antagonis obat

25
Antagonis Obat ANTAGONIS OBAT I. PENDAHULUAN Defenisi obat ialah suatu zat yang digunakan untuk diagnose, pengobatan, melunakkan, penyembuhan atau pencegahan penyakit pada manusia atau pada hewan. Meskipun obat dapat menyambuhkan tapi toh banyak kejadian bahwa seseorang telah menderita akibat keracunan obat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa obat dapat bersifat sebagai obat dan juga dapat bersifat sebagai racun. Obat itu akan bersifat sebgai obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi bila digunakan salah dalam pengobatan atau dengan keliwat dosis akan menimbulkan keracunanan. Bila dosisnya lebih kecil kita tidak memperoleh penyembuhan. Obat-obat yang tergolong midriatik bekerja melebarkan pupil mata sedangkan obat golongan miotik mengecilkan pupil mata. Ada obat yang digunakan untuk mencegah perdarahan yaitu golongan hemostatik atau golongan koagulansia yang menjadikan darah menjendal, tetapi adapula obat justru mencegah supaya darah jangan jadi menjendal, hal ini diperlukan untuk transfuse darah atau pada waktu operasi jantung dicegah darah jangan menjendal (trombosis). Parasimpatomimetik. Obat yang digunakan untuk merangsang organ- organ yang dilayani saraf parasipatik. Juga disebut Cholinergik.

Upload: bennie-andista

Post on 28-Nov-2015

113 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Antagonis Obat

Antagonis Obat

ANTAGONIS OBAT

I. PENDAHULUAN

Defenisi obat ialah suatu zat yang digunakan untuk diagnose, pengobatan, melunakkan,

penyembuhan atau pencegahan penyakit pada manusia atau pada hewan.

Meskipun obat dapat menyambuhkan tapi toh banyak kejadian bahwa seseorang telah menderita

akibat keracunan obat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa obat dapat bersifat sebagai obat

dan juga dapat bersifat sebagai racun. Obat itu akan bersifat sebgai obat apabila tepat digunakan

dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi bila digunakan salah

dalam pengobatan atau dengan keliwat dosis akan menimbulkan keracunanan. Bila dosisnya

lebih kecil kita tidak memperoleh penyembuhan.

Obat-obat yang tergolong midriatik bekerja melebarkan pupil mata sedangkan obat golongan

miotik mengecilkan pupil mata. Ada obat yang digunakan untuk mencegah perdarahan yaitu

golongan hemostatik atau golongan koagulansia yang menjadikan darah menjendal, tetapi

adapula obat justru mencegah supaya darah jangan jadi menjendal, hal ini diperlukan untuk

transfuse darah atau pada waktu operasi jantung dicegah darah jangan menjendal (trombosis).

Parasimpatomimetik. Obat yang digunakan untuk merangsang organ-organ yang dilayani saraf

parasipatik. Juga disebut Cholinergik. Efek yang penting terhadap kelenjar, otot polos dan

jantung ialah :

1. menaikkan sekresi kelenjar-kelenjar bronchus, keringat, air mata, dan ludah.

2. menimbulkan miosis, daya akomodasi berkurang.

3. kontraksi otot bronchus

4. pelebaran dari kebanyakar pembuluh umum

5. bradycardia 

6. kontraksi otot kerangka

7. stimulasi lalu depresi dari susunan saraf sentral

8. menaikkan tonus dan motilitas dari saluran usus lambung

- Pilocarpin Hydrochloridum (miotik)

- Carbacholum (bekerja pada tonus saluran kemih)

- Neostigmini Bromidum (miotik, bekerja pada atonus usus dan myasthenia gravis. (Moh.

Page 2: Antagonis Obat

Anief,1993)

II. TUJUAN PERCOBAAN

- untuk mengetahui efek yang ditimbulkan dari pilokarpin

- untuk mengetahui efek yang ditimbulkan dari atropin

- untuk mengetahui obat-obat yang tergolong dalam obat kolinergik

III. PRINSIP PERCOBAAN

Atropin merupakan antagonis kolinergik yang mempunyai efek yang berlawanan dengan

pilokarpin yang merupakan agonis kolinergik. Penggunaan topikal pilokarpin pada kornea mata

dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi otot siliaris, sedangkan atrpin menyekat

semua aktivitas kolinergik pada mata sehingga menimbulkan midriasis (dilatasi pupil).

Page 3: Antagonis Obat

IV. TINJAUAN PUSTAKA

Parasimpatikolitik

Obat yang digunakan untuk melawan efek dari perangsangan saraf parasimpatik, dan merupakan

antagonis dari obat-obat parasimpatomimetik. Juga disebut anticholinergik.

Efek yang penting ialah :

1. penurunan tonus dan mobilitas saluran usus lambung

2. midriasis

3. ketegangan dari otot bronchus

4. pengurangan sekresi dari kelenjar bronchus, air ludah dan kelenjar keringat

5. merangsang dalam dosis besar dan diikuti terjadinya depresi dari susunan saraf sentral

6. dilatasi dari rahi,

- Artopin Sulfas

- Belladonnae Exztractum

- Belladonnae Tinctura

- Homatropini Hydrobromidum

- Hyoscini Hydrobromidum

- Trihexiphenidylum

- Orphenadrini Hydrochloridum (Moh. Anief,1993)

Asetilkolin yang dilepaskan dai terminal saraf parasimpatis pascaganglion bekerja pada berbagai

organ efektor melalui aktivasi reseptor muskarinik. Efek asetilkolin biasanya eksitasi, namun

pengecualian penting terdapat pada jantung, yang menerima serabut kolinergik inhibisi dari

vagus. Obat yang menyerupai efek asetilkolin disebut kolimimetik dan dapat dibagi dua

kelompok yaitu :

- obat yang langsung bekerja pada reseptor (agonis nikotinik dan muskarinik)

- antikolinesterase, yang menghambat asetilkolinesterase sehingga secara tidak langsung

memungkinkan asetilkolin terakumulasi pada sinaps dan menghasilkan efeknya.

Atropin, hiosin (skolpolamin), atau antagonis lain digunakan :

1. pada anastesi untuk memblok vagus yang memperlambat jantung dan untuk menghambat

sekresi bronkus

Page 4: Antagonis Obat

2. untuk mengurangi spasme usus, sebagai contoh pada sindrom iritasi usus (irritable bowel

syndrome)

3. pada penyakit parkinson (misalnya benzatropin)

4. untuk mencegah motion sickness

5. untuk mendilatasi pupil pada pemeriksaan oftamologi (misalnya tropikamid) atau untuk

melumpuhkan otot siliaris

6. sebagai bronkilator pada asma (ipratropium)

Kolinomimetik. Stimulan ganglion. Stimulan ini mempunyai kerja yang sangat luas karena

menstimulasi reseptor nikotinik pada kedua neuron ganglion parasimpatis dan simpatis. Efek

simpatis meliputi vasokonstriksi, takikardia, dan hipertensi. Efek parasimpatis meliputi

peningkatan motilitas usus dan peningkatan sekresi kelenjar saliva dan bronkus. Stimulan ini

tidak mempunyai kegunaan klinis.

Agonis muskarinik. Agonis ini secara langsung mengaktivasi reseptor muskariik dan biasanya

menimbulkan efek eksitasi. Pengecualian penting terdapat pada jantung, dimana aktivasi reseptor

M2 yang dominan mempunyai efek inhibisi pada denyut dan kekuatan kontraksi (atrium).

Reseptor M2 secara negatif dipasangkan pada protein G (G¬1) ke adelinat siklase., yang

menjelaskan efek inotropik negatif asetilkolin. Subunit G¬1 secara langsung meningkatkan

konduktansi K+ pada jantung yang menyebabkan hiperpolarisasi dan brakikardia. Asetilkolin

menstimulus sekresi kelenjar dan menyebabkan kontraksi otot polos melalui aktivasi reseptor

M3, yang dipasangkan ke pembentukkan inositol -1, 4, 5, triposfat (InsP3) dan diasilgliserol.

(InsP3) meningkatkan Ca+ sitosol, sehingga memicu kontraksi otot atau sekresi kelenjar.

Suntikan asetilkolin intravena secara tidak langsung menyebabkan vasodilatasi melalui

pelepasan nitrat oksida (NO) dari sel endotel vaskular. Akan tetapi sebagian besar pembuluh

darah tidak mempunyai persarafan parasimpatis sehingga fungsi fisiologis reseptor muskarinik

vaskular tidak jelas.

Ester Kolin. Karbakol dan betanekol merupakan senyawa kuartener yang tidak dapa menembus

sawar darah-otak. Kerja karbakol dan betanekol jauh lebih panjang daripada kerja asetilkolin

karena tidak dihidrolisis oleh kolinesterase.

Pilokarpin memiliki atom N tersier, yang menyebabkan peningkatan kelarutan dalam lemak. Hal

ini memungkinkan obat menembus kornea ketika digunakan secara topikal dan memasuki otak

saat diberikan secara sistemik. (M. J. Neal, 2006)

Page 5: Antagonis Obat

Secara farmakodinamik dapat dibedakan 2 jenis antagonisme farmakodinamik, yakni:

1. Antagonisme fisiologik, yaitu antagonisme pada system fisiologik yang sama, tetapi pada

system reseptor yang berlainan. Misalnya efek histamine dan autakoid lainnya yang dilepaskan

tubuh sewaktu terjadi syok anafilaktik dapat diantagonisasi dengan pemberian adrenalin.

2. Antagonisme pada reseptor terjadi melalui sistem reseptor yang sama. Artinya antagonis

mengikat reseptor di tempat ikatan agonis (receptor site atau active site) sehingga terjadi

antagonisme antara agonis dengan antagonisnya. Misalnya efek histamin yang dilepaskan pada

reaksi alergi dapat dicegah dengan pemberian antihistamin yang menduduki resptor yang sama.

Antagonisme pada reseptor dapat diukur berdasarkan interaksi obat-reseptor. Agonis ialah obat

yang menduduki resptor menimbulkan efek farmakologi secara intrinsik, sedangkan antagonis

reseptor adalah obat yang menduduki reseptor yang sama tetapi secara intrinsik tidak mampu

menimbulkan efek farmakologi. Jadi reseptor menghalangi ikatan antara reseptor dengan

agonisnya sehingga kerja agonis terhambat. Antagonis demikian disebut receptor blocker atau

blocker saja. Jadi blocker tidak menimbulkan efek langsung, tetapi efek tidak langsung akibat

hambatan efek agonisnya.

Pada antagonis kompetitif, antagonis berikatan dengan reseptor site secara reversibel sehingga

dapat digeser oleh agonis kadar tinggi. Dengan demikian efek penghambatan agonis dapat diatasi

dengan meningkatkan kadar agonis sampai akhirnya dicapai efek maksimal. Jadi diperlukan

kadar agonis yang lebih tinggi untuk memperoleh efek yang sama. Ini berarti afinitas agonis

terhadap reseptornya menurun.

Kadang-kadang suatu antagonis mengikat reseptor bukan ditempat ikatan reseptor agonis

(agonist receptor site), tetapi menyebabkan perubahan konformasi reseptor sedemikian rupa

sehingga afinitas terhadap agonisnya menurun. Walaupun penurunan afinitas agonis ini dapat

diatasi dengan meningkatkan dosis agonis, keadaan ini tidak disebut antagonisme kompetitif

tetapi lebih tepat disebut kooperativitas negatif.

Pada antagonisme non-kompetitif, penghambatan efek agonis tidak dapat diatasi dengan

meningkatkan kadar agonis. Akibatnya, efek maksimal yang dicapai akan berkurang, tetapi

afinitas agonis terhadap reseptornya tidak berubah. 

Antagonisma non-kompetitif terjadi jika:

1. Antagonis mengikat reseptor secara irreversibel, di receptor site maupun di tempat lain,

sehingga menghalangi ikatan agonis dengan reseptornya. Dengan demikian antagonis

Page 6: Antagonis Obat

mengurangi jumlah reseptor yang tersedia untuk berikatan dengan agonisnya, sehingga efek

maksimal akan berkurang. Tetapi afinitas agonis terhadap reseptor yang bebas tidak berubah.

Contoh: fenoksibenzamin mengikat reseptor adrenergik α di receptor site secara irreversibel.

2. Antagonis mengikat bukan pada molekulnya sendiri tetapi pada komponen lain dalam sistem

reseptor, yakni pada molekul lainyang meneruskan fungsi reseptor dalam sel target, misalnya

molekul enzim adenilat siklase atau molekul protein yang membentuk kanal ion. Ikatan

antagonis pada molekul-mpleku tersebut, secara reversibel maupun irreversibel, akan

mengurangi efek yang dapat ditimbulkan oleh kompleks agonis-reseptor (mengurangi Emax)

tanpa menggangu ikatan agonis dengan molekul reseptornya (afinitas agonis terhadap

reseptornya tidak berubah).

Agonis parsial adalah agonis yang lemah, artinya agonis yang mempunyai aktivitas intrinsik atau

efektivitas yang rendah sehingga menimbulkan efek maksimal yang lemah. Akan tetapi, obat ini

akan mengurangi efek maksimal yang ditimbulkan oleh agonis penuh. Oleh karena itu agonis

parsial disebut juga antagonis parsial. Contoh; nalorfin adalah agonis parsial atau antagonis

parsial, dengan morfin sebagai agonis penuh dan nalokson sebagai antagonis kompetitif yang

murni. Nalorfin dapat digunakan sebagai antagonis pada keracunan morfin, tetapi jika diberikan

sendiri nalorfin juga menimbulkan berbagai efek opiat dengan derajat yang lebih ringan.

Nalokson, yang tidak mempunyai efek agonis, akan mengantagonisasi dengan sempurna semua

efek opiat dari morfin.

(Arini Setiawan, F.D. Suyatna dan Sulistia Gan, 2007)

Beberapa upaya terus dikerjakan untuk mengembangkan agonis dan antagonis yang ditujukan

terhadap subtipe res spesifik. Sebagai contoh, Pirenzepin, obat antikolinergik trisiklik, secara

selektif menghambat resesptor muskarinik m1, seperti yang terdapat pada mukosa lambung,.

Dalam dosis terapi obat ini tidak menimbulkan banyak efek samping seperti halnya obat yang

tidak spesifik terhadap subtipe m1. Oleh karena itu Pirenzepin cocok untuk mengobati tukak

lambung dan duodenum. 

1. Pilokarpin

Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolis dari asetilkolinesterase.

Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannnya senyawa ini ternyata sangat lemah. Pilokarpin

menunjukkan aktivitas muskarinik dan terutama digunakan untuk oftalmologi.

Kerja : Kegunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi

Page 7: Antagonis Obat

otot siliaris. Pada mata akan terjadi spasmo akomodasi, dan penglihatan akan terpaku pada jarak

tertentu sehingga sulit untuk memfokus suatu objek.

Catatan : efek yang berlawanan dengan atropin, suatu penyekat muskarinik pada mata.

Pilokarpin adalah salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kalenjar keringat, air

mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian.

2. Atropin

Atropin, Atropa belladonna, memiliki aktivitas kuat terhadap reseptor muskarinik, dimana obat

ini terikat secara kompetitif sehingga mencegah asetilkolin terikat pada tempatnya di reseptor

muskarinik. Atropin menyekat reseptor muskarinik baik di sentral maupun di saraf tepi. Keja

obat ini secara umum berlangsung sekitar 4 jam kecuali bila diteteskan ke dalam mata maka

kerjanya akan berhari-hari. Kerja : Atropin menyekat semua aktivitas kolinergik pada mata

sehingga menimbulkan midriasis (dilatasi pupil), mata menjadi bereaksi terhadap cahaya dan

sikloplegia (ketidakmapuan memfokus untuk penglihatan dekat). Pada pasien dengan glaucoma ,

tekanan intaraokular akan meninggi dan membahayakan. 

(M. J. Mycek, R. A. Harvey dan P. C. Champe, 1997)

Interaksi Obat Reseptor

Sebagian besar obat-obatan menunjukkan korelasi yang sangat tinggi struktur dan kekhususan

untuk menghasilkan efek farmakologis. Bukti eksperimental menunjukkan bahwa obat

berinteraksi dengan reseptor yang terlokalisasi di makromolekul seperti protein memiliki sifat

dan spesifik bentuk tiga dimensi. Minimum tiga titik lampiran obat untuk sebuah situs reseptor

diperlukan. Dalam kebanyakan kasus yang agak spesifik struktur kimia yang diperlukan untuk

situs reseptor dan struktur obat komplementer. 

Sedikit perubahan dalam struktur molekul obat dapat berubah secara drastis kekhususan.

Beberapa kekuatan kimia dapat mengakibatkan pengikatan sementara obat dengan reseptor. Pada

dasarnya setiap obligasi dapat terlibat dengan obat-reseptor interaksi. Ikatan kovalen akan sangat

ketat dan praktis ireversibel. Karena menurut definisi obat-reseptor interaksi adalah reversibel,

pembentukan ikatan kovalen agak jarang kecuali dalam situasi yang agak beracun. Karena

banyak obat yang mengandung asam atau kelompok-kelompok fungsional amina yang terionisasi

pada pH fisiologis, ikatan ion terbentuk oleh daya tarik biaya berlawanan dalam situs reseptor.

Kutub-kutub interaksi seperti dalam ikatan hidrogen adalah perluasan daya tarik biaya

berlawanan. Obat-reseptor reaksi pada dasarnya adalah pertukaran ikatan hidrogen antara

Page 8: Antagonis Obat

molekul obat, air sekitarnya, dan situs reseptor. 

Sisi Interaksi Obat resepror. Akhirnya ikatan hidrofobik terbentuk antara non-polar kelompok

hidrokarbon pada obat dan mereka yang berada di situs reseptor. Obligasi ini tidak begitu

spesifik tetapi interaksi yang terjadi untuk mengecualikan molekul air. Kekuatan yang

menjijikkan penurunan stabilitas obat-reseptor mencakup interaksi tolakan dari Steric seperti

biaya dan hambatan. Steric halangan mengacu pada 3-dimensi tertentu fitur di mana tolakan

elektron terjadi antara awan, tidak fleksibel ikatan kimia, atau kelompok alkil besar. 

Sebuah neurotransmitter memiliki bentuk khusus untuk masuk ke sebuah situs reseptor dan

menyebabkan respons farmakologis seperti impuls saraf sedang dikirim. Neurotransmitter serupa

dengan substrat dalam interaksi enzim. 

Setelah lampiran ke situs reseptor, obat dapat juga melakukan tanggapan atau mencegah respon

dari terjadi. Sebuah obat harus dekat "meniru" neurotransmitter. Agonis adalah obat yang

menghasilkan jenis stimulasi respon. The agonis adalah sangat dekat meniru dan "cocok" dengan

situs reseptor dan dengan demikian dapat memulai respon. Obat antagonis reseptor berinteraksi

dengan situs dan menghambat atau menekan respons normal untuk reseptor karena hanya sesuai

dengan reseptor sebagian situs dan tidak dapat menghasilkan efek. Namun, hal ini mencegah

memblokir situs lain agonis atau neurotransmiter normal dari reseptor berinteraksi dengan situs.

(http://www.elmhurst.edu/~chm/vchembook/660drugreceptor.html)

Reseptor Sel

Pada permukaan mereka, sebagian besar sel memiliki banyak jenis reseptor yang berbeda.

Reseptor adalah molekul dengan spesifik struktur tiga dimensi, yang hanya memungkinkan zat-

zat yang sesuai untuk melampirkan tepat untuk itu-sebagai kunci dalam kunci cocok.

Mengaktifkan reseptor alam (yang berasal dalam tubuh) zat-zat di luar sel, seperti

neurotransmiter dan hormon, untuk mempengaruhi aktivitas sel. Pengaruh yang mungkin untuk

merangsang atau menghambat suatu proses di dalam sel. Obat-obatan cenderung meniru bahan-

bahan alami ini dan dengan demikian menggunakan reseptor dengan cara yang sama. Sebagai

contoh, morfin. 

Beberapa Nama dagangnya : MS CONTINORAMORPH

dan berhubungan dengan obat penghilang rasa sakit atau mempengaruhi tindakan pada reseptor

yang sama di otak yang digunakan oleh endorfin, zat yang diproduksi oleh tubuh untuk

membantu mengontrol rasa sakit. Beberapa obat melampirkan hanya satu jenis reseptor. Obat

Page 9: Antagonis Obat

lain, seperti kunci master, dapat melampirkan dengan beberapa jenis reseptor di seluruh tubuh.

Sebuah selektivitas obat sering dapat dijelaskan dengan cara selektif itu menempel pada reseptor.

Agonis dan antagonis: Obat yang menargetkan reseptor diklasifikasikan sebagai agonis atau

antagonis. Obat agonis mengaktifkan, atau merangsang, reseptor mereka, memicu respons yang

meningkatkan atau menurunkan aktivitas sel. Obat antagonis memblokir akses atau lampiran dari

agonis alami tubuh, biasanya neurotransmiter, reseptor mereka dan dengan demikian mencegah

atau mengurangi respon sel agonis alam. Antagonis agonis dan obat-obatan dapat digunakan

bersama-sama pada pasien dengan asma. Sebagai contoh, albuterol Beberapa Nama

Perdagangan 

PROVENTIL-HFAVENTOLIN HFA dapat digunakan dengan ipratropium Beberapa Nama

Perdagangan Atrovent . Albuterol Beberapa Nama Perdagangan 

PROVENTIL-HFAVENTOLIN HFA, Suatu agonis, melekat pada khusus (adrenergik) reseptor

pada sel-sel di saluran pernapasan, menyebabkan relaksasi sel otot polos dan dengan demikian

pelebaran saluran udara (bronchodilation). Perdagangan Ipratropium Beberapa Nama Atrovent ,

Sebuah antagonis, melekat pada lain (cholinergic) reseptor, menghalangi lampiran asetilkolin,

sebuah neurotransmiter yang menyebabkan kontraksi sel otot polos dan dengan demikian

penyempitan saluran udara (bronkokonstriksi). 

Kedua obat melebarkan saluran udara (dan membuat pernapasan lebih mudah) tapi dengan cara

yang berbeda. Beta-blocker, seperti propranolol Beberapa Nama Perdagangan Inderal , Adalah

kelompok digunakan secara luas antagonis. Obat ini digunakan untuk mengobati tekanan darah

tinggi, angina (nyeri dada yang disebabkan oleh suplai darah yang tidak memadai ke otot

jantung), dan beberapa irama jantung abnormal dan mencegah migrain. Mereka memblokir atau

mengurangi stimulasi hati oleh agonis hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin

(noradrenalin), yang dilepaskan pada saat stres. 

Antagonis seperti beta-blocker yang paling efektif bila konsentrasi agonis yang tinggi di bagian

tertentu dari tubuh. Mirip dengan cara berhenti lebih kendaraan hambatan selama jam sibuk 5:00

daripada at 3:00 pm, beta-blocker, yang diberikan dalam dosis yang memiliki sedikit efek pada

fungsi jantung normal, mungkin memiliki efek lebih besar pada lonjakan tiba-tiba hormon

dilepaskan selama stres dan dengan demikian melindungi jantung dari kelebihan stimulasi.

(http://www.merck.com/mmhe/sec02/ch012/ch012b.html)

Pada konsentrasi agonis tetap, peningkatan konsentrasi antagonis kompetitif secara progresif,

Page 10: Antagonis Obat

akan mengurangi respons agonis. Konsentrasi antagonis yang tinggi akan mencegah respons

secara keseluruhan. Sebaliknya, konsentrasi agonis yang cukup tinggi dapat mengatasi secara

keseluruhan efek ; Emaks untuk agonis tetap sama untuk setiap konsentrasi antagonis yang tetap.

Karena antagonisme bersifat kompetitif maka keberadaan antagonis akan meningkatkan

konsentrasi agonis yang diperlukan untuk derajat respon tertentu. Konsentrasi agonis yang

diperlukan untuk menimbulkan efek terentu pada keberadaan konsentrasi tetap, antagonis

kompetitif adalah lebih besar daripada konsentrasi agonis yang diperlukan utnuk menimbulkan

efek yang sama pada keadaan tidak adanya antagonis. 

Beberapa antagonis reseptor tertentu yang terikat pada reseptor secara irreversibel, atau hampir

irreversibel, ialah tidak kompetitif. Afinitas antagonis untuk reseptor mungkin begitu tinggi

sehingga untuk pertimbangan praktis kemungkinan tidak ada reseptor yang mengikat agonis.

Antagonis lain di dalam kelompoik ini menimbulkan efek reversibel karena setelah berikatan

dengan reseptor, antagonis tersebut membentuk ikatan kovalen dengannya. Setelah okupasi

sejumlah reseptor oleh antagonis yang demikian, jumlah sisa reseptor yang tidak diduduki

mungkin tertalu rendah untuk agonis (meskipun pada konsentrasi yang tinggi) untuk

menghasillkan respons yang sebanding dengan respons maksimal selanjutnya. Namun, bila ada

reseptor cadangan, dosis antagonis yang irreversibel mungkin membiarkan reseptor-reseptor

yang tidak ditempati dalam jumlah yang cukup untuk memperoleh hasil respon maksimum untuk

agonis meskipun konsentrasi agonis yang lebih tinggi akan diperlukan. 

Secara terapeutik, antagonis yang irreversibel memberikan keuntungan dan kerugian tersendiri.

Sekali saja antagonis yang irreversibel menempati reseptor, maka antagonis tersebut tidak perlu

ada dalam bentuk terikat untk mengurangi respons agonis. Akibatnya, lama kerja antagonisme

yang irreversibel secara relatif tak tergantung pada kecepatan eliminasinya sendiri dan akan lebih

bergantung pada kecepatan pergantian molekul-molekul reseptor. Phenoksybenzamine,

antagonis adrenoseptor-α yang irreversibel, digunakan untuk mengontrol hipertensi yang

disebabkan oleh release cathecholamine dari pheochromocytoma, suatu tumor medula adrenalis.

Kalau pemberian Phenoksybenzamine menurunkan tekanan darah, penyekatan akan

dipertahankan bahkan ketika tumor tersebut merilis sejumlah besar cathecholamine secara

episodik. Dalam hal ini, keuntungan terapeutik adalah kemampuan untuk mencegah respon

berbagai macam konsentrasi agonis dan konsentrasi agonis yang tinggi. Namun kalau terjadi

overdosis, maka masalah yang sesungguhnya akan muncul. Bila blokade adrenoseptor-α tidak

Page 11: Antagonis Obat

dapat diatasi, efek kelebihan obat harus diantagonis ”secara fisiologik”, misalnya dengan

menggunakan peningkat tekanan darah (pressor agent) yang bertindak tanpa menggunakan

reseptorα . (B.G. Katzung, 2001)

Losartan merupakan anatagonis angiotensin II pertama yang diperkenalkan pada tahun 1995.

Dibandingkan dengan obat asalnya, metabolit aktifnya mempunyai waktu paruh lebih lama dan

efek antihipertensinya lebih baik pada pengukuran konsentrasi plasma. Pada penelitian losartan

menunjukkan ditoleransi dengan baik dan sama efektifnya dengan enalapril dan nifedipin untuk

menurunkan tekanan darah. Penurunan tekanan darah rata-rata tercapai pada dosis 50 hingga 150

mg satu kali sehari adalah 5.5 hingga 10.5mm Hg untuk sistoloik dan 3.5 hingga 7.5 mm Hg

pada diastolik. Kombinasi dari losartan dan hidroklortiazid juga tersedia, kombinasi obat ini

mengandung 12.5 mg hidroklrtiazid dan 50 mg losartan. (www.indoforum.com) 

Koliergika khusus digunakan pada penyakit mata glaukoma, myasthenia gravis, demensia,

Alzheiner dan atonia.

Glaukoma. Staar hijau (Glaukoma) adalah penyakit mata yang bercirikan peningkatan tekanan

cairan mata pada intraokuler (TIO) di atas 21 mmHg, yang bisa menjepit saraf mata. Saraf ini

berangsur-angsur dirusak secara progresif, sehingga penglihatan memburuk dan akhirnya dapat

menimbulkan kebutaan. Akan tetapi hanya persentase kecil pasien dengan TIO meningkat

dihinggapi glaukoma. Nilai tekanan intraokuler normal adalan antara 10-21 mmHg.

Penyebabnya. Cairan mata terbentuk di mukosa tipis di belakang pupil, di corpus ciliare dan via

liang pupil mengalir ke ruang mata depan. Pengeluarannya melalui ruang mata sempit antara

pupil dan kornea (”segi bilik”) ke saluran keluar. Bila cairan ini tidak dapat mengalir keluar dari

ruang mata depan karena misalnya penyumbatan, maka TIO akan meningkat. Jenis glaukoma

yang paling sering terdapat adalah glaukoma segi-bilik terbuka (glaucoma simplex).

Pengobatan dapat dilakukan dengan terutama dua jenis obat tergantung pada penyebabnya

gangguan, yakni dengan koliergika atau β-blokers. Pada glaukoma terbuka, beta-blokers

merupakan pilihan pertama. Bila obat-obat ini terkontraindikasi atau kurang efektif, baru

digunakan kolinergika atau adrenergika.

a. Beta-blokers;timolol (Nyolol 0,5%), Betaksosol (Betoptima 0,5%) dan befunolol (Glacones

0,5%). Efektif bila kenaikan tekanan intraokuler desebabkan oleh meningkatnya produksi cairan

mata. Mekanisme kerjanya yang eksak belum jelas.

b. Kolinergika; pilokarpin, karbachol, dan neostigmin. Digunakan bila segi bilik menyempit,

Page 12: Antagonis Obat

yang sering terjadi pada manula. Akibatnya pengeluaran cairan mata dari bilik-sepan terhambat,

sedangkan volumenya dan tekanan intraokuler setempat meningkat. Obat-obat ini berkontraksi

dan menyempitkan manik mata (miosis), yang menyebabkan segi bilik merenggan dan

penyaluran cairan mata meningkat.

c. Adrenergik; dipivefrin, apraklonidin dan brimonidin. Dipivefrin melalui stimulasi beta

reseptor meskipun meningkatan produksi cairan bilik, tetapi serentak juga penyalurannya

distimulir hingga efek nettonya adalah netral. Stimulasi reseptor alpha menghambat poduksi

cairan. Kedua obat terakhir mengurangi produksi cairan mata, brimonidin juga melancarkan

penyalurannya. Kedua obat ini hanya digunakan untuk pengobatan jangka pendek sebelumnya

atau sesuai penanganan dengan laser.

d. Obat-obat lainnya, adalah latanoprost, dorzolamida dan brinzolamida. Obat pertama

mempercepat pengeluaran cairan, sedangkan kedua zat terakhir adalah penghambat-

karboanhidrase yang mengurangi produksinya. 

(Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja,2007)

V. METODE PERCOBAAN

5.1 Alat dan Bahan

5.1.1 Alat

- Botol tetes

- Stopwatch

- Flash light (senter)

- Jangka sorong

- Lup (kaca pembesar)

5.1.2 Bahan

- Kelinci

- Pilokarpin 1%

- Atropin 1%

5.2 Prosedur Percobaan

diukur diameter mata normal kelinci kanan dan kiri serta refleksnya terhadap cahaya sebanyak 3

kali dengan selang waktu 5 menit.

Page 13: Antagonis Obat

diberi tetes mata pilokarpin 1% sebanyak dua tetes pada mata kanan dan kiri.

diukur diameter pupil kedua mata kelinci serta refleks terhadap cahaya selama 30 menit selang

waktu 5 menit.

diberi tetes mata atropin 1% sebanyak 2 tetes pada kedua mata.

diukur diameter pupil kedua mata kelinci serta refleks terhadap cahaya selama 30 menit selang

waktu 5 menit.

dibuat grafik diameter pupil vs waktu. 

VI. PERHITUNGAN, DATA, GRAFIK DAN PEMBAHASAN

5.1. Perhitungan Dosis

-

5.2. Data Percobaan 

5.3. Grafik Percobaan

Terlampir

5.4. Pembahasan

Dalam percobaan diperoleh hasil bahwa dengan pemberian obat pilokarpin 1% (kolinergik atau

disebut juga parasimpatomimetika) maka pupil mata kelinci mengalami pengecilan (miosis) dan

pada pemberian atropin 1% (antikolinergik atau disebut juga parasimpatikolitik) maka pupil

mata kelinci membesar (midriasis).

Menurut Moh. Anief (1993), obat-obat parasimpatomimetika adalah obat yang digunakan untuk

merangsang organ-organ yang dilayani saraf parasipatik. Juga disebut Cholinergik. Efek yang

Page 14: Antagonis Obat

penting terhadap kelenjar, otot polos dan jantung ialah : menaikkan sekresi kelenjar-kelenjar

bronchus, keringat, air mata, dan ludah, menimbulkan miosis, daya akomodasi berkurang,

kontraksi otot bronchus, pelebaran dari kebanyakar pembuluh umum, bradycardia, kontraksi otot

kerangka, stimulasi lalu depresi dari susunan saraf sentral, serta menaikkan tonus dan motilitas

dari saluran usus lambung

Obat-obat yang tergolong parasimpatikolitik adalah obat yang digunakan untuk melawan efek

dari perangsangan saraf parasimpatik, dan merupakan antagonis dari obat-obat

parasimpatomimetik. Juga disebut anticholinergik. Efek yang penting ialah : penurunan tonus

dan mobilitas saluran usus lambung, midriasis, ketegangan dari otot bronchus, pengurangan

sekresi dari kelenjar bronchus, air ludah dan kelenjar keringat, merangsang dalam dosis besar

dan diikuti terjadinya depresi dari susunan saraf sentral, dan dilatasi dari rahim.

Pada percobaan antagonis obat ini, obat mata yang diteteskan pertama-tama adalah pilokarpin

selanjutnya atropin. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pengamatan efek farmakologi obat.

Efek pilokarpin mengecilkan pupil mata dan ini berlangsung tidak lama, sedangkan efek atropin

dalam membesarkan pupil mata berlangsung lama. Sehingga untuk digunakan pertama

pilokarpin karena nantinya tidak akan menggangu pengamatan terhadap efek atropin. Dan

sebaliknya jika atropin diberikan pertama, maka ikatan atropin yang kuat dengan reseptornya ini

akan susah dilepas pada saat diberikan pilokarpin. Dan ini akan menggangu pengamatan

terhadap efek pilokarpin.

M. J. Mycek dkk (1997) mengatakan bahwa atropin, Atropa belladonna, memiliki aktivitas kuat

terhadap reseptor muskarinik, dimana obat ini terikat secara kompetitif sehingga mencegah

asetilkolin terikat pada tempatnya di reseptor muskarinik. Atropin menyekat reseptor muskarinik

baik di sentral maupun di saraf tepi. Keja obat ini secara umum berlangsung sekitar 4 jam

kecuali bila diteteskan ke dalam mata maka kerjanya akan berhari-hari. Kerja : Atropin menyekat

semua aktivitas kolinergik pada mata sehingga menimbulkan midriasis (dilatasi pupil), mata

menjadi bereaksi terhadap cahaya dan sikloplegia (ketidakmapuan memfokus untuk penglihatan

dekat). Pada pasien dengan glaucoma , tekanan intaraokular akan meninggi dan membahayakan.

Page 15: Antagonis Obat

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Pemberian pilokarpin secara tetes mata pada kelinci menghasilkan efek miosis (mengecilnya

diameter pupil mata) yang dapat dilihat secara visual dan diukur dengan alat bantu jangka

sorong.

Pemberian antropin secara tetes mata pada kelinci menghasilkan efek midriasis (membesarnya

diameter pupil mata) yang dapat dilihat secara visual dan diukur dengan alat bantu jangka

sorong.

Obat-obat yang tergolong dalam obat kolinergik dibagi dalam tiga golongan :

a. Asetilkolin ; asetilkolin, metakolin, karbakol, betanekol.

b. Asetilkolinesterase ; fisostigmin, prostigmin, diisopropil-flourofosfat (DFP), insektisida

golongan organofosfat.

c. Alkaloid tumbuhan ; muskarin, pilokarpin, asekolin.

7.2. Saran

Sebaiknya pengamatan dan pengukuran diameter mata kelinci dilakukan oleh praktikan yang

sama (satu praktikan) untuk menghindari perbedaan variasi pengamatan.

Sebaiknya pengukuran dilakukan dengan tingkat ketelitian yang lebih tinggi, dengan

Page 16: Antagonis Obat

mengusahakan jarak pengukuran yang hampir sama untuk setiap pengukuran sehingga respon

farmakologinya lebih mudah diamati. 

DAFTAR PUSTAKA

Angela Moroney. (2007). Antagonist Drug.

http://www.merck.com/mmhe/sec02/ch012/ch012b.html

Anief, Moh. (1993). Penggolongan Obat berdasarkan Khasiat dan Penggunaan. Cetakan IV.

Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hal. 89-90.

Anonim. (2003). Antagonis Angiotensin.

www.indoforum.com

Charles, E. Ophart . (2003). Drug Receptor Interactions.

http://www.elmhurst.edu/~chm/vchembook/660drugreceptor.html

Katzung, B. (2001). Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : Salemba Medika. Hal. 27-29.

Mycek, M.J., R. A. Harvey dan P. C. Champe. (1997). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi

Kedua. Jakarta : Widya Medika. Hal. 38, 41, dan 45-46.

Neal, Michael J. (2006). At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta : Penerbit

Erlangga. Hal. 24-25.

Setiawati, A., F.D. Suyatna dan Sulistia Gan. (2007). Pengantar Farmakologi. Farmakologi dan

Terapi. Editor: Gunawan, S.G. Edisi ke-5. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Hal. 20-22.

Page 17: Antagonis Obat

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan

Efek-Efek Sampingnya. Edisi Keenam, Cetakan Pertama. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.

Hal. 506-507.