109405556-ruptur-uteri
DESCRIPTION
ruptTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Ruptur uteri adalah robeknya dinding uterus pada kehamilan dan persalinan.
Frekwensi ruptur uteri di rumah sakit- rumah sakit besar di Indonesia berkisar antara
1:92 sampai 1:294 persalinan. Angka-angka ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan
negara-negara maju (antara 1:1250 dan 1:2000 persalinan). Hal ini disebabkan karena
rumah sakit –rumah sakit di Indonesia menampung banyak kasus darurat dari luar.
Secara klasik, ruptur uteri ditandai dengan nyeri abdomen akut dan perdarahan
pervaginam berwarna merah segar serta keadaan janin yang memburuk
Faktor predisposisi yang sering ditemukan pada rupture uteri adalah riwayat
operasi atau manipulasi yang mengakibatkan trauma, seperti kuretase atau perforasi.
Stimulasi uterus secara berlebihan atau kurang tepat dengan oksitosin, yaitu suatu
penyebab yang sebelumnya lazim ditemukan, tampak semakin berkurang.
Ruptur uteri sendiri merupakan kasus gawat darurat yang harus terdiagnosis dan
ditangani segera untuk menyelamatkan ibu dan janin. Oleh karena itu diagnosis dan
manajemen ruptur uteri sangatlah penting.
Prenatal care, pimpinan partus yang baik, disamping fasilitas pengangkutan yang
memadai dari daerah-daerah perifer dan penyediaan darah yang cukup juga merupakan
faktor yang penting.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi
Ruptur uteri adalah robeknya dinding uterus pada kehamilan dan persalinan.
Epidemiologi
Terjadinya ruptur uteri pada seseorang ibu hamil atau sedang bersalin masih
merupakan suatu bahaya besar yang mengancam jiwanya dan janinnya. Kematian ibu
dan anak karena ruptur uteri masih tinggi. Insidens dan angka kematian yang tinggi kita
jumpai di negara-negara yang sedang berkembang, seperti Asia dan Afrika. Angka ini
dapat diperkecil bila ada pengertian dari para ibu dan masyarakat. Prenatal care,
pimpinan partus yang baik, disamping fasilitas pengangkutan yang memadai dari
daerah-daerah perifer dan penyediaan darah yang cukup juga merupakan faktor yang
penting.
Frekwensi ruptur uteri di rumah sakit- rumah sakit besar di Indonesia berkisar
antara 1:92 sampai 1:294 persalinan. Angka-angka ini sangat tinggi jika dibandingkan
dengan negara-negara maju (antara 1:1250 dan 1:2000 persalinan). Hal ini disebabkan
karena rumah sakit –rumah sakit di Indonesia menampung banyak kasus darurat dari
luar.
Klasifikasi
1. Menurut tingkat robekan :
a. Ruptur uteri komplit, bila robekan terjadi pada seluruh lapisan dinding uterus.
b. Ruptur uteri inkomplit, bila robekan hanya sampai miometrium, disebut juga
dehisensi. Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan eksplorasi dinding
rongga uterus setelah janin dan plasenta lahir.
c. Ruptur uteri imminens, bila baru ada gejala akan terjadi ruptur. Penderita
merasa kesakitan terus menerus baik waktu his maupun di luar his. Teraba
ligamentum rotundum menegang. Teraba cincin Bandle setinggi pusat.
Segmen bawah rahim menipis. Urine kateter kemerahan.
2. Menurut etiologinya:
a. Ruptur uteri spontan
2
Yaitu bila ruptur uteri terjadi secara spontan pada uterus tanpa parut (utuh) dan
tanpa adanya manipulasi dari penolong. Faktor pokok disini ialah bahwa persalinan
tidak maju karena rintangan, misalnya panggul sempit, hidrosepalus, janin dalam
letak lintang dan sebagainya, sehingga segmen bawah uterus makin lama makin
meregang. Faktor yang merupakan predisposisi terhadap terjadinya rupture uteri
adalah multiparitas, disini ditengah – tengah miometrium sudah terdapat banyak
jaringan ikat yang menyebabkan kekuatan dinding uterus menjadi kurang, sehingga
regangan lebih mudah menimbulkan robekan. Oleh banyak penulis dilaporkan pula
bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh dukun – dukun memudahkan timbulnya ruptur
uteri. Pada persalinan yang kurang lancar, dukun – dukun biasanya melakukan
tekanan keras kebawah terus – menerus pada fundus uteri, hal ini dapat menambah
tekanan pada segmen bawah uterus yang sudah meregang dan mengakibatkan
terjadinya ruptur uteri. Pemberian oksitosin dalam dosis yang terlampau tinggi dan
atau atas indikasi yang tidak tepat, bisa pula menyebabkan ruptur uteri
b. Ruptur uteri traumatika
Ruptur uteri yang disebabkan oleh trauma dapat terjadi karena jatuh,
kecelakaan seperti tabrakan dan sebagainya. Robekan demikian itu yang bisa terjadi
pada setiap saat dalam kehamilan, jarang terjadi karena rupanya otot uterus cukup
tahan terhadap trauma dari luar. Yang lebih sering terjadi adalah ruptur uteri yang
dinamakan ruptur uteri violenta.
Di sini karena distosia sudah ada regangan segmen bawah uterus dan usaha
vaginal untuk melahirkan janin mengakibatkan timbulnya ruptur uteri. Hal itu
misalnya terjadi pada versi ekstraksi pada letak lintang yang dilakukan bertentangan
dengan syarat-syarat untuk tindakan tersebut. Kemungkinan besar yang lain ialah
ketika melakukan embriotomi. Berhubung dengan itu, setelah tindakan-tindakan
tersebut diatas dan juga setelah ekstraksi dengan cunam yang sukar perlu dilakukan
pemeriksaan kavum uteri dengan tangan untuk mengetahui apakah terjadi ruptur
uteri. Gejala-gejala ruptur uteri violenta tidak berbeda dari ruptur uteri spontan.
c. Ruptur uteri pada parut uterus
Ruptur uteri demikian ini terdapat paling sering pada parut bekas seksio
sesarea, peristiwa ini jarang timbul pada uterus yang telah dioperasi untuk
mengangkat mioma (miomektomi) dan lebih jarang lagi pada uterus dengan parut
karena kerokan yang terlampau dalam. Di antara parut-parut bekas seksio sesarea,
parut yang terjadi ssesudah seksio sesarea klasik lebih sering menimbulkan ruptur
3
uteri daripada parut bekas seksio sesarea profunda. Perbandingannya ialah 4:1. Hal
ini disebabkan oleh karena luka pada segmen bawah uterus yang menyerupai daerah
uterus yang lebih tenang dalam masa nifas dapat sembuh dengan lebih baik,
sehingga parut lebih kuat. Ruptur uteri pada bekas seksio bisa menimbulkan gejala-
gejala seperti telah diuraikan lebih dahulu, akan tetapi bisa juga terjadi tanpa banyak
menimbulkan gejala. Dalam hal yang terakhir ini tidak terjadi robekan secara
mendadak, melainkan lambat laun jaringan disekitar bekas luka menipis untuk
akhirnya terpisah sama sekali dan terjadilah ruptur uteri. Disini biasanya peritoneum
tidak ikut serta, sehingga terdapat ruptur uteri inkompleta.
Pada peristiwa ini ada kemungkinan arteria besar terbuka dan timbul
perdarahan yang untuk sebagian berkumpul di ligamentum latum dan untuk sebagian
keluar. Biasanya janin masih tinggal dalam uterus dan his kadang-kadang masih ada.
Sementara itu penderita merasa nyeri spontan atau nyeri pada perabaan tempat bekas
luka. Jika arteria besar luka, gejala-gejala perdarahan dengan anemia dan syok, janin
dalam uterus meninggal pula.
3. Menurut waktu terjadinya:
a. Ruptur Uteri Gravidarum, terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi pada
korpus
b. Ruptur Uteri Durante Partum, Terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya sering
pada SBR. Jenis inilah yang terbanyak.
4. Menurut lokasi:
a. Korpus uteri, biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami
operasi, seperti seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.
b. Segmen bawah rahim (SBR), biasanya pada partus sulit dan lama (tidak maju).
SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur.
c. Servik uteri, biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forcep atau versi
dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.
d. Kolpoporeksis-kolporeksis, robekan-robekan diantara servik dan vagina.
4
Faktor Risiko
Faktor risiko ruptur uteri meliputi riwayat histerotomi sebelumnya (seksio
sesarea, myomektomi, reseksi cornual), trauma (kecelakaan lalu lintas, ekstraksi
5
forcepal), overdistensi uterus (hidramnion, gemelli, makrosomia), anomali uterus,
plasenta perkreta, choriocarsinoma.
Gejala dan Tanda
Gejala yang bisa didapatkan pada pasien dengan ruptur uteri adalah :
6
1. Penderita pucat dan perdarahan vaginal;
2. Pada saat terjadi ruptur penderita kesakitan sekali dan merasa ada robekan di perutnya;
3. gejala kolaps dan kemudian syok.
Sedangkan tanda yang bisa kita dapatkan pada pemeriksaan adalah:
1. Penderita pucat;
2. Tachicardi;
3. Perdarahan vaginal;
4. Dapat diraba jelas bagian-bagian janin langsung di bawah dinding perut;
5. Perut kembung, kadang-kadang defance muscular dan pada keadaan ini janin sukar
diraba;
6. Dapat ditemukan uterus sebagai benda sebesar kepala bayi di samping bagian janin;
7. Denyut jantung janin negatif;
8. His berhenti;
9. Diantara korpus dan SBR nampak lingkaran Bandl sebagai lekukan melintang yang
bertambah lama bertambah tinggi, menunjukan SBR yang semakin tipis dan
teregang.
10. Tanda-tanda adanya cairan bebas dalam kavum peritonii;
7
11. Pada pemeriksaan vaginal bagian bawah janin tidak teraba lagi atau teraba tinggi
dalam jalan lahir. Kadang robekan dapat diraba, demikian pula usus pada
rongga perut melalui robekan
12. Pemeriksaan penunjang: laboratorium darah hemoglobin, hematokrit.
Ruptur Uteri Komplit dan Ruptur Uteri Imminens
Ruptur uteri komplit dapat terjadi pada akhir kehamilan atau dalam persalinan
yang sebelumnya terdapat riwayat seksio sesarea klasik atau pembedahan uterus yang
ekstensif. Adanya riwayat pembedahan uterus sebelumnya memberikan korelasi 3:1
dibandingkan tanpa riwayat pembedahan untuk terjadinya ruptur uteri.
Ruptur uteri imminens, gejala dan tanda-tandanya: penderita gelisah,
pernapasan dan nadi menjadi cepat serta dirasakan nyeri terus menerus di perut bagian
bawah baik ada his maupun di luar his, segmen bawah rahim tegang dan menipis,
lingkaran retraksi (Bandle) meninggi sampai mendekati pusat, urine kateter berwarna
kemerahan, terdapat tanda-tanda gawat janin.
Penatalaksanaan
Untuk mencegah timbulnya ruptur uteri pimpinan persalinan harus dilakukan
dengan cermat, khususnya pada persalinan dengan kemungkinan distosia, dan pada
wanita yang pernah mengalami sectio sesarea atau pembedahan lain pada uterus. Pada
distosia harus diamati terjadinya regangan segmen bawah rahim, bila ditemui tanda-
tanda seperti itu, persalinan harus segera diselesaikan.
Jiwa wanita yang mengalami ruptur uteri paling sering bergantung pada
kecepatan dan efisiensi dalam mengoreksi hipovolemia dan mengendalikan perdarahan.
Perlu ditekankan bahwa syok hipovolemik mungkin tidak bisa dipulihkan kembali
dengan cepat sebelum perdarahan arteri dapat dikendalikan, karena itu keterlambatan
dalam memulai pembedahan tidak akan bisa diterima.
Bila sudah diagnosa dugaan ruptur uteri sudah ditegakkan maka tindakan yang
harus diambil adalah segera memperbaiki keadaan umum pasien ( resusitasi cairan dan
persiapan tranfusi ) dan persiapan tindakan laparotomi atau persiapan rujukan ke sarana
fasilitas yang lebih lengkap.
8
Sebagai bentuk tindakan definitif maka bila robekan melintang dan tidak
mengenai daerah yang luas dapat dipertimbangkan tindakan histerorafia ; namun bila
robekan uterus mengenai jaringan yang sangat luas serta sudah banyak bagian yang
nekrotik maka tindakan terbaik adalah histerektomi
Histerektomi dianjurkan pada pasien yang sudah cukup anak, sedangkan yang
masih ingin hamil dilakukan repair uterus. Pemberian antibiotika diperlukan pada kasus
risiko infeksi. Tidak disebutkan jenis antibiotika tertentu yang dianjurkan di sini.
Angka kematian maternal akibat ruptur uteri mencapai 4,2%, sedangkan angka
kematian perinatal mencapai 46%. Komplikasi yang dapat terjadi meliputi: perdarahan,
syok, infeksi postoperasi, kerusakan ureteral, tromboflebitis, emboli air ketuban, DIC
(disseminated intravascular coagulation), dan kematian.
9
SKEMA PENATALAKSANAAN RUPTUR UTERI
Ruptura uteri
Imminens Inkomplit Komplit
Kepala Kepala Tepi luka Luka compang- belum masuk sudah masuk lurus/baik camping
Janin hidup Janin mati Laparatomi histerorafi
Ekstraksi forsep Embriotomi
Histerorafi Amputasi uteri/ histerektomi total
Bedah sesarea Cukup anak Tubektomi
Prognosis
Angka mortalitas yang ditemukan dalam berbagai penelitian berkisar dari 50
hingga 75%, tetapi jika janin masih hidup pada saat terjadinya peristiwa tersebut, satu-
satunya harapan untuk mempertahankan jiwa janin adalah dengan persalinan segera,
yang paling sering dilakukan lewat laparotomi, kalau tidak keadaan hipoksia baik
sebagai keadaan terlepasnya plasenta ataupun hipovolemi maternal tidak akan
terhindari, jika tidak diambil tindakan, kebanyakan wanita akan meninggal karena
perdarahan atau mungkin pula karena infeksi yang terjadi kemudian, kendati
penyembuhan spontan pernah juga ditemukan pada kasus yang luar biasa.
KU jelek
KU baik
10
Diagnosa cepat, tindakan operasi segera, ketersediaan darah dalam jumlah besar
dan terapi antibiotik sudah menghasilkan perbaikan prognosis yang sangat besar bagi
wanita dengan ruptur pada uterus yang hamil.
11
DAFTAR PUSTAKA
ACOG. Vaginal birth after previous cesarean delivery. ACOG practice bulletin no. 54.
Washington, DC: American College of Obstetricians and Gynecologists;2004.
Cuningham FG, Gary NF, 2001. Ruptur Uteri, Obstetri Williams Edisi 21. EGC.
Jakarta : 716, 876
Gyamfi C, Juhasz G, Gyamfi P, Blumenfeld Y, Stone JL. Single- versus double-layer
uterine incision closure and uterine rupture. J Matern Fetal Neonatal Med. Oct
2006;19(10):639-43.
Kayani SI, Alfirevic Z. Uterine rupture after induction of labour in women with
previous caesarean section. BJOG. Apr 2005;112(4):451-5.
Klein GH. Vaginal Birth after Cesarean Delivery: An admission Scoring System.
Obgyn.net journal review. Obstet Gynecol 1997;90:907-10.
http://www.obgyn.net/jr/review17.htm
Lim AC, et al.Pregnancy after uterine rupture: a report of 5 cases and a review of the
literature.Obstet Gynecol Surv.2005 ;60(9):613-7
Locatelli A, Regalia AL, Ghidini A, et al. Risks of induction of labour in women with a
uterine scar from previous low transverse caesarean section. BJOG. Dec
2004;111(12):1394-9.
Macones GA, Cahill A, Pare E, et al. Obstetric outcomes in women with two prior
cesarean deliveries: is vaginal birth after cesarean delivery a viable option?. Am
J Obstet Gynecol. Apr 2005;192(4):1223-8; discussion 1228-9.
Prawirohardjo S, Hanifa W, 2005. Ruptur Uteri, Ilmu Kandungan, Edisi ke 2. Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirorahardjo. Jakarta.
Saifudmidin A.B.,Utama H., Ruptur uteri, Standar pelayanan medik Obstetri dan
Ginekologi Bagian I, POGI,Jakarta,1991;46-47.
Vaginal Birth after Cesarean. Quest Diagnotics Patient Health Library 2003, mei;
http://questdiagnosics.com.
Walsh CA, O’Sullivan RJ, Foley ME (2006). “Unexplained prelabor uterine rupture in
a term primigravida”. Obstetrics and gynecology 108 (3 Pt 2): 725–7.
12