cagar budaya masyarakat alor

Upload: maksi-klaping-maubuthy

Post on 10-Jul-2015

796 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Cagar Budaya Masyarakat AlorDALAM sejarah negeri ini, barangkali kita belum pernah mendengar, jika benda peninggalan atau benda-benda prasejarah mendapat tempat yang terhormat dari kelompok masyarakat disuatu daerah. Kalaupun mendengar, tidak lain berasal dari himpunan masyarakat Alor, suatu masyarakat yang terbentuk dalam klen/marga yang mengikuti garis keturunan ayah. Alor adalah sebuah kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), terletak paling timur dalam gugusan kepulauan di sebelah utara wilayah NTT. Kabupaten ini terdiri dari tiga pulau besar, yakni pulau Alor, pulau Pantar, dan pulau Pura, dan sejumlah pulau kecil tidak berpenghuni ini, memiliki keunikan tersendiri sebagai satu kesatuan dari sebuah daerah Administratif. Keunikan inilah yang kemudian sempat juga membuat Magelhaens menyinggahinya, saat berlayar kembali dari Maluku menuju Eropa pada tanggal 12 januari 1522. Ada ciri khas yang menarik, yang dimiliki oleh masyarakat di daerah tersebut, yakni mas kawin. Mas kawin yang dimiliki tidak seperti mas kawin yang umumnya digunakan di daerah lain di NTT. Di NTT, umumnya menggunakan hewan piaraan sebagai mas kawin. Namun tidak demikian dengan masyarakat Alor. masyarakat alor menggunakan benda peninggalan nenek moyang sebagai mas kawin. Benda yang digunakan sebagai mas kawin itu disebut masyarakat setempat dengan nama moko[2]. Penggunaan moko sebagai mas kawin telah berlangsung selama ratusan tahun. Menurut para arkeolog, moko mulai digunakan oleh masyarakat setempat, sejak abad 14 masehi. Nenek moyang mereka mengawali penggunaan moko sebagai alat tukar, maupun sebagai alat kesenian dalam upacara adat. Dan, baru pada abad 17 masehi, moko kemudian digunakan oleh nenek moyang mereka, sebagai mas kawin.

Penggunaan moko sebagai mas kawin dalam lingkungan masyarakat adat Alor, berlangsung terus hingga sekarang. Posisi moko sebagai mas kawin, sulit tergantikan dengan benda apapun yang lain. Moko dipercaya sebagai alat yang dapat mengikat tali perkawinan mereka sampai kapanpun. Meskipun jumlah moko dari waktu ke waktu semakin berkurang, akibat banyaknya pemburu barang antik, yang siap menadah untuk dibawah ke Bali dan seterusya ke luar negeri. Sejalan dengan pemikiran Herskovits, maka moko dan ataupun fungsinya adalah hasil dari kebudayaan. Begitulah kira-kira. Karena menurutnya benda atau apapun dan termasuk didalamnya perilaku manusia yang telah berlangsung turun temurun oleh sekelompok masyarakat, disebut dengan kebudayaan. Kendatipun moko dianggap sebagai benda yang sakral dan bermakna bagi masyarakat setempat, moko bukanlah karya terampil nenek moyang mereka. Moko berasal dari daerah Dongson , Vietnam Utara. Moko mulai banyak diproduksi pada kisaran abad 12 masehi. Dan, barangkali sampai di Alor akibat persinggungan kebudayaan india yang begitu kuat, seiring dengan masuknya kerajaan Hindu-Budha ke Indonesia . Bagi masyarakat Alor sendiri, sepertinya tidak terpengaruh dengan telaah-telaah ilmiah tentang asal-usul moko. Bagi mereka, moko berasal dari tanah atau terjadi dengan sendirinya. Memang terkesan mistik, apalagi anggapan tersebut semakin kuat ketika pada tanggal 20 agustus 1972, moko dengan ukuran besar ditemukan didalam tanah oleh bapak Simon J Balol di desa Kokar, sesuai petunjuk mimpinya. Begitulah kira-kira. Anggapan tersebut terlalu kuat melekat, hingga kini anggapan tersebut tidak hanya dianut oleh masyarakat adat, tetapi juga kaum intelektual. Bentuk moko bervariasi, besar dan kecil. Moko terbuat dari perunggu, berbentuk drum dengan diameter 40 cm-60 cm dan tinggi 80 cm-100 cm. Di sekujur tubuhnya terdapat hiasan tradisional yang bervariasi, mencerminkan tahun pembuatannya dan juga mencerminkan

kebudayaan asalnya. Ada banyak jenis moko. Jenis-jenis moko yang terdapat di daerah ini yakni, moko Jawa Telinga Utuh cap Bintang dan cap Satu Bunga, ada moko Belektaha cap Bengkarung, ada moko Malayfana Palili dari Alor Timur, moko Makassar Bunga Kemiri Tangan Panjang, moko Aimala Kumis Besar. Sisanya, antara lain, moko cap Naga, Bulan, Paria, dan cap rupa-rupa simbol lainnya. Benda bersejarah ini menyebar di sejumlah kecamatan. Misalnya, moko Pung di kecamatan Pantar, moko Aimala, moko Makasar, dan

moko Jawa di Kecamatan Alor Timur dan Alor selatan, serta moko Habartur Piku diKecamatan Alor Barat Laut. Harus diakui, salah satu tantangan kita dewasa ini adalah bagaimana kita menjaga kebudayaan daerah kita. Kita memiliki begitu banyak karakteristik kebudayan dengan nilai dan makna yang dalam. Sangat disayangkan jika kita sia-siakan begitu saja sedangkan diluar sana (orang asing), tengah gencar mengejar apa yang kita miliki untuk sekedar dikoleksi, kemudian jika telah cukup waktu, akan dipertunjukkan kepada kyalayak ramai. Salah satu produk dari manusia yang berkiblat kebudayaan daerah adalah mereka yang masih memegang teguh karakteristik nilai-nilai kedaerahan. Sisi gelap dari hal ini adalah mereka yang begitu mudahnya mengadopsi budaya global, tanpa mempertimbangkan efek negatifnya. Sisi gelap itu kemudian menghasilkan perasaan sinis atau kurang percaya diri terhadap keunggulan dan karakteristik kebudayaan daerah. Kemudian kita menjadi kehilangan identitas, seperti apa yang dikatakan oleh Kenneth J. Gregen[3], bahwa kita memperoleh pandangan dan nilai-nilai dari seluruh sudut dunia. Kita juga mengambil banyak isyarat dari media. Sehingga identitas kita kini tengah terus berubah dan kembali diarahkan, sebagaimana kita bergerak mengarungi lautan hubungan, atau relasi yang terus berubah. Kebudayaan global yang kita serap bukanlah dijadikan sebagai senjata untuk melemahkan kebudayaan daerah kita. Namun itu dapat dijadikan sebagai pupuk untuk

mengembangkan kebudayaan daerah kita. Sehingga kebudaayaan daerah kita dapat beradaptasi dengan kebudayaan global. Menurut Tilaar[4], kebudayaan global sesungguhnya merupakan kebudayan daerah yang berhasil keluar sebagai pemenang. Masyarakat Alor memiliki sebuah karakteristik yang tidak dimiliki daerah manapun bukan saja di NTT, tetapi di Indonesia atau di dunia barangkali, dengan menjadikan moko sebagai satu-satunya identitas, harga diri dan sebagai symbol asmara mereka, walaupun benturan-benturan kebudayaan selalu datang. Namun mereka tetap menjaga karakteristik tersebut sebagai suatu symbol kebanggaan. Masih banyak diantara kita yang mempunyai kepedulian yagn tinggi terhadap budaya lokal kita. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan pemikiran Sapardi Djoko Damono[5] bahwah kebudayaan kita, layaknya kebudayaan manapaun senantiasa mengalami benturan, pergeseran dan perubahan. Namun selama pendukungnya masih ada kita tidak perlu kuatir akan lenyapnya kebudayaan daerah. Kita semua telah membuktikannya bahwa manusia memiliki kemampuan untuk bisa menjadi pendukung lebih dari satu kebudayaan; manusia bisa bergerak dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain dengan bebas. Dalam satu kesempatan kita bisa menjadi manusia dengan dua kepribadian atau lebih. Kemampuan semacam itu tampaknya semakin diperlukan dan ternyata banyak diantara kita yang sanggup melaksanakannya. Dengan mengecualikan budaya masyarakat Alor. Hal yang kontras dengan pemikiran Sapardi Djoko Damono adalah banyak didapati, kita atau generasi kita yang tidak mampu untuk memilih mana yang tepat untuk diadopsi dari kebudayaan global. Kita tidak lagi lihai sesuai dengan apa yag dikatakannya. Dalam konteks ini kita menginjak-injak amanah nenek moyang yang sesunggunya memiliki nilai yang sangat dalam. Rasa patuh dan hormat terhadap amanah yang diwariskan mulai berangsur hilang karena rasa minder terhadap kepunyaan kita.

Dalam konteks ini, barangkali kita mengatakan bahwa kita identik dengan masyarakat yang terbuka karena dari dulu kita telah bersinggungan dengan kebudayaan asing, baik yang datang kepada kita, maupun yang kita datangi. Sebagai contoh, benda-benda budaya yang kita miliki, sebagiannya merupakan benda-benda budaya yang datang dari luar (moko, kapak

lonjong, dll). Namun hal itu tidak bisa dijadikan suatu alasan untuk menerima secara mentahapa yang sementara kita hadapi. Benda-benda budaya tersebut diterima oleh nenek moyang kita, hanya sebagai suatu benda, kemudian sepenuhnya digunakan tanpa terpengaruh oleh nilai dan makna awal benda-benda budaya tersebut. Benda-benda budaya tersebut, baru kemudian dimaknai lagi oleh nenek moyang kita sesuai dengan kondisi dan perkembangan saat itu. Kita tidak hanya harus bersolek dan berdandan untuk menunjukan kemodern kita, tetapi juga harus pandai menampilkan (tanpa malu) kedaerahan kita untuk mencegah atau menahan budaya modern, dengan menekuni serta memperluas wawasan tentang budaya lokal kita, agar dengan sendirinya timbul rasa kecintaan terhadap budaya daerah yang kita miliki.

Symbol DaerahJumlah moko di Alor dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan. Berkurangnya jumlah moko tersebut diakibatkan oleh banyaknya pemburu barang antik yang dengan gencar mencari moko untuk dibawah ke Bali untuk diteruskan ke luar negeri. Gelombang penadah barang antik tersebut dari waktu ke waktu semakin bertambah, seiring dengan semakin tingginya tuntutan kebutuhan ekonomi. Daya tahan masyarakat semakin melemah, karena faktor ekonomi menjadi indikator. Separoh atau bahkan hampir sebagian besar masyarakat, bermata pencaharian petani ladang, sehingga hal ini juga turut mempengaruhi jumlah moko tersebut.

Tidak heran ada begitu banyak pendapat yang menyatakan bahwa posisi moko sebagai mas kawin digantikan dengan yang lain dalam hal ini adalah uang. Pendapat-pendapat tersebut datang dari pejabat-pejabat teras di lingkup pemerintah setempat. Kedengarannya semakin menggelitik, ketika hendak dimasukan dalam sebuah program pemerintah. Namun tuaian protes datang dari berbagai kalangan, lebih-lebih masyarakat adat. Ini adalah saat yang tepat dimana kita menginterpreasi nilai-nilai yang diwariskan nenek moyang kita dalam prakteknya dalam masyarakat. Tanggungjawab sebagai anak cucu yang merupakan bagian yang harus dijaga. Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan Sapardi Damono bahwa kita tidak kuat menjaga budaya kita. Banyak budaya yang kita miliki telah luntur. Dimanakah budaya gotong royong yang kita miliki. Atau budaya etika ke-timur-an yang katanya merupakan symbol bangsa ini. Semuanya telah hilang akibat kita malu menerapkannya. Apakah kita, atau sepertinya tidak memliki budaya yang pasti. Banyak kasus-kasus yang mencerminkan bahwa kita telah rapuh dan tidak memiliki budaya. Tanggal 4 Agustus 2004, I Gede Ardika, yang saat itu sebagai Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata meresmikan sebuah museum di Alor, yang diberi nama museum

Seribu Moko. Museum ini terletak dijantung kota kalabahi. Meskipun jumlah moko belumsampai pada jumlah seribu (baru 30-an), namun sepertinya kebijakan itu sangat tepat. Pemerintah kayaknya sedang menerapkan pemikiran dari Kuntowijoyo[6], yaitu usaha untuk mengoleksi barang-banrang antik. Namun salah satu alasan yang mendasar adalah bahwa

moko tidak hanya memiliki nilai historis, tetapi lebih dari itu moko merupakan pelindung,sekaligus sebagai symbol kebudayaan Alor.

Charlemen Djahadael, Lahir di Alor, NTT, 15 Oktober 1982. Debut kepenulisannya sudah dimulai sejak masih menduduki bangku SMA, akan tetapi baru dapat meletuskan ide-ide geniunnya secara lebih dalam sejak mulai bergabung dengan komunitas Penulis Muda Rumah

Poetica Nusa Karang NTT. Penulis, sekarang sedang menyelesaikan studi Strata Satu-nya di Universitas Muhhammadiyah Kupang. Ditengah kesibukan kuliahnya, ia juga menjadi Editor In Chief dipenerbit Postmopustaka Kupang, NTT.

http://nusasastra.wordpress.com/page/2/

Moko, dari Simbol Status Sosial hingga Alat Musik Selain Pulau Kenari, Kabupaten Alor juga dikenal sebagai Pulau Seribu Moko. Moko adalah penamaan masyarakat Alor terhadap Nekara yang tebuat dari perunggu. Konon Moko sudah ada sejak abad 14 Masehi. Sebenarnya seberapa penting arti Moko bagi masyarakat Alor ? Secara fisik, Moko berbentuk seperti drum dengan diameter 40cm-60cm dan tinggi 80cm-100cm. Benda ini terbuat dari perunggu atau logam. Di sekujur tubuhnya terdapat hiasan tradisional yang disinyalir menyerupai motof hiasan di zaman

kebudayaan Dongson, Vietnam utara Orang Alor bisa membedakan dengan sangat baik setiap jenis Moko berdasarkan ragam hias, bentuk dan ukurannya. Secara umum Moka dapat dibedakan menjadi dua. Moko ynag diproduksi sebelum ada pengaruh Hindu di Indonesia dan Moko yang diproduksi sesudah ada pengaruh Hindu. Moko adalah benda masa silam yang lahir dari tangan terampil nenek moyang. Di zamannya, ia berfungsi sebagai alat musik tradisional yang digunakan pada waktu upacara adat dan acara kesenian lainnya. Selain itu Moko juga dipakai alat tukarmenukar barang. Dan yang tertinggi, Moko juga digunakan sebagai Mas Kawin untuk

meminang calon mempelai perempuan serta sebagai symbol status social masyarakat

ALor. Seorang peneliti Asing, Cora Dubois, menjelaskan empat fungsi Moko. Pertama, Moko sebagai simbol status sosial. Pemilki jumlah dan jenis Moko tertentu menunjukan status sosial sesorang dalam masyarakat. Misalnya Moko Malei Tana atau Moko Itkira. Kepemilikan Moko ini menunjukan status sosial yang cukup tinggi dan terpandang. Bahkan oarng yang memiliki Moko ini dalam jumlah tertentu akan cukup berpengaruh dalam setiap kepemimpinan tradisional. Kedua, Moko sebagai peralatan belis atau mas kawin. Seorang pria yang hendak menikah harus menyerahkan sejumlah Moko kepada keluarga perempuan calon isteri. Kaum bangsawan menggunakan Moko Malei Tana sebagai mas kawin. Orang biasa menggunakan Moko Malei Utangpei yang disebut delapan bobak. Ketiga, Moko sebagai alat tukar ekonomi. Sejak dahulu orang Alor mengenal Moko sebagai alat tukar seperti uang. Dalam hal ini Moko dapat ditukar dengan barang tertentu secara barter. Hal inilah yang kemudian menyebabkan inflasi pada jaman pemerintahan kolonial Belanda sehingga Belanda membuat sistem baru dengan membatasi peredaran Moko. Keempat, Moko sebagai alat musik. Moko dapat menggantikan fungsi tambur yang terbuat dari kayu dan kulit hewan Alat musik gong dan Moko biasanya dimainkan untuk pengiring taritarian. Dalam perspektif orang Alor, gong yang berbentuk plat dalam posisi telungkup adalah lambang kewanitaan. Sedangkan Moko berbentuk bulat dalam posisi berdiri adalah lambang kejantananhttp://denmasdeni.wordpress.com/2008/09/

Budaya Alor Written by Administrator Tuesday, 20 April 2010 Alor merupakan kabupaten yang terletak paling timur dalam gugusan kepulauan di wilayah NTT wilayah utara. Berbatasan dengan Propinsi Maluku, laut Sawu, laut Flores dan selat Ombai sebelah baratnya, Kabupaten ini memiliki beberapa pulau kecil, pulau pantar, Baranusa, Kambing, Buaya, Tereweng.

Luas kabupaten Alor 2864,6 km2 Keadaan alam pulau Alor agak berbeda dengan gugusan pulau Flores di Adonara dan Lembata yang subur dengan gunung berapi. Kecuali sebagian kecil wilayah sebur Alor Timur. Pulau Alor telah lama dikenal melalui tulisan Pigafetta dalam pelayaran Magelhaens mengelilingi dunia. Setelah mengumpul rempah-rempah di Maluku, kapal Victoria berlayar kembali ke Eropah dengan menyinggahi Alor pada 12 Januari 1522. Ketika itu sebagian besar penduduk pantai telah menganut agama Islam karena kontak dengan Sultan Ternate. Masyarakat Alor pada mulanya dibentuk berdasarkan pada himpunan keluarga inti/bathi yang terdiri dari bapak, ibu, anak, yang secara tradisional memilih tempat tinggal berpisah-pisah tetapi dalam satu klen besar di lembah yang dalam, atau di puncak gunung atau dilereng-lereng bukit. Himpunan ini akhirnya membentuk Bala atau satu klen kecil yang merupakan perluasan dari keluarga inti. Beberapa Bala membentuk klen yang lebih besar berdasarkan keturunan ayah dalam satu rumah adat. Sulit memisahkan peran moko dan belis dalam kehidupan masyarakat Alor terutama dalam perkawinan. Fungsi social moko di Alor sama dengan gading di Flores, terutama Flores Timur. Moko Alor tergolong dalam Nekara type Pejeng (Gianyar/Bali). Bentuk dasarnya lonjong seperti gendang, ada yang berbentuk gendang besar. Pola hiasnya beragam tergantung tahun pembuatannya, yang kebanyakan sekarang di Alor adalah mirip dengan yang ada pada zaman Majapahit. Adapula jenis ragam hias moko yang merupakan hasil produksi pada zaman Hindia Belanda, Hindu, Indonesia sebelum merdeka.http://nttprov.go.id/provntt/index.php?option=com_content&task=view&id=121&Itemid=124

Kebudayaan DongsonDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa

Nekara perunggu dari Sng , Vietnam

Patung perunggu kebudayaan ng Sn, Dong asal Thailand

Kebudayaan ng Sn adalah kebudayaan zaman Perunggu yang berkembang di Lembah Sng Hng, Vietnam. Kebudayaan ini juga berkembang di Asia Tenggara, termasuk di Nusantara dari sekitar 1000 SM sampai 1 SM. Kebudayaan Dongson mulai berkembang di Indochina pada masa peralihan dari periode Mesolitik dan Neolitik yang kemudian periode Megalitik. Pengaruh kebudayaan Dongson ini juga berkembang menuju Nusantara yang kemudian dikenal sebagai masa kebudayaan Perunggu Kebudayaan Dongson secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam, yang berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 Sebelum Masehi. Kebudayaan ini sendiri mengambil nama situs Dongson di Tanh hoa. Masyarakat Dongson adalah masyarakat petani dan peternak yang handal. Mereka terampil menanam padi, memelihara kerbau dan babi, serta memancing. Mereka agaknya menetap di pematang-pematang pesisir, terlindung dari bahaya banjir, dalam rumah-rumah panggung besar dengan atap yang melengkung lebar dan menjulur menaungi emperannya. Selain bertani, masyarakat Dongson juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, bukan hanya nelayan tetapi juga

pelaut yang melayari seluruh Laut China dan sebagian laut-laut selatan dengan perahu yang panjang.

Daftar isi[sembunyikan]

1 Asal mula kebudayaan Dongson 2 Kesenian Dongson 3 Agama dan kepercayaan Dongson 4 Penyebaran Kebudayaan Dongson 5 Sumber

[sunting] Asal mula kebudayaan DongsonAsal mula kebudayaan ini berawal dari evolusi kebudayaan Austronesia . Asal usulnya sendiri telah dicari dari Barat dan bahkan ada yang berpendapat bahwa kelompok itu sampai di Dongson melalui Asia Tengah yang tidak lain adalah bangsa Yue-tche yang merupakan orang orang barbar yang muncul di barat daya China sekitar abad ke-8 SM. Namun pendapat ini sama halnya dengan pendapat yang mengaitkan Dongsaon dengan kebudayaan Halstatt yang ternyata masih diragukan kebenarannya. Asumsi yang digunakan adalah bahwa benda-benda perunggu di Yunnan dengan benda-benda yang ditemukan di Dongson. Meski harus dibuktikan apakah benda-benda tersebut dibuat oleh kelompok-kelompok dari Barat sehingga dari periode pembuatannya, dapat menentukan apakah benda tersebut adalah model untuk Dongson atau hanyalah tiruan-tiruannya. Jika dugaan ini benar maka dapat menjelaskan penyebaran kebudayaan Dongson sampai ke Dataran Tinggi Burma. Pengaruh China yang berkembang pesat juga ikut memengaruhi Kebudayaan Dongson terlebih lebih adanya ekspansi penjajahan China yang mulai turun ke perbatasan-perbatasan Tonkin. Hal ini dilihat dari motif-motif hiasan Dongson memberikan model benda-benda perunggu China pada masa kerajaan-kerajaan Pendekar. Itulah sumber utama seni Dongson yang berkembang sampai penjajahan Dinasti Han yang merebut Tonkin pada tahun 111 SM. Meski demikian , kebudayaan Dongson kemudian memengaruhi kebudayaan Indochina selatan terutama kesenian Cham. Ada pula yang berpendapat bahwa kebudayaan ini mendapat pengaruh Hellenisme melalui model-model yang datang dari arah selatan dan Fu-nan yang merupakan kerajaan besar Indochina pertama yang mendapat pengaruh India. Namun pendapat ini tidak dapat dipertanggungjawabkan.

[sunting] Kesenian Dongson

Benda-benda arkeologi dari Dongson sangat beraneka ragam, karena mendapat berbagai macam pengaruh dan aliran. Hal tersebut nampak dari artefak-artefak kehidupan sehari-hari ataupun peralatan bersifat ritual yang sangat rumit sekali. Perunggu adalah bahan pilihan. Benda-benda seperti kapak dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, mata bajak, topangan berkaki tiga dengan bentuk yang kaya dan indah. Kemudian gerabah dan jambangan rumah tangga, mata timbangan dan kepala pemintal benang, perhiasan-perhiasan termasuk gelang dari tulang dan kerang, manik-manik dari kaca dan lain-lain. Semua benda tersebut atau hampir semuanya diberi hiasan. Bentuk geometri merupakan ciri dasar dari kesenian ini diantaranya berupa jalinan arsirarsir, segitiga dan spiral yang tepinya dihiasi garis-garis yang bersinggungan. Karya yang terkenal adalah nekara besar diantaranya nekara Ngoc-lu yang kini disimpan di Museum Hanoi, serta patung-patung perunggu yang sering ditemukan di makam-makam pada tahapan terakhir masa Dongson.

[sunting] Agama dan kepercayaan DongsonDari motif-motif yang dijumpai pada nekara yang sering disebut-sebut sebagai nekara hujan, ditampilkan dukun-dukun atau syaman-syaman yang kadang-kadang menyamar sebagai binatang bertanduk, menunjukkan pengaruh China atau lebih jauhnya pengaruh masyarakat kawasan stepa. Jika bentuk ini disimbolkan sebagai perburuan, maka ada lagi simbol yang menunujukkan kegiatan pertanian yakni matahari dan katak (simbol air). Sebenarnya, nekara ini sendiri dikaitkan dengan siklus pertanian. Dengan mengandalkan pengaruh ghaibnya, nekara ini ditabuh untuk menimbulkan bunyi petir yang berkaitan dengan datangnya hujan. Pada nekara-nekara tersebut, yang seringkali disimpan di dalam makam terlihat motif perahu yang dipenuhi orang yang berpakaian dan bertutup kepala dari bulu burung. Hal tersebut boleh jadi menggambarkan arwah orang yang sudah mati yang berlayar menuju surga yang terletak di suatu tempat di kaki langit sebelah timur lautan luas. Pada masyarakat lampau, jiwa sering disamakan dengan burung dan mungkin sejak periode itu hingga sekarang masih dilakukan kaum syaman yang pada masa kebudayaan Dongson merupakan pendeta-pendeta menyamar seperti burung agar dapat terbang ke kerajaan orang-orang mati untuk mendapatkan pengetahuan mengenai masa depan. Lagipula nekara-nekara tersebut sendiri didapatkan pada awal abad ke-19 masih digunakan untuk upacara ritual keagamaan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pada nekara tesebut digambarkan kehidupan orang-orang Dongson mulai perburuan, pertanian hingga kematian. Banyaknya perlengkapan pemakaman tersebut menunjukkan ritual yang dilakukan masyarakat Dongson. Antara lain masalah jenazah yang dikelilingi semua benda-benda sehari-hari miliknya agar dapat hidup secara normal di alam baka. Belakangan sebagai upaya penghematan, yang ikut dikuburkan bersama jenazah adalah benda-benda berukuran kecil saja. Kemudia pada masa akhir kebudayaan Dongson, muncul bentuk ritual baru. Sebelumnya makamnya berbentuk peti mati sederhana dari kayu yang dikubur, sementara pada berikutnya yang dinamakan periode Lachtruong, yang mungkin diawali pada abad pertama sebelum Masehi, telah ditemukan makam dari batu bata yang berbentuk terowongan atau lebih tepatnya gua yang terbagi menjadi tiga kamar oleh tembok-tembok lengkung beratap. Semula perlengkapan ini dikait-kaitkan dengan pengaruh

Yunani tentang kehidupan alam baka, meski sebenarnya menunjukkan pengaruh China yang terus-terus bertambah besar yang beranggapan bahwa arwah orang mati bersembunyi dalam guagua yang terdapat di lereng-lereng gunung suci, tempat bersemayam para arwah yang abadi. Makam yang berbentuk terowongan itu boleh dikatakan tiruan dari gua alam gaib tersebut. Peletakan peti mati di kamar tengah, kemudian di ruangan bersebelahan ditumpuk sesajen sebagai makanan untuk arwah dan ruangan ketiga disediakan altar yang terdapat lampu-lampu yang dibawa atau dijaga oleh patung-patung terbuat dari perunggu. Secara sekilas terasa pengaruh Hellenisme yang menandai akhir kebudayaan Dongson.

[sunting] Penyebaran Kebudayaan DongsonKebudayaan Dongson yang berkembang di situs Dongson, ternyata juga ditemukan karya-karya budaya yang diinspirasikan oleh kebudayaan tersebut di bagian selatan Semenanjung Indochina (Samrong, Battambang di Kamboja) hingga Semenanjung Melayu (Sungai Tembeling di Pahang dan Klang di Selangor) hingga Nusantara (Indonesia).http://id.wikipedia.org/wiki/Kebudayaan_Dongson

http://kisahpenemu.wordpress.com/category/bidang-ilmu-fisika/