konflik elit politik di kesultanan palembang … · dalam catatan sejarah, pengkhianatan para...

28
KONFLIK ELIT POLITIK DI KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM TAHUN 1803-1821 Oleh: Ravico Dosen Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pengetahuan PGRI Lubuklinggau, Sumatera Selatan, Indonesia Abstrak Effected by the conflict which is very crucial in the Sultanate of Palembang Darussalam good political conflicts between the family of the sultan as well as fellow of the colonial never done since the year 1803 to Sultanate of Palembang Darussalam experienced the fall of the year 1821. In this research historical methods with its procedure used in. This study is a research library (library research) by using the methods of descriptive analysis. From the results of the analysis note that the political elite divided the ruling political elite and non-elite to rule. The ruling political elite was the sultan and the priyayi. They have a role regulating stability in society and create policies. While the non-ruling political elite is United Kingdom and Netherlands colonial. The colonial was originally cast as traders who try to monopolize trade and then intervened in the Affairs of Government. The next conflict interen between Sultan Mahmud Badaruddin II to Sultan Ahmad Najamuddin II was the Sultan Mahmud Badaruddin II disappointment with treason committed by his brother Sultan Ahmad Najamuddin II, the internal conflicts of colonial so stimulated by internal conflicts are increasingly complex. While the conflict with the Sultanate of Palembang Darussalam differences caused by the colonial CORE Metadata, citation and similar papers at core.ac.uk Provided by e-Journal Universitas Islam Negeri Raden Fatah (UIN Raden Fatah Palembang)

Upload: others

Post on 22-Oct-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Racico Konflik Elit Politik di Kesultanan Palembang…│39

    KONFLIK ELIT POLITIK

    DI KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM

    TAHUN 1803-1821

    Oleh:

    Ravico

    Dosen Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial

    Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pengetahuan PGRI

    Lubuklinggau, Sumatera Selatan, Indonesia

    Abstrak

    Effected by the conflict which is very crucial in the Sultanate of

    Palembang Darussalam good political conflicts between the

    family of the sultan as well as fellow of the colonial never done

    since the year 1803 to Sultanate of Palembang Darussalam

    experienced the fall of the year 1821. In this research historical

    methods with its procedure used in. This study is a research

    library (library research) by using the methods of descriptive

    analysis. From the results of the analysis note that the political

    elite divided the ruling political elite and non-elite to rule. The

    ruling political elite was the sultan and the priyayi. They have a

    role regulating stability in society and create policies. While the

    non-ruling political elite is United Kingdom and Netherlands

    colonial. The colonial was originally cast as traders who try to

    monopolize trade and then intervened in the Affairs of

    Government. The next conflict interen between Sultan Mahmud

    Badaruddin II to Sultan Ahmad Najamuddin II was the Sultan

    Mahmud Badaruddin II disappointment with treason committed

    by his brother Sultan Ahmad Najamuddin II, the internal

    conflicts of colonial so stimulated by internal conflicts are

    increasingly complex. While the conflict with the Sultanate of

    Palembang Darussalam differences caused by the colonial

    CORE Metadata, citation and similar papers at core.ac.uk

    Provided by e-Journal Universitas Islam Negeri Raden Fatah (UIN Raden Fatah Palembang)

    https://core.ac.uk/display/267944775?utm_source=pdf&utm_medium=banner&utm_campaign=pdf-decoration-v1

  • 40│Tamaddun Vol. XIV, No. 2/Juli – Desember 2015

    interests. Sultanate of Palembang are trying to break away from

    colonial and gaining sovereignty.

    Key Words: -conflicts, -the political elite, -sultanate and colonial

    A. Pendahuluan

    Kesultanan Palembang mendapat banyak julukan atas keberhasilan

    pembangunan politik, ekonomi, dan sosialnya. Bagaikan pusat

    perdaganggan di Eropa yaitu Venesia, maka Palembang mendapat

    julukkan net indische Venetie. Bahkan nama darussalam diterjemahkan

    de stad des vredes yang berarti tempat yang tentram. Gambaran ini

    dikemukakan oleh Mayor M.H Court yang dikutip oleh Djohan

    Hanafiah (1996: 48-49):

    “Dari seluruh pelabuhan di wilayah orang-orang Melayu,

    Palembang telah membuktikan dan terus secara seksama menjadi

    pelabuhan yang paling aman dan dengan peraturan yang paling

    baik, seperti dinyatakan oleh orang-orang pribumi dan orang-orang

    Eropa. Begitu memasuki perairan sungai, perahu-perahu kecil

    dengan kewaspadaan yang biasa dan tindakkan-tindakkan

    pencegahan yang akan mengamankan dari kekerasan dan

    perampasan. Di bagian luar sungai perahu-perahu kecil perampok

    setiap saat bersembunyi di dalam suak (anak-anak sungai kecil) dan

    terlindung di bawah hutan sepanjang pantai akan memangsa

    perahu-perahu dagang kecil yang memasuki sungai, tetapi hal ini

    jarang terjadi karena dijaga oleh kekuatan sultan dengan segala

    peralatan.”

    Keberhasilan inilah yang pada akhirnya mengantarkan

    Kesultanan Palembang Darussalam pada berbagai konflik baik

    konflik interen maupun konflik eksteren. Dalam kasus aristokrasi

    Kesultanan Palembang Darussalam hal ini tidak dapat dibantahkan.

  • Racico Konflik Elit Politik di Kesultanan Palembang…│41

    Keberhasilan Sultan Muhammad Bahauddin membangun

    perekonomian di Palembang menimbulkan konflik dari para elit dan

    para bangsawan berupaya memperebutkan posisi Kesultanan

    Palembang Darussalam.

    Ketika Kesultanan Palembang Darussalam dipimpin Sultan

    Mahmud Badaruddin II, selalu disibukkan oleh konflik para elit

    politik. Upaya para elit untuk memperoleh kedudukan dan

    memperebutkan posisi dan kekuasaan atas wilayah kesultanan

    dilakukan dengan berbagai cara. Kondisi ini sering menimbulkan

    konflik kepentingan dan persaingan kekuasaan antara raja dan

    priyayi (elit). Meskipun kehidupan keraton menjamin kehidupan

    enak dan beradab, namun elit ini sering bermain politik

    (Hanafiah,1995:173) dalam hal ini peran antara elit di dunia politik

    yang menghalalkan segala cara dan saling menjatuhkan serta

    memojokan elit lain yang dianggap musuh sehingga menimbulkan

    bencana di keraton.

    Masa Sultan Mahmud Badaruddin II, konflik elit politik ini,

    memang tidak pernah kunjung selesai hingga jatuhnya kekuasaan

    Kesultanan Palembang Darussalam ke tangan elit politik Belanda.

    Dalam catatan sejarah, pengkhianatan para bangsawan (elit) seperti

    pengkhianatan oleh saudara kandung Sultan Mahmud Badaruddin

    II yaitu Husin Diauddin, ia bersekutu dengan elit politik Belanda

    untuk menjatuhkan kekuasaan Sultan Mahmud Badaruddin II.

    Belanda menjanjikan kedudukan anaknya Prabu Anom sebagai

    Sultan dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin IV. Sedangkan Ia

    menjadi Susuhunan (Hanafiah,1986:17).

    Tidak hanya itu, sebelumnya telah terjadi konflik antara Sultan

    Mahmud Badaruddin II dengan elit politik Inggris. Dalam konflik ini

    Sultan Mahmud Badaruddin II dituduh terlibat dalam pembunuhan

  • 42│Tamaddun Vol. XIV, No. 2/Juli – Desember 2015

    masal di Loji Sungai Aur. Sebagai penengah Pangeran Adipati

    menjadi juru bicara kesultanan dan Sultan Mahmud Badaruddin II

    mengasingkan diri ke Musi Rawas. Kondisinya menjadi terbalik

    ketika Pangeran Adipati melakukan pengkhianatan, Ia memperoleh

    kedudukan sebagai sultan penguasa Kesultanan Palembang

    Darussalam dengan gelar Ahmad Najamuddin (Hanafiah,1989: 65).

    Kesetiaan para elit politik Kesultanan Palembang Darussalam

    mengalami gelombang pasang surut. Kehidupan yang serba cukup

    dan mewah tidak membuat para bangsawan (elit) ini merasa cukup

    dengan kedudukannya (Hanafiah,1995:173). Berbagai cara untuk

    memperoleh kedudukan yang dicita-citakan. Bahkan tanpa

    memandang ikatan keluarga para elit ini terus bersaing dan saling

    menjatuhkan. Sering kali konflik ini muncul kepermukaan dan

    menimbulkan gerakan bawah tanah untuk menjatuhkan kedudukan

    yang sah.

    Konflik elit politik di Kesultanan Palembang Darussalam

    menjadi sangat komplek dan krusial ketika para elit pedagang asing

    seperti Belanda dan Inggris ikut campur serta memberikan pengaruh

    politiknya di Kesultanan Palembang Darussalam. Persaingan di

    antara bangsa-bangsa Barat dalam perdaganggan rempah-rempah

    dan timah yang berasal dari Palembang sering membangkitkan api

    peperangan. Pada umumnya latar belakang perselisihan ialah untuk

    memperoleh hak monopoli (PemProv,1986:28).

    Kehadiran kolonial Belanda dan Inggris sebagai pedagang,

    melahirkan elit baru di masyarakat dan menjadi elit tandingan (the

    ruling elite) bagi Kesultanan Palembang Darussalam. Akibatnya

    keseimbangan masyarakat pun terganggu dan menyebabkan

  • Racico Konflik Elit Politik di Kesultanan Palembang…│43

    semakin tersisinya kelompok-kelompok elit yang ada dalam

    masyarakat (Varma,1987:205-203).

    Kolonial Belanda dan Inggris sebagai elit baru, telah

    mendukung kebenaran teori elit yang dikemukakan oleh Pareto

    bahwa masyarakat terdiri dari 2 kelas: pertama, lapisan atas yaitu elit

    yang terbagi ke dalam elit yang memerintah (governing elite) dan elit

    yang tidak memerintah (non-governing elite). Kedua, lapisan yang

    lebih rendah, yaitu non-elit. (Varma,1987:202). Sebagai elit baru

    kolonial Inggris dan Belanda berkedudukan sebagai elit yang tak

    memerintah.

    Adanya elit baru di Kesultanan Palembang Darussalam turut

    melahirkan pertentangan antar elit. Pertentangan kelompok (elit)

    didasarkan atas dikhotomi pembagian wewenang dalam

    perserikatan yang dikoordinasi secara memaksa dapat ditaruh

    sebagai asumsi dasar. Asumsi ini ditambahkan sebuah proposisi

    bahwa posisi yang dilengkapi dengan wewenang yang berbeda

    dalam perserikatan menyebabkan pertentangan kepentingan orang

    yang memegangnya. Pemegang posisi dominan dan pemegang

    posisi yang ditundukkan, berdasarkan posisinya itu mempunyai

    kepentingan tertentu yang berlawanan substansi dan

    pelaksanaannya (Dahrendorf,1986:212).

    Pertentangan antara elit penguasa Kesultanan Palembang

    Darussalam dengan kolonial (Belanda dan Inggris) telah terjadi di

    awal pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam. Wewenang

    yang berbeda dalam perserikatan menyebabkan pertentangan

    kepentingan yang memegangnya. Kesultanan Palembang

    Darussalam sebagai pemegang wewenang dominan memiliki

    kepentingan terhadap wilayah-wilayah yang dimilikinya. Sedangkan

  • 44│Tamaddun Vol. XIV, No. 2/Juli – Desember 2015

    kepentingan berbeda dengan kolonial yang memiliki kepentingan

    memonopoli perdagangan di wilayah kesultanan.

    Konflik elit politik memang tidak dapat dihindarkan selama

    sistem politik masih berjalan. Perebutan kekuasaan, prestise dan

    kehendak memonopoli perdagangan yang menimbulkan konflik elit

    politik bukanlah alibi dasar bagi munculnya konflik. Sangat tidak

    berimbang jika hanya untuk memperoleh kekuasaan, prestise dan

    menguasai monopoli harus mengorbankan putusnya ikatan

    kekerabatan serta hilangnya nyawa rakyat yang tidak terlibat dalam

    konflik para elit tersebut. Menurut penulis pasti ada nilai strategis

    yang menimbulkan adanya konflik. Asumsi awal penulis, nilai

    strategis itu terkait dalam hal perekonomian dalam kaitan kajian

    politik. Oleh karena itu, perlunya pengkajian yang mendalam

    mengenai nilai strategis yang menjadi penyebab timbulnya konflik

    di kalangan elit politik di tubuh Kesultanan Palembang Darussalam

    dan kolonial.

    Dari uraian di atas yang menjadi masalah pokok penelitian

    adalah bagaimana konflik elit politik di Kesultanan Palembang

    Darussalam 1803-1821. Untuk kepentingan analisis, maka

    dirumuskan sub-sub masalah sebagai berikut. Bagaimana peran elit

    politik di Kesultanan Palembang Darussalam? Bagaimana konflik

    elit politik di Kesultanan Palembang Darussalam? Bagaimana

    peristiwa-peristiwa yang terjadi akibat eskalasi konflik politik

    Kesultanan Palembang Darussalam?

    Bertolak dari rumusan masalah tersebut maka penelitian ini

    bertujuan untuk mengetahui peran elit politik di Kesultanan

    Palembang Darussalam, konflik elit politik di Kesultanan Palembang

  • Racico Konflik Elit Politik di Kesultanan Palembang…│45

    Darussalam dan untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi

    akibat eskalasi konflik politik Kesultanan Palembang Darussalam.

    Umumnya penggunaan penelitian untuk dua kepentingan

    yaitu untuk pengembangan ilmu dan problem solving, maka

    kegunaan penelitian, secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan

    dapat berguna dan memberikan kontribusi sejarah mengenai konflik

    elit politik di Kesultanan Palembang Darussalam serta memberikan

    informasi ilmu pengetahuan bagi masyarakat Palembang, khususnya

    mengenai sejarah lokal dalam peperangan melawan kolonial Belanda

    dan Inggris. Selain itu, menambah khazanah ilmu pengetahuan

    sejarah lokal mengenai Kesultanan Palembang Darussalam. Secara

    praktis, kegunaan penelitian ini diharapkan memberikan penjelasan

    mengenai elit politik dalam perannya di Kesultanan Palembang

    Darussalam, serta upaya-upaya atau strategi mereka dalam

    memperebutkan kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam.

    Memberikan uraian mengenai situasi dan kondisi politik Kesultanan

    Palembang Darussalam dan konflik elit politiknya dalam upaya

    untuk memerebutkan tahta atau kekuasaan, dan memberikan

    Informasi tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi akibat konflik elit

    politik Kesultanan Palembang Darussalam.

    B. Metodologi Penelitian

    Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian historis

    (sejarah) yang berupaya menyelidiki konflik elit politik di

    Kesultanan Palembang Darusslam tahun 1803-1821dengan teknik

    dekriftif-analisis. Dalam hal ini penulis mendeskritifkan peristiwa-

    peristiwa konflik elit politik kemudian dianalisis dengan berbagai

    ilmu bantu lainnya untuk merekontruksi ulang peristiwa-peristiwa

  • 46│Tamaddun Vol. XIV, No. 2/Juli – Desember 2015

    konflik. Penelitian ini juga mengunakan pendekatan sosiologis dan

    ekonomi-politik.

    Dilihat dari jenis dan tema penelitian ini merupakan penelitian

    pustaka (library research) dengan laboratoriumnya adalah

    perpustakaan, maka alat heuristiknya adalah katalog-katalog.

    Adapun teknik pengumpulan data dengan kegiatan membaca,

    mencatat sumber data, dan mengkategorikan data berdasarkan sub-

    sub pembahasan. Setelah data telah dikumpulkan maka data

    tersebut di verifikasi (kritik terhadap sumber). Kritik tehadap

    sumber data dilakukan dengan kritik interen dan eksteren. Langkah

    selanjutnya menginterpretasi data menurut Kuntowijoyo yang

    dikutip oleh Abdurahman (2012:114) menjelaskan bahwa keduanya

    analisis dan sintesis dipandang sebagai metode-metode utama dalam

    interpretasi. Analisis itu sendiri bertujuan melakukan sintesis atas

    sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan

    bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu ke dalam satu

    interpretasi yang menyeluruh.

    Langkah selanjutnya yaitu historigrafi, historigrafi adalah

    langkah final dari rangkaian penelitian yang dilakukan. Sebagai

    tahap akhir, penulis berusaha menyajikan hasil penelitian sebaik

    mungkin dalam bentuk sejarah sebagai sebuah peristiwa yang

    dituangkan. Dalam penulisan ini disusun berdasarkan kronologi

    atau peristiwa dan sebab akibat. Historiografi menjadi sarana

    mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkap, diuji

    (verifikasi) dan diintepretasi. Rekontruksi sejarah akan menjadi eksis

    apabila hasil-hasil pendirian tersebut ditulis (Daliman,2012:99).

    Karangka Teori

  • Racico Konflik Elit Politik di Kesultanan Palembang…│47

    Dalam penelitian sejarah teori biasa dinamakan “karangka

    refrensi” atau “skema pemikiran”. Dalam penelitian yang lebih luas

    merupakan suatu perangkat kaidah yang memandu sejarawan

    dalam penelitiannya, menysusun bahan-bahan (data) yang diperoleh

    dari analsis sumber dan juga mengevaluasi hasil penemuan

    (Abdurahman, 2012: 29). Selanjutnya pemaknaan konflik sendiri

    berasal dari bahasa latin, conflictus yang artinya pertentangan

    (Poerwordaminto, 2000: 461). Menurut Webster, istilah “Conflict” di

    dalam bahasa aslinya suatu perkelahian, peperangan atau

    perjuangan yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak.

    Kata ini kemudian berkembang dengan masuknya ketidaksepakatan

    yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain.

    Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek

    piskologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi

    itu sendiri. Secara singkat, istilah “conflict” menjadi begitu meluas

    sehingga beresiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep.

    Dengan demikian konflik diartikan sebagai persepsi mengenai

    perbedaan kepentingan (perceived of interest), atau suatu kepercayaan

    bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai

    secara simultan (Dean G. Pruit dan Jeffrey Z. Rubin, 2004: 9).

    Umumnya konflik (Nasikun, 1995: 21) dapat digambarkan

    sebagai benturan kepentingan antar dua pihak atau lebih, di mana

    salah satu pihak merasa diperlukan secara tidak adil, kemudian

    kecewa. Kekecewan itu dapat diwujudkan melalui konflik dengan

    cara-cara yang legal dan tidak legal. Konflik juga diartikan sebagai

    hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok)

    yang memiliki atau merasa sasaran-sasaran yang tidak sejalan.

    Proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang segala

    dengan menjabarkan relasi di antara variabel untuk menjelaskan dan

  • 48│Tamaddun Vol. XIV, No. 2/Juli – Desember 2015

    meramalkan gejala tersebut. Konflik ini terjadi di antara kelompok-

    kelompok dengan tujuan untuk memperebutkan hal-hal yang sama.

    Dengan demikian konflik adalah merupakan gambaran dari sebuah

    permainan, baik untuk permainan yang memenangkan kedua belah

    pihak (Non-Zero Sum Conflict) maupun yang juga mengalahkan

    pihak lain (Zero- Sum Conflict) seperti kelas konflik yang terjadi pada

    masyarakat industri (Dahrendorf, 1986: 210-222).

    Elit politik merupakan gabungan dua kata yaitu elit dan politik.

    Elit secara bahasa merupakan orang yang terbaik atau pilihan dalam

    suatu kelompok (Muda, 2006: 200), sedangkan politik merupakan

    hal-hal yang berkenaan dengan tata negara atau urusan yang

    mencangkup siasat dalam pemerintahan negara atau negara lain

    (Muda,2006:425). Kemudian dapat disimpulkan bahwa elit politik

    adalah orang yang terbaik yang mampu mengurus dan paham

    mengenai tata negara.

    Selanjutnya makna elit menurut Pareto yang dikutip Varma

    (1987:202) merupakan orang-orang yang berhasil yang mampu

    menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Berangkat dari

    definisi di atas, Pareto membagi dua kelompok elit politik yaitu

    kelompok elit memerintah dan elit tidak memerintah. Kelompok elit

    memerintah adalah kelompok elit yang memiliki kekuasaan,

    wewenang dan kebijakan dalam mengatur masyarakat, sedangkan

    elit tidak memerintah merupakan kelompok elit yang tidak memiliki

    peran dalam pemerintahan tetapi memiliki pengaruh di masyarakat.

    Dari pengertian tersebut yang dimaksud elit politik dalam penelitian

    ini merupakan elit politik yang memerintah dan non pemerintah. Elit

    pemerintah adalah kelompok Kesultanan Palembang Darussalam,

  • Racico Konflik Elit Politik di Kesultanan Palembang…│49

    sedangkan kelompok elit tidak memerintah adalah kelompok

    kolonial Belanda dan Inggris.

    I. ISI

    a. Landasan Teori

    Pilihan terhadap suatu teori yang akan digunakan untuk

    menggarap suatu subjek penelitian tentu tidak dengan sendirinya

    dapat digunakan bagi peneliti subjek yang lain. Karena itu, peneliti

    yang bersangkutan perlu memeriksa bahan-bahan secara seksama

    agar memperoleh kejelasan untuk menentukan teori yang

    digunakan. Sehubungan dengan itu, penelitian yang subjeknya

    menyangkut konflik elit politik. Maka perlu suatu pemahaman

    terhadap apa yang dimaksud dengan konflik itu. Konflik berasal

    dari bahasa latin, conflictus yang artinya pertentangan

    (Poerwordaminto,2000:461). Secara umum konflik dapat

    digambarkan sebagai benturan kepentingan antar dua pihak atau

    lebih, di mana salah satu pihak merasa diperlakukan secara tidak

    adil, kemudian kecewa (Nasikun,2005:21). Menurut Webster

    menyatakan bahwa:

    “ Istilah “Conflict” di dalam bahasa aslinya suatu perkelahian,

    peperangan atau perjuangan yaitu berupa konfrontasi fisik antara

    beberapa pihak. Kata ini kemudian berkembang dengan masuknya

    ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai

    kepentingan, ide, dan lain-lain. Dengan kata lain, istilah tersebut

    sekarang juga menyentuh aspek psikologis di balik konfrontasi fisik

    yang terjadi, selain konfrontasi itu sendiri. Secara singkat, istilah

    “conflict” menjadi begitu meluas sehingga beresiko kehilangan

    statusnya sebagai sebuah konsep. Dengan demikian konflik di

    artikan sebagai persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived

    of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang

    berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan (Rubin,2004:19).”

  • 50│Tamaddun Vol. XIV, No. 2/Juli – Desember 2015

    Hal lain yang tampak dari sebuah konflik ialah sifat

    konfrotansi yang merupakan tingkah laku individu yang bermaksud

    untuk memojokkan, merugikan atau melemahkan lawan mereka.

    Pada umumnya sifat konfrotantif berkaitan dengan kondisi psikologi

    seseorang yang disebut agresif. Artinya situasi yang dihadapi oleh

    individu melahirkan hambatan terhadap tujuan yang hendak

    dicapai.

    Dalam kaitannya dengan konsep konfrotansi dikembangkan

    teori tentang “keterelakan sejarah” atau “hal-hal yang secara historis

    tak terelakkan.” Teori ini dikembangkan oleh Marx berdasarkan

    tesis, antitesis dan sintesis. Marx berdasarkan teorinya pada konflik

    material dari kekuatan-kekuatan ekonomi yang saling bertentangan,

    menurutnya:

    “Ciri utama masyarakat bukannya stabilitas dan ketergantungan,

    melainkan konflik dan persaingan. Setiap masyarakat baik di masa

    lalu maupun di masa sekarang ditandai dengan konflik sosial yang

    dimaksud adalah konflik antara kelas kapitalis, kaum borjuis yang

    memiliki sarana-sarana produksi (majikan), dengan kelas pekerja

    yang ter-ekspolitas dan kaum proletariat yang tidak memiliki sarana-

    sarana produksi (Maran,2001:20).”

    Teori konflik yang bertolak dari material dan ekonomi,

    kemudian dikembangkan oleh beberapa peneliti untuk melakukan

    penelitian, khususnya di dalam permasalahan konflik elit politik.

    Sehubungan dengan pemahaman tersebut , Louis Coser yang

    dikutip oleh Decki Natalis Pigay Bik (2000:70) memberikan

    definisinya:

  • Racico Konflik Elit Politik di Kesultanan Palembang…│51

    “Konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan

    yang berkenaan dengan status, kuasa (kekuasaan) dan sumber-

    sumber kekayaan yang persediaanya tidak mencukupi/memenuhi,

    dimana pihak-pihak yang bekonflik tidak hanya bermaksud untuk

    memperoleh barang yang diinginkan melainkan juga memojokkan,

    merugikan atau melemahkan lawan mereka.”

    Selain itu, teori transformasi konflik berasumsi bahwa konflik

    disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetiaan yang muncul

    sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.

    Dari definisi dan teori yang dikemukakan di atas, terdapat

    dua tujuan dasar konflik yakni tujuan konflik untuk mendapatkan

    sumber-sumber ekonomi untuk memenuhi kebutuhan merupakan

    ciri manusia yang bersifat materil-jasmaniah untuk maupun

    spiritual-rohaniah untuk dapat hidup secara layak dan terhormat

    dalam masyarakat, yang ingin diperoleh manusia meliputi hal-hal

    yang sesuai dengan kehendak bebas dan kepentinganya. Tujuan

    konflik untuk mempertahankan sumber-sumber yang selama ini

    sudah dimiliki juga merupakan kecenderungan hidup manusia.

    Manusia ingin memperoleh sumber-sumber ekonomi yang menjadi

    miliknya, dan berupaya mempertahankan dari usaha pihak lain

    untuk merebut atau mengurangi sumber-sumber tersebut, yang

    ingin dipertahankan bukan hanya harga diri, keselamatan hidup dan

    keluarganya, tetapi juga wilayah atau daerah tempat tinggal,

    kekayaan, dan kekuasaan yang dimiliki. Tujuan mempertahankan

    diri tidak menjadi monopoli manusia saja karena binatang sekalipun

    memiliki watak untuk berupaya mempertahankan diri. Maka

    dengan itu dirumuskan tujuan konflik politik sebagai upaya untuk

    mendapatkan atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap

    penting (Surbakti,1999: 155).

  • 52│Tamaddun Vol. XIV, No. 2/Juli – Desember 2015

    Konflik elit politik terbentuk karena adanya penguasa politik.

    Karena tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai penguasa

    politik artinya, tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai konflik

    politik. Dalam hal ini konflik politik yang terutama adalah konflik

    antar penguasa politik dalam melihat objek kekuasaan politik.

    Konflik dapat terjadi karena salah satu pihak memiliki aspirasi tinggi

    atau karena alternatif yang bersifat dinilai sulit didapat. Konflik

    dapat juga didefinisikan sebagai suatu perbedaan persepsi mengenai

    kepentingan bermanfaat untuk meramalkan apa yang dilakukan

    orang. Hal ini disebabkan persepsi yang biasanya mempunyai

    dampak yang bersifat segera terhadap perilaku (Jeffrey,2004:27).

    Selain pemahaman makna dan teori konflik dalam meneliti

    konflik elit politik, maka diperlukan juga pemahaman terhadap apa

    yang dimaksud dengan elit politik. Elit merupakan seseorang yang

    menduduki jabatan-jabatan politik (kekuasaan). Dalam kajian ini

    penulis mengkatagorikan elit politik ke dalam dua kelompok yaitu,

    pertama elit politik memerintah (governing elite) merupakan seseorang

    yang menduduki jabatan-jabatan politik (kekuasaan), seperti

    khalifah, raja, sultan, presiden, gubernur, dan lainnya. Kedua, elit

    politik tidak memerintah (non-governing elite) adalah seseorang yang

    tidak memiliki jabatan dalam kekuasaan namun menduduki posisi

    strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain

    dalam lingkup masyarakat, seperti: elit keagamaan, elit pedagang,

    elit organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan lain

    sebagainya (Duverger,1987:179).

    Perbedaan tipe elit ini diharapkan selain dapat membedakan

    ruang lingkup mereka, juga dapat memberikan penjelasan mengenai

    hubungan antar-elit politik dalam proses perebutan kekuasaan pada

  • Racico Konflik Elit Politik di Kesultanan Palembang…│53

    masa Kesultanan Palembang Darussalam. Teori elit mengandung

    bahwa setiap masyarakat terbagi dalam dua kategori yang luas yang

    mencakup (a) sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan

    karenanya menduduki posisi untuk memerintah; dan (b) sejumlah

    besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah. Elit sering diartikan

    sebagai sekumpulan orang sebagi individu-individu yang superior,

    yang berbeda dengan massa yang menguasai jaringan-jaringan

    kekuasaan atau kelompok yang berbeda dilingkaran kekuasaan

    maupun yang sedang berkuasa. Mosca dan Pareto membagi

    stratifikasi dalam tiga kategori yaitu elit yang memerintah (governing

    elit), elit yang tidak memerintah (non-governing elite) dan massa

    umum (non-elite) (Duverger,1987:179).

    Dalam sirkulasi elit, konflik bisa muncul dari dalam

    kelompok itu sendiri maupun antar kelompok pengusaha maupun

    kelompok tandingan. Sirkulasi elit menurut Pareto terjadi dalam dua

    kategori yaitu: Pertama, pergantian terjadi antara kelompok-

    kelompok yang memerintah sendiri, dan Kedua, pergantian terjadi di

    antara elit dengan penduduk lainnya. Pergantian model kedua ini

    bisa berupa pemasukan yang terdiri atas dua hal yaitu: (a). Individu-

    individu dari lapisan yang berbeda ke dalam kelompok elit yang

    sudah ada, (b). Individu-individu dari lapisan bawah yang

    membentuk kelompok elit baru dan masuk ke dalam kancah

    perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada (Varma,1987:203).

    Dalam sirkulasi elit yang disebutkan oleh Masco, terutama karena

    terjadinya “penjatuhan rezim”, konflik pasti tidak terhindarkan,

    karena masing-masing pihak akan menggunakan berbagai macam

    cara. Duverger menjelaskan bahwa dalam konflik-konflik politik

    sejumlah alat digunakan seperti organisasi dan jumlah, uang

  • 54│Tamaddun Vol. XIV, No. 2/Juli – Desember 2015

    (kekayaan), sistem, militer, kekerasan fisik, dan lain sebagainya

    (Varma,1987:275).

    b. Hasil Penelitian

    1. Peran Elit Politik di Kesultanan Palembang Darussalam Tahun

    1803-1821

    Dalam kajian ini penulis mengkatagorikan elit politik ke

    dalam dua kelompok yaitu, pertama elit politik memerintah

    (governing elite) dan elit politik tidak memerintah (non-governing elite)

    (Duverger,1987:179). Elit politik yang memerintah dalam penelitian

    ini adalah sultan, priyayi seperti pangeran, raden, adipati, pepatih,

    penghulu dan hakim (jaksa negara). Adapun peran mereka dalam

    pemerintahan yang kemudian dikenal dengan mancanegara meliputi:

    a. Pepatih (rijksbestuurder) di sini namanya Pangeran Natadiraja

    memiliki peranan memegang seluruh urusan kerajaan, baik di

    ibukota (negara) maupun di daerah hulu sungai (uluan). Ia

    adalah mancanegara yang pertama, yang menjalankan hukum

    adat dalam negeri Palembang serta jajahannya. Keterangan

    selanjutnya: ia adalah sebenarnya kepala pemerintahan

    kerajaan, orang yang mengusahakan pelaksanaan dari

    perintah-perintah raja. Di bawah pengawasannya pendapatan

    dari kerajaan dikumpulkan. Kepadanya semua urusan

    kerajaan disampaikan. Dalam perang, ia menguasai sarana-

    sarana untuk berperang, meskipun ia sendiri tidak ke medan

    perang. Ia mengusulkan pajak-pajak dan kerja-kerja wajib

    kepada raja, dan nasehat (pendapatnya) pun diminta oleh

    raja, jika mau menaikkan atau menurunkan pajak-pajak itu.

  • Racico Konflik Elit Politik di Kesultanan Palembang…│55

    b. Nata-agama, kepala alim ulama, yang mengadili hal-hal

    sesuai dengan hukum-hukum agama.

    c. Kyai Tumengung Karta, yang di dalam segala hal merupakan

    tangan kanan dari Pepatih, terutama diserahi pengadilan

    hakim dan pembesar utama di Palembang. Ia memiliki

    seorang Temenggung sebagai pembantunya. Ia mengadili

    menurut al-Qur’an dan Hadist atau adat dan putusannya

    harus diperkuat oleh sultan sebelum dilaksanakan.

    d. Pangeran Citra, kepala dari pengalasan yaitu polisi bersenjata

    dari raja yang diserahi tugas pelaksanaan hukuman-hukuman

    mati. Keterangan selanjutnya: dari segala orang yang akan

    ditangkap atau dibunuh, diserahkan kepada Pangeran Citra,

    kepala dari segala pengalasan. Adapun pengalasan adalah

    hulubalang sultan yang jaga kota. Pada umumnya hulubalang

    adalah penjabat-penjabat militer yang merupakan pengawal

    dari penguasa dan siap sedia untuk melakukan perintahnya

    kepada setiap kesempatan.

    Husni Rahim (1998:69) memberikan gambaran mengenai

    mancanegara atau pancalang lima. Masing-masing mancanegara

    mempunyai jajaran pegawai kesultanan yang terdiri dari:

    a. Pegawai-pegawai tinggi (yang dijabat oleh priyayi-priyayi

    yang bergelar pangeran, raden dan kiagus); Mantri-mantri

    sebagai pegawai rendahan (yang diberi gelar tumenggung,

    rangga, demang dan ngabehi); penjabat-penjabat kehakiman;

    kesemuanya di bawah patih.

    b. Para hulubalang dan laskar kesultanan dengan berbagai

    tingkatannya. Mereka berada di bawah komando Pangeran

    Citra (Adipati).

  • 56│Tamaddun Vol. XIV, No. 2/Juli – Desember 2015

    c. Penjabat-penjabat agama yang dipimpin oleh Pangeran

    Penghulu Nata Agama, baik di ibukota Palembang maupun

    daerah uluan. Penjabat tersebut terdiri dari para khatib

    penghulu, khatib imam, khatib dan modin.

    d. Penjabat dan pegawai di bidang pelabuhan yang dikepalai

    oleh syahbandar.

    Elit politik tidak memerintah (non-governing elite) adalah

    seseorang atau sekelompok yang tidak memiliki jabatan dalam

    kekuasaan namun menduduki posisi strategis dan mempunyai

    pengaruh untuk memerintah orang lain dalam lingkup masyarakat,

    seperti: elit keagamaan, elit pedagang, elit organisasi

    kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan lain sebagainya

    (Duverger,1987:179). Dalam kajian ini elit politik yang tidak

    memerintah yang pada akhirnya menimbulkan ketegangan dengan

    elit politik yang memerintah adalah kelompok aristokrat dagang

    kolonial yaitu Belanda dan Inggris.

    Peranan kolonial baik Belanda maupun Inggris pada awalnya

    merupakan kongsi dagang bagi Kesultanan Palembang Darussalam.

    Perkembangan berikutnya kolonial dengan segala usaha menekan

    harga jual-beli demi mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin

    bagi pihaknya. Kemudian meningkatkan monopoli secara paksa, dan

    mulai mencampuri urusan dalam negeri kesultanan untuk akhirnya

    menguasai langsung kesultanan (Amin,1986:102).

    2. Konflik Elit Politik di Kesultanan Palembang Darussalam

    Tahun 1803-1821

  • Racico Konflik Elit Politik di Kesultanan Palembang…│57

    Tahun 1812 konflik internal muncul ke permukaan ketika

    terjadi pengkhianatan yang dilakukan oleh saudara kandung Sultan

    Mahmud Badaruddin II yaitu Raden Husin Dhiauddin.

    Pengkhianatan terjadi ketika perang Kesultanan Palembang

    Darussalam melawan kolonial Inggris dan Raden Husin Dhiauddin

    menjadi panglima perang yang menjaga benteng pertahanan Pulau

    Borang yang saat itu merupakan benteng pertahanan terkuat. Raden

    Husin Dhiauddin yang bergelar Pangeran Adipati Husin Dhiauddin

    membiarkan Inggris masuk tanpa ada perlawanan dan tanggal 24

    April 1812 Pulau Borang dapat dikuasai oleh Inggris

    (Mahruf,1999:5). Inggris yang dipimpin oleh Raffles mengangkat

    Pangeran Adipati Husin Dhiauddin sebagai Sultan Palembang

    dengan gelar Sultan Ratu Ahmad Najamuddin II, untuk

    mendapatkan keinginannya menguasai Pulau Bangka dan hak

    monopoli atas timah (Hanafiah,1989:65).

    Pengkhianatan yang dilakukan oleh Sultan Ahmad

    Najamuddin II sering diinterpretasikan sebagai tindakan yang buruk

    oleh penulis sejarah lokal, tanpa adanya interpretasi ilmiah. Jika

    dianalisis kembali pengkhianatan yang dilakukan oleh Sultan

    Ahmad Najamuddin II merupakan adanya kesempatan dan

    kekecewaan. Ketika Sultan Mahmud Badaruddin II meninggalkan

    keraton dan menyelamatkan diri ke Bailangu dan keraton

    dipercayakan kepada Sultan Ahmad Najamuddin II yang ketika itu

    ia menjabat sebagai panglima perang. Kemudian, ketika Inggris

    menduduki keraton, Ia tidak bertemu dengan Sultan Mahmud

    Badaruddin II dan Inggris hanya bertemu dengan Ahmad

    Najamuddin II (Mahruf,1999:5 dan lihat juga Hanafiah,1989:86).

    Karena Inggris tidak mau dianggap gagal dalam upaya menguasai

    kekayaan yang dimiliki kesultanan. Kemudian Inggris mengangkat

  • 58│Tamaddun Vol. XIV, No. 2/Juli – Desember 2015

    Sultan Ahmad Najamuddin II sebagai sultan baru, kesempatan ini

    diambil untuk menguasai dan menundukan masyarakat di wilayah

    Kesultanan Palembang. Di sisi lain, bagi Sultan Ahmad Najamudin II

    diangkatnya ia sebagai sultan oleh kolonial Inggris merupakan

    kesempatannya untuk menduduki tahta sultan yang selama ini ia

    dambakan sejak masa kanak-kanak.

    Pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam yang

    dipimpin Sultan Ahmad Najamuddin II berada di bawah bayang-

    bayang pemerintahan kolonial Inggris di Batavia. Akibat peristiwa

    tersebut, konflik internal antara Sultan Mahmud Badaruddin II

    dengan Sultan Ahmad Najamuddin II semakin memanas. Di sisi lain,

    terjadi dualisme kepemimpinan, Sultan Ahmad Najamuddin II yang

    diangkat oleh Inggris secara undang-undang menguasai wilayah

    kesultanan, akan tetapi secara adat dan pengakuan rakyat

    kedudukan Sultan Ahmad Najamuddin II tidak lain hanya sebuah

    boneka bagi Inggris (Junaidi,2001:79). Secara penuh rakyat

    kesultanan masih mengakui status Sultan Mahmud Badaruddin II

    sebagai Sultan Palembang yang sah secara adat. Akibatnya sikap

    saling mengkudeta di antara kedua belah pihak yang menimbulkan

    perang saudara yang tak berkesudahan (Mahruf,1999:10).

    Selanjutnya konflik eksteren antara Kesultanan Palembang

    Darussalam dengan kolonial bermula ketika terjadinya peristiwa

    pembantaian loji Belanda di Sungai Aur. Atas peristiwa tersebut

    terjadilah perselisihan antara Belanda dan Inggris serta Kesultanan

    Palembang Darussalam. Dimana pihak Belanda menganggap

    peristiwa itu adalah perbuatan Inggris yang memprovokasi

    Kesultanan Palembang untuk menyerang Loji Belanda di Sungai

    Aur. Akan tetapi, Raffles mencoba mencari kambing hitam bahwa

  • Racico Konflik Elit Politik di Kesultanan Palembang…│59

    peristiwa tersebut merupakan perbuatan Sultan Mahmud

    Badaruddin II yang menggerakan masyarakat untuk menyerang Loji

    Belanda. Akan tetapi, alibi yang dikemukan oleh Raffles tidak dapat

    diterima oleh pihak Belanda. Akhirnya Raffles terpojok dengan

    peristiwa Loji Belanda di Sungai Aur tersebut (Soetadji, 1996:12).

    Setelah peristiwa itu, Inggris menduduki wilayah Kesultanan

    dengan mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin II sebagai sultan -

    boneka- yang sah dengan berbagai perjanjian. Lahirnya sebuah

    perjanjian dari strategi problem solving antara kolonial Inggris

    dengan Sultan Ahmad Najumuddin II, menurut penulis merupakan

    awal lahirnya politik “devide et impera” ala kolonial Inggris. Politik

    adu domba yang dimainkannya cukup berhasil menumbuhkan

    benih-benih konflik internal di tubuh Kesultanan Palembang

    Darussalam. Kolonial Inggris, tidak terlalu memfokuskan diri

    terhadap perlawanan yang dikerahkan oleh Sultan Mahmud

    Badaruddin II. Karena cukup dengan konflik internal antara Sultan

    Ahmad Najamuddin II dengan Sultan Mahmud Badaruddin II,

    membuat langkah Sultan Mahmud Badaruddin II teralihkan.

    Sehingga kolonial lebih berfokus pada timah di Pulau Bangka dan

    Belitung yang kemudian kedua pulau tersebut diberi nama “Duke of

    York Islands” (PemProv,1986:36).

    Pulau Bangka dengan segala sumber daya timah yang

    melimpah menjadi pemicu bagi lahirnya konflik di Kesultanan

    Palembang. Dari relitas di atas, sebenarnya teori konflik

    mempertanyakan eksistensi “kebutuhan-kebutuhan sosial”. Ia lebih

    berkepentingan dengan berbagai kebutuhan, keinginan, dan

    kepentingan individu-individu serta sub-kelompok dalam

    perjuangan mereka memperoleh barang dan jasa yang bernilai dan

    langka (Poloma,2003:146).

  • 60│Tamaddun Vol. XIV, No. 2/Juli – Desember 2015

    Teori konflik berdasarkan pada ekonomi, telah dikembangkan oleh

    Marx yang didasarkan tesis, antitesis dan sintesis, menurutnya:

    “Ciri utama masyarakat bukannya stabilitas dan

    ketergantungan, melainkan konflik dan persaingan. Setiap

    masyarakat baik di masa lalu maupun di masa sekarang

    ditandai dengan konflik sosial yang dimaksud adalah konflik

    antara kelas kapitalis, kaum borjuis yang memiliki sarana-

    sarana produksi (majikan), dengan kelas pekerja yang ter-

    ekspolitas dan kaum proletariat yang tidak memiliki sarana-

    sarana produksi (Maran,2001:20).”

    Kovensi London tanggal 13 Agustus 1814 menetapkan bahwa

    Inggris menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya di

    seberang laut yang dikuasai sejak Januari 1803 (Hanafiah,1989:72).

    Awal Juli 1818 Muntinghe memulai aktivitasnya di Palembang

    karena mengemban tugas khusus yaitu menurunkan Sultan Ahmad

    Najamuddin II dan setelah itu menghapus Kesultanan Palembang

    Darussalam (PemProv,1986:39).

    Perundingan pertama dilakukan oleh Muntinghe dengan

    Sultan Mahmud Badaruddin II, kemudian dengan Ahmad

    Najamuddin II. Hasilnya adalah bahwa Sultan Mahmud Badaruddin

    II diangkat kembali menjadi sultan sedangkan Ahmad Najamuddin

    II dinon-aktifkan dan mendapat bayaran jika menyerahkan kembali

    semua sarana kebesaran sultan termasuk Keraton Kuto Besak

    (Mahruf,1999:10). Dalam menghadapi situasi konflik dualisme

    pemimpin di Kesultanan Palembang Darussalam, Muntinghe

    tampak melakukan strategi problem solving. Namun situasi ini bagi

    Kesultanan Palembang merupakan strategi contentious yang

    menekan dan mempersempit gerak para sultan untuk menguasai

  • Racico Konflik Elit Politik di Kesultanan Palembang…│61

    secara penuh terhadap wilayahnya sendiri. Keseluruhan daerah

    kerajaan Palembang dimasukkan ke dalam kekuasaan pemerintahan

    Belanda secara langsung sebagaimana termaktub dalam perjanjian

    tanggal 20 dan 24 Juni 1818. Dengan penandatanganan perjanjian

    tersebut merupakan vonis kematian bagi politik di Palembang

    (Akib,1978:47).

    3. Peristiwa-Peristiwa yang terjadi Akibat Eskalasi Konflik Elit

    Poltik di Kesultanan Palembang Darussalam Tahun 1803-1821

    Dalam upaya mengukuhkan kedudukannya di wilayah

    Kesultanan kolonial Belanda terus melakukan perjanjian-perjanjian

    yang hanya memihak keuntungan bagi kolonial. Akibatnya terjadi

    eskalasi konflik dengan lahirnya berbagai peperangan. Tercatat

    peperangan antara Kesultanan Palembang dengan kolonial Belanda

    terjadi 3 kali yaitu perang tahun 1819 babak I (Perang Menteng),

    perang 1819 Babak II dan perang tahun 1821.

    Menganalisis terjadinya perang antara Kesultanan Palembang

    dengan kolonial Belanda. Diakibatkan taktik contentious yang

    digunakan dengan cukup sukses di masa lalu oleh kolonial Belanda

    mengalami kegagalan karena kehilangan daya gigit. Selain itu,

    Belanda terlalu sering melakukan gamesmanship, mengeluarkan

    ancaman atau memberikan komitmen yang tidak dapat diurungkan,

    sementara Kesultanan Palembang Darussalam tidak lagi

    menganggap tindakan itu cukup dapat dipercaya atau pantas

    mendapatkan perhatian. Antara Kesultanan Palembang Darussalam

    dengan kolonial Belanda semakin mengenal gerakkan dan isyarat

    masing-masing sehingga merasa tidak

  • 62│Tamaddun Vol. XIV, No. 2/Juli – Desember 2015

    mungkin lagi mencuri kesempatan. Setiap tindakan disambut

    tindakan balik yang diorkestrasikan dengan tepat dan benar-benar

    dipelajari dengan baik (Pruitt dan Rubin,2011:286).

    D. KESIMPULAN

    Konflik yang berarti persepsi mengenai perbedaan

    kepentingan atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak

    yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Dari uraian

    mengenai konflik elit politik di tubuh Kesultanan Palembang

    Darussalam dan kolonial dalam perebutan kekuasaan tahun 1803-

    1821 dapat disimpulkan:

    Berdasarkan teori yang dikemukan oleh Pareto yang

    membagi kelompok elit politik yaitu elit politik yang memerintah

    (governing elit) dan elit non-memerintah (non-governing elit). Dalam

    penelitian ini yang dimaksud dengan kelompok elit memerintah

    adalah sultan, menteri dan kelompok priyayi lainnya. Kelompok elit

    memerintah memiliki peran penting untuk membuat kebijakan,

    mengatur stabilitas ekonomi, menjaga keamanan warga di wilayah

    kekuasaannya dan kebijakan-kebijakan lainnya. Sedangkan elit non-

    memerintah dalam kajian ini adalah kolonial Inggris dan Belanda.

    Kelompok elit non-memerintah memiliki peran sebagai pendagang.

    Kemudian peran kolonial mulai menekan ekonomi kesultanan

    dengan memonopoli perdagangan dan kemudian mencampuri

    urusan dalam negeri kesultanan.

    Terkait dengan konflik internal di Kesultanan Palembang

    Darussalam antara Sultan Mahmud Badaruddin II dengan Sultan

    Ahmad Najamuddin II merupakan konflik yang diakibatkan oleh

    rasa dari kekecewaan Sultan Mahmud Badaruddin II atas sikap

  • Racico Konflik Elit Politik di Kesultanan Palembang…│63

    Sultan Ahmad Najamuddin II yang berkhianat. Selain itu, konflik ini

    juga distimulasi oleh kolonial sehingga konflik ini tidak

    berkesudahan. Sedangkan konflik eksternal antara Kesultanan

    Palembang Darussalam dengan kolonial merupakan konflik yang

    dilatarbelakangi oleh upaya mempertahankan kedaulatan dan

    kekayaan bagi kolonial adalah upaya untuk meningkatkan stabilitas

    ekonomi, keamanan dan meningkatkan kesejaterahan. Dalam konflik

    dengan Kesultanan, kolonial lebih banyak menggunakan strategi

    contentious yaitu strategi yang hanya menguntungkan kolonial.

    REFERENSI

    Abdurrahman, Dudung. 2011. Metode Penelitian Sejarah Islam.

    Yogyakarta: Ombak

    Akib, R.H.M.1978. Sejarah Perjuangan: Sri Sultan Mahmoed Badaroedin

    ke II Palembang. Palembang: Rhama

    Amin, H.M. Ali. Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam dan

    Beberapa Aspek Hukumnya, dalam KHO Gadjahnata, Sri dan

    Edi Swasono (ed). 1968. Masuk dan Berkembangnya Islam di

    Sumatera Selatan. Jakarta; UIN Press

  • 64│Tamaddun Vol. XIV, No. 2/Juli – Desember 2015

    Dahrendorf, Ralf. 1986. Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri,

    sebuah analisis konflik, terj. Ali Manda. Jakarta. Rajawali

    Daliman, A. 2012. Metode penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ombak

    __________. 2012. Sejarah Indonesia: Abad XIX- Awal Abad XX.

    Yogyakarta: Ombak

    Duverger, Maurice. 1987. Sosiologi Politik. Jakarta: Rajawali Pers

    ______________. 2003. Sosiologi Politik. Terj. Daniel Dhakidea. Jakarta:

    RajaGrafindo Persada

    Hanafiah, Djohan. 1986. Perang Palembang 1819-1821 M: Perang laut

    Terbesar di Nusantara. Palembang: Pariwisata Jasa Utama

    _______________1989. Kuto Besak; Uapaya Kesultanan Palembang

    Menegakkan Kemerdekaan. Jakarta: Haji Masagung

    ______________. 1995. Melayu-Jawa; Citra Budaya & Sejarah Palembang.

    Jakarta: Raja Grapindo Persada

    Junaidi, Heri. 2001. Sejarah Kudeta Dalam Kebudayaan Islam: Studi

    Kesultanan Palembang Darussalam dalam Laporan Penelitan,

    tidak diterbitkan. Palembang: Pusat Penelitian IAIN Raden

    Fatah.

    Mahruf, Kamil dkk.1999. Pesemah Sindang Merdika: 1821-1866.

    Jakarta: Pustaka Asri

    Maran, Rafael Raga. 2001. Pengantar Sosologi Politik: Suatu Pemikiran

    dan Penerapan. Jakarta: Renika Cipta

  • Racico Konflik Elit Politik di Kesultanan Palembang…│65

    Muda, Ahmad A.K. 2006. KAMUS Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta:

    Reality Publisher

    Nasikun. 1995. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo

    Persada

    Natalis, Decki dan Pigay Bik. 2000. Evolusi Nasionalisme dan Sejarah

    Konflik di Papua. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

    PemProv. 1986. Sejarah Perjuangan Sultan Mahmud badaruddin II:

    Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Pemerintah Provinsi Daerah

    TK.I, Palembang

    Poerwadarminta, W.J.S. 2000. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:

    Balai Pustaka

    Poloma, Margaret M. 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : PT

    RajaGrafindo Persada

    Rahim, Husni. 1998. Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi

    Tentang Penjabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di

    Palembang. Jakarta: Logos

    Pruitt, Dean & G. Jeffrey. Z. 2004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta:

    Pustaka Pelajar

    Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia,

    Varma, S. P. 1987. Teori Politik Modren. Jakarta: Rajawali Pers

  • 66│Tamaddun Vol. XIV, No. 2/Juli – Desember 2015