case chf ec ms and tr
TRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS PENYAKIT JANTUNG
GAGAL JANTUNG KONGESTIF EC STENOSIS MITRAL DAN REGURGITASI
TRIKUSPID EC RHEUMA JANTUNG
OLEH:
KENNY PRIMATYA
110 2006 146
PEMBIMBING:
DR. HERAWATI ISNANIJAH, SP.JP
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR REBO
PERIODE 24 JUNI – 31 AGUSTUS 2013
1
BAB I
STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. M
Umur : 50 tahun
Alamat : Lenteng Agung, Jagakarsa
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
No. Rekam Medis : 341430
Ruang Rawat : Dahlia
Tanggal Masuk RS : 02 Juli 2013
Tanggal Periksa : 12 Juli 2013
A. ANAMNESIS
1. Keluhan utama :
Sesak nafas sejak 3 hari SMRS.
2. Keluhan tambahan:
Udem tungkai +, Batuk +, sulit tidur +, Mual +, Muntah -
3. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke Poli Jantung RSUD Pasar Rebo dengan keluhan sesak sejak 3
hari SMRS dan sesaknya dirasa terus menerus dan memberat setiap kali beraktifiatas.
Pasien juga mengeluhkan kakinya yang bengkak hingga ke paha dan tidak bisa tidur
karena sering terbangun dimalam hari dalam keadaan sesak, setiap tidur pasien harus
menggunakan lebih dari dua bantal. Pasien juga mengalami mual tetapi tidak disertai
2
muntah. Buang air kecil berwarna kuning tua, tidak terasa sakit saat BAK atau
berpasir. Buang air besar dalam batas normal.
Sebelumnya, 6 tahun yang lalu pasien sudah didiagnosa memiliki kelainan pada
katup jantungnya
4. Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat penyakit hipertensi diakui
Riwayat penyakit jantung diakui
Riwayat penyakit diabetes mellitus disangkal
Riwayat penyakit asma disangkal
Riwayat penyakit paru disangkal
Riwayat alergi obat disangkal
5. Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat penyakit keluarga hipertensi diakui (Bapak).
Riwayat penyakit keluarga stroke disangkal
Riwayat penyakit keluarga asma disangkal.
Riwayat penyakit keluarga jantung disangkal
Riwayat keluarga alergi obat disangkal.
Riwayat keluarga penyakit diabetes mellitus disangkal.
B. STATUS GENERALIS
1. Kesadaran : Compos Mentis
2. Keadaan umum : Sedang
3. Tekanan darah : 130/90 mmHg
4. Nadi : 88 x/menit
5. Suhu : 36 °C
6. Pernapasan : 24 x/menit
C. ASPEK KEJIWAAN3
1. Tingkah laku : Dalam Batas Normal
2. Proses pikir : Dalam Batas Normal
3. Kecerdasan : Dalam Batas Normal
D. PEMERIKSAAN FISIK
KULIT
1. Warna : Kecoklatan
2. Jaringan parut : Tidak ada
3. Pertumbuhan rambut : Normal
4. Suhu Raba : Hangat
5. Keringat : Umum
6. Kelembaban : Lembab
7. Turgor : Cukup
8. Ikterus : Ada
9. Edema : Tidak ada
KEPALA
1. Bentuk : Normocephal
2. Posisi : Simetris
3. Penonjolan : Tidak ada
MATA
1. Exophthalmus : Tidak ada
2. Enoptashalmus : Tidak ada
3. Edema kelopak : Tidak ada
4. Konjungtiva anemis : Tidak ada
5. Skelera ikterik : Ada
TELINGA
4
1. Pendengaran : Baik
2. Membran timpani : Tidak dilakukan
3. Darah : Tidak ada
4. Cairan : Tidak ada
LEHER
1. Trakea : Tidak deviasi
2. Kelenjer tiroid : Tidak membesar
3. Kelenjar Limfe : Tidak membesar
4. JVP : Meningkat, 8cmH2O
PARU-PARU
1. Inspeksi : Bentuk & ukuran dada normal, pergerakan nafas
dalam keadaan statis & dinamis simetris kanan dan
kiri
2. Palpasi : Fremitus taktil simetris kanan dan kiri, fremitus
vokal simetris kanan dan kiri
3. Perkusi : Sonor (+) di seluruh lapang paru
4. Auskultasi : Vesikuler (+/+); Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
JANTUNG
5
1. Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
2. Palpasi : Iktus cordis teraba
3. Perkusi : Batas atas : Sela iga II garis parasternal sinistra
Batas kanan : Sela iga V garis midclavikula
dekstra
Batas kiri : Sela iga V garis axilaris anterior
sinistra
4. Auskultasi : Bunyi Jantung I dan Bunyi Jantung
II Normal, Reguler.
Gallop (-)
Murmur (+) (Pansistolik murmur)
ABDOMEN
1. Inspeksi : Datar, gerak peristaltik usus tidak terlihat,
2. Auskultasi : Bising usus (+) Normal
3. Perkusi : Timpani di seluruh kuadran abdomen
4. Palpasi : Nyeri tekan (-)
pada 4 kuadran abdomen, Lien tidak teraba,
Hebar teraba 3 jari dibawah pertengahan arcus
costa dextra
EKSTREMITAS
Lengan Kanan Kiri
Tonus otot Normal Normal
Massa otot Normal Normal
Sendi Normal Normal
Gerakan Normal Normal
Kekuatan Normal Normal
6
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Tonus otot Normal Normal
Massa otot Normal Normal
Sendi Normal Normal
Gerakan Normal Normal
Kekuatan Normal Normal
Edema - -
Luka - -
Varises - -
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG
Pemeriksaan Radiologi
Jenis Pemeriksaan : Thoraks PA
7
Pemeriksaan Echokardiografi
LA/ RA/ LV : Dilatasi
EF : 56%
MPAP : 80-41=39
TTG : 41
RVP : 51
MVA : 0.5
TAPSE : 17
USG Abdomen
Kesan : Cardiac Liver, Ascites, Suspec Pyelonefritis
8
Pemeriksaan Laboratorium
Jenis
Pemeriksaan02/07/13 Nilai Normal
Hemoglobin 10.9 13,2-17,3
Hematokrit 33 40-52
Leukosit 5920 3800-10600
Thrombosit 189.000 150000-440000
Bilirubin Total 10.60 0.1-1.0
Bilirubin Direct 4.86 0-0.2
Bilirubin
Indirect5.74
SGPT/ALAT 33 duplo 0-35
SGOT/ASAT 75 duplo 0-35
GDS 99 <200
Ureum 82.1 20-40
Kreatinin 1.4 0,17-1,5
Na+ 131 135-147
K+ 4.5 3,8-4,4
Cl- 94 98-108
pH 7.45 7.37-42
PCO2 30 33-44
PO2 164 71-100
HCO3- 20.9
HCO3-std 23.3
Jenis
Pemeriksaan03/07/13 Nilai Normal
LED 21
Hemoglobin 11 13,2-17,3
Hematokrit 33 40-52
Eritrosit 3.1
Leukosit 4630 3800-10600
Thrombosit 132.000 150000-440000
MCV 105
MCH 35
MCHC 34
Basofil 0
Eosinofil 1
Batang 0
9
Segmen 76
Limfosit 20
Monosit 3
Protein total 7.6
Albumin 3.8
Globulin 3.8
Alkali Fosfatase 88
Kolesterol Total 62
Trigliserida 59
Kolesterol HDL 21
Kolesterol LDL 29
Na+ 150 135-147
K+ 3.4 3,8-4,4
Cl- 10.7 98-108
Asam Urat9.4
duplo
10
Jenis
Pemeriksaan04/07/13 Nilai Normal
HBsAgNon
Reaktif
IgM HAVNon
Reaktif13,2-17,3
Anti HCV totalNon
Reaktif40-52
Jenis
Pemeriksaan04/07/13 Nilai Normal
Hemoglobin 11.1 13,2-17,3
Hematokrit 33 40-52
Leukosit 4360 3800-10600
Thrombosit 119.000 150000-440000
PT
25.5
INR:
2.48
Bilirubin Total 10.68 0.1-1.0
Bilirubin Direct 5.37 0-0.2
Bilirubin
Indirect5.31
SGPT/ALAT 24 duplo 0-35
SGOT/ASAT 50 duplo 0-35
Na+ 133 135-147
K+ 3.4 3,8-4,4
Cl- 93 98-108
11
Jenis
Pemeriksaan06/07/13 Nilai Normal
Hemoglobin 11.1 13,2-17,3
Hematokrit 33 40-52
Leukosit 4360 3800-10600
Thrombosit 119.000 150000-440000
PT
25.5
INR:
2.48
Bilirubin Total 10.68 0.1-1.0
Bilirubin Direct 5.37 0-0.2
Bilirubin
Indirect5.31
SGPT/ALAT 24 duplo 0-35
SGOT/ASAT 50 duplo 0-35
Na+ 133 135-147
K+ 3.4 3,8-4,4
Cl- 9398-108
12
Jenis
Pemeriksaan07/07/13 Nilai Normal
Hemoglobin 11.1 13,2-17,3
Hematokrit 33 40-52
Leukosit 4360 3800-10600
Thrombosit 119.000 150000-440000
PT
25.5
INR:
2.48
Bilirubin Total 10.68 0.1-1.0
Bilirubin Direct 5.37 0-0.2
Bilirubin
Indirect5.31
SGPT/ALAT 24 duplo 0-35
SGOT/ASAT 50 duplo 0-35
Na+ 133 135-147
K+ 3.4 3,8-4,4
Cl- 93 98-108
Jenis
Pemeriksaan08/07/13 Nilai Normal
Hemoglobin 11.1 13,2-17,3
Hematokrit 33 40-52
Leukosit 4360 3800-10600
Thrombosit 119.000 150000-440000
PT
25.5
INR:
2.48
Bilirubin Total 10.68 0.1-1.0
Bilirubin Direct 5.37 0-0.2
Bilirubin
Indirect5.31
SGPT/ALAT 24 duplo 0-35
SGOT/ASAT 50 duplo 0-35
Na+ 133 135-147
K+ 3.4 3,8-4,4
Cl- 9398-108
13
Jenis
Pemeriksaan09/07/13 Nilai Normal
Hemoglobin 11.1 13,2-17,3
Hematokrit 33 40-52
Leukosit 4360 3800-10600
Thrombosit 119.000 150000-440000
PT
25.5
INR:
2.48
Bilirubin Total 10.68 0.1-1.0
Bilirubin Direct 5.37 0-0.2
Bilirubin
Indirect5.31
SGPT/ALAT 24 duplo 0-35
SGOT/ASAT 50 duplo 0-35
Na+ 133 135-147
K+ 3.4 3,8-4,4
Cl- 9398-108
14
F. RESUME
Pasien datang ke Poli Jantung RSUD Pasar Rebo dengan keluhan sesak sejak 3
hari SMRS dan sesaknya dirasa terus menerus dan memberat setiap kali beraktifiatas.
Pasien juga mengeluhkan kakinya yang bengkak hingga ke paha dan tidak bisa tidur
karena sering terbangun dimalam hari dalam keadaan sesak, setiap tidur pasien harus
menggunakan lebih dari dua bantal. Pasien juga mengalami mual tetapi tidak disertai
muntah. Buang air kecil berwarna kuning tua, tidak terasa sakit saat BAK atau berpasir.
Buang air besar dalam batas normal.
Sebelumnya, 6 tahun yang lalu pasien sudah didiagnosa memiliki kelainan pada
katup jantungnya
G. DIAGNOSIS KERJA
Congestive Heart Failure ec Mitral Regurgitation
Cardiac Liver
H. PENGKAJIAN MASALAH
Congestive Heart Failure ec Mitral Regurgitation
Atas dasar :
Sering terbangun malam hari karena sesak.
Sesak diperberat saat beraktivitas
Udem pada kedua kaki
JVP meningkat
Terdapat Kelainan katup jantung
Terdapat pembesaran batas jantung pada pemeriksaan fisik
Terdapat Pansistolik murmur
Pada foto rontgen terdapat cardiomegali
Cardiak Liver
Mual15
Ikterik
Hepatomegali
I. TERAPI
Digoksin 1x1
Spirola 1x100
Xocurliv 3x1
Urdahex 3x1
KSR 3x1
Allopurinol 1x100
OBH syr 3x C
Astacor 3x1
Furosemid 1-1-0
Kalmet 2x1
J. PROGNOSIS
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Malam
3. Ad sanationam : Dubia ad malam
16
BAB II
GAGAL JANTUNG KONGESTIF EC REGURGITASI MITRAL EC RHEUMA
JANTUNG
A. GAGAL JANTUNG KONGESTIF
DEFINIS
Gagal jantung kongestif (GJK) merupakan sindroma klinik kompleks yang ditandai
dengan disfungsi ventrikel kanan, kiri atau keduanya dan mengakibatkan terganggunya
regulasi neurohormonal. Sindroma ini disertai intoleransi aktifitas, retensi cairan dan
memendeknya harapan hidup. Gagal jantung kongestif seringkali merupakan stadium
terminal dari penyakit jantung yang terjadi setelah kegagalan mekanisme kompensasi dari
miokardium dan sirkulasi perifer.
Gagal jantung merupakan akibat dari disfungsi miokardium yang mengganggu fungsi
jantung untuk mengedarkan darah keseluruh tubuh yang berakibat pada terganggunnya
kebutuhan metabolic jaringan perifer dan sejumlah organ. Disfungsi miokardium sendiri
dapat disebabkan oleh infark, stress kardiovaskular yang berkepanjangan (hipertensi,
penyakit katup), toksin (penyalahgunaan alcohol) atau infeksi pada beberapa kasus dapat
pula idiopatik.
PATOFISIOLOGI DAN ETIOLOGI
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung akibat
penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif.
Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup dan meningkatkan
volume residu ventrikel.
17
FAKTOR PREDISPOSISI DAN PENCETUS
Faktor Predisposisi
Yang merupakan faktor predisposisi gagal jantung antara lain: hipertensi, penyakit arteri
koroner, kardiomiopati, enyakit pembuluh darah, penyakit jantung kongenital, stenosis
mitral, dan penyakit perikardial.
Faktor Pencetus
Yang merupakan faktor pencetus gagal jantung antara lain: meningkatnya asupan
(intake) garam, ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infak miokard akut,
hipertensi, aritmia akut, infeksi, demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, dan
endokarditis infektif.
B. STENOSIS MITRAL
DEFINISI
Stenosis Mitral merupakan suatu keadaan dimana terjadi gangguan aliran darah dari
atrium kiri melalui katup mitral oleh karena obstruksi pada level katup mitral. Kelainan
struktur mitral ini menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul gangguan pengisian
ventrikel kiri pada saat diastol.
ETIOLOGI
Penyebab tersering adalah endokarditis rheumatika, akibat reaksi yang progresif dari
demam rheumatik oleh infeksi streptococcus. Penyebab lain walaupun jarang dapat juga
stenosis mitral kongenital, deformitas parasub mitral, vegetasi sistemik lupus erytromatosus
(SLE), karsinosis sistematik, deposit amiloid akibat obat fenfluramin/ phantermin, rheumatoid
artritis (RA), serta klasifikasi annulus maupun daun katup pada usia lanjut akibat proses
degeneratif.
18
Beberapa keadaan juga dapat menimbulkan obstruksi aliran darah ke ventrikel kiri seperti
cor triatrium, miksoma atrium serta trombus sehingga menyerupai stenosis mitral.
Dari pasien dengan penyakit jantung katup ini 60% dengan riwayat demam rheumatik,
sisanya menyangkal. Selain dari pada itu 50% pasien dengan karditis rheumatik akut tidak
berlanjut sehingga penyakit jantung secara klinik ( Rahimtoola). Pada kasus kami di klinik
(data tidak dipublikasi) juga terlihat beberapa kasus demam rheumatik akut yang tidak
berlanjut menjadi penyakit jantung katup, walaupun ada diantaranya memberi menifestasi
chorea. Kemungkinan hal ini disebabkan karena pengenalan dini dan terapi antibiotik yang
adekuat.
PATOLOGI
Pada Stenosis Mitral akibat demam rheumatik akan terjadi proses peradangan (valvulitis)
dan pembentukan nodul tipis disepanjang garis penutupan katup. Proses ini akan menimbulkan
fibrosis dan penebalan daun katup, klasifikasi, fusi kommisura, fusi serta pemendekan korda
atau kombinasi dari proses tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan distorsi dari aparatus
mitral yang normal, mengecilnya area katup mitral menjadi seperti bentuk mulut ikan (fish
mouth) atau lubang kancing (button hole).
Fusi dari kommisura akan menimbulkan peyempitan dari orificium primer, sedangkan
fusi korda mengakibatkan penyempitan dari orificium sekunder.
Pada endokarditis rheumatika daun katup dan korda akan mengalami sikatriks dan
kontraktur bersamaan dengan pemendekan korda sehingga menimbulkan penarikan daun katup
menjadi bentuk funnel shaped.
Kalsifikasi biasanya terjadi pada usia lanjut dan biasanya lebih sering pada perempuan
dan pada keadaan gagal ginjal kronik. Apakah proses degeneratif tersebut dapat menimbulkan
gangguan fungsi masih perlu evaluasi lebih jauh, tetapi biasanya ringan.
Proses perubahan patologi sampai terjadinya gejala klinis (periode laten) biasanya
memakan waktu bertahun-tahun (10-20 tahun).
19
PATOFISIOLOGI
Pada keadaan normal area katup mitral mempunyai ukuran 4-6 cm2. Bila area orificium
katup ini berkurang sampai 2cm2, maka diperlukan upaya aktif atrium kiri berupa peningkatan
atrium kiri agar aliran transmitral yang normal tetap terjadi. Stenosis mitral kritis terjadi bila
pembukaan katup berkurang sehingga menjadi 1cm2. Pada tahap ini, dibutuhkan suatu tekanan
atrium kiri sebesar 25mmHg untuk mempertahankan cardiac output yang normal (Swain,
2005).
Gradien transmitral merupakan hall mark Stenosis Mitral selain luasnya area katup
mitral, walaupun Rahimtoola berpendapat bahwa gradien dapat terjadi akibat aliran besar
melalui katup normal atau aliran normal melalui katup sempit. Sebagai akibat kenaikan
tekanan atrium kiri akan diteruskan ke v. Pulmonalis dan seterusnya mengakibatkan kongesti
paru serta keluhan sesak (exertional dyspnea).
Derajat berat ringannya Stenosis Mitral, selain berdasarkan gradien transmitral, dapat
juga ditentukan oleh luasnya area katup mitral, serta hubungan antara lamanya waktu antara
penutupan katup aorta dan kejadian opening snap berdasarkan luasnya area katup mitral derajat
stenosis mitral sebagai berikut.
1. Minimal : Bila area > 2,5 cm2.
2. Ringan : Bila area 1.4- 2.5 cm2.
3. Sedang : Bila area 1-1.4 cm2.
4. Berat : Bila area < 1.0 cm2.
5. Reaktif : Bila area < 1.0 cm2.
Keluhan dan gejala stenosis mitral mulai akan muncul bila luas area katup mitral
menurun sampai setengah dari nilai normal (<2-2.5 cm2). Pada Stenosis Mitral ringan simptom
yang muncul biasanya dicetuskan oleh faktor yang meningkatakan kecepatan aliran atau cirah
jantung atau menurunkan periode pengisian diastol yang akan meningkatkan tekanan atrium
20
kiri secara dramatis. Beberapa diantaranya adalah latihan, stres emosi, infeksi, kehamilan dan
fibrilasi atrium dengan respon ventrikel cepat.
Dengan bertambah sempitnya area mitral maka tekanan atrium kiri akan meningkat
bersamaan dengan progresi keluhan. Apabila area mitral <1cm2 yang berupa Stenosis Mitral
berat maka akan terjadi limitasi dalam aktifitas.
Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada Stenosis Mitral,
dengan patofisiologi yang kompleks. Pada awalnya kenaikan tekanan atau hipertensi pulmonal
terjadi secara pasif akibat kenaikan tekanan atrium kiri. Demikian pula terjadi perubahan pada
vaskular paru berupa vasokonstriksi akibat bahan neurohormonal seperti endotelin atau
perubahan anatomik yaitu remodel akibat hipertrofi tunika media dan penebalan intima
(reaktive hypertention). Kenaikan resistesi arteriolar paru ini sebenarnya merupakan
mekanisme adaptif untuk melindungi paru dari kongesti. Dengan meningkatnya hipertensi
pulmonal ini akan menyebabkan kenaikan tekanan dan volume akhir diastol. Regurgitasi
trikuspid dan pulmonal sekunder dan seterusnya sebagai gagal jantung kanan dan kongesti
sistemik.
PERJALANAN PENYAKIT
Stenosis Mitral merupakan suatu proses progresif kontinyu dan penyakit seumur hidup.
Pada mulanya hanya akan ditemui tanda dari stenosis mitral yang kemudian dengan kurun
waktu 10-20 tahun akan diikuti dengan keluhan, fibrilasi atrium dan akhirnya keluhan
disabilitas.
MANIFESTASI KLINIS
Riwayat
Kebanyakan pasien dengan Stenosis Mitral bebas keluhan dan biasanya keluhan utama
berupa sesak napas, dapat juga fatigue. Pada Stenosis Mitral yang bermakna dapat mengalami
sesak pada aktifitas sehari-hari, paroksismal nokturnal dispnea, ortopnea atau edema paru yang 21
tegas. Hal ini akan dicetuskan oleh berbagai keadaan meningkatnya aliran darah melalui mitral
atau menurunnya waktu pengisian diastol, termasuk latihan, emosi, infeksi respirasi, demam,
aktivitas seksual, kehamilan serta fibrilasi atrium dengan respon ventrikel cepat.
Fatigue juga merupakan keluhan umu pada Stenosis Mitral. Wood menyatakan bahwa
pada kenaikan resistensi vaskular paru lebih jarang mengalami paroksismal nokturnal dispnea
atau ortopnea, oleh karena vaskular tersebut akan menghalangi sirkulasi pada daeraj proksimal
kapiler paru. Hal ini mencegah kenaikan dramatis dari tekanan v. Pulmonalis tetapi tentunya
dalam situasi curah jantung rendah. Oleh karena itu simptom kongesti paru akan digantikan
oleh keluhan fatigue akibat rendahnya curah jantung pada aktifitas dan edema perifer.
Katup Mitral (juga disebut sebagai katup bicuspid / katup atrioventrikuler kiri)
merupakan katup yang ada di dalam jantung yang terdiri dari dua daun katup. Katup mitral
merupakan katup jantung yang memisahkan antara serambi kiri dan bilik kiri. Katup mitral
dan katup trikuspid merupakan katup atrioventricular karena terletak diantara serambi dan
bilik jantung dan keduanya mengendalikan laju aliran darah.
Saat diastole, katup mitral yang berfungsi normal akan membuka akibat tekanan yang
meningkat dari atrium kiri yang terisi oleh darah (preload). Ketika tekanan atrium meningkat
di atas ventrikel kiri, katup mitral membuka sehingga darah mengalir secara pasif menuju
ventrikel kiri. Diastole berakhir saat kontraksi atriummemompa 20% darah sisa dari atrium
kiri ke ventrikel kiri, yang disebut sebagai end diastolic volume (EDV), dan katup mitral
menutup saat akhir dari kontraksi atrium untuk mencegah agar aliran darah tidak kembali ke
jantung
ANATOMI
22
Katup Mitral (bicuspid valve) Letaknya di Jantung (antara Atrium dan Ventrikel Kiri)
Rata2 ukuran katup mitral adalah 4–6 cm². Katup mitral memiliki dua daun
katup/leaflet (anteromedial leafletdan posterolateral leaflet). Katup dibatasi oleh cincin
katup yang dinamakan mitral valve annulus. Katupanterior melingkupi 2/3 area katup mitral,
dan sisanya oleh katup posterior. Katup katup ini dijaga oleh tendon yang melekat di
bagian posterior katup, mencegah agar katup tidak prolaps. Tendon ini dinamakan chordae
tendineae.
Chordae tendineae menempel ujungnya pada otot papilaris (papillary muscles) dan pada
katup. Otot papilaris sendiri merupakan penonjolan dari dinding ventrikel kiri. Ketika
ventrikel kiri berkontraksi , tekanan intraventrikuler memaksa katup mitral untuk menutup.
Tendon menjaga agar leaflet tetap sejajar satu sama lain dan tidak bocor ke arah atrium.
FISIOLOGI NORMAL
Saat diastole ventrikel kiri, setelah tekanan berkurang di ventrikel kiri karena relaksasi
otot ventrikel , katup mitral membuka dan darah dari atrium kiri mengalir menuju ventrikel
kiri.sebanyak 70-80% darah mengalir melalui fase early filling dari ventrikel kiri (bergerak
karena perbedaan tekanan).
Kontraksi dari atrium kiri (left atrial systole) yang bersamaan dengan diastole ventrikel
kiri, menyebabkan sisa darah yang masih ada di atrium kiri segera mengalir ke ventrikel kiri.
Ini juga disebut sebagai atrial kick.
23
Annulus / cincin dari katup berubah-ubah bentuk dan ukurannya saat siklus jantung
berlangsung. Bentuknya mengecil saat sistol atrium karena kontraksi atrium kiri. Gangguan
pada annulus, katup dan struktur penyangga katup mitral dapat membuat katup mitral bocor
(regurgitasi/insufisiensi) atau menyempit (stenosis).
DEFINISI
Keadaan dimana ditemukan perubahan struktur apparatus katup mitral sehingga menyebabkan aliran darah dari bilik kiri kembali ke atrium kiri.
Timbulnya Aliran Darah Dari Bilik Kiri Kembali Ke Atrium Kiri
PATOFISIOLOGI
Regurgitasi mitral dapat disebabkan oleh penyakit organik seperti demam Rheumam
ruptur corda tendinea, degenerasi miksima, perforasi daun atau gangguan fungsional berupa
dilatasi anular, disfungsi fokal otot jantung atau keduanya.
FASE AKUT
24
Regurgitasi akut ditandai dengan peningkatan preload dan penurunan afterload
menyebabkan meningkatnya volume end diastolik dan menurunkan volume end sistolik. Hal
ini menyebabkan peningkatan pada volume total curah jantung. Akan tetapi sebagian besar
volume tersebut menghilang menjadi volume regurgitasi sebagai akibatnya hal ini
menyebabkan peningkatan tekanan pada atrium.
Regurgitasi Mitral Akut dengan riwayat penyakit jantung koroner dan infark miokard
akut (terutama, infark miokard inferior yang dapat menyebabkan disfungsi Musculus
Papilaris). Regurgitasi Mitral akut yang signifikan dibarengi dengan gejala gangguan
ventrikel kiri seperti dyspnea, fatigue dan orthopnoe. Pada keadaan ini sering terjadi edema
paru karena terjadinya overload yang cepat pada atrium kiri dan sistem vena pulmonal.
FASE KRONIK TERKOMPENSASI
Pada Regurgitasi mitral kronik terkompensasi atrium dan ventrikel kiri memiliki waktu
yang cukup untuk berdilatasi dan mengakomodasi volume regurgitasi. Karena itu pada
keadaan ini sering didapati tekanan pada atrium kiri sering kali normal atau sedikit
meningkat. Karena terdapat pembesaran ventrikel kiri melalui hipertropi eksentrik maka
volume total curah jantung dapat dikendalikan. Pada keadaan ini ventrikel kiri akan terus
membesar secara progresif, maka anulus mitral akan tertarik dan mencegah daun katup mitral
untuk menutup sempurna pada keadaan sistol, dan hal ini akan memperberat regurgitasi dan
dilatasi ventrikel.
Pada Regurgitasi Mitral Kronik seringkali merupakan kelainan primer pada katup mitral
dengan pembesaran yang progresif perlahan dari atrium dan ventrikel kiri. Pada keadaan ini
pasien dapat asimptomatik selama bertahun-tahun.
Pasien dapat memiliki toleransi aktifitas yang normal hingga terjadinya gangguan
disfungsi sistolik dari ventrikel kiri, pada keadaan ini pasien akan mulai mengalami gejala
berupa fatigue, orthopnoe dan sesak yang disebabkan menurunnya aliran curah jantung.
Seiring dengan waktu, pasien dapat mengeluhkan rasa berdebar-debar jika terdapat Atrial
Fibrilasi sebagai akibat dari dilatasi atrium kronik.25
Pasien dengan pembesaran ventrikel kiri dan dengan kondisi yang lebih berat pada
akhirnya akan berkembang menjadi gagal jantung kongestif dengan kongestif pulmonal dan
edema. Pada tahap ini seringkali disfungsi otot jantung bersifat ireversible.
FASE KRONIK DEKOMPENSASI
Pada fase ini sudah terjadi disfungsi otot jantung, yang berakibat pada volume total curah
jantung dan forward stroke volume (meskipun fraksi ejeksi masih normal). Hal ini
mengakibatkan tingginya volume end sistolik dan diastolik, yang kemudian mempengaruhi
peningkatan tekanan ventrikel dan atrium kiri, yang berakibat pada edema paru hingga shock
kardiogenik.
KLASIFIKASI
Klasifikasi pada Mitral Regurgitasi
C. DEMAM RHEUMA
PATOGENESIS
26
Meskipun sampai sekarang ada hal-hal yang belum jelas, tetapi ada penelitian yang
mendapatkan bahwa DR yang mengakibatkan PJR terjadi akibat sensitisasi dari antigen
Streptokokus sesudah 1-4 minggu infeksi Streptokokus di faring. Lebih kurang 95% pasien
menunjukan peninggian titer antistreptoksin O (AST), antidiokserebonukleat B (anti DNA-
ase B) yang merupakan dua macam tes yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman SGA.
(Pattaroyo, 1979)
Faktor-faktor yang diduga terjadinya komplikasi pasca Streptokokus ini
kemungkinan utama adalah pertama Virulensi dan Antigenesitas Stretokokus, dan kedua
besarnya response umum dari Host dan persistensi organisme yang menginfeksi faring
(Morehead, 1965). Risiko untuk kambuh sesudah pernah mendapat serangan Streptokokus
adalah 50%-60%. Robbins dkk. 1981 mendapatkan tidak adanya predisposisi genetik.
Sedangkan Moreheid 1965 manganggap pada mulanya factor predisposisi genetic mungkin
penting.
Penelitian-penelitian lain kebanyakan menyokong mekanisme autoimunitas atas
dasar reaksi antigen antibody terhadap antigen Streptokokus. Salah satu antigen tersebut
adalah protein M Streptokokus. Pada serum pasien DR akut dapat ditemukan antibody dan
antigen. Antibodi yang terbentuk bukan bersifat kekebalan. Dan reaksi ini dapat ditemukan
pada miokard, otot skelet, dan sel otot polos. Dengan imunoflorensensi dapat ditemukan
imunoglobulinnya dan komplemen pada sarkolema miokard
MORFOLOGI
Lesi yang patognomomik DR adalah Badan Aschoff sebagai diagnostik histopatologik.
Sering ditemukan juga pada saat tidak adanya tanda-tanda keaktifan kelainan jantung, dan
dapat bertahan lama setelah tanda-tanda gambaran klinis menghilang, atau masih ada
keaktifan laten. Badan Aschoff ini umumnya terdapat pada septumfibrosa intervaskular,
dijaringan ikat periaskular dan didaerah subendotelial. Pada PJR biasanya terkena ketiga
lapisan endokard miokard dan perikard secara bersamaan atau sendiri-sendiri atau kombinasi.
27
Pada endokard yang terkena utama adalah katup-katup jantung dan 50%
mengenai katup mitral. Pada keadaan dini DR akut katup-katup yang terkena ini akan merah ,
edema dan menebal dengan vegetasi yang disebut sebagai Verucceae. Setelah agak tenang
katup-katup yang terkena menjadi tebal, fibrotik, pendek dan tumpul yang menimbulkan
stenosis, (Morehead, 1965).
MANIFESTASI KLINIS
DR/PJR yang kita kenal sekarang merupakan kumpulan gejala terpisah-pisah dan
kemudian menjadi suatu penyakit DR/PJR. Adapun gejala-gejala itu adalah:
Artritis
Artritis adalah gejala major yang sering ditemukan pada DR akut (Majeed H.A 1992).
Sendi yang dikenai berpindah-pindah tanpa cacat yang biasanya adalah sendi besar seperti
lutut, pergelangan kaki, paha, lengan, panggul, siku dan bahu. Munculnya tiba-tiba dengan
rasa nyeri yang meningkat 12-24 jam yang diikuti dengan reaksi radang. Nyeri ini akan
menghilang secara perlahan-lahan.
Radang sendi ini jarang yang menetap lebih dari satu minggu sehingga terlihat
sembuh sempurna. Proses migrasi artritis ini membutuhkan waktu 3-6 minggu. Sendi-sendi
kecil jari tangan dan kaki juga dapat dikenai. Pengobatan dengan aspirin dapat merupakan
diagnosis terapetik pada atritis yang sangat bermanfaat. Bila tidak membaik dalam 24-27
jam, maka diagnosis akan diragukan.
Karditis
Karditis merupakan maniestasi klinis yang penting dengan insidens 40-50% (Majeed HA
1992), atau berlanjut dengan gejala yang lebih berat yaitu gagal jantung. Kadang-kadang
karditis itu asimtomatik dan terdeteksi saat adanya nyeri sendi. Karditis ini bisa hanya
mengenai endokardium saja. Endokarditis terdeteksi saat adanya bising jantung. Katup
mitrallah yang terbanyak dikenai dan dapat bersamaan dengan katup aorta. Katup aorta
sendiri jarang dikenai. Adanya regurgitasi mitral ditemukan dengan bising sistolik yang
28
menjalar ke aksila, dan kadang-kadang juga disertai bising mid-diastolik (bising Carey
coombs). Dengan dua dimensi ekokardiografi dapat mengevaluasi kelainan anatomi jantung
sedangkan dengan Doppler dapat menentukan fungsi dari jantung. (Massel, 1958).
Miokarditis dapat bersamaan dengan endokarditis sehingga terdapat kardiomegali atau gagal
jantung. Perikarditis tak akan berdiri sendiri, biasanya pankarditis.
Chorea
Chorea ini didapatkan 10% dari DR (Stasser, 1978) yang dapat merupakan manifestasi
klinis sendiri atau bersamaan dengan karditis. Masa laten infeksi SGA dengan chorea cukup
lama yaitu 2-6 bulan atau lebih. Lebih sering dikenai pada perempuan pada umur 8-12 tahun.
Dan gejala ini muncul selama 3-4 bulan. Dapat juga ditemukan pada anak ini suatu emosi
yang labil dimana anak ini suka menyendiri dan kurang perhatian terhadap lingkungan
sendiri. Gerakan-gerakan tanpa disadari akan ditemukan pada wajah dan anggota-anggota
gerak tubuh yang biasanya unilateral. Dan gerakan ini menghilang saat tidur.
Eritema Marginatum
Eritema Marginatum ini ditemukan kira-kira 5% dari pasien DR, dan berlangsung
berminggu-minggu dan berbulan, tidak nyeri dan tidak gatal.
Nodul Subkutanius
Besarnya kira-kira 0,5-2 cm, bundar, terbatas dan tidak nyeri tekan. Demam pada DR
tidak khas, yang jarang menjadi keluhan pertama oleh pasien DR ini (Stasser, 1981) Pada
penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti-peneliti di berbagai negara, dari manifestasi klinis
DR yang dilaporkan oleh Committee of Rematic Fever tahun 1992 dan penelitian sendiri
dapat dilihat seperti tabel 3.
UPAYA PEMERIKSAAN LABORATORIUM
29
Pemeriksaan adanya infeksi kuman Streptokokusus Grup A sangat membantu diagnosis
DR yaitu:
Pada saat sebelum ditemukan infeksi SGA.
Pada saat ditemukan atau menetapnya proses infeksi SGA tersebut.
Untuk menetapkan ada atau pernah adanya infeksi kuman SGA ini dapat dideteksi:
Dengan hapusan tenggorokan pada saat akut. Biasanya kultur SGA negatif pada
fase akut itu. Bila positif inipun belum pasti membantu diagnosis sebab kemungkinan akibat
kekambuhan dari kuman SGA itu atau infeksi Streptokokus dengan strain yang lain.
Tetapi antibodi Sterptokokus lebih menjelaskan adanya infeksi Streptokokus
dengan adanya kenaikan titer ASTO dan anti DNA-se Terbentuknya antibodi-antibodi ini
sangat dipengaruhi oleh umur dan lingkungan.Titer ASTO positif bila besarnya 120 Todd
pada orang dewasa dan 320 Todd pada anak-anak, sedangkan titer pada DNA-se B 120 Todd
untuk orang dewasa dan 240 Todd untuk anak-anak. Dan antibodi ini dapat terdeteksi pada
minggu kedua sampai minggu ketiga setelah fase akut DR atau 4-5 minggu setelah infeksi
kuman SGA di tenggorokan (Whitnack F dkk 1985). Untuk inilah pencegahan sekunder
dilakukan tiap 3-5 minggu (Stollerman, 1961). Pada fase akut ditemukan lekositosis, laju
endapan darah yang meningkat, protein C-reactive, mukoprotein serum. Laju endapan darah
dan protein C-reactive yang tersering diperiksa dan selalu meningkat atau positif saat fase
akut dan tidak dipengaruhi oleh obat-obat antireumatik. (Taranta & Moody, 1971)
Anemia yang ringan sering ditemukan adalah anemia normositer normokrom karena
infeksi kronis DR. Dengan kortikosteroid anemia dapat diperbaiki. Tidak ada pola yang khas
dari EKG pada DR dengan karditis. Adanya bising sistolik dapat dibantu dengan kelainan
EKG berupa interval PR yang memanjang atau perubahan patern ST-T yang tidak spesifik
(Wahab, 1980)
UPAYA-UPAYA DIAGNOSTIK
30
Diagnosis DR akut didasarkan pada manifestasi klinis, bukan hanya pada simton, gejala
atau kelainan laboratorium patognomonis. Pada tahun 1944 Jones menetapkan kriteria
diagnosis atas dasar beberapa sifat dan gejala saja. Setelah itu kriteria ini dimodifikasi pada
tahun 1955 dan selanjutnya direfisi 1965, 1984 dan terakhir 1992 oleh AHA sebagai berikut:
Ditambah: bukti-bukti adanya suatu infeksi Sreptokokus sebelumnya
yaitu hapusan tenggorokan yang positif atau kenaikan titer tes serologi ASTO dan anti
DNA-se B. Terutama pada anak/dewasa muda aloanamnesa pada orang tua dan keluarga
sangat diperlukan.
Bila terdapat adanya infeksi Streptokokus sebelumnya maka diagnosis DR/PJR
didasarkan atas adanya:
1. Dua gejala mayor atau
2. Satu gejala mayor dengan dua gejala minor
Sedangkan penyediaan fasilitas pemeriksaan kuman Streptokokus belum meluas maka
manifestasi klinis diatas harus dijadikan pegangan penyakit-penyakit lain seperti rematoid
artritis, pegal-pegal kaki infeksi virus, kelainan jantung bawaan dan lain-lain.
PERJALANAN PENYAKIT
Manifestasi DR sangat bervariasi, tetapi umumnya muncul dengan bermacam-macam
manifestasi klinis. Dan biasanya dengan berbagai manifestasi klinis yang sukar ditentukan
pada saat pasien datang pertama kali berobat. Masa laten infeksi Streptokokus dengan
munculnya DR atau cukup singkat bila ada atritis dan eritema marginatum dan akan lebih
lama dengan chorea, sedangkan karditis dengan nodul subkutan diantaranya.
Lamanya DR aku jarang melebihi 3 bulan. Tetapi bila ada karditis yang berat
biasanya klinis DR akut akan berlangsung 6 bulan atau lebih. (Taranta, 1964; Majeed, 1992
Gejala Karditis akan ditemukan pada tiga bulan pertama dari 93% pasien DR akut. (Mc
Intosch dkk. 1935, Rossentha, 1968)
31
Kadang-kadang karditis dapat juga terjadi pertama kali serangan DR akut pada
umur >25 tahun. Bila ringan akan sembuh, tetapi bila karditis yang disertai demam dan
takikardia sering berlanjut dengan (3) kardiomegali dan menetap dan bising-bising katup
akan terdengar. Dan (4) dekompensatio kordis dapat terjadi selama karditis masih aktif.
PROGNOSIS
DR tidak akan kambuh bila infeksi Sterptokokus diatasi. Prognosis sangat baik bila
kraditis sembuh pada saat permulaan serangan akut DR. Selama 5 tahun pertama perjalanan
penyakit DR dan PJR tidak membaik bila bising organik katup tidak menghilang, (Feinsten
AR dkk, 1964). Prognosis memburuk bila gejala karditisnya lebih berat, dan ternyata DR
akut dengan Payah jantung akan sembuh 30% pada 5 tahun pertama dan 40% setelah 10
tahun. Dari data penyembuhan ini akan bertambah bila pengobatan pencegahan sekunder
dilakukan secara baik. Ada penelitian melaporkan bahwa stenosis mitralis sangat tergantung
pada beratnya karditis, sehingga kerusakan katup mitral selama 5 tahun pertama sangat
mempengaruhi angka kematian DR ini. (Irvington House Grup & U.K and U.S 1965).
Penelitian selama 10 tahun yang mereka lakukan menemukan adanya kelompok lain
terutama kelompok perempuan dengan kelainan mitral ringan yang menimbulkan payah
jantung yang berat tanpa diketahui adanya kekambuhan DR atau infeksi Streptokokus.
(Stresser, 1978)
KEKAMBUHAN
Serangan pertama DR biasanya terjadi pada daerah wabah faringitis streptokokus yaitu
sebanyak 3%, sedangkan pasien yang pernah mendapat serangan DR akut sebelumnya akan
didapatkan 15% (Taranta dkk, 1970). Dari Irvington House Studyf (Wood, dkk 1964,
American Heart Asscosiationf 1988) melaporkan bahwa serangan reumatik pada tiap infeksi
Streptokokus pada anak-anak menurun sebanyak 23% menjadi 11% selama 1-5 tahun
sesudah serangan pertama DR. Kekambuhan akan berkurang tergantung pada lamanya
serangan terakhir. Faktor yang mendasar yang menyebabkan meningkatnya serangan
32
reumatik juga tergantung pada gejala sisa dari pada PJR. Studi ini melaporkan PJR dengan
kardiomegali 43% sedangkan PJR tanpa kardiomegali 27% dan tanpa kelainan jantung 10%.
(Taranta, 1964).
Faktor lain yang mempengaruhi kekambuhan ini sangat tergantung pada reaksi
imun dengan infeksi Sterptokokus yang dibuktikan dengan meningkatnya titer ASTO.
Umumnya serangan DR dibuktikan jga dengan ditemukan rematogenik strain Streptokokus
grup A. (Stollerman dkk, 1990)
(Bisno dkk, 1977). Studi Framingham (Goetzner dkk, 1985) selama 30 tahun
dengan penelitian cohort-control study groupf dari kasus-kasus PJR terdapat penurunan yang
tajam dari kematian pada studi karena seranga yang berulang dari PJR yang diobati dengan
cara pencegahan sekunder. Pada PJR angka kehidupan hanya kurang 40% sedangkan pada
DR tanpa PJR lebih dari 40%. Di Amerika kelainan klinis DR/PJR akan bertambah baik bila
pencegahan sekunder dilaksanakan seumur hidupnya. Karena mereka melaporkan dari
Amerika masih ditemukan kasus DR/PJRpada usia tua sehingga menjadi kelompok penyakit
lanjut usia. (Denny dkk, 1950;W.H.O, 1966,1988). Pengalaman kami di Bagian Ilmu
Penyakit Dalam 1978-1998 (20tahun) didapatkan penurunan insidensi DR/PJR dari 31,4%
menjadi 12,2% dari 182 pasien DR/PJR.
UPAYA PENCEGAHAN SERANGAN ULANG DR
Bila seorang pasien DR akut telah sembuh, maka masalah utama adalah pencegahan
sekunder. Kita tidak mempersoalkan bagaimanapun ringan atau beratnya serangan pertama,
namun kerentanan penyakit ini sangat tinggi sehingga serangan berulang-ulang dapat timbul
kembali. Kekerapan penyakit ini sudah menurun dalam 25 tahun terakhir ini di Amerika dan
Eropa. Di mana keadaan ini sebagian besar disebabkan oleh pencegahan sekunder yang telah
dilaksanakan. Dari penelitian Irvington house f 1954 diketahui bahwa dengan parental
Penisislin G lah yang palin baik diantara tiga obat pencegahan yang dicobakan yauitu
Sulfadiazin. Oral penisislin G dan suntikan benzatin penisislin G setiap bulan. (W.H.O,1966)
33
Keunggulan cara ini (Markowitz, 1985) mungkin disebabkan oleh:
Kunjungan sekali sebulan yang mendapat pencegahan sekunder itu dipatuhi dan
kesediaan obat lebih terjamin dalam depot obat. (Wannamaker, 1951)
Absorpsi obat dari otot mungkin lebih lengkap dari pada di usus.
Yang terpenting kadar terapetik penisislin cukup untuk menghilangkan setiap
interccurent Sterptokokus selama satu minggu dari tiap interval 4 minggu.
Sesuai dengan laporan dari Intersociaty Commition for Heart Disease Resourcesf (AHA,
1988) bahwa semua pasien yang sembuh dari DR akut diberikan suatu pencegahan sekunder
dengan atau tanpa karditis. Sehinga serangan ulang dapat dicegah. Tentang lamanya
pencegahan belum ada kata sepakat sampai saat ini. Ternyata bahwa kekerapan serangan-
serangan berulang pada usia dewasa, tetapi serangan akut ini masih ditemukan pada usia 20
dan 30 tahun. Tentu tidaklah bijaksana bila mengandalkan pengobatan infeksi Sterptokokus
dengan antibiotika saja, sedangkan pencegahan sekunder terus-menerus dipertahankan untuk
waktu yang tidak ditentukan (Taranta, 1981). Dari itu pencegahan sekunder perlu disesuaikan
dengan lingkungan, cuaca, umur, pekerjaan, keadaan rumah tangga, dan keadaan jantung itu
sendiri yang sangat berpengaruh terhadap timbulnya resiko serangan berulang. (Charmey,
1968;Bravo, 1979;Brown, 1951; Davies, 1973)
UPAYA PENGENDALIAN DR/PJR/ERADIKASI
Untuk ini perlu dipahami riwayat alamiah penyakit ini, walaupun ada beberapa aspek
patogenesis DR yang belum diterangkan seluruhnya (Reyes, 1975). Di mana perlu diajukan
suatu konsep sehingga pencegahan sekunder ini dilaksanakan. Dari cara ini dapat dilakukan
interfensi siklus reinfeksi Sterpotokokus pada pasien dengan atau pernah menderita DR/PJR.
(Committe on Rheumatic Fever, 1955). Untuk pengendalian dan pelaksanaan pencegahan
sekunder DR dan atau PJR dilapagan maka diperlukan konsep intervensi siklus reinfeksi
Sretptokokus dari tiap pasien yang datang berobat.
Pencegahan sekunder adalah usaha mencegah terjadinya infeksi kuman SGA pada
pasien-pasien yang pernah DR dan PJR. Pencegahan ini dilakukan dalam jangka lama, yang
memerlukan kesabaran baik pasien., petugas kesehatan ataupun dokter. Mengingat DR dan 34
PJR menyebabkan cacat seumur hidup pada jantung. Dan cacat tersebut menyebabkan umur
harapan hidup berkurang.
Untuk menunjang keberhasilan pengendalian atau eradikasi DR/PJR yaitu dengan
pencegahan sekunder sangatlah tergantung pada:
Cara pemberian obat
Diperlukan keyakinan dan ketaatan pasien untuk pencegahan sekunder ini secara
spontan dan penuh pengertian.
Pendidikan orang tua merupakan faktor penting akan ketaatan melakukan
pencegahan ini
Keadaan sosioekonomi bagi pasien atau keluarga
Jarak antara tempat tinggal dan Rumah Sakit
Manifestasi klinis waktu pasien masuk ke Rumah Sakit juga mempengaruhi
ketaatan untuk melakukan pencegahan
Terhadap semua dokter, tenaga kesehatan dapat menegenal dan melaksanakan
pencegahan sekunder ini
DAFTAR PUSTAKA
35
1. Sudoyo AW, dkk. Buku Ajar IlmuPenyakit Dalam. Jilid III Edisi V.Jakarta: Internal
Publishing, pp: 1110
2. Crawford, Michael H. Current Medical Diagnosis and Treatment Cardiology. 3rd ed.
Philadelphia: Mc Graw Hill Lange. 2013
3. http://www.bedahjantung.org/2012/12/kelainan-katup-mitral-jantung.html
4. Lauralee Sherwood, Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem, Edisi 6,Jakarta, 2012
5. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit ed 6 volume I.
2006.
6. http://emedicine.medscape.com/article/758816-overview
7. Sloane, Ethel. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta. 2004
36