBYEKTIF

Kondisi saat datang ke IGD RS Roemani tanggal 31 /01/ 2015

Keadaan Umum : Lemas, Somnolen

Kesadaran : E3M4V afasia sensorik , motorik

Tanda Vital :

Tekanan darah : 80/60mmHg

Nadi : 92x/ menit (aritmia),isi tengangan cukup

Pernafasan : 26x/ menit

Suhu : 39,50 C

SpO2 : 99% NRM

1. Status Internus

Kepala : mesosefal

Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

Leher : simetris, pembesaran kelenjar limfe (-), JVP tidak

meningkat

Thorax

4

Page 5: LAPORAN KASUS KEMATIAN

Jantung : BJ I-II dbN, ireguler, bising (-), gallop (-)

Paru : sonor, suara dasar : vesikuler, suara tambahan :

ronkhi +/+, wheezing -/-

Abdomen : supel, bising usus (+) normal, hepar/lien tidak teraba

Ekstremitas superior : edema (-), turgor cukup, akral hangat

Ekstremitas Inferior : edema (-), turgor cukup, akral hangat

2. Status Psikikus

Cara berpikir : tidak bisa dinilai

Perasaan hati : tidak bisa dinilai

Tingkah laku : tidak bisa dinilai

Ingatan : tidak bisa dinilai

Kecerdasan : tidak bisa dinilai

3. Status Neurologis

Kesadaran : GCS : E3 M4 V afasia sensorik dn motorik

Kepala : mesosefal, simetris (+)

Mata : pupil bulat isokor, Ø 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya +/+

Visus ODS tidak bisa dinilai

Nervi kraniales : kesan paresis N VII sinistra

Leher : sikap lurus, pergerakan bebas, kaku kuduk (-)

Motorik Superior Inferior

Gerak : +/ +/

Kekuatan : sulit dinilai sulit dinilai

Tonus : N/N N/N

Trofi : E/E E/E

R.Fisiologis : +/+ +/+R.Patologis : -/- -/-

Klonus : - /- -/-

Sensibilitas : Sulit dinilai

Koordinasi, Gait dan Keseimbangan :

5

Page 6: LAPORAN KASUS KEMATIAN

Cara berjalan : tidak dilakukan

Tes Romberg : tidak dilakukan

Disdiadokokinesis : tidak dilakukan

Ataksia : tidak dilakukan

Rebound phenomen : tidak dilakukan

Dismetri : tidak dilakukan

Gerakan-gerakan abnormal :

Tremor : (-)

Athetose : (-)

Mioklonik : (-)

Khorea : (-)

Pemeriksaan Penunjang

Hasil EKG tanggal 31/01/ 2015

Irama : regular

Irama jantung : sinus takikardi

6

Page 7: LAPORAN KASUS KEMATIAN

Frekuensi : 155

Gelombang P : mengarah ke atas, terletak didepan QRS, tingginya <2,5 kotak

kecil

Interval PR : interval sama (3-5 kotak kecil)

Komplek QRS (lead I) : panjang 2x 0,4 s = 0,04 s

lebar : tinggi ; 8x 0,1 = 0,8 mV

Segmen ST : ST elevasi pada V1-V2

Gelombang T : gelombang ke atas mengikuti QRS

Axis : normal

Zona Transisi : V5

Kesan : Sinus takikardi, ………….

Hasil lab tanggal 31/01/2015

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMALHEMATOLOGI PAKETHemoglobinHematokritLeukositTrombositEritrosit

HITUNG JENISEosinofilBasofilN. SegmenLimfositMonositLaju Endap Darah

10,329,511.600462.0003,50

1277146,1-

gr%%Juta / mmkribu/mmkjuta/uL

ribu/mmk%%%%mm/jam

11,7 – 15,535 – 473600 – 11000150.000 – 440.0004,4 – 5,9

2-40-150-7025-402-80-20

KIMIA KLINIKGlukosa SewaktuUreum Kreatinin Albumin AST (SGOT)ALT (SGPT)TrigliseridKolestrolElektrolit :

KaliumNatrium

8624710,32,41159209347112

5,1129

mg/dl 80 - 110

7

Page 8: LAPORAN KASUS KEMATIAN

Chloride Calcium Phosphor

949,65,1

IV. RESUME

Subyektif

Seorang wanita 85 tahun, dibawa ke RS Muhammadiyah Roemani dengan

keluhan utama dispneu, ± 1 jam SMRS. Pasien memiliki riwayat stroke dan

hipertensi.

Obyektif

Pemeriksaan fisik:

Keadaan umum : kesan sakit berat

Kesadaran : GCS : E2M4V2

Tanda Vital : Tekanan darah : 160/100mmHg

Nadi : 86x/ menit (aritmia)

Pernafasan : 26x/ menit

Suhu : 36,9º C

SpO2 : 99% NRM

Status Interna : aritmia cordis (+)

Mata : pupil bulat isokor, Ø 2,5 mm, refleks cahaya +/+

Nn.Kraniales : kesan paresis N VII sinistra

Motorik : Kesan lateralisasi sinistra

Sensorik : sulit dinilai

Vegetatif : terpasang DC

Hasil EKG : atrial fibrilasi

Hasil Rontgen thorax : cardiomegali, elongatio aorta, gambaran edema paru,

efusi pleura duplex (min)

V. Diagnosis

I. Hipertensi Stage II

II. Sups.CHF

III. Atrial Fibrilasi

8

Page 9: LAPORAN KASUS KEMATIAN

IV. Hipokalemia

9

Page 10: LAPORAN KASUS KEMATIAN

VI. RENCANA AWAL

I. Hipertensi Stage II

Dx :

- Lab : Darah Rutin, elektrolit lengkap, ureum, kreatinin, asam urat

Tx :

- Infus RL 20 tetes/menit (iv)

- O2 3 l/menit (nasal kanul)

- Amlodipin 1x10mg

Mx : TTV

Ex :

- Menjelaskan kepada keluarga penderita tentang penyakit yang diderita,

pemeriksaan lanjutan yang akan dilakukan dan penatalaksanaan

selanjutnya.

II. Sups. CHF

Dx : Rongen thorax

Tx : fargoxin ½ ampul dalam NaCl sampai 10cc selama 10 menit

Alprazolam 1x0mg mg (malam)

Mx : TTV

Ex : -

III. Atrial Fibrilasi

Dx : EKG

Tx :bisoprolol

Mx : TTV

Ex : -

IV . Hipokalemia

Dx : lab

Tx : KSRr 3x1 tab

Kcl extra 1 tab

Mx : lab elektrolit

Ex : -

10

Page 11: LAPORAN KASUS KEMATIAN

CATATAN PERKEMBANGAN

27 Desember 2013

S : tiba-tiba sesak nafas, penurunan kesadaran

O : Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : E3M6V5

Tanda Vital : Tekanan darah : 180/110mmHg

Nadi : 105x/ menit (aritmia),isi tengangan cukup

Pernafasan : 32x/ menit

Suhu : 36,5o C

SpO2 : 99% NRM

Thorax : Jantung : BJ I-II dbN, ireguler, bising (-), gallop (-)

Paru : sonor, suara dasar : vesikuler, suara tambahan :

ronkhi -/-, wheezing -/-

Abdomen : supel, bising usus (+) normal, hepar/lien tidak teraba

Ekstremitas : edema (-), turgor cukup

A:

I. Hipertensi Stage II

II. Sups.CHF

III. Atrial Fibrilasi

IV. Hipokalemia

P:

Mx : TTV cek tekanan darah tiap 30 menit dengan target tekanan

darah 140/90 mmHg, EKG, lab ureum, creatinin, asam urat,

elektrolit lengkap.

Ex : -

Tx

- Infus RL 10 tpm

- Isosorbid srynge pump 5 mg tappering tiap 30 menit,

- Heparin bolus 60 IU x BB dilanjutkan 12 IU x BB

- Fargoxin ½ amp dalam NaCl sampai 10 cc selama 10 menit

11

Page 12: LAPORAN KASUS KEMATIAN

28 Desember 2013 (hari perawatan ke-1)

S : pasien sesak nafas. Hasil ro thorax : Kalsifikasi aorta, Left Ventricular

Hypertrophi (LVH)

O : Keadaan Umum : tampak sakit berat.

TD 170/100 mmHg, N : 87 x/menit isi tegangan cukup, RR : 24x/menit,

t : 37°C, SpO2 98% dengan NRM

Mata : pupil bulat isokor, Ø 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya +/+

Thorax : Cor: BJ I-II irregular, gallop (-), murmur (-)

Pulmo : SDV (+/+). Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL

HEMOSTASTISPTTKPTTK Control

ELEKTROLITNatriumKaliumChloridaCalcium

KIMIA KLINIKUreumKreatininAsam Urat

77,328,1

1392,310310,4

541,110,3

detikdetik

mmol/lmEq/lmEql/lmg/dl

mg/dlmg/dlmg/dl

24-3523,5-31,7

135 – 1473.5 – 5.195 – 1058.8-10.3

10-500,45-0,752,6-6

A :

V. Hipertensi Stage II

VI. Sups.CHF

VII. Atrial Fibrilasi

VIII. Hipokalemia

P :

Tx :

- Infus RL 10 tetes/menit (iv)

- O2 8 l/menit NRM

- Bisoprolol 1x 5mg

- Amlodipin 1x10mg

12

Page 13: LAPORAN KASUS KEMATIAN

- Heparin 500IU/jam

- KSRr 3x1 tab

- Kcl extra 1 tab

- Alprazolam 1x0mg mg (malam)

Mx : TTV. Lab. PTT, PTTK

Ex :

- Menjelaskan kepada keluarga penderita tentang penyakit yang diderita,

pemeriksaan lanjutan yang akan dilakukan dan penatalaksanaan

selanjutnya.

29 Desember 2013 ( hari perawatan ke-2)

S : Tampak susah tidur, sesak nafas, nyeri dada.

O : Keadaan Umum : kesan sakit berat

TD 170/100 mmHg, N : 84 x/menit, RR : 22x/menit, t : 37,5°C

Mata : pupil bulat isokor,Ø 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya +/+

Thorax : Cor: BJ I-II irregular, gallop (-), murmur (-)

Pulmo : SDV (+/+). Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL

HEMOSTASTISPTTKPTTK Control

36,927,6

detikdetik

24-3523,5-31,7

A :

I. Hipertensi Stage II

II. Sups.CHF

III. Atrial Fibrilasi

IV. Hipokalemia

P :

Mx : EKG, Lab. PPT, PTTK, INR

Tx : terapi tetap

13

Page 14: LAPORAN KASUS KEMATIAN

30 Desember 2013 ( hari perawatan ke-3)

S : Nyeri dada, penurunan kesadaran.

O : Keadaan Umum : kesan sakit berat

TD 170/100 mmHg, N : 966 x/menit, RR : 26x/menit, t : 37°C

Mata : pupil bulat isokor,Ø 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya +/+

Thorax : Cor: BJ I-II irregular, gallop (-), murmur (-)

Pulmo : SDV (+/+). Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL

ELEKTROLITNatriumKaliumChloridaCalcium

1422,81089,3

mmol/lmEq/lmEql/lmg/dl

135 – 1473.5 – 5.195 – 1058.8-10.3

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL

HEMOSTASTISPTTKPTTK ControlPPTPPT ControlINR

77,328,115,511,71,37

detikdetik

detikdetik

24-3523,5-31,711-159-14

A :

I. Hipertensi Stage II

II. Sups.CHF

III. Atrial Fibrilasi

IV. Hipokalemia

P :

Mx : monitoring keadaan umum, TTV, SpO2.

Tx :

⁻ heparin habis -> stop

⁻ isorbid habis -> stop

⁻ per oral : noperten 1X1tab (malam)

14

Page 15: LAPORAN KASUS KEMATIAN

⁻ extra 25meg KCL dalam infus 10 tetes per menit.

31 Desember 2013 (hari perawatan ke-4)

S : sesak nafas, penurunan kesadaran.

O : Keaadaan Umum : kesan sakit berat GCS E3M2V4

TD 150/100 mmHg, N : 84 x/menit lemah, RR : 24x/menit, t : 37,5°C

SpO2 98% NRM

Mata : pupil bulat isokor, Ø 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya +/+

Thorax : Cor: BJ I-II irregular, gallop (-), murmur (-)

Pulmo : SDV (+/+). Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

A :

I. Hipertensi Stage II

II. Sups.CHF

III. VES

IV. Hipokalemia

P :

Mx : monitoring keadaan umum, TTV, EKG ulang, SpO2.

Tx :

- Noperten -> captopril 2x 12,5 mg

- Aspilet 1x1tab

15

Page 16: LAPORAN KASUS KEMATIAN

- Simvastatin 1x10mg

1 Januari 2014 (hari perawatan ke-5)

S : pasien tidak mau makan dan minum, tidak dapat berinteraksi, penurunan

kesadaran, tampak sesak nafas berat (ngos-ngosan), terdapat kelemahan

anggota gerak kiri.

O : Keadaan Umum : kesan sakit berat, somnolen GCS E2M5V1

TD 160/100 mmHg, N : 100x/menit lemah, RR: 24x/menit, t: 38,7ºC,

SpO2 : 90% NRM, GDS 99mg/dl

Mata : pupil bulat isokor, Ø 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya +/+

Thorax : Cor: BJ I-II irregular, gallop (-), murmur (-)

Pulmo : SDV (+/+). Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

16

Page 17: LAPORAN KASUS KEMATIAN

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMALHEMATOLOGI PAKETHemoglobinHematokritEritrositMCHMCVMCHCLeukositTrombosit

HITUNG JENISEosinofilBasofilN. SegmenLimfositMonositLaju Endap Darah

12.742.85.4923783022.900300.000

1,31,676.613.27,3-

gr%%Juta / mmkPgfL% / mm3/mm3

%%%%mm/jamjuta/UL

11,7 – 15,535 – 473,9 – 5,226– 3480 – 10032 – 363600 – 11000150.000 – 440.000

2-40-150-7025-402-80-20

A :

I. Hipertensi Stage II

II. Sups.CHF

III. VES

IV. Hipokalemia

V. Susp. Stroke Non Hemmoragic

P :

Mx : monitoring keadaan umum, TTV, EKG ulang, SpO2.

Tx :

- Pasang NGT

- Infus RL+ tamoliv 1 flash

- Advice CT-scan

2-1-2014 (hari perawatan ke-6)

S : keluar darah dari mulut terus menerus, darah berwarna merah segar, NGT

berwarna mereah kecoklatan, penurunan kesadaran, kelemahan di

anggota gerak kiri, kejang (+).

O : Keadaan Umum : kesan sakit berat GCS E2M5V2

17

Page 18: LAPORAN KASUS KEMATIAN

TD 150/100 mmHg, N : 85x/menit lemah, RR : 24x/menit, SpO2 : 98%

NRM, GDS 92 mg/dl

Mata : pupil bulat isokor, Ø 2,5 mm/ 2,5 mm, refleks cahaya +/+

Mulut : darah (+), gargling(+)

Thorax : Cor: BJ I-II irregular, gallop (-), murmur (-)

Pulmo : SDV (+/+). Ronkhi (+/+), wheezing (-/-)

Nervi kraniales : sulit dinilai

Leher : sikap lurus, pergerakan bebas, kaku kuduk (-)

Motorik Superior Inferior

Gerak : +/ +/

Kekuatan : 4/4 1/1

kesan lateralisasi ke kiri

Tonus : N/N N/N

Trofi : E/E E/E

R.Fisiologis : +↑/+ +/+R.Patologis : -/- -/-

Klonus : -/-

Sensibilitas : Sulit dinilai

Vegetatif : dbn

18

Page 19: LAPORAN KASUS KEMATIAN

A:

I. Diagnosis Klinis:

- Penurunan Kesadaran

- Hemiparese sinistra spastik

Diagnosis Topis : Lobus temporal kiri

Diagnosis Etiologis : Stroke Non Hemoragik

II. Hipertensi grade II

III. Atrial Fibrilasi

IV. Obsv. Hematemesis -> Stress Ulcer

P:

Mx : monitoring keadaan umum, TTV, SpO2, awasi perdarahan .

Tx :

- Infus RL 10 tpm

- Bersihkan darah

- Pasang gudhel

- Suction -> darah ± 15-20cc

19

Hasil CT kepala tanpa kontras tanggal 1

Januari 2013 :

- Ruang liquor melebar

- Tak tampak midline shift

- Lesi hipodens batas tegas bentuk

segiempat pada temporal kanan

- Batang otak dan cerebelum tenang

Kesan:

atrofi cerebri

Infark lama temporal

Page 20: LAPORAN KASUS KEMATIAN

- Bisoprolol 1x500 mg

- Amlodipine 1x5 mg

- Allopurinol 1x

- Aspilet 1x80 mg stop

- Alprazolam 1x0,5 mg malam hari

- Inj omeprazole 3 amp/24 jam

- Inj, ceftiaxon 2gr/24jam

- Rawat bersama dokter spesialis saraf

- Citicolin 3x500mg

- Phenitoin 1x200mg diencerkan

- Puasakan, 6 jam

3 Januari 2014 ( hari perawatan ke-7)

S : keluar darah dari mulut terus menerus, darah berwarna merah segar, NGT

berwarna merah kecoklatan, penurunan kesadaran, kelemahan anggota

gerak kiri, kejang (+) lama >5 menit

O : Keadaan Umum : kesan sakit berat GCS E1M3Vx

TD 150/100 mmHg, N : 120x/menit lemah, RR : 32x/menit, t: 40ºC,

SpO2 : 90% NRM, GDS 49mg/dl

Mata : pupil bulat isokor, Ø 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya +/+

deviation conjugate dextra (+)

Mulut : darah (+), gargling(+)

Leher : sikap lurus, kaku kuduk (-)

Thorax : Cor : BJ I-II irregular, murmur (-)

Pulmo : SDV(+/+), ronkhi(+/+), wheezing (-/-)

Nervi kraniales : sulit dinilai

20

Page 21: LAPORAN KASUS KEMATIAN

Motorik Superior Inferior

Gerak : +/- +/-

Kekuatan : 4/4 1/1

kesan lateralisasi ke kiri

Tonus : N/N N/N

Trofi : E/E E/E

R.Fisiologis : +/+ +/+

R.Patologis : -/- -/-

Klonus : -/-

Sensibilitas : Sulit dinilai

Vegetatif : dbn

A:

I. Stroke Non Hemoragik

II. Hipertensi Stage II

III. CHF

IV. Atrial Fibrilasi

V. Stress Ulcer

21

Page 22: LAPORAN KASUS KEMATIAN

I. Stroke

A. Pengertian1,2,3

Stroke adalah suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara

mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global yang

berlangsung lebih dari 24 jam atau dapat menyebabkan kematian, disebabkan

oleh gangguan peredaran darah otak.(WHO, 1989). Stroke merupakan suatu

istilah klinis untuk hilangnya perfusi di otak secara akut yang sesuai dengan

teritorial vaskular.

Pengertian dari stroke secara klasik mempunyai karakteristik defisit

neurologis yang disebabkan oleh cedera fokal akut pada susunan saraf pusat

yang disebabkan oleh gangguan pada aliran pembuluh darah otak meliputi

infark serebral, perdarahan intraserebral dan perdarahan subarachnoid1.

Sedangkan menurut warlow et al, disebutkan bahwa stroke adalah suat

sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda klinis yang berkembang

dengan cepat yang berupa gangguan fungsional otak fokal maupun global

yang berlangsung lebih dari 24 jam, yang tidak disebabkan oleh sebab lain

selain penyebab vaskuler. Pengertian ini mencakup stroke iskemik,

perdarahan intraserebral non traumatik, perdarahan intraventrikuler dan kasus

perdarahan subarachhnoid.

Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa stroke

menimbulkan kelainan saraf yang mempunyai sifat mendadak dan sesuai

dengan bagian otak yang terganggu. Manifestasi klinis dapat berupa defisit

motorik, defisit sensorik,kesukaran dalam berbahasa atau gangguan fokal lain

sesuai dengan letak daerah otak yang terganggu vaskularisasinya.

22

Page 23: LAPORAN KASUS KEMATIAN

CNS infarction CNS infarction is brain, spinal cord, or retinal cell death attributable to ischemia, based on1. pathological, imaging, or other objective evidence of cerebral, spinal cord,or retinal focal ischemic injury in a defined vascular distribution; or2. clinical evidence of cerebral, spinal cord, or retinal focal ischemicinjury based on symptoms persisting ≥24 hours or until death, andother etiologies excluded.

Ischemic Sstroke An episode of neurological dysfunction caused by focal cerebral, spinal, or retinal infarction.

Silent CNS infarction Imaging or neuropathological evidence of CNS infarction, without a history of acute neurological dysfunction attributable to the lesion

Intracerebral hemorrhage A focal collection of blood within the brain parenchyma or ventricular system that is not caused by trauma

Stroke caused by intracerebral hemorrhage

Rapidly developing clinical signs of neurological dysfunction attributable to a focal collection of blood within the brain parenchyma or ventricular system that is not caused by trauma.

silent cerebral hemorrhage A focal collection of chronic blood products within the brain parenchyma, subarachnoid space, or ventricular system on neuroimaging or neuropathological examination that is not caused by trauma and without a history of acute neurological dysfunction attributable to the lesion.

Subarachnoid hemorrhage Bleeding into the subarachnoid spaceStroke caused by subarachnoid

hemorrhageRapidly developing signs of neurological dysfunction and/or headache because of bleeding into the subarachnoid space , which is not caused by trauma.

Stroke caused by cerebral venous thrombosis

Infarction or hemorrhage in the brain, spinal cord, or retina because of thrombosis of a cerebral venous structure.

B. Vaskularisasi Otak2

Otak mendapat perdarahan dari dua pasang arteri besar yaitu sepasang

arteri karotis interna dan sepasang arteri vertebralis dan cabang-cabangnya

23

Definisi stroke menurut AHA tahun 20131

Page 24: LAPORAN KASUS KEMATIAN

yang akan membentuk anastomosis pada bawah otak yang memiliki nama

sirkulus willisi.

Anatomi vaskularisasi otak dibagi menjadi dua bagian yaitu

anterior/sistem karotis dan posterior/sistem vertebrobasiler. Darah arteri

menuju ke otak berasal dari arkus aorta. Pada sisi kirim arteri karotis komunis

dan arteri subklavia berasal langsung dari arkus aorta sedangkan pada sisi

kanan arti trunkus brakiosefalika (inominata) berasal dari arkus aorta dan

bercabang menjadi arteri subklavia dextra dan arteri karotis komunis dextra.

Di kedua sisi, sirkulasi darah arteri ke otak di sebelah anterior disuplai oleh

dua arteri karotis interna dan di posterior oleh dua arteri vertebralis.

Arteri karotis interna kemudian akan membentuk cabang arteri serebri

anterior dan arteri serebri media setelah melewati kanalis karotikusm berjalan

dalam sinus kavernosus. Kedua arteri tersebut akan memperdarahi lobus

frontalm parietal dan sebagian lobus temporal.

Arteri vertebralis berukuran lebih kecil dan berjalan melalui foramen

transversus vertebra servikalis kemudian masuk kedalam rongga kranial

melalui foramen magnum kemudian akan membentuk arteri basilaris (sistem

vertebrobasiler). Arteri basilaris akan bercabang menjadi arteri serebellum

superior kemudian arteri basilaris berjalan ke otak tengan dan bercabang

menjadi sepasang arteri serebri posterior.

24

Page 25: LAPORAN KASUS KEMATIAN

Sirkulus willisi dibebntuk oleh pertemuan antara sirkulasi anterior dan

sirkulasi posterior. Sirkulus willisi dibentuk oleh arteri serebri anterior, arteri

komunikanter anterior, arteri karotis interna, arteri komunikantes posterior

dan arteri serebri posterior.

Sirkulus willisi

25

Page 26: LAPORAN KASUS KEMATIAN

Terdapat 3 sistem kolateral antara sistem karotis dan sistem vertebrobasiler

yang bertujuan untun menjamin vaskularisasi otak yang terdiri dari ;

1. sirkulus wilisi yang merupakan anyaman arteri didasar otak.

2. Anastomosis arteri karotis interna dan karotis eksterna di daerah orbita

melalui arteri oftalmika

3. Hubungan antara sistem vertebral dengan arteri karotis interna.

1. Arteri cerebri anterior

Arteri serebri anterior dipercabangkan dari bagian medial arteri karotis

interna di daerah proseseus klinoideus anterior yang kemudian terbagi

menjad 3 bagian. Bagian proksimal arteri serebri anterio kanan dan kiri

dihubungkan oleh arteri komunikan anterior, bagian medial dan dista;

arteri ini akan memberikan cabangnya menjadi arteri perikallosum anterior

dan arteri callosimarginal. Arteri serebri anterior mempunyai cabang-

26

Page 27: LAPORAN KASUS KEMATIAN

cabang kecil yang disebut arteri perforantes profunda yang memperdarahi

korpus striatum anterior, kapsula interna anteriorm komisura anterior,

traktus optikus dan chiasma.

2. Arteri serebri media

Arteri ini setelah dipercabangan oleh arteri karotis interna akan terbagi

menjadi beberapa bagian, bagian pertama akan berjalan ke lateral diantara

atap lobs medial dan lobus frontal hingga mencapai fissura lateralis sylvii.

Arteri lentikulostriata dipercabangkan dari bagian proksimal ini. Arteri

lentikulostriata berjumlah 6-12 yang berfungsi memperdarahi nukleus

lentiformis, nukleus kaudatus caput lateral, globus pallidus dan kapsula

interna bagian posterior.

Pada daerah fissura lateralis, bagian kedua arteri serebri media akan

bercabang menjadi divisi superior dan anterior. Divisi superior akan

memberikan suplai ke lobus frontal dan lobus parietal . sedangkan divisi

inferior akan memperdarahi lobus temporal. Bagian terakhir akan

dipercabangkan di permukaan hemisfer serebri yang memperdarahi

substansia alba subkortek.

3. Sistim posterior (sistim vertebrobasiler)

Sistim ini berasal dari arteri basilaris yang dibentuk oleh arteri vertebralis

kanan dan kiri yang berpangkal di arteri subklavia. Arteri ini berjalan

menuju dasar kranium melalui kanalis transversalis di kolumna vertebralis

servikalis, kemudian masuk ke rongga kranium akan melalui foramen

magnum, lalu masing-masing akan mempercabangkan sepasang arteri

serebelli inferior.

4. Arteri serebri posterior

Arteri serebri posterior merupakan cabang akhir dari arteri basilaris .

Bagian proksimal arteri serebri posterior atau bagian prekomunikan akan

bercabang menjadi arteri mesensafli paramedian dan arteri thalamik-

subthalamik yang akan memvaskularisasi thalamus. Arteri serebri

posterior ini setelah berjalan kebelakang, didaerah tentrorium serebelli

akan memperdarahi bagian medial lobus temporalis sedangkan divisi

27

Page 28: LAPORAN KASUS KEMATIAN

posterior akan memperdarahi fissura calcarina dan daerah parieto-

oksipital.

C. Klasifikasi Stroke

Klasifikasi stroke berdasar proses patologis dan gejala klinis dapat dibagi

menjadi:

1. Stroke hemoragik

Pada stroke hemorogik, perdarahan terjadi disebabkan oleh pecahnya

pembuluh darah intra serebral. Apabila darah masuk kedalam ruang

subarachnoid, maka akan terjadi perdarahan subarachoid dengan gejala

khas berupa nyeri kepala hebat dan kaku kuduk.Pada sebagian besar

penderita stroke hemoragik, serangan terjadi pada saat melakukan

aktifitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat. Pada umumnya

disertai penurunan kesadaran.Penyebab tersering adalah akibat hipertensi

yang tidak terkontrol.

2. Stroke non hemoragik

Stroke non hemoragik disebabkan oleh terjadinya ; iskemia, emboli,

spasme ataupun thrombus pada pembuluh darah otak. Serangan stroke

terjadi pada saat pasien beristirahat atau saat bangun tidur. Tidak terjadi

perdarahan, kesadaran umumnya baik dan dapat terjadi proses edema otak

oleh karena hipoksia jaringan otak apabila terjadi infark yang cukup luas.

Berdasar perjalanan penyakitnya, stroke non hemoragik dapat dibagi

menjadi :

- TIA (Trans Ischemic Attack)

Yaitu gangguan neurologist sesaat, beberapa menit atau beberapa

jam saja dan gejala akan hilang sempurna dalam waktu kurang dari

24 jam.

- RIND (Reversible Ischemic Neurological Deficit)

Gangguan neurologis setempat yang akan hilang secara sempurna

dalam waktu 1 minggu dan maksimal 3 minggu.

- Stroke in Evolution

28

Page 29: LAPORAN KASUS KEMATIAN

Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan

yang muncul semakin berat dan bertambah buruk. Proses ini

biasanya berjalan dalam beberapa jam atau beberapa hari.

- Stroke Komplit

Gangguan neurologis yang timbul bersifat menetap atau

permanent.

Klasifikasi stroke.

http://www.checksutterfirst.org/neuro/stroke/patients_about.cfm

D. Etiologi

Stroke non hemoragik terjadi karena adanya ganggan sirkulasi darah otak

yang disebabkan antara lain oleh tromboembolim trombosis ataupun

hipoperfusi. Saat sirkulasi otak menurun terjadi hambatan pada aktivitas

neuron dan terjadi iskemia neuronal irreversible dan kerusakan akan terjadi

saat cerebral blood flow turun dibawah 18 mL/100g jaringan/menit7.

Faktor risiko dari streoke ada dua yaitu yang dapat dimodifikasi dan tidak

dapat dimodifikasi.

Faktor yang dapat dimodifikasi Tidak dapat dimodifikasi

29

Page 30: LAPORAN KASUS KEMATIAN

Usia Hipertensi

Ras Diabetes Melitus

Etnis Peny Jantung (atrial fibrilasi, mitral

stenosis, valvular disease, patent

foramen ovale)

Dislipidemia

Transient ischemic attack

Hiperhomosisteinemia

Kontrasepsi oral

Etiologi dari stroke antara lain :

1. Hipertensi, pada hipertensi terjadi proses aterosklerosis yang akan

menimbulkan thrombus yang menggangu perfusi serebral dan pecahnya

pembuluh darah otak.

2. Aneurisma pembuluh darah cerebral

Adanya kelainan pembuluh darah yakni berupa penebalan pada satu

tempat yang diikuti oleh penipisan di tempat lain. Pada daerah penipisan

dengan manuver tertentu dapat menimbulkan perdarahan.

3. Kelainan jantung / penyakit jantung

Paling banyak dijumpai pada pasien post MCI, atrial fibrilasi dan

endokarditis. Kerusakan kerja jantung akan menurunkan kardiak output

dan menurunkan aliran darah ke otak. Disamping itu dapat terjadi proses

embolisasi yang bersumber pada kelainan jantung dan pembuluh darah.

Conghestive heart failure juga merupakan salah satu kelainan jantung yang

menyebabkan terjadinya stroke iskemik. CHF akan meningkat

pembentukan trombus dan akan diiringi oleh peningkatan risiko terjadinya

stroke iskemik sebesar 2-3 kali lipat8.

30

Page 31: LAPORAN KASUS KEMATIAN

4. Diabetes mellitus (DM)

Pada penderita terjadi dua proses yang akan menyebabkan meningkat

risiko serang stroke yang berupa ;

- peningkatan viskositas darah sehingga memperlambat aliran darah

khususnya serebral.

31

Mekanisme peningkatan risiko stroke pada pasien dengan Chronic Heart Failure

Karl Georg Haeusler, MD; Ulrich Laufs, MD; Matthias Endres, MD.

Page 32: LAPORAN KASUS KEMATIAN

- kelainan microvaskuler sehingga berdampak juga terhadap

kelainan yang terjadi pada pembuluh darah serebral.

5. Usia lanjut

Pada usia lanjut terjadi proses kalsifikasi pembuluh darah, termasuk

pembuluh darah otak.

6. Polisitemia

Pada polisitemia viskositas darah meningkat dan aliran darah menjadi

lambat sehingga perfusi otak menurun.

7. Peningkatan kolesterol (lipid total)

Peningkatan kadar kolesterol akan meningkatkan terjadinya aterosklerosis

dan terbentuknya embolus dari lemak.

8. Obesitas

Pada obesitas dapat terjadi hipertensi dan peningkatan kadar kolesterol

sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada pembuluh darah, salah

satunya pembuluh drah otak.

9. Perokok

Konsumsi rokok akan meningkatkan viskositas darah dan menimbulkan

plaque pada pembuluh darah. Rokok juga meningkatkan risiko terjadinya

aterosklerosis.

10. Sindrome Metabolik11

Sindrom metabolik adalah sekumpulan faktor risiko yang berhubugan

dengan penyakit kardiovaskular, yang terdiri dari adanya 3 atau lebih :

tingginya gula darah puasa, hipertensi, HDL rendah, peningkatan

trigliserida dan obesitas abdominal. Pasien yang memiliki sindrom

metabolik tanpa adanya DM mengalami peningkatan risiko stroke iskemik

sebesar 1,49 kali lipat. Sedangkan bila disertai DM risiko terkena stroke

iskemik akan meningkat sebesar 2.29 kali lipat.

11. Kurang aktivitas fisik

Kurang aktivitas fisik dapat juga mengurangi kelenturan fisik termasuk

kelenturan pembuluh darah (embuluh darah menjadi kaku), salah satunya

pembuluh darah otak.

32

Page 33: LAPORAN KASUS KEMATIAN

E. Patofisiologi

1. Stroke non hemoragik

Trombus dan embolus pada pembuluh darah akan menyebabkan

penyumbatan pada pembuluh darah intraserebral yang selanjutnya akan

menimbulkan iskemia jaringan. Trombus umumnya terjadi karena

berkembangnya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah, sehingga

arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area thrombus menjadi

berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi kompleks iskemia

akhirnya terjadi infark pada jaringan otak. Emboli disebabkan oleh

embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis.

Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba

berkembang cepat akan segera menimbulkan gangguan neurologis fokal.

Diagram Kaskade eksitatorik iskemik5

33

Iskemia

Pompa NaK-ATPase

Depolarisa

Pelepasan GlutamatKanal Ca

Reseptor AMPA Reseptor Metaboprotik Reseptor

Pelepasan Ca Influks Ca

Peningkatan Ca intrasel

Kematian Sel

Page 34: LAPORAN KASUS KEMATIAN

2. Stroke hemoragik

Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke jaringan

di sekitar pembuluh darah intraserebral atau masuk ke dalam ruangan

subarachnoid yang menimbulkan perubahan pada komponen intrakranial.

Sesuai dengan hukum Monroe Kellie, isi didalam intrakranial seharusnya

konstan. Adanya perubahan komponen intrakranial yang tidak dapat

dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan TIK yang bila tidak

dihentikan akan menyebabkan herniasi otak sehingga timbul kematian. Di

samping itu, darah yang mengalir ke substansi otak atau ruang

subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak

dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang

atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.

F. Tanda dan gejala

Tanda dan gejala klinis yang muncul akibat terjadinya serangan stroke

tergantung pada daerah dan luasnya daerah otak yang terkena.

1. Pengaruh terhadap status mental

- Tidak sadar : 30% – 40%

- Konfuse : 45% dari pasien biasanya sadar

2. Daerah arteri serebri media, arteri karotis interna akan menimbulkan:

- Hemiplegia kontralateral yang disertai hemianesthesia (30%-80%)

- Afasia bila mengenai hemisfer dominan (35%-50%)

- Apraksia bila mengenai hemisfer non dominan(30%)

3. Daerah arteri serebri anterior akan menimbulkan gejala:

- hemiplegia dan hemianesthesia kontralateral terutama tungkai

(30%-80%)

- inkontinensia urin, afasia, atau apraksia.

4. Daerah arteri serebri posterior

- Nyeri spontan pada kepala

- Afasia bila mengenai hemisfer dominan (35-50%)

5. Daerah vertebra basiler akan menimbulkan :

- Fatal karena mengenai pusat-pusat vital di batang otak

34

Page 35: LAPORAN KASUS KEMATIAN

- Hemiplegia alternans atau tetraplegia

- Kelumpuhan pseudobulbar (kelumpuhan otot mata, kesulitan

menelan, emosi labil)

Apabila dilihat bagian hemisfer mana yang terkena, gejala dapat berupa :

1. Stroke hemisfer kanan

- Hemiparese sebelah kiri tubuh

- Penilaian buruk

- Mempunyai kerentanan terhadap sisi kontralateral sebagai

kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan

2. Stroke hemisfer kiri

- Hemiparese kanan

- Perilaku lambat dan sangat berhati-hati

- Kelainan lapangan pandang sebelah kanan

- disfagia

- afasia

G. Pemeriksaan diagnostik5

Pemeriksaan penunjang disgnostik yang dapat dilakukan adalah :

1. Laboratorium: ditujukan untuk mencari faktor risiko stroke mengarah pada

pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, kolesterol, analisa gas darah, gula

darah dsb.

2. CT scan kepala merupakan gold standard untuk mengetahui lokasi dan

luasnya perdarahan atau infark

3. MRI untuk mengetahui adanya edema, infark, hematom dan bergesernya

struktur otak

4. Angiografi untuk mengetahui penyebab dan gambaran yang jelas

mengenai pembuluh darah yang terganggu.

H. Diagnosis banding8

Diagnosis banding dari stroke antara lain :

35

Page 36: LAPORAN KASUS KEMATIAN

- Bells palsy

- Benign Positional Vertigo

- Abses otak

- Neoplasma

- Sinkop

- Transient Ischemic Attack

I. Penatalaksanaan medis

Secara umum, penatalaksanaan pada pasien stroke adalah :

1. Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi miring jika muntah dan

boleh dimulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil.

2. Pertahankan airway dan ventilasi yang adekuat, diberikan oksigen sesuai

kebutuhan.

3. Stabilisasi tanda-tanda vital

4. Koreksi hiperglikemia atau hipoglikemia

5. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.

6. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu lakukan

7. Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari

penggunaan glukosa murni atau cairan hipotonik.

8. Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran

menurun atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT.

9. Penatalaksanaan spesifik berupa:

- Stroke non hemoragik: asetosal, neuroprotektor, trombolisis,

antikoagulan

- Stroke hemoragik: mengobati penyebabnya, neuroprotektor,

tindakan pembedahan, menurunkan TIK yang tinggi.

36

Page 37: LAPORAN KASUS KEMATIAN

II. Sepsis

A. DefinisiDemam atau hipotermi, leukositosis atau leukopeni, takipneu, dan takikardi

adalah tanda utama atau respon sistemik, yang kemudian dinamakan sebagai

systemic inflammatory response syndrome (SIRS). Penyebab SIRS mungkin

infeksi ataupun tidak terdapat infeksi. Jika penyebabnya adalah infeksi atau

ditemukan adanya suatu infeksi bakteri, maka pasien menderita penyakit yang

dinamakan sepsis. Ketika sepsis berhubungan dengan kerusakan organ yang

jauh dari tempat infeksi, maka dinamakan severe sepsis.8 Sepsis adalah,

respon sistemik tubuh terhadap infeksi yang menyebabkan sepsis berat

(disfungsi organ akut sekunder untuk dicurigai adanya infeksi) dan syok septik

(sepsis berat ditambah hipotensi tidak terbalik dengan resusitasi cairan).

Sepsis berat dan syok septik masalah kesehatan utama, yang mempengaruhi

jutaan orang di seluruh dunia setiap tahun, membunuh satu dari empat (dan

sering kali lebih), dan kejadiannya masih meningkat. Mirip dengan

politrauma, infark miokard akut, atau stroke, kecepatan dan ketepatan terapi

diberikan dalam jam awal setelah sepsis berat berkembang cenderung

mempengaruhi hasil.8 Kriteria diagnosis dari Sepsis itu sendiri masih terus di

perbaharui, berikut kriteria terbaru tentang diagnosis sepsis:

Gejala Umum:

1. Demam (>38,3°C)

2. Hipotermia (suhu pusat tubuh < 36°C)

3. Heart rate > 90/menit atau lebih dari dua standar deviasi diatas nilai

normal usia

4. Takipneu

5. Perubahan status mental

6. Edema signifikan ataukeseimbangan cairan positif (> 20 mL/Kg lebih dari

24 jam)

7. Hiperglikemia (glukosa plasma > 140mg/dL atau 7,7 mmol/L) dan tidak

diabetes

37

Page 38: LAPORAN KASUS KEMATIAN

Inflamasi:

1. Leukositosis (Hitung sel darah putih > 12.000 μL–1)

2. Leukopeni (Hitung sel darah putih < 4000 μL–1)

3. Hitung sel darah putih normal dengan lebih dari 10% ditemukan bentuk

imatur

4. C-reactive protein plasma lebih dari dua standar deviasi diatas nilai normal

5. Prokalsitonin plasma lebih dari dua standar deviasi diatas nilai normal

Hemodinamik:

Hipotensi arteri (tekanan darah sistolik < 90mmHg, MAP < 70 mmHg, atau

tekanan darah sistolik turun > 40mmHg pada dewasa atau lebih rendah dua

standar deviasi dibawah nilai normal umur)

Disfungsi Organ:

1. Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 < 300)

2. Oliguria akut (jumlah urin < 0,5 mL/Kg/jam selama minimal 2 jam

meskipun resusitasi cairan adekuat

3. Peningkatan kreatinin > 0,5 mg/dL atau 44,2 μmol/L

4. Koagulasi abnormal (INR > 1,5 atau aPTT > 60 s)

5. Ileus (tidak terdengar suara usus)

6. Trombositopeni (hitung trombosit < 100.000 μL–1)

7. Hiperbilirubinemia (bilirubin plasma total > 4mg/dL atau 70 μmol/L)

Perfusi Jaringan:

1. Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L)

2. Penurunan kapiler refil

Kemudian mengenai kriteria Sepsis berat adalah sebagai berikut:

1. Sepsis-induced hipotensi

2. Laktat diatas batas atas nilai normal laboratorium

38

Page 39: LAPORAN KASUS KEMATIAN

3. Jumlah urin < 0,5 mL/kg/jam selama lebih dari 2 jam walaupun resusitasi

cairan adekuat

4. Acute Lung Injury dengan PaO2/FiO2 < 250 dengan tidak adanya

pneumonia sebagai sumber infeksi

5. Acute Lung Injury dengan PaO2/FiO2 < 200 dengan adanya pneumonia

sebagai sumber infeksi

6. Kreatinin > 2,0 mg/dL (176,8 μmol/L)

7. Bilirubin > 2 mg/dL (34,2 μmol/L)

8. Hitung platelet < 100.000 μL

9. Koagulopati (international normalized ratio > 1,5)

B. Etiologi

Sepsis bisa disebabkan oleh banyak kelas mikroorganisme. Mikroba yang

masuk ke peredaran darah tidak esensial, sampai terjadi inflamasi lokal dan

juga adanya kerusakan organ yang jauh serta hipotensi. Pada kenyataannya

kultur darah terdapat bakteri atau jamur hanya sekitar 20-40% dari kasus

severe sepsis dan 40-70% pada kasus syok sepsis.8

39

Page 40: LAPORAN KASUS KEMATIAN

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase

60-70% dari kasus, yang menghasilkan berbagai macam produk yang dapat

menstimulasi sel imun. Sel tersebut kemudian dipacu untuk melepaskan

mediator inflamasi. Produk yang berperan penting dalam sepsis adalah

lipopolisakarida (LPS). LPS berfungsi merangsang peradangan pada jaringan,

demam dan syok pada pasien yang terinfeksi. Bakteri gram positif lebih jarang

menyebabkan sepsin jika dibandingkan bakteri gram negatif. Angka

kejadiannya hanya berkisar 20-40% dari keseluruhan kasus. Peptidoglikan

diketahui dapat menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin berbagai kuman

juga dapan menjadi faktor penyebab karena dapat merusak integritas membran

sel imun secara langsung. Dari semua faktor tersebut yang terpenting adalah

LPS endotoksin gram negatif yang dinyatakan sebagai penyebab sepsis

terbanyak. LPS tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang pengeluaran

mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag

mengeluarkan polipeptida yang disebut tumor necrosis factor (TNF) dan

interleukin (IL-1), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator kunci dan sering

meningkat sangat tinggi pada penderita immunocompromise yang mengalami

sepsis.

40

Page 41: LAPORAN KASUS KEMATIAN

C. Patogenesis

41

Page 42: LAPORAN KASUS KEMATIAN

Penderita sepsis sebagian besar menunjukkan adanya suatu infeksi fokal

jaringan sebagai sumber bakteriemia, hal inilah yang kemudian disebut

sebagai bakteriaemia sekunder. Bakteri gram negatif merupakan bakteri

komensal normal dalam tubuh yang kemudian dapat menyebar ke organ yang

dekat seperti pada kejadian peritonitis setelah perforasi apendik, atau bisa

berpindah dari perineum ke urethra atau kandung kemih. Fokus primer dari

sepsis gram negatif bisa terdapat pada saluran genitourinarium, saluran

empedu dan saluran gastrointestinum. Pada kejadian sepsis gram positif,

biasanya ditimbulkan dari infeksi kulit, saluran respirasi, dan juga bisa berasal

dari luka terbuka, misalnya luka bakar. Inflamasi merupakan respon tubuh

untuk berbagai macam stimulasi imunogen dari luar. Sitokin sebagai mediator

inflamasi tidak berdiri sendiri, tetapi masih banyak sistem imun tubuh yang

berperan dalam proses inflamasi. TNF, IL-1, Interferon (IFN-ɣ) merupakan

sitokin pro inflamasi yang bekerja menghancurkan mikroorganisme yang

menginfeksi tubuh. Sedangkan, Interleukin 1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4,

IL-10 merupakan sitokin yang bersifat antiinfamasi yang bertugas untuk

memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan.

Penyebab sepsis dan syok sepsis yang paling banyak adalah stimulasi toksin

baik endotoksin maupun eksotoksin. LPS dapat langsung membentuk LPSab

(Lipo Poli Sakarida Antibodi) bersama dengan antibodi serum darah. LPSab

dalam serum kemudian bereaksi dengan makrofag. Receptors 4) TLRs4

sebagai reseptor transmembran dengan reseptor CD 14+ yang kemudian

makrofag mengaktifkan imuno modulator. Pada bakteri gram positif

eksotoksin dapat merangsang langsung terhadap makrofag dengan melalui

TLRs2 tetapi ada juga eksotoksin sebagai super antigen. Pada kondisi sepsis

tubuh akan berusaha bereaksi dengan cara merangsang limfosit T

mengeluarkan imuno modulator. Sehingga pada keadaan sepsis akan terjadi

peningkatan IL-1β dan TNF-α pada serum penderita. IL-1β nantinya akan

merangsang ICAM-1 (inter cellular adhesion molecule-1) yang kemudian

menyebabkan neutrofil yang tersensitasi oleh GM-CSF (granulocyte-

macrophage colony stimulating factor) akan mudah mengadakan adhesi.

42

Page 43: LAPORAN KASUS KEMATIAN

Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang

akan menyebabkan dinding endotel lisis, sehingga endotel menjadi terbuka.

Kerusakan endotel tersebut akan menyebabkan gangguan vaskuler sehingga

menyebabkan kerusakan multi organ. Trombosis dan koagulasi dari pembuluh

darah kecil bisa mengakibatkan syok septik yang bisa berakhir pada kematian.

D. Gejala Klinis

Sepsis mempunyai gejala klinis yang tidak spesifik, seperti demam,

menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah atau

kebigungan. Tempat terjadinya infeksi paling sering adalah: paru, traktus

digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak dan saraf pusat. Gejala sepsis

akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, diabetes, kanker, gagal

organ utama, dan pasien . dengan granulosiopenia. Tanda-tanda MODS yang

sering diikuti terjadinya syok septik adalah MODS dengan komplikasi:

ARDS, koagulasi intravaskuler, gagal ginjal akut, perdarahan usus, gagal hati,

disfungsi sistem saraf pusat, dan gagal jantung yang semuanya akan

menimbulkan kematian.

E. Diagnosis Klinis

Diagnosis klinis harus dilakukan secara menyeluruh karena memerlukan

indeks dugaan yang tinggi, pengambilan riwayat medis harus cermat,

pemeriksaan fisik, laboratorium dan tindak lanjut status hemodinamik harus

segera di tegakkan.1 Beberapa tanda terjadinya sepsis antara lain:

1. Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan atau

instrumentasi

2. Hipotensi, oliguria atau anuria

3. Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab jelas

4. Perdarahan 1,15

43

Page 44: LAPORAN KASUS KEMATIAN

44

Page 45: LAPORAN KASUS KEMATIAN

III. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

A. Definisi

ARDS merupakan sindrom yang ditandai dengan peningkatan

permeabilitas membran alveolar-kapiler terhadap air, larutan dan protein

plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan yang

mengandung protein dalam parenkim paru. Dasar definisi dipakai konsensus

Komite Konferensi ARDS Amerika-Eropa tahun 1994 tdd:

1. Gagal napas (respiratory failure/distress) dengan onset akut

2. Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding dengan fraksi oksigen

yang diinspirasi (PaO2/FIO2) <200 mmHg-hipoksemia berat.

3. Radiografi torak: infiltrat alveolar bilateral yang sesuai dengan edema paru

4. Tekanan baji kapiler pulmoner <18 mmHg, tanpa tanda klinis adanya

hipertensi atrial kiri atau tanpa adanya gagal jantung kiri.2,18

ARDS adalah sindrom dengan beberapa faktor risiko yang memicu

timbulnya akut insufisiensi pernapasan. Mekanisme patogenik bervariasi

tergantung pada faktor pemicu, tapi seperti yang ditunjukkan pada temuan

otopsi, ada sejumlah fitur umum paru patologis, seperti peningkatan

permeabilitas yang tercermin edema alveolar karena kerusakan sel epitel dan

endotel, dan infiltrasi neutrofil pada fase awal ARDS.18

Kriteria ARDS terbaru adalah konferensi Berlin tahun 2011, ada beberapa

modifikasi (oksigenasi, waktu onset akut, X-ray thoraks, dan kriteria tekanan

baji) 16

Di Berlin yang di lebur dengan definisi AECC.18 Pada definisi di Berlin,

ARDS di klasifikasikan menjadi ringan, sedang dan berat berdasarkan rasio

PaO2/FiO2. Yang penting nilai rasio PaO2/FiO2 dianggap hanya dengan

CPAP atau nilai PEEP minimal 5 cm H2O.

45

Page 46: LAPORAN KASUS KEMATIAN

Definisi ARDS menurut konferensi Berlin 2011:

1. Waktu

Dalam waktu 1 minggu terdiagnosis klinis atau gejala pernafasan baru atau

memburuk

2. Gambaran thoraks

Radio opak bilateral, tak sepenuhnya seperti efusi, lobus/paru kolaps, atau

nodul

3. Asal edema

Gagal nafas yang tidak berhubungan dengan gagal jantung atau cairan

yang berlebihan. Dibutuhkan penilaian yang obyektif (misalnya

echocardiography) untuk menyingkirkan edema hidrostatik jika tidak ada

faktor resiko

4. Oksigenasi

Ringan : 200 mmHg < PaO2/FIO2 ≤300 mmHg with PEEP or CPAP ≥5

cmH2O

Sedang : 100 mmHg < PaO2/FIO2 ≤200 mmHg with PEEP ≥5 cmH2O

Berat : PaO2/FIO2 ≤100 mmHg with PEEP ≥5 cmH2O 17

B. Etiologi

Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor penyebab yang

dapat berperan pada gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai

penyakit tetapi sebagai sindrom. Sepsis merupakan faktor risiko yang paling

tinggi, mikroorganisme dan produknya (terutama endotoksin) bersifat sangat

toksik terhadap parenkim paru dan merupakan faktor risiko terbesar kejadian

ARDS, insiden sepsis menyebabkan ARDS berkisar antara 30-50%.3

Faktor resiko lain yang dapat mengakibatkan ARDS adalah cedera paru

langsung (paling sering aspirasi lambung) merupakan penyebab non sistemik

dari ARDS. Selain itu beberapa faktor resiko lain seperti bakteriemia, trauma,

fraktur, terbakar, pneumonia, overdosis obat, TBC milier, luka berat,

transfusi berulang, dan juga Disseminated Intravascular Coagulation

(DIC).2,10

46

Page 47: LAPORAN KASUS KEMATIAN

C. Patogenesis

Epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular mengalami kerusakan

pada ARDS. Kerusakan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas barier

alveolar dan kapiler sehingga cairan masuk ke dalam ruang alveolar.

Terdapat tiga fase kerusakan alveolus:

1. Fase eksudatif: ditandai dengan edema intertisial dan alveolar, nekrosis

sel pneumosit tipe I dan denudasi/terlepasnya membran basalis,

pembengkakan sel endotel dengan pelebaran intercellular junction,

terbentuknya membran hialin pada duktus alveolar dan ruang udara,

dan inflamasi neutrofil. Juga ditemukan hipertensi pulmoner dan

berkurangnya compliance paru.

2. Fase proliferatif: paling cepat timbul setelah 3 hari sejak onset,

ditandai proliferatif sel epitel pneumosit tipe II,

3. Fase fibrosis: kolagen meningkat dan paru menjadi padat karena

fibrosis.2

47

Page 48: LAPORAN KASUS KEMATIAN

Derajat kerusakan epithelium alveolar ini menentukan prognosis.

Epitelium alveolar normal terdiri dari 2 tipe sel, yaitu sel pneumosit tipe I dan

sel pneumosit tipe II. Permukaan alveolar 90% terdiri dari sel pneumosit tipe I

berupa sel pipih yang mudah mengalami kerusakan. Fungsi utama sel

pneumosit tipe I adalah pertukaran gas yang berlangsung secara difusi pasif.

Sel pneumosit tipe II meliputi 10% permukaan alveolar terdiri atas sel kuboid

yang mempunyai aktivitas metabolik intraselular, transport ion, memproduksi

surfaktan dan lebih resisten terhadap kerusakan. Kerusakan epitelium alveolar

yang berat menyebabkan kesulitan dalam mekanisme perbaikan paru dan

menyebabkan fibrosis. Kerusakan pada fase akut terjadi pengelupasan sel

epitel bronkial dan alveolar, diikuti dengan pembentukan membran hialin

yang kaya protein pada membran basal epitel yang gundul. Neutrofil

memasuki endotel kapiler yang rusak dan jaringan interstitial dipenuhi cairan

yang kaya akan protein. Keberadaan mediator anti inflamasi, interleukin-1-

receptor antagonists, soluble tumor necrosis factor receptor, auto antibodi

yang melawan Interleukin/IL-8 dan IL-10 menjaga keseimbangan alveolar.

48

Page 49: LAPORAN KASUS KEMATIAN

D. Patofisiologi

Perubahan patofisiologi yang terjadi pada ARDS adalah edema paru interstistial

dan penurunan kapasitas residu fungsional (KRF) karena atelektasis kongestif

difus. Keadaan normal, filtrasi cairan ditentukan oleh hukum Starling yang

menyatakan filtrasi melewati endotel dan ruang intertisial adalah selisih

tekanan osmotik protein dan hidrostatik :

Q = K (Pc-Pt) – D (c-t)

Q : kecepatan filtrasi melewati membran kapiler

Pt : tekanan hidrostatik interstitial

K : koefisien filtrasi

c : tekanan onkotik kapiler

D : koefisien refleksi

t : tekanan onkotik interstitial

Pc : tekanan hidrostatik kapiler

Perubahan tiap aspek dari hukum Starling akan menyebabkan terjadinya

edema paru. Tekanan hidrostatik kapiler (Pc) meningkat akibat kegagalan

fungsi ventrikel kiri akan menyebabkan peningkatan filtrasi cairan dari kapiler

ke interstitial. Cairan kapiler tersebut akan mengencerkan protein intertsitial

sehingga tekanan osmotik interstitial menurun dan mengurangi pengaliran

cairan ke dalam vena.

Kerusakan endotel kapiler atau epitel alveoli atau keduanya pada ARDS

menyebabkan peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapiler (terutama

sel pneumosit tipe I) sehingga cairan kapiler merembes dan berkumpul

didalam jaringan interstitial, jika telah melebihi kapasitasnya akan masuk ke

dalam rongga alveoli (alveolar flooding) sehingga alveoli menjadi kolaps

(mikroatelektasis) dan compliance paru akan lebih menurun. Merembesnya

cairan yang banyak mengandung protein dan sel darah merah akan

mengakibatkan perubahan tekanan osmotik. Cairan bercampur dengan cairan

alveoli dan merusak surfaktan sehingga paru menjadi kaku, keadaan ini akan

memperberat atelektasis yang telah terjadi.

49

Page 50: LAPORAN KASUS KEMATIAN

Mikroatelektasis akan menyebabkan shunting intrapulmoner,

ketidakseimbangan (mismatch) ventilasi-perfusi (VA/Q) dan menurunnya

KRF, semua ini akan menyebabkan terjadinya hipoksemia berat dan

progresivitas yang ditandai dengan pernapasan cepat dan dalam. Shunting

intrapulmoner menyebabkan curah jantung akan menurun 40%. Hipoksemia

diikuti asidemia, mulanya karena pengumpulan asam laktat selanjutnya

merupakan pencerminan gabungan dari unsur metabolik maupun respiratorik

akibat gangguan pertukaran gas. Penderita yang sembuh dapat menunjukan

kelainan faal paru berupa penurunan volume paru, kecepatan aliran udara dan

khususnya menurunkan kapasitas difusi.3

50

Page 51: LAPORAN KASUS KEMATIAN

E. Diagnosis Klinis

Onset akut umumnya berlangsung 3-5 hari sejak adanya diagnosa kondisi

yang menjadi faktor risiko ARDS. Tanda pertama adalah takipnea, retraksi

intercostal, adanya ronkhi basah kasar yang jelas. Dapat ditemui hipotensi,

febris. Pada auskultasi ditemukan ronkhi basah kasar. Gambaran

hipoksia/sianosis yang tak respon dengan pemberian oksigen. Sebagian kasus

disertai disfungsi/gagal organ ganda yang umumnya juga mengenai ginjal,

hati, saluran cerna, otak dan sistem kardiovaskular.2

4.3 Mortalitas

Mortalitas pasien sepsis bervariasi sesuai tingkat keparahan kekurangan

oksigen. Walaupun tingkat keparahan oksigenasi merupakan faktor penyebab

kematian, tetapi pada umumnya pasien meninggal dikarenakan gagal multi

organ atau penyakit yang mendasari progresivitasnya. Beberapa faktor

penentu dalam prognosis ARDS adalah umur, keparahan penyakit, dan

kondisi predisposisi dari ARDS. Contohnya, trauma yang menginduksi ARDS

memiliki prognosis lebih baik dari kondisi yang lain. Faktor resiko klinis

penyebab mortalitas ARDS termasuk oksigenasi yang buruk dan

pengembangan paru yang buruk walaupun tidak terbukti bahwa hanya

pengembangan paru yang mempunyai pengaruh yang signifikan pada

oksigenasi. Prediksi lain pada kasus mortalitas ARDS termasuk disfungsi

pendarahan pulmonal, pengembangan paru, oksigenasi, ataupun syok.6

Hipoksemia arteri berat (PaO2/FiO2 <100) dan peningkatan dalam fraksi dead

space paru (> 0,60) berhubungan dengan mortalitas yang lebih tinggi, seperti

shock, disfungsi hati, gagal ginjal akut, usia lebih dari 60 tahun, dan tingkat

keparahan penyakit.

51

Page 52: LAPORAN KASUS KEMATIAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE

Pendahuluan

Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu keadaan terjadinya kerusakan

ginjal atau laju filtrasi glomerulus (LFG) < 60 mL/menit dalam waktu 3 bulan

atau lebih.1-7 Penurunan fungsi ginjal terjadi secara berangsur-angsur dan

irreversible yang akan berkembang terus menjadi gagal ginjal terminal. Adanya

kerusakan ginjal tersebut dapat dilihat dari kelainan yang terdapat dalam darah,

urin, pencitraan, atau biopsy ginjal. CKD merupakan masalah kesehatan yang

mendunia dengan angka kejadian yang terus meningkat, mempunyai prognosis

buruk, dan memerlukan biayaperawatan yang mahal. Di negara-negara

berkembang CKD lebih kompleks lagi masalahnya karena berkaitan dengan sosio-

ekonomi dan penyakit-penyakit yang mendasarinya. Perejalanan penyakit CKD

52

Page 53: LAPORAN KASUS KEMATIAN

tidak hanya terjadi gagal ginjal tetapi juga dapat terjadi komplikasi lainnya karena

menurunnya fungsi ginjal dan penyakit kardiovaskular.8-9

Peningkatan prevalens penderita CKD dari 13,8% menjadi 15,8% pada

populasi dewasa dilaporkan oleh US Renal Data System tahun 2007, sedangkan

pada populasi anak kejadian CKD < 2% dari populasi dewasa.10 Prevalens CKD

pada anak adalah 18 per 1 juta populasi anak.11 Jumlah penderita CKD yang

dilakukan dialisis dan transplantasi ginjal diproyeksikan meningkat dari 340.000

pada tahun 1999 menjadi 651.000 pada tahun 2010.9 Mortalitas penderita dengan

GGT meningkat 10-20 kali dibandingkan populasi umum.7

Bukti-bukti terbaru menunjukkan bahwa perjalanan penyakit CKD tersebut dapat

diperbaiki dengan melakukan deteksi dini dan memberikan penanganan yang

lebih awal.1,2

The National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality

Initiative (K/DOQI) tahun 2002 mengembangkan clinical practice guidelines on

CKD yang memuat mengenai batasan, stadium, penilaian klinis berdasarkan hasil

laboratorium, dan membagi tingkatan risiko akibat penurunan fungsi ginjal.

Tujuan guidelines ini agar dapat diterima secara universal dan dapat memberikan

penanganan yang optimal bagi penderita CKD.1,2,8,9

Batasan

Batasan yang tercantum dalam clinical practice guidelines on CKD menyebutkan

bahwa seorang anak dikatakan menderita CKD bila terdapat salah satu dari

criteria dibawah ini:1-6,9

1. Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, yang didefinisikan sebagai abnormalitas struktur

atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan glomerular filtration rate

(GFR), yang bermanifestasi sebagai satu atau lebih gejala:

i) Abnormalitas komposisi urin

ii) Abnormalitas pemeriksaan pencitraan

iii) Abnormalitas biopsi ginjal

2. GFR < 60 mL/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa gejala

kerusakan ginjal lain yang telah disebutkan.

53

Page 54: LAPORAN KASUS KEMATIAN

Klasifikasi

Klasifikasi CKD menjadi beberapa stadium untuk tujuan pencegahan, identifikasi

awal kerusakan ginjal dan penatalaksanaan, serta untuk pencegahan komplikasi

CKD.1-6,9

Tabel 1 Klasifikasi stadium CKD

Sumber: Hogg, 2003

Angka Kejadian, Morbiditas dan Mortalitas

Berdasarkan data dari the North American Pediatric Renal Transplant

Cooperative Study (NAPRTCS) Chronic Renal Insufficiency (CRI) database,

sebanyak 551 pasien berusia 2-17 tahun diperkirakan memiliki GFR < 75 mL/min

per 1.73 m2. Persentase dari penelitian Cohort NAPRTCS menunjukkan angka

19%, 17%, 33%, dan 31% pada masing-masing anak berusia 0-1 tahun, 2-5 tahun

6-12 tahun, dan lebih dari 12 tahun.4 Prevalens CKD pada anak dilaporkan kira-

kira 18.5-58.3 per satu juta anak.3 Penelitian di India melaporkan terdapat 5.3%

anak dengan CKD yang terdapat di rumah sakit rujukan. 4,6 Data dari Itali

menyebutkan insidens rata-rata 12.1 kasus pertahun pada populasi yang

tergantung umur (rentang usia 8.8-13.9 tahun).7 Sebesar 70% anak dengan CKD

berkembang menjadi end stage renal disease (ESRD) sebelum usia 20 tahun.

Anak dengan ESRD memiliki 10-year survival rate 80% dan angka mortalitas 30

kali dibandingkan anak tanpa ESRD. Penyebab kematian pada anak-anak tersebut

paling sering akibat penyakit kardiovaskular, yang diikuti oleh penyakit infeksi.

Penyebab kematian kardiovaskular dapat dibedakan menjadi henti jantung (25%),

stroke (16%), iskemi miokardium (14%), edema paru (12%), hiperkalemi (11%),

dan sebesar 22% sisanya akibat aritmia.4,12

54

Page 55: LAPORAN KASUS KEMATIAN

Etiologi dan Faktor Risiko

Penyebab CKD pada anak usia < 5 tahun paling sering adalah kelainan kongenital

misalnya displasia atau hipoplasia ginjal dan uropati obstruktif. Sedangkan pada

usia> 5 tahun sering disebabkan oleh penyakit yang diturunkan (penyakit ginjal

polikistik) dan penyakit didapat (glomerulonefritis kronis).

Tabel 2 Kondisi yang meningkatkan risiko terjadinya CKD

Sumber: Hogg, 2003

Patogenesis

Mekanisme patogenesis yang pasti dari penurunan progresif fungsi ginjal

masih belum jelas, akan tetapi diduga banyak faktor yang berpengaruh, yaitu

diantaranya jejas karena hiperfiltrasi, proteinuria yang menetap, hipertensi sitemik

atau hipertensi intrarenal, deposisi kalsium-fosfor, dan hiperlipidemia. Jejas

karena hiperfiltrasi ditenggarai sebagai cara yang umum dari kerusakan

glomerular, tidak tergantung dari penyebab awal kerusakkan ginjal. Nefron yang

rusak akan mengakibatkan nefron normal lainnya menjadi hipertrofi secara

struktural dan secara fungsional mempunyai keaktifan yang berlebihan, ditandai

dengan peningkatan aliran darah glomerular.10 Secara umum terdapat tiga

mekanisme patogenesis terjadinya CKD yaitu glomerulosklerosis, parut

tubulointerstisial, dan sklerosis vaskular.3,11-13

1. Glomerulosklerosis

55

Page 56: LAPORAN KASUS KEMATIAN

Proses sklerosis glomeruli yang progresif dipengaruhi oleh sel intra-glomerular

dan sel ekstra-glomerular. Kerusakan sel intra-glomerular dapat terjadi pada sel

glomerulus intrinsik (endotel, sel mesangium, sel epitel), maupun sel ekstrinsik

(trombosit, limfosit, monosit/makrofag).

Gambar 1 Progresifitas glomerulosklerosis

Sumber: Nahas, 2003

Peran sel endotel

Sel endotel glomerular berperan penting dalam menjaga integritas jaringan

vascular atau vascular bed termasuk glomeruli. Di dalam kapiler glomerular, sel

endotel dapat mengalami kerusakan akibat gangguan hemodinamik (shear stress),

atau gangguan metabolik dan imunologis. Kerusakan tersebut berhubungan

dengan reduksi atau kehilangan fungsi antiinflamasi dan antikoagulasi sehingga

mengakibatkan aktivasi dan agregasi trombosit serta pembentukan mikro trombus

pada kapiler glomerulus. Hal ini juga menyebabkan mikro inflamasi yang menarik

sel-sel inflamasi (terutama monosit) sehingga berinteraksi denga sel mesangium

dan akhirnya terjadi aktivasi, proliferasi, serta produksi matriks ekstraselular atau

extracellular matrix (ECM).

Peran sel mesangium

56

Page 57: LAPORAN KASUS KEMATIAN

Kerusakan sel mesangium primer aupun sekunder dapat menyebabkan

glomerulosklerosis. Misalnya setelah terjadi mikroinflamasi, monosit

menstimulasi proliferasi sel mesangium melalui pelepasan mitogen (seperti

platelet derived growth factor atau PDGF). Hiperselularitas sel mesangium

tersebut mendahului terjadinya sklerosis mesangium. Akibat pengaruh dari

growth factor seperti TGF-β1, sel mesangium yang mengalami proliferasi dapat

mejadi sel miofibroblas, yang mensintesis komponen ECM termasuk kolagen

interstisial tipe III, yang bukan merupakan komponen normal ECM glomerulus.

Resolusi sklerosis mesangial dan glomerular tergantung pada keseimbangan

antara sintesis ECM yang meningkat dengan pemecahan oleh glomerular

kolagenase atau metaloproteinase.

Peran sel epitel

Ketidakmampuan podosit untuk bereplikasi terhadap jejas dapat

menyebabkan stretching di sepanjang membran basalis glomerulus atau

glomerular basement membrane (GBM) sehingga area tersebut menarik sel-sel

inflamasi dan sel-sel tersebut berinteraksi dengan sel parietal epitel menyebabkan

formasi adesi kapsular dan glomeruloslerosis. Hal ini menyebabkan akumulasi

material amorf di celah paraglomerular, kerusakan glomerular-tubular junction,

dan pada akhirnya terjadi atrofi tubular serta fibrosis interstisial.

Peran trombosit dan koagulasi

Trombosit dan produk yang dihasilkannya terdeteksi dalam glomerulus yang

mengalami nefropati. Stimulasi kaskade koagulasi mengaktifkan sel mesangium

dan menginduksi sklerosis. Trombin mestimulasi prosukdi TGF-β1 yang

menyebabkan produksi ECM mesangial dan inhibisi metaloproteinase.

Glomerulosklerosis tergantung pada keseimbangan aktivitas

trombus/antiproteolitik dengan antikoagulan/proteolitik yang diatur oleh sistem

regulasi plasminogen.

Peran limfosit dan monosit/makrofag

Sel limfosit T-helper dan T-cytotoxic, monosit, dan makrofag terdapat dalam

glomerulus yang rusak. Keseimbangan antara sel limfosit Th-1 yang bersifat

inflamasi dan sel Th-2 yang bersifat antiinflamasi diduga berperan penting dalam

57

Page 58: LAPORAN KASUS KEMATIAN

resolusi atau bahkan progresifitas glomerulosklerosis. Deplesi sel monosit atau

makrofag memiliki efek proteksi karena sel-se tersebut dapat memproduksi

sitokin dan growth factor yang mengakibatkan glomerulosklerosis.

Gambar 2 Peran berbagai sel dalam terjadinya glomerulosklerosis

Sumber: Nahas, 2003

2. Parut tubulointerstisial

Derajat keparahan tubulointerstitial fibrosis (TIF) lebih berkorelasi dengan

fungsi ginjal dibangdingkan dengan glomerulosklerosis. Proses ini termasuk

inflamasi, proliferasi fibroblas interstisial dan deposisi ECM yang berlebih. Sel

tubular yang mengalami kerusakan berperan sebagai antigen presenting cell yang

mengekspresikan cell adhesion molecules dan melepaskan sel mediator inflamasi

seperti sitokin, kemokin, dan growth factor, serta meningkatkan produksi ECM

dan menginvasi ruang periglomerular dan peritubular. Resolusi deposisi ECM

tergantung pada dua jalur yaitu aktivasi matriks metaloproteinase dan aktivasi

enzim proteolitik plasmin oleh aktivator plasminogen. Parut ginjal terjadi akibat

gangguan kedua jalur kolagenolitik tersebut, sehingga teradi gangguan

58

Page 59: LAPORAN KASUS KEMATIAN

keseimbangan produksi ECM dan pemecahan ECM yang mengakibatkan fibrosis

yang irreversibel.

Gambar 3 Patomekanisme terjadinya parut tubulointerstisial

Sumber: Nahas, 2003

3. Sklerosis vaskular

Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular oleh berbagai sebab

(misalnya diabetes, hipertensi, glomerulonefritis kronis) akan menimbulkan

terjadinya eksaserbasi iskemi interstisial dan fibrosis. Iskemi serta hipoksia akan

menyebabkan sel tubulus dan fibroblas untuk memproduksi ECM dan mengurangi

aktivitas kolagenolitik. Kapiler peritubular yang rusak akan menurunkan produksi

proangiogenic vascular endothelial growth factor (VEGF) dan ginjal yang

mengalami parut akan mengekspresikan thrombospondin yang bersifat

antiangiogenic sehingga terjadi delesi mikrovaskular dan iskemi.

Manifestasi klinis

59

Page 60: LAPORAN KASUS KEMATIAN

Manifestasi klinis CKD sangat bervariasi, tergantung pada penyakit yang

mendasarinya. Bila glomerulonefritis merupakan penyebab CKD, maka akan

didapatkan edema, hipertensi, hematuria, dan proteinuria. Anak dengan kelainan

kongenital sistem traktus urinarius, seperti renal dysplasia atau uropati obstruksi

akan ditemukan gagal tumbuh, gejala infeksi saluran kemih berulang, dan gejala

nonspesifik lainnya.

Penderita CKD stadium 1-3 (GFR > 30 mL/min) biasanya asimtomatik dan gejala

klinis biasanya baru muncul pada CKD stadium 4 dan 5. Kerusakan ginjal yang

progresif dapat menyebabkan:3,11,13,14

Peningkatan tekanan darah aibat overload cairan dan produksi hormon

vasoaktif (hipertensi, edem paru dan gagal jantung kongestif)

Gejala uremia (letargis, perikarditis hingga ensefalopati)

Akumulasi kalium dengan gejala malaise hingga keadaan fatal yaitu aritmia

Gejala anemia akibat sintesis eritropoietin yang menurun

Hiperfosfatemia dan hipokalsemia (akibat defisiensi vitamin D3)

Asidosis metabolik akibat penumpuan sulfat, fosfat, dan asam urat

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Pemeriksaan analisis urin awal dengan menggunakan tes dipstick dapat

mendeteksi

dengan cepat adanya proteinuri, hematuri, dan piuri.3,13 Pemeriksaan

mikroskopis urin dengan spesimen urin yang telah disentrufugasi untuk mencari

adanya sel darah merah, sel darah putih, dan kast. Sebagian besar anak dengan

CKD memiliki banyak hyalin cast. Granular cast yang berwarna keruh

kecoklatan menunjukkan nekrosis tubular akut, sedangkan red cell cast

menunjukkn adanya suatu glomerulonefritis.4

Untuk diagnostik dan pengamatan anak dengan CKD diperlukan pemeriksaan

kimiawi serum, seperti pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin serum merupakan

tes yang paling penting, sedangkan pemeriksaan kadar natrium, kalium, kalsium,

fosfat, bikarbonat, alkalin fosfatase, hormon paratiroid (PTH), kolesterol, fraksi

60

Page 61: LAPORAN KASUS KEMATIAN

lipid penting untuk terapi dan pencegahan komplikasi CKD. Anemia merupakan

temuan klinis penting pada CKD dan dapat menunjukkan perjalanan kronis gagal

ginjal sehingga pemeriksaan darah lengkap atau complete blood count harus

dilakukan.4

Laju filtrasi glmerulus setara dengan penjumlahan laju filtrasi di semua nefron

yang masih berfungsi sehingga perkiraan GFR dapat memberikan pengukuran

kasar jumlah nefron yang masih berfungsi. Pemeriksaan GFR biasanya dengan

menggunakan creatinine clearance, akan tetapi untuk pemeriksaan ini kurang

praktis karena membutuhkan pengumpulan urin 24 jam. Untuk kepentingan

praktis perhitungan GFR digunakan rumus berdasarkan formula Schwartz atau

Counahan-Barrat, yaitu seperti yang terdapat pada Tabel 3 dibawah ini:

Tabel 3 Perkiraan GFR pada anak menggunakan kreatinin serum dan tinggi badan

Sumber: Hogg, 2003

Pencitraan

Pemeriksaan pencitraan dapat membantu menegakkan diagnosis CKD dan

memberikan petujuk kearah penyebab CKD.4-5

Foto polos: untuk melihat batu yang bersifat radioopak atau nefrokalsinosis.

Ultrasonografi: merupakan pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan

karena aman, mudah, dan cukup memberikan informasi. USG merupakan

modalitas terpilih untuk kemungkinan penyakit ginjal obstruktif. Meskipun

USG kurang sensitif dibandingkan CT untuk mendeteksi massa, tetapi USG

61

Page 62: LAPORAN KASUS KEMATIAN

dapat digunakan untuk membedakan kista jinak dengan tumor solid, juga

sering digunakan untuk menentukan jenis penyakit ginjal polikistik.

CT Scan: Dapat menentukan massa ginjal atau kista yang tidak terdeteksi

pada pemeriksaan USG dan merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk

mengidentifikasi batu ginjal. CT Scan dengan kontras harus dihindari pada

pasien dengan gangguan ginjal untuk menghindari terjadinya gagal ginjal

akut.

MRI: Sangat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan CT

tetapi tidak dapat menggunakan kontras. MRI dapat dipercaya untuk mendeteksi

adanya trombosis vena renalis. Magnetic resonance ngiography juga bermanfaat

untuk mendiagnosis stenosis arteri renalis, meskipun arteriografi renal tetap

merupakan diagnosis standar.

Radionukleotida: Deteksi awal parut ginjal dapat dilakukan dengan

menggunakan radioisotope scanning 99m-technetium dimercaptosuccinic

acid (DMSA). Pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan intravenous

pyelography (IVP) untuk mendeteksi parut ginjal dan merupakan diagnosis

standar untuk mendeteksi nefropati refluks.

Voiding cystourethrography: Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan

radionukleotida untuk mendeteksi refluks vesikoureter.

Retrogade atau anterogade pyelography: Dapat digunakan lebih baik untuk

mendiagnosis dan menghilangkan obstruksi traktus urinarius. Pemeriksaan

ini diindikasikan apabila dari anamnesis didapatkan kecurigaan gagal ginjal

meskipun USG dan CT scan tidak menunjukkan adanya hidronefrosis.

Pemeriksaan tulang: Hal ini bermanfaat untuk mengevaluasi hiperpartiroid

sekunder yang merupakan bagian dari osteodistrofi, dan juga perkiraan usia

tulang untuk memberikan terapi hormon pertumbuhan.

Penatalaksanaan

Evaluasi dan penanganan pasien dengan CKD memerlukan pengertian konsep

terpisah namun saling berhubungan mengenai diagnosis, kondisi komorbid,

derajat keparahan penyakit, komplikasi penyakit dan risiko hilangnya fungsi

62

Page 63: LAPORAN KASUS KEMATIAN

ginjal serta peyakit kardiovaskular.2,4 anak dengan CKD harus dievaluasi untuk

menentukan:2

Diagnosis (jenis penyakit ginjal)

Kondisi komorbid (hiperlipidemi)

Derajat keparahan, yang dinilai menggunakan fungsi ginjal

Komplikasi, berhubungan dengan derajat kerusakan ginjal

Faktor risiko kehilangan fungsi ginjal

Risiko penyakit kardiovaskular

Sedangkan terapi untuk CKD meliputi:2

Terapi spesifik, berdasarkan diagnosis

Evaluasi dan penanganan kondisi komorbid

Memperlambat kerusakan fungsi ginal

Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular

Pencegahan dan terapi penyakit komplikasi (hipertensi, anemia,gagal

tumbuh)

Penggantian fungsi ginjal dengan dialisis atau bahkan transplantasi ginjal

Terapi dislipidemi

Dislipidemi merupakan faktor risiko primer penyakit kardiovaskular dan

komplikasi penyakit ginjal progresif karena dapat menyebabkan aterosklerosis

difus dan iskemi renal.6 Abnormalitas lipid pada CKD paling sering adalah

peningkatan trigliserida, low density lipoprotein (LDL) yang diakibatkan

gangguan klirens.15 Rekomendasi dari KDOQI bertujuan mengurangi kadar

kolsterol < 100 mg/dL dan trigliserid < 200 mg/dL. Atorvastatin dan kolestiramin

efektif dan aman digunakan pada anak.1,3-5,11,15

Terapi Hipertensi

Hipertensi menyebabkan kerusakan langsung pembuluh darah nefron sehingga

ginjal kehilangan kemampuan otoregulasi tekanan dan laju filtrasi glomerulus

dengan hasil akhir hiperfiltrasi yang bermanifestasi sebagai albuminuri.15 Target

tekanan darah pada anak dengan CKD adalah dibawah persentil 90 sesuai usia dan

jenis kelamin.4 Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin

receptor blocker (ARB) lebih efektif dibandingkan antihipertensi lain dalam

63

Page 64: LAPORAN KASUS KEMATIAN

mencegah progresifitas kerusakan ginjal karena obat-obatan tersebut menurunkan

tekanan intraglomerular dan proteinuri melalui efek langsung terhadap tekanan

darah sistemik dan sirkulasi glomerulus.4,5,11,13,

Terapi anemia

Anemia pada penyakit ginjal kronis teradi akibat produksi eritropoietin yang

menurun dan massa sel tubular renal yang berkurang. Kompensasi jantung

terhadap anemia menyebabkan hipertrofi ventrikel dan kardiomiopati sehinga

meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung atau penyakit jantung iskemik.15

Rekomendasi KDOQI menyebutkan target hemoglobin 11 hingga 12 g/dL pada

penderita CKD, dan penderita dengan kadar feritin serum < 100 ng/mL harus

mendapat suplementasi besi.1,15 Recombinant human erythropoietin (rHuEPO)

dengan dosis 50-150 mg/kgBB/hari subkutan digunakan untuk anemia akibat

CKD.1,4,5,11

Terapi osteodistrofi

Anak dengan CKD mengalami penurunan kadar kalsitriol serum (1,25 dihidroksi

vitamin D) dan peningkatan kadar hormon paratiroid (PTH) serum sehingga

KDOQI menganjurkan pemeriksaan kadar kalsium dan fosfat setiap bulan dan

kadar PTH minimal setiap 3 bulan.4 Pasien dengan kadar PTH tinggi (> 300

pg/mL) dapat diberikan vitamin D aktif (Rocatrol) 0.01-0.05 μg/kgBB/hari untuk

mensupresi sekresi PTH serta harus membatasi asupan fosfat dari diet.4,11,15

Hormon pertumbuhan

Gangguan hypothalamic-pituitary-growth hormone axis berkontribusi terhadap

resistensi hormon pertumbuhan pada kadaan uremia. Menurut KDOQI,

recombinant human growth factor (rHuGH) 0.05 μg/kgBB/hari subkutan dapat

dipertimbangkan apabila tinggi anak untuk usia kronologis < 2 standar deviasi dan

anak dengan growth velocity < 2 SD.1,11

Diet

Diet memegang peranan penting pada anak CKD karena penderita rentan terhadap

malnutrisi dan hipoalbuminemi.15 Tantangan bagi dokter anak dan ahli gizi

adalah untuk mencapai tumbuh kembang yang optimal.4 Kebutuhan energi harus

memenuhi recommended dietary allowance (RDA) untuk anak normal dengan

64

Page 65: LAPORAN KASUS KEMATIAN

tinggi sesuai. Jika terapat malnutrisi, asupan kalori dapat ditingkatkan untuk

memperbaiki penambahan berat badan dan pertumbuhan linier. Asupan kalori

harus cukup untuk meningkatkan efisiensi protein (protein-sparing effecct) dan

mencegah pasien dari proses katabolik.

Diet restriksi protein hingga kini masih menjadi perdebatan.4,5 Analisis Cochrane

menyimpulkan bahwa restriksi protein dapat mengurangi proteinuri pada nefropati

diabetes. Sedangkan rekomendasi KDOQI menganjurkan asupan protein 0.8

hingga 1 g/kgBB/hari dan asupan kalori sebesar 30-35 kcal/kgBB/hari pada anak

CKD. Pada CKD stadium 1-4, asupan natrium dibatasi 2000 mg/hari, kalsium

1200 mg/hari, dan kalium serta fosfat dinilai berdasarkan hasil pemeriksaan

laboratorium. Pada CKD stadium 5 asupan kalium, fosfat, kalsium, natrium dan

cairan perlu dibatasi. 1-3,15

Pencegahan

Dokter anak berperan dalam skrining pasien anak dengan risiko tinggi, mencegah

kerusakan ginjal, dan merubah perjalanan penyakit CKD dengan melakukan terapi

awal dan pengawasan progresifitas penyakit. Pencegahan ini memiliki 3 aspek

penting yaitu pencegahan:6

1. Primer, bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi pemaparan

terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan penyakit ginjal. Misalnya

strategi untuk mengurangi pemaparan antenatal terhadap infeksi, pencegahan

penyakit ginjal yang diturunkan dengan cara konseling genetik, pencegahan

obesitas, deteksi awal dan penanganan hipertensi dan kencing manis.

2. Sekunder, dimana pencegahan terjadinya progresifitas kerusakan ginjal dari

CKD stadium 1-5 dengan melakukan penanganan yang tepat pada setiap

stadium CKD.

3. Tersier, berfokus pada penundaan komplikasi jangka panjang, disabilitas atau

kecacatan akibat CKD dengan cara renal replacemet therapy misalnya dialisis

atau transplantasi ginjal.

Prognosis

Prognosis pasien CKD berdasarkan data epidemiologi dan angka kematian

65

Page 66: LAPORAN KASUS KEMATIAN

meningkat sejalan dengan fungsi ginjal yang memburuk. Penyebab kematian

utama pada CKD adalah penyakit kardiovaskular. Dengan adanya renal

replacement therapy dapat meningkatkan angka harapan hidup pada CKD stadium

5. Transplantasi ginjal dapat menimbulkan komplikasi akibat pembedahan. CAPD

meningkatkan angka harapan hidup dan quality of life dibandingkan hemodialisis

dan dialisis peritoneal.3,11,13

Ringkasan

Sejumlah besar kondisi klinikopatologis dapat menyebabkan kerusakan ginjal

pada anak. Antisipasi, deteksi dini, dan penanganan yang tepat dapat mengurangi

morbiditas dan mortalitas akibat CKD.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kidney Disease Outcomes Quality Iniatiative of The National Kidney

Foundation. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,

Classification, and Stratification. 2002.

2. American Academy of Pediatrics. National Kidney Foundation’s Kidney

Disease Outcomes Quality Initiative Clinical Practice Guidelines for Chronic

Kidney Disease in Children and Adolescents: Evaluation, Classification, and

Stratification. Pediatrics 2003; 111: 1416-20.

3. Nahas ME. The patient with failing renal failure. Dalam: Cameron JS, Davison

AM. Oxford Textbook of Clinical Nephrology. Edisi ke-3. Oxford University

Press.2003; hal 1648-98.

4. Gulati S. Chronic kidney disease. (Diunduh tanggal 28 Juli 2008). Tersedia dari

URL: www.emedicine.com.

5. Verrelli M. Chronic renal failure. (Diunduh tanggal 28 Juli 2008). Tersedia dari

URL: www.emedicine.com.

6. Vijayakumar M, Namalwar R, Prahlad N. Prevention of chronic kidney disease

in children. Ind J of Nephrol. 2007;17:47-52.

7. Parmar MS. Chronic renal disease. BMJ. 2002;325:85-90.

8. Sharon K. Chronic kidney disease. Critical Care Nurse. 2006;14:17-22.

66

Page 67: LAPORAN KASUS KEMATIAN

9. Levey AS, Coresh J, Balk E, Kautz T, Levin A, Steves M et al. National

Kidney Foundation Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,

Classification, and Stratification. Ann Intern Med. 2003;139:137-47.

10. Menon S, Valentini RP, Kapur G, Layfield S, Mattoo TK. Effectiveness of a

multidisciplinary clinic in managing children with chronic kidney disease. Clin J

Am Soc Nephrol. 2009;4:1170-1175.

11. Vogt BA, Avner ED. Renal failure. Dalam: Behrman RM, Kliegman RM,

Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:

WB Saunders, 2004; hal 1770-75.

12. Henry TY. Progression of chronic renal failure. Arch Int Med 2003;163:1417-

29.

13. Fogo AB, Kon V. Chronic renal failure. Dalam: Avner WD, Harmon FE.

Pediatric Nephrology. Edisi ke-5. Lippincott Williams and Wilkins. 2004; hal

1645-70.

14. Rigden, SP. The management of chronic and end stage renal failure in

children. Dalam: Webb N, Postlethwaite R. Clinical Pediatric Nephrology. Edisi

ke-3. Oxford University Press. 2003; hal 427-45.

15. Catherine S, Snively M. Chronic kidney disease: Prevention and treatment of

common complications. American Academy of Family Physicians. 2005;1-5.

67