referat interna miske - deteksi dini dm
TRANSCRIPT
REFERAT
DETEKSI DINI DIABETES MELLITUS
Pembimbing
dr. Syaifun Niam, Sp.PD
Mahasiswa
Miske Marsogi
406107023
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
1
Periode 8 Oktober 2012-15 Desember 2012
LEMBAR PENGESAHAN
Nama : Miske Marsogi
NIM : 406107023
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Tarumanagara
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Bidang Pendidikan : Ilmu Penyakit Dalam
Periode Kepaniteraan Klinik : 08 Oktober 2012 – 15 Desember 2012
Judul referat : Deteksi Dini Diabetes Mellitus
Diajukan : Desember 2012
Pembimbing : dr. Syaifun Niam, Sp. PD
TELAH DIPERIKSA DAN DISAHKAN TANGGAL :
Mengetahui,
Ketua SMF Ilmu Penyakit Dalam Pembimbing,
BLU RSUD Kota Semarang,
Dr. Pujo Hendriyanto, Sp. PD Dr. Syaifun Niam, Sp. PD
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkah dan
rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Deteksi Dini Diabetes
Mellitus” guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Tarumanegara di BLU RSUD Kota Semarang periode 08
Oktober 2012 – 15 Desember 2012. Disamping itu, makalah ini bertujuan untuk menambah
pengetahuan bagi pembaca.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak yang
telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, yaitu:
1. Dr. Susi Herawati, M.Kes selaku direktur RSUD Kota Semarang.
2. Dr. Pujo Hendriyanto, Sp. PD selaku Ketua SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota Semarang.
3. Dr. Syaifun Niam, Sp. PD selaku Pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD
Kota Semarang.
4. Rekan-rekan Anggota Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota
Semarang.
Penulis menyadari makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar referat ini dapat menjadi lebih baik. Penulis
mohon maaf apabila banyak terdapat kesalahan maupun kekurangan dalam makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis
sendiri maupun pembaca umumnya.
Semarang, Desember 2012
Penulis
3
DAFTAR ISI
Halaman Judul.......................................................................................................................1
Lembar Pengesahan...............................................................................................................2
Kata Pengantar.......................................................................................................................3
Daftar Isi................................................................................................................................4
BAB I. PENDAHULUAN.....................................................................................................5
BAB II. DIABETES MELLITUS..........................................................................................6
II.1 DEFINISI ................................................................................................................6
II.2 KLASIFIKASI.........................................................................................................6
II.3 EPIDEMIOLOGI.....................................................................................................9
II.4 DIAGNOSA ...........................................................................................................11
II.5 SKRINING..............................................................................................................11
II.6 BIOSINTESIS, SEKRESI, AKSI INSULIN...........................................................12
II.7 PATOGENESIS......................................................................................................15
II.8 DETEKSI DINI DIABETES MELLITUS..............................................................22
BAB III. KESIMPULAN.......................................................................................................28
Daftar Pustaka........................................................................................................................29
4
BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu kumpulan kelainan metabolik yang ditandai dengan adanya
fenotipe hiperglikemia. Patogenesis dasar yang menyebabkan DM antara lain adanya penurunan
sekresi insulin, resistensi insulin, dan peningkatan produksi glukosa. ADA (American Diabetes
Association) dan WHO membuat suatu klasifikasi dimana terdapat 3 kelompok yaitu normal glucose
tolerance, IGT (impaired glucose tolerance) atau prediabetes dan DM. Seiring dengan meningkatnya
insidensi dari IGT dan DM, berbagai usaha untuk melakukan skrining dini dilakukan. Namun hal ini
dirasakan kurang maksimal karena seringkali pasien yang saat ini terdiagnosa DM sebenarnya sudah
mengalami fase IGT hingga 1 dekade sebelumnya, atau bahkan didiagnosa bersama-sama dengan
komplikasinya. Menyadari hal tersebut, dirasakan penting untuk memahami berbagai perubahan
metabolik, dan mengerti marker-marker yang ada untuk mendeteksi dini adanya IGT.
5
BAB II
DIABETES MELLITUS
II.1 DEFINISI
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok kelainan metabolik yang disertai fenotipe
hiperglikemia. DM disebabkan oleh interaksi kompleks antara genetik dan faktor lingkungan. Secara
umum, faktor-faktor yang menyebabkan hiperglikemia pada DM antara lain: menurunnya sekresi
insulin, menurunnya penggunaan glukosa, dan meningkatnya produksi glukosa. DM menyebabkan
disregulasi metabolik yang mempengaruhi organ-organ tubuh. Di US, DM adalah penyebab utama
dari ESRD (End Stage Renal Disease), amputasi ekstremitas bawah non-traumatik, dan kebutaan pada
orang dewasa. DM juga merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit kardiovaskuler. Seiring
meningkatnya insiden DM, diyakini DM akan menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di
masa depan. (1,2)
II.2 KLASIFIKASI
DM diklasifikasikan berdasarkan proses patogenesis. Dua kategori DM adalah DM tipe 1 dan 2. DM
tipe 1 disebabkan karena defisiensi insulin total atau nyaris total, sedangkan DM tipe 2 dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang heterogen, namun ditandai dengan adannya penurunan sekresi insulin,
resistensi insulin, dan meningkatnya produksi glukosa. Kedua tipe DM ini diawali dengan fase
homeostasis abnormal glukosa, atau biasa disebut sebagai IFG (Impaired Fasting Glucose), atau IGT
(Impaired Glucose Tolerance). (1)
6
Gambar 1: Spektrum Diabetes Mellitus
Gambar 1 menunjukan spektrum DM, dimana tanda panah menunjukan arah dari progresifitas
penyakit. Tanda panah dengan arah bidirectional seperti pada DM tipe 2, menunjukan bahwa pasien
DM tipe 2 dapat kembali menjadi kategori IGT (Impaired Glucose Tolerance). Pada pasien dengan
DM gestasional dapat kembali menjadi kategori IGT maupun normal setelah melahirkan. Klasifikasi
dan nilai normal diatas diambil dari ADA (American Diabetes Association), 2007. Berdasarkan
WHO, nilai FPG (Fasting Plasma Glucose) yang dipakai adalah 110-125 mg/dL untuk kategori IGT.
Istilah “prediabetes” sama dengan istilah “intermediate hyperglycemia” (WHO) dan “increase risk
for diabetes” (ADA). (1,2,3)
Tabel 1 – Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologi
Etiologic Classification of Diabetes Mellitus
I. Type 1 diabetes (beta cell destruction, usually leading to absolute insulin deficiency)
a. Immune-mediated
b. Idiopathic
II. Type 2 diabetes (may range from predominantly insulin resistance with relative insulin
deficiency to a predominantly insuline secretory defect with insulin resistance)
III. Other spesific types of diabetes
a. Genetic defects of beta cell function characterized by mutations in:
i. Hepatocyte nuclear transcription factor (HNF) 4α (MODY-1)
ii. Glucokinase (MODY-2)
7
iii. HNF 1α (MODY-3)
iv. Insulin promoter factor (IPF-1) (MODY-4)
v. HNF-1β (MODY-5)
vi. NeuroD1 (MODY-6)
vii. Mitochondrial DNA
viii. Subunits of ATP-sensitive potassium channel
ix. Proinsulin or insulin
b. Genetic defects in insulin action:
i. Type A insulin resistance
ii. Leprechaunism
iii. Rabson-Medenhall syndrome
iv. Lipodystrophy syndrome
c. Diseases of exocrine pancreas – pancreatitis, pancreatectomy, neoplasia, cystic
fibrosis, hemochromatosis, fibrocalculous pancreatopathy, mutations in carboxyl
ester lipase
d. Endocrinopathies – acromegaly, Cushing’s syndrome, glucagonoma,
pheochromocytoma, hyperthyroidism, somatostatinoma, aldosteronoma
e. Drug or chemical induced – glucocorticoids, vacor (a rodenticide), pentamidine,
nicotinic acid, diazoxide, β-adrenergic agonists, thiazides, hydantoines, asparaginase,
α-interferon, protease inhibitor, antipsychotics (atypical & others), epinephrine
f. Infections – congenital rubella, cytomegalovirus, coxsackie virus
g. Uncommon forms of immune mediated diabetes – “stiff person” syndrome, anti-
insulin receptor antibodies
h. Other genetic syndromes sometimes associated with diabetes – Wolfram’s syndrome,
Down’s syndrome, Klinefelter’s syndrome, Turner’s syndrome, Friedreich’s ataxia,
Huntington’s chorea, Laurence-Moon-Biedl syndrome, myotonic dystrophy,
porphyria, Prader-Willi syndrome
IV. Gestasional Diabetes Mellitus (GDM)
Klasifikasi yang membagi diabetes menjadi IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) dan
NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus) sekarang sudah dianggap membingungkan;
karena banyak pasien DM tipe 2 yang membutuhkan insulin untuk mengontrol kadar glukosa darah
mereka. Klasifikasi DM berdasarkan umur juga sudah tidak dijadikan panduan. Walaupun pasien DM
tipe 1 kebanyakan terjadi sebelum usia 30 tahun, proses destruksi autoimun terhadap sel beta pankreas
tersebut sebenarnya dapat terjadi pada umur berapapun. Diperkirakan 5-10% pasien yang mengalami
8
DM diatas 30 tahun adalah DM tipe 1. Walaupun insiden DM tipe 2 meningkat seiring bertambahnya
umur, namun sekarang sudah banyak DM tipe 2 yang terdiagnosis pada usia anak-anak dan dewasa
muda, terutama anak-anak dengan obesitas. (1,2,4)
Etiologi lain dari DM mencakup defek genetik spesifik pada proses sekresi dan kerja insulin, kelainan
metabolik yang mempengaruhi sekresi insulin, abnormalitas mitokondria, dan lainnya. MODY
(Maturity Onset Diabetes of the Young) adalah salah satu subtipe DM yang dikarakteristikan dengan
sifat autosomal dominan yang diturunkan, onset awal hiperglikemia (biasanya < 25 tahun), dan
gangguan pada sekresi insulin. Mutasi pada reseptor insulin merupakan penyebab yang sangat jarang
dan dikaitkan dengan resistensi insulin yang parah. (1)
DM juga dapat disebabkan karena kelainan pankreas yang terjadi ketika hampir seluruh bagian
pankreas hancur. Hormon yang mempunyai sifat antagonis terhadap insulin juga dapat menyebabkan
DM, hal ini yang mendasari terjadinya DM pada pasien-pasien dengan endokrinopati seperti
akromegali, Cushing’s syndrome. Infeksi virus pernah disebutkan dapat menyebabkan destruksi
pankreas namun angka kejadianya sangat amat jarang. Fulminant Diabetes adalah bentuk akut DM
tipe 1 yang pernah dilaporkan terjadi di Jepang, yang dikaitkan dengan infeksi virus pada islet
pankreas. (1)
Intoleransi glukosa yang terjadi pada masa kehamilan disebut sebagai diabetes gestasional. Perubahan
metabolik pada akhir masa kehamilan menyebabkan resistensi insulin yang dapat berakhir sebagai
IGT maupun diabetes. Diabetes gestasional terjadi pada 7% (2-10%) wanita hamil di US. Mayoritas
wanita yang mengalami diabetes gestasional akan kembali normal setelah melahirkan, namun
mempunyai risiko 35-60% untuk mengalami DM 10-20 tahun kedepan. International Diabetes and
Pregnancy Study Groups merekomendasikan untuk memakai istilah “Overt diabetes” dibanding
istilah diabetes gestasional, untuk wanita hamil yang diketahui mengalami diabetes pada kunjungan
perinatalnya. (1)
II.3 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi DM didunia meningkat sangat dramatis; diperkirakan terdapat 30 juta kasus pada tahun
1985, meningkat hingga 285 juta kasus pada tahun 2010. International Diabetes Federation
memperkirakan pada tahun 2030 angka kejadian DM akan mencapai 483 juta. Prevalensi DM
meningkat baik pada DM tipe 1 dan 2, namun prevalensi DM tipe 2 meningkat jauh lebih cepat, hal
ini mungkin disebabkan karena DM tipe 2 dipengaruhi berbagai faktor seperti obesitas, penurunan
tingkat aktivitas seiring dengan modernisasi negara-negara, dan penuaan. Pada tahun 2010 prevalensi
diabetes mencapai 11,6 – 30,9% pada 10 negara dengan proporsi prevalensi terbanyak (Naurua,
United Arab Emigrates, Saudi Mauritius, Bahrain, Reunion, Kuwait, Oman, Tonga, Malaysia). Data
9
dari CDC (Centers of Disease Control and Prevention) 2010 menyebutkan di US, angka kejadian DM
mencapai 25,8 juta orang (8,3%). Angka kejadian DM meningkat seiring dengan penuaan. 0,2% DM
terdiagnosa pada usia < 20 tahun, 11,3% pada usia > 20 tahun, 26,9% pada usia > 65 tahun.
Prevalensi tidak terlalu berbeda antara pria dan wanita. Pada tahun 2030 diperkirakan angka kejadian
DM terbanyak pada usia 45 – 64 tahun. (1,2)
Gambar 2: Epidemiologi DM
Insiden DM tipe 1 dan 2 dipengaruhi oleh variasi geografik. DM tipe 1 terbanyak pada area
Scandinavia (insiden 57,4/100.000/tahun) diikuti area Pasifik (Jepang & China 0,6 – 2,4
/100.000/tahun), Eropa Utara dan Amerika (8-20/100.000/tahun). Insiden DM dipengaruhi oleh
adanya alel HLA (Human Leukocyte Antigen) risiko tinggi pada orang-orang di geografik dan etnis
tertentu. Prevalensi DM tipe 2 dipengaruhi faktor genetik, perilaku dan lingkungan. Prevalensi DM
juga dapat berbeda untuk setiap etnis pada negara / area yang sama. Di US, CDC memperkirakan
insiden DM pada usia > 20 tahun antara lain 7,1% pada etnis non-hispanic whites, 7,5% asian-
americans, 11,8% hispanics, 12,6% non-hispanic blacks. Di Asia, prevalensi diabetes meningkat
dengan cepat, dan mempunyai fenotipe yang berbeda dengan diabetes pada orang-orang US dan
Eropa, yaitu onset pada usia lebih muda, dan IMT lebih rendah, penumpukan jaringan adiposa viseral
lebih besar, dan kemampuan sekresi insulin yang lebih rendah. (1,2)
Diabetes penyebab mayoritas kematian, namun beberapa studi membuktikan bahwa diabetes
seringkali tidak dilaporkan sebagai penyebab kematian. Berdasarkan data yang ada, diabetes
merupakan penyebab nomor 7 kematian terbanyak di US, nomor 5 penyebab kematian di seluruh
dunia, dan penyebab 4 juta kematian pada tahun 2010 diseluruh dunia (6,8%) (2011). (2)
10
II.4 DIAGNOSIS
Toleransi glukosa dibagi menjadi 3 kategori: homeostasis glukosa normal, homeostasis glukosa
terganggu / IGT (impaired glucose tolerance), dan diabetes mellitus. Hal tersebut dapat dinilai dari
hasil pemeriksaan glukosa puasa / FPG (fasting plasma glucose), OGTT (oral glucose tolerance test),
dan HbA1c (hemoglobin A1C). Kriteria ditabel dibawah ini merupakan kriteria tahun 2011, yang
dibuat dan disetujui oleh ADA (American Diabetes Association), European Association for The Study
of Diabetes, International Diabetes Federation. Kriteria ini menekankan bahwa nilai glukosa puasa
dan A1c merupakan yang paling dapat diandalkan dan paling baik untuk mengidentifikasi DM pada
pasien asimptomatik. OGTT merupakan tes yang tidak kalah valid, namun tidak digunakan secara
rutin. Apabila hasil pemeriksaan meragukan, dianjurkan untuk diulang kembali, mengingat diagnosa
DM akan mempengaruhi individu tersebut baik secara finansial dan kesehatan. (1,4)
Tabel 2: Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus (2011)
II.5 SKRINING
Pemeriksaan glukosa darah puasa dan HbA1c direkomendasikan untuk skrining mengingat banyak
individu yang memenuhi kriteria DM namun masih asimptomatik. Skrining diperlukan karena secara
epidemiologik banyak individu yang ketika didiagnosa DM sudah disertai dengan minimal satu
komplikasi DM, dan apabila terapi dapat dilakukan lebih awal, akan mempengaruhi perjalanan
penyakit DM. ADA 2011 memberikan rekomendasi untuk melakukan skrining pada individu dengan: (1)
Usia > 45 tahun dilakukan skrining berkala setiap 3 tahun, atau
Usia < 45 tahun dilakukan skrining jika termasuk overweight (IMT > 25 kg/m2) dan terdapat
minimal satu faktor risiko diabetes (lihat tabel)
11
Tabel 3: Faktor Risiko Diabetes Mellitus Tipe 2
Berbeda dengan DM tipe 2, DM tipe 1 jarang bersifat asimptomatik dalam jangka waktu yang lama.
Sekarang sudah banyak dikembangkan immunologic marker untuk mendeteksi DM tipe 1, namun
belum digunakan secara rutin. (1,2)
II.6 BIOSINTESIS, SEKRESI DAN AKSI INSULIN
Biosintesis Insulin (1,3)
Insulin diproduksi oleh sel β islet pankreas. Awalnya terjadi sintesis single chain 86 amino acid
precursor polypeptide atau preproinsulin. Preproinsulin mengalami proses proteolisis yang
membuang rantai amino di peptida terminalnya dan mengubah preproinsulin menjadi proinsulin.
Struktur proinsulin mirip dengan insulin like growth factor I, II, dan dapat berikatan lemah dengan
reseptor insulin. Pemotongan 31 fragmen residu internal, mengubah proinsulin menjadi C-peptide dan
rantai disulfida yang terdiri dari rantai insulin A (21 asam amino) dan B (30 asam amino). C-peptide
dan molekul insulin disimpan dalam granul sekretorik yang sama pada sel β dan sama-sama
disekresikan.
C-peptide mempunyai waktu paruh / waktu clearance lebih panjang daripada insulin, sehingga dapat
digunakan sebagai marker untuk mengevaluasi produksi insulin endogen. Sel β juga mensekresi IAPP
(islet amyloid polypeptide) atau amyln, bersama-sama dengan insulin. Peran dari IAPP ini belum
diketahui sempurna, namun IAPP adalah komponen fibril amiloid yang ditemukan pada islet pankreas
pada pasien DM tipe 2. Analog dari IAPP pernah dicoba digunakan untuk terapi pasien DM tipe 1 dan
2.
12
Sekresi Insulin (1,3)
Glukosa merupakan faktor utama yang mempengaruhi sekresi insulin oleh sel β pankreas, walaupun
asam amino, benda keton, nutrisi-nutrisi lain, peptida saluran pencernaan, dan neurotransmiter juga
mempengaruhi sekresi insulin. Kadar glukosa > 3,9 mmol/L (70mg/dL) memicu sintesis insulin,
terutama meningkatkan proses translasi protein.
Proses awal dimulai dari glukosa yang dibawa ke masuk ke sel β melalui transporter glukosa (GLUT1
pada manusia, GLUT2 pada hewan pengerat). Glukosa yang sudah masuk ini akan mengalami
fosforilasi oleh enzim glukokinase menjadi glukosa – 6 – fosfat yang lalu akan mengalami proses
glikolisis dan pada akhirnya akan terbentuk ATP. ATP ini akan mempengaruhi ATP-sensitive-K+-
Channel. Channel ini mempunyai 2 fungsi, yaitu sebagai tempat mengikat OHO tertentu (contoh:
sulfonilurea, meglitinid) (reseptor SUR), fungsi kedua sebagai tempat masuknya ion K. Inhibisi dari
channel ini akan mempermudah dan menginduksi depolarisasi, menyebabkan gerbang kalsium
terbuka, dan akhirnya kalsium masuk ke dalam sel. Kalsium yang masuk selanjutnya akan
menginduksi produksi insulin. Pelepasan insulin mempunyai 2 pola, pola pertama adalah pelepasan
dalam jumlah kecil setiap 10 menit, sedangkan pola kedua pelepasan dalam jumlah lebih besar setiap
80-150 menit.
Inkretin dihasilkan oleh sel neuroendokrin di saluran pencernaan setelah terjadi ingesti makanan.
Inkretin akan meningkatkan produksi insulin dan menekan glukagon. GLP-1 (glucagon like peptide
1), adalah bentuk inkretin paling poten, dilepaskan oleh sel L pada usus halus, memicu produksi
insulin ketika kadar glukosa melebihi kadar glukosa puasa. Analog inkretin digunakan untuk
meningkatkan produksi insulin endogen.
13
Gambar 3: Mekanisme Sekresi Insulin
Aksi Insulin (1,3)
Setelah insulin disekresikan ke sistem vena porta, hampir 50% nya mengalami degradasi oleh liver.
Insulin yang tersisa akan berikatan dengan reseptor pada sel target. Insulin yang sudah berikatan
dengan reseptor akan mengaktifkan aktivitas intrinsik tyrosin kinase, menyebabkan autofosforilasi
reseptor dan proses recruitment molekul-molekul sinyal intrinsik lainnya seperti IRS (insulin receptor
substrate).
IRS dan molekul-molekul lain akan mengaktifkan sejumlah proses fosforilasi dan defosforilasi yang
berakhir pada efek mitogenik dan metabolik insulin. Sebagai contoh, aktivasi dari PI-3-kinase
(phosphatidylinositol – 3 – kinase) merangsang translokasi transporter glukosa (contoh: GLUT-4) ke
permukaan membran sel; yang merupakan proses penting agar otot skelet dan sel lemak dapat
mengambil glukosa. Aktivasi dari sinyal reseptor insulin lain juga menginduksi sintesis glikogen,
protein, lipogenesis, dan regulasi gen-gen lain.
Gambar 4: Transduksi Sinyal Insulin Pada Otot Skelet
Homeostasis glukosa yang baik merupakan keseimbangan antara produksi glukosa hati dengan
pengambilan glukosa perifer. Insulin dan hormon lain seperti glukagon mengatur keseimbangan
tersebut. Pada fase puasa, kadar insulin rendah, dan proses untuk meningkatkan glukosa darah terjadi,
seperti peningkatan glukoneogenesis, glikogenolisis, penurunan pengambilan glukosa oleh jaringan
sensitif insulin (otot skelet dan lemak), peningkatan lipolisis dan asam amino. Glukagon, yang
diproduksi oleh sel α pankreas, berperan dengan memicu glikogenolisis dan glukoneogenesis oleh
liver dan medulla ginjal ketika kadar glukosa rendah. Postprandial, kadar glukosa yang meninggi akan
memicu hormon insulin. Insulin adalah hormon anabolik yang memicu penyimpanan karbohidrat,
14
lemak, dan sintesis protein. Kebanyakan glukosa postprandial akan dipakai oleh otot skelet. Jaringan
lain seperti otak, memakai glukosa tanpa bantuan insulin.
II.7 PATOGENESIS
DM Tipe 1 (1,2)
DM tipe 1 merupakan hasil interaksi dari faktor genetik, lingkungan, dan immunologik yang berakibat
terjadinya destruksi sel β pankreas dan defisiensi insulin. DM tipe 1 disebabkan oleh destruksi sel β
secara autoimun, dan kebanyakan pasien DM tipe 1 terbukti terdapat proses autoimun tersebut.
Beberapa individu dengan DM tipe 1 tidak ditemukan atau sulit ditemukan marker immunologik dan
genetiknya. Hal ini menyebabkan hipotesis baru, bahwa DM tipe 1 tidak hanya disebabkan oleh
proses autoimun, namun beberapa disebabkan oleh proses idiopatik, dan rentan ketosis, kebanyakan
dialami oleh keturunan Afrika-Amerika atau Asia.
Gambar 5: Bagan Terjadinya DM Tipe 1
Proses terjadinya DM tipe 1 diawali oleh individu-individu yang sejak lahir sudah mempunyai faktor
predisposisi genetik. Individu tersebut ketika lahir masih mempunyai jumlah dan fungsi sel β yang
normal. Proses autoimun dipicu beberapa faktor seperti infeksi, dan faktor lingkungan lainnya. Proses
destruksi autoimun ini kira-kira membutuhkan waktu berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun untuk
menyebabkan gangguan toleransi glukosa hingga akhirnya menjadi diabetes. Waktu untuk terjadinya
diabetes bervariasi setiap individu, dan terjadi ketika pankreas sudah mengalami destruksi 70-80%.
15
Marker imunologik biasanya baru dapat terdeteksi ketika proses destruksi sudah terjadi. 1-2 tahun
pertama setelah onset diabetes, individu tersebut dapat mengalami honeymoon phase dimana glukosa
darah dapat dikontrol dengan hanya sedikit bantuan insulin atau tanpa insulin sama sekali. Pada fase
ini produksi endogen insulin dari sel β yang tersisa meningkat. Namun seiring dengan proses
destruksi yang lebih lanjut pada sel β menghancurkan sel yang tersisa, fase ini akan menghilang dan
individu akan kembali mengalami defisiensi insulin. Beberapa pasien dengan DM tipe 1 jangka
panjang, terkadang masih dapat dideteksi C-peptide nya.
Genetik
Predisposisi untuk terjadinya DM tipe 1 melibatkan banyak gen. Insiden terjadinya DM tipe 1 pada
kembar identik adalah 40-60% yang menunjukan bahwa tidak hanya faktor gen yang berpengaruh
untuk terjadinya DM tipe 1. Gen yang dipercaya berpengaruh paling besar adalah regio HLA pada
kromosom 6. Regio ini mengkode molekul MHC (major histocompatbility complex) II, yang bertugas
untuk mempresentasikan antigen ke sel T helper yang tentunya akan berpengaruh dalam proses imun.
Kemampuan molekul MHC II untuk mempresentasikan antigen ini berkaitan dengan molekul asam
amino pada reseptor tempat pengikatan antigennya. Adanya kelainan pada faktor gen mungkin
berpengaruh pada susunan asam amino tersebut.
Kebanyakan pasien DM tipe 1 mempunyai variasi pada haplotipe HLA DR3 dan atau DR4. Haplotipe
DQA1*0301, DQB1*0302, dan DQB1*0201 paling sering dikaitkan dengan DM tipe 1. Haplotipe
tersebut ada pada 40% anak dengan DM tipe 1, dibandingkan dengan 2% anak normal. Namun
banyak juga anak yang mempunyai haplotipe tersebut tidak mengalami DM tipe 1.
Selain molekul MHC II banyak lokus lain yang dikaitkan dengan terjadinya DM tipe 1, misalnya gen
CTLA-4, interleukin-2 receptor, PTPN22, dan lainnya. Gen yang dipercaya memberikan efek
protektif juga ada, seperti haplotipe DQA1*0102, DQB1*0602, dimana gen-gen ini sangat jarang
(<1%) ditemukan pada individu dengan DM tipe 1.
Walaupun risiko DM tipe 1 meningkat 10x lipat pada individu yang mempunyai keluarga DM tipe 1,
kemungkinan terjadinya penyakit ini sendiri relatif rendah yaitu 3-4% pada individu dengan orangtua
DM tipe 1, 5-15% pada individu dengan saudara DM tipe 1. Sehingga kebanyakan kejadian DM tipe
1 tidak langsung menurun pada first degree relative mereka.
Patofisiologi
Sel-sel pankreas seperti sel α (penghasil hormon glukagon), sel δ (penghasil somatostatin), sel PP
(penghasil polypeptida pankreas) secara fungsi dan embriologi mempunyai struktur protein yang
mirip dengan sel β, namun yang menjadi pertanyaan besar adalah pada proses destruksi yang terjadi
16
pada DM tipe 1, sel-sel pankreas selain sel β tersebut tidak mengalami proses destruksi. Secara
patologik, islet pankreas diinfiltrasi oleh sel limfosit, dimana keadaan ini disebut insulitis. Setelah
semua sel β hancur, proses inflamasi akan menurun, islet pankreas akan atrofi, dan marker
immunologik akan berangsur menghilang. Hasil studi pada manusia dan hewan percobaan
menunjukan beberapa perubahan patologik berikut:
Adanya autoantibodi terhadap islet pankreas dan pelepasan sitokin
Adanya limfosit yang teraktivasi di islet, limfonodus peripankreas, dan sirkulasi sistemik
Limfosit T berproliferasi setelah mengalami paparan terhadap protein islet
Sel β lebih rentan terhadap sitokin yang ada seperti TNF-α, interferon γ, interleukin-1. Kerusakan
juga disebabkan karena NO (nitric oxide), apoptosis, dan sitotoksik sel T CD8. Kerusakan yang paling
besar disebabkan karena sel T CD8 daripada autoantibodi, hal ini diketahui setelah paparan protein
islet, dimana proses autoantibodi tidak langsung terjadi. Upaya untuk menekan proses autoimun pada
saat diagnosa diabetes ditegakan telah dicoba dilakukan dan berhasil sedikit menurunkan kecepatan
destruksi sel β, namun tingkat keamanan dari upaya tersebut belum diketahui.
Molekul-molekul pankreas yang menjadi target dari autoantibodi antara lain: insulin, GAD (glutamic
acid decarboxylase) (enzim untuk neurotransmitter GABA), ICA-512/IA-2 (homolog tyrosin kinase),
ZnT-8 (transporter zinc khusus sel β). Dapat dilihat bahwa kebanyakan autoantigen tidak bersifat
spesifik sel β, dan kembali menjadi pertanyaan kenapa destruksi sel β bisa terjadi secara selektif.
Teori terkini mengatakan bahwa proses destruksi diawali oleh destruksi salah satu molekul yang ada
pada sel β, dimana destruksi tersebut dapat “meluas” ke molekul sel β yang didekatnya dan memicu
autoantigen yang baru. Sel β pada individu DM tipe 1 tidak berbeda dengan orang normal, hal ini
diketahui dengan tes, dimana sel β normal dari kembar identik ditransplantasikan ke saudara
kembarnya yang DM tipe 1, dan tetap mengalami destruksi setelahnya.
Marker Imunologik
Autoantibodi sel islet (ICA – islet cell autoantibodies) yang terdiri dari autoantibodi terhadap GAD,
ICA-512/IA-2, ZnT-8 merupakan autoantibodi yang dapat dideteksi untuk membuktikan adanya
proses autoimun pada pasien DM tipe 1. Pemeriksaan assay untuk deteksi autoantibodi GAD-65
sudah tersedia secara komersial. Autoantibodi ICA ini ada pada >85% pasien DM tipe 1, 5-10% DM
tipe 2, <5% DM gestasional, 3-4% first degree relative dari pasien DM tipe 1. Hasil yang positif
ditambah dengan hasil pemeriksaan glukosa yang menunjukan adanya IGT, dapat memprediksi
kemungkinan > 50% seseorang untuk menderita DM tipe 1 dalam 5 tahun kedepan. Pemeriksaan ICA
ini biasanya tidak dilakukan untuk skrining pencegahan kecuali untuk tujuan penelitian. Hal ini
17
dikarenakan belum ada terapi yang dianjurkan dan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya DM
tipe 1.
Faktor Lingkungan
Berbagai faktor lingkungan telah disebutkan dan dikaitkan sebagai faktor pemicu DM tipe 1, namun
belum satu pun yang dinyatakan pasti sebagai pemicunya. Identifikasi faktor lingkungan sangat sulit
dan hampir tidak bisa dijadikan pencegahan pasti karena pemicu tersebut dapat terjadi beberapa tahun
sebelum onset DM tipe 1. Beberapa kemungkinan faktor pemicu lingkungan antara lain: virus
(coxsackie, rubella, enterovirus), protein susu bovine, komponen nitrosourea.
Pencegahan DM Tipe 1
Banyak intervensi yang sedang diuji dan dicoba untuk mencegah DM tipe 1. Kebanyakan intervensi
mencoba untuk mencegah proses imun yang ada (immunosupresi, selective T cell subset deletion,
induksi toleransi imun terhadap protein islet), atau mencegah kematian sel islet dengan memblok
kerja sitokin, atau meningkatkan resistensi islet terhadap proses imun. Hasil dari percobaan terhadap
hewan cukup menjanjikan, namun belum pernah sukses pada manusia. The Diabetes Prevention Trial
menunjukan bahwa pemberian insulin kepada individu dengan risiko DM tipe 1 tidak akan
memberikan efek protektif. Pasien dengan onset awal DM tipe 1 yang diberi terapi anti CD-3
monoklonal antibodi, vaksin GAD, anti limfosit B monoklonal antibodi telah menunjukan dapat
menurunkan kadar C-peptide. Semua ini masih dalam penyelidikan hingga sekarang.
DM Tipe 2 (1,2,4)
Resistensi insulin dan gangguan produksi insulin merupakan patofisiologi utama dari terjadinya DM
tipe 2. Walaupun kerusakan paling utama belum diketahui, namun banyak peneliti setuju bahwa
resistensi insulin terjadi lebih dahulu, namun diabetes akhirnya terjadi ketika produksi insulin sudah
tidak adekuat. Patofisiologi DM tipe 2 dapat berbeda bergantung etnis individu. Patofisiologi dibawah
ini berdasarkan hasil studi terhadap orang-orang Eropa. Pada kelompok ini, DM yang bersifat resisten
ketosis biasanya kurus, sedangkan yang rentan ketosis biasanya obesitas.
Genetik
DM tipe 2 mempunyai keterkaitan genetik yang kuat. Pada kembar identik angka kejadian DM tipe 2
untuk dialami bersama adalah 70-90%. Pasien yang mempunyai orangtua DM memiliki risiko untuk
mengalami DM tipe 2 juga hingga sebesar 40%. First degree relative telah dibuktikan mengalami
resistensi insulin yang ditandai dengan penurunan pemakaian glukosa pada jaringan sensitif insulin
dengan derajat yang bervariasi. Penyakit ini sangat bersifat poligenik, dan multifaktorial, dipengaruhi
tidak hanya genetik namun juga faktor lingkungan (obesitas, tingkat aktivitas, nutrisi). Gen-gen yang
18
berpengaruh sangat banyak namun diperkirakan baru < 10% yang dapat diidentifikasi, antara lain: gen
yang mengkode peroxisome proliferators activated receptor γ, inward rectifying potassium channel,
transporter zinc, IRS, dan calpain 10. Mekanisme bagaimana gen-gen ini menjadi faktor predisposisi
DM tipe 2 belum jelas, diperkirakan mempengaruhi produksi insulin. Mengingat area genetik DM tipe
2 masih dalam investigasi, hingga kini belum memungkinkan untuk menggunakan faktor genetik
untuk mendeteksi DM tipe 2.
Patofisiologi
DM tipe 2 dikarakteristikan dengan terganggunya sekresi insulin, resistensi insulin, peningkatan
produksi glukosa oleh hepar, dan metabolisme lemak terganggu. Obesitas, terutama obesitas sentral
atau viseral (dilihat dari hip to waist ratio) sangat sering dijumpai pada DM tipe 2 (80%). Pada fase
awal DM tipe 2, toleransi glukosa masih normal walaupun resistensi insulin sudah mulai muncul, hal
ini karena produksi insulin juga meningkat untuk mengkompensasinya. Seiring dengan peningkatan
resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensatorik meningkat, akhirnya insulin tidak dapat
memenuhi kebutuhannya dan terjadilah IGT, dimana terjadi peningkatan glukosa postprandial.
Peningkatan resistensi lebih lanjut, produksi insulin yang tidak adekuat (terlebih lagi individu tidak
dapat mempertahankan keadaan hiperinsulinemia terus menerus), peningkatan produksi glukosa oleh
hepar; semua ini akhirnya menyebabkan diabetes, ditandai dengan hiperglikemia puasa. Kegagalan
dari sel β terus memburuk.
Gambar 6: Patofisiologi DM Tipe 2
Kelainan Metabolik
Gangguan Metabolik Lemak dan Otot
19
Resistensi insulin, menurunnya kemampuan insulin untuk bekerja efektif pada jaringan target (otot,
lemak, hati), merupakan fitur penting pada DM tipe 2, dan merupakan hasil dari faktor genetik dan
obesitas. Resistensi insulin akan menurunkan kemampuan jaringan target untuk memakai glukosa,
dan meningkatkan produksi glukosa hepar, keduanya akan menyebabkan hiperglikemia. Peningkatan
produksi glukosa hepar akan menyebabkan gangguan glukosa puasa, sedangkan penurunan
pemakaian glukosa oleh jaringan target menyebabkan gangguan glukosa postprandial. Metabolisme
glukosa pada jaringan yang tidak bergantung insulin tidak terganggu.
Mekanisme molekuler dibalik resistensi insulin belum diketahui sempurna. Jumlah reseptor insulin
dan aktivitas tyrosin kinase di otot menurun, namun perubahan ini sebenarnya adalah efek sekunder
dari hiperinsulinemia, bukan primer. Diperkirakan letak abnormalitas bersifat post-reseptor, yaitu di
proses fosforilasi-defosforilasi oleh insulin. Contoh: defek pada sistem sinyal PI-3 kinase akan
menurunkan translokasi GLUT4 ke membran. Akumulasi lemak pada myosit akan mengganggu
fungsi mitokondria untuk fosforilasi oksidasi dan menurunkan produksi ATP yang dipicu oleh insulin.
Akumulasi lemak ini juga akan memicu produksi ROS (reactive oxygen species). Tidak semua
transduksi sinyal insulin terganggu, contohnya sinyal yang mengurus bagian pertumbuhan sel, efek
mitogenik dan diferensiasi. Akibatnya hiperinsulinemia menyebabkan fungsi-fungsi tersebut
meningkat dan faktor risiko terjadinya atherosklerosis akibat DM.
Terganggunya Sekresi Insulin
Sekresi dan resistensi insulin saling berhubungan. Pada DM tipe 2 awalnya produksi insulin
meningkat sebagai kompensasi resistensi insulin. Fase awal terganggunya sekresi insulin ditandai
dengan penurunan sekresi insulin terutama yang dipicu oleh glukosa, namun sekresi insulin yang
dipicu komponen lain seperti arginin tidak terganggu. Diperkirakan terjadipula gangguan dalam
proses biosintesis proinsulin, dimana ditemukan peningkatan produksi proinsulin pada DM tipe 2.
Seiring dengan progresifitas, sekresi insulin menjadi inadekuat.
Alasan pasti mengapa terjadi penurunan kapasitas produksi tersebut tidak diketahui. Diprediksi
adanya gen predisposisi yang mengatur sekresi tersebut pada individu DM tipe 2 yang menyertai
resistensi insulin dan pada akhirnya menyebabkan kegagalan sel β. Sel β menurun hingga 50% pada
pasien DM tipe 2 kronis. Amylin dikeluarkan bersama-sama dengan insulin oleh sel β dan
membentuk timbunan fibril amiloid di islet individu dengan DM tipe 2 kronis. Keadaan metabolik
pada pasien DM itu sendiri juga dapat mempengaruhi produksi insulin. Hiperglikemia kronis dapat
merusak islet, peningkatan asam lemak juga bersifat lipotoksik. Penurunan kadar glukosa dan lemak
dapat mengurangi kerusakan tersebut.
Peningkatan Produksi Glukosa Hepar
20
Pada DM tipe 2, ketika resistensi insulin sudah tidak bisa dikompensasi efektif dengan
hiperinsulinemia, akan terjadi peningkatan produksi glukosa oleh hepar. Hal ini akan menyebabkan
hiperglikemia puasa. Resistensi insulin pada jaringan adiposa akan meningkatkan lipolisis dan kadar
asam lemak. Hal ini menyebabkan peningkatan VLDL, LDL, trigliserida, LFT (liver function test),
dan menurunnya HDL.
Sindrom Resistensi Insulin
Sindrom metabolik, atau sindrom resistensi insulin, atau sindrom x adalah istilah untuk serangkaian
gangguan metabolik yang mencakup resistensi insulin, hipertensi, dislipidemia (HDL menurun,
trigliserid meningkat), obesitas sentral atau viseral, DM tipe 2 atau IGT, meningkatnya risiko penyakit
kardiovaskuler.
Terdapat beberapa penyebab jarang yang dapat menyebabkan resistensi insulin. Akanthosis nigricans
dan hiperandrogenism (hirsutisme, akne, oligomenorrea) merupakan tanda yang sering ditemukan.
Terdapat 2 klasifikasi sindrom resistensi insulin pada dewasa:
Kelompok A: biasanya pada wanita muda, dikarakteristikan dengan hiperinsulinemia berat,
tanda hiperandrogenism, dan obesitas
Kelompok B: biasanya pada wanita paruh baya, dikarakteristikan dengan hiperinsulinemia
berat, tanda hiperandrogenism, dan penyakit autoimun
Kelompok A disebabkan karena gangguan pada sinyal insulin yang masih ditelusuri, sedangkan pada
kelompok B disebabkan karena autoantibodi. Autoantibodi dapat menghancurkan reseptor insulin atau
memblok ikatan reseptor insulin.
PCOS (polycystic ovary syndrome) adalah kelainan yang ditemukan pada wanita pre menopause,
ditandai dengan anovulasi kronis dan hiperandrogenism. Resistensi insulin banyak ditemukan pada
PCOS dan meningkatkan risiko DM tipe 2.
Pencegahan
DPP (Diabetes Prevention Program) menunjukan bahwa perubahan pola hidup (olahraga 5x/minggu
@ 30 menit) pada individu IGT dapat mencegah atau memperlambat terjadinya DM hingga 58%
dibandingkan dengan plasebo. Obat-obatan contoh metformin dapat memperlambat terjadinya DM
hingga 31% namun tidak dianjurkan untuk penggunaan rutin dan masih kontroversial. ADA masih
mempertimbangkan penggunaan metformin untuk individu IGT dengan kemungkinan progresifitas
sangat tinggi untuk menjadi diabetes (umur < 60 tahun, BMI >= 35, riwayat keluarga (+), trigliserida
tinggi, HDL rendah, hipertensi, A1c >6%). Individu yang mempunyai riwayat keluarga DM, atau
21
sudah dalam fase IGT dianjurkan untuk menjaga IMT normal dan menjalankan aktivitas olahraga
teratur, serta dipantau berkala.
II. 8 DETEKSI DINI DIABETES MELLITUS
Beberapa penelitian berusaha menghubungkan berbagai marker untuk dapat memprediksi terjadinya
diabetes mellitus lebih awal.
Adiponectin dan Diabetes Mellitus (5)
Adiponectin adalah suatu zat insulin sensitizer yang berasal dari jaringan adiposa. Adiponectin
berperan dalam mengatur homeostasis glukosa, serta mempunyai efek anti inflamasi dan anti
atherogenic. Berdasarkan data epidemiologi, kadar adiponectin yang rendah, dikaitkan dengan
peningkatan insidensi DM tipe 2, sindrom metabolik, hipertensi, penyakit kardiovaskuler, dan kanker.
Resistensi insulin adalah salah satu kunci patofisiologi pada terbentuknya diabetes. Mengingat bahwa
adiponectin sangat berkaitan dengan sensitivitas insulin, peran adiponectin kemudian dicoba diteliti
untuk melihat hubungannya dalam terbentuknya diabetes. Ditemukan bahwa kadar adiponectin yang
rendah ada pasien diabetes, 1 dekade sebelum mereka terdiagnosis diabetes.
Whitehall Study II (2012) melakukan studi kohort terhadap 2629 pasien (335 menderita diabetes, 2474
non diabetes) dan menyimpulkan beberapa hal:
Kadar adiponectin berbanding terbalik dengan IMT dan kadar glukosa postprandial
Kadar adiponectin pada wanita lebih tinggi dari pria (paralel terhadap kontrol)
Kadar adiponectin pada pasien prediabetes dan saat diagnosis diabetes lebih rendah dibanding
kontrol, dengan penurunan kadar adiponectin lebih besar pada wanita
Kadar adiponectin berbanding lurus dengan sensitivitas insulin, dan tidak berhubungan
dengan sekresi insulin
Kadar adiponectin tidak terpengaruh usia
Studi ini menekankan pada kesimpulan bahwa kadar adiponectin menunjukan penurunan lebih cepat
dan lebih besar pada pasien pre diabetes dan pada wanita.
22
C-reactive protein Dengan DM Tipe II dan Penyakit Kardiovaskuler (6)
Hasil studi-studi epidemiologi menunjukan bahwa kadar c-reactive protein (CRP) yang berada dalam
kadar normal tertinggi atau meningkat dapat memprediksi terjadinya DM tipe II dan penyakit
kardiovaskuler. Hipotesis pun bermunculan, bahwa inflamasi derajat rendah dapat menjadi awal
pencetus terjadinya DM tipe II dan penyakit kardiovaskuler. Namun studi yang meneliti hubungan
CRP dengan DM masih terbilang tidak banyak. Mendelian randomization study yang menggunakan
dan meneliti vasiasi genetik menyebutkan bahwa tingginya kadar CRP merupakan suatu bentuk
respons tubuh sebelum terjadinya DM dan penyakit kardiovaskuler, walaupun patofisiologinya belum
dijelaskan secara sempurna.
Whitehall Study II melakukan studi terhadap 10308 partisipan secara kohort yang berkala (sejak tahun
1985) dievaluasi perkembangan diabetes dan risiko-risikonya untuk mengidap penyakit
kardiovaskuler. CRP diukur dengan BN Prospec nephelometer. Diabetes disini didefinisikan sebagai
nilai glukosa puasa >= 7mmol/L atau TTGO dengan 75 g glukosa anhydrous >= 11,1 mmol/L. Pada
akhir studi, didapatkan sebanyak 558 kasus diabetes. Studi ini menyimpulkan beberapa hal:
Kadar baseline CRP lebih tinggi / meningkat pada pasien DM tipe II atau pada pasien yang
meninggal akibat penyakit kardiovaskuler
23
Pasien-pasien yang menderita DM, pada periode sebelum mengidap DM, didapatkan
peningkatan CRP berkala, dibandingkan dengan kelompok kontrol
Membuktikan bahwa peningkatan CRP yang ditemukan pada pasien DM bukan karena
peningkatan mendadak akibat DM, namun peningkatan berkala pada pasien yang mengalami
proses mengarah ke DM
Kadar CRP dipengaruhi oleh tekanan darah, profil lipid, dan gaya hidup
Hubungan CRP dengan patogenesis DM belum dapat dibuktikan pasti, ada kemungkinan
bahwa CRP yang meningkat berkaitan dengan salah satu faktor risiko DM. Hipotesis lain
mengatakan mungkin CRP yang meningkat merupakan tanda “respons antidiabetik tubuh”
sudah kelelahan / tidak dapat mengkompensasi lebih lanjut.
Incretin dan DM Tipe II (7,8)
24
Meningkatnya kadar inkretin dikaitkan dengan adanya hiperinsulinemia pada pasien impaired glucose
tolerance (IGT), sebaliknya, pada pasien DM tipe II dikaitkan dengan kegagalan tubuh untuk
mensekresi GIP dan insulin dalam jumlah yang adekuat.
Pada pasien DM tipe II sel beta pankreas gagal untuk memproduksi insulin sesuai kebutuhan yang
diakibatkan adanya resistensi insulin. Sebelum kegagalan ini terjadi, sel beta berusaha untuk
melakukan kompensasi terhadap resistensi insulin selama bertahun-tahun, dengan cara meningkatkan
kapasitas produksi insulin, menyebabkan suatu keadaan hiperinsulinemia. Seiring dengan
memburuknya perjalanan penyakit, sel beta tidak bisa terus menerus mempertahankan
hiperinsulinemia ini yang menyebabkan munculnya manifestasi klinis DM.
Aksis enteroinsular, adalah suatu hubungan interaksi neurohumoral antara sel endokrin pankreas
dengan sel endokrin di usus. Aksis enteroinsular ini merupakan sistem endokrin terbesar di manusia.
Sistem ini menyebabkan suatu interaksi, dimana ketika makanan masuk kedalam tubuh (usus), sel
endokrin usus melepaskan incretin, bereaksi terhadap sel beta pankreas, untuk menghasilkan insulin.
(glucose dependent insulin secretion) kebanyakan insulin (60%) dihasilkan dari mekanisme ini.
Dua contoh inkretin utama antara lain: GIP (glucose dependent insulinotropic polypeptide), dan GLP-
1 (glucagon like peptide 1). Gen proGIP diekspresikan oleh sel K di usus (terutama duodenum &
jejunum proximal), sedangkan gen proglukagon diekspresikan oleh sel alfa pankreas, sel L usus
(terutama jejunum distal, ileum terminal, kolon asenden), dan sistem persarafan. Peptida inkretin ini,
ketika masuk ke sirkulasi, akan cepat dideaktivasi oleh DPP IV (dipeptidyl peptidase IV) dengan
mekanisme proteolitik pada ujung NH2 asam amino. Inkretin-inkretin tersebut memberikan efek
insulinotropik dengan mengikat reseptor guanosine 5 triphosphate binding protein coupled yang ada
pada sel beta.
Pada DM tipe 2, perubahan yang terjadi terhadap inkretin antara lain:
25
Efek inkretin menurun diduga akibat penurunan jumlah GLP-1, penurunan potensi GIP, atau
penurunan respons sel beta akibat resistensi insulin
Theorodakis, et al (ADA) melakukan suatu studi untuk menyelidiki apakah terdapat hubungan antara
inkretin dengan keadaan hiperinsulinemia pada pasien prediabetes, sebelum DM terjadi, serta
menyelidiki kemungkinan adanya disregulasi sekresi inkretin yang dikaitkan dengan adanya IGT
ataupun resistensi insulin sebelum onset DM tipe II. Kesimpulan hasil studi tersebut antara lain:
Pasien DM tipe 2 tidak menunjukan keadaan hiperinsulinemia dan respons sel beta terhadap
glukosa menurun, bersamaan dengan menurunnya kadar GIP dan menurunnya efek inkretin
DM tipe 2 adalah hasil dari sel K dan sel B yang sudah hiporesponsif terhadap glukosa
Pada pasien IGT kadar GIP meningkat, disertai peningkatan respons GIP terhadap glukosa
Peningkatan GIP jangka panjang pada IGT menyebabkan sel K mengalami hiposensitifitas
terhadap glukosa oral yang akhirnya mengganggu sekresi GIP
Pada pasien IGT, sekresi insulin terhadap rangsangan GIP endogen lebih rendah, menunjukan
bahwa pada pasien IGT terdapat hipersekresi GIP yang tidak efektif dikarenakan sudah terjadi
proses resistensi sel beta terhadap GIP
Mengingat fungsi dari inkretin, disregulasi inkretin ini dapat berkontribusi akan terjadinya
hiperglikemia yang sering ditemukan pada pasien IGT dan DM.
Sebuah hipotesis mengatakan bahwa resistensi insulin yang berkepanjangan dapat
menyebabkan defek pada glucose sensing genes tidak hanya pada sel beta, namun juga sel K
yang pada akhirnya mengganggu sekresi insulin dan inkretin terhadap glukosa
GIP diperkirakan mengalami malfungsi pada DM. Hal ini dibuktikan dari uji farmakologik,
dimana hiperglikemia dapat diperbaiki dengan memberikan GLP-1 eksogen, namun tidak
dengan infus GIP.
26
27
BAB III
KESIMPULAN
Hingga kini beberapa upaya untuk melakukan deteksi dini terhadap diabetes mellitus (DM)
memfokuskan terhadap perubahan-perubahan metabolik yang ada didalam tubuh sebagai respons
terhadap adanya hiperglikemia. Berbagai komponen metabolik tubuh yang hingga kini diteliti dan
dianggap sebagai tanda utama yang muncul pada pasien sebelum onset diabetes mellitus antara lain
inkretin, c reactive protein, dan adiponectin. Walaupun belum satu pun dari marker tersebut diperiksa
secara rutin untuk mengetahui adanya fase prediabetes, namun hal tersebut merupakan suatu
kemajuan dalam langkah mendeteksi dini fase prediabetes sebelum terjadinya diabetes mellitus.
Adiponectin, adalah suatu zat insulin sensitizer dari jaringan adiposa yang ditemukan ada pada kadar
rendah pada fase prediabetes dan diabetes mellitus. C-reactive protein, suatu marker inflamasi
ditemukan kadarnya meningkat secara perlahan, pada pasien yang mengalami perubahan kearah
diabetes mellitus. Peningkatan kadar CRP dipercaya berkaitan langsung dengan salah satu faktor
risiko terjadinya diabetes mellitus atau disebabkan oleh diabetes itu sendiri. Studi lain mengatakan
peningkatan CRP ini sudah bisa dideteksi hingga 10 tahun sebelum onset diabetes mellitus itu sendiri.
Inkretin adalah suatu zat endogen tubuh yang normalnya berperan dalam produksi insulin sebagai
respons terhadap glukosa oral. Pada pasien DM efek inkretin didapatkan menurun, sedangkan pada
fase pre diabetes ditemukan kadar inkretin meningkat, sebagai respons awal yang mendadakan adanya
resistensi insulin. Hal ini dapat menjadi penanda utama progresifitas pasien prediabetes menjadi
diabetes mellitus.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, et al. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 18th ed.
US: Mc-Graw Hill, 2012
2. Mcphee SJ, Papadakis MA. Current Diagnosis and Treatment. 50th ed. US: Mc-Graw Hill,
2011
3. Gardner DG, Shoback D. Greenspan’s Basic and Clinical Endocrinology. 8th ed. US: Mc-
Graw Hill, 2007
4. Kahn CR, Weir GC, King GL, et al. Joslin’s Diabetes Mellitus. 14th ed. US: Lippincot
William & Willkin, 2006
5. Tabak AG, Carstenten M, Witte DR, et al. Adiponectin trajectories before type 2 diabetes
diagnosis: whithall II stydy. Diabetes Journal. 2012 Aug 28; 35(12): 2540-7
6. Tabak AG, Kivimaki M, Brunner EJ, et al. Changes in c-reactive protein levels before type 2
diabetes and cardiovascular death: the whitehall II study. European Society of Endocrinology.
European Journal of Endocrinology. 2010 July 1; 167(6): 89-95
7. Kulkarni N. Identifying biomarkers of subclinical diabetes. Diabetes Journal. 2012 Aug 16;
61(8): 1925-6
8. Theodorakis MJ, Carlson O, Muller DC, et al. Elevated plasma glucose-dependent
insulinotropic polypeptide associates with hyperinsulinemia in impaired glucose tolerance.
American Diabetes Association. Diabetes Journal. 2004 July 28; 27(7): 1692-98
9. Yousefzadeh G, Shokoohi M, Yeganeh M, et al. Role of gamma glutamyl transferase (GGT)
in diagnosis of impaired glucose tolerance and metabolic syndrome. Diabetes Journal. 2012
Oct 6; 6(4): 190-4
10. Freeman JS. Role of incretin pathyway in pathogenesis of type 2 diabetes mellitus. Cleveland
Journal of Medicine. 2009 Dec 3; 76(5): 512-9
11. Ross SA, Ekoe JM. Incretin agents in type 2 diabetes. College of Family Physicians of
Canada Journal. 2010 July 15; 56(7): 639-48
29