tinjauan pustaka karakteristik tanaman sorgum taksonomi … · berkas yang keduanya dimanfaatkan...
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Tanaman Sorgum
Taksonomi Sorgum
Sorgum mempunyai nama umum yang beragam, yaitu sorghum di Amerika
Serikat dan Australia, durra di Afrika, jowar di India, bachanta di Ethiopia (FAO,
2007), dan cantel di Jawa (Hoeman, 2007). Dalam sistem taksonomi tumbuhan,
sorgum termasuk Divisi Angiospermae yaitu jenis tumbuhan dengan biji tertutup;
Kelas Monocotyledoneae yaitu jenis tumbuhan yang mempunyai biji berkeping
satu dengan Sub-kelas Liliopsida; Ordo Poales yang dicirikan melalui bentuk
tanaman terna dengan siklus hidup bersifat annual atau semusim; Famili Poaceae
atau Gramineae yaitu tumbuhan jenis rumput-rumputan dengan karakteristik
batang berbentuk silinder dengan buku-buku yang jelas; dan Genus Sorghum
(Tjitrosoepomo, 2000).
Tanaman sorgum setidaknya memiliki 30 spesies, namun yang sangat umum
dibudidayakan meliputi tiga spesies, yaitu Sorghum helepense (L.) Pers., Sorghum
propinquum (Kunth) Hitchc., dan Sorghum bicolor (L.) Moench. (De Wet et al.,
1970 dalam House, 1985). Dari ketiga spesies tersebut yang sangat populer dan
menjadi tanaman komersial di dunia adalah S. bicolor (L.) Moench. Penyebaran
spesies ini meliputi seluruh dunia yang dikembangkan sebagai tanaman pangan,
pakan ternak, dan bahan baku berbagai industri (House, 1985).
Berdasarkan pada tipe spikelet (bentuk bulir), S. bicolor dibagi menjadi 5 ras
dasar, yaitu bicolor, guinea, caudatum, kafir, dan durra. Karakteristik ras bicolor
yaitu bentuk bulir panjang hampir menyerupai bulir padi, guinea bentuk bulirnya
bulat dengan posisi menapak secara dorso-ventral, caudatum bentuk bulir tidak
simetris, kafir bentuk bulir mendekati simetris, sedangkan durra bentuk bulirnya
bulat pada bagian atas dengan bagian dasar menyempit. Selain lima ras dasar
tersebut terdapat 10 ras hibrida hasil persilangan antara dua ras dasar (Harland dan
De Wet, 1972 dalam House, 1985). Ras hibrida yang dikembangkan di Amerika
Serikat telah menjadikan negara ini sebagai produsen dan eksportir sorgum
terbesar di dunia dengan produksi rata-rata 17,50 juta ton/tahun, sedangkan total
produksi sorgum dunia berkisar 63,90 juta ton/ tahun (FAO-ICRISAT, 1996).
9
Morfologi Sorgum
Sebagai tanaman yang termasuk kelas monokotiledone, sorgum mempunyai
sistem perakaran serabut. Akar primer tumbuh pada saat proses perkecambahan
berlangsung dan seiring dengan proses pertumbuhan tanaman muncul akar
sekunder pada ruas pertama. Akar sekunder kemudian berkembang secara
ekstensif yang diikuti matinya akar primer. Pada tahap selanjutnya, akar sekunder
inilah yang kemudian berfungsi untuk menyerap air dan unsur hara serta
memperkokoh tegaknya batang. Keunggulan sistem perakaran pada tanaman
sorgum yaitu sanggup menopang pertumbuhan dan perkembangan tanaman ratun
(ratoon) hingga dua atau tiga kali lebih dengan akar yang sama (House, 1985).
Tanaman sorgum mempunyai batang yang merupakan rangkain berseri dari
ruas (internodes) dan buku (nodes). Bentuk batangnya silinder dengan ukuran
diameter batang pada bagian pangkal antara 0,5-5,0 cm. Tinggi batang tanaman
sorgum bervariasi yaitu antara 0,5-4,0 m tergantung pada varietas (House, 1985).
Tinggi batang sorgum manis yang dikembangkan di China dapat mencapai 5 m,
dan struktur tanaman yang tinggi sangat ideal dikembangkan untuk pakan ternak
dan penghasil gula (FAO, 2002). Pada beberapa varietas sorgum batangnya dapat
menghasilkan tunas baru membentuk percabangan atau anakan dan dapat tumbuh
menjadi individu baru selain batang utama (Steenis, 1975 dalam House, 1985).
Sorgum mempunyai daun berbentuk seperti pita sebagaimana jagung atau
padi dengan struktur daun terdiri atas helai daun dan tangkai daun. Posisi daun
terdistribusi secara berlawanan sepanjang batang dengan pangkal daun menempel
pada nodes. Daun sorgum rata-rata panjangnya satu meter dengan penyimpangan
lebih kuran 10-15 cm (House, 1985). Jumlah daun bervariasi antara 13-40 helai
tergantung varietas (Martin, 1970), namun Gardner et al. (1991) menyebutkan
bahwa jumlah daun sorgum berkisar antara 7-14 helai.
Daun sangat penting sebagai organ fotosintesis yang merupakan produsen
utama fotosintat sehingga dapat dijadikan sebagai indikator pertumbuhan terutama
untuk menjelaskan proses pembentukan biomassa (Sitompul dan Guritno, 1995).
Hasil penelitian Bullard dan York (1985) menunjukkan bahwa banyaknya daun
tanaman sorgum berkorelasi tinggi dengan panjang periode vegetatif yang
dibuktikan oleh setiap penambahan satu helai daun memerlukan waktu sekitar 3-4
10
hari. Freeman (1970) menyebutkan bahwa tanaman sorgum juga mempunyai
daun bendera (leaf blades) yang muncul paling akhir, yaitu bersamaan dengan
inisiasi malai. Daun bendera muda bentuknya kaku dan tegak dan sangat penting
artinya sebagai pintu transportasi fotosintat.
Sorgum termasuk tanaman menyerbuk sendiri (self pollination), dimana
pada setiap malai terdapat bunga jantan dan bunga betina yang letaknya terpisah.
Proses penyerbukan dan fertilisasi terjadi apabila glume atau sekam dari masing-
masing bunga membuka. Karena proses membukanya glume antara bunga jantan
dan bunga betina tidak selalu bersamaan, maka pollen dapat viable untuk jangka
waktu 10-15 hari (House, 1985).
Malai tanaman sorgum beragam tergantung varietas dan dapat dibedakan
berdasarkan posisi, kerapatan, dan bentuk. Berdasarkan posisi, malai sorgum ada
yang tegak, miring dan melengkung; berdasarkan kerapatan, malai sorgum ada
yang kompak, longgar, dan intermediate; dan berdasarkan pada bentuk malai ada
yang oval, silinder, elip, seperti seruling, dan kerucut (Martin, 1970).
Fisiologi Sorgum
Sorgum sebagaimana tebu dan jagung digolongkan sebagai tanaman C-4,
yaitu spesies tanaman yang menghasilkan asam empat karbon (asam malat dan
aspartat) sebagai produk utama awal penambatan CO2. Tanaman jenis ini dikenal
sangat efisien dalam fotosintesis karena mempunyai sel mesofil dan sel seludang
berkas yang keduanya dimanfaatkan untuk menambat CO2. Produk metabolisme
hasil penambatan CO2 pada sel mesofil adalah asam malat dan asam aspartat,
sedangkan pada sel seludang berkas adalah 3-phosphoglycerate acid (3-PGA),
sukrosa, dan pati (Salisbury dan Ross, 1995).
Tingginya produktivitas tanaman C-4 dibandingkan tanaman C-3 karena
pada tanaman C-4 kedua sistem penambatan CO2 yaitu melalui mekanisme sel
mesofil dan sel seludang berkas saling bahu membahu untuk menghasilkan
produk akhir fotosintesis. Produk berupa asam malat dan asam aspartat yang
dihasilkan oleh sel mesofil dengan cepat ditransfer ke sel seludang berkas, dan
pada sel ini asam empat karbon tersebut mengalami dekarboksilasi dengan
melepaskan CO2 yang kemudian ditambat oleh Rubisco untuk dirubah menjadi 3-
PGA. Selain mekanisme tersebut, sel seludang berkas tanaman C-4 secara
11
anatomi lebih tebal dibandingkan sel seludang berkas tanaman C-3 sehingga lebih
banyak mengandung kloroplas, mitokondria, dan organel lain yang berperan
sangat penting dalam proses fotosintesis (Salisbury dan Ross, 1995; Orsenigo et
al., 1997; Taiz dan Zeiger, 2002).
Karakteristik tanaman C-4 yaitu pada penyinaran tinggi dan suhu panas
tanaman ini mampu berfotosintesis lebih cepat sehingga menghasilkan biomassa
yang lebih banyak dibandingkan tanaman C-3 (Salisbury dan Ross, 1995). Selain
sebagai tanaman C-4, tingginya produktivitas tanaman sorgum juga didukung oleh
fakta bahwa permukaan daunnya dilapisi oleh lilin yang dapat mengurangi laju
transpirasi dan mempunyai sistem perakaran yang ekstensif. Kedua faktor ini
menjadikan sorgum sangat efisien dan efektif dalam pemanfaatan air (House,
1985), sehingga produktivitas biomassa sorgum lebih tinggi dibandingkan jagung
atau tebu yang sama-sama tanaman C-4 (Hoeman, 2007).
Keunggulan proses fisiologi tanaman sorgum lainnya adalah memiliki gen
pengendali untuk berada dalam kondisi stay-green sejak fase pengisisan biji.
Fenomena stay-green ini berhubungan dengan kandungan nitrogen daun spesifik
(specific leaf nitrogen) yang lebih tinggi sehingga mampu meningkatkan efisiensi
penggunaan radiasi dan transpirasi (Borrel et al., 2005). Fisiologi stay-green pada
akhirnya mampu memperlambat proses senescen pada daun (Mahalakshmi dan
Bidinger, 2002) sehingga tanaman sorgum mampu mengelola batang dan daunnya
tetap hijau walaupun pasokan air sangat terbatas (Borrel et al., 2006).
Kemampuan sorgum beradaptasi pada kondisi kekeringan tidak terlepas dari
karakter morfologi dan fisiologi di atas, sehingga sorgum dikenal sebagai tanaman
yang toleran terhadap kekeringan. Beberapa karakter penting yang terdapat pada
tanaman sorgum menurut SFSA (2003) adalah: (1) menghasilkan akar yang lebih
banyak dibandingkan tanaman serealia lainnya, (2) daun mempunyai lapisan lilin
dan kemampuan menggulung sehingga meningkatkan efisiensi transpirasi, (3)
dapat dorman selama kekeringan dan tumbuh kembali ketika kondisi favorable,
(4) tanaman bagian atas (tajuk) akan tumbuh hanya setelah sistem perakaran
berkembang dengan baik, (5) mampu berkompetisi dengan bermacam-macam
jenis gulma, dan (6) mempunyai laju fotosintesis yang lebih tinggi dibandingkan
tanaman serealia lainnya.
12
Sorgum sebagai Sumber Pangan dan Bahan Baku Bioetanol
Sumber Pangan
Sorgum termasuk tanaman serealia penting di dunia yang ditunjukkan oleh
luas areal tanam, produksi dan kegunaannya yang menduduki peringkat kelima
setelah gandum, padi, jagung, dan barley (Martin, 1970; Doherty et al., 1981;
House, 1985; Tribe 2007). Di negara yang beriklim panas, seperti beberapa
negara Afrika, Asia Selatan, dan Amerika Tengah, sorgum dijadikan sebagai
bahan pangan utama (House, 1985; Green Car Congress, 2009). Sebagai sumber
pangan di wilayah Afrika, sorgum dikonsumsi lebih dari 300 juta penduduknya
(Mogusu, 2005; Gudu et al., 2009) dan umumnya dikonsumsi dalam bentuk
produk olahan tepung atau pasta (Obilana, 1981). Produk olahan tepung lebih
menguntungkan karena praktis serta mudah diolah menjadi berbagai produk
makanan (Suarni, 2004). Produk olahan sorgum diantaranya adalah roti, bubur,
bahan minuman termasuk sirup dan bir, serta gula atau jaggery (Rajvanshi dan
Nimbkar, 2005).
Banyaknya ragam makanan yang dapat dihasilkan oleh sorgum menjadikan
tanaman ini sebagai serealia penting dan sangat potensial untuk program
diversifikasi pangan, terutama di negara yang mengalami penurunan produksi
bahan pangan utama seperti Indonesia. Menurut data Survei Sosial Ekonomi
Nasional yang dikutip oleh Khomsan (2006), konsumsi beras orang Indonesia
rata-rata 120-130 kg/kapita/tahun. Apabila konsumsi beras ini dapat diturunkan
menjadi 100 kg/kapita/tahun melalui program diversifikasi pangan, maka akan
menurunkan permintaan beras nasional setara dengan 4,3 juta ton/tahun.
Berkaitan dengan program diversifikasi pangan di Indonesia, sorgum
merupakan serealia yang paling potensial digunakan sebagai substitusi beras
karena kandungan gizinya setara (Sirappa, 2003; Suarni, 2004), produktivitas
bijinya tinggi (Dirjen Tanaman Pangan, 2007), dan secara genetik tanaman
sorgum mampu tumbuh pada agroekologi yang panas dan kering dimana tanaman
serealia lain sulit tumbuh (FAO-ICRISAT, 1996). Sorgum sangat berpeluang
untuk dikembangkan menjadi pangan premium karena keunggulannya, seperti
kandungan glutennya yang sangat rendah (glutenous free food) dan indek
13
glikemiknya yang juga rendah (low glicemiks index) sehingga sangat sesuai untuk
konsumen dengan kebutuhan gizi khusus (Sungkono et al., 2009).
Keunggulan sorgum sebagai sumber pangan telah menarik minat Bill and
Melinda Gates Foundation yang dipimpin oleh Bill Gates memberikan hibah
sebesar US$ 16.9 juta kepada Africa Harvest Biotech Foundation di Kenya pada
tahun 2005. Program ini bertujuan mengembangkan varietas sorgum yang
mempunyai level vitamin, mineral, dan protein tinggi dalam rangka perbaikan gizi
masyarakat di negara miskin (Mogusu, 2005). Saat ini di seluruh dunia terdapat
lebih dari 170 juta anak usia prasekolah berada pada status gizi buruk yang
sebarannya terbanyak di negara-negara miskin dan berkembang yang mempunyai
masalah dengan pangannya (Wattimena, 2005). Sorgum dapat menjadi solusi
masalah pangan bagi masyarakat miskin yang kesulitan modal usaha karena
dalam budidayanya hanya membutuhkan sedikit input produksi (Hoeman, 2007).
Bahan Baku Bioetanol
Dunia saat ini sangat tergantung pada minyak bumi sebagai sumber energi,
padahal minyak bumi berbahan baku fosil suatu ketika cadangannya akan habis
dan tidak dapat diperbaharui. Berbagai sumber energi alternatif dicari untuk
menggantikan atau sebagai campuran terhadap energi fosil, dan yang paling
potensial adalah energi yang dihasilkan oleh tanaman yang dapat dikonversi
menjadi bahan bakar nabati (biofuel). Alasan penggunaan bahan bakar nabati
sebagai pengganti atau campuran bahan bakar fosil adalah sumber bahan bakunya
mudah diperoleh, dapat diproduksi secara massal, dan renewable (Grassi-EUBIA,
2005; Widodo, 2006).
Sorgum manis (sweet sorghum) memenuhi persyaratan sebagai bahan baku
bioetanol karena dapat tumbuh dalam berbagai agroekologi, lebih tahan terhadap
hama dan penyakit, dan memerlukan input produksi yang relatif lebih sedikit
dibandingkan tanaman penghasil bioetanol lain (Hoeman, 2007). Sorgum manis
produksi biomassanya tinggi karena mempunyai efisiensi fotosintesis yang tinggi
yaitu 2,5% sama dengan tebu, namun pada beberapa jam tertentu dalam siklus
harian, sorgum manis mempunyai efisiensi fotosintesis maksimum yang mencapai
27% (Grassi-EUBIA, 2005). Efisiensi fotosintesis yang tinggi menjadikan
14
produktivitas bioetanol dari sorgum manis lebih tinggi dibandingkan gula bit,
tebu, ubi kayu dan jagung yang selama ini dijadikan sebagai bahan baku utama
bioetanol (Global Petroleum Club, 2007).
Tingginya produktivitas bioetanol dari sorgum manis setidaknya didukung
oleh dua faktor utama, yaitu 1) produktivitas tanaman (biomassa) di lapang tinggi.
Produktivitas sorgum manis hibrida varietas NTJ-2 yang dibudidayakan di India
mampu menghasilkan batang 53 ton/ha dan nira (juice) sebanyak 28.000 liter/ha;
dan 2) kandungan gula dan efisiensi fermentasi tinggi. Kandungan gula dari nira
batang sorgum manis antara 16-23% Brix (≈ total sugar 14-21%), dengan
efisiensi fermentasi berkisar antara 90-92% (Reddy dan Dar, 2007). Hasil kajian
B2TP, BPPT Lampung yang dikemukakan oleh Abdurrahman (2007, konsultasi
pribadi) menunjukkan bahwa produksi bioetanol dari sorgum manis berbanding
lurus dengan total sugar, sedangkan produksi bioetanol dari ubi kayu berbanding
lurus dengan reducing sugar.
Sebagai bahan baku bioetanol, sorgum manis tidak berkompetisi dengan
tanaman pangan maupun pakan ternak. Beberapa alasan yang mendukung hal ini
diantaranya adalah secara botani sebagian besar bioetanol dihasilkan oleh batang,
sedangkan bijinya dapat diproses menjadi bioetanol atau untuk bahan pangan dan
pakan ternak. Manfaat ganda seperti ini menjadikan sorgum manis sebagai
tanaman yang mampu memenuhi kebutuhan pangan, pakan ternak, dan energi
dalam satu dimensi ruang dan waktu (Rajvanshi, 1989; Yudiarto, 2006).
Keunggulan sorgum manis sebagai bahan baku bioetanol telah menjadikan
beberapa negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Brazil, Afrika, dan Cina
memberikan perhatian yang tinggi dan telah mengembangkannya dalam skala
industri (Grassi, 2001). Di Amerika Serikat sorgum manis sebagai penghasil
bioetanol, diantaranya diteliti dan dikembangkan oleh Universitas Oklahoma
melalui Food and Agriculture Products Center Oklahoma State University. Selain
itu India dan Philipina juga sedang mengembangkan industri bioetanol berbasis
sorgum manis (Reddy dan Dar, 2007).
Industri dan Pasar Bioetanol
Pemanfaatan bioetanol sebagai sumber energi memberikan manfaat yang
besar dari aspek lingkungan. Emisi gas buang dari anhydrous ethanol lebih bersih
15
dibandingkan emisi gas buang energi fosil sehingga bahan bakar ini bersifat
ramah lingkungan (Reddy dan Dar, 2007). Hal ini disebabkan anhydrous ethanol
mempunyai nilai oktan yang lebih tinggi dibandingkan bahan bakar fosil yaitu
sekitar 116-120 sehingga mampu menghasilkan pembakaran yang sempurna dan
mengurangi polusi (Abatiell et al., 2003; ICSC, 2007; American Coalition for
Ethanol, 2007; Biomass Conversion Committe of CAREI, 2006). Penggunaan
bioetanol terbukti mengurangi polusi terhadap lingkungan melalui berkurangnya
emisi gas rumah kaca hingga 12% (Reddy dan Dar, 2007) sehingga permintaan
dunia terhadap sumber energi ini terus meningkat.
Konsumsi bioenergi dunia yang terus meningkat menyebabkan industri
bioetanol berkembang pesat. Uni Eropa pada tahun 2001 mengkonsumsi energi
fosil sebesar 1.486 MTOE (Million of Tonnes Oil Equivalent) dan energi biomass
sebesar 57 MTOE. Konsumsi energi biomass Uni Eropa terus meningkat, yaitu
135 MTOE pada tahun 2010, 200 MTOE pada tahun 2020, dan 500-600 MTOE
pada tahun 2050 (Grassi-EUBIA, 2005). Dimulai tahun 2006/2007, dunia akan
memproduksi bioetanol sebanyak 17 milyar liter (≈ 17 juta ton) yang akan
digunakan untuk bahan bakar kendaraan (http://en.wikipedia.org/wiki/Ethanol-
fuel, 2007). Hal ini membuka peluang untuk berkembangnya industri bioetanol
dalam skala luas yang berarti membutuhkan bahan baku dalam jumlah yang
sangat banyak. Tingginya produktivitas bioetanol dari sorgum manis menjadikan
tanaman ini secara teknis mempunyai peluang paling besar untuk dikembangkan.
Pada skala industri, efisiensi sorgum manis dibandingkan tanaman lain
sebagai bahan baku bioetanol dibuktikan pada biaya produksi dan harga bioetanol
di pasaran dunia. Menurut Grassi-EUBIA (2005), biaya produksi bioetanol di
Eropa dengan bahan baku konvensional seperti gandum, jagung, dan gula bit
mencapai 400-500 €/ton (€=pounsterling), sedangkan jika menggunakan sorgum
manis biaya produksinya hanya berkisar 250 €/ton. Prospek pasar bioetanol
sangat menjanjikan karena harga bioetanol di pasaran dunia pada tahun 2005
mencapai 500 €/ton di Amerika Serikat, dan 590 €/ton di Eropa. Reddy dan Dar
(2007) mengungkapkan bahwa industri bioetanol berbasis sorgum manis sangat
efisien karena perbandingan input energi dan energi yang dihasilkan 1:8 sehingga
sangat visible untuk dikembangkan dalam skala industri.
16
Produksi bioetanol dunia sampai saat ini didominasi oleh Amerika Serikat
dengan produksi sekitar 12 MTOE, kemudian disusul Brazil dengan produksi
sekitar 10 MTOE. Negara ketiga yang potensial sebagai produsen bioetanol dunia
berdasarkan kondisi sumber daya alam adalah Indonesia (Henry, 2009). Indonesia
merupakan negara tropis sehingga tidak terdapat hambatan berarti dari sisi iklim
dan keanekaragaman hayati, serta mempunyai lahan yang luas. Hal ini disebabkan
industri bioetanol sangat tergantung pada efisiensi tanaman mengkonversi energi
sinar matahari menjadi energi biomassa. Selain faktor sumber daya alam, yang
diperlukan Indonesia agar menjadi produsen bioetanol dunia adalah: 1) adanya
dorongan, insentif, dan regulasi dari pemerintah terhadap swasta untuk mengelola
industri bioetanol; 2) riset yang intensif dari hulu sampai hilir; dan 3) penerapan
tataniaga bioetanol yang kreatif, seperti tax insentive untuk konsumen atau
mandatory obligation untuk penjual bahan bakar.
Tanah Masam: Potensi, Masalah dan Peluang
Salah satu bentuk lahan marjinal yang sebarannya paling luas di dunia dan
juga di Indonesia adalah tanah masam. Sanchez dan Salinas (1981) dalam Ma
(2005) mendeskripsikan luas tanah masam di dunia mencapai 1,6 milyar hektar
dan tersebar di berbagai benua, meliputi 55% luas tanah tropis Amerika, 39% luas
tanah tropis Afrika, dan 37% luas tanah tropis Asia. Luas tanah masam di
Indonesia berupa lahan kering mencapai 99,5 juta hektar dan tersebar di Papua,
Kalimantan, dan Sumatera (Hidayat dan Mulyani, 2002). Tanah masam menjadi
faktor pembatas produktivitas tanaman karena adanya cekaman abiotik yang
komplek, seperti toksisitas aluminium, besi dan mangan, serta defisiensi fosfor,
kalsium, dan magnesium (Kochian, 1995; Maschner, 1995; Akhter et al., 2009).
Aluminium, terutama dalam bentuk ion Al+3 dapat menjadi racun bagi
tanaman karena aktivitasnya menyebabkan proses pembelahan dan pemanjangan
sel-sel akar terganggu sehingga pertumbuhan akar menjadi terhambat (Marschner,
1995; Ma, 2000; Kochian et al., 2004). Terhambatnya pertumbuhan akar tersebut
menyebabkan sistem perakaran menjadi pendek dan tidak berkembang yang
menyebabkan tanaman mengalami kesulitan dalam menyerap unsur hara dan air
17
(Kochian et al., 2004; Ma et al., 2005). Kondisi ini menyebabkan tanaman
tumbuh kerdil dan produktivitasnya menurun.
Konsentrasi ion Al yang tinggi pada daerah rizosfir juga menyebabkan
tanaman mengalami defisiensi unsur hara terutama P karena diikat oleh ion Al+3
membentuk senyawa khelat Al-fosfat yang tidak larut dalam air (Ae dan Shen,
2002). Selain itu, mobilitas ion Al yang tinggi pada apoplas sel akar juga menjadi
kompetitor utama bagi beberapa kation polivalen seperti Mg+2, Ca+2, Zn+2, dan
Mn+2 sehingga kandungannya di dalam tanaman menjadi berkurang yang
mengakibatkan tanaman mengalami defisiensi unsur tersebut (Marschner, 1995).
Kemasaman tanah yang berpotensi meningkatkan konsentrasi Al dapat
terjadi secara alamiah maupun akibat praktek budidaya tanaman. Secara alamiah
curah hujan yang tinggi menyebabkan tercucinya kation-kation basa yaitu Ca+2,
Mg+2, K+, dan Na+ dari komplek jerapan tanah. Selanjutnya komplek jerapan
tersebut diisi oleh kation-kation asam yaitu H+ dan Al+3 yang menyebabkan tanah
menjadi bereaksi masam. Proses pemasaman tanah seperti ini banyak terjadi di
daerah tropis yang mempunyai curah hujan dan suhu tinggi. Suhu tinggi dalam
proses ini mempercepat laju pelapukan tanah (Hardjowigeno, 1985).
Proses pemasaman tanah akibat praktek budidaya tanaman terjadi karena
pemupukan yang berlangsung secara intensif seperti yang dilakukan oleh negara-
negara maju sehingga terjadi deposit nitrogen (NO2-) yang kronik (Kelly et al.,
2005) atau akibat pemupukan dengan asam sulfur seperti yang terjadi di China
(Bi, 2003). Tanah yang bereaksi masam banyak didominasi oleh ion-ion Al dan
Fe sehingga berpeluang meracuni tanaman dan menjadi faktor pembatas utama
produktivitas tanaman di daerah tersebut (Kochian, 1995; Ma, 2000).
Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengurangi toksisitas Al sehingga
dapat meningkatkan produktivitas tanaman di tanah masam. Salah satu upaya
yang sering dilakukan adalah memasukkan bahan pembenah tanah (ameliorasi)
berupa teknik pengapuran dan aplikasi pupuk P dosis tinggi. Pendekatan ini
dikenal sebagai pendekatan bermasukan tinggi (high input aproach), dan
kelemahannya adalah hanya berlangsung untuk jangka waktu singkat serta
memerlukan biaya yang tinggi sehingga sistem usahatani tidak sustainable
(Marschner, 1995; Sierra et al., 2005).
18
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk menghindari toksisitas Al dan
berlangsung untuk jangka waktu yang lama serta tidak memerlukan biaya tinggi
adalah penggunaan tanaman toleran Al (Goni et al., 1985; Sierra et al., 2005)
yang dikenal sebagai pendekatan bermasukan rendah atau low input aproach
(Marschner, 1995). Penggunaan tanaman toleran Al sangat menguntungkan baik
secara ekologis maupun ekonomis sehingga sistem usahatani dapat sustainable
(Zheng et al., 1998). Namun upaya mendapatkan tanaman toleran Al tidak mudah
karena titik kritis konsentrasi Al yang dapat meracuni tanaman mempunyai
rentang yang sangat lebar yaitu antara 1,8 µM sampai 150 µM tergantung jenis
tanaman dan varietas (Marschner, 1995).
Dalam menghadapi toksisitas Al, tanaman toleran Al dapat menempuh
mekanisme regulated separately yaitu toleransi yang bersifat terpisah dan berdiri
sendiri yang ditunjukkan oleh karakter tanaman yang hanya toleran terhadap Al
saja; atau menempuh mekanisme interrelated, yaitu saling terkait dengan karakter
efisien dalam memanfaatkan unsur P (Marschner, 1995). Hasil-hasil penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa tanaman toleran Al biasanya selalu diikuti
dengan efisiensi yang tinggi dalam memanfaatkan unsur P (Prasetiyono dan
Tasliah, 2003) sehingga mampu tumbuh dan berproduksi lebih baik dibandingkan
tanaman yang kurang efisien dalam memanfaatkan unsur P. Beberapa tanaman
pangan yang telah dilaporkan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap toksisitas
Al dan defisiensi P melalui mekanisme interrelated adalah jagung, sorgum, ubi
jalar (Tanaka, 1980), padi sawah IR-55178 (Hu et al., 2001), Lupinus albus
(Yan et al., 2002; Uhde-Stone et al., 2003), dan beberapa varietas padi gogo
seperti Gadih Anih, Cempo, Sibatung, Siputiah, dan Lembulut (Sopandie, 2006).
Sistem perakaran merupakan salah satu karakter yang dapat digunakan oleh
tanaman untuk mengurangi toksisitas Al dan meningkatkan kemampuan tanaman
dalam memanfaatkan unsur hara. Kim et al. (2001) melaporkan bahwa tanaman
gandum, triticale, dan rye yang toleran Al mempunyai sistem perakaran yang
lebih baik daripada tanaman yang peka terhadap Al. Hasil penelitian Ma et al.
(2002) menunjukkan bahwa tanaman padi toleran Al mempunyai perakaran yang
lebih panjang dan kandungan Al pada akar lebih rendah dibandingan tanaman
padi yang peka terhadap Al.
19
Toleransi Sorgum terhadap Cekaman Abiotik
Sorgum dikenal sebagai tanaman yang mempunyai daya adaptasi luas
terhadap berbagai kondisi agroekologi dan lahan marjinal. Daya adaptasi sorgum
terhadap kondisi agroekologi ditunjukkan oleh kemampuannya tumbuh baik pada
iklim kering sampai basah dengan rentang curah hujan dari 200-2.000 mm per
tahun, tahan pada altitude dataran rendah sampai 3.000 m di atas permukaan laut
(Mann et al., 1983), dan mampu tumbuh pada rentang wilayah dari posisi 40o LU
sampai 40o LS (SFSA, 2003). Sorgum mendapat julukan sebagai “tanaman onta”
karena daya adaptasinya yang tinggi terhadap iklim kering (FAO, 2002). Daya
adaptasi tanaman sorgum terhadap lahan marjinal dibuktikan oleh kemampuannya
tumbuh baik pada tanah dengan salinitas tinggi, tahan pada tanah alkalis dan
toleran terhadap genangan (FAO, 2002). Sorgum dari ras guinea merupakan
tanaman yang adaptif pada tanah yang miskin hara di Afrika Barat (Toure et al.,
2004). Di China tanaman sorgum dikembangkan di wilayah Huang Huai Hai yang
tanahnya banyak didominasi oleh tanah salin dan China Baratlaut dengan kondisi
tanah alkalin (FAO, 2002).
Tanaman sorgum pada umumnya sensitif terhadap tanah masam dengan
cekaman Al tinggi (Duncan et al., 1995; Anas dan Yoshida, 2000). Penelitian
untuk mendapatkan tanaman sorgum toleran tanah masam banyak dilakukan oleh
para peneliti di berbagai negara melalui program pemuliaan tanaman baik
konvensional maupun bioteknologi (Duncan et al., 1983; Miller et al., 1992;
Kalla, 2007). Magalhaes et al. (2004) melaporkan bahwa toleransi tanaman
sorgum terhadap Al dikendalikan oleh gen mayor tunggal yang diidentifikasi
sebagai gen Alt-SB. Pada konsentrasi 27 µM Al+3 (≈148 µM Al) akar tanaman
sorgum toleran Al mempunyai laju pertumbuhan akar relatif 40-70% sedangkan
tanaman sensitif Al 5-15%. Hasil persilangan antara tanaman sorgum toleran Al
SC283 (PAR 52,6%) dengan tanaman peka BR007 (PAR 8,7%) menghasilkan
tanaman dengan PAR 30,6%.
Pemuliaan Tanaman melalui Teknik Mutasi
Seleksi adalah salah satu tahapan yang sangat penting dalam program
pemuliaan tanaman untuk mendapatkan tanaman yang lebih baik sesuai dengan
yang dikehendaki. Seleksi akan efektif apabila dilakukan pada populasi yang
20
mempunyai keragaman genetik tinggi. Salah satu cara untuk meningkatkan
keragaman genetik tanaman adalah melalui teknik mutasi (Till, 2009). Mutasi
adalah terjadinya perubahan genetik pada gen tunggal, sejumlah gen, atau susunan
kromosom (Poespodarsono, 1988). Pemuliaan mutasi adalah penggunaan induksi
mutasi dalam program pemuliaan tanaman untuk mengembangkan varietas yang
lebih baik (Chahal dan Gosal, 2003). Bagian tanaman yang sering menjadi target
mutasi adalah bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan, seperti tunas
dan biji (Poespodarsono, 1988).
Pada tanaman tingkat tinggi, penyebab terjadinya mutasi atau mutagen dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu transposon, kimia, dan radiasi. Transposon
adalah jenis mutasi yang disebabkan oleh adanya lompatan gen (jumping genes),
yaitu suatu sequen DNA yang bergerak secara acak melalui genom tanaman.
Transposon dapat dimasukkan ke dalam dan mempengaruhi fungsi gen dan
pengaruhnya hanya dapat diukur pada fenotipe. Transposon hanya dapat terjadi
pada jenis tanaman tertentu (Till, 2009). Contoh mutagenis dengan teknik
transposon adalah disisipkannya gen kanamisin resisten dalam Escherichia coli
(donor) ke dalam genom Pseudomonas sp. (resipien) secara diparental mating
untuk memacu produksi auksin (Panjaitan et al., 2007).
Tidak seperti transposons, mutasi yang disebabkan oleh mutagen kimia atau
fisika dapat diaplikasikan pada semua jenis tanaman. Efek mutasi dapat dideteksi
pada level gen atau genotipe melalui analisis kandidat gen. Mutagen kimia yang
sering digunakan pada pemuliaan tanaman mutasi adalah ethyl methanesulphonat
(EMS) dan sodium azide (Till, 2009), walaupun terdapat mutagen kimia lain
seperti diethyl sulphate (DES), methyl nitroso urea (MNH), ethyl nitroso urea
(ENH), dan ethyleneimine (Chahal dan Gosal, 2003). Laju mutasi sodium azide
lebih tinggi daripada EMS dan produk mutasi akibat sodium azide mempunyai
tingkat kesuburan (fertilitas) yang tinggi (IAEA, 2009).
Mutagen terakhir yang sering digunakan dalam program pemuliaan tanaman
mutasi adalah mutagen fisika melalui radiasi. Sesuai dengan sifatnya bahwa
secara alamiah cahaya terdiri dari gelombang elektromagnetik dan partikel,
sehingga penyebab mutasi pada tanaman juga dapat disebabkan oleh gelombang
elektromagnetik maupun partikel. Mutagen yang tergolong radiasi gelombang
21
elektromagnetik adalah sinar ultraviolet (UV), sinar gamma dan sinar-X yang
dibedakan berdasarkan panjang gelombang. Sinar gamma mempunyai panjang
gelombang yang lebih pendek daripada sinar-X maupun UV sehingga energinya
lebih besar. Radiasi oleh partikel cahaya disebabkan oleh pergerakan partikel sub-
atom yaitu elektron (β-particles), proton (α-particles) dan neutron. Pada
prakteknya, radiasi gelombang elektromagnetik maupun radiasi oleh partikel
cahaya berinteraksi mempengaruhi materi mutasi (IAEA, 2009).
Mutasi yang disebabkan oleh partikel cahaya, baik β-particles, α-particles,
maupun neutron penggunaannya sangat terbatas karena kemampuan penetrasi
lemah sehingga sering terjadi kontaminasi oleh gelombang elektromagnetik
seperti sinar gamma. Penggunaan UV sebagai mutagen fisika pada tanaman juga
sangat terbatas, karena energi yang ditimbulkan sangat rendah sehingga terjadi
kesulitan penetrasi pada jaringan tanaman. Pada program pemuliaan tanaman
melalui teknik mutasi, sinar gamma menjadi pilihan yang terbaik karena
mempunyai panjang gelombang yang sangat pendek sehingga energinya tinggi.
Sumber sinar gamma antara lain adalah Cobalt-60 (60Co) dan Ceasium-137
(137Cs). Ceasium-137 mempunyai waktu paruh (half life) yang lebih panjang
yaitu 33 tahun dibandingkan Cobalt-60 yang hanya 5,3 tahun (IAEA, 2009).
Galur mutan sorgum yang digunakan pada penelitian ini sebagian besar
adalah hasil mutasi fisika melalui radiasi sinar gamma yang telah dilakukan oleh
PATIR-BATAN, dan beberapa galur merupakan hasil persilangan sesama mutan.
Benih sorgum varietas Durra dari ICRISAT (tanaman induk) dengan kadar air
12% diiradiasi dengan sinar gamma pada rentang dosis optimum 300-500 Gray
(Hoeman, 2007). Secara teknis, radiasi sinar gamma yang menghasilkan foton
tinggi dapat menyebabkan terjadinya ionisasi dan eksitasi pada materi yang
dilaluinya. Jika suatu molekul menyerap energi ionisasi maka molekul tersebut
menjadi reaktif serta membentuk ion dan radikal bebas yang bereaksi membentuk
produk radiolitik yang stabil (Sardjono dan Sumampaouw, 2006).
Benih sorgum yang diiradiasi dengan sinar gamma mengalami perubahan
susunan DNA dan menjadi produk radiolitik yang telah mengalami perubahan
genotipe dan bersifat stabil. Perubahan genotipe akan menyebabkan terjadinya
perubahan fenotipe, dan sifat ini dapat diturunkan pada generasi berikutnya.
22
Olson (1998) menyatakan bahwa radiasi pada dosis 1 kGy akan memecah kurang
dari 10 ikatan kimia untuk setiap 10 juta ikatan kimia yang ada. Walaupun
persentasi ikatan kimia yang dipecah kecil, namun efek yang dihasilkan sangat
dramatis. Pecahnya ikatan DNA menyebabkan terjadinya perubahan ekspresi gen
yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan pada fenotipe tanaman.
Salah satu hal yang sangat penting dalam teknik mutasi fisika dengan
iradiasi dan sangat berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan mutasi adalah dosis
radiasi. Satuan dosis radiasi yang diaplikasikan pada bahan mutan disebut rad
(radiation absorbed dose), yaitu besarnya energi yang diserap per satuan massa.
Dalam pemuliaan tanaman dengan teknik mutasi satuan tersebut lebih populer
dengan istilah Gray (Gy). Nilai 1 Gray = 100 rad, 1 kR = 10 Gy dan besarnya
energi yang dihasilkan 1 rad = 10-2 joule/kg (Chahal dan Gosal, 2003). Pada
tanaman sorgum, dosis radiasi optimum yang digunakan untuk membuat produk
mutan dari benih sorgum berkisar antara 300-500 Gray (Hoeman, 2007).
Participatory Plant Breeding
Pengertian dan Tujuan
Participatory Plant Breeding (PPB) adalah suatu metode pemuliaan
tanaman sebagai alternatif dari Formal Plant Breeding (FPB). Menjadi alternatif
karena terdapat beberapa prinsip yang tidak terdapat pada FPB yang dilaksanakan
secara terpusat pada kondisi lingkungan yang terkontrol dan hanya melibatkan
pemulia. Hasil dari FPB umumnya untuk sistem budidaya dengan adaptasi luas
dan bersifat massal (PRGA, 2007) pada suatu hamparan wilayah yang relatif
homogen dan tanpa kendala cekaman yang berarti. Pada kondisi lingkungan yang
bercekaman, misalnya cekaman abiotik berupa tanah masam yang mempunyai
faktor pembatas berupa toksisitas Al, Fe, dan defisiensi hara, maka produk FPB
tidak akan mampu memberikan hasil yang maksimal. Untuk kondisi lingkungan
bercekaman, hanya produk hasil pemuliaan pada lingkungan target yang dapat
memberikan hasil lebih baik. Sistem pemuliaan seperti ini dikenal sebagai
Participatory Plant Breeding yaitu sistem pemuliaan tanaman yang melibatkan
peneliti, petani, dan stakeholders lain seperti konsumen, penyuluh, industri, dan
kelompok tani (Sperling et al., 2001).
23
Praktek PPB di Indonesia menjadi sangat penting karena lahan pertaniannya
banyak didominasi oleh tanah marjinal dengan kepemilikan lahan yang sempit.
Pendekatan ini akan menghasilkan genotipe tanaman dengan karakteristik yang
sesuai dengan preferensi partisipan (PRGA, 2007) dan adaptif pada kondisi
lingkungan terget sehingga produktivitas tanaman dapat ditingkatkan. Menurut
Sperling et al. (2001), keunggulan lain dari program PPB adalah adanya umpan
balik dari petani yang sangat memahami kondisi lingkungannya dan seleksi
genotipe terpilih langsung oleh petani sesuai dengan preferensinya, sehingga
diperoleh galur tanaman yang sesuai di tingkat usaha tani mereka.
Pengembangan tanaman sorgum dengan metode PPB di Indonesia sangat
tepat bukan hanya karena dikembangkan pada lahan marjinal, namun sorgum di
Indonesia belum populer dan tidak komersial. Untuk meningkatkan popularitas
dan menjadikan sorgum mempunyai nilai ekonomi, alternatif yang sangat baik
adalah melalui program PPB. Hal ini selaras dengan tujuan PPB yaitu untuk
merespon kebutuhan tanaman yang tidak komersial atau tidak diperhitungkan dan
mengembangkan tanaman pada lingkungan bercekaman (Sperling et al., 2001).
Setelah adanya keberhasilan dari program PPB, maka tujuan pemuliaan ini
berkembang lebih lanjut yaitu untuk meningkatkan biodiversitas, konservasi
plasmanutfah, pengembangan plasmanutfah adaptif untuk kelompok pengguna
marjinal seperti petani perempuan dan petani miskin, mengembangkan program
pemuliaan yang lebih efisien, dan program pemuliaan terdesentralisasi untuk
tujuan khusus (Sperling et al., 2001).
Derajad Partisipasi
Keterlibatan stakeholders seperti petani, penyuluh, pedagang, dan
sebagainya dalam program pemuliaan partisipatif ada tingkatannya. Banyak
faktor yang menentukan derajad partisipasi yang diadopsi pada suatu program
pemuliaan partisipatif, misalnya kemampuan petani, kemajuan genotipe yang
akan diseleksi, dan lingkungan target. Dalam sistem pemuliaan ini, peneliti tetap
menjadi pengendali utama terutama untuk kegiatan perencanaan dan manajemen
kegiatan, namun sasaran utama untuk meningkatkan pengetahuan stakholders
terutama pengetahuan petani menjadi sangat penting (PRGA, 2007).
24
Pada prakteknya terdapat tiga tingkatan partisipasi yang umum ditemukan
pada kegiatan program PPB, yaitu konsultatif, kolaboratif, dan kolegial (Sperling
et al., 2001; Weltzien et al., 2003). Pada derajad konsultatif, petani atau
stakeholders lain yang terlibat hanya sebatas memberikan informasi tentang
kondisi atau karakter lingkungan, genotipe tanaman, dan aspek lain yang
diperlukan bagi program pemuliaan. Peneliti atau pemulia pada derajad ini masih
memegang peranan yang sangat dominan dan menentukan.
Pada program PPB yang di dalamnya telah terdapat pembagian tugas yang
jelas antara peneliti dengan petani atau stakholders lain telah memasuki tingkat
partisipasi kolaboratif. Bentuk pembagian tugas diantaranya petani melaksanakan
pekerjaan budidaya tanaman dan seleksi atas petunjuk dan arahan dari peneliti.
Pada derajad kolegial, peneliti hanya mendukung suatu program pemuliaan
tanaman yang diinisiasi dan dikelola oleh petani. Pada tahap ini, petani telah
mempunyai ketrampilan khusus tentang kegiatan pada program pemuliaan dan
umumnya mereka memanfaatkan plasmnutfah yang ada di lingkungannya. Pada
tahap ini peran petani jauh lebih besar daripada derajad yang lain.
Studi Kasus Participatory Plant Breeding
Program pemuliaan tanaman secara konvensional telah dilaksanakan secara
terpusat di lembaga-lembaga penelitian baik milik pemerintah maupun swasta.
Program pemuliaan ini menghasilkan berbagai varietas nasional yang dianggap
dapat beradaptasi baik di semua jenis agroekosistem yang ada. Pendekatan
pemuliaan terpusat ini telah mulai ditinggalkan dengan semakin meningkatnya
kesadaran akan keragaman agroekosistem yang menuntut adanya varietas-varietas
tanaman yang mempunyai adaptasi spesifik (Trikoesoemaningtyas et al., 2008).
Program pemuliaan tanaman alternatif yang dapat menghasilkan varietas unggul
spesifik lokasi adalah Program Pemuliaan Tanaman Partisipatif yang memiliki
kelebihan mendasar, seperti kriteria seleksi yang sesuai untuk kebutuhan lokal dan
kesesuaian dengan lingkungan target yang lebih baik (Elings et al., 2001), atau
dengan kata lain kearifan lokal sangat diperhatikan pada pemulian model ini.
Selain bisa mendapatkan varietas unggul spesifik lokasi, pemuliaan tanaman
partisipatif juga dapat digunakan sebagai tindakan konservasi plasmanutfah atau
25
peningkatan keanekaragaman hayati (Sperling et al., 2001). Menurunnnya
keanekaragaman hayati disebabkan oleh sistem budidaya monokultur dan
homogen ysang terjadi sejak Revolusi Hijau dicanangkan. Sehubungan dengan
kekhawatiran tersebut, beberapa lembaga internasional yang mengurusi masalah
pangan dan pertanian telah melakukan tindakan pemuliaan partisipatif dengan
tujuan utama menghimpun koleksi plasmanutfah. Lembaga tersebut antara lain
IBPGR (International Board on Plant Genetic Resource), IRRI (International
Rice Research Institute), ICRISAT (International Crops Research Institut for the
Semi-Arid Tropics), CIAT (Centro International de Agriculture Tropical),
CIMMYT (Centro Internacional de Mejoramiento de Maizy and Trigo), AVRDC
(Asian Vegetable Research and Development Center), CIP (Center International
Potato), IITA (International Institute of Tropical Agriculture) (NPGRB, 1979
dalam Zuraida dan Sumarno, 2003).
Keberhasilan penerapan metode PPB telah dilakukan di beberapa negara,
seperti Siria, Maroko, dan Tunisia dengan tanaman barley (Ceccarelli, 2001),
kacang tanah di Colombia dan Tanzania, kentang resisten penyakit hawar daun di
Bolivia, padi adaptif cekaman suhu dingin di Nepal, peningkatan keragaman
genetik ubi kayu di Colombia, manajemen benih pearl millet di Rajasthan dan
Namibia (Weltzien et al., 2003). Para peneliti pada program pemuliaan tanaman
partisipatif umumnya menyimpulkan bahwa seleksi yang dilakukan oleh petani
bisa efektif walaupun secara individu berbeda-beda.
Walaupun beberapa negara dan lembaga penelitian internasional seperti
tersebut di atas telah melaksanakan program pemuliaan tanaman partisipatif dan
menunjukkan keberhasilan, namun di Indonesia program pemuliaan model ini
masih belum diadopsi dengan baik. Padahal karakteristik pertanian di Indonesia
seperti kepemilikan lahan yang sempit, lahan banyak didominasi oleh tanah
marjinal, dan aspek permodalan usahatani yang kecil sangat mendukung
diterapkannya sistem pemuliaan tanaman model ini. Beberapa alasan belum
diterapkannya pemuliaan tanaman partisipatif di Indonesia menurut Zuraida dan
Sumarno (2003) diantaranya adalah: (1) belum ada kepercayaan atas kemampuan
petani dalam program pemuliaan tanaman, (2) peneliti bersifat tertutup atas materi
genetik yang dimiliki karena khawatir otoritasnya terhadap materi genetik tersebut
26
berkurang, (3) kesadaran petani untuk mendapatkan kultivar unggul sesuai dengan
kondisi agroklimat di wilayahnya masih rendah, (4) adanya kekhawatiran gagal
panen pada bahan percobaan sehingga petani tidak mau mengambil resiko, dan (5)
kegiatan pemuliaan partisipatif berupa seleksi atau uji daya hasil galur, tidak
didukung oleh petani penggarap atau petani penyewa lahan yang lebih memilih
prosentasi bagi hasil.
Model Pengembangan Sorgum
Wacana Pengembangan Sorgum di Indonesia
Sorgum sebenarnya sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia terutama
di daerah Jawa, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Di Jawa dan
beberapa daerah lain, tanaman sorgum dikenal dengan nama lokal cantel dan
dibudidayakan secara tumpangsari dengan tanaman pangan lain (Hoeman, 2006).
Tanaman sorgum kurang populer bagi masyarakat Indonesia karena selama ini
hanya dimanfaatkan untuk tanaman pangan yang kalah populer dibandingkan padi
atau jagung. Sebagai tanaman pangan yang diusahakan oleh petani dalam skala
kecil, kelemahan utama sorgum adalah penanganan pascapanen yang lebih sulit
dibandingkan padi atau jagung, serta rasa nasinya kurang enak karena adanya
senyawa tanin pada lapisan aleuron. Tanin adalah senyawa anti-nutrisi dengan
rasa “sepet” sehingga konsumen kurang menyukai. Namun dengan kemajuan
teknologi prosesing, senyawa tanin dapat dihilangkan dari beras sorgum melalui
penyosohan (Sirappa, 2003; Suarni, 2004).
Sorgum mempunyai peluang yang sangat tinggi untuk dikembangkan di
Indonesia karena agroekologinya sangat mendukung, asalkan nilai ekonominya
dapat ditingkatkan. Saat ini, peningkatan nilai ekonomi tanaman sorgum terbuka
luas apabila dapat diproses menjadi bioetanol, selain bijinya untuk pangan serta
daun dan bagasnya untuk pakan ternak. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan
(2007) mengungkapkan bahwa untuk mengurangi ketergantungan Indonesia
terhadap bahan bakar minyak fosil diperlukan adanya sumber energi alternatif
berupa biofuel (bahan bakar nabati). Salah satu tanaman yang sangat potensial
sebagai bahan baku biofuel adalah sorgum manis dengan produk bioetanol.
27
Wacana yang digulirkan oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (2007)
untuk mengembangan tanaman sorgum di Indonesia adalah melalui pembentukan
desa industri yang berbasis tanaman sorgum. Desa industri yang dimaksud adalah
suatu sistem terintegrasi yang terdiri dari industri primer yang mengelola sarana
produksi dan infrastruktur, industri sekunder, dan industri tersier yang menangani
pra dan pascapanen. Industri pada sistem ini saling mendukung yang akan
menghasilkan produk-produk lanjutan dari tanaman sorgum.
Strategi lain yang lebih sederhana dan mudah untuk melaksanakannya yaitu
melalui industri rumah tangga berbasis sorgum manis yang dikelola oleh petani.
Pada wacana ini setiap rumah tangga petani atau kelompok tani mempunyai unit
pengolahan bioetanol sederhana. Melalui unit pengolahan ini, petani atau
kelompok tani dapat melakukan fermentasi terhadap hasil nira sorgumnya untuk
dibuat etanol dengan kadar alkohol rendah (±5-7%). Untuk meningkatkan kadar
alkohol sampai 95%, petani dapat melakukan proses destilasi sendiri atau menjual
hasil olahan tersebut ke industri bioetanol (Yudiarto, 2007. Konsultasi pribadi).
Melalui model ini diharapkan pendapatan dan tingkat kesejahteraan petani sorgum
dapat ditingkatkan. Selama ini peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani
di lahan kering sulit dilakukan dengan komoditi konvensional yang selama ini
telah diusahakan.
Model Pengembangan Sorgum di Luar Negeri
Pengembangan sorgum di Indonesia melalui konsep desa industri berbasis
sorgum manis yang dilontarkan oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (2007)
kurang lebih sama dengan konsep yang dilontarkan oleh Grassi et al. (2004)
dengan nama The Bioenergy Rural Village Complex yang berbasis sorgum manis.
Model ini sedang diuji coba di China dengan menggunakan sorgum hibrida.
Dasar pemikiran dari konsep ini adalah untuk menjamin keberlanjutan usahatani
tanaman sorgum yang dikembangkan oleh petani kecil di suatu pedesaan. Tujuan
utamanya adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang terlibat.
Berdasarkan konsep tersebut di atas, desa industri akan mampu memenuhi
kebutuhan pangan, pakan ternak dan energi dari tanaman sorgum manis yang
diusahakan. Pangan dapat diperoleh dari produksi sereal (beras sorgum) dan
produk olahannya; susu dan daging diperoleh dari peternakan yang mendapatkan
28
sumber pakan dari daun dan bagase sorgum; sedangkan energi diperoleh dari
produksi bioetanol. Bioetanol dapat diproduksi dalam skala rumah tangga dengan
peralatan yang lebih sederhana atau dalam skala industri besar. Selain untuk
dijual, produksi bioetanol dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik bagi desa.
Berdasarkan kajian teknis, untuk membangun sebuah Komplek Desa
Bioenergi berbasis sorgum manis untuk populasi penduduk 3.000 jiwa diperlukan
lahan minimal 400 hektar. Lahan tersebut digunakan untuk plantation, dan lokasi
pembuatan perangkat pendukung seperti unit pengelola biomass, generator, unit
mikro distillery, industri pengolah pangan seperti sereal, susu, daging, dan gula,
serta instalasi listrik, bahan bakar untuk masak, bioetanol untuk mesin pertanian
dan lain-lain (Grassi et al., 2004).