kesultanan samudera pasai kesultanan samudera pasai · menerbitkan buku-buku hal ihwal aceh,...

21
KESULTANAN SAMUDERA PASAI KESULTANAN SAMUDERA PASAI KESULTANAN SAMUDERA PASAI KESULTANAN SAMUDERA PASAI 1. Sejarah Kapan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat dan masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Namun, terdapat keyakinan bahwa Kesultanan Samudera Pasai berdiri lebih awal dibanding Dinasti Usmani di Turki yang pernah menjadi salah satu peradaban adikuasa di dunia. Jika Dinasti Ottoman mulai menancapkan kekuasaannya pada sekitar tahun 1385 Masehi, maka Kesultanan Samudera Pasai sudah menebarkan pengaruhnya di wilayah Asia Tenggara sejak tahun 1297 Masehi. Sejumlah ahli sejarah dan peneliti dari Eropa pada masa pendudukan kolonial Hindia Belanda telah beberapa kali melakukan penyelidikan untuk menguak asal-usul keberadaan salah satu kerajaan terbesar di bumi Aceh ini. Beberapa sarjana dan peneliti dari Belanda, termasuk Snouck Hurgronje, J.P. Moquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lainnya, menyepakati perkiraan bahwa Kesultanan Samudera Pasai baru berdiri pada pertengahan abad ke-13 serta menempatkan nama Sultan Malik Al Salih sebagai pendirinya (Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo, 2006:50). Nama Malik Al Salih sendiri dikenal dengan sebutan dan penulisan yang berbeda, antara lain Malik Ul Salih, Malik Al Saleh, Malikussaleh, Malik Al Salih, atau Malik Ul Saleh. a. Asal-Usul Penamaan Samudera Pasai Nama lengkap Kesultanan Samudera Pasai adalah “Samudera Aca Pasai”, yang artinya “Kerajaan Samudera yang baik dengan ibukota di Pasai” (H.M. Zainuddin, 1961:116). Pusat pemerintahan kerajaan tersebut sekarang sudah tidak ada lagi namun diperkirakan lokasinya berada di sekitar negeri Blang Melayu. Nama “Samudera” itulah yang dijadikan sebagai nama pulau yang kini disebut sebagai Sumatra, seperti yang disebut oleh orang-orang Portugis. Sebelumnya, nama wilayah tersebut adalah Pulau Perca.

Upload: others

Post on 11-Sep-2019

51 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

KESULTANAN SAMUDERA PASAI KESULTANAN SAMUDERA PASAI KESULTANAN SAMUDERA PASAI KESULTANAN SAMUDERA PASAI

1. Sejarah

Kapan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat dan masih menjadi

perdebatan para ahli sejarah. Namun, terdapat keyakinan bahwa Kesultanan Samudera Pasai berdiri lebih

awal dibanding Dinasti Usmani di Turki yang pernah menjadi salah satu peradaban adikuasa di dunia. Jika

Dinasti Ottoman mulai menancapkan kekuasaannya pada sekitar tahun 1385 Masehi, maka Kesultanan

Samudera Pasai sudah menebarkan pengaruhnya di wilayah Asia Tenggara sejak tahun 1297 Masehi.

Sejumlah ahli sejarah dan peneliti dari Eropa pada masa pendudukan kolonial Hindia Belanda telah

beberapa kali melakukan penyelidikan untuk menguak asal-usul keberadaan salah satu kerajaan terbesar

di bumi Aceh ini. Beberapa sarjana dan peneliti dari Belanda, termasuk Snouck Hurgronje, J.P. Moquette,

J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lainnya, menyepakati perkiraan bahwa

Kesultanan Samudera Pasai baru berdiri pada pertengahan abad ke-13 serta menempatkan nama Sultan

Malik Al Salih sebagai pendirinya (Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo, 2006:50). Nama Malik Al Salih sendiri

dikenal dengan sebutan dan penulisan yang berbeda, antara lain Malik Ul Salih, Malik Al Saleh,

Malikussaleh, Malik Al Salih, atau Malik Ul Saleh.

a. Asal-Usul Penamaan Samudera Pasai

Nama lengkap Kesultanan Samudera Pasai adalah “Samudera Aca Pasai”, yang artinya “Kerajaan

Samudera yang baik dengan ibukota di Pasai” (H.M. Zainuddin, 1961:116). Pusat pemerintahan kerajaan

tersebut sekarang sudah tidak ada lagi namun diperkirakan lokasinya berada di sekitar negeri Blang

Melayu. Nama “Samudera” itulah yang dijadikan sebagai nama pulau yang kini disebut sebagai Sumatra,

seperti yang disebut oleh orang-orang Portugis. Sebelumnya, nama wilayah tersebut adalah Pulau Perca.

Sedangkan para pengelana yang berasal dari Tiongkok/Cina menyebutnya dengan nama “Chincou”, yang

artinya “Pulau Emas”, seperti misalnya yang diketahui berdasarkan tulisan-tulisan I‘tsing. Raja

Kertanegara, pemimpin Kerajaan Singasari yang terkenal, menyebut daerah ini dengan nama

Suwarnabhumi, yang artinya ternyata sama dengan apa yang disebut oleh orang-orang Tiongkok, yakni

“Pulau Emas”.

Kesultanan Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatra,

kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Catatan tertulis yang selama ini diyakini

oleh para sejarawan untuk melacak sejarah Kesultanan Samudera Pasai adalah tiga kitab historiografi

Melayu yakni Hikayat Raja Pasai, Sejarah Melayu, dan Hikayat Raja Bakoy. Hikayat Raja Pasai

memberikan andil yang cukup besar dalam upaya menguak riwayat Kesultanan Samudera Pasai,

meskipun nuansa mitos masih menjadi kendala dalam menafsirkan kebenarannya.

Letak Kesultanan Samudera Pasai

Mengenai nama “Samudera” dan “Pasai”, muncul sejumlah pendapat yang mencoba mengurai asal-usul

penggunaan kedua nama tersebut. Salah satunya adalah seperti yang dikemukakan oleh sarjana Eropa,

J.L. Moens, yang menyebut bahwa kata “Pasai” berasal dari istilah “Parsi”. Menurut Moens, kaum

pedagang yang datang dari Persia mengucapkan kata “Pasai” dengan lafal “Pa‘Se”. Analisis Moens ini bisa

jadi berlaku, dengan catatan bahwa sejak abad ke-7 Masehi para saudagar yang datang dari Persia sudah

tiba dan singgah di daerah yang kemudian menjadi tempat berdirinya Kesultanan Samudera Pasai (M.D.

Mansoer, 1963:59).

Pendapat Moens mendapat dukungan dari beberapa kalangan, termasuk Prof. Gabriel Ferrand, melalui

karyanya yang berjudul L‘Empire (1922), juga dalam buku The Golden Khersonese (1961) yang ditulis

oleh Prof. Paul Wheatley. Kedua karya itu menyandarkan data-datanya pada keterangan para pengelana

dari Timur Tengah yang melakukan perjalanan ke wilayah Asia Tenggara. Baik Gabriel Ferrand maupun

Paul Wheatley sama-sama menyepakati bahwa sejak abad ke-7 Masehi, pelabuhan-pelabuhan besar di

Asia Tenggara, termasuk di kawasan Selat Malaka, telah ramai dikunjungi oleh kaum musafir dan para

saudagar yang berasal dari Asia Barat. Disebutkan juga bahwa pada setiap kota-kota dagang tersebut

telah terdapat fondasi-fondasi atau permukiman-permukiman dari para pedagang Islam yang singgah dan

menetap di situ.

H. Mohammad Said, seorang jurnalis sekaligus penulis yang mendedikasikan hidupnya untuk meneliti dan

menerbitkan buku-buku hal ihwal Aceh, termasuk tentang Kesultanan Samudera Pasai dan Kesultanan

Aceh Darussalam, cenderung menyimpulkan bahwa asal-muasal penamaan “Pasai” berasal dari para

pedagang Cina. Menurut Said, istilah “Po Se” yang populer digunakan pada pertengahan abad ke-8

Masehi, seperti yang terdapat dalam catatan-catatan dan laporan perjalanan pengelana dari Cina, identik

dan mirip sekali dengan penyebutan kata “Pase” atau “Pasai” (Said, 1963:2004-205).

Ada pula pendapat yang menyebut bahwa nama “Pasai” berasal dari kata “tapasai”, yang artinya “tepi

laut”. Kata “tapa” masih banyak dijumpai dalam bahasa-bahasa Polinesia yang berarti “tepi”. Kata “sai”

dapat dimaknai sebagai “laut”, yang juga termasuk dalam kosa kata Melayu-Polinesia atau Nusantara.

Kata “Pasai” adalah sinonim dari kata “pantai”. Begitu pula kata “samudera” yang juga berarti “tidak jauh

dari laut”. Jadi, baik “Samudera” atau “Pasai” mengandung arti yang kurang lebih sama, yaitu “negara

yang terletak di tepi laut” (Slamet Muljana, 2005:136).

Nama Samudera dan Pasai sering disebut-sebut dalam berbagai sumber yang berhasil ditemukan, baik

sumber yang berasal dari luar maupun sumber-sumber lokal. Sumber-sumber dari luar nusantara yang

kerap menyebut keberadaan wilayah yang bernama Samudera dan Pasai antara lain adalah laporan atau

catatan perjalanan para musafir asal Cina, Arab, India, maupun Eropa, yang pernah singgah ke wilayah

Samudera Pasai. Catatan-catatan perjalanan tersebut seperti yang ditulis oleh Marco Polo, Odorico, Ibnu

Batutah, Tome Pires, serta berita-berita dari Cina. Sedangkan sumber dari dalam negeri salah satunya

seperti yang termaktub dalam kitab Negara Kertagama karya Mpu Prapanca yang ditulis dalam kurun

abad ke-13 sampai abad ke-14 Masehi.

Ibnu Batutah, seorang pengembara muslim dari Maghribi, Maroko, misalnya, dalam catatannya

mengatakan bahwa ia sempat mengunjungi Pasai pada 1345 M. Ibnu Batutah, yang singgah di Pasai

selama 15 hari, menggambarkan Kesultanan Samudera Pasai sebagai “sebuah negeri yang hijau dengan

kota pelabuhannya yang besar dan indah.‘‘ Ibnu Batutah menceritakan, ketika sampai di negeri Cina, ia

melihat kapal Sultan Pasai di negeri itu. Memang, sumber-sumber Cina ada yang menyebutkan bahwa

utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti.

Catatan pada Dinasti Mongol di Cina menunjukkan beberapa kerajaan di Sumatra, termasuk Kerajaan

Samudera/Pasai, sempat menjalin relasi dengan Kerajaan Mongol yang berada di bawah komando

Kubhilai Khan. Kerajaan Samudera/Pasai mulai mengadakan hubungan dengan Dinasti Mongol pada 1282.

Kerajaan Samudera/Pasai menjalin hubungan dengan imperium besar di Asia itu melalui perutusan Cina

yang kembali dari India Selatan dan singgah di Samudera Pasai. Peristiwa ini dianggap sebagai permulaan

kontak antara Samudera Pasai dengan Cina/Mongol (Muhammad Gade Ismail, 1997:23).

Papan Makam Sultan Pertama Samudera Pasai

Informasi lain juga menyebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai pernah mengirimkan utusan ke Quilon,

India Barat, pada 1282 M. Ini membuktikan bahwa Kesultanan Pasai memiliki relasi yang cukup luas

dengan kerajaan-kerajaan lain di luar negeri. Selain itu, dalam catatan perjalanan berjudul Tuhfat Al-

Nazha, Ibnu Batutah menuturkan, pada masa itu Pasai telah menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia

Tenggara.

Pencatat asal Portugis yang pernah menetap di Malaka pada kurun 1512-1515, Tomi Pires, menyebutkan

bahwa Pasai adalah kota terpenting pada masanya untuk seluruh Sumatra, karena tidak ada tempat lain

yang penting di pulau itu kecuali Pasai. Nama kota tersebut oleh sebagian orang disebut sebagai

Samudera dan kemudian lekat dengan nama Samudera Pasai serta menjadi simbol untuk menyebut Pulau

Sumatra. Kota Pasai, menurut catatan Tomi Pires, ditaksir berpenduduk tidak kurang dari 20.000 orang

(Ismail, 1997:37).

Marco Polo melaporkan, pada 1267 Masehi telah berdiri kerajaan Islam pertama di kepulauan nusantara,

yang tidak lain adalah Kesultanan Pasai. Marco Polo berkunjung ke Pasai pada masa pemerintahan Sultan

Malik Al Salih, tepatnya tahun 1292 Masehi, ketika kerajaan ini belum lama berdiri namun sudah

memperlihatkan potensi kemakmurannya. Marco Polo singgah ke Samudera Pasai dalam rangkaian

perjalanannya dari Tiongkok ke Persia. Kala itu, Marco Polo ikut dalam rombongan dari Italia yang

melawat ke Sumatra sepulang menghadiri undangan dari Kubilai Khan, Raja Mongol, yang juga

menguasai wilayah Tiongkok. Marco Polo menyebutkan, penduduk di Pasai pada waktu itu masih banyak

yang belum memeluk agama (Islam), namun komunitas orang-orang Arab —yang disebut Marco dengan

nama Saraceen— sudah cukup banyak dan berperan penting dalam upaya mengislamkan penduduk Aceh.

Marco Polo menyebut kawasan yang disinggahinya itu dengan nama “Giava Minor” atau “Jawa Minor” (H.

Mohammad Said, 1963:82-83).

Selain sumber-sumber tertulis dan catatan perjalanan dari kaum pengelana, keterangan lain yang

setidaknya dapat sedikit membantu dalam menguak riwayat Kesultanan Samudera Pasai diperoleh dari

sisa-sisa peradaban yang ditinggalkan, seperti makam-makam kuno yang dibuat dari batu granit atau

pualam dan mata uang—bernama Deureuham atau Dirham— yang ditemukan di Kecamatan Samudera,

Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam. Waktu wafatnya Sultan Malik As Salih, pendiri

Kesultanan Samudera Pasai, sendiri dapat diketahui dari tulisan yang tertera pada sebuah nisan yang

ditemukan di Blang Me, yakni tahun 697 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1297 Masehi. Sedangkan

kapan Malik Al Salih dilahirkan belum ditemukan keterangan yang lebih jelas.

Mata Uang yang Berlaku di Samudera Pasai

Sumber-sumber tentang asal-muasal Kesultanan Samudera Pasai versi sarjana-sarjana Barat yang

dirumuskan pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda ternyata berbeda dengan apa yang diyakini

tokoh-tokoh sejarawan dan cendekiawan nasional pada masa setelah Indonesia merdeka. Dalam

“Seminar Sejarah Nasional” yang diselenggarakan di Medan, Sumatra Utara, tanggal 17-20 Maret 1963,

maupun dalam seminar "Masuk dan Berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh", yang digelar pada

10-16 Juli 1978 di Banda Aceh, yang antara lain dihadiri oleh Prof Hamka, Prof A. Hasjmy, Prof H. Aboe

Bakar Atjeh, H. Mohammad Said, dan M.D. Mansoer, telah dimunculkan perspektif yang berbeda dalam

upaya menelisik riwayat berdirinya Kesultanan Samudera Pasai.

Berdasarkan sejumlah petunjuk dan sumber-sumber yang lebih baru, di antaranya dari keterangan-

keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara serta dua naskah lokal yang ditemukan di Aceh

yakni "Idhahul Hak Fi Mamlakatil Peureula" karya Abu Ishaq Al Makarany dan "Tawarich Raja-Raja

Kerajaan Aceh", para pakar sejarah nasional berkesimpulan bahwa Kerajaan Islam Samudera Pasai sudah

berdiri sejak abad ke-11, atau tepatnya tahun 433 Hijriah alias tahun 1042 dalam penanggalan Masehi

(Sufi & Wibowo, 2005:52).

Mengenai lokasi berdirinya Kesultanan Samudera Pasai, telah dilakukan juga usaha-usaha penelitian dan

penyelidikan, salah satunya upaya penggalian yang dikerjakan oleh Dinas Purbakala Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Dari upaya penyelidikan ini diketahui bahwa lokasi

Kesultanan Samudera Pasai terletak di daerah bernama Pasai, yakni yang sekarang berada di wilayah

Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Menurut G.P. Rouffaer, salah seorang sarjana Belanda yang serius menyelidiki tentang sejarah Kesultanan

Samudera Pasai, mengatakan bahwa letak Pasai mula-mula berada di sebelah kanan Sungai Pasai,

sementara Samudera terletak di sisi kiri sungai. Namun, lama-kelamaan, kedua tempat ini terhimpun

menjadi satu dan kemudian dijadikan tempat berdirinya sebuah kerajaan besar, yakni Kesultanan

Samudera Pasai (T. Ibrahim Alfian, 1973:21).

b. Samudera, Pasai, dan Pengaruh Mesir

Terdapat beberapa pendapat berbeda yang merumuskan serta menafsirkan tentang asal muasal

berdirinya Kesultanan Samudera Pasai. Salah satunya adalah pendapat yang mengatakan bahwa

Kesultanan Samudera Pasai merupakan kelanjutan dari riwayat kerajaan-kerajaan pra Islam yang telah

eksis sebelumnya. Dalam buku berjudul “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara

Islam di Nusantara”, Slamet Muljana menulis bahwa Nazimuddin Al Kamil, Laksamana Laut dari Dinasti

Fathimiah di Mesir, berhasil menaklukkan sejumlah kerajaan Hindu/Buddha yang terdapat di Aceh dan

berhasil menguasai daerah subur yang dikenal dengan nama Pasai. Nazimuddin Al-Kamil kemudian

mendirikan sebuah kerajaan di muara Sungai Pasai itu pada 1128 Masehi dengan nama Kerajaan Pasai.

Alasan Dinasti Fathimiah mendirikan pemerintahan di Pasai didasarkan atas keinginan untuk menguasai

perdagangan di wilayah pantai timur Sumatra yang memang sangat ramai.

Untuk memuluskan ambisi itu, Dinasti Fathimiah mengerahkan armada perangnya demi merebut Kota

Kambayat di Gujarat, membuka kota pelabuhan di Pasai, dan menyerang daerah penghasil lada yakni

Kampar Kanan dan Kampar Kiri di Minangkabau. Dalam ekspedisi militer untuk merebut daerah di

Minangkabau itu, Nazimuddin Al-Kamil gugur dan jenazahnya dikuburkan di Bangkinang, di tepi Sungai

Kampar Kanan pada 1128 itu juga (Muljana, 2005:133). Pada 1168, Dinasti Fathimiah, yang berdiri sejak

tahun 976 Masehi, dikalahkan oleh tentara Salahuddin yang menganut madzhab Syafi‘i. Dengan

runtuhnya Dinasti Fathimiah, maka hubungan Pasai dengan Mesir otomatis terputus.

Dalam sumber yang sama disebutkan bahwa penerus Nazimuddin Al-Kamil sebagai penguasa Kerajaan

Samudera adalah Laksamana Kafrawi Al-Kamil, namun pada 1204 Masehi kekuasaan Kerajaan Pasai jatuh

ke tangan Laksamana Johan Jani dari Pulau We. Di bawah kendali Laksamana Johan Jani yang merupakan

peranakan India-Parsi, Kerajaan Pasai bertambah kuat dan sempat menjelma menjadi negara maritim

yang paling kuat di Nusantara (Muljana, 2005:114).

Di Mesir, muncul dinasti baru untuk menggantikan Dinasti Fathimiah. Dinasti baru itu adalah Dinasti

Mamaluk yang hidup dalam rentang waktu dari tahun 1285 sampai dengan 1522. Seperti halnya

pendahulunya, Dinasti Mamaluk juga ingin menguasai perdagangan di Pasai. Pada tahun-tahun awal

berdirinya, Dinasti Mamaluk mengirim utusan ke Pasai, yakni seorang pendakwah yang lama belajar

agama Islam di tanah suci Mekkah bernama Syaikh Ismail dan Fakir Muhammad, bekas ulama dari Pantai

Barat India.

Di Pasai, kedua utusan ini bertemu dengan Marah Silu yang kala itu menjadi anggota angkatan perang

Kerajaan Pasai. Syaikh Ismail dan Fakir Muhammad berhasil membujuk Marah Silu untuk memeluk

agama Islam. Selanjutnya, dengan bantuan Dinasti Mamaluk di Mesir, mereka mendirikan Kerajaan

Samudera sebagai tandingan bagi Kerajaan Pasai. Marah Silu ditabalkan menjadi Sultan Kerajaan

Samudera. Baik Kerajaan Samudera maupun Kerajaan Pasai, keduanya berada di muara Sungai Pasai dan

menghadap ke arah Selat Malaka.

c. Riwayat Samudera Pasai dalam Hikayat

Versi lain tentang riwayat muncul dan berkembangnya Kesultanan Samudera Pasai diperoleh dari

sejumlah hikayat yang mengisahkan eksistensi kerajaan ini, terutama dalam Hikayat Raja Pasai. Menurut

pengisahan yang terdapat dalam Hikayat Raja Pasai, kerajaan yang dipimpin oleh Sultan Malik Al Salih

mula-mula bernama Kerajaan Samudera. Adapun Kerajaan Pasai adalah satu pemerintahan baru yang

menyusul kemudian dan mengiringi eksistensi Kerajaan Samudera. Asal mula pemberian nama kedua

kerajaan ini terdapat cerita yang melatarbelakanginya.

Dalam Hikayat Raja Pasai dikisahkan, munculnya nama Kerajaan Samudera bermula ketika Marah Silu

sedang berjalan-jalan bersama anjing kesayangannya yang bernama Pasai. Ketika mereka tiba di suatu

tanah tinggi, anjing milik Marah Silu tiba-tiba menyalak keras karena bertemu dengan seekor semut

merah yang berukuran besar. Marah Silu kemudian menangkap semut raksasa tersebut dan lantas

memakannya. Dari sini timbul ilhamnya untuk menamakan kerajaan yang baru didirikannya dengan nama

Kerajaan Samudera yang dalam bahasa asalnya bisa diartikan sebagai “semut merah yang besar”.

Salinan Halaman Pertama Hikayat Raja Pasai

Sedangkan mengenai asal mula Kerajaan Pasai, hikayat yang sama mencatat, pada suatu hari, Marah Silu

yang kala itu sudah bergelar Sultan Malik Al Salih setelah memimpin Kerajaan Samudera, bersama para

pengawalnya sedang melakukan kegiatan perburuan di mana anjing sultan yang bernama Pasai itu pun

ikut serta. Terjadi suatu kejadian yang aneh ketika Pasai dilepaskan ke dalam hutan dan bertemu dengan

seekor pelanduk, kedua binatang berbeda spesies itu saling bercakap-cakap dengan akrabnya. Ketika

Sultan Malik Al Salih hendak menangkapnya, pelanduk tersebut lari ke pelukan anjing Sultan yang

bernama Pasai itu. Dalam keheranannya, Sultan Malik Al Salih kemudian berpikiran untuk membangun

sebuah negeri di tempat itu.

Setelah negeri tersebut berdiri, oleh Sultan Malik Al Salih diberi nama Pasai, seperti nama anjing

kesayangannya yang menjadi inspirasi dibangunnya negeri baru tersebut. Anjing itu sendiri kemudian

mati di negeri baru tersebut. Sebagai wakil Sultan Malik Al Salih yang tetap bersemayam di Kerajaan

Samudera, maka dititahkanlah putra Sultan yang bernama Muhammad Malikul Zahir untuk memimpin

Kerajaan Pasai (Russel Jones [ed.], 1999:23).

Meskipun cukup banyak peneliti yang menyandarkan Hikayat Raja Pasai sebagai landasan sumber

informasi untuk menguak sejarah dan asal-usul Kesultanan Samudera Pasai, namun tidak sedikit pula

yang meragukan kebenarannya. Hal ini disebabkan karena hikayat bukanlah suatu rangkaian catatan

sejarah murni, melainkan banyak yang disisipi dengan cerita-cerita yang belum tentu benar-benar terjadi,

malah tidak jarang kisah-kisah itu berupa mitos yang sukar diterima logika, sebagai legitimasi

pemerintahan kerajaan yang ada pada masa itu.

Keraguan atas kebenaran yang terdapat dalam Hikayat Raja Pasai tersebut antara lain seperti yang

dikemukakan oleh A.D. Hill yang menyatakan bahwa dari teks Hikayat Raja Pasai ternyata hanya

sepertiga bagian awal saja. Demikian pula dengan Teuku Ibrahim Alfian yang karena kecewa terhadap

Hikayat Raja Pasai dalam menyebutkan data sejarah, maka ia terpaksa mengambil informasi dari sumber-

sumber lain. Bahkan, Snouck Hugronje pernah menyebut bahwa Hikayat Raja Pasai adalah “a chlidren

fairy story”. Pernyataan pedas Hugronje ini tampaknya merupakan suatu puncak kefatalan Hikayat Raja

Pasai sebagai sumber informasi terhadap sejarah. Data tersebut menujukkan bahwa selama ini karya-

karya tulis tersebut telah dilihat dalam dimensi pragmatis lewat kajian historis atau pun filologis (Siti

Chamamah Soeratno, 2002:36).

d. Perjalanan Eksistensi Samudera Pasai

Sebelum memeluk agama Islam, nama asli Malik Al Salih adalah Marah Silu atau Meurah Silo. “Meurah”

adalah panggilan kehormatan untuk orang yang ditinggikan derajatnya, sementara “Silo” dapat dimaknai

sebagai silau atau gemerlap. Marah Silu adalah keturunan dari Suku Imam Empat atau yang sering

disebut dengan Sukee Imuem Peuet, yakni sebutan untuk keturunan empat Maharaja/Meurah bersaudara

yang berasal dari Mon Khmer (Champa) yang merupakan pendiri pertama kerajaan-kerajaan di Aceh

sebelum masuk dan berkembangnya agama Islam.

Leluhur yang mendirikan kerajaan-kerajaan Hindu/Buddha di Aceh tersebut di antaranya adalah Maharaja

Syahir Po-He-La yang membangun Kerajaan Peureulak (Po-He-La) di Aceh Timur, Syahir Tanwi yang

mengibarkan bendera Kerajaan Jeumpa (Champa) di Peusangan (Bireuen), Syahir Poli (Pau-Ling) yang

menegakkan panji-panji Kerajaan Sama Indra di Pidie, serta Syahir Nuwi sebagai pencetus berdirinya

Kerajaan Indra Purba di Banda Aceh dan Aceh Besar.

Dalam Hikayat Raja Pasai diceritakan bahwa Marah Silu berayahkan Marah Gadjah dan ibunya adalah

Putri Betung. Marah Silu memiliki seorang saudara laki-laki bernama Marah Sum. Sepeninggal orang

tuanya, dua bersaudara ini meninggalkan kediamannya dan mulai hidup mengembara. Marah Sum

kemudian menjadi penguasa di wilayah Bieruen, sedangkan Marah Silu membuka tanah di hulu Sungai

Peusangan yang terletak tidak jauh dari muara Sungai Pasai hingga akhirnya ia menjadi pemegang tahta

Kerajaan Samudera.

Batu Nisan Marah Silu atau Sultan Malik Al Salih

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Marah Silu alias Sultan Malik Al Salih memeluk Islam atas

bujukan utusan Dinasti Mamaluk dari Mesir, yakni Syaikh Ismail dan Fakir Muhammad. Keislaman Marah

Silu ditegaskan kembali dalam Hikayat Raja Pasai dengan memberikan catatan bahwa Nabi Muhammad

telah menyebutkan nama Kerajaan Samudera dan juga agar penduduk di kerajaan tersebut diislamkan

oleh salah seorang sahabat Nabi, dalam hal ini yang dimaksud adalah Syaikh Ismail. Dengan adanya

catatan dari hikayat ini, bukan tidak mungkin ajaran agama Islam sudah masuk ke wilayah Aceh tidak

lama setelah Nabi Muhammad wafat, yakni pada sekitar abad pertama tahun Hijriah, atau sekitar abad

ke-7 atau ke-8 tahun Masehi. Dapat diperkirakan pula bahwa agama Islam yang masuk ke Aceh dibawa

langsung dari Mekkah (Sufi & Wibowo, 2005:58-59).

Data-data tentang Islam di Pasai menurut Hikayat Raja Pasai menunjukkan bahwa Pasai adalah tempat

pertama kali yang diislamkan. Tampaknya, demikian seperti yang ditulis dalam Hikayat Raja Pasai, Nabi

Muhammad (Rasulullah) pulalah yang membawa Islam ke Samudera/Pasai, ialah dalam tatap muka di

kala tidur antara Marah Silu dengan Rasulullah. Nabi Muhammad pula yang mensyahdatkan dan membuat

Marah Silu dapat membaca Alquran sebanyak 30 juz, yakni sesudah Rasulullah meludahi mulut Marah

Silu. Rasulullah pula yang membuat Marah Silu telah berkhitan. Islamisasi lewat peran langsung

Rasulullah kiranya menunjukkan proses yang esensial bagi Pasai. Dalam proses inilah Marah Silu tinggal

dinobatkan sehingga proses Islamisasi dapat berjalan dengan lancar (Chamamah, 2002:40).

Ketika Malik Al Salih dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Samudera pertama, upacara penobatan

dilakukan dengan gaya Arab di mana Malik Al Salih dinobatkan dengan mengenakan pakaian kerajaan

anugerah dari Mekkah. Ini berarti, penobatan dilakukan secara Arab, bukan dengan cara India. Artinya

lagi, Malik Al Salih kemungkinan besar sudah memeluk agama Islam pada saat dinobatkan menjadi Sultan

Kerajaan Samudera. Setelah upacara penobatan, sekalian hulubalang dan rakyat serta-merta menjunjung

dan menyembah sultan baru mereka dengan menyerukan: “Daulat Dirgahayu Syah Alam Zilluilahi fil-

alam”. Penyebutan gelar kehormatan kepada raja tersebut juga sangat lekat dengan nama Arab.

Dalam rangkaian upacara yang sama, juga telah ditetapkan dua Orang Besar, sebagai penasehat Sultan,

yakni Tun Sri Kaya dan Tun Sri Baba Kaya. Aroma Islam semakin terasa ketika kedua Orang Besar ini

kemudian diberi gelar berkesan Arab, masing-masing dengan nama Sayid Ali Khiatuddin untuk Tun Sri

Kaya dan Sayid Asmayuddin untuk Tun Sri Baba Kaya (Said, 1963:85).

Sultan Malik Al Salih menikah dengan Putri Ganggang Sari, keturunan Sultan Aladdin Muhammad Amin

bin Abdul Kadi dari Kerajaan Perlak. Dari perkawinan ini, Sultan Malik Al Salih dikaruniai dua orang putra,

yaitu Muhammad dan Abdullah. Kelak, Muhammad dipercaya untuk memimpin Kerajaan Pasai, bergelar

Sultan Muhammad Malikul Zahir (Sultan Malik Al Tahir), berdampingan dengan ayahandanya yang masih

tegap memimpin Kerajaan Samudera. Putra kedua Sultan Malik Al Salih, Abdullah, memilih keluar dari

keluarga besar Kerajaan Samudera dan Pasai, dengan mendirikan pemerintahan sendiri Kesultanan Aru

Barumun pada 1295.

Di bawah pimpinan Sultan Muhammad Malikul Zahir, Kerajaan Pasai mengalami masa kejayaan. Ibnu

Batutah merekam masa-masa keemasan yang dicapai Kerajaan Pasai pada era pemerintahan Sultan

Muhammad Malikul Zahir ini. Ibnu Batutah mencatat bahwa tanah-tanah di wilayah Kerajaan Pasai begitu

subur. Aktivitas perdagangan dan bisnis di kerajaan itu sudah cukup maju, dibuktikan dengan sudah

digunakannya mata uang, termasuk mata uang yang terbuat dari emas, sebagai alat transaksi dalam

kehidupan ekonomi warga Kerajaan Pasai. Selain menjalin kongsi dengan negara-negara dari luar

Nusantara, hubungan dagang dengan pedagang-pedagang dari Pulau Jawa pun begitu baik. Bahkan, para

saudagar Jawa mendapat perlakuan yang istimewa karena mereka tidak dipungut pajak. Biasanya, kaum

pedagang dari Jawa menukar beras dengan lada.

Makam Sultan Muhammad Malikul Zahir

Ibnu Batutah mengisahkan, setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah

Myanmar), ia mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Ibnu Batutah tidak bisa menutupi rasa

kagumnya begitu berkeliling kota pusat Kerajaan Pasai. Ia begitu takjub melihat sebuah kota besar yang

sangat elok dengan dikelilingi dinding yang megah. Ibnu Batutah mencatat bahwa ia harus berjalan

sekitar empat mil dengan naik kuda dari pelabuhan yang disebutnya Sahra untuk sampai ke pusat kota.

Pusat pemerintahan kota itu cukup besar dan indah serta dilengkapi dengan menara-menari yang terbuat

dari kayu-kayuan kokoh. Di pusat kota ini, tulis Ibnu Batutah, terdapat tempat tinggal para penguasa dan

bangsawan kerajaan. Bangunan yang terpenting ialah Istana Sultan dan masjid (Ismail, 1997:37).

Di dalam pagar yang mengelilingi kota, terdapat tempat tinggal para penguasa dan bangsawan kerajaan

yang dilindungi oleh rakyat di luar pagar. Semua kehidupan komersial di kota, para pendatang baru dari

desa, orang-orang asing, para pengrajin, dan segala aktivitas urban lainnya ditempatkan di luar pagar di

sekeliling pusat kota. Orang-orang asing seringkali tidak diizinkan menetap dalam jarak tertentu dari

Istana Sultan, bahkan adakalanya mereka harus tinggal di luar kota.

Apabila penjelasan dari Ibnu Batutah ini dianggap benar, maka dapatlah dikatakan bahwa Kota Pasai

sebagai pusat pemerintahan sultan-sultan yang berkuasa di Pasai, pada tengah-tengah areal terdapat

suatu daerah inti yang ditempati oleh Istana Sultan. Istana tersebut memiliki pagar yang berfungsi

sebagai batas yang membedakan kawasan Istana Sultan dengan kawasan pasar di mana aktivitas

perdagangan dan kegiatan lainnya berlangsung.

Masih menurut catatan Ibnu Batutah, Sultan Muhammad Malikul Zahir merupakan sosok pemimpin yang

memiliki gairah belajar yang tinggi dalam menuntut ilmu-ilmu Islam. Batutah juga mencatat, pusat studi

Islam yang dibangun di lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan. Ibnu

Batutah bahkan memasukkan nama Sultan Muhammad Malikul Zahir sebagai salah satu dari tujuh raja di

dunia yang memiliki kelebihan luar biasa. Ketujuh raja yang memiliki kemampuan luar biasa menurut

Ibnu Batutah antara lain Raja Melayu Sultan Muhammad Malikul Zahir yang dinilainya berilmu

pengetahuan luas dan mendalam, Raja Romawi yang sangat pemaaf, Raja Iraq yang berbudi bahasa,

Raja Hindustani yang sangat ramah, Raja Yaman yang berakhlak mulia, Raja Turki yang gagah perkasa,

serta Raja Turkistan yang bijaksana.

Kesan Ibnu Batutah terhadap sosok Sultan Muhammad Malikul Zahir memang begitu mendalam. Sebagai

raja, Sultan Muhammad Malikul Zahir merupakan orang yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan

mempunyai perhatian terhadap fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Sultan

Muhammad Malikul Zahir tidak pernah bersikap jumawa. Sultan ini, kata Batutah, adalah seorang

pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. “Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke

masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, Sultan dan rombongan biasa berkeliling

kota untuk melihat keadaan rakyatnya,” begitu Ibnu Batutah menggambarkan sosok Sultan Muhammad

Malikul Zahir. Kerendahan hati sang Sultan tersebut salah satunya ditunjukkan saat menyambut

rombongan Ibnu Batutah (Republika, 21 Mei 2008).

Di masa keemasannya, Kerajaan Pasai dan Kerajaan Samudera menjelma menjadi pusat perdagangan

internasional. Kerajaan pelabuhan Islam itu begitu ramai dikunjungi para pedagang dan saudagar dari

berbagai benua seperti, Asia, Afrika, Cina, dan Eropa. Wilayah di mana Kerajaan Samudera dan Pasai

berdiri, yakni di kawasan Selat Malaka, memang merupakan bandar niaga yang sangat strategis. Pada

saat itu, kawasan Selat Malaka merupakan jalur perdagangan laut yang sering menjadi lokasi transaksi

dan disinggahi para saudagar dari berbagai penjuru bumi, seperti dari Siam (Thailand), Cina, India, Arab,

hingga Persia (Iran).

Kedudukan Pasai (Pacém) dalam Peta Perdagangan di Asia

Di samping sebagai pusat perdagangan, Kesultanan Samudera Pasai juga merupakan pusat

perkembangan agama Islam dan muncul sebagai pemerintahan pertama di Nusantara yang menganut

ajaran Islam. Kejayaan Kesultanan Samudera dan Kesultanan Pasai yang berlokasi di daerah Samudera

Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah kerajaan kecil di daerah Perlak, seperti Rimba

Jreum dan Seumerlang. Dalam kurun abad ke-13 hingga awal abad ke-16, Pasai merupakan wilayah

penghasil rempah-rempah terkemuka di dunia, dengan lada sebagai salah satu komoditas andalannya.

Setiap tahunnya, Pasai mampu mengekspor lada dengan produksi yang cukup besar. Tak cuma itu, Pasai

pun merupakan produsen komoditas lainnya seperti sutra, kapur barus, dan emas.

Sultan Muhammad Malikul Zahir mempunyai dua orang putra, yaitu Malikul Mahmud dan Malikul Mansur.

Ketika Sultan Muhammad Malikul Zahir pada akhirnya meninggal dunia karena sakit, tampuk

kepemimpinan Kerajaan Pasai untuk sementara diserahkan Sultan Malik Al Salih, yang juga memimpin

Kerajaan Samudera, karena kedua putra Sultan Muhammad Malikul Zahir masih berusia sangat belia.

Oleh Sultan Malik Al Salih, kedua cucunya itu diserahkan kepada tokoh-tokoh yang piawai supaya mereka

dapat dengan baik memimpin kerajaan pada suatu saat nanti. Malikul Mahmud diserahkan kepada Sayid

Ali Ghiatuddin, sementara Malikul Mansur dididik oleh Sayid Semayamuddin.

Ketika kedua pangeran ini beranjak dewasa dan dirasa sudah siap memimpin pemerintahan, maka Sultan

Malik Al Salih pun mengundurkan diri dari singgasananya yang meliputi dua kerajaan, yakni Kerajaan

Samudera dan Kerajaan Pasai. Sebagai gantinya, sesuai dengan kesepakatan Orang-Orang Besar,

diangkatlah Malikul Mahmud menjadi Sultan Kerajaan Pasai, sementara Malikul Mansur sebagai Sultan

Kerajaan Samudera. Namun, keharmonisan kedua sultan kakak-beradik ini tidak berlangsung lama

karena terjadi perseteruan di antara mereka. Penyebabnya adalah ulah Sultan Mansur yang ternyata

menggilai salah seorang istri Sultan Mahmud yang tidak lain adalah abang kandungnya sendiri. Pada

akhirnya, Sultan Mansur ditangkap dan diusir dari kerajaannya hingga kemudian meninggal dunia dalam

perjalanan. Jadilah Sultan Malikul Mahmud menguasai singgasana Kerajaan Samudera dan Kerajaan Pasai

hingga digabungkanlah kedua kerajaan itu menjadi Kesultanan Samudera Pasai.

Sejak tahun 1346, kepemimpinan Kesultanan Samudera Pasai di bawah rezim Sultan Malikul Mahmud

digantikan oleh anaknya yang bernama Ahmad Permadala Permala. Setelah dinobatkan sebagai penguasa

Kesultanan Samudera Pasai, ia kemudian dianugerahi gelar kehormatan dengan nama Sultan Ahmad

Malik Az-Zahir. Dalam Hikayat Raja Pasai dikisahkan, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir dikaruniai lima orang

anak, tiga orang di antaranya laki-laki sementara dua sisanya adalah anak perempuan. Tiga putra Sultan

Ahmad Malik Az-Zahir masing-masing bernama Tun Beraim Bapa, Tun Abdul Jalil, serta Tun Abdul Fadil.

Sedangkan dua anak perempuannya diberi nama Tun Medam Peria dan Tun Takiah Dara.

Sempat terjadi hal yang sungguh memalukan dalam perjalanan kepemimpinan Sultan Ahmad Malik Az-

Zahir yang pada akhirnya memang lekat dengan citra sebagai pemimpin yang buruk. Menurut Hikayat

Raja Pasai, Sang Sultan ternyata menaruh berahi terhadap kedua anak perempuannya sendiri, yaitu Tun

Medan Peria dan Tun Takiah Dara. Sikap yang keterlaluan dari Sultan Ahmad Malik Az-Zahir ini tentu saja

menimbulkan kemurkaan dari banyak pihak, termasuk Tun Beraim Bapa yang tidak lain adalah putra

sulung Sultan Ahmad Malik Az-Zahir.

Tun Beraim Bapa sekuat tenaga melindungi kedua saudara perempuannya dari kebuasan Sultan Ahmad

Malik Az-Zahir dengan melarikan mereka untuk diamankan di suatu tempat. Merasa ditentang oleh

anaknya sendiri, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir naik pitam dan kemudian memerintahkan pengawalnya

untuk membunuh Tun Beraim Bapa. Pangeran yang seharusnya menjadi putra mahkota ini akhirnya

tewas setelah memakan racun yang diberikan utusan sang ayah (Jones [ed.], 1999:35-56). Tidak lama

kemudian, kedua saudara perempuan Tun Beraim Bapa pun menyusul abangnya dengan memakan racun

yang sama.

Keganasan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir belum berhenti sampai di situ. Sang Sultan kembali berulah

biadab ketika mendengar kabar bahwa ada seorang putri dari Kerajaan Majapahit, Radin Galuh

Gemerencang, jatuh cinta kepada putra kedua Sultan Ahmad Malik Az-Zahir, yakni Tun Abdul Jalil. Sultan

Ahmad Malik Az-Zahir merasa terhina karena ia sendiri juga menaruh hati pada kecantikan putri Raja

Majapahit tersebut. Maka kemudian, seperti yang termaktub dalam Hikayat Raja Pasai, Sultan Ahmad

Malik Az-Zahir kembali memberikan mandat kepada anak buahnya untuk menghabisi nyawa Tun Abdul

Jalil dan ketika rencana itu berhasil, mayat Tun Abdul Jalil ditenggelamkan ke laut. Sementara itu, oleh

sebab rasa cinta yang tidak tertahankan, Radin Galuh Gemerencang bertekad pergi ke Pasai bersama

para pengawalnya untuk menemui Tun Abdul Jalil.

Sesampainya di Pasai, rombongan dari Majapahit itu mendapat kabar bahwa pujaan hati Radin Galuh

Gemerencang sudah tewas, dibunuh oleh ayahnya sendiri. Sang Putri tidak kuasa menahan sedih dan

kemudian menenggelamkan diri ke dalam laut di mana jenazah Tun Abdul Jalil telah dibenamkan

sebelumnya. Sisa rombongan pengawal yang mengiringi Radin Galuh Gemerencang segera kembali ke

Jawa dan melapor kepada Raja Majapahit tentang kejadian tragis tersebut.

Sang Raja tentu saja murka mendengar kematian putrinya serta kebiadaban Sultan Pasai itu, dan

kemudian segera menitahkan kepada bala tentara Majapahit untuk bersiap menyerang Kerajaan Pasai.

Meski sempat memberikan perlawanan, ternyata armada perang Kerajaan Majapahit lebih unggul dan

berhasil menduduki Pasai. Karena semakin terdesak, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir melarikan diri ke suatu

tempat bernama Menduga, yang terletak kira-kira lima belas hari perjalanan dari Negeri Pasai.

Sementara itu, seusai meraih kemenangan gemilang dengan menaklukkan Pasai, pasukan perang

Majapahit mulai bersiap untuk kembali ke Jawa setelah sebelumnya mengambil harta rampasan dan

tawanan perang dari Pasai. Dalam perjalanan menuju Jawa, laskar tentara Majapahit terlebih dahulu

singgah di Palembang dan Jambi untuk menaklukkan kedua negeri itu, sekaligus membawa barang

jarahan yang semakin banyak. Demikianlah kisah penaklukan oleh Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan

Pasai seperti yang dikisahkan dalam kitab Hikayat Raja Pasai (Jones [ed.], 1999:57-65).

Dalam silsilah para penguasa yang memimpin Kesultanan Samudera Pasai, ternyata terdapat sultan

perempuan yang pernah bertahta di kerajaan besar tersebut. Sultanah Nahrasiyah (Nahrisyyah) Malikul

Zahir bertahta dari tahun 1420 hingga 1428 atau kurang lebih delapan tahun lamanya. Sultanah

Nahrasiyah memiliki penasehat bernama Ariya Bakooy dengan gelar Maharaja Bakooy Ahmad Permala.

Ariya Bakooy sebenarnya merupakan sosok kontroversial. Ia pernah diperingatkan kaum ulama agar tidak

mengawini puterinya sendiri namun peringatan itu ditentangnya. Bahkan, Ariya Bakooy kemudian malah

membunuh 40 ulama. Ariya Bakooy akhirnya tewas di tangan Malik Musthofa yang bergelar Pocut Cindan

Simpul Alam, yang tidak lain adalah suami Sultanah Nahrasiyah, dengan bantuan Sultan Mahmud Alaiddin

Johan Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam (1409-1465).

Sultanah Nahrasiyah merupakan seorang perempuan muslimah yang berjiwa besar. Hal ini dibuktikan

dengan hiasan makamnya yang sangat istimewa. Pada nisannya, tertulis nukilan huruf Arab

terjemahannya berbunyi: ”Inilah kubur wanita yang bercahaya yang suci ratu yang terhormat, almarhum

yang diampunkan dosanya, Nahrasiyah, putri Sultan Zainal Abidin, putra Sultan Ahmad, putra Sultan

Muhammad, putra Sultan Mailkus Salih. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan diampunkan dosanya.

Mangkat dengan rahmat Allah pada hari Senin, 17 Zulhijjah 832.” (Pocut Haslinda Hamid Azwar,

www.modusaceh-news.com, 2009).

Pemugaran Kompleks Makam Sultanah

Nahrasiyah (Nahrisyyah)

e. Keruntuhan dan Peninggalan Peradaban Samudera Pasai

Kejayaan Kesultanan Samudera Pasai mulai mengalami ancaman dari peradaban terbesar di Jawa waktu

itu, yakni dari Kerajaan Majapahit dengan Gadjah Mada sebagai mahapatihnya yang paling legendaris.

Gadjah Mada diangkat sebagai patih di Kahuripan pada periode 1319-1321 Masehi oleh Raja Majapahit

yang kala itu dijabat oleh Jayanegara. Pada 1331, Gadjah Mada naik pangkat menjadi Mahapatih ketika

Majapahit dipimpin oleh Ratu Tribuana Tunggadewi. Ketika pelantikan Gadjah Mada menjadi Mahapatih

Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan Sumpah Palapa, yaitu bahwa Gadjah Mada tidak

akan menikmati buah palapa sebelum seluruh Nusantara berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Mahapatih Gadjah Mada rupanya sedikit terusik mendengar kabar tentang kebesaran Kesultanan

Samudera Pasai di seberang lautan sana. Majapahit khawatir akan pesatnya kemajuan Kesultanan

Samudera Pasai. Oleh karena itu kemudian Gadjah Mada mempersiapkan rencana penyerangan Majapahit

untuk menaklukkan Samudera Pasai. Desas-desus tentang serangan tentara Majapahit, yang menganut

agama Hindu Syiwa, terhadap kerajaan Islam Samudera Pasai santer terdengar di kalangan rakyat di

Aceh. Ekspedisi Pamalayu armada perang Kerajaan Majapahit di bawah komando Mahapatih Gadjah Mada

memulai aksinya pada 1350 dengan beberapa tahapan.

Serangan awal yang dilakukan Majapahit di perbatasan Perlak mengalami kegagalan karena lokasi itu

dikawal ketat oleh tentara Kesultanan Samudera Pasai. Namun, Gadjah Mada tidak membatalkan

serangannya. Ia mundur ke laut dan mencari tempat lapang di pantai timur yang tidak terjaga. Di Sungai

Gajah, Gadjah Mada mendaratkan pasukannya dan mendirikan benteng di atas bukit, yang hingga

sekarang dikenal dengan nama Bukit Meutan atau Bukit Gadjah Mada (Muljana, 2005:140).

Selanjutnya, Gadjah Mada menjalankan siasat serangan dua jurusan, yaitu dari jurusan laut dan jurusan

darat. Serangan lewat laut dilancarkan terhadap pesisir di Lhokseumawe dan Jambu Air. Sedangkan

penyerbuan melalui jalan darat dilakukan lewat Paya Gajah yang terletak di antara Perlak dan Pedawa.

Serangan dari darat tersebut ternyata mengalami kegagalan karena dihadang oleh tentara Kesultanan

Samudera Pasai. Sementara serangan yang dilakukan lewat jalur laut justru dapat mencapai istana.

Wilayah Kekuasaan Imperium Majapahit,

termasuk Samudera Pasai

Selain alasan faktor politis, serangan Majapahit ke Samudera Pasai dipicu juga karena faktor kepentingan

ekonomi. Kemajuan perdagangan dan kemakmuran rakyat Kesultanan Samudera Pasai telah membuat

Gadjah Mada berkeinginan untuk dapat menguasai kejayaan itu. Ekspansi Majapahit dalam rangka

menguasai wilayah Samudera Pasai telah dilakukan berulangkali dan Kesultanan Samudera Pasai pun

masih mampu bertahan sebelum akhirnya perlahan-lahan mulai surut seiring semakin menguatnya

pengaruh Majapahit di Selat Malaka.

Hingga menjelang abad ke-16, Samudera Pasai masih dapat mempertahankan peranannya sebagai

bandar yang mempunyai kegiatan perdagangan dengan luar negeri. Para ahli sejarah yang menumpahkan

minatnya pada perkembangan ekonomi mencatat bahwa Pasai pernah menempati kedudukan sebagai

sentrum kegiatan dagang internasional di nusantara semenjak peranan Kedah berhasil dipatahkan (Said,

1963:125).

Namun kemudian, peranan Pasai yang sebelumnya sangat penting dalam arus perdagangan di kawasan

Asia Tenggara dan dunia mengalami kemerosotan dengan munculnya bandar perdagangan Malaka di

Semenanjung Melayu (Ismail, 1997:24). Bandar Malaka segera menjadi primadona dalam bidang

perdagangan dan mulai menggeser kedudukan Pasai. Tidak lama setelah Malaka dibangun, kota itu dalam

waktu yang singkat segera dibanjiri perantau-perantau dari Jawa.

Akibat kemajuan pesat yang diperoleh Malaka tersebut, posisi dan peranan Pasai kian lama semakin

tersudut, nyaris seluruh kegiatan perniagaannya menjadi kendor dan akhirnya benar-benar patah di

tangan Malaka sejak tahun 1450. Apalagi ditambah kedatangan Portugis yang berambisi menguasai

perdagangan di Semenanjung Melayu. Orang-orang Portugis yang pada 1521 berhasil menduduki

Kesultanan Samudera Pasai (Rusdi Sufi, 2004:57)

Tidak hanya itu, Kesultanan Samudera Pasai semakin lemah ketika di Aceh berdiri satu lagi kerajaan yang

mulai merintis menjadi sebuah peradaban yang besar dan maju. Pemerintahan baru tersebut yakni

Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Kesultanan Aceh Darussalam

sendiri dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Aceh pada masa pra Islam,

seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura. Pada

1524, Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah menyerang Kesultanan

Samudera Pasai. Akibatnya, pamor kebesaran Kerajaan Samudera Pasai semakin meredup sebelum

benar-benar runtuh. Sejak saat itu, Kesultanan Samudera Pasai berada di bawah kendali kuasa

Kesultanan Aceh Darussalam.

Jejak-jejak peninggalan peradaban Kesultanan Samudera Pasai yang berhasil ditemukan, pada 1913 dan

1915 oleh seorang ilmuwan Belanda bernama J.J. de Vink, yang berinisiatif mengadakan inventarisasi di

bekas peninggalan Samudera Pasai. Selanjutnya, pada 1937 telah dilakukan upaya pemugaran pada

beberapa makam sultan-sultan Samudera Pasai oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kemudian,

tahun 1972, 1973, serta tahun 1976 peninggalan Kesultanan Samudera Pasai yang ditemukan di

Kecamatan Samudera Geudong, Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, telah diinventarisasi

oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Perkembangan terbaru, dalam tahun 2009 telah ditemukan beberapa peninggalan yang terkait dengan

sejarah Kesultanan Samudera Pasai. Pada bulan Maret 2009, Tim Peneliti Sejarah Kebudayaan Islam

memberitahukan bahwa mereka telah menemukan makam Al Wazir Al Afdal, yang pernah menjabat

sebagai Perdana Menteri Kesultanan Samudera Pasai. Makam itu berlokasi di Desa Teupin Ara, Kecamatan

Samudera, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Al Wazir Al Afdhal diketahui pernah menjabat sebagai perdana menteri pada masa pemerintahan rezim

Samudera Pasai yang terakhir, Sultan Zain Al Abidin atau yang sering dikenal juga dengan nama Sultan

Zainal Abidin, yang memerintah selama dua periode, yakni pada kurun 1477-1500 dan 1513-1524. Dari

penemuan itu diperoleh keterangan bahwa Al Wazir Al Afdal wafat tanggal 7 bulan Zulkaedah tahun 923 H

atau 1518 M. Di tahun yang sama, Sultan Zainal Abidin pun wafat. Pada nisan makam Al Wazir Al Afdal,

terdapat syair yang menjelaskan tentang kezuhudan bahwa dunia ini fana, tak ubahnya seperti sarang

yang dirajut laba-laba. Syair tersebut sama dengan yang tertulis pada makam Sultan Malik Al Salih yang

mengungkapkan tenggelamnya peradaban Samudera Pasai (www.indowarta.com, 25 Maret 2009).

Pada kesempatan yang sama, Tim Peneliti Sejarah Kebudayaan Islam juga menyatakan telah menemukan

sebuah stempel atau cap yang diperkirakan berusia 683 tahun. Stempel kerajaan yang ditengarai milik

Sultan Muhammad Malikul Zahir, sultan kedua Samudera Pasai, ini ditemukan tidak jauh dari makam

Abdullah bin Muhammad, di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. Abdullah

bin Muhammad (wafat 816 H/1414 M) sendiri adalah salah seorang keturunan Khalifah Abbasiyah, Al-

Mustanshir Billah, yang bergelar Shadr Al Akabir (pemuka para pembesar) di Kesultanan Samudera Pasai

pada waktu itu.

Stempel yang ditemukan telah patah pada bagian gagangnya tersebut berukuran 2×1 centimeter, dan

tampaknya terbuat dari bahan sejenis tanduk hewan. Dari lokasi ditemukannya di Kuta Krueng,

diperkirakan cap ini telah digunakan sampai dengan masa pemerintahan pemimpin terakhir Samudera

Pasai, Sultan Zainal Abidin (www.acehlong.com, 17 Maret 2009).

Selanjutnya, pada Juni 2009, tim peneliti dari Yayasan Waqaf Nurul Islam (YWNI) Lhokseumawe

mengumumkan bahwa mereka telah menemukan makam yang diyakini sebagai tempat persemayaman

terakhir Raja Kanayan, seorang panglima perang pada pemerintahan Sultan Zain Al-Abidin. Makam Raja

Kanayan ditemukan di Desa Meunasah Ujoung Blang Me, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara.

Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa Raja Kanayan wafat pada hari Jum‘at, tanggal 3 Sya‘ban 872 H

atau 1468 Masehi. Dengan demikian, Raja Kanayan telah hidup pada masa pemerintahan beberapa rezim

Kesultanan Samudera Pasai dan meninggal dunia pada masa Sultan Zainal Abidin.

Selain makam Raja Kanayan, ditemukan pula beberapa makam lainnya. Bahkan, tim peneliti memprediksi

masih ada nisan-nisan lain yang amblas ke dalam tanah di kompleks makam yang terletak tidak jauh dari

tepi Sungai Pasai sebelah timur itu. Makam-makam yang baru ditemukan tersebut belum tercatat dalam

inventaris situs sejarah Dinas Kebudayaan (www.waspadaonline.com, 20 Juni 2009).

Terakhir, pada Agustus 2009, Lembaga Penelitian Sejarah Islam (LePSI) Lhokseumawe mengungkapkan

bahwa mereka sedang mengkaji naskah surat Sultan Zainal Abidin, wafat tahun 923 Hijriah atau 1518

Masehi. Surat itu ditujukan kepada Kapitan Moran yang bertindak atas nama wakil Raja Portugis di India.

Fotografi naskah tersebut dapat disaksikan di Museum Negeri Aceh, sementara naskah aslinya tersimpan

di Lisabon, Portugal.

Naskah tersebut memberikan banyak informasi sejarah tentang ihwal Samudera Pasai di awal abad ke-

16, terutama menyangkut kondisi terakhir yang dialami kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara ini,

setelah Portugis berhasil menguasai Malaka pada 1511 Masehi. Naskah surat berbahasa Arab itu juga

mencantumkan nama beberapa negeri atau kerajaan yang punya hubungan erat dengan Samudera Pasai

sehingga dapat diketahui pengejaan asli dari nama-nama negeri atau kerajaan tersebut, antara lain

Nergeri Fariyaman (Pariaman) dan Mulaqat (Malaka) (www.waspadaonline.com, 21 Agustus 2009).

2. Silsilah Raja-Raja

Berikut nama-nama sultan/sultanah yang diketahui pernah memimpin Kesultanan Samudera Pasai:

1. Sultan Malik Al-Salih (1267—1297)

2. Sultan Muhammad Malikul Zahir

3. Sultan Malikul Mahmud

4. Sultan Malikul Mansur

5. Sultan Ahmad Malik Az-Zahir (1346—1383)

6. Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir (1383—1405)

7. Sultanah Nahrasiyah atau Sultanah Nahrisyyah (1420—1428)

8. Sultan Sallah Ad-Din (1402)

9. Sultan Abu Zaid Malik Az-Zahir 1455)

10. Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1455—1477)

11. Sultan Zain Al-Abidin (1477—1500)

12. Sultan Abdullah Malik Az-Zahir (1501—1513)

13. Sultan Zain Al-Abidin (1513—1524)

S ilsilah Sultan/Sultanah Kesultanan Samudera Pasai

Menurut Hikayat Raja Pasai.

Sultan Malik Al Salih memimpin Kesultanan Samudera, sementara putranya, Sultan Muhammad Malikul

Zahir adalah penguasa Kesultanan Pasai. Ketika Sultan Muhammad Malikul Zahir wafat, pemerintahan

Kesultanan Pasai dipegang oleh Sultan Malik Al Salih untuk sementara sembari menunggu kedua putra

Sultan Muhammad Malikul Zahir, yakni Malikul Mahmud dan Malikul Mansur, beranjak dewasa. Setelah

kedua putra Sultan Muhammad Malikul Zahir tersebut dinilai mampu untuk menjadi pemimpin, Sultan

Malik Al Salih mengundurkan diri dari sebagai sultan dari kedua kerajaan yang dipimpinnya tersebut.

Selanjutnya, Sultan Malik Al Salih menyerahkan kendali pemerintahan kepada kedua cucunya tersebut,

masing-masing Kesultanan Pasai kepada Malikul Mahmud serta Kesultanan Samudera kepada Malikul

Mansur. Masa periode pemerintahan ketiga sultan, yaitu Sultan Muhammad Malikul Zahir, Sultan Malikul

Mahmud, dan Sultan Malikul Mansur, sengaja tidak disebutkan karena masih terdapat beberapa

kejanggalan mengenai hal tersebut, termasuk yang tercatat dalam Hikayat Raja Pasai.

Kesimpang-siuran mengenai periode pemerintahan masing-masing sultan/sultanah menjadi kendala

tersendiri, dan karena itulah kurun tahun yang dicantumkan dalam daftar di atas merupakan interpretasi

dari beberapa informasi yang berhasil ditemukan. Demikian pula dengan penyebutan nama atau gelar

dari masing-masing sultan/sultanah yang ternyata ditemukan banyak sekali versinya. Selain itu,

ketidaklengkapan informasi mengenai siapa saja sultan/sultanah yang pernah memerintah Kesultanan

Samudera Pasai secara urut dan runtut juga menimbulkan permasalahan lain karena belum tentu apa

yang ditulis dalam silsilah di atas mencatat semua penguasa yang pernah bertahta di Kesultanan

Samudera Pasai.

3. Wilayah Kekuasaan

Pada kurun abad ke-14, nama Kesultanan Samudera Pasai sudah sangat terkenal dan berpengaruh serta

memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Armada perang yang kuat sangat mendukung Kesultanan

Samudera Pasai untuk semakin melebarkan sayap kekuasaannya, baik dengan tujuan menguasai dan

menduduki wilayah kerajaan lain ataupun demi mengemban misi menyebarkan agama Islam. Wilayah

kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai pada masa kejayaannya terletak di daerah yang diapit oleh dua

sungai besar di Pantai Utara Aceh, yaitu Sungai Peusangan dan Sungai Pasai. Daerah kekuasaan

Kesultanan Samudera Pasai tersebut juga meliputi Samudera Geudong (Aceh Utara), Meulaboh, Bireuen,

serta Rimba Jreum dan Seumerlang (Perlak).

Wilayah Kekuasaan Samudera Pasai

Sementara itu, ada pula yang menganut pendapat bahwa wilayah Kesultanan Samudera Pasai meliputi

wilayah yang lebih luas lagi ke sebelah selatan, yaitu hingga ke muara Sungai Jambu Ayer (Ismail,

1997:7). Yang jelas, luas wilayah kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai melingkupi sepanjang aliran

sungai yang hulu-hulunya berasal jauh di pedalaman Dataran Tinggi Gayo, sekarang berada di dalam

wilayah administratif Kabupaten Aceh Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam. Kesultanan Samudera Pasai

juga berhasil meluaskan wilayahnya ke luar dari bumi Aceh. Beberapa daerah luar yang menjadi negeri

taklukan Kesultanan Samudera Pasai antara lain Minangkabau, Palembang, Jambi, Patani, Malaka, bahkan

hingga mencapai beberapa kerajaan di pesisir pantai di Jawa (Sufi & Wibowo, 2005:61).

4. Sistem Pemerintahan

Komposisi masyarakat yang menjadi warga Kesultanan Samudera Pasai menunjukkan sifat yang berlapis-

lapis. Menurut Ayatrohaedi, lapisan itu terdiri atas Sultan dan Orang-Orang Besar kerajaan pada lapisan

atas sampai dengan hamba sahaya pada lapisan yang paling bawah (Ayatrohaedi, 1992). Pada lapisan

kelompok birokrasi terlihat adanya kelompok Orang-Orang Besar, perdana menteri, menteri, tentara,

pegawai, dan kaum bangsawan kerajaan yang lainnya.

Adanya orang-orang yang bergerak dalam perdagangan, misalnya orang-orang yang berniaga, orang

berlayar, orang pekan, nahkoda, dan lain-lainnya. Kendati jumlah populasi orang-orang Arab yang

berdiam di Pasai tidak sebanyak orang-orang dari India, namun kalangan orang Arab sangat berpengaruh

dalam jalannya pemerintahan kerajaan, bahkan atas kebijakan Sultan Pasai sekalipun. Keadaan ini

terlihat sejak masa awal terbentuknya Kesultanan Pasai dan berlangsung lama hingga nama kerajaan ini

berubah menjadi Kesultanan Samudera Pasai.

Pada masa pemerintahan Sultan Malik Al Salih sebagai penguasa pertama di Kesultanan Pasai, terdapat

sejumlah Orang-Orang Besar di negeri itu, antara lain Tun Sri Kaya dan Tun Baba Kaya. Nama-nama itu

jelas menunjukkan kedudukan mereka yang dinamakan Orang-Orang Besar tersebut. Hal ini sesuai

dengan penyebutan Orang-Orang Besar kerajaan di Semenanjung Melayu dan Kesultanan Aceh

Darussalam sebagai Orang Kaya (Ismail, 1997:39).

Kedua Orang Besar yang ikut mengontrol jalannya pemerintahan di Kesultanan Pasai itu masing-masing

kemudian diberi gelar Sayid Ali Ghitauddin dan Sayid Asmayuddin, seperti yang telah disebutkan

sebelumnya pada bagian keislaman Marah Silu atau Sultan Malik Al Salih. Dalam hikayat digambarkan

dengan jelas bahwa Orang-Orang Besar itu disebutkan sebagai perdana menteri, satu untuk Kesultanan

Pasai dan seorang lagi untuk Kesultanan Samudera. Kedudukan mereka yang sangat penting di sana

berlangsung sejak rezim Sultan Malik Al Salih sampai era pemerintahan cucunya yaitu Malikul Mahmud

dan Malikul Mansur.

Salah Satu Manuskrip yang Menunjukkan

Keberadaan Pasai

Di masa kedua cucu Sultan Malik Al Salih itu berkuasa di masing-masing kerajaannya, terjadi sengketa di

antara keduanya, yakni ketika Malikul Mansur melakukan perbuatan yang tidak senonoh terhadap salah

seorang istri Malikul Mahmud. Mengetahui perbuatan hina saudaranya itu, Sultan Malikul Mahmud sempat

berucap bahwa sekiranya ia tidak menghormati Sayid Asmayuddin, yang menjadi penasehat Sultan

Malikul Mansur di Kesultanan Samudera, niscaya Sultan Malikul Mahmud sudah membunuh saudaranya

sendiri atas perbuatan hina yang tidak termaafkan. Fragmen ini sudah cukup membuktikan bahwa betapa

kuatnya pengaruh Orang-Orang Besar tersebut dalam ikut mengendalikan roda pemerintahan kerajaan,

bahkan sampai pada tingkat mempengaruhi kondisi personal dan psikis Sultan.

Pada era kepemimpinan yang berikutnya, yakni di bawah rezim Sultan Ahmad Malik Az-Zahir (1346-

1383), pemerintahan Kesultanan Samudera Pasai dikawal oleh empat orang perdana menteri, yang

masing-masing bernama Tulus Agung Tukang Sukara, Baba Mentuha, Sulaiman Dendang Air, dan Tun

Syah Alam Kota (Jones [ed.], 1999:36). Masih sama seperti pada masa-masa sebelumnya, keempat

perdana menteri tersebut menjalankan fungsinya sebagai penasehat Sultan dan ikut mempengaruhi

kebijakan kerajaan kendati keputusan akhir masih tetap berada di tangan Sultan Samudera Pasai.

Kehidupan sosial dan politik warga Kesultanan Samudera Pasai sangat diwarnai oleh unsur agama dan

kebudayaan Islam. Pemerintahannya bersifat teokrasi (berdasarkan ajaran Islam) dan sebagian besar

rakyatnya memeluk agama Islam.

(Iswara NR/Ker/01/10-2009)

Referensi:

· -------. 25 Maret 2009. “Makam Perdana Menteri Samudera Pasai Ditemukan”, dalam

http://indowarta.com. Data Diunduh pada 06 Oktober 2009.

· -------. 17 Maret 2009. “Stempel Usia 683 Tahun Milik Kerajaan Pasai Ditemukan”, dalam

http://acehlong.com. Data Diunduh pada 06 Oktober 2009.

· -------. 20 Juni 2009. “Peneliti Temukan Makam Panglima Pasai”, dalam http://www.waspada.co.id.

Data Diunduh pada 06 Oktober 2009.

· -------. 21 Agustus 2009. “LePSI Kaji Naskah Surat Sultan Samudera Pasai”, dalam

http://www.waspada.co.id. Data Diunduh pada 06 Oktober 2009.

· Alfian, T. Ibrahim. 1973. Kronika Pasai: Sebuah Tinjauan Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

· Ayatrohaedi. 1992. “Struktur Masyarakat Pasai”, dalam Makalah yang Disampaikan pada Diskusi

mengenai Pasai dalam Sejarah, Cisarua, 25-28 September 1992.

· Azwar, Pocut Haslinda Hamid. 2009. “Sultanah Nahrasiyah”, dalam http://www.modusaceh-

news.com,28 April 2009.

· Ismail, Muhammad Gade. 1997. Pasai dalam Perjalanan Sejarah: Abad ke-13 sampai Awal Abad ke

16. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

· Jones, Russell. 1999. Hikayat Raja Pasai. Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan dan Penerbit Fajar

Bakti.

· Mansoer, M.D. "Beberapa Tjatatan tentang Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Pesisir

Sumatera Utara", dalam Risalah Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia. 1963. Medan:

Panitia Seminar Sedjarah Masuknya Islam Ke Indonesia.

· Muljana, Slamet. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di

Nusantara. Yogyakarta: LKiS.

· Ruslan, Heri. 2009. “Samudera Pasai Khilafah Islam Nusantara”, dalam Republika, 18 Maret 2009

· Said, Mohammad, H. 1963. "Mentjari Kepastian tentang Daerah Mula dan Cara Masuknya Agama

Islam ke Indonesia", dalam Risalah Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia. Medan:

Panitia Seminar Sedjarah Masuknya Islam Ke Indonesia.

· _______. 1981. Aceh Sepanjang Abad (Jilid Pertama). Medan: PT Percetakan dan Penerbitan

Waspada Medan.

· Soeratno, Siti Chamamah. 2002. “Islamisasi sebagai Pembina Kebesaran Melayu: Analisis

Kontekstual Data Islamisasi Nusantara dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai”,

dalam Sunaryo Purwo Sumitro. 2002. Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta: Persembahan Kepada

Teuku Ibrahim Alfian. Jakarta: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia.

· Sufi, Rusdi. “Mata Uang Kerajaan-Kerajaan Aceh”, dalam Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo. 2004.

Ragam Sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan NAD.

· Sufi, Rusdi & Wibowo, Agus Budi. 2006. Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh. Banda Aceh: Badan

Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

· Zainuddin, H.M. 1961. Tarikh Aceh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda.

Sumber Foto:

· Jones, Russell. 1999. Hikayat Raja Pasai. Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan dan Penerbit Fajar

Bakti.

· Said, Mohammad, H. 1981. Aceh Sepanjang Abad (Jilid Pertama). Medan: PT Percetakan dan

Penerbitan Waspada Medan.

· www.acehrecoveryforum.org/

· www.aneukagamaceh.blogspot.com/

· www.commons.wikimedia.org/

· www.cosmoscopia.com/

· www.cosmoscopia.com/

· www.martabat7.blogspot.com/

· www.merahsilu.blogspot.com/

• www.wakalanusantara.com/

Sumber: Damar Shashangka.blogspot.com