bab ii gambaran umum lokasi penelitian 2.1 letak...
TRANSCRIPT
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
2.1 Letak geografis
Wilayah Buton Utara merupakan daerah bekas fatsal Kesultanan Buton. Akan
tetapi sebelum terintegrasi dengan Kesultanan Buton, wilayah Buton Utara menurur
sumber lokal memiliki masa tersendiri yakni oleh masyarakat setempat menyebutnya
masa prabarata. Pada masa ini, Buton Utara memiliki tiga pemukiman utama yakni
Doule, Bangkudu, dan Lemo, dari ketiga pemukiman ini sebagai awal daerah yang
masuk dalam wilayah Buton Utara pada masa prabarata. Akan tetapi dalam
pencarian sumber dalam penelitian ini, tidak ditemukan sumber tertulis, ataupun
sumber mengenai keadaan geografi yang jelas tentang Buton Utara pada masa
prabarata. Hal ini berdasarkan hasil wawancara dari tokoh adat dan masyarakat yang
mengetahui cerita sejarah pada masa prabarata mnegetahui secara jelas tentang
keadaan geografinya, dan hanya mereka ketahui pernah ada peradaban tersendiri
sebelum terintegrasi dengan Kesultanan Buton.
Berdasarkan yang ditemukan peneliti dilapangan dalam penelitian ini, yakni
penemuan bekas peninggalan seperti benteng, bekas-bekas karamik, yang menjadi
bekas pemukiman masyarakat di Buton Utara pada masa prabarata, yang
membuktikan bahwasannya daerah ini memilki sejarah tersendiri. adapun daerah ini
juga tidak diketahui pasti letak geografinya pada Buton Utara masa prabarata karena
13
dua kali masuk dalam wialayah daerah lain yakni pada saat terintegrasinya dengan
kesultanan Buton pada awal abad ke-17.
Setelah pembentukan kabupaten Muna pada masa Orde Baru, karenanya
Buton Utara dua kali daerah ini masuk dalam wilayah kekuasaan daerah lain
sehingga hanya diketahuai letaknya disebelah selatan pulau Buton, dan sebelah barat
Kabupaten Muna. Dengan adanya pemekaran kabupaten Buton Utara pada abad ke-
21 baru diketahui secara jelas tentang letak daerah Buton Utara, yang akan dijelaskan
rincianya sebagai berikut:
Kabupaten Buton Utara adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi
Tenggara yang wilayahnya meliputi lebih separuh wilayah Pulau Buton bagian Utara,
serta pulau-pulau kecil yang tersebar di sekitar kawasan tersebut terutama di
Kulisusu, minus Kecamatan Wakurumba Selatan, Kecamatan Pasir Putih, dan
Kecamatan Maligano. Kabupaten Buton Utara terletak di bagian selatan katulistiwa
pada garis lingtang 4006’ sampai 5015’ lintang selatan dan dari barat ke timur
122059’ bujur timur sampai dengan 123015’bujur timur.
Kabupaten Buton Utara di sebelah utara berbatasan dengan selat dan pulau
Wawonii; sebelah timur berbatasan dengan laut Banda dan kabupaten Wakatobi,
sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Buton dan sebelah barat berbatasan
dengan selat Buton, kabupaten Muna dan daratan kabupaten Konawe selatan. Karena
letak dan batas-batas wilayahnya tersebut maka Buton Utara merupakan daerah
transit perjalanan laut atau pelayaran dan berdagang dari dan ke Wakatobi-Buton
Utara-Wawonii, Wakatobi-Butur-Muna–Wakatobi-Butur-Kendari pulang pergi.
Sekarang ini Buton Utara menjadi rute pelayaran tetap empat kali seminggu dari dan
ke Wakatobi-Butur-Kendari dengan pelabuhan transit teluk Wa ode Buri. Rute ini
mulai ada sejak pemekaran tahun 2007.
Sejarah kawasan Buton Utara merupakan daerah transit dalam kegiatan
pelayaran dan perdagangan dari dan ke Maluku-Buton atau sebaliknya, baik melalui
jalur selat Buton sebelah barat maupun jalur laut banda sebelah timur. Karena itu
kawasan ini hingga abad ke-19 merupakan daerah yang menjadi sumber sengketa
antara Ternate dan Buton. Di kawasan ini, terdapat teluk Kulisusu yang dipenuhi oleh
karang dan pulau-pulau kecil berliku-liku yang sangat membahayakan bagi setiap
pelayaran. Karena itu pada zaman kompeni, di teluk ini dinamakan teluk
menyesatkan. Dalam kaitan dengan bahaya teluk ini Susanto Zuhdi menjelaskan
bahwa selain itu perairan yang berbahaya adalah teluk Kulisusu terletak di bagian
timur pulau Buton. Pelaut-pelaut VOC menyebut teluk ini sebagai teluk menyesatkan
(dawalbai). Wilayah perairan ini merupakan pertemuan arus laut Banda dengan laut
Flores mengenai keadaan perairan teluk ini dapat diperhatikan peristiwa yang dialami
oleh seorang nakhoda bernama Frans Arendsz pada bulan November 1730 (dalam
Zuhdi 2010:41-42)
Di bagian barat ada tiga pelabuhan dan unik pemukiman penting yang
bernama Labuan Walanda, Labuan Tobelo, Labuan Wolio. Tiga pelabuhan ini
mempunyai arti penting dalam sejarah kawasan Buton Utara. Labuan Walanda
berkaitan dengan berlabunya pasukan Belanda, Labuan Tobelo berkaitan dengan
berlabunya pasukan Tobelo (Ternate), dan Labuan Wolio berkaitan dengan
berlabunya pasukan Wolio (Buton) ketika ada rencana serangan Ternate ke Buton
yang di pimpin oleh kesultanan Ternate Baabullah pada masa pemerintah sultan
Buton I Murhum. Ligvoed menjelaskan bahwa tidak jauh dari bagian utara di jalan
masuk selat Buton terdapat tempat bernama Walanda, disinilah pengawas utama
wilayah timur. Arnold De Vlaming Van Oudshor pada Desember 1654 dan Januari
1655 mendaratkan pasukannya dalam upaya menghadang orang Makassar menuju ke
Maluku, tempat mereka mengobarkan perlawanan terhadap VOC Livoed (dalam
Alihadara 2010:15). Dari arah ini pula perampok Tobelo memasuki pelabuhan Buton.
Tempat berlabu mereka sampai sekarang dikenal dengan nama Labuan Tobelo yang
terletak di Buton Utara (Zuhdi, 2010:40) dan kini menjadi ibukota Kecamatan
Wakurumba Kabupaten Buton Utara.
2.2 Luas wilayah
Kabupaten Buton Utara secara adminitratif terdiri dari enam kecamatan
definitif selanjutnya, terbagi atas 49 desa, delapan kelurahan, dan dua Unit
Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang dalam tahap pembinaan dinas tenaga kerja, dan
transmigrasi, kabupaten Buton Utara. Adapun luas daratan Kabupaten Buton Utara
adalah1.923,03 km atau 192.303 hektar yang terletak dibagian utara pulau Buton.
Dari enam kecamatan yang berada di kabupaten Buton Utara, kecamatan Bonegunu,
merupakan kecamatan paling luas dibandingkan kecamatan yang lainnya, yaitu seluas
491, 44 km atau 25, 59% dari seluruh luas Kabupaten Buton Utara. Selajutnya,
disusul kecamatan Kulisusu Barat seluas 370,47 km atau 19,26%. Kecamatan
Kulisusu Utara seluas, 339,64 km atau 15,78%. Selanjutnya dua kecamatan kecil
dengan luas masing-msing kecamatan Wakurumba seluas 245, 26 km atau 12, 75%
dan terakhir kecamatan Kulisusu 172, 78 km atau 8,98% dari seluruh luas wilayah
Kabupaten Buton Utara.
2.3 Kondisi Tanah Dan Air
2.3.1 Topografi
Pada bagian wilayah utara pulau Buton terdiri dari barisan pegunungan yang
sedikit melengkung kearah utara-selatan dengan ketinggian antara 300-800 meter di
atas permukaan laut. Berdasarkan ketinggian di atas permukaan air laut, hampir
setengah (92.799 ha) atau sebesar 48,26% luas wilayah Kabupaten Buton Utara
berada diketinggian 100-500 meter di atas permukaan air laut, disusul ketinggian 25-
100 meter diatas permukaan air laut seluas 40.694 ha atau sebesar, 21,16%.
Sedangkan wilayah yang memiliki ketinggian 0-7 meter di atas permukaan laut
adalah seluas 13.100 ha, atau 6,81% dari seluruh luas wilayah Kabupaten Buton
Utara.
Berdasarkan kemiringan, wilayah Kabupaten Buton Utara memiliki
kemiringan yang hampir merata pada setiap klasifikasi kemiringan, dimana
kemiringan, 0-2% atau seluas 57.129 hektar (29,71 persen) kemudian disusul
kemiringan 51-40% seluas 55.309 hektar atau 28,76% dari seluruh wilayah
Kabupaten Buton Utara. Selanjutnya kemiringan lebih dari 40% seluas, 50. 875
hektar atau 26,46% serta kemiringan 2-15% seluas 28.990 hektar atau 15, 08% dari
seluruh luas wilayah Kabupaten Buton Utara.
2.3.2 Geologis
Kondisi wilayah Kabupaten Buton Utara ditinjau dari sudut geologis pada
umumnya, di pulau Buton bagian utara memiliki jenis tanah mediteran, rensiana dan
litosol, sedangkan wilayah Kabupaten Buton Utara bagian selatan memiliki tanah,
podsolik, merah kuning.
2.3.3 Hidrologis
Ditinjau dari keberadaan sungai, beberapa sungai yang cukup besar dan telah
melalui kajian teknis di Kabupaten Buton Utara antara lain sungai Lambale, sungai
Langkumbe, sungai Kioko, sungai Bubu, sungai Kambowa, sungai Lahumoko, dan
sungai Lagito, sungai-sungai tersebut selain sebagai jalur tranportasi, yang membawa
hasil pertanian dan hasil hutan dari Kabupaten Buton Utara ke daerah-daerah lain.
Diwilayah pesisir, juga sangat potensial sebagai air irigasi bagi usaha perkembangan
pertanian di Kabupaten Buton Utara.
2.3.4 Oceonografi
Kabupaten Buton Utara memiliki wilayah, perairan laut yang cukup potensial
untuk mengembangkan usaha perikanan dan hasil laut lainnya, berbagai jenis ikan
yang banyak ditangkap oleh nelayan di Kabupaten Buton Utara antara lain cakalang,
teri, kembung, udang serta berbagai udang lainnya. Selain jenis ikan lainnya juga
terdapat hasil laut lainnya yang sangat potensial antara lain teripang, japing-japing,
lola, mutiara serta agar-agar yang sampai saat ini masih merupakan primadona
perairan laut, bagi masyarakat Buton Utara.
2.3.5 iklim
Kabupaten Buton Utara pada umumnya beriklim tropis dengan suhu rata-rata
antara 250 C – 27
0 C dan seperti halnya daerah lain, dimana pada bulan tersebut angin
bertiup dari benua Asia dan samudra Pasifik mengandung banyak uap air yang
menyebabkan terjadinya hujan sebagian besar wilayah Indonesia termasuk wilayah
Kabupaten Buton Utara.
2.4 Keadaan Demografi
2.4.1 Jumlah penduduk dan persebarannya.
Penduduk asli yang mendiami wilayah Buton Utara adalah orang Kulisusu
yang termasuk salah satu suku di Buton. Sebagaimana disebutkan dalam satu sumber
tertulis bahwa dari ciri-ciri fisiknya penduduk suku Buton pada umumnya termasuk
ras Proto Melayu dan Mongoloid yang persebarannya dimulai dari daratan Asia
melalui Annam, Indocina, Kamboja terus ke Asia Tenggara kepulauan. Gelombang
penyebaran tersebut boleh jadi akibat peperangan antara suku atau penyakit menular
dan wabah. Penduduk yang menyebar kearah selatan secara berangsur-angsur melalui
pelayaran di jazirah Sulawesi Tenggara yang membawa suku Tolaki, Meronene,
Buton dan Muna ke daerah tempat tinggal mereka saat ini. Gelombang persebaran
penduduk saat ini hampir sama dengan penyebaran penduduk dibeberapa daerah lain
di Indonesia.
Penduduk yang bermukin di wilayah Buton Utara memeliki banyak kesamaan
dengan penduduk yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara pada ummnya. Mereka
adalah orang-orang kreatif penuh fitalitas, ulet dan pemberani disertai dengan salinan
kekerabatan yang kuat dan akrab. Hal ini diperkuat lagi dengan jalinan komunikasi
yang lancar antar penduduk yang tersebar diberbagai pulau yang ada di Sulawesi
Tenggara.
Kondisi kesejahteraan disuatu wilayah juga berkaitan dengan masalah
kependudukan. Semakin besar jumlah penduduk disuatu wilayah maka semakin besar
pula beban dan tangung jawab pemerintah daerah dalam mengelolah keberadaan dan
kebutuhan penduduk tersebut. Ada banyak masalah kependudukan yang mengemuka
akhir-akhir ini dimana pemerintahan daerah harus cepat mengatasinya.
Penduduk Kabupaten Buton Utara berjumlah 48.700 jiwa yang terdiri dari
penduduk laki-laki 23.389 jiwa dan penduduk perempuan sebesar 25.311 jiwa dengan
jumlah rumah tangga sebesar 12.500 kepala keluarga (KK) penduduk Kabupaten
Buton Utara tersebar di enam kecamatan yakni kecamatan Bonegunu sebesar 7.252
jiwa (14,89%), kecamatan Kambowa 5.364 jiwa (11,01%), kecamatan Wakurumba
6.096 jiwa (12,52%), kecamatan Kulisusu 17.100 jiwa (35,11%) kecamatan Kulisusu
Barat 5.978 jiwa (12,28%) dan Kecamatan Kulisusu Utara 6.910 jiwa (14,19%).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat diagram tabel dibawah ini
Tabel 1
Kecamatan Luas wilayah
(𝐊𝐌𝟐)
Penduduk Persebaran
(%)
Bonegunu 491,44% 7.252 41,89
Kambowa 303,44% 5.364 11,01
Wakurumba 245,26% 6.096 12,52
Kulisusu 172,78% 17.100 35,11
Kulisusu barat 370,47% 5.078 12,28
Kulisusu utara 339,64% 6.910 14,19
Buton utara 1.923,03 48.700 100
Sumber : Buton Utara dalam angka 2013
Tabel 2
Kecamatan Jenis kelamin Jumlah
Laki-laki Perempuan
Bonegunu 3.328 3.924 7.252
Kambowa 2.606 2.758 5.364
Wakurumba 2.902 3.904 6.096
Kulisusu 8.200 8.900 17.100
Kulisusu barat 2.978 3000 5.978
Kulisusu utara 3.375 3.535 6.910
Jumlah 23.389 25.311 48.700
Sumber: Buton Utara dalam angka 2013
Berdasarkan tabel diatas terlihat jelas bahwa didominasi oleh kaum
perempuan, hal ini disebabkan tradisi masyarakat Buton Utara pada umumnya
dimana kaum laki-laki selalu merantau ke daerah lain untuk mencari nafkah demi
memenuhi kebutuhan hidup mereka.
2.4.2 Kepadatan Penduduk
Penduduk Kebupaten Buton Utara berjumlah 48.700 jiwa dengan luas wilayah
sebesar 1923,03 km2 mempuyai kepadatan penduduk rata-rata 25 jiwa/km2.
Kecamatan yang paling padat penduduknya adalah Kecamatan Kulisusu sebesar 99
jiwa/km2 menyusul Kecamatan Wakurumba sebesar 25 jiwa/km2, Kecamatan
Kulisusu rata-rata 20 jiwa/km2, Kecamatan Kambowa sebesar 18 jiwa/km2,
Kecamatan Kulisusu Barat 16 jiwa/km2 dan yang paling jarang penduduknya adalah
Kecamatan Bonegunung sebesar 15 jiwa/km2. Tingginya tingkat kepadatan penduduk
sebagian besar aktifitas jasa pemerintah dan perdagangan masih berpusat di
Kecamatan Kulisusu (Buton Utara dalam angka 2013)
2.4.3 Kelompok Umur
Penduduk kelompok usia 0-14 tahun berjumlah 20.098 jiwa atau 41,27% dari
seluruh penduduk Kabupaten Buton Utara. Kemudian kelompok usia 15-54 tahun
dikenal pula dengan kelompok penduduk usia produktif berjumlah 24.825 jiwa
(50,98%) serta kelompok usia 55 tahun sebanyak 3.377 jiwa atau sebesar 7,75% dari
seluruh penduduk Kebupaten Buton Utara. Dengan komposisi usia seperti itu nampak
bahwa usia ketergantungan penduduk di Kabupaten Buton Utara masih relatif besar
dimana usia produktif memliki beban terhadap penduduk yang belum atau tidak
produktif lagi atau lanjut usia (Buton Utara dalam angka 2013)
2.4.4 Pendidikan
Keberhasilan kegiatan pembangunan tidak hanya memerlukan dukungan
investasi modal fisik namun jauh lebih memerlukan dukungan investasi sumberdaya
manusia (SDM). Tanpa dukungan sumberdaya manusia yang memadai akan terjadi
ketidakmampuan menjalankan investasi diberbagai sektor perekonomian dan sebagai
akibatnya pertumbuhan ekonomi tidak akan dapat dicapai secara berkelanjutan.
Untuk itu UUD 1945 secara tegas telah menetapkan bahwa pendidikan merupakan
hak bagi setiap warga negara. Hingga 1983 kenyataan menunjukan masih 16,46%
pendudk usia SD (7-12) dalam kondisi tidak sekolah. Beranjang dari realita itu, pada
tahun 1984 pemerintah mencanagkan gerakan wajib belajar untuk anak usia 7-12
tahun. Selain bertujuan untuk mereduksi peresentase penduduk yang tidak tamat SD
secara implisit kebijakan ini juga menegaskan juga bahwa pendidikan SD merupakan
suatu kebutuhan dasar bagi setiap penduduk (Buton Utara dalam angka 2013).
Sejalan dengan tuntutan global pemerintah kembali menyadari bahwa
peningkatan mutu SDM merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat titunda-tunda
lagi. Untuk itu secara tertulis pemerintah kembali menuangkan kebijaksanaan
pengembangan SDM dalam garis besar haluan negara (GBHN). Sebagai tindak lanjut
pada tanggal 2 Mei 1924 pemerintah mencanagkan pendidikan lanjut 9 tahun.
Dengan kata lain pendidikan SLTP sudah dianggap kebutuhan dasar setiap penduduk.
Pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi setiap warga negara dimana
keberhasilan suatu bangsa sangat dipengaruhi tingkat pendidikan peduduknya.
Pendidikan merupakan pembentuk watak bangsa disegala bidang kehidupan,
khususnya meningkatkan mutu sumberdaya manusia dalam pembangunan ekonomi.
Upaya untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan meningkatkan
penyediaan fasilitas-fasilitas dan tenaga pendidik dari berbagai ilmu pengetahuan.
Dengan tersedianya fasilitas pendidik dan para pendidik yang berkualitas, diharapkan
setiap warga dapat menikmati pendidikan yang layak.
Pelaksanaan pembangunan pendidikan di Kabupaten Buton Utara untuk
tingkatan TK, SD, SMP telah menjangkau semua kecamatan. Indikator yang dapat
mengukur tingkat perkembanganpendidikan di Kabupaten Buton Utara seperti jumlah
Sekolah, guru dan murid sebagai mana disajikan dalam tabel dibawah ini:
Tabel 3
Tingkat
pendidikn Sekolah Guru Murid
Rata-rata
Guru/sekolah Murid/sekolah Murid/guru
TK 36 59 1.569 2 43 27
SD 70 523 9.533 8 136 16
SMP 19 225 3.501 12 184 16
SMA 9 158 2.264 17 252 15
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Buton Utara 2013
Tabel 4
Jumlah sekolah, Guru, dan Murid TK, SD, SMP, SMA
menurut kacamata tahun ajaran 2013
Kecamatan Sekolah Guru Murid Rasio murid/guru
Bonegunu
TK 2 3 117 39
SD 11 79 1420 18
SMP 4 34 588 17
SMA 2 20 432 22
Kambowa
TK 5 6 210 35
SD 8 63 1144 18
SMP 2 28 340 12
SMA 1 7 40 6
Wakurumba
TK 3 5 300 60
SD 11 77 1351 18
SMP 2 20 438 22
SMA 1 12 212 18
Kulisusu
TK 14 28 508 18
SD 23 197 3271 17
SMP 8 131 1406 11
SMA 2 70 1038 15
Kulisusu Barat
TK 7 7 279 40
SD 8 43 1028 24
SMP 1 1 265 24
SMA 1 9 157 17
Kulisusu Utara
TK 5 10 151 15
SD 9 70 1319 19
SMP 2 22 464 21
SMA 2 34 385 11
Jumlah 134 986 16863 74
Sumber : Dinas pendidikan Nasional Buton Utara 2013
Pada tabel 4 memberikan informasi pendidikan meliputi jumlah Sekolah guru
dan murid tahun ajaran 2013. Pada tahun ajaran 2013 sekolah taman kanak-kanak
(TK) berjumlah 36 unit dengan jumlah Guru 59 orang serta murid 1569 orang. Rasio
murid terhadap Guru adalah 27 yang berarti setiap 1 orang guru terdapat 27 murid.
Jumlah sekolah dasar (SD) di Kabupaten Buton Utara tahun ajaran 2013
adalah 70 unit yang tersebar di 6 kecamatan dengan jumlah Guru 529 orang serta
jumlah murid sebanyak 9533 orang. kecamatan Kulisusu adalah kecamatan yang
memiliki sekolah dasar terbanyak yaitu 23 unit dengan jumlah Guru sebabnya 197
orang, murid sebanyak 3271 orang, menyusul Kecamatan Bonegunu dan Wakurumba
masing-masing terdapat 11 unit, Kecamatan Kulisusu Utara ada 9 unit dan yang
paling sedikit adalah Kecamatan Kambowa dan Kecamatan Kulisusu Barat masing-
masing hanya memiliki 8 unit Sekolah dasar. Adapun rasio murid sekolah dasar
terhadap guru adalah 18 dan yang paling tinggi terdapat di Kecamatan Kulisusu barat
sebanyak 24 dan yang paling kecil adalah Kecamatan kulisusu sebesar 17. Kecilnya
rasio murid/guru di Kecamatan Kulisusu disebabkan pertambahan jumlah guru yang
relatif besar sebanyak 197 orang pada tahun 2010.
Pada tingkat sekolah menengah pertama (SMP) di Kabupaten Buton Utara
berjumlah 19 unit dengan jumlah guru sebanyak 246 orang serta murid sebanyak 351
orang. pembangunan sarana pendidikan di Kabupaten Buton Utara sudah ada setiap
Kecamatan, bahkan Kecamatan Kulisusu terdapat 8 unit SMP, Kecamatan Bonegunu
4 unit, Kecamatan Kambowa, Wakurumba dan Kulisusu Utara masing-masing 2 unit
serta Kecamatan Kulisusu Barat terdapat 1 unit SMP. Dilihat dari rasio murid
terhadap Guru untuk tingkat SMP rata-rata 13
Pembangunan pendidikan di tingkat sekolah menengah atas (SMA) di
Kabupaten Buton Utara telah menjangkau disemua Kecamatan bahkan di Kecamatan
Bonegunu, Kulisusu, Kulisusu Utara terdapat 2 SMA sedangkan di Kecamatan
lainnya masing-masing 1 unit. Jumlah sekolah menengah atas di Kabupaten Buton
Utara sebanyak 9 unit dengan 152 orang Guru dengan siswa berjumlah 2264 orang.
adapun rasio murid terhadap Guru adalah rata-rata 15, yang tertinggi terdapat di
Kecamatan Bonegunu rata-rata 22 dan yang paling rendah di Kecamatan Kambowa
rata-rata 6.
2.4.5 Keadaan Penduduk Menurut Agama
Mayoritas penduduk Buton Utara memeluk agama Islam. Hal ini dapat dilihat
dari berbagai macam kegiatan seperti sunatan, ibadah di Mesjid, dan puasa
Ramadhan. Namun, selain keyakinan mereka kepada Allah dan Qur’an, mereka juga
memiliki tradisi seperti praktek perdukungan. Perdukunan adalah kepercayaan adanya
dunia gaib para dewa, iblis, roh, dan jin. Mereka bergantung kepada dukun (laki-laki
atau perempuan) untuk menyembuhkan penyakit dengan kekuatan magis,
berkomunikasi dengan para dewa, dan mengendalikan segala kejadian. Masyarakat
Buton Utara juga melakukan pesta makan untuk menentramkan para roh halus (Idrap
2013).
Pembangunan bidang agama diarahkan kepada terciptanya kebahagian dunia
dan akhirat. Oleh karena itu peningkatan pengalaman kepada Tuhan yang Maha Esa
dan diarahkan kepada terciptanya keserasian hubungan antara manusia dengan
sesama dan diantara manusia dengan alam sekitarnya. Jumlah pemeluk agama dan
kegiatan pembangunan bidang agama seperti pembangunan sarana peribadatan di
Buton Utara dapat dilihat dari tabel 5 dibawah ini
Tabel 5
Jumlah agama dan sarana peribadatan Buton Utara tahun 2013
Agama Pemeluk Sarana peribadatan
Masjid/langgar Gereja Vihara
Islam 30875 99 - -
Kristen 9708 - 4 -
Hindu 8917 - - 16
Total 48700 99 4 16
Sumber : Buton Utara dalam angka 2013
Pada tabel jumlah penduduk dan sara peribadatan diatas terlihat bahwa pemeluk
agama Isalam posisi teratas dari total jumlah penduduk di Buton Utara yaitu sebesar
63,40 persen, menyusul penganut Agama Kristen sebesar 19,93 persen dan penganut
Agama Hindu sebesar 16,67 persen. Pada tahun 2013 jumlah sarana peribadatan di
Buton Utara sebanyak 199 buah atau sebesar 94, 28 persen dari total jumlah rumah
ibadah di Buton Utara yang terdiri atas 72 buah Mesjid 27 buah Langgar/ Surau/
Mushallah, 4 buah Gereja (3,18 persen) dan 16 buah Pura/Vihara (15,24 persen).
Perlu ditegaskan bahwa penganut agama Islam di Buton Utara adalah penduduk asli,
sedangkan penganut agama Kristen adalah para taransmigrasi dari asal Flores Nusa
Tenggara Timur dan penganut agama Hindu adalah para transmigrasi berasal dari
Bali.
2.5 Struktur Masyarakat
2.5.1 Sistem Kekerabatan
Sebagaimana halnya masyarakat lain di Indonesia, masyarakat Buton Utara
mengenal hubungan kekerabatan antara satu dengan lainnya, baik dalam lingkungan
keluarga maupun di luar lingkungan keluarga. Sistem kekerabatan dalam lingkungan
keluarga adalah berdasarkan keturunan yang biasa disebut keluarga batin (inti) yang
berasal dari satu rumah yang kemudian berkembang menjadi keluarga luas.
Keluarga batin adalah suatu kelaurga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.
Ayah adalah kepala rumah tangga yang bertanggung jwab untuk mencari nafkah bagi
kelangsungan hidup keluarganya. Ia merupakan tumpangan perlindungan lahir dan
batin bagi istri dan anak-anaknya. Ibu bertugas mengatur rumah tangga, termasuk
membinan anak-anak secara langsung. Sedangkan anak-anak merupakan tenaga yang
diharapkan untuk turut membantu ayah dan ibu dalam memperkuat ekonomi
keluarga. Selain itu juga seorang anak juga diharapkan dapat menjaga nama baik dan
kehormatan keluarga, dengan demikian dalam kelaurga batin terjaling hubungan
yang harmoni antara ayah, ibu, dan anak-anaknya.
Kelauarga yang laus adalah suatu kelompok keluarga yang masih mempunyai
hubungan darah yang abtara lain terdiri dari spupu, paman, bibi, kakek, nenek, cucu,
kemanakan, saudara sekandung dan ipar. Uraian tersebut mengambarkan hubungan
kekerabatan dalam hubungan kekerabatan dalam suatu laingkungan keluarga serta
masih mempunyai hubungan darah dan menunjukan pertalian antara satu sama lain
sehingga dinamakan keluarga yang laus. Dalam keluarga luas selalu ada yang
dituakan yang mempunyai peranan yang sangat penting seperti hal yang dihadapi
anggotanya. Selain itu sebagai tumpuan perlindungan jika terjadi perselisihan
diantara anggotanya.
2.5.2 Sistem Pelapisan Sosial
Dalam kehidupan bermasyarakat sudah menjadi kenyataan bahwa masyarakat
senantiasa bergelut dengan nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur pola tingkah
laku setiap anggota masyarakat. Namun demikian dapat memenuhi hak dan
kewajiban sesuai dengan norma-norma atau aturan nilai yang dianutn oleh
masyarakat. Dengan tidak meratanya hak dan kewajiban menyebabkan pelapisan
sosial dalam masyarakat.
Sebagaimana halnya masyarakat Buton Utara pada masa lampau atau sejak
dahulu telah mengenal pelapisan sosial berdasarkan pada keturunan. Dalam
stratifikasi sosial terbagi atas tiga golongan yakni:
1. Golongan bangsawan (kaomu)
2. Golongan masyarakat kebanyakan (walaka)
3. Golongan papara, golongan ini muncul akibat masalah khusus atau ada alasan-
alasan tertentu .
Golongan ini oleh masyarakat kulisusu disebut dengan maradika. Namun
dalam prakteknya kehidupan masyarakat buton utara hanya mengenal dua golongan
masyarakat yakni golongan kaomu dan golongan walaka. Golongan bangsawan
biasanya bergelar (Ode) adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam struktur
pemerintahan barata kulisusu seperti jabatan lakino (raja) dan Kabobato (kepala
daerah). Sedangkan golongan walaka terbagi dua yaitu golongan walaka siolimbano
yang disebut cumbu salaka dan golongan walaka sebagai rakyat biasa. Golongan
walaka cumbu salaka megang kekuasaan yang disebut Kabonto atau dewan kerajaan.
Sedangkan walaka biasa diberi jabatan seperti jabatan pande gau atau juru bicara,
talombo (penerangan) dan saragenti (prajurit).
Stratifikasi sosial masyarakat Buton Utara dipersatukan oleh suatu falsafat
yang menjadi perekat sosial sejak terbentuknya komunitas kecil masyarakat pertama,
yakni polibu-libu pogaa hinay koloota bersatu padu bercerai tetap tidak berantara.
Falsafah ini menjadi kenyataan kehidupan pemerintahan karena apa yang menjadi
haknya golongan kaomu menjadi kewajiban golongan walaka dan sebaliknya apa
yang menjadi haknya golongan walaka merupakan kewajiban golongan kaomu.
2.5.3 Suku Bangsa dan Falsafah Hidup
Mayoritas suku kulisusu atau Buton Utara hidup disemenanjung kecil dan
berbukit, kira-kira selebar 5 km dan sepanjang 20 km. Pertumbuhan penduduk cukup
pesat. Akibatnya, beberapa masyarakat Buton Utara bergeser kebagian utara
semenanjung. Daratan ini oleh pemerintah indonesia dipilot menjadi lokasi
transmigrasi dari wilayah-wilayah Indonesia yang padat penduduknya.
Etnis Kulisusu atau Buton Utara berdomisili dibagian timur pulau Buton.
Meskipun asal usul etnis Kulisusu masih banyak yang terungkap, akan tetapi mereka
diperkirakan telah menempati wilayah sekarang ini lebih dari 400 tahun yang lalu.
Karenanya ancaman terus-menerus dari Ternate yang berlangsung kurang lebih 300
tahun, maka Kulisusu merasa nyaman menjadi bagian dari kesultanan Buton.
Secara garis besar suku-suku yang mendiami Buton Utara terdiri dari tiga
suku asli yakni suku Kulisusu, suku Kioko, dan suku Wakurumba/Taloki (radar
Buton kamis 29 juli 2010). Suku Kulisusu mendiami daerah dibagian timur, suku
Kioko mendiami daerah bagian selatan, dan suku Taloki mendiami bagian barat
(Idrap, 2013).
Semenjak buton utara masuk menjadi pemerintahan Kabupaten Muna pada
tahun 1960, suku mulai bermigrasi kewilayah ini terutama dibagian barat yakni
Kecamatan Wakurumba, kemudian menyusul etnis Jawa, Madura, Bali melalui
program transmigrasi yang ditempatkan di Kecamatan Kulisusu Barat dan Kecamatan
Bonegunu. (Idrap, 2013) dan kemudian menyusul etnis Flores dari Nusa Tenggara
Timur melalui program transmigrasi nasional, Wolio, Cia-cia, Wakatobi, dan Tolaki.
Pandangan hidup masyarakat Buton Utara, dapat dilihat pada sistem
pelayanan atau perantauan masyarakat Buton pada umumnya dan khusususnya
masyarakat Buton Utara memegang semangat kebaharian atau pandangan hidup
bahwa “key tekarakoako pangaawa, hinamo imoiko betobansule mpendua” yang
artinya “ kalau layar sudah terkembang, maka tidak baik akan pulang sebelum tiba
ditempat tujuan ( Anwar, 2003, dalam Alihadara 2010:34)
Selain itu pandangan hidup dapat dilihat dari sistem pemerintahan diman
dalam masyarakat Buton Utara dimana mereka memegang falsafah yakni, polibu libu
pogaa hinai kolota, yang artinya bersatu padu, bercerai tapi tidak berantara. Falsafah
ini mengikat seluruh masyarakat Buton Utara baik masyarakat biasa maupun
golongan bangsawan. Ketika Kulisusu atau Buton Utara menjadi bagian dari
Kesultanan Buton, daerah ini menerima senjata ampuh dari Sultan Buton dengan
falsafah gaung katoto (bahasa adat). (Abusaru, 2005, Alihadara, 2010:34). Dalam
bermasyarakat dan berpemerintahan , pertama-tama orang Kulisusu selalu
berlandaskan pada falsafah tokonukui kulino yang artinya kebebasan dan
kemerdekaan, asas tenggang rasa, tidak saling menyakiti, kemudian falsafah
topamentaso laronto mia atau sebagai asas mengasah hati segala manusia dalam
wujud pemberian anugrah dapat berupa pengangkatan dalam suatu kedudukan
jabatan, juga pemberian fasilitas (Abusaru 2005, dalam Alihadara, 2010:34).
2.5.4 Mata Pencaharian
Penduduk yang bermukim di wilayah Buton Utara memeliki banyak
kesamaan dengan penduduk yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara pada umumnya.
Mereka adalah orang-orang yang kreatif, penuh fitalitas, ulet dan pemberani disertai
dengan jalinan komunikasi yang lancar antara penduduk yang tersebar di wilayah
Sulawesi Tenggara. Masyarakat Kulisusu dikenal jujur serta pekerja keras. Ikatan
kekeluargaan sangat kental, sistem kerja upah masih jarang, kejujuran dijunjug tinggi
dan tingkat kriminal masih sangat rendah.
Sistem mata pencaharian penduduk Buton Utara masih tergantung pada
kondisi geografi setempat. Masyarakat Buton Utara yang bermukim di pesisir
memilih mata pencaharian sebagai nelayan menangkap ikan dan mencari hasil-hasil
laut lainya seperti lola dan japing-japing untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Sedangkan masyarakat Buton Utara yang bermukim di daerah pedalaman atau
pegunungan memilih pencarian sebagai petani. Khususnya petani mereka tanam jenis
tanaman jangka panjang antara lain kelapa, jambu mente, dan kopi. Selain itu juga
tanaman jangka pendek antara lain jagung, padi tadah hujan, ubi-ubian, kacang-
kacangan, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Hasil tanaman tersebut dijual keluar
daerah seperti Raha, Bau-Bau dan Kendari. Namun ada juga yang dijual di pasaran
lokal setempat.
Secara sistematis mata pencarian masyarakat Buton Utara dapat dibagi dalam
beberapa bidang antara lain pertanian, nelayan, pelayaran, perdagangan, butuh,
tukang, pengumpul hasil hutan, pegawai negeri sipil, perindustrian, perdagangan,
peternak dan jenis usaha lainnya.
2.5.5 Kesenian
Pada masyarakat Buton Utara memiliki kesenian tersendiri sebelum
terintegrasi dengan Kesultanan Buton di antaranya sebagai berikut:
1. Tari Marere
Tari marere merupakan tari tradisional yang berasal dari Buton Utara.
Sedangkan kata marere dalam bahasa Kulisusu disebut membuat dinding pembatas
yang bersrti seseorang yang belum balig harus melaksanakan prosesi merere. Merere
adalah pelaksanaan prosesi adat untuk mengislamkan seorang menjelang dewasa agar
diberi pengetahuan ilmu keagamaan dengan diajarkannya mengucapkan dua kalimat
syahadat sebagai pertanda telah sah menjadi penganut agama Islam sejati. Biasanya,
sebelum acara merere digelar terlebih dahulu dilaksanakan upacara kegembiraan
pada siang dan malam hari, yakni pertunjukan seni budaya balumpa, ngibi, dan
pencak silat. Usai kegiatan tersebut, dilanjutkan dengan berziarah ke mata morawu
(kima susu) sebagai simbol bahwa asal mula nama Kulisusu yang terdapat letaknya
terdapat didalam benteng kraton (Benteng Lipu) ritual ini menandakan bahwa
seorang telah lahir ditanah Kulisusu.
Setelah ritual adat dilaksanakan, maka dimulailah upacara merere yang
dilaksanakan pada malam hari. Itupun masih melalui beberapa tahapan, seperti
mebulili (memutar), mehungke (pertanda acara merere telah selesai) moato,
(diarahkan keliling kota yang diiringi dengan bunyi-bunyian alat musik taradisional),
meuhu (pemberian selamat kepada orang yang telah melaksanakan merere).
Sedangkan puncak dari pagelaran ini adalah saat duan penari putra,
mengusung dan mengarak nseorang gadis. Gadis ini menutupi wajahnya dengan
sehelai selendang berwarna biru sehingga raut wajahnya tidak terlihat jelas sehingga
dengan kain sutra berwarna keemasan. Selanjutnya diikuti enam penari cantik,
sambil diiringi dengan musik tradisional, enam wanita cantik ini terus menerus
menampilkan gerakan-gerakan tari. Proses selanjutnya, gadis itu diturunkan dan
secara perlahan-lahan selendang yang menutupi wajahnya dibuka sampai kelihatan
wajah perempuan tersebut.
2. Tari Alionda Tari Lense, dan Tari Ngibi
Tari Alionda merupakan kesenian masyarakat kulisusu dimana dibagi
perempuan menggunakan pakayan adat (biludu) dan pakai konde yang dihias renda
serata bagi laki-laki dengan pakayan biasa. Pakayan biludu (baju) yang ditata
tersendiri dengan sarung adat yang merupakan pakayan adat kulisusu. Alionda
biasanya dipertunjukan pada hari-hari raya yang berlangsung sepanjang hari dan ada
kalanya selama tiga sampai tujuh hari. Peserta kesenian ini jumlahnya tidak terbatas.
Sambil membuat lingkaran secara berjejer dengan ayunan tangan dan mempunyai
lagu khusus yakni lagu Alionda. Tradisi lisan menuturkan bahwa tari Alionda
diciptakan oleh bidadari di Kalibu pada 1-3 bulan di langit bulan puasa Ramadhan
(Abusaru 2005, dalam Alihadara 2010:36) Alionda merupakan salah satu acara
hiburan bagi masyarakat Buton Utara. Adapun tahapan pelaksanaan tarian ini
adalalah membuat lingkaran, lalu melantunkan lagu alionda sambil tangan diayunkan
seperti orang molulo (tradisi orang Tolaki) bedanya bahwa tari Lulo sambil berputar,
sedangkan tarian Alionda tidak berputar tapi diiringi dengan bunyi-bunyian alat
musik tradisional.
Pada akhir tarian ini ditutupi dengan tarian Lense. Tradisi lisan menuturkan
bahwa tari Lense diciptakan oleh Wa Ode Bilahi. Karena itu gaya dalam tarian Lense
ini sangat lemah karena penarinya adalah seorang perempuan, tapi mempunyai makna
tersendiri sebagai simbol tingkah laku seorang perempuan yang berbudi luhur,
(Abusaru 2005 dalam Alihadara 2010:36). Dalam tari Alionda diiringi dengan acara
silat, dimana para pesilat berada ditengah-tengah lingkaran. Acara silat ini juga
seperti yang sering dilakukan di Kabupaten Wakatobi, dimana para pelaku saling
mengadu ketangkasan, teknik, dan gaya. Sedangkan tari Ngibi dimainkan oleh laki-
laki dan perempuan yang bermakna kedewasaan baik laki-lakimaupun perempuan.
Tarian ini juga diciptakan oleh Wa Ode Bilahi.
3. Tari Minau, Tari Pangoro, Tari Moloku, dan Tari Bulu-Bulu
Tardisi lisan menuturkan bahwa tari Maniu diciptakan oleh Kapasarano.
Istilah Maniu berasal dari bahasa Arab, manaa yang berarti memberi, salah satu dari
sembilan salah satu dari 99 Asmaul Husna menyebutkan al maniu yang berarti yang
maha member. Tapi dalam bahasa Kulisusu berarti menang. Tari Maniu berarti tari
kemenangan (wawancara dengan bapak Rahmat, 8 juli 2013). Dalam kaitanya dengan
pengertian pertama menunjukan bahwa tari ini adalah salah satu bukti adanya
pengaruh agama dan budaya Islam di Buton Utara. Tradisi lisan menuturkan bahwa
tarian ini lahir sesudah masuknya Islam pada tahun 1538. Tarian ini dimainkan oleh
saregenti (prajurit) (Abusaru, 2005, dalam Alihadara 2010:37). Karena itu dapat
diidentikan dan mempunyai makna sebagai tari perang. Selain tarian minau beberapa
tarian lain mirip dengan tarian ini adalah tarian Pangoro, Moloku, dan Bulu-bulu.
Perbedaan dari atri yang ada ini terletak pada alat atau senjata atau adat yang
digunakan. Tari Minau adalah tari perang dengan menggunakan alat atau senjata
panjang yang dinamakan oleh masyarakat Buton Utara yakni pandanga (tombak).
Tari Moloku menggunakan pedang atau parang (taowu). Tari Bulu-bulu
menggunakan senjata yang dibungkus dengan bulu ayam.
Selain kesenian dalam bentuk tarian juga terdapat jenis kesenian dalam bentuk
tarian suara (seni suara) yang biasanya diiringi dengan alat musik biola, gendang,
gong, (tapasi). Kesenian yang dimaksud adalah lagu lense, kandoo-doo, alionda, dan
maaludu (maulud). Perlu diketahui bahwa lagu maaludu dilaksanakan sepanjang
malam mulai dari magrib sampai dini hari. Adapun pelaksanaannya, pada waktu-
waktu tertentu seperti malam syukuran dan hari-hari raya yang sampai sekarang
masih tetap dipertahankan oleh masyarakat Buton Utara.
2.4.6 Bahasa
Adapun bahasa yang digunakan oleh masyarakat Buton Utara adalah sebagai
berikut:
1. Bahasa Kulisusu (Kalinsusu, Kolinsusu, Kolensusu) dan Bonegunu (1995 Sil).
Merupakan salah satu suku di Sulawesi Tenggara, berada dibagian utara pulau
Buton merupakan rumpun Ausronesia, Malayo Polinesia barat, memiliki
kemiripan bahasa antara Sulawesi Tengah dan Barat, Bungku-Mori Tolaki,
Bungku 81%, kemiripan bahasa antara dialek 77% dengan Tolaki, 75% dengan
Koroni, dengan 66% Wawonii dan Bungku, 65% dengan Moronene, 54% dengan
Mori dan Tolaki.
2. Kioko (1991 Rene Van Den Berg SIL). Sulawesi Tenggara, kecamatan Kulisusu,
di pulau Buton. Austronesia, Malayo-Polynesia Barat, Sulawesi Muna-Buton,
Muna. Dialek: Kioko, Kambowa. Dilaporkan menjadi bahasa tersendiri.
Merupakan bagian bahasa pancana. 82% kemiripan bahasa engan Kambowa, 81%
dengan dialek Laompo Muna, 74% dengan Muna, 75% dengan Liabuku dan
Busoa.
3. Tolaki (taluki) 500 (1995 SIL) Sulawesi Tenggara, pantai barat daya pulau Buton,
kecamatan Wakurumba, desa Maligano, dan beberapa di pulau Buton bagian
selatan, kecamatan Kapontori, desa Wakalambe. Ausronesia, Malayo-Polynesia,
Malayo Polynesia Barat Sulawesi, Sulawesi Tengah, Barat, Bungku, Mori-Tolaki.
77% kemiripan bahasa Kulisusu, 75% dengan Koroni, 66% dengan Wawonii
Bungku, Tulanbatu, 65% dengan Moronene. Para penutur dilaporkan memiliki
dwibahasa yang tinggi di Muna. (Idrap. Etnolinguistik, internet. 2013).
Selain itu masih ada pengaruh bahasa Buton (Wolio) meskipun hanya
ditemakan pada kelompok masyarakat tertentu utamanya mereka yang berusia lanjut
dan pernah menjadi aparat atau syara dimasa Kesultanan Buton. Hal ini menunjukan
bahwa bahasa Buton pernah menjadi bahasa kerajaan Kulisusu. Sementara mereka
menjadi pendatang tentap menggunakan bahasa masing-masing asal daerah.