referat sgb

35
BAB I PENDAHULUAN Sindrom Guillain-Barre (SGB) sering disebut acute inflamating demyelinating polyneuropathy atau acute ascending paralysis yang merupakan kelainan pada saraf yang bersifat auoimun. Pada Sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau bisa terjadi paralysis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot-otot pernafasan dan wajah. Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter dan dikenal sebagai Landry’s Paralisis ascending. Pertama dideskripsikan oleh Landry, 1859 menyebutnya sebagai suatu penyakit akut, ascending dan paralysis motorik dengan gagal napas. 1, 2 Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua umur. Insidensi SGB bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian pada 3 % pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah 1

Upload: ariafialiya

Post on 25-Sep-2015

41 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

sindrom guillan barre

TRANSCRIPT

PENDAHULUAN

BAB I

PENDAHULUANSindrom Guillain-Barre (SGB) sering disebut acute inflamating demyelinating polyneuropathy atau acute ascending paralysis yang merupakan kelainan pada saraf yang bersifat auoimun. Pada Sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau bisa terjadi paralysis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot-otot pernafasan dan wajah. Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter dan dikenal sebagai Landrys Paralisis ascending. Pertama dideskripsikan oleh Landry, 1859 menyebutnya sebagai suatu penyakit akut, ascending dan paralysis motorik dengan gagal napas.1, 2 Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua umur. Insidensi SGB bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian pada 3 % pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali timbul. Sekitar 30 % penderita memiliki gejala sisa kelemahan setelah 3 tahun. Tiga persen pasien dengan SGB dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama. Bila terjadi kekambuhan atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu keempat maka termasuk Chronic Inflammantory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP). Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk SGB. Pengobatan secara simtomatis dan perawatan yang baik dapat memperbaiki prognosisnya.1,3,4Belum diketahui angka kejadian penyakit ini di Indonesia. Insidens Sindrom ini termasuk jarang kira-kira 1 orang dalam 100.000. SGB jarang terjadi pada anak-anak, khususnya selama 2 tahun pertama kehidupan dan setelah umur tersebut frekuensinya cenderung meningkat. Frekuensi puncak pada usia dewasa muda. 3BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1. SEJARAH

Sindrom Guillain Barre (SGB) merupakan sindroma klinis terdiri dari kelemahan akut pada ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit sistemik. John Lettsom, 1787, merupakan orang pertama yang mengangkat masalah neuropati perifer, mendeskripsikan penyakit ini sebagai akibat dari konsumsi alkohol yang berlebihan. Deskripsi ini tidak dapat memberikan bukti tentang adanya kelainan patologis maupun anatomis dari penderita. James Jackson, 1822, kembali mendeskripsikan penyakit ini sebagai alcoholic neuropathy, namun tanpa kelainan patologis dan anatomis.1,2 Pada tahun 1859, Landry, mempublikasikan artkelnya yang berjudul A note on acute ascending paralysis yang.bercerita tentang seorang pasien mengalami paralisis akut meliputi kelemahan otot otot proksimal, otot pernapasan, kelemahan dan kehilangan refleks, dan takikardi. Paralisis ini dikenal dengan sebutan Landrys paralysis.3,4,5 Osler, tahun1982, lebih memperinci dengan apa yang disebutnya sebagai Acute Febrile Polyneuritis.6 Pada tahun 1916, Guillain, Barre, dan Strohl mempublikasikan penelitian mereka yang berjudul On a syndrome of radiculoneuritis with hyperalbuminosis of cerebrospinal fluid without a cellular reaction : Remarks on the clinical characteristics and tracings of the tendons reflexes. Mereka menemukan kelainaan adanya disosiasi sitoalbumin di dalam cairan serebrospinal dan disertai dengan radikuloneuritis. Guillain tetap berpendapat bahwa apa yang mereka bertiga kemukakan sebenarnya adalah Landrys paralysis. Tahun 1927, Draganescu dan Claudian memberi nama penyakit ini sebagai GuillainBarre Syndrome.72.2. DEFINISI

Sindrom Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dengan manifestasi klinis berupa kelemahan saraf motorik yang sifatnya akut, progresif disertai arefleksia. Kelainan ini terkadang juga menyerang saraf sensoris, otonom, nervi cranialis maupun susunan saraf pusat.1,2,3,5,7,82.3. SINONIM

Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy

Landry Guillain Barre Syndrome

Acute Inflammatory Polyneuropathy

Acute Autoimmune Neuropathy Inflammatory Polyradiculoneuropathy 2.4. EPIDEMIOLOGI

SGB merupakan penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat.4 Insiden SGB yang dilaporkan di negara-negara Barat berkisar 0,89-1,89 kasus per 100.000 orang-tahun, meskipun peningkatan 20% terlihat dengan setiap kenaikan usia 10 tahun setelah dekade pertama.9,10 Rasio pria terhadap wanita dengan sindrom ini adalah 1.78 (interval kepercayaan 95%, 1,36-2,33). Dua pertiga dari kasus didahului oleh gejala infeksi saluran pernapasan atas atau diare akut.11 Dalam metaanalisis, agen infeksi yang paling sering diidentifikasi adalah Campylobacter jejuni sekitar 30%, sedangkan cytomegalovirus telah diidentifikasi dalam hingga 10%. Insiden SGB diperkirakan 0,25-0,65 per 1.000 kasus infeksi C. jejuni, dan 0,6-2,2 per 1000 kasus sitomegalovirus primer infection.12 Agen lain yang dihubungan dengan SGB adalah Epstein-Barr, virus varicella-zoster, dan Mycoplasma pneumoniae.9

SGB bukan merupakan penyakit musiman dimana resiko terjadinya adalah sama di seluruh dunia dengan semua iklim, kecuali di Cina, dimana predileksi SGB berhubungan dengan Campylobacter jejuni, cenderung terjadi pada musim panas. SGB dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras. Insiden kejadian di seluruh dunia berkisar antara 0,6 1,9 per 100.000 penduduk. Insiden ini meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Angka kematian berkisar antara 5 10 %. Penyebab kematian tersering adalah gagal jantung dan gagal napas. Kesembuhan total terjadi pada 5% penderita SGB. Antara 5 10 % sembuh dengan cacat yang permanen.7

Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hamper sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.92.5. KLASIFIKASI

Berikut terdapat beberapa klasifikasi dari SGB, yaitu: 2,4a. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)

Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikit demielinisasi.

b. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)

Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibodi gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsi menunjukkan degenerasi wallerian like tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun.c. Miller Fisher SyndromeVariasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB. Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau bulan.d. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)

CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominan dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal

e. Acute pandysautonomia

Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.

2.6. ETIOLOGIKelemahan dan paralisis yang terjadi pada SGB disebabkan karena rusaknya myelin, yang membungkus saraf, disebut demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. SGB menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu SGB disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP).1 Penyebab terjadinya inflamasi pada SGB sampai saat ini belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun.2,3 Pada sebagian besar kasus, SGB didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh virus, yaitu Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus, cytomegalovirus, hepatitisvirus, dan HIV.1,5 Selain virus, penyakit ini juga didahului oleh infeksi bakteri seperti Campylobacter Jejuni pada enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta, Salmonella, Legionella dan, Mycobacterium Tuberculosa.1,5 vaksinasi seperti BCG, tetanus, varicella, dan hepatitis B; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma, penyakit kolagen dan sarcoidosis; kehamilan terutama pada trimester ketiga ; pembedahan dan anestesi epidural. 8,12 Infeksi virus ini biasanya terjadi 2 4 minggu sebelum timbul SGB 10

2.7. PATOGENESIS

Antigen baik yang berasal dari bakteri maupun virus, memasuki sel Schwann dari saraf kemudian mereplikasi diri.5 Antigen tersebut mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik.4 Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi, yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin5 bahkan terkadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.6 Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di invasi oleh antigen tersebut.5 Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh. Temuan patologis klasik dalam polineuropati inflamasi demielinasi akut adalah infiltrasi sel-sel inflamasi (terutama sel-sel T dan makrofag) dan daerah demielinasi segmental, yang sering dikaitkan dengan tanda-tanda degenerasi aksonal sekunder , yang dapat dideteksi pada radiksr tulang belakang, serta saraf motorik dan sensorik. Ada bukti aktivasi komplemen awal, yang didasarkan pada ikatan antibodi pada permukaan luar sel Schwann dan deposisi komponen teraktifasi; aktivasi komplemen tersebut tampaknya memulai vesikulasi myelin. Invasi makrofag terjadi dalam waktu 1 minggu setelah melengkapi kerusakan myelin terjadi. Pada neuropati motorik akson akut, IgG diaktifkan melengkapi mengikat ke axolemma nodus Ranvier neuron motorik, diikuti dengan pembentukan kompleks membran-attack.10,11

Gambar Patogenesis dan fase klinikal dari GBS

2.8. PATOLOGI

Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ketiga atau keempat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung mielin pada hari kelima, terlihat beberapa limfosit pada hari kesembilan dan makrofag pada hari kesebelas, poliferasi sel schwan pada hari ketigabelas. Perubahan pada mielin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari keenampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Kerusakan mielin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung mielin dari sel schwan dan akson. 2, 6

2.9. MANIFESTASI KLINISSGB umumnya dimulai dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa keempat ekstremitas yang bersifat asendens 1,3,11 Parestesia ini biasanya bersifat bilateral.1,2 Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali. 2,10 Secara klinis SGB biasanya digambarkan dalam 3 fase, yaitu fase progresif, fase plateau dan fase pemulihan. Pada fase progresif kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif8, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, 7 ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf kranial, muncul pada 50% kasus, biasanya berupa facial diplegia.8 Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan12 dan bahkan 20% pasien memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas.2,8 Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar.8 Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia pada extremitas distal.11 Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi.5 terutama pada anak anak. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak dan dapat menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis.7,8,9,10Kelainan saraf otonom sering dijumpai dan dapat berakibat fatal. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest, facial flushing, sfincter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat.11 Hipertensi terjadi pada 10-30 % pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari pasien.10 Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara,9 dan yang paling sering (50%) adalah bilateral facial palsy.4 Gejala-gejala tambahan adalah kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur.32.10. PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus dan paralisis.3 Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Rasa tebal pada tangan dan kaki menyerupai pola sarung tangan dan kaus kaki juga dijumpai pada awal penyakit. Refleks batuk yang lemah dan risiko aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot-otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.9,10,122.11. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan LCS

Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan kadar protein (1- 1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi sitoalbumin.1,3,5,6.8 Pemeriksaan LCS pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3,4,7,9 pada kultur LCs tidak ditemukan adanya virus ataupun bakteri 1,3 Peningkatan jumlah protein dalam cairan serebrospinal bias melebihi 45 mg/dl (normal < 40 mg/dl) yang puncaknya terjadi pada 4 sampai 5 minggu dan setelah itu berangsur-angsur kembali normal.13,14b. Pemeriksaan EMG

Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ketiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.10 Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran impuls, gelombang F yang memanjang dan latensi distal yang memanjang4,7,9,10. Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik.7 Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus SGB.7 Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit. Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy. 10,15,16,.17Pemeriksaan MRI

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar.2.12. KRITERIA DIAGNOSADiagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai denganntimbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.

Kriteria diagnostik SGB menurut National Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS)5 Gejala utama 1. Kelemahan progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa disertai ataxia

2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general

Gejala tambahan

1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu

2. Biasanya simetris

3. Adanya gejala sensoris yang ringan

4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral

5. Disfungsi saraf otonom

6. Tidak disertai demam

7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4

Pemeriksaan LCS

1. Peningkatan protein

2. Sel MN < 10 /ul

Pemeriksaan elektrodiagnostik

1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf

Gejala yang menyingkirkan diagnosis

1. Kelemahan yang sifatnya asimetri

2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten

3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul

4. Gejala sensoris yang nyata

2.13. DIAGNOSIS BANDING

a. Poliomielitis

Pada poliomyelitis ditemukan kelumpuhan disertai demam, tidak ditemukan gangguan sensorik, kelumpuhan yang tidak simetris, dan Cairan cerebrospinal pada fase awal tidak normal dan didapatkan peningkatan jumlah sel.4,8,11,12b. Myositis Akut

Pada miositis akut ditemukan kelumpuhan akut biasanya paroksimal, didapatkan kenaikan kadar CK (Creatine Kinase), dan pada Cairan Serebrospinal normal. 4,11c. Myastenia gravis

Didapatkan infiltrate pada motor end plate, kelumpuhan tidak bersifat ascending, ophtalmoplegia. 4,8,12d. CIPD (Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradical Neuropathy)

Didapatkan progresifitas penyakit lebih lama dan lambat. Juga ditemukan adanya kekambuhan kelumpuhan atau pada akhir minggu keempat tidak ada perbaikan.2.14. TATALAKSANASampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus segera di rawat di rumah sakit untuk memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan dan fisioterapi.

Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah :a. Sistem Otonom

Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda tanda vital.1 Ventilator harus disiapkan disamping pasien sebab paralisa yang terjadi dapat mengenai otot otot pernapasan dalam waktu 24 jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi dan vasoaktif juga harus disiapkan 1,4 Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa diberikan medikamentosa.1 Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat obatan berupa steroid.1 Namun ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat memperpendek lamanya penyakit, mengurangi paralisa yang terjadi maupun mempercepat penyembuhan.4,12 Idealnya, semua pasien harus harus dirawat di unit perawatan kritis, di mana sumber daya yang memadai tersedia untuk memungkinkan pemantauan jantung dan pernapasan terus menerus. Bahkan tanpa adanya klinis distress pernapasan, ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada pasien dengan setidaknya satu kriteria utama atau dua kriteria minor. Kriteria utama adalah hiperkarbia (Tekanan parsial karbon dioksida arteri, > 6,4 kPa [48 mm Hg]), hipoksemia (tekanan parsial oksigen arteri sementara pasien menghirup udara ambien,