bab 2 landasan teori - library & knowledge...
TRANSCRIPT
7
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1.Tinjauan mengenai konservasi
2.1.1. Dasar hukum kegiatan pelestarian / konservasi
Dasar hukum kegiatan pelestarian / konservasi adalah sebagai berikut :
1. Secara umum, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 menegaskan bahwa “
Pemerintah memajukan kebudayaan Nasional Indonesia”. Kemudian dalam
penjelasannya dinyatakan bahwa “Usaha kebudayaan harus menuju ke arah
kemajuan adab, budaya dan persatuan, dan dengan tidak menolak bahan-bahan
baru kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya
kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan Bangsa
Indonesia”.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor II/MPR/1988 tentang
Garis - Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menegaskan bahwa “Kebudayaan
Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa, harus dipelihara, dibina
dan dikembangkan guna memperkuat penghayatan dan pengamalan Pancasila,
meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa, mempertebal rasa
harga diri dan kebangsaan nasional, memperkokoh jiwa persatuan dan kesatuan
Bangsa serta mampu menjadi penggerak bagi perwujudan cita-cita bangsa di
masa depan.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992, tentang Benda Cagar
Budaya disebutkan bahwa :
a. Benda Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting
artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan
kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan
kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional.
b. Untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya diperlukan langkah-langkah
pengaturan bagi penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian,
perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pengawasan
benda cagar budaya.
4. Peraturan Pemerintah (PP) nomor 10 tahun 1993, tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1992.
8
5. Keputusan Menteri (Kepmen) Pendidikan dan Kebudayaan nomor 087/U/1993,
tentang Pendaftaran Benda Cagar Budaya.
6. Keputusan Menteri (Kepmen) Pendidikan dan Kebudayaan nomor 062/U/1995,
tentang Pemilikan, Penguasaan, Pengalihan dan Penghapusan Benda Cagar
Budaya dan atau Situs.
7. Keputusan Menteri (Kepmen) Pendidikan dan Kebudayaan nomor 063/U/1995,
tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya dan atau Situs.
8. Keputusan Menteri (Kepmen) Pendidikan dan Kebudayaan nomor 064/U/1995,
tentang Penelitian dan Penetapan Benda Cagar Budaya dan atau Situs.
2.1.2. Obyek peninggalan sejarah yang perlu dilestarikan
Berdasarkan Piagam Burra Charter, 1981 beberapa obyek peninggalan
bersejarah yang perlu dilestarikan adalah sebagai berikut :
1. Benda Cagar Budaya :
a. Adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa
kesatuan atau kelompok atau bagian - bagiannya atau sisa - sisanya, yang
berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun atau mewakili masa
gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima
puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai-nilai penting bagi sejarah,
ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta perkembangannya dalam lingkup
yang lebih luas.
b. Adalah benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah,
ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
2. Situs :
Adalah lokasi yang menjadi tempat ditemukannya atau diduga sebagai tempat
ditemukannya benda cagar budaya, baik yang berada di daratan maupun di
bawah permukaan air, termasuk lingkunganya yang diperlukan bagi
pengamanannya.
3. Kawasan Cagar Budaya
Selanjutnya disebut kawasan adalah satuan ruang geografis yang memiliki
sejumlah situs berdekatan dan memperlihatkan adanya keterkaitan yang
ditetapkan dengan fungsi melindungi kelestarian benda cagar budaya dan situs
untuk kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
9
2.1.3. Pengertian konservasi dan bentuk – bentuk dari kegiatan konservasi
Berbicara mengenai upaya konservasi, prinsip utama kegiatan bertumpu pada
empat hal utama, yaitu : pelestarian, perlindungan, pemeliharaan dan pengelolaan.
Berdasarkan pengertian menurut Piagam Burra Charter, 1981 pengertian dari
kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pelestarian
a. Adalah segala upaya untuk memperpanjang usia benda cagar budaya, situs
atau kawasan peninggalan bersejarah dengan cara perlindungan dan
pemeliharaan.
b. Merupakan upaya pengelolaan pusaka melalui kegiatan penelitian,
perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan dan atau pengembangan secara
selektif untuk menjaga kesinambungan, keserasian dan daya dukungnya
dalam menjawab dinamika jaman untuk membangun kehidupan yang
berkualitas.
2. Perlindungan
Adalah upaya mencegah dan menanggulangi segala gejala atau akibat yang
disebabkan oleh perbuatan manusia atau proses alam, yang dapat menimbulkan
kerugian atau kemusnahan bagi nilai manfaat dan keutuhan benda cagar budaya,
situs dan kawasan dengan cara Penyelamatan, Pengamanan dan Penertiban, yaitu
:
a. Penyelamatan : adalah suatu upaya perlindungan terhadap benda cagar
budaya dan atau situs serta kawasan bersejarah yang secara teknis
dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi dari ancaman, kerusakan
dan atau kemusnahan yang ditimbulkan baik oleh alam maupun manusia.
b. Pengamanan : adalah salah satu upaya perlindungan benda cagar budaya,
situs dan kawasan dengan cara menjaga, mencegah dan menanggulangi hal-
hal yang ditimbulkan oleh perbuatan manusia yang dapat merugikan
kelestarian dan kekayaan benda cagar budaya tersebut.
3. Pemeliharaan
Adalah upaya melestarikan benda cagar budaya, situs dan kawasan dari
kerusakan yang diakibatkan oleh faktor manusia, alam dan hayati dengan cara
Pemugaran dan Pemanfaatan, sebagai berikut :
a. Pemugaran : adalah serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk
melestarikan benda cagar budaya, situs dan kawasan dan atau
10
pemanfaatannya dengan cara mempertahankan keasliannya berdasarkan
data yang ada dan memperkuat strukturnya bila diperlukan, yang dapat
dipertanggung jawabkan dari segi arkeologis, historis dan teknis.
b. Pemanfaatan : adalah segala upaya untuk meberdayakan benda cagar
budaya, situs dan kawasan sebagai aset budaya untuk berbagai kepentingan
yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pelestariaannya.
4. Pengelolaan
Adalah segala upaya terpadu untuk melestarikan dan memanfaatkan benda cagar
budaya, situs dan kawasan melalui kebijaksanaan pengaturan perencanaan,
perlindungan, pemeliharaan, pemugaran, pemanfaatan dan pengendalian.
Bentuk-bentuk dari kegiatan konservasi menurut (UNESCO.P.36/2005)
adalah :
1. Restorasi ialah kegiatan pemugaran untuk mengembalikan bangunan dan
lingkungan cagar budaya semirip mungkin ke bentuk asalnya berdasarkan
data pendukung tentang bentuk arsitektur dan struktur pada keadaan asal
tersebut dan agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi. (UNESCO.P.
36/2005).
2. Preservasi ialah bagian dari perawatan dan pemeliharaan yang intinya adalah
mempertahankan keadaan sekarang dari bangunan dan lingkungan cagar
budaya agar kelayakan fungsinya terjaga baik (UNESCO.P. 36/2005).
3. Konservasi ialah semua proses pengelolaan suatu tempat hingga terjaga
signifikasi budayanya. Hal ini termasuk pemeliharaan dan mungkin (karena
kondisinya) termasuk tindakan preservasi, restorasi, rekonstruksi,
konsoilidasi serta revitalisasi. Biasanya kegiatan ini merupakan kombinasi
dari beberapa tindakan tersebut (UNESCO.P. 36/2005).
4. Rekonstruksi ialah kegiatan pemugaran untuk membangun kembali dan
memperbaiki seakurat mungkin bangunan dan lingkungan yang hancur akibat
bencana alam, bencana lainnya, rusak akibat terbengkalai atau keharusan
pindah lokasi karena salah satu sebab yang darurat, dengan menggunakan
bahan yang tersisa atau terselamatkan dengan penambahan bahan bangunan
baru dan menjadikan bangunan tersebut layak fungsi dan memenuhi
persyaratan teknis. (UNESCO.P. 36/2005).
11
5. Revitalisasi ialah kegiatan pemugaran yang bersasaran untuk mendapatkan
nilai tambah yang optimal secara ekonomi, sosial, dan budaya dalam
pemanfaatan bangunan dan lingkungan cagar budaya dan dapat sebagai
bagian dari revitalisasi kawasan kota lama untuk mencegah hilangnya asset -
aset kota yang bernilai sejarah karena kawasan tersebut mengalami
penurunan produktivitas. (UNESCO.P.36/2005, Ditjen PU-Ditjen Tata
Perkotaan dan Tata Pedesaan).
2.1.4. Kriteria, tujuan, prinsip dan syarat pelestarian peninggalan bersejarah
menurut Piagam Burra Charter, 1981
1. Menurut Piagam Burra Charter, 1981 kriteria yang ditetapkan terhadap
peninggalan bersejarah yang dilestarikan adalah : tempat, tapak, area, bangunan
atau karya lain, kelompok bangunan bersama dengan isi di sekitarnya yang
terkait baik yang bersifat fisik maupun non fisik, dimana obyek pelestarian
tersebut telah memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. Memiliki usia minimal 50 tahun
b. Mewakili masa gaya yang khas dan mewakili gaya sekurang-kurangnya
berusia 50 tahun.
c. Mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan
atau mempengaruhi perkembangannya.
2. Tujuan Pelestarian / konservasi adalah : untuk mempertahankan signifikansi
budaya (berupa nilai - nilai estetika, kesejarahan, keilmuan atau sosial dari masa
lampau) dari tempat dan harus mencakup perlindungan, pemeliharaan dan masa
depannya.
3. Beberapa pertimbangan yang dapat mempengaruhi kriteria dan tujuan pelestarian
/ konservasi adalah sebagai berikut :
a. Menentukan nilai sejarah dan usia peninggalan bersejarah tersebut.
b. Persepsi yang berbeda-beda dari masyarakat tentang pelestarian tersebut
yang berakar dalam benak masyarakat setempat.
c. Asas kepatutan
d. Terjadinya penggantian bahan dan perubahan ruang yang telah dilakukan
sebelumnya pada obyek yang akan dilestarikan.
12
e. Mengacu pada tujuan pelestarian berkaitan dengan Undang - Undang atau
Perda setempat, agar dapat dijelaskan kesatuan bangunan dengan isi dan
sekelilingnya.
f. Berkaitan dengan obyek yang harus dilestarikan agar dapat berinteraksi
dengan bangunan-bangunan baru di sekelilingnya sehingga tidak ada
sesuatu yang sangat kontras antara langgam kesejamanan dengan
lingkungan yang baru / kekinian.
4. Prinsip-prinsip Konservasi :
a. Konservasi dilandasi atas dasar penghargaan terhadap keadaan semula dari
peninggalan bersejarah, yang meliputi : bentuk, makna, filosofi.
b. Konservasi sedapat mungkin tidak mengubah atau menghilangkan bukti-
bukti kesejarahan yang dimilikinya.
c. Melalui upaya konservasi, dijamin keamanan dan pemeliharaan
peninggalan bersejarah di masa yang akan datang, sehingga makna
kulturalnya tidak akan hilang dan tetap akan terpelihara.
5. Syarat-syarat konservasi :
a. Peninggalan bersejarah harus tetap terletak pada lokasi historisnya.
b. Tidak diperkenankan untuk memindah sebagian atau seluruhnya atas
peninggalan bersejarah tersebut, kecuali merupakan satu-satunya cara untuk
menjamin kelestariannya.
c. Dalam upaya konservasi ini wajib dijamin terpeliharanya latar belakang
visual dan estetis yang cocok seperti bentuk, skala, warna, tekstur dan
bahan bangunan, sehingga perubahan baru yang berdampak negatif
terhadap latar belakang visual dan estetis tersebut harus dicegah
semaksimal mungkin.
2.1.5. Proses konservasi
Menurut Piagam Burra Charter, 1981, proses konservasi dapat digolongkan
kedalam beberapa pasal, yaitu :
• Pasal 14. Proses konservasi : bergantung pada keadaan, konservasi dapat
meliputi proses : mempertahankan dan memperkenalkan kembali sebuah
fungsi; mempertahankan asosiasi dan makna; pemeliharaan, preservasi,
restorasi, rekonstruksi, adaptasi, dan interpretasi; dan biasanya akan
mencakup kombinasi dari beberapa hal tersebut.
13
• Pasal 15. Perubahan :
15.1. Perubahan mungkin diperlukan untuk mempertahankan signifikasi
budaya , tetapi tidak diinginkan bila mengurangi signifikasi budaya.
15.2. Perubahan yang mengurangi signifikasi budaya harus bersifat sementara
dan dikembalikan seperti semula apabila keadaan diijinkan.
15.3. Penghancuran bahan yang signifikan pada suatu tempat, secara umum
tidak dapat diterima, namun dalam beberapa kasus penghancuran minor
mungkin layak dilakukan sebagai bagian dari konservasi.
15.4. Kontribusi semua aspek pada signifikasi budaya sebuah tempat harus
dihargai. Jika sebuah tempat mencakup bahan, fungsi, asosiasi atau makna
dari beberapa periode, atau beberapa aspek signifikasi budaya, maka
penekanan atau interpretasi satu periode atau aspek tertentu dengan
mengorbankan yang lain hanya dapat dibenarkan apabila apa yang
ditinggalkan, dihilangkan, atau diganti mempunyai signifikasi budaya yang
kecil, dan apa yang ditekankan atau diinterpretasikan memang mempunyai
signifikasi budaya yang lebih besar.
• Pasal 16. Pemeliharaan : bersifat fundamental dalam konservasi dan harus
dilakukan apabila bahan mempunyai signifikasi budaya dan pemeliharaanya
diperlukan demi mempertahankan signifikasi budaya tersebut.
• Pasal 17. Preservasi : layak dilakukan apabila bahan yang ada atau
kondisinya menjadi bukti signifikasi budaya. Apabila bukti yang ada tidak
memadai maka diperbolehkan dilakukan proses konservasi yang lain.
• Pasal 18. Restorasi dan rekonstruksi : harus menguak aspek – aspek budaya
yang signifikan dari sebuah tempat.
• Pasal 19. Restorasi : layak dilakukan hanya apabila bukti – bukti yang
memadai tentang keadaan awal suatu bahan.
• Pasal 20. Rekonstruksi :
20.1. Rekonstruksi layak dilakukan apabila sebuah tempat tidak utuh lagi
dikarenakan musibah atau perubahan, dan hanya apabila terdapat bukti –
bukti yang memadai untuk menghasilkan kembali bahan sebagaimana
keadaan awalnya. Pada kasus – kasus yang jaarang terjaadi, rekonstruksi juga
layak dilakukan sebagai bagian dari sebuah fungsi atau kegiatan yang
mempertahankan signifikasi budaya tempat tersebut.
14
20.2. Rekonstruksi harus dapat diidentifikasi dalam pemeriksaan jarak dekat
atau melalui interpretasi tambahan.
• Pasal 21. Adaptasi :
21.1. Adaptasi hanya dapat diterima apabila adaptasi tersebut memiliki
dampak yang minimal pada signifikasi budaya sebuah tempat.
21.2. Adaptasi harus menimbulkan perubahan seminimal mungkin pada
bahan yang signifikan, dipergunakan hanya apabila telah mempertimbangkan
beberapa alternative.
• Pasal 22. Kontruksi baru :
22.1. Kontruksi baru seperti penambahan pada suatu tempat dapat diterima
apabila tidak merusak atau mengaburkan signifikasi budaya tempat tersebut,
atau menjauh dari interpretasi dan apresiasinya.
22.2. Konstruksi baru harus dapat langsung diidentifikasi.
• Pasal 23. Melestarikan fungsi : melanjutkan, memodifikasi, atau
mengembalikan sebuah fungsi yang signifikan adalah bentuk konservasi yang
sesuai dan diutamakan.
• Pasal 24. Mempertahankan asosiasi dan makna :
24.1. Asosiasi yang signifikan antara manusia dan sebuah tempat harsu
dihargai, dipertahankan, dan tidak dikaburkan. Peluang – peluang untuk
interpretasi, peringatan, dan perayaan berbagai asosiasi tersebut harus
diinvestigasi dan diimplementasikan.
24.2. Makna yang signifikan, termasuk nilai – nilai spiritual sebuah tempat
harus dihargai. Peluang – peluang untuk kesinambungan atau kebangkitan
berbagai makna tersebut harus diinvestigasi dan diimplementasikan.
• Pasal 25. Interpretasi : signifikan budaya beberapa tempat tampak tidak jelas,
dan harus dijelaskan melalui interpretasi. Interpretasi harus meningkatkan
pemahaman dan kecintaan, serta layak secara budaya.
2.1.6. Kriteria pemilihan obyek kawasan bersejarah
Menurut Catanesse, kriteria pemilihan objek kawasan bersejarah yang dapat
di konservasi adalah sebagai berikut :
a. Kriteria estetika atau keindahan, yaitu yang berkaitan dengan keindahan nilai
arsitektural dan beberapa massa.
15
b. Kriteria kekhasan, yaitu bangunan – bangunan yang merupakan wakil dari
kelas atau tipe bangunan tertentu.
c. Kriteria kelangkaan, yaitu kriteria yang merupakan bangunan terakhir yang
tinggal atau merupakan peninggaalan terakhir dari gaya yang mewakili
zamannya.
d. Kriteria keluarbiasaan, yaitu kriteria yang dilihat berdasarkan bangunan yang
paling menonjol, besar, tinggi, dan sebagainya.
e. Kriteria peran sejarah, yaitu kriteria berdasarkan peran dimana sebuah
bangunan ataupun lingkungan mempunyai peran dalam peristiwa – peristiwa
sejarah sebagai ikatan simbolis antara peristiwa yang lalu dengan peristiwa
yang ada sekarang.
Acuan dalam menentukan intensitas pelestarian berdasarkan jenis bangunan,
dapat dilihat pada tabel :
Tabel 2.1. Intensitas Pelestarian Berdasarkan Jenis Bangunan
Level konservasi Kategori bangunan konservasi
Perilaku yang dapat diterapkan
I (pelestarian kuat) Bangunan inti / core Tidak diperbolehkan untuk diubah.
II (pelestarian sedang) Bangunan periferi Dimungkinkan untuk diubah dengan segala perubahan kecil.
III (pelestarian lemah) Bangunan pelengkap Dibolehkan untuk diubah dengan segala perubahan sedang.
IV (boleh dibongkar) Bangunan budidaya Dibolehkan untuk diubah dengan segala perubahan besar.
Sumber : (Insertion, p8, 2009)
Berdasarkan teori diatas, maka pemilihan kawasan Kota Tua sebagai kawasan
bersejarah yang dapat di konservasi sudah tepat karena telah memenuhi semua
kriteria diatas, dan di kawasan Kota Tua ini memiliki bangunan dengan level
konservasi I, II, dan III.
16
2.2. Tinjauan mengenai revitalisasi
2.2.1. Definisi revitalisasi
Usaha konservasi tidak terlepas dari revitalisasi. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan
menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Sebenarnya
revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital. Sedangkan kata
vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali (untuk kehidupan dan
sebagainya). Atau lebih jelas revitalisasi itu adalah membangkitkan kembali vitalitas.
Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum adalah usaha - usaha untuk menjadikan
sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali.
Secara lebih detail, pengertian revitalisasi semakin berkembang tergantung
definisinya, yaitu :
1. Upaya untuk menghidupkan kembali kawasan, bangunan-bangunan, jalan-jalan
dan lingkungan kuno dengan menerapkan fungsi baru dalam penetapan
Arsitektural aslinya untuk meningkatkan kegiatan ekonomi, sosial, pariwisata
dan budaya. (Perda Kota Semarang Tentang RTBL Kawasan Kota Lama
Semarang, 1997)
2. Upaya untuk menghidupkan kembali distrik atau kawasan kota yang telah
mengalami degradasi lingkungan, baik dalam lingkup ekonomi, sosial budaya,
makna dan citra kawasan hingga tampilan visual, sehingga untuk menghidupkan
kembali kawasan tersebut perlu dilakukan kegiatan melalui intervensi yang
bersifat fisik dan non fisik. (Widjaja Martokusumo, 2001)
3. Upaya menghidupkan dan menggiatkan kembali faktor-faktor bangunan (tanah,
tenaga kerja, modal, ketrampilan, kewirausahaan, kelembagaan keuangan,
birokrasi serta dukungan prasarana dan sarana fisik) dan para pelaku
pembangunan (masyarakat dan seluruh stakeholder) untuk mengakomodasikan
secara struktural dan fungsional disesuaikan tantangan yang ada, potensi,
permasalahan dan kebutuhan baru pada daerah setempat. (Sri Edi Swasono,
2002)
4. Upaya untuk peningkatan kondisi ekonomi untuk warga setempat dan
pengintegrasian kembali lingkungan / kawasan ke dalam sistem pasar.
(Zielenbach, 2000)
5. Upaya untuk menghidupkan kembali makna kultural dan legenda yang pernah
hidup pada jamannya, yang saat ini berangsur-angsur telah hilang / tidak dikenal
17
kembali keberadaan kulturalnya guna meningkatkan kembali peran dan potensi
kawasan untuk dikembangkan sesuai faktor kesejarahan yang pernah ada dan
penataan kembali kawasan untuk mengembangkan sektor ekonomi guna
peningkatan taraf hidup masyarakat. (Dinas Kimpraswil Bagian Proyek
Peningkatan Kualitas Lingkungan, 2003)
Berdasarkan definisi – definisi revitalisasi diatas, maka dalam proyek
perancangan hotel butik ini menerapkan teori nomor 5, yaitu upaya untuk
menghidupkan kembali makna kultural dan legenda yang pernah hidup pada
jamannya, yang saat ini berangsur-angsur telah hilang / tidak dikenal kembali
keberadaan kulturalnya guna meningkatkan kembali peran dan potensi kawasan
untuk dikembangkan sesuai faktor kesejarahan yang pernah ada dan penataan
kembali kawasan untuk mengembangkan sektor ekonomi guna peningkatan taraf
hidup masyarakat. (Dinas Kimpraswil Bagian Proyek Peningkatan Kualitas
Lingkungan, 2003).
Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, yaitu membangun suatu hotel butik
dengan langgam Neo Klasik, yang menurut perjalanan sejarah Kota Tua, langgam
tersebut mencerminkan masa kejayaan Batavia pada tahun 1870 (akan dibahas pada
sejarah Kota Tua), sehingga tujuan penelitian disini ingin menghadirkan kembali
langgam dimana saat Batavia sedang berjaya, pada bangunan hotel butik ini. Dan
dengan pembangunan hotel butik ini, diharapkan dapat meningkatkan sektor
ekonomi Kota Tua, dengan menarik wisatawan asing dan lokal untuk menikmati
fasilitas yang ada di hotel butik tersebut.
2.2.2. Lingkup revitalisasi
Lingkup revitalisasi menurut Dinas Kimpraswil Bagian Proyek Peningkatan
Kualitas Lingkungan, 2003, dibagi menjadi 3 satuan, yaitu :
1. Satuan areal
Satuan areal lingkup revitalisasi, dimaksudkan areal obyek Revitalisai masih
menjadi bagian dari wilayah kota / sub kota yang dipandang mempunyai ciri-ciri
atau nilai khas kota bersangkutan atau daerah dimana kota itu berada, dan
diharapkan makna kultural, legenda atau sejarah yang pernah hidup di sekitar
lokasi setempat tidak hanya dikenal di lokasi setempat saja, tetapi juga dikenal di
beberapa wilayah disekitarnya.
2. Satuan visual atau lansekap
18
Lingkup satuan visual atau lansekap yang ditentukan dalam lingkup revitalisasi
ini dapat berupa aspek visual yang dapat memberi bayangan citra atau image
yang khas tentang suatu lingkungan. Termasuk dalam hal ini adalah jaringan
fungsional rute sejarah atau jalur angkutan tradisional. Diharapkan dengan
konsep Revitalisasi yang diterapkan, keberadaan eksisting kawasan / lingkungan
tidak hanya akan terjaga kondisinya, tetapi keberadaannya juga akan bertambah
indah dengan sentuhan arsitektur lansekap yang menyatu dengan kondisi alam
setempat.
3. Satuan fisik
Satuan fisik yang disyaratkan dalam lingkup revitalisasi ini adalah sesuatu yang
berujud bangunan, kelompok atau daerah bangunan - bangunan, rangkaian
bangunan yang membentuk suatu ruang umum. Apabila dikehendaki lebih jauh,
hal ini bisa diperinci sampai kepada unsur - unsur bangunan, baik fungsional,
struktur / estetis ornamen. Sedangkan secara umum, bentuk revitalisasi meliputi
kota dan desa, distrik lingkungan perumahan dan permukiman. Diharapkan
dengan adanya kegiatan revitalisasi ini, akan dapat ditempatkan sejumlah
bangunan berupa fasilitas umum yang mendukung keberadaan kawasan sebagai
fungsi tertentu. Beberapa konsep kultural yang pernah hidup / dikenal masyarakat
setempat akan coba diaplikasikan ke dalam bentuk-bentuk fisik bangunan dan
detail ornamen yang ada.
2.2.3. Sasaran revitalisasi
Menurut Dinas Kimpraswil Bagian Proyek Peningkatan Kualitas Lingkungan,
2003, sasaran revitalisasi yang dapat diterapkan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
1. Memanfaatkan peninggalan obyek pelestarian yang ada untuk menunjang
kehidupan masa kini. Dalam hal ini areal / kawasan yang di revitalisasi di
kembalikan fungsinya sesuai struktur kawasan semula.
2. Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan
masa lalu yang tercermin dalam obyek pelestarian. Dalam hal ini banyak sekali
kawasan perumahan dan permukiman di Indonesia yang konsep penataannya
berdasarkan konsep tradisional yang ada di sekitarnya, sehingga tidak akan
muncul bentuk-bentuk baru yang tidak dikenali oleh kawasan setempat, yang
akan menghilangkan citra yang sudah ada.
19
3. Menampilkan sejarah pertumbuhan lingkungan dalam wujud fisik tiga dimensi.
Kondisi ini akan ditampilkan kembali melalui bentuk - bentuk fisik bangunan dan
detail - detail ornamen yang mengikutinya, yang mengaplikasikan bentuk -
bentuk kultural dan legenda yang pernah hidup sebelumnya.
Jadi, upaya revitalisasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah salah
satunya dengan menghadirkan kembali gaya arsitektur (makna kultural dan legenda)
yang pernah hidup sebelumnya yang akan ditampilkan kembali melalui bentuk –
bentuk fisik bangunan dan detail ornament yang mengikutinya, serta menghidupkan
dan meningkatkan fungsi kawasan sekitar tapak dalam segi ekonomi, sosial, dan
budaya agar memliki nilai tambah yang optimal.
2.2.4. Contoh studi kasus revitalisasi
• Kreta Ayer Road, Singapore
Kreta Ayer Road merupakan sebuah jalan di kawasan Chinatown yang
menghubungkan Neil Road dengan New Bridge Road. Kreta Ayer Road merupakan
suatu kawasan revitalisasi yang memiliki nilai historis yang tinggi bagi Singapura.
Pada abad ke-19, Kreta Ayer pernah mendapat sebutan “Greater Town District”, dan
merupakan warisan sejarah yang penting karena pernah menjadi hampir sebagian
kemakmuran Singapura.
Jalan ini merupakan salah satu area konservasi Singapura yang terdapat di
kawasan Chinatown. Kawasan ini merupakan salah satu daerah komersil yang
direvitalisasi dengan tetap mempertahankan bangunan bersejarahnya. Fungsi – fungsi
seperti tempat perbelanjaan, wisata kuliner, fasilitas umum, serta permukiman
terdapat di kawasan ini. Kondisi bangunan peninggalan sejarah terawat dengan baik.
Selain itu, pedestrian yang sangat bersih dengan penataan vegetasi yang baik juga
menambah keindahan kawasan ini.
Gambar 2.1. Kreta Ayer Road Singapore Sumber : Google Image Search
Diakses : 10 Mei 2014
20
Kesimpulan dari studi kasus Kreta Ayer Road Singapore ini adalah
revitalisasi kawasan Kreta Ayer Road ini menitikberatkan pada perlindungan warisan
sejarah Singapura, terbukti dengan terjaganya bangunan - bangunan bersejarah.
Selain itu, kawasan ini juga direncanakan sebagai tempat pariwisata kota tua
Singapura di kawasan pecinan.
• Paris Van Java Mall, Bandung
Paris van Java 10 Resort Lifestyle Place (juga dikenal dengan nama Paris
van Java Mall) adalah sebuah pusat perbelanjaan yang terletak di Bandung, Jawa
Barat. Mall yang diresmikan pada bulan Juli 2006 ini dirancang dengan nuansa open
air yang alami serta pemandangan burung-burung merpati hias yang berterbangan
bebas. Faktor lain yang menjadi daya tariknya adalah konsep bangunan yang kental
dengan desain Eropa.
Paris van Java dibangun diatas kawasan bersejarah. Namun perencanaan
proyek ini tidak melibatkan bangunan eksisting, melainkan membuat bangunan baru
dengan tema kolonial. Fungsi utamanya adalah shopping center, pusat wisata kuliner,
serta fungsi lifestyle masyarakat kota.
Konsep shopping mall terbuka dengan bangunan bergaya kolonial membuat
suasana kolonialnya kian terasa. Suasana berjalan dibawah arcade diantara bangunan
kolonial dapat dirasakan disini.
Gambar 2.2. Suasana Kolonial Paris van Java Mall Sumber : bintangpsari.wordpress.com
Diakses : 10 Mei 2014
Kesimpulan dari studi kasus Paris Van Java Mall ini adalah konsep open
shopping mall pada Paris Van Java Mall ini memunculkan suasana alami bagi
pengunjungnya. Selain itu, bentuk revitalisasi dari kawasan ini adalah membangun
21
bangunan baru yang di desain dengan gaya kolonial sehingga memunculkan kembali
nilai sejarah di kawasan ini meskipun bukan bangunan peninggalan sejarah.
2.3. Tinjauan mengenai rekonstruksi
2.3.1. Definisi rekonstruksi
Menurut Guidelines for Recontructing Historic Buildings, rekonstruksi di
definisikan sebagai tindakan atau proses yang menggambarkan dengan cara
konstruksi baru, bentuk, fitur, dan mendetailkan dari sebuah lokasi, landscape,
bangunan, struktur atau objek yang sudah tidak hidup lagi (mati / hancur) untuk
tujuan mereplikasikan penampilan di jangka waktu tertentu dan di lokasi yang
bersejarah. Rekonstruksi diidentitaskan sebagai penciptaan kembali kontemporer.
Definisi rekonstruksi menurut kamus Oxford, rekonstruksi adalah sebuah
kesan, model, atau berlakunya kembali peristiwa masa lalu yang terbentuk dari bukti
yang ada.
2.3.2. Contoh kasus rekonstruksi
• Rekonstruksi arsitektur Majapahit
Rekonstruksi arsitektur Majapahit dilakukan oleh seorang arsitek yang
menekuni dunia arkeologi, yaitu Osrifoel Oesman pada tahun 1990-an. Untuk
merekonstruksi arsitektur Majapahit yang telah hilang oleh perkembangan jaman,
maka dilakukan penelusuran bentuk – bentuk arsitektur pada relief – relief candi
Majapahit. Berdasarkan paparan relief – relief candi yang melukiskan rumah - rumah
masa Majapahit, Osrifoel bisa membayangkan seperti apa permukiman kota
Majapahit. Ibarat kembali ke masa lalu kemudian membangunnya kembali di masa
kini, menurutnya, permukiman masa Majapahit itu seperti kaveling yang terdiri atas
kelompok rumah-rumah dalam satu tembok keliling. Juga, adanya pengelompokkan
rumah besar, rumah sedang, dan rumah kecil.
Arsitektur Majapahit ini masih bisa ditemui padanannya dengan rumah -
rumah tradisi di Bali. “Bukan Majapahit yang mirip Bali, tapi Bali-lah yang mirip
Majapahit,” ungkap Osrifoel.
Dilansir dari website nationalgeographic.co.id, dinyatakan bahwa Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pun turut hadir dalam pameran rekonstruksi arsitektur
Majapahit tersebut, dan turut masuk kedalam rumah Majapahit tersebut yang telah
direkonstruksi dengan skala 1:1.
22
Gambar 2.3. Rekonstruksi arsitektur Majapahit Sumber : nationalgeographic.co.id
Diakses : 31 Juli 2014
2.4. Tinjauan hotel
2.4.1. Definisi hotel
Kata hotel berasal dari Bahasa Yunani, Hosteis yang berarti memberi tempat
perlindungan pada pengunjung yang memberi upah atau hadiah kepada pemiliknya.
Beberapa pengertian hotel :
• Dari sudut arsitektur, menurut pendapat Prof. Fred Lawson : “hotel is defined
a public establishment offering travelers, against payment, two basic services
accomodation and catering”. (Hotel adalah sebuah perusahaan yang bergerak
di bidang jasa akomodasi serta pelayanan makan dan minum bagi para
pelancong dengan imbalan pembayaran).
• Menurut kamus Oxford, The advance learned’s Dictionary adalah “Building
where meals and rooms are provided for travelers.” (bangunan fisik) yang
menyediakan layanan kamar, makananan, dan minuman bagi tamu.)
• Menurut SK Menparpostel no.KM37/PW.340/MPPT-86 tentang peraturan
usaha dan pengelolaan hotel menyebutkan bahwa hotel adalah suatu jenis
akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan yang
menyediakan jasa penginapan, makanan dan minuman serta jasa penunjang
lainnya bagi umum yang dikelola secara komersial
• Menurut The American Hotel and Motel Association (AHMA) sebagaimana
dikutip oleh Steadmon dan Kasavana : A hotel may be defined an
estiblishment whose primary business is providing lodging facilities for the
general public and which furnishes one or more of the followingservices,
uniformed services, Laundering of linens and use of furnitures. ( Hotel dapat
didefinisikan sebagai sebuah bangunan yang dikelola secara komersial
dengan memberikan fasilitas penginapan untuk umum dengan fasilitas
23
pelayanan makan dan minum, pelayanan kamar, pelayanan barang bawaan,
pencucian pakaian dan dapat menggunakan fasilitas atau perabotan dan dapat
menikmati hiasan-hiasan yang ada di dalamnya.)
• Menurut Webster, hotel adalah suatu bangunan atau suatu lembaga yang
menyediakan kamar untuk menginap, makan dan minum, serta pelayanan
lainnya untuk umum.
• Menurut Dictionary of Architecture and Building Construction (Davies and
Jokiniemi, 2008, p193), hotel is establishment providing temporary
residential accomodation and communal facilities, primarity for travelers,
tourists, and those on holiday or bussiness. Dapat diartikan sebagai hotel
adalah sebuah tempat usaha yang menyediakan akomodasi hunian bersifat
sementara dan fasilitas bersama, terutama bagi orang – orang dalam
perjalanan, wisatawan, dan mereka yang sedang berlinur dan berbisnis.
Berdasarkan beberapa pengertian menurut berbagai sumber yang berbeda
dapat disimpulkan bahwa hotel merupakan bangunan fisik yang menyediakan jasa
penginapan, makanan, dan minuman serta jasa lainnya, diperuntukan bagi umum,
serta dikelola secara komersial.
2.4.2. Sejarah hotel
Hotel mulai dikenal sejak permulaan abad masehi dengan adanya usaha
penyewaan kamar untuk orang yang melakukan perjalanan. Hotel sebagaimana jenis
akomodasi lain berasal dari kata “Inn” yang dapat diartikan sebagai usaha
menyewakan sebagian dari rumahnya kepada orang lain yang memerlukan kamar
untuk menginap. Pada umumnya kamar yang disewakan dihuni oleh beberapa orang
secara bersama - sama. Pada mulanya inn, sering juga disebut dengan lodge yang
hanya menyediakan tempat beristirahat bagi mereka yang melakukan perjalanan,
karena sudah larut malam terpaksa tidak dapat melanjutkan
perjalanannya. Kemudian peradaban semakin maju maka terdapat berbagai
peningkatan dengan menambahkan fasilitas penyediaan bak air untuk mandi yang
kemudian disusul dengan penyediaan makanan dan minuman walaupun masih
dalam tahap yang sangat sederhana
Pada tahun 1829 dibangun Hotel dengan nama ”The Tremont House” yang
kemudian oleh sebagian para ahli dianggap sebagai cikal bakalnya perhotelan
modern. Hotel tersebutlah yang pertama kali memperkenalkan jenis-jenis kamar
24
single dan double, yang pada setiap kamar dilengkapi kunci masing-masing, air
minum di setiap kamar, pelayanan oleh bellboy serta memperkenalkan masakan
Perancis ke dunia perhotelan. Hotel inipun menjadi sangat terkenal dan menjadi
tempat persinggahan yang sangat ramai. Yang terpenting mulai disadari bahwa
Industri Hotel adalah industri penjualan jasa.
The Tremont House adalah hotel pertama yang memberikan pendidikan dan
menyeleksi karyawannya untuk lebih meningkatkan mutu dalam upaya memberikan
pelayanan yang memuaskan kepada tamunya. Pada saat itu hotel belum menyediakan
layanan kamar mandi dan pendingin atau penghangat untuk setiap kamarnya. Saat
sekarang ini hal tersebut sudah menjadi suatu keharusan. Setelah 20 tahun beroperasi
hotel ini kemudian ditutup untuk diperbarui. Tidak disangsikan lagi bahwa
keberasilan The Tremont House telah mendorong lahirnya hotel-hotel baru yang
kemudian saling bersaing dalam meningkatkan mutu baik pelayanannya maupun
fasilitas – fasilitasnya
Gambar 2.4. The Tremont House
Sumber : Akomodasi Perhotelan Jilid 1 (2014)
2.4.3. Klasifikasi hotel
Pada golongan hotel berbintang, terdapat klasifikasi pembagian kamar yang
merupakan area privat dan utama bagi tamu. Pembagian tersebut dibedakan menjadi
beberapa tipe kamar yakni :
• Single room, kamar yang memiliki satu tempat tidur untuk satu orang tamu.
• Twin room, kamar yang memiliki dua tempat tidur untuk dua orang tamu.
• Double room, kamar yang memiliki satu tempat tidur untuk dua orang tamu.
• Triple room, kamar yang memiliki double bed untuk dua orang ditambah
dengan extra bed.
25
• Junior room, sebuah kamar besar yang terdiri dari ruang tidur dan ruang
tamu.
• Suite room, kamar yang terdiri dari dua kamar tidur untuk dua orang
ditambah ruang tamu, ruang makan, dan sebuah dapur kecil.
• President room, kamar yang terdiri dari tiga kamar besar, yakni kamar tidur,
kamar tamu, ruang makan, dan sebuah dapur kecil.
Kamar menurut letak dan fasilitas :
• Connecting room, kamar yang terdiri dari dua buah kamar berdekatan, antara
kamar yang satu dengan yang lain dan dihubungkan oleh sebuah pintu.
• Adjoining room, dua kamar yang berdekatan dan tidak mempunyai pintu
penghubung.
• Inside room, kamar-kamar yang menghadap ke bagian belakang hotel (facing
the back).
• Outside room, kamar-kamar yang menghadap ke jalan raya (facing the
street).
• Lanais, kamar-kamar dengan teras / balkon yang berlokasi menghadap ke
kolam atau kebun.
• Cabana, kamar-kamar yang berlokasi di kawasan pantai atau kolam renang,
Kamar ini dilengkapi dengan atau tanpa tempat tidur. Lokasi kamar ini
biasanya terpisah dari gedung utama.
• House use room, kamar yang diperuntukan bagi staff hotel yang mempunyai
otoritas dan digunakan untuk tempat tinggal dalam jangka waktu tertentu
karena dinas.
Berikut akan ditampilkan tabel klasifikasi hotel beserta ketetapan jumlah
minimal kamar dan standard hotel sesuai dengan klasifikasinya :
Tabel 2.2. klasifikasi hotel beserta ketetapan jumlah minimal kamar dan standard
hotel sesuai dengan klasifikasinya
NO KLASIFIKASI
JUMLAH KAMAR SYARAT PERATURAN
HOTEL MINIMAL
1 Melati Satu 5 kamar standard – Fisik lokasi & bangunan Perda no.6 th. 1988
– Taman tentang Perubahan
– Tempat parkir Pertama Perda Prop
– Bangunan Dati 1 Bal no 04 th 1985
26
– Kamar tentang Usaha
– Lobby Losmen dan
– Front office Keputusan
– Kantor pengelola Gubernur no
– Ruang tamu 338 tentang
– Gudang Perubahan
– Organisani manadeen Istilah Resmi
– Tenaga kerja menjadi Hotel
– House keeping dengan tanda
– Keamanan Bunga Melati
– Kebersihan
– Pelayanan makanan &
minuman
2 Melati Dua 10 kamar standard Sama dengansyarat hotel Sama dengan melati satu
melati satu plus fasilita riil
di lapangan kualitas lebih
baik dari melati satu.
3 Melati Tiga 15 kamar standard Sama dengan syarat hotel Sama dengan melati satu
melati satu plus fasilitas real
di lapangan kualitas lebih
baik dari melati dua
–– Kolam renang
––Kamar mandi, bath up
–– AC
–– TV
–– Kulkas
4 Bintang 1 (*) 15 kamar standard – Lokasi & Lingkungan Kep Dirjen
Luas kamar 18 –
20 M2 – Taman Pariwisata no
– Tempat parkir 14/U.II.88 tgl
– Olah raga 25-Feb-88
– bangunan
– Kamar tamu
– Ruang makan
– Bar
– Lobby
– Telepon
– Toilet umum
– Koridor
– Ruang disewakan – Dapur
27
– Area administrasi
– Front office
– Kantor pengola hotel
– Area tata graha
– Ruang binatu
– Gudang
– Ruang karyawan
– Oprasional manajemen
– Food and beverage
– Keamanan
– Olahraga rekreasi
– Pelayanan
5 Bintang 2 (**) 20 kamar standard Sama dengan fasilitas hotel Kep Direjen (+) 1 kamar suite bintang 1 (*) Pariwisata no
Luas kamar 18 –
24 M2 14/U/II/88 tgl
25-Feb-88
6 Bintang 3 (***) 30 kamar standard Sama dengan fasilitas Kep Direjen (+) 2 kamar suite hotel bintang satu (*) plus Pariwisata no
Luas kamar 18 –
26 M2 – 2 buah restoran / lebih 14/U/II/88 tgl
– Parkir luas 25-Feb-88
– 2 kolam renang / lebih
– Fasilitas penunjang :
tenis, fitness, spa &sauna
7 Bintang 4 50 kamar standard Sama dengan fasilitas Kep Direjen (****) (+) 3 kamar suite hotel bintang tiga (***) Pariwisata no
Luas kamar 18 –
28 M2 14/U/II/88 tgl 25-Feb-88
8 Bintang 5 100 kamar standard Sama dengan fasilitas Kep Direjen
(*****) (+) 4 kamar suite hotel bintang tiga (***) Pariwisata no
Luas kamar 20 –
28 M2 14/U/II/88 tgl 25-Feb-88
9 Bintang 5 plus 100 kamar standard Sama dengan fasilitas Kep Direjen
(*****) plus (+) 4 kamar suite hotel bintang dua (**) Pariwisata no – Pasar malam 14/U/II/88 tgl – Galeri 25-Feb-88 – Ruang konfrensi
28
Sumber : Direktorat Jendral Pariwisata (2014)
2.4.4. Jenis hotel
Pengelompokan hotel berdasarkan target pemasaran yaitu :
• Commercial Hotels. Ditujukan pada orang yang pekerjaannya berhubungan
dengan bepergian seperti bisnis manajes, kelompok meeting dan seminar.
Tipe hotel komersial merupakan tipe hotel terbesar dan fungsi utamanya
adalah untuk melayani klien bisnis.
• Airport Hotels. Hotel bandara terkenal karena kedekatannya dengan pusat
perjalanan terbesar. Hotel bandara merupakan hotel yang memiliki ukuran
pelatanan yang luas. Ditujukan kepada klien bisnis, penumpang pesawat
dengan penerbangan malam atau pembatalan penerbangan dan pegawai
perusahaan penerbangan. Hotel ini memiliki limousine dan van yang banyak
dimanfaatkan untuk mengantar dan menjemput tamu antara hotel dengan
bandara. Beberapa hotel bandara menyediakan fasilitas ruang pertemuan bagi
tamu yang datang dengan pesawat terbang dan hendak melakukan sebuah
pertemuan. Menurut Sugiarto (1996) “Hotel Bandara adalah hotel yang
terletak satu kompleks bangunan dengan lapangan udara atau berada di
sekitar bandara. Target market dari jenis tamu hotel ini adalah para usahawan
atau penumpang pesawat yang pesawatnya mengalami penundaan
penerbangan, juga para kru pesawat.” (p.27).
• Suite Hotels. Hotel ini ditujukan untuk keluarga yang berlibur dan seseorang
yang ingin menikmati kenyamanan saat bepergian jauh dari rumah. Hotel ini
dimanfaatkan pula oleh para profesionalisme seperti akuntan, pengacara, para
10 Pondok wisata Maksimal kamar – IMB rumah tinggal Perda O 13 th
merupakan sebagian – HO
1090 tentang
rumah tinggal
yang – SITU pondok wisata Usaha Pondok
disewakan – Kamar mandi Wisata
– Lain-Lain Keputusan
Gubernur no.
391 thn 1991 tentang Juklak
11 Hotel butik Belum ada ketentuan yang mengatur
29
executive karena salah satu keistimewaan yang dimiliki adalah kamar mandi
yang terpisah. Adanya ruang kerja yang terpisah dengan kamar memberikan
kenyamanan bagi para profesional ini dalam bekerja.
• Extended Stay Hotels. Hotel ini didirikan untuk menyediakan layanan bagi
tamu yang datang dengan tujuan untuk tinggal selama lima hari atau waktu
yang lebih lama. Tamu yang menginap di hotel ini biasanya tidak terlalu
membutuhkan layanan dari hotel. Tidak seperti tipe hotel lainnya, tarif kamar
ditentukan dari lamanya tamu tinggal di hotel tersebut. Jenis hotel ini
memiliki kesamaan dengan suite hotels, hotel ini menyediakan kebutuhan
dapur dalam kamar diamana suite hotels tidak menyediakan.
• Residential Hotels. Ditujukan pada tamu yang ingin tinggal di hotel dalam
jangka waktu yang panjang dengan melakukan kontrak tinggal terlebih
dahulu. Kamar akomodasi dengan kamar mandi dan ruang tamu terpisah, tipe
kamarnya seperti kamar suite. Jenis akomodasi ini disediakan untuk orang
yang berada di pinggiran kota, bersifat permanen atau jangka panjang.
• Leisure Market (Resort Hotels). Hotel ini ditujukan untuk orang yang
bepergian, rekreasi, olahraga, atau untuk hiburan. Hotel ini bersifat musiman
pada saat high season aktivitas hotel tinggi dan sebaliknya.
• Bed and Breakfast Hotels. Sebuah hotel yang terdiri dari 20-30 kamar.
dengan memberikan penawaran kamar dan makan pagi. Pemilik hotel ini
biasanya tinggal didalam hotel ini dan bertanggung jawab kepada penyediaan
makan pagi tamu.
• Casino Hotels. Sebuah hotel yang fungsi utamanya adalah sebagai
pendamping dari sebuah casino. Layanan didalam kamar, makanan, dan
minuman bukanlah merupakan tujuan utama untuk memperoleh keuntungan.
Tamu yang ingin mencari kesenangan dan melakukan perjalanan berlibur
untuk menggunakan fasilitas casino di hotel ini.
• Coference Hotels. Didesain untuk kelompok meeting dan hampir keseluruhan
pelayanan hotel ini menawarkan akomodasi bermalam selama meeting
diadakan. Hotel ini menekankan pada penyediaan layanan dan peralatan yang
dibutuhkan untuk kelancaran jalanya meeting.
• Convention Hotels. Menawarkan lebih dari dua ribu kamar. Fasilitas hotel ini
didesain untuk mengakomodasi rapat besar. Selanjutnya dijelaskan oleh
30
United State Lodging Industry bahwa , convention hotel terbagi menjadi tiga
jenis yaitu :
� Transit Hotel , adalah hotel yang letak / lokasinya di tengah kota
dengan jenis tamu yang menginap sebagian besar adalah untuk urusan
bisnis dan turis.
� Residential Hotel, adalah hotel yang pada dasarnya merupakan rumah
– rumah berbentuk apartemen dengan kamar - kamarnya, dan
disewakan secara bulanan atau tahunan. Residential Hotel juga
menyediakan kemudahan - kemudahan seperti layaknya hotel, seperti
restoran, pelayanan makanan yang diantar ke kamar, dan pelayanan
kebersihan kamar
� Resort Hotel adalah hotel yang pada umumnya berlokasi di tempat –
tempat wisata dan menyediakan tempat - tempat rekreasi dan juga
ruang serta fasilitas konferensi untuk tamu – tamunya.
Pengelompokan hotel menurut lokasi yaitu :
� City Hotel atau Business Hotel merupakan hotel yang terletak di
tengah kota.
� Highway hotel atau motor hotel merupakan hotel yang berada di jalur
highway.
� Mountain hotel merupakan hotel yang berada di daerah pegunungan
� Resort hotel merupakan hotel yang berada di daerah rekreasi atau
peristirahatan.
Pengelompokan Hotel berdasarkan Kemewahan, yaitu :
� Luxurious hotel adalah hotel mewah. Dilihat dari arsitek
bangunannya, fasilitas dan kelengkapannya yang ada di dalamnya,
semuanya serba mewah dan besar. Ukuran kamar, lobby dan kualitas
restoran serta gedung atau ruang pertemuan, semua luas dan mewah.
� Boutique hotel adalah hotel yang mewah, walaupun belum tentu
memiliki kamar yang banyak. Hotel ini bisa berbintang 3, 4 atau 5.
Mewah dalam hal fasilitas dan kelengkapan hotel, baik di lobby,
kamar, restoran maupun gedung pertemuan. Dapat juga berupa hotel
dengan tipe gedung antik, bersejarah dengan peralatan yang serba
mewah.
31
� Normal hotel merupakan tipe hotel kebanyakan, baik di kota maupun
di daerah tujuan wisata. Kemewahan dan kelengkapan fasilitasnya
didasarkan atas bintang yang disandang hotel tersebut. Hotel bintang
empat logikanya lebih lengkap dan mewah dari hotel bintang tiga, dan
hotel berbintang lima lebih mewah dari hotel bintang empat.
Tujuan dari pada penggolongan klasifikasi hotel antara lain :
• Menjadi pedoman teknis bagi calon investor dibidang usaha perhotelan.
• Agar calon penghuni hotel dapat mengetahui fasilitas dan pelay anan y ang akan
diperoleh pada suatu hotel sesuai dengan klasifikasi hotelnya.
2.4.5. Pengertian Hotel Butik
Seperti yang sebelumnya telah dijelaskan bahwa pengertian hotel adalah
suatu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk
menyediakan jasa penginapan, makan dan minum serta jasa lainnya bagi umum,
yang dikelola secara komersial serta memenuhi ketentuan persyaratan yang
ditetapkan dalam keputusan pemerintah. Sedangkan butik mempunyai definisi
sebuah toko kecil, yang khusus menjual barang-barang tertentu yang mewah dan
mengikuti tren seperti pakaian dan perhiasan. Dari pengertian hotel dan butik diatas,
dapat disimpulkan bahwa hotel butik memberikan konsep penginapan yang berbeda
dari hotel biasanya, dengan keunikan dan kemewahan ini menjadikan hotel butik
sebagai hotel non bintang dengan kualitas hotel bintang.
Boutique hotel memiliki pengertian (The Defenition of Boutique Hotels in
Recent Years – Lucienne Anhar) yakni:
� Kecil: memiliki kapasitas 50 kamar (didaerah pinggiran) atau 150 kamar
(didaerah perkotaan)
� Orisinalitas : kebanyakan butik hotel memiliki konsep yang jauh berbeda dari
hotel - hotel bintang lima, sehingga sebuah hotel butik memiliki identitas
yang kuat, misalnya hotel tersebut memiliki dekorasi layaknya galeri, barang
antik bahkan ada juga yang mendekorasi layaknya tempat-temoat tinggal di
perkampungan yang sangat sederhana.
� Karya arsitektur yang sustainable :material yang digunakan bervariasi dan
kebanyakan konsep dasarnya selaras dengan alam dan perkembangan budaya
di sekitar site. Juga memperhatikan manajemen pembuangan atau sisa dan
keefisienan penggunaan energi.
32
� Mewah : sebuah butik hotel mempunyai pedoman utama yang berbunyi
“Kualitas, Berapapun Harganya” namun hal ini tidak diterapkan dalam
pemilihan material, akan tetapi dalam segi pelayanan dan keramahan yaitu
menempatkan keinginan individu di atas segalanya.
� Low profile : butik hotel tidak mengiklankan diri sendiri, mereka
berkenyakinan bahwa para turis akan mencari keberadaan mereka.
Hotel butik memiliki komponen – komponen sebagai berikut :
o Arsitektur dan desain.
Tema keunikan, dan keramahan serta keakraban merupakan peran utama di
dalam mendesain suatu hotel butik, yang mana pada akhirnya dapat menarik
perhatian turis yang berkunjung ke suatu daerah. Selain itu, pihak hotel
cenderung lebih akrab dengan tamu-tamu hotelnya dan berusaha memenuhi
kebutuhan individu dari tamu hotelnya. Hotel butik tidak memiliki standar
tertentu. Konsep dan tema yang digunakan diterapkan pada keseluruhan
bangunan hal ini yang membuat tamu hotel tertarik untuk datang.
o Pelayanan (service).
Perbedaan mendasar antara hotel butik dengan hotel standar adalah tamu-
tamu hotel yang memiliki hubungan baik dengan anggota staf hotel. Para staf
hotel butik mengenal dengan baik tamu yang pernah menginap. Kebanyakan
hotel butik memiliki kamar yang relatif sedikit. Hal ini disepakati agar
pelayanan yang diberikan oleh para staf hotel dapat maksimal.
o Target pemasaran.
Target konsumen hotel butik umumnya adalah konsumen yang
berpenghasilan menengah ke atas. Keberhasilan hotel butik didasari oleh
pemilihan lokasi. Kualitas yang diberikan permintaan pasar, pendekatan
pemasaran dan penanganan distribusi dan reservasi yan efektif.
Prinsip Hotel butik :
o Penggunaan elemen elemen perancangan yang tidak biasa seperti garis,
warna, bentuk, tekstur, pola, ruang dan cahaya.
o Langgam arsitektur yang berbeda dari lingkungan di sekitarnya.
o Hotel berskala kecil yang memiliki style dan ciri khas tersendiri.
o Fokus terhadap style yang eksotis, keramahan dari keakraban serta pelayanan
yang memuaskan.
33
2.4.6. Studi hotel
2.4.6.1. Studi banding
1. Hotel Batavia
Studi banding terhadap hotel di Kota Tua
Gambar 2.5. Hotel Batavia Sumber : Google Image Search
Diakses 11 Mei 2014
• Lokasi : Jalan Kali Besar Barat 46, Jakarta
• Gaya arsitektur : Kolonial
• Klasifikasi : Bintang 4 (****)
• Jumlah lantai : 9 lantai
• Konsep hotel Batavia : Terletak di kawasan Kota Tua, dibangun pada
tahun 1995 dengan konsep arsitektur kolonial. Konsep ini diterapkan
pada tampilan fasad bangunan maupun interior hotel. Hal ini yang
membuat hotel kelihatan mewah dan megah, ditambah dengan
tersedianya berbagai jenis kamar dan fasilitas yang membuat hotel ini
menjadi hotel bintang 4.
Tabel 2.3. Rekapitulasi Jenis Kamar Hotel Batavia
Room Type Total Harga Foto
Batavia Apartment 1 USD $220.00
Club Suite 2 USD $220.00
34
Deluxe Twin/King 26 USD $ 63.00
Junior Suite 4 USD $ 85.00
President Suite 1 USD $250.00
Residential Apartement Twin/King
2 USD $120.00
Residential Deluxe Garden Twin/King
14 USD $ 73.00
Residential Deluxe Twin/King
10 USD $ 69.00
Superior Twin/King 205 USD $ 53.00
Harga belum termasuk servis 11% dan pajak 10%
Sumber : www.bataviahotel-jakarta.com
Tabel 2.4. Meeting Room & Conference
Batavia Ballroom Terletak di lantai 2 dengan interior bergaya kolonial Belanda dan berkapasitas hingga 1000 orang.
Free Function Area Ruang pendukung Batavia Ballroom berkapasitas hingga 500 orang.
35
Sunda Room Terletak di lantai 2 dengan interior kolonial dan berkapasitas hingga 300 orang
Island Room Ruang meeting Java, Sumatera, Sulawesi, dan Bali
VIP Room Terletak di super star restaurant lantai 2
Rotterdamsche Room
Boadroom pada lobby dengan kapasitas 15 orang untuk private meeting. Tersedia juga untuk disewakan sebagai kantor
Batavia Function Hall
Function Room dengan kapasitas 300 orang, terletak di lantai 2
Business Center Terletak pada lantai 9, merupakan continental room dan pusat fasilitas bisnis
Sumber : www.bataviahotel-jakarta.com
Tabel 2.5. Kapasitas Dan Ukuran Ruang Banquet
Sumber : www.bataviahotel-jakarta.com
36
Gambar 2.6. denah Meeting Room & Conference Sumber : www.bataviahotel-jakarta.com
Diakses 11 Mei 2014
Tabel 2.6. Fasilitas Dining & Entertainment Pool Deck Grill
& Bar Third Floor
80 persons (seating) / 300 persons (standing)
Dapoer Roti Batavia
First Floor 25 persons
Pasar Rempah Restaurant
First Floor 120 persons
37
Super Star Restaurant
Second Floor 180 Persons
Batavia Bar and Lounge
FourthFloor FourthFloor
Batavia Karaoke FourthFloor 28 Rooms
Swimming Pool Third floor
Fitness Center Third floor
Sumber : www.bataviahotel-jakarta.com
Berikut foto – foto interior dan eksterior dari hotel Batavia :
38
Gambar 2.7. Suasana Eksterior Hotel batavia Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar 2.8. Entrance & Drop Off
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar 2.9. Suasana Interior Hotel Batavia
Sumber : Dokumentasi Pribadi
39
Gambar 2.10. Detail & Servis Sumber : Dokumentasi Pribadi
Tabel 2.7. Kesimpulan
Kelebihan Kekurangan
Fasilitas bisnis baik dan ramah Tidak ada fasilitas penunjang di sekitar
Zoning kamar dan fasilitas cukup baik Keamanan kurang
Tampak dan bentuk bangunan baik Harga kamar mahal dilihat dari lokasi
Tidak semua fasilitas aktif dan kurang
Tampak depan tidak terawat
Sumber : Olahan Pribadi
2. 1001 Hotel & Colosseum Club
Hotel 1001 merupakan salah satu contoh hotel yang menerapkan
tema desain kolonial untuk fasadnya, meskipun untuk interiornya bergaya
minimalis modern. Fasae bangunan bergaya Art Deco dapat dilihat ornamen
dekorasinya yang sederhana, penggunaan menara dan masa bangunan yang
terkesan massif. Bukan hanya itu, hotel 1001 ini dijadikan sebagai salah
satu bangunan cagar budaya Golongan B.
40
Gambar 2.11. 1001 Hotel & Colosseum Club Sumber : Google Image Search
Diakses : 11 Mei 2014
Merupakan hotel bintang 4 dan dapat digolongkan sebagai turis hotel karena
banyak fasilitas hiburannya.
Lokasi = Jalan Kunir No. 7, Kota Tua – Jakarta Barat
Luas bangunan = 15,755.6 m2
Kapasitas pengunjung = 6100 orang
Tabel 2.8. Fasilitas Hiburan
Terrace Garden 500 orang - Ibiza Club 300-800 orang
Café Restaurant 75 seats
41
Bar Lounge 25 seats
Colosseum Discotheque Hall
2000 orang
Karaoke 40 ruang � 50– 80 orang
Piano Lounge 75 orang
Sumber : www.jakarta100bars.com
Tabel 2.9. Rekapitulasi Jenis Kamar
Jenis kamar Jumlah Harga (Full) Harga (4 H) Fasilitas Pesident suite 1 Rp. 900.000 Rp. 575.000 Room service 24 H, hot & cold
water, free parking, tv cable, free hot spot,mini refrigiator, dan safe deposit box
Junior suite 1 Rp. 800.000 Rp. 500.000 Deluxe 8 Rp. 575.000 Rp. 375.000 Standard 24 Rp. 475.000 Rp. 300.000 Jumlah 34 Jumlah parkir 700 lots
Sumber : www.jakarta100bars.com
Gambar 2.12. Eksterior & Interior 1001 Hotel Sumber : www.jakarta100bars.com
Diakses : 11 Mei 2014
42
Gambar 2.13. Entrance & Parkir Sumber : www.jakarta100bars.com
Diakses : 11 Mei 2014
Gambar 2.14. Suasana Interior Ruang Penerima Ibiza Club Sumber : www.jakarta100bars.com
Diakses : 11 Mei 2014
Tabel 2.10. Kesimpulan
Kelebihan Kekurangan
Fasilitas hiburan baik sekali dan menarik Jumlah kamar sedikit
Harga kamar lebih murah Hanya aktif/ramai mulai malam hari
Tampak bangunan sederhana namun unik
Interior nyaman dan mewah
Keamanan dan kebersihan baik
Parkir luas
Sumber : Olahan Pribadi
43
2.4.6.2. Studi literatur
1. Hotel Raffles Singapura
Studi liteartur terhadap hotel dengan gaya Neo Klasik
Gambar 2.15. Hotel Raffles Singapura Sumber : Google Image Search
Diakses : 11 Mei 2014
• Lokasi : 1 Beach Road, Singapore
• Berdiri tahun : 1887
• Gaya arsitektur : Neo Klasik
• Kualitas : Bintang 5 (*****)
• Jumlah lantai : 3 lantai
• Layanan & fasilitas yang ada di hotel Raffles :
o Fasilitas kamar terdiri dari 103 unit
o Fasilitas hotel dan pelayanan :
� Restaurant & bar
� Raffles Amrita Spa
� Outdoor swimming pool & bar
� Raffles Hotel Arcade
� Emipre Café
� Ah Teng’s bakery
� Long Bar
� Bar & Billiard Room
� The ballroom
� Raffles hotel museum
� Raffless hotel shop
� Jubilee Hall Theatre Playhouse
� Garden tour
44
� 24 hours Raffles butler service
� Gymnasium
• Konsep hotel Rafless : merupakan hotel yang paling terkenal di Singapura,
dibangun tahun 1887. Gaya Neo Klasik menjadi konsep dari hotel ini. Hotel
ini terletak di pusat kota, memberikan kemudahan bagi pengunjung hotel
sehingga dapat menikmati makanan dan berbelanja dengan nyaman.
Tiap unit kamar pada hotel ini memiliki gaya yang elegan, yaitu penggunaan
furniture antik, karpet bergaya Persia, dan berbagai unsur dekoratif Neo
Klasik. Hotel ini juga memiliki museum yang bernama National Museum of
Singapore. Museum ini merupakan museum tertua di Singapura, dimana
didaalamnya menghadirkan berbagai cara inovatif dalam menjelaskan sejarah
sehingga memberikan pengalaman baru bagi para pengunjung.
Gambar 2.16. Eksterior & Interior Hotel Raffles Singapura Sumber : www.raffles.com
Diakses : 11 Mei 2014
Gambar 2.27. Fasilitas Hotel Raffles Singapura Sumber : www.raffles.com
Diakses : 11 Mei 2014
45
2. The Scarlet Hotel Singapura
Studi banding terhadap hotel butik
The Scarlet Hotel ini merupakan proyek konservasi bangunan tua yang
disesuaikan dengan fungsi baru dan hasilnya cukup baik.
The Scarlet Hotel yang memiliki 84 kamar terletak di sudut Erskine Road,
membentang sepanjang 12 ruko yang di restorasi, termasuk satu bangunan bergaya
Art Deco dari tahun 1924. Hotel dengan konsep boutique hotel berbintang lima ini
didesain amat mewah dengan furniture dan elemen dekorasi berkelas.
Gambar 2.18. Exterior dan Lobby The Scarlet Hotel Sumber : www.thescarlethotel.com
Diakses 12 Maret 2014
The Scarlet memiliki 5 suite yang masing – masing di desain dengan tema,
skema warna, dan gaya tersindiri : Splendour, Passion, Opulent, Lavish, dan Swank.
Gambar 2.19. Swank Dan Opulent
Sumber : www.thescarlethotel.com Diakses 12 Maret 2014
Konfigurasi ruangannya sebagai berikut :
46
Tabel 2.11. Tipe Kamar Hotel Scarlet
Sumber : www.thescarlethotel.com (2014)
The Scarlet memiliki 3 restaurant dan bar : Bold, Desire, dan rooftop
restaurant bertajuk Breeze. Juga terdapat 2 fasilitas kesehatan : Soda Spa dan Flaunt
Fitness, dan satu ruang pertemuan yaitu The Sanctum. Semua fasilitas ini
menerapkan desain interior yang menawan, kuliner kelas satu, dan fasilitas lengkap.
Sumber : www.thescarlethotel.com (2014)
Gambar 2.20. Restaurant & Bar Desire, Bold, & Breeze Sumber : www.thescarlethotel.com
Diakses 12 Maret 2014
Gambar 2.21. Spa Soda, Fitness Flaunt, The Scantum Sumber : www.thescarlethotel.com
Diakses 12 Maret 2014
47
Fasilitas yang dimliki The Scarlet boleh jadi relatif sedikit dari segi kuantitas
tapi sangat maksimal dari segi kualitas, selain aspek sejarah dan lokasinya yang
strategis. Inilah yang menyebabkan hotel ini diklasifikasikan sebagai hotel bintang
lima.
Setelah membandingkan hasil survey literatur dan survey lapangan, maka
dapat disimpulkan bahwa sebuah hotel hendaknya :
- Berlokasi strategis dengan pencapaian mudah dari segala arah.
- Memperhatikan efisiensi penggunaan lahan dan berfasilitas lengkap atau
memiliki fasilitas penunjang disekitarnya sehingga dapat mencapai
occupancy yang lebih tinggi.
- Unsur – unsur perwadahan / peruangan dalam hotel wajib memenuhi
ketentuan yang berlaku seperti ukuran standar ruang – ruang yang ada
didalam hotel, dll.
- Setiap hotel memiliki spesifikasi berbeda – beda sehingga kelas maupun tariff
hotel yang ditawarkan mengikuti spesifikasi tersebut.
- Konsep desain pada suatu hotel menjadi suatu gaya dan karakteristik hotel
tersebut.
2.5. Tinjauan Kota Tua
2.5.1. Sejarah Kota Tua Jakarta
Kota Jakarta pertama kali dikenal sebagai suatu pelabuhan kerjaan Sunda
yang bernama Sunda Kelapa yang berlokasi di muara sungai Ciliwung antara tahun
397 s/d 1527. Kota ini kemudian diserang oleh Fatahillah pada tahun 1527 yang
kemudian mengganti nama menjadi Jayakarta. Kemudian, VOC datang ke Jayakarta
pada akhir abad ke 16. Pada tahun 1620, VOC berhasil menaklukan Jayakarta dan
mengubah namanya menjadi Batavia. Batavia kemudian dijadikan pusat
pemerintahan kolonial Belanda karena potensi topografis antara lain adanya sungai
Ciliwung yang menghubungkannya dengan wilayah pedalaman dan secara regional
menjadi pelabuhan di nusantara karena letak geografisnya sangat strategis, bahkan
secar a internasional hingga sek aran g menjadi kota Jakarta.
Kota Batavia dirancang dan dibangun dengan pola kotak – kotak yang
dibentuk kanal – kanal melintang dan membujur tegak lurus. Pembagian kavling
kota juga kotak – kotak dan dibentuk oleh jalan – jalan. Sungai Ciliwung kemudian
48
diluruskan, dan membagi kota menjadi dua bagian timur dan barat.
Gambar 2.22. Pola Grid Kota Batavia Sumber : www.indahnesia.com Diakses tanggal 21 Maret 2014
Batavia timur dihuni oleh orang – orang Belanda dan etnis lainnya sedangkan
Batavia barat dihuni oleh orang – orang Portugis dan Cina. Namun, setelah peristiwa
pembantaian massal orang – orang Cina pindah ke luar bagian Selatan dan
berkembang menjadi Kampung Cina.
Menurut Alwishahab (2008), Kota Tua mencapai puncak kejayaannya pada
tahun 1870, karena pada saat itu Batavia menjadi pusat administratif Hindia Belanda,
dan bagian dari Batavia yaitu Kali Besar terletak di dekat muara sungai Ciliwung dan
Bandar Sunda Kalapa.
Kali Besar pada tahun 1870 berdekatan dengan pelabuan Sunda Kalapa yang
pada saat itu merupakan pusat kegiatan perdagangan yang menjadi rebutan antara
Portugis, Belanda, dan Inggris. Di depan muara Ciliwung terdapat jembatan Kota
Intan yang membuka lebar daun - daun jembatannya, membiarkan perahu dan kapal
dagang mancanegara mengangkut rempah-rempah negeri tropis yang laku keras di
pasaran dunia.
Di Jakarta tempo doeloe ini para mevrouw (nyonya besar) kompeni serta
nyai-nyai Belanda, bergaun serba mewah dengan rok bertingkat seperti kurungan
ayam dengan berkereta disertai budak - budak mengelilingi kota yang kala itu hanya
beberapa mil persegi. Mereka tinggal di sepanjang Kali Besar Barat dan Timur serta
di tepi - tepi kanal yang mengelilingi kampung-kampung dan rumah - rumah
kompeni.
Melalui perahu - perahu yang selalu siap di depan kediamannya para meener
(tuan) dan mevrouw saling mengunjungi. Sementara sinyo (pemuda) dan noni
(pemudi) dua sejoli yang tengah pacaran di malam yang cerah sambil memetik gitar
49
saling menumpahkan kasih sayang sambil bersumpah untuk saling setia. Betapa
mentereng gaya hidup VIP di sekitar Kota Tua saat kejayaan VOC.
Pada akhir abad ke-19 Bandar Sunda Kalapa telah dipindahkan ke Tanjung
Priok, tapi kawasan Kali Besar, Batavia, masih menunjukkan pamornya. Bahkan
pada awal abad ke-20, ketika kota Batavia makin berkembang, beberapa perkantoran
telah diperbaharui dengan gaya modern, seperti yang dapat kita saksikan sisa -
sisanya sekarang ini. Sayangnya gedung-gedung di sekitar Kota Tua yang berasal
dari abad ke-18 dan 19, yang dulu sangat terpelihara sekarang keadaannya tidak
terawat / hancur.
2.5.2. Tinjauan regulasi pemerintah untuk kawasan Kota Tua
Merajuk pada Guidelines Kota Tua (2007) di Jakarta terdapat 4 kawasan
cagar budaya, yaitu : Kota Tua, Menteng, Kebayoran Baru, dan Situ Babakan.
Didalam kawasan - kawasan cagar budaya ini, terdapat arsitektur kota dan bangunan
- bangunan yang harus dilestarikan.
Kota Tua saat ini menjadi kawasan cagar budaya. Pola kota kawasan Kota
Tua masih sama yaitu kotak - kotak hanya saja sekarang sudah tidak dibatasi oleh
kanal, melainkan dibatasi oleh jalan - jalan.
Kawasan cagar budaya Kota Tua ini memiliki luas sekitar 846 Ha yang
terletak di Kotamadya Jakarta Utara dan Kotamadya Jakarta Barat (Guidelines Kota
Tua, 2007). Berdasarkan Rencana Induk Kota Tua Jakarta (DTK, 2007), di tengah -
tengah kawasan cagar budaya Kota Tua terdapat zona inti, yaitu area yang memiliki
nilai sejarah yang lebih bernilai, yang dahulunya sebagian besar adalah kota didalam
dinding. Kawasan cagar budaya Kota Tua dibagi menjadi 5 zona, yaitu : kawasan
Sunda Kelapa, kawasan Fatahillah, kawasan Pecinan, kawasan Pekojan, dan kawasan
Peremajaan.
Gambar 2.23. Kawasan Inti Kota Tua Sumber : Guidelines Kota Tua, 2007 (2014)
50
Berdasarkan kepada beberapa kriteria yang ada di Peraturan Daerah No.5
Tahun 1999, kawasan cagar budaya Kota Tua dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
• Golongan I : disekitar Taman Fatahillah dan Jalan Cengkeh.
• Golongan II : disepanjang Kali Besar, Jalan Pintu Besar Utara, dan disekitar
Taman Beos.
• Golongan III : area yang berdekatan dengan Sungai Ciliwung di sisi timur
dan area di dekat Sungai Krukut (Jelakeng) di sisi barat.
Gambar 2.24.Pembagian Golongan Cagar Budaya Kota Tua Sumber : Guidelines Kota Tua, 2007 (2014)
Penataan bangunan pada zona inti, terbagi menjadi 3 kategori, yaitu renovasi berat /
pembangunan baru, renovasi sedang, dan renovasi ringan. Untuk membantu dalam
penenntuan tapak dan pendekatan desain, maka berikut ini digambarkan area mana saja yang
termasuk dalam kategori diatas :
Gambar 2.25.Pembagian Golongan Cagar Budaya Kota Tua Sumber : Guidelines Kota Tua, 2007 (2014)
51
Bangunan - bangunan di kawasan cagar budaya Kota Tua saat ini terdiri dari
3 tipe, yaitu : bangunan besar yang berdiri sendiri pada satu blok kota atau lebih dari
setengah blok kota, bangunan di kavling pojok, dan bangunan - bangunan deret yang
bersama - sama membentuk satu blok kota. Bangunan - bangunan ini tingginya
sekitar 2 s/d 3 lantai dengan jarak dari lantai ke lantai sekitar 4 meter. Keunikan
arsitektur kota kawasan ini adalah letak bangunan yang menempel langsung ke jalan
atau ruang terbuka / taman / plaza.
Gambar 2.26. Batas Bangunan dan Jalan Sumber : Skripsi Fanny Wirawan (2010)
Dikawasan yang dikaji ini dapat disimpulkan terdapat 4 tipologi bangunan
yang dibedakan sesuai masyarakat dan zamannya, yaitu :
1. Bangunan masyarakat kolonial Eropa (Colonial Indische, Neo-Klasik
Eropa, Art Deco, dan Art Nouveau).
2. Bangunan masyarakat Cina (Gaya Cina Selatan dan campuran dengan
gaya Kolonial Eropa).
3. Bangunan masyarakat pribumi (Colonial Indische).
4. Bangunan modern Indonesia (International Style).
Gambar 2.27. Berbagai Gaya Arsitektur Kota Tua Sumber : Guidelines Kota Tua, 2007 (2014)
52
Merajuk pada Guidelines Kota Tua, 2007, kawasan cagar budaya Kota Tua
direncanakan sebgai sebuah living heritage dan sebagai kawasan revitalisasi, yaitu
sebagai kawasan yang diproyeksikan menjadi salah satu tempat kegiatan utama skala
kota bagi warga DKI Jakarta untuk berekreasi, berbudaya, bertinggal, dan bekerja
dengan tetap menjaga kelestarian kawasan sebagai kawasan cagar budaya.
2.6. Tinjauan arsitektur kolonial
2.6.1. Arsitektur kolonial di Jakarta
Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia mengalami pengaruh Occidental
(Barat) dalam berbagai segi kehidupan termasuk dalam tata kota dan bangunan. Para
pengelola kota dan arsitek Belanda banyak menerapkan konsep lokal atau tradisional
dalam perencanaan dan pengembangan kota, permukiman dan bangunan-bangunan.
(Wardani, 2009).
(Wardani, 2009) menyatakan bahwa adanya pencampuran budaya, membuat
arsitektur kolonial di Jakarta menjadi fenomena budaya yang unik. Arsitektur
kolonial di berbagai tempat di Jakarta apabila diteliti lebih jauh, mempunyai
perbedaan-perbedaan dan ciri tersendiri antara tempat yang satu dengan yang lain.
Arsitektur kolonial merupakan arsitektur yang memadukan antara budaya
Barat dan Timur. Arsitektur ini hadir melalui karya arsitek Belanda dan
diperuntukkan bagi bangsa Belanda yang tinggal di jakarta, pada masa sebelum
kemerdekaan.
Arsitektur klonial Belanda adalah gaya desain yang cukup popular di
Netherland tahun 1624 - 1820. Arsitektur kolonial adalah arsitektur cangkokan dari
negeri induknya Eropa kedaerah jajahannya, Arsitektur kolonial Belanda adalah
arsitektur Belanda yang dikembangkan di Jakarta, selama Indonesia masih dalam
kekuasaan Belanda sekitar awal abad 17 sampai tahun 1942 (Soekiman, 2011).
Kartono (2004) mengatakan bahwa sistem budaya, sistem sosial, dan sistem
teknologi dapat mempengaruhi wujud arsitektur. Perubahan wujud arsitektur
dipengaruhi oleh banyak aspek, akan tetapi perubahan salah satu aspek saja dalam
kehidupan masyarakat dapat mempengaruhi wujud arsitektur.
Arsitektur kolonial Belanda merupakan bangunan peninggalan pemerintah
Belada dan bagian kebudayaan bangsa Indonesia yang merupakan aset besar dalam
perjalanan sejarah bangsa. (Handinoto, 1996) membagi periodisasi perkembangan
53
arsitektur kolonial Belanda di Jakarta dari abad ke 16 sampai tahun 1940-an menjadi
empat bagian, yaitu:
1. Abad 16 sampai tahun 1800-an
Pada waktu ini Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische (Hindia
Belanda) di bawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda yang bernama
VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Selama periode ini arsitektur
kolonial Belanda kehilangan orientasinya pada bangunan tradisional di
Indonesia serta tidak mempunyai suatu orientasi bentuk yang jelas. Yang
lebih buruk lagi, bangunan-bangunan tersebut tidak diusahakan untuk
beradaptasi dengan iklim dan lingkungan setempat.
2. Tahun 1800-an sampai tahun 1902
Ketika pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari perusahaan
dagang VOC. Setelah pemerintahan Inggris yang singkat pada tahun 1811-
1815. Hindia Belanda kemudian sepenuhnya dikuasai oleh Belanda.
Indonesia waktu itu diperintah dengan tujuan untuk memperkuat kedudukan
ekonomi negeri Belanda. Oleh sebab itu, Belanda pada abad ke-19 harus
memperkuat statusnya sebagai kaum kolonialis dengan membangun gedung-
gedung yang berkesan grandeur (megah). Bangunan gedung dengan gaya
megah ini disebut gaya arsitektur Neo Klasik.
3. Tahun 1902-1920-an
Antara tahun 1902 kaum liberal di negeri Belanda mendesak apa yang
dinamakan politik etis untuk diterapkan di tanah jajahan. Sejak itu,
pemukiman orang Belanda tumbuh dengan cepat. Dengan adanya suasana
tersebut, maka “indische architecture” menjadi terdesak dan hilang. Sebagai
gantinya, muncul standar arsitektur yang berorientasi ke Belanda. Pada 20
tahun pertama inilah terlihat gaya arsitektur modern yang berorientasi ke
negeri Belanda.
4. Tahun 1920 sampai tahun 1940-an
Pada tahun ini muncul gerakan pembaruan dalam arsitektur, baik nasional
maupun internasional di Belanda yang kemudian mempengaruhi arsitektur
kolonial di Indonesia. Hanya saja arsitektur baru tersebut kadang-kadang
diikuti secara langsung, tetapi kadang-kadang juga muncul gaya yang disebut
sebagai ekletisisme (gaya campuran). Pada masa tersebut muncul arsitek
Belanda yang memandang perlu untuk memberi ciri khas pada arsitektur
54
Hindia Belanda. Mereka ini menggunakan kebudayaan arsitektur tradisional
Indonesia sebagai sumber pengembangannya.
Tabel 2.12. Periode Perkembangan Arsitektur Kolonial Di Jakarta
TAHUN GAYA ARSITEKTUR
Abad 16 – 1800-an Selama periode ini arsitektur kolonial
Belanda kehilangan orientasinya pada
bangunan tradisional di Indonesia serta
tidak mempunyai suatu orientasi bentuk
yang jelas. Yang lebih buruk lagi,
bangunan-bangunan tersebut tidak
diusahakan untuk beradaptasi dengan
iklim dan lingkungan setempat.
Tahun 1800-an - 1902 Belanda pada abad ke-19 harus
memperkuat statusnya sebagai kaum
kolonialis dengan membangun gedung-
gedung yang berkesan grandeur
(megah). Bangunan gedung dengan gaya
megah ini disebut gaya arsitektur Neo
Klasik.
Tahun 1902 – 1920-an Pada 20 tahun pertama inilah terlihat
gaya arsitektur modern yang berorientasi
ke negeri Belanda.
Tahun 1920 – 1940 muncul gaya yang disebut sebagai
ekletisisme (gaya campuran).
Sumber : (Handinoto, 1996)
2.6.2. Perkembangan langgam arsitektur kolonial di kawasan Kota Tua Jakarta
Batavia mencapai puncak kejayaannya pada abad 19 tepatnya pada tahun
1870 (Alwishahab, 2008). Pada saat itu, bagian dari Batavia, yaitu Kali Besar yang
saat itu berdekatan dengan pelabuan Sunda Kalapa yang merupakan pusat kegiatan
perdagangan yang menjadi rebutan antara Portugis, Belanda, dan Inggris. Sehingga
pada saat itu, perdagangan di kawasan batavia ini maju pesat. Di depan muara
55
Ciliwung terdapat jembatan Kota Intan yang membuka lebar daun - daun
jembatannya, membiarkan perahu dan kapal dagang mancanegara mengangkut
rempah - rempah negeri tropis yang laku keras di pasaran dunia.
Menurut data – data yang ditemukan, langgam arsitektur kolonial pada tahun
1870 adalah langgam arsitektur Neo Klasik (sesuai dengan pembagian periode pada
tabel atas). Bangunan tua di kawasan Kota Tua menjadi suatu bangunan peninggalan
kolonial Belanda, dimana pengaruh arsitektur Eropa sangat melekat pada bangunan –
bangunan di kawasan Kota Tua, sehingga bangunan – bangunan tua ini menjadi cirri
khas pembentuk identitas kawasan Kota Tua.
Di kawasan Kota Tua terdapat beberapa bangunan asli yaitu gedung Charterd
Bank India, Australia, and China yang sekarang bernama Bank Bumi Daya (abad
19), Javasche Bank yang sekarang bernama Museum Bank Indonesia (1828),
Museum Seni Rupa dan Keramik (1870), dan Bank Dagang Negara (1887).
Bangunan – bangunan tersebut memiliki gaya arsitektur Neo Klasik (sesuai dengan
tahun berdirinya).
2.6.3. Arsitektur langgam Neo Klasik
Gerakan pada akhir abad 18 dikenal dengan Neo Klasik. Bentuk arsitektur
yang dianggap ideal kemudian diwujudkan kedalam bentukan berkonstruksi kolom
dan balok dan tidak hanya bentukan dari konstruksi dinding pemikul. Wujud
arsitekturnya juga dapat ditandai dengan munculnya unsur - unsur dekoratif seperti
pediment, pedestal, entablature terpotong dan sebagainya.
Gaya ini merupakan gaya anti rokoko yang dapat ditemukan pada beberapa
gaya arsitektur Eropa pada awal abad ke 18, dengan jelas diwakili dalam arsitektur
Palladian di Georgia inggris dan Ireland, selain itu juga dapat ditemui dalam lapisan
klasifikasi akhir gaya barok di Paris, di Berlin, dan bahkan di Roma, Alessandro
Galilei pada bagian muka dari gadeung Giovanni di Laterano
Gambar 2.28.Royal Scottish Academy, Edinburgh Sumber : rurucoret.blogspot.com
Diakses tanggal 16 Maret 2014
56
Di Indonesia, arsitektur Neo Klasik ini diperkenalkan oleh Herman Willen
Daendels saat dia bertugas sebagai gubernur jendral hindia belanda (1808-1811).
Daendels saat itu merupakan bekas perwira Louis Napoleon dari Perancis (saat itu
Belanda dikuasai Perancis). setelah revolusi Perancis, timbul gerakan baru neo klasik
di Perancis yang disebut dengan "Empire Style". Jadi saat Daendels datang ke Hindia
Belanda, ia langsung menerapkan dan mengubah bangunan - bangunan indische
menjadi bangunan yang dikenal dengan sebutan "Indische Empire Style".
Agaknya gaya "Indische Stijl" yang lebih dulu eksis (telah menyesuaikan
dengan filosofi Jawa), dinilai kurang mencerminkan keangkuhan dan kekuasaan,
oleh karena itu diambillah gaya Empire ke Hindia Belanda oleh Daendels.
Langgam arsitektur Neo Klasik ini memiliki ciri - ciri yang khas, diantaranya
adalah :
• Penerapan konsep simetris pada fasad dan bentuk denah.
Gambar 2.29. Konsep Simetris Pada Denah dan Fasad Sumber : (Watkin, David, 1996) (2014)
• Deretan kolom silindris (order kolom dalam arsitektur Yunani Kuno) yang
besar pada fasad dan berdiri bebas, terbagi menjadi 3 jenis kolom :
1. Doric
2. Ionic
3. Corinthian
Gambar 2.30. Jenis – Jenis Kolom Sumber : Dictionary of Architecture and Building Construction (2014)
57
• Atap (kubah) dihiasi ornamen seperti :
Sumber : (Watkin, David, 1996) (2014)
Gambar 2.31. Jenis – Jenis Ornamen Pada Atap Sumber : (Watkin, David, 1996) (2014)
• Terdapat pedimen segitiga
Gambar 2.32. Jenis – Jenis Pedimen Pada Arsitektur Neo Klasik Sumber : (Watkin, David, 1996) (2014)
• Penerapan elemen horizontal dan lengkung pada bidang datar.
• Secara umum memiliki atap tidak terlalu curam, jendela berukuran besar,
memiliki portico di bagian depan dan selasar yang cukup luas di bagian
belakang bangunan, biasanya bangunan berwarna putih untuk memberi kesan
megah pada bangunan.
Dari data diatas, maka dapat disimpulkan :
Tabel 2.13. Ciri - Ciri Arsitektur Neo Klasik
ELEMEN NEO KLASIK
Fasad dan denah Simetris
59
Sumber : Olahan pribadi
Perbandingan jenis kolom yang digunakan pada arsitektur Neo Klasik :
Terdapat 3 jenis kolom Yunani yang terdapat pada arsitektur Neo Klasik
yaitu : kolom order Doric, Ionic, dan Corinthian. Perbedaan tiga tipe ini terletak pada
bentuk dan proporsi dasar (base), tubuh (shaft), dan kepala (capital) pada kolom.
Kolom order gaya Doric adalah gaya yang tertua dan paling sederhana, gaya Ionic
dam Corinthian menambahkan dasar pada kolom dan mengembangkan desain yang
lebih rumit dan indah pada puncak kolom (capital). Entablature (bagian yang
terletak diatas kolom) juga bebeda pada setiap gaya.
Gambar 2.33. Jenis Kolom Yunani Sumber : atpic.wordpress.com
Diakses tanggal 10 April 2014
60
1. Kolom Order Doric
Gambar 2.34. Kolom Doric Sumber : atpic.wordpress.com Diakses tanggal 10 April 2014
• Tipe yang paling masif / berat, tidak mempunyai base / dasar. Jadi, badan
kolom / shaft langsung diletakan diatas stylobate. Alur relief pada kolom ini
berujung tajam.
• Architrave ada yang kosong, ada yang berukiran barisan segitiga.
• Frieze juga didekorasi dengan ukiran – ukiran.
2. Kolom Order Ionic
Gambar 2.35. Kolom Ionic
Sumber : atpic.wordpress.com Diakses tanggal 10 April 2014
61
• Tipe ini lebih tinggi dan lebih langsing daripada Doric. Alur relief kolom
tidak tajam.
• Kadang – kadang shaft digantikan oleh patung figure wanita (caryatids).
• Pada capital terdapat sepasang bentuk spiral, berbentuk mirip gulungan
kertas.
• Architrave terdiri dari tiga bidang horizontal.
• Frieze ada yang kosong, ada yang di dekorasi
• Cornice sering mempunyai dekorasi dengan barisan kotak kecil yang
mirip susunan gigi dan disebut dental.
3. Kolom Order Corinthian
Gambar 2.36. Kolom Corinthian Sumber : atpic.wordpress.com Diakses tanggal 10 April 2014
• Mirip dengan Ionic.
• Perbedaan utama terdapat pada capital yang sangat lebih banyak
dekorasi.
• Capital biasanya didekorasi oleh ukiran daun Acanthus.
•
Perbandingan jarak antar kolom pada arsitektur Neo Klasik
Menurut buku Ten Books on Architecture, Book 3 : Temple karangan
Vitruvius (1914) menjelaskan mengenai proporsi sebuah temple Yunani. Prinsip
tersebut berdasarkan pada penemuan bahwa tubuh manusia diciptakan dengan
62
perbandingan yang sama antar tiap bagian dan keseluruhannya sehingga tercapai
suatu sistem yang seimbang (kerap disebut Golden Section), maka pembuatan
elemen-elemen sebuah temple pun sewajarnya didasari pada perbandingan tersebut.
“… if Nature has composed the human body so that in its proportions the
separate individual elements answer to the total form, then the ancients seem to have
had reason to decide that bringing their creations to full completion likewise
required a correspondence between the measure of individual elements and the
appearance of the work as a whole. … They did so especially for the sacred
dwellings of the gods.” (Vitruvius, 30-20 B.C.)
Proporsi tersebut diterapkan antara lain pada jarak antar kolom
(intercolumniation), yang diatur harus seragam, memenuhi sepersekian kali dari
diameter kolomnya. Jarak sepersekian tersebut bervariasi besarnya, tergantung pada
spesi temple yang dibangun: pycnostyle, systyle, diastyle, araeostyle, atau eustyle.
Gambar 2.37. Jarak Antar Kolom Sumber : Ten Books on Architecture (1914)
63
Gambar 2.38. Jarak Antar Kolom
Sumber : Ten Books on Architecture (1914)
Ciri khas gaya Neo Klasik Eropa pada elemen interior bangunan menurut buku The
Element of Style :
- Lantai : material marmer dengan berbagai motif :
Gambar 2.39. Motif Lantai Sumber : di.unikom.ac.id
Diakses : 8 Mei 2014
- Dinding
Gambar 2.40. Motif Pada Dinding Sumber : di.unikom.ac.id
Diakses : 8 Mei 2014
64
- Langit – langit
Gambar 2.41. Motif Pada Langit - Langit Sumber : di.unikom.ac.id
Diakses : 8 Mei 2014
- Jendela
Gambar 2.42. Jenis Jendela Sumber : di.unikom.ac.id
Diakses : 8 Mei 2014
- Pintu
Gambar 2.43. Jenis Jendela Sumber : di.unikom.ac.id
Diakses : 8 Mei 2014
- Lampu
Gambar 2.44. Jenis Lampu Sumber : di.unikom.ac.id
Diakses : 8 Mei 2014
65
2.6.4. Teori Golden section
Dalam proyek hotel butik ini, akan memakai teori golden section sebagai
acuan untuk ukuran proporsi kolom – kolom order Yunani yang akan digunakan
pada perancangan hotel ini.
Sistem – sistem proporsi matematis awalnya berasal dari konsep phytagoras
tentang “semua adalah angka” serta keyakinan bahwa hubungan – hubungan
numertik tertentu memanifestasi struktur harmoni alam semesta. Salah satu dari
hubungan ini yang digunakan sejak zaman purbakala adalah penampang emas
(golden section). Bangsa Yunani menyadari peran dominan golden section ini dalam
proporsi tubuh manusia.
Golden section dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara dua buah
penampang garis, atau dua buah dimensi suatu sosok bidang, dimana bagian yang
lebih kecil dari keduanya berbanding dengan yang lebih besar, sementara bagian
yang lebih besar tersebut berbanding dengan jumlah keduanya.
Berikut akan dijabarkan penerapan teori golden section pada arsitektur Neo
Klasik dalam perbandingan proporsi kolom order Yunani.
Gambar 2.45. Perbandingan Proporsi Kolom Order Yunani Sumber : Bentuk, Ruang, dan Tatanan
Dari gambar diatas dapat diketahui banhwa tinggi kolom order Doric adalah
221/6 meter, kolom order Ionic 261/5 meter, dan kolom order Corinthian adalah 281/2
meter.
66
1. Kolom Order Doric
Gambar 2.46. Perbandingan Tinggi dan Lebar Kolom Doric Sumber : Bentuk, Ruang, dan Tatanan
Dari gambar diatas dapat terlihat perbandingan lebar dan tinggi kolom Doric,
dimana D (diameter) merupakan diameter capital dari kolom Doric tersebut.
Diameter didapatkan sesuai kebutuhan beban dan tinggi bagian – bagian kolom
tersebut akan mengikuti diameter capital tersebut sehingga tercipta proporsi yang
indah.
2. Kolom Order Ionic
Gambar 2.47. Perbandingan Tinggi dan Lebar Kolom Ionic Sumber : Bentuk, Ruang, dan Tatanan
Dari gambar diatas dapat terlihat perbandingan lebar dan tinggi kolom Ionic,
dimana D (diameter) merupakan diameter capital dari kolom Ionic tersebut.
Diameter didapatkan sesuai kebutuhan beban dan tinggi bagian – bagian kolom
67
tersebut akan mengikuti diameter capital tersebut sehingga tercipta proporsi yang
indah.
3. Kolom Order Corinthian
Gambar 2.48. Perbandingan Tinggi dan Lebar Kolom Corinthian Sumber : Bentuk, Ruang, dan Tatanan
Dari gambar diatas dapat terlihat perbandingan lebar dan tinggi kolom
Corinthian, dimana D (diameter) merupakan diameter capital dari kolom Corinthian
tersebut. Diameter didapatkan sesuai kebutuhan beban dan tinggi bagian – bagian
kolom tersebut akan mengikuti diameter capital tersebut sehingga tercipta proporsi
yang indah.
2.7. Tinjauan lokasi tapak
2.7.1. Tinjauan terhadap peraturan bangunan di Kota Tua
Tapak terletak di daerah Taman Sari, yaitu berada di lingkungan cagar
budaya golongan III zona 2 (kawasan Fatahillah) kawasan cagar budaya Kota Tua.
Berdasarkan guidelines Kota Tua, 2007, kawasan lingkungan cagar budaya golongan
III merupakan golongan dimana bangunan di kawasan ini adalah bangunan bukan
cagar budaya.
Peruntukan makronya aalah untuk kegiatan campuran yang dapat berupa
hunian apartemen / hotel untuk masyarakat golongan menengah keatas yang
bercampur dengan fungsi komersial kantor, jasa, dan pendidikan terbatas
seperti pendidikan tinggi dan kursus – kursus. Peruntukan mikronya, khususnya
68
untuk pemanfaatan lantai atas adalah untuk kegiatan – kegiatan yang berdifat
semi – publik dan privat seperti hunian, perkantoran, dan pendidikan.
Bangunan - bangunan yang ada di tapak ini digunakan sebagai ruko dengan
jumlah lantai bangunan sekitar 3 - 4 lantai. Bentuk fasad bangunan tersebut juga
sudah mengalami pencampuran dan tidak mengikuti pola bentuk fisik lingkungan
sekitar tapak, tetapi bangunan cagar budaya dengan bentuk karakteristiknya yang
khas masih ada di sekitar tapak.
Untuk itu, penulis memilih untuk tidak mempertahankan bangunan yang ada
di atas tapak ini, karena bangunan – bangunan tersebut tidak memiliki ciri khas
karakteristik Kota Tua, dan tidak ada yang istimewa pada bangunan – bangunan
tersebut, serta pada lokasi ini memiliki berpotensi untuk mengubah bangunannya
menjadi langgam arsitektur kolonial.
2.7.2. Kriteria pemilihan tapak
Dasar - dasar pertimbangan pemilihan lokasi tapak adalah :
• Mencari tapak dikawasan golongan III pada zona inti Kota Tua (kawasan
Fatahillah).
• Memiliki lokasi yang strategis dan mudah di jangkau oleh tamu serta
potensial untuk menciptakan kegiatan komersil.
• Lokasi tersebut merupakan kawasan untuk komersil atau perdagangan yang
masih berpotensi untuk di kembangkan baik yang menurun vitalitasnya
maupun yang sudah maju.
• Dekat dengan objek wisata Kota Tua dan dalam jangkauan dekat dengan
stasiun kota dan halte busway dalam radius km.
• Berada dekat dengan jalan - jalan utama dengan kondisi jalan baik, cukup
lebar, dan tidak dekat dengan sumber kemacetan.
• Tapak memiliki 2 bukaan jalan sebagai strategi pemisah akses masuk dan
keluar bangunan serta sebagai akses masuk bagian servis.
69
2.7.3. Data tapak
Gambar 2.49. Lokasi Tapak Sumber : Google Map
• Lokasi tapak : Jalan Kemukus, Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Taman Sari,
Jakarta Barat 11110
• Luas tapak : 5000 m2
• Peruntukan lahan : Wdg (wisma perdagangan)
• Koefisien Dasar Bangunan (KDB) : 75% x 5000 = 3750 m2
• Koefisien Lantai Bangunan (KLB) : 3 x 5000 = 15000 m2
• Jumlah lantai maksimal : 4 lantai
• Garis Sepadan Bangunan (GSB) : 10 m (utara) dan 5m (barat)
70
Gambar 2.50. LRK Kecamatan Taman Sari Sumber : www.lrk.tatakota-jakartaku.net
• Batas tapak :
Gambar 2.51. Peta Lokasi Sumber : Google Map
Keterangan :
Utara tapak : Jl. Kunir, Jl. Kp. Bandan Raya, bangunan tua, kantor
Selatan tapak : Pemadam kebakaran dan kantor camat
Timur tapak : Kali Ciliwung dan pemukiman penduduk yang kumuh
Barat tapak : Jl. Kemukus, Museum Seni Rupa dan Keramik, pertokoan
• Aksesbilitas sekitar tapak :
71
Lokasinya yang strategis memudahkan menuju area ini dan tempat
lain karena terletak di kawasan inti Kota Tua sehingga mudah dicapai dan
dikenali oleh masyarakat. Kepadatan lalu lintas juga cukup baik karena jarang
terjadi kemacetan baik di hari libur maupun di hari kerja.
Untuk mencapai lokasi ini bisa menggunakan alternatif seperti
kendaraan pribadi, busway, taksi, bajaj, sepeda ontel, kereta api (stasiun
Beos), atau kendaraan umum dengan nomor dan rute kendaraan sebagai
berikut :
o M15 : Ancol - Tj. Priuk - Kp. Bandan
o M12 : Senen - Kota
o M08 : Tanah Abang - Kota
o U10 : Sunter - Mangga Dua
o M39 : Pademangan - Kota
o Kopami02 : Senen - Beos
o Kopaja86 : Lebak Bulus - Kota
Gambar 2.52. Aksesbilitas Tapak Sumber : Olahan Pribadi
• Bangunan sekitar tapak
72
Gambar 2.53. Bangunan Sekitar Tapak Sumber : Olahan Pribadi
• Deskripsi Tapak
Pada jaman pemerintahan Belanda, area ini merupakan batas pinggir
kota Batavia yang dibatasi oleh dinding benteng dan kali Ciliwung.
Sekarang dibangun kompleks ruko terdiri dari 3 blok dengan presentase
penggunaan yaitu:
o 40% ruko masih aktif digunakan untuk toko / kantor.
o 20% ruko digunakan sebagai tempat tinggal.
o 40% ruko kosong/tidak terawat / ingin dijual.
Gambar 2.54. Bangunan Diatas Tapak Sumber : Dokumentasi Pribadi