responsi pneumonia aretha

53
BAB I PENDAHULUAN Pneumonia merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak pada beberapa penduduk di berbagai negara termasuk pada kelompok balita. Kasus pneumonia pada negara berkembang terjadi lebih berat daripada negara maju. Usia puncak terjadinya pneumonia adalah pada usia < 5 tahun. Insiden pneumonia menurun seiring bertambahnya usia. Di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta dari 9 juta total kematian balita disebabkan oleh pneumonia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyebab kematian tertinggi kedua setelah diare dengan presentase sebanyak 15,5 persen. Dengan angka mortalitas pada bayi 23,8 persen dan balita 15,5 persen. Prevalensi penumonia pada bayi di Indonesia sebesar 0,76% dengan prevalensi tertinggi terdapat pada provinsi Gorontalo (13,2%) dan Bali (12,9%) 1,2 . Besarnya angka insiden dan mortalitas akibat pneumonia serta minimnya perhatian terhdapa pneumonia itu sendiri mengakibatkan penyakit ini sering juga disebut sebagai “pandemi yang terlupakan” atau “the forgotten pandemic” serta ”pembunuh balita yang terlupakan” atau “the forgotten killer of children”. Beberapa fakor risiko yang berkaitan dengan pneumonia antara lain: kurangnya pemberian ASI 1

Upload: arya-narayana

Post on 13-Jul-2016

12 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

responsi pneumonia

TRANSCRIPT

Page 1: Responsi Pneumonia Aretha

BAB I

PENDAHULUAN

Pneumonia merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak pada

beberapa penduduk di berbagai negara termasuk pada kelompok balita. Kasus

pneumonia pada negara berkembang terjadi lebih berat daripada negara maju.

Usia puncak terjadinya pneumonia adalah pada usia < 5 tahun. Insiden pneumonia

menurun seiring bertambahnya usia. Di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari

2 juta dari 9 juta total kematian balita disebabkan oleh pneumonia. Hasil Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan bahwa pneumonia merupakan

penyebab kematian tertinggi kedua setelah diare dengan presentase sebanyak 15,5

persen. Dengan angka mortalitas pada bayi 23,8 persen dan balita 15,5 persen.

Prevalensi penumonia pada bayi di Indonesia sebesar 0,76% dengan prevalensi

tertinggi terdapat pada provinsi Gorontalo (13,2%) dan Bali (12,9%)1,2 . Besarnya

angka insiden dan mortalitas akibat pneumonia serta minimnya perhatian terhdapa

pneumonia itu sendiri mengakibatkan penyakit ini sering juga disebut sebagai

“pandemi yang terlupakan” atau “the forgotten pandemic” serta ”pembunuh balita

yang terlupakan” atau “the forgotten killer of children”.

Beberapa fakor risiko yang berkaitan dengan pneumonia antara lain:

kurangnya pemberian ASI eksklusif, gizi buruk, polusi udara dalam ruangan

(indoor air pollution), BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah), dan kepadatan

penduduk. Berdasarkan data WHO pada tahun 2008 menunjukkan bahwa

penyebab utama pneumonia pada anak di antaranya Streptococcus pneumoniae,

Haemophilus influenza dan Respiratory Syncytial Virus. Di negara berkembang

60% kasus pneumonia disebabkan oleh bakteri.1

Pada dasarnya pneumonia merupakan penyakit yang dapat dicegah dan

disembuhkan. Pneumonia dapat dicegah dengan kesadaran atau awareness dan

pengetahuan yang baik terhadap penyakit itu sendiri dari semua pihak, baik para

praktisi dan profesional kesehatan, maupun oleh masyarakat. Melalui kesadaran

dan pengetahuan akan akibat pneumonia, penyebab, cara penularan, faktor risiko,

serta pencegahan dan pengobatan yang tepat, maka diharapkan akan mengurangi

angka morbiditas dan mortalitas akibat pneumonia.

1

Page 2: Responsi Pneumonia Aretha

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PNEUMONIA

2.1.1 Definisi

Pneumonia merupakan infeksi atau keradangan saluran napas bagian

bawah yang melibatkan saluran napas dan parenkim disertai konsolidasi ruang

alveolar yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri,

virus, dan jamur yang ditandai oleh demam, batuk, sesak (peningkatan

frekuensi pernapasan), retraksi dinding dada, napas cuping hidung dan

terkadang dapat terjadi sianosis.3,4,5 WHO sendiri mendefinisikan pneumonia

berdasarkan adanya gejala klnis berupa batuk, susah nafas dan takipnea.

Pneumonia dibagi menjadi 2 berdasarkan atas lokasi didapatnya pneumonia

tersebut yaitu Community Acquired Pneumonia (CAP) dan Hospitalized

Acquired Pneumonia (HAP).6

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia loburalis yaitu suatu

peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai

bronkiolus dan juga alveolus disekitarnya berupa distribusi berbentuk bercak-

bercak (patchy distribution) seperti terlihat pada gambar, yang sering

menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam

etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Pada bronkopneumonia

terdapat produksi eksudat mukopurulen yang mengakibatkan sumbatan

beberapa saluran napas kecil dan juga mengakibatkan konsolidasi yang

”patchy” dari lobulus-lobulus disekitarnya.5

2.1.2 Epidemiologi

Pneumonia masih menjadi masalah di berbagai negara, baik di negara

berkembang maupun di negara maju. Pada tahun 2005, di Indonesia

didapatkan 600.720 kasus penumonia dengan kematian pada balita sebesar

204 orang. Di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta dari 9 juta total

kematian balita disebabkan oleh pneumonia. Bahkan karena besarnya

kematian pneumonia ini, pneumonia disebut sebagai “pandemi yang

2

Page 3: Responsi Pneumonia Aretha

terlupakan” atau “the forgotten pandemic”. Namun, tidak banyak perhatian

terhadap penyakit ini, sehingga pneumonia disebut juga pembunuh balita yang

terlupakan atau “the forgotten killer of children”. Hasil Riset Kesehatan

Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan penumonia merupakan penyebab

kematian tertinggi kedua setelah diare sebanyak 15.5 persen. Angka mortalitas

pada bayi 23,8 persen dan balita 15,5 persen. Prevalensi penumonia pada bayi

di Indonesia sebesar 0,76% dengan prevalensi tertinggi terdapat pada provinsi

Gorontalo (13,2%) dan Bali (12,9%). Insiden pneumonia sering terjadi pada

kelompok usia balita yaitu sekitar 35% diikuti kelompok usia bayi dan

kelompok usia diatas 5 tahun. Secara keseluruhan pneumoni lebih sering

terjadi pada laki – laki daripada perempuan.1,2

2.1.3 Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan, baik oleh bakteri, virus, atau jamur. Pada

negara berkembang pneumonia lebih sering disebabkan oleh bakteri

dibandingkan virus. Sedangkan pada negara maju, virus menjadi penyebab

tersering. Banyak faktor yang bisa meningkatkan resiko pneumonia seperti

penurunan imunitas karena penyakit tertentu atau obat serta lama diopname di

rumah sakit.8

Tabel 1. Etiologi Pneumonia dikelompokkan berdasarkan Usia8

Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarangLahir – 20

hariBakteri :E.ColliStreptococcus group BListeria Monocytogenes

Bakteri :Bakteri anaerobStreptococcus group DHaemophillus influenzaStreptococcus pneumoniaeUreaplasma urealyticumVirus :Virus SitomegaloVirus Herpes Simpleks

3 minggu – 3 bulan

Bakteri :Chlamydia trachomatisStreptococcus pneumoniaeVirus :Virus Adeno

Bakteri :Bordetella pertussisHamophillus influenza tipe BMoraxella catharallisStaphylococcus aureus

3

Page 4: Responsi Pneumonia Aretha

Virus influenzaVirus parainfluenza 1,2,3Respiratory Synctial virus

Ureaplasma urealyticumVirus :Virus sitomegalo

4 bulan – 5 tahun

Bakteri :Chlamydia trachomatisMycoplasma pneumoniaeStreptococcus pneumoniaeVirus :Virus AdenoVirus influenzaVirus parainfluenzaVirus rinoRespiratory Synctial Virus

Bakteri :Hamophillus influenza tipe BMoraxella catharallisNeisseria meningitidisStaphylococcus aureus

Virus :Virus varisella zoster

5 tahun – remaja

Bakteri :Chlamydia trachomatisMycoplasma pneumoniaeStreptococcus pneumoniae

Bakteri :Hamophillus influenza tipe BLegionella spStaphylococcus aureusVirus :Virus adenoVirus Epstein BarrVirus influenzaVirus parainfluenzaVirus rinoRespiratory Synctial virusVirus varisella zoster

2.1.4 Klasifikasi

Klasifikasi pneumonia berdasarkan anatomis meliputi:5

Pneumonia lobaris

Pneumonia lobularis (bronkopneumonia)

Pneumonia interstitialis (bronkiolitis)

Klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologis5:

Pneumonia komunitas atau community-acquired pneumonia (CAP)

CAP adalah infeksi pneumonia yang didapat karena terjadinya

penularan yang dimana patogen penyebabnya biasanya masuk

melalui inhalasi atau aspirasi ke segmen paru atau lobus paru-paru

Pneumonia nosokomial atau hospital-acquired pneumonia (HAP)

4

Page 5: Responsi Pneumonia Aretha

HAP adalah pneumonia yang muncul setelah penderita dirawat

lebih dari 48 jam di rumah sakit tanpa adanya pemberian intubasi

endotrakeal

Pneumonia pada penderita dengan keadaan immunocompromised

Pneumonia pada penderita dengan keadaan imun yang terganggu

akan memperlihatkan gejala klinis yang berat dengan riwayat

infeksi bakteri berat 3 kali atau lebih dalam 12 bulan terakhir.

Klasifikasi pneumonia berdasarkan etiologi2,5:

Pneumonia bakteri tipikal:

o Streptococcus pneumonia, bakteri gram positif, anaerob

fakultatif

o Staphylococcus aureus, bakteri gram positif, anaerob

fakultatif

o Enterococcus sp.

o Pseudomonas aeruginosa, bakteri gram negatif, anaerob

yang memiliki bau yang sangat khas

o Klebsiella pneumonia, bakteri gram negatif, anaerob

fakultatif

o Haemophilus influenza, bakteri gram negatif anaerob

Pneumonia bakteri atipikal:

o Mycoplasma sp.

o Chlamedia sp.

o Legionella sp.

Pneumonia virus, seperti:

o Cytomegalovirus

o Virus Herpes Simplex

o Virus Varcella-Zoster

Pneumonia jamur

o Candida sp.

o Aspergillus sp.

o Cryptococcus neoformans

5

Page 6: Responsi Pneumonia Aretha

Berdasarkan derajat beratnya klinis menurut WHO, pneumonia

dikelompokkan menjadi :

a. Bukan pneumonia

b. Pneumonia tidak berat

Nafas cepat :

- Usia < 2 bulan : ≥60 x/menit

- Usia 2 – 12 bulan : ≥50 x/menit

- Usia 1 – 5 tahun : ≥40 x/menit

- Usia 5 – 8 tahun : ≥30 x/menit

c. Pneumonia berat

- Batuk/sesak nafas disertai salah satu di bawah ini :

o Retraksi dinding dada

o Nafas cuping hidung

o Grunting (merintih)

- Auskultasi : ronki (+), suara nafas menurun, suara nafas

bronkial

d. Pneumonia sangat berat

- Batuk/sesak nafas disertai salah satu di bawah ini :

o Sianosis sentral

o Tidak bisa minum

o Muntah

o Kejang, letargi, kesadaran menurun

o Anggukan kepala (head nodding)

- Auskultasi : ronki, suara nafas menurun, suara nafas bronkial

Pada tahun 2014, WHO mengeluarkan revisi dalam panduan untuk

mengklasifikasikan dan menangani pneumonia pada anak-anak.

Klasifikasi yang baru meliputi6,7:

1. Bukan pneumonia

2. Pneumonia

Nafas cepat:

6

Page 7: Responsi Pneumonia Aretha

Usia < 2 bulan : ≥60 x/menit

Usia 2 – 12 bulan : ≥50 x/menit

Usia 1 – 5 tahun : ≥40 x/menit

Usia 5 – 8 tahun : ≥30 x/menit

Retraksi dinding dada

Nafas cuping hidung

Merintih

Auskultasi: : ronki (+), suara nafas menurun, suara nafas

bronkial

3. Pneumonia sangat berat

- Batuk/sesak nafas disertai salah satu di bawah ini :

o Sianosis sentral

o Tidak bisa minum

o Muntah

o Kejang, letargi, kesadaran menurun

o Anggukan kepala (head nodding)

- Auskultasi : ronki (+), suara nafas menurun, suara nafas

bronkial

2.1.5 Patogenesis

Pneumonia dapat terjadi akibat pengaruh dari 3 faktor antara lain: host,

mikroorganisme yang menyerang (agent), dan interaksi lingkungan

(environment). Berbagai macam cara penularan pneumonia antara lain:

melalui droplet dapat disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, sedangkan

infeksi pada pemakaian ventilator disebabkan oleh Enterobacter sp dan P.

aeruginosa. Pada kondisi sehat atau imunitas host baik maka tidak terjadi

pertumbuhan mikroorganisme (agent) di paru karena adanya mekanisme

pertahanan paru yang berfungsi dengan baik. Penyakit muncul ketika terjadi

ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh (host), mikroorganisme (agent)

dan lingkungan (environment). Ketika mekanisme pertahanan paru tidak

menjalankan fungsi dengan baik maka agent dapat menuju alveoli melalui

7

Page 8: Responsi Pneumonia Aretha

saluran pernafasan sehingga mengakibatkan inflamasi pada dinding alveoli

dan jaringan sekitarnya.10

a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/ Kongestif)

Stadium ini disebut juga hiperemia, mengacu pada respon

peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang

terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan

permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat

pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah

pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator

tersebut antara lain histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast

juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama

dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskular paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini

mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang

interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler

dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus

meningkatkan jarak yang harus dilalui oleh oksigen dan

karbondioksida, yang akan mengakibatkan gangguan proses

pertukaran gas sehingga terjadi penurunan saturasi oksigen

hemoglobin.9

b. Stadium II (48 jam berikutnya)

Stadium ini disebut juga dengan hepatisasi merah. Hal ini terjadi

sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang

dihasilkan oleh host sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus

yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan

leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah dan

pada perabaan terasa seperti hepar. Pada stadium ini udara di dalam

alveoli sangat minimal hingga tidak ada sehingga penderita akan

terlihat sesak. Stadium ini berlangsung singkat, yaitu selama 48 jam.9

c. Stadium III (3 – 8 hari)

Stadium selanjutnya disebut juga hepatisasi kelabu. Hal ini

dikarenakan sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang

8

Page 9: Responsi Pneumonia Aretha

terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh

daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium

ini eritrosit mulai direabsorbsi, lobus masih tetap padat karena

adanya fibrin dan leukosit, warna merah berubah menjadi pucat

kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.9

d. Stadium IV (7 – 12 hari)

Pada stadium ini terjadi penurunan respon imun dan peradangan

sehingga dinamakan sebagai stadium resolusi. Sisa-sisa sel fibrin dan

eksudat lisis dan diabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan

kembali ke struktur semula.9

2.1.6 Manifestasi Klinis

Gejala pneumonia sering kali berupa batuk berdahak, sputum kehijauan

atau kuning, demam tinggi yang disertai dengan menggigil. Selain itu,

terdapat nafas yang pendek dan terdapat nyeri dada atau nyeri tajam. Nyeri

biasanya dirasakan ketika menghirup nafas dalam atau saat batuk. Pada

penderita pneumonia, batuk dapat disertai dengan dahak berdarah, sakit

kepala, atau mengeluarkan banyak keringat dan kulit lembab. Gejala lain

berupa hilang nafsu makan, kelelahan, kulit menjadi pucat, mual, muntah,

nyeri sendi atau otot.6

2.1.7 Diagnosis

Diagnosis pneumonia ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang.

a. Anamnesis

Gejala yang timbul biasanya mendadak antara lain batuk,

demam tinggi terus menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut,

menggigil (pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada. Biasanya

anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Selain itu, dapat pula

timbul gejala penurunan nafsu makan.7,8,9

b. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan demam tinggi

(≥38,50C), takipnea, retraksi (subkostal, interkostal, suprasternal),

9

Page 10: Responsi Pneumonia Aretha

napas cuping hidung, sianosis, deviasi trakea, tanda-tanda

terdapatnya konsolidasi seperti: ekspansi dada yang berkurang;

peningkatan vokal fremitus, suara redup yang terlokalisir pada

perkusi; suara napas yang melemah, bronkial atau bronkovesikuler,

rhonki, wheezing dapat terdengar pada auskultasi.3,4

c. Pemeriksaan Penunjang

- Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan darah lengkap pada pneumonia umumnya

didapatkan dengan leukositosis dengan neutrofil yang mendominasi

pada hitung jenis. Leukosit >30.000 dengan dominasi neutrofil

mengarah ke bakteri Pneumonia streptococcus. Trombositosis

>500.000 khas pada pneumonia bakterial. Infeksi yang disebabkan

oleh virus biasnya menyebabkan trombositopenia. Kultur darah

merupakan cara yang spesifik namun hanya positif pada 10-15%

kasus.3,4

- Pemeriksaan radiologis

Foto thoraks merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk

menegakkan diagnosis. Foto thoraks AP/lateral bertujuan untuk

menentukan lokasi anatomi dalam paru. Gambaran patchy infiltrate

dan terdapat gambaran air bronchogram merupakan gambaran pada

foto thoraks penderita pneumonia. 7,8,9

- Pemeriksaan mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi dapat dilakukan melalui usapan

spesimen tenggorokan, sekresi nasofaring, sputum, aspirasi trakea,

pungsi pleura, darah, aspirasi paru dan bilasan bronkus. Pemeriksaan

ini sulit dilakukan dari segi teknis maupun biaya.7,8,9

2.1.8 Diagnosis Banding

1. Asma Bronkiale

Pada umumnya asma terjadi pada usia lebih dari 9-12 bulan,

namun mayoritas pada usia lebih dari 2 tahun. Dalam mendiagnosis

asma dapat dilakukan melalui anamnesis keluarga serta riwayat asma

10

Page 11: Responsi Pneumonia Aretha

pada keluarga, serangan asma terjadi berulang atau episodik, ekspirasi

memanjang, ronki lebih terbatas, pulmonary inflation lebih ringan,

pada pemeriksaan laboratorium ditemukan eosinophilia, bereaksi

terhadap bronchodilator serta epinephrine.9,10

2. Bronkiolitis akut

Pada bronkiolitis akut, lokasi inflamasi terjadi di bronkiolus,

sering terjadi pada usia < 2 tahun, gejala khas berupa nafas cepat,

wheezing dan retraksi dada, ditandai dengan respiratory distress dan

overdistensi pada paru. Pada pemeriksaan radiologis didapatkan

hiperinflasi paru, intercostal space melebar, penekanan diafragma dan

sudut costoprenikus menyempit. Diameter AP meningkat pada

fotolateral.9

3. Bronkitis Akut

Lokasi berada di bronkus, gejala obstruksi dan gangguan

pertukaran tidak nyata atau ringan, terdapat ronki basah dan kasar,

serta dapat berkembang menjadi bronkiolitis.9

2.1.9 Penatalaksanaan

1. Oksigen

Terapi oksigen diberikan apabila terdapat tanda-tanda

hipoksemia; gelisah, sianosis dan lain-lain. Pada usia < 2 tahun

biasanya diberikan 2 liter/menit sedangkan pada usia > 2 tahun dapat

diberikan oksigen hingga 4 liter/ menit.3,9

2. Cairan dan makanan bergizi 3,8

a. Cairan : komposisi paling sederhana adalah Dextrose 5%,

komposisi lain tergantung kebutuhan, jumlah 60-70% kebutuhan

total, beberapa sumber menyatakan dapat diberikan sesuai

kebutuhan maintenance.

b. Makanan : bila tidak dapat peroral, dapat dipertimbangkan

pemberian intravena seperti asam amino, emulsi lemak dll.

3. Simtomatis 9

11

Page 12: Responsi Pneumonia Aretha

- Antipiretika diberikan bila terdapat hiperpireksia. Hindari asetosal

karena dapat memperberat asidosis.

- Mukolitik/ ekspektorans.

- Antifusif umumnya tidak diberikan.

- Antikonvulsan; dapat dipertimbangkan bila kejang bukan karena

hipoksemia; dapat dicoba kloralhidrat 50mg/kg/hari ( dibagi 3

dosis ) atau diazepam 05-0.73/kg/kali, im/IV

4. Antiviral / antibiotika

Antiviral diberikan untuk pneumonia viral yang berat/ cenderung

menjadi berat (disertai kelainan jantung atau penyakit dasar yang

lain).8

Tabel 2. Virus dan Anti Virus

Virus Anti virus Virus Anti virus

Resp. sinsitial

Varisela

Ribavirin

Ansiklovir

Influenza- A

Sitomegalovirus

Amantdin

Ganiklovir

Pemberian antibiotik dilakukan hanya jika pneumonia dicurigai

disebabkan oleh bakteri. Ada beberapa panduan untuk pemberian

antibiotik pad apneumonia, antar lain panduan berdasarkan data dari

WHO, Disease Society of America, Ikatan Dokter Anak Indonesia

thaun 2009 dan Kemenkes 2012,

Bila berdasarkan panduan WHO dengan memakai klasifikasi terbaru,

penanganan antibiotika yang dipakai pada pneumonia adalah6:

2 bulan hingga 12 bulan (4kg - <10kg) : Amoxicillin 250 mg 1

tablet dua kali sehari selama lima hari

12 bulan hingga 3 tahun (10kg - <14kg) : Amoxicillin 250 mg

2 tablet dua kali sehari selama lima hari

3 tahun hingga 5 tahun (14kg - 19kg) : Amoxicillin 250 mg 3

tablet dua kali sehari selama lima hari

Pemberian sefalosporin dapat pula diberikan sebagai lini kedua

dengan dosis 125 mg @ 12 jam sebagai pilihan kedua pada

pneumonia yang diduga disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae2.

12

Page 13: Responsi Pneumonia Aretha

Pada HIV-exposed infant atau pada pasien- pasien dengan kecurigaan

adanya penyakit penyerta seperti PCP, dapat diberikan juga antibiotik

golongan cotrimoxazole.7

Panduan pemberian antibiotik menurut Disease Society of America

dibagi berdasarkan bakteri pathogen serta jenis perawatan. Pada

bakteri pathogen tersering yaitu Streptococcus Pneumoniae diberikan

amoxicillin sebanyak 90mg/Kg/ hari yang terbagi dalam 2 dosis

secara oral, dapat juga diberikan antibiotik golongan cephalosporine

dan levofloxacin serta dapat juga diberikan antibitoik parenteral

berupa ampicillin sebanyak 150-200mg/Kg/ hari yang dibagi kedalam

4 dosis atau pada pasien dengan alergi antibiotik golongan penicillin

dapat diberikan ceftriaxone 50-100mg/Kg/ hari setiap 12 jam atau

cefotaxime 150mg/Kg/ hari setiap 8 jam. Sedangkan untuk terapi

empiris dibedakan berdasarkan jenis perawatan, yaitu rawat jalan dan

rawat inap. Pada pasien – pasien rawat jalan usia < 5 tahun dapat

diberikan amoxicillin 90mg/Kg/ hari atau amoxicillin clavulanat

dengan dosis yang sama. Pada anak usia ≥5 tahun dapat ditambahkan

antibiotik golongan macrolide. Sedngakan untuk pasien – pasien

rawat inap dapat diberikan antibiotik parenteral golongan penicillin ,

ceftriaxone atau cefotaxime. Pemberian clindamycin atau vancomycin

dibenarkan apabila dicurigai MRSA.12

Panduan pemberian antiobiotik berdasarkan Ikatan Dokter Anak

Indonesia thaun 2009 dibagi berdasarkan usia. Pada neonatus hingga

usia < 2 bulan diberikan antibiotik golongan ampicillin serta

gentamycin. Untuk pasien usia 2 bulan hingga < 5 tahun pada lini

pertama dapat diberikan ampicillin selama 3 hari atau dpat juga

ditambahkan dengan pemberian kloramphenicol serta untuk lini kedua

diberikan ceftriaxone, sebagai alternatif dapat juga diberikan

antibitoik golongan erytromycin dan azitromycin. Pada pasien usia ≥

5 tahun diberikan antibiotik golongan makrolide.13

Panduan pemberian antibiotik berdasarkan kemenkes 2012

menganjurkan pemberian kotrimokzasole sebagai lini pertama dan

13

Page 14: Responsi Pneumonia Aretha

diikuti amoxicillin pada line kedua. Dosis disesuaikan berdasarkan

umur dan berat badan pasien. Untuk usia 2 hingga < 4 bulan atau

berat badan 4 hingga < 6 kg kotrimoksazole 2 x 20 mg atau

amoxicillin 2 x 125 mg. Usia 4 hingga < 12 bulan atau berat badan 6

himgga < 10 kg diberikan kotrimoksazole 2 x 40 mg atau amoxicillin

2 x 250 mg. Usia 1 hingga < 3 tahun taua berat badan 10 hingga < 16

kg dapat diberikan kotrimokzasole 2 x 60 mg atau amoxicillin 2 x 300

mg. Untuk usia 3 hingga < 5 tahun atau berat badan 16 hingga < 19

kg dapat diberikan kotrimokzasole 2 x 80 mg atau amoxicillin 2 x 375

mg. Pemberian antibiotik ini diberikan selama 3 hari.14

5. Kortikosteroid

Kadang-kadang diberikan pada kasus yang berat (konsolidasi

masif), atelektasis, infiltrasi milier (dengan sesak dan sianosis).9

2.1.10 Komplikasi

1. Gagal nafas dan sirkulasi

Penderita pneumonia sering kesulitan bernafas sehingga tidak

mungkin bagi mereka untuk tetap cukup bernafas tanpa bantuan agar

tetap hidup. Bantuan pernapasan non-invasif yang dapat membantu

seperti mesin untuk jalan nafas dengan bilevel tekanan positif,dalam

kasus lain pemasangan endotracheal tube kalau perlu dan ventilator

dapat digunakan untuk membantu pernafasan. Pneumonia dapat

menyebabkan gagal nafas dengan pencetus Acute Respiratory Distress

Syndrome (ARDS). Hasil dari gabungan infeksi dan respon inflamasi

dalam paru-paru segera diisi cairan dan menjadi sangat kental,

kekentalan ini menyatu dengan keras menyebabkan kesulitan

penyaringan udara untuk cairan alveoli. 7,11

2. Syok sepsis dan septik

Kondisi ini merupakan komplikasi potensial dari pneumonia.

Sepsis terjadi karena mikroorganisme masuk ke aliran darah sistemik

dan adanya respon sistem imun melalui sekresi sitokin. Sepsis

seringkali terjadi pada pneumonia karena bakteri, dimana

14

Page 15: Responsi Pneumonia Aretha

Streptoccocus pneumonia merupakan salah satu penyebabnya.

Individu dengan sepsis atau syok septik membutuhkan unit perawatan

intensif di rumah sakit.7,11

3. Efusi pleura,empyema dan abses.

Infeksi mikroorganisme pada paru-paru akan menyebabkan

bertambahnya cairan dalam ruang yang mengelilingi paru (rongga

pleura). Jika mikroorganisme itu sendiri ada di rongga pleura,

kumpulan cairan ini disebut empyema. Bila cairan pleura ada pada

orang dengan pneumonia,cairan ini sering diambil dengan jarum

(toracocentesis) dan diperiksa,tergantung dari hasil pemeriksaan ini.

Perlu pengaliran lengkap dari cairan ini,sering memerlukan selang

pada dada. Pada kasus empyema berat perlu tindakan pembedahan.

Sedangkan abses pada paru biasanya dapat dilihat dengan foto thorax

dengan sinar x atau CT scan.7,11

2.1.11 Prognosis

Prognosis tergantung status imun pasien, pengobatan awal, ketersdiaan

antibiotik dan penangangan superotif. Dengan terapi adekuat, mortalitas

kurang dari 1%. Tergantung pada umur anak, beratnya penyakit dan

penyulit yang menyertai seperti: 9

1. Apnea yang berkepanjangan

2. Asidosis respiratorik berat yang tidak terkompensasi

3. Dehidrasi berat yang tidak segera ditanggulangi

4. Disertai dengan kelainan lain seperti penyakit jantung kongenital,

cystic fibrosis pancreas dan immunodefisiensi.

Pada pasien – pasien dengan penyulit seperti immunodefisiensi, adanya

penyakit jantung bawaan, dan penyakit paru kronis sering terjadi

komplikasi. Pneumonia oleh bakteri jareang menyebabkan skuele jangka

panjang, tetapi pada sebagian kasus pneumonia oleh virus, C.

Trachomacis, C. pneumoniae dikaitkan dengan kejadian hiperreaktifitas

bronkus, asma dan masalah respirasi lain pada masa anak – anak.15

15

Page 16: Responsi Pneumonia Aretha

2.1.12 Pencegahan

1. Perbaikan sosial ekonomi: perumahan, sanitasi, nutrisi, higienitas.4

2. Imunisasi: terhadap infeksi lain, kadang menurunkan pula

pneumonia.4

3. Bila ada faktor predisposisi: pengobatan dini dan adekuat, bila

mungkin menjauhkan infeksi.4,9

4. Vaksin khusus: pneumococcus dengan vaksin 23-valent

pneumococcal, Haemophillus Influenza dengan Vaksin konjugat H.

Influenza memiliki jadwal yang rutin diberikan pada anak-anak, atau

dengan rifampin prophylaxis untuk yang beresiko tinggi.4,9

2.2 HIPEREAKTIFITAS BRONKUS

2.2.1 Definisi

Hipereaktifitas bronkus atau dapat juga disebut dengan Reactive Airways

Disease merupakan reaksi berlebihan dari otot polos saluran pernafasan dari

berbagai stimulus baik eksogen maupun endogen yang pada orang normal

tidak menyebabkan reaksi atau memiliki ambang batas yang lebih rendah dari

kebanyakan orang normal. Hal ini dapat terjadi baik karena stimulus langsung

maupun tidak langsung, seperti alergen, udara dingin, hipoksia, infeksi virus,

atau pengaruh obat – obatan. Hipereaktifitas bronkus merupakan tanda klinis

penting yang khas untuk mendeteksi adanya asthma bronkial, penyakit paru

obstruksi kronis, ISPA,rhinitis maupuan GERD.16,17

2.2.2 Etiologi

Hipereaktifitas bronkus dapat disebabkan oleh faktor genetik, yaitu

terletak pada kromosome lokus 5q31-q33 yang bertanggung jawab atas

terjadinya, tidak hanya atopi tetapi juga hipereaktifitas bronkus. Lokus ini

berperan penting terhadap onset, proses terjadinya inflamasi saluran nafas dan

patogenesis asma bronkial.20 Adanya bahan iritan lain yang terhirup sebagai

polusi udara seperti bahan kimia yang terdapat pada asap rokok juga berperan

terhadap munculnya hipereaktifitas bronkus.16

16

Page 17: Responsi Pneumonia Aretha

2.2.3 Faktor Resiko

Faktor resiko utama pada patogenesis terjadinya hipereaktifitas bronkus

adalah faktor genetik, atopik, umur, jenis kelamin. Merokok dan inhalasi

bahan kimia iritan. Hipereaktifitas bronkus lebih sering terjadi pada pasien

dengan riwayat rhinitis alergi dan pasien – pasien yang sensitif terhadap

serbuk sari dan debu rumah. Tetapi tidak semua pasien dengan riwayat atopi

di diagnosis dengan kelainan ini dan tidak semua pasien yang memiliki

hipereaktifitas bronkus memiliki gejala alergi.18 Mekanisme pengaruh jenis

kelamin pada hipereaktifitas bronkus belum diketahui secara pasti tetapi

dilaporkan prevalensi hipereaktifitas bronkus 2 kali lebih banyak terjadi pada

laki – laki daripada perempuan.19

Meskipun merokok mungkin dapat berkaitan dengan pathogenesis

terjadinya hipereaktifitas bronkus, perannya sendiri sebagai faktor penyebab

hipereaktifitas bronkus lebih sedikit daripada atopi.17

2.2.4 Klasifikasi

Hipereaktifitas bronkus diklasifikasikan berdasarkan ada tidaknya

sindroma respirasi dan gejala respirasi. Sindroma respirasi dibagi menjadi

dua , yaitu temporer dan permanen.

1. Hipereaktifitas Bronkus Temporer merupakan fenomena yang

menyertai munculnya proses inflamasi pada saluran nafas atas dan bawah.

Dikarakteristikan sebagai batuk kering yang berlangsung selama 1 bulan tes

fungsi paru dan parameter laboratorium yang lain biasanya normal.

2. Hipereaktifitas Bronkus Permanen biasanya didiagnosis pada

pasien dengan riwayat rhinitis alergi, bronkitis kronis dan asma bronial.

Sedangkan berdasarkan ada tidaknya gejala repirasi dibagi menjadi 2,

yaitu asimtomatis dan simtomatis. Patogenesis dari hipereaktifitas bronkus

asimtomatis belum dapat dijelaskan tetapi diprediksi dapat menjadi faktor

resiko kuat untuk terjadinya asma bronkial dikemudian hari.16.17

2.2.5 Patogenesis

Patogenesis dari terjadinya hipereaktifitas bronkus belum diketahui secara

pasti, tetapi prosesnya sangat dipengaruhi oleh proses patologis yang

17

Page 18: Responsi Pneumonia Aretha

mendasarinya. Terdapat berbagai perbedaan patogenesis hipereaktifitas

bronkus pada pasien dengan rhinitis alergi, asma maupun PPOK. Pada

kasus – kasus tersebut adanya kontak dengan bahan penyebab dapat

menginisiasi terjadinya mekanisme neurogenik yang melibatkan berbagai

macam neuropeptida, aktifasi badai cytokine, mediator inflamasi dan ROS

yang menyebabkan gagalnya sistem mekanisme antioxidatif sehingga

menyebabkan remodeling dari dinding saluran pernafasan. Hipereaktifitas

bronkus juga dapat dipengaruhi oleh perubahan mekanis dari otot polos

saluran nafas.21

2.3 HUBUNGAN HIPEREAKTIFITAS BRONKUS DENGAN

PNEUMONIA

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Korppi di Belanda menyatakan

bahwa sebesar 15% pasien dengan bronkiolitis dan 7% pasien dengan

pneumonia memiliki asma dengan gejala hipereaktifitas bronkus menjadi

gejala utama yang mendominasi. Sebanyak 45 % pasien penumonia menderita

hipereaktifitas bronkus tanpa disertai asma. Pada bayi dengan penumonia

memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya hipereaktifitas bronkus

dikemudian hari tetapi tidak selalu disertai dengan munculnya asma.22

Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Howard menyatakan bahwa

sebanyak 92 % dari anak dengan pneumonia persisten atau pneumonia

berulang memiliki gejala hipereaktifitas bronkus dan dikatakan bahwa asma

dengan hipereaktifitas bronkus merupakan penyebab tersering terjadinya

pneumonia persiten dan berulang dengan atau tanpa wheezing.23

18

Page 19: Responsi Pneumonia Aretha

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : DPAL

No. Rekam Medik : 557577

Tanggal Lahir/Umur : 12-02-2013 / 3 tahun 0 bulan

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Hindu

Alamat : Desa Kerambitan

Tgl MRS : 15 Februari 2016 Pkl. 10:00 WITA

Tanggal Pemeriksaan : 18 Februari 2016

3.2 HETEROANAMNESIS (Ibu Pasien)

Keluhan Utama

Sesak napas.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan utama sesak napas. Pasien dikeluhkan

oleh ibunya nampak sesak saat bernapas sejak pukul 23.00 WITA

(14/02/2016) saat pasien sedang tidur. Sesak awalnya dikatakan tidak

terlalu berat, namun pada pukul 10.00 WITA (15/02/2016) pada pagi hari

sesak dikatakan memberat, terus - menerus dan tidak membaik dengan

perubahan posisi. Kebiruan pada kulit tangan, kaki serta sekitar mulut

disangkal. Selain sesak, dikeluhkan juga adanya demam kurang lebih

sehari serta batuk dan pilek yang muncul sejak kurang lebih satu minggu

sebelum masuk rumah sakit. Sesak juga disertai suara grok-grok dan suara

ngik – ngik.

Keluhan demam dikatakan ada oleh ibu pasien, namun ibu tidak

sempat mengukur suhu tubuh pasien saat dirumah. Demam dikatakan baru

berlangsung sehari, namun saat dibawa ke rumah sakit demam sudah

turun. Keluhan demam dengan berkeringat dan menggigil disangkal.

19

Page 20: Responsi Pneumonia Aretha

Riwayat kejang karena demana disangkal oleh ibu pasien. Demam

dikatakan dapat mereda tanpa pemberian obat penurun panas. Pilek dan

batuk dikeluhkan sejak kurang lebih satu minggu sebelum masuk rumah

sakit. Batuk dan pilek awalnya dikeluhkan ringan dan memberat dua hari

sebelum masuk rumah sakit. Pilek dikeluhkan dengan keluarnya sekret

berwarna bening dan kental. Batuk pasien dikatakan berdahak. Dahak

berwarna kekuningan dan sedikit kental. Batuk berdarah dan menyemprot

disangkal. Nafsu makan dikatakan menurun semenjak pasien sakit.

Buang air besar dan buang air kecil dikatakan biasa atau normal oleh

ibu pasien. Riwayat diare disangkal.

Riwayat Penyakit Terdahulu

Pasien dikatakan pernah mengalami keluhan yang sama

sebelumnya saat usia 11 bulan. Pasien sebelumnya juga pernah dirawat

dirumah sakit dan didiagnosis dengan Tuberkulosis Paru yang telah tuntas

menjalani pengobatan. pasien juga ditakan sering berbunyi ngik – ngik

nafasnya tanpa sebab yang jelas. Riwayat penyakit asma, rhinitis alergi,

dermatitiws atopi, jantung dan penyakit sistemik lainnya disangkal oleh

ibu pasien.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga

Keluarga pasien dikatakan tidak ada yang memiliki keluhan yang

sama. Riwayat penyakit sistemik seperti penyakit jantung, penyakit

bawaan, dan penyakit kronik lainnya disangkal oleh ibu pasien. Riwayat

alergi seperti asma, dermatitis atopi dan rhinitis alergi pada keluarga

disangkal oleh ibu pasien.

Riwayat Pribadi / Sosial / Lingkungan

Pasien berasal dari golongan ekonomi menengah. Pasien

merupakan anak pertama dan belum memiliki saudara. Pasien tinggal

bersama ayah, ibu, paman, bibi, saudara sepupu, kakek dan neneknya.

Saudara sepupu pasien yang tinggal satu pekrangana dengan pasien

20

Page 21: Responsi Pneumonia Aretha

dikatakan juga mengalami batuk pilek dan sekarang sudah sembuh. Ayah

dan paman pasien merupakan perokok aktif dan merokok dilingkungan

sekitar rumah. Di rumah pasien ada hewan peliharaan berupa ayam serta

anjing. Kamar tidur pasien dikatakan rapi dengan cahaya dan pertukaran

udara yang cukup

Riwayat Pengobatan

Untuk keluhan sekarang pasien belum dapat memeriksakan diri

sebelumnya. Pasien datang ke UGD RSUD Kabupaten Tabanan pada

tanggal 15 Februari 2016 pukul 10.00 WITA dan dirawat inap di Ruang

Anggrek RSUD Kabupaten Tabanan.

Riwayat Alergi

Riwayat alergi disangkal oleh keluarga pasien.

Riwayat imunisasi

BCG : 1 kali

Hepatitis B : 4 kali

Polio : 4 kali

DPT : 3 kali

HiB : 3 kali

Campak : 1 kali

Pasien menjalani imunisasi di praktek swasta dokter spesialis anak.

Riwayat Persalinan

Pasien lahir secara normal per vaginam di rumah sakit dengan

berat badan lahir 3200 gram, panjang badan 50 cm, lingkar kepala lupa

dan segera menangis saat lahir. Tidak ada komplikasi dan penyulit selama

masa kehamilan dan persalinan.

21

Page 22: Responsi Pneumonia Aretha

Riwayat Nutrisi

ASI : Pasien diberikan ASI sejak lahir dengan durasi 0

hingga 1 bulan, frekuensi on demand.

Susu formula : Usia 1 bulan hingga 1 tahun, frekuensi on demand

Bubur susu : Usia 6 - 8 bulan, frekuensi 2x sehari.

Nasi tim : Usia 8 - 12 bulan, frekuensi 3x sehari

Makanan dewasa : Usia 12 bulan hingga sekarang

Riwayat tumbuh kembang :

Menegakkan kepala : 3 bulan

Berbalik : 5 bulan

Duduk : 6 bulan

Berdiri : 9 bulan

Jalan : 1 tahun

Kesan tumbuh kembang normal

3.1.1 Pemeriksaan Fisik

Status Present

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Nadi : 140 x/menit, isi cukup, regular

Laju napas : 45x/menit, reguler

Suhu aksila : 36,8 oC

BB : 13,5 kg

TB : 96 cm

BBI : 14,5 kg

Status Gizi : Gizi Baik (Waterlow = 93,33%)

Status Generalis

Kepala : Normochepali

22

Page 23: Responsi Pneumonia Aretha

Mata : Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, refleks

pupil +/+ isokor

THT Telinga : sekret (-)

Hidung : napas cuping hidung (-), sekret (+)

Tenggorokan : faring hiperemi -/-, tonsil T1/T1

Lidah : sianosis (-)

Bibir : sianosis (-), mukosa bibir basah (+)

Leher : Inspeksi : benjolan (-), Kaku kuduk (-)

Palpasi : Pembesaran kelenjar (-)

Auskultasi : bruit (-)

Thoraks : Simetris (+)

Jantung : Inspeksi : iktus kordis tak tampak, prekordial

………...bulging (-)

Palpasi : iktus kordis teraba di ICS IV MCL

………………Sinistra, thrill (-)

Perkusi : Batas kanan PSL kanan

Batas kiri MCL kiri

Batas atas ICS II

Auskultasi : S1 S2 normal regular, murmur (-)

Paru : Inspeksi : simetris (+), retraksi (-)

Palpasi : gerakan dada simetris

Perkusi : redup/redup

Auskultasi : vesikular +/+, ronki +/+, wheezing

…….…..+/+

Abdomen : Inspeksi : distensi (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Palpasi : nyeri tekan (-), turgor kembali cepat

Perkusi : hepar tidak teraba, lien tidak teraba

Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-), CRT< 2 detik

Genitalia eksterna : Dalam batas normal

23

Page 24: Responsi Pneumonia Aretha

3.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Darah lengkap (15/02/2016)

Tanggal 30/01/2016 Unit

WBC 12,5 (T) 103/µl

NEU 76 (T) %

LYM 16 %

MONO 9 %

EOS 4,01 %

BASO 0,988 %

RBC 5,23 106/µl

HB 12,9 g/dL

HCT 39,7 %

MCV 76 (R) fL

MCH 24,7 (R) Pg

MCHC 32,5 %

RDW-CV 12,7 %

PLT 207 103/µl

MPV 8,01 fL

24

Page 25: Responsi Pneumonia Aretha

2. Rontgen Thorax (15/02/2016)

Paru : aerasi paru baik, infiltrat kedua lapang paru terutama paru

bagian kiri

Cephalisasi : (-)

Hilus : Normal

Cor : Tidak membesar ke kiri, CTR Normal

Aortis arch tidak dilatasi

Mediastinum superior tidak melebar

Sinus costophrenicus dan diafragma normal

Soft tissue normal dan skeletal system normal

Kesan : Bronchopneumonia

3.5. DIAGNOSIS

Bronchopenuomonia

25

Page 26: Responsi Pneumonia Aretha

3.6. PENATALAKSANAAN

Rawat inap

IVFD D5 ½ NS 12 tpm

Parasetamol syr 3 x cth 1/2 PO

Ceftriaxone 2 x 500 mg IV

Bisolfon 3 x ½ amp IV

Nebul Ventolin 3 x ½ amp + NaCl

3.7 PROGNOSIS

Prognosis pada pasien ini:

Ad Vitam : dubius ad bonam

Ad Functionam : dubius ad bonam

Ad Sanationam : dubius ad bonam

3.8 FOLLOW UP

TGL S O A P16/2/ 2016

Demam (-), Sesak (+ ) membaik,Batuk (+), Dahak (+), Pilek (+), Makan/Minum (+) , BAK/BAB (+) Normal

St Present:N = 108x/menit, isi cukupRR = 24x/menitTax = 36,9oC

St General:Kepala = normosefaliMata = anemis (-), ikterus (-)THT = NCH (-)Thorax = simetris (+), retraksi (-)Cor = S1 S2 normal regular murmur (-)Po = Ves +/+, ronki +/+, wheezing +/+ minimalAbdomen = distensi (-), BU (+) NHepar = tidak terabaLien = tidak terabaEkstremitas = hangat (+), CRT<2 detik

Bronchopneumonia - IVFD D5 ½ NS 12 tpm

- Sanmol syr 3 x cth ½ PO (k/p)

- Ceftrixone 2 x 500 mg IV

- Bisolvon 3 x ½ amp IV

- Nebul Ventolin 3x ½ amp + NaCl

-

17/2/ Demam (-), St Present: Bronchopneumonia - IVFD D5 ½ NS 12

26

Page 27: Responsi Pneumonia Aretha

2016 Sesak (+) berkurang,Batuk (+),Dahak (+), Pilek (+), Makan/Minum (+) , BAK/BAB (+) Normal

N = 112x/menit, isi cukupRR = 24x/menitTax = 36,7oC

St General:Kepala = normosefaliMata = anemis (-), ikterus (-)THT = NCH (-)Thorax = simetris (+), retraksi (-)Cor = S1 S2 normal regular murmur (-)Po = Ves +/+, ronki +/+, wheezing -/-Abdomen = distensi (-), BU (+) NHepar = tidak terabaLien = tidak terabaEkstremitas = hangat (+), CRT<2 detik

tpm- Sanmol syr 3 x cth

½ PO (k/p)- Ceftrixone 2 x 500

mg IV- Bisolvon 3 x ½ amp

IV- Nebul Ventolin 3 x

½ amp + NaCl- Dexamethasone 3 x

½ amp- Theobron 3 x cth I

PO- Tiriz drop 2 x 0,25

cc PO

18/2/2016

St Present:N = 116x/menit, isi cukupRR = 24x/menitTax = 36,7oC

St General:Kepala = normosefaliMata = anemis (-), ikterus (-)THT = NCH (-)Thorax = simetris (+), retraksi (-)Cor = S1 S2 normal regular murmur (-)Po = Ves +/+, ronki +/+, wheezing -/-Abdomen = distensi (-), BU (+) NHepar = tidak terabaLien = tidak terabaEkstremitas = hangat (+), CRT<2 detik

Bronchopneumonia - IVFD D5 ½ NS 12 tpm

- Sanmol syr 3 x cth ½ PO (k/p)

- Ceftrixone 2 x 500 mg IV

- Bisolvon 3 x ½ amp IV

- Nebul Ventolin 3 x ½ amp + NaCl @ 8 jam

- Dexamethasone 3 x ½ amp

- Theobron 3 x cth I PO

- Tiriz drop 2 x 0,25 cc PO

27

Page 28: Responsi Pneumonia Aretha

BAB IVPEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis pada keluarga pasien, pasien mengeluh sesak napas

yang disertai dengan batuk dan pilek yang sudah dikeluhkan sejak satu minggu

sebelum masuk rumah sakit dan dikatakan memberat hingga 2 hari sebelum

masuk rumah sakit. Sesak juga disertai bunyi grok-grok. Demam juga dikeluhkan

oleh pasien sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengalami penurunan nafsu

makan sejak gejala batuk dirasakan. Gejala yang dialami pasien sesuai dengan

gejala yang terdapat pada pasien dengan pneumonia. Pada pneumonia, akan

ditemukan riwayat batuk lama yang memberat dan sesak napas. Pasien tinggal

bersama dengan keluarga besar dan dilingkungannya terdapat perokok aktif, yaitu

ayah dan pamannya. Pasien juga memiliki riwayat tuberkulosis paru serta riwayat

pemberian ASI hanya selama 1 bulan karena produksi ASI sedikit sehingga sudah

diberikan susu formula sejak usia 1 bulan hingga sekarang. Hal – hal tersebut

diatas juga merupakan faktor resiko terjadinya pneumonia. Dimana faktor – faktor

resiko pneumonia seperti yang disebutkan pada tinjauan pustaka yaitu memiliki

penyakit paru, kelainan anatomi (fistula trakeoesofageal), refluks gastroesofageal,

kelianan neurologik yang memepengaruhi proteksi saluran respiratorik,

immunodepressant, malnutrisi, ASI kurang, defisiensi vitamin A, BBLR, usia

muda, imunisasi kurang, terpapar tembakau serta tinggal dilingkungan yang padat

atau crowding.

Pasien berjenis kelamin laki – laki dimana pernah mengalami gejala serupa

saat usia 11 bulan dan pernah dirawat dengan tuberkulosis paru yang saat ini telah

tuntas menjalani pengobatan. pasien juga dikeluhkan sering berbunyi ngik – ngik

nafasnya tanpa alasan yang jelas dan membaik dengan sendirinya. Hal ini sesuai

dengan tinjauan pustaka yang menyatakan bahwa hipereaktifitas bronkus dapat

ditandai dengan sensitifnya otot saluran nafas terhadap substansi eksogen dan

endogen yang pada orang normal tidak menimbulkan gejala. Serta lebih sering

terjadi pada laki – laki daripada perempuan. Pasien dengan riwayat penumonia

saat bayi juga merupakan faktor predisposisinya terjadinya hipereaktifitas bronkus

dikemudian hari dengan atau tanpa asma.

28

Page 29: Responsi Pneumonia Aretha

Selain dari data anamnesis yang telah didapatkan, diagnosis

bronkopneumonia juga didasarkan pada penemuan pada pemeriksaan fisik dengan

terdengarnya suara paru tambahan berupa rhonki pada paru-paru kiri dan kanan

disertai wheezing minimal pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan penunjang

darah lengkap didapatkan adanya peningkatan neutrophil (76%) yang

menunjukkan adanya kemungkinan infeksi oleh bakteri. Pada pemeriksaan

rontgen thorax juga didapatkan infiltrat dikedua lapang paru yang memiliki kesan

bronchopneumonia.

Tatalaksana yang diberikan pada pasien berupa akses cairan intravena

dengan tujuan untuk memastikan kebutuhan cairan pasien tetap terjaga dan

mempermudah askes pemberian pengobatan intravena. Pemberian paracetamol,

dan bisolvon ditujukan untuk penanganan keluhan simptomatis seperti demam

dan batuk. Terapi ini sesuai dengan tinjauan pustaka dimana pemberian cairan,

dan terapi simtomatis diberikan kepada pasien dengan diagnosa pneumonia.

Ceftriaxone, antibiotika golongan sefalosporin generasi ketiga diberikan pada

pasien ini. Menurut tinjauan pustaka, pemberian sefalosporin masih memiliki

tempat pada pemberian antibiotika untuk pasien dengan pneumonia yang diduga

disebabkan bakteri Streptococcus pneumoniae.

Berdasarkan tinjauan pustaka, penyakit pneumonia memang salah satu

penyebab kematian yang sering ditemukan pada anak-anak. Namun, pneumonia

dapat disembuhkan dan dapat dicegah, serta memiliki prognosis yang baik dengan

mortalitas kurang dari 1% bila dengan terapi yang adekuat dan tepat. Prognosis

pneumonia akan menjadi buruk bila ditemukan adanya apnea yang

berkepanjangan, asidosis respiratorik berat, dehidrasi berat, dan pneumonia yang

disertai dengan kelainan lain seperti penyakit jantung bawaan dan

immunodefisiensi. Penyulit-penyulit yang dapat memperburuk prognosis

pneumonia pada pasien tidak ditemukan sehingga pasien ini memiliki prognosis

yang baik.

29

Page 30: Responsi Pneumonia Aretha

BAB VKESIMPULAN

Pneumonia merupakan infeksi atau keradangan saluran napas bagian bawah

yang melibatkan saluran napas dan parenkim disertai konsolidasi ruang alveolar

yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, dan jamur.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007 menunjukkan angka

mortalitas pada bayi sebesar 23,8% dan balita sebesar 15,5%. Pada negara

berkembang pneumonia lebih sering disebabkan oleh bakteri, seperti

Streptococcus pneumoniae. Pneumonia dapat terjadi akibat pengaruh dari 3 faktor

antara lain: host, mikroorganisme yang menyerang (agent), dan interaksi

lingkungan (environment). Berbagai macam cara penularan pneumonia antara

lain: melalui droplet yang terinhalasi dapat disebabkan oleh Streptococcus

pneumonia, sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator disebabkan oleh

Enterobacter sp dan Pseudomonas aeruginosa. Ketika mekanisme pertahanan

paru tidak menjalankan fungsi dengan baik maka pathogen dapat menginfeksi

alveoli melalui saluran pernafasan sehingga mengakibatkan inflamasi pada

dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.

Diagnosis pneumonia dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala yang timbul biasanya batuk, demam

tinggi, sesak nafas, atau penurunan nafsu makan. Pada pemeriksaan fisik adan

ditemukan adanya peningkatan usaha nafas, retraksi, nafas cuping hidung, suara

redup pada perkusi, rhonki dengan atau tanpa wheezing pada auskultasi.

Pemeriksaan penunjang darah lengkap akan menggambarkan peningkatan leukosit

dengan dominasi neutrofil, serta gambaran konsolidasi atau infiltrat pada paru-

paru pada foto thoraks.

Tatalaksana yang diberikan berupa terapi simtomatis, terapi suportif seperti

cairan dan makanan, dan terapi antibiotika untuk eradikasi pathogen penyebab.

Dengan tatalaksana yang tepat dan adekuat, serta tanpa penyulit yang menyertai,

angka mortalitas penderita pneumonia kurang dari 1% .

Pneumonia yang diderita saat usia kurang dari 1 tahun dapat meningkatkan

resiko terjadinya hipereaktifitas bronkus dikemudian hari dengan atau tanpa

disertai asma.

30

Page 31: Responsi Pneumonia Aretha

DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Kemenkes RI. 2012.

2. Pneumonia. October 2011. http://www.thoracic.org/education/breathing-in-

america/resources/chapter-15-pneumonia.pdf. Accessed : 18 September 2014.

3. Pneumonia among Children in Developing Countries. CDC. 13 October 2005.

CDC. http://www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/pneumchilddevcount_t

htm. Accessed: 18 September 2014.

4. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Karen J. Moredante, Hal B.

Jenson. Pneumonia. Dalam: Nelson Essentials of pediatrics. Edisi 5.

Philadelphia: Elsevier Inc; 2006. h. 503-509

5. Pneumonia. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak 3. Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1985. h. 1229-1234.

6. Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) (revised). Geneva, World

Health Organization/The United Nation Children’s Fund (UNICEF), 2014.

7. WHO. Recommendations for management of common childhood conditions:

Evidence for technical update of pocket book recommendations. Geneva,

WHO,2012.

http://www.who.int/maternal_child_adolescent/documents/management_child

hood_conditions/en/index.html

8. Wojsyk I, Banaszak, Breborowicz A. Pneumonia in Children. 2013 : 137-138.

9. Fransiska SK. Pneumonia. Fakultas Kedokteran Wijaya Kusuma Surabaya.

2006 : 1-12.

10. Enggrajati Moses Silitonga. Bronkopneumonia. 2013. Hal :1-18

11. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics, 18 th ed.

Philadelphia: WB Saunders Company. 2008; 181:1130-1134

12. Bradley JS, Byington CL, Shah SS, Alverson B, Carter ER, Harrison C,

Kaplan SL (2011) The Management of Community-Acquired Pneumonia in

Infants and Children Older Than 3 Months of Age: Clinical Practice

Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious

Diseases Society of America. Received 1 July 2011; accepted 8 July 2011.

31

Page 32: Responsi Pneumonia Aretha

13. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati

ED. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. IDAI 2009

14. KEMENKES. Buku Modul Tatatlaksana Pneumonia pada Anak. 2012

15. Clark CE, Coote JM, Silver DA, Halpin DM. Asthma after childhood

pneumonia: six year follow up study. BMJ 2000;320:1514–1516.

16. Antosova M, Strakova A, Plevkova J. Bronchial Hyperreactivity :

Pathigenesis and treatment options. Open Journal of Molecular and Integrative

Physiology 1 (2011) 43-51.

17. Grootendorst, D.C. and Rabe, K.F. (2004) Mechanisms of bronchial

hyperreactivity in asthma and chronic obstructive pulmonary disease.

Proceedings of the American Thoracic Society, 1, 77-87.

18. Riccioni, G., Della Vecchia, R., Castronuovo, M., Di Pietro, V., Spoltore, R.,

De Benedictis, M., Di Iorio, A., Di Gioacchino, M. and Guagnano, M.T.

(2002) Bronchial hyperresponsiveness in adults with seasonal and perennial

rhinitis: Is there a link for asthma and rhinitis? International Journal of

Immunopathology Pharmacology, 15, 69-74.

19. Ernst, P., Ghezzo, H. and Becklake, M.R. (2002) Risk factors for bronchial

hyperresponsiveness in late childhood and early adolescence. European

Respiratory Jo- urnal, 20, 635-639.

20. Postma, D.S., Kooppelman, G.H. and Meyers, D.A. (2000) The genetics of

atopy and airway hyperresponsiveness. American Journal of Respiratory and

Critical Care Medicine, 162, S118-S123

21. Amrani, Y., Moore, P.E., Hoffman, R., Shore, S.A. and Panettieri, R.A. Jr.

(2001) Interferon-gamma modulates cysteinyl leukotriene receptor-1

expression and function in human airway myocytes. American Journal of

Respiratory Critical Care Medicine, 164, 2098-2101

22. Korppi M, et al (1994) BRONCHIAL ASTHMA AND

HYPERREACTIVITY AFTER EARLY CHILDHOOD BRONCHIOLITIS

OR PNEUMONIA. Arch Pediatr Adolesc Med. 1994;148:1079-1084.

Downloaded from guest on February 22, 2016.

32

Page 33: Responsi Pneumonia Aretha

23. Howard Eigen, MD, James J. Laughlin, MD, and Jean Homrighausen, RN,

MSN. Recurrent Pneumonia in Children and Its Relationship to Bronchial

Hyperreactivity. PEDIATRICS Vol. 70 No. 5 November 1982.

33