potensi ancaman pada bangunan cagar budaya banua layuk...

95
1

Upload: haduong

Post on 09-Mar-2019

286 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

2

Pelindung :Dr. Hilmar Farid

Direktur Jenderal Kebudayaan

Pengarah :Dr. Harry Widianto

Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman

Penanggung Jawab : Drs. Marsis Sutopo, M.Si

Kepala Balai Konservasi Borobudur

Pemimpin Redaksi :Yudi Suhartono, MA

Redaksi : Iskandar Mulia Siregar, S.Si

Hari Setyawan, S.SWinda Dyah Puspita Rini, SSDhani Indra Permana, S.Si

Mitra Bestari :Prof. Dr. Endang Tri Wahyuni, M.Si

Prof. Dr. Inajati AdrisijantiDr. Agi Ginanjar, SS, M.Si

Ir. Suprapto Siswosukarto, Ph.D

Tata Letak : Bambang Kasatriyanto, S.I.Kom

Alamat Redaksi : Balai Konservasi Borobudur

Jl. Badrawati Borobudur Magelang 56553

Jawa Tengah

Telp. (0293) 788225, 788175 Fax. (0293) 788367

email : [email protected]

[email protected]

website :www.konservasiborobudur.org

Redaksi menerima tulisan berupa artikel, saduran, terjemahan, maupun segala macam bentuk tulisan yang ada kaitannya dengan arkeologi, kon-servasi dan pelestarian sumber daya arkeologi. Terjemahan atau saduran harap menyebutkan sumber referensi yang jelas.

Foto sampul depan:Penggunaan alat Digital mikroskop untuk melihat permukaan batu

ISSN : 1978-8584

Daftar Isi

Kajian Pencocokan Kepala Arca BuddhaCandi Borobudur Tahap IIHari Setyawan, Agus Hendratno, Marsis Sutopo, Jati Kurniawan, Puji Santosa, Irawan Setiyawan

Konservasi Kayu Gapura Majapahit Di Kabupaten PatiDwi Astuti, Nahar Cahyandaru, Mujiharja

Potensi Ancaman Pada Bangunan Cagar BudayaBanua Layuk Rambu Saratu Di Mamasa Sulawesi Barat 1Yadi Mulyadi dan 2Iswadi A. Makkaraka

Perubahan Dan Ancaman Benteng Keraton Buton Di Kota Bau-Bau Sulawesi TenggaraDewi Susanti

Beberapa Keunikan Sebagai Landasan PenetapanOutstanding Universal Values (Ouv)Dalam Rangka Mewujudkan Kota Lama SemarangSebagai World Heritage CityEko Punto Hendro

Metode Foto Rentang Dekat (Close Range Photogrammetry) dan Aerial Untuk Pendokumentasian Tiga Dimensi Cagar BudayaBrahmantara dan Joni Setyawan Kajian Konservasi Tradisional Menurut Naskah KunoIsni Wahyuningsih, Sri Sularsih, Siti Yuanisa, Dimas Arif Primanda Aji

4 - 24

25 - 34

35 - 45

46 - 63

64 - 75

76 - 88

89 - 94

3

SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR VOLUME XI NOMOR 2

Cagar budaya merupakan warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan untuk dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang. Pelestarian cagar budaya merupakan amanat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 dalam upaya melestarikan warisan budaya bangsa Indonesia. Pelestarian cagar budaya harus terus dilakukan karena umumnya cagar budaya berada dalam kondisi yang rentan bahkan juga ada yang terancam. Usaha pelestarian yang dilakukan harus tepat sasaran sehingga dapat berjalan secara efektif dan efisien. Sasaran yang dimaksud adalah risiko yang dihadapi oleh cagar budaya.

Salah satu upaya pelestarian cagar budaya adalah dengan mempublikasi hasil kajian konservasi cagar budaya Borobudur dalam bentuk penerbitan Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur. Pada penerbitan Jurnal Borobudur Volume XI tahun 2017 ini memuat artikel-artikel yang diharapkan dapat menjadi sumber rujukan dalam melaksanakan pelestarian cagar budaya di Indonesia.. Edisi kedua tahun ini kembali menghadirkan tujuh judul kajian dengan berbagai topik yang berbeda. Upaya yang konsisten dalam menerbitkan jurnal ini dengan dua edisi per tahun, serta diikuti dengan semakin luasnya penulis yang berkontribusi. Salah satu yang positif dari jurnal edisi ini adalah semakin banyaknya penulis di luar institusi penerbit (Balai Konservasi Borobudur), yaitu Empat dari penulis luar dan tiga dari dalam institusi. Hal ini semakin membuktikan kualitas dan daya tarik Jurnal Borobudur sebagai sarana komunikasi ilmiah di kalangan pelestari cagar budaya.

Artikel yang berjudul Kajian Pencocokan Kepala Arca Buddha Candi Borobudur Tahap II olehHari Setyawan, dkk merupakan artikel pembuka dari jurnal ini. Dilanjutkan dengan artikel berjudul Konservasi Kayu Gapura Majapahit Di Kabupaten Pati oleh Dwi Astuti, dkk. Potensi Ancaman Pada Bangunan Cagar Budaya Banua Layuk Rambu Saratu Di Mamasa Sulawesi Barat oleh Yadi Mulyadi, dkk.. Perubahan Dan Ancaman Benteng Keraton Buton Di Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara oleh Dewi Susanti. Beberapa Keunikan Sebagai Landasan Penetapan Outstanding Universal Values (OUV) Dalam Rangka Mewujudkan Kota Lama Semarang Sebagai World Heritage City oleh Eko Punto Hendro. Metode Foto Rentang Dekat (Close Range Photogrammetry) Dan Aerial Untuk Pendokumentasian Tiga Dimensi Cagar Budaya Brahmantara dan terakhir adalah artikel Berjudul Kajian Konservasi Tradisional Menurut Naskah Kuno oleh Isni Wahyuningsih, dkk.

Semua artikel yang disajikan sudah melalui proses penilaian oleh mitra bestari dan editing redaksi.

Semoga artikel yang disajikan dapat memberikan manfaat khususnya dalam pelestarian cagar budaya.

Tim Redaksi.

4

KAJIAN PENCOCOKAN KEPALA ARCA BUDDHA CANDI BOROBUDUR TAHAP II

Hari Setyawan, Agus Hendratno, Marsis Sutopo, Jati Kurniawan, Puji Santosa, Irawan Setiyawan

Balai Konservasi BorobudurEmail : [email protected]

Abstrak : Maksud dilaksanakananya Kajian Pencocokan Kepala arca adalah mencocokan 56 kepala arca Dhyani Buddha dengan 247 tubuhnya pada struktur Candi Borobudur. Setelah diselesaikannya Kajian Pencocokan Kepala Arca Buddha Candi Borobudur tahap I tahun 2015, beberapa metode pencocokan telah diformulasikan dan diuji. Metode pencocokan menggunakan ikonometri dan ikonografi belum dapat digunakan untuk mencocokan karena presisi satuan ikonometri arca tersebut. Metode ultrasound velocity dan magnetic susceptibility juga telah terbukti tidak efektif dalam mencocokkan kepala dan tubuh arca.

Pada Kajian Pencocokan Kepala Arca Buddha Candi Borobudur Tahap II, metode pencocokan menggunakan tipe material batu andesit yang merupakan bahan arca diaplikasikan. Hal tersebut berdasar pada prinsip bahwa arca dibuat dari batu/ monolith, artinya arca hanya ada satu tipe batu tanpa sambungan pada sebuah arca batu. Pendekatan atau pencocokan tipe material tersebut kemudian disinkronkan dengan data XRF (X-Ray Flouresence) yang telah diambil pada kesemua kepala arca dan sebagian besar tubuh arca tanpa kepala. Sementara hasil pencocokan tipe material bahan arca, menghasilkan 6 tipe yang didasarkan pada tipe material kepala arca yang tersimpan pada kantor Balai Konservasi Borobudur. Tipologi material yang dilakukan berhasil mengerucutkan pencocokan dengan populasi terkecil antara kepala dan tubuh arca pada tipe 6. Dengan demikian fokus pencocokan akan dimulai dari tipe 6 dengan cara mencocokkan beberapa kepala arca pada tubuh arca secara langsung. Pencocokan dengan metode tipe material telah mendapatkan dua kepala arca yang cocok dengan tubuhnya.

Kata kunci : pencocokan kepala arca, tipologi material arca, XRF.

Abstract: The purpose of this study is to match the 56 heads of Dhyani Buddha statues with the 247 bodies without head on the structure of Borobudur Temple. After the completion of the Study of Head Matching Buddha Statue of Borobudur Temple phase I in 2015, several matching methods have been formulated and tested. The matching methodology using iconometry and iconography can not be used because of the precision of the statue’s iconometric units. The use of ultrasound velocity and magnetic susceptibility have also been shown to be ineffective in matching the head and body of the statue.

In the Study of Head Matching Buddha Statue of Borobudur Temple Phase II, the matching method using the type of andesite stone material which is the material of the statue is applied. It is based on the principle that the statue is made from one block of stone (a monolith). Approach or matching of the material type is then synchronized with XRF (X-Ray Flouresence) data that has been taken on all the head of the statue and most of the body of the statue without head. While the results of matching material types of statues, produce 6 types based on the type of statue material material stored in Borobudur Conservation Office. The typology of the material has succeeded in giving possible matching groups with the smallest population between the head and body of the statue in type 6. Thus the focus of matching will start from type 6 by matching some statue heads on the body of the statue directly. Matching by material type method has earned two head statues that match the body.

Keyword: Head Matching Buddha Statue, material type of the statue, XRF

I. PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang Setelah dipugarnya Candi Borobudur untuk yang kedua kalinya pada tahun 1983, tidak berarti semua permasalahan yang berkaitan dengan pelestariannya dapat diselesaikan dengan baik. Salah satu permasalahan yang belum terselesaikan di antaranya berkaitan dengan arca Dhyani Buddha Candi Borobudur yang menyangkut

kelengkapan anatomi arca. Secara eksplisit disampaikan bahwa permasalahan tersebut muncul karena masih ada kepala arca Dhyani Buddha Candi Borobudur yang belum bisa dikembalikan pada struktur candi. Hal ini karena kepala arca tersebut ditemukan terpisah dari tubuhnya tanpa adanya petunjuk, catatan, maupun referensi yang jelas menyangkut posisi asli dari kepala arca tersebut.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 4-24

5

Kajian Pencocokan Kepala Arca Buddha Candi Borobudur Tahap II

Dari keseluruhan jumlah arca Dhyani Buddha yang berjumlah 504 buah, saat ini masih dijumpai 228 arca Buddha berkepala dan 247 buah arca Dhyani Buddha tanpa kepala. Sementara itu, kepala arca Buddha yang disimpan di Balai Konservasi Borobudur berjumlah 56 buah. Jumlah relung kosong maupun stupa teras kosong/ tanpa dijumpai arca adalah sejumlah 29 buah. Kondisi tersebut memerlukan adanya upaya pelestarian, salah satunya dengan cara mencocokkan kepala arca dengan tubuh arca yang berada pada pagar langkan ataupun stupa teras. Pencocokan arca tidak bisa dilakukan dengan cara langsung, namun dengan cara melakukan penelitian secara lebih mendalam pada kepala arca dan tubuh arca. Hal ini untuk menghindari kesalahan pemasangan yang akan mengurangi nilai penting dari arca tersebut. Melalui kajian ini, diaplikasikan berbagai metode yang dapat digunakan dalam melakukan pencocokan kepala arca.

Metode-metode dan pendapat dari para ahli kemudian dirumuskan dalam bentuk rekomendasi yang nantinya akan ditindaklanjuti dalam bentuk kegiatan fisik. Kegiatan fisik tersebut terutama bertujuan untuk mencocokkan dan memasang kepala arca Buddha pada tubuh arca yang berada di atas struktur candi.

2.1. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang dan tinjauan pustaka, maka permasalahan yang akan ditindaklanjuti dalam Kajian Pencocokan Kepala Arca Buddha Candi Borobudur Tahap II adalah mengetahui efektifitas metode pencocokan tahap I dan mencari metode pencocokan yang ilmiah dan lebih efektif. Sehingga di kemudian hari dapat dikembalikan setidaknya sebagian kecil dari kepala arca yang masih tersimpan di kantor Balai Konservasi Borobudur.

3.1. Tujuan Berdasarkan rumusan permasalahan di atas maka tujuan yang dirumuskan dan akan diselesaikan melalui Kajian Pencocokan Arca Buddha Candi Borobudur Tahap II adalah :

1. Melanjutkan pengukuran dengan metode XRF pada tubuh arca yang berada pada struktur candi yang belum terselesaikan pada tahap I.

2. Melakukan uji coba pencocokan menggunakan metode magnetic susceptibility untuk mengetahui efektifitasnya.

3. Membuat tipologi berdasarkan tekstur/tipe material pada kepala dan tubuh arca.

4. Mencocokan kepala dan tubuh arca dengan metode tipe material yang diperkuat dengan data XRF.

II. METODEUntuk mencapai tujuan dan mendapatkan

manfaat dari pelaksanaan Kajian Pencocokan Kepala Arca Candi Borobudur Tahap II maka metode dan alur kajian yang diformulasikan adalah sebagai berikut :

1. Penelusuran literatur dan studi pustaka.Dilakukan dengan maksud untuk mencari, mengetahui, dan mempelajari data-data dan gambar-gambar menyangkut arca Dhyani Buddha Candi Borobudur.

2. Observasi lapangan.Observasi lapangan dilakukan untuk melihat kondisi arca di kantor Balai Konservasi Borobudur dan pada struktur Candi Borobudur. Hal ini dilakukan untuk menentukan posisi pengukuran dan analisis arca.

3. Pelaksanaan.PengukuranPengukuran yang dimaksud adalah pengukuran unsur material batu andesit yang merupakan bahan arca menggunakan XRF. Selain itu, juga dilakukan tipologi/pengelompokan material berdasarkan tipologi kepala arca dengan acuan yang telah dibuat oleh Prof. Hans Liesens dan Dr. Esther Liesens dari CICS Jerman.PendokumentasianPendokumentasian menggunakan video mikroskop dilakukan pada beberapa tubuh arca tanpa kepala. Namun demikian pendokumentasian kegiatan juga dilakukan pada tiap metode yang diaplikasikan pada kepala dan tubuh arca.Pengambilan Data Teknis ArcaUntuk melakukan pencocokan kepala dan tubuh arca Dhyani Buddha, maka data teknis yang diambil pada kepala maupun tubuh arca untuk dicocokkan di antaranya adalah, ciri fisik berupa keterawatan objek, warna material, kekompakan material, kandungan unsur mineral, kandungan magnetik material, dan tekstur material.

6

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 4-24

4. Analisa dan evaluasi dataAnalisa dan evaluasi data dilakukan guna mencocokkan dan mensikronkan data setelah tipologi material diselesaikan. Selanjutanya untuk mencocokan digunakan data XRF yang akan memperkuat kesamaan unsur material arca.

5. RekomendasiRekomendasi merupakan tahap akhir dari Kajian Pencocokan Kepala Arca Buddha Candi Borobudur tahap II. Dalam tahap ini direkomendasikan metode yang sesuai untuk pencocokan kepala arca.

Pada tahap penelusuran literatur dan studi pustaka dapat dilakukan dengan mencari pustaka yang sesuai khususnya menyangkut ikonografi dan ikonometri arca Buddha khususnya Candi Borobudur. Selain itu, studi pustaka juga dilakukan pada kajian-kajian yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai ikonometri arca Buddha. Arca Buddha yang dimaksud dala hal ini adalah arca yang berasal dari Kerajaan Mataram Kuna Periode Jawa Tengah. Sehingga data ikonometri bisa digunakan sebagai data pembanding dalam melakukan pencocokan kepala arca Buddha di Candi Borobudur. Beberapa acuan pustaka yang digunakan dalam kajian ini dapat berupa prinsip-prinsip ikonografi arca Buddha secara umum dari berbagai kitab di India yang menyampaikan informasi mengenai ikonografi dan ikonometri arca Buddha. Data ikonografi dan ikonometri dari berbagai sumber pustaka tersebut kemudian dikompilasi dan dijadikan acuan dalam melakukan perbandingan. Beberapa komponen ikonografi arca akan diperbandingkan dengan hasil pengukuran ikonometri arca Buddha Candi Borobudur. Sehingga setelah melakukan pengukuran di lapangan, hasil pengukuran tersebut akan diperbandingkan dengan acuan dari ikonometri arca Buddha berdasarkan kitab dari India. Pada kajian terdahulu setelah acuan baku ikonometri arca Buddha didapatkan maka tahap selanjutnya adalah melalukan observasi di lapangan. Observasi dilakukan secara langsung pada kepala arca Buddha yang disimpan di kantor Balai Konservasi Borobudur, maupun tubuh arca Buddha yang masih berada pada struktur Candi Borobudur. Pada pelaksanaan observasi juga dilakukan pengukuran dan dokumentasi. Pengukuran dilakukan secara langsung pada objek untuk mengetahui ikonometri

kepala arca maupun tubuh arca. Pada pengukuran yang dilakukan satuan yang digunakan adalah cm (centimeter). Satuan centimeter tersebut kemudian dikonversi menjadi satuan tala, angula, dan yava. Tala adalah satuan pengukuran yang didapatkan dari penjumlahan pada pengukuran panjang garis dahi sampai hidung dan panjang garis hidung sampai batas dagu. Angula adalah satuan pengukuran yang pada konsep dasarnya adalah dengan membagi satuan tala menjadi 12. Sedangkan untuk satuan yava didapatkan dengan membagi angula menjadi 8. Hal ini penting untuk mendapatkan perbandingan dimensi arca berdasarkan konsep dasar ikonometrinya. Pengelompokan tipe material arca atau tipolgi material arca dilakukan setelah formulasi tipologi ditetapkan oleh seorang ahli konservasi yang dtugaskan oleh UNESCO untuk memberikan bantuan teknis konservasi batu (UNESCO Expert Mission 2015). Ahli tersebut adalah Prof. Dr. Hans Liesens dan Dr. Esther Liesens dari Cologne Institute of Conservation Science, Jerman. Tipologi yang diformulasikan adalah dengan mengelompokkan kesemua kepala arca Dhyani Buddha yang disimpan di kantor Balai Konservasi Borobudur menjadi 6 tipe batu andesit yang merupakan bahan arca. Tipologi tersebut kemudian digunakan untuk mengelompokkan keseluruh tubuh arca pada struktur Candi Borobudur menjadi 6 kelompok besar (Leisen, 2016). Selanjutnya setelah tipologi kepala dan tubuh arca berhasil disusun, baru kemudian sinkronisasi data dilakukan. Sinkronisasi data bertujuan untuk membuat justifikasi kesamaan material arca antara kepala dengan tubuhnya, hal ini karena arca merupakan artefak yang monolith sehingga material antara kepala yang patah dengan tubuhnya sudah seharusnya sama. Sinkronisasi tersebut dilakukan dengan menggunakan data unsur material yang diukur menggunakan XRF. Sehingga pada metode kajian ini, tipologi karakter material dan pengukuran menggunakan XRF dilakukan secara bersamaan.

Setelah melalui tahap analisis maka selanjutnya adalah penyusunan rekomendasi kajian. Pada rekomendasi tersebut akan disampaikan hasil dan tindak lanjut dari metode pencocokan yang diaplikasikan maupun metode yang nantinya diaplikasikan untuk kajian selanjutnya.

7

Gambar 1

Kajian Pencocokan Kepala Arca Buddha Candi Borobudur Tahap II

III. REVIEW PUSTAKA3.1. Arca Buddha Pada Candi Borobudur Kata arca berasal dari bahasa Inggris yaitu icon, yang berarti gambaran dewa atau orang suci yang dituangkan dalam lukisan, mosaik, pahatan dan sebagainya. Kata icon berasal dari bahasa Yunani eikon yang artinya sama dengan kata-kata berbahasa Sansekerta arca, tanu, rupa, bera dan vigraha. Sehingga kata arca diartikan sebagai gambaran dewa yang dipuja.

Ilmu yang mempelajari arca secara keseluruhan meliputi kegunaan, ikonografi maupun simbol-simbolnya disebut Ikonologi. Ilmu mengenai arca mempunyai cabang-cabang tersendiri, diantaranya adalah Ikonografi dan Ikonometri. Ikonografi sebagai cabang dari ikonologi mempelajari sistem tanda-tanda sebagai penentu identitas arca, sedangkan ikonometri adalah satuan ukuran bagian anatomi arca. Ikonometri merupakan hal yang amat penting bagi seniman pembuat arca karena merupakan ketentuan pokok yang dijadikan pedoman dalam pembuatan arca (Maulana, 1997).

Dalam ilmu Ikonografi, ikonometri dianggap mempunyai arti penting dalam menentukan baik buruknya kualitas sebuah arca. Hubungan ukuran dengan nilai seni dalam Ikonografi sangat erat. Aturan ukuran arca-arca ini terdapat dalam kitab agama. dan masing-masing arca mempunyai ketentuan sendiri, yang didasarkan pada kedudukan dan fungsinya (Rao, 1920) Candi Borobudur yang merupakan struktur percandian bercorak keagamaan Buddha mempunyai pantheon yang terdiri dari arca Dhyani Buddha yang posisinya berada pada relung pagar langkan dan strupa teras. Arca Dhyani Buddha Candi Borobudur terdiri dari 6 jenis yaitu:

1. Wajrasatva menempati stupa berlubang di teras melingkar (arupadhatu). Arca ini mempunyai sikap tangan dharmacakramudra yang berarti memutar roda dharma (hukum atau ajaran kebenaran).

2. Akshobya (Timur) dengan sikap tangan Bhumisparsamudra, yaitu dengan tangan kanan menyentuh lutut kanan menunjuk kebawah. Sikap ini menggambarkan ketika Buddha sebelum mencapai Bodhi, menjadikan bumi sebagai saksi. Tangan kiri dalam pangkuan, tangan kanan tertelungkup di atasa lutut kanan.

3. Ratna Sambhava (Selatan), dengan sikap tangan Waramudra atau Waradamudra, yaitu sikap memberi berkah atau anugerah, tangan kiri ada diatas pangkuan kaki, dengan tangan kanan di atas lutut dengan telapak menengadah.

4. Amitabha (Barat) dengan sikap tangan Dhyanamudra, yaitu sikap bersamadhi atau memusatkan pikiran. Kedua tanganya di atas pangkuan dengan telapaknya ke atas, sedemikian sehingga ujung kedua ibu jari bersentuhan.

5. Amoghasiddha (Utara) dengan sikap tangan Abhayamudra yaitu sikap tidak takut bahaya. Tangan kiri diletakan di atas pangkuan, lengan bawah kanan diacungkan kedepan, kelima jari mengarah keatas.

6. Wairocana (pusat) di tengah-tengah dengan sikap tangan Witarkamudra, sikap tangan seperti memberikan pengajaran. Yaitu jari telunjuk dan ibu jari tangan kanan disatukan dengan jari yang lain mengarah ke atas.

Foto 1. Arca Dhyani Buddha pada struktur Candi Borobudur (dok: BK Borobudur).

8

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 4-24

Berdasarkan observasi yang dilakukan pada tahun 2014, maka dapat disampaikan bahwa total jumlah arca pada struktur Candi Borobudur berjumlah 475 buah

Tabel 1. Jumlah Arca Dhyani Buddha Candi Borobudur.

Jumlah arca Buddha seharusnyaLangkan Tingkat Teras

I II III IV V VI VII VIII jumlah

Utara 26 26 22 18 16 32 24 16Timur 26 26 22 18 16Selatan 26 26 22 18 16Barat 26 26 22 18 16

104 104 88 72 64 32 24 16 504

Tabel 2. Jumlah Arca Dhyani Buddha yang Terpasang saat ini.

Jumlah arca Buddha yang terpasang saat iniLangkan Tingkat Teras

I II III IV V VI VII VIII jumlah

Utara 23 20 21 17 16 32 24 15Timur 22 26 22 17 16Selatan 25 24 21 18 15Barat 26 26 19 17 13 96 96 83 69 60 32 24 15 475

Tabel 3. Jumlah Arca Dhyani Buddha yang Berkepala.

Jumlah arca Buddha yang berkepaaLangkan Tingkat Teras

I II III IV V VI VII VIII jumlah

Utara 8 8 13 10 10 13 3 1Timur 7 8 13 13 13Selatan 13 11 11 11 8Barat 10 10 10 12 11 37 37 47 46 42 13 3 1 227

Tabel 4. Jumlah Arca Dhyani Buddha yang Tanpa Kepala.

Jumlah arca Buddha tanpa kepalaLangkan Tingkat Teras

I II III IV V VI VII VIII jumlah

Utara 15 12 7 7 6 19 21 14Timur 15 18 9 4 3Selatan 12 13 10 7 7Barat 16 16 9 5 2 58 59 35 23 18 19 21 14 247

dengan rincian 228 arca berkepala dan 247 arca tanpa kepala. Berikut ini adalah rincian jumlah arca di struktur Candi Borobudur.

9

Kajian Pencocokan Kepala Arca Buddha Candi Borobudur Tahap II

Tabel 5. Jumlah Arca Dhyani Buddha yang tidak terpasang (Kosong).

Jumlah arca Buddha yang tidak terpasang (KOSONG)Langkan Tingkat Teras

I II III IV V VI VII VIII jumlah

Utara 3 6 1 1 0 0 0 1Timur 4 0 0 1 0Selatan 1 2 1 0 1Barat 0 0 3 1 3 8 8 5 3 4 0 0 1 29

Tabel 6. Jumlah Arca Dhyani Buddha yang bukan pasanganya.

Jumlah arca Buddha bukan pasangannyaLangkan Tingkat Teras

I II III IV V VI VII VIII jumlah

Utara 0 0 1 0 0 0 0 0Timur 0 0 0 0 0Selatan 0 0 0 0 0Barat 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1

Tabel 7. Rekap Jumlah Arca Dhyani Buddha Tahun 2014.

Arupadhatu Pagar V Pagar IV Pagar III Pagar II Pagar I Total

Arca Buddha berkepala 17 42 46 47 37 37 227

Arca Buddha tanpa kepala 54 18 23 35 59 59 247

Kosong tanpa ada arca 1 4 3 5 8 8 29

Bukan pasangan 0 0 0 1 0 0 1

TOTAL ARCA BUDDHA 504

Secara lebih mendetail denah arca Buddha di Candi Borobudur dapat dilihat pada Gambar 1. di bawah ini. Selain itu, hal yang menjadi fokus kajian ini adalah

56 buah kepala arca Dhyani Buddha masih tersimpan di kantor Balai Konservasi Borobudur merupakan bagian dari arca Candi Borobudur yang akan dicocokkan.

10

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 4-24

Gambar 1. Denah lokasi arca Dhyani Buddha pada struktur Candi Borobudur (Dok: Tim Kajian,2014)Ikonometri Arca Buddha

DENAH KELETAKAN ARCA DHYANI BUDDHACANDI BOROBUDUR

Secara lebih mendetail ikonometri adalah pedoman tentang ukuran-ukuran dasar dalam pembuatan arca. Aturan-aturan tersebut dimuat dalam beberapa naskah kitab Cilpacastra, yang antara lain : Cilparatna, Amsumadbhedagama, Karanagama, Vaikhanasagama, Brhat Samhita dan Pratimanalaksanam (Rao, 1920). Namun tidak semua naskah tersebut memuat aturan yang sama, pada umumnya selalu ada perbedaan antara naskah yang satu dengan yang lain.

Dalam naskah-naskah tersebut ada 6 (enam) cara pengukuran bagian arca, yaitu mana (panjang arca), pramana (lebar arca), unmana (tebal arca), parimana (keliling arca), upama (rongga arca) dan lambamana (ukuran vertikal). Adapun satuan ukuran yang sering digunakan dalam pembuatan arca adalah tala dan angula. Istilah Tala secara harfiah berarti telapak tangan, dan

dengan pengertian ini dimaksudkan ukuran antara ujung jari tengah hingga akhir dari telapak tangan dekat pergelangan tangan. Ukuran ini dianggap sama dengan panjang muka mulai dari batas rambut (dahi) sampai ke ujung dagu. Kitab Vaikhanasagama, selain menyebut tala juga menyebut kesatuan ukuran lain yaitu angula. Satuan angula merupakan ukuran lebar ruas atas ibu jari atau kira-kira 0,75 (tujuh puluh lima perseratus) inci atau sekitar 1,8 (satu delapan persepuluh) cm. Selain kesatuan ukuran tala dan angula, ada kesatuan lain yang lebih kecil yang disebut yava. Menurut Kitab Vaikhanasagama, ukuran satu tala sama dengan 12 angula, dan tiap satu angula sama dengan 8 yava (Rao, 1920).

Berbeda dengan tala, satuan ukuran yang lebih umum digunakan adalah angula. Satuan ukuran angula dibedakan lagi menjadi dua, yaitu mantrangula dan

11

Kajian Pencocokan Kepala Arca Buddha Candi Borobudur Tahap II

dehalabdhangula. Satu angula menurut mantrangula adalah panjang setengah jari tengah dari tokoh yang dipuja atau perancangnya. Dehalabdhangula, ialah ukuran yang diperoleh dengan cara membagi seluruh panjang menjadi 124, 120 atau 116 bagian dari arca yang dibuat (Benerjea, 1941). Hal ini sesuai dengan dengan adanya beberapa klasifikasi arca yang meliputi : nara (manusia-dewa), krura (arca yang mengerikan), asura (raksasa), bala (anak-anak) dan kumara (anak muda). Dalam beberapa jenis arca ini menurut kitab-kitab agama disebutkan ada 10 proporsi arca, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga tingkatan, yaitu uttama, madhyama dan adhama. Pertama adalah uttama-yaitu ukuran yang utama, terbaik, digunakan bagi arca dewa utama seperti Brahma, Wisnu dan Siwa. Madhyama yaitu ukuran “pertengahan” (cukup, sedang), digunakan untuk para sakti atau dewi. Adhama, ukuran yang tidak baik, yaitu ukuran lebih rendah, digunakan untuk dewa penjaga mata angin atau Lokapala (Rao, 1920).

Berdasarkan konsep agama Buddha, tingkatan-tingkatan tersebut juga dijumpai. Buddha yang digambarkan sebagai dewa tertinggi menggunakan ukuran Uttamadasatala seperti yang disebutkan dalam kitab Pratimanalaksanam. Dalam kitab tersebut arca Buddha mempunyai ukuran 120 angula (Benerjea, 1941). Sumber yang lain yaitu kitab Kriyasamuccayamenyebutkan bahwa ukuran arca Buddha 124 angula. Tetapi menurut Varahmihira tinggi keseluruhan arca Buddha sama dengan Uttamadasatala yaitu 125 angula, dan menurut Malavya sama dengan 108 angula. Arca-arca Buddha pada umumnya digambarkan dalam sikap duduk samadi atau wajrasana. Sehubungan dengan sikap ini ada petunjuk bahwa arca dalam sikap duduk, jarak antara kedua lututnya sama dengan setengah tinggi keseluruhan dari arca yang digambarkan dalam sikap berdiri. Jadi apabila tinggi arca 124 angula, maka jarak antara kedua lutut dari arca yang digambarkan dalam sikap duduk adalah 62 angula (Rao, 1920).

Menurut naskah Samyaksambuddhabhasita – Pratimanalaksanam, panjang muka arca Buddha adalah 13,5 angula yang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu dahi, dahi bagian bawah sampai hidung bagian bawah (panjang hidung), dan hidung bagian bawah sampai batas dagu. Ukuran dahi dan panjang hidung adalah empat angula, sedang dari hidung bagian bawah sampai bagian dagu mempunyai ukuran lebih panjang

setengah angula menurut terjemahan teks Cina dan satu setengah menurut naskah Sansekerta yang asli. Akan tetapi komentar yang ditemukan dalam kitab Kriyasamuccaya mengenai ikonometeri Buddha, ialah bahwa panjang ketiga bagian dari muka tersebut masing-masing berukuran empat setengah angula. Catatan yang sama menurut kitab Varahamihira mengenai ukuran panjang muka arca Buddha adalah 13 angula (Benerjea, 1941).

3.2. Material Batu Pada Struktur Candi Borobudur

Material arca Buddha Candi Borobudur adalah andesit. Adapun mineral yang ada dalam andesit berupa kalium felspar dengan jumlah kurang 10% dari kandungan felspar total, natrium plagioklas, kuarsa kurang dari 10%, felspatoid kurang dari 10%, hornblenda, biotit dan piroksen. Penamaan andesit berdasarkan kepada kandungan mineral tambahannya yaitu andesit hornblenda, andesit biotit dan andesit piroksen. Komposisi kimia dalam batuan andesit terdiri dari unsur-unsur, silikat, alumunium, besi, kalsium, magnesium, natrium, kalium, titanium, mangan, fosfor dan air. Komposisi kimia andesit dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 8. Komposisi Kimia Andesit (Travis dalam Muryowiharjo, 2005).

Senyawa Komposisi (%)

SiO2 58,2

Al2O3 17,0

Fe2O3 3,2

FeO 3,7

CaO 6,3

MgO 3,5

Na2O 3,5

K2O 2,1

Berdasarkan sifat fisiknya batu penyusun struktur Candi Borobudur dapat disampaikan sesuai dengan tabel di bawah ini.

12

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 4-24

Tabel 9. Sifat fisik sampel batu penyusun Candi Borobudur (Haldoko, 2013).

Parameter BDR 1 BDR 2 BDR 3 BDR 4 BDR 5

Densitas (gr/cm3) 2,14 2,12 2,21 2,18 2,23

Berat Jenis 2,67 2,63 2,7 2,68 2,71

Porositas (%) 19,45 20,35 18,78 19,24 17,96

Daya serap air (%) 10,68 10,94 9,78 10,23 9,25

Kekerasan (skala mohs) 4 - 6 4 - 6 4 - 6 4 - 6 4 - 6

Temperar batu 45,2 44,7 47,1 45,9 48,6

Dari tabel 9, sifat fisik batu penyusun Candi Borobudur tersebut, densitas sampel BDR 5 (hitam) memiliki nilai yang paling tinggi. Berturut-turut yang memiliki nilai densitas dari besar ke kecil yaitu BDR 3 (abu-abu kehitaman), BDR 4 (kemerahan), BDR 1 (abu-abu) dan BDR 2 (abu-abu kecokelatan). Nilai densitas yang lebih tinggi untuk batu yang berwarna gelap dikarenakan sesuai dengan teorinya memiliki kandungan ferro magnesium yang lebih tinggi, sehingga menyebabkan densitasnya menjadi lebih tinggi juga. Nilai berat jenis batu candi mengikuti pola yang sama dengan densitasnya, dimana batu yang memiliki berat jenis yang lebih tinggi, densitasnya juga lebih tinggi. Nilai berat jenis dan densitas ini berbanding terbalik dengan nilai porositas maupun daya serap airnya. Hal ini dikarenakan batuan dengan rapat massa yang lebih besar akan memiliki volume pori yang lebih kecil.

Untuk nilai kekerasan batu, nilai yang didapatkan relatif sama yaitu 4 - 6 skala mohs. Nilai kekerasan 6 skala mohs didapat pada batuan yang tekstur permukannya halus (pori-pori batu kecil), sedangkan nilai kekerasan 4 skala mohs didapat dari andesit yang tekstur permukaannya kasar.

Untuk pengukuran temperatur, andesit dengan warna yang gelap mampu menyerap panas yang lebih besar dibandingkan dengan andesit yang berwarna cerah. Hal ini dikarenakan andesit dengan warna gelap memiliki kandungan ferro magnesium yang lebih tinggi, sehingga kemampuan menyerap dan menyimpan panasnya juga lebih tinggi.

Batu penyusun struktur Candi Borobudur berjenis andesit yang tersusun atas komposisi kimia yang terdiri dari unsur-unsur utama yaitu silikat, alumunium, besi, kalsium, magnesium, natrium, dan kalium.

Tabel 10. Komposisi kimia sampel batu penyusun Candi Borobudur.

Parameter BDR 1 BDR 2 BDR 3 BDR 4 BDR 5Al2O3 16,93 17,19 14,35 15,47 13,00

CaO 2,68 2,60 3,89 3,50 1,96

FeO 4,78 4,62 6,03 5,37 6,78

Fe2O3 5,31 5,14 6,71 5,97 7,53

MgO 1,57 0,62 1,55 0,62 1,29

Na2O 3,81 3,50 4,13 4,02 3,29

K2O 2,83 2,35 2,65 2,88 2,73

SiO2 59,69 59,97 58,15 58,20 56,12

Dari komposisi kimia andesit Candi Borobudur terlihat bahwa andesit yang berwarna cerah relatif memiliki kandungan silika lebih tinggi daripada andesit yang berwarna gelap. Selanjutnya untuk kandungan besi (Fe), andesit yang berwarna gelap memiliki nilai yang

lebih tinggi dari andesit yang berwarna terang. Hal ini dikarenakan kandungan mineral mafik (ferro magnesium silikat) yang lebih tinggi sehingga menyebabkan warna yang lebih gelap.

Keterangan :Nilai tiap-tiap parameter sifat fisik didapatkan dari rata-rata beberapa sampel batu yang warnanya sama.

Keterangan :Sampel yang dianalisis dipilih andesit yang paling baik (tidak ditumbuhi lumut/menggalami penggaraman).

13

Kajian Pencocokan Kepala Arca Buddha Candi Borobudur Tahap II

IV. PELAKSANAAN KAJIAN4.1. Pengukuran Ikonometri Kepala Arca dan

Tubuh Arca

Pengukuran ikonometri bertujuan untuk mengetahui dimensi elemen ikonografi pada kepala arca dan tubuh arca. Dalam melakukan pengukuran ikonometri digunakan konversi ukuran yang disesuaikan dengan kaidah ikonomtri arca Hindhu/Buddha. Konversi ukuran yang digunakan dalam kajian ini adalah tala, angula, dan yava. Tala adalah ukuran panjang wajah dari tumbuhnya rambut hingga janggut. Pengukuran tala biasanya menggunakan acuan ujung jari tengah hingga ujung ibu jari yang direntangkan. Adapun angula merupakan satuan ukuran yang lebih kecil dari tala, 1 tala adalah 12 angula. Sedangkan yava, adalah satuan yang dimensinya disejajarkan dengan 1 butir gandum. Apabila dikonversi 1 angula terdiri dari 8 yava.

Gambar 2. Satuan ukuran tala (Dok: Kirti Trivedi).

Secara konseptual seperti telah di bahas pada tinjauan pustaka, arca Buddha termasuk golongan Uttam Dasha Tala. Adapun yang termasuk dalam Uttam Dasha Tala di antaranya adalah Brahma, Wisnu Siwa, Ardhanariswara, Mahawira, dan Wasudewa. Pada langkah awal, pengukuran ikonometri dilakukan dengan mengukur elemen ikonografi pada kepala arca. Satuan yang digunakan adalah centimeter (cm). Setelah kesemua dimensi diketahui, maka langkah selanjutnya adalah melakukan konversi dengan stuan tala, angula, dan yava. Adapun secara mendetail elemen ikonometri yang di ukur pada kepala arca Budha Candi Borobudur di antaranya adalah rambut, mata, hidung, bibir, telinga, dagu, dan dahi. Kesemua elemen tersebut diharapkan

memberikan petunjuk yang dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan pencocokan antara kepala arca dengan tubuh arca yang berada pada struktur Candi Borobudur. Ikonometri yang telah di ukur dari kepala dan tubuh arca diharapkan memberikan perbandingan yang jelas menyangkut dimensi perbandingan ukuran arca sesuai dengan kitab pratimalaksanam ataupun kriyamuccaya. Pengukuran ikonometri kepala arca Buddha dilakukan pada 56 kepala arca yang disimpan di kantor Balai Konservasi Borobudur. Secara mendetail pengukuran ikonometri pada kepala arca adalah seperti yang disampaikan di bawah ini :

Foto 2. Pengukuran ikonometri pada kepala arca (dok: BK Borobudur).

14

Foto 3. Pengukuran pada leher dan bekas patahan pada leher (dok: BK Borobudur).

Keterangan :1. Tinggi usnisa2. Keliling usnisa3. Rambut (dari usnisa – dahi)4. Jarak kelopak mata5. Lebar kelopak mata6. Panjang dahi7. Panjang garis dahi – hidung 8. Panjang garis hidung – dagu 9. Panjang bibir10. Panjang leher11. Diameter leher vertikal12. Diameter leher horizontal

Tabel 11. Rata-Rata Satuan Ukuran Tala, Angula, dan Yava Pada Kepala Arca.

No Tala (cm) Anggula (cm) Yava (cm)

1 18,00 1,50 0,19

2 18,30 1,53 0,19

3 18,75 1,56 0,20

4 19,87 1,66 0,21

5 18,83 1,57 0,20

6 18,82 1,57 0,20

7 20,51 1,71 0,21

8 19,38 1,62 0,20

9 18,82 1,57 0,20

10 18,37 1,53 0,19

11 19,85 1,65 0,21

12 19,76 1,65 0,21

13 18,45 1,54 0,19

14 18,78 1,57 0,20

15 19,03 1,59 0,20

16 19,15 1,60 0,20

17 18,56 1,55 0,19

18 22,17 1,85 0,23

19 20,20 1,68 0,21

20 20,08 1,67 0,21

21 19,60 1,63 0,20

22 17,70 1,48 0,18

23 19,90 1,66 0,21

24 20,86 1,74 0,22

25 18,20 1,52 0,19

26

27 17,61 1,47 0,18

28 19,63 1,64 0,20

29 18,40 1,53 0,19

30 20,10 1,68 0,21

31 18,80 1,57 0,20

32 20,08 1,67 0,21

33 19,30 1,61 0,20

34 20,50 1,71 0,21

35 19,26 1,61 0,20

36 19,27 1,61 0,20

37 19,40 1,62 0,20

38 20,65 1,72 0,22

39 19,17 1,60 0,20

40 18,35 1,53 0,19

41 19,60 1,63 0,20

42 19,57 1,63 0,20

43 18,70 1,56 0,19

44 19,33 1,61 0,20

45 19,00 1,58 0,20

46

47

48 19,01 1,58 0,20

49 18,40 1,53 0,19

50 19,38 1,62 0,20

51 19,89 1,66 0,21

52 19,45 1,62 0,20

53 19,00 1,58 0,20

54 19,50 1,63 0,20

55 18,22 1,52 0,19

56 19,30 1,61 0,20

RATA-RATA

19,26 1,61 0,20

 11  

12  

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 4-24

15

Seperti yang telah disampaikan di awal bahwa penyajian data pada pengukuran adalah dalam bentuk grafik perbandingan antara dua unsur. Dua unsur yang diperbandingkan tersebut adalah dua unsur teratas dengan nilai yang dominan atau lebih besar dari unsur lainnya. Adapun untuk pengukuran unsur material menggunakan XRF juga dilakukan pada tubuh arca, khususnya yang berada pada pagar langkan sejumlah 193 buah. Pengukuran dengan XRF tidak dilakukan pada tubuh arca yang berada pada stupa teras karena posisinya yang berada dalam stupa berlubang sehingga sulit diraih. Sebagai contoh hasil pengukuran menggunakan XRF pada kepala arca no.1 sampai no.4 secara kasar adalah seperti disampaikan pada tabel berikut ini.

Kajian Pencocokan Kepala Arca Buddha Candi Borobudur Tahap II

4.2. Pengukuran Kandungan Unsur Material Batu Pelaksanaan pengukuran kandungan unsur pada material dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa X-Ray Fluoresence (XRF). Aplikasi XRF adalah dengan cara menembakkan langsung sinar x kepada objek kepala arca. Akan tetapi, sebelum dilakukan penembakan prosedur pertama yang harus dipenuhi adalah dengan melakukan kalibrasi pada unit XRF. Aplikasi XRF yang dilakukan pada 1 objek kepala arca Buddha adalah sebanyak 3 kali. Dari hasil pengukuran tersebut, kemudian dilakukan perbandingan dari dua unsur, untuk mendapatkan berbagai kelompok data yang dapat dikelompokkan. Hal ini karena unsur yang dapat diidentifikasi oleh XRF sangat banyak.

Tabel 12. Hasil Pengukuran Kandungan Unsur Material Kepala Arca Menggunakan XRF (dalam %).

NoKepala Date Reg Al Si Si

Compound

SiCompound

LevelFe Zr Ag Cd Sn Sb Pb S Cr Co Ni Cu

1 30/07/2015 #5 7,25 22,59 SiO2 48,32 4,27 0,0221 0,0183 0,0224 0,0098 0,0137 0,0036 ND ND ND ND 0,0067

30/07/2015 #6 6,93 21,73 SiO2 46,49 4,7944 0,0221 0,0166 0,0241 0,01 0,0128 0,0042 0,1306 ND ND ND 0,0062

30/07/2015 #7 6,4 21,18 SiO2 45,3 4,4821 0,0225 0,0172 0,0251 0,0104 0,0132 0,0065 0,0893 ND 0,0194 ND ND

2 03/08/2015 #2 8,29 22,37 SiO2 47,85 4,9826 0,0202 0,0183 0,0261 0,0093 0,0131 0,0035 0,2556 ND ND ND ND

03/08/2015 #3 6,97 20,21 SiO2 43,23 5,26 0,021 0,02 0,0275 0,0097 0,013 0,0029 0,3152 ND ND ND ND

03/08/2015 #4 7,41 19,42 SiO2 41,55 4,98 0,0213 0,0182 0,0281 0,0113 0,0114 ND 0,5054 ND ND ND ND

3 03/08/2015 #5 5,94 18,92 SiO2 40,48 5,04 0,0215 0,0182 0,0272 0,0103 0,0121 0,0047 0,0644 ND ND ND ND

03/08/2015 #6 6,7 19,21 SiO2 41,1 4,7 0,0236 0,0185 0,0284 0,0112 0,0136 0,0019 ND ND ND ND ND

03/08/2015 #7 5,63 17,06 SiO2 36,5 5,12 0,0244 0,0197 0,0268 0,0101 0,0139 0,004 0,0801 ND 0,02 ND ND

4 04/08/2015 #2 7,18 22,37 SiO2 47,84 4,0844 0,0209 0,0177 0,0219 0,0093 0,0131 0,0041 0,0933 ND ND ND ND

04/08/2015 #3 6,5 20,04 SiO2 42,86 4,0126 0,0197 0,0194 0,0236 0,009 0,0126 0,0023 0,4991 ND ND ND ND

04/08/2015 #4 7,04 19,72 SiO2 42,19 4,31 0,02 0,0193 0,0267 0,0099 0,0134 0,003 0,0755 ND ND ND ND

Ket : ND = Not determine (tidak teridentifikasi)

Foto 4. Pengukuran kandungan unsur menggunakan XRF (Dok: Tim kajian, 2015).

16

4.3. Pengukuran Kandungan Magnetik Material Batu

Pengukuran kandungan magnetik pada material kepala arca dan tubuh arca dilakukan dengan menggunakan alat magnetic susceptibility meter. Alat tersebut digunakan dengan cara menempelkan bagian muka dari alat magnetic susceptiility meter pada permukaan datar kepala arca maupun tubuh arca. Dari hasil pengukuran tersebut didapatkan satuan angka bervariasi yang kisaran minimumnya 5 dan maksimumnya 70. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan magnetik pada material batu andesit sangat variatif, sehingga kemungkinan pencocokan kepala dan tubuh arca lebih besar.

Pengukuran kandungan magnetik pada kepala dan tubuh arca menggunakan magnetic susceptibility meter telah dilakukan pada 56 kepala dan 247 tubuh arca tanpa kepala. Metode pengukuran kandungan magnetik pada kepala maupun tubuh arca dilakukan sebanyak 6 kali pada tiap objek. Setelah didapatkan hasil pengukuran,maka langkah selanjutnya adalah membuat rata-rata dari ke-6 hasil pengukuran tersebut.

Pengukuran kandungan magnetik pada tubuh arca dilakukan pada arca Buddha yang tidak berkepala. Sebelum melakukan pengukuran, pemetaan posisi tubuh arca pada struktur Candi Borobudur harus jelas dan mendetail. Hal ini penting untuk menentukan posisi arca secara baku, sehingga pada saat pencocokan dapat dengan mudah

mengidentifikasi posisi tubuh arca pada struktur candi. Berikut ini adalah posisi tubuh arca Buddha dengan penomoran yang dimulai dengan nomor 1 pada tiap tingkatannya.

Hasil dari pengukuran kandungan magnetik material andesit pada tubuh arca terdiri dari satuan angka yang disusun pada tabel berdasarkan keletakan tubuh arca pada struktur Candi Borobudur.

Apabila dicermati sekilas beberapa pengukuran menunjukkan hasil yang mempunyai kecocokan seperti ditunjukkan pada grafik 1 dan 2 di bawah ini.

Grafik 1. Pengukuran kandungan magnetik pada kepala arca (tanda panah merupakan kepala arca dengan kandungan magnetik terendah).

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 4-24

Foto 5. Pengukuran menggunakan magnetic susceptibility meter pada tubuh arca di dalam stupa teras (Dok: Tim

kajian, 2015).

17

Kajian Pencocokan Kepala Arca Buddha Candi Borobudur Tahap II

Grafik 2. Pengukuran kandungan magnetik tubuh arca pada pagar langkan IV sisi Barat (tanda panah merupakan kepala arca dengan kandungan magnetik terendah).

Berdasarkan grafik di atas, kepala arca no.3 memiliki kemungkinan yang lebih besar apabila dipasangkan dengan tubuh arca no.16 yang posisinya berada pada pagar langkan IV sisi Barat.

Grafik 3. Pengukuran kandungan magnetik pada kepala arca (tanda panah merupakan kepala arca dengan kandungan magnetik tertinggi).

Grafik 4. Pengukuran kandungan magnetik tubuh arca pada pagar langkan I sisi Utara dan pagar langkan II sisi Barat (tanda

panah merupakan kepala arca dengan kandungan magnetik tertinggi).

18

4.4. Pencocokan Menggunakan Tipologi Material Batu Andesit

Pencocokan metode ini dilakukan dengan menetukan terlebih dahulu tipe material andesit pada kepala arca yang disimpan di Kantor Balai Konservasi Borobudur. Tipologi material kepala arca tersebut kemudian diformulasikan oleh Prof. Hans Liesens, seorang ahli geologi pada misi UNESCO untuk Borobudur. Setelah tipologi material ditentukan maka langkah selanjutnya adalah dengan melakukan pengamatan langsung terhadap material batu andesit

pada tubuh arca yang berada pada struktur Candi Borobudur. Pengamatan material dan tipologi telah dilakukan pada 247 tubuh arca yang berada pada struktur candi. Setelah tipologi material pada semua arca tanpa kepala dapat ditentukan, maka langkah selanjutnya adalah mengelompokkan kepala dan tubuh arca sesuai dengan tipologinya. Adapun tipologi material arca tersebut adalah sebagai berikut :

Tipe 1 : dark matrix, many very fine feldspar phenocrysts and very porous surface.

Tipe 2 : dark matrix, bigger feldspar phenocrysts than type 1 and less porous texture.

Foto 7. Material kepala arca tipe 2.

Foto 6. Material kepala arca tipe 1

Tipe 3 : blue-grey matrix, dense texture, big mafic phenocrysts.

Foto 8. Material kepala arca tipe 3.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 4-24

19

Kajian Pencocokan Kepala Arca Buddha Candi Borobudur Tahap II

Tipe 4 : dark grey, feldspars granular texture.

Foto 9. Material kepala arca tipe 4.

Tipe 5 : dark matrix, only few phenocrysts, very compact.

Foto 10. Material kepala arca tipe 5.

Tipe 6 : brown to light colour, porous

Foto 11. Material kepala arca tipe 6.

Pencocokan menggunakan metode tipologi material batu andesit diharapkan memiliki prospek untuk pencocokan yang lebih baik dibandingkan dengan metode yang lain. Namun demikian pencocokan menggunakan metode ini harus di

perkuat dengan data yang lain, salah satunya adalah data XRF pada kepala dan tubuh arca. Berikut ini adalah data tipologi material batu andesit kepala dan tubuh arca Dhyani Buddha Candi Borobudur.

20

Tabel 13. Jumlah populasi dari tipologi berdasarkan tipe material kepala dan tubuh arca.

Tipe DeskripsiJumlah

Kepala arca Tubuh arca

1 dark matrix, many very fine feldspar phenocrysts and very porous surface 18 45

2 dark matrix, bigger feldspar phenocrysts than type 1 and less porous texture 18 83

3 blue-grey matrix, dense texture, big mafic phenocrysts 11 41

4 dark grey, feldspars granular texture 4 41

5 dark matrix, only few phenocrysts, very compact 4 57

6 brown to light colour, porous 9 14

V. ANALISA 5.1. Pencocokan Kepala Dengan Tubuh Arca

Setelah didapatkan data dari berbagai metode pencocokan di atas, langkah selanjutnya kemudian mengkompilasi, melakukan cross-check data, dan mencobakannya di lapangan.

Metode ultrasound velocity dinilai susah diaplikasikan karena cepat rambat gelombang hampir sama pada setiap kepala arca.

Adapun metode pengukuran ikonometri juga mencapai hal yang serupa dengan metode ultrasound velocity. Hal ini karena, setelah dilakukannya pengukuran ikonometri pada semua kepala arca dan tubuh arca pada pagar langkan I, ternyata hasil pengukuran menunjukkan kemiripan. Sehingga antara 1 kepala dengan kepala arca yang lain ukurannya sangat presisi pada ukuran/ ikonometrinya. Hal yang demikian juga terjadi pada pengukuran tubuh arca. Maka berdasarkan data ikonometri, kemungkinan pencocokan dengan metode tersebut sangat kecil.

Metode pencocokan dengan menggunakan ikonografi detil dari bentuk penggambaran profil kepala Buddha dengan atributnya belum pernah dicoba sebelumnya. Ikonografi kepala arca secara detil, dalam hal ini menyangkut bentuk penggambaran komponen wajah pada kepala arca. Misalnya bentuk hidung, mata, telinga, maupun urna. Metode ini akan mengamati ikonografi arca Buddha yang kepalanya masih menyatu dengan tubuhnya dan berada pada pagar langkan maupun stupa teras.

5.2. Pencocokan Menggunakan Metode Magnetic Susceptibility.

Pencocokan dengan metode magnetic susceptibility dilakukan dengan mencari kandungan magnetik yang terendah maupun yang tertinggi pada kepala dan tubuh arca. Akan tetapi setelah di cross check dengan metode tekstur/tipe material arca ternyata sangat jauh hasilnya. Sebagai contoh pada kepala arca no. 52 masuk dalam tipe material 5, seharusnya dia cocok dengan tubuh arca yang sama tipe materialnya. Namun demikian data di lapangan menunjukkan bahwa kepala arca no.52 kandungan magnetiknya nilainya sama dengan tubuh arca pada pagar langkan I Utara no.21 dan pagal langkan II Barat no.24 yang keduanya tipe materialnya bukan dari tipe 5. Hal ini dapat dimengerti bahwa dimungkinkan posisi tubuh arca yang terekspos langsung dengan lingkungan karena masih berada pada struktur candi memiliki tingkat pelapukan yang lebih tinggi dari kepala arca yang disimpan dalam ruangan. Sehingga hasil pengukuran kandungan magnetiknya harus mempertimbangkan proses pelapukan.

5.3. Pencocokan Menggunakan Metode Tipe Material dan XRF

Pendekatan tipe material adalah salah satu metode pencocokan yang dimulai dengan mengelompokkan semua kepala arca dan tubuh arca Dhyani Buddha Candi Borobudur ke dalam 6 tipe. Keenam tipe tersebut dikelompokkan berdasarkan tekstur batu andesit yang digunakan sebagai bahan

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 4-24

21

Kajian Pencocokan Kepala Arca Buddha Candi Borobudur Tahap II

arca. Pendekatan tipologi material juga didasarkan prinsip pembatan arca batu yang menggunakan batu yang monolith dan utuh tanpa sambungan. Berikut ini adalah tipologi material kepala dan tubuh arca Dhyani Buddha Candi Borobudur.

Tabel 14. Tipologi kepala arca Dhyani Buddha Candi Borobudur (Liesens, 2015).

Ket : Warna kuning adalah kepala arca yang masuk dalam dua tipe atau lebih.

Pencocokan dari tekstur material arca yang kemudian ditetapkan dalam pengelompkkan (tipe 1-6) merupakan metode yang diharapkan dapat memperbesar kemungkinan pencocokan yang kemudian diperkuat dengan data XRF. Berikut ini adalah hasil tipologi material tubuh arca pada stuktur Candi Borobudur yang ditetapkan berdasarkan tipologi pada kepala arca.

Pencocokan dengan metode kemudian mengerucut dengan mengecek terlebih dahulu kepala dan tubuh arca yang masuk tipe 6. Hal ini karena tipe 6 mempunyai populasi paling sedikit. Berikut ini adalah kepala dan tubuh arca yang masuk tipe 6.

Untuk mengetahui efektifitasnya, metode ini kemudian ditindaklanjuti dengan melihat data XRF kepala dan tubuh arca tipe 6. Setelah melihat data XRF dan mencermatinya kemudian dicatat indikasi

kecocokan pada tipe ke 6 yaitu pada kepala no.10, 22, dan 33 dengan tubuh no. 12 sisi Timur pagar langkan I dan tubuh no, 1 sisi Barat pagar langkan III. Berdasarkan temuan tersebut selanjutnya dilakukan pencocokan secara langsung dengan membawa kepala arca no.33, 10, 22 untuk dicocokkan dengan ke 14 tubuh arca. Berikut ini adalah data fotografi dari pencocokan langsung kepala arca dengan tubuh arca pada tipe yang ke-6.

Tabel 15. Kepala dan tubuh Arca Buddha dengan tipe 6.

Tipe No Kepala

Tubuh

No Sisi Bidang Posisi

6 2 12 Timur e Pagar langkan I

5 22 Timur h Pagar langkan I

9 26 Timur j Pagar langkan I

10 14 Timur f Pagar langkan II

13 1 Barat a Pagar langkan II

19 18 Barat h Pagar langkan II

22 10 Utara c Pagar langkan II

33 11 Timur e Pagar langkan III

56 1 Barat a Pagar langkan III

15 Utara h Pagar langkan III

3 Barat a Pagar langkan IV

14 Utara i Pagar langkan IV

7 Teras III

18 Teras II

Berikut ini adalah pelaksanaan pencocokan kepala dengan tubuh arca menggunakan metode pendekatan tipe material yang diperkuat menggunakan data XRF. Tipe material andesit yang digunakan untuk dicocokkan adalah pada tipe ke 6, karena populasi yang paling sedikit.

22

Pencocokan kepala arca no. 10 dengan badan Sisi Barat Pagar langan III bidang a no. 1

Foto 12. Pencocokankepala arca Dhyani Buddha Candi Borobudur no.10 denganbadan Sisi Barat Pagar langan III

bidang a no. 1

Pencocokan kepala arca no. 33 dengan badan Sisi Timur Pagar langan I bidang e no. 12.

Foto 13. Kepala arca Dhyani Buddha Candi Borobudur no.33 dengan badan Sisi Timur Pagar langan I bidang e

no. 12.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 4-24

23

Kajian Pencocokan Kepala Arca Buddha Candi Borobudur Tahap II

VI. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa Kajian Pencocokan Kepala Arca Buddha Candi Borobudur Tahap II yang menggunakan metode pencocokan berdasarkan tipe material dapat disampaikan kesimpulan sebagai berikut :a. Berdasarkan pendetailan data XRF pada tipe

material ke-6, kepala no.33 mempunyai indikasi kecocokan yang kuat dengan tubuh arca pada sisi Timur pagar langkan I no.12. Adapun kepala arca no.10 mempunyai indikasi kecocokan yang kuat dengan tubuh arca pada sisi Barat pagar langkan III no.1.

b. Dari hasil Kajian Pencocokan kepala Arca Buddha Candi Borobudur Tahap II dapat diketahui prospek metode pencocokan tipe material yang diperkuat dengan data XRF dapat dilanjutkan kembali pada tipe material dengan

Berdasarkan pendetailan data XRF pada tipe material ke-6, kepala no.33 mempunyai indikasi kecocokan yang kuat dengan tubuh arca pada sisi Timur pagar langkan I no.12. Adapun kepala arca no.10 mempunyai

indikasi kecocokan yang kuat dengan tubuh arca pada sisi Barat pagar langkan III no.1.

Tabel 16. XRF pada tubuh arca dengan indikasi kuat bisa dicocokkan.

No. Tubuh Al Si SiO2 P S K Ca Ti V Cr Mn Fe

I Barat 6,43 20,80 44,49 0,12 0,06 2,13 4,29 0,51 0,06 0,02 0,14 4,88

12 Timur 7,44 20,37 43,58 0,06 0,06 1,51 4,46 0,65 0,07 0,02 0,14 6,26

No. Tubuh Co Ni Cu Zn Zr Ag Cd Sn Sb W Pb Bi

I Barat 0,01 ND 0,01 0,01 0,02 0,02 0,03 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00

12 Timur 0,01 0,00 0,01 0,05 0,02 0,02 0,03 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00

Tabel 17. XRF pada kepala arca dengan indikasi kuat bisa dicocokkan.

No. Kepala Al Si SiO2 P S K Ca Ti V Cr Mn Fe

33 3,21 25,63 54,82 0,02 0,15 0,97 3,52 0,42 0,06 0,02 0,13 4,57

10 6,56 20,72 44,33 0,03 0,03 1,33 3,82 0,47 0,05 0,02 0,14 4,52

No. Kepala Co Cu Zn Zr Ag Cd Sn Sb Pb Bi

33 0,01 0,01 0,01 0,02 0,02 0,03 0,01 0,01 0,00 0,00

10 0,01 ND 0,01 0,02 0,02 0,03 0,01 0,01 0,00 ND

c. populasi terendah yaitu tipe ke-6.d. Berdasarkan hasil pencocokan pada kedua kepala

arca seperti yang disampaikan pada point “a” di atas maka kemungkinan besar material arca sama namun warna dan tingkat pelapukan antara arca dan tubuh arca tersebut berbeda. Hal ini karena kepala arca disimpan di dalam ruangan dengan suhu yang dikendalikan, sedangkan pada tubuh arca pada struktur candi cenderung mengalami pelapukan yang lebih cepat.

24

DAFTAR PUSTAKACasparis, J. G. de. 1950. Prasasti Indonesia I. Bandung: A.C.

Nix & Co.Leisen, Hans.,Esther von Plehwe. 2016. Report in

Technical Mission to Borobudur World Heritage Site in Indonesia September 20th to October 3rd 2015.

Leliek A. Haldoko, dkk. Kajian Karakteristik Jenis-Jenis Batu Penyusun Candi Borobudur, Magelang : Balai Konservasi Borobudur.

Maulana, Ratnaesih. 1997. Ikonografi Hindhu. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Muryowiharjo, S., 2005, Petrografi Batuan Beku, Jurusan Teknik Geologi UGM, Yogyakarta.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 4-24

Rao, T.A Gopinatha. 1920. Talamana Of Iconometri. Memoirs of The Archaeological Survei of India, 3. Calcuta.

Setyawan, Hari.,dkk. 2015. Kajian Pencocokan Kepala Arca Buddha Candi Borobudur (Tahap I). Borobudur: Laporan Kajian Balai Konservasi Borobudur.

W. F. Stuterheim. 1950. Chandi Borobudur Name Form and Meaning, Studies In Indonesia Archaeology. Batavia: Kolff & Co.

25

Konservasi Kayu Gapura Majapahit di Kabupaten Pati

KONSERVASI KAYU GAPURA MAJAPAHIT DI KABUPATEN PATI

Dwi Astuti (Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta), Nahar Cahyandaru (Balai Konservasi Borobudur), Mujiharja (Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta)

E-mail : [email protected]

Abstrak: Naskah kajian ini disusun dalam rangka kegiatan konservasi Gapura Majapahit di Pati. Kajian ini disusun dengan maksud sebagai bagian penting dalam tahap tindakan konservasi yang menurut Undang-undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui berbagai permasalahan konservasi yang terjadi, mengetahui efektivitas metode yang dipilih beserta dampak negatif yang mungkin muncul, serta mengevalusi pelaksanaan konservasi dan hasil-hasilnya.

Tindakan konservasi Gapura Majapahit telah dilaksanakan menggunakan tahapan kerja yang sesuai. Permasalahan konservasi yang dianalisis meliputi keberadaan sisa-sisa bahan konservan terdahulu, noda lilin dari lebah, bekas penanganan kayu keropos, pertumbuhan organisme, dan vandalisme. Metode konservasi yang digunakan telah dipilih dan diuji untuk memastikan efektivitas serta tidak menimbulkan dampak negatif. Konservasi dengan bahan-bahan kimia yang digunakan diharapkan dapat bertahan lebih lama sehingga tidak perlu pengulangan-pengulangan yang terlalu sering. Tindakan rutin yang diharapkan terus dilakukan ke depan adalah pembersihan secara manual terhadap permukaan dan lingkungan sekitarnya. Rekomendasi yang perlu disampaikan untuk tindakan ke depan adalah perlunya dilakukan tindakan konservasi dan penataan koleksi lepas. Selain itu juga perlu dilakukan perkuatan bagian ornamen yang miring, karena dikhawatirkan dalam jangka panjang akan semakin miring dan membahayakan.

Kata kunci : Konservasi kayu, Gapura Majapahit, Analisis kerusakan, Pengujian metode

Abstract: This study prepared for the purposes of conservation Majapahit wooden gate in Pati. The study was composed with the purpose to take part in an important part iof the conservation stages, in accordance with the Law No. 11 year 2010 concerning Cultural Haritage that all conservation activities must be scientifically justified. The objective of this study was to determine the various conservation problems that occur, examine the effectiveness of the methods selected along with the negative impacts that may arise, as well as evaluating the implementation of conservation and its results.

Majapahit wooden gate conservation measures have been implemented using the appropriate stages of work. Conservation problems analysed include the presence of remnants of the previous conservant material, stain wax from the bees, the former work of decayed wood, the organism growth, and vandalism. Conservation methods used have been selected and tested to ensure effectiveness and does not cause negative impacts. Conservation with the chemicals used are expected to last longer so it does not need repetition too often. Routine actions are expected to continue in the future by manually cleaning of the surface and surroundings area. Recommendations need to be submitted for next action is the need for conservation measures and managing the movable collection detached from the structure. Retrofitting the ornament sloping section is also needed to avoid further sloping that could be dangerous in the future.

Keyword : Wood conservation, Majapahit gate, Deterioration analysis, Field testing

I. PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang

Cagar Budaya Gapura Majapahit merupakan sebuah pintu gerbang yang terbuat dari kayu berukir. Ukiran yang ada menggambarkan cerita Panji dengan ragam hias yang sangat indah. Gerbang ini dipercaya sebagai bekas gerbang Kaputren Majapahit yang dahulu dibawa ke Pati. Saat ini tersimpan dengan baik di tempatnya yang secara administratif termasuk dalam wilayah Desa Rendole, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati. Setelah berada di Pati, pintu gerbang ini tidak dipindahkan lagi hingga saat ini.

Menurut catatan yang ada, pintu gerbang ini pernah mengalami tindakan perbaikan oleh Bupati Pati saat itu (sekitar tahun 1950an) dengan mengganti beberapa bagian kayu yang lapuk. Selanjutnya pada tahun 1980an, gerbang ini ditempatkan pada lokasi dengan bangunan pelindung. Bangunan tersebut tidak berdinding (terbuka) namun kondisi atapnya cukup baik untuk melindungi. Kondisi gerbang yang aslinya beratap, kemudian tidak dikembalikan secara utuh karena banyak komponen atap yang sudah rusak atau lapuk. Saat ini bagian-bagian atap disimpan di dekat lokasi gerbang. Setelah dilakukan

26

pelindungan dengan bangunan baru tersebut, tercatat pernah sekali dilakukan upaya konservasi (tahun 90an) untuk mengatasi berbagai permasalahan kerusakan dan pelapukan yang terjadi.

Kajian ini disusun dengan maksud sebagai bagian penting dalam tahap tindakan konservasi yang menurut Undang-undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tindakan konservasi yang dilakukan diawali dengan analisis terhadap permasalahan konservasi, pemilihan dan pengujian metode yang akan digunakan, pelaksanaan tindakan, dan evaluasi. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui berbagai permasalahan konservasi yang terjadi, mengetahui efektivitas metode yang dipilih beserta dampak negatif yang mungkin muncul, serta mengevalusi pelaksanaan konservasi dan hasil-hasilnya. Manfaat yang diharapkan dari kajian ini adalah dapat memberikan gambaran tahapan-tahapan yang perlu dilakukan dalam melaksanakan tindakan konservasi agar

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

2.1. Tinjauan Pustaka

Kayu merupakan bahan yang terbaik untuk digunakan sebagai bahan dalam pembuatan benda-benda budaya, baik berupa benda fungsional maupun benda untuk mengekspresikan rasa seni. Benda-benda budaya mengandung nilai luhur dalam aspek-aspek: budaya, sosial, arkeologi, sejarah, ilmu pengetahuan dan teknologi serta ekonomi.

Dalam melaksanakan tindakan konservasi, perlu dilakukan strategi konservasi yaitu skenario yang merupakan cetak biru di dalam kerangka melakukan aktivitas pelestarian benda cagar budaya. Di dalamnya berisi deskripsi tentang berbagai bentuk aktivitas yang meliputi pemeliharaan, perawatan, dan pemugaran. Aktivitas pemeliharaan dilakukan dengan membersihkan koleksi dari kotoran debu. Aktivitas perawatan dilakukan dengan mengusahakan agar komponen penyusun cagar budaya berbahan kayu berada pada posisi yang normal, sehingga fungsi komponen dapat diaktualisasikan sebagaimana semula. Aktivitas pemugaran dilakukan dengan membangun kembali koleksi sesuai dengan kondisi yang asli. Oleh karena itu, aktivitas pemugaran

dilakukan terhadap komponen koleksi mengalami kerusakan yang cukup parah (Suranto, 2015).

Salah satu tahap dalam konservasi kayu adalah pengawetan. Pengawetan bertujuan untuk memperpanjang umur pemakaian kayu, sehingga kayu dapat bertahan untuk waktu yang lama tanpa penggantian komponen yang terlalu sering. Pengawetan dilakukan dengan menggunakan bahan pengawet untuk melindungi kayu dari serangan serangga, jamur, dan organisme lainnya yang dapat menyebabkan kerusakan dan pelapukan kayu. Syarat-syarat yang diperlukan dalam pengawetan kayu adalah :

1. Mempunyai daya racun yang ampuh terhaap organisme perusak kayu

2. Mempunyai daya penetrasi yang tinggi

3. Harus tetap ada dalam kayu selama pemakaian dan tidak mudah tercuci atau menguap.

4. Bahan kimia yang dipakai merupakan persenyawaan yang mantap dan tidak mudah kehilangan daya racunnya

5. Harus aman dipakai dan tidak membahayakan manusia maupun hewan

6. Tidak bereaksi engan bahan yang berhubungan dengannya yang dapat menyebabkan karat atau noda

7. Bersih dalam pemakaian dan tidak mencemari bahan makanan dan lingkungan

8. Kayu yang telah diawetkan harus tetap dapat difinishing (misalnya dicoating) seperti halnya kayu yang tidak diawetkan.

II. PEMBAHASAN2.1. Permasalahan Konservasi 1. Sisa-sisa Bahan Konservan Terdahulu

Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh juru pelihara bernama Budi Santoso, gapura ini pernah dikonservasi pada tahun 90-an. Informasi tersebut menyebutkan bahwa tindakan konservasi dilakukan dengan proses pembersihan dan perbaikan, kemudian dilanjutkan dengan pelapisan (coating) dengan bahan yang berwarna gelap. Berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 25-34

27

oleh juru pelihara serta laporan-laporan konservasi BPCB Jawa Tengah, maka diduga kuat bahan coating tersebut adalah “Teak Oil”. Bahan ini banyak digunakan di bidang kerajinan/meubeler, namun sebenarnya kurang cocok untuk permukaan kayu cagar budaya karena akan menyebabkan perubahan warna.

Setelah dilakukan observasi, ternyata sisa-sisa bahan ini masih ada di sebagian permukaan kayu. Selain menyebabkan kayu menjadi kurang menarik, sisa-sisa bahan ini dikhawatirkan akan mengganggu langkah konservasi yang akan dilakukan. Sisa-sisa bahan ini dapat mengurangi daya resap bahan konservan serta daya ikat pelapis. Sisa-sisa bahan pelapis tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ( Foto1,2 )

sehingga menyebabkan noda-noda pada permukaan kayu yang sulit dibersihkan. Noda ini sebenarnya tidak berbahaya bagi pelapukan kayu, namun mengurangi nilai estetika dari permukaan kayu.

Beberapa noda dapat dilihat pada gambar berikut ( Foto 3, 4, 5 ). Noda tersebut cukup tebal karena telah terbentuk sangat lama melalui proses yang sedikit demi sedikit.

Foto 1

Foto 3

Foto 4

Foto 5

Foto 2

Konservasi Kayu Gapura Majapahit di Kabupaten Pati

2. Noda Lilin dari Lebah

Permasalahan lain yang dihadapi adalah banyaknya noda lilin karena adanya lebah lanceng (Apis trigona) yang bersarang pada celah/lubang yang ada. Lebah lanceng ini berukuran kecil dan tidak memiliki sengat, namun memiliki pola hidup yang mirip dengan lebah pada umumnya yaitu hidup berkoloni dengan membuat sarang dari bahan lilin. Sifat lebah lanceng ini adalah sering membuat titik-titik lilin di sekitar sarangnya

3. Bekas Penanganan Kayu Keropos

Pada saat dilakukan konservasi dan pemindahan gerbang ke dalam bangunan beratap, dilakukan beberapa tindakan perbaikan antara lain terhadap bagian kayu yang keropos. Bagian yang keropos tersebut diisi dengan bahan pengisi dan ditutup dengan campuran serbuk kayu dan lem. Namun sebagian dari perlakuan tersebut kurang sempurna sehingga hasil penambalan kurang baik ( Foto 6 )

28

Gambar di atas menunjukkan bagian kaki gapura yang keropos dan telah dilakukan penambalan. Saat ini penambalan tersebut dibuka kembali karena pengisian bagian keropos yang tidak baik. Campuran serbuk kayu dan lem tidak mengeras sempurna serta isian lubang menggunakan bahan yang kurang sesuai (batu, campuran semen, dan lain-lain).

Sementara itu, ada pula bagian kayu keropos yang ditangani dengan cara yang kurang sesuai. Kayu tersebut berada di bagian belakang struktur gapura pada bagian atas. Sekilas terlihat bahwa batang kayu tersebut dilapisi dengan papan triplek. Tindakan ini mungkin dilakukan untuk menutup permukaan kayu yang keropos dan tidak beraturan. Tindakan ini memang dapat menutup kerusakan yang ada, namun tidak menyelesaikan permasalhannya. Saat ini kondisi papan triplek sudah lapuk sehingga diputuskan untuk membuka lapisan tersebut. Setelah dibuka maka dapat dilihat bekas-bekas kayu yang keropos. Hal yang mengkhawatirkan adalah adanya pelapukan baru. Pelapukan baru ini sebelumnya tidak terlihat karena tertutup triplek. Pelapukan baru ini terjadi karena adanya tambahan triplek yang “mengundang” organisme perusak kayu. Bagian dalam triplek merupakan kayu dengan kelas keras dan kelas awet yang rendah. Dalam waktu yang lama, triplek dapat menjadi bahan yang sangat disukai organisme perusak. Pada gambar berikut ini dapat dilihat kondisi kayu yang terlapisi dengan triplek, dan gambar saat lapisan triplek dikupas. Dapat dilihat pada gambar di berikut ini, bahwa setelah dibuka terlihat adanya gejala pelapukan pada kayunya ( Foto 7, 8 ).

4. Pertumbuhan Organisme Hasil observasi sebelum dilakukan tindakan

konservasi menunjukkan bahwa pertumbuhan organisme yang ada pada permukaan kayu relatif sedikit. Hal ini berkaitan dengan musim, dimana saat dilakukan observasi merupakan musim kemarau sehingga pertumbuhan organisme sangat minim. Meskipun demikian dapat diamati beberapa sisa-sisa pertumbuhan organisme yang ada. Organisme yang terlihat masih aktif namun dalam jumlah yang kecil adalah jamur kerak (Lychenes). Pertumbuhan yang berupa bercak-bercak putih tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini ( Foto 9 ).

Foto 6

Foto 7

Foto 8

Foto 9

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 25-34

29

5. Vandalisme

Gambar-gambar di atas menunjukkan adanya vandalisme yang sangat sulit untuk dihilangkan tanpa merusak permukaan kayu. Tulisan tersebut dibuat dengan goresan atau semacam pahatan hingga kedalaman beberapa milimeter. Meskipun demikian, tindakan vandalisme tersebut telah dilakukan cukup lama dan tidak ada vandalisme baru yang dibuat. Juru pelihara

telah menjalankan tugas pengamanan dengan baik dan menghapus jika ada corat-coret yang bisa dihapus. Bukti bahwa tindakan vandalisme itu dilakukan di masa lampau adalah beberapa tulisan yang masih menggunakan huruf ejaan lama. Dari gambar di atas kita bisa melihat adanya tulisan dengan ejaan lama yang berbunyi ; HIDAJAT, BANJU-MAS, dan lain-lain ( Foto 10, 11, 12 ).

6. Deformasi Struktur

Salah satu permasalahan struktural/konstruksi yang terjadi adalah adanya deformasi pada bagian ornamen atas. Bagian tersebut miring akibat perbedaan beban yang lebih berat di bagian depan. Beban berat di bagian depan ini akibat adanya ornamen kala yang cukup besar sementara di bagian belakang tidak ada. Posisi kemiringan dapat dilihat pada gambar dibawah ini sebelah kiri (Foto 13). Deformasi ini masih bisa tertahan dan tidak runtuh karena masih ada satu batang kayu yang mengikat di bagian belakang (Foto 14). Akibat dari deformasi ini adalah adanya perubahan posisi beberapa bagian gerbang. Salah satunya adalah konstruksi engsel dan beberapa tumpukan kayu yang menjadi renggang (Foto 15). Untuk saat ini deformasi tersebut belum sangat mengkhawatirkan, namun tetap perlu direncanakan tindakan untuk beberapa tahun ke depan.

7. Fragmen Lepas

Fragmen lepas adalah bagian/komponen struktur gerbang yang saat ini tidak terpasang pada posisi aslinya. Fragmen ini terutama berasal dari bagian atap gerbang yang saat ini tidak terpasang. Kemungkinan konstruksi atap tersebut sudah tidak lengkap dan sangat sulit untuk dikembalikan seperti semula. Saat ini ditumpuk di dekat bangunan pelindung gerbang (Foto 16). Permasalahan

Foto 10 Foto 11 Foto 12

Foto 14

Foto 15

Foto 13

Konservasi Kayu Gapura Majapahit di Kabupaten Pati

30

yang dihadapi adalah fragmen lepas ini ditempatkan di lokasi yang kurang tepat. Adapun permasalahan yang perlu diambil tindakan ke depan adalah :

- Perbaikan sarana pelindung, jika perlu dibuatkan tempat yang permanen seperti struktur induk gapura.

- Kondisi tumpukan yang tidak rapi dan tidak dikelompokkan.

- Bagian bawah yang terlalu dekat dengan tanah sehingga rawan serangan rayap.

- Penataan yang kurang memperhatikan aspek estetika dan penghormatan terhadap nilai penting fragmen sebagai satu kesatuan dengan gapura.

- Perlu keterangan keterkaitan fragmen dengan gapura, jika perlu bisa ditunjukkan foto gapura lama yang masih memiliki struktur atap asli.

2.2. Uji Penanganan

Cagar budaya merupakan kekayaan bangsa yang sangat bernilai tinggi dan langka. Oleh karena itu kerusakan harus dihindari untuk kelestarain jangka panjang, terlebih kerusakan yang disebabkan oleh perlakuan yang tidak tepat. Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pasal 53 ayat 1 yang berbunyi “Pelestarian Cagar Budaya dilakukan berdasarkan hasil studi kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, teknis, dan administratif ”. Oleh karena itu sebelum melakukan tindakan terhadap objek menggunakan bahan dan metode tertentu, harus diujicoba sehingga dapat diketahui efektivitas dan dampaknya. Berikut ini adalah beberapa uji coba pra treatmen yang dilakukan pada konservasi Gapuran Majapahit di Pati.

1. Pembersihan Lilin Lebah

Lapisan lilin lebah ini termasuk sulit untuk dihilangkan, karena cukup tebal, liat, dan melekat dengan kuat pada permukan kayu. Uji yang dilakukan adalah dengan beberapa tahap permbersihan (Foto, 17, 18, 19, 20) sebagai berikut :

- Permukaan lilin dikerok dengan hati-hati hingga lapisan lilin menipis. Diusahakan setipis mungkin namun tidak sampai mengenai permukaan kayu.

- Setelah lapisan menipis dilakukan pembersihan menggunakan pelarut. Pertama kali permukaan lilin yang telah tipis ditempel dengan kain/kapas yang telah dibasahi dengan pelarut toluena. Ditunggu beberapa saat hingga lilin melunak.

- Setelah lunak dilakukan pembersihan dengan menggosok lilin dengan kain yang dibasahi dengan pelarut.

- Hal ini dilakukan berulang-ulang hingga sebersih mungkin.

Foto 16

Foto 17

Foto 18

Foto 19

Foto 20

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 25-34

31

2. Pembersihan Sisa Konservan

Sisa-sisa konservan lama perlu dibersihkan agar tidak mengganggu proses konservasi. Pembersihan dilakukan dengan menggosok sisa bahan dengan kain yang dibasahi

dengan pelarut. Pelarut yang dicoba adalah alkohol dan toluena. Berdasar pengujian toluena lebih efektif membersihkan sehingga dapat digunakan (Foto 21, 22, 23).

3. Uji Perubahan Warna oleh Pelarut

Dari beberapa uji dan rencana aplikasi bahan yang akan dilakukan, maka penggunaan pelarut toluena banyak dilakukan. Oleh sebab itu perlu dilakukan pengujian untuk memastikan bahwa toluena tidak meninggalkan bekas atau menyebabkan perubahan warna. Hal ini perlu dilakukan karena toluena merupakan pelarut yang relaatif tidak mudah menguap sehingga membutuhkan waktu cukup lama untuk sepenuhnya hilang dari kayu. Berdasar uji yang dilakukan toluena tidak menyebabkan perubahan warna. Perbedaan warna hanya terjadi saat masih basah, dan setelah toluena menguap warna kayu kembali seperti semula (Foto 24).

2.3. Rencana Pelaksanaan Konservasi

Berdasarkan observasi permasalahan dan uji penanganan yang telah dilakukan maka disusunlah rencana pelaksanaan. Rencana pelaksanaan ini sesuai dengan permasalahan yang ada dan ketersediaan bahan yang telah direncanakan. Metode yang dipilih lebih banyak menggunakan bahan kimia, tidak menggunakan metode berbasis tradisional. Hal ini dilakukan karena beberapa pertimbangan, yaitu :

1. Pelaksanaan konservasi sudah cukup lama tidak dilakukan, sehingga cukup banyak permasalahan konservasi yang terjadi.

2. Frekuensi pelaksanaan konservasi cukup jarang, sedangkan konservasi dengan bahan tradisional menuntut tindakan rutin (umumnya setiap tahun).

3. Bahan-bahan yang tersedia cukup memadai dan kualitasnya juga cukup baik, sehingga diharapkan hasil konservasinya juga akan baik dan bertahan lama.

Selain mempertimbangkan hal-hal di atas, rencana pelaksanaan juga disusun berdasar tinjauan pustaka yang telah diuraikan sebelumnya. Urutan rencana pelaksanaan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :1. Persiapan alat, bahan dan lokasi2. Identifikasi pelapukan dan kerusakan serta uji coba

beberapa teknik

Foto 24

Foto 21 Foto 22 Foto 23

Konservasi Kayu Gapura Majapahit di Kabupaten Pati

32

3. Pembersihan manual kering4. Pembersihan sisa konservan dengan pelarut5. Perbersihan noda lilin6. Perbaikan bekas penanganan keropos7. Treatment anti jamur dan bakteri8. Treatment bahan anti rayap9. Pelapisan

2.4. Pelaksanaan Konservasi

Berdasarkan urutan kegiatan yang direncanakan di atas, maka dilakukan tindakan konservasi.

1. Pembersihan manual kering

Pembersihan kering manual dilakukan dengan alat-alat sederhana untuk menghilangkan debu serta kotoran yang menempel. Alat yang digunakan adalah kuas, sikat kecil, sikat gigi, dan lap kering. Pembersihan ini sekaligus membersihkan sisa-sisa penanganan pada konservasi terdahulu yang kurang baik. Misalnya penghilangan bahan kamuflase pada retakan atau lubang keropos yang kurang baik dan perlu diganti yang baru (Foto 25, 26).

akan diaplikasikan. Pembersihan menggunakan pelarut toluena yang telah diuji sebelumnya dan dinilai cocok untuk proses penghilangan ini. Cara pembersihannya adalah dengan pengolesan menggunakan kuas dan pada saat yang sama segera di lap dengan kain lap yang kering sehingga pelarut dapat terambil bersama dengan lapisan bahan yang akan dihilangkan (Foto 27).

3. Perbersihan noda lilin

Pembersihan noda lilin dilakakukan dengan metode yang telah diuji sebelumnya. Pembersihan ini membutuhkan waktu yang cukup lama karena cukup banyak dan tersebar pada beberapa titik.

4. Perbaikan bekas penanganan keropos

Bagian keropos yang pernah dikonservasi saat ini kondisinya sudah kurang baik, sehingga perlu perbaiki dan diganti dengan bahan baru. Pada beberapa bagian kaki, penambalan keropos menggunakan bahan yang kurang baik sehingga tidak bisa mengeras sempurna hingga saat ini, selain itu juga ada pengisian dengan bahan yang tidak sesuai. Bahan tersebut dikupas dan selanjutnya bisa diganti dengan bahan pengisi baru (Foto 28).

2. Pembersihan sisa konservan dengan pelarut

Pembersihan sisa konservan dengan pelarut ini sangat penting untuk dilakukan, karena jika masih ada dapat menghalangi masuknya bahan konservan yang

Foto 25

Foto 26

Foto 27

Foto 28

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 25-34

33

Adapun bagian kayu yang tertutup dengan triplek yang telah rusak kemudian dikupas sehingga bisa dilanjutkan dengan tindakan yang sesuai (Foto 29).

5. Treatment anti jamur dan bakteri

Treatmen jamur dan bakteri dilakukan secara lokal pada bagian yang terdapat pertumbuhan jasad tersebut. Treatmen dilakukan dengan bahan yang dapat mematikan jamur dan bakteri. Bahan yang digunakan adalah alkohol yang diaplikasikan dengan cara dioles, atau digosok pada bagian-bagian yang diperlukan. Alkohol yang digunakan berkadar 70%, karena kadar ini adalah kadar yang tepat sebagai desinfektan.

6. Treatment bahan anti rayap

Anti rayap sangat dibutuhkan karena gapura ini langsung bersentuhan dengan lantai, meskipun bukan tanah langsung namun rayap masih sangat mungkin untuk naik dan menyerang. Selain itu rayap kayu kering juga dapat menyerang jika tidak ada bahan anti rayap dalam kayu. Bahan antirayap yang digunakan adalah Stedfast, yang merupakan bahan anti rayap yang ada di pasaran.

7. Pelapisan

Pelapisan merupakan tahap akhir dari kegiatan konservasi ini. Dengan adanya pelapis maka diharapkan permukaan kayu menjadi lebih terlindungi dan dapat bertahan lebih lama. Bahan pelapis yang digunakan adalah Paraloid B-72 dengan pelarut toluena. Bahan ini merupakan bahan yang lazim digunakan dalam kegiatan konservasi material cagar budaya terutama sebagai bahan pelapis dan bahan konsolidan. Hasil pelapisan dengan Paraloid umumnya cukup baik dan mampu bertahan cukup lama. Warna yang dihasilkan juga cukup natural, kecuali penggunaan dengan kadar yang terlalu tinggi dapat menyebabkan objek menjadi lebih mengkilap. Dalam

pengerjaan pelapisan pada kayu gapura ini hasilnya cukup baik dan tidak memberikan warna yang tidak natural.

III. PENUTUP

Kegiatan konservasi Gapura Majapahit di Pati yang merupakan bekas gerbang keputren Majapahit telah selesai dilaksanakan. Pelaksanaan konservasi telah mengikuti tahapan-tahapan yang diperlukan agar tindakan yang dilakukan dapat efektif dan tidak menimbulkan dampak negatif. Tahapan analisis permasalahan dan pengujian terhadap bahan dan metode yang akan digunakan sangat penting untuk semua pelaksanaan kegiatan konservasi. Hal ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mensyaratkan agar tindakan konservasi dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kegiatan konservasi yang telah dilakukan diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dan membuat kondisi material dapat bertahan lebih lama. Konservasi dengan bahan-bahan kimia yang digunakan diharapkan dapat bertahan lebih lama sehingga tidak perlu pengulangan-pengulangan yang terlalu sering. Tindakan yang diharapkan ke depan adalah pembersihan secara manual terhadap permukaan dan lingkungan sekitarnya.

Rekomendasi yang perlu disampaikan untuk tindakan ke depan adalah perlunya dilakukan tindakan konservasi dan penataan koleksi lepas. Saat ini koleksi lepas tersebut ditumpuk dengan posisi yang kurang baik, serta atap pelindung yang kurang sempurna. Mengingat koleksi lepas tersebut adalah bagian penting dari gapura, terutama bagian atap maka sangat penting untuk dilestarikan. Gambar asli saat masih ada atapnya saat ini masih bisa diperoleh meskipun kurang jelas. Dengan adanya komponen yang masih cukup banyak, maka ada kemungkinan konstruksi atap tersebut masih bisa dipasang kembali meskipun perlu kajian tersendiri. Rekondisi lain yang perlu dilakukan adalah perkuatan bagian ornamen yang miring, karena dikhawatirkan dalam jangka panjang akan semakin miring dan membahayakan.

Foto 29

Konservasi Kayu Gapura Majapahit di Kabupaten Pati

34

DAFTAR PUSTAKA

Cahyandaru N, Parwoto, Arif Gunawan, (2010), Konservasi Cagar Budaya Berbahan Kayu dengan Bahan Tradisional, Balai Konservasi Borobudur

Dumanauw. JF, (1982) Mengenal Kayu, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta

Nandika. D, Rismayadi. Y, Diba. F, (2003), Rayap Biologi dan Pengendaliannya, Muhammadiyah University Press, Surakarta.

Sosrosumarto K.M, Dibyasudira S., (1980), Kitab Babad Pati, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Suranto Y, (2015), Studi Diagnostik Konservasi Tempat Tidur Etnik Madura Koleksi Museum Kayu Wanagama I, Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 9, Nomor 1

Plendrleith, H.J., 1957, The Conservation of Antiquites and Work of Art, Oxford University Press, London

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 25-34

35

POTENSI ANCAMAN PADA BANGUNAN CAGAR BUDAYABANUA LAYUK RAMBU SARATU DI MAMASA SULAWESI BARAT

1Yadi Mulyadi dan 2Iswadi A. Makkaraka1Pusat Studi Arkeologi untuk Masyarakat (PKAuM)

[email protected] Program Magister Arkeologi Universitas Gadjah Mada

[email protected]

Abstrak: Banua Layuk Rambu Saratu merupakan rumah tradisional Mamasa yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya peringkat Provinsi Sulawesi Barat sejak 2015. Bangunan cagar budaya ini telah berusia ratusan tahun, dengan kontruksi dari kayu sebagai tiang, papan, dan lantai rumahnya. Faktor usia dan material yang dipergunakan menjadikan Banua Layuk Rambu Saratu memiliki potensi ancaman kerusakan yang tinggi. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara di lapangan, terdapat dua macam ancaman yang dapat diidentifikasi. Ancaman yang pertama adalah ancaman non-fisik dan ancaman yang kedua adalah ancaman fisik. Penelitian ini difokuskan pada upaya memetakan potensi ancaman terhadap bangunan Banua Layuk Rambu Saratu, sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang tindakan konservasi sebagai upaya pelestarian Banua Layuk Rambu Saratu.

Kata Kunci: Ancaman, Banua Rambu Saratu, Bangunan Cagar Budaya, Potensi

Abstract : Banua Layuk Rambu Saratu is a traditional Mamasa house that has been designated as a Cultural Heritage of West Sulawesi province since 2015. The heritage building is hundreds of years old, with wooden construction used as the poles, boards and floor of the house. Age and material factors are the biggest risk for the conservation of Banua Layuk Rambu Saratu. Based on the observations and field interviews, there are two types of threats that can be identified. The first threat is a non-physical threat and a second threat is a physical one. This research is focused on efforts to map potential threats to the building of Banua Layuk Rambu Saratu, so it can be used as a reference in designing conservation measures as an effort to preserve Banua Layuk Rambu Saratu.

Keywords: Threat, Banua Rambu Saratu, Heritage Building, Risk

I. PendahuluanA. Latar Belakang

Salah satu hal yang melatarbelakangi mengapa cagar budaya bendawi harus dilestarikan, selain karena kandungan nilai pentingnya juga karena sifatnya yang rapuh dan jumlahnya yang terbatas. Sifatnya yang rapuh, menjadikannya memiliki potensi ancaman yang tinggi dari kerusakan, oleh karena itu diperlukan selalu upaya pelestarian baik yang preventif maupun kuratif (Schiffer & Gumerman, 1977:45). Pelestarian cagar budaya dalam konteks konservasi secara teknis pada dasarnya adalah upaya untuk memperpanjang eksitensi dari cagar budaya itu sendiri (Scovil, 1977:234). Dalam arti lain, bisa dimaknai sebagai upaya mengelola potensi ancaman yang dapat merusak kelestarian cagar budaya.

Mengacu pada Undang-Undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, terdapat lima jenis cagar budaya yaitu benda, bangunan, struktur, situs dan

kawasan. Masing-masing dari jenis cagar budaya itu memiliki potensi untuk rusak dan kemudian musnah, karena sifatnya sebagai warisan budaya bendawi yang rapuh (Mulyadi, 2014). Secara lebih khusus pada jenis cagar budaya berupa bangunan, potensi ancaman yang merusak relatif lebih besar. Hal ini merupakan fenomena tersendiri, sebagaimana dapat dilihat pada bangunan cagar budaya berupa rumah-rumah tradisional atau rumah adat di seluruh Indonesia.

Salah satu bangunan cagar budaya berupa rumah tradisional adalah Banua Layuk Rambu Saratu. Rumah tradisional ini merupakan rumah adat yang terdapat di Kawasan Adat Rambu Saratu, masuk dalam wilayah Adat Limbong Kalua di Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat. Sejak 2015, Banua Layuk Rambu Saratu menjadi salah satu bangunan rumah tradisonal yang telah ditetapkan oleh Gubernur Sulawesi Barat sebagai Cagar Budaya Peringkat Provinsi Sulawesi Barat, dalam

Potensi Ancaman Pada Bangunan Cagar Budaya Banua Layuk Rambu Saratu di Mamasa Sulawesi Barat

36

satuan geografis Kawasan Cagar Budaya Rambu Saratu. Penetapan tersebut, melalui SK Gubernur Sulawesi Barat Nomor: 188.4/756/SULBAR/XI/2015 tertanggal 10 November 2015.

Kabupaten Mamasa terletak di sebelah timur tempat bermukimnya Suku Toraja di Sulawesi Selatan, tepatnya di wilayah pegunungan Provinsi Sulawesi Barat. Hingga 2002 Kabupaten Mamasa masih menjadi bagian dari wilayah pemerintahan Kabupaten Polmas yang merupakan pengabungan nama kedua daerah tersebut, yaitu Polewali di wilayah pesisir dan Mamasa di wilayah pegunungan. Kata mamasa berasal dari kata mamase yang artinya saling mengasihi.

Mamasa juga dikenal dengan dua nama yang menandakan karakter daerahnya, yaitu Kondosapata uai sapalelean yang artinya sawah besar menjadi satu karena satu sumber mata air, dan Limbong kalua yang diartikan sebagai kolam yang luas. Kedua penamaan ini mengacu kepada keberadaan air yang melimpah dan tanah yang subur. Merujuk pada pendapatnya Buijs kees, (2009:16), daerah Mamasa atau yang lebih dikenal dengan nama Kondo sapata uai sapalelean, termasuk wilayah Pitu ulunna salu yang artinya tujuh hulu sungai, hal ini didasarkan pada tujuh adat yang ada di pegunungan, adat tersebut masing-masing mempunyai peranan sebagai berikut:

1) Tabulahan berperan sebagai Indona litak Pitu ulunna salu yang artinya pemegang kekuasaan tanah adat, berfungsi sebagai pembagi warisan leluhur dan sebagai dewan peradilan.

2) Aralle berperan sebagai Indona kada nene Pitu ulunna salu yang artinya penghubung (juru bicara) antara masyarakat dan pemimpin.

3) Mambi berperan sebagai Lantang kada nene yang artinya tempat musyawarah para adat Pitu ulunna salu dan sebagai tempat penerima tamu bagi para pemimpin adat untuk membicarakan rencana kerja wilayah.

4) Bambang berperan sebagai Su’buan ada’ yang artinya penegak tali penghubung antar wilayah kekuasaan adat Pitu ulunna salu

5) Rantebulahan berperan sebagai Toma dua takin toma tallu sulekka yang artinya tempat para prajurit Pitu ulunna salu bermukim, fungsinya sebagai markas besar pasukan.

6) Tabang berperan sebagai Baka disura gandang diroma talaona kada nenekbubunganna kada tomatua yang artinya pemegang pusaka dan penyimpul keputusan dalam musyawarah adat Pitu ulunna salu.

7) Matangnga berperan sebagai Andiri tatempon samba tamarapo yang artinya tiang penyanggah (benteng pertahanan).

Ketujuh pemimpin adat dengan gelaran dan fungsinya masing-masing memiliki derajat yang sama tetapi fungsi berbeda, tidak satupun dari mereka yang merasa derajatnya lebih tinggi dari yang lain. Ketujuh adat tersebut dimekarkan lagi untuk memperkuat pertahanan wilayah Pitu ulunna salu sehingga terbentuklah Karua tipparittina uai yang beranggotakan delapan wilayah bagian pemimpin adat Pitu ulunnan salu. Pembentukan Wilayah adat Kondo Sapata uai sapalelean diikrarkan di To Pao (sebuah bukit di tengah kota Mamasa) dan disahkan di Lantang Kadanene (Mambi). Setelah masuk Belanda pada 1907 wilayah adat tersebut diubah menjadi distrik yang dipimpin oleh seorang Parengnge atau pemangku adat, kecuali daerah Matangnga dipimpin oleh Mara’dia.

Setelah bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya, banyak bermunculan pergolakan didalam negeri seperti pembentukan NIT (Negara Indonesia Timur), seiring dengan peristiwa tersebut pada tanggal 17 Juni 1948 terbentuklah Swapraja Kondosapata yang beribukota di Mamasa. Pada tahun 1953, NIT dibubarkan berdasarkan Undang-undang yang ditetapkan pada saat itu, hal ini berimbas pula pada pembubaran Swapraja Kondosapata sehingga terbentuklah kewedanan Mamasa yang periodenya hingga tahun 1958. Berdasarkan Undang-undang nomor 29 tahun 1959 terbentuklah Daerah Tingkat (TK) II Polewali Mamasa (Polmas) yang kemudian setelah empat puluh tiga tahun yaitu sejak tanggal 11 Maret 2002 Kabupaten Mamasa menjadi Daerah TK II hingga saat ini (Mandadung, 2008:15).

Adapun Rambu Saratu merupakan kawasan adat yang terletak di Desa Rambu Saratu, Kecamatan Mamasa, Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat. Rambu Saratu biasa juga dipakai untuk menyebutkan wilayah Mamasa zaman dahulu yang merupakan salah satu keadatan Kondosapata uai sapalelean. Rambu Saratu berperan sebagai Rambu saratu limbong kalua tasik

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 35-45

37

malolonganna Indona Tabulahan yang mempunyai arti sebagai pengemban dan pelaksana perjanjian antara Indona Tabulahan dan penghuni wilayah Mamasa. Isi perjanjian tersebut menyebutkan bahwa tanah lembah Mamasa wajib memberikan upeti kepada Indona Tabulahan berupa hasil bumi seperti padi, kopi dan sebagainya agar penghuni lembah Mamasa senantiasa hidup makmur sejahtera dan mendapat berkah dalam kehidupan mereka (Mandadung, 2008:26). Secara geografis, Rambu Saratu terletak pada koordinat S2 55 33.3 E119 23 53.1, dengan ketinggian 1188 meter di atas permukaan laut (mdpl), serta memiliki batas wilayah adat sebagai berikut:1) Sebelah Utara berbatasan dengan Tabang dan

Gunung Mambulilling2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Osango3) Sebelah Barat berbatasan dengan Tawalian dan

Sesena padang 4) Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Tandasau

sampai Pasapa Berdasarkan dari hasil wawancara dengan

beberapa tokoh adat dan masyarakat di Mamasa, disebutkan bahwa tradisi lisan yang melengenda dan berkembang di wilayah Pitu ulunna salu terkait sejarah keadatan Rambu Saratu (Mamasa) yang dimulai dengan hadirnya seorang tokoh bernama Pongkapadang. Pongkapadang dipercaya sebagai leluhur mereka (To manurung dari gunung Ulu sa’dan), memiliki isteri yang bernama Torije’ne (To manurung dari air). Pongkapadang tinggal dan menetap di Tabulahan, melahirkan beberapa orang anak yang menyebar ke tujuh penjuru dan menjadi cikal bakal pemimpin di wilayah Tabulahan, Mambi, Aralle, Rantebulahan, Bambang, Tabang dan Matangnga.

Cikal bakal nenek moyang orang Mamasa konon berasal dari Tabulahan adalah salah satu anak cucu dari Pongkapadang yang bernama Pakiringan. Pakiringan memiliki kegemaran berburu binatang, karena kegemaran beliualah hingga suatu waktu dalam perburuannya beliau sampai di daerah Mamasa dan kemudian menetap di Osango. Sebelum masuknya agama, masyarakat Mamasa menganut kepercayaan terhadap nenek moyang yang disebut Aluk Mappurondo atau Aluk Tumatua. Aluk yaitu ajaran kepercayaan terhadap nenek moyang yang berfungsi mengatur seluk-beluk kehidupan seperti kehidupan dunia, kematian ataupun kehidupan sesudah mati (Pollondong).

Mitologi dalam ajaran Aluk Mamasa mengenal tiga dewa (Trimurti) yaitu Dewata Tometampa (dewa pencipta), Dewata Tomemana (dewa kehidupan) dan Dewata Tomekambi (dewa pelindung). Ketiga dewa ini bagi masyarakat Mamasa masa lampau dipercaya sebagai pemberi berkah bagi kehidupan baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Seiring perjalanan waktu lambat laun ajaran Aluk mulai terkikis, walau demikian sebagian masyarakat Mamasa masih mengikuti dan masih setia terhadap ajaran Aluk baik dalam perilaku keseharian maupun yang berkaitan dengan kehidupan sesudah mati.

B. Rumusan MasalahBanua Layuk Rambu Saratu berada di Kecamatan

Mamasa, Kelurahan Mamasa, Desa Rambu Saratu. Secara astronomis berada pada 02° 55’ 33,5” LS dan 119° 23’ 52” BT dan berada pada ketinggian 1210 mdpl dan berada di bukit Rante Buda. Rumah Adat Rambu Saratu secara administrasi Banua Layuk Rambu Saratu berbatasan dengan Desa Manipi’ sebelah Utara, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Timbaan, sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Mamasa dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kole.

Kondisi lingkungan sekitar Banua Layuk Rambu Saratu cukup sejuk karena di sekitarnya banyak terdapat pohon-pohon seperti pohon mangga, pohon pinang, pohon kayu manis, pohon nangka, pohon kopi, pohon coklat, pohon bambu, pohon pandan, dan pohon jambu. Banua ini berbatasan dengan sawah, di sebelah Timur berbatasan dengan hutan bambu dan kebun warga, serta di sebelah Selatan dan Barat berbatasan dengan rumah penduduk.

Bentuk Banua Layuk Rambu Saratu hampir menyerupai rumah adat Toraja, hanya saja pada bagian depan atau biasa disebut longa lebih besar dibanding bagian belakang, hal ini karena pada bagian depan ditopang dengan dua tiang yaitu tiang penulak dan tiang pesodok sedangkan bagian belakang hanya ditopang satu tiang penulak. Pembagian ruang didalam rumah terbagi atas empat, yaitu tado, baba, tambing, dan kombong/ dapo yang mempunyai fungsi masing-masing, ukiran yang ada hanya ditemukan pada bagian depan dan belakang saja sedangkan pada bagian tengah tidak terdapat. Rumah ini dibuat dengan teknik pasak baik pada tiang rumah maupun pada dinding-dinding penyekat, yang

Potensi Ancaman Pada Bangunan Cagar Budaya Banua Layuk Rambu Saratu di Mamasa Sulawesi Barat

38

menggunakan kayu uru sebagai bahan dasar pembuatan rumah, hal ini karena kayu uru merupakan kayu endemik yang banyak ditemukan di Mamasa dan jika dikaitkan dengan kepercayaan orang mamasa, kayu uru memiliki makna filosofis. Kayu uru merupakan jenis kayu yang berdaun lebat, mempunyai banyak tangkai dan selalu bertunas, kayu tersebut tidak bisa mati walaupun selalu

Foto 1. Bangunan Banua Layuk Rambu Saratu tanpak depan (Sumber: BPCB Sulawesi Selatan, 2014)

ditebang karena selalu tumbuh tunas baru untuk terus berkembang, konsep seperti ini berimplikasi pada suatu pemahaman bahwa, kelak keturunan mereka tetap berkembang terus, bagaikan pohon kayu uru yang selalu bertangkai dan tumbuh dengan subur (Bernadeta, 2011: 29).

Bangunan Banua Layuk Rambu Saratu ini telah berusia ratusan tahun, dengan menggunakan material utama berupa kayu dan bambu. Kontruksi bangunan berupa rumah panggung dengan tiang rumah dari kayu, demikian pula papan dan lantai rumahnya. Adapun bagian atap dan beberapa rangka rumah menggunakan bahan bambu. Pada beberapa bagian tertentu, telah pernah dipugar oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar (kini Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan). Kondisi bangunan Banua Layuk Rambu Saratu saat ini cukup terawat, karena dijaga oleh juru pelihara. Namun pada beberapa bagian rumah, telah mengalami kerusakan. Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian yang memfokuskan pada upaya memetakan potensi ancaman pada Banua Layuk Rambu Saratu. Penelitian terkait potensi ancaman pada bangunan cagar budaya berupa rumah tradisional, di Indonesia

masih jarang dilakukan. Selama ini kajian mengenai rumah tradisional lebih banyak mengenai makna budaya dan upaya teknis konservasi untuk menangani kerusakan yang telah terjadi. Oleh karena itu, diharapkan penelitian ini menjadi salah satu hal dapat memberikan wawasan baru terkait dengan kajian rumah tradisional sebagai cagar budaya yang perlu dilestarikan.

C. Maksud dan TujuanMaksud dari penelitian ini yaitu untuk

mengidentifikasi potensi ancaman pada Banua Layuk Rambu Saratu dengan tetap mengacu pada kaidah-kaidah pelestarian. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah memetakan potensi dan jenis ancaman sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang tindakan konservasi pada bangunan ini.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 35-45

39

patung atau biasa disebut tau-tau pada pintu bagian depan rumah, kedua tau-tau tersebut melambangkan status kebangsawanan pemilik rumah dan sebagai penolak bala/pengusir roh jahat (Anonim, 21:2007).

Tangga bagian depan mempunyai tinggi 326 cm dan lebar 88 cm dan terdiri tujuh buah anak tangga, namun tangga ini sudah diganti dengan tangga yang baru, dulu tangga yang digunakan mempunyai anak tangga sebanyak 14 buah dan setiap anak tangga tersusun atas dua yang berfungsi sebagai isyarat, dari bunyi anak tangga yang diinjak maka tuan rumah dapat mengetahui bahwa mereka kedatangan tamu (ibid, 22:2007). Dan tangga bagian belakang mempunyai tinggi 130 cm dan lebar 75 cm dan mempunyai tiga anak tangga, pada bagian samping ini pula terdapat para-para yang berundak-undak seperti susunan tangga berjumlah empat tingkat, para-para ini difungsikan sebagai tempat beristrahat/teras belakang, tempat bertumpuhnya tangga belakang dan sebagai jalan menuju dapur. Lantai rumah terdiri atas dua tingkatan, lantai bawah disebut salipollo2 dimulai dari tado sampai baba, dan lantai atas disebut Sali panguluan3 mulai dari tambing sampai lombong, jarak Sali pollo dari permukaan tanah 255 cm dan Sali panguluan 287 cm. Tinggi antara tingkatan satu dan dua yaitu 32 cm

2 Salipollo biasa digunakan tempat duduk rakyat biasa3 Salipanguluan tempat duduk para bangsawan

D. Metode Dalam penelitian ini, diterapkan metode arkeologi

berupa observasi dan pengamatan secara menyeluruh pada bangunan Banua Layuk Rambu Saratu. Observasi ini dilakukan untuk memperoleh data terkait jenis dan bentuk kerusakan yang kemudian dianalisis untuk memperoleh informasi terkait faktor penyebabnya. Secara operasional kegiatan observasi dilakukan dalam bentuk pengamatan langsung pada bangunan Banua Layuk Rambu Saratu, untuk menemukenali indikasi kerusakan. Setiap indikasi kerusakan diidentifikasi dan digambarkan keletakan serta persebarannya pada bangunan. Hal itulah yang kemudian mengantarkan pada pengetahuan mengenai potensi-potensi yang dapat menjadi ancaman yang merusak kelestarian Banua Layuk Rambu Saratu sebagai cagar budaya.

Selain observasi, dalam kegiatan kegiatan pengumpulan data lapangan dilakukan juga wawancara dengan narasumber terpilih untuk memperoleh data terkait dengan tradisi masyarakat dan prilaku pengunjung. Perekaman data berupa pendokumentasian visual juga dilakukan untuk menunjang pendeskripsian dan análisis data. Hasil dari pengumpulan data lapangan itu yang kemudian dianalisis dan dipadukan dengan data pustaka yang terkait.

II. PembahasanA. Banua Rambu Saratu sebagai Cagar Budaya

Banua Layuk Rambu Saratu mempunyai ukuran panjang 30 m dan lebar 7 m. Menggunakan atap yang yang terbuat dari potongan kayu uru yang berbentuk persegi empat panjang yang disusun dalam dua lapisan atap1 dan diikat menggunakan rotan. Namun atap jenis ini hanya digunakan pada bagian depan dan belakang rumah saja, sedangkan pada bagian tengah rumah sudah diganti menggunakan seng. Rumah ini mempunyai dua pintu masuk pada bagian depan dan belakang, yang masing-masing berada disamping kiri dan kanan. Pintu depan mempunyai tinggi 117 cm dan lebar 72 cm dan pintu belakang mempunyai tinggi 83 cm dan lebar 63 cm. Dan pada bagian dalam rumah juga terdapat pintu berjumlah tiga buah dan jendela dalam rumah hanya terrdapat pada bagian depan dan belakang. Terdapat dua

1 Lapisan atap pertama mempunyai panjang 45 cm dan lebar 20 cm, dan lapisan atap kedua mempunyai panjang 58 cm dab lebar 25 cm.

Foto 2. Tau-tau yang terdapat pada pintu masuk rumah dan salah satu ruang (tado) dalam Banua Layuk Rambu Saratu

(Sumber: Penulis, 2015)

Potensi Ancaman Pada Bangunan Cagar Budaya Banua Layuk Rambu Saratu di Mamasa Sulawesi Barat

40

Pembagian ruang dalam rumah adat ini terdiri atas empat yang pertama disebut tado yang difungsikan sebagai tempat untuk menerima tamu yang datang/ruang tamu, mempunyai ukuran panjang 450 cm dan lebar 300 cm, ruang kedua disebut baba yang difungsikan sebagai tempat musyawarah, mempunyai ukuran panjang 450 cm dan lebar 450 cm, terdapat pembagian dua ruangan yang sebelah kanan disebut panguluan. Sebelah kiri disebut pollo. Pembagian kedua ruangan ini ditandai oleh kayu pada lantai yang disebut pata4, ruang ketiga disebut tambing, mempunyai panjang 450 cm dan lebar 250 cm terdapat dua pembagian ruang, ruang yang berada disebelah kanan di fungsikan sebagai kamar tidur untuk tuan rumah dan sebelah kiri disebut pollo’tambing yang digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang. Pembagian kedua ruang ini dibatasi oleh dinding penyekat. Dan ruang yang ke empat disebut lombong yang difungsikan sebagai dapur, mempunyai ukuran panjang 450 cm dan lebar 400 cm.

Jumlah tiang penyangga Banua Layuk Rambu Saratu sebanyak 80 buah termasuk tiang pesodok dan penulak yang terletak pada bagian depan dan belakang rumah (serambi/teras). Kedua tiang ini berbentuk bulat karena dibuat dari kayu utuh, Tiang pesodok mempunyai tinggi 10,28 m dan diameter 42 cm, tiang penulak mempunyai tinggi 9,02 m dan diameter 88 cm. Berbeda halnya dengan kedua tiang tadi, tiang penyangga badan rumah terdiri atas empat tipe, tipe yang pertama berbentuk persegi delapan, berjumlah enam buah dengan ukuran tinggi 288 cm dan lebar 23 cm, yang kedua berbentuk persegi empat, berjumlah 68 buah dengan tinggi 250 cm dan lebar 23 cm, yang ketiga berbentuk bulat berjumlah sembilan buah dengan tinggi 273 diameter 30 cm yang difungsikan sebagai tiang penyangga atap pada bagian kiri dan kanan rumah, dan keempat berbentuk persegi delapan tetapi sisi bagian depanya agak menonjol ke depan, sebanyak enam buah dengan ukuran 250 cm dan lebar 25 cm.

4 Pata dulunya difungsikan sebagai pembatas antar bangsawan dengan rakyat biasa dalam mengadakan musyawarah

Foto 3. Tiang penulak dan pesodok banua tampak depan dan para-para yang berada di samping kiri (Sumber:

Penulis, 2015)

Motif hias Banua Layuk Rambu Saratu, terdapat pada tiang pesodok, tiang penulak, dinding bagian depan/luar (ruang tado) dan dinding bagian belakang, jumlah motif hias yang terdapat pada rumah ini yaitu 66 buah. Pada tiang pesodok terdapat motif hias pollo songkang, bai-bai, rombe londong, Pada tiang penulak memiliki motif hias palawa, sora-sora, pamalin, lulun paku, bai-bai, tolok sassang, doti kappi, bulintung. Pada bagian dinding depan rumah atau disebut tingngae banua terdapat motif hias kara-kara, basse sakdan, bala-bala, doti angin, renden-renden, bala tambang, paekong, daun nangka, bare allo, bai-bai, kaya-kaya, lola-lola, tedong mentari, darang, a’lo, guntu batik, pada

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 35-45

41

B. Identifikasi Potensi Ancaman pada Banua Rambu Saratu

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara di lapangan, terdapat dua macam ancaman yang dapat diidentifikasi. Ancaman yang pertama adalah ancaman non-fisik dan ancaman yang kedua adalah ancaman fisik. Ancaman non-fisik diartikan sebagai ancaman yang akibatnya tidak langsung mengenai fisik bangunan

Foto 4. Bentuk motif hias yang ada pada Banua Layuk Rambu Saratu dan bahan-bahan pewarna yang digunakan dalam pewarnaan motif hias (Sumber: Penulis, 2015)

bagiaan paralabba (dinding bagian atas tingngaebanua) terdapat motif pamalin, tanduk siluang, rintik lassigi, kaya-kaya, lola-lola, bare allo, doti allo, rintik, talinga tedong, baraba, surak sappik. Pada bagian tado memiliki motif hias dulang-dulang atau basse to sakdan, doti angin, renden-renden, daun baulu, paekong, bala-bala, surak seleng, somba-somba, sora-sora, rombe londong, usuk sawa, bai, bulan-bulan, rintik, to ma’ pande bai, talinga tedong, to’ sumayo, korong ulak.Selain motif hias pada banua ini juga terdapat ornamen bentuk seperti manusia/tau-tau, kepala kerbau, dan kepala kuda. Teknik pembuatan motif hias menggunakan teknik pahat dan dalam pemberian warna menggunakan bahan-bahan

dari alam seperti untuk warna merah, kuning dan putih menggunakan tanah, dan pewarna hitam didapatkan dari kulit kayu yang dibakar kemudian dan direndam untuk mengeluarkan warna hitam dari kulit kayu tersebut sedangkan bahan pewarna dari tanah biasanya di dapat dari desa Tondok Bakaru.

Pemaparan di atas yang memperlihatkan keunikan dari Banua Layuk Rambu Saratu sehingga memenuhi kriteria nilai penting sebagai cagar budaya, menjadikan rumah tradisional ini yang juga dikenal dengan nama Rumah Adat Rambu Saratu, ditetapkan sebagai cagar budaya peringkat Provinsi Sulawesi Barat.

bangunan namun berdampak pada sistem adat istiadat sedangkan ancaman fisik adalah ancaman yang langsung berdampak destruktif terhadap fisik bangunan. Sistem pengelolaan Rumah Adat Rambu Saratu dulunya adalah dikelola bersama dengan anggota keluarga lainnya. Namun belakangan tidak ada lagi sistem pengelolaan yang bersifat kolektif sebab tanah adat dan sawah adat telah dibagikan ke semua ahli waris dan telah disertifikasi

Potensi Ancaman Pada Bangunan Cagar Budaya Banua Layuk Rambu Saratu di Mamasa Sulawesi Barat

42

oleh pemiliknya masing-masing. Cara ini memang dapat meredam bahkan menghilangkan konflik sengketa diantara para ahli waris namun di sisi lain nilai-nilai sosial dan kekerabatan menjadi hilang.

Rumah adat Rambu Saratu mendapatkan ancaman yang cukup banyak, baik soal pengelolaan sebagai objek wisata maupun dalam hal penanganan pada kerusakan fisik bangunan. Pengelolaan rumah adat Rambu Saratu hanya

Foto 5. Bagian atap yang telah diganti dengan seng yangberdampak pada derajat keaslian dari Banua Layuk Rambu Saratu (Sumber: BPCB Sulawesi Selatan, 2014)

difokuskan pada kebutuhan kepariwisataan atau sebagai destinasi. Seringkali karena alasan kepariwisataan aspek-aspek pelestarian fisik bangunan diabaikan. Contohnya pada saat mendapatkan bantuan pergantian atap pada tahun 2011 dari Dinas Pariwisata Kabupaten Mamasa, tidak sesuai dengan kaidah-kaidah arkeologis karena tidak didampingi oleh ahli dari pihak BPCB Sulawesi Selatan. Langkah ini dilakukan mengingat minimya anggaran. Penggantian atap asli yang terbuat dari kayu dengan atap seng dapat mengubah dan mengganggu keaslian bahan akibatnya berpengaruh pada ketidaksesuaian lansekap alam dan budaya. Ketidaksesuaian lansekap juga nampak pada adanya dua bangunan baru di sekitarnya yang menyerupai Rumah Adat Rambu Saratu dan keletakannya lebih tinggi.

Papan pamiring longa (lis bagian depan) juga telah diganti dengan bahan yag baru. Saat penggantian dilakukan tidak didampingi oleh ahli. Papan Pamiring Longa yang seharusnya memiliki ukiran kini menjadi polos. Menurut pemilik Rumah Adat Rambu Saratu mereka hanya dijanjikan namun hingga kini tidak ada realisasi

kegiatan pengukiran. Kondisi ini akan mengurangi nilai estetika Rumah Adat Rambu Saratu. Ancaman fisik juga nampak pada kedua tiang bagian depan yang mengalami kemiringan. Tiang paling depan mengalami kemiringan 85 derajat sementara tiang kedua mengalami kemiringan 86 derajat. Kemungkinan karena beban atap yang sangat berat, bertumpu pada kedua tiang tersebut. Beban berat tidak hanya mengakibatkan kemiringan tiang namun juga menyebabkan keretakan pada kedua tiang bagian depan yang tingginya mencapai 10,9 meter.

Kerusakan lain yang dapat disaksikan adalah pada bagian atap belakang Rumah Adat Rambu Saratu. Pemanfaatan ruang paling belakang sebagai dapur dalam jangka waktu yang lama mengakibatkan terjadinya pelapukan kayu dan perubahan warna pada atap. Terdapat pula anggapan dalam masyarakat setempat bahwa kayu bangunan dapat dijadikan jimat atau obat untuk penyembuhan penyakit sehingga beberapa bagian kayu bangunan dikerik khususnya pada panel gambar patung orang-orangan yang berada di kiri kanan pintu masuk.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 35-45

43

Ancaman lain berasal dari jenis hewan yang oleh masyarakat setempat disebut Tabuan. Binatang ini bersifat merusak sebab membuat sarang dengan cara melubangi permukaan panel kayu. Hewan lain yang dapat menjadi ancaman adalah Sumadoan. Jenis binatang ini membuat sarang pada kayu sehinggadapat mengurangi estetika bangunan. Pemilik Rumah Adat Rambu Saratu

Foto 7. Papan pamiring longa baru yang tidak diukir dan fototiang Penulak yang mengalami kemiringan (Sumber: Penulis, 2015)

tidak membersihkan sebab bagi mereka nilai filosofis membangun sarang binatang tersebut sangat tinggi dan mengandung makna. Alasannya, binatang Sumadoan dapat membangun rumah secara sedikit demi sedikit/bertahap. Mereka juga menganggap Sumadoan adalah binatang pembawa rejeki. Prinsipnya, “binatang Sumadoan saja dapat membangun ‘rumah’ apalagi manusia”.

Foto 6. Bagian dapur yang dindingnya mengalami perubahan warna (Sumber: Penulis, 2016)

Potensi Ancaman Pada Bangunan Cagar Budaya Banua Layuk Rambu Saratu di Mamasa Sulawesi Barat

44

Foto 8. Tiang Penulak bagian belakang yang mengalami keretakan dan foto ukiran tau-tau yang rusak karena dikerik untuk dijadikan obat

(Sumber: Penulis, 2015)

Keindahan estetika pada Rumah Adat Rambu Saratu terlihat pada seni ukir dan perpaduan warna pada panel-panel kayu. Kekayaan seni ukir tersebut telah mengalami rentang waktu yang sangat lama sehingga terjadi degradasi warna. Pudarnya warna ukiran merupakan salah satu ancaman dari segi estetika.

Di satu sisi kondisi tersebut menampakakan keaslian namun di sisi lain bila konservasi warna dilakukan maka dapat mengurangi keaslian bahan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah yang strategik khususnya dalam hal konservasi warna pada bangunan Banua Layuk Rambu Saratu tersebut.

Berdasarkan pemaparan di atas, potensi ancaman pada bangunan cagar budaya Banua Layuk Rambu Saratu atau Rumah Adat Rambu Saratu ini, dapat dikatagorikan menjadi dua yaitu internal dan eksternal. Secara internal, terkait dengan usia dan material bangunan serta kondisi lingkungan sekitar. Usia bangunan cagar budaya ini sudah ratusan tahun sehingga hal yang alamiah terjadi pada laju kerapuhan material bangunannya. Oleh karena itu, perlu adanya tindakan konservasi berupa perawatan rutin baik dalam bentuk pembersihan secara mekanis, pengawetan (pengolesan anti rayap) dan konsolodasi.

Hal yang menarik terkait dengan potensi ancaman secara eksternal yang dipicu oleh prilaku masyarakat, yang dalam hal ini didorong oleh faktor budaya dan kepercayaan. Adanya kepercayaan masyarakat bahwa kayu bangunan Rumah Adat Rambu Saratu ini dapat dijadikan jimat atau obat untuk penyembuhan penyakit, berdampak merusak pada beberapa bagian kayu bangunan, karena masyarakat mengeriknya, khususnya

pada panel gambar patung orang-orangan yang berada di kiri kanan pintu masuk. Demikian juga prinsip filosofis masyarakat mengenai binatang Sumadoan yang dianggap sebagai pembawa rejeki, sehingga membiarkannya membuat sarang di dalam rumah, juga dapat berpotensi merusak.

Fenomena yang dipicu oleh kepercayaan masyarakat ini berdampak merusak secara langsung, namun masyarakat tidak beranggapan seperti itu. Hal ini tentunya perlu dikelola dengan bijak, melalui upaya membangun kesadaran akan pentingnya pelestarian Banua Layuk Rambu Saratu sebagai cagar budaya.

III. PenutupBanua Layuk Rambu Saratu atau Rumah Adat

Rambu Saratu merupakan cagar budaya yang perlu kita jaga dan lestarikan bersama. Kandungan nilai penting sejarah, pengetahuan, kebudayaan yang melekat pada bangunan tersebut dapat memberikan manfaat dalam

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 35-45

45

kesadaran masyarakat akan jati diri dan identitas sejarah serta budaya sebagai masyarakat Mamasa. Oleh karena itu, agar eksitensinya dan kebermanfaatan bangunan cagar budaya ini tetap terjaga, diperlukan upaya pelestarian yang berkesinambungan termasuk dalam tataran konservasi teknis.

Dalam upaya konservasi tersebut, diperlukan data akurat terkait potensi ancaman yang memuat informasi mengenai hal apa saja yang dapat menjadi ancaman yang merusak. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, potensi ancaman pada Banua Layuk Rambu Saratu berupa ancaman yang diakibatkan oleh prilaku manusia yang dilatarbelakangi oleh konsep budaya, Kedua potensi ancaman yang dipicu oleh faktor alamiah, yaitu faktor usia dan material bangunan.

Kedua jenis potensi ancaman ini tentunya perlu dikelola dengan cara yang berbeda agar dampat merusaknya dapat dieliminir. Potensi ancaman terkait dengan prilaku manusia, dapat dikelola dengan membuat panduan mengenai hal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Tentunya harus diawali dengan kegiatan sosialisasi mengenai nilai penting Banua Layuk Rambu Saratu sebagai Cagar Budaya, sehingga terbangun kesadaran masyarakat mengapa rumah tradisional ini perlu diletarikan keberaadaannya. Adapun terkait potensi ancaman karena faktor usia bangunan cagar budaya yang sudah ratusan tahun sehingga hal yang alamiah terjadi pada tingkat laju kerapuhan material bangunannya, maka perlu adanya tindakan konservasi berupa perawatan rutin baik dalam bentuk pembersihan secara mekanis, pengawetan (pengolesan anti rayap) dan konsolidasi.

DAFTAR PUSTAKAAnonim, 2005. Keunikan Budaya, Pitu Ulunna Salu

Kondosapata Mamasa. Mamasa. Pemerintah Kabupaten Mamasa.

--------------, 2007. Studi Teknis Rumah Adat Rambu Saratu. Kabupaten Mamasa, Propinsi Sulawesi Barat. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar. Tidak terbit.

Bernadeta AKW, 2011. Bentuk-Bentuk Wadah Penguburan Dalam Sistem Kepercayaan Masyarakat Mamasa Sulawesi Barat. Jurnal Walannae Volume 3 No. 2. Balai Arkeologi Makassar.

Buijs, Kees. 2009. Kuasa Berkat dari Belantara dan Langit, Struktur dan Transformasi Agama Orang Toraja di Mamasa Sulawesi Barat. Makassar. Ininnawa.

Mandadung, Arianus. 2008. Sejarah Terbentuknya Kabupaten Mamasa. Mamasa. Pemerintah Kabupaten Mamasa.

Schiffer, Michael B and George J. Gumerman. 1977 (ed). ConservationArchaeology: A Guide for Cultural Resource Management Studies. Academic Press. New York.

Scovill, D.H., G.J. Gordon, dan K.M. Anderson. 1977. “Guidelines for the Preparation of Statements of Environmental Impact on Archaeological Resources” dalam Schiffer, M.B dan G.J. Gumerman (ed) ConservationArchaeology. New York: Academic Press

Yadi Mulyadi. 2013. Menata Hutan Menjaga Tongkonan: Alternatif Pelestarian Budaya Toraja. Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur , Volumen 7 Nomor 2 Desember 2013. Hal 25 - 34

Yadi Mulyadi. 2014. “Pemanfaatan cagar Budaya dalam Perspektif Akademik dan Peraturan Perundang-Undangan” Makalah untuk kegiatan Sosialisasi Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya di Kota Makassar, 7 Oktober 2014.

Potensi Ancaman Pada Bangunan Cagar Budaya Banua Layuk Rambu Saratu di Mamasa Sulawesi Barat

46

PERUBAHAN DAN ANCAMAN BENTENG KERATON BUTON DI KOTA BAU-BAU

SULAWESI TENGGARA

Dewi Susanti Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan

Email : [email protected]

Abstrak: Benteng Keraton Buton berada di jalan Sultan Labuke, Kelurahan Melai, Kecamatan Murhum, Kota Bau-Bau. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah pengumpulan data berupa pengumpulan data pustaka, dan pengamatan langsung di lapangan. Tahap selanjutnya adalah pengolahan data, tahapan ini dilakukan untuk mempermudah dalam proses analisis data yang telah diperoleh dan dapat menjadi dasar untuk menentukan upaya-upaya penanganan yang akan dilakukan. Tulisan ini mencoba menglasifikasikan ancaman yang terjadi pada Kawasan Benteng Keraton Buton dan upaya yang bisa ditawarkan. Kondisi Benteng Keraton Buton telah banyak mengalami perubahan baik dari lahan maupun bangunan. Perubahan yang terjadi mengakibatkan terjadinya kerusakan pada beberapa kondisi asli dari Benteng Keraton Buton. Perubahan yang terjadi pada lingkungan dan bangunan yang ada di dalam kawasan Benteng Keraton Buton berupa perluasan pemukiman, perluasan lahan pertanian, pemakaman, modernisasi, dan kebijakan pemerintah. Upaya untuk mencegah terjadi perubahan yang lebih signifikan pada Benteng Keraton Buton yaitu melalui upaya pelindungan dalam bentuk zonasi dengan tujuan dengan adanya zonasi maka pemanfaatan ruang dan bangunan dapat diatur sesuai dengan peruntukannya.

Kata Kunci: Benteng Keraton Buton, Perubahan, Ancaman, dan Masyarakat

Abstract: The Fortress of Buton Court is located on Jalan Sultan Labuke, Melai Village, Murhum Sub-district, Bau-bau. The methodology used in this paper is data collecting through library research and fieldwork. The next step is data processing to help the analysis and bases for future intervention efforts. This paper tries to classify the treat levels for the fortress area and suggest the solutions. The condition of the Fortress of Buton Court has undergone both landscape and structural change. The change has caused damage on the original condition of the fortress. The change happened can be classified into settlement expansion, agricultural extension, cemetery, modernization and governmental policies. The protection can be achieved by developing a zoning system to regulate the spatial and structural use of the fortress.

Keywords: The Fortress of Buton Court, Change, Treat Level, and Community

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Benteng Keraton Buton telah menjadi

landmark Kota Bau-Bau sekaligus ikon kebanggaan bagi masyarakat Buton dan Sulawesi Tenggara. Perubahan fungsi Kompleks Keraton Buton menjadi hal yang tidak terelakkan, baik dari segi penambahan pemukiman maupuan perubahan fungsi lahan dalam benteng. Jumlah penduduk yang terus bertambah dan pemanfaatan lahan yang semakin tidak terkendali, mengakibatkan perubahan fungsi ruang terbuka menjadi pemukiman penduduk. Selain itu perubahan cukup signifikan yang terjadi dalam kawasan benteng adalah bentuk bangunan rumah. Bentuk awal bangunan rumah yang ada di dalam kawasan benteng yaitu bangunan rumah panggung yang mencirikan khas Buton. Seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi bangunan rumah penduduk saat ini berubah menjadi bangunan rumah batu. Melihat

perubahan yang terjadi di dalam kawasan benteng yang semakin menghilangkan identitas pemukiman Buton, muncul inisiatif Pemerintah Kota Bau-Bau menerbitkan Surat Keputusan Walikota Bau-Bau No. 105 tahun 2003 tentang Penetapan Benteng Keraton sebagai Kawasan Khusus Kota Bau-Bau yang mengatur upaya pelestarian kawasan Benteng Keraton Buton.

Pada kenyataannya, peraturan tersebut tidak berjalan efektif, hal tersebut dapat dibuktikan dengan masih banyaknya pelanggaran yang terjadi di kawasan tersebut. Salah satu pelanggaran yang terjadi adalah semakin banyaknya bangunan rumah yang tidak bercirikan arsitektur lokal Buton. Hal ini, tentu menjadi potensi ancaman terhadap kelestarian Kompleks Benteng Keraton Buton. Berangkat dari hal tersebut di atas, diperlukan tindakan dan langkah-langkah yang menjamin kelestaraian Kompleks Benteng Keraton Buton untuk kepentingan masa yang akan datang.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 46-63

47

Upaya untuk melakukan pelestarian kawasan Benteng Keraton Buton, akan dilaksanakan sesuai dengan amanah yang tercantum dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Pelestarian merupakan upaya yang dilakukan untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilai yang terkadung didalamnya, dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Berdasarkan amanah Undang-Undang dan berdasarkan hasil pengamatan di lapangan mengenai kondisi kawasan Benteng Kraton Buton yang cukup tinggi potensi ancamannya. Saat ini, benteng Keraton Buton mengalami kerusakan pada bagian dinding benteng karena daya rekat antar batu telah berkurang. Selain itu, dalam kawasan Benteng ini banyak terjadi perubahan baik pada bangunan maupun pada lingkunganya. Perubahan yang terjadi tersebut, memberikan dampak yang negatif terhadap pelestarian kawasan benteng Keraton Buton, maka perlu segera dipikirkan untuk upaya penanganannya. Melalui tulisan ini penulis mencoba menglasifikasikan ancaman yang terjadi pada Kawasan Benteng Keraton Buton dan upaya yang bisa ditawarkan.

I.2. Metode Metode yang digunakan dalam penulisan ini

pertama adalah pengumpulan data yang diawali dengan penelusuran data pustaka. Tujuan pengumpulan data pustaka agar membantu untuk memberikan gambaran umum wilayah Benteng Kraton Buton, termasuk data administrasi, geotopografi, ekonomi, sosial, budaya, fasilitas yang tersedia dan lain-lain. Secara khusus, dapat pula diperoleh informasi arkeologis tentang tinggalan-tinggalan yang ada di dalam kawasan Benteng Kraton Buton. Langkah selanjutnya adalah pengumpulan data secara langsung di lapangan, yaitu di kawasan Benteng Keraton Buton dan sekitarnya. Dimulai dengan observasi secara langsung situs untuk memperoleh gambaran secara visual tentang situasi terakhir (exsisting condition). Informasi ini dapat berupa kondisi situs, keterawatan, sebaran temuan, potensi ancaman, ketersediaan lahan, serta potensi pengembangan dan pemanfaatan. Selain itu dapat pula memperdalam pemahaman tentang kondisi eksternal berupa apresiasi masyarakat terhadap obyek, kondisi sosial-ekonomi, sosial-budaya masyarkat sekitar, iklim, topografi, aturan-aturan yang terkait seperti perda,

RTRW, RIPDA, dan aturan adat yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Tahap pengolahan data, tahapan ini dilakukan setelah pengumpulan data pustaka dan data lapangan. Pengolahan data merupakan langkah untuk memudahkan proses analisis data, yang selanjutnya melahirkan sintesa sebagai hasil kolaborasi antara tuntutan ideal, pada tataran konseptual dengan kenyataan yang terjadi pada objek di lapangan. Keduanya kemudian dijadikan dasar untuk menentukan upaya-upaya penanganan yang akan dilakukan kedepannya.

II. Deskripsi

Benteng Keraton Buton berada di atas bukit dan secara administratif terletak di jalan Sultan Labuke, Kelurahan Melai, Kecamatan Murhum, Kota Bau-Bau. Keraton Buton yang terletak 5, 21˚ - 5, 30 LS dan 122, 30˚ - 122, 45˚ BT merupakan area bekas Ibukota kesultanan Buton. Benteng Keraton Buton telah diinventarisasi oleh kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar dengan nomor 459 dan telah ditetapkan sebagai cagar budaya dengan nomor: KM.8/PW.007/MKP-03, tanggal 4 Maret 2003, oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Benteng tersebut terbuat dari batu karang yang disusun dengan menggunakan spesi yang terbuat dari batu kapur yang dihaluskan sebagai bahan perekat. Ukuran panjangnya 2.740 meter dengan ketebalan antara 1-2 meter dengan ketinggian antara 2-8 meter. Tata letak benteng mengikuti bentang lahan sehingga bentuknya menyerupai huruf “Dal” dalam aksara Arab. Jika dilihat dari luar, tampak adanya perbedaan ketinggian pada dinding benteng, hal ini disebabkan bentang lahan yang tidak rata sehingga dinding benteng yang berada di dekat lembah tampak lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang tanahnya rata.

Benteng Keraton Buton mempunyai 12 pintu gerbang (lawa) dan 16 bastion (baluara). Penamaan untuk tiap pintu gerbang disesuaikan dengan nama atau gelar orang yang mengawasinya. Keduabelas nama lawa tersebut adalah Lawana Rakia, Lawana Lanto, Lawana Labunta, Lawana Kampebuni, Lawana Waborobo, Lawana Dete, Lawana Kalau, Lawana Wajo/Bariya, Lawana Burukene/Tanailandu, Lawana Melai/Baau, Lawana Lantongau/Sambali, dan Lawana Gundu-Gundu.

Perubahan dan Ancaman Benteng Keraton Buton di Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara

48

Gambar 2. Pintu gerbang (Lawana) Lanto, salah satu lawa di benteng sisi utara(dok. BPCB Sul-Sel, 2012)

Gambar 1. Pintu gerbang (Lawana) Lantogau, salah satu lawa di benteng sisi barat(dok. BPCB Sul-Sel, 2012)

Penyebutan “na” untuk lawa, digunakan pula pada bastion (baluara) yang disesuaikan dengan nama kampung tempat bastion tersebut berada (lihat gambar 3), yaitu: Baluarana Gama, Baluarana Litao/Waolima, Baluarana Barangkatopa, Baluarana Wandailolo, Baluarana Baluwu, Baluarana Dete, Baluarana Kalau, Baluarana Wajo/Bariya, Baluarana Tanailandu, Baluarana Melai/Baau, Baluarana Lantongau, Baluarana Gundu-Gundu, Baluarana Siompu, dan Baluarana Rakia. Selain baluara itu, terdapat dua baluara lain, yaitu Baluarana Godona Batu dan Baluarana Godona Oba yang difungsikan sebagai tempat penyimpanan peluru atau mesiu.

Dahulu kampung-kampung ini berada di kompleks Keraton Buton di sekitar bastion-bastion tersebut. Awalnya pemukiman ini hanya terdiri atas empat kampung yang dikenal dengan nama pata lipuna, yaitu Gundu-Gundu, Peropa, Baluwu, dan Barangkatopa, yang masing-masing dipimpin oleh seorang menteri (Bonto) (Zahari, 1977:29). Pada masa pemerintahan Tuarade (Raja Buton IV), perkampungan penduduk bertambah menjadi sembilan kampung yang disebut sio lipuna dengan penambahan kampung Sambali/Lantongau, Melai/Baau, Rakia, Gama, dan Wandailolo/Labunta (Zaenu, 1984:7-13). Pada masa, sekitar abad ke-17, berkembang lima kampung lagi yaitu Kampung Silea, Dete, Kalau, Kabumbu dan Kulandodo.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 46-63

49

Setiap pintu gerbang pada benteng Keraton Buton memiliki bentuk yang berbeda, dengan konstruksi batu yang dipadukan dengan kayu. Untuk pos jaga yang fungsinya sebagai pengintai, konstruksi bangunan yang digunakan terdiri dari campuran batu dan kayu. Bentuk bastion dapat dikelompokkan dalam dua bentuk yaitu bundar dan persegi panjang yang disesuaikan dengan fungsi dan kondisi lahan. Enam belas bastion di Benteng Keraton Buton, 11 di antaranya berbentuk persegi panjang, dan 5 lainnya berbentuk bundar. Berdasarkan hasil pengamatan, 11 bastion persegi panjang terletak di daerah yang menghadap lembah. Adapun bastion berbentuk bundar sebagian besar berada di lahan yang datar. Dari kelima bastion bundar, dua bastion difungsikan sebagai gudang penyimpanan peluru dan mesiu yaitu Bastion Godona Batu yang terletak di Kampung Lantongau dan Bastion Godona Oba yang terletak di Kampung Kalau. Bastion-bastion tersebut dilengkapi meriam berukuran besar. Sebagian meriam memiliki angka tahun 1658–1776 dengan cap bertuliskan VOC.

Berdasarkan keletakannya, bastion dapat dibagi menjadi dua yaitu bastion sudut (boka-boka) dan bastion samping (baluara). Di benteng ini, terdapat empat bastion sudut yang terletak pada ke empat sudut benteng yaitu boka-boka Gundu-Gundu, Jaraijo (kuda hijau), Godona Oba (gudang mesiu), Godona Batu (gudang peluru). Khusus boka-boka Gundu-Gundu dibuat bertingkat sehingga lebih tinggi dibanding ketiga boka-boka lainnya (Zahari, 1977:157). Adapun bastion samping (baluara) terletak pada sepanjang dinding benteng, yaitu Baluara Siompu, Rakia, Gama, Wandailolo, Barangkatopa,

Gambar 3. Bastion (Baluarana) Gundu-gundu (kiri), salah satu bentuk bastion persegi pada sisi barat Baluarana Kalau (kanan). (Dok. Yadi Mulyadi, 2008)

Baluwu, Burukene, Dete, Kalau, Wajo Melai/Baau dan Lantongau/Sambali (Zahari, 1977).

Benteng Keraton Buton dibangun sekitar abad ke-16 hingga abad ke-17 oleh masyarakat Buton pada masa pemerintahan Sultan Buton IV, Sultan La Elangi yang bergelar Dayanu Ikhsanuddin (1597-1631 M). Benteng ini kemudian diselesaikan pada masa pemerintahan Sultan Buton VI, Sultan La Buke yang bergelar Gafur Wadudu (1632-1645 M). Di masa lalu, di dalam benteng inilah pusat kegiatan pemerintahan dan pusat seluruh aktivitas kesultanan dijalankan (Iswadi, dkk, 2012) .

III. PEMBAHASAN

2.1. Permasalahan/ Ancaman Berdasarkan dari data yang diperoleh pada saat pengumpulan data yang dilakukan pada tahun 2012 di Benteng Keraton Buton, diketahui bahwa aspek yang utama dalam permasalahan yang terjadi adalah aspek fisik dan aspek sosial budaya. Perubahan-perubahan yang terjadi pada kawasan Benteng Kraton Buton berupa pemanfaatan/penggunaan bangunan Cagar Budaya, penambahan bangunan baru di sekitar Cagar Budaya, dan perubahan struktur ruang kota. a. Perubahan Struktur Ruang Benteng Keraton Buton

1. Pertumbuhan Penduduk Penduduk Kota Bau-Bau menurut hasil

sensus penduduk tahun 1990 berjumlah 77.224 orang dan sepuluh tahun kemudian tepatnya saat sensus penduduk tahun 2000 bertambah lagi hingga mencapai 106.092 orang. Mulai tahun 2001 Kota Bau-Bau beralih status dari

Perubahan dan Ancaman Benteng Keraton Buton di Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara

50

kota adminisitratif menjadi Kotamadya. Seiring dengan peralihan status tersebut maka dibarengi juga dengan laju pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan kepadatan terus meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk Kota Bau-Bau pada tahun 2001 sebanyak 107.975 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 21.599 (Kota Bau-Bau dalam Angka, 2004). Pada tahun 2003, jumlah rumah tangga di Kotamadya Bau-Bau sebanyak 22.333 KK. Rata-rata rumah tangga terdiri atas lima jiwa. Persebaran penduduk di empat kecamatan terlihat bahwa 38, 90 % berada di Kecamatan Wolio, 10,08 % berada di Kecamatan Bungi, 5,27 % berada di Kecamatan Sorawolio, dan sisanya 45,75 % penduduk berada di Kecamatan Betoambari.

Jumlah penduduk Kotamadya Bau-Bau menurut hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 1990 berjumlah 77.224 jiwa dan tahun 2000 mencapai 106.092 jiwa, terdiri dari 58.003 jiwa laki-laki dan 58.899 jiwa perempuan. Angka pertumbuhan ini dipicu oleh adanya pengungsi (eksodus) dari Ambon (Maluku) dan dari Timor Timur yang kembali ke Bau-Bau atau Buton karena menghindari kerusuhan. Kedatangan pengungsi memberi pengaruh besar terhadap perubahan yang terjadi di Buton pada umumnya dan Kotamadya Bau-Bau khususnya.

Pada tahun 2010 sensus penduduk kembali dilakukan oleh yang BPS,dari hasil sensus tersebut maka diperoleh data bahwa penduduk Kota Bau-bau mencapai jumlah 136.991 orang. Artinya dari 7 kecamatan yang ada di kota Bau-bau, semuanya mengalami tingkat pertumbuhan penduduk di atas 2 persen, sedangkan luas area Kota Bau-bau adalah 221 km2 maka kepadatan penduduk juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Kepadatan penduduk Kota Bau-bau tahun 1990 sebesar 349 orang per km2 kemudian tahun 2000 sebesar 480 per km2. Kepadatan tertinggi terdapat di Kecamatan Murhum dengan luas wilayah terkecil yaitu sebesar

7.000 orang per km2, sedangkan Kecamatan Sorawolio dengan luas wilayah terbesar justru memiliki kepadatan penduduk terkecil yaitu sebesar 85 orang per km2.

Sumber: BPS Kota Bau-Bau Tahun 2012

Berdasarkan hasil perolehan data pada kantor Badan pusat statistik kota Bau-Bau diketahui bahwa persebaran penduduk di Kota Bau-Bau sebagian besar tersebar di 4 kecamatan yang merupakan pusat perkotaan yaitu Kecamatan Murhum, Betoambari, sedangkan 3 kecamatan lainnya yang berada dipinggiran perkotaan persebaran penduduknya dibawah 6 persen. Pada Kecamatan Murhum dengan luas 6,45 km2 atau sekitar hanya 2,92 persen dari luas Kota Baubau yang mencapai luas 221.00 km2. Dengan jumlah penduduk 45.150 pada tahun 2010, dengan kepadatan penduduk sebesar 7,000 artinya setiap km2 terdapat 7.000 orang.

Jumlah penduduk tahun 2009 merupakan hasil proyeksi, sama halnya dengan jumlah penduduk pada tahun 2008. Pada tahun 2008 jumlah penduduk Kecamatan Murhum yakni 43.914 Jiwa, sedangkan pada tahun 2009 meningkat menjadi 44.986 Jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,44 persen. Jumlah penduduk yang cukup besar dan terus bertambah setiap tahunnya tidak diimbangi dengan pemerataan penyebaran penduduk dan semakin tingginya tingkat kepadatan penduduk.

Perubahan ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah penduduk yang cukup mencolok di Kotamadya Bau-Bau yang mencapai 50 % dari jumlah sebelumnya. Selain

Gambar 4. Perkembangan Penduduk Kota Bau-Bau Dari Tahun ke Tahun 2012

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 46-63

51

itu, efek yang ditimbulkan oleh para pengungsi dari daerah Nusa Tenggara Timur terhadap lingkungan yaitu berupa pembangunan perumahan, pembukaan lahan-lahan baru di tanah kosong yang digunakan sebagai tempat tinggal dan bercocok tanam. Pengungsi

umumnya ditempatkan di daerah yang luas dengan penduduk yang relatif sedikit yaitu di Kecamatan Sorawolio dan Kecamatan Bungi dalam satu perkampungan baru secara berkelompok. Dua kecamatan ini sebagian besar terdiri atas hutan dan perkebunan.

Tabel 1 . Luas Daerah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk menurut Kelurahan 2009

Kelurahan Luas Daerah (km²) Jumlah Penduduk (Jiwa) Kepadatan (Jiwa/Km)

(1) (2) (3) (4)BaadiaMelaiWajoLamanggaTanganapadaBone - BoneTarafuWameoKaobulaLantoNganganaumala

2,000,371,000,780,750,280,420,180,150,330,19

2.2151.9044.4585.3694.0416.2885.0054.6982.1525.2223.634

1.1085.1464.4586.8835.388

22.45711.91726.10014.34715.82419.126

Murhum 6,45 44.986 6.975

Tabel 2. Pembagian lahan dan persentase Luas Lahan Kelurahan Melai

No Fungsi Lahan Luas (Ha) Persentase %

1 Pemukiman 1,6 452 Kuburan 1 283 Pekarangan 0,1 34 Taman 0,5 145 Perkantoran 0,05 16 Prasarana 0,3 9Jumlah 3,55 100

Sumber : Website Kota Bau-Bau

Dari tabel mengenai pembagian lahan dan persentase luas lahan di Kelurahan Melai, diperoleh data bahwa lahan untuk pemukiman mendapatkan porsi terbesar dalam tata guna lahan di Kelurahan Melai yaitu sebesar 1,6 Ha atau 45 persen dan untuk lahan perkantoran hanya menyisikan 0,05 Ha atau sebesar 1 persen dari keseluruhan lahan yang ada di Kelurahan Melai atau di dalam Benteng Keraton Buton.

Dari luas lahan Kelurahan Melai 0,37 Km2 atau 3,55 Ha, lahan yang digunakan untuk pemukiman adalah 1,6 Ha tersebut dihuni oleh 1.904 jiwa dengan kepadatan 5.146 atau setiap

1 Km2 dihuni oleh 5.146 jiwa. Dari luas lahan yang ada telah terbit 65 sertifikat dengan status hak guna pakai (sumber: Kantor Kelurahan Melai). Adapun jumlah rumah yang ada di dalam benteng berjumlah 332 rumah baik yang permanen maupun yang tidak permanen.

Untuk area di luar benteng di sebelah selatan merupakan bagian dari Kelurahan Baadia dengan luas 2,00 Km2, jumlah penduduk 2.215 jiwa dengan persentase kepadatan 1.108/ Km2 artinya setiap 1 Km2 terdapat 1.108 jiwa yang bermukim di dalamnya, sedangkan pada sisi utara dan barat yang merupakan bagian dari

Perubahan dan Ancaman Benteng Keraton Buton di Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara

52

Kelurahan Tanganapada dengan luas 0,75 Km2 dengan jumlah penduduk 4.041 jiwa, kepadatan 5.388/Km2 artinya dalam 1 Km2 terdapat 5.388 jiwa. Dengan melihat data tersebut di atas maka Kelurahan Tanganapada merupakan

Gambar 5. Pemukiman penduduk disekitar Kompleks Makam dan dinding benteng (insert dalam kotak merah), beberapa bangunan yang mengancam kelestarian cagar

budaya dari aspek kelayakan pandang (dok. BPCB Sul-Sel, 2012)

kelurahan dengan kepadatan tertinggi disusul oleh Kelurahan Melai, sedangkan Kelurahan Baadia merupakan kelurahan dengan kepadatan terrendah jika dilihat dari luas wilayah dibandingkan dengan jumlah penduduknya.

2. Sosial Ekonomi Perkembangan pertumbuhan penduduk

akan sangat berpengaruh terhadap perubahan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan diikuti dengan perubahan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, diketahui bahwa terjadi kepadatan pembangunan toko dan kios dalam kawasan Benteng Kraton Buton.

Kepadatan pembangunan ini terjadi karena semakin padatnya penduduk yang bermukim pada areal benteng dan di luar benteng. Hal ini merupakan salah satu cara masyarakat untuk memenuhi kehidupan ekonomi mereka tetapi tanpa mereka sadari hal yang dilakukan tersebut justu memberi dampak buruk terhadap tinggalan Cagar Budaya.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 46-63

53

3. Sosial BudayaBerakhirnya kesultanan pada masa

Muhamad Falihi yang merupakan sultan Buton terakhir (memerintah tahun 1938-1960), maka berakhir pula sistem kesultanan di Buton. Hal ini juga turut mempengaruhi pemukiman di kompleks Benteng Keraton Buton. Kompleks yang sebelumnya hanya boleh dihuni oleh dua golongan bangsawan (kaomu dan walaka), secara perlahan-lahan mengalami pergeseran, terutama menyangkut orang-orang yang bermukim di dalam wilayah Keraton Buton. Pada masa kesultanan, kompleks keraton dihuni oleh penguasa Kesultanan Buton, sebagaimana yang diungkapkan oleh Schoorl (2003) bahwa Kesultanan Buton terdiri atas dua lapisan masyarakat yaitu kaomu dan walaka. Mereka dikonsentrasikan di pusat kesultanan, semula di dalam benteng keraton (permukiman) Buton, dan kemudian meluas ke daerah di dekatnya yaitu Sorawolio dan Baadia (Schoorl, 2003:81).

Di Kesultanan Buton terdapat empat lapisan masyarakat (Schoorl, 2003:138). Lapisan pertama atau yang tertinggi dibentuk oleh kaomu, kaum bangsawan. Jabatan sultan dan beberapa jabatan lain dalam pemerintahan ini dipilih dan dipegang oleh anggota dari golongan ini. Lapisan kedua disebut walaka yang membagi kekuasaan pemerintahan dengan kaomu. Sebuah dewan yang terdiri dari sembilan walaka (siolimbona) memilih sultan dari golongan pertama. Golongan walaka adalah ahli dan penjaga adat. Antara dua lapisan masyarakat itu terdapat perimbangan kekuasaan tertentu. Kedua golongan ini berdomisili di Kompleks Benteng Keraton Buton.

Lapisan ketiga adalah papara, terdiri atas penduduk desa yang merdeka, mendiami daerah kadie (desa). Mereka tidak boleh tinggal di pusat (Keraton Buton) dan tidak ikut dalam pemerintahan kesultanan. Namun, mereka wajib menyerahkan upeti atau membayar pajak tahunan kepada kesultanan dan mengerjakan jasa-jasa tertentu, antara lain membela negeri. Lapisan keempat adalah batua (budak) yang

bekerja untuk dua lapisan masyarakat yang pertama (Schoorl, 2003:138).

Pada masa kini, masyarakat yang berasal dari luar baik luar keraton maupun luar daerah Buton dapat tinggal di kompleks Keraton Buton. Mereka umumnya adalah perempuan-perempuan yang diperisteri oleh lelaki yang berdomisili di keraton dan menetap atau tinggal di dalam Keraton Buton. Perbedaan antara satu lapisan dengan lapisan lainnya dipertahankan oleh sistem perkawinan dan kekeluargaan. Kedua sistem ini antara lain mengatur tempat seseorang dalam masyarakat yang bergantung pada garis keturunan melalui ayah.

Meskipun dari waktu ke waktu nilai sakral dari Keraton Buton secara perlahan-lahan mulai memudar seiring perkembangan zaman, akan tetapi kegiatan-kegiatan seperti adat dan aktivitas keagamaan serta aktivitas bermukim masih ketat dengan aturan-aturan yang masih tetap dipertahankan sampai sekarang di kompleks Keraton Buton.

Tanah pendirian bangunan di kompleks Keraton Buton, bukanlah hak milik masyarakat setempat, namun tanah hak pakai sehingga masyarakat tidak dapat mengklaim bahwa tanah yang ditempati menjadi hak miliki mereka. Sejak berakhirnya kesultanan, tanah di kompleks tersebut tidak lagi menjadi kewenangan adat. Oleh karena itu, masyarakat (tokoh adat, tokoh agama, dan keluarga sultan) memberi kepercayaan kepada pemerintah Kota Bau-Bau untuk menjaga dan mengelola, serta mengawasi pendirian bangunan baru, terutama bangunan permanen, di kompleks tersebut. Dengan demikian, bagi siapapun tidak diperbolehkan untuk mendirikan rumah tinggal yang baru pada lahan kosong di kompleks Keraton Buton.

Namun berdasarkan dengan hasil pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa perubahan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang bermukim di dalam Benteng Keraton Buton dan lingkungan di luar benteng sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan

Perubahan dan Ancaman Benteng Keraton Buton di Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara

54

sosial budaya masyarakat. Salah satu bentuk perubahan yang terjadi dalam benteng yaitu pada bangunan perumahan. Pada awalnya ada aturan bagi masyarakat yang bermukim di dalam benteng tidak diizinkan membuat bangunan permanen, masyarakat yang bermukim harus membuat bangunan perumahan yang bersifat semi permanen yaitu bangunan rumah panggung. Namun bangunan perumahan masyarakat tidak lagi mempertahankan konsep bangunan tradisonal, tetapi kondisi sekarang menunjukkan bahwa bangunan perumahan masyarakat dibuat sebagai bangunan permanen yaitu dimana kolong rumah mereka manfaatkan juga sebagai tempat tinggal dan dibangun dengan menggunakan susunan batu gunung dan semen.

Gambar 7. Bentuk bangunan perumahan penduduk di dalam benteng (dalam kotak area: bagian yang telah

dipermanenkan)(dok BPCB Sul-Sel dan Dewi Susanti, 2012)

Gambar 6. Bentuk perumahan penduduk (dok. Dewi Susanti, 2012)

Perkembangan yang terjadi pada kawasan Benteng Keraton Buton lama kelamaan semakin pesat sehingga menyebabkan beberapa bangunan cagar budaya mengalami perubahan fungsi dan penambahan bangunan pada cagar budaya tersebut. Selain itu, karena perkembangan masyarakat yang semakin pesat, dengan populasi penduduk yang cukup tinggi mengakibatkan persediaan lahan semakin sempit. Melihat kondisi tersebut, menimbulkan dampak yang negatif terhadap tinggalan Cagar Budaya yang ada karena dimanfaatkan oleh masyarakat tidak sesuai dengan peruntukannya. Kondisi tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 46-63

55

1. Perubahan Fungsi Bangunan/ Ruang

Perubahan fungsi dan bentuk cagar budaya /ruang diakibatkan oleh kebutuhan pemerintah dan masyarakat yang semakin berkembang hal ini dapat kita lihat sebagai berikut.

a. Benteng Keraton Buton Benteng Keraton Buton pada dasarnya masih menunjukkan identitas sebagai situs, namun seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat dan terbatasanya lahan maka masyarakat cenderung memanfaatkan kawasan disekitar bangunan Cagar Budaya. Hal tersebut dapat kita lihat pada areal disekitar dinding Benteng Keraton Buton yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat untuk memelihara ternaknya.

Gambar 9. Bangunan Kamali Kara (bangunan asli)

Gambar 10. Bangunan kamali kara (dokumentasi tim BPCB Sul-Sel, 2012)

Gambar 8. Kawasan benteng yang dimanfaatkan sebagai tempat mengembala dan penyimpanan ternak (dok, BPCB

Sul-Sel, 2012)

b. Kamali KaraBangunan kamali kara ini masih tetap difungsikan sebagai rumah tinggal tetapi bukan sebagai rumah tinggal Sultan. Bangunan telah beberapa kali mengalami perubahan, hal ini dapat kita lihat pada gambar (no.9). Pada bagian tangga terdapat atap yang difungsikan untuk mencegah terjadinya rembesan air ketika musim hujan. Namun kondisi bangunan pada saat ini, telah mengalami perubahan di beberapa bagian seperti pada bagian tangga. Kondisi tangga

sekarang tidak lagi menggunakan atap sebagaimana bentuk awalnya. Selain itu, ukuran dan bentuk tangga juga mengalami perubahan. Kondisi bangunan sekarang lebih terbuka tetapi hal tersebut memberikan dampak yang negatif karena telah merubah bentuk asli dari bangunan tersebut. Dampak lain yang ditimbulkan adalah akan mempercepat terjadinya kerusakan dan pelapukan, hal ini disebabkan karena apabila terjadi musim hujan maka akan terjadi rembesan yang mengakibatkan tingkat kelembaban akan semakin tinggi.

Perubahan dan Ancaman Benteng Keraton Buton di Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara

56

c. Penambahan Bangunan Baru Akibat dari perkembangan masyarakat yang semakin pesat menyebabkan lahan yang tersedia semakin berkurang. Pemukiman penduduk semakin mengancam keberadaan tinggalan Cagar Budaya yang ada di dalam kawasan benteng dan yang diluar benteng, sehingga mempengaruhi kelayakan padang (visibilitas) yang sangat terbatas. Keterbatasan disebabkan oleh bangunan

Gambar 11. Bangunan tambahan pada bangunan Masjid Keraton Buton (dok BPCB Sul-Sel, 2012)

pemukiman penduduk yang semakin padat pada tinggalan Cagar Budaya yang ada di dalam Kompleks Benteng Keraton Buton. Penambahan bangunan baru dapat kita lihat pada gambar, dimana pada bagian dinding benteng terdapat bangunan baru, selain itu dapat juga di temukan pada Masigi Ogena dan Masjid Quba (lihat gambar) .

Gambar 12. Bangunan Baru disekitar Kompleks Makam (dok. Dewi Susanti,2012)

d. Jaringan Jalan Jaringan jalan yang ada di dalam Kompleks Benteng Keraton Buton dan di luar Benteng Keroton Buton sangat mengkhawatirkan dan sangat mengancam keberadaan tinggalan Cagar Budaya yang ada di dalam kompleks Benteng dan di luar benteng.

Ancaman tersebut dapat kita lihat pada beberapa tinggalan makam dan lawana serta pada baluarana benteng yang hanya memiliki jarak ± 90 sampai 100 cm dari badan jalan. Kondisi jalan ini akan sangat berpengaruh terhadap tingkat kerusakan yang terjadi pada tinggalan cagar budaya tersebut.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 46-63

57

Gambar 13. Baluarana Lantogau, salah satu Baluarana yang jaraknya sangat dekatdengan badan jalan (dok. Dewi Susanti, 2012)

Gambar 14. Lawana Bariya, salah satu Lawana yang jaraknya sangat dekat dengan badan jalan (kiri) Makam sultan Nasiruddin (tengah), salah satu Makam yang jaraknya sangat dekat dengan badan jalan (kanan) insert;dalam kotak area (dok.

BPCB Sul-Sel, 2012)

2. Upaya Penyelesaian

Upaya penyelesaian yang harus dilakukan terhadap tinggalan Cagar Budaya Benteng Keraton Buton yaitu pelindungan. Salah satu bentuk pelindungan yang dilakukan yaitu dengan melakukan zonasi. Tujuan yang ingin dicapai yaitu agar dapat mengatur peruntukan dan fungsi lahan yang ditujukan untuk pelestarian Kompleks Benteng Keraton Buton, beserta tinggalan budayanya baik yang intangible maupun tangible. Zonasi merupakan sistem penataan ruang dalam situs atau kawasan cagar budaya yang meliputi penentuan batas-batas keruangan dan fungsi masing-masing ruang. Hal ini tercantum dalam Bab 1 Ketentuan Umum, Pasal 1 butir 26 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, tentang Cagar Budaya yang mencantumkan

bahwa zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan.

Lebih lanjut Pasal 72 mengatur mengenai penetapan batas-batas keluasan dan pemanfaatan ruang dalam situs dan kawasan berdasarkan kajian Pasal 73 Ayat (3), zonasi dapat terdiri dari: a. zona inti, b. zona penyangga, c. zona pengembangan, dan/atau d. zona penunjang. Selain itu dalam pasal yang sama pada ayat (4) dijelaskan bahwa penetapan luas, tata letak, dan fungsi zona ditentukan berdasarkan hasil kajian dengan mengutamakan peluang peningkatan kesejahteraan rakyat.

Selanjutnya, dalam penjelasan UU No. 11 Tahun 2010 diuraikan zona inti adalah area pelindungan utama untuk menjaga bagian

Perubahan dan Ancaman Benteng Keraton Buton di Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara

58

terpenting cagar budaya, zona penyangga merupakan area yang melindungi zona inti, zona pengembangan merupakan area yang diperuntukan bagi pengembangan potensi Cagar Budaya bagi kepentingan rekreasi, daerah konservasi lingkungan alam, lanskap budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan, dan kepariwisataan. Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa zona penunjang adalah area yang diperuntukkan bagi sarana dan prasarana penunjang serta untuk kegiatan komersial dan rekreasi umum. Sesuai uraian diatas, berikut akan diuraikan mengenai regulasi yang ada di Kawasan Benteng Keraton Buton.

a. Peruntukan lahan

Sesuai dengan Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pasal 73 ayat (3) dan penjelasannya, huruf a yang dimaksud dengan “zona inti” adalah area pelindungan utama untuk menjaga bagian terpenting Cagar Budaya. Huruf b yang dimaksud dengan “zona penyangga” adalah area yang melindungi zona inti baik secara horizontal maupun vertikal. Huruf c yang dimaksud dengan “zona pengembangan” adalah area yang diperuntukan bagi pengembangan potensi Cagar Budaya bagi kepentingan rekreasi, daerah konservasi lingkungan alam, lanskap budaya, kehidupan budaya, tradisional, keagamaan dan kepariwisataan. Huruf d yang dimaksud dengan “zona penunjang” adalah area yang diperuntukan bagi sarana dan prasarana penunjang serta untuk kegiatan komersial dan rekreasi umum.

Berdasarkan data yang diperoleh maka dalam pelindungan berupa zonasi terhadap tinggalan Benteng Keraton Buton dibagi ke dalam empat zona, masing-masing memiliki peruntukan. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan lahan dan pemanfaatannya, berikut ini akan diuraikan peruntukan lahan masing-masing zona:- Zona inti, Sesuai dengan peruntukannya

zona inti diperuntukkan sebagai area utama sebuah situs guna kepentingan pelindungan dalam rangka pelestarian Situs Benteng

Keraton Buton. Selanjutnya zona inti tersebut dibagi lagi kedalam dua zona yaitu zona inti I, yang diperuntukkan sebagai area pelindungan utama untuk menjaga bagian terpenting Cagar Budaya. Zona Inti II, merupakan bagian dari area pelindungan yang diperuntukkan untuk menjaga bagian terpenting cagar budaya.

- Zona penyangga adalah area yang diperuntukkan melindungi zona inti baik secara horizontal maupun vertikal.

- Zona pengembangan adalah area yang diperuntukan bagi pengembangan potensi Cagar Budaya bagi kepentingan rekreasi, daerah konservasi lingkungan alam, lanskap budaya, kehidupan budaya, tradisional, keagamaan, dan kepariwisataan.

- Zona penunjang adalah area yang diperuntukan bagi sarana dan prasarana penunjang serta untuk kegiatan komersial dan rekreasi umum.

2.2. RegulasiRegulasi Zonasi Benteng Keraton Buton

Regulasi zonasi dapat didefinisikan sebagai ketentuan yang mengatur tentang klasifikasi, notasi dan kodifikasi zona-zona dasar, peraturan penggunaan, peraturan pembangunan dan berbagai prosedur pelaksanaan pembangunan. Fungsi peraturan zonasi adalah:a. Sebagai pedoman penyusunan rencana

operasional. Peraturan zonasi dapat menjadi jembatan dalam penyusunan rencana tata ruang yang bersifat operasional, karena memuat ketentuan-ketentuan tentang penjabaran rencana dari yang bersifat makro ke dalam rencana yang bersifat meso sampai kepada rencana yang bersifat mikro (rinci).

b. Sebagai panduan teknis pemanfaatan lahan. Ketentuan-ketentuan teknis yang menjadi kandungan peraturan zonasi, seperti ketentuan tentang penggunaan rinci, batasan-batasan pengembangan persil dan ketentuan-ketentuan lainnya menjadi dasar dalam pengembangan dan pemanfaatan lahan.

c. Sebagai instrumen pengendalian pembangunan. Peraturan zonasi yang

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 46-63

59

lengkap akan memuat ketentuan tentang prosedur pelaksanaan pembangunan sampai ke tata cara pengawasannya. Ketentuan-ketentuan yang ada karena dikemas dalam aturan penyusunan perundang-undangan

yang baku dapat dijadikan landasan dalam penegakan hukum.Beberapa aturan yang harus diterapkan pada zona inti I sebagaimana disebutkan di atas dapat diuraikan sebagai berikut:

Tabel 3. Aturan pada Zona Inti I

No Dapat dilakukan Persyaratan Tidak Dapat Dilakukan

1Aktivitas Konservasi dan pemugaran

Ada izin dari instansi yang berkompeten

Aktivitas non konservasi, dan pemugaran

2Penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan

vAda izin dari instansi yang berkompeten;

vTidak melakukan aktivitas yang bersifat membongkar struktur yang tidak mengikuti kaidah arkeologi

Aktivitas fisik, khususnya terkait dengan penggalian tanah dan pengrusakan struktur.

3 Penataan

vAda Izin dari Instansi yang berkompeten

vDidahului dengan studi kelayakan atau kajian/penelitian

Mengubah tata lingkungan asli (yang ditemui sekarang), termasuk menebang atau menanam pohon yang dapat membahayakan struktur.

4 Perkunjungan/rekreasi

vAda izin dari instansi berkompeten

vTidak melakukan pengrusakan dan pencemaran

Kunjungan yang tak terkendali.

Untuk zona inti II, regulasi atau atau aturan yang diterapkan adalah sebagian besar aturan yang diterapkan pada zona inti I, kecuali ditambahkan beberapa hal yang dapat dilakukan, antara lain.

Tabel 4. Aturan pada Zona Inti II

No Dapat dilakukan Persyaratan Tidak Dapat Dilakukan

1Pendirian bangunan non-permanen dan bersifat reversible atau mudah dibongkar dan dipindahkan

vAda izin dari instansi yang berkompeten

vBangunan menggunakan arsitektur yang mencirikan arsitektur tradisional/lokal

Pendirian bangunan permanen

2 Mempertahankan bangunan permanen yang telah ada

vAda izin dari instansi yang berkompeten;

vTelah ada sebelum adanya zonasi

Menambah luas dan ketinggian bangunan

3Kegiatan pengolahan lahan/halaman rumah secara terbatas

vMembongkar tanah sesuai dengan kebutuhan untuk tanaman tidak melebihi 50 cm.

vJenis tanaman terbatas pada tanaman jangka pendek atau tanaman pelindung dengan akar yang tidak merusak struktur/bangunan cagar budaya.

Penanaman pohon jangka panjang bertajuk tinggi, tanaman dengan akar yang dapat merusak struktur atau bangunan cagar budaya yang terpendam di dalam tanah.

Perubahan dan Ancaman Benteng Keraton Buton di Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara

60

4Penggalian tanah untuk kebutuhan air bersih dan sanitasi

vAda izin dari instansi berkompeten

vAda pengawasan dari instansi yang berkompeten pada saat penggalian

Penggalian tanah untuk bangunan permanen atau untuk kepentingan lain yang tidak sesuai

5

Kegiatan pendidikan, sosial, ekonomi, dan kebudayaan yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pelestarian

vTidak mengganggu benda, struktur, dan bangunan cagar budaya yang ada

Segala kegiatan yang bertentangan dengan prinsip perlindungan cagar budaya.

Sumber: Laporan zonasi Benteng Keraton Buton

Untuk aturan perlakuan lahan atau zona penyangga, sesuai dengan prinsipnya sebagai lahan pelindungan bagi zona inti ditambah dengan berbagai pertimbangan lain untuk menunjang pengembangan dan pemanfaatannya, maka beberapa hal sebagai berikut mutlak diberlakukan.

Tabel 5. Aturan pada Zona Penyangga

No Dapat dilakukan Persyaratan Tidak Dapat Dilakukan

1

Pendirian bangunan non-permanen dan bersifat reversible atau mudah dibongkar dan dipindahkan

vAda izin dari instansi yang berkompeten

vBangunan menggunakan arsitektur yang mencirikan arsitektur tradisional/lokal

vTidak menghalangi pandangan terhadap struktur atau bangunan cagar budaya yang ada dalam benteng

Pendirian bangunan permanen, atau bangunan yang dapat mengganggu pandangan atau mengganggu keserasian pandangan terhadap benteng dan lingkungan di sekitarnya

2 Penataan lingkungan

vAda Izin dari Instansi yang berkompeten

vDidahului dengan studi kelayakan atau kajian/penelitian

vTidak mengubah setting yang ada tanpa adanya penelitian khusus setting lingkungan yang seharusnya

v Mengubah tata lingkungan asli (yang ditemui sekarang), termasuk menebang atau menambah pepohonan yang tidak sesuai dengan lingkungan aslinya.

v Mengubah fungsi lahan yang ada sekarang

3

Pengolahan lahan sesuai dengan fungsi sekarang, misalnya sawah, tambak, ataupun kebun.

vMempertimbangkan pengaruh aktivitas terhadap kondisi zona inti

v Mengubah fungsi lahan tanpa koordinasi dengan instansi yang berkompeten.

4

Kegiatan sosial, ekonomi, pendidikan, keagamaan, budaya, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian cagar budaya

vTidak menimbulkan dampak negatif terhadap upaya perlindungan terhadap cagar budaya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

v Kegiatan yang melanggar etika, norma, maupun adat istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat.

v Menutup akses masyarakat umum terhadap Benteng Keraton Buton sebagai struktur cagar budaya.

Sumber: Laporan zonasi Benteng Keraton Buton

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 46-63

61

Tabel 6. Regulasi Zona Pengembangan

No Dapat dilakukan Persyaratan/Anjuran

1

Pendirian atau penambahan bangunan baru, baik permanen maupun non permanen yang mendukung upaya pemanfaatan

v Bangunan menggunakan arsitektur yang mencirikan arsitektur tradisional/lokal

v Tidak mendominasi atau tidak lebih mencolok dibandingkan dengan bangunan benteng dan bangunan di dalamnya.

2 Penataan landscape dan lingkunganv Tidak menghilangkan ciri khas lingkungan alami

situs, atau setidaknya masih mencerminkan lingkungan asli situs.

3 Kegiatan ekonomiv Sebaiknya melibatkan masyarakat di sekitarnya

sebagai pelaku ekonomi.v Memberikan kontribusi terhadap pelestarian situs.

4

Kegiatan sosial, ekonomi, pendidikan, keagamaan, budaya, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya

v Tetap mempertimbangkan kelestarian situs.

Sumber: Laporan zonasi Benteng Keraton Buton

Pemanfaatan area dalam zona penunjang Benteng Keraton Buton harus mengikuti ketentuan sebagai berikut:

Tabel 7. Regurasi Zona Penunjang

1 Pembangunan dan pengembangan harus sesuai nilai, tema dan nuansa Benteng Keraton Buton

2 Pendirian bangunan yang memiliki ketinggian tidak melebihi dari ketentuan tata ruang yang berlaku

3 Kegiatan menyesuaikan norma dan etika masyarakat, khususnya masyarakat setempat

4 Tidak menutup akses publik terhadap Benteng Keraton Buton

5 Memberi kontribusi terhadap pelestarian Benteng Keraton Buton

6 Memberikan peluang untuk peningkatan kesejahteraan rakyat

Sumber: Laporan zonasi Benteng Keraton Buton

IV. PENUTUP

Benteng Keraton Buton merupakan landmark Kota Bau-Bau, yang memiliki posisi sangat strategis. Mengingat bahwa wilayah ini memiliki tinggalan Cagar Budaya yang sangat bervariasi dan sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata. Untuk menjadikan Benteng Keraton Buton sebagai salah satu tujuan destinasi wisata Kota Bau-Bau, hal utama yang perlu dilakukan adalah mengurangi tingkat terjadinya perubahan-perubahan fungsi lahan maupun bangunan yang ada di dalam kawasan Benteng Keraton Buton. Dengan demikian, maka secara tidak langsung tingkat kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada kawasan benteng tersebut akan berkurang. Langkah awal yang perlu dilakukan

adalah Deliniasi yang disertai dengan keterlibatan masyarakat setempat guna menjaga kelestarian Benteng Keraton Buton. Permasalahan lain yang dapat disimpulkan berdasarkan kondisi yang terjadi pada kawasan Benteng Keraton Buton adalah.

1. Ancaman terhadap situs terutama berasal dari aktivitas masyarakat misalnya perluasan pemukiman, perluasan lahan pertanian, pemakaman, modernisasi, dan kebijakan pemerintah.

2. Rendahnya pemahaman masyarakat setempat tentang pentingnya pelestarian terhadap Cagar Budaya yang ada di sekitar lingkungan mereka.

Perubahan dan Ancaman Benteng Keraton Buton di Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara

62

3. Beberapa bangunan yang tergolong sumberdaya budaya, telah mengalami perubahan, renovasi tanpa disertai dengan studi kelayakan dan studi teknis terlebih dahulu. Hal ini jika terus dibiarkan akan mengakibatkan hilangnya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

4. Peran pemerintah daerah, pemerintah pusat, tokoh masyarakat, tokoh adat serta seluruh lapisan masyarakat sangat dibutuhkan perhatiannya dalam menjaga dan melestarikan Benteng Keraton Buton.

DAFTAR PUSTAKA

V. Anonim, 1983. Aspek Geografi Budaya dalam Wilayah Pembangunan Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Proyek Inventarisasi Kebudayan Daerah Depdikbud RI

................, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya

................, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep- 49/MENLH/11/1996 Tentang Baku Tingkat Getaran

................, Pusat Kajian Indonesia Timur (PUSKIT) Uni-versitas Hasanuddin. 2005. Buku Panduan

(Trail Map) Benteng Wolio (Buton). Bekerjasama dengan Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Bau-Bau.

..............., 2010. Laporan Pemintakatan (zoning) Benteng Ujungpandang, Kota Makassar. Makassar, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar.

................, 2011. Laporan Pemintakatan (zoning) Rumah Jabatan Gubernur Sulawesi Selatan, Kota Makassar. Makassar, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar.

................., Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

................, 2011. Bau-bau Dalam Angka 2011. Kerjasama antara Badan PerencanaanPembangunan Daerah dan Penanaman Modal Kota Baubau dengan Badan Pusat Statistik Kota Baubau.

Astjario dan Siregar. 2004. “Kecepatan Pengangkatan Pu-lau Buton dan Jejak Perubahan Muka Air Laut di Zaman Kuarter” dalam http://www.mgi.esdm.go.id/Artikel/tabid/92/currentpage/2/Default.aspx diakses tanggal 23 Maret 2009

Awat, Rustam. 2007. “Alternatif Pengembangan Sumberdaya Budaya di Keraton Buton, Sulawesi Tenggara”. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Bowlder, Sandra. 1984. Archaeological Significance as a Mutable Quality. Dalam Sharon Sullivan & Sandra Bowlder (ed.), Site Surveys and Significance Assessment in Australian Archaeology. Canberra: The Australian National University hlm. 1-9.

Cortesao, Armando. 1944. The Suma Oriental of

Tomé Pires: an Account of the East ,

from the Red Sea to Japan, Written in

Malacca and India in 1512-1515. Vol.1. Hakluyt Society. London: Kraus Reprint Limited.

Haliadi. 2000. “Buton Islam dan Islam Buton: Islamisasi, Kolonialisme, dan Sinkretisme Agama 1873-1938”. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Ikram, Achadiati. dkk. 2001. Katalog Naskah Buton,

Koleksi Abdul Mulku Zahari. Jakarta: Masyarakat Pernaskahan Nusantara dan Yayasan Obor Indonesia

Keputusan Walikota Nomor 105 Tahun 2003. “Penetapan Benteng Keraton Buton sebagai Kawasan Khusus Kota Bau-Bau.” Dalam Lembaran

Daerah Kota Bau-Bau Nomor 19 Tahun

2003.

Reid, Anthony. 1988. Southeast Asia in the Age of

Commerce 1450-1680. Vol. 1. The Lands

Below the Winds. New Haven and London: Yale University Press.

Said, Andi Muhammad., 2000. Pemintakatan Arkeologi: Suatu Upaya Pelestarian Gua Prasejarah Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan. Tesis, Jakarta Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Tidak Terbit.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 46-63

63

Schaafma, Curtis F. 1989. Significant Until Proven Otherwise: Problems Versus Representative Samples, dalam Henry Cleere (ed), Archaeological Heritage Management in The Modern World. London: Unwin-Hyman

Schoorl, Pim. 2003. Masyarakat, Sejarah dan

Budaya Buton. Jakarta: Penerbit Jambatan Bekerjasam dengan Perwakilan KITLV Jakarta.

Tanudirjo, Daud Aris. 2004. “Penetapan Nilai Penting dalam Pengelolaan Benda Cagar Budaya”, Makalah dalam Rapat Penyusunan Standardisasi Kriteria (Pembobotan) Bangunan Benda Cagar Budaya di Rumah Joglo Rempoa, Ciputat, Jakarta, 26 – 28 Mei 2004.

Wahidin, La Ode Muhamad Budi (dkk). 2003. Upacara Siklus Hidup (Life Cycle) Manusia dalam Kebudayaan Wolio Buton. Kerjasama Dinas Pendidikan Kota Bau-Bau, Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Bau-Bau, dan Pusat Kajian dan Konservasi Kebudayaan Buton Yayasan Budi Mulia.

Zuhdi, Susanto. 1999. “Labu Rope Labu Wana: Sejarah Bu-ton Abad XVII–XVIII”. Disertasi. Jakarta: Uni-versitas Indonesia.

Perubahan dan Ancaman Benteng Keraton Buton di Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara

64

BEBERAPA KEUNIKAN SEBAGAI LANDASAN PENETAPANOUTSTANDING UNIVERSAL VALUES (OUV)

DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KOTA LAMA SEMARANGSEBAGAI WORLD HERITAGE CITY

Eko Punto HendroFakultas Ilmu Budaya

Universitas Diponegoro Semarangemail: [email protected]

Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk mempelajari dan meneliti OUV (Outstanding Universal Values) di Kota Tua Semarang, sebagai salah satu persyaratan yang diajukan pemerintah untuk menjadikan Kota Tua Semarang sebagai warisan dunia UNESCO. Kriteria OUV menjadi contoh utama dari jenis bangunan, komposisi arsitektur atau teknologi, atau lansekap yang menggambarkan tahapan signifikan dalam sejarah manusia. Metode penelitian adalah observasi, heuristik, studi pustaka dan dijelaskan secara diskriptif.Dari peta masa lalu Semarang diketahui bahwa keberadaan Kota Tua Semarang adalah pusat kota yang berada di bawah kendali VOC, yang dikelilingi oleh pemukiman (desa) dari berbagai bangsa dan etnis. Ini terkait dengan salah satu dari 10 kriteria kriteria OUV yang ditetapkan oleh UNESCO, yang mencerminkan pertukaran nilai-nilai mulia dari manusia, dalam rentang waktu atau dalam lingkup budaya dunia, arsitektur, teknologi, seni monumental, perencanaan kota atau desain lanskap.Kata Kunci : Semarang, warisan dunia, OUV, tata kota

Abstract: This article will aim to study and examine OUV (Outstanding Universal Values) in the Semarang Old Town, as one of the requirements should the government propose the Semarang Old Town as a world heritage to UNESCO. OUV Criteria are prime examples for the type of building, the composition of architecture or technology, or landscape which illustrates significant stages in human history. The research methodology is observation, heuristic, literature study and qualitative.From the old map of Semarang past, Semarang Old Town was recognized as the city center which is under the control of VOC, surrounded by settlements (villages) of various nationalities and ethnics. It relates to one of the 10 criteria OUV criteria set by UNESCO, which reflects an exchange of the noble values of human beings, in a span of time or within the scope of world culture, the architecture, technology, monumental arts, town-planning or landscape design.Keywords : Semarang, world heritage, OUV, landscape

I. PendahuluanA. Latar Belakang

Kota Lama Semarang merupakan kawasan bekas kota tua di Semarang yang sangat unik. Permasalahannya sudah sejak lama bangunan-bangunan kuno di Kawasan Kota Lama Semarang dilindungi dengan peraturan daerah dan undang-undang tentang cagar budaya. Namun hingga kini masih banyak bangunan yang tidak terawat, rusak, bahkan ada yang roboh dengan sendirinya. Beberapa bangunan memang sudah dikonservasi dengan baik misalnya Gereja Blenduk, Gereja Gedangan dan Restoran Ikan Bakar Cianjur. Namun banyak pula bangunan yang direnovasi pemiliknya tetapi menyalahi aturan yang berlaku dengan merubah atau mengganti bagian-bagian bangunan.

Banyak kalangan yang mengharapkan Kawasan Kota Lama Semarang ini eksis sebagai kawasan konservasi, dengan bangunan-bangunan kuno yang terawat dan berfungsi dengan baik. Sebagai contoh dari hasil observasi, bahwa pemanfaatan bangunan untuk restoran Ikan Bakar Cianjur yang menyajikan menu utamanya makanan ikan bakar air tawar. Pengelola restoran ini telah merawat dan mempercantik bangunan kuno miliknya tanpa merubah bentuk aslinya, maka para pengunjung juga sangat senang dan menikmatinya, baik makanannya maupun tempatnya. Gereja Blenduk dan Gereja Gedangan, juga merupakan bangunan yang sangat kuno yang benar-benar dirawat oleh umatnya. Bangunan kuno akan sangat cantik dan unik apabila benar-benar dirawat, dan akan melebihi kecantikan bangunan yang baru.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 64-75

65

Dari urian di atas, kiranya diperlukan menangani Kota Lama Semarang melalui pengembangan konsep ataupun model konservasi kawasan, yaitu merupakan konsep penataan, pelestarian, dan pengembangan kawasan, dan tentu saja merupakan salah satu landasan budaya bagi perencanaan dan pengembangan kota, dan selanjutnya sangat potensial sebagai aset wisata dan sejarah kota (UU No. 11 Th 2010 Tentang Cagar Budaya).

Konservasi kawasan adalah suatu kegiatan yang diawali dengan penetapan kawasan sebagai kawasan cagar budaya yang terdiri dari beberapa situs, diikuti kemudian dengan kegiatan pelestarian dan pengembangan. Penetapan kawasan cagar budaya di Indonesia dapat dilakukan secara berperingkat, mulai dari peringkat kota/kabupaten, peringkat provinsi, peringkat nasional, hingga peringkat internasional, tergantung potensi dan kepentingannya. Melihat keunikan dari Kawasan Kota Lama Semarang, maka kawasan ini berpotensi ditetapkan sebagai kawasan berperingkat nasional, bahkan berperingkat internasional. Sebagai bukti, saat ini organisasi internasional bidang pendidikan dan kebudayaan dunia UNESCO memberikan peluang terhadap kawasan Kota Lama Semarang menjadi kawasan yang berstatus sebagai warisan dunia (world heritage). Hal ini ditindaklanjuti oleh Pemerintah Indonesia dengan memasukkan Kawasan Kota Lama Semarang ke dalam daftar warisan dunia (tentative list of world heritage), yang artinya diberikan waktu kepada Kota Lama Semarang untuk berbenah menata diri melakukan kegiatan konservasi secara komprehensif, untuk kemudian dapat dinominasikan sebagai Warisan Budaya Dunia dan ditetapkan melalui sidang World Heritage Commitee.

Kawasan cagar budaya di Indonesia yang belum lama ditetapkan pada tanggal 29 Juni 2012 dalam sidang ke-36 Komite Warisan Dunia UNESCO di kota Saint Peterburg, Federasi Rusia, adalah sistem Pengairan Pertanian Subak di Bali sebagai Warisan Budaya Dunia telah disetujui dan ditetapkan. Penetapan sebagai Warisan Budaya Dunia ini disambut baik oleh masyarakat dan pemerintah Bali. Sesuai dengan pengajuannya, Subak di Bali yang memiliki luas sekitar 20.000 ha terdiri atas Subak yang berada di lima kabupaten, yaitu Kabupaten Bangli, Gianyar, Badung, Buleleng, dan Tabanan. Sebelumnya, pada tahun 2006 Situs Sangiran ditetapkan sebagai Warisan Dunia Situs Manusia Purba (Arbi, 2013).

Tulisan ini akan bertujuan untuk mencari dan mencermati OUV (Outstanding Universal Values) yang ada di Kota Lama Semarang, sebagai salah satu persyaratan pemerintah mengusulkan Kota Lama Semarang sebagai warisan dunia kepada UNESCO dengan kriteria OUV menjadi contoh utama suatu tipe bangunan, gubahan arsitektur atau teknologi, atau lansekap yang menggambarkan tahapan yang penting dalam sejarah manusia. Adapun tujuan khusus penelitian ini berkenaan dengan OUV tersebut adalah :1. Mengamati beberapa bangunan yang penting dan

unik yang ada di Kota Lama Semarang dari aspek historisnya.

2. Mengamati beberapa bangunan yang unik dari aspek arsitekturnya mencakup profil, gaya dan langgam arsitektur menurut jamannya.

3. Mengamati keunikan kawasan Kota Lama sebagai satu kesatuan kawasan cagar budaya yang layak ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya berperingkat nasional dan warisan budaya dunia.

4. Mengamati lingkungan perkampungan lama yang namanya masih ada yang menunjukkan kebersamaan hidup di kota dari berbagai etnik dan profesi kota praindustri

5. Merekomendasikan beberapa prinsip pelestariannya sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dan kriteria OUV yang ditetapkan UNESCO.

Hal penting yang harus dilakukan untuk pengusulan kepada UNESCO untuk menetapkan suatu situs atau kawasan sebagai warisan dunia adalah adanya “Outstanding Universal Values” (OUV), berdasarkan ”the Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage 1972”.

Lebih dari 200 kota-kota tua telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai world heritage city, sayangnya belum ada satupun yang ada di Indonesia. Dalam kesempatan ini Pemerintah Indonesia akan mengusulkan kepada UNESCO untuk nominasi sebagai Warisan Budaya Dunia yaitu kepada tiga kota tua yang ada di Indonesia, Kota Tua Jakarta, Kota Tua Sawah Lunto, dan Kota Lama Semarang yang sebelumnya telah dimasukkan ke dalam tentative list of world heritage. Artinya ketiga kota tua ini didorong untuk berbenah diri di bidang konservasi dan menonjolkan OUV yang merujuk pada ketentuan-

Beberapa Keunikan Sebagai Landasan Penetapan Outstanding Universal Values (Ouv) Dalam Rangka Mewujudkan Kota Lama Semarang Sebagai World Heritage City

66

ketentuan internasional. Dari uraian di atas maka tulisan ini berfokus

untuk mencari, mencermati dan mengkaji OUV yang ada di Kota Lama Semarang sesuai kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh UNESCO, mencakup aspek-aspek keunikan dan keistimewaan serta model pelestarian yang dilakukan.

B. Metode PenelitianHeuristik merupakan salah satu metode utama

yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu mengumpulkan sumber-sumber primer yang berupa pengumpulan peta-peta kuno dan yang lainnya yang berupa berita surat kabar sebagai sumber sejarah. Di samping itu tentu saja dilakukan observasi untuk mengetahui keberadaan dan kondisi bangunan maupun artefak di Kota Lama Semarang. Kemudian studi pustaka juga dilakukan untuk memperoleh data-data sekunder, yang berupa tulisan sejenis, teori maupun data-data yang diperlukan. Baik data dari sumber primer maupun sekunder diklasifikasikan dan dihubung-hubungkan satu dengan yang lainnya sebagai bagian dari analisis untuk mencapai kesimpulan.

II. PembahasanA. Aspek Historis

Bukti yang mengawali Kota Lama Semarang adalah adanya loji (benteng) VOC di Semarang terlihat pada Peta PAAN van het Fort en Omleggende Cituatie van Samarang yang menggambarkan situasi Semarang tahun 1695. Loji digambarkan terletak di seberang Timur Kali Semarang. Di sebelah Barat loji, di seberang sungai terdapat Negorij (kampung Melayu sekarang) yang dikelilingi oleh persawahan. Dari arah loji terdapat jalur jalan ke arah Timur (Demak) dan ke Selatan (Kartasura).

Pada pertengahan abad ke-18, benteng Semarang ini dirobohkan diganti dengan banteng kota lama untuk menampung penduduk yang lebih besar. Setelah Kompeni menerima penyerahan Semarang dari Kerajaan Mataram di Yogyakarta pada tahun 1753, nampaknya tekad mereka untuk mengembangkan Semarang menjadi kota besar cukup kuat. Tekad Kompeni untuk mengembangkan Kota Lama terlihat pada peta Plan of Platte Grond van Samarang met het Dies Environs op een Afstand. Inti dari perencanaan disini adalah untuk memperluas loji yang dirasakan semakin sempit. Sayangnya peta ini tidak

mencantumkan angka tahun, sehingga tidak diketahui dengan pasti kapan peta dibuat. Namun jika melihat bahwa de Javanesche Tempel sudah berada di Kauman

dan Stadhuis masih berada di Kota Lama, berarti peta itu dibuat akhyir abad ke-18.

Dalam peta terlihat bahwa pembangunan Kota Lama dilakukan dengan memotong bangunan loji, sehingga tinggal bastion di sebelah Barat dan Utara yang letaknya ada di tepi Kali Semarang. Mengingat pembangunan Kota Lama adalah merupakan perluasan dari loji, maka dibangun pula tembok pengaman mengelilingi kompleks pemukiman baru itu. Untuk hubungan ke luar, di sini terdapat tiga pintu gerbang besar, dan beberapa gerbang kecil yaitu :

Ketiga gerbang besar adalah :a. De Wester Port (pintu gerbang Barat atau

Gouvernementspoort) yang berlokasi di Gouvernement Burg atau dikenal dengan Jembatan Berok

Gambar 1. Peta Kuno Kota Semarang, PAAN van het Fort en Omleggende Cituatie van Samarangh, di sana tampak

Benteng VOC (Loji)(Sumber : Bromer dkk, 1995: 4.)

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 64-75

67

b. De Zuiders Port (pintu gerbang Selatan), berlokasi di sekitar jalan lintas trem, di dekat mulut Jalan Pekojan dan Jalan H. Agus Salim.

c. De Oosters Port (pintu gerbang Timur), berlokasi di ujung Timur Heerenstraat (sekarang persimpangan Jalan Raden Patah dan Jalan MT. Haryono). Enam gerbang kecil atau pos keamanan yaitu :

1. De Hersteller, berlokasi di Jalan Ronggowarsito dan Jalan Pengapon.

2. Ceylon, berlokasi di halaman Gereja Gedangan.

3. Amsterdam, berlokasi di Jalan H. Agus Salim.

4. De Lier, berlokasi di kompleks Kantor Posa lama.

5. De Smits, berlokasi di Boom lama.6. De Zee, berlokasi di Boom lama (DPU

Cipta Karya, 1993).Di dalam tembok Kota Lama itulah

Kompeni membangun sejumlah gedung dan fasilitas perkantoran, paradeplein, stadhuis, ziekenhuis, gevangenis, kazerne, gudang peluru, dan berbagai kantor publik yang lain.

Untuk jalan yang lain, tempat gedung komedi berada disebut Komediestraat (sekarang Jalan Cenderawasih), jalan yang banyak burung layang-layangnya dinamakan Zwaluwstraat (sekarang Jalan Branjangan). Sementara untuk jalan yang ada kebun bunganya disebut Bloemenstraat (sekarang Jalan Kedasih). Toponim lain adalah terkait dengan nama tokoh seperti Van den Burgstraat (sekarang Jalan Perkutut) dan Hoogendorpstraat (sekarang Jalan Kepodang)(Priyanto, 2000).

Dalam pengembangan Kota Lama nampaknya Belanda lebih berorientasi pada nama jalan. Pemberian nama-nama jalan di Kota Lama ini terkesan improvitatif dan lebih menekankan pada aspek fungsional. Nampaknya Parade Plein (sekarang taman dekat Gereja Blendhuk) waktu itu menjadi sentrum, dan Heerenstraat (sekarang Jl. Letjen Soeprapto) merupakan jalur utama di kawasan tersebut.

Untuk jalan di tepi tembok keliling diberi nama sesuai lokasinya, misalnya untuk jalan di tembok Barat disebut Westerwalstraat (Jalan Mpu Tantular),

jalan di tembok Utara dinamakan Noorderwalstraat (Jalan Merak), jalan di tembok Timur dinamakan Oosterwalstraat (Jalan Cenderawasih) dan untuk jalan di tembok Selatan disebut Zuiderwalstraat (Jalan Sendowo).

Yang menarik ialah adanya jalan yang diberi nama Kortademstraat, yang artinya nafas pendek. Dinamakan demikian karena ternyata di sini adalah tempat untuk mengeksekusi tawanan (sekarang Jalan Meliwis). Jalan yang lain adalah Konijnenstraat (Jalan Cenderawasih). Jalan yang lain ialah Hoofdwachtstraat, karena di sini ditempatkan markas pasukan pengawal (sekarang Jalan Kutilang), jalan untuk gudang perbekalan dan amunisi disebut Pakhuisstraat. Fasilitas yang lain ialah rumah sakit di Noorderwalstraat, sementara di sisi timur terdapat Artileriewerkplaats dan di dekat pintu gerbang selain pos penjagaan, juga terdapat bangunan panti sosial. Bangunan yang lain adalah Landraad dan Raad van Justitie.

Pada tahun 1782 rumah sakit dipindah agak ke Timur dan bekas gedungnya kemudian dipakai untuk Sekolah Pelayaran (Marineschool). Oleh sebab itu jalannya lalu diberi nama Marinestraat (sekarang Jalan Merpati). Ketika pada tahun 1794 dibangun Gereja Blenduk, jalan di belakangnya lalu diberi nama Achterkerkstraat, yang artinya jalan belakang gereja (sekarang Jalan Garuda). Tahun 1797 dibangun jalan tembus dari Pecinan ke Kota Lama. Karena jalan itu menuju gereja, orang lalu menamakannya Kerkstraat (sekarang Jalan Suari). Untuk jalan yang menuju makam orang menyebutnya Kerkhofstraat (sekarang Jalan Perkutut), sedangkan untuk jalan ke arah pantai berpasir disebut Zeestrand (sekarang Jalan Mpu Tantular) (Priyanto, 2000).

Beberapa Keunikan Sebagai Landasan Penetapan Outstanding Universal Values (Ouv) Dalam Rangka Mewujudkan Kota Lama Semarang Sebagai World Heritage City

68

Gambar 2. Peta Kuno Kota Semarang, Plan of Platte Grond van Semarang(Sumber : Bromer dkk, 1995: 15.)

Sejalan dengan rencana pertahanan terhadap serangan Inggris, maka Gupernur Jenderal Daendels pada awal abad ke-19 di Jawa membangun Jalan Pos Anyer-Penarukan. Di Semarang jalan ini melewati Bojong, menembus Kota Lama terus ke Timur jurusan Demak/Jepara. Untuk pembuatan jalan pos itu, sebagian

tembok Kota Lama terpaksa di korbankan. Namun pada tahun 1811 pemerintah Hindia Belanda terpaksa melepaskan Jawa karena kalah berperang melawan Inggris (Djoenoed, 1984).

Memasuki tahun 1900 perkembangan Semarang jelas mengarah ke kota metropolitan dengan

Keterangan :A. Pembagian Kota Semarang dalam blok-blokB. Kampung Cina terletak di sebelah selatan Kota Lama, di tepi barat Kali SemarangC. Kampung Arab, terletak di bekas Kampung Cina, di sebelah timur K. Semarang, di tenggara Kota LamaD. Kampung Melayu, di sebelah barat Kali Semarang, di sebelah utara Kota LamaE. Kampung Bugis, terletak di sebelah utara bastion/pos HerstellerF. Kampung Pedamarang, di sebelah utara Kampung Cina, di sebelah selatan tembok Kota Lama, di tepi barat Kali

SemarangG. Pasar, ada 4 lokasi, satu pasar di ujung tenggara barak militer di sebelah selatan benteng Kota Lama, di sebelah

timur Kali Semarang. Tiga pasar yang lainnya di sebelah barat Kali Semarang, pertama di sebelah barat bastion/pos de Ijzer, kedua di utara Kampung Melayu, ketiga di sebalah barat Kampung Pedamarang.

H. Batas dari Gerbang Tol, terletak di sebelah tepi barat Kali Semarang, di utara benteng Kota LamaI. Taman Bojong, terletak di ujung Jalan Bojong, sebelah selatan Simpang LimaK. Sekolah Militer, terletak di sebelah barat Jembatan BerokL. Dalem, tempat kediaman Bupati Semarang, terletak di sebelah barat Kali Semarang, di sebelah barat Kampung

Pedamarang, di sebelah barat pasarM. Barat Artileri, terletak di Parade Plein, di sebelah utara Gereja BlendhukN. Taman Gereja, terletak di sebelah utara Gereja BlendhukO. Taman Balai Kota, terletak di sebelah timur Gereja BlendhukP. Lapangan Tiang Bendera, terletak di sebelah timur Kali Semarang, di sebelah barat bastion/pos de Zee dan bastion/

pos de Smits, di bekas lokasi Benteng VijhoekQ. Kuburan Eropa, di sebelah timur Kali Semarang, di timur laut benteng Kota LamaR. Barak militer dan kandang kuda, terletak dei sisi timur Kali Semarang, di sebelah selatan benteng Kota LamaS. Gudang-gudang milik pemerintah, terletak di dalam benteng kota, di antara bastion de Smits dan bastion de ZeeT. Masjid, terletak di sisi barat Kali Semarang, di sebelah selatan benteng Kota Lama

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 64-75

69

heterogenitas penduduknya yang cukup kompleks. Pelapisan sosial terjadi bukan antar etnik, bahkan secara internal pada masing-masing etnik stratifikasinya juga berjalan tajam. Kira-kira pada tahun 1900 wanita Eropa mulai berdatangan ke Jawa dan sejak itu masyarakat Eropapun tumbuh secara eksklusif. Mereka

Gambar 3. Peta Kota Lama Semarang di akhir Masa Kolonial dioverlaykan dengan Peta Google kondisi saat iniSumber :Bromer dkk, 1995Riyanto, Sugeng, 2011

 

 

 

 

mengembangkan solidaritas baru dan menuntut otonomi terhadap pemerintah Hindia Belanda. Hindia Belanda tidak lagi menjadi tempat pelarian bagi kelas bawah, tetapi sebaliknya diisi oleh anak-anak golongan menengah keluarga Eropa yang berpendidikan baik.

B. Kota Pusaka Warisan DuniaKota Pusaka Warisan Dunia merupakan kota

yang ditetapkan UNESCO yang memiliki Outstanding Universal Value (OUV) berdasarkan ”the Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage 1972”, yaitu :

• Merupakan konvensi yang menyediakan kerjasama internasional dalam melestarikan dan melindungi pusaka warisan budaya dan alam seluruh dunia.

• Pusaka warisan dunia didaftar UNESCO berdasar proteksi legal yang kuat dari masing-masing pemerintah negara dimana pusaka itu ada.

• Diputuskan dalam Sidang Umum United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) Paris, 17/10 – 21/11 1972, sesi ke-17. Banyak pihak menyatakan konvensi ini merupakan salah satu produk terbaik yang dikeluarkan UNESCO. (UNESCO, 2005)

Untuk menominasikan dan penetapan Kota Lama Semarang sebagai Kota Pusaka Warisan Dunia (The World heritage city) oleh UNESCO, kota tersebut perlu menyandang 1 (satu) atau lebih dari 10 kriteria nilai-nilai universal luar biasa (OUV) yang dikeluarkan UNESCO, antara lain (Operational Guidelines for the Implementation of the World Heritage Convention, 2012) :1. Merupakan mahakarya kecerdasan kreatif manusia 2. Menampilkan pertukaran nilai-nilai luhur manusia,

dalam rentang waktu atau dalam lingkup budaya dunia, dalam arsitektur, teknologi, seni monumental, perencanaan kota atau rancangan lansekap;

3. Menyandang peran sebagai jejak yang unik atau istimewa dari suatu tradisi budaya atau peradaban baik yang sudah lenyap maupun yang masih ada;

4. Menjadi contoh utama suatu tipe bangunan, gubahan arsitektur atau teknologi, atau lansekap yang menggambarkan babakan yang penting dalam sejarah manusia

Beberapa Keunikan Sebagai Landasan Penetapan Outstanding Universal Values (Ouv) Dalam Rangka Mewujudkan Kota Lama Semarang Sebagai World Heritage City

70

5. Menjadi contoh sebuah pemukiman tradisional manusia, penggunaan lahan, atau laut yang merepresentasikan suatu kebudayaan, atau interaksi manusia dengan lingkungan terutama ketika telah menjadi rentan di bawah dampak perubahan

6. Berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan, dengan kepercayaan, dengan karya seni dan sastra yang memiliki nilai penting universal yang menonjol;

7. Merupakan fenomena alam yang luar biasa atau kawasan dengan keindahan alam serta estetika yang luar biasa dan penting;

8. Merupakan contoh yang luar biasa yang mewakili tahapan utama sejarah perkembangan bumi, termasuk catatan kehidupan, proses geologi signifikan yang sedang berlangsung dalam pengembangan bentang alam, atau geomorfik yang signifikan atau fitur fisiografi lainnya;

9. Merupakan contoh yang luar biasa mewakili proses ekologis dan biologis yang signifikan yang sedang berlangsung dalam evolusi dan pengembangan darat, air tawar, ekosistem pesisir dan laut dan komunitas tumbuhan dan hewan;

10. Mengandung habitat alam yang paling penting dan signifikan untuk konservasi in-situ keanekaragaman hayati, termasuk spesies terancam yang mengandung nilai universal luar biasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan atau pelestarian.

Untuk dapat disebut memiliki nilai universal yang unggul atau menonjol, suatu objek pusaka harus memenuhi syarat integritas atau ke-otentikan dan harus memiliki sistem perlindungan dan pengelolaan untuk menjamin kelestariannya di masa datang. Integritas ditunjukkan melalui :• Adanya semua elemen yang diperlukan untuk

mengungkapkan nilai universal yang unggul • Adanya ukuran yang memadai untuk menjamin

tampilnya secara utuh ciri-ciri dan proses yang menunjukkan nilai pentingnya

• adanya pelindungan terhadap efek negatif pembangunan atau pengabaian

Adapun keaslian/keotentikan pusaka ditunjukkan melalui • bentuk dan rancangan, • bahan dan substansi, guna dan fungsi,

• tradisi, teknik dan sistem pengelolaan • lokasi dan setting • bahasa dan bentuk warisan budaya tak bendawi

lainnya • semangat dan perasaan • faktor internal dan eksternal lainnya

Pelindungan dan pengelolaan ditunjukkan melalui:• Kondisi pusaka yang baik • Dampak penurunan kondisi terkendali • Proporsi tertentu pusaka menampilkan totalitas nilai

yang terungkap • Hubungan dengan fungsi lingkungan yang dinamis

yang penting bagi karakter utama objek tersebut haruslah terjaga

Sebagai pertimbangan lain yang cukup penting dalam rangka penetapan :• Indonesia belum memiliki kota yang menyandang

predikat Kota Pusaka Dunia yang ditetapkan UNESCO.

• Kota Surakarta merupakan satu-satu kota di Indonesia yang menjadi anggota Organization of the World Historic Cities

• Kota Yogyakarta satu-satunya kota di Indonesia yang menjadi anggota the League of The World Historic Cities yang berkedudukan di Kyoto.

OUV (Outsanding Universal Values) merupakan salah satu kriteria penilaian yang digunakan UNESCO untuk penetapan warisan dunia. Agar menyandang warisan dunia suatu pusaka harus memenuhi syarat integritas dan/atau keotentikan serta sistem pelindungan (konservasi) dan pengelolaan untuk menjamin kelestariannya.

C. Aspek ArsitekturalPerkembangan Kota Lama Semarang sejak

kemunculannya di masa lampau hingga sekarang, sebenarnya juga menunjukkan perkembangan gaya arsitektur seperti di Eropa. Pada akhir abad ke-17 ketika VOC datang di Semarang, mereka membangun Benteng De Vijhoek (loji) sebagai tempat tinggal dan bertahan orang-orang asing tersebut. Selama hampir seratus tahun VOC bertahan di Kota Semarang, kemudian benteng tersebut dirobohkan dan diperluas menjadi tembok Kota Lama Semarang pada akhir abad ke-17. Namun demikian pertengahan abad ke-18 benteng Kota Lama akhirnya juga dirobohkan, sebab tidak lagi dapat menampung pemukiman penduduk, dan akhirnya Kota Lama Semarang tumbuh berkembang tanpa tembok kota hingga awal abad ke-19.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 64-75

71

Seperti di Eropa, arsitektur benteng mengawali gaya arsitektur kota lama yang kemudian dilanjutkan dengan munculnya gaya arsitektur neo-klasik seperti yang berkembang di Eropa pada abad ke-18-19. Pada pertengahan abad ke-18 di Eropa dikenal sebuah gerakan arsitektur yang disebut arsitektur neo-klasik dan eklektis, sebagai dampak dari kejenuhan akan ornamen, maka pada periode ini arsitektur dikembalikan pada kodratnya seperti pada masa sebelum periode romantik. Gaya ini merupakan gaya anti rokoko yang dapat ditemukan pada beberapa gaya arsitektur Eropa, contohnya pada arsitektur Palladian di Georgia, Inggris, juga di Paris, Berlin, dan Roma (Sumalyo, 2005).

Perkembangan arsitektur di Eropa dan dunia internasional dari akhir abad ke-18 yang didominasi oleh gaya neo-klasik dan selama abad ke-19 yang tumbuh gaya modernisme, merupakan suatu pergerakan yang signifikan dalam bidang arsitektur barat. Di sini mulai tampak adanya kejenuhan akan gaya-gaya klasik, karena pada masa-masa sebelumnya arsitektur hanya dianggap sebagai suatu bentuk dari seni dan perasaan. Namun kemudian terjadi suatu revolusi yang dikenal dengan revolusi industri di Inggris yang memulai dunia dengan era baru yaitu era pabrikasi. Di samping itu, perkembangan politik di Eropa berdasarkan konvensi Wina (1815) juga telah membentuk banyak negara kerajaan baru di sana. Dalam hal ini para arsitek mendapat peluang untuk membangun istana, gereja, perlemen, museum, universitas, perpustakaan, gedung konser, gedung opera, green house, yang kebanyakan diciptakannya dengan kecenderungan menerapkan gaya klasikisme, meskipun secara konstruksi menerapkan bahan bangunan hasil industri. Arsitektur Eropa pada abad itu bersifat eklektik dengan banyak bangunan elitnya yang terjebak dalam gaya dari masa lalu yang disebut neo-klasikisme itu (Sumalyo, 2005: 60-65).

Arsitektur pada era neo-klasik tersebar di berbagai benua dengan ciri khas dari masing-masing negara induk di Eropa yang sedang berdaulat. Di Indonesia, arsitektur gaya ini dibawa oleh orang-orang Belanda yang ketika itu berkuasa. Mereka merasa berkepentingan untuk membuat bangunan-bangunan sebagai fasilitas penunjang kegiatan mereka selama di Indonesia. Oleh karena itu, arsitektur klasik maupun neo-klasik yang diterapkan pada bangunan tersebut adalah masih mengikuti gaya arsitektur atau langgam yang sedang berlaku di negara asalnya. Gaya

arsitektur ini biasanya diterapkan pada bangunan yang bersifat pemerintahan, sebab pada masa itu mereka mulai menguasai dan memonopoli perdagangan di Indonesia. Di samping itu mereka juga ingin memiliki kekuasaan atas kewilayahan di Indonesia, dan kemudian mereka merasa perlu juga untuk membuat suatu pemerintahan sebagai landasan yang kuat untuk menguasai suatu wilayah. Namun seiring dengan proses adaptasi dan interaksi dengan masyarakat pribumi, maka semakin beragam pula bangunan yang dibuat dengan aneka ragam bentuk dan fungsinya (Sumalyo, 2005: 60-65).

Gaya neo klasik ini di Indonesia sering juga disebut dengan ‘gaya imperium’, karena dimanfaatkan untuk melegitimasi kekuasaan kolonial itu sendiri. Di Eropa gaya ini lahir karena dilatari oleh munculnya banyak kerajaan pada abad ke-18. Penggunaan gaya ini di Indonesia diawali pada masa Gubernur Jenderal Masekal Herman Willem Daendels (1808-1811) yang pertama kali memperkenalkan gaya imperium ini untuk menandai pembentukan negara kolonial di Hindia Belanda, mengikuti ciri arsitektur yang sama di Berlin, Washington DC, dan di kotanya sendiri Paris. Gaya ini memperlihatkan keteraturan, karena memang didasarkan pada sebuah sistem yang jelas. Tidak ada yang lebih sempurna untuk menggambarkan sebuah pemerintah yang menginginkan kebijakan serba tegas dan penampilan monumental. Dapat dikatakan bahwa penampilan monumental dan kesan penting yang diemban bangunan pemerintahan dalam keseluruhan tata letak kota menjadikan gaya imperium sebagai simbol kewibawaan, keteraturan dan kemakmuran (Kusno, 2009: 169-186). Gereja Blenduk dan beberapa bangunan di kota lama yang dibangun pada abad ke-19 menunjukkan gaya neo-klasik yang dibangun di kota lama.

Di dalam perencanaan yang lebih detail, elemen-elemen kota yang berbentuk bangunan memiliki bentuk arsitektur bernilai simbolik dan estetik yang juga tidak akan lepas dari struktur sosial maupun budaya masyarakat. Seperti dikatakan oleh Peter Nas (1993: 14-16), bahwa nilai simbolik akan dapat berfungsi (function of symbols) sebagai media komunikasi kelompok (masyarakat), untuk legitimasi kepemimpinan (leadership) dan untuk mengontrol masyarakat. Simbol juga mempunyai suatu emanasi estetik dan mempunyai kekuatan yang berpengaruh bagi masyarakat. Aspek dinamika simbol (the

Beberapa Keunikan Sebagai Landasan Penetapan Outstanding Universal Values (Ouv) Dalam Rangka Mewujudkan Kota Lama Semarang Sebagai World Heritage City

72

dynamics of symbols) tercermin di dalam arsitektur bangunan kolonial moderen yang lebih banyak menggunakan gaya art deco di Indonesia pada awal abad ke-20.

Art deco adalah gaya hias yang lahir setelah Perang Dunia I dan berakhir sebelum Perang Dunia II dan banyak diterapkan dalam berbagai bidang, misalnya eksterior, interior, mebel, patung, poster, pakaian, perhiasan dan lain-lain dari 1920 hingga 1939, yang mempengaruhi seni dekoratif seperti arsitektur, desain interior, dan desain industri, maupun seni visual seperti misalnya fesyen, lukisan, seni grafis, dan film. Gerakan ini dalam pengertian tertentu adalah gabungan dari berbagai gaya dan gerakan pada awal abad ke-20, termasuk konstruksionisme, kubisme, modernisme, bauhaus, art nouveau, dan futurisme, bahkan neo-klasik. Meskipun banyak gerakan desain mempunyai akar atau maksud politik atau filsafat, art deco murni bersifat dekoratif, dan pada masa itu gaya ini dianggap anggun, fungsional, dan ultra moderntertidur (Sumalyo, 2005: 132-174).

Art deco merepresentasikan modernisasi dunia yang begitu cepat. Ketika gaya ini sudah menyebar luas dan sudah ada di dunia ‘’fashion’’ di Amerika dan Eropa, kata - kata “Art Deco” sendiri sebenarnya tidak dikenal, tetapi lebih dikenal sebagai gaya modernistik atau 1925 style sering menjadi sebutannya. Kata art deco sendiri mulai muncul dari tahun 1925 di sebuah konferensi l’ Exposition Internationale des Arts Decoratifs Industriels et Modernes yang diadakan di Paris, Perancis.Kata art deco termasuk terminologi yang baru pada saat itu, diperkenalkan pertama kali pada tahun 1966 dalam sebuah katalog yang diterbitkan oleh Musée des Arts Decoratifs di Paris yang pada saat itu sedang mengadakan pameran dengan tema “Les Années 25”. Pameran itu bertujuan meninjau kembali pameran internasional l’ Expositioan Internationale des Arts Décoratifs Industriels et Modernes. Sejak saat itu nama art deco dipakai untuk menamai seni yang saat itu sedang populer dan modern. Munculnya terminologi itu pada beberapa artikel semakin membuat nama art deco eksis. Art deco semakin mendapat tempat dalam dunia seni dengan dipublikasikannya buku “Art Deco” karangan Bevis Hillier di Amerika pada tahun 1969.

Dalam perjalanannya art deco dipengaruhi oleh berbagai macam aliran modern, juga mengambil ide-ide desain kuno misalnya dari Mesir, Siria dan Persia. Meskipun art deco terlihat seperti ultra modern, sebenarnya

dapat ditelaah kembali ke zaman kuburan Mesir kuno. Secara khusus, penemuan kubur Raja Tut pada tahun 1920 membuka pintu lebar terhadap gaya ini. Garis yang tegas, warna-warna yang kuat dan fitur-fitur arsitektural yang berbentuk zig-zag ditambahkan ke dalam objek-objek yang diletakkan di dalam kubur untuk menghibur dan mencerahkan raja yang sedang tertidur (Sumalyo, 2005: 132-174).

Aspek-aspek simbolik yang dapat dimaknai dari bangunan-bangunan kolonial abad ke-20 yang umumnya bergaya art deco sudah menunjukkan kebebasan berekspresi dari para perancangnya, yang tidak lagi terkekang oleh politik-etnosentris Eropa. Aspek-aspek lokal baik lingkungan maupun budaya juga telah diakomodasi, sejalan dengan politik etis maupun politik desentralisasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial pada masa itu. Oleh karena itu, simbol-simbol dalam arsitektur tidak lagi untuk melegitimasi rezim, tetapi lebih berdomain seni-budaya. Artinya mitos-mitos politik-ideologis tidak lagi mendominasi dalam tataran pemaknaan, seperti yang terjadi pada abad ke-19, tetapi cenderung turun dari tingkatan mitos ke tingkatan konotasi dan estetis. Di samping bangunan yang bergaya arsitektur art deco, pada masa ini muncul pula gaya bangunan Indo-Belanda, yang sering pula disebut bangunan indis (Soekiman, 1996).

Menurut Charles Prosper Wolff Schoemaker, guru besar arsitektur Technische Hogeschool Bandoeng (ITB) tahun 1924-1938, ciri bangunan berlanggam arsitektur Indo-Eropa (indis) ini relatif mudah dikenali. Sosok bangunan umumnya simetris, memiliki ritme vertikal dan horizontal relatif sama kuat. Konstruksi bangunan disesuaikan dengan iklim tropis, terutama pada pengaturan ruang, pemasukan pencahayaan sinar matahari, dan perlindungan terhadap curah hujan. Pencarian bentuk arsitektur yang responsif terhadap kondisi iklim dan geografis setempat inilah yang membawa pada seni bangunan baru, yakni Arsitektur Indis (Sumalyo, 1993: 69-108).

Di Kota Lama Semarang, bangunan benteng saat ini memang sudah tidak ada lagi karena sudah dirobohkan, tinggal fondasi-fondasinya saja yang kini sedang ditelusuri kembali oleh Balai Arkeologi Yogyakarta. Namun bangunan-bangunan yang berciri neo-klasik dari abad ke-19 dan berciri art deco dari abad ke-20 ditemukan di kota lama. Gereja Blenduk mewakili

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 64-75

73

gaya neo-klasik abad ke-19, sedangkan Restoran Ikan Bakar Cianjur dan Gereja Gedangan mewakili gaya art-deco abad ke-20. Hal ini menunjukkan cukup lama Pemerintah Kolonial Belanda ada di Indonesia, Semarang khususnya, maka tahapan perkembangan arsitektur Eropa ada di kota lama, dan Kota Lama Semarang ini sering mendapat julukan “Little Amsterdam”. Kota Amsterdam sendiri sekarang sudah masuk sebagai world heritage city, semoga demikian halnya Kota Lama Semarang. Keunikan sejarah kawasan dan arsitektur Kota Lama Semarang ini memang memiliki nilai-nilai universal luar biasa (OUV), namun tentu yang lebih dipentingkan dalam mewujudkan Kota Lama Semarang sebagai world heritage city adalah kemauan berbagai pihak untuk melakukan pelestarian, perlindungan dan pengelolaan yang baik.

Dari peta-peta Semarang kuno yang dapat diamati dan juga fenomena-fenomena yang masih tersisa

Keterangan : • Benteng VOC, terletak di sebelah timur

Kali Semarang, dengan lima bastion. • Pasar, terletak di tenggara Benteng VOC,

di sebelah timur Kali Semarang • Taman, terletak di sebelah timur

Kampung Cina • Kanal Kaligawe, di sebelah utara benteng • Dalem, di sebelah barat K. Semarang, di

sebelah selatan benteng • Kampung Cina, di sebelah timur K.

Semarang, di sebelah tenggara benteng • Pemukiman Eropa, di sebelah tenggara

benteng, di utara Kampung Cina • Kampung Melayu, terletak di tepi timur

dan barat Kali Semarang, di sebelah barat laut benteng

• Garis pantai pada tahun 1695 • Gerbang Tol lalu lintas air, di sebelah

barat Kali Semarang, di utara benteng • Jalan menuju Mataram, melewati

Kampung Cina dan Kampung Jawa ke selatan

• Tobong kapur, di sebelah barat K. Semarang, di utara gerbang tol

• Masjid, di sebelah barat laut Dalem • Klenteng Cina, di sudut tenggara

Kampung Cina • Gala • Kampung Jawa, terletak di pertemuan

Kali Semarang, Kali Kripik dan Kali Kreo, tepatnya di sebelah selatan Kampung Cina, di sebelah tenggara Dalem

• Paseban, di timur laut Dalem

Gambar 4. Peta Kota Lama Semarang Tahun 1719Sumber : Bappeda Semarang, 2011

di sekitar kota lama menunjukkan adanya perkampungan-perkampungan penduduk Kota Semarang tempo dulu saat-saat Semarang masih berbentuk kota pra industri (Sjoberg, 1960). Saat itu penduduk Kota Semarang tinggal secara berkelompok antara lain menurut profesi, jabatan, etnik, dan agamanya, dalam perkampungan antara lain di Kampung Kauman, Kampung Batik, Kampung Pecinan dan Kampung Arab. Ini menunjukkan salah satu kriteria OUV nomor 2 yang ditetapkan oleh UNESCO yaitu adanya pertukaran nilai-nilai luhur manusia, dalam rentang waktu atau dalam lingkup budaya dunia, dalam arsitektur, teknologi, seni monumental, perencanaan kota atau rancangan lansekap. Khususnya aspek etnisitas ini menjadi hal yang sangat menarik karena di Kota Semarang tempo dulu telah terjadi integrasi antar etnik dan antar bangsa yang terwadahi dalam satu kota.

Beberapa Keunikan Sebagai Landasan Penetapan Outstanding Universal Values (Ouv) Dalam Rangka Mewujudkan Kota Lama Semarang Sebagai World Heritage City

74

Oleh karena itu, dalam rangka memunculkan OUV di Kawasan Kota Lama Semarang, peninggalan-peninggalan sejarah dan budaya baik yang bersifat tangible maupun intangible di kawasan ini harus dikonservasi dan dikembangkan dengan baik dan sedapat mungkin harus dihidupkan lagi untuk mewujudkan adanya pertukaran nilai luhur dan integrasi etnik. Sejak beberapa tahun ini, Pemerintah Kota Semarang sudah menghidupkan lagi industri kerajinan batik Kampung Batik, dan Komunitas Cina juga membangun Pasar Semawis di Kampung Pecinan yang sangat ramai saat hari suci Imlek. Di pusat kota lama, pemerintah kota juga sudah mulai serius mengelola kawasan ini dengan melakukan konservasi kawasan dan bangunannya, serta mengadakan event-event khusus pada waktu-waktu tertentu. Masyarakat juga sudah mulai ikut berperan dengan mambangun restoran dan kafe-kafe, serta berjalan cindera mata yang antik. Kegiatan pariwisata dapat menjadi media untuk membangun citra kawasan ini, walaupun nantinya akan membesar saat kawasan ini sudah menjadi warisan dunia.

Kota Penang dan Georgetown di Malaysia dapat menjadi perbandingan, sebab kota ini telah menjadi kota warisan budaya dunia sejak tahun 2008. Kota ini juga berisi bangunan-bangunan tua milik pemerintah kolonial yang dikelilingi oleh pemukiman penduduk dari beberapa etnik, seperti etnik melayu, etnik cina dan etnik India. Keunikan ini merupakan dianggap sebagai OUV, sebagai landasan pokok UNESCO menetapkan kawasan ini sebagai warisan budaya dunia. Akhirnya saat kawasan kota tua di Malaysia ini juga menjadi pusat kegiatan pariwisata di sana, sebab pemerintah Malaysia dan masyarakat benar-benar serius untuk menampilkan keunikan sejarah dan budaya kawasan yang kemudian menjadi OUV itu (Omar, Shida Irwana, 2013: 88-96).

III. KesimpulanDari uraian di atas dapat dikemukakan beberapa

hal sebagai kesimpulan :1. Saat ini Kota Lama Semarang sudah masuk ke dalam

daftar warisan dunia oleh UNESCO (tentative list of world heritage), yang artinya mempunyai kesempatan untuk berbenah diri sebaik-baiknya untuk kemudian apabila sukses akan dinominasikan sebagai warisan budaya dunia sebagai khususnya world heritage city.

2. Di samping aspek manajemen terhadap warisan sejarah di Kota Semarang ini sebagai syarat penetapan warisan dunia, maka adanya OUV (Outstanding Universal Values) juga menjadi syarat penetapan itu. Minimal satu dari 10 kriteria OUV yang ditetapkan oleh UNESCO, dalam hal ini Kota Lama Semarang dapat menjadi contoh utama suatu tipe bangunan, gubahan arsitektur atau teknologi, atau lansekap yang menggambarkan babakan yang penting dalam sejarah manusia.

3. Di samping itu Kota Lama Semarang juga menampilkan pertukaran nilai-nilai luhur manusia, dalam rentang waktu atau dalam lingkup budaya dunia, dalam arsitektur, teknologi, seni monumental, perencanaan kota atau rancangan lansekap. Hal ini tampak dari bersatunya banyak perkampungan etnik di kawasan sekitar Kota Lama Semarang yang menunjukkan adanya persatuan antar etnik dan antar bangsa di bawah pemerintahan VOC.

4. Apabila Kota Lama Semarang dapat meraih penghargaan world heritage city dari UNESCO, tentu merupakan perolehan penghargaan yang sangat membanggakan, sebab Jawa Tengah memperoleh satu lagi penghargaan dunia ini di samping yang sudah ada yaitu Candi Borobudur, Candi Prambanan, Situs Manusia Purba Sangiran, serta Wayang, Batik, dan Keris.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 64-75

75

Daftar Pustaka

Arbi, Yunus, 2013, Pengelolaan Lansekap Budaya “Subak” Bali, Makalah dari Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Bappeda Kodya Dati II Semarang, 1977, Program Penentuan Hari Jadi Kota Semarang

Bromer, dkk, 1995, Semarang Beeld van een Stad, Netherlands :Asia Major, hal. 15.

Kusno, Abidin, 2009, “Gaya Imperium yang Hidup Lagi Setelah Mati”, in Nas, Peter JM (ed), Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur di Indonesia, Jakarta : Gramedia.

Nas, Peter, JM. , 1993, Urban Symbolism, Leiden, New York, Koln : E J Brill

Omar, Shida Irwana at.al., 2013, “George Town, Penang as a World Heritage Site: The Stakeholders’ Perceptions”,PSU-USM International Conference on Humanities and Social Sciences, Procedia - Social and Behavioral Sciences 91 ( 2013 ) 88 – 96.

Operational Guidelines for the Implementation of the World Heritage Convention, 2012, UNITED NATIONS EDUCATIONAL, SCIENTIFIC AND CULTURAL ORGANISATION INTERGOVERNMENTAL COMMITTEE FOR THE PROTECTION OF THE WORLD CULTURAL AND NATURAL HERITAGE.

Riyanto, Sugeng, 2011, “Gambaran Kota Semarang Tahun 1719 dan 1800 Berdasarkan Peta Lama, International Seminar Proceedings, Urban Heritage Its Contribution to the Present, Published by Department of Archaeology, Faculty of Cultural Sciences, Gadjah Mada University.

Sjoberg, Gideon, 1960, The Pre-industrial City : Past and Present, New York-London : The Free Press.

Sumalyo, Yulianto, 1993, Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

______________, 2005, Arsitektur Modern Akhir Abad XIX dan Abad XX, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Priyanto, Supriyo, 2000, Tinjauan Historis Perkembangan Struktur Kota Semarang Kuno: Studi Tentang Toponim, Laporan Akhir Penelitian Bappeda Kota Semarang.

Soekiman, Djoko, 1996, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII Sampai Medio Abad XX).Disertasi pada Fakultas Sastra, UGM Yogyakarta.

Undang Undang RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, di dalam himpunan peraturan perundang undangan RI tentang Benda Cagar Budaya, Depdikbud, 1997.

The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, 2005,Basic Texts of the 1972 World Heritage Convention,Place de Fontenoy, 75352 PARIS 07 SP

Beberapa Keunikan Sebagai Landasan Penetapan Outstanding Universal Values (Ouv) Dalam Rangka Mewujudkan Kota Lama Semarang Sebagai World Heritage City

76

METODE FOTO RENTANG DEKAT (CLOSE RANGE PHOTOGRAMMETRY) DAN AERIAL UNTUK PENDOKUMENTASIAN TIGA DIMENSI CAGAR BUDAYA

Brahmantara

Balai Konservasi BorobudurEmail : [email protected]

Abstrak : Metode pendokumentasian Cagar Budaya telah mengalami perkembangan yang luar biasa, ditandai dengan adanya teknologi digital dalam sistem perekaman dan akuisisi data. Data visual yang dihasilkan melalui proses pendokumentasian digital tidak hanya memberikan hasil dalam dua dimensi (2D), namun mampu memberikan interpretasi secara tiga dimensi (3D) dengan detail dan akurasi yang cukup tinggi. Salah satu metode yang berkembang saat ini adalah fotogrametri digital, baik close range photogrammetry (foto rentang dekat) dan aerial photogrammetry (foto udara) dengan wahana pesawat tanpa awak (drone). Kajian metode foto rentang dekat (close range photogrammetry) dan foto udara ini merupakan salah satu metode pendokumentasian yang murah (low cost methodology) apabila dibandingkan dengan pemindaian menggunakan instrumen 3D laser scanning. Berdasarkan kelebihan tersebut, maka perlu dikaji efektifitas metode ini untuk pendokumentasin Cagar Budaya berdasarkan tingkat/nilai akurasi yang dihasilkan. Hasil pengolahan dan analisis data menunjukkan bahwa hasil pendokumentasian dan pemodelan tiga dimensi relief kapal Candi Borobudur menggunakan metode foto rentang dekat (close range photogrammetry) dengan kontrol skala menghasilkan nilai akurasi sebesar 5 mm, stupa terbuka dan arca singa masing-masing 3 mm dan 1,6 mm. Sedangkan hasil pemodelan Candi Borobudur dengan data foto udara wahana pesawat tanpa awak menghasilkan nilai akurasi sebesar 4 cm. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa metode foto rentang dekat dan foto udara menghasilkan tingkat akurasi yang cukup tinggi dan nilai RMS error yang rendah, sehingga kedua metode ini layak digunakan dalam pendokumentasian tiga dimensi Cagar Budaya dengan biaya murah.

Kata kunci : tiga dimensi (3D),Terestrial Laser Scanner, foto rentang dekat (close range photogrammetry), aerial photogrammetry (foto udara), Cagar Budaya

Abstract: The method of documenting the cultural heritage has undergone tremendous development, with the presence of digital technology in data recording and acquisition systems. Visual data generated through the process of digital documentation is not only capable of delivering results in two-dimensional visuals (2D), but provides interpretation in 3D visuals with accurate detail and accuracy. One of the methods that can be developed is digital photogrammetry, both close range photogrammetry and aerial photogrammetry produced by UAV.

The study of close range photogrammetry and aerial photo method is one of the low cost methodology compared to 3D laser scanning, so it is necessary to study the effectiveness of this method for documentation of cultural heritage based on the value of the accuracy produced.

The results from data processing and analysis show that the results of three-dimensional documentation and modeling (3D) with close-range photogrammetry method for ships relief of Borobudur Temple using scale bar control yields an accuracy of 5 mm, the open stupa and the lion statue have successive accuracy about 3 mm and 1.6 mm. The Borobudur Temple model generated from aerial photogrammetry by UAV yield an accuracy value of 4 cm. Based on these results, the close range and aerial photogrammetry produced high accuracy value with low RMS error. These methods are feasible to be used at a low cost in documenting and three dimensional modeling of cultural heritage.

Keywords: three dimensional (3D), Terrestrial Laser Scanner, close range photogrammetry, aerial photogrammetry (aerial photography), cultural heritage

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 76-88

77

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Teknologi pendokumentasian Cagar Budaya berbasis tiga dimensi (3D) yang berkembang di Indonesia saat ini menggunakan teknologi Terrestrial Laser Scanning (TLS). Penggunaan instrumen Terrestrial Laser Scanning untuk pendokumentasian Cagar Budaya masih sangat terbatas penggunaannya, karena harga alat yang mahal dan terbatasnya perangkat lunak (software) yang digunakan. Di Indonesia, baru terdapat 3 institusi pemerintah di bidang kebudayaan yang menggunakan alat tersebut. Balai Konservasi Borobudur adalah salah satu institusi yang telah menggunakan instrumen tersebut sejak tahun 2005. Instrumen laser scanner memiliki harga yang sangat mahal, yang menjadikannya sebagai sebuah hambatan untuk rencana pengembangan pendokumentasian dan pemodelan tiga dimensi Cagar Budaya di seluruh Indonesia. Dengan kondisi tersebut perlu dikembangkan metode pendokumentasian berbasis tiga dimensi yang lebih murah, namun menghasilkan tingkat akurasi data yang baik atau setidaknya mendekati akurasi yang dihasilkan oleh instrumen laser scanner. Salah satu metode yang bisa dikembangkan adalah pendokumentasian tiga dimensi berbasis foto, yaitu dengan teknik Foto Rentang Dekat (Close Range Photogrammetry/CRP) dan Foto Udara (Aerial Photogrammetry) menggunakan wahana pesawat tanpa awak atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV).

Fotogrametri rentang dekat menggunakan prinsip dasar pengukuran tumpang tindih antar foto dengan sudut pandang yang berbeda dan pengukuran orientasi kamera. Model tiga dimensi yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh banyaknya area tampalan antar foto. Kalibrasi pada kamera non metrik menggunakan bantuan komputerisasi sehingga dapat diketahui parameter kamera dan lokasi kamera, selanjutnya didapat nilai hasil pengukuran orientasi kamera (Aulejtner, 2011 dalam Hendy, 2014). Kalibrasi kamera dilakukan untuk menentukan parameter internal kamera yang meliputi: principal distance (c), titik pusat fidusial foto (xo, yo), distorsi lensa (K1, K2, K3, P1 and P2), serta distorsi akibat perbedaan penyekalaan dan tingkat tegak lurus antara sumbu X dan Y (b1, b2) (Fraser, 1998).

Kamera yang digunakan dalam kajian ini adalah kamera non-metrik, sehingga diperlukan kalibrasi. Kalibrasi dilakukan menggunakan frame target dari perangkat lunak Agisoft Photoscan. Pemotretan dilakukan mengelilingi frame kalibrasi untuk satu set data dengan sudut perpindahan kamera optimum yaitu 90° (Wotjas, 2010). Pengambilan foto bertampalan dipengaruhi oleh bentuk obyek yang akan dibuat model tiga dimensinya.

Beberapa contoh pengambilan obyek foto untuk pemodelan tiga dimensi adalah pemotretan 360° dan pemotretan sejajar. Untuk menghasilkan model tiga dimensi yang baik, pemotretan 360° (Gambar I.1) dilakukan dengan cara mengelilingi obyek dengan jarak dan ketinggian yang sama.

Gambar I.1. Pemotretan obyek 360°

Pemotretan sejajar seperti yang ditunjukkan dalam Gambar I.2, dilakukan dengan posisi yang sejajar dengan obyek, jarak foto berdekatan satu sama lain, dan sudut rendah (Walford, 2013 dalam Hendy, 2014). Pemotretan obyek 360° dilakukan pada arca Buddha, sedangkan pemotretan obyek sejajar dilakukan pada relief Candi Borobudur.

Gambar I.2. Pemotretan obyek sejajar

Metode Foto Rentang Dekat (Close Range Photogrammetry) Dan Aerial Untuk Pendokumentasian Tiga Dimensi Cagar Budaya

78

Foto udara adalah rekaman fotografis obyek di atas permukaan tanah yang pengambilannya dilakukan dari udara (Suharsana, 1999). Foto udara pada umunya dibedakan atas foto vertikal dan foto condong. Foto udara vertikal dibuat dengan sumbu kamera yang arahnya dibuat setegak mungkin dengan obyek, seperti yang terlihat pada Gambar I.3.

Gambar I.3. Pengambilan foto udara tegak

Karena pergerakan pesawat, foto udara yang dihasilkan tidak benar-benar vertikal. Kemiringan sumbu kamera untuk foto tegak maksimal 3°. Foto udara condong dibuat dengan sumbu kamera yang sengaja diarahkan menyudut terhadap sumbu vertikal, seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.4.

Gambar I.4. Pengambilan foto udara condong

Kamera non metrik memerlukan kalibrasi untuk menghasilkan model tiga dimensi dengan akurasi yang baik. Kalibrasi kamera dilakukan sebelum dan setelah pemotretan obyek. Hasil dari kalibrasi berupa parameter yang menunjukkan koefisien koreksi lensa kamera. Kalibrasi berlaku untuk tiap panjang fokus dan jarak obyek tertentu, sehingga apabila terdapat perubahan maka harus dilakukan kalibrasi. Dengan kondisi tersebut, maka

posisi kamera tidak harus melihat dengan sudut pandang paralel dan konfigurasi stereo. Foto dengan berbagai macam posisi mulai dari menyebar, horizontal, vertikal atau miring dapat digunakan apabila saling bertampalan. Posisi kamera secara otomatis akan terdeteksi melalui proses komputerisasi dengan menggunakan perangkat lunak Agisoft Photoscan.

Maksud kajian ini adalah melakukan kajian terhadap metode pendokumentasian dan pemodelan tiga dimensi Cagar Budaya yang murah (low cost methodology) berbasis foto. Sedangkan tujuannya adalah mengetahui tingkat akurasi model tiga dimensi yang dihasilkan dari teknik foto rentang dekat dan foto udara dengan wahana pesawat tanpa awak (UAV). Manfaat kajian yang diharapkan adalah meningkatkan kemampuan teknis tenaga dokumentator dalam bidang pendokumentasian Cagar Budaya. Selain itu, dapat diperoleh metode pendokumentasain tiga dimensi yang relatif murah, efektif, dan efisien, mengingat bahwa pendokumentasian Cagar Budaya secara tiga dimensi saat ini masih terbatas pada penggunaan instrumen 3D laser scanning yang memakan biaya cukup mahal.

1.2. Metode Penelitian

Tahap persiapan dimulai dengan mempersiapkan alat dan bahan sebagai pendukung pengambilan data di lapangan serta instrumen pendukung pengolahan data (post processing). Adapun alat dan bahan yang digunakan pada kajian ini adalah sebagai berikut:

1) Perangkat keras pendukung pengambilan data:a. Workstation untuk pengolahan datab. Marker (target)

2) Perangkat keras dan lunak pengambilan data foto:a. Quadcopter tipe Phantom 3 Advanced untuk

pengambilan foto udara, b. Kamera DSLR untuk pengambilan foto

rentang dekat dengan spesifikasi perangkat:a) Canon EOS 5D MK II,Tipe Full

Frame Digital SLRb) Lensa 24 – 70 f/4 L IS USM

3) Peralatan pengukuran :a. Total Station tipe LEICA TCR 805 Ultrab. 3D Laser scanning Leica Scan Station C 10

4) Perangkat lunak pengolahan data :a. Agisoft Photosanb. Cloud Compare

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 76-88

79

Tahap pengumpulan data terdiri dari:

a. Pengukuran titik kontrol obyek

Pengukuran titik kontrol pada relief dan arca menggunakan meteran (Gambar II.1) dan menggunakan Total Station (gambar II.2). Data hasil pengukuran ini digunakan sebagai data pembanding dimensi asli obyek dengan model tiga dimensi yang dihasilkan.

Gambar II.1. pengukuran titik kontrol relief dengan meteran

Gambar II.2. pengukuran titik kontrol relief dengan Total Station

b. Pengukuran titik kontrol tanah (Ground Control Points)

Pengukuran perbandingan jarak dan dimensi untuk data Candi Borobudur menggunakan data dari instrument terrestrial 3D laser scanning yang sudah dilakukan sebelumnya, sedangkan pengukuran titik kontrol tanah (Ground Control Points) menggunakan Total Station (Gambar II.3). Hasil pengukuran titik kontrol digunakan sebagai data pembanding antara obyek dan model tiga dimensi yang dihasilkan.

Gambar II.3. pengukuran 3D Laser scanning dan Total Station

c. Pengambilan Foto Rentang Dekat (Close Range Photogrametry)Pengambilan foto dilakukan sejajar dengan bidang obyek dengan area yang bertampalan sekitar 80% tiap fotonya. Untuk memperkuat geometri obyek, maka kamera diputar sekitar 35° pada tiap titik berdiri, sehingga dapat mencakup area disekitarnya, seperti terlihat dalam ilustrasi Gambar II.4.

 

Gambar II.4. posisi kamera pada pengambilan foto pada relief candi Borobudur

Untuk pengambilan data foto stupa terbuka, geometri pengambilan datanya berupa lingkaran konsentris dengan sumbu utama kamera tegak lurus dinding stupa. Pengambilan data foto dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pertama mencakup ¾ bagian bawah stupa, dan tahap kedua mencakup ¾ bagian atas stupa seperti terlihat dalam ilustrasi Gambar II.5.

Metode Foto Rentang Dekat (Close Range Photogrammetry) Dan Aerial Untuk Pendokumentasian Tiga Dimensi Cagar Budaya

80

Gambar II.5. posisi kamera pada pengambilan foto terbuka Candi Borobudur

  d. Pengambilan Foto Udara (Aerial Photos) dengan UAV

Gambar II.6. pengambilan foto udara vertical

Pengambilan foto secara vertikal dilakukan dengan cara memposisikan sumbu utama kamera tegak lurus dengan permukaan candi seperti terlihat pada Gambar II.6. Posisi ketinggian pesawat berada pada ketinggian 60 m. Pengambilan data foto udara Candi Borobudur dilakukan dengan perencanaan jalur sebanyak 8 grid, tampalan foto 80%, dan menghasilkan foto sebanyak 119 foto dengan posisi jalur seperti pada Gambar II.6 di bawah:

Gambar II.6. posisi jalur terbang pengambilan foto udara

1.3. Tahap Pengolahan Data

a. Pre-processing foto

Tahap ini bertujuan untuk mengetahui kualitas foto udara yang dihasilkan. Pengecekan foto dilakukan secara manual dengan mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya adalah: kelengkapan foto untuk area yang dipetakan, adanya gap pada foto, gambar berbayang, tampalan tidak maksimal, gambar miring, dan lain-lain.

b. Input data kalibrasi kamera

Hasil kalibrasi kamera digunakan sebagai data pendekatan awal, untuk kemudian dihitung kembali oleh Agisoft PhotoScan untuk mendapatkan parameter orientasi dalam yang sesuai dengan keadaan saat foto diambil. Parameter tersebut selanjutnya digunakan pada proses pengolahan foto selanjutnya.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 76-88

81

c. Alignment foto

Proses alignment foto dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Agisoft PhotoScan. Algoritma yang digunakan perangkat lunak ini adalah dengan mengenali titik-titik yang mempunyai kesamaan nilai piksel. Piksel dengan nilai yang sama akan didefinisikan sebagai tie points.

d. Pembuatan dense cloud

Pembuatan dense cloud didasarkan pada perapatan foto disekitar tie point dan penggabungan antar titik berdasarkan nilai tingginya. Dense cloud menampilkan titik-titik yang lebih rapat apabila dibandingkan dengan tie points.

e. Input Ground Control Points (GCP)Tahap selanjutnya setelah model terbentuk adalah menginput Ground Control Points (GCP) pada model yang telah dibuat. GCP untuk foto udara sebelumnya telah diukur dengan total station sebelum pemotretan udara dilakukan, kemudian diidentifikasi kembali menjadi sebuah marker pada foto udara.

Tabel III.2. Hasil kalibrasi kalibrasi diri (self calibration) menggunakan perangkat lunak Agisoft photoscan

2. Field calibration Foto Udara

Field calibration menggunakan titik Ground Control Point (GCP) sebanyak 6 titik dengan jumlah foto udara sebanyak 119 foto dan pengolahan menggunakan perangkat lunak Agisoft photoscan. Data hasil kalibrasi dapat dilihat pada Tabel III.3 sebagai berikut :

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil Kalibrasi Kamera

Metode yang digunakan untuk kalibrasi kamera pada foto rentang dekat dan foto udara menggunakan metode lab calibration dan juga self calibration yang dilakukan secara otomatis bersamaan dengan proses perataan berkas. Lab calibration menggunakan frame target pada perangkat lunak Agisoft photoscan.

1. Lab calibration Foto Rentang Dekat

Lab calibration menggunakan frame target dengan jumlah foto sebanyak 84 foto dan pengolahannya menggunakan perangkat lunak Agisoft Photoscan. Data hasil kalibrasi dapat dilihat pada Tabel III.1 sebagai berikut :

Tabel III.1. Hasil kalibrasi foto rentang dekat menggunakan perangkat lunak Agisoft photoscan

Agisoft photoscan juga melakukan kalibrasi diri (self calibration) melalui proses iterasi langsung ketika

melakukan perataan berkas. Hasil dari proses kalibrasi diri dapat dilihat pada Tabel III.2 sebagai berikut:

Tabel III.3 Hasil kalibrasi foto udara menggunakan perangkat lunak Agisoft photoscan

3. Pembahasan Kalibrasi Terdapat perbedaan antara hasil kalibrasi menggunakan frame (lab calibration) dan kalibrasi diri. Hal ini dikarenakan kamera yang digunakan bukan merupakan kamera fix lens, sehingga kemungkinan terjadi perubahan focal length ketika melakukan field calibration dengan fitur lensa autofokus. Jumlah foto yang diambil pada lab calibration lebih banyak, sehingga perubahan focal length lebih sering terjadi karena lensa yang digunakan bukan berjenis fix lens. Kalibrasi diri (self calibration) dianggap lebih baik daripada lab

Metode Foto Rentang Dekat (Close Range Photogrammetry) Dan Aerial Untuk Pendokumentasian Tiga Dimensi Cagar Budaya

82

menunjukkan perbedaan antara titik kontrol hasil dari pengukuran menggunakan meteran dengan hasil pengukuran koordinat sebenarnya (koordinat tanah) pada titik yang sama. Analisis perbandingan juga dilakukan terhadap hasil pemodelan dan perataan berkas antara model yang menggunakan dan tidak menggunakan parameter hasil kalibrasi lensa, yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel III.4a, III.4b, III.5a, dan III.5b sebagai berikut :

calibration karena proses kalibrasi dilakukan sesaat sebelum pengambilan data sehingga parameter kalibrasi kamera yang dicari sesuai dengan kondisi ketika pengambilan data.

3.2.Hasil Pemodelan Tiga Dimensi1. Foto Rentang Dekata. Relief Kapal Candi Borobudur

Dari hasil perataan berkas dan pemodelan tiga dimensi secara komputerisasi, didapatkan nilai Root Mean Square Error (X,Y dan Z error), yang

Tabel III.4a. Hasil Perataan Berkas dan Pemodelan 3D Relief Kapal dengan kontrol GCP dan kamera lab calibration

Label XY error (m) Z error (m) Error (m) Proyeksi Error (pix)

Point 1 0.0078752 0.011323 0.013793 23 0.988

Point 2 0.0084650 0.004494 0.009584 23 0.840

Point 3 0.0091684 0.024873 0.026509 23 0.810

Point 4 0.0118115 0.013532 0.017962 23 1.196

Point 5 0.0063610 -0.025083 0.025877 23 0.749

Point 6 0.0081865 -0.029141 0.030269 23 0.613

RMSE Total 0.0088008 0.020118 0.021959 (2 cm) 138 0.886

Tabel III.4b. Hasil Perataan Berkas dan Pemodelan 3D Relief Kapal dengan kontrol skala dan kamera lab calibration

Label Distance (m) error (m)Point 1 - point 2 0.84457 0.0045772

Point 3 - point 4 0.83632 0.0063201

Point 1 - point 3 2.70448 -0.0005156

Point 4 - point 5 1.32909 -0.0009116

Point 3 - point 6 0.44496 -0.0001044

Point 1 - point 5 1.50055 -0.0094516

RMSE Total 0.0050222 (5 mm)

Tabel III.5a. Hasil Perataan Berkas dan Pemodelan 3D Relief Kapal dengan kontrol GCP dan skala serta kamera self calibration

Label XY error (m) Z error (m) Error (m) Proyeksi Error (pix)

Point 1 0.0078797 0.011324 0.013796 23 0.991

Point 2 0.0084693 0.004494 0.009588 23 0.838

Point 3 0.0091710 0.024873 0.026510 23 0.811

Point 4 0.0118131 0.013533 0.017963 23 1.196

Point 5 -0.0063606 -0.025085 0.025878 23 0.749

Point 6 -0.0081850 -0.029141 0.030268 23 0.614

RMSE Total 0.00880274 0.020119 0.021960 (2 cm) 138 0.886

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 76-88

83

Tabel III.5b. Hasil Perataan Berkas dan Pemodelan 3D Relief Kapal dengan kontrol skala dan kamera self calibration

Label Distance (m) error (m)

Point 1 - point 2 0.84412 0.0041200Point 3 - point 4 0.83600 0.0060057Point 1 - point 3 2.70457 -0.0004314Point 4 - point 5 1.32927 -0.0007302Point 3 - point 6 0.44496 -0,0000935Point 1 - point 5 1.50068 -0.0093204

RMSE Total 0,004840 (4,8 mm)

Dari hasil proses perataan berkas dan pembentukan model tiga dimensi relief kapal Candi Borobudur menghasilkan data point cloud,

 

(a) (b)

(c) (d)

dense point cloud, mesh, dan tekstur. Hasil tersebut dapat dilihat pada Gambar III.1 sebagai berikut :

Gambar III.1. hasil pemodelan tiga dimensi relief Kapal Candi Borobudur (a) point clouds, (b) dense clouds, (c) mesh format, (d) tekstur

Hasil pemodelan tiga dimensi (3D) relief kapal Candi Borobudur dengan posisi kamera terkalibrasi dan kontrol menggunakan GCP dan kontrol skala diperoleh nilai total error sebagai berikut :1. Posisi kamera dengan lab calibration

didapatkan nilai total error piksel dibawah 1 cm, yaitu 0,88; sedangkan RMSE dengan kontrol GCP sebesar 0.021959 m. Nilai RMSE dengan menggunakan skala sebagai kontrol jarak diperoleh nilai error yang sangat kecil, yaitu 0.00502 m.

2. Posisi kamera dengan self calibration didapatkan nilai total error piksel dibawah 1

cm, yaitu : 0,88; sedangkan RMSE dengan kontrol GCP sebesar 0.021960 m. Nilai RMSE error dengan menggunakan skala bar sebagai kontrol jarak diperoleh nilai error yang sangat kecil yaitu 0,004840 m. Dari kedua nilai error tersebut dapat diketahui bahwa nilai error hasil foto rentang dekat menggunakan kontrol skala bar mempunyai nilai error sebesar 5 mm pada kamera dengan lab calibration dan 4,8 mm pada kamera dengan self calibration. Nilai dibawah 1 cm ini sangat dimungkinkan mengingat proses pengambilan foto yang dilakukan menghasilkan tampalan yang cukup rapat,

Metode Foto Rentang Dekat (Close Range Photogrammetry) Dan Aerial Untuk Pendokumentasian Tiga Dimensi Cagar Budaya

84

Gambar III.2. posisi kamera pada pengambilan foto relief kapal

b. Stupa teras terbuka Candi BorobudurPengambilan foto dilakukan mengelilingi obyek secara 360°, dengan perkiraan jarak yang hampir sama, dan menggunakan kontrol skala, karena data kontrol menggunakan GCP tidak dilakukan pengukuran. Hasil perataan berkas menggunakan kontrol skala pada stupa teras terbuka mempunyai hasil seperti pada Tabel III.6 di berikut:

Tabel III.6. Hasil Perataan Berkas dan Pemodelan 3D Stupa Teras Terbuka dengan kontrol skala dan kamera lab

calibration

Label Distance (m) error (m)

Point 13 - point 15 1.28024 -0.00375762

Point 15 - point 14 1.66936 0.00435923

Point 13 - point 14 1.68410 0.00300092

Point 13 - pusat 1.05773 -0.00227076

Point 14 - pusat 1.08474 -0.00326020

Point 15 - pusat 1.22671 -0.00128911

RMSE Total 0.00315106 (3 mm)

Dari hasil proses perataan berkas dan pembentukan model tiga dimensi stupa teras terbuka menghasilkan data point cloud, dense point cloud, mesh, dan tekstur. Hasil tersebut dapat dilihat pada Gambar III.3 di bawah ini :

 

(a)   (b))  

(c)   (d)  

 

(a)   (b))  

(c)   (d)  

 

(a)   (b))  

(c)   (d)  

 

(a)   (b))  

(c)   (d)  

posisi jarak titik pengambilan antara 1 foto dengan foto lainnya juga cukup konsisten (Gambar III.2).

Gambar III.3. hasil pemodelan 3D stupa teras terbuka (a) tie points, (b) dense clouds, (c) mesh format, (d) tekstur

Hasil pemodelan tiga dimensi stupa teras terbuka dengan kamera terkalibrasi dan kontrol menggunakan skala diperoleh nilai total error dibawah 1 cm, yaitu sebesar 0.003151 atau sekitar 3 mm. Nilai yang cukup kecil tersebut dipengaruhi oleh beberapa kondisi dimana kamera yang digunakan lebih stabil, foto yang dihasilkan memiliki resolusi tinggi, focal length yang digunakan tetap, dan jenis sensor kamera fullframe. Penentuan posisi kamera untuk menghasilkan foto dengan tampalan yang cukup

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 76-88

85

juga mempengaruhi nilai error. Posisi kamera dalam pengambilan foto 360° dapat dilihat pada Gambar III.4 berikut:

Gambar III.4. posisi kamera pada pengambilan foto stupa teras terbuka

c. Arca Singa Candi BorobudurProses perataan berkas dan pemodelan tiga dimensi pada arca singa mempunyai proses yang sama dengan stupa teras terbuka karena merupakan obyek dengan sudut pengambilan foto 360°. Kontrol yang digunakan juga menggunakan skala, dengan hasil perataan berkas seperti pada Tabel III.7 sebagai berikut :

Tabel III.7. Hasil Perataan Berkas dan Pemodelan 3D Arca Singa dengan kontrol Skala dan kamera lab calibration

Label Distance (m) error (m)

Point 18 - point 19 0.68577 -0.002224

Point 16 - point 19 1.15737 0.000367

Point 16 - point 17 0.73913 -0.000875

Point 17 - point 18 1.13258 0.002577

Point 17 - point 20 1.05889 -0.001107

RMSE Total 0.0016559

Dari hasil proses perataan berkas dan pembentukan model tiga dimensi (3D) stupa teras terbuka menghasilkan data point cloud, dense point cloud, mesh, dan tekstur. Hasil tersebut dapat dilihat pada gambar III.5 di bawah:

 

(a) (b)

(d) (c)

 

(a) (b)

(d) (c)

 

(a) (b)

(d) (c)

 

(a) (b)

(d) (c) Gambar III.5. Hasil pemodelan 3D arca singa

(a) tie points, (b) dense clouds, (c) mesh format, (d) tekstur

Hasil pemodelan tiga dimensi arca singa dengan kamera lab calibration dan kontrol menggunakan skala diperoleh nilai total error cukup kecil dibawah 1 cm, yaitu sebesar 0.0016559 atau sekitar 1,5 mm. Nilai tersebut dipengaruhi oleh kondisi kamera yang stabil, hasil lensa yang terkalibrasi, area tampalan foto yang cukup luas, serta sensor kamera fullframe.

Metode Foto Rentang Dekat (Close Range Photogrammetry) Dan Aerial Untuk Pendokumentasian Tiga Dimensi Cagar Budaya

86

2. Foto Udara (Aerial Photogrammetry)

a. Candi BorobudurHasil pemodelan dan perataan berkas dengan parameter kamera lab calibration dan self calibration,

kontrol menggunakan GCP didapatkan hasil seperti pada Tabel III.8a dan III.8b di bawah:

Tabel III.8a. Hasil Perataan Berkas dan Pemodelan 3D Foto Udara Candi Borobudur dengan kontrol GCP dan kamera lab calibration

Label XY error (m) Z error (m) Error (m) Proyeksi Error (pix)Point 1 0.0876266 -0.0526374 0.102221 23 2.090Point 4 0.0293017 0.0978429 0.102136 26 1.375 Point 7 0.0339662 -0.0693848 0.077252 32 1.570Point 13 0.0415201 0.0724618 0.083514 26 2.029Point 16 0.0665172 -0.0890324 0.111136 32 2.671Point 19 0.1000270 0.0414351 0.108269 25 1.693

RMSE Total 0.0656309 0.0730896 0.09823 (10 cm) 1.968

Tabel III.8b. Hasil Perataan Berkas dan Pemodelan 3D Foto Udara Candi Borobudur dengan kontrol GCP dan kamera self calibration

Label XY error (m) Z error (m) Error (m) Proyeksi Error (pix)Point 1 0.168861 -0.032896 0.171975 23 3.068 Point 4 0.101529 0.104793 0.14591 26 2.042Point 7 0.177728 -0.094633 0.201353 32 2.432

Point 13 0.216025 0.108425 0.241708 26 2.848Point 16 0.0702591 -0.146261 0.162261 32 3.891Point 19 0.215972 0.063512 0.225117 25 2.467

RMSE Total 0.167648 0.0984897 0.194438 (20 cm) 2.880

Hasil perataan berkas pemodelan Candi Borobudur menggunakan dua parameter kamera, yaitu kamera terkalibrasi dan kamera tidak terkalibrasi dengan titik kontrol keduanya menggunakan GCP. Dari Tabel III.8a dengan parameter kamera terkalibrasi didapatkan nilai Total error koordinat sebesar 0.09823 m (10 cm), tingkat error tersebut dipengaruhi oleh posisi definisi marker GCP hasil pemotretan yang tidak sesuai pada posisi obyek sebenarnya, karena marker yang dibuat tidak terlihat jelas pada foto udara yang dihasilkan. Sedangkan nilai total

error pixel sebesar 1.968 mempunyai nilai lebih dari 1, dan dinilai kurang baik. Hal ini dapat disebabkan karena jarak pengambilan foto udara terlalu tinggi terhadap obyek, sehingga distorsi radial pada foto cenderung lebih banyak terjadi. Pengambilan foto menggunakan mission planner pix4d capture dengan sudut pengambilan vertikal dan area tampalan foto sebesar 80%. Dari proses pengambilan tersebut diketahui posisi kamera seperti yang terlihat pada Gambar III.6 di bawah:

Gambar III.6. Posisi kamera pada pengambilan foto udara Candi Borobudur

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 76-88

87

III. PENUTUP

3.1. KesimpulanDari hasil pengumpulan, pengolahan, dan analisis data dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :1. Hasil perataan berkas dan pemodelan tiga dimensi

berbasis foto rentang dekat pada obyek relief kapal Candi Borobudur dengan kontrol skala (jarak) dan kamera terkalibrasi menghasilkan nilai RMS error yang cukup kecil, yaitu sebesar 5 mm, sedangkan hasil perataan berkas dan pemodelan pada obyek stupa teras terbuka dan arca singa masing-masing mempunyai nilai RMS error yang lebih kecil, yaitu 3 mm dan 1,6 mm.

2. Hasil perataan berkas dan pemodelan tiga dimensi berbasis foto udara dengan menggunakan wahana UAV pada Candi Borobudur, titik kontrol menggunakan koordinat GCP dan kamera terkalibrasi menghasilkan nilai RMS error sebesar 0.09823 m (10 cm).

3. Metode foto rentang dekat (close range photogramtery) dan foto udara (aerial photogramtery) dengan wahana pesawat tanpa awak untuk perekaman data dan pendokumentasian tiga dimensi Cagar Budaya layak untuk digunakan. Untuk mendukung kelayakan hasilnya, maka harus diikuti dengan langkah pengambilan data yang benar, diantaranya proses

kalibrasi kamera, metode pengambilan foto dan penggunaan kontrol geometri untuk mendapatkan akurasi yang tinggi dan nilai error yang seminimal mungkin.

3.2. SaranBerdasarkan hasil pengumpulan data, analisa dan

kesimpulan yang telah disampaikan, ada beberapa saran sebagai bahan pengembangan metode perekaman data dan pendokumentasian tiga dimensi Cagar Budaya di Indonesia yaitu:1. Metode pendokumentasian Cagar Budaya tiga

dimensi berbasis foto dengan perangkat kamera dan UAV menghasilkan format data yang sama dengan data yang dihasilkan oleh perangkat perekaman data tiga dimensi terrestrial laser scanner, untuk itu perlu dikembangkan metode untuk menggabungkan data dari kedua metode tersebut.

2. Data yang dihasilkan dari metode perekaman dan pendokumentasian tiga dimensi dapat digunakan sebagai media interpretasi dan presentasi, karena mampu menampilkan obyek yang realistis. Pengembangan perlu dilakukan dengan cara membuat data base sistem informasi tiga dimensi Cagar Budaya di seluruh Indonesia yang berbasis web, sehingga dapat diakses dengan mudah dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

DAFTAR PUSTAKA

Aber, J. S., Marzolff, I. R., Johannes, B. (2010). Small Format Aerial Photography: Principles, Techniques and Geoscience Applications. Amsterdam: Elsevier.

Atkinson, K. B. (1996). Close Range Photogrammetry and Machine Vision. Scotland, UK: Whittles Publishing.

Bolognesi, et al. (2014). Accuracy of Cultural Heritage 3D Models by RPAS and Terrestrial Photogrammetry. Jurnal. The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Vol. XL-5, 2014. Italy: ISPRS Technical Commission V Symposium.

Chao, H. Y. (2010). Autopilots for Small Unmanned Aerial Vehicles: A Survey. Jurnal. International Journal of Control, Automation and Systems, Vol. 8, 2010. ICROS.

Hanief, H., Nurdiati, S., Suwardhi, D. (2013). Rekonstruksi Model 3D Menggunakan Foto Udara Untuk Menduga Tinggi Objek. Jurnal. Majalah Ilmiah Globe, Vol. 15 No. 2, 2013. Bogor: Badan Informasi Geospasial.

Hendy, I. N. G. (2014). Pembuatan Model Tiga Dimensi Candi Gebang Menggunakan Metode Fotogrametri Jarak Dekat. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Prastyo, A. D., Subiyanto, S., Suprayogi, A. (2012). Aplikasi Fotogrametri Jarak Dekat untuk Pemodelan 3D Candi Gedong Songo. Jurnal. Jurnal Geodesi, Vol. 1, No. 1, Tahun 2012. Semarang: Universitas Diponegoro.

Soeta’at. (1994). Diktat Fotogrametri Analitik. Jurusan Teknik Geodesi, Fakultas Teknik. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Metode Foto Rentang Dekat (Close Range Photogrammetry) Dan Aerial Untuk Pendokumentasian Tiga Dimensi Cagar Budaya

88

Sukoco, E. (2003). Aplikasi Fotogrametri Jarak Dekat untuk Pemodelan Benda Cagar Budaya Beserta Reliefnya. Skripsi. Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Wolf, P. R. (1983). Elements of Photogrammetry. New York, US: McGraw-Hill.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 76-88

89

KAJIAN KONSERVASI TRADISIONAL MENURUT NASKAH KUNO

Isni Wahyuningsih, Sri Sularsih, Siti Yuanisa, Dimas Arif Primanda AjiBalai Konservasi Borobudur

Email : [email protected]

Abstrak : Konservasi tradisional dapat diketahui baik secara lisan dan maupun tulisan. Secara lisan dilakukan turun temurun, sedangkan secara tulisan terdapat dalam naskah-naskah kuno. Kajian Konservasi Tradisional Menurut Naskah Kuno bertujuan untuk menelusuri keberadaan bahan, alat, ataupun metode konservasi tradisional yang tercatat dalam naskah kuno dan mengilmiahkannya. Kajian ini diharapkan dapat diterapkan dalam upaya pelestarian cagar budaya dan melestarikan budaya tulis itu sendiri. Pada naskah-naskah kuno di Jawa yang berupa suluk, primbon maupun serat tidak dijumpai pengawetan suatu benda dalam hal pascapembuatan. Namun memuat cara membuat awet suatu benda atau bangunan (konservasi secara alami) pada proses pembuatannya yang didasarkan pada pemilihan bahan, perlakuan terhadap bahan, dan waktu pembuatan.

Kata Kunci: Naskah kuno, konservasi, tradisional

Abstract : Traditional conservation techniques are preserved through oral and written history. Orally it is performed through storytelling over generation while on the other had the techniques could be recorded in ancient texts. Study on Traditional Conservation based on Ancient Texts is aimed to document the materials, tools, and methods included in the texts and to study them in modern scientific methodology. This study is as much about practical heritage conservation as preservation of writing culture.

It turns out that Javanese texts such as suluk, primbon and serat do not give instruction on preserving an object after it was made. Nonetheless, there are many methods used in the construction of an object or building, through natural environment, that would make it last longer by selecting suitable materials, using best treatments and appropriate length of construction.

Keyword : Ancient Texts, conservation, Traditional

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Konservasi dalam kamus besar bahasa Indonesia mempunyai arti pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan; pengawetan; pelestarian (KBBI). Adapun istilah konservasi dalam kaitannya dengan upaya pelestarian material cagar budaya adalah serangkaian tindakan perawatan benda, bangunan, struktur dan atau komponen bangunan yang menitikberatkan pada upaya pembersihan, pengawetan dengan tujuan agar bisa bertahan lebih lama. Sementara itu istilah konservasi tradisional adalah tindakan konservasi yang menggunakan bahan dan peralatan tradisional, yang berpatokan pada local wisdom (kearifan lokal) serta pengalaman yang yang terakumulasi dalam pengetahuan

masyarakat setempat (people knowledge). Praktek konservasi tradisional di dalamnya mengandung unsur bahan tradisonal dan peralatan tradisional. Bahan tradisional adalah bahan yang diperoleh dari lingkungan setempat atas dasar pengalaman turun temurun. Sementara peralatan tradisional adalah peralatan sederhana yang dibuat masyarakat dengan bahan yang diperoleh dari lingkungannya. Bahan serta peralatan konservasi tersebut yang menjadi pembeda antara konservasi tradisional dan konservasi modern. (Sunarno dalam Swastikawati, 2015). Konservasi tradisional dapat diketahui baik secara lisan dan telah dilakukan turun temurun maupun tulisan yang dimuat dalam naskah-naskah kuno. Naskah kuno merupakan warisan budaya tertulis karya masyarakat tradisional di masa lampau yang merekam berbagai aspek kehidupan. Naskah kuno juga sebagai bukti hasil

Kajian Konservasi Tradisional Menurut Naskah Kuno

90

kegiatan intelektual masyarakat tradisional di masa lampau dalam memecahkan permasalahan dalam kehidupan (local genius) antara lain dalam hal konservasi (Susena, 2013). Indonesia kaya akan khazanah warisan budaya tertulis dalam bentuk naskah (manuskrip) yang berjumlah ribuan yang tersimpan di dalam negeri maupun di luar negeri, dimiliki oleh pemerintah maupun milik pribadi. Di Pulau Jawa biasanya naskah kuno disebut serat, suluk atau primbon yang kebanyakan di dalamnya memuat ajaran dalam kehidupan.

Untuk mengetahui konservasi tradisional yang telah dilakukan nenek moyang pada masa lampau maka diperlukan Kajian Konservasi Tradisional Menurut Naskah Kuno. Kajian tersebut bertujuan untuk menelusuri keberadaan bahan, alat, ataupun metode konservasi tradisional yang tercatat dalam naskah kuno. Kajian tersebut diharapkan dapat diterapkan dalam upaya pelestarian cagar budaya, sekaligus melestarikan budaya (konservasi tradisional yang dimuat dalam naskah kuno).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut.

Bagaimanakah praktek-praktek konservasi yang termuat dalam naskah-naskah kuno?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari kajian tersebut adalah sebagai berikut

1. Menelusuri untuk mengetahui keberadaan praktek-praktek konservasi tradisional yang dahulu dilakukan oleh nenek moyang berdasarkan teks yang tertulis pada naskah-naskah kuno.

2. Mengilmiahkan keberadaan praktek konservasi tradisional sehingga dapat diterapkan dalam upaya pelestarian cagar budaya.

3. Melestarikan keberadaan konservasi tradisional yang telah dilakukan nenek moyang yang dimuat dalam naskah kuno.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari kajian Konservasi Tradisional Menurut Naskah Kuno adalah terlestarikannya konservasi tradisional yang terekam dalam tradisi tulis yang ada dalam naskah kuno.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Upaya penerapan kembali konservasi tradisional dalam pelestarian cagar budaya telah mulai dilakukan, begitu upaya untuk mengilmiahkan bahan konservan tradisional tersebut. Salah satunya telah dilakukan oleh Swastikawati (2011-2014) yang telah melakukan kajian konservasi cagar budaya berbahan logam menggunakan metode konservasi tradisional dengan bahan-bahan alami. Metode tradisional yang diterapkan dalam kajian tersebut didasari dari tradisi lisan yang masih dijumpai dan dilakukan oleh masyarakat sekitar, seperti penjamasan keris dengan menggunakan jeruk nipis. Sementara itu untuk kajian konservasi tradisional yang dirujuk berdasarkan budaya tulis atau teks yang berupa naskah kuno belum pernah dilakukan. Kajian-kajian yang telah dilakukan yang merujuk pada naskah kuno antara lain adalah ilmu pengobatan (Susena, 2013; Kasrina, 2015)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Kajian

Ruang lingkup dari Kajian Konservasi Menurut Naskah Kuno adalah naskah-naskah kuno yang merupakan hasil karya para pujangga pada masa kerajaan-kerajaan di Jawa, dengan batasan rentang waktu abad ke 15 - 19.

3.2. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian tersebut menggunakan langkah sebagai berikut.a. Melakukan penelusuran terhadap naskah-

naskah kuno yang di dalamnya memuat atau mengandung unsur konservasi tradis-ional.

b. Wawancara dilakukan dengan narasumber ataupun tokoh yang memahami naskah-naskah kuno.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 89-94

91

c. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan pengumpulan data literatur dan studi-studi terdahulu terkait dengan pene-litian.

3.3. Metode Penelitian

Metode penelitian yaang dilakukan dalam ka-jian ini menggunakan langkah-langkah sebagai berikut.

1. Metode telaah kepustakaan dan kritik teks. Secara teknis, dalam upaya pengumpulan data dalam kajian ini dilakukan pengumpulan nas-kah yang diteliti, penerjemahan, wawancara, dan kritik teks yaitu memberi evaluasi, men-empatkan teks sewajarnya serta mengkaji lem-baran naskah yang kemungkinan mengand-ung muatan konservasi tradisional. Setelah itu dijelaskan kembali sehingga bisa diterima atau dipahami secara umum.

2. Metode analogi etnografi, merupakan analisis yang digunakan untuk membandingkan bahan, alat, dan metode konservasi tradisional yang termuat dalam naskah kuno dengan kondisi konservasi tradisonal yang masih bisa dijumpai di masyarakat pada saat ini.

3. Kesimpulan ditarik dari hasil analisis

IV. KONSERVASI TRADISIONAL YANG ADA DALAM NASKAH KUNO

3.1. Data Naskah Kuno

Pencarian data untuk Kajian Konservasi Berdasarkan Tinjauan Naskah Kuno adalah dengan melakukan penelusuran naskah kuno yang tersimpan di UGM, Museum Sonobudoyo, ANRI, Perpustakaan Nasional, dan Museum Nasional. Dalam upaya pengumpulan data diambil dalam katalog naskah kuno yang berbahasa dan bertulis Jawa Kuno ataupun yang sudah diterjemahkan. Untuk mempermudah penelusuran di beberapa tempat tersebut di atas dengan melihat katalog, ataupun database yang diperkirakan dari judul berhubungan dengan kajian.

Dalam kajian ini diambil sejumlah sampel judul naskah berupa naskah primbon, suluk dan serat yang mengandung unsur konservasi.

3.2. Unsur Konservasi Tradisional Dalam Naskah Kuno

3.3. Setelah dilakukan telaah atas sampel naskah tersebut dijumpai beberapa kesamaan – kesamaan atas isi dari beberapa naskah baik itu di dalam naskah primbon, suluk dan serat. Data yang termuat dalam naskah kuno dapat dikaitkan dengan konservasi sebagai berikut.

a. Teks yang memuat mengenai pemilihan kayu, tata cara penebangan pohon, perlakuan terhadap kayu yang digunakan untuk pembuatan rumah atau perabotan termuat dalam Serat Centhini, Kawruh Griyo, Kawruh Kalang, Primbon, dan Seserepan Griyo, yang cuplikannya sebagai berikut.

“Griya sela wau inggil-inggilanipun prayogi kasantunan kajeng jati utawi kajeng sanesipun. Milanipun makaten supados entheng mboten mutawadosi kados sela, saha gampil panggarapipun, amargi manawi sela punika anjing-anjingipun katurut ing toya jawah. Lami-lami rimpil andadosaken risak.

Pamilihing kajeng jati ingkang empuk serta ingkang atos. Kajeng jati ingkang saget ageng sarta kathah, punika thukul wonten ing pareden tuwin wana, ingkang sitinipun abrit utawi cemeng. Kajeng jati ingkang thukul wonten siti abrit, dhasar atos, serat rentet, alus anglisah, ingkang thukul wonten ing siti cemeng, dhasar empuk serat gopok utawi mrupuk, ngendhal kados pulut.

Nadyan nunggil pasitenipun mawi undha usuk tigang pangkat :

1. Jati Bang = dhasar atos, alus, anglisah, kangge dandosan awet.

2. Jati Kembang utawi sungu= dhasar cemeng, serat ler-leran kados sekar utawi kados sungu. Kangge dandosan awet, nanging mboten saget ngungkuli awetipun Jati Bang

3. Jati Kapur = dhasar empuk serat mrupuk utawi gopok. Wujudipun pethak kusi. Kangge dandosan kirang awet.

Kajian Konservasi Tradisional Menurut Naskah Kuno

92

Katrangan anegor sarta ndamel gebingan tuwin sirap.

Anegor kajeng jati ingkang sae anggenipun punika kedah kateres rumiyin. Teres punika poking uwit kintel 3 utawi 4 kaki saking siti. Kabacok ing wadung mubeng temu gelang, wiwit kulit dumugi ingkang sampun warni abrit. Godhong lajeng sami gogrog saha lajeng anggalinggang. Manawi sampun sataun saking paneresipun sampun kenging kategor, margi sampun garing, wantek mboten angubet.

Rebahing kajeng ingkang kategor wau kaangkah sageta rebah mangaler utawi mangidul, sarta sampun ngantos andhawahi kajeng ingkang taksih gesang, kasangsang, tumumpang tunggak, kantep, sapanunggilanipun ingkang dados tampikan kados bab saderingipun

Menggah pratikelipun supados sumerep dhawahipun pucuking kajeng ingkang badhe karebahaken punika kedah nangguh wanci enjing utawi sonten ingkang wayanganipun wujud sami kaliyan panjangipun. Umpami balebes ingkang panjangipun 5 kaki. Dipun degaken, mangka wayanganipun ugi 5 kaki. Punika wayanganipun kajeng ingkang badhe karebahaken wau kaukura. Sapinten panjanging wayanganipun inggih punika badhe ukuranipun dhawahing pucukipun. Pratikel ingkang makaten wau ugi tumrap kaangge napsir panjang celakipun kajeng ingkang badhe kangge dandosan. Kados umpami badhe ngangge saka ingkang panjangipun 20 kaki, manawi wayanganipun kajeng kados ing nginggil wau wonten utawi langkung 20 kaki, inggih badhe saget cekap kaangge saka ingkang panjangipun 20 kaki wau. Wondene panaksir agengipun pucuking kajeng punika kenging kapirid saking agenging bongkotipun.

Menggah pangangkahipun supados dhawahing kajeng saget prayogi rebahipun, punika kedah kadhawahaken selaning kajeng ingkang gesang. Nanging kasrampataken ing pang alit-alit, supados sampun ngantos remuk utawi getem saking dhawah kantep. Sasampunipun rebah lajeng kaprejeng utawi karimbas 2 wadana, ngiras ngupadosi manahing kajeng.

Manawi sampun kapanggih manahipun kajeng kakethok miturut manahipun kajeng, lajeng kasipat kadamel pasagi. Ing bongkot kagembes. Sasampuning dados gebingan utawi balok lajeng kenging kangge dandosan griya. Menggah pangangkah manahing kajeng wau ingkang sae piyambak manah kabucal. Kawastanan kajeng bethetan. Madyanipun manah wonten tengah urut, ingkang asor manah menggak-menggok wonten tengah akaliyan pinggir.Wondene kajeng kocoran inggih punika kajeng gesang ingkang lajeng kategor mboten mawi kateres rumiyin.

Sasampunipun dados gebingan lajeng dipun kentheng kagambang kados galar kareteg dipun ganjel inggil kados amben wonten panggenan banar. Laminipun e wulan manginggil, manawi kajeng badhe baita, wuwung, sapanunggilipun pangenthengipun wonten panggenan ingkang asrep utawi eyup, laminipun ugi 3 wulan manginggil. Kajeng ingkang kadamel sirap teresan ingkang burus. Manawi tiyang alit utawi bangsa andhap purun damel sirap saking glinggang, sarta brokah. Manawi pundhutaning ratu utawi bangsa luhur, kedah negor saking teresan, utawi negor kajeng ingkang taksih gesang. Pilihanipun ingkang burus.Patrap panyigaripun sasampuning kajeng rebah, kapilih ingkang burus tanpa cacat. Sasisih dipun gethak sapanjangipun ukuraning sirap dipun pancas ngiras kadamel lancur. Gethakan wau kaanjingan /240/ paju, lajeng kagandhen. Dene pajunipun kapara kathah. Manawi sampun dados balebekan lajeng karimbas kacalonan wangun sirap, nanging taksih kandel. Dipun kendelaken 3 wulan manginggil. Lajeng kapacak dados. Manawi katututan manah kabucal mboten kangge, margi watakipun kisut, ngulet utawi mandhelong.Manawi kajeng kocoran patraping panggarap ugi kados nginggil wau, nanging panglerepipun rambah kaping kalih. Sasampuning lerep sapisan karimbas kaalitaken. Lajeng kalerepaken malih, laminipun ugi 3 wulan manginggil. Manawi kirang dangu panglerepipun badhe ngulet, mandhelong, ngliwa utawi ngelo, remuk enggal trocoh.

b. Teks yang memuat tentang terkait dengan persenjataan yang terbuat dari logam seperti keris atau tombak juga lebih mengungkapkan proses memilih bahan, jenis-jenis logam, dan cara pembuatan keris atau tombak seperti yang termuat dalam Kawruh Keris.c. Teks yang memuat beberapa bahan yang dapat membunuh hewan sejenis serangga (ulat, lintah atau rena) yang disebut “minyak latung” dapat membunuh hewan tersebut serta daun rembega (widuri) disebutkan dapat membunuh ulat kecil-kecil termuat dalam Serat Primbon Jampi Jawi.3.3. Pembahasan

Dalam naskah-naskah kuno di Jawa yang dijadikan sampel pada kajian ini, setelah ditelaah tidak dijumpai teks yang memuat konservasi secara lugas dan jelas, namun menyebutkan perawatan atau pengawetan suatu benda secara detail mengenai alat, cara, dan bahan pengawet (pasca pembuatan/ proses pemakaian suatu benda). Hal tersebut dipahami

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 89-94

93

berdasarkan pola pikir pada zaman tersebut belum ada suatu pemikiran untuk menulis secara jelas dan terperinci hal-hal yang terkait memelihara, merawat suatu mengawetkan suatu benda yang telah mereka buat, karena benda tersebut masih ada dan kalaupun rusak bisa dibuat lagi.

Dalam arkeologi sebagai ilmu yang didalamnya adalah untuk mengetahui aspek perilaku manusia masa lampau melalui jejak-jejak yang ditinggalkan, baik berupa benda, berbentuk alat atau bukan bukan alat. Perilaku manusia yang telah menghasilkan tinggalan arkeologis mencakup 3 hal, yaitu: buat - pakai - buang (Sharer and Ashmore, 1977). Hal yang bersangkutan dengan proses buat dan pakai terhadap benda atau artefak akan terbentuk polah tingkah laku. Perlakuan yang dialami oleh suatu artefak dari saat dibuat hingga ditemukan oleh manusia masa kini, termasuk seluruh rangkaian prosesnya. Selanjutnya hal tersebut menjadi proses pembentukan budaya (Schiffer, 1976). Perlakuan terhadap suatu benda yang dibuat oleh manusia menghasilkan budaya tingkah laku yang mengandung kearifan lokal, termasuk didalamnya upaya masyarakat dalam proses membuat dan merawat selama pemakaian suatu benda. Dalam naskah kuno yang dijadikan sampel tersebut memuat unsur dalam membuat suatu benda atau bangunan terlebih dahulu dipilih bahan dengan kualitas dan kualifikasi tertentu agar benda atau bangunan yang akan dibuat akan berkualitas baik, awet, dan waktu pembuatan akan membawa pengaruh kebaikan bagi penghuninya (kesatuan dengan alam) sebagai kearifan lokal.

Dalam cuplikan sampel naskah kuno di atas, dimuat hal tentang pemilihan kayu jati yang berkualitas dengan melihat di mana dan jenis tanah di mana pohon tersebut tumbuh. Walaupun pada tanah yang sama, kayu jati mempunyai tiga tingkatan:

1. Jati bang; pada dasarnya keras, halus, rapat berminyak, awet apabila digunakan untuk perabotan.

2. Jati kembang atau jati sungu; pada dasarnya hitam, serat hanya beberapa seperti bunga dan seperti tanduk, awet untuk perabotan,

tetapi tidak bisa melebihi keawetan jati bang3. Jati kapur; pada dasarnya lunak, serat lapuk,

warna putih pucat bersisik-sisik, kurang awet apabila digunakan sebagai perabotan.

Dalam kepercayaan orang Jawa, pemilihan kayu jati mempunyai pengaruh baik dan buruk. Kayu jati yang dianggap mempunyai pengaruh baik itu dapat mendatangkan banyak rezeki, keselamatan, dan sebagainya. Pada saat menebang dan membelah pohon perlu diperhatikan cara/teknik dan waktunya, apalagi untuk membuat sirap, menebang kayu jati yang baik pada awalnya harus membuat alur sayatan pada pohon yang akan ditebang (neres: bahasa Jawa) terlebih dahulu. Neres, pangkal pohon kira-kira 3 atau 4 kaki dari tanah, ditebang dengan wadung (kampak) melingkar sampai bersinggungan dari kulitnya sampai pada bagian yang sudah berwarna merah. Setelah itu daun-daun rontok dan mengelupas dan sebaiknya dibiarkan 1 tahun. Setelah itu, pohon jati dapat ditebang karena sudah kering keras dan tidak berubah bentuk. Dalam menebang pohon arah jatuhnya kayu juga menjadi pertimbangan terutama ke arah utara. Tumbangnya pohon diusahakan jangan sampai merobohi pohon yang masih hidup, tersangkut, menumpang pohon lain. Adapun supaya jatuhnya ujung kayu yang kan dirobohkan harus menggunakan kesempatan baik pada waktu pagi atau sore hari. Ketika panjang bayangan bentuknya sama dengan panjang kayunya, untuk mengukur panjang kayu yang akan digunakan. Dalam menebang juga menggunakan teknik gethak atau pacal. Di-gethak adalah dipotong tapi tidak sampai putus, sedangkan di-pacal adalah pada bagian atau gethakan dibagi-bagi dikelupas atau menyobek tepat dengan gethakan tadi. Jika yang akan digunakan pohon yang masih hidup ditebang dan dibiarkan selama paling tidak tiga bulan dan diletakkan ditempat lebih tinggi, dengan amben (dipan) diganjal agar tidak langsung terkena tanah. Penebangan pohon juga menggunakan perhitungan waktu (titi mongso).

Beberapa bahan lain disebutkan dalam naskah kuno yang dapat dikaitkan dengan upaya konservasi tradisional, seperti dalam Serat Primbon Jampi Jawi

Kajian Konservasi Tradisional Menurut Naskah Kuno

94

tertulis beberapa bahan yang dapat membunuh ulat, lintah atau rena yang disebut “ minyak latung” dapat membunuh hewan tersebut. Daun rembega/widuri/biduri disebutkan dapat membunuh ulat kecil-kecil.

Daun widuri yang disebutkan dapat membunuh

ulat kecil-kecil diharapkan dapat diterapkan untuk

mengusir ulat atau serangga yang ada benda seperti

di kain, kertas atau kayu perlu untuk diuji coba.

Pengetahuan yang telah diturunkan oleh

nenek moyang tersebut jika memungkinkan dapat

digunakan untuk upaya konservasi tradisional, seperti

penggantian bagian dari rumah tradisional yang rusak

bila perlu menggunakan atau mempertimbangkan

apa yang nenek moyang lakukan dalam proses

pembuatannya agar selaras antara bahan asli dan

bahan pengganti.

V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Dalam Kajian Konservasi Tradisional Menurut Naskah Kuno, sampel naskah kuno dari daerah Jawa berupa primbon, serat, dan suluk tidak dijumpai unsur teks yang memuat konservasi (pengawetan) yang spesifik. Disampaikan secara lugas dan jelas menyebut bahan, alat, cara atau metode dalam melakukan konservasi terhadap suatu benda (selama proses pemakaian). Namun yang dijumpai lebih cenderung pada teks yang memuat unsur membuat awet suatu benda atau bangunan (konservasi secara alami) pada proses pembuatannya yang didasarkan pada pemilihan bahan, perlakuan terhadap bahan, dan waktu pembuatan.

5.2. SaranPerlu dilakukan uji laboratorium untuk

mengilmiahkan konservasi yang telah dilakukan oleh nenek moyang moyang terkait dengan pemilihan bahan, perlakuan terhadap bahan serta bahan lain yang dapat digunakan sebagai konservan.

DAFTAR PUSTAKA

Almos, Rona & Pramono, 2015. “Leksikon Etnomedisin Dalam Pengobatan Tradisional Minangkabau” dalam Jurnal Arbitrer Vol. 2 April 2015. Padang : Universitas Andalas.

Behrend, T. E, 1990. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sonobudoyo. Jakarta: Djambatan

----------------------1997. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3A Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

----------------------1997. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3B Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

----------------------1997. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Mulyana, Deddy, 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rusdakarya.

Lindsay Jennifer, Soetanto RM, dan Feinstein, Alan, 1994. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 2 Kraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Susena, Danang, dkk, 2013. “Pengobatan Tradisional Dalam Naskah-naskah Minangkabau dalam WACANA ETNIK, Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Vol. 4 No. 2 Oktober 2013. Hlm 13-152.

Swastikawati, Ari, 2013. Metode Konservasi Tradisional Cagar Budaya Berbahan Logam. Magelang : Balai Konservasi Borobudur.

h t t p : / / t e g u h i m a n p r a s o j o . w o r d p r e s s .com/2008/08/09/25/etnografi

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume XI, Nomor 2, Desember 2017 Hal 89-94

95