tinjauan pustaka - library & knowledge...

21
Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Pernikahan dan Keluarga 2.1.1 Definisi pernikahan dan keluarga. Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, didalam bab 1 pasal 1 dinyatakan definisi perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Olson dan DeFrain (2006) mendefinisikan pernikahan adalah komitmen yang terkait dengan emosi dan hukum dari dua orang untuk berbagi keintiman emosional dan fisik, bermacam-macam tugas, dan sumber ekonomi. Strong, DeVault, dan Cohen (2008) mendefinisikan pernikahan sebagai pengakuan secara hukum penyatuan antara dua orang, umumnya laki-laki dan perempuan, yang mana mereka bersatu secara seksual, bergabung dalam keuangan, dan mungkin melahirkan, mengadopsi, atau membesarkan anak. Keluarga menurut Winch (dalam DeGenova, 2008) adalah sekumpulan orang yang terkait satu sama lain melalui hubungan darah, pernikahan, atau adopsi yang tinggal bersama dan merupakan penganti fungsi dasar bermasyarakat. Dari definisi pernikahan dan keluarga di atas, dapat digambarkan bahwa pernikahan jika dikaitkan dengan keluarga berarti sebuah proses yang mengikat dua orang yang lazimnya adalah pria dan wanita secara hukum dan agama sehingga ikatan tersebut membuat mereka disebut sekumpulan yang tinggal bersama dan yang berguna untuk memerankan fungsi dasar bermasyarakat dengan cara melebur secara emosional, fisik, keuangan, seksual dan pengasuhan.

Upload: hadang

Post on 05-Mar-2018

230 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Bab 2

Tinjauan Pustaka

2.1 Pernikahan dan Keluarga

2.1.1 Definisi pernikahan dan keluarga.

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974

tentang perkawinan, didalam bab 1 pasal 1 dinyatakan definisi perkawinan adalah

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Olson dan DeFrain (2006) mendefinisikan

pernikahan adalah komitmen yang terkait dengan emosi dan hukum dari dua orang

untuk berbagi keintiman emosional dan fisik, bermacam-macam tugas, dan sumber

ekonomi.

Strong, DeVault, dan Cohen (2008) mendefinisikan pernikahan sebagai

pengakuan secara hukum penyatuan antara dua orang, umumnya laki-laki dan

perempuan, yang mana mereka bersatu secara seksual, bergabung dalam

keuangan, dan mungkin melahirkan, mengadopsi, atau membesarkan anak.

Keluarga menurut Winch (dalam DeGenova, 2008) adalah sekumpulan orang yang

terkait satu sama lain melalui hubungan darah, pernikahan, atau adopsi yang tinggal

bersama dan merupakan penganti fungsi dasar bermasyarakat.

Dari definisi pernikahan dan keluarga di atas, dapat digambarkan bahwa

pernikahan jika dikaitkan dengan keluarga berarti sebuah proses yang mengikat dua

orang yang lazimnya adalah pria dan wanita secara hukum dan agama sehingga

ikatan tersebut membuat mereka disebut sekumpulan yang tinggal bersama dan

yang berguna untuk memerankan fungsi dasar bermasyarakat dengan cara melebur

secara emosional, fisik, keuangan, seksual dan pengasuhan.

2.1.2 Bentuk keluarga.

Terkait dengan tempat tinggal maka ada tiga cara keluarga membangun tempat

tinggalnya (Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006):

1. Neolocal-tinggal dirumah sendiri. Neolocal menjelaskan situasi dimana

pasangan baru menikah membangun tempat tinggalnya sendiri.

2. Patrilocal-tinggal dengan keluarga suami. Pola ini yang paling sering

digunakan diseluruh dunia. Jenis ini mengartikan situasi dimana pasangan

baru menikah tinggal dirumah keluarga suami.

3. Matrilocal-tinggal dengan keluarga istri. Pola ini yang jarang digunakan. Jenis

ini mengartikan situasi dimana pasangan baru menikah tinggal dirumah

keluarga istri.

2.1.3 Tahapan keluarga.

Carter dan McGoldrick (dalam Santrock, 2008) mengambarkan siklus kehidupan

bagi keluarga, yaitu:

1. Meninggalkan rumah dan menjadi dewasa muda yang lajang

Tahap awal ini termasuk meluncurkan seorang remaja yang baru saja menjadi

dewasa muda keluar dari keluarga asalnya. Perpisahan ini tidak mengartikan

memutusakan ikatan dan emosional. Pelepasan dewasa muda ini juga merupakan

waktu dimana memikirkan tujuan hidup, mengembangkan identitas, dan menjadi

lebih mandiri sebelum menerima orang lain masuk dalam kehidupannya dan

memiliki keluarga sendiri.

2. Bergabung dalam keluarga yang baru

Pernikahan merupakan penyatuan dua sistem keluarga, sehingga muncul sistem

keluarga ketiga berikutnya. Tahapan ini termasuk mengatur ulang teman dan

kerabat. Penyatuan berbagai hal (peran gender, perbedaan budaya, dan jarak antar

pasangan) yang dibawa atau yang diperoleh saat menikah oleh masing-masing

pasangan terkadang bisa menjadi beban bagi pasangan untuk mengartikan

hubungan tersebut bagi diri mereka sendiri.

3. Menjadi orang tua dan keluarga dengan kehadiran anak

Tahapan ini menjadikan seseorang berpindah generasi menjadi pengasuh anak

yang paling awal. Masuk tahap yang paling panjang ini membutuhkan komitmen

sebagai orang tua, pemahaman tentang peran orang tua, dan bersedia

menyesuaikan dengan perkembangan anak. Dalam tahap ini pasangan akan

mengalami banyak permasalahan tentang tanggung jawab sebagai orang tua.

4. Keluarga dengan anak remaja

Remaja adalah masa dimana seseorang ingin menjadi mandiri dan mencari

pengembangan jati diri. Proses ini berlangsung lama setidaknya 10 sampai 15

tahun. Pendekatan paling baik dalam mengatasi masa remaja ini adalah fleksibel

dengan cara menyesuaikan dengan keadaan anak. Terkadang anak butuh untuk

ditekan dan disisi lain dibebaskan.

5. Keluarga di masa pertengahan

Pada tahap ini maka pasangan harus melepas anaknya, untuk masuk dalam

generasi baru, dan menyesuaikan dengan perubahan. Dengan melepaskan anak

yang sudah dewasa dapat membuat kehidupan masa pertengahan lebih bebas

untuk melakukan berbagai aktifitas lainnya.

6. Keluarga di masa terakhir

Pensiun mengubah gaya hidup keluarga, sehingga pada tahap ini diperlukan

adaptasi. Ciri dari tahapan ini salah satunya adalah pasangan akan masuk

ketahapan menjadi kakek-nenek.

2.1.4 Tahap awal pernikahan.

Ted Huston dan Heidi Melz (dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008)

menyatakan bahwa awal pernikahan diisi dengan kasih sayang, sehingga sedikit

menimbulkan konflik. Pada satu tahun pertama, pasangan sudah dapat

menunjukkan kasih sayangnya lebih dalam yaitu terutama terkait dengan seksual.

Frekuensi dan intensitas terjadinya konflik juga berkurang, karena ketika

pertengkaran terjadi maka pasangan diawal pernikahan ini akan menunjukkan kasih

sayangnya, sehingga muncul adanya rasa bersalah.

2.1.4.1 Menetapkan peranan dan tugas sebagai suami-istri.

Penetapan peran ini biasanya diharapkan berdasarkan peran gender dan

pengalaman. Weitzman (dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008) mengungkap ada

empat asumsi tradisional mengenai tanggung jawab suami-istri: suami adalah

kepala rumah tangga, suami bertanggung jawab mendukung keluarga, istri

bertanggung jawab untuk pekerjaan rumah tangga, dan istri bertanggung jawab

untuk mengurus anak. Namun, asumsi tradisional ini tidak selalu digambarkan dalam

realitas pernikahan.

Pasangan awal memulai dengan sejumlah tugas untuk suami-istri agar

pernikahannya terbangun dan sukses. Tugas untuk penyesuaian yang terutama

termasuk:

• Menetapkan peranan suami-istri dalam pernikahan dan keluarga

• Menyediakan dukungan emosional bagi pasangan

• Menyesuaikan kebiasaan pribadi

• Negosiasi peran gender

• Menetapkan prioritas keluarga dan pekerjaan

• Mengembangkan kemampuan berkomunikasi

• Mengelolah anggaran belanja dan finansial

• Menetapkan hubungan dengan sanak-saudara

• Berpartisipasi dalam komunitas besar

Whitebourne dan Ebmeyer (dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008)

memaparkan bahwa pernikahan memiliki bentuk yang berbeda dalam membagi,

menyelesaikan, dan memisahkan tugas. Oleh karena itu pasangan dalam

pernikahan akan merasakan kesulitan lebih dari yang mereka pikirkan sebelumnya.

Namun, ketika tugas-tugas ini dikerjakan dengan cinta dan kebersamaan, maka

akan mengembangkan, memperkaya dan makin mengikat pernikahan tersebut.

Dalam melakukan tugas tersebut, pasangan suami-istri memulainya dengan

perundingan akan identitas yang akan dibawa dalam kehidupan rumah tangga.

Menurut Blumstein (dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008) perundingan tentang

identitas adalah proses interaksi untuk penyesuaian peran. Cara melakukan

perundingan identitas dibagi menjadi tiga tahap (Strong, DeVault, & Cohen, 2008),

yaitu: masing-masing pasangan mengidentifikasi peranan yang dilakukannya,

masing-masing pasangan harus memperlakukan yang lain sesuai dengan

peranannya, dan pasangan harus saling membicarakan untuk perubahan peranan.

2.1.4.2 Keadaan dan tekanan sosial.

Bradbury dan Karney (dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008) menyatakan

bahwa kesuksesan pernikahan secara garis besar dipengaruhi oleh hal-hal yang dari

luar dan yang ada di sekeliling pasangan menikah tersebut. Keadaan-keadaan yang

berpengaruh seperti pekerjaan, pengasuhan, kesehatan, teman, keuangan, sanak-

saudara, dan pengalaman pekerjaan dapat mempengaruhi kualitas hubungan

pernikahan. Oleh karena itu, meningkatkan kualitas pernikahan membutuhkan juga

untuk memperbaiki dan mengurus keadaan yang ada.

2.1.4.3 Perubahan Individu.

Strong, DeVault, & Cohen (2008) memaparkan bahwa dalam usai 30an

maka situasi dalam pernikahan akan berubah. Anak sudah mulai sekolah sehingga

orang tua bisa sedikit lebih fokus pada karirnya. Wanita biasanya kembali bekerja

dan mendapatkan kembali kekuasaannya dalam pernikahan. Laki-laki sudah

mendapatkan posisi yang mapan dalam pekerjaannya. Mungkin pengalamannya

tentang pekerjaan yang terdahulu terkadang membuatnya tertekan, namun

kekecewaan tersebut dapat diatasi dengan kepuasan dan pemenuhan emosi dari

keluarga.

Seperti yang dijelaskan pada pasangan muda dengan usai 20-40 tahun yang

umumnya berada pada tahapan awal pernikahan, maka banyak hal yang tidak

diduga akan terjadi sebelumnya oleh pasangan. Pembagian tugas dan tanggung

jawab, identitas, perubahan dan tekanan sosial, dan perubahan individu membuat

banyak perubahan kehidupan awal pernikahan (Strong, DeVault, & Cohen, 2008).

Hal utama yang mempengaruhi hubungan pernikahan dan juga merupakan hasil dari

faktor-faktor tersebut adalah tuntutan bagi wanita untuk bekerja.

2.2 Kepuasan Pernikahan

2.2.1 Definisi kepuasan pernikahan.

Kepuasan pernikahan menurut Bradbury, Fincham, dan Beach (dalam

Minnotte, Mannon, Stevens, & Kiger, 2008) merupakan pusat kesejahteraan bagi

individu dan keluarga, serta dapat mempengaruhi tingkat perceraian. Schoen,

Astone, Rothert, Standish, dan Kim (2002) mendefiniskan kepuasan pernikahan

sebagai penilaian keseluruhan pada keadaan pernikahan dan refleksi untuk

kebahagiaan dan fungsi perkawinan. Sedangkan dari prespektif revolusioner,

Shackelford dan Buse (dalam Zainah, Nasir, Hashim, & Yusof, 2012) menyatakan

bahwa kepuasan pernikahan dapat dilihat dari sisi keadaan pengaturan mekanisme

psikologis yang membantu melihat manfaat atau kerugian pernikahan pada orang

tertentu.

2.2.2 Aspek-aspek kepuasan pernikahan.

Dalam pengukuran PREPARE/ENRICH customized version digambarkan

aspek-aspek yang terkait dengan kepuasan perkawinan (Olson, Larson, & Olson,

2009):

1. Komunikasi adalah kepercayaan, perasaan, dan sikap tentang hubungan

komunikasi dengan pasangannya. Fokusnya pada perasaan nyaman satu

dengan yang lain untuk mampu membagikan emosi dan pendapat penting,

persepsinya pada kemampuan pasangan mendengarkan dan merbicara dan

persepsi pada kemampuan sendiri untuk berkomunikasi dengan pasangan.

2. Penyelesaian konflik adalah kepercayaan, perasaan, dan sikap tentang

keadaan dan pemecahan masalah dalam hubungan. Fokusnya pada

keterbukaan pasangan dalam mengakui dan menyelesaikan isu-isu, strategi

dan proses untuk mengakhiri perdebatan, dan tingkat kepuasan terhadap

cara penyelesaian masalah.

3. Gaya dan kebiasaan pasangan adalah persepsi dan kepuasan dengan

kebiasaan pribadi dan sifat perilaku pasangan. Fokus pada sifat, suasana

hati, dan sikap keras kepala, serta bagi melihat secara keseluruhan/umum,

keteguhan, dan kecenderungan diharapkan untuk dikendalikan.

4. Keluarga dan teman adalah perasaan dan perhatian tentang hubungan

dengan rekan, sanak-saudara, dan teman. Fokus pada sikap keluarga dan

teman terhadap pernikahan, harapan terkait jumlah waktu yang dihabiskan

bersama keluarga dan teman, perasaan nyaman dengan keberadaan teman

dan keluarga pasangan, dan persepsi untuk situasi yang dihasilkan karena

konflik atau kepuasan.

5. Pengelolahan finansial adalah sikap dan perhatian mengenai cara

mengelolah isu-isu ekonomi dalam hubungan dengan pasangan. Fokus pada

apakah individu cenderung menyimpan atau menghabiskan uang, kesadaran

dan perhatian tentang isu-isu kredit dan hutang, pehatian dengan bagaimana

keputusan finansial untuk pembelian dibuat, perjanjian terkait berbagai hal

finansial, pengelolahan keuangan, dan kepuasan dengan status ekonomi.

6. Aktifitas waktu luang adalah mengevaluasi pilihan pribadi dalam pengunaan

waktu luang. Fokus pada aktifitas sosial dibandingkan dengan pribadi,

aktifitas aktif dibandingkan dengan pasif, pilihan atau harapan yang saling

berbagi dibandingkan dengan pribadi, serta apakah waktu luang harus

dihabiskan bersama atau seimbang antara aktifitas bersama dan terpisah.

7. Harapan berhubungan seksual adalah perasaan dan perhatian mengenai

kasih sayang dan hubungan seksual dengan pasangan. Fokus pada

kepuasan mengekspresikan kasih sayang, tingkat kenyamanan

mendiskusikan isu-isu seksual, sikap terhadap perilaku seksual, keputusan

pengendalian angka kelahiran/rencana keluarga, dan perasaan tentang

kesetiaan berhubungan seksual.

8. Kepercayaan spiritual adalah sikap, perasaan, dan perhatian tentang arti dari

kepercayaan religius dan praktek dalam keadaan hubungan dengan

pasangan. Fokus pada arti dan pentingnya agama, termasuk aktifitas di

tempat ibadah, dan peranan kepercayaan religius yang diharapkan dimiliki

dalam pernikahan.

9. Harapan pada pernikahan adalah harapan individual mengenai cinta,

komitmen, dan konflik dalam hubungan. Fokus pada tingkatan harapan

tentang pernikahan adalah realistis dan didasarkan pada gagasan objektif.

10. Peran dan tanggung jawab adalah kepercayaan, sikap, dan perasaan

individu tentang peran dan tanggung jawab pernikahan dan keluarga. Fokus

pada kepuasan dengan bagaimana tugas rumah tangga dan pengambilan

keputusan dibagi.

11. Memaafkan adalah persepsi pasangan untuk kemampuannya memaafkan

yang lain setelah konflik, penghianatan, atau dilukai. Melihat bagaimana

pasangan meminta dan memberi maaf dalam hubungan. Bertanggung jawab,

meminta maaf, membangun kembali kepercayaan, dan bergerak maju

adalah hal yang paling penting.

Menurut Thomas, Albrecht, dan White (dalam Sadarjoen 2004) dijabarkan

aspek-aspek yang mempengaruhi kepuasan pernikahan:

1. Emosi, merupakan perasaan aman bersama yang dirasakan karena adanya

kasih sayang diantara pasangan.

2. Intelektual, kesamaan dalam kemampuan kognitif sehingga permasalahan

dalam rumah tangga ataupun kerja yang dimiliki bersama dapat

didisukusikan dengan menyenangkan.

3. Seksual, adanya ketertarikan seskual yang terjaga dan menghasilkan

kehidupan seksual yang memuaskan.

4. Rekerasi, perasaan yang nyaman melalui hari-hari bersama dengan aktifitas

yang menyenangkan.

5. Finansial, keterbukaan dalam mengurus dan mengelolah penghasilan

keluarga secara bersama-sama.

6. Spiritual, tingkat kepatuhan bersama pada Tuhan, saling menghormati, dan

kesungguhan menjalankan ritual.

7. Keintiman sosial, merasakan kenyamanan atas pergaulan dari pasangan

kita.

Sedangkan menurut Rumondor, Paramita, Geni, dan Francis (2012) dalam

membangun Alat Ukur Kepuasan Pernikahan Masyarakat Urban menjelaskan ada

sembilan aspek kepuasan pernikahan:

1. Komunikasi

Komunikasi yang khas dan memuaskan karena, satu dengan yang lain saling

memahami maksud masing-masing pasangannya. Baik dalam hal pekerjaan

atau pendidikan yang dijalani oleh pasangannya.

2. Keseimbangan pembagian peran

Peranan yang seimbang diantara pasangan.

3. Kesepakatan

Diskusi yang setara diantara pasangan dan diantarannya yang lebih

mamahami situasi dapat mengambil keputusan sehingga mencapai

kesepakatan bersama.

4. Keterbukaan

Bersedia mengungkapkan informasi tentang diri, pikiran, dan perasaan

secara terbuka terhadap pasangan, termasuk didalamnya perencanaan

keuangan dan gaji.

5. Keintiman

Waktu dihabiskan dengan pasangan untuk melakukan aktifitas bersama-

sama, tanpa ada kehadiaran dari pihak yang lain.

6. Keintiman sosial dalam relasi

Perasaan nyaman sebagai pasangan untuk secara bersama-sama

melakukan kegiatan yang terkait dengan lingkup sosial, seperti: menghadiri

acara keluarga atau membantu kerabat/teman yang perlu bantuan.

7. Seksualitas

Secara bebas pasangan menentukan aktifitas seksualnya, baik dari tempat

dan waktu, untuk memenuhi kebutuhan seksual dan timbul juga kesetiaan

dalam berhubungan seksual dengan pasangan.

8. Finansial

Pemenuhan kebutuhan finansial keluarga baik dari jumlah dan pembagian

akan tanggung jawab finansial dengan pasangan.

9. Spriritualitas

Pemenuhan kebutuhan spiritualitas tercukupi selama ada dalam ikatan

pernikahan dengan pasangan.

2.2.3 Kepuasan pada tahap awal pernikahan.

2.2.3.1 Tahap permulaan.

Di awal pernikahan kebanyakan pasangan mengalami kejutan karena

menurut Sarnoff dan Sarnoff (dalam Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006) mereka

tidak lagi bertanggungjawab atas hidupnya sendiri namun harus saling terkait,

bertanggungjawab, dan mengidentifikasikan diri dengan yang lain. Namun menurut

Glenn; Vaillant dan Vaillant; Benin (dalam Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006)

bahwa pasangan ini masih merasakan kepuasan yang sangat tinggi. Menurut

Williams, Sawyer, dan Wahlstrom (2006) ada perubahan yang terjadi 2-3 tahun

sebelum kehadiran seorang anak:

1. Perundingan identitas mengartikan bahwa dalam pernikahan pasangan

diharuskan menyesuaikan harapan yang ideal diantara satu dengan yang

lain. (Blumstein dalam Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006)

2. Hilangnya kemandirian bahwa terkadang membuat pasangan menjadi sangat

frustasi karena tanggung jawab dan kekangan yang ada dalam pernikahan.

Namun, meskipun keseluruhannya tidak setara, pasangan muda selalu

menganggap kehidupan pernikahannya memiliki persamaan (Knudson-

Martin & Mahoney dalam Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006)

3. Teman dan keluarga baru merupakan hal yang ditemukan ketika

memutuskan untuk menikah karena kita juga diharuskan mengenal keluarga

dan teman pasangan kita. Hal ini bisa menjadi beban karena seorang istri

tidak lagi bisa bertemu dengan sahabat-sahabatnya lagi, tetapi harus hadir

dalam upacara dan bersama dengan sanak keluarga.

4. Karir dan peranan ibu rumah tangga salah salah satu penyebab konflik

dalam kehidupan pertama pernikahan pasangan, karena harapan dari

masing-masing individu atas perananya. Secara tradisional suami bekerja

dan istri mengurus rumah tangga, Namun sekarang banyak istri yang bekerja

(Fustenberg dalam Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006).

Beberapa penelitian menemukan bahwa kepuasan pernikahan akan

berkurang dari waktu ke waktu. Melalui penelitian yang panjang pada pasangan

yang baru menikah, Lawrence Kurdek (dalam Olson & DeFrain, 2006) menemukan

bahwa diawal 4 tahun pertama, suami dan istri mengalami penurunan kepuasan

dalam angka yang mirip. Kepuasan pernikahan ini turun terutama karena deperesi

yang dialami terutama oleh wanita akibat pembagian peran yang tidak seimbang.

2.3 Waktu luang bersama keluarga dan fungsi keluarga

Waktu luang adalah waktu yang tidak digunakan untuk bekerja dan secara

bebas mengikutsertakan pilihan kegiatan yang memuaskan (Williams, Sawyer, &

Wahlstrom, 2006). Gordon,dkk (dalam Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006)

mendefinisikan waktu luang sebagai kegiatan yang dipilih dengan kebebasan, yang

termasuk didalamnya bersantai, bersenang-senang, pencarian kreatifitas, dan

kepentingan untuk menyampaikan nafsu. Hawks; Holman dan Epperson; Orthner

dan Mancini (dalam Buswell, Zabriskie, Lundberg, & Hawkins, 2012) menghasilkan

penelitian yang konsisten bahwa terdapat hubungan positif pada waktu luang

bersama keluarga dan variabel-variabel fungsi keluarga dalam beberapa tahun.

Olson (dalam Hornberger, Zabriskie, & Freeman, 2010) menyatakan bahwa fungsi

keluarga adalah keseimbangan antara kesatuan atau kedekatan keluarga dan

penyesuaian keluarga dalam menghadapi tantangan dan perubahan di lingkungan.

Orthner dan Mancini (dalam Dodd, Zabriskie, Widner, & Egget, 2009) mendefinisikan

fungsi keluarga sebagai penilaian dan interpretasi melalui perspektif teoritis sistem

keluarga. Teori sistem keluarga sendiri berfokus pada kedinamisan keluarga yang

termasuk didalamnya kekuasaan, hubungan, struktur, batasan, pola dan peran

komunikasi (Rothbaum, Rosen, Ujiie, & Uchida dalam Dodd, Zabriskie, Widner, &

Egget, 2009).

Core and Balance Model of Family Leisure Functioning mengindikasikan

terdapat dua kategori dasar atau pola waktu luang bersama keluarga, yaitu: core

and balance. Model ini menunjukkan tentang bagimana keluarga bersatu untuk

menemukan kebutuhan untuk stabilitas dan perubahan, dan memfasilitasi fungsi

keluarga. Waktu luang jenis core adalah yang bersifat umum, setiap hari, murah,

mudah diakses, merupakan aktifitas rumah tangga yang sering dilakukan. Kegiatan-

kegiatan yang dilakukan dalam jenis ini bersifat konsisten, tidak berbahaya dan

selalu bersifat positif dimana hubungan keluarga dapat dicapai dan kedekatan dalam

keluarga dapat meningkat. Aktifitas yang termasuk dalam jenis core adalah makan

malam keluarga, menonton televisi/video di rumah, permainan, dan aktifitas di taman

(Zabriskie & McCormick dalam Agate, Zabriskie, Agate, & Poff, 2009; Hornberger,

Zabriskie, & Freeman, 2010; Buswell, Zabriskie, Lundberg, & Hawkins, 2012).

Waktu luang jenis balance meliputi aktifitas yang di luar dari keseharian dan

jenisnya bukan bersifat pekerjaan rumah serta memberikan elemen yang baru.

Kegiatan ini cenderung keluar dari kebiasaan sehari-hari dan bersifat tidak dapat

diprediksi atau baru, serta mengharuskan anggota keluarga bernegosiasi dan

beradaptasi dengan pengalaman dan hal baru. Selain itu merupakan kegiatan yang

keluar dari kehidupan sehari-hari, sehingga memerlukan tambahan waktu, usaha

atau biaya yang lebih. Aktifitas yang termasuk di dalam waktu luang jenis balance

adalah acara komunitas, aktifitas di luar rumah, aktifitas berhubungan dengan air,

aktifitas menantang, dan pariwisata/bepergian (Zabriskie & McCormick dalam Agate,

Zabriskie, Agate, & Poff, 2009; Hornberger, Zabriskie, & Freeman, 2010; Buswell,

Zabriskie, Lundberg, & Hawkins, 2012).

Waktu luang jenis core cenderung memfasilitasi kedekatan perasaan,

keterikatan personal, identitas keluarga dan keterikatan antar keluarga. Jenis waktu

luang balance menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang menantang,

mengembangkan, menyesuaikan, meningkatkan keluarga dan mengembangkan

kemampuan untuk mengendalikan tantangan dalam kehidupan keluarga sehari-hari.

Jadi, waktu luang jenis core terkait erat dengan kesatuan keluarga dan jenis balance

terkait erat dengan penyesuaian keluarga (Zabriskie & McCormick dalam Agate,

Zabriskie, Agate, & Poff, 2009; Hornberger, Zabriskie, & Freeman, 2010; Buswell,

Zabriskie, Lundberg, & Hawkins, 2012).

Model core dan balance merupakan kerangka yang dapat menyediakan

pengetahuan untuk memahami hubungan antara jenis waktu luang pasangan dan

kepuasan pernikahan (Johnson, Zabriskie, & Hill, 2006). Model core dan balance

mengusulkan pada keluarga untuk secara teratur berpartisipasi pada dua jenis

aktifitas waktu luang tersebut yang membuat fungsi keluarga menjadi lebih baik dan

memiliki kepuasan keluarga yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak

berpartisipasi dalam sejumlah besar atau kecil salah satu dari kedua kategori

tersebut (Johnson, Zabriskie, & Hill, 2006).

2.4 Inisiasi berhubungan seksual

Inisiasi berhubungan seksual dapat didefinisikan sebagai langkah awal yang

diambil oleh pasangan untuk menyampaikan perhatian atau gairah untuk aktifitas

seksual secara verbal atau non-verbal, meskipun pada akhirnya nanti bisa diakhiri

dengan kegiatan seksual ataupun tidak (Gossmann, Mathieu, Julien, & Chartrand,

2003). Olson dan DeFrain (2006) memaparkan hasil bahwa 50% suami memulai

untuk melakukan hubungan seksual, namun hanya 12% istri yang memulai

melakukan hubungan seksual. Hal ini diperkuat oleh pernyataan O’Sullivan dan

Byers (dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008) bahwa pola peran gender secara

tradisional mengharapkan laki-laki yang memiliki inisiatif untuk berhubungan

seksual, seperti mencium, petting, atau intercourse.

Sesuai dengan pola peran gender tersebut, Cupach dan Metts (dalam Hill,

2008) memaparkan bahwa secara tradisional laki-laki yang memberikan inisiatif dan

wanita yang berhak menolak atau menerima, namun dalam kenyataanya wanita juga

mempunyai inisiatif dalam melakukan hubungan seksual. Inisiatif yang dilakukan

pasangan bisa langsung dan tidak langsung, tetapi jarang yang melakukan inisiatif

langsung untuk menghindari muncul rasa takut akan penolakan dan rasa malu.

Kebanyakan dilakukan secara tidak langsung seperti: berdekatan secara fisik

dengan pasangan, mencium, memeluk, memegang daerah tubuh pasangan yang

tidak secara langsung terkait dengan seksual, memainkan musik, dan menyediakan

minuman. Gossmann, Mathieu, Julien, dan Chartrand (2003) dalam membangun

SIS (Sexual Initiation Scale) membagi inisiasi seksual dalam dua subskala utama

yaitu: verbal atau non-verbal dan langsung atau tidak langsung.

2.5 Pasangan Bekerja

2.5.1 Wanita bekerja.

Glass (dalam DeGenova, 2008) menyatakan dari penelitiannya

menghasilkan ada perbedaan antara wanita yang bekerja di luar rumah dengan

yang tidak. Wanita yang tidak bekerja di luar rumah akan fokus pada pekerjaan

rumah tangga dan kehidupan seksualnya. Wanita yang bekerja separoh waktu maka

memiliki anak lebih banyak dan tinggal dalam rumah tangga yang pemasukannya

rendah. Wanita yang bekerja waktu penuh akan memiliki pendidikan yang lebih

tinggi, memiliki sedikit anak, dan pemasukannya paling besar diantara yang lainnya.

DeGenova (2008) menyatakan alasan ibu untuk bekerja bisa disebabkan

karena masalah ekonomi maupun tidak. Alasan utama adalah kebutuhan finansial

sehingga menyebabkan kedua pasangan harus bekerja. Faktor-faktor yang

berpengaruh adalah inflansi, tingginya biaya hidup, dan keinginan untuk hidup lebih

baik. Alasan yang bersifat non-ekonomi adalah pemenuhan pribadi, sehingga alasan

ini muncul sebagai motif utama dari dalam diri.

Kecenderungan wanita bekerja membuat mereka merasa terbebani, karena

diharuskan bekerja dan mengurusi pekerjaan rumah tangga. Bagi pasangannya

yaitu suami, hal ini bukan hal yang berpengaruh pada pekerjaan rumah suami.

Namun, menurut Scanzoni (dalam DeGenova, 2008) wanita akan mencapai

kepuasannya ketika suami mau berbagi pekerjaan rumah tangga dengannya secara

adil. Terdapat pula beberapa hambatan yang dialami oleh wanita dalam

perkembangan pekerjaanya (Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006):

1. The Glass Celling. Kendala yang tidak terlihat terkait dengan prasangka,

sehingga kesulitan pihak minoritas dan perempuan untuk naik tingkat dalam

pekerjaannya.

2. The mommy track. Hochschild (dalam Williams, Sawyer, & Wahlstrom,

2006) menyatakan bahwa hal ini dapat membuat wanita menjadi fleksibel

namun membuat mereka terpaksa melepaskan ambisi dan cita-citanya.

Tantangan ini mengharuskan wanita membagi pekerjaanya dalam dua

wilayah yaitu pekerjaan dan keluarga.

2.5.2 Pernikahan dual-earner.

Perubahan ekonomi menyebabkan kenaikan angka pernikahan dual-earn

(pendapatan ganda). Pekerjaan wanita masih berada di tingkat bawah, sehingga

pemenuhan secara pribadi yang dikorbankan tidak setara dengan pemasukan yang

diperoleh untuk diberikan pada keluarga. Namun, mereka merasa bahwa keluarga

merupakan hal yang lebih penting. Dual-earn berarti istri-suami memiliki orientasi

pada pencapaian, menekankan pada kesamaan, dan keinginan yang kuat untuk

menggunakan kemampuannya. Namun, sayangnya pasangan ini kesulitan untuk

mencapai kesuksesan diantara keduanya yaitu antara pekerjaan dan keluarga

(Strong, DeVault, & Cohen, 2008).

Blair; Pina dan Bengston; Suitor (dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008)

menyatakan bahwa kepuasan pernikahan hanya diperoleh ketika ada ikatan yang

adil dalam pembagian tugas rumah tangga. Hochschild; Perry-Jenkins dan Folk;

Suitor (dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008) menyarankan untuk pasangan yang

keduanya bekerja, seharusnya membagi pekerjaan rumah tangga secara adil

sehingga memperoleh kesuksesan.

Meskipun keikutsertaan ayah dalam merawat anak memang bertambah,

namun pekerjaan rumah tangga yang dikerjakan oleh istri lebih mengarah pada

pekerjaan yang tidak menyenangkan (seperti: mencuci, mengepel, menggosok, dan

memasak). Hal ini membuat pembagian kerja dalam mengurus rumah tangga belum

seimbang. Maka, yang utama perlu diperhatikan bahwa pekerjaan rumah tangga

dan mengurus anak adalah dua hal yang berbeda (Strong, DeVault, & Cohen, 2008).

2.6 Dewasa Muda

Papalia, Olds, dan Feldman (2007) dalam menjelaskan perkembangan

psikososisal dewasa muda (20-40 tahun) memaparkan tahap ke-enam dari delapan

tahap perkembangan psikososial milik Erick Erikson. Pada tahapan ini, dewasa

muda mengalami intimacy versus isolation. Dewasa muda yang pada tahap

sebelumnya yaitu remaja, tidak memiliki komitmen, maka akan mengalami perasaan

terasing, sedangkan yang menemukan identitasnya akan lebih muda menyatukan

identitasnya dengan orang lain. Pada tahap ini dewasa muda diharapkan dapat

mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan keintiman, persaingan, dan jarak

dengan orang lain. Intimasi yaitu pengorbanan dan persetujuan bersama. Dewasa

muda yang dapat menyelesaikan tahapan ini akan mendapatkan “virtue”: cinta

dalam hal kesetiaan diantara pasangan yang memilih tinggal bersama, memiliki

anak, dan menjaga perkembangan anak.

2.7 Dinamika Teoritis

2.7.1 Waktu luang bersama keluarga dan kepuasan pernikahan.

Agate, Zabriskie, Agate, dan Poff (2009) menyatakan bahwa waktu luang

bersama keluarga dapat memberikan kesempatan bagi keluarga untuk terikat satu

sama lain, menyelesaikan masalah dan memperkuat hubungan. Shaw dan Dawson

(dalam Agate, Zabriskie, Agate, & Poff, 2009) menyatakan bahwa waktu luang

bersama keluarga dapat meningkatkan hubungan dalam keluarga. Hawkes; Holman

dan Epperson (dalam Agate, Zabriskie, Agate, & Poff, 2009) menyatakan bahwa

lebih dari 70 tahun para peneliti mengidentifikaskan dan menemukan adanya

hubungan yang positif antara waktu luang bersama keluarga dengan dampak

positifnya bagi keluarga. Selanjutnya, jika dilihat lebih spesifik pada aktivitasnya,

Well, dkk (dalam Agate, Zabriskie, Agate, & Poff, 2009) menemukan bahwa rekreasi

sebagai salah satu cara meluangkan waktu bersama keluarga dapat meningkatkan

kepercayaan diri dalam kemampuannya mengerjakan tugas dan bekerja sama

dalam grup, menyelesaikan konflik dan memecahkan masalah bersama. Huff, dkk

(dalam Agate, Zabriskie, Agate, & Poff, 2009) dalam penelitiannya menghasilkan

bahwa orang tua dan remaja yang berpartisipasi dalam outdoor recreation bersama

dapat meningkatkan interaksi, kepercayaan, dukungan, komunikasi, kasih sayang

dan sikap baik.

Sejalan dengan pernyataan di atas, maka Zabriskie dan McCormick (2003)

dalam penelitiannya menemukan bahwa waktu luang bersama keluarga terkait erat

dengan kepuasan dalam rumah tangga. Holman; Holman dan Jacquart; Miller;

Orthner; Smith, Snyder, dan Monsma (dalam Johnson, Zabriskie, & Hill, 2006)

menyatakan bahwa secara konsisten penelitian menghasilkan bahwa suami-istri

yang berbagi waktu luang bersama akan lebih puas dengan pernikahannya

dibanding yang tidak. Baldwin,dll (dalam Johnson, Zabriskie, & Hill, 2006)

menyatakan bahwa bahkan ketika pasangan tidak memiliki komitmen yang sama

pada suatu aktivitas, dorongan yang muncul dari pasangan dapat membantu

menguatkan peranan pasangan lain dan menghasilkan kepuasan pernikahan.

Dorongan ini bisa ditunjukkan dalam berbagai cara, seperti berbincang-bincang

tentang partisipasi apa yang dilakukan pasangan, mengatur waktu, atau memberi

peralatan yang terkait dengan aktivitas.

2.7.2 Inisiasi berhubungan seksual dan kepuasan pernikahan.

Untuk dapat melakukan hubungan seksual yang terus berlanjut maka,

Harvey, Wenzel, dan Sprecher (2004) menyarankan pasangan harus

mengkomunikasikan apa yang disukai dan kurang disukai terkait dengan hubungan

seksual kepada pasangannya. Komunikasi tersebut dapat disampaikan dengan cara

pasangan menunjukkan inisiasi berhubungan seksualnya. Byers dan Heinlein

(dalam Harvey, Wenzel, & Sprecher, 2004) menyatakan bahwa kepuasan seksual

yang tinggi akan diperoleh ketika penerimaan terhadap inisiasi juga tinggi dan diikuti

peningkatan kepuasan pernikahan. Sebaliknya, ketika penolakan akan inisiasi tinggi

maka akan mengurangi kepuasan seksual dan pada akhirnya juga merendahkan

kepuasan pernikahan. Oleh karena itu ketiga hal ini sebenarnya saling

mempengaruhi. Ketika pasangan merasa puas akan hubungan seksual dan

pernikahannya maka akan lebih tinggi dalam penerimaan inisiasi berhubungan

seksual, dan begitu juga sebaliknya ketika pasangan tidak puas dengan pernikahan

dan seksualnya maka akan cenderung tinggi dalam penolakan inisiasi berhubungan

seksual.

Gossmann, Mathieu, Julien, dan Chartrand (2003) menyatakan bahwa

banyak literatur yang menyatakan inisiasi hubungan seksual selain merupakan

kualitas, juga menyangkut kuantitas dalam kegiatan seksual. Meskipun dalam

definisinya, inisasi hubungan seksual sebenarnya dinyatakan sebagai langkah awal

yang diambil oleh pasangan untuk menyampaikan perhatian atau gairah untuk

aktifitas seksual secara verbal atau non-verbal, yang pada akhirnya nanti bisa

diakhiri dengan kegiatan seksual ataupun tidak.

Mengarah pada kuantitas berhubungan seksual, maka Olson dan DeFrain

(2006) menyatakan frekuensi berhubungan seksual berpengaruh pada kepuasan

pernikahan. Sebaliknya, ketika pernikahan puas maka frekuensi berhubungan

seksual juga meningkat. Sprecher dan Cate (dalam Harvey, Wenzel, & Sprecher,

2004) menyatakan hal yang serupa bahwa frekuensi seksual berhubungan dengan

keseluruhan kepuasan dalam hubungan pernikahan. National Survey of Families

and Households (dalam Harvey, Wenzel, & Sprecher, 2004) menyatakan bahwa ada

variabel yang lain terkait frekuensi berhubungan seksual terhadap kepuasan

pernikahan yaitu usia, pendidikan, pekerjaan, dan kehadiaran anak.