referat knf

Upload: drviii

Post on 13-Oct-2015

28 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

nasopharynx, carcinoma, paper

TRANSCRIPT

  • 5/22/2018 referat KNF

    1/23

    Kata Pengantar

    Daftar Isi

    Bab I Pendahuluan

    1.1. Latar belakang

    1.2. Batasan masalah

    1.3. Tujuan penulisan

    1.4. Metode penulisan

    Bab II Tinjauan Pustaka

    2.1. Definisi

    2.2. Epidemiologi

    2.3. Etiologi

    2.4. Anatomi, dan fisiologi

    2.5. Histologi dan

    2.6. Gejala dan Tanda

    2.7. Patofisiologi Karsinoma Nasofaring

    2.8. Diagnosis

    2.9. Stadium/klasifikasi

    2.10. Penatalaksanaan

    2.11. Komplikasi

    2.12. Prognosis

    2.13. pencegahan

    Bab III Pembahasan

    3.1. Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring

    Bab IV Penutup

    4.1. Kesimpulan

    4.2. Saran

    Daftar Pustaka

  • 5/22/2018 referat KNF

    2/23

    Table of Contents

    BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................... 3I.1 Latar Belakang ......................................................................................................................................3I. 2. Batasan Masalah ................................................................................................................................4

    I.3. Tujuan Penulisan ................................................................................................................................4I.4. Metode Penulisan ...............................................................................................................................4

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................................... 5II.1. Definisi ..................................................................................................................................................5II. 2. Epidemiologi ......................................................................................................................................5II.3. Etiologi ..................................................................................................................................................5II.3. Anatomi Dan Fisiologi .....................................................................................................................7II.5. Histologi ...............................................................................................................................................9II.6. Gejala dan Tanda ............................................................................................................................ 10II.7. Patofisiologi ..................................................................................................................................... 12II.8. Diagnosis.............................................................................................................................................. 12

    II.9. Diagnosis banding ......................................................................................................................... 14II.10. Staging Klinis ................................................................................................................................ 14II.12. Komplikasi ..................................................................................................................................... 15II.4. Follow up ........................................................................................................................................... 17

    BAB III PEMBAHASAN ................................................................................................................ 19III.1. Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring ...................................................................................... 19III. 2. Kesimpulan .................................................................................................................................... 21Daftar Pustaka ......................................................................................................................................... 22

  • 5/22/2018 referat KNF

    3/23

    BAB I PENDAHULUAN

    I.1 Latar Belakang

    Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang banyak dijumpai di Indonesia, merupakan urutan ke

    empat dari 5 tumor ganas yang paling banyak ditemui setelah Kanker leher Rahim 17%, Kanker payudara

    11%, dan kanker kulit 7 % (SKRT 2012)[1]. Sedangkan Karsinoma nasofaring menduduki peringkat

    pertama pada tumor ganas di bagian THT. Penyakit ini 100% berhubungan dengan infeksi virus Epstein

    Barr, terutama pada tipe karsinoma nasofaring yang tidak berdiferensiasi (WHO tipe III). Indonesia yang

    memiliki populasi 225 juta penduduk yang terdiri dari berbagai suku dan etnis, karsinoma nasofaring

    adalah hal yang umum diantara penduduk asli dan dipengaruhi oleh latar belakang sosioekonomi, dengan

    estimasi angka kejadian 6.2/100.000 atau sekitar 12.000 kasus baru per tahun. [2]

    Dengan adanya hubungan yang kuat antara karsinoma nasofaring dengan Epstein Barr Virus, pemeriksaan

    serologi EBV dan nasofaringoscopy adalah hal yang lazim. Skrining ini adalah sensitive dan riset terbaru

    menunjukkan bahwa skrining secara berkala dapat mendeteksi dini kanker, dengan lebih dari 40% kasus

    kanker pada stadium awal. Dengan angka harapan hidup 5 tahun lebih tinggi dan melebihi 90% pada

    kanker yang terdeteksi dalam skrining.[2][3]

    Pada penelitian ditemukan adanya korelasi antara stadium kanker dan angka harapan hidup 5 tahun.

    Menurut American Joint committee on cancer(AJCC), angka bertahan hidup 5 tahun menurun dari 76.9%

    untuk stadium 1, hingga 16.4% untuk kanker stadium 4. Namun sayangnya tidak lebih dari 10% kasus

    ditemukan pada stadium 1 karsinoma nasofaring.[3][buku ijo]

    Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu masalah dan merupakan

    penyakit yang sering salah terdiagnosa. Hal ini disebabkan oleh gejala dini yang bervariasi dan tidak khas

    serta letak nasofaring yang tersembunyi dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli,

    sehingga banyak pasien didiagnosis pada stadium akhir, yang mana memperburuk prognosis angka

    bertahan hidup 5 tahun. Hal ini dapat menjadi suatu peringatan kepada para dokter untuk memperbaiki

    pengenalan akan penyakit dan melakukan pemeriksaan yang spesifik, agar dapat mencegah dan

    mendeteksi dini karsinoma nasofaring.

  • 5/22/2018 referat KNF

    4/23

    I. 2. Batasan Masalah

    Dalam referat ini akan dibahas mengenai deteksi dini Karsinoma nasofaring

    I.3. Tujuan Penulisan

    Penulisan referat ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang karsinoma nasofaring serta

    memberikan informasi terkini tentang deteksi dini dari karsinoma nasofaring.

    I.4. Metode Penulisan

    Penulisan referat ini disusun berdasarkan metode tinjauan kepustakaan dari beberapa literature.

  • 5/22/2018 referat KNF

    5/23

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    II.1. Definisi

    Karsinoma nasofaring adalah karsinoma sel skuamosa yang non-lymphomatous yang muncul pada

    daerah garis epithelial pada bagian nasofaring. Neoplasma ini menunjukkan berbagai macam

    derajat diferensiasi dan sangat sering ditemukan pada bagian fosa Rosenmuller.[12]

    II. 2. Epidemiologi

    Karsinoma nasofaring merupakan penyakit yang jarang ditemui di sebagian besar dunia, Angka

    kejadian karsinoma nasofaring di United States dan Eropa hanya sekitar 1/100.000 populasi. Daerah

    endemis penyakit ini adalah China Selatan, Asia Tengara, Alaska, dan sekitar Greenland Eskimo. Ras

    mongoloid merupakan factor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan cukup tinggi pada

    penduduk cina bagian selatan (termasuk hongkong), Vietnam, Thailand, malaysia, singapura, dan

    Indonesia. [2]

    Di Indonesia angka kejadian karsinoma nasofaring adalah 6.2/100.000, dengan 13.000 kasus baru

    setiap tahunnya. Bedasarkan data dari Pathology Cancer Registry dan evaluasi RSCM pada tahun

    1996-2005, karsinoma nasofaring merupakan kanker tersering didaerah kepala dan leher (28.4%),

    dengan rasio laki-laki dan perempuan 2.4:1, Bandung, Malang, Denpasar, Manado, dan Surabaya,

    merupakan daerah yang memiliki angka kejadian yang tinggi, yaitu 5.66/100.00, atau 1000 kasus baru

    per bulan. Penyakit ini didapati endemis pada etnis jawa (30.5%), diikuti oleh etnis sunda (25.8%), dan

    penduduk asli sumatera (23.9%). Studi secara cohort menunjukkan angka kejadian tertinggi penduduk

    indonesia pada usia 30-50 tahun, namun didapati juga 21% dari seluruh kasus pada golongan umur

    dibawah 30 tahun baik kategori juvenile dan dewasa muda.[2]

    II.3. Etiologi

    Dari studi epidemiologi yang ada 3 faktor etiologi utama pada KNF yaitu: Infeksi laten VEB, Genetik, dan

    paparan terhadap zat karsinogenik pada usia muda[6][7][8][9]

    Infeksi Virus Epstein Barr.

    VEB terdeteksi secara konsisten pada pasien karsino nasofaring abik di daerah insiden tinggi maupun

    insiden rendah. Lesi awal di nasofaring yang telah menunjukkan kandungan VEB, menunjukkan infeksi

    terjadi pada fase awal karsinogenesis. Terdeteksinya bentuk tunggal DNA viral menyarankan bahwa

    tumor merupakan proliferasi klonal dari sel tunggal yang pada awalnya terinfeksi VEB (McDermott et al.,

    2001; cottril dan nutting, 2003).

  • 5/22/2018 referat KNF

    6/23

    KNF merupakan penyakit yang murni berhubungan dengan VEB. Namun perjalanan penyakit KNF tidak

    hanya diakibatkan oleh infeksi VEB semata. Transformasi infeksi VEB menjadi penyakit yang berbahaya

    diakibatkan oleh reaktivasi virus tersebut dengan kombinasi factor lainnya seperti:

    Dietary Environmental Factor

    Konsumsi ikan asin, telur asin, daging asap, daging yang dikeringkan, makanan yang diawetkan, yang

    mengandung komponen N-nitroso-n-amine merupakan factor resiko terbentuknya KNF. Selain itu

    formalin yang digunakan sebagai bahan pengawet makanan, pewarna tekstil yang digunakan sebagai

    pewarna makanan, yang umum digunakan di Indonesia, merupakan etiologi yang penting KNF.

    Non-Dietary Environmental Factor:

    Adanya paparan sejak dini atau sering dengan benzopyren, gas kimia, formaldehid, asap industry, asap

    domestic dari kayu yang terbakar, fossil, sampah, dan rumput yang terbakar, serta perokok pasif maupun

    aktif, telah dibuktikan berhubungan dengan KNF. Yu et al. (1990) melaporkan adanya 3x kenaikan resiko

    pada orang yang merokok lebih dari 30 rokok/hari dan pada orang yang telah menjadi perokok pasif sejak

    kecil merupakan factor resiko yang signifikan dalam memicu KNF. Riwayat pemakaian obat herbal cina

    atau obat herbal lainnya untuk hidung diduga berhubungan dengan KNF. (McDermott et al.,2001)

    Genetic

    Analisa genetic pada populasi endemis berhubungan dengan HLA-A2, HLA-B17, dan HLA-Bw26, dimana

    orang yang memiliki gen ini memiliki resiko 2 hingga 3 kali lebih besar menderita KNF. Pada studi

    epidemiologi, adanya resiko yang meningkat 4 hingga 8 kali pada individu yang memiliki hubungan

    keluarga derajat pertama dengan penderita KNF.[5]

    Radang Kronis di nasofaring

    Dengan adanya peradangan menahun di nasofaring, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap

    karsinogen penyebab KNF. Proses peradangan dan kondisi beninga di telinga, hidung, dan tenggorokan

    merupakan factor predisposisi terjadinya transformasi pada mukosa nasofaring yang meningkatkan resiko

    terjadinya keganasan. (mcdermott et al.,2001)

  • 5/22/2018 referat KNF

    7/23

    II.3. Anatomi Dan Fisiologi

    Nasofaring merupakan bagian dari faring yang terletak di belakang rongga hidung dan membentang

    kebawah setingkat dengan palatum molle dan berbentuk seperti corong kerucut yang memiliki bagian

    atas yang lebar kemudian menyembit kebawah. Nasofaring merupakan rongga lintasan udara memilikifungsi respirasi, dan juga memiliki fungsi sebagai ruang yang menyaring udara inspirasi dari kotoran oleh

    jaringan limfoid, jalan udara ke tuba eustachius, resonator, drainase sinus paranasal, kavum timpani, dan

    hidung. Secret dari nasofaring bergerak kebawah oleh karena gaya gravitasi, gerakan menelan, gerakan

    silia(kinosilia), dan gerakan usapan palatum molle.

    Batas-Batas Nasofaring :

    Dinding Anterior Nasofaringberkomunikasi dengan kavum nasi melalui nares posterior (koana).

    Dinding inferior nasofaringmerupakan bidang horizontal yang dibentuk oleh palatum durum, yang ter

    elevasi akibat kontraksi otot-otot palatum, ke dinding posterior.

    Dinding superior dan posterior nasofaring dibentuk secara kontinyu satu dengan yang lain, dari atas

    kebawah, oleh basis os spenoid posterior dan os oksiput basalis, membran atlanto-oksiput dan arcus

    anterior vertebra servikal 1 (vertebra atlas) dan vertebra servikal 2 (vertebra axis)

    Dindin Lateral Nasofaring dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan muskulus

    konstriktor faring superior. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale,

    foramen jugularis, kanalis karotis, dan kanalis hipoglossis. Tuba Eustachius yang terletak di bagian konka

    nasalis inferior melintang secara bilateral pada fasia ini. Bagian superior dan posterior Tuba Eustachius di

    lindungi oleh kartilago yang menonjol (torus tubarius), dibelakangnya terdapat suatu lekukan dari fossa

    Rosenmuller, dan tepat diujung atas posteriornya terletak forames laserum. Pada daerah fossa ini sering

    terjadi pertumbuhan jaringam limfe yang menyempitkan orifisium tuba eustasius sehingga mengganguventilasi udara telinga tengah.

    Struktur penting pada Nasofaring:

    1. Orifisium faringeum tuba auditivaatau disebut juga orifisium tuba esutachius pars faringeus.

    2. Torus tubarius, penonjolan di atas orifisium faringeum tuba auditiva yang disebabkan oleh kartilago

    tuba auditiva dan berfungsi sebagai perlindungan parsial terhadap orifisium faringeum tuba

    auditiva.

  • 5/22/2018 referat KNF

    8/23

    3. Torus Levatorius, penonjolan di bawah orifisium faringeum tuba auditiva yang disebabkan oleh

    muskulus levator veli palatini.

    4. Plika Salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius

    5. Plika Salpingofaringeus, lipatan di belakang torus tubarius, yang merupakan penonjolan dari

    muskulus salpingofaringeus yang berfungsi untuk membuka orifisium faringeum tuba auditiva

    terutama ketika menguap atau menelan.

    6. Resessus Faringeus disebut juga fossa rossenmuller, terletak superior dan posterior dari torus

    tubarius, yang merupakan tempat predileksi karsinoma nasofaring.

    Sehubungan dengan penyebaran tumor yang menyebar dari fossa rosenmuller, relasi anatomi serta

    batas-batasnya dapat memberikan petunjuk klinis yang berarti.

    Anterior : Tuba eustasius

    Antero-Lateral : muskulus levator veli palatini

    Posterior : Ruang Retrofaring

    Superior : Foramen laserum, secara medial; Apex Petrous dank anal karotis, secara

    posterior; foramen oval dan spinosum, secara antero-lateral.

    Lateral : muskulus tensor veli palatine; ruang faringeus

    Inferior : Muskulus konstriktor faring superior (batas atas)

    7. Fornix Nasofaringadalah dataran disebelah atas torus tubarius, yang merupakan tempat predileksi

    tumor angiofibroma nasofaring

    8. Tonsil Faringeus/Luskha (Adenoid), terletak di bagian superior dan dorsal nasofaring sebelah

    lateral bursa faringeus. Seacara teoritis adenoid akan hilang setelah pubertas karena adenoid akan

    mencapai titik optimal pada umur 12-14 tahun. Fungsi adenoid adalah sebagai mekanisme

    pertahanan tubuh terhadap kuman yang melewati jalan nafas hidung.

    9. Tonsil Tuba, merupakan aggregasi kecil jaringan limfoid, terdapat pada resessus faringeus. Apabila

    ada hipertrofi atau edema dapat menyumbat tuba eustachius.

    10. Istmus Faringeus, merupakan terminal dari nasofaring. Elevasi dari palatum durum dan konstriksi

    dari spincter palatofaringeus menutup istmus faringeus saat menelan sehingga memisahkan

    nasofaring dari orofaring.

    Ruang Faringeal

    Ruang Retrofaring terletak di belakang nasofaring dan memisahkannya dari fasia prevertebra. Ruang

    retrofaring memiliki kelompok nodus limfoid retrofaringeus median dan lateral termasuk nodus Rouviere.

  • 5/22/2018 referat KNF

    9/23

    Ruang Parafaring terletak disebelah lateral faring yang membentang dari basis kranii bagian atas, ke

    superior mediastinum.

    Kompartemen Pre-Styloideus bagian atas berhubungan dengan dinding lateral nasofaring dan fossa

    rosenmuller dan terdapat arteri maxillary, nervus dental inferior, nervus lingual, dan nervus auriculo-

    temporal.

    Ruang bahaya/ danger space merupakan sebuah kompartemen yang sempit diantara fasia

    prevertebral. Ruang bahaya terletak dibelakang ruang retrofiring dan di depan kolum vertebra.

    Merupakan perpanjangan dari basis kranii hingga vertebra servikalis 7. Dalam ruang bahaya ini terdapat

    jaringan areolar loose yang memfasilitasi gerak bebas dari faring namun dapat memicu penyebaran

    infeksi, oleh karena itu dinamakan ruang bahaya.

    Vaskularisasi

    Arteri utama yang memperdarahi nasofaring adalah:

    arteri faringeus asenden, a. palatine asenden, a. palatine desenden, dan a. faringeus cabang dari a.

    sphenopalatinisemuanya berasal dari a. karotis eksternal dan cabangnya.

    Inferior petrosal sinus, internal jugular vein, the meningeal branches from occipital and ascending

    pharyngeal arteries, and the the hypoglossal foramen, through which passes the hypoglossal nerve

    Persarafan

    Inervasi Sensorinasofaring termasuk bagian posterior dari palatum molle, berasal dari saraf kranialis IX,

    kecuali lapisan mukosa nasofaring dan orifisium tuba di inervasi oleh saraf kranial V2 (bagian maxilla)

    Inervasi Motoriknasofaring berasal dari plexus faringeal, termasuk di dalamnya adalah saraf kranial IX

    dan X bersama dengan cabang saraf simpatis servikalis. Inervasi utama pada otot-otot faring berasal dari

    saraf kranial XI.

    II.5. HistologiDinding nasofaring dibentuk oleh lapisan muscular, fibrosa, dan mukosa.

    Pada saat lahir nasofaring dilapisi oleh epitel kolumner pseudokompleks. Setelah 10 tahun kehidupan,

    epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel stratified nonkeratinizing squamous, kecuali

    pada beberapa area (transition zone). 60 % dari mukosa nasofaring dan 80% dinding posterior nasofaring

    dilapisi oleh epitel berlapis gepeng stratified squamous epithelium, sedangkan area epitel transisional

  • 5/22/2018 referat KNF

    10/23

    berada pada persimpangan dinding lateral dan superior nasofaring, yang merupakan epitel peralihan

    antara epitel berlapis gepeng dan epitel berlapis torak bersilia. Tempat pertemuan atau peralihan dua

    macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.

    Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan limfosid

    sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosid ini

    sangat erat, sehingga disebut juga limfoepitel.

    II.6. Gejala dan Tanda

    Gejala yang muncul pada karsinoma nasofaring dibagi menjadi empat kategori Gejala yang disebabkan

    oleh adanya masa tumor (Nasal Sign), Gejala yang berhubungan dengan disfungsi dari tuba

    eustachius (Ear Sign), gejala yang berhubungan dengan ekstensi tumor kea rah superior(Eye

    and Cranial sign), dan massa pada leher(Mass sign).[5]

    1. Nasal Sign :

    a. Pilek lama yang tidak sembuh

    b. Epistaksis berulang-ulang, jumlahnya sedikit, dan biasanya bercampur dengan

    secret hidung.

    c. Sekret hidung menyerupai nanah, encer sampai kental dan berbau.

    d. Sumbatan aliran nafas

    2. Ear Sign

    a. Tinitus

    b. Gangguan pendengaran

    c. Otalgia

    3. Eye and Cranial Sign

    a. Diplopia. Tumor merayap masuk foramen laserum dan menimbulkan gangguan N.IVdan N.VI. bila terkena optic kiasma dapat menimbulkan kebutaan.

    b. Gejala kranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan oleh penderita.

    Gejala ini berupa:

    i. Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase

    secara hematogen

    ii. Sensibilitas daerah pipi dan hidung berkurang (baal)

    iii. Adanya kesukaran pada waktu menelan

    iv. Afoni

    v. Sindrom jugular Jackson yang mengenai N,IX, N. X, N.XI, N.XII. Dengan

    tanda-tanda kelumpuhan pada lidah, palatum, faring atau laring,

  • 5/22/2018 referat KNF

    11/23

    M.Sternocleidomastoideus, M.trapezius.

    4. Neck Mass Sign

    a. Pembesaran kelenjar limfoid leher yang merupakan penyebaran atau

    metastase dekat secara limfogen dari KNF.

    Beberapa penelitian di Cina telah menemukan beberapa kelainan pada nasofaring yang

    disebut Lesi Hiperplastik Nasofaring yang apabila diikuti perkembangannya akan

    berkembang menjadi karsinoma nasofaring. Kelainan-kelainan tersebut adalah pembesaran

    adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan mukosiis berat pada daerah nasofaring.

  • 5/22/2018 referat KNF

    12/23

    II.7. Patofisiologi

    II.8. DiagnosisDiagnosis ditegakan berdasarkan (chapter II)

    1. Gejala dan tanda Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai diagnostik dan

    berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan karsinoma nasofaring.

    Tabel 1. Formula Digby15

    Gejala Nilai

    Massa terlihat pada nasofaring

    Gejala khas di hidung

    Gejala khan pendengaran

    Sakit kepala unilateral atau bilateral

    Gangguan neurologis saraf otak

    Eksopthalmus

    25

    15

    15

    5

    5

    5

  • 5/22/2018 referat KNF

    13/23

    Limfadenopati leher 25

    Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat

    dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring,

    namun biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis

    histopatologi, juga menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan

    pengobatan dan prognosis15. (chapter II)

    2. Pemeriksaan Nasofaring

    Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi posterior (tidak

    langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta fibernasofaringoskopi15

    3. Radiologi

    Digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring dan melihat massa tumor yang menginvasi pada

    jaringan sekitarnya dengan menggunakan :

    Computed Tomografi (CT), dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan ikat lunak pada

    nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring. Sensitif mendeteksi erosi tulang,

    terutama pada dasar tengkorak.

    Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan imaging yang multiplanar

    dan lebih baik dibandingkan CT dalam membedakan tumor dari peradangan. MRI juga lebih

    sensitif dalam mengevaluasi metastase pada retrofaringeal dan kelenjar limfe yang dalam.

    MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat

    mendeteksinya6

    4. Serologi

    Pemeriksaan serologi IgA anti EA (Early antigen) dan IgA anti VCA (Viral Capsid Antigen) untuk infeksi VEB

    telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Dapat juga dideteksi dengan

    teknik PCR pada material yang diperoleh dari aspirasi biopsy jarum halus pada metastase kelenjar getah

    bening leher.

    5. Biopsi

    Diagnosis pasti KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan diagnosis histologi atau sitology.

    Diagnosis histologi atau sitology dapat ditegakan dari material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau

  • 5/22/2018 referat KNF

    14/23

    sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung tanpa melihat jelas tumornya

    (blind biopsy), dan melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton.

    Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan

    kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.

    6. Pemeriksaan Patologi Anatomi

    Klasifikasi gambaran histopatologi dari WHO 1991, dibagi atas 2 tipe, yaitu:

    I. Sel skuamosa ber keratinisasi

    Terdapat keratin atau intercellular bridge atau keduanya

    II. Sel skuamosa tidak berkeratinisasi

    a. Karsinoma tidak berdiferensiasi

    Terdapat gambaran sinsitial dengan batas sel yang tidak jelas, inti bulat sampai oval dan

    vesicular, dijumpai anak inti. Dijumpai lymphoepithelioma (infiltrate sel limfosit yang

    banya)

    b. Berdiferensiasi

    II.9. Diagnosis bandingDi bawah ini terdapat beberapa diagnosis banding dari karsinoma nasofaring ;

    1. Infeksi2. Tornwaldt cyst

    Tornwald cyst merupakan kista yang langka yang muncul pada garis tengah dari nasofaring

    dan deapat terinfeksi. Kista ini merupakan sisa dari nothochord embrional yang superficial

    dari otot konstriktor superior dari faring dan ditutupi oleh membrana mukosa dari

    nasofaring. Ketika terinfeksi, akan mengeluarkan cairan purulen dengan bau yang tidak

    sedap, dapat menyumbat tuba eustachius dan sakit tenggorok.

    3. Metastase ganas dari kanker primer di bagian tubuh lain

    4. Limfoma

    II.10. Staging KlinisPenentuan stadium TNM pada Karsinoma Nasofaring berdasarkan UICC (Union International CentreCancer) dan AJCC (American Joint Committee on Cancer) adalah sebagai berikut :

    Tabel 2002 AJCC Kriteria untuk stadium nasofaring

    T1 Tumor terbatas pada nasofaring

    T2 Tumor meluas ke orofaring dan atau nasofaring

    T2a Tanpa perluasan ke parafaring

    T2b Perluasan ke ruang parafaring

    T3 Invasi tumor ke struktur tulang dan/atau ke sinus paranasal

    T4 Tumor meluas ke intrakanial dan atau mengenai syaraf kranial, hipofaring, fossa

    infratemporal, atau orbitaN0 Tidak ada pembesaran kelenjar

  • 5/22/2018 referat KNF

    15/23

    N1 Terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral

  • 5/22/2018 referat KNF

    16/23

    di leher. Sel kanker yang bermetastasis jauh ke daerah tubuh lain paling sering menuju tulang dan

    sum-sum tulang, paru-paru dan hati.

    Sindroma paraneoplastik

    Karsinoma nasofaring dapat menyebabkan sindroma paraneoplastik. Sindroma ini tergolong

    jarang, tetapi dapat memungkinkan untuk menjadi salah satu komplikasi. Sindroma terjadi ketikareaksi imun tubuh bereaksi terhadap sel kanker dengan menyerang sel tubuh normal.

    II.13. Terapi(refrat UKI)

    Radioterapi

    Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan KNF, karena

    kebanyakan tumor ini tipe anaplastic yang radiosensitive. Penatalaksanaan pertama untuk KNF adalah

    radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.

    Kemoterapi

    Kemoterapi merupakan terapi tambahan pada karsinoma nasofaring yang dapat meningkatkan hasil

    terapi. Kemoterapi terutama diberikan pada stadium lanjut.

    Kemoradioterapi/Terapi Kombinasi

    Kemoradioterapi merupakan kombinasi pemberian kemoterapi bersamaan dengan radioterapi dalam

    rangka mengkontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival pasien dengan cara mengatasi

    sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi.

    Manfaat Kemoradioterapi adalah

    1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil terapi radiasi

    lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak

    efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula berkurangnya

    jumlah sel hipoksia.

    2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap radiasi yang

    diberikan (radiosensitiser).

    Terapi kombinasi ini dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi. Dengan cara ini diharapkan

    dapat membunuh sel kanker yang sensitive terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang

    radioresisten menjadi lebih sensitive terhadap resistensi.

    Kelemahan kemoradioterapi adalah efek samping yang ditimbulkannya seperti mukositis, leukopeni,

    dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan sementara radioterapi.

    Toksisitas kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat fatal.

  • 5/22/2018 referat KNF

    17/23

    Operasi

    Tindakan operasi pada penderita KNF berupa diseksi leher radikan dan nasofaringektomi. Diseksi leher

    Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya

    kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan

    pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang

    dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil

    diterapi dengan cara lain.

    Menurut GPOH protocol NPC-2003-GPOH

    Dalam GPOH protocol NPC-2003-GPOH Pasien beresiko rendah dengan tumour stase I and II menerima

    radiotherapy hanya disertai dengan pemberian adjuvant interferon (IFN)- 105u/kg intravena (i.v.) 3 kali a

    seminggu selama 6 bulan. Pasien dengan resiko tinggi diberikan cisplatinum 100mg/m2 selama 6 hourspada hari pertama dengan hidrasi standar, mannitol dan elektrolit, dan folinic acid 25mg/m2 setiap 6 jam

    untuk dosis total 6 doses sama seperti 5-fluorouracil 1000mg/m2 per hari dari hari 2 selama 5 hari sebagai

    infus yang berlanjut. Mereka diberikan 3 paket kemoterapi setiap 21 hari atau sesuai pemulihan darah

    sepenuhnya dan diikuti dengan radiiasi dan IFN- seperti pada pasien beresiko rendah. Methotrexate

    telah ditinggalkan karena efek sampingnya berupa mukositis yang sangat parah. Pasien yang tidak dalam

    CR setelah 3 paket kemoterapi akan diberikan concomitant cisplatinum 20mg/m2/day selama 3 hari dan

    diikuti oleh 2 paket radiasi.

    Perawatan Paliatif

    Perawatan paliatif diberikan kepada pasien dengan pengobatan radiasi. Pasien dianjurkan untuk makan

    banyak kuah dan banyak minum, untuk merangsang keluarnya air liur yang rusak sewaktu penyinaran.

    Gangguan lain seperti mukositis, rasa kaku leher, sakit kepala, anoreksia, dan terkadang mual muntah

    harus ditangani untuk menghindari komplikasi dari terapi.

    II.4. Follow upTidak seperti keganasan kepala leher yang lain, KNF memiliki resiko terjadi rekuransi, follow up jangka

    panjang diperlukan. Kekambuhan sering terjadi kurang dari 5 tahun, 5-15% kekambuhan seringkali terjadi

    antara 5-10 tahun. Sehingga pasien dianjurkan untuk follow up setidaknya 10 tahun pasca terapi. [Buku

    ijo]

    II.15. Pencegahan(refrat uki)

    Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein Barr yang

    dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi.

  • 5/22/2018 referat KNF

    18/23

    Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.

    Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk

    mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.

    Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan social

    ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan factor penyebab.

    Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang akan datang

    bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.

  • 5/22/2018 referat KNF

    19/23

    BAB III PEMBAHASAN

    III.1. Deteksi Dini Karsinoma NasofaringWei dan Sham membagi gejala klinis pada pasien KNF kedalam 4 kategori:

    mber jala klinis

    asa tumor di nasofaring istaksis, hidung buntu, dan beringus

    sfungsi tuba eustachius ndengaran yang berkurang/tuli

    stensi superior dari tumor eri kepala, diplopia, nyeri wajah, baal

    asa di leher

    Dikarenakan gejala KNF pada stadium awal biasanya tidak khas, hampir semua pasien KNF terdiagnosis

    pada stadium lanjut. Sehubungan dengan prognosis yang kurang baik pada terapi KNF stadium lanjut,

    deteksi dini dan pemberian terapi yang sesuai memegang peranan penting untuk mencapai hasil yang

    baik.

    Perkembangan dari protocol primer skrining KNF berkontribusi terhadap deteksi dini sehingga dapat

    memperbaiki hasil dari terapi.

    Dalam penelitian, peneliti mengaitkan kejadian karsinoma nasofaring dengan EBV. Meskipun secara

    mekanisme belum dapat dijelaskan dengan rinci, igA antibody titer untuk antigen capsid viral (EBV-IgA-

    VCA) dan EBV Early Antigen (EBV-EA) dapat digunakan untuk screening karsinoma nasofaring secara

    serologi.15,16

    Penelitian lainnya mengatakan, terdeteksinya gen EBV pada swab nasofaring pasien yang

    memiliki gejala merupakan petunjuk yang baik dalam perkembangan ke arah karsinoma nasofaring.17,18

    Penelitian terakhir, ELISA(Enzym-Linked Immunosorbent Assays) dengan menggunakan rekombinan

    antigen EBV lebih banyak digunakan untuk menggantikan immunoflourescent assay yang tradisional.19

    Tes-tes ini sering mendahului penampakan klinis dari Karsinoma nasofaring dan digunakan sebagai

    tumor marker dari remisi dan relaps.20,21

    Penelitian menemukan bahwa peningkatan level antibody EBV

    mendahului gejala dari karsinoma nasofaring. Penelitian juga melaporkan adanya jeda waktu sekitar

    tiga tahun sebelum adanya gejala klinis dari karsinoma nasofaring ketika level antibody meningkat dan

    bertahan pada level yang tinggi.22

    Tetapi, tes-tes serologik ini tidak memberikan hasil yang memuaskan

    karena tingkat spesifisitas dan sensitivitas yang rendah. Deteksi dari gen EBV pada swab nasofaring

    pada pasien yang bergejala telah menjadi factor prediksi yang baik dari karsinoma nasofaring.23,24

    Pendekatan proteomik telah dipakai untuk menganalisa neoplasma ganas. Marker lain yang

    potensial untuk diagnosis karsinoma nasofaring adalah Galectin-1, fibronectin, Mac-2 binding

  • 5/22/2018 referat KNF

    20/23

    protein, dan plasminogen activator inhibitor 1.25,26Ada kemungkinan inkorporasi dari tes-tes ini

    pada skrining rutin karsinoma nasofaring dapat menjadi cara deteksi dini.

    Pentingnya gejala klinis, perjalanan penyakit dan pemeriksaan klinis untuk membantu diagnosis

    dini dari karsinoma nasofaring tidak dapat dilupakan. Pasien dengan AIDS bermanivestasi dalam

    meningkatnya kasus karsinoma nasofaring.27 Keluhan utama yang paling sering adalah masa pada

    leher tanpa rasa nyeri. Orang dewasa yang datang dengan keluhan otitis media serosa unilateral

    harus diperiksa dengan seksama untuk menyingkirkan karsinoma nasofaring. Endoskopi memiliki

    peranan yang sangat penting dalam mendeteksi lesi karsinoma nasofaring dini dan biopsy

    endoskopi memungkinkan ditegakkannya diagnosa pasti. Lesi awal biasanya muncul pada dinding

    lateral atau atap dari nasofaring. Mekipun begitu, para dokter harus mengingat fakta bahwa

    mendeteksi karsinoma nasofaring terkadang sangat susah dengan endoskopi. Dari Endoskopi, lesiawal karsinoma nasofaring dapat berbentuk sebagai kepenuhan pada fosa Rosenmuller, tonjolan

    kecil atau bentuk yang tidak simetris dari atap. Ketika suspek karsinoma nasofaring sudah kuat,

    mempertimbangkan deteksi dini karsinoma nasofaring, pemeriksaan radiologi yang tepat

    dan/atau biopsy dari mukosa nasofaring tetap dianjurkan meskipun permukaan mukosa terlihat

    normal.

    Perhatian lebih harus diberikan ketika MRI dilakukan pada pasien dengan otitis media serosa

    unilateral atau pembesaran kelenjar getah bening servikal. Sebagian besar kasus karsinoma

    nasofaring bermula di fosa Rosenmuller. Obstruksi dari orifisium faring dari tuba eustachius

    menyebabkan otitis media serosa. Sekitar 70% dari pasien karsinoma nasofaring awalnya datang

    dengan keluhan masa pada leher dan 60-96% dari pasien karsinoma nasofaring didapatkan

    pembesaran kelenjar getah bening servikal.28-30 Masa pada leher biasanya ditemukan di leher

    bagian atas. Tumor T1 pada nasofaring dapat secara klinis tersembunyi dan juga dapat sangat

    susah dibedakan dengan mukosa normal jika dilihat dari CT scan dan MRI. MRI dapat membantu

    memberikan gambaran yang lebih baik kanker pada pemeriksaan endoskopi yang gagal.31Dalam

    penelitian dikatakan bahwa MRI lebih baik daripada PET scan dalam menilai invasi locoregional

    dan metastasis retrofaringeal. PET tidak cocok dalam mendeteksi masa retrofaringeal kecil atau

    untuk membedakan masa retrofaringeal dari tumor lain disekitarnya.32

    Studi terakhir mrekomendasikan bahwa skrining harus dilakukan pada anggota keluarga pasien knf

    yang asimptomatis, sebagai deteksi dini KNF dan meningkatkan angka bertahan hidup.

  • 5/22/2018 referat KNF

    21/23

    III. 2. KesimpulanDeteksi dini KNF masih merupakan sebuah masalah karena adanya manifestasi klinis yang tidak khas.

    Tes serologi VEB merupakan sebuah skrining pada populasi yang memiliki resiko tinggi, walaupun tes

    skiring yang ada di klinik memberikan hasil yang kurang memuaskan. Pemeriksaan radiologi dan/atau

    biopsy direkomendasikan apabila adanya dugaan kuat terhadap KNF. Peningkatan kesadaran para

    dokter dan populasi beresiko berkontribusi kuat terhadap deteksi dini KNF.

  • 5/22/2018 referat KNF

    22/23

    Daftar Pustaka1. depkes

    2. Marlinda Adham, Antonius N. Kurniawan, et al. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia:

    Epidemiology, incidence, sign, and symptom at presentation. Chinese Journal of cancer,

    2012, 31:4

    3. Dr. NG Wai Tong, Dr. Anthony C.H.YING. Guidelines on Cancer prevention, early detectionand screening Nasopharyngeal Carcinoma. The Hong Kong Anti Cancer Society, 2008

    4. buku nasofaring ca van hasselt et al

    5. Yu MC, Yuan JM. Epidemiology of nasopharyngeal carcinoma.Semin Cancer Biol,

    2002,12:421-429.

    6. Tao Q, Chan ATC. Nasopharyngeal carcinoma: molecular pathogenesis and therapeutic

    developments. Expert Rev Mol Med, 2007,9:1-24.

    7. Armstrong RW, Imbrey PB, Lye MS, et al. Nasopharyngeal carcinoma in Malaysian Chinese;

    salted fish and other dietary exposures. Int J Cancer, 1998, 77:228-235.

    8. Magee PN, Montesano R, Preussmann R. N N itroso compounds and related carcinogens.

    Searle CE, ed. Chemical Carcinogens. Washington DC: American Chemical Society

    Monograph, 1976:491-625.

    9. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &

    Leher. Edisi Keenam. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2007.

    10.Buku boeis

    11.Keiji Tabuchi, Masahiro Nakayama et al. Early Detection of Nasopharyngeal Carcinoma.

    International Journal of Otolaryngology,2011.

    12.Warut Tulalamba dan Tavan Janvilisri. Nasopharyngeal Carcinoma Signaling Pathway: An

    Update on Molecular Biomarkers. International Journal Of Cell Biology, 2012.

    13.Sham JS, Choy D, Wei WI, et al. Detection of subclinical nasopharyngeal carcinoma byfibreoptic endoscopy and multiplebiopsy. Lancet 1990;335:37174.

    14. W. I. Wei and J. S. T. Sham, Nasopharyngeal carcinoma,TheLancet, vol. 365, no. 9476, pp. 20412054, 2005.

    15. Z. Yi, L. Yuxi, and L. Chunren, Application of an immunoen-zymatic method and animmunoautoradiographic method fora mass survey of nasopharyngeal carcinoma,Intervirology,vol.13, no. 3, pp. 162168, 1980.

    16. Y. Zeng, L. G. Zhang, and H. Y. Li, Serological mass surveyfor early detection of nasopharyngealcarcinoma in WuzhouCity, China,International Journal of Cancer, vol. 29, no. 2, pp.139141, 1982.

    17.N. M. Tsang, C. C. Chuang, C. K. Tseng et al., Presence ofthe latent membrane protein 1 gene innasopharyngeal swabsfrom patients with mucosal recurrent nasopharyngeal carci-noma,Cancer,vol. 98, no. 11, pp. 23852392, 2003.ing early recurrent nasopharyngeal carcinoma,

    18.K.-P. Chang, C.-C. Wu, H.-C. Chen et al., Identificationof candidate nasopharyngeal carcinoma serumbiomarkersby cancer cell secretome and tissue transcriptome analysis:potential usage of cystatin Afor predicting nodal stage andpoor prognosis,Proteomics, vol. 10, no. 14, pp. 26442660,

    19. E. C. B. Nadala, T. M. C. Tan, H. M. Wong, and R. C. Y. Ting,ELISA for the detection of serum. Andsaliva IgA against theBMRFI gene product of Epstein-Barr virus,Journal of MedicalVirology, vol. 50,no. 1, pp. 9396, 1996.

    20. F. De Vathaire, H. Sancho-Garnier, H. De-The et al., Prognostic value of EBV markers in the clinicalmanagement ofnasopharyngeal carcinoma (NPC): a multicenter follow-up study,International Journalof Cancer, vol. 42, no. 2, pp. 176181, 1988.

    21.K. P. Chang, C. L. Hsu, Y. U. L. Chang et al., Complementaryserum test of antibodies to Epstein-Barrvirus nuclear antigen-1 and early antigen: a possible alternative for primaryscreening ofnasopharyngeal carcinoma,Oral Oncology, vol.44, no. 8, pp. 784792, 2008.

    22.S. P. Hao, N. M. Tsang, and K. P. Chang, Screening nasopharyngeal carcinoma by detection of the

    latent membraneprotein 1 (LMP-1) gene with nasopharyngeal swabs,Cancer,vol. 97, no. 8, pp.19091913, 2003.23. N. M. Tsang, C. C. Chuang, C. K. Tseng et al., Presence ofthe latent membrane protein 1 gene in

  • 5/22/2018 referat KNF

    23/23

    nasopharyngeal swabsfrom patients with mucosal recurrent nasopharyngeal carcinoma,Cancer, vol.98, no. 11, pp. 23852392, 2003.

    24.K.-P. Chang, C.-C. Wu, H.-C. Chen et al., Identificationof candidate nasopharyngeal carcinoma serumbiomarkersby cancer cell secretome and tissue transcriptome analysis:potential usage of cystatin Afor predicting nodal stage andpoor prognosis,Proteomics, vol. 10, no. 14, pp. 26442660,2010.

    25.C. E. Tang, T. Tan, C. Li et al., Identification of Galectin-1 asa novel biomarker in nasopharyngeal

    carcinoma by proteomicanalysis,Oncology Reports, vol. 24, no. 2, pp. 495500, 2010.pp. 283287,2003.26. C. C. Wu, K. Y. Chien, N. M. Tsang et al., Cancer cell-secretedproteomes as a basis for searching

    potential tumor markers:nasopharyngeal carcinoma as a model,Proteomics, vol. 5, no.12, pp. 31733182, 2005.

    27. F. M. Shebl, K. Bhatia, and E. A. Engels, Salivary gland andnasopharyngeal cancers in individualswith acquired immunodeficiency syndrome in United States,International Journalof Cancer, vol. 126,no. 10, pp. 25032508, 2010.

    28.S. H. Ng, J. T. C. Chang, S. C. Chan et al., Nodal metastasesof nasopharyngeal carcinoma: patternsof disease on MRIand FDG PET,European Journal of Nuclear Medicine andMolecular Imaging, vol.31, no. 8, pp. 10731080, 2004.

    29.A. D. King, A. T. Ahuja, S. F. Leung et al., Neck node metastases from nasopharyngeal carcinoma:MR imaging of patterns of disease,Head and Neck, vol. 22, no. 3, pp. 275281,2000.

    30.W. T. Ng, A. W. M. Lee, W. K. Kan et al., N-staging bymagnetic resonance imaging for patients withnasopharyngealcarcinoma: pattern of nodal involvement by radiologicallevels,Radiotherapy andOncology, vol. 82, no. 1, pp. 7075,2007.

    31.A. D. King, A. C. Vlantis, K. S. S. Bhatia et al., Primary nasopharyngeal carcinoma: diagnosticaccuracy of MR imagingversus that of endoscopy and endoscopic biopsy,Radiology,vol. 258, no. 2,pp. 531537, 2011.

    32.A. D. King, B. B. Ma, Y. Y. Yau et al ., The impact of FFDG PET/CT on assessment of nasopharyngealcarcinoma atdiagnosis,British Journal of Radiology, vol. 81, no. 964, pp.291298, 2008.

    33.