proposal part 1
TRANSCRIPT
TINGKAT KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT IBU-IBU PASANGAN USIA SUBUR DESA SELOTAPAK, KECAMATAN TRAWAS,
KABUPATEN MOJOKERTO, PROVINSI JAWA TIMUR
PROPOSAL PENELITIAN
Oleh:
Kelompok Praktek Kerja Lapangan Batch 2
Desa Selotapak, Kecamatan Trawas
Kabupaten Mojokerto
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
April 2014
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kebersihan rongga mulut (oral hygiene) adalah tindakan untuk
membersihkan dan menyegarkan rongga mulut, gigi, dan gusi untuk mencegah
penularan penyakit melalui mulut, meningkatkan daya tahan tubuh, memperbaiki
fungsi gigi dan mulut dalam sistem pengunyahan, serta mencegah penyakit
rongga mulut seperti penyakit pada gigi dan gusi (Hermawan, 2010). Kebersihan
rongga mulut yang baik dapat mendukung kualitas hidup yang baik. Tidak
terjaganya kebersihan rongga mulut dapat berpengaruh secara langsung terhadap
kesehatan gigi dan mulut yang sangat penting peranannya dalam mempersiapkan
zat makanan sebelum proses penyerapan nutrisi pada saluran pencernaan.
Kebersihan rongga mulut yang tidak terjaga dengan baik akan mengganggu fungsi
estetis, mengganggu penampilan, fungsi komunikasi, dan pada tahap lebih lanjut
dapat mengganggu fungsi pengunyahan (Oktaviani, 2007).
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2010 Departemen
Kesehatan RI menunjukkan bahwa 63% penduduk Indonesia menderita penyakit
gigi dan mulut meliputi karies gigi dan penyakit jaringan penyangga (SKRT,
2010). Data lain dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) menunjukkan
prevalensi nasional masalah gigi dan mulut adalah 25,9%. Karies gigi di di
Indonesia merupakan masalah gigi dan mulut yang masih perlu
mendapatkan perhatian. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) melaporkan
angka prevalensi pengalaman karies pendudukdi Jawa Timur sebesar 6,44%
dari populasi seluruh penduduk Indonesia (Tirahiningrum P. et al, 2004).-->
ganti dengan status OH
Pasangan usia subur (PUS) adalah pasangan suami istri yang istrinya berumur
antara 15 sampai dengan 49 tahun atau pasangan suami-istri yang istri berumur
kurang dari 15 tahun dan sudah haid atau istri berumur lebih dari 50 tahun, tetapi
masih haid (datang bulan) (BKKBN, 2005).Wanita mengalami beberapa kali
perubahan hormonal saat memasuki usia remaja hingga menjelang lanjut usia.
Pada waktu-waktu tertentu, wanita perlu memberi perhatian ekstra terhadap
dirinya sebab perubahan hormonal tersebut berpengaruh besar dalam hampir
semua aspek kehidupannya, termasuk kesehatan gigi dan mulut. Fluktuasi hormon
mengakibatkan perempuan berada pada keadaan yang lebih rentan terhadap
masalah gigi dan mulut.Kerentanan tersebut dapat muncul selama pubertas, saat
memasuki siklus menstruasi bulanan, selama kehamilan, dan menopause
(Noerdin, 2001).Bagi wanita yang mengalami masalah gigi dan mulut selama
menstruasi, kesadaran menjaga kebersihan gigi dan mulut adalah kunci utama
untuk tetap berada dalam kondisi prima setelah selesai menstruasi. Peradangan
gingiva dapat mengarah kepada peradangan jaringan periodontal yang dapat
menyebabkan kerusakan periodontal termasuk gusi dan tulang alveolar
(Christoffers, 2003).
Ibu-ibu pasangan usia subur merupakan wanita yang produktif dalam
mendidik anak-anak. Ibu-ibu di pedesaan pada umumnya adalah ibu rumah
tangga, ibu-ibu ini memiliki waktu dan intensitas berkomunikasi dengan keluarga
lebih banyak daripada ayah. Sehingga peran mendidik dalam keluarga lebih bisa
dilakukan oleh seorang ibu. Ibu-ibu ini memiliki peluang besar untuk
menciptakan perilaku pola hidup sehat keluarga, khususnya untuk menjaga
kesehatan gigi dan mulut. Sehingga, pemberian penyuluhan terhadap ibu-ibu
pasangan usia subur penting dilakukan agar mereka bisa mengubah pola hidup
keluarga menjadi lebih sehat, khususnya dalam bidang kesehatan gigi dan mulut
(Effendy, 1998).
Desa Selotapak berjarak 3-5 km dari Puskesmas Kecamatan Trawas, sehingga
akses layanan kesehatan dapat diakses secara mudah oleh penduduk Desa
Selotapak. Keberadaan Pos Kesehatan Masyarakat di Balai Desa dan keberadaan
perawat desa membantu masyarakat sekitar yang memerlukan layanan kesehatan.
Meskipun demikian, data Puskesmas Trawas menunjukkan bahwa tingkat
kunjungan masyarakat Desa Selotapak ke Puskesmas Trawas cukup rendah yaitu
hanya 30 orang yang berkunjung dalam 3 bulan terakhir. Hal ini menunjukkan
bahwa kesadaran masyarakat Desa Selotapak terhadap kesehatan gigi dan mulut
masih sangat rendah (Data Puskesmas Trawas, 2014).Menurut data Pos Kesehatan
Desa Selotapak (2014) jumlah ibu-bu pasangan Desa Selotapak adalah 412 orang.
Rincian jumlah ibu-ibu pasangan usia subur perdusun adalah 161 pada Dusun
Selotapak dan 251 pada Dusun Jaten. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh
Puskesmas Trawas pada tahun 2012 yang memuat bahwa pulpitis, yang
merupakan akibat dari karies dan kebersihan gigi mulut yang kurang baik, sebagai
masalah kesehatan gigi dan mulut tertinggi dan menempati urutan kedelapan dari
15 masalah kesehatan yang memiliki frekuensi tertinggi di kecamatan Trawas
(Profil Puskesmas Trawas, 2012).
Penelitian pendahuluan telah dilakukan sebelumnya untuk mengetahui
gambaran umum keadaan gigi dan mulut masyarakat desa Selotapak khususnya
ibu-ibu pasangan usia subur berusia 15-49. Penelitian dilakukan pada 24 orang
penduduk dengan alat penelitian menggunakan indeks DMF-T, PHP (Plaque
Hygiene Performance Index),dan wawancara langsung mengenai kebiasaan
menjaga dan merawat kesehatan gigi dan mulut. Hasil yang didapatkan dari 15
penduduk yang merupakan ibu-ibu pasangan usia subur adalah sebanyak 6 orang
(40%) kondisi tingkat kebersihan gigi dan mulutnya buruk, 6 orang (40%) kondisi
tingkat kebersihan gigi dan mulutnya sedang, dan 3 orang (20%) kondisi tingkat
kebersihan gigi dan mulutnya baik.
Dipilihnya indeks PHP (Patient Hygiene Performance Index), DMF-T, dan
wawancara langsung bertujuan untuk meneliti secara lebih dalammengenai
kebiasaan masyarakat dalam menjaga dan merawat kesehatan gigi dan mulut.
Penelitian lebih lanjut mengenai tingkat kebersihan gigi dan mulut ibu-ibu
pasangan usia subur di Desa Selotapak belum pernah dikakukan sebelumnya.
Berdasarkan alasan-alasan diatas, maka diajukan penelitian epidemiologis
terkait tingkat kebersihan gigi dan mulut ibu-ibu pasangan usia subur di desa
Selotapak, kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Penelitian ini diharapkan
dapat meningkatkan kesadaran masyarakat desa Selotapak terutama ibu-ibu
pasangan usia subur agar dapat menjaga dan meningkatkan kebersihan gigi dan
mulut sebagai upaya preventif terhadap penyakit di rongga mulut.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana tingkat kebersihan gigi dan mulut ibu-ibu pasangan usia subur di
Desa Selotapak, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kebersihan gigi dan
mulut ibu-ibu pasangan usia subur di desa Selotapak, kecamatan Trawas,
kabupaten Mojokerto.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui tingkat kebersihan gigi dan mulut ibu-ibu pasangan usia subur
Desa Selotapak, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto terkait status
pekerjaan subyek di sektor formal.
b. Mengetahui tingkat kebersihan gigi dan mulut ibu-ibu pasangan usia subur
Desa Selotapak, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto terkait perilaku
menyikat gigi subyek.
c. Mengetahui tingkat kebersihan gigi dan mulut ibu-ibu pasangan usia subur
Desa Selotapak, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto terkait
kebiasaan konsumsi makanan subyek.
d. Mengetahui tingkat kebersihan gigi dan mulut ibu-ibu pasangan usia subur
Desa Selotapak, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto terkait kondisi
gigi geligi subyek.
e. Mengetahui tingkat kebersihan gigi dan mulut ibu-ibu pasangan usia subur
Desa Selotapak, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokertoterkait usia
subyek.
f. Mengetahui tingkat kebersihan gigi dan mulut ibu-ibu pasangan usia subur
Desa Selotapak, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto terkait
pengalaman subyek mendapat Dental Health Education (DHE).
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu data sebagai informasi untuk
puskemas mengenai tingkat kebersihan gigi dan mulut pada ibu-ibu
pasangan usia subur di desa Selotapak, kecamatan Trawas, kabupaten
Mojokerto.
2. Bagi warga Desa Selotapak
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat
Desa Selotapak tentang kebersihan gigi dan mulut serta dapat
meningkatkan kesadaran masyarakat desa Selotapak untuk menjaga
kesehatan gigi dan mulut sehingga dapat secara mandiri mencegah
terjadinya berbagai masalah kesehatan gigi dan mulut.
3. Bagi fakultas
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai data epidemiologi,
terutama untuk penelitian lebih lanjut
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Data Demografi Desa Selotapak
Desa Selotapak merupakan sebuah desa yang terletak dalam wilayah
administrasi Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur.
Penduduk Desa Selotapak berjumlah 1.753 jiwa. Usia produktif mayoritas bekerja
sebagai petani. Fasilitas pendidikan yang terdapat di Desa Selotapak antara lain 1
SD, 1 Madrasah Ibtidaiyah, dan 2 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) (Balai
Desa Selotapak, 2010).
Desa Selotapak memiliki luas wilayah 1.662.481 hektar, dengan 2 dusun,
dusun Selotapak dan dusun Jaten. Batas wilayah desa sebelah utara adalah Desa
Penanggungan, sebelah timur adalah Desa Tamiajeng, sebelah selatan adalah Desa
Trawas, dan sebelah barat adalah Desa Sukosari. Desa kelurahan terjauh berjarak
8 km dengan 20 menit perjalanan. Jarak antara desa dengan ibu kota kecamatan
adalah 3 km dengan waktu tempuh 15 menit. Suhu maksimum pada desa ini
adalah 25o C, sedangkan suhu minimum adaah 16 o C (Balai Desa Selotapak,
2010).
2.2 Tingkat Kebersihan Rongga Mulut (Oral hygiene)
2.3 Kondisi Intra Oral Subyek
2.3.1 Karies
Karies merupakan penyakit jaringan gigi yang ditandai dengan kerusakan
jaringan, mulai dari permukaan gigi hingga meluas ke arah pulpa. Karies gigi
yang disebut juga lubang gigi merupakan suatu penyakit dimana bakteri merusak
struktur jaringan gigi (enamel, dentin dan sementum). Jaringan tersebut rusak dan
menyebabkan lubang pada gigi.Jika plak bakteri bertambah banyak, gigi akan
mudah terkena karies. Sebab sisa makanan yang mengandung gula akan dipakai
bakteri untuk memproduksi asam yang akan mendemineralisasikan enamel hal ini
disebabkan oleh oral hygiene yang buruk (Tarigan, 1995).
Karies terjadi bukan disebabkan karena satu kejadian saja seperti penyakit
menular lainnya tetapi disebabkan serangkaian proses yang terjadi selama
beberapa kurun waktu. Karies dinyatakan sebagai penyakit multifaktorial yaitu
adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab terbentuknya karies. Ada empat
faktor utama yang memegang peranan yaitu, faktor host (tuan rumah), agen
(mikroorganisme), substrat (diet), dan faktor waktu(Pintauli, 2008).
2.3.2 Indeks Karies
Indeks karies digunakan untuk mengukur pengalaman seseorang terhadap
karies. Semua gigi diperiksa kecuali gigi molar tiga karena biasanya gigi tersebut
tidak tumbuh.Karies dapat dideteksi dengan visual atau menggunakan sonde dan
dihitung dengan menggunakan indeks karies Klein yaitu DMF-T (Pintauli, 2008)
Indeks Gigi Permanen (DMF-T)
D = Decayed : Gigi yang mengalami karies atau yang belum ditambal.
M= Missing : Gigi yang sudah dicabut karena karies atau gigi yang
rusak karena karies yang tidak bisa dirawat indikasi
pencabutan.
F = Filling : Gigi dengan lesi karies dan sudah ditambal.
T = Tooth : Satuan gigi.
2.3.3 Pemakaian Protesa Gigi
Gigi tiruan adalah suatu alat tiruan yang di gunakan untuk menggantikan
sebagian atau seluruh gigi asli yang sudah hilang serta mengembalikan
perubahan-perubahan struktur jaringan yang terjadi akibat hilangnya gigi asli.
Tujuan pembuatan gigi tiruan, baik itu gigi tiruan lengkap maupun gigi tiruan
sebagian pada hakekatnya adalah untuk memperbaiki fungsi pengunyahan,
pengecapan, estetis, menjaga kesehatan jaringan serta mencegah kerusakan lebih
lanjut dari struktur organ rongga mulut. Pada pasien lanjut usia itu sendiri
tujuannya adalah untuk memelihara kesehatan dan fungsi sistem pengunyahan
dengan menetapkan ukuran pencegahan tanpa melibatkan pengobatan yang
berlebihan (Tanjong, 2011).
Pemakaian gigi tiruan seringkali dapat menimbulkan masalah gigi dan
mulut apabila tidak diperhatikan kebersihan dan perawatannya. Pada pasien
pengguna gigi tiruan yang tidak memperhatikan kebersihan mulut termasuk gigi
tiruannya sesuai instruksi yang diberikan dokter gigi, dapat mengakibatkan
terjadinya penumpukan sisa makanan yang merupakan predisposisi terbentuknya
plak. Hal ini terutama terjadi pada pasien lanjut usia. Seiring dengan
meningkatnya usia terjadi perubahan dan kemunduran fungsi kelenjar saliva,
dimana kelenjar parenkim hilang yang digantikan oleh jaringan lemak,lining sel
duktus intermedietmengalami atropi yang mengakibatkan pengurangan jumlah
aliran saliva. Selain itu, penyakit- penyakit sistemis yang diderita pada usia lanjut
dan obat-obatan yang digunakan untuk perawatan penyakit sistemis (Felton, 2011;
Zomorodian, 2011).
2.3.4 Susunan Geligi
Gigi berjejal merupakan keadaan dimana letak gigi berdesak-desakan
dalam rongga mulut karena rahang yang kecil sehingga tidak cukup menampung
gigi, atau sebaliknya ukuran gigi yang terlalu besar sehingga posisi gigi menjadi
berdesakan atau berjejal. Sisa makanan yang tersangkut pada gigi yang berjejal
mengakibatkan sulitnya saliva membersihkan sisa makan tersebut. Apabila
penyikatan gigi tidak dilakukan dengan baik dan benar maka sisa makanan
tersebut mengakibatkan terjadinya penumpukan plak yang berlebihan. Maloklusi
dapat mengakibatkan beberapa gangguan atau hambatan dalam diri penderitanya
(Dewi, 2009).
2.4 Kebiasaan Konsumsi
Dalam berbagai macam populasi biasanya memiliki kecenderungan dalam
pola konsumsi maupun kebiasaan mengonsumsi makanan atau minuman
tertentu.Kebiasaan konsumsi ini erat kaitannya dengan status OH. Dalam
penelitian ini kebiasaan konsumsi dikelompokkan sebagai berikut.
2.4.1 Kebiasaan Minum Air Putih
Yuniastuti (2008) menyatakan bahwa air merupakan sebagian besar zat
pembentuk tubuh manusia. Tergantung jumlah lemak yang terdapat dalam tubuh,
proporsi air ini berbeda antar orang. Pada orang gemuk, perbandingan antara air
dan lemak sekitar 50% berbanding 50%. Pada pria normal perbandingannya
antara 60% berbanding 16%. Pada orang kurus, perbandingan tersebut adalah
67% dengan 7%. Pada bayi, perbandingan tersebut sangat mencolok, yaitu 78%
dan 0%. Dengan perkataan lain, jumlah air yang terdapat dalam tubuh manusia
adalah : sekitar 80% dari berat badan (untuk bayi dengan low birth weight),
sekitar 70-75% dari berat badan (untuk bayi neonatus), sekitar 65% dari berat
badan (untuk anak). Almatsier (2003) menyatakan bahwa kandungan air laki-laki
lebih banyak daripada perempuan.
Almatsier (2003) menyatakan bahwa air mempunyai berbagai fungsi
dalamproses vital tubuh, antara lain sebagaipelarut dan alat angkut, katalisator
(memecah ataumenghidrolisis zat gizi kompleks menjadi bentuk-bentuk yang
lebih sederhana), pelumas (dalam cairan sendi-sendi tubuh), fasilitator
pertumbuhan (sebagai zat pembangun), dan pengatur suhu (menyalurkan panas).
Kebiasaan didefinisikan sebagai pola perilaku yang diperoleh dari pola
praktek yang terjadi berulang-ulang.
2.4.2 Aspek Perilaku Mengkonsumsi
Soekadji (1983) berpendapat bahwa orang berperilaku mengkonsumsi itu
ditandai dengan:
a. Frekuensi. Seberapa sering perilaku itu muncul dalam waktu tertentu.
b. Lamanya berlangsung. Berapa lama waktu yang diperlukan seseorang
untuk mengkonsumsi.
c. Intensitas. Berapa kuat atau lemahnya tingkatan seseorang untuk
mengkonsumsi.
2.4.3 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Mengkonsumsi
Menurut Kotler (2001), faktor yang mempengaruhi perilaku
mengkonsumsi adalah:
a. Faktor budaya, terdiri dari:
1) Budaya. Budaya merupakan penentu keinginan dan perilaku
yang paling mendasar.
2) Sub-budaya. Sub-budaya terdiri dari kebangsaan, agama,
kelompok, ras, dan daerah geografis.
3) Kelas sosial. Kelas sosial adalah pembagian masyarakat
yang relatif homogen dan permanen, yang tersusun secara
hierarkis dan yang anggotanya menganut nilai-nilai, minat
dan perilaku yang serupa.
b. Faktor sosial, terdiri dari:
1) Kelompok acuan. Kelompok acuan seseorang terdiri dari
semua kelompok yang memiliki pengaruh langsung (tatap
muka) atau tidak langsung terhadap sikap atau perilaku
seseorang.
2) Keluarga. Anggota keluarga merupakan kelompok acuan
primer yang berpengaruh.
3) Peran dan status. Peran meliputi kegiatan yang diharapkan
akan dilakukan oleh seseorang. Masing-masing peran
menghasilkan status. Orang-orang memilih produk yang
dapat mengkomunikasikan peran dan status mereka di
masyarakat.
c. Faktor pribadi, antara lain:
1) Usia dan tahap siklus hidup. Orang membeli barang dan
jasa yang berbeda sepanjang hidupnya
2) Pekerjaan dan lingkungan ekonomi. Pekerjaan seseorang
akan mempengaruhi pola konsumsinya dan pilihan produk
sangat dipengaruhi oleh keadaaan ekonomi seseorang.
3) Gaya hidup. Gaya hidup menggambarkan keseluruhan diri
seseorang yang berinteraksi dengan lingkungannya.
4) Kepribadian dan konsep diri. Kepribadian berkaitan dengan
konsep diri yang meliputi konsep diri aktual seseorang
(bagaimana seseorang memandang dirinya), konsep diri
ideal seseorang (ingin memandang dirinya seperti apa) dan
konsep diri oranglain (bagaimana seseorang menganggap
oranglain memandang dirinya).
d. Faktor psikologis, terdiri dari:
1) Motivasi. Seseorang memiliki banyak kebutuhan pada
waktu tertentu. Suatu kebutuhan akan menjadi motif jika ia
didorong hingga mencapai tingkat intensitas yang memadai.
2) Persepsi. Persepsi adalah proses yang digunakan oleh
seseorang individu untuk memilih, mengorganisasi dan
menginterpretasikan masukan-masukan informasi guna
menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti.
3) Pembelajaran. Pembelajaran meliputi perubahan perilaku
seseorang yang timbul dari pengalaman.
4) Keyakinan dan sikap. Keyakinan (belief) adalah gambaran
pemikiran yang dianut seseorang tentang suatu hal.
Sedangkan sikap (attitude) adalah evaluasi, perasaan
emosional dan kecenderungan tindakan yang
menguntungkan dan bertahan lama dari seseorang terhadap
suatu obyek atau gagasan.
2.4.4 Protokol Mengonsumsi Air Putih
Menurut Susilo (2010) mengenai protokol air, waktu yang tepat untuk
mengkonsumsi air putih adalah :
a. Meminum satu gelas air (300 ml) pada saat bangun dari tidur.
b. Meminum satu gelas air (300 ml) pada saat setengah jam sebelum makan.
c. Meminum satu gelas air (300 ml) pada saat satu jam sebelum makan siang
dan tidak minum selama makan siang atau segera setelah makan siang.
d. Meminum satu gelas air (300 ml) pada saat sebelum makan malam dan
tidak minum selama makan malam atau segera setelah makan malam.
e. Meminum satu gelas air (300 ml) pada saat sebelum tidur.
2.4.5 Jenis Jajanan
Jenis jajanan berpengaruh terhadap tingkat kebersihan dari rongga mulut,
dalam hal ini adalah bentuk dari jajanan itu sendiri. Telah dibuktikan dari berbagai
penelitian bahwa gula dalam diet merupakan penyebab utama karies. Suku bangsa
yang mengkonsumsi gula lebih tinggi, kariesnya lebih tinggi dibandingkan dengan
mereka yang mengkonsumsi gula lebih rendah
Gula berfungsi sebagai pemanis, bahan pengawet dan memberikan aroma
yang harum. Hal ini akan menimbulkan daya tarik baik pada rasa, aroma maupun
bentuk makanan itu sendiri, sehingga ada kecenderungan orang akan memilih
makanan yang bergula. Sekarang ini banyak dijumpai makanan jajan yang
kariogenik yang dijual di pasaran dan sudah sampai ke pelosok desa. Makanan ini
sangat digemari anak sehingga perlu lebih diperhatikan pengaruh substrat
kariogenik dengan kejadian karies gigi.1 Jajanan umumnya dimakan di luar jam-
jam makan atau di antara jam-jam makan. Konsumsi makanan kariogenik yang
sering dan berulang- ulang akan menyebabkan pH plak tetap di bawah normal dan
menyebabkan demineralisasi enamel dan terjadilah pembentukan karies.
Suatu studi mengenai pengaruh konsumsi gula dengan terjadinya karies
yang dilakukan pada akhir tahun 1940-an dikenal dengan ‘Studi Vipeholm’, studi
dilakukan pada rumah sakit mental di kota Lund, Swedia. Hasil studi
menunjukkan, bahwa makin sering gula dikonsumsi oleh individu dengan
kebersihan mulut yang buruk, dapat meningkatkan serangan karies pada individu
tersebut. Oleh karena itu makanan yang sangat diperlukan oleh anak yang sedang
dalam masa pertumbuhan dan perkembangan, akan menimbulkan pengaruh
negatif apabila pemberiannya tidak tepat.
2.4.6 Peran Karbohidrat
Karbohidrat harus ada di dalam mulut yang kemudian dapat diubah oleh
mikroorganisme yang dapat merusak enamel . Bentuk-bentuk karbohidrat seperti
polisacharida, disacharida, monosacharida mempunyai sifat kariogenik
berpartisipasi pada inisiasi karies. Bentuk kimia dari karbohidrat, Lamanya
karbohidrat dalam rongga mulut. Frekuensi makan karbohidrat. Serta Jumlah
karbohidrat yang dimakan lebih berpengaruh pada karies daripada bentuk fisik
karbohidrat.Karbohidrat mudah melekat pada plak sehingga menyebabkan karies.
2.4.7 Konsumsi Buah
Konsumsi buah diketahui mampu menurunkan tingkat timbulnya karies
karena sifat self-cleansing. Buah yang terdapat di desa Selotapak dan juga
dikonsumsi warga adalah buah salak, rambutan dan durian.
2.5 Pasangan Usia Subur
Pasangan usia subur (PUS) adalah pasangan suami istri yang istrinya
berumur antara 15 sampai dengan 49 tahun atau pasangan suami-istri yang istri
berumur kurang dari 15 tahun dan sudah haid atau istri berumur lebih dari 50
tahun, tetapi masih haid (datang bulan). Peningkatan angka kelahiran akan
berpengaruh terhadap kesehatan ibu, dan juga berpengaruh terhadap keluarga itu
sendiri untuk daerah perkotaan dan pedesaan. Masa subur seorang wanita
memiliki peran penting bagi terjadinya kehamilan sehingga peluang wanita
biasanya antara 15-49 tahun (BKKBN, 2005).
Wanita mengalami beberapa kali perubahan hormonal mulai saat
memasuki usia remaja hingga menjelang lanjut usia. Pada waktu-waktu tertentu
itu, wanita perlu memberi perhatian ekstra terhadap dirinya sebab perubahan
hormonal tersebut berpengaruh besar dalam hampir semua aspek kehidupannya,
termasuk kesehatan gigi dan mulut. Setidaknya ada empat situasi di dalam hidup
seorang wanita di mana fluktuasi hormon membuatnya lebih rentan terhadap
masalah gigi dan mulut. Situasi tersebut adalah selama pubertas, saat memasuki
siklus menstruasi bulanan, selama kehamilan, dan menopause. Termasuk juga saat
wanita menggunakan obat-obatan kontrasepsi (Noerdin, 2001).
Kusmiyati dkk (2009), mengatakan selama kehamilan mungkin ibu hamil
lupa untuk menjaga kesehatan gigi dan mulutnya karena kesibukan pekerjaan,
atau kegiatan mengunjungi klinik bersalin, menyiapkan pakaian atau kamar untuk
calon bayinya. Sehingga selama kurun waktu tersebut ibu mengabaikan perawatan
rongga mulutnya, baik dalam menjaga kebersihan mulut maupun pengontrolan ke
dokter gigi. Responden yang sebagian besar adalah masyarakat desa,
beranggapan bahwa kesehatan mulut dianggap baik selama tidak terjadi masalah
dalam mulutnya, seperti gigi berlubang atau ada gigi yang mau copot. Oleh karena
itu, jarang sekali ibu hamil yang datang ke dokter gigi untuk memeriksakan
kesehatan gigi dan mulutnya.
Selama siklus menstruasi yang normalnya terjadi setiap bulan, terjadi
perubahan hormonal khususnya peningkatan progesteron. Peningkatan ini
menyebabkan meningkatnya aliran darah ke gusi, dan juga mengubah reaksi
jaringan gusi terhadap bakteri dan iritan yang ada di dalam plak. Kondisi ini
menyebabkan gusi berwarna lebih kemerahan, bengkak dan lebih mudah berdarah
saat menyikat gigi atau mengunyah makanan yang keras. Pada gusi bengkak,
makanan lebih mudah menyelip. Padahal kita tahu, sisa makanan yang tertinggal
di gigi karena adanya plak kuman (bacterial plaque), dapat menjadi pangkal
terbentuknya lubang gigi. Perubahan pada gusi dan pembuluh darah akibat
perubahan hormonal tadi juga menyebabkan kuman pada plak gigi tumbuh
subur.meski hal ini tidak dialami oleh semua wanita. Umumnya peradangan gusi
(gingivitis) tersebut terjadi pada 1-2 hari sebelum menstruasi kemudian berangsur
menghilang begitu menstruasi dimulai.
Bagi wanita yang mengalami masalah gigi dan mulut seperti yang disebut
di atas selama menstruasi, kesadaran akan penjagaan oral hygiene adalah kunci
utama untuk tetap berada dalam kondisi prima setelah selesai menstruasi.
Peradangan gusi dapat mengarah kepada peradangan jaringan periodontal yang
dapat menyebabkan kerusakan periodontal termasuk gusi dan tulang alveolar
(Christoffers, 2003).
2.5.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Pasangan Usia Subur
a. Masa Pubertas
Pada masa pubertas, anak perempuan memiliki peningkatan dalam
produksi hormon seks (estrogen dan progesteron) yang tetap relatif
konstan sepanjang hidup reproduksi mereka. Sejumlah penelitian telah
menunjukkan bahwa peningkatan kadar hormon seks berkorelasi dengan
peningkatan prevalensi gingivitis. Jaringan gingiva dan mikroflora
subgingiva merespon dengan berbagai perubahan tingkat hormon
meningkat pada masa pubertas.Perubahan mikroba selama masa pubertas
dapat dikaitkan dengan perubahan lingkungan mikro dan dalam respon
jaringan gingiva dengan hormon seks serta kemampuan beberapa jenis
bakteri untuk memanfaatkan konsentrasi yang lebih tinggi hormon ini.
Secara khusus, beberapa bakteri anaerob gram negatif seperti Prevotella
intermediahave kemampuan untuk menggantikan estrogen dan progesteron
untuk vitamin K, sebuah faktor pertumbuhan penting. Gram negatif bakteri
lain seperti Capnocytophagiaspecies, meningkatkan kejadian serta secara
proporsional. Organisme ini telah terlibat dalam peningkatan perdarahan
gingiva yang diamati selama masa pubertas. Secara klinis selama masa
pubertas mungkin ada pertumbuhan berlebih reaksi nodular dari gingiva di
daerah di mana sisa-sisa makanan, material alba, plak dan kalkulus.
Perdarahan dapat terjadi ketika pasien mengunyah atau menggosok gigi.
Perawatan pencegahan lokal, termasuk program yang kuat dari kebersihan
mulut yang baik sangat penting (Carpenter, 2006).
b. Masa Menstruasi
Perempuan dalam tahun-tahun reproduksi mengalami menstruasi pada
siklus teratur. Ada perubahan kondisi rongga mulut yang mungkin
menyertai menstruasi termasuk bengkak eritematosa pada gingiva.
Beberapa perempuan yang tidak mengetahui adanya perubahan gingiva
sama sekali, sementara yang lain mengeluh perdarahan dan gingiva
bengkak pada hari-hari sebelum onset menstruasi, yang biasanya sembuh
setelah menstruasi. Perawatan pencegahan lokal, termasuk program yang
kuat dari kebersihan mulut yang baik sangat penting. (Carpenter, 2006)
c. Masa Kehamilan
Kehamilan menyebabkan peningkatan nafsu makan dan sering keinginan
untuk makanan yang tidak biasa. Jika mengidam ini adalah untuk
kariogenik makanan, wanita hamil dapat meningkatkan risiko karies.
Gingivitis adalah manifestasi oral yang paling umum yang berhubungan
dengan kehamilan. Sudah dilaporkan terjadi pada 60 sampai 75 persen dari
semua wanita hamil. Perubahan gingiva biasanya terjadi dalam hubungan
dengan kebersihan dan lokal iritasi mulut yang buruk, terutama plak.
Namun, perubahan hormonal dan vaskular yang menyertai kehamilan
sering menyebabkan respon inflamasi terhadap iritasi lokal ini (Jeffcoat. et
al, 2003).
Secara klinis, radang gingiva selama kehamilan ditandai dengan warna
merah menyala dari marginal gingiva dan papila interdental. Peradangan
jaringan ditandai dengan pembengkakan, permukaan mengkilap, hilangnya
daya tahan dan kecenderungan untuk mudah berdarah. Tingkat keparahan
penyakit gingival berkurang setelah melahirkan, tetapi gingiva tidak selalu
kembali ke sebelum hamil kondisi. Beberapa wanita hamil mengeluhkan
kekeringan pada mulut. Perubahan hormonal sangat berhubungan dengan
kehamilan.
d. Konsumsi Kontrasepsi Oral
Kontrasepsi oral dapat memperburuk keadaan rongga mulut pasien,
menyebabkan eritema dan kecenderungan meningkat terhadap perdarahan
gingiva. Dalam beberapa kasus, kontrasepsi oral dapat menginduksi
inflamasi gingiva. Oral hygiene harus dikendalikan seperti pemeriksaan,
pembersihan dan kontrol plak yang akan meminimalkan efek dari
kontrasepsi oral. Perubahan terukur telah diamati dalam komponen aliran
saliva pada wanita yang mengkonsumsi obat kontrasepsi. Perubahan ini
termasuk penurunan konsentrasi protein, asam sialic, ion hidrogen dan
sejumlah elektrolit (Carpenter, 2006).
2.6 Status Pekerjaan formal terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut
Pekerjaan seseorang dapat berhubungan dengan kesehatan gigi dan mulut.
Dimana kondisi masyarakat dengan status ekonomi masih rendah dapat memiliki
tingkat kesehatan yang lebih rendah dibandingkan dengan status sosial ekonomi
yang tergolong tinggi (Taani, 1996). Rendahnya status sosial ekonomi juga
merupakan karakteristik paling penting penyebab karies gigi (Irani et al., 2009).
Keadaan ini dapat dilihat dari jenis-jenis pekerjaan masyarakat Indonesia, secara
umum terbagi atas dua yaitu pekerjaan yang menghasilkan barang dan pekerjaan
yang menghasilkan jasa.
Riskesdas pada tahun 2013 mengelompokkan proporsi masalah gigi dan
mulut, penerimaan perawatan dari tenaga medis pada 4 jenis pekerjaan yaitu
petani/nelayan/ buruh, pegawai, wiraswasta dan tidak bekerja. Data menunjukkan
bahwa petani/nelayan/ buruh memiliki proporsi masalah pada gigi dan mulut
tertinggi yaitu sebesar 29,2 % dan yang terendah adalah pegawai yaitu sebesar
26,1%. Proporsi masalah gigi dan mulut pada pekerjaan lainnya adalah
wiraswasta sebesar 28,4%, dan tidak bekerja sebesar 26,5%. Sedangkan proporsi
penerimaan perawatan dari tenaga medis gigi yang tertinggi adalah adalah 37,5%
pada pegawai dan terendah adalah 26,6% pada petani/nelayan/buruh. Proporsi
penerimaan perawatan dari tenaga medis gigi pada pekerjaan lainnya adalah 32,2
% pada wiraswasta dan 31,3% pada tidak bekerja. Dengan data tersebut dapat
diambil kesimpulan nilai EMD (Effective Medical Demand). Nilai EMD
(Effective Medical Demand) adalah presentase penduduk yang bermasalah
dengan gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir x presentasi penduduk yang
menerima perawatan atau pengobatan gigi dari tenaga medis gigi ( dokter gigi
spesialis, dokter gigi, perawat gigi). Nilai EMD pada pegawai adalah yang
tertinggi yaitu sebesar 9,8% dan yang terendah adalah pada petani/nelayan/buruh
yaitu sebesar 7,8%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat sosial ekenomi seseorang
berpengaruh pada proporsi masalah gigi dan mulut serta perawatannya
(Riskesdas, 2013).
2.6.1 Tingkat Pendidikan formal terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut
Masalah tingginya angka penyakit gigi dan mulut saat ini dipengaruhi oleh
faktor perilaku masyarakat. Perilaku masyarakat erat hubungannya dengan tingkat
pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan gigi dan mulut. Kurangnya
pengetahuan mengenai kesehatan gigi dan mulut dan ketidaktahuan akan bahaya
penyakit gigi yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan akan
menyebabkan masyarakat tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan gigi yang
ada. Rendahnya tingkat pemanfaatan terhadap pelayanan kesehatan gigi ini akan
memberikan kontribusi terhadap buruknya status kesehatan gigi masyarakat
( Situmorang, 1994)
Riskesdas pada tahun 2013 mengelompokkan proporsi masalah gigi dan
mulut, penerimaan perawatan dari tenaga medis pada 6 tingkat pendidikan yaitu
tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tamat SLTP, tamat SLTA, dan tamat PT.
Data menunjukkan bahwa masyarakat dengan tingkat pendidikan tidak tamat
sekolah yang memiliki proporsi masalah gigi dan mulut tertinggi yaitu sebesar
29,2 % dan yang terendah adalah masyarakat dengan tingkat pendidikan tamat PT
sebesar 24,8%. Proporsi masalah gigi dan mulut pada tingkat pendidikan yang
lainnya adalah tidak sekolah sebesar 27%, tamat SD sebesar 28,6%, tamat SLTP
sebesar 26,9%, tamat SLTA sebesar 26,4% . Sedangkan proporsi penerimaan
perawatan dari tenaga medis yang tertinggi adalah masyarakat yang tamat PT
sebesar 45,7% dan yang terendah adalah tamat SD sebesar 28,6%. Proporsi
penerimaan perawatan dari tenaga medis pada tingkat pendidikan tidak sekolah,
tidak tamat SD, tamat SLTP, tamat SLTA masing masing adalah 28,9%, 30,2%,
30,5%, dan 34,4%. Dengan data tersebut dapat disimpulkan bahwa EMD
(Effective Medical Demand) yang tertinggi adalah pada masyarakat dengan
tingkat pendidikan tamat perguruan tinggi yaitu sebesar 11,3 % dan yang terendah
adalah pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tidak sekolah yaitu sebesar
7,8%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan seseorang berpengaruh
pada proporsi masalah gigi dan mulut serta perawatannya (Riskesdas, 2013).
2.7 Dental Health Education (DHE)
Dental Health Education (DHE) atau disebut dengan Pendidikan
Kesehatan Gigi (PKG) merupakan suatu usaha terencana dan terarah dalam
bentuk pendidikan non formal yang berkelanjutan. Pendidikan kesehatan gigi
adalah suatu proses belajar yang timbul oleh karena adanya kebutuhan kesehatan
sehingga menimbulkan aktivitas-aktivitas perseorangan atau masyarakat dengan
tujuan untuk menghasilkan kesehatan yang baik. (Riyanti, 2010)
2.7.1. Tujuan Pendidikan Kesehatan Gigi
Menurut Noor (1972), tujuan pendidikan kesehatan gigi
adalah(Herijulianti, 2001):
a) Meningkatkan pengertian dan kesadaran masyarakat tentang
pentingnya pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut.
b) Menghilangkan atau paling sedikit mengurangi penyakit gigi dan
mulut dan gangguan lainnya pada gigi dan mulut.
2.7.2 Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan Gigi
Pada dasarnya pendidikan harus dilaksanakan seumur hidup sesuai dengan
proses perkembangan psikis dan biologis manusia. Demikian pula halnya dengan
pendidikan kesehatan. Oleh karena itu lingkungan pendidikan kesehatan dapat
dibedakan menjadi(Herijulianti, 2001):
a) Keluarga
Lingkungan pendidikan ini biasanya disebut sebagai pendidikan informal dan
merupakan pendidikan dasar yang diperoleh oleh setiap individu sebelum
mendapatkan pendidikan lain. Penanaman pendidikan kesehatan sedini
mungkin oleh orang tua terhadap anaknya akan berpengaruh besar dalam
perubahan sikap pelihara diri anaknya.
b) Sekolah
Pendidikan yang diperoleh di sekolah disebut sebagai pendidikan formal.
Sebagai bukti bahwa seseorang telah menyelesaikan suatu jenjang
pendidikan formal akan memperoleh ijazah atau surat tanda tamat belajar.
Pendidikan kesehatan di sekolah harus diterapkan melalui Mata Pelajaran
Olahraga dan Kesehatan. Penanaman pendidikan kesehatan akan
berpengaruh terhadap pembentukan sikap pelihara diri yang diharapkan akan
terus tertanam sampai akhir hayat.
c) Masyarakat
Pendidikan ini biasanya dilakukan untuk melengkapi pendidikan di sekolah.
2.7.3 Dimensi Tingkat Pelayanan Kesehatan Gigi
Dimensi tingkat pelayanan kesehatan gigi, dapat dilakukan berdasarkan
lima tingkat pencegahan (five levels of prevention) dari Leavel and Clark sebagai
berikut (Herijulianti, 2001):
1 Promosi Kesehatan (Health Promotion)
Dalam tingkat ini pendidikan kesehatan gigi diperlukan untuk meningkatkan
derajat kesehatan gigi, misalnya dengan memilih makanan yang
menyehatkan gigi, mengatur pola makanan yang mengandung gula.
2 Perlindungan Khusus (Specific Protection)
Yang termasuk dalam program upaya pelayanan perlindungan khusus ini,
misalnya pembersihan karang gigi, menyikat gigi segera setelah makan,
topical aplikasi, fluoridasi air minum dan sebagainya. Pendidikan kesehatan
gigi pada tingkat ini diperlukan agar masyarakat menjadi sadar untuk
memelihara kesehatan gigi, terutama untuk daerah yang belum menyadari
pentingnya pemeliharaan kesehatan gigi.
3 Diagnosis Dini dan Pengobatan Segera (Early Diagnosis and Prompt
Treatment)
Pada tingkat ini pendidikan kesehatan diperlukan karena masih rendahnya
pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai kesehatan gigi, sehingga
seringkali mereka membiarkan giginya yang berlubang tidak segera ditambal
dan mengakibatkan penyakit yang lebih parah.
4 Pembatasan Cacat (Disability Limitation)
Pembatasan cacat merupakan tindakan pengobatan penyakit yang parah,
misalnya pulp capping, pengobatan urat saraf, pencabutan gigi dan
sebagainya. Pada tingkat ini pendidikan kesehatan diperlukan karena mereka
sering tidak mengobati penyakitnya secara tuntas. Misalnya, pada perawatan
urat saraf yang memerlukan beberapa kali kunjungan atau mereka ingin
segera mencabut giginya walaupun sebenarnya masih dapat dilakukan
penambalan.
5 Rehabilitasi (Rehabilitation)
Rehabilitasi merupakan upaya pemulihan atau pengembalian fungsi dan
bentuk sesuai dengan aslinya, misalnya pembuatan gigi tiruan. Pendidikan
kesehatan pada tingkat ini masih diperlukan untuk menyadarkan masyarakat
akan pentingnya mengembalikan fungsi pengunyahan setelah dilakukan
pencabutan dengan pembuatan geligi tiruan. Selain itu, juga diberikan
penerangan tentang kemungkinan- kemungkinan yang dapat terjadi akibat
tidak dilakukan pembuatan geligi tiruan.
Pada penelitian ini dilakukan tingkat pelayanan kesehatan gigi tahap
pertama, yaitu promosi kesehatan. Promosi kesehatan bertujuan untuk
pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat mampu menjaga kesehatan gigi
dan mulut secara mandiri. Promosi kesehatan ini dilakukan pada ibu-ibu pasangan
usia subur, karena ibu memiliki peranan penting dalam mendidik serta merawat
keluarga.
BAB 3
KERANGKA KONSEP
Latar Belakang subyek:
- Pekerjaan- Pendidikan
Konsumsi Jajanan
- Frekuensi- Konsistensi
Konsumsi buah-buahan
- Frekuensi- Jenis buah- Bentuk
penyajian
Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut
Kebiasaan Minum air putih setelah konsumsi jajanan
Riwayat memperoleh DHE 6 bulan terakhir
Kondisi Intraoral Subyek:
- Jumlah gigi karies- Pemakaian protesa- Susunan geligi
Kebiasaan menyikat gigi:
- Teknik- Keteraturan- Waktu menyikat
BAB 4
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif observasional.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengumpulan data dilakukan di rumah ibu pada pasangan usia subur
(PUS) desa Selotapak, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Penelitian
dilakukan pada bulan April 2014.
3.3 Populasi dan Sample Penelitian
3.3.1 Populasi
3.3.1.1 Defisini Populasi
Populasi penelitian adalah Ibu-ibuPasangan Usia Subur (PUS) (usia 15-49
tahun) Desa Selotapak , Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto.
3.3.1.2 Kriteria Populasi
Kriteria populasi dalam penelitian ini adalah pasangan usia subur (PUS)
(15-49 tahun) dengan konsisi tingkat kebersihan mulutdi Desa Selotapak,
Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto.
3.4 Sampel Penelitian
Subyek pada penelitian ini yaitu pasangan usia subur (15-49 tahun) Desa
Selotapak , Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Cara pengambilan sampel
dengan teknik multi stage sampling, yaitu dengan menggunakan cluster random
sampling. Pada masing-masing dusun di desa Selotapak akan diambil sampel ibu
pada pasangan usia subur. Sampel tersebut akan menggambarkan seluruh ibu pada
pasangan usia subur (PUS) di Desa Selotapak, Kecamatan Trawas, Kabupaten
Mojokerto. Untuk mengetahui ukuran sampel dari populasi yang diketahui
populasinya, peneliti menggunakan rumus WHO:
Keterangan :
n = besar sampel minimum
N = besar populasi
Z1-/2 = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada tertentu
2h = harga varians di strata-h
d = kesalahan (absolut) yang dapat ditolerir
W h = fraksi dari observasi yang dialokasi pada strata-h = N h/N
Jika digunakan alokasi setara, W = 1/L
L = jumlah seluruh strata yang ada
Dari rumus tersebut, maka didapatkan minimum sampel sebesar 54.
3.5 Variabel Penelitian
3.5.1 Efek (Variabel Tidak Bebas)
Efek pada penelitian ini adalah tingkat kebersihan rongga mulut pada
pasangan usia subur (15-49 tahun) Desa Selotapak, Kecamatan Trawas,
Kabupaten Mojokerto.
3.5.2 Faktor Resiko (Variabel Bebas)
1. Kebiasaan menyikat gigi
2. Kebiasaan subyek jajan dan minum di rumah.
3. Status intra oral subyek (susunan gigi)
4. Keadaan oral hygiene subyek
5. Usia
3.6 Definisi Operasional
NO VARIABEL DEFINISI OPERASIONAL METODE
PENGUKURAN
1 Tingkat pendidikan jawaban subjek yang menunjukkan
jenjang pendidikan formal terakhir yang
telah diselesaikan oleh subjek penelitian
ditandai dengan ijazah. Jenjang
pendidikan yang dimaksud adalah
pendidikan SD, SMP, SMA ataupun
setara. Didapatkan melalui pedoman
wawancara.
Melalui
wawancara
2 Status pekerjaan subjek yang menunjukkan pekerjaan
yang memiliki kontribusi paling besar
terhadap perekonomian keluarga subjek
penelitian sehari-hari.
Melalui
Wawancara
3 Keteraturan menyikat gigi
subjek
jawaban subjek yang menunjukkan
rutinitas menyikat gigi yang dilakukan
subjek setiap hari.
Melalui
Wawancara
4
.
Waktu menyikat gigi jawaban subjek yang menunjukkan
waktu subjek ketika melakukan
kegiatan menggosok gigi. Misalnya,
setelah makan atau sebelum tidur.
Melalui
Wawancara
5
.
Banyaknya karies subjek banyaknya gigi subjek yang mengalami
karies. Karies yang dimaksud adalah
masuknya sonde pada lubang yang
terdapat pada permukaan gigi. Indeks
DMF-T adalah alat ukur yang
dipergunakan untuk mengukur
banyaknya gigi yang karies dalam
Pemeriksaan
Klinis dan
Penggunaan
Indeks DMFt
rongga mulut subjek
6.Sususan Gigi geligi. keteraturan letak gigi geligi di dalam
rongga mulut subjek yang dapat
diperoleh dengan pemeriksaan klinis
Pemeriksaan
Klinis
7
.
Protesa gigi ada atau tidaknya penggunaan gigi
tiruan oleh subjek penelitian. Protesa
adalah merupakan gigi tiruan yang
digunakan oleh subjek penelitian yang
dapat dilihat melalui pengamatan
langsung atau pertanyaan kepada subjek
penelitian
Pemeriksaan
Klinis dan
wawancara
8
.
Jenis Buah yang
dikonsumsi
jawaban subjek yang menunjukkan
nama buah yang dikonsumsi oleh
subjek penelitian
Wawancara
9. Kebiasaan minum air putih jawaban subjek yang menunjukkan
aktivitas minum air putih setelah
mengkonsumsi jajanan. Jajanan yang
dimaksud adalah makanan yang
dimakan selain makanan utama.
Wawancara
Frekuensi Mengkonsumsi
buah
jawaban subjek yang menunjukkan
keteraturan waktu dalam mengkonsumsi
jenis buah tertentu.
Wawancara
Cara penyajian
mengkonsumsi buah
jawaban subjek yang menunjukkan
bentuk atau cara pengolahan buah yang
dikonsumsi oleh subjek saat disajikan
baik dalam bentuk olahan atau buah
segar.
Wawancara
Usia subyek jawaban responden yang menunjukkan
usia subjek yang tercantum dalam KTP.
Wawancara
Jenis Jajanan yang
Dikonsumsi
jawaban subjek yang menunjukkan jenis
jajanan yang dikonsumsi subjek selain
makanan utama. Jenis makanan yang
dimaksud adalah konsistensi makanan
yang dibedakan menjadi makanan
padat, semi padat dan cair.
Wawancara
Frekuensi Menkonsumsi
Jajanan
jawaban subjek yang menunjukkan
frekuensi mengkonsumsi jajanan setiap
hari. Frekuensi yang dimaksud adalah
per kali konsumsi dalam 1 hari.
Wawancara
Pengalaman mendapat
DHE
jawaban subjek yang menunjukkan
pengalaman subjek dalam mendapatkan
tambahan pengetahuan melalui seminar
atau penyuluhan tentang kesehatan gigi
dan mulut dari penyuluh yang kompeten
(dokter gigi,perawat
gigi,epidemiolog,mahasiswa
KKN/PKL) dalam rentang waktu 6
bulan terakhir.
Wawancara
3.7 Teknik Pengumpulan Data
1. Menentukan populasi yaitu ibu pada pasangan usia subur (PUS) umur 15-
40 tahun desa Selotapak, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto
2. Menentukan jumlah sampel yaitu ibu pada pasangan usia subur (PUS)
umur 15-40 tahun desa Selotapak, Kecamatan Trawas, Kabupaten
Mojokerto
3. Melakukan wawancara pada yaitu ibu pada pasangan usia subur (PUS)
umur 15-40 tahun desa Selotapak, Kecamatan Trawas, Kabupaten
Mojokerto mengenai kebersihan mulut.
4. Melakukan pengukuran PHP kebersihan rongga mulut pada ibu pada
pasangan usia subur (PUS) umur 15-40 tahun desa Selotapak, Kecamatan
Trawas, Kabupaten Mojokerto
5. Melakukan pengukuran tingkat kebersihan rongga mulut pada ibu pada
pasangan usia subur (PUS) umur 15-40 tahun desa Selotapak, Kecamatan
Trawas, Kabupaten Mojokerto
3.8 Teknik Analisis Data
Pengolahan data dianalisa dengan distribusi faktor resiko terhadap efek
yang menggunakan SPSS 17 dengan tabulasi silang (crosstab).