antagonis narkotik (ismayani f1f110074) perbaikan

22
Tugas Individu KIMIA MEDISINAL “ANTAGONIS NARKOTIK” OLEH NAMA : I S M A Y A N I STAMBUK : F1F1 10 074 KELAS : B JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Upload: ismayani-arifin

Post on 05-Aug-2015

113 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Antagonis Narkotik (Ismayani F1F110074) Perbaikan

Tugas Individu

KIMIA MEDISINAL

“ANTAGONIS NARKOTIK”

OLEH

NAMA : I S M A Y A N I

STAMBUK : F1F1 10 074

KELAS : B

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2012

Page 2: Antagonis Narkotik (Ismayani F1F110074) Perbaikan

1. History

Jauh sebelum Masehi (3400 SM) orang-orang Mesopotamia telah

membudidayakan tanaman poppy yang berkhasiat mengurangi nyeri dan

memberi efek nyaman (joy plant). Zat ini dalam bahasa Yunani disebut opium

atau yang kita kenal sebagai candu. Pada tahun 1803 seorang apoteker Jerman

berhasil mengisolasi bahan aktif opium yang memberi efek narkotika dan

diberi nama Morfin. Morfin berasal dari bahasa Latin Morpheus yaitu nama

dewa mimpi Yunani. Opioid merupakan alkaloid alami seperti morfin atau

kodein. Opioid adalah istilah yang digunakan secara luas untuk

menggambarkan semua senyawa yang bekerja pada reseptor opioid. Awalnya

digunakan untuk menggambarkan obat untuk tidur, maka digunakan untuk

menggambarkan opioid, tapi sekarang adalah istilah hukum untuk obat yang

disalahgunakan.

Opioid telah digunakan selama ribuan tahun untuk pengobatan nyeri.

Pada zaman dahulu Mesir papirus melaporkan penggunaan opium untuk

menghilangkan rasa sakit. Pada tahun 1973, sarjana mahasiswa, Candace Pert,

menggunakan morfin radioaktif untuk mengevaluasi dan menemukan lokasi

tempat aksi morfin,didapatkan bahwa obat melekat pada daerah yang sangat

spesifik dari otak, yang disebut dengan "Morfin reseptor". Penelitian tersebut

juga dilakukan oleh John Hughes dan Hans Kosterlitz pada tahun 1975. Sejak

saat itu, berbagai reseptor dan subtipe telah diidentifikasi. Mayoritas klinis

opioid yang relevan memiliki aktivitas utama mereka di "reseptor morfin" awal

atau "reseptor mu" dan karena itu dianggap "agonis mu." Parameter

farmakokinetik (waktu paruh, klirens, volume distribusi) opioid sudah

diketahui. Namun, metabolisme masih kurang dipahami, dan telah ada ilmuan

memilki minat baru dalam peran memodifikasi respon farmakodinamik

metabolit pada pasien.

Hubungan struktur-aktivitas morfin telah dipelajari secara ekstensif.

Rumus struktur morfin ditentukan pada tahun 1925 dan dikonfirmasi pada

tahun 1952 ketika dua metode sintesis total juga diterbitkan. Sebagai hasil dari

studi yang luas dan penggunaan molekul ini, lebih dari 200 turunan morfin

Page 3: Antagonis Narkotik (Ismayani F1F110074) Perbaikan

(juga menghitung obat kodein dan terkait) telah dikembangkan sejak kuartal

terakhir abad 19. Kisaran ini obat dari 25 persen kekuatan kodein atau sedikit

lebih dari 2 persen dari kekuatan morfin, beberapa ratus kali kekuatan morfin

untuk beberapa antagoinsts opioid kuat termasuk nalokson (Narcan),

naltrexone (Trexan), dan nalorphine (Nalline) untuk digunakan manusia dan

juga antara antagonis terkuat yang dikenal, seperti diprenorphine (M5050),

agen membalikkan pada hewan Immobilon besar obat penenang panah kit;.

obat penenang yang lain ultra-kuat morfin derivatif / analog struktural, yaitu,

etorphine (M99).

Morfin yang diturunkan dari agonis-antagonis obat juga telah

dikembangkan. Elemen struktur morfin telah digunakan untuk membuat obat

sepenuhnya sintetik seperti keluarga morphinan (levorphanol, dekstrometorfan

dan lainnya) dan kelompok lain yang memiliki banyak anggota dengan kualitas

seperti morfin. Modifikasi morfin dan sintetik tersebut juga telah menimbulkan

obat non-narkotika dengan menggunakan lain seperti muntah, stimulan,

antitusif, antikolinergik, relaksan otot, anestesi lokal, anestesi umum, dan lain-

lain.

Antagonis opioid telah tersedia selama beberapa dekade dan dikenal

untuk aplikasi dalam pengobatan kecanduan (naltrekson) dan sebagai

penangkal untuk overdosis opioid (nalokson). Laporan pertama dari agen yang

memiliki sifat-antagonis opioid pada tahun 1915, ketika N-allylnorkodein

diamati untuk memblokir efek depresi pernapasan dari morfin dan heroin.

Antagonis opioid nalorfin disintesis tahun 1940-an, namun juga memiliki

aktivitas agonis parsial dan efek yang dapat mengganggu fungsi hati

(menyebabkan dysphoria) yang digunakan secara luas untuk mengobati

keracunan atau overdosis opioid.

2. Definisi

Antagonis narkotik merupakan zat-zat yang dapat melawan efek-efek

samping opioida tertentu tanpa mengurangi kerja analgetisnya. Obat yang

Reseptor tempat terikatnya opioid di sel otak disebut reseptor opioid. Yang

Page 4: Antagonis Narkotik (Ismayani F1F110074) Perbaikan

paling terkenal adalah nalokson, naltrekson, dan nalorfin. Obat ini terutama

digunakan pada overdose atau intoksikasi. Khasiat antagonisnya diperkirakan

berdasarkan pergeseran opioida dari tempatnya direseptor-reseptor otak.

Antagonis morfin ini sendiri juga berkhasiat analgetik, tetapi tidak digunakan

dalam terapi karena khasiatnya lemah dan efek samping tertentu mirip morfin /

narkotik (depresi pernafasan, reaksi psikotis).

Berdasarkan sistem kerjanya golongan narkotik dibagi atas 2, yaitu

agonis narkotik dan antagonis narkotik. Agonis adalah obat yang berinteraksi

dengan dan mengaktifkan reseptor, mempunyai afinitas dan efikasi (aktivitas

intrinsik). Antagonis mempunyai afinitas tapi tanpa aktivitas intrinsik.

Antagonis berinteraksi dengan reseptor tapi yidak mengubah reseptor.

Ada 2 tipe antagonis :

Antagonis kompetitif

Antagonis kompetitif berkompetisi dengan agonis untuk

menduduki reseptor. Antagonis ini dapat diatasi dengan peningkatan dosis

agonis. Antagonis menggeser kurva dosis respon agonis ke kanan,

mengurangi afinitas agonis.

Antagonis non-kompetitif

Antagonis non-kompetitif berikatan pada reseptor dan bersifat

ireversible. Antagonis non-kompetitif menyebabkan sedikit pergeseran ke

kanan kurva dosis respon agonis pada kadar rendah. Semakin banyak

reseptor diduduki, agonis menjadi tidak mungkin mencapai efek maksimal.

3. Teori

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti

opioum. Opioum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin,

kodein, tebain, dan papaverin. Analgesik opioid terutama digunakan untuk

meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga menghilangkan

berbagai efek farmakodinamik yang lain. Klasifikasi obat golongan opioid

berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi: 1.

agonis penuh (kuat), 2. agonis parsial (agonis lemah sampai sedang), 3.

Page 5: Antagonis Narkotik (Ismayani F1F110074) Perbaikan

campuran agonis dan antagonis, dan 4. antagonis. Opioid golongan agonis kuat

hanya mempunyai efek agonis, sedangkan agonis parsial dapat menimbulkan

efek agonis, atau sebagai antagonisdengan menggeser agonis kuat dari

ikatannya pada resptor opioid dan mengurangi efeknya.

Ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu, delta, dan kappa. Ketiga

jenis reseptor ini termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan dengan

protein G, dan memiliki subunit tipe: mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1 dan

kappa2 dan kappa3. Karena suatu opioid dapat berfungsi sebagai suatu agonis,

agonis parsial, atau antagonis pada lebih dari satu jenis reseptor atau subtipe

reseptor maka senyawa yang tergolong opioid dapat memiliki efek

farmakologik yang beragam.

Obat-obat yang tegolong antagonis opioid umumnya tidak

menimbulkan banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis

opioid atau bila opioid endogen sedang aktif misalnya pada keadaan stres atau

syok. Nalokson merupakan prototip antagonis opioid yang relatif murni,

demikian pula naltrekson yang dapat diberikan per oral dan memperlihatkan

masa kerja yang lebih lama dari nalokson. Kedua obat ini merupakan antagonis

kompetitif pada reseptor ʋ, k dan σ, tetapi afinitasnya terhadap reseptor u jauh

lebih tinggi. Dalam dosis besar keduanya memperlihatkan beberapa efek

agonis, tetapi efek ini tidak berarti secara klinis.

Pengembangan agen-agen difasilitasi oleh fakta menarik bahwa

perubahan struktural yang relatif kecil dapat mengkonversi obat agonis opioid

menjadi satu dengan tindakan antagonis, yaitu memblokir reseptor opioid

untuk mencegah aktivasi mereka. Dengan demikian, morfin diubah menjadi

nalorfin, dan oksimorfon menjadi bentuk yang lebih baik yaitu nalokson atau

naltrekson. Perkembangan yang lebih baru, nalmefen, merupakan antagonis

reseptor mu-murni yang setidaknya equipotent dengan nalokson tetapi tidak

bekerja lama, dengan durasi tindakan antara nalokson dan naltrekson.

Antagonis tambahan yang selektif aktif pada reseptor opioid lainnya telah

dikembangkan terutama untuk tujuan eksperimental

Page 6: Antagonis Narkotik (Ismayani F1F110074) Perbaikan

Nalorfin, levalorfan, siklazosin dan sejenisnya disamping

memperlihatkan efek antagonis, menimbulkan efek otonomik, endokrin,

analgesik, dan depresi napas mirip efek yang ditimbulkan oleh morfin. Obat-

obat ini merupakan antagonis kompetitif pada reseptor ʋ, tetapi juga

memperlihatkan efek agonis pada reseptor-reseptor lain.

Nalorfin dan Levarolvan juga menimbulkan depresi nafas yang diduga

karena kerjanya pada reseptor K. Berbeda dengan morfin depresi napas ini

tidak bertambah dengan bertambahnya dosis. Kedua obat ini, terutama

levalorfan memperberat depresi napas oleh morfin dosis kecil, tetapi

mengantagonis depresi napas akibat dosis besar.

Efek Dengan Pengaruh Opioid

Semua efek agonis opioid pada reseptor ʋ diantagonis oleh

nalokson dosis kecil (0,4-0,8 mg) yang diberikan IM atau IV. Frekuensi

napas meningkat dalam 1-2 menit setelah pemberian nalokson pada

penderita dengan depresi napas akibat agonis opioid, efek sedatif dan efek

terhadap tekanan darah juga seera dihilangkan. Pada dosis besar, nalokson

menyebabkan kebaikan efek dari efek psikotomimetik dan disforia akibat

agonis-antaonis. Antagonisme nalokson ini berlangsung selama 1-4 jam,

tergantung dari dosisnya.

Antagonisme nalokson terhadap efek agonis opioid sering disertai

dengan terjadinya fenomen overshoot misalnya berupa peningkatan

frekuensi napas melebihi frekuensi sebelum dihambat oleh opioid.

Fenomena ini diduga berhubungan dengan terungkapnya (unmasking)

ketergantungan fisik akut yang timbul 24 jam setelah morfin dosis besar.

Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik

terhadap morfin, dosis kecil nalokson SK akan menyebabkan gejala putus

obat yang dapat berat. Gejala ini mirip dengan gejala akibat penghentian

tiba-tiba pemberian morfin, hanya timbulnya beberapa menit setelah

penyuntikan dan berakhir setelah 2 jam. Berat dan lama berlangsungnya

sindrom ini tergantung dari dosis antagonis dan beratnya ketergantungan.

Page 7: Antagonis Narkotik (Ismayani F1F110074) Perbaikan

Hal yang sama terjadi terhadap orang dengan ketergantungan fisik

terhadap agonis parsial, tetapi diperlukan dosis lebih besar.

Karena berpengaruh lebih kuat di tingkat reseptor maka obat ini

akan menghambat semua efek opioid termasuk kenikmatan atau euforia

maupun analgesia. Dengan demikian pemakaian antagonis opioid secara

teratur selama kurun waktu tertentu akan meniadakan gejala putus opioid

sekaligus mengurangi serta meng-hilangkan ketagihan atau craving.

Misalnya 50 milligram tablet naltrekson dapat menghambat efek 25

milligram heroin murni yang setara dengan 62.5 milligram morfin.

Toleransi dan ketergantungan fisik

Toleransi hanya terjadi terhadap efek yang ditimbulkan oleh sifat

agonis, jadi hanya timbul pada efek subyektif, sedatif dan psikotomometik

dari nalorfin. Nalokson, nalorfin dan levalorvan kecil kemungkinannya

untuk disalahgunakan sebab:

1. Tidak menyebabkan ketergantungan fisik

2. Tidak menyokong ketergantungan fisik morfin, dan

3. Dari segi subyektif dianggap sebagai obat yang kurang menyenangkan

bagi para pecandu.

Indikasi

Antagonis opioid diindikasikan untuk mengatasi depresi napas

akibat takar lajak opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang

mendapat opioid sewaktu persalinan, atau akibat tentamen suicide dengan

suatu opioid, dalam hal ini nalokson merupakan obat terpilih. Obat ini juga

digunakan untyk mendiagnosis dan mengobati ketergantungan fisik

terhadap opioid.

Kontraindikasi

Wanita hamil, tidak menderita hepatitis akut, tidak mengalami

gangguan jiwa berat (psikosis) atau tidak sakit parah lainnya yang berisiko

dengan anestesia seperti infeksi jantung, infeksi paru-paru atau gagal

ginjal.

Page 8: Antagonis Narkotik (Ismayani F1F110074) Perbaikan

4. Sintesis Obat

Nalokson (Sintesis dari 14-hydroxydihidronormorphinone)

Sintesis naloxone dengan enzim bioreductase

Naltrekson (sintesis dari thebaine)

Page 9: Antagonis Narkotik (Ismayani F1F110074) Perbaikan

Nalorpin (Sintesis dari N-Allyl morphine)

5. Interaksi Obat dengan yang lain

Interaksi golongan antagonis narkotik yaitu:

Dengan Obat Lain

Golongan antagonis narkotik akan berinteraksi dengan agonis

narkotik, alkohol, hipnotik-sedatif dan antihistamin sehingga terjadinya

penurunan efek obat dan meningkatkan efek sampinya.

Golongan antagonis narkotik (nalorfin dan nalokson) juga akan

menimbulkan interaksi dengan mepridin. Takar lajak meperidin dapat

menimbulkan tremor dan konvulsi bahkan juga depresi napas, koma dan

kematian. Depresi napas oleh merepidin dapat dilawan oleh nalorfin atau

nalokson. Pada pecandu meperidin yang telah kebal akan efek depresi,

Page 10: Antagonis Narkotik (Ismayani F1F110074) Perbaikan

pemberian meperidin dapat menimbulkan tremor, kedutan otot, midriasis,

refleks hiperaktif dan konvulsif. Efek perangsangan SSP tersebut

disebabkan oleh akumulasi metabolit aktifnya yaitu normeperidin.

Nalokson dapat mencetuskan konvulsi pada pasien yang mendapat dosis

besar meperidin secara berulang. Bila terjadi gejala perangsangan terhadap

meperidin obat dihentikan dan diganti dengan opioid lain untuk mengatasi

nyeri. Nalorfin mengadakan anatgonisme terhadap efek depresi tetapi tidak

terhadap efek stimulasi meperidin.

Dengan Makanan :  dari berbagai referensi tidak didapatkan bahwa

golongan antagonis dapat berinteraksi dengan makanan.

6. Obat Pilihan untuk Nyeri/Peradangan

Jenis-jenis senyawa antagonis opiat (narkotik) yaitu nalokson, nalorfin,

pentazosin, Naltrekson dan buprenorfin (temgesic). Ketika digunakan sebagai

analgetikum, obat-obat ini dapat menduduki salah satu reseptor. Obat pilihan

untuk nyeri (analgetik) yang dianjurkan berdasarkan kelebihan dan

kekurangannya yaitu dalam urutan pertama naltrekson, kedua nalokson dan

yang terakhir nalorfin berikut di bawah ini akan dibahas masing-masing

senyawa tersebut.

Naltrekson (Nalorex)

Naltrekson adalah derivat nalokson, dimana gugus alil diganti

dengan siklopropil. sifat antagonis murni yang tidak mengakibatkan

toleransi atau ketergantungan fisik dan psikis. Dalam hati, zat ini diubah

menjadi a.l. metabolit aktif 6β-naltreksol yang terutama diekskresi melalui

Page 11: Antagonis Narkotik (Ismayani F1F110074) Perbaikan

kemih. Naltrekson mengalami siklus enterihepatik, masa paruhnya 4-12

jam. Masa kerja dari naltrekson lebih lama dibandingkan dengan nalokson.

Naltrekson efektif setelah pemberian per oral, kadar puncaknya

dalam plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam, waktu paruhnya sekitar 3 jam

dan masa kerjanya mendekati 24 jam. Metabolitnya, 6-naltreksol,

merupakan antagonis opioid yang lemah dan dan masa kerjanya panjang.

Naltrekson lebih poten dari nalokson, pada penderita adiksi opioid

pemberian 100 mg secara oral dapat menghambat efek euforia yang

ditimbulkan oleh 25 mg heroin IV selama 48 jam.

Penggunaannya terutama untuk menghambat efek-efek opioda

berdasarkan pengikatan kompetitif pada reseptor opioida dan sebagai obat

anti-ketagihan heroin. Pada pecandu opioida menimbulkan gejala

abstinensi hebat dalam waktu 5 menit, yang bertahan dalam 48 jam. Obat

ini hanya boleh diberikan setelah penghentian heroin/morfin atau metadon

sekurang-kurangnya masing-masing 7 dan 10 hari.

Dosisnya pada permulaan25 mg, bila tidak terjadi efek abstinensi

setelah 1 jam diulang dengan 25 mg. Lalu 50 mg ehari selama 3 bulan

atau lebih lama.

Nalokson (Narcan)

Antagonis-morfin ini memiliki rumus morfin dengan gugus alil

pada atom –N. Zat ini dapat meniadakan semua khasiat morfin dan opioida

lainnya, terutama depresi pernapasan tanpa mengurangi efek analgetisnya.

Penekanan pernapasan dari obat-obat SSP lain (barbital, siklopropan, eter)

tidak ditiadakan, tetapi juga tidak diperkuat seperti halnya dengan nalorfin.

Page 12: Antagonis Narkotik (Ismayani F1F110074) Perbaikan

Sendirinya tidak memiliki kerja agonitis (analgetik). Penggunaannya

sebagai antidotum pada overdose opioida (dan barbital), pasca-bedah

utnuk mengatasi depresi pernapasan oleh opioida. Atau, secara diagnostik

untuk menetukan adiksi sebelum dimulai dengan penggunaan naltrexon.

Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya terlihat

setelah penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga diserap, tetapi karena

hampir seuruhnya mengalami metabolisme lintas pertama maka harus

diberikan parenteral. Obat ini dimetabolisme di hati terutama dengan

glukuronidasi. Waktu paruhnya kira-kira 1 jam dengan masa kerja 1-4 jam.

sudah memberikan efek setelah 2 menit, yang bertahan 1-4 jam. Plasma-

t1/2-nya hanya 45-90 menit, lama kerjanya lebih singkat dari opioida, maka

lazimnya perlu diulang beberapa kali.

Nalokson tidak menghasilkan dysphoria tetapi memiliki durasi

yang singkat dan bioavailabilitas oral yang buruk karena mengalami

metabolisme lintas pertama yang tinggi di hati, ini 15 kali

lebih kuat diberian dengan suntikan dibandingkan melalui mulut.

Kebutuhan untuk aksi antagonis opioid yang lebih lama sebagai

pengobatan untuk kecanduan, dengan menghalangi efek euforia opioid

terlarang untuk jangka waktu tertentu, mendorong pengembangan

naltrekson pada tahun 1963. Antagonis ini memiliki bioavailabilitas oral

cukup baik, durasi aksi yang panjang, dan dua kali potensi nalokson

Efek tanpa pengaruh opioid. Pada berbagai eksperimen

diperlihatkan bahwa nalokson:

a. Menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang

nyerinya tinggi

b. Mengantagonis efek analgetik plasebo

c. Engantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan lewat jarum

akupuntur

Semua efek ini diduga berdasarakan antagonisme nalokson

terhadap opioid endogen yang dalam keadaan lebih aktif. Efek subyektif

yang ditimbulkan nalorfin pada manusia tergantung dari dosis, sifat orang

Page 13: Antagonis Narkotik (Ismayani F1F110074) Perbaikan

yang bersangkutan dan keadaan. Pemberian 10-15 mg nalorfin atau 10 mg

morfin menimbulkan analgesia sama kuat pada penderita dengan nyeri

pascabedah. Efek tersebut diduga disebabkan oleh kerja agonis paka

reseptor K. Sehingga menimbulkan reaksi tidak menyenangkan misalnya

rasa cemas, perasaan yang aneh sampai timbulnya day dreams yang

mengganggu atau lebih berat lagi timbul halusinasi, paling sering

halusinasi visual.

Efek sampingnya dapat berupa tachycardia (setelah beda jantung),

jarang reaksi alergi dengan shock dan udema paru-paru. pada pengkalan

efek opioida terlalu pesat dapat terjadi mual, muntah, berkeringat, pusing-

pusing, hipertensi, temor, serangan epilepsi dan berhentinya jantung.

Dosis untuk nalokson yaitu pada overdose opioida, intravena

permula 0,4 mg, bila perlu diulang tiap 2-3 menit.

Perbedaan Naltrexone dan Naloxone

Page 14: Antagonis Narkotik (Ismayani F1F110074) Perbaikan

Nalorfin (alilnormorfin)

Nalorfin adalah zat induk nalokson dengan khasiat sama, kecuali

juga berkhasiat analgetik lemah. Zat ini mampu meniadakan depresi

pernapasan yang hebat oleh opioida, tetapi justru memperkuat depresi

yang bersifat ringan, atau akibat opioida dengan kerja campuran (agonis-

antagonis) dan zat-zat sentral lain. Oleh karena itu, zat ini hanya

digunakan pada overdose opioida, bila nalokson tidak tersedia.

Page 15: Antagonis Narkotik (Ismayani F1F110074) Perbaikan

DAFTAR PUSTAKA

Anief,Moh. 2000. Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Yogyakarta Gadjah Mada University Press. Universitas

Craig, R.Craig and Robert E.Stitzel. 2007. Modern Pharmacology With Clinical Application-6th Ed. Lippncott Williams & Wilkin. Virginia.

Goodman and Gilman. 2006. The Pharmacologic Basis of Therapeutics – 11th Ed. McGraw-Hill Companies. New York.

Katzung, G.Bertram. 2007. Basic & Clinical Pharmacology – 10th Edition. The McGraw-Hill Companies. New York.

Neal,J.Michael. 2002. Medical Pharmacology at a glance-4th Ed. Blackwell science. London.

Tanu, L. 2007. Farmakologi dan Terapi. Departemen Farmakologi dan Terapi UI. Jakarta.

Tjay, Tan Hoan, Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting. Gramedia. Jakarta.