bab iv hasil penelitian dan pembahasan 1. gambaran umum lokasi penelitian...

69
53 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Desa Torosiaje Desa Torosiaje merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Popayato Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo. Sebelum era otonomi wilayah ini merupakan bagian dari kabupaten Gorontalo. Pada tahun 1999 Kabupaten Gorontalo dimekarkan menjadi 2 Kabupaten dan Desa Torosiaje menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Bualemo. Perkembangan selanjutnya yaitu pada tahun 2004 Kabupaten Bualemo dimekarkan kembali dan Desa Torosiaje menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Pohuwato. Dinamika perubahan administrasi wilayah ini juga memiliki pengaruh terhadap Desa Torosiaje itu sendiri. Sejak awal terbentuknya Desa Torosiaje memiliki dua wilayah yang dihuni oleh mayoritas masyarakat Bajo yakni wilayah dataran yang berada di pantai dan wilayah perairan yang berada di laut. Namun mulai tahun 2005 Desa Torosiaje terbagi menjadi 2 wilayah administrasi yakni Desa Torosiaje Jaya yang terletak di dataran dan Desa Torosiaje yang terletak di perairan (Laut). Sedangkan Desa Torosiaje terdiri dari 2 dusun yaitu Dusun Mutiara dan Dusun Bahari Jaya. Kedua dusun ini dibatasi oleh sebuah jembatan sebagai pintu masuk dan keluar Desa Torosiaje.

Upload: nguyennhan

Post on 06-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

53

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Letak Geografis Desa Torosiaje

Desa Torosiaje merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan

Popayato Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo. Sebelum era otonomi

wilayah ini merupakan bagian dari kabupaten Gorontalo. Pada tahun 1999

Kabupaten Gorontalo dimekarkan menjadi 2 Kabupaten dan Desa Torosiaje

menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Bualemo. Perkembangan selanjutnya

yaitu pada tahun 2004 Kabupaten Bualemo dimekarkan kembali dan Desa

Torosiaje menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Pohuwato.

Dinamika perubahan administrasi wilayah ini juga memiliki pengaruh

terhadap Desa Torosiaje itu sendiri. Sejak awal terbentuknya Desa Torosiaje

memiliki dua wilayah yang dihuni oleh mayoritas masyarakat Bajo yakni

wilayah dataran yang berada di pantai dan wilayah perairan yang berada di

laut. Namun mulai tahun 2005 Desa Torosiaje terbagi menjadi 2 wilayah

administrasi yakni Desa Torosiaje Jaya yang terletak di dataran dan Desa

Torosiaje yang terletak di perairan (Laut). Sedangkan Desa Torosiaje terdiri

dari 2 dusun yaitu Dusun Mutiara dan Dusun Bahari Jaya. Kedua dusun ini

dibatasi oleh sebuah jembatan sebagai pintu masuk dan keluar Desa Torosiaje.

54

Menilik peta wilayah Provinsi Gorontalo, Desa Torosiaje merupakan

sebuah desa yang letaknya berada di sebuah tanjung (bagian pantai atau

daratan yang menjorok ke laut). Di sisi kanan dan kiri diapit oleh dua buah

sungai yaitu sungai Popayato dan sungai Dudeulo. Di depan wilayah ini juga

terdapat dua buah pulau yaitu pulau iloluta dan pulau ilosangi, namun

masyarakat Bajo hanya menamakan pulau besar dan pulau kecil.

2. Luas Wilayah

Desa Torosiaje memiliki wilayah antara lain:

a) Dibagian utara, timur dan barat berbatarasn dengan Desa Popayato

b) Pada bagian barat berbatasan dengan desa Dudeuwo dan teluk Lepa-lepoa

dan

c) Sebelah selatan berbatasan dengan laut atau teluk tomini.

Sejauh ± 1 km di sebelah utara dari perbatasan Desa Torosiaje

membentang jalur jalan trans Sulawesi Tengah dengan Provinsi Gorontalo.

Jalur jalan yang telah beraspal serta kondisinya cukup baik itu sangat

mempermudah hubungan antara Ibukota Kecamatan Popayato dengan Desa

Torosiaje yang jaraknya 7 km yang dapat ditempuh selama ± 20 menit dengan

menggunakan kendaraan bermotor. Begitu pula dengan Ibukota Kabupaten

Pohuwato yang jaraknya 72 km dari Desa Torosiaje. Perjalanan lewat jalan

55

darat ini dapat ditempuh dengan waktu ± 2 jam dengan menggunakan

kendaraan bermotor atau mobil.

Secara giografis Desa Torosiaje berada pada perairan laut dangkal dengan

kedalaman 0.5-2 meter. Namun demikian diwilayah pantai, tercatat bahwa

ketinggian tempat berada pada ± 3 meter dari permukaan air laut. Iklim dan

konsisi geografis yang demikian menyebabkan suhu rata-rata harian tercatat

sebesar 320 Celcius.

2. Keadaan Penduduk

1. Penduduk Menurut Umur

Secara teoritis bahwa penduduk Negara berkembang seperti Indonesia

termasuk ke dalam penduduk muda, namun apakah hal tersebut berlaku

pula untuk wilayah yang relatif kecil seperti Desa Torosiaje? Dalam

menentukan penggolongan tersebut, indikator yang digunakan adalah:

Umur Penduduk Tua Penduduk Muda

0-14 ≤ 30 % ≥ 40 %

15-64 ≥ 60 % ≤ 55 %

65 + ≥ 10 % ≤ 5 %

Tabel 1: Berikut ini disajikan data penduduk menurut umur Desa Torosiaje.

No Kelompok Umur L P Jumlah

1 0-4 55 50 105

56

2 5-9 74 84 158

3 10-14 80 84 164

4 15-19 49 68 177

5 20-24 60 55 115

6 25-29 54 52 106

7 30-34 60 64 124

8 35-39 52 82 134

9 40-44 46 39 85

10 45-49 28 38 66

11 50-54 21 20 41

12 55-59 13 9 22

13 60-64 15 14 29

14 65 34 38 72

Total 641 676 1.317

Sumber : Potensi Desa Torosiaje 2011

Melihat struktur penduduk Desa Torosiaje tersebut, penduduk pada

umur 0-14 sebesar 14,35 persen dan penduduk dan penduduk ada umur 15-

65 tahun sebesar 84 persen. Maka dapat disimpulkan bahwa penduduk

Desa Torosiaje tergolong penduduk tua sesuai dengan kriteria yang

disebutkan diatas.

Angka beban ketergantungan memberikan informasi tentang

perbandingan antara banyaknya orang yang tidak produktif dengan

banyaknya orang yang termasuk usia produktif. Besarnya angka beban

57

ketergantungan penduduk Desa Torosiaje sebesar 19. Hal ini menunjukan

bahwa setiap 100 orang yang produktif harus menanggung 19 orang yang

tidak produktif.

2. Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Indikator kemajuan suatu wilayah dapat diukur dengan melihat tingkat

pendidikan maupun partisipasi masyarakatnnya untuk memperoleh serta

mengembangkan ilmu pengetahuan. Bagi masyarakat dan keluarga

pendidikan memiliki peranan yang cukup penting dalam menghadapi era

keterbukaan dan persaingan kehidupan yang semakin kompleks.

Perbandingan yang cukup signifikan terlihat antara tamatan SD dengan

tamatan SLTP/SLTA bakan sarjana. Walaupun kesadaran untuk

menyekolahkan anaknya saat ini telah menunjukan peningkatan, namun

peningkatan tersebut belum lama terjadi apabila dibandingkan dengan

keberadaan sarana pendidikan yang berupa SD Torosiaje yang telah ada

sejak tahun 1952. Salah satu yang menjadi hambatan adalah belum

tersediannya SLTP serta sarana pendidikan yang lebih tinggi di Desa

Torosiaje. Apabila masyarakat Desa Torosiaje ingin belajar lebih tinggi

lagi, maka selain kemauan juga biaya yang cukup besar untuk dapat

memenuhi kebutuhan pendidikannya di luar desa. Hal ini hanya dapat

dilakukan bagi mereka yang mampu.

58

Tabel 2: Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Desa Torosiaje

2011

No Jenjang Pendidikan Jumlah Persentase

1. Belum Sekolah 105 6,11

2 Tidak Tamat 580 11,93

3 Tamat SD/Sederajat 592 76,14

4 Tamat SLTP/Sederajat 35 3,24

5 Tamat SLTA/Sederajat 2 2,12

6 Tamat Akademi/Diploma 3 0,89

Total 1.317 100,00

Sumber : Potensi Desa Torosiaje Tahun 2011

Keterkaitan antara pendidikan dengan faktor ekonomi menjadi

semacam persyaratan, artinya bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan

seseorang maka semakin tinggi pula kemungkinan untuk berhasil dalam

bidang ekonomi yang diukur dengan semakin besar pendapatannya.

Pendidikan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tidak terbatas pada

pendidikan formal di sekolah saja, namun pendidikan-pendidikan non

formal yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan telah

menyediakan fasilitas untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tersebut.

3. Penduduk Menurut Mata Pencarian

Sebagai komunitas yang berbeda di wilayah perairan, maka mayoritas

masyarakatnya memiliki mata pencarian yang bertumpu pada kondisi laut.

59

Walaupun pesebaran masyarakat Bajo sangat luas. Namun mereka

menganut pada kebudayaan maritim yang sama yaitu dengan kemampuan

dan pengetahuan laut mereka sehingga masyarakat Bajo dikenal sebagai

pelaut yang tangguh dan pemberani.

Tabel 3: Penduduk Menurut Mata Pencarian Desa Torosiaje

No Mata Pencarian Jumlah

1 Petani -

2 Pegawai Negeri 15

3 Pedagang 17

4 Nelayan 299

5 Tukang 7

6 Kerajinan Kecil 18

7 Lain-lain -

Total 356

Sumber : potensi Desa Torosiaje tahun 2011

Sejumlah 91,97 persen kepala keluarga pada masyarakat Bajo Desa

Torosiaje memiliki mata pencarian sebagai nelayan atau mencari ikan di

laut. Walaupun mayoritas sebagai nelayan, namun terdapat pula kepala

keluarga yang memiliki mata pencarian sebagai pedagang. Mereka yang

berdagang ditempat tinggalnya dengan membuka warung kelontong yang

menyediakan bahan-bahan keperluan sehari-hari sebanyak 15 unit dengan

menyerap tenaga kerja sebanyak 15 orang. Sedangkan mereka yang

60

berusaha di bidang perikanan sebanyak 10 unit dengan melibatkan tenaga

kerja sebanyak 50 orang.

4. Penduduk Menurut Agama

Islam adalah agama yang di anut oleh mayoritas penduduk Indonesia.

Pada tahun 2000 penduduk yang menganut agama Islam tercatat sebanyak

177,53 juta jiwa. Jumlah tersebut menjadikan Indonesia sebagai dengan

jumlah penduduk Islam terbesar di dunia.

Masyarakat Bajo di Torosiaje juga menjadi bagian dari komunitas

penganut agama Islam tersebut oleh karena masyarakat Bajo seluruhnya

menganut agama Islam.

Tabel 4 : Penduduk Menurut Agama; Desa Torosiaje Tahun 2011

No Agama Jumlah Peserta

1 Islam 1.317 100,00

2 Kristen -

3 Katolik -

4 Hindu -

5 Budha -

Jumlah 1.317 100,00

Sumber : Potensi Desa Torosiaje Tahun 2011

Sebagai komunitas muslim, dalam melaksanakan ibadahnya

masyarakat Bajo di Torosiaje juga telah dilengkapi dengan sarana

peribadatan berupa sebuah masjid. Kegiatan di dalam masjid itu sendiri

61

tidak hanya sebatas untuk melaksanakan ibadah shalat saja, tetapi dalam

waktu-waktu tertentu seperti peringatan Maulud Nabi, pengajian dan

belajar mambaca Al-Qur’an bagi anak-anak juga bertampat di masjid ini.

Walaupun mayoritas masyarakatnya adalah muslim, namun mereka

sangat terbuka dan menerima masyarakat dari luar yang berbeda keyakinan

dengan mereka. Kedatangan orang luar di Desa Torosiaje memiliki

berbagai macam tujuan. Dari sebatas silaturahmi biasa, berkaitan dengan

hubungan dagang atau bahan sekedar rekreasi sebagai wisatawan. Mereka

yang datang dari luar desa ini memiliki latar belakang keyakinan yang

bermacam-macam. Namun masyarakat Desa Torosiaje tetap menerimanya

saat ini belum pernah terjadi adanya konflik atau permasalahan yang

berkaitan dengan agama.

5. Penduduk Menurut Etnis

Suatu etnik merujuk kepada keturunan yang sama. Hal ini merujuk

pada identitas budaya yang beliputi bahasa, tradisi dan pola tingkah laku.

Identitas etnik ini memiliki banyak tingkatan: identitas yang ditentukan

sendiri, identisan yang ditentukan oleh Negara, dan identitas yang

ditentukan dengan cara lain lagi.

62

Tabel 5 : Penduduk Menurut Etnik Desa Torosiaje

No Penduduk Menurut Etnik Jumlah

1 Wajo 1194

2 Gorontalo 54

3 Bugia 38

4 Kaili 31

1.317

Sumber: Potensi Desa Torosiaje Tahun 2011

Keberadaan masyarakat Bajo di Desa Torosiaje tidak dapat dilepaskan

dari daerah asalnya. Walaupun telah lama nenetap atau bahkan lahir di

Torosiaje namun mereka tetap mengidentifikasi diri berasal dari daerah

wajo Sulawesi selatan. Hal ini terlihat dari keterangan penggelolaan etnik

masyarakat Bajo di Desa Torosiaje.

Identitas etnik yang dikemukakan oleh pemerintah melalui pengisian

potensi desa hanya memberikan gambaran secara umum walaupun menurut

salah seorang informasi mengatakan bahwa tidak kurang dari 11 etnik telah

berbaur sebagai masyarakat Bajo di Desa Torosiaje. Faktor lokasi

keberadaan masyarakat Bajo di Desa Torosiaje tidak secara cepat

menerima pengaruh dari kondisi wilayah gorontalo pada umumnya

63

walaupun hubungan antar Desa Torosiaje dengan wilayah lainnya semakin

terbuka40

.

3. Sarana dan Prasarana

1. Kantor Desa Torosiaje

Dusun Mutiara dan dusun Bahari Jaya merupakan dua dusun yang berada

di wilayah perairan. Pada mulanya dua dusun ini menjadi bagian dari Desa

Torosiaje, namun secara resmi tahun 2005 dua dusun tersebut menjadi satu

desa tersendiri yaitu Desa Torosiaje. Kantor Desa Torosiaje sekarang ini

letaknya berada di atas laut perairan dangkal Desa Torosiaje, Desa Torosiaje

memiliki satu GSG (Gedung serba guna), di dalam gedung serba guna juga

ada lapangan Batminton (bulu tangkis), persis di bagian belakang GSG ini

adalah kantor Desa Torosiaje. Kantor Desa Torosiaje berdempetan dengan

GSG, jadi bila dilihat dari depan maka hanya terlihat GSG, namun di bagian

sisi samping sebelah kana dari GSG maka terlihat kantor Desa Torosiaje.

2. Sarana Pendidikan

Sarana pendidikan yang ada sampai saat ini berupa sebuah gedung

sekolah yakni SD Negeri Torosiaje. Pada tahun ajaran 2011/2012 jumlah

murud di sekolah tersebut sebanyak 178 siswa. Dengan jumlah laki-laki

sebanyak 69 dan perempuan 109, dengan jumlah guru sebanyak 11 orang.

40

Wawancara dengan bapak Amin Pakaya, 53 tahun (mantan kepala desa) 4 Mei 2012

64

Skolah SD Negeri Torosiaje memiliki ruangan kelas sebanyak 6 ruang dengan

dilengkapi 1 ruangan dewan guru, 1 perpustakaan, dan 1 ruangan asrama41

.

Bagi mereka yang telah lulus dari SD ini dan ingin melanjutkan

pendidikan yang lebih tinggi lagi maka mereka harus bersekolah di luar Desa

Torosiaje. Dikarenakan bahwa sarana pendidikan yang ada di Torosiaje hanya

pendidikan Sekolah Dasar tidak ada pendidikan SLTP/SMA yang berada di

Desa Torosiaje.

3. Sarana Peribadatan

Apabila kita memasuki Desa Torosiaje, maka dari kejauhan dan selama

dalam penyeberangan maka kita akan melihat sebuah bangunan yang atapnya

berbentuk kubah yaitu sebuah masjid yang berdiri disisi kanan dari

perkampungan masyarakat Bajo. Namun apabila kita lihat dari depan

perkampungan, masjid ini berada pada bagian belakang perkampungan.

Sekitar ± 25 meter dari posisi masjid sebelah kanan terdapat bangunan SD

Torosiaje, sedangkan dibagian samping kiri ± 10 meter dari masjid terdapat

Kantor Desa Torosiaje. Masjid ini merupakan salah satu tempat peribadatan

karena mayoritas masyarakat Bajo di Desa Torosiaje ini beragama Islam.

Walupun berdiri diatas daratan namun dingin dan lantainya masjid ini dibuat

41

Wawancara dengan bapak suyono kaba, 29 tahun (guru SD Desa Torosiaje).

10 Mei 2012

65

dengan menggunakan kayu, masjud yang berbentuk persegi dengan ukuran ±

(15x15) meter ini cukup besar untuk menampung sekitar ± 800 orang jemaah.

4. Sarana Penerangan

Sarana penerangan menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh

masyarakat Bajo khususnya Desa Torosiaje. Masyarakat Bajo dalam

penerangan masih menggunakan disel/generator sebagai penerangan rumah

mereka. Pada tahun 2011 kabel arus listrik ini sudah dipasangkan, namun

sampai sekarang ini belum bisa digunakan sebagai sarana penerang rumah

mereka di waktu malam.

5. Rumah Adat

Bila kita memasuki Desa Torosiaje maka dari kejauhan akan terlihat 2

bagunan besar yang berdiri di perairan dangkal Desa Torosiaje tepatnya

berada di Dusun Mutiara atapnya berwarna merah tua dan dindingnya terbuat

dari papan. Rumah adat berdiri pada tahun 2011. Tapi disayangkan bangunan

tersebut belum dapat di gunakan sebagaimana mestinya.

Rumah adat adalah satu-satunya yang berada di Desa Torosiaje. Rumah

adat ini juga belum diresmikan oleh pemerintah, sehingga alat atau

perlengkapan budaya-budaya Bajo masih bulum terpampang dalam rumah

adat ini.

66

4. Asal Usul Masyarakat Bajo

1. Sejarah Singkat Masyarakat Bajo

Dahulu kala, orang Bajo tinggal di perahu layar yang disebut soppe dan

leppa. Soppe merupakan sebuah perahu yang mempunyai ukuran besar dan

gunanya untuk mengangkut barang-bagang bawaan yang jumlahnya banyak

serta mengangkut orang-orang, sedangkan leppa yaitu perahu yang berukuran

kecil dan hanya beberapa orang saja yang dapat menaikinya. Orang Bajo

selain hidupnya di atas perahu mereka juga hidupnya berpindah-pindah yang

bergerak dalam kelompok dari 20 sampai 30 perahu menuju tempat yang

berbada-beda menurut pilihan lokasi penjaringan ikan. Konon, mereka

meninggalkan Johor, Malasysia kini, diawal abad ketuju belas, sebagai akibat

ketidak stabilan situasi politik dan pergeseran kekuatan dalam negeri. Para

ahli sejarah mendapati orang Bajo berimigrasi dari Johor ke timur berlayar

sepanjang pantai borneo menuju ke utara lewat sabah dan Filipina bagian

selatan dan pada akhirnya mendarat di timur Sulawesi, yaitu wilayah Bone

dan Gowa yang merupakan persinggahan pertama di Sulawesi. Sehingga jalur

pergerakan suku Bajo terdapat pada dua sisi pantai selat makasar. Sampai saat

ini pemukiman orang Bajo terdapat di berbagai tempat di pantai Timur

Kalimantan dan pantai barat Sulawesi.

Orang Bajo dapat ditemukan di wilayah Provinsi Sulawesi tengah,

Sulawesi Tenggara, Gorontalo, atau di peraitan teluk tomoni. Namun absen di

67

Sulawesi Barat, bekas-bekasnya yang sudah terkulturasi dengan Bugis

makasar, masih dapatditemukan dikepulauan Spermonde dan lebih keselatan

lagi di pulau Selayar. Bajo tidak ditemukan di wilayah mandar karena

perairannya yang langsung dalam di bibir pantai. Masyarakat Bajo selalu

memilih perairan dangkal yang terdapat banyak karang dan pulau-pulau

sebagai tempat beredar, di mana mereka dapat menggantung hidup dengan

teknologi Hunting and Gathering yang paling sederhana sekalipun.

Orang Bajo sendiri mengatakan mereka meninggalkan Johor bukan

hanya karena ketidak stabilan politik dalam suatu Negara namun ada faktor

lain yaitu untuk mencari putri mereka yang hilang, legenda mengisahkan

bahwa waktu itu suku Bajo telah mempunyai suatu kerajaan yang di pimpin

oleh seorang raja yang bernama Elolo Bajo rakyatnya hidup rukun dan damai

berkat kepemimpinannya yang lebih mengutamakan kepentingan umun dari

pada kepentingan pribadi. Selama Elolo Bajo memerintah hanya dikaruniai

seorang putri. Pada suatu waktu turun hujan selama tujuh hari tujuh malam

dengan tidak henti-hentinya. Oleh karena semenanjung malaka tidak strategis

alamnya, maka wilayah ini ditimpa malapetaka berupa banjir besar yang

menimpa kerajaan ini sehingga rakyatnya kocar kacir. Rumah-rumah dan

harta kekayaan yang berupa ternak punah dilanda manjir, bahkan banyak

korban jiwa yang di telan oleh banjir besar itu, kecuali yang ada di perahu

yang dapat menyelamatkan dirinya masing-masing. Oleh karena keadaan

68

demikian, maka punggawa-punggawa bermusyawarah dan bermufakat untuk

menghindari malapetaka itu guna menyelamatkan keluarganya dengan perahu

mereka. Pada saat itu, putri raja Elolo Bajo telah menghilang hanyut di bawah

arus sampai kesamudra yang luas.

Raja Elolo Bajo dengan susah payah mencari putrinya yang hilang

tersebut, namun tidak ketemu maka seluruh rakyatnya berpencar-pencar

mencarinya, namun tak seorangpun tidak menjumpainya. Pada suatu ketika

ada kabar bahwa putri Elolo Bajo telah hanyut di bawah arus sampai ke laut

besar. Ia diombang-ambingkan oleh ombak dan gelombang yang dasyat dan

silih berganti di bawah arus sehingga perahunya tiba disuatu daerah pantai

selatan Sulawesi dan diketemukan oleh salah seorang nelayan yang sedang

memancing ikan di tengah laut. Nelayan tersebut berasal dari suku Bugis,

waktu si pemancing melihat seorang gadis kecil mungil duduk di sampan

kecil maka di dalam hatinya penuh tanda Tanya, apakah gadis itu turun dari

kayangan atau jin menjelma menjadi manusia? Walaupun hatinya penuh tanda

Tanya maka ia memaksakan dirinya untuk menghampiri perahu tersebut.

Waktu si pemancing tiba di perahu anak gadis itu maka si pemancing

menanyakan dengan bahasa melayu maupun bahasa Bugis. Namun kedua

bahasa tersebut tidak ada balasannya. Dengan tidak berpikir panjang lagi, si

pemancing mengangkat anak gadis itu kedalam perahunya.

69

Setelah sesampainya dirumah si pemancing langsung menyerahkan anak

gadis itu kepada istrinya, kemudian si pemancing segera menghadap kepada

raja Gowa. Seketika itu raja Gowa memerintah kepada si pemancing agar

anak gadis itu di bawah ke istana bersama pengawal-pengawalnya. Setelah

gadis itu tiba kerajaan Gowa, raja Gowa mulai menanyakan asal-usul dan

nama orang tuannya dengan berbagai macam bahasa. Bahasa yang dipakainya

ialah bahasa Bugis, Makassar, Bone, Buton dan bahasa kaili serta bahasa

Melayu. Bahasa tersebut tidak di mengerti oleh sang gadis ini. Setelah sang

raja berfikir sejenak, maka timbul pemikiran dari raja Gowa bahwa anak ganis

ini akan diambil dan dipelihara sampai dewasa sampai menunggu orang

tuanya datang menjemput.

Raja Elolo Bajo bersama permaisurinya merasa gelisah karena anak

gadis satu-satunya dan merupakan permata hatinya tiada muncul-muncul

dihadapannya. Raja Elolo Bajo memanggil punggawa-punggawa supaya

mengumpulkan rakyatnya di istana dan raja Elolo Bajo memberikan tugas

kepada seluruh masyarakatnya untuk mencari anak gadis yang hilang itu, dan

apabila mereka tidak menemukan putri raja Elolo Bajo akan di kenakan sangsi

yang seberat-beratnya.

Setelah beberapa bulan kemudian ada seorang punggawa mengabarkan

bahwa putri Elolo Bajo berada di istana raja Gowa, dan kemudian raja Elolo

70

Bajo berbondong-bondong datang ke istana raja Gowa bersama punggawanya

untuk memastikan apakah benar putrinya berada di istana raja Gowa.

Sebelum mereka berangkat, raja Bajo menyampaikan kepada rakyatnya

bahwa apabila betul-betul anak putrinya ada di istana raja Gowa maka anak

putrinya itu akan dikawinkan dengan raja Gowa. Seluruh rakyatnya merasa

gembra dan senang setelah mendengan ucapan dari raja Bajo. Setelah

sampainya di kerajaan Gowa, raja Bajo merasa terkejut setelah melihat

putrinya berada di samping raja Gowa, dengan ucapan yang sudah di

lontarkan oleh raja Bajo kepada seluruh rakyat Bajo maka terlaksanalah

perkawinan antara raja Gowa dengan putri raja Bajo dilangsungkan dengan

sangat meriah. Pesta perkawinan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam

dengan tak henti-hentinya. Kemudian raja Bajo menghadiahkan sebuah

bendera yang terbuat dari ambar laut sebagai salah satu tanda kepada anak

cucu raja Bajo dan raja Gowa sampai turun temurun. Sebaliknya juga raja

Gowa menghadiahkan tanah perkampungan yang letaknya di daerah teluk

Bone42

.

42

Sri suharjo, 2006. Budaya Masyarakat Bajo Di Desa Torosiaje Kabupaten Pohuwato.

Manado : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, hlm. 23-30

71

2. Pemberian Nama Desa Karo Siajeku Hingga Torosiaje

Setelah raja Bajo menerima tanah pemberian dari raja Gowa, maka raja

Bajo membuatkan perkampungan dan tinggal bersama rakyatnya dikampung

tersebut. Lama kelamaan rakyat merasa tidak betah tinggal lagi di desa

tersebut dikarenakan bahwa masyarakat Bajo selain bercocok tanam mereka

juga tidak bisa lepas dari mata pencarian pokoknya yaitu menangkap ikan.

bila yang tidak tahu dan tidak sabar mengelolah tanah mereka berusaha

pindah ketempat yang lain atas ijin dari kepala sukunya.

Sebagian besar rakyat Bajo pindah dari desa tersebut guna untuk

mendapatkan penghasilan yang lebih banyak lagi. Mereka tinggal di suatu

tanjung yang diberi nama Tanjung Salam Penguh yang dikepalai oleh seorang

punggawa yang bernama Patta Sompa. Setelah diketahui oleh raja mautong

bahwa yang ada tinggal di Tanjung Salam Penguh maka seorang

punggawanya diperintahkan untuk memanggil kepala punggawa atau

pemimpin mereka dan akhirnya raja moutong memberikan kebebasan kepada

mereka mencari di kerajaannya, maka pada waktu itu kepala suku Bajo ialah

Patta Sompa bersama keluarganya sekaligus dengan pengikutnya bersatu

untuk membuka tanjung itu akhirnya tanjung yang dulunya hutan berantara

sekarang sudah mulai terang, mereka menetap bersama keluarganya di tempat

itu dengan yang lainnya tetap bertempat tinggal dalam perahu soppe-nya

masing-masing. Mereka merasa bangga dengan hasil laut dengan sungguh

72

memuaskan hati mereka dan berusaha bahwa tanjung ini akan dijadikan suatu

desa yang ada di wilayah Popayato43

.

Sehubungan dengan penduduk di tanjung tersebut makin lama makin

bertambah dan semua orang-orang mulai berlayar di setiap saat singga di

tanjung itu, maka antara lain selalu menanyakan apa nama tanjung itu, oleh

punggawa Patta Sompa mengadakan musyawarah agar tanjung ini akan diberi

nama. Dengan hasil musyawarah dan mufakat akhirnya tanjung ini di beri

nama dengan bahasa Bajo: “Karo Siajeku” yang artinya : disana keluargaku.

Yang menjadi pimpinan sesuai hasil keputusan musyawarah pada waktu itu

ialah punggawa Patta Sompa, sebelum tanjung itu disahkan oleh pemerintah.

Pada tahun 1901 tanjung tersebut disahkan oleh pemerintah menjadi suatu

desa karena telah memenuhi syarat dengan mengangkat Patta Sompa sebagai

kepala desanya.

Pada waktu itu pusat pemerintahan Kecamatan Popayato masih

berkedudukan di Paguat yang di bawah oleh seorang Marsoaleh (camat) yang

bernama Samsul Buaje. Lama kelamaan Desa Koro Siajeku dirubah namanya

karena tidak sesuai dengan perkembangan penduduk, apabila penduduknya

seluruhnya adalah suku Bajo, maka punggawa Patta Sompa mengadakan lagi

musyawarah untuk mengganti nama desa. Kesepakatan hasil musyawarah

43

Ibid, hlm. 31

73

menetapkan bahwa Desa Koro Siajeku diubah menjadi Desa Torosiaje dalam

bahasa Bajo yang artinya adalah tanjung keluarga, dan nama Desa Torosiaje

di pakai sampai sekarang ini.

Versi lain menyebutkan bahwa nama Desa Torosiaje terdiri atas dua

kata yaitu Toro dan Siaje. Kata Toro yang berarti tanjung dan siaje adalah

panggilan seorang yang bernama Si Haji. Sehingga kata Torosiaje memiliki

makna “Tanjungnya Si Haji”.

Sesuai dengan hasil wawancara, bahwa pendapat masyarakat Torosiaje

maupun masyarakat Torosiaje Jaya yang bertempat di darat masih ada

kebingungan tentang sejarah masyarakat Bajo itu sendiri, ada berbagai macam

keganjalan tentang nama seorang putri raja Elolo Bajo yang hilang. Sebagian

besar tokoh-tokoh masyarakat yang belum mengetahui secara pasti nama putri

yang hilang tersebut, namun ada masyarakat yang mengatakan bahwa nama

putri Elolo Bajo yaitu Simaruni44

.

3. Penyebaran Suku Bajo di Wilayah Indonesia

Menurut Bettarini dan Sembiring, suku bangsa Bajo merupakan salah

satu suku yang menggantungkan hidupnya pada laut, dan tersebar di Indonesia

bahkan di Asia Tenggara. Penyebaran suku Bajo di Indonesia, dapat

ditemukan disekitar pantai Timur Sumatra, yang hidup berpindah-pindah di

44

Wawancara dengan Kamarudin, 52 tahun (Kaur Pemerintahan) 2 Mei 2012

74

pinggir pantai sekitar pantai Riau hingga sampai ke Tanjung Jabung dekat

Jambi hingga ke Kabupaten Indragiri Hilir. Mereka sering disebut orang

laut45

.

Selanjutnya menurut Lebar, Spillet dan Zada Ua mengatakan Suku ini

juga dapat dijumpai di muara pantai dan daerah lepas pantai utara dan timur

Kalimantan, Kepulauan Maluku, sepanjang pantai utara Sumbawa, sepanjang

pantai barat dan utara Flores, Pulau Babi, kepulauan Alor, di Pulau Sulawesi

Selatan dapat dijumpai menyebar di beberapa Kabupaten di Sulawesi Selatan,

Tengah, Utara dan Sulawesi Tenggara46

.

Masyarakt Bajo hidup dan mengarungi lautan luas selama berabad-abad.

Terbesar diseluruh Asia Tenggara, penjelajahan laut ini menggunakan

pengetahuan kelautan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Berasal

dari Malaysia, masyarakat Bajo juga dikenal sebagai “Sea Gypsy” (orang

yang hidup berpindah-pindah di laut), berlayar mengarungi lautan dan

menyebar ke Myanmar sampai ke Thailand.

Brown, mengatakan bahwa persebaran suku Bajo yang luas di perairan

Indonesia terlihat dari nama-nama tempat persinggahan mereka di berbagai

pulau di kawasan Indonesia yang biasanya disebut dengan Labuan Bajo. Dari

kepulauan Selat Sunda di Indonesia Bagian Timur sampai Pantai Sumatera di

45

Nasruddin Suyuti, Op. Cit. hlm. 1

46 Ibid

75

Indonesia Bagian Barat, dapat ditemukan nama-nama seperti Labuan Bajo (di

Teluk Bima, Nusa Tenggara Timur), Kima Bajo, Talawan Bajo, dan Bajo

Tumpaan (di Manado), Mien Bajo (di Sulawesi Tenggara), dan Tanjung

Sibajau (di Kepulauan Simeuleue, Aceh)47

.

Mengulaskan bahwa diseluruh peta Indonesia, terlihat bahwa tesebarnya

Bajo dapat dilihat dari jumlah perkembangan di pesisir pantai yang disebut

Labuan Bajau. Dari kepulauan selat sunda bagian timur sampai ke barat pantai

Sumatera, nama-nama seperti Labuan Bajo di Teluk Bima (Nusa Tenggara

Timur) Kima Bajo, Talawan Bajo, Labuan Bajo Pagimana, Bajau Togian dan

Labuan Bajo Ampana (Sulawesi Tenggara) Bajo Langara Papeda Manui

(kendari, Sulawesi Tenggara) Bajo Tumpaan dan Bajo Nain (Sulawesi Utara)

Labuan Bajo Tilamuta dan Bajo Torosiaje (Gorontalo) Kabupaten Bajo

(Sulawesi selatan) bajau Pela’u (Kalimantan timur) dan tanjung sibajau di

kepulauan simeuleue (aceh) ini adalah contoh nama-nama daerah yang

membuktikan luasnya pengaruh Bajau48

.

Ada beberapa tempat pemukiman suku Bajo yang ditulis oleh Bambang

Priantono, utamanya di Pulau Sulawesi dan Nusa Tenggara sebagai pusat

pemukimannya. Tempat-tempat itu adalah Bali (Singaraja dan Denpasar),

47

Uniawati, Mantra Melaut Suku Bajo: Interpretasi Semiotik Riffaterr, (Semarang:

alumni 2007) hlm 22

48 Dialok pemuda II. 2011. Lentera Timur, Identitas Kebudayaan Indonesia di

Perbatasan. Jakarta Pusat, Loc. Cit. 22

76

Nusa Tenggara Barat ( Labuhan Haji, Pulau Moyo, dan Bima di belahan timur

Sumbawa), Nusa Tenggara Timur (Labuhan Bajo, Lembata: (Balauring,

Wairiang, Waijarang, Lalaba dan Lewoleba), Pulau Adonara (Meko, Sagu dan

Waiwerang), Pulau Solor, Alor dan Timor (terutama Timor Barat), Gorontalo

(Sepanjang pesisir Teluk Tomini), Sulawesi Tengah (Kepulauan Togian, Tojo

Una-Una, Kepulauan Banggai, Parigi Moutong dan Poso), Sulawesi Tenggara

(Pesisir Konawe dan Kolaka, Pulau Muna, Pulau Kabaena, Pulau Wolio,

Pulau Buton, dan Kepulauan Wakatobi), Sulawesi Selatan (Bajoe)49

.

Sejarah maritim mereka begitu mengesankan saat mereka membela

kerajaan sriwijaya dari serangan Kesultanan Malaka. Beberapa ahli sejarah

percaya bahwa orang Bajo merupakan kunci dari hubungan pertukaran antara

cina selatan dengan Kalimantan bagian timur. Di Asia Tenggara, orang-orang

laut ini selalu dikatakan sangat erat hubungannya dengan laut di Myanmar,

mereka dikenal sebagai “orang mauken” atau “the sea droened people”.

Sedangkan di Thailand mereka disebut orang air “chao nam” dan orang laut “

chaole” orang Portugis menamakan mereka “celates” atau orang-orang dari

selat. Walaupun jarak sebarannya luas, mereka menganut pada kebudayaan

maritim yang sama, yaitu dengan kemampuan dan pengetahuan laut mereka.

49

Uniawati, Loc. Cit.

77

Selama berabad-abad yang lampau, orang-orang laut ini terkenal sebagai

pelaut berani dari laut Cina selatan. Sebagian dari mereka juga dikenal sebagai

bajak laut yang patut diwaspadai oleh pedagang regional dan pemukim

pesisir. Kisah penjelajahan mereka melegenda. Dalam perjalanan keliling

dunia pada abad 16, Magelland menamakan mereka “orang-orang tanpa

rumah yang tinggal di perahu”, merekalah penakluk lautan selama berabad-

abad.

Sesuai dengan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa asal

usul suku Bangsa Bajo sampai sekarang belum teridentifikasi dengan jelas.

Hal itu disebabkan karena banyaknya versi yang berkembang mengenai

sejarah asal usul bangsa tersebut, dengan demikian, sejarah asal usul bangsa

Bajo masih belum dapat di pastikan kebenarannya, sewaktu-waktu masyarakat

Bajo akan berimigran kesuatu tempat ketempat yang lain sesuai dengan

kondisi alam yang dapat menguntungkan. Dengan perkembangan seperti ini

maka akan sulit untuk memastikan keberadaan mereka dari sudut pandang

sejarah.

5. Hasil Penelitian

Di dalam menjalani kehidupan sehari-hari, seseorang tidak terlepas dari

bantuan orang lain sehingga seorang individu membutuhkan orang lain

disekitarnya dalam melakukan aktifitasnya. Interaksi antar individu tersebut

78

merupakan cikal bakal lahirnya aktifitas sosial yang skalanya lebih besar

sehingga lahirlah istilah masyarakat. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa suku

Bajo berasal dari Johor, Malasysia kini, diawal abad ketuju belas, sebagai akibat

ketidak stabilan situasi politik dan pergeseran kekuatan dalam negeri.

Pada tahun 1900 terjadilah bencana yang ada di semenanjung malaka,

bahwa bencana yang terjadi seperti tsunami menyebabkan putri Bajo hanyut,

sehingga raja Bajo memerintahkan kepada seluruh rakyatnya untuk mencari putri

raja Bajo yang hilang tersebut. Konon bahwa putri raja ini didapati oleh seorang

nelayan dari kerajaan Gowa, dan kemudian raja Gowa akan menikahi putri raja

Bajo50

.

Desa Torosiaje ini berawal dari janji raja Bajo yang memerintahkan kepada

para punggawa maupun masyarakat untuk mencari putrinya yang hilang. Raja

Bajo mengatakan barang siapa yang kembali tanpa ada hasilnya maka akan di

beri hukuman yang berat. Dari situlah masyarakat Bajo menyebar luas ke

wilayah perairan dangkal yang ada di Indonesia khususnya di Desa Torosiaje dan

mereka tidak kembali lagi ke semenanjung malaka. Tahun 1900 penduduk

masyarakat Bajo masih 5 KK dan itupun mereka masih bertempat tinggal di

perahu atau yang di sebut soppe. Dan terjadinya Torosiaje ini awalnya bukan

Torosiaje tapi Koro siajeku (disana tanjung haji).

50

Wawancara dengan bapak Silahudin Kalaha, 56 tahun (Kepala Desa Torosiaje Jaya) 2 Mei

2012

79

Tahun 1936 seorang punggawa (kepala desa) yang bernama Patta Sompa,

pada waktu itu upeti (pajak) mereka kirimkan bukan kepada kabupaten atau

provinsi namun mereka mengirinkan langsung ke kerajaan Gowa. Dan kemudian

di tahun 1954 Desa Torosiaje ini sudah menjadi sebuah desa51

.

Awal mulanya masyarakat Bajo dari semenanjung malaka. Menurut

sejarahnya seorang putri raja makala yang hilang tertiup angin topan, maka

waktu itu raja memerintahkan kepada masyarakat suku Bajo yang ada di malaka,

Suku Bajo merupakan pertahanan latu dari kerajaan malaka. Raja malaka

mengumpulkan semua para punggawa untuk mencari putri raja malaka yang

hilang. Jadi dengan ketentuan selama putri ini tidak di ketemukan maka tidak

boleh kembali ke Semenanjung Malaka.

Perjalanan pencarian mereka terpencar ke empat penjuru mata angin, ke

utara, timur, barat, selatan. Arah selatan ini yang menuju ke Indonesia, mereka

berlayar menemukan pulau Siabalang sekarang menjadi Singapura, awalnya

nama Singapura yaitu Singapore dalam bahasa Bajo artinya singa disana namun

sekarang sudah di perhalus menjadi Singapura. Rombongan tinggal di singapura

hanya beberapa waktu dikarenakan tiupan angin yang begitu kencang, dan

akhirnya rombongan melanjutkan perjalanan menuju ke pulau Jawa.

51

Wawancara dengan bapak Ndika Pasandre, 42 Tahun (Wakil Ketua Adat Desa

Torosiaje) 23 April 2012

80

Mereka mencari putri raja dan akhirnya sampai masuk ke Kabupaten Bone

yang sekarang di sebut Kabupaten Wajo. Akhirnya rombongan pencari putri raja

ini meminta kepada raja Bone untuk menetap di daerah mereka. pada waktu itu

raja Bone memerintahkan kepada rombongan tersebut untuk melemparkan batu

sejauh mungkin di situlah tempat lokasi yang diberikan.

Setelah beberapa lama rombongan ini tidak merasa betah tinggal di daerah

tersebut, sebagian tinggal dan sebagian juga meneruskan perjalanan mencari

putri raja yang hilang. Putri raja ini masih belum jelas diketahui namanya namun

ada yang mengatakan Simaruning. Rombongan ini tidak ada henti-hentinya

melakukan pencarian sampai akhirnya tiba di Bau-Bau dan rombongan ini

bertemu dengan suku Tobelo. Setelah tiba di Tobelo rombongan ini terjadi

pertikaian antara suku Tobelo, dan sekarang di abadikan menjadi pulau Sainoa

(siapa yang tawar) dalam bahasa sehari-hari yaitu siapa yang takut.

Rombongan yang tinggal di Bone menemukan putri raja yang hanyut,

melihat seorang gadis yang cantik di dalam perahu akhirnya membawa ke raja

Bone setelah beberapa lama tinggal di istana raja, raja Bone menikahi sang putri

raja Bajo. Yang ada di Torosiaje ini berasal dari Kecamatan Bungku Selatan,

Kabupaten Morowali yang di perkitakan menyebar sampai ke Gorontalo yang

81

ada di Kecamatan Popayato Desa Torosiaje. Dan Torosiaje mana aslinya koro

siaje’ta (di sana saudara kita) setelah di perhalus menjadi Torosiaje52

.

Sesuai dengan penjelasan di atas maka dapat di simpulkan bahwa

masyarakat Bajo yang berada di Desa Torosiaje merupakan pencaran dari pulau-

pulau yang berada di kabupaten Bone terutama dari kecamatan bungku selatan.

Karena pada saat putri raja Bajo yang hanyut terbawa arus, seluruh masyarakat

Bajo di utus oleh raja Bajo untuk mencari dan membawa putrinya yang hilang.

Setelah bertahun-tahun lamanya akhirnya putri raja Bajo yang hilang di

ketemukan, dengan banyaknya masyarakat yang ditugaskan untuk mencari putri

raja, sebagian besar masyarakatnya tidak kembali ketempat asal mulanya.

Mereka akhirnya bertempat tinggal di peraitan dangkal yang berada di seluruh

Indonesia.

Asal mula nama Torosiaje yaitu koro siajeku yang artinya di sana tempat

keluargaku, disamping itu juga ada masyarakat yang berpendapat bahwa awal

nama Torosiaje yaitu Tanjung Si Haji yang artinya disana tanjungnya si haji,

konon Desa Torosiaje ini yang pertama kali menempati desa tersebut adalah

seorang haji, sehingga kebanyakan masyarakatnya lebih mempercayai tanjung si

hajilah nama Torosiaje yang pertama, dengan nama-nama tersebut merasa masih

ada keganjalan, sehingga memutuskan untuk memberikan nama yang tepat untuk

52

Wawancara dengan bapak Kamarudin, 52 tahun (Kaur Pemerintahan Desa Torosiaje

Jaya) 3 Mei 2012

82

desa ini dengan nama Torosiaje, nama Torosiaje hingga saat ini masih

digunakan.

6. Pembahasan

1. Budaya Kepeloporan Masyarakat Torosiaje Pasca Reformasi

Berbicara tentang Kepeloporan maka tidak bisa terlepas dari peran

seorang pemimpin. Kepeloporan dan kepemimpinan dapat berarti sama

yakni tampil di depan dan diteladani oleh orang lain. Tetapi dapat pula

memiliki makna sendiri. Kepeloporan jelas menunjukkan sikap berdiri di

muka, merintis, membuka jalan, dan memuluai sesuatu untuk diikuti,

dilanjutkan, dikembangkan serta dipikirkan yang lain. Kepeloporan ada

unsur menghadapi resiko. Kesanggupan untuk memikul resiko ini penting

dalam setiap perjuangan, dan pembangunan adalah suatu bentuk

perjuangan, dalam zaman modern ini, kehidupan makin kompleks dan

makin penuh resiko sesuai dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi (IPTEK) yang pesat diseluruh bidang lapangan pekerjaan.

Modernitas memang mengurangi resiko pada bidang-bidang dan pada

cara hidup tertentu, tetapi juga membawa parameter resiko baru yang tidak

dikenal pada era-era sebelumnya. Untuk itu, maka diperlukan ketangguhan,

baik mental maupun fisik. Tidak semua orang berani, dapat atau mampu

mengambil jalan yang penuh resiko. Sifat-sifat itu ada dalam diri pemuda,

83

karena tugas itu cocok buat pemuda. Kepemimpinan bisa berada di muka,

bisa di tengah, dan bisa di belakang, sebagaimana dalam semboyan

pendidikan “ ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut

wuri handayani”. Tidak semua orang juga bisa menjadi pemimpin.

Pemimpin juga tidak dibatasi oleh usia, bahkan dengan tambah usia makin

banyak pengalaman, makin arif kepemimpinan.

Kepemimpinan yang otentik adalah kepemimpinan yang berinteraksi

langsung dengan lingkungan dan masyarakat dalam melahirkan maupun

melaksanakan berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi lingkungan dan

masyarakat. Kepemimpinan demikian, sangat sesuai untuk pemuda karena

ciri pemuda yang dinamis. Kepemimpinan yang dinamis diperlukan oleh

masyarakat yang sedang membangun. Apabila dengan bertambahnya usia,

kepemimpinan menjadi lebih arif karena bertambahnya pengalaman,

Dalam level kepemimpinan pemuda diharapkan munculnya sumber

dinamika, yang merupakan sumber pengembangan kreativitas dalam

melahirkan gagasan baru, serta mendobrak hambatan-hambatan untuk

mencari pemecahan masalah. Oleh karena itu, tugas para pemimpin

pemuda untuk membangun semangat, kemampuan maupun pengamalan

kepeloporan dan kepemimpinan. Membangun semangat adalah

membangun sikap, karena itu terkait erat dengan pembangunan budaya.

Pendidikan merupakan wahana yang paling penting dan mendasar,

disamping upaya lain untuk merangsang inisiatif dan membangkitkan

84

motivasi. Keteladanan adalah pendekatan lain untuk membangkitkan

semangat. Dorongan atau pun tantangan dari masyarakat juga sebagai

bentuk dalam merangsang bangkitnya semangat.

Membangun kemampuan atau keahlian juga sangat penting, karena

kepeloporan dan kepemimpinan tidak cukup hanya dengan kata-kata, tetapi

harus dibarengi dengan perbuatan. Oleh karena itu, profesionalisme atau

pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu yang relevan dengan

kepeloporan dan kepemimpinannya amat diperlukan. Tidak berarti harus

menguasai lebih teknik dari yang dipimpin, melainkan sekurang-kurangnya

harus mampu memberikan inspirasi, menunjukkan arah, dan mampu

mencari jalan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihaapi.

Bila konteks kepeloporan di bawa pada konsep kebudayaan maka akan

mendapatkan pengertian yang berbeda, di mana budaya dapat diartiakan

sebagai karya cipta dan karsa manusia yang memiliki nilai dan norma

tinggi, dan kepeloporan merupakan perkumpulan dari semangat, sikap dan

kesukarelawanan yang dilandasi kesadaran diri atas tanggung jawab sosial

untuk menciptakan sesuatu dan atau mengubah gagasan menjadi sebuah

karya nyata. Jadi dapat diartikan budaya kepeloporan adalah suatu bentuk

dan upaya seseorang yang memiliki jiwa semangat dan keuletan serta gigih

dalam melaksanakan tanggug jawab untuk mengembangkan karya seni

yang dapat merubah kehidupan sosial budaya dalam masyarakat serta dapat

85

diakui oleh masyarakat luas. Budaya kepeloporan ini lebih identik dengan

jiwa kepemudaan, dikarenakan salah satu tujuan yang dapat merubah suatu

kebudayaan hanya pada diri pemuda, jiwa pemuda memiliki tatapan untuk

melihat masa depan.

Indonesia memiliki beragam macam budaya dan bermacam-macam

bahasa serta tabiat dan tingkah laku mereka berbeda-beda. Inilah salah satu

keunikan yang dimiliki bangsa Indonesia. Perkembangan budaya memang

sudah ada semenjak kita di lahirkan, dan budaya merupakan salah satu

warisan dari nenek moyang. Melihat perkembangan kebudayaan secara

umum lama kelamaan mengalami perubahan besar maupun di lihat dari

pelaksanaannya serta nilai yang terkandung dalam kebudayaan itu mulai

hilang. Dihawatirkan budaya di Indonesia tidak ada lagi menopang serta

mempelopori budaya di dalam lokalitas tertentu. Hal seperti ini

mengakibatkan generasi muda akan mengadopsi budaya barat sebagai

kebudayaan mereka serta kebudayaan asli mulai hilang secara sendirinya.

Untuk itu, sebagai generasi muda dapat mengimplementasikan budaya-

budaya yang memang sudah di turunkan dari leluhur kita, dalam artian,

budaya kepeloporan harus kita junjung tinggi demi pelestarian budaya

Indonesia dalam hal ini yaitu budaya masyarakat Bajo di Torosiaje.

86

Kepemudaan di Desa Torosiaje merupakan salah satu wadah untuk

dapat mengmbangkan serta melestarikan budaya suku Bajo, disamping itu

juga diharapkan kepada generasi muda dapat memberikan sumbansi pikiran

maupun ide-ide yang dapat memperkuat budaya Bajo agar tidak teradopsi

dengan budaya-budaya Barat. Terbukti bahwa dalam pelaksanaan ritual

adat Bajo, bukan hanya orang tua saja yang bisa melaksanakan ritual

tersebut, melainkan pemuda juga berperan aktif di dalam pelaksanaan acara

ritual tersebut seperti budaya perkawinan, budaya penyambutan tamu53

.

Budaya kepeloporan di Desa Torosiaje sampai saat ini masih di

pegang sepenuhnya oleh kepala adat, karena di dalam budaya Bajo ada hal-

hal yang tidak dapat di laksanakan oleh orang biasa, salah satu contoh ialah

ritual penyembuhan orang sakit. Bila ritual ini di laksanakan butuh

seseorang yang sudah dianggap memahami dalam seluk beluk penyakit

yang di derita oleh si saki. 54

Seorang peloporan dalam masyarakat Torosiaje diantara yaitu Kepala

Desa. Karena melihat peran Kepala Desa sangat penting dalam

perkembangan desa maupun perkembangan budaya di Torosiaje. Untuk itu,

53 Wawancara dengan bapak Umar Pasander, 41 tahun (tokoh masyarakat)

22 April 2012

54 Wawancara dengan bapak Sudiro Pakaya 61 tahun (kepala Desa Torosiaje) 23

April 2012

87

masyarakat mempercayai peran Kepala Desa dapat menjaga serta

melestarikan budaya Bajo agar tidak hilang atau bergeser dari nilai-nilai

yang terkandung di dalamnya55

.

Budaya kepeloporan dalam lapisan masyarakat suku Bajo biasanya

dipelopori oleh orang-orang yang memiliki pengaruh penting dalam budaya

Bajo diantaranya seperti kepala desa, pemangku adat, tokoh masyarakat,

tokoh agama dan guru. Khusunya Anak-anak yang masih duduk Sekolah

Dasar di Desa Torosiaje ini, mereka sudah dibekali dengan budaya-budaya

mereka sendiri, kelak nanti dewasa ia dapat mengetahui budaya yang

mereka miliki. Salah satu contoh yaitu bahasa. Bahasa yang mereka

gunakan sebagian besar bahasa asli Bajo, meskipun mereka sudah

mendapatkan mata pelajaran bahasa Indonesia namun bahasa kesehari-

harian adalah bahasa Bajo56

.

Sedangkan Budaya kepeloporan ini memang sangat membantu

kelangsungan budaya Bajo di Torosiaje, salah satu peran utama dalam

pelestarian budaya adalah generasi muda. Generasi muda Bajo memiliki

peran aktif dalam pelaksanaan kegiatan adat istiadat yang mereka jalankan

salah satunya yaitu budaya penyambutan tamu. Dalam penyambutan tamu

55

Wawancara dengan Ibu Wati Pakaya 48 tahun (kadus Torosiaje jaya) 24 April

2012

56 Wawancara dengan bapak Andri Sompa 51 tahun (tokoh masyarakat) 1 Mei 2012

88

ini para muda mudi melakukan tari-tarian khas Bajo untuk menyambut

tamu dengan di iringi tabuha rabana dan gendang57

.

Pemuda di Desa Torosiaje sudah mengalami perubahan besar di zaman

sekarang, hal ini di sebabkan karena pemuda-pemuda sudah tidak

memperhatikan lagi budaya-budaya suku Bajo. Mereka lebih

mengutamakan kepentingan sendiri di bandingkan mementingkan

budayanya. Sekarang di Desa Torosiaje hanya sekitar 35 persen saja yang

masih memperhatikan dan berusaha untuk menjaga budaya Bajo agar tidak

hilang58

.

Kondisi sosial budaya masyarakat Torosiaje ditunjukkan dengan

masih rendahnya kualitas sebagian dari sumber daya manusia, hal ini

berkaitan erat dengan tingkat kemiskinan. Di samping itu pula pergeseran

budaya mengalami degradasi yang cukup besar sehingga secara psikologis

berdampak besar pada perluasan partisipasi masyarakat. Di sisi lain

masyarakat Desa Torosiaje cenderung memiliki sifat eksploitatif sehingga

perlu adanya pranata sosial dan peningkatan kapasitas untuk lebih

57

Wawancara dengan bapak Suyono Kaba 29 tahun (guru SD Desa Torosiaje) 15

Mei 2012

58 Wawancara dengan bapak Sudirman Pakaya, 52 tahun (tokoh masyarakat) 15

Mei 2012

89

menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat demi pencapaian visi dan

misi pembangunan desa.

Sesuai dengan penjelasan di atas maka dapat dipastikan bahwa

kepeloporan dalam masyarakat Torosiaje sebelum pasca reformasi dan

sesudah reformasi tidak mengalami perubahan yaitu dengan di pelopori

oleh kepala desa, tokoh adat, generasi muda, beserta tokoh masyarakat.

Dari kepeloporan ini maka perkembangan masyarakat suku Bajo di Desa

Torosiaje akan lebih maju khususnya dalam kebudayaan. Namun

perkembangan budaya masyarakat Bajo di tahun sekarang mengalami

perubahan atau pergeseran dari pelaksanaannya, perubahan budaya yang

menonjol dalam masyarakat Bajo di Desa Torosiaje adalah perkawinan.

Hal ini disebabkan karena sulitnya mendapatkan pakaian-pakaian serta

perlengkapan suku Bajo seperti pakaian baju bodo serta bendera ula-ula.

Masyarakat Torosiaje memiliki berbagai macam budaya-budaya yang

sampai saat ini masih tetap dilestarikan dengan baik. Adapun budaya-

budaya suku Bajo Desa Torosiaje antara lain sebagai berikut :

1. Upacara perkawinan

Pada awalnya, ketika masyarakat Bajo masih hidup dalam bido

(perahu), perkawinan hanya berlangsung diantara kelompoknya sendiri.

Hal ini disebabkan hubungan dengan masyarakat luar hanya terjadi pada

90

waktu pertukaran ikan hasil tangkapannya. Tetapi dewasa ini, meskipun

perkawinan mayoritas masih terjadi diantara masyarakat Bajo sendiri

namun ada juga yang kawin dengan orang bagai (bukan orang Bajo).

Saat ini telah sulit untuk menemukan pelaksanaan upacara

perkawinan seperti apa yang dilakukan masyarakat Bajo pada jaman

dahulu. Namun demikian, walaupun pelaksanaan perkawinan pada

masyarakat Bajo telah mengalami pergeseran, tetapi pergeseran tersebut

tetap mengacu pada apa yang telah dilakukan pada masa lalu. Secara

umum tahapan-tahapan pelaksanaan perkawinan pada masyarakat Bajo

di Desa Torosiaje dapat di sebutkan antara lain :

a. Peminangan

Sebelum acara peminangan dilakukan, orang tua orang tua

dari pihak laki-laki dating ke rumah pihak perempuan untuk

menyampaikan niatnya bahwa kedua anak mereka saling

mencintai dan memiliki rencana untuk di lanjutkan ke jenjang

pernikahan. Kalu rencana ini disetujui oleh pihak perempuan

maka dilanjutkan dengan musyawarah untuk menentukan

langkah berikutnya yaitu menentukan waktu peminangan.

Selanjutnya acara meminangan dari pihak laki-laki

terhadap pihak perempuan. Pada acara meminangan ini pihak

91

laki-laki harus menyediakan perlengkapan yang akan diberikan

kepada pihak perempuan berupa :

1. Kain putih sebanyak 1 paece. Maka kain puti ini adalah

melambangkan kesucian dari niat untuk melaksanakan

perkawinan. Selain itu juga untuk persediaan manakala ada

yang meninggal.

2. Penanga atau Mahar yang berupa uang senilai RP. 30.000,-

(tiga puluh ribu). Pada masa lalu uang mahar ini sebesar

Rp.150,- bagi laki-laki yang berasal dari masyarakat Bajo

dan Rp. 300,- bagi laki-laki yang berasal dari luar. Namun

pada saat ini nilai mahar tersebut telah disesuaikan dengan

kondisi masyarakat sekarang.

3. Bagi mereka yang mampu, selain dua perlengkapan tersebut

juga ditambah dengan mushaf Al- Qura’an serta

perlengkapan shalat berupa kain untuk shalat (cipu) dan

sajadah.

Besar dan banyaknya perlengakapan yang berupa kain

dan uang tersebut terdapat pengecualian bagi mereka yang

sudah janda. Banyaknya kain hanya ½ peace dan uang hanya

sebesar Rp. 15.000,-. Tetapi dari tiga perlengakapan

92

tersebut, kain putih merupakan perlengkapan yang paling

penting mau dan tidak mau harus ada.

Perlu di kemukakan juga bahwa penanga (mahar

Rp.30.000) yang diberikan oleh keluaarga pengantin laki-

laki kepada keluarga pengantin wanita hanyalah lambang

semata, kerena jumlah tersebut tidak berarti apabila

dibandingkan dengan besarnya ongkos yang dikeluarkan

untuk purong (pesta perkawinan), dalam acara peminangan

ini juga dilakukan musyawarah untuk menentukan hari,

tanggal serta segala sesuatunya yang akan di pakai dalam

pelaksanaan perkawinan59

.

Acara peminangan pada masyarakat suku Bajo di Desa

Torosiaje pada zaman dulu memiliki perbedaan dengan

perkembangan sekarang ini. Pada saat penyerahan mas

kawin, para anggota dan dewan adat selalu berangkat dari

rumah mempelai laki-laki dan di iringan dengan tabuhan

rebana yang dibawakan oleh banyak orang. Suara rebana

menunjukan mempelai perempuan bahwa kiriman mas

kawin akan segera datang.

59

Sri Suharjo. Op. cit, hlm. 59-61

93

Mas kawin diletakan di tengah-tengah sehelai kain putih

yang menutupi sebuah meja kecil dari kayu. Kepala adat

memeriksa apakah jumlah 1.500 rupiah dan kain putih itu

sudah disediakan . kain putih itu dilipat dan kedua ujungnya

di ikat, kemudian seseorang anggota dewan adat

mengalungkannya di lehernya60

.

b. Pelaksanaan perkawinan

Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan upacara

perkawinan. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ini

cara-cara yang dilakukan antara lain :

1. Akad nikah atau ijab Kabul. Satu hal yang paling

penting dalam berumah tangga adalah pengakuan dan

keabsahan dari suatu perkawinan. Akad nikah atau ijab

Kabul merupakan titik puncak pelaksanaan perkawinan.

Sepasang pengantin dianggap sah menurut sara apabila

telah megucapkan ijab Kabul61

.

60

Francois Robert Zacot, 2008. Orang Bajo. Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia, hlm. 94

61 Wawancara dengan bapak Bujang Kabah, 56 tahun (tokoh agama) 3 Mei 2012

94

2. Nasehat perkawian dan pembacaan do’a. nasehat

perkawinan yang ditujukan khususnya kepada kedua

mempelai dilakukan oleh pegawai sara’ atau ketua

kampong yang dimintakan oleh keluarga memiliki acara

perkawinan. Setelah nasehat disampaikan acara diakhiri

dengan do’a syukur atas selesai dan terlaksananya acara

perkawinan62

.

Di samping dua cara tersebut, masyarakat ada

kalanya mengadakan pesta bagi keluarga dan

masyarakat sekitarnya. Tetapi hal ini bukanlah menjadi

suatu keharusan. Dalam upacara perkawinan, dahulu

mempelai duduk di ranjang, tetapi untuk saat ini

biasanya hanya duduk di kursi. Sedangkan pakaian yang

dikenakan pada waktu acara perkawinan ini adalah :

bagi laki-laki mengenakan kemeja warna putih,

memakai sarung dan jas warna hitam serta memakai

kopia atau songkok. Sedangkan bagi mempelai

perempuan mengenakan kebaya warna putih dengan

kain batik. Suatu pakaian yang melambangkan

kesederhanaan.

62

Wawancara dengan bapak Amin Pakaya, 53 tahun (mantan kepala desa) 4 mei 2012

95

2. Tolak Bala atau maso’ro

Upacara tolak bala atau maso’ro dalam masyarakat Torosiaje

biasanya di laksanakan selama satu tahun sekali. Tolak bala dalam

presepsi masyarakat Bajo yaitu untuk mengusir penyakit-penyakit

yang melanda desa mereka, dan kemudian menjaga agar desa

tersebut tidak terkena musibah, seperti banjir, gempah bumi, tanah

longsor, tsunami, dan sebagainya. Selain itu juga, tolak bala

merupakan salah satu benteng pertahanan untuk menjaga desa

agar terhindar dihal-hal yang tidak di inginkan seperti gangguan

dari roh-roh halus.

Pada tahun-tahun sebelumnya ritual tolak bala ini masih di

laksanakan secara rutin oleh masyarakat Torosiaje setiap

tahunnya. Ritual tolak bala merupakan sebuah perwujudan serta

mengambikan diri kepada para roh-roh penguasa alam dengan

cara memberikan sesajen sebagai persembahan agar permohonan

mereka dapat dikabulkan. Sesajen yang sudah dibuat sedemikian

rupa akan dihanyutkan ke laut.

Pelaksanaan dalam tolak bala hanya orang-orang tertentu saja

yang memiliki peranan penuh dalam pelaksanaan ini, seperti ketua

adat, tokoh agama serta tokoh masyarakat yang sudah mengetahui

96

aturan-aturan dalam ritual tolak bala. Selama ritual ini masih

berlangsung masyarakat suku Bajo di Desa Torosiaje secara

keseluruhan tidak boleh melakukan kegiatan yang mereka lakukan

setiap harinya. Barang siapa orang yang datang atau mengunjungi

ke tempat suku Bajo dan ada pendatang tidak mengetahui sama

sekali seperti turis, maupun suku lain kemudian datang ke tempat

suku Bajo akan dikenakan denda, denda yang dikeluarkan itu

sesuai keputusan kepala adat, Biasanya denda untuk menebis

kesalahan yang mereka lakukan.

Ritual tolak bala ini dilaksanakan selama tiga hari dan selama

tiga hari itu masyarakat suku Bajo tidak boleh melakukan aktifitas,

seperti aktifitas-aktifitas masyarakat turun mencari ikan, maupun

hiburan-hiburan lainnya itu tidak dibolehkan dalam masyarakat

Bajo dalam melakukan aktifitas tersebut selama tiga hari63

.

Ritual tolak bala di tahun-tahun sekarang ini, sudah

mengalami perubahan secara signifikan, yang awalnya tolak bala

ini dilaksanakan selama 3 hari, namun sekarang ritual tolak bala

tidak memerlukan waktu yang panjang hanya dilaksanakan

beberapa jam saja. Biasanya tolak balak dilaksanakan sebelum

63

Wawancara, Umar Pasander, 41 tahun (tokoh masyarakat). 22 April 2012

97

matahari terbenam setelah matahari terbenam, segala aktifitas ini

sudah berahir. Di samping itu juga, hanya orang tertentu saja yang

terlibat dalam ritual tersebut, yang biasanya seluruh lapisan

masyarakat Bajo di Desa Torosiaje terlibat dalam hal ritual ini,

namun sekarang tidak ada lagi aturan yang melarang mereka

melakukan aktifitas sehari-hari, begitu juga bagi para pendatang

tidak lagi di kenakan denda.

Sesuai dengan perkembangan zaman banyak kebudayaann

suku Bajo di Torosiaje satu per satu mulai bergeser dengan

sendirinya, jadi dapat di asumsikan bahwa semakin tinggi

kemajuan zaman semakin rendah tingkat otoritas manusia untuk

mempertahankan suatu kebudayaan yang dimiliki, semakin rendah

pengetahuan kita tenteng budaya maka semakin dekat budaya kita

akan hilang.

Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa

pemicu terjadinya perubahan budaya talak bala dalam lapisan

masyarakat Torosiaje yaitu dengan semakin pesatnya zaman yang

dapat membutakan akal pikiran manusia, sehingga masyarakat

tidak lagi memperdulikan budaya yang sudah di wariskan dari

leluhur mereka.

98

3. Penyambutan tamu

Penyambutan tamu merupakan salah satu interaksi sosial

dalam budaya Bajo untuk mempererat tali persaudaraan. Dalam

penyambutan tamu ini, di mana pemangku adat sudah

mempersiapkan alat-alat seperti rabana, gendang sebagai

pengiring tamu yang di tunggunya.

Upacara penyambutan tamu ini biasanya di laksanakan ketika

ada pendatang yang memiliki kewibawaan lebih tinggi seperti

Bupati dan Gubernur. Penyambutan tamu ini di iringi dengan

tarian-tarian khas masyarakat Bajo serta di iringi dengan musik

yang berasal dari kombinasi antara rabana dengan gendang64

.

Melihat dari perkembangan Desa Torosiaje yang secara

signifikan membuat perkembangan budaya ini khususnya dalam

pelaksanaan penyambutan tamu sudah mulai hilang, yang dulunya

alat-alat yang digunakan sebagai perlengkapan sudah di gantikan

dengan musik-musik yang modern.

64

Wawancara dengan Yunus Apunye, 42 tahun (tokoh masyarakat) 23 Mei 2012

99

4. Penyembuhan orang sakit antara lain:

a. Batte (bendera)

Batte (Bendera) merupakan salah satu lambang kampung

yang di tancapkan di depan kampung meraka atau juga di

pasang di depan rumah masing-masing. Tujuan Batte yaitu

untuk mengusir para roh halus, setan maupun jin memasuki

kampung mereka khususnya suku Bajo yang ada di Desa

Torosiaje65

.

Batte ini juga memiliki satu warna putih yang di mana

bendera tersebut sudah ditulisi dengan tulisan ayat Al-Quran

oleh beberapa pemangku adat.

b. Tiba tuli (buang sesajen)

Upacara yang dilakukan oleh masyarakat Bajo di Desa

Torosiaje, merupakan salah satu adat istiadat yang diwariskan

oleh nenek moyang mereka dan sudah mendara daging pada

diri mereka. upacara Tiba Tuli, Tiba Anca, Tiba Kakak, Tiba

Toana, ini tidak bisa terlepas dari adat istiadat mereka,

penyembuhan ini sangat penting bagi masyarakat Bajo,

65

Wawancara dengan Lukman Langka, 58 tahun (tokoh masyarakat) 12 Mei 2012

100

walaupun di Desa Torosiaje ada puskesmas sebagai tempat

pengobatan medis, masyarakat tetap mengunjungi puskesmas

tersebut, selain itu juga mereka tidak bisa lepas dari

penyembuhan dengan menggunakan adat mereka sendiri.

Dalam artian bahwa puskesmas dengan adat istiadat mereka ini

berjalan bersama-sama. Bila pengobatan medis tidak sanggup

lagi menangani penyakit tersebut, salah satunya adalah dengan

menggunakan adat istiadat mereka, yaitu melakukan upacara

tiba tuli,tiba anca, dan sebagainya.

Proses pelaksanaan tiba tuli ini tidak sembarang orang

yang melakukannya, hanya orang-orang yang tertentu saja

yang dapat melakukan pelaksanaan tiba tuli ini, tiba tuli

biasanya di laksanakan apabila seorang menderita gejala-gejala

yang disebabkan oleh setan laut maupun setan darat. Dengan

memberikan sesajen sebagai makanan kepada setan itulah salah

satu tujuannya agar setan tidak mengaggu manusia lagi66

.

Tiba tuli merupakan penyambuhan tahap awal bagi orang

yang menderita penyakit. Pandangan orang Bajo penyakit yang

di lakukan ini hanya penyakit akibat ulah setan, jin, dan lain

66

Wawancara dengan bapak Alex Borman, 34 tahun (pemangku adat), 3 Mei 2012

101

sebagainya. Apabila dalam penyembuhan tiba tuli si sakit

belum merasakan reaksi dari kesembuhan maka langkah

selanjutnya yaitu dengan penyembuhan tiba anca. dalam

penyembuhan itu ada obatnya masing-masing dan itu bukan

sembarangan orang yang mengetahuinya.

c. Tiba anca (buang Anca)

Tiba anca merupakan salah satu penyembuhan penyakit

untuk mendeteksi penyakit apa yang di derita oleh si sakit.

Sehingga penyembuhan ini merupakan budaya dan adat

istiadat mereka yang rumit dan sulit sekali dipahami oleh orang

lain dan juga untuk mendapatan bahan-bahan sebagai

persyaraktan ritual rutinitas mereka tidaklah muda didapatkan.

namun masyarakat Bajo tetap melaksanaan ritual tersebut.

Sebelum melaksanakan rutual tiba anca, alangkah baiknya

memeriksa penyakit apa yang di deritanya. Kemudian kita bisa

memastikan ritual yang pas dalam penyembuhan penyakit ini.

Penyakit yang diderita yaitu seperti penyakit yang sudah

berbulan-bulan, maupun bertahun-tahun belum bisa

102

disembuhkan maka tiba ancalah salah satu penyembuh

penyakit yang dideritanya67

.

Tiba anca ini biasanya di persembahkan pada setan darat

dan setan laut untuk memberikan sajen agar tidak menganggu

manusia. Upacara ritual ini juga memiliki nilai-nilai spiritual

yang dianggap masyarakat Bajo sebagai kepercayaan mereka,

menurut pengetahuan masyarakat Bajo bahwa tiba anca ini

merupakan satu-satunya penyembuhan yang terakhir. Apabila

dalam penyembuhan ini di anggap gagal dalam artian si sakit

tidak juga sembuh penyakitnya maka akan meninggal dunia,

dan begitu sebaliknya bila penyakit yang diderita si sakit sesuai

dengan pengobatan atau yang mereka tuju pada setan laut maka

si sakit ini bisa sembuh seperti semula. Gejala-gejala penyakit

yang ditimbulkan antara lain yaitu panas tinggi yang di

sebabkan oleh setan darat dan panas dingin itu biasanya

dialami oleh masyarakat Bajo yang berada di lautan.

Secara demikian tak ada pengobatan yang dilangsungkan

secara bertahap, tak ada penyembuhan sedikit demi sedikit.

Obat penagkal itu tak ada duanya dan harus tepat pada

67

Francois Robert zacot, op. cit, hlm. 259

103

waktunya, seperti penyembuhannya yang juga harus cepat

terjadi.

d. Tiba kutta (buang Gurita)

Tiba kutta merupakan cara pengobatan yang di lakukan

dengan membuat sesajen kepada setan gurita atau setan buaya

yang berada di laut. Di mana seseorang merasakan kesakitan di

dalam tubuhnya, namun sakitnya itu berpindah-pindah yang

awalnya di kepala kemudian berpinda di perut, tangan, kaki,

dan sebagainya. Bagi orang Bajo, hal ini memiliki logika yang

jelas. Ia tahu dari mana datangnya penyakit dan bagaimana

cara pengobatannya. Ia harus mengikuti peraturan yang

berlaku68

.

Semua orang Bajo tahu bahwa pada umumnya setan

bertindak lewat perantaran raja-raja, yaitu wakil-wakilnya yang

berupa ikan gurita, kutta, dan buaya. Dalam penyembuhan ini

yang berperan penuh adalah dukun ia mengetahui binatang

mana yang bertanggung jawab atas penyakit itu dan setan

mana yang harus diberikan. Semua penyakit ini selalu di tandai

dengan demam. Kalau kepala dengan tangan (ujung-ujung

68

Ibid, hlm. 258

104

anggota badan) maka ikan guritalah yang bertanggung jawab,

karena “ikan gurita hidup di ari di tengah karang-karang” kalau

dukun melihat hanya kepala dan setengah badan bagian atas

yang panas sedangkan tangan dan kaki dingin, maka

penyebabnya adalah buaya, karena “ketika buaya merayap ke

darat, hanya sebagian tubuhnya yang terbenam di dalam air

sedangkan kepalanya terkena sinar matahari.

Dianogsa yang kelihatannya sangat sederhana ini hanya

dapat dilakukan oleh para ahli. Mereka menerapkan tiga jenis

sajen sesuai dengan penyakitnya. Orang Bajo mengatakan

bahwa obat pemunahnya berbeda-beda tergantung keadaan,

penyakit itu berubah-ubah, demikian juga namannya. Nama

sajen itu cukup untuk menerangkan penyakit yang diderita,

sebab penyakit itu tak punya nama. Jadi juga diketahui siapa

yang bertanggung jawab, apakah buaya atau ikan gurita. Nama

penyakit itu adalah ikan gurita atau buaya itu. Artinya : sumber

penyakit itu, keduanya tak dapat dipisahkan

e. Tiba kaka (pembuangan saudara sulung)

Upacara tiba kaka ini dilakukan apabila ada seorang anak

kecil tersenyum, meronta-ronta dan menangis dalam tidurnya

105

itu bahwa adalah perbuatan si kakanya, yaitu ari-ari yang

sedang mengunjungi dan mengganggu adiknya. Supaya ia

tidak mengganggu Ndi (adik), maka ia harus diberi makan.

Dalam hal ini orang harus melakukan upacara Tiba Kaka atau

Tiba Tamuni artinya membuang ari-ari.

Sebagai pencegah, beberapa orang tua melakukan upacara

tiba kakak pada bulan baru. Pada saat itu mereka menganggap

bahwa anak sedikit demam. Menurut Ma Si Nuhung

Mengetahui bahwa demam itu tidak perlu di khwatirkan.

Demam itu merupakan bagian dari hubungan tetap dan pasti

antara setiap orang Bajo dengan kakak sulungnya yang berada

di dasar laut.

Isi dari sesajen antara lain satu buah kelongko (Batok

Kelapa) tanpa dikupas sabutnya, tiga batang rokok dan tiga

buah kepalan nasi, setelah itu menambah potongan-potongan

buah pinang dan kelapa, tembakau dan garam kemudian

sebuah lilin buatan sederhana yang diletakan di pinggir

kalongko menyinari sesajen69

.

69

Ibid, hlm. 290

106

f. Tiba Toa’na

Orang Bajo sampai saat ini, masih mempercayai

penyembuhan-penyembuhan yang bersifat mistik, dalam artian

sulit untuk di percayai bagi orang lain salah satu contoh

berinteraksi dengan mahluk halus seperti setan, jin, dan lain

sebagainya. Namun orang Bajo lebih mengutamakan

penyembuhan dengan cara memberikan sajen kepada setan-

setan dari pada berobat ke puskesmas. Menurut masyarakat

Bajo penyembuhan orang sakit ini sudah dari jaman nenek

moyang mereka dan budaya ini harus di jaga dan dilestarikan

dengan sebaik-baiknya.

Tiba to’na merupakan cara penyembuhan yang dilakukan

dengan memberikan sesajaen kepada setan darat dan laut.

Tujuan dari pemberian sesajen ini yaitu untuk menghilangkan

penyakit yang diderita si sakit. Biasanya ritual tiba to’na

dilaksanakan apabila ada seorang yang tertimpa mala petaka

seperti patah tulang akibat kebakaran dan lain sebagainya.

Percakapan dengan setan perlu dilakukan meskipun dengan

kekuatan jahat. Sekali lagi percakapan seperti ini hanya bisa

dilakukan oleh orang tertentu salah satunya yaitu ketua adat

maupun masyarakat yang sudah menguasai bacaan-bacaan

107

dalam upacara tiba toa’na. Dengan tujuan itulah si sakit

menyiapkan talam berisi sebuah keris yang dibungkus dengan

kain putih, sebuah payung dan lima sen rupiah, sebuah wadah

berisi bara api dan sebuah teko70

.

g. Ngaburutuang

Masyarakat Bajo sampai saat ini mereka masih

mempercayai adanya setan, maupun roh halus, apabila

seseorang mendapat keteguran dari setan laut maupun setan

darat. Langkah yang dilakukan untuk memastikan penderita ini

mengalami penyakit apa yang telah membuat si sakit sampai

muntah, pusing, sakit perut. Dengan ngaburutuanglah si sakit

ini bisa disembuhkan.

Penyembuhan ngaburutuang bukanlah salah satu

penyembuhan yang di anggap mudah oleh orang lain namun

hanya orang yang tau saja yang mengetahui cara-cara

ngaburutuang ini. Keteguran ini kebanyakan di alami oleh

anak-anak karena mereka melanggar sesuatu yang tidak bisa di

lakukan, misalnya tertawa terlalu berlebihan dan sebagainya.

Proses penyembuhannya yaitu seseorang sebagai perantara

70

Ibid, hlm. 367

108

yang akan di tarik rambutnya, sedangkan si sakit tidak jauh-

jauh dari si pelantaran tersebut.

Kategori penyembuhan ngaburutuang dan I’kiko ini tidak

terlalu mengeluarkan biaya yang besar, karena peralatan dalam

pelaksanaannya hanya sederhana, sedangkan menurut

masyarakat Bajo kategori seperti ini masih di golongkan

penyembuhan yang sederhana.

h. I’kiko (penyembuhan penyakit campak pada manusia)

I’kiko merupakan salah satu penyembuhan penyakit

campak dan sebaginya yang di derita anak-anak maupun orang

dewasa dengan cara menyanyikan lagu. lagu-lagu yang

dinyanyikan bukan lagu yang kita sering dengar sehari-hari,

lagu ini berbahasa Bajo dan orang-orang khusus saja yang

dapat menyanyikan lagu tersebut.

Menurut hasil informasi dari masyarakat Bajo bahwa

I’kiko sekarang ini jarang sekali melakukan adat tersebut, di

karenakan bahwa hanya orang-orang terdahulu saja yang tahu

sair-sair lagu tersebut dan sekarang ini juga tinggal satu atau

dua saja yang tahu lagu ini.

109

i. Tiba tamuni (buang ari-ari)

Proses tiba tamuni ini biasanya dilakukan setelah

seseorang melahirkan, dengan seketika itu juga mereka

melaksanakan tiba tamuni. Masyarakat Bajo yang ada di

Torosiaje melakukan proses ini dengan membuang ari-ari si

bayi ke lautan, sedangkan masyarakat Bajo yang ada di darat

mereka menguburkan ari-ari si bayi di muka teras mereka.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Sosial Budaya

Masyarakat Torosiaje

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Segala

sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan

yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Dalam kehidupan sehari hari,

karena perubahan gaya hidup manusia, perubahan zaman dan lain lain

maka budaya pun ikut beradaptasi dengan lingkungan kehidupan yang

ada. Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur

sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat.

Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi

sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai

dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan

110

perubahan. Menurut saya, kebosanan manusia lah yang sebenarnya

merupakan penyebab dari perubahan.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sosial budaya

dalam masyarakat Torosiaje antara lain :

a. Faktor interen

1. Pendidikan

Pendidikan merupakan modal utama yang harus

dimiliki oleh seorang pelopor, dalam kata lain seorang

pelopor harus memiliki pengetahuan yang lebih luas dan

memiliki ide-ide dalam pikirannya untuk mengembangkan

kreatifitasnya. Meninjau perkembangan budaya Bajo di

Desa Torosiaje, melihat standar pendidikan yang mereka

dapatkan masih sangatlah rendah71

.

Generasi muda masyarakat Torosiaje memang

sangatlah banyak. Namun disisi lainnya, mereka sangat

kurang mendapatkan pendidikan di bangku sekolah

(pendidikan formal), namun mereka hanya belajar dari

pengalaman yang mereka dapatkan di lapangan. Itupun

sebagian besar pemuda hanya berdiam diri tanpa melihat

lingkungan yang ada di sekiratnya.

71

Wawancara dengan bapak, Kamal Ismail. 46 tahun (tokoh masyarakat) 4 Mei

2012

111

Berbeda lagi dengan perkembangan budaya pada masa

zaman dulu, meskipun mereka tidak mendapatkan

pendidikan seperti sekarang ini, namun mereka lebih di

tekankan pada satu tujuan yaitu untuk menjaga dan

melestarikan budaya Bajo, mereka hanya mendapatkan

pengetahuan yang mereka dapat dari leluhur mereka.

Bila dibandingkan dengan perkembangan budaya di

zaman era reformasi ini, memang sangatlah berbeda,

meskipun pendidikan di mana-mana namun tetap saja tidak

bisa mengubah kembali budaya Bajo seperti semula.

2. Bertambah atau Berkurangnya Penduduk

Bertambahnya penduduk yang sangat cepat

menyebabkan terjadinya perubahan dalam struk-tur

masyarakat, terutama yang menyangkut lembaga-lembaga

kemasyarakatan. Contoh, dengan adanya urbanisasi,

mencetak pengangguran-pengangguran baru yang

menyebabkan meningkat-nya angka kemiskinan. Situasi ini

mengakibatkan tingginya angka kriminalitas di kota-kota

besar. Sedangkan berkurangnya penduduk karena urbanisasi

112

mengakibatkan kekosongan yang berakibat berubahnya

bidang pembagian kerja, stratifikasi sosial, dan lain-lain72

.

Dengan bertambahnya penduduk dalam suatu daerah,

menjadi pengaru besar terhadap budaya yang berada di desa

tersebut, masyarakat Bajo contohnya di tahun 1998

mayoritas penduduknya adalah suku Bajo asli namun lambat

laun dengan perkembangan zaman yang bembuat perubahan

penduduk makin cepat, sehingganya penduduk yang berada

di Torosiaje makin lama makin mengalami perubahan

meskipun tidak langsung bersentuhan dengan budaya Bajo

setempat.

3. Penemuan-Penemuan Baru (Inovasi)

Penemuan-penemuan baru sebagai akibat terjadinya

perubahan dapat dibedakan menjadi discovery dan

invention, discovery merupakan penemuan baru dari suatu

unsur kebudayaan yang baru, baik yang berupa alat baru

ataupun berupa suatu ide yang baru. Gontoh, penemuan

mobil diawali dengan pembuatan motor gas oleh S. Marcus.

72

Wawancara dengan bapak suyono kaba, 29 tahun (guru SD Desa Torosiaje).

10 Mei 2012

113

Selanjutnya, discovery menjadi invention jika

masyarakat sudah mengakui, menerima, bahkan menerapkan

penemuan tersebut. Adanya mobil yang telah

disempurnakan menjadi sebuah alat pengangkutan manusia

merupakan salah satu wujud invention. Invention menunjuk

pada upaya menghasilkan suatu unsur kebudayaan baru

dengan mengombinasikan atau menyusun kembali unsur-

unsur kebudayaan lama yang telah ada dalam masyarakat.

4. Konflik dalam Masyarakat

Pertentangan atau konflik dalam masyarakat marnpu

pula menyebabkan terjadinya perubahan sosial. Secara

umum pertentangan tersebut dapat berupa pertentangan

antarindividu, antara individu dengan kelompok,

antarkelompok serta konflik antargenerasi. Pada umumnya

akibat konflik dapat merenggangkan kekeluargaan atau

golongan. Hal inilah yang menyebabkan perubahan sosial

dalam masyarakat.

b. Faktor eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang berasal dari

luar masyarakat yang bisa mendorong terjadinya perubahan

sosial. Faktor-faktor tersebut antara lain:

114

1) Lingkungan Alam/Fisik di Sekitar Manusia

Lingkungan alam dapat mengakibatkan

perubahan sosial budaya. Terjadinya gempa bumi,

banjir bandang, tsunami, topan, gunung meletus, dan

lain-lain mengakibatkan sebagian warga yang tinggal di

daerah tersebut terpaksa mengungsi ke daerah lain. Di

tempat pengungsian, mereka haras beradaptasi dengan

lingkungan sekitarnya baik lingkungan fisik maupun

sosialnya, kondisi ini mengakibatkan perubahan-

perubahan pada lembaga-lembaga ke-masyarakatan.

2) Pengaruh Kebudayaan Masyarakat Lain

Hubungan yang dilakukan secara fisik antara dua

masyarakat mempunyai kecenderungan untuk

menimbulkan pengaruh timbal balik. Yang pada

akhirnya, memunculkan perubahan sosial. Hal ini

dikarenakan masing-masing masyarakat memengaruhi

masyarakat lain, tetapi juga menerima pengaruh dari

yang lain sehingga terjadi penyebaran kebudayaan yang

menghasilkan kebudayaan baru

Generasi muda lebih menggemari kebudayaan

asing. Sehingga membuat budaya asli suatu bangsa

115

berubah. Padahal belum tentu budaya asing tersebut

akan cocok dengan kepribadian mereka. Walaupun kita

tidak harus menolak secara seluruhnya akan budaya

asing yang datang, tetapi kita harus dapat menyaring

atau memilah-milah mana saja kebudayaan yang cocok

atau dapat diterima dan mana yang tidak dapat diterima.

Semuanya kembali pada kesadaran masing-masing tiap

individu, apakah ingin memelihara kebudayaan suatu

bangsa itu sendiri atau lebih memilih kebudayaan asing

yang akan selalu hadir dari masa ke masa sesuai

perkembangan teknologi yang ada.

3. Upaya pemerintah dalam menyikapi kebudayaan suku Bajo di Desa

Torosiaje

Bagaimanapun pemerintah memiliki peran yang cukup strategis dalam

upaya pelestarian kebudayaan daerah di tanah air. Pemerintah harus

mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang mengarah pada upaya

pelestarian kebudayaan lokal. Salah satu upaya yang harus di bangkitkan

kembali di antaranya yaitu 1) Pelestrian adat & budaya suku Bajo

(pernikahan, upacara tolak bala, Penyambutan). 2) Pengadaan

Perlengkapan jenanzah & kedukaan(keranda pipa,cangkul, sekop, pakeo,

linggis,terpal tenda ). 3) Pembangunan Sanggar seni budaya suku Bajo. 4)

116

Pengadaan perlengkapan seni & budaya suku Bajo (pakaian adat, gendang,

gambus,Gong, kulintang & bendara ula – ula )73

Salah satu kebijakan pemerintah yang pantas didukung adalah

penampilan kebudayaan-kebudayaan daerah di setiap even-even akbar

nasional. Misalnya tari-tarian, lagu daerah, dan sebagainya. Semua itu

harus dilakukan sebagai upaya pengenalan kepada generasi muda, bahwa

budaya yang ditampilkan itu adalah warisan dari leluhurnya. Bukan berasal

dari negara tetangga. Demikian juga upaya-upaya melalui jalur formal

pendidikan. Masyarakat harus memahami dan mengetahui berbagai

kebudayaan daerah yang kita miliki. Pemerintah juga dapat lebih

memusatkan perhatian pada pendidikan muatan lokal kebudayaan daerah

Pemerintah juga harus lebih bisa mempromosikan kebudayaan negeri

ini supaya negeri lebih baik dan nyaman untuk bangsa bangsa lain dan

terkenal bias juga dengan cara membuat pergelaran pergelaran kebudayaan

Indonesia ,Menjalin kerja sama atau hubungan baik dengan negara lain di

seluruh bidang, baik di bidang pariwisata, bidang politik, bidang

pengetahuan dan lain sebagainya. Pemerintah daerah harus lebih

mengembangkan dan memajukan daerah-daerah terpencil di seluruh

73

Naskah Rencana Pembangunan Jangkah Menengah Desa (PRJMDES) tahun 2011,

Loc. Cit

117

bidang terutama di bidang ekonomi, pendidikan dan Teknologi agar tidak

tertinggal oleh daerah/ kota besar lainnya yang ada di Indonesia.

Melestarikan dan mengembangkan kebudayaan-kebudayaan lokal

bias juga dengan mencintai kebudayaan dan melindungi kebudayaan

supaya kebudayaan ini berkembang. Mempelajari dan mengenal berbagai

macam kebudayaan yang ada di Indonesia agar timbul di dalam diri

seseorang untuk menjaga kebudayaan Indonesia dari pengaruh kebudayaan

luar yang negatif. Bersama-sama pemerintah mengembangkan dan

memajukan kebudayaan-kebudayaan di setiap daerah terutama di daerah-

daerh terpencil yang masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah

ataupun masyarakat di kota-kota maju.

Melihat perkembangan kebudayaan lokal yang berada di daerah

masing-masing, salah satunya yaitu budaya masyarakat Bajo di Desa

Torosiaje yang memiliki berbagai macam ragam budaya dari adat

perkawinan, penyambutan tamu, penyembuhan orang sakit dan lain

sebagainya. Selain itu juga budaya masyarakat Torosiaje memiliki ciri

khasnya yaitu bertempat tinggal di perairan dangkal yang bertempat di

Desa Torosiaje kabupaten pohuwato.

Desa Torosiaje selain kaya dengan kebudayaannya, desa ini juga

memiliki keindahan dan keunikan di bandingkan dengan desa-desa lain,

sehingga Desa Torosiaje menjadi tempat wisata bagi para wisatawan

118

maupun masyarakat lokal lainnya. Semua kemajuan di Desa Torosiaje ini

tidak lain partisipasi dari pihak pemerintah untuk menjaga dan

mengembangkan budaya-budaya yang mereka miliki.

Masyarakat Torosiaje memiliki berbagai macam budaya yang tidak

dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat suku Bajo diantaranya yaitu

budaya perkawinan, penyambutan tamu, kematian, penyembuhan orang

sakit dan masih banyak budaya lainnya. ini mencerminkan banyaknya

kebudayaan Bajo yang harus di jaga dan di tuturkan kepada generasi muda

untuk melanjutkan cita-cita leluhur mereka74

.

Selanjutnya tujuan untuk melanjutkan serta melestasikan budaya Bajo

harus diperlukan seorang pelopor yang memiliki jiwa pemimpin dalam

mengatasi permasalahan yang akan melanda kebudayaan di Indonesia

khususnya budaya Bajo di Torosiaje. Kebudayaan barat yang disebut

kebudayaan modern bermula pada jaman Renaisance. Ketika Vasco da

Gama sebagai wakil kebudayaan barat berhasil mengelilingi Afrika dan

mendarat di Kalikut, maka terbentanglah bagi seluruh Asia suatu sejarah

baru.

Menciptakan benteng pertahana dalam kebudayaan di perlu seorang

pelopor agar dapat menciptakan budaya kepeloporan menyadarkan jiwa-

74

Wawancara dengan bapak Umar Pasander, 41 tahun (tokoh masyarakat)

22 April 2012

119

jiwa manusia agar dapat mengetahui betapa pentingnya arti sebuah budaya.

Dalam hal ini peran pemerintah sangatlah penting dalam memerankan

perannya dalam memberikan fasilitas kepada masyarakat Bajo untuk

mengmbangkan kebudayaan agar budaya mereka tetap terjaga dengan baik.

Pemerintah disini dalam artian bahwa mempunyai tanggung jawab

yang besar dalam menjaga budaya Bajo di Torosiaje, peran ini biasanya

tidak terlibat langsung di dalamnya melainkan hanya memberikan fasilitas-

fasilitas kepada masyarakat Bajo khusunya di Desa Torosiaje untuk

mengembangkan budaya yang mereka miliki.

Di era sekarang ini, pihak pemerintah sedang menjalankan program

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDES). Tujuan dari

pembangunan ini yaitu untuk meningkatkan pembangunan desa serta

melestarikan budaya-budaya Bajo di Desa Torosiaje.

Desa Torosiaje masyarakat memilih mengembangkan karamba jaring

apung yang kemudian difasilitas sebanyak 10 kelompok. Semua yang

dikelola dalam bentuk kelompok dilakukan dengan model pengembangan

dana bergulir dengan prioritas pada keluarga miskin. Dana bergulir

sengaja dipilih untuk memastikan bahwa fasilitas yang diberikan dapat

120

dimanfaatkan secara berkelanjutan dan dapat dinikmati oleh segenap

masyarakat yang membutuhkan75

.

Pemberian fasilitas usaha bagi kelompok dampingan tidak diberikan

begitu saja. Pada proses awal, semua kelompok binaan dibekali dengan

pelatihan usaha, baik managemen usaha, studi banding maupun proses

penguatan kapasitas kelompok guna mendukung tercapainya kelompok

usaha yang solid dan berkelanjutan. Penguatan kelompok secara intensif

dilakukan oleh pendamping desa yang tinggal bersama masyarakat dan

berinteraksi secara adaptif dalam proses dinamika yang terjadi dalam usaha

kelompok yang dibina.

Pemerintah memiliki peran aktif dalam pelestarian budaya suku Bajo

Desa Torosiaje. Dengan didirikannya rumah adat yang bertempat di atas

laut ini membuat masyarakat suku Bajo tersanjung karena budaya mereka

dapar di perkenalkan kepada masyarakat lain dengan jalan rumah adat itu

sendiri76

.

Dapat disimpulkan bahwa pemerintah daerah memiliki wewenang

yang sangat besar dalam pembangunan desa. Desa Torosiaje dari tahun

1998 mengalami perubahan yang sangat besar, meskipun Desa Torosiaje

75

Wawancara dengan bapak silahudin kalaha, 56 tahun (kepala Desa Torosiaje jaya)

2 Mei 2012

76 Wawancara dengan bapak Bujang Kaba, 56 tahun (tokoh agama) 3 Mei 2012

121

dikatakan desanya kecil manum memiliki banyak potensinya yang

menyebabkan desa tersebut menjadi salah satu desa yang terpandang di

kota gorontalo. Pemerintah merasa tergugah keunikan yang dimiliki desa

tersebut, sehingga dari pihak pemerintah banyak mengeluarkan dana dalam

proses pembangunan desa tersebut setra menjada budaya leluhur mereka

dari ancaman mordenisasi sekarang ini.