pemanfaatan herbal dari hulu ke hilir dalam konteks saintifikasi jamu

45
1 Universitas Indonesia Pengelolaan Herbal dalam dari hulu ke Hilir dalam Konteks Saintifikasi Jamu dan Pemanfaatannya dalam Bidang Estetika dr. Richard S.N. Siahaan, M.Si. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obat merupakan komponen pendukung utama dalam pelayanan kesahatan, sehingga upaya pembangunan kesehatan senantiasa memperhatikan pembangunan di bidang kefarmasian. Pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat, terutama obat essential melalui “Kebijakan Obat Nasional”. Demi menunjang ketersediaan dan pemerataan bahan baku obat maka pengembangan obat tradisional menjadi alternatif karena bahan baku obat itu sendiri berada di sekitar kita. Pemerintah pun dalam salah satu subsistem SKN disebutkan bahwa pengembangan dan peningkatan obat tradisional ditujukan agar diperoleh obat tradisional yang bermutu tinggi, aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas, baik untuk pengobatan sendiri oleh masyarakat maupun dalam pelayanan kesehatan formal (Kepmenkes 381 Tentang Kebijakan Obat Tradisional, 2007). Pada tahun 2007, total nilai impor bahan farmasi penting mencapai USD 211,7 juta, 59% diantaranya adalah bahan baku antibiotika. Dan Indonesia tercatat mengimpor bahan farmasi dari RRC sebesar USD 76,5 juta, dan dari India sebesar USD 25 juta. Kondisi ini senantiasa mendorong pemerintah untuk berusaha menggapai kemandirian di bidang industri kefarmasian nasional. Indonesia termasuk mega-centre keaneka-ragaman hayati, namun belum banyak dimanfaatkan dan ekspor masih banyak dalam bentuk raw material (bahan mentah dan simplisia kering) yang memiliki nilai ekonomi rendah jika dibanding dengan ekstrak ataupun produk siap pakai (Herbal terstandar, fitofarmaka ataupun sediaan kosmetik). Diperkirakan

Upload: richard-siahaan

Post on 12-Aug-2015

186 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Herbal untuk estetika dalam konteks saintifikasi jamu

TRANSCRIPT

Page 1: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

1

Universitas Indonesia

Pengelolaan Herbal dalam dari hulu ke Hilir

dalam Konteks Saintifikasi Jamu dan

Pemanfaatannya dalam Bidang Estetika

dr. Richard S.N. Siahaan, M.Si.

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Obat merupakan komponen pendukung utama dalam pelayanan kesahatan,

sehingga upaya pembangunan kesehatan senantiasa memperhatikan pembangunan di

bidang kefarmasian. Pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk menjamin

ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat, terutama obat essential melalui

“Kebijakan Obat Nasional”. Demi menunjang ketersediaan dan pemerataan bahan

baku obat maka pengembangan obat tradisional menjadi alternatif karena bahan baku

obat itu sendiri berada di sekitar kita. Pemerintah pun dalam salah satu subsistem

SKN disebutkan bahwa pengembangan dan peningkatan obat tradisional ditujukan

agar diperoleh obat tradisional yang bermutu tinggi, aman, memiliki khasiat nyata

yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas, baik untuk pengobatan

sendiri oleh masyarakat maupun dalam pelayanan kesehatan formal (Kepmenkes 381

Tentang Kebijakan Obat Tradisional, 2007).

Pada tahun 2007, total nilai impor bahan farmasi penting mencapai USD

211,7 juta, 59% diantaranya adalah bahan baku antibiotika. Dan Indonesia tercatat

mengimpor bahan farmasi dari RRC sebesar USD 76,5 juta, dan dari India sebesar

USD 25 juta. Kondisi ini senantiasa mendorong pemerintah untuk berusaha

menggapai kemandirian di bidang industri kefarmasian nasional. Indonesia termasuk

mega-centre keaneka-ragaman hayati, namun belum banyak dimanfaatkan dan ekspor

masih banyak dalam bentuk raw material (bahan mentah dan simplisia kering) yang

memiliki nilai ekonomi rendah jika dibanding dengan ekstrak ataupun produk siap

pakai (Herbal terstandar, fitofarmaka ataupun sediaan kosmetik). Diperkirakan

Page 2: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

2

Universitas Indonesia

40.000 spesies tumbuhan hidup di muka bumi ini, 30.000 di antaranya tumbuh di

Indonesia. Dari jumlah itu, baru sekitar 180 spesies yang dimanfaatkan sebagai bahan

oleh industri obat tradisional dan industri kosmetika.

Perguruan tinggi yang memiliki peranan dalam mengimplementasikan

tridarma perguruan tinggi yaitu fungsi pendidikan, pengajaran dan penelitian serta

pengabdian kepada masyarakat diharapakan dapat mencetak profesional yang bukan

hanya menguasai ilmu secara teoritis saja tetapi mampu juga menguasai ilmu

pengetahuan secara praktis dan aplikatif yang bisa langsung dimanfaatkan atau

dirasakan oleh masyarakat luas. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dapat

dilakukan oleh perguruan tinggi meliputi kegiatan pembinaan dan pendampingan

terhadap Industri Kecil Obat Tradisional. Pembinaan yang dapat dilakukan berupa

sosialisasi Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) dan penerapan

CPOTB dalam proses produksi obat tradisional. Dengan proses implementasi ilmu

dilapangan maka mahasiswa bisa tahu bagaimana pengembangan obat tradisional

dilapangan yang sesungguhnya.

Dari Penjelasan di atas maka diperlukan suatu kegiatan yang dapat membantu

mahasiswa dalam mengembangkan kelimuannya, serta dapat berfikir tanggap dan

kritis dalam memecahkan persoalan yang timbul di lapangan atau di dunia kerja

nantinya. Bentuk kegiatan tersebut diantaranya Praktek Kerja Lapangan. Praktek

Kerja Lapangan merupakan mata kuliah wajib sebagai mahasiswa Magister Herbal

Universitas Indonesia baik jurusan herbal medik dan estetika yang berbobot 2 SKS.

Dengan melakukan Praktek Kerja Lapangan maka diharapkan mahasiswa dapat

mengetahui dan megerti mengenai pengembangan dan pemanfaat obat tradisional dari

Hulu sampai ke Hilir.

Praktek Kerja lapangan yang dilaksanakan di Jakarta, Jawa Tengah dan

Surabaya berupa kegiatan kunjungan serta mengobservasi kegiatan yang dilakukan

pada masing-masing institusi yang berkaitan dengan pengolahan, pengembangan dan

pemanfaatan obat tradisional untuk kesehatan dan industri kosmetika. Kegiatan

berupa melakukan kunjungan ke B2P2 TO-OT, Pabrik Pengolahan Ekstrak Herbal

PT Borobudur, industri obat herbal PT Deltomed, Pusat Ristek Dan Pendidikan Marta

Page 3: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

3

Universitas Indonesia

Tilaar Grup, Serta Klinik saintifikasi jamu Di Tawangmangu dan Poli Obat

Tradisional Indonesia (OTI) RS dr. Soetomo Surabaya. Kegiatan ini diharapakan

dapat membantu mahasiswa dalam menimba pengalaman dan pengetahuan yang

bersifat aplikatif untuk menunjang pendidikan magister Herbal.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengembangan Herbal dari Hulu ke Hilir

Pengembangan obat tradisional di Indonesia tidak terlepas dari cara

pengolahan herbal itu sendiri dari Hulu sampai ke Hilir dan cara pemanfaatannya di

dunia kesehatan dan kecantikan. Cara-cara pengolahan dan standardisasi dari obat

herbal itu mulai dari penanaman, pengolahan, industri dan pemelitian manfaat dan

pemanfaatannya sangat mempengaruhi Kualitas, keamanan, khasiat (Quality, Safety

and Efficacy) obat bahan alam tersebut.

Dalam bab ini akan dibahas mengenai :

1. Pengertian obat tradisional dan Obat Bahan alam,

2. Jamu, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka

3. Tinjauan umum Proses Pengolahan herbal dari Hulu ke Hilir.

4. Penyediaan Bahan Baku Obat Herbal (raw material) (penerapan GAP)

5. Pengolahan Raw Material menjadi Herbal terstandar. (Penerapan GMP)

6. Proses Pengolahan Herbal menjadi produk jadi kesahatan (Penerapan GMP)

7. Penelitian Obat Herbal (Penerapan GCP)

8. Pemanfaatan Herbal untuk industri estetik dan Kedokteran Pencegahan.

2.2. Pengertian Obat Tradisional dan Obat Bahan Alam

Menurut Permenkes No 246/Menkes/Per/V/1990 yang dimaksud dengan obat

tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan

hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dan bahan-bahan tersebut,

yang secara traditional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.

Page 4: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

4

Universitas Indonesia

Sedangkan yang dimakasud dengan Obat Bahan Alam adalah semua jenis sediaan

bahan alam yang belum sampai pada isolate murni. Menurut Keputusan Badan POM

Nomor : HK.00.05.4.2411 tahun 2006, yang termasuk ke dalam obat bahan alam

Indonesia ada 3 kategori yaitu Jamu, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka.

Penggolangan ini dapat dilihat pada gambar 2.1.

Sediaan Berupa Simplisia

dengan Bukti Empiris

Sediaan Berupa Ekstrak

dengan Bukti Ilmiah

secara Pra Klinis

Sediaan Berupa Ekstrak

dengan Bukti Ilmiah

secara Klinis

Jamu

Obat Herbal

Terstandar

(OHT)

Fitofarmaka

Gambar 2.1. Kategori Obat Bahan Alam Indonesia (BPOM, 2006)

2.3. Jamu, Obat Herbal Tersdandar dan Fitofarmaka

Jamu adalah obat bahan alam yang sediannya masih berupa simplisia

sederhana. Khasiat dan keamanannya baru terbukti secara empiris berdasarkan

pengalaman turun temurun. Disebut sebagai jamu bila sudah digunakan di masyarakat

secara turun temurun melewati 3 generasi atau setara dengan 180 tahun. Menurut

BPOM RI jamu harus memenuhi kriteria Aman sesuai dengan persyaratan yang

ditetapkan, klaim khasiat berdasarakan data empiris, dan memenuhi persyaratan mutu

yang berlaku.

Obat Herbal Terstandar adalah obat bahan alam yang bentuk sediaannya

sudah dalam bentuk ekstrak dengan bahan dan proses pembuatan yang

tersdandarisasi. Herbal terstandar juga harus melewati uji praklinis seperti uji

Page 5: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

5

Universitas Indonesia

keamanan (toksisitas jangka pendek dan jangka panjang), Uji Manfaat (efek

farmakologinya), dan harus memenuhi kualiatas pembuatan herbal yang terstandar.

Menurut BPOM, Obat Herbal Terstandar harus memenuhi kriteria Aman sesuai

persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah (uji Praklinik,

dan terlah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku dalam produk jadi.

Fitofarmaka adalah Obat herbal terstandar yang sudah naik kelas menjadi

fitofarmaka karena sudah melalui uji klinis. Dosis pada hewan percobaan

dikonversikan ke dosis aman bagi manusia. Dari uji inilah diketahui keamanan efek

pada hewan percobaan dan manusia. Menurut BPOM fitofarmaka harus memenuhi

kriteria seperti obat herbal terstandar hanya saja ditambahakan dengan bukti khasiat

harus sudah melalui uji klinis.

2.4. Tinjauan Umum Proses Pengolahan Obat Bahan Alam dari Hulu ke Hilir

Pengolahan obat bahan alam harus memenuhi kriteria mutu yang sudah

terstandarisasi, oleh karena itu proses pengolahan yang baik merupakan mulai dari

penananaman sampai pada pemanfaat obat bahan harus memenuhi urut-urutan dan

standar yang sudah ditetapkan demi menjamin reliabilitas dari obat bahan alam

tersebut.

Secara umum tahap-tahapan pengolahan dan pemanfaatan obat bahan alam

adalah sebagai berikut :

1. Proses penyedian bahan baku obat bahan alam yang meliputi proses

penanaman (budi daya), pemanenan, dan penanganan pasca panen yang

harus menerapkan Good Agriculture Practice (GAP) dan Good Colecting

Practice (GCP)

2. Proses Pengolahan bahan alam menjadi obat tersdandar yang meliputi

proses pembuatan simplisia sampai dengan penkekstrakan sampai dengan

produk jadi dalam industri yang harus menerapkan Good Manufacturing

Practice (GMP)

3. Proses pengujian dan penelitian obat bahan alam yang sudah dalam bentuk

formulasi atau sediaan kosmetik untuk mendapatkan data stabilitas dan

Page 6: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

6

Universitas Indonesia

toksisitas dari obat bahan alam tersebut, dan peneliti harus sudah

menerapkan Good Clinical Practice (GCP)

4. Proses pemanfaatan obat bahan alam untuk estetika dan kedokteran

(pengobatan). Pemanfaatan di bidang kecantikan harus memenuhi

pengujian manfaat, keamanan dan stabilitas produk. Sedangkan untuk

pemanfaatannya di bidang kedokteran diatur dalam permenkes tentang

saintifikasi jamu dimana dalam saintifikasi jamu ini penelitian dan

pemnafaatan obat herbal dijadikan satu layanan dalam sebuah klinik atau

institusi kesehatan yang sudah ditunjuk.

Tahap-tahapan pengolahan dan pemanfaat obat herbal dari Hulu ke Hilir dapat

dilihat pada gambar 2.3. di bawah ini.

Budidaya

HutanTanaman

Liar

Study

Etnobotani

PengumpulanPasca

Panen

Serbuk

Tingtur

Simplisia

Bahan Baku

Uji Manfaat

Industri

Pemakaian di

bidang

kedokteran

Pemakaian dalam Bidang

Kecantikan dan

Perawatan Tubuh

Ekstrak

Uji

Toksisitas

Uji

Stabilitas

GAP GCP GMP

Saintifikasi Jamu

Good

Clinical

Practice

Gambar 2.3. Pemanfaatan obat Herbal dari Hulu ke Hilir dan Sistem Jaminan Mutu

Obat Herbal

2.5. Penyediaan Bahan Baku Obat Herbal (raw material) (penerapan GAP)

Penyiapan bahan baku obat dimulai dengan Studi etnobotani sampai dengan

penanganan pasca panen.

Page 7: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

7

Universitas Indonesia

Etno botani merupakan ilmu botani mengenai pemanfaatan tumbuhan dalam

keperluan shari-hari dan adat suku bangsa. Studi ini tidak hanya menyangkut

taksonomi teapi memyangkut pengetahuan botani yang bersifat kedaerahan, berupa

tinjauan interpretasi dan asosiasi yang mempelajari hubungan timbal balik antara

manusia dengan tanaman. Studi etnobotani adalah studi yang bertujuan untuk

mencari bahan-bahan alam dari tumbuh-tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai

bahan alam obat-obatan.

Tahapan-tahapan yang harus dilakukan sesuai dengan penerapan Good

Agriculuture Practice adalah sebagai berikut :

1. Pemilihan Bibit Tanaman Obat

Bibit merupakan salah satu penentu keberhasilan budidaya tanaman. Budidaya

tanaman sebenarnya telah dimulai sejak memilih bibit tanaman yang baik, karena

bibit merupakan obyek utama yang akan dikembangkan dalam proses budidaya

selanjutnya. Selain itu, bibit juga merupakan pembawa gen dari induknya yang

menentukan sifat tanaman setelah berproduksi. Oleh karena itu untuk memperoleh

tanaman yang memiliki sifat tertentu dapat diperoleh dengan memilih bibit yang

berasal dari induk yang memiliki sifat tersebut.

Pemilihan bibit tanaman obat terdiri dari 2 aspek yaitu pemilihan varietas

unggul untuk tanaman obat yang memliki bahan baku yang unggul dengan

kandungan tertentu dan identitas botani yang memiliki kandungan tertentu yang

memiliki efek farmakologi. Untuk menjaga kwalitas unggul dari tanaman obat maka

perbanyakan dari bibit tanaman obat dapat secara pembenihan dengan biji (generatif),

secara vegetatif dan dengan kultur jaringan.

2. Budidaya Tanaman Obat

Dalam budidaya tanaman obat disini termasuk kedalamnya adalah pemilihan

lahan dan pemupukan, pengairan, pemeliharaan dan pengendalian organisme

pengganggu.

Keragaman jenis tanaman obat mulai dari jenis tanaman dataran rendah

sampai tanaman dataran tinggi menuntut penyesuaian lingkungan untuk kegiatan

Page 8: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

8

Universitas Indonesia

budidaya tanaman tersebut. Setiap jenis tanaman obat membutuhkan kondisi

lingkungan tertentu agar dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal.

Lingkungan pertumbuhan yang dimaksud meliputi iklim dan tanah. Beberapa

unsur iklim seperti suhu, curah hujan dan penyinaran matahari secara langsung

berpengaruh bagi pertumbuhan tanaman. Setiap tanaman obat membutuhkan suhu

udara yang sesuai agar proses metabolisme dapat berjalan baik, sedangkan suhu tanah

akan mempengaruhi proses perkecambahan benih. Suhu tanah yang terlalu rendah

dapat menghambat proses perkecambahan, sedangkan suhu tanah yang terlalu tinggi

dapat mematikan embrio yang terdapat pada biji.

Tanaman obat-obatan membutuhkan curah hujan yang cukup dengan

distribusi yang merata. Ketersediaan air merupakan salah satu faktor penentu

keberhasilan budidaya tanaman obat. Apabila jumlah curah hujan tidak dapat

memenuhi kebutuhan air bagi tanaman obat maka harus dilakukan penyiraman atau

pengairan melalui irigasi.

Penyinaran matahari juga sangat penting pada budidaya tanaman obat. Sudut

dan arah datangnya sinar matahari, lama penyinaran dan kualitas sinar merupakan

faktor-faktor yang mempengaruhi proses fotosintesis pada tanaman obat. Jumlah

radiasi matahari yang tidak optimal akan menyebabkan penurunan kualitas dan

kuantitas produksi tanaman obat. Beberapa jenis tanaman obat membutuhkan

pelindung untuk mengurangi jumlah radiasi matahari yang diterima, tetapi jenis

tanaman obat lainnya membutuhkan jumlah radiasi matahari maksimal untuk

berfotosintesis.

Unsur-unsur iklim lain seperti kelembaban, angin dan keawanan juga perlu

diperhatikan dan disesuaikan dengan kebutuhkan tanaman obat yang akan

dibudidayakan. Kesuburan tanah tempat bercocok tanam tanaman obat juga

merupakan penentu keberhasilan budidaya tanaman obat tersebut. Kesuburan tanah

yang harus diperhatikan meliputi kesuburan fisik, kimia dan biologi. Tanah sebaiknya

memiliki perbandingan fraksi liat, lempung dan pasir yang seimbang, gembur,

kandungan bahan organik tinggi, aerase dan drainase baik, memiliki kandungan hara

yang tinggi, pH tanah cenderung netral antara 6,0 – 7,0.

Page 9: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

9

Universitas Indonesia

3. Pemanenan

Mengingat produk tanaman obat dapat berasal dari hasil budidaya dan dari

hasil eksplorasi alam maka penanganan atau penentuan saat panen secara tepat sangat

berarti. Tanaman obat haruslah dipanen sepanjang waktu-waktu tertentu (musim yang

optimal) untuk memastikan hasil produksi hasil akhir tanaman obat tersebut memiliki

kwalitas yang terbaik. Waktu untuk pemanenan tergantung dari tanaman dan bagian

tanaman yang akan dipanen, dan biasanya rincian cara pemenenan masing-masing

tanaman obat ada pada pharmacophe, standarisasi, monograf yang ada di masing-

masing negara. Secara umum yang sudah diketahui bahwa konsentrasi dari

kandungan aktif dari tanaman obat berfariasi tergantung dari stadium dari

pertumbuhan dan perkembangannya. Waktu pemanenan haruslah ditentukan

berdasarkan waktu terbaik dimana kualitas dan jumlah dari kandungan zat aktifnya

tinggi pada saat itu. Selama pemanenan perhatian perlu dilakukan untuk memastikan

bahwa tidak ada bahan lain, rumput-rumputan liar, atau tanaman lain yang bercampur

dengan tanaman obat pada saat pemanenan.

Tanaman obat haruslah dipanen pada kondisi yang terbaik, harus menghindari

embun hujan atau kelembaban yang tinggi. Bila pemanenan memerlukan kondisi

yang kering, tanaman yang dipanen haruslah diangkut secepatnya ke dalam fasilitas

pengeringan di dalam ruangan untuk mempercepat pengeringan untuk mencegah

kemungkinan efek yang merusak yang disebabkan oleh karena peningkatan level

kelembaban yang dapat meningkatkan fermentasi dari jasad renik dan jamur.

Alat pemotong, pemanen dan mesin-mesin lainnya haruslah dijaga tetap

bersih untuk mengurangi kerusakan dan kontaminasi dari tanah dan material lainnya.

Mesin haruslah disimpan ditempat yang tidak terkontaminasi dan kering atau fasilitas

yang bebas dari serangga, tikus, burung dan hama lainnya, dan tidak dapat dilalui

oleh ternak dan hewan lainnya. Kontak dengan tanah haruslah dihindarkan untuk

menghindari perluasan kemungkinan adanya perkemangan jasada renik pada material

tanaman obat. Tanaman obat yang dipanen haruslah diangkut dalam keadaan bersih

dan kondisi kering dan harus dimasukan ke dalam keranjang yang bersih, kantong

Page 10: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

10

Universitas Indonesia

kering, trailer, gerobak atau container yang lain dan dibawa ke titik penjemputan

untuk dibawa ke fasilitas pemrosesan berikutnya.

Semua kontainer yang digunakan pada pemanenan haruslah dijaga tetap

bersih dan bebas dari kontaminan yang berasal dari tanaman yang dipanen

sebelumnya atau material asing lainya. Jika container sedang tidak digunakan maka

haruslah tetap dijaga dalam kondisi kering dalam area yang terlindung dari serangga,

tikus, burung dan hama lainnya, dan juga tidak bisa dilalui oleh ternak atau hewan

lainnya.

Pada dasarnya tujuan penanganan dan pengelolaan saat panen adalah sebagai

berikut :

a. Untuk memperoleh bahan baku yang memenuhi standar mutu.

b. Menghindari terbuangnya hasil panen secara percuma serta mengurangi

kerusakan hasil panen.

c. Agar semua hasil panen dapat dimanfaatkan sesuai harapan.

4. Penanganan Pasca Panen

Penanganan dan pengelolaan pascapanen adalah suatu perlakuan yang

diberikan pada hasil pertanian hingga produk siap dikonsumsi. Penanganan dan

pengelolaan pascapanen tanaman obat dilakukan terutama untuk menghindari

kerugian-kerugian yang mungkin timbul akibat perlakuan prapanen dan pascapanen

yang kurang tepat. Hal-hal yang dapat mengakibatkan kerugian, misalnya terjadinya

perubahan sifat zat yang terdapat dalam tanaman, perlakuan dan cara panen yang

tidak tepat, masalah daerah produksi yang menyangkut keadaan iklim dan

lingkungan, teknologi pascapanen yang diterapkan, limbah, serta masalah sosial-

ekonomi dan budaya masyarakat.

Pengelolaan pascapanen tanaman obat perlu dilakukan secara hati-hati.

Pengelolaan pascapanen meliputi kegiatan penyortiran, pencucian, pengolahan hasil

(pengupasan kulit serta pengirisan), pengeringan, pengemasan, sampai pada

penyimpanan.

Adapun tujuan pengelolaan pascapanen tanaman obat dapat dirangkum

sebagai berikut :

Page 11: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

11

Universitas Indonesia

a. Mencegah kerugian karena perlakuan prapanen yang tidak tepat.

b. Menghindari kerusakan akibat waktu dan cara panen yang tidak tepat.

c. Mengurangi kerusakan pada saat pengumpulan, pengemasan, dan

pengangkutan saatpendistribusian hasil panen.

d. Menghindari kerusakan karena teknologi pascapanen yang kurang tepat.

e. Menekan penyusutan kuantitatif dan kualitatif hasil.

f. Terjaminnya suplai bahan baku produksi tanaman obat meskipun tidak pada

musimnya.

g. Pengolahan limbah yang dapat memberikan nilai tambah bagi produsen

simplisia, contoh sisa-sisa hasil pengolahan simplisia untuk pembuatan

pupuk kompos.

h. Meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya alam dan menjamin

kelestariannya.

Kegiatan pengelolaan pascapanen tanaman obat menunjukkan suatu sistem

yang kompleks serta melibatkan banyak faktor, baik teknis, sosial budaya, dan

ekonomi. Melihat hubungan yang saling berkait dan kompleks tersebut maka

diperlukan peran pemerintah danswasta secara aktif dalam membantu meningkatkan

pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan tanaman obat.

2.6. Pengolahan Raw Material menjadi Herbal terstandar. (Penerapan GMP)

Proses pengolahan raw material menjadi bahan baku dasar herbal merupakan

hal yang sangat penting untuk menjaga kualitas produk jadi suatu herbal sehingga

jumlah kandungan zat aktif tidak terganggu dan khasiat dari herbal tersebut dapat

terjada. Jenis-jenis bahan dasar herbal dapat berupa simplisia, ekstrak herbal, dan

Minyak Atsiri.

2.6.1. Pembuatan Simplisia

Simplisia merupakan bawan awal pembuatan sediaan herbal. Mutu sediaan

herbal sangat dipengeruhi oleh mutu simplisia yang digunakan, karena itu sumber

simplisia, cara pengolahan dan penyimpanan harus dilakukan dengan baik. Simplisia

Page 12: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

12

Universitas Indonesia

adalah bahan alam yang digunakan sebagai bahan sediaan herbal yang belum

mengalami pengolahan bahan yang telah dikeringkan. (BPOM, 2005).

Penanaganan pembuatan simplisia mulai dari pemanenan sampai pasca panen

sudah dijelaskan di atas. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai penanganan

pengolahan tanaman obat sesudah dipanen sampai dibentuk simplisia. Prosesnya

adalah sebagai berikut :

1. Penyortiran (Sortir Basah)

Penyortiran basah dilakukan setelah selesai panen dengan tujuan untuk

memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing, bahan yang tua dengan yang

muda atau bahan yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Bahan nabati yang baik

memiliki kandungan campuran bahan organik asing tidak lebih dari 2%. Proses

penyortiran pertama bertujuan untuk memisahkan bahan yang busuk atau bahan yang

muda dan yang tua serta untuk mengurangi jumlah pengotor yang ikut terbawa dalam

bahan.

2. Pencucian

Pencucian bertujuan menghilangkan kotoran-kotoran dan mengurangi

mikriba-mikroba yang melekat pada bahan. Pencucian harus segera dilakukan setelah

panen karena dapat mempengaruhi mutu bahan. Pencucian menggunakan air bersih

seperti air dari mata air, sumur atau PAM. Penggunaan air kotor menyebabkan

jumlah mikroba pada bahan tidak akan berkurang bahkan akan bertambah. Pada saat

pencucian perhatikan air cucian dan air bilasannya, jika masih terlihat kotor ulangi

pencucian/pembilasan sekali atau dua kali lagi. Perlu diperhatikan bahwa pencucian

harus dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin untuk menghindari larutnya

atau terbuangnya zat yang tekandung dalam bahan. Pencucian bahan dapat dilakukan

dengan beberapa cara antara lain :

a. Perendaman Bertingkat

Perendaman biasanya dilakukan pada bahan yang tidak banyak mengandung

kotoran seperti daun, bunga, buah dan lain-lain. Proses perendaman dilakukan

beberapa kali pada wadah dan air yang berbeda, pada rendaman pertama air

Page 13: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

13

Universitas Indonesia

cuciannya mengandung kotoran paling banyak. Saat prendaman kotoran-kotoran yang

melekat kuat pada bahan dapat dihilngkan langsung dengan tangan. Metode ini akan

menghemat penggunaan air, namun sangat mudah melarutkan zat-zat yang

terkandung dalam bahan.

b. Penyemprotan

Penyemprotan biasanya dilakukan pada bahan yang kotorannya banyak

melekat pada bahan seperti rimpang, akar, umbi, dan lain-lain. Proses penyemprotan

dilakukan dengan menggunakan air yang bertekanan tinggi. Untuk lebih meyakinkan

kebersihannya, kotoran yang melekat kuat pada bahan dapat dihilangkan langsung

dengan tangan. Proses ini biasanya menggunakan air yang cukup banyak, namun

dapat mengurangi resiko hilang atau larutnya kandungan dalam bahan.

c. Penyikatan (manual maupun otomatis)

Pencucian dengan menyikat dapat dilakukan terhadap jenis bahan yang

keras/tidak lunak dan kotorannya melekat sangat kuat. Pencucian ini memakai alat

bantu sikat yang digunakan bentuknya bisa bermacam-macam, dalam hal ini perlu

diperhatikan kerbersihan dari sikat yang digunakan. Penyikatan dilakukan terhadap

bahan secara perlahan dan teratur agar tidak merusak bahannya. Pembilasan

dilakukan pada bahan yang sudah disikat. Metode pencucian ini dapat menghasilkan

bahan yanga lebih bersih dibandingkan dengan metode pencucian lainnya, namun

meningkatkan resiko kerusakan bahan, sehingga merangsang pertumbuhan bakteri

atau mikroorganisme.

3. Penirisan/Pengeringan

Setelah pencucian, bahan langsung ditiriskan di rak-rak pengering. Khusus

untuk bahan rimpang penjemuran dilakukan selama 4 – 6 hari. Selesai pengeringan

dilakuakn kembali penyortiran apabila bahan langsung digunakan dalam bentuk segar

sesuai dengan permintaan. Contohnya untuk rimpang jahe, perlu dilakukan

penyortiran sesuai standar perdagangan, karena mutau bahan menentukan harga jual.

Berdasarkan standar perdagangan, mutu rimpang jahe segar dikategorikan sebagai

berikut :

Page 14: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

14

Universitas Indonesia

a. Mutu I : Bobot 250 gr/rimpang, kulit tidak terkelupas, tidak

mengandung benda asing dan tidak berjamur.

b. Mutu II : Bobot 150 – 249 gr/rimpang, kulit tidak mengandung benda

asing dan tidak berjamur.

c. Mutu III : Bobot sesuai hasil analisis, kulit yang terkelupas maksimum

10%, benda asing maksimum 3%, kapang maksimum 10%.

4. Perajangan

Perajangan pada bahan dilakukan untuk mempermudah proses selanjutnya

seperti pengeringan, pengemasan, penyulingan minyak atsiri dan penyimpanannya.

Perajangan biasa hanya dilakukan pada bahan yang ukurannya agak besar dan tidak

lunak sperti akar, rimpang, batang, buah dan lain-lain. Ukuran perajangan tergantung

dari bahan yang digunakan dan berpengaruh terhadap kualitas simplisia yang

dihasilkan. Perajangan terlalu tipis dapat mengurangi zat aktif yang terkandung dalam

bahan. Sedangkan jika terlalu tebal, maka pengurangan kadar air dalam bahan agak

sulit dan memerlukan waktu yang lama dalam penjemuran dan kemungkinan besar

bahan mudah ditumbuhi jamur.

Ketebalan perajangan untuk rimpang temulawak adalah sebesar 7 – 8 mm,

jahe, kunyit dan kencur 3 – 5 mm. Perajangan bahan dapat dilakukan secara manual

dengan pisau yang tajam dan terbuat dari steinlees ataupun dengan mesin

pemotong/perajang. Bentuk irisan split atau slice tergantung tujuan pemakaian. Untuk

tujuan mendapatkan minyak atsiri yang tinggi bentuk irisan sebaiknya membujur

(split) dan jika ingin bahan lebih cepat kering bentuk irisan sebaiknya melintang

(slice).

5. Pengeringan

Pengeringan merupakan suatu cara pengawetan atau pengolahan pada bahan

dengan cara mengurangi kadar air, sehingga proses pembusukan dapat terhambat.

Dengan demikian dapat dihasilkan simplisia terstandar, tidak mudah rusak dan tahan

disimpan dalam waktu yang lama. Dalam proses ini, kadar air dan reaksi-reaksi zat

aktif dalam bahan akan berkurang, sehingga suhu dan waktu pengeringan harus

Page 15: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

15

Universitas Indonesia

diperhatikan.Suhu pengeringan tergantung dari bahan yang akan dikeringkan. Pada

umumnya suhu pengeringan antara 40-60oC dana hasil yang baik dari proses

pengeringan adalah simplisia dengan kadar air 10%. Demikian juga dengan waktu

pengeringan pada tiap bahan berbeda tergantung dari bahan yang dikeringkan seperti

rimpang, daun, kayu atau bunga. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam proses

pengeringan adalah kebersihan, (khususnya pengeringan dengan menggunakan sinar

matahari), kelembaban udara, dan tebal bahan (tidak saling menumpuk). Pengeringan

dapat dilakukan dengan cara tradisional dengan menggunakan sinar matahari atau

dengan cara modern dengan menggunakan alat pengering seperti oven, rak pengering,

blower, atau dengan fresh dryer. Pengeringan hasil rajangan dari temu-temuan dapat

dilakukan dengan sinar matahari, oven, bolwer dan fresh dryer pada suhu 30-50oC.

Pengeringan pada suhu terlalu tinggi dapat merusak komponen aktif, sehingga

mutunya dapat menurun.

Pengeringan dapat menyebabkan perubahan-perubahan hidrolisa enzimatis,

pencokelatan, fermentasi dan oksidasi. Ciri-ciri pengeringan sudah berakhir apabila

daun ataupun temu-temuan sudah dapat dipatahkan dengan mudah. Pada umumnya

bahan (simplisia) yang sudah kering memiliki kadar air 8 – 10%. Dengan jumlah

kadar air tersebut kerusakan bahan dapat ditekan baik dalam pengolahan maupun

waktu penyimpanan,

6. Penyortiran (Sortir Kering)

Penyortiran dilakukan bertujuan untuk memisahkan benda-benda asing yang

terdapat pada simplisia, misalnya akar-akar, pasir, kotoran unggas atau benda asing

lainnya. Proses penyrotiran merupakan tahap akhir dari pembuatan simplisia kering

sebelum dilakukan pengemasan, penyimpanan, atau pengolahan lebih lanjut. Setelah

penyortiran, simplisia ditimbang untuk mengetahui rendeman hasil dari proses pasca

panen yang dilakukan.

7. Pengemasan

Pengemasan dapat dilakukan pada simplisia yang sudah dikeringkan. Jenis

kemasan yang digunakan dapat berupa plastik, kertas maupun karung goni.

Persyaratan kemasan yaitu dapat menjamin mutu produk yang dikemas, mudah

Page 16: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

16

Universitas Indonesia

dipakai, tidak mempersulit penanganan, dapat melindungi isi pada saat pengankutan,

tidak beracun dan tidak bereaksi dengan isi dan kalau boleh mempunyai bentuk dan

rupa yang menarik.

Berikan label yang jelas pada setiap kemasan tersebut yang isinya menuliskan

nama bahan, bagian dari tanaman bahan yang digunakan, tanggal pengemasan, nomer

kode produksi, nama dan alamat penghasil, berat bersihm dan metode penyimpanan.

8. Penyimpanan

Penyimpanan simplisia dapat dilakukan di ruang biasa pada suhu kamar,

ataupun di ruangan ber AC (air conditioner). Ruang penyimpanan haruslah bersih,

udaranya cukup kering, dan berventilasi udara. Ventilasi harus cukup baik karena

hama menyukai udara yang lembab dan panas. Sebelum penyimpanan ada hal-hal

utama yang harus diperthatikan yaitu :

a. Gudang harus terpisah dari tempat penyimpanan bahan lainnya ataupun

penyimpanan alat dan dipelihara dengan baik.

b. Ventilasi udara cukup baik dan bebas dari kebocoran atu kemungkinan

masuk air hujan.

c. Suhu gudang tidak melebih 30oC.

d. Kelembaban udara sebaiknya diusahakan serendah mungkin (65oC) untuk

mencegah terjadinya penyerapan air. Kelembaban udara yang tinggi dapat

memacu pertumbuhan mikroorganisme sehingga menurunkan mutu bahan

dalam bentuk segar maupun kering.

e. Masuknya sinar matahari langsung menyinari simplisia harus dicegah.

f. Masuknya hewan, serangga maupun tikus yang sering memakan simplisia

yang disimpan harus dicegah.

2.6.2. Ekstraksi

Ektrak tanaman obat yang dibuat dari simplisia nabati dapat dipandang

sebagai bahan awal, bahan antara atau bahan produk jadi. Ekstraksi adalah penyarian

zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dari bagian tanaman obat, hewan dan beberapa

Page 17: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

17

Universitas Indonesia

jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat aktif terdapat di dalam sel, namun sel tanaman

dan hewan berbeda demikian pula ketebalannya, sehingga diperlukan metode

ekstraksi dengan pelarut tertentu dalam mengekstraksinya.

Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia yang

terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan massa

komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar

muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut.

2.6.2.1. Jenis-Jenis Ekstraksi

Jenis ekstraksi bahan alam yang sering dilakukan adalah ekstraksi secara

panas dengan cara refluks dan penyulingan uap air dan ekstraksi secara dingin dengan

cara maserasi, perkolasi dan alat soxhlet.

a. Maserasi

Maserasi dilakukan dengan cara memasukkan 10 bagian simplisia dengan

derajat yang cocok ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan penyari 75 bagian,

ditutup dan dibiarkan selama 5 hari, terlindung dari cahaya sambil diaduk sekali-kali

setiap hari lalu diperas dan ampasnya dimaserasi kembali dengan cairan penyari.

Penyarian diakhiri setelah pelarut tidak berwarna lagi, lalu dipindahkan ke dalam

bejana tertutup, dibiarkan pada tempat yang tidak bercahaya, setelah dua hari lalu

endapan dipisahkan.

Keuntungan menggunakan ekstraksi dengan metode ini adalah peralatannya

sederhana. Kerugiannya waktu yang diperlukan untuk mengekstraksi sampel cukup

lama, solvent yang digunakan lebih banyak, dan metode ekstraksi ini tidak dapat

digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai tekstur keras, contohnya adalah

benzoin, tiraks dan lilin.

b. Perkolasi

Perkolasi dilakukan dengan cara dibasahkan 10 bagian simplisia dengan

derajat halus yang cocok, menggunakan 2,5 bagian sampai 5 bagian cairan penyari

dimasukkan dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya 3 jam. Massa dipindahkan

sedikit demi sedikit ke dalam perkolator, ditambahkan cairan penyari. Perkolator

ditutup dibiarkan selama 24 jam, kemudian kran dibuka dengan kecepatan 1 ml

Page 18: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

18

Universitas Indonesia

permenit, sehingga simplisia tetap terendam. Filtrat dipindahkan ke dalam bejana,

ditutup dan dibiarkan selama 2 hari pada tempat terlindung dari cahaya.

Keuntungan ekstraksi dengan menggunakan metode perkolasi adalah tidak

memerlukan langkah tambahan karena sampel padat telah terpisah dari ekstrak.

Sedangkan kerugiannya adalah kontak antara sampel padat tidak merata atau terbatas

apabila dibandingkan dengan metode refluks, dan pelarut akan menjadi dingin selama

proses perkolasi sehingga tidak melarutkan komponen secara efisien.

c. Reluks

Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya adalah ekstraksi berkesinambungan.

Bahan yang akan diekstraksi direndam dengan cairan penyari dalam labu alas bulat

yang dilengkapi dengan alat pendingin tegak, lalu dipanaskan sampai mendidih.

Cairan penyari akan menguap, uap tersebut akan diembunkan dengan pendingin tegak

dan akan kembali menyari zat aktif dalam simplisia tersebut, demikian seterusnya.

Ekstraksi ini biasanya dilakukan 3 kali dan setiap kali diekstraksi selama 4 jam.

Keuntungan dari metode ini adalah digunakan untuk mengekstraksi sampel-

sampel yang mempunyai tekstur kasar dan tahan pemanasan langsung. Kerugiannya

adalah membutuhkan volume total pelarut yang besar dan sejumlah manipulasi dari

operator.

d. Soxhletasi

Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya ekstraksi secara berkesinambungan.

Cairan penyari dipanaskan sampai mendidih. Uap penyari akan naik melalui pipa

samping, kemudian diembunkan lagi oleh pendingin tegak. Cairan penyari turun

untuk menyari zat aktif dalam simplisia. Selanjutnya bila cairan penyari mencapai

sifon, maka seluruh cairan akan turun ke labu alas bulat dan terjadi proses sirkulasi.

Demikian seterusnya sampai zat aktif yang terdapat dalam simplisia tersari

seluruhnya yang ditandai jernihnya cairan yang lewat pada tabung sifon.

Keuntungan menggunakan metode ini adalah dapat digunakan untuk sampel

dengan tekstur ang lunak dan tidak tahan terhadap pemanasan secara langsung, hanya

menggunakan pelarut yang lebih sedikit, suhu pemanasan dan waktu pemanasannya

Page 19: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

19

Universitas Indonesia

dapat diatur. Sedangkan kerugiannya adalah ekstrak yang terkumpul di baian bawah

wadah dipanaskan terus menerus karena pelarut didaur ulang. Proses ini dapat

menyebabkan reaksi peruraian oleh panas, jumlah senyawa yang diekstraksi akan

melampaui tingkat kelaruttannya dalam pelarut tertentu, sehingga dapat megendap

dalam wadah dan dibutuhkan volume pelarut yang lebih banyak untuk

melarutkannya, untuk skala besar, pelarut yang digunakan adalah pelarut dengan titik

didih yang tidak terlalu tinggi, contohnya methanol dan air.

e. Penyulingan dengan Destilasi Uap

Ekstraksi dengan menggunakan metode penyulingan uap ini digunakan untuk

mendapatkan tanaman obat yang mengandung minyak atsiri yang mudah menguap,

seperti minyak essesntial dari tanaman. Prinsipnya adalah Proses pemisahan

komponen-komponen campuran dari dua atau lebih cairan, berdasarkan perbedaan

tekanan uap masing-masing komponen.

Prisnsip kerjanya adalah sebagai berikut :

a. Ketel uap dan penyulingan terpisah.

b. Ketel uap yang berisi air dipanaskan dan uapnya dilairkan ke ketel

penyulingan yang berisi bahan baku

c. Partikel minyak terbawa uap dan dialirkan dalam pendingin kemudian

dipisahkan.

Keuntungan dari destilasi uap ini adalah kualitas minyak yg dihasilkan paling

baik. Kerugiannya adalah perlu biaya besar karena setidaknya butuh dua ketel dan

umumnya dilakukan oleh pabrikan yang besar.

2.6.3. Standarisasi Simplisia dan Herbal

Produk herbal dan simplisia selain cara pengolahannya yang terstandar produk

akhir dari Simplisia atau herbal harus juga memenuhis standar mutu yang sudah

ditetapkan. Dengan standarisasi mutu ini maka produk herbal dan simplisia dapat

bersaing di perdagangan nasional maupun internasional dan dapat menjadikan produk

yang mempunyai khasiat yang sesuai dengan tanaman yang sudah dibuat simplisia

ataupun herbal terstandar.

Page 20: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

20

Universitas Indonesia

1. Standarisasi Simplisia

Simplisia sebagai bahan baku harus memenuhi 3 parameter mutu umum

(nonspesifik) suatu bahan yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian, aturan

penstabilan (wadah, penyimpanan, distribusi) Simplisia sebagai bahan dan produk

siap pakai harus memenuhi trilogi Quality-Safety-Efficacy Simplisia sebagai bahan

dengan kandungan kimia yang berkontribusi terhadap respon biologis, harus memiliki

spesifikasi kimia yaitu komposisi (jenis dan kadar) senyawa kandungan (Depkes RI,

1985).

Kontrol kualitas merupakan parameter yang digunakan dalam proses

standardisasi suatu simplisia. Parameter standardisasi simplisia meliputi parameter

non spesifik dan spesifik. Parameter nonspesifik lebih terkait dengan faktor

lingkungan dalam pembuatan simplisia sedangkan parameter spesifik terkait langsung

dengan senyawa yang ada di dalam tanaman. Penjelasan lebih lanjut mengenai

parameter standardisasi simplisia sebagai berikut:

a. Kebenaran simplisia

Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan dengan cara organoleptik,

makroskopik dan mikroskopik. Pemeriksaan organoleptik dan makroskopik

dilakukan dengan menggunakan indera manusia dengan memeriksa kemurnian dan

mutu simplisia dengan mengamati bentuk dan ciri-ciri luar serta warna dan bau

simplisia. Sebaiknya pemeriksaan mutu organoleptik dilanjutkan dengan mengamati

ciri-ciri anatomi histologi terutama untuk menegaskan keaslian simplisia.

b. Parameter non spesifik

Parameter non spesifik meliputi uji terkait dengan pencemaran yang

disebabkan oleh pestisida, jamur, aflatoxin, logam berat, penetapan kadar abu, kadar

air, kadar minyak atsiri, penetapan susut pengeringan.

c. Parameter spesifik

Parameter ini digunakan untuk mengetahui identitas kimia dari simplisia. Uji

kandungan kimia simplisia digunakan untuk menetapkan kandungan senyawa tertentu

dari simplisia. Biasanya dilkukan dengan analisis kromatografi lapis tipis (Depkes RI,

1985).

Page 21: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

21

Universitas Indonesia

2. Standarisasi Ektraks

Ekstrak terstandar berarti konsistensi kandungan senyawa aktif dari setiap

batch yang diproduksi dapat dipertahankan, dan juga dapat mempertahankan

pemekatan kandungan senyawa aktif pada ekstrak sehingga dapat mengurangi secara

signifikan volume permakaian per dosis, sementara dosis yang diinginkan terpenuhi,

serta ekstrak yang diketahui kadar senyawa aktifnya ini dapat dipergunakan sebagai

bahan pembuatan formula lain secara mudah seperti sediaan cair , kapsul, tablet, dan

lain-lain.

a. Parameter Non Spesifik

1. Susut Pengeringan

Susut pengeringan merupakan pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada

temperatur 105oC selama 30 menit atau sampai konstan, yang dinyatakan dalam

persen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak menguap/atsiri dan

sisa pelarut organik) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di

atmosfer/lingkungan udara terbuka (Depkes RI, 2000).

2. Bobot Jenis

Parameter bobot jenis ekstrak merupakan parameter yang mengindikasikan

spesifikasi ekstrak uji. Parameter ini penting, karena bobot jenis ekstrak tergantung

pada jumlah serta jenis komponen atau zat yang larut didalamnya (Depkes RI, 2000).

3. Kadar air

Kadar air adalah banyaknya hidrat yang terkandung zat atau banyaknya air

yang diserap dengan tujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang

besarnya kandungan air dalam bahan (Depkes RI, 2000).

4. Kadar abu

Parameter kadar abu merupakan pernyataan dari jumlah abu fisiologik bila

simplisia dipijar hingga seluruh unsur organik hilang. Abu fisiologik adalah abu yang

diperoleh dari sisa pemijaran (Depkes RI, 2000).

b. Parameter Spesifik

1. Identitas

Page 22: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

22

Universitas Indonesia

Identitas ekstrak dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Deskripsi tata nama:

Nama Ekstrak (generik, dagang, paten)

Nama latin tumbuhan (sistematika botani)

Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun, buah,)

Nama Indonesia tumbuhan

Ekstrak dapat mempunyai senyawa identitas artinya senyawa tertentu yang

menjadi petunjuk spesifik dengan metode tertentu. Parameter identitas ekstrak

mempunyai tujuan tertentu untuk memberikan identitas obyektif dari nama dan

spesifik dari senyawa identitas (Depkes RI, 2000).

2. Organoleptik

Parameter oranoleptik digunakan untuk mendeskripsikan bentuk, warna, bau,

rasa menggunakan panca indera dengan tujuan pengenalan awal yang sederhana dan

seobyektif mungkin (Depkes RI, 2000).

3. Kadar sari

Parameter kadar sari digunakan untuk mengetahui jumlah kandungan senyawa

kimia dalam sari simplisia. Parameter kadar sari ditetapkan sebagai parameter uji

bahan baku obat tradisional karena jumlah kandungan senyawa kimia dalam sari

simplisia akan berkaitan erat dengan reproduksibilitasnya dalam aktivitas

farmakodinamik simplisia tersebut (Depkes RI,1995).

4. Pola kromatogram

Pola kromatogram mempunyai tujuan untuk memberikan gambaran awal

komponen kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram kemudian dibandingkan

dengan data baku yang ditetapkan terlebih dahulu (Depkes RI, 2000).

2.7. Proses Pengolahan Herbal Menjadi Produk Jadi Kesehatan (Penerapan

GMP)

Herbal yang terstandar sudah dapat diolah menjadi produk yang dapat baik

didalam dunia kedokteran (Promotif, Preventif dan Rehabilitatif) ataupun dapat

digunakan dalam industri kosmetik dan kecantikan.

Page 23: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

23

Universitas Indonesia

2.7.1. Pengolahan Obat Herbal untuk Bidang Kedokteran

Pengolahan obat herbal menjadi produk jadi kesehatan haruslah mememuhi

perysaratan yang sudah ditetapkan pemerintah dalam Cara Pembuatan Obat

Tradisional yang Baik (CPOTB).

Persyaratan untuk suatu perusahaan memproduksi obat tradisional sesuia

dengan CPOTB adalah sebagai berikut :

1. Syarat perusahaan

a. Bentuk Badan Hukum; PT, koperasi

b. Memiliki NPWP

c. Didirikan bebas amdal

d. Memiliki minimal seorang apoteker sebagai penanggungjawab

e. Mengikuti C.P.O.T.B

2. Proses Produksi

Yanga dimaksud dengan proses produksi adalah membuat, mencampur,

mengolah, mengubah bentuk, mengisi, membungkus dan atau memberi

penandaan obat tradisional untuk diedarkan.

Poses produksi terdiri dari :

a. Penyiapan bahan baku obat tradisional

Penyiapana bahan baku obat tradisional sudah dibahas pada tulisan

sebelumnya pada proses pembuatan obat tradisional dari raw material

menjadi produk herbal

b. Proses produksi

Proses produksi produk bahan dasar herbal (yang sudah diekstraksi)

sampai dengan bahan jadi dapat diringkas gambar di bawah ini.

Page 24: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

24

Universitas Indonesia

Gambar 2.6.1. Proses Pembuatan Obat herbal Menjadi Produk Jadi

Dalam proses produksi maka obat tradisional haruslah memiliki

laboratorium pemeriksaan Mutu. Dalam laboratorium ini yang akan dinilai

adalah sebagai berikut :

homogenitas, campuran

derajat halus

logam berat

toksisitas akut

mikrobiologis

keseragaman bobot / volume

kekerasan

daya hancur

c. Pewadahan / labelisasi /pengepakan

Pewadahan dan pengepakan yang sesuai dengan prinsip CPOTB adalah

sebagai berikut :

OT, harus diwadahi, dibungkus sesuai aturan

WADAH, barang yang dipergunakan untuk mewadahi, berhubungan

langsung, termasuk penutupnya.

Page 25: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

25

Universitas Indonesia

Karena berhubungan langsung, maka syarat harus tidak

mempengaruhi, mengotori, melindungi selama penyimpanan, dan

pengangkutan / peredaran

Pembungkus yaitu barang yang dipergunakan untuk membungkus OT

atau wadah OT.

Syarat haruslah tahan, melindungi wadah selama penyimpanan

pengakutan dan peredaran dan jika berfungsi wadah, syarat sama

wadah

Penandaan adalah tulisan, gambar atau bentuk pernyataan lain yang

dicantumkan pada pembungkus, wadah, etiket, brosur.

Penandaan khusus berdasarkan jenis obat tradisional yang dibuat yaitu

Jamu, Obat Herbal Terstandar, Dan Fitofarmaka.

Penandaan Lain

- Nama OT atau nama dagang

- Komposisi

- Bobot, volume / jumlah obat perwadah

- Dosis pemakaian

- Cara pemakaian

- Khasiat / kegunaan, yang disetujui MenKes

- Kontraindikasi, ditetapkan MenKes

- Tanda peringatan, bunyi ditetapkan MenKes

- Nomor Pendaftaran

- Nomor Kode produksi

- Merek dagang

- Nama dan alamat perusahaan

2.6.2. Pembuatan Herbal menjadi Produk Kosmetik dan Kecantikan

Pembuatan produk herbal mnejadi produk kosmetik dan kecantikan tidak

memiliki regulasi khusus untuk hanya harus memnuhi peraturan yang sudah

ditetapkan oleh Badan POM mengenai Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik (CPKB)

yang sudah mengikuti regulasi berdasarkan perjanjian kosmetik di wilayah ASEAN

Page 26: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

26

Universitas Indonesia

yang disebut sebagai ASEAN Cosmetic Directive yang bertujuan untuk membentuk

harmaonisasi ASEAN dala bidang kosmetik dan produk kecantikan.

Langkah-langkah dalam proses pembuatan kosmetik adalah sebagai berikut :

1. Pemilihan Formula

Mengingat keterbatasan bahan baku, peralatan, serta waktu, sementara

kosmetik harus segera diproduksi untuk mengejar musim, tren, fashion dan lain-lain,

kita harus pandai memilih formulasi agar kosmetik itu dapat segera diproduksi dan

dapat memenuhi tujuan tertentu.

Sebelum pemilihan terakhir atas suatu formulasi (setelah melewati percobaan-

percobaan klinis kecil-kecilan atas keamanan formulasi beserta bahan-bahan baku di

dalamnya), kita harus secara realistis yakin bahwa formulasi kita memang akan dapat

diproduksi secara besar-besaran dengan menggunakan alat-alat pabrik yang telah ada.

Bahkan pada saat itupun, bahan-bahan baku yang terkandung dalam formulasi itu

masih harus secara kritis diteliti kembali sebelum betul-betul dipilih untuk digunakan.

2. Pemilihan Metode Pembuatan

Tujuan dari proses kosmetik adalah untuk menghasilkan suatu produk yang

seragam serta memiliki keawetan yang panjang, maka pemilihan metode pembuatan

yang tepat dengan menggunakan peralatan yang tersedia itu esensial.

Produksi besar-besaran umumnya didasarkan pada hasil pengamatan produksi

percobaan (clinical batch). Selama pembuatan cilnical batches, perlu dilakukan

pengamatan parameter-parameter kritis yang mempengaruhi kinerja produk, antara

lain:

a. Langkah-langkah kritis dalam metode pembuatan.

b. Sifat-sifat produk yang kritis, seperti viskositas, dll.

c. Bahan-bahan baku inti, seperti surfaktan, lubrikan, bahan pensuspensi, bahan

pembuat gel, atau bahan-bahan alam atau sintetik yang menentukan.

Setelah mengidentifikasi, parameter-parameter kritis tersebut, perlu memilih

cara pembuatan yang paling tepat dan peralatan yang paling cocok agar menghasilkan

Page 27: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

27

Universitas Indonesia

produk yang “ideal”. Karena pembesaran produksi dari clinical batch ke pilot size

batches dan akhirnya ke produksi besar-besaran mungkin harus mengkompromikan

hal-hal tertentu dalam produksi, diharuskan untuk memilih metode khusus atau

peralatan yang paling memenuhi standar selama pembuatan clinical batch agar

kompromi tersebut tidak terlalu menyimpang.

3. Rencana Pembesaran Bacth

Pembesaran produk dari laboratory size bathces (clinical bathces), yang

umumnya sampai 25 kg, ke pilot plant bathces (25-200 kg) disebut scale-up

formulasi atau produksi. Untuk produksi kosmetik yang masih baru, scale-up dapat

diselesaikan dalam 2 fase :

Pembuatan Clinical Batch

Pengalaman pertama dengan batch ukuran agak besar umumnya ditemui

disini. Karena itu, formulator produk itu sebaiknya hadir menyaksikan pembuatan

clinical batch tersebut untuk menghindari masalah yang mungkin timbul akibat tidak

tersedianya metode pembuatan yang kurang terperinci. Setelah beberapa clinical

batch sukses dibuat, suatu pembuatan umumnya sudah bisa dituliskan dalam format

tertulis yang dapat dengan mudah dilanjutkan ke produksi pilot plant batches.

Pembuatan Pilot Plant Batch

Umumnya pembuatan batch dalam fase pilot plant batches disarankan untuk

dilanjutkan sebelum tes keamanan klinis fase III mulai dilakukan untuk produk hasil

metode pembuatan pilihan terakhir. Kebutuhan produksi untuk tes klinis demikian

umumnya membutuhkan batches ukuran agak besar (200 kg).

Penelitian terhadap produksi pilot plant juga disebut penelitian perkembangan

proses yang diadakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok berikut dan

untuk mengidentifikasi langkah-langkah inti dalam proses pembuatan yang perlu

disahkan atau ditolak:

- Formulasi itu bisa diproduksi lebih banyak atau tidak

Page 28: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

28

Universitas Indonesia

- Apakah metode produksi itu sesuai dengan kemempuan produk yang

diharapkan dan dengan peralatan yang ada

- Apakah diperlukan peralatan baru atau pabrik ke tiga

- Apakah langkah-langkah pokok proses pembutan telah teridentifikasi

- Apakah studi untuk validitas telah didesain dengan baik

Penelitian terhadap produksi pilot plant perlu diarahkan untuk dapat

menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara memuaskan. Jika timbul pertanyaan

apakah produk itu fleksibel untuk diproduksi, maka sebaiknya produk itu diproduksi

dengan menggunakan peralatan dan ukuran batch yang akan dipakai secara rutin.

Puncak kegiatan scale-up biasanya berupa produksi yang memuaskan dalam

bentuk production demonstration batch yang kemudian digunakan untuk mengisi

kebutuhan packaging demonstration run yang menghasilkan produk akhir yang telah

dikemas. Studi validasi biasanya dijalankan selama pembuatan production

demonstration batch dan packaging demonstration run.

4. Proses Produksi

Produk kosmetik dibuat di dalam batch, di bawah pengawasan pengaturan

Pemerintah, yaitu Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik (CPKB) atau Good

Manufacturing Practices (GMP) di A.S.. Peralatan yang digunakan dapat

diklasifikasikan sebagai berikut: mixing, dispersing, homogenizers, filling equipment.

Proses dan tujuan

a. Pencampuran (mixing)

Tujuan dari pencampuran antara lain:

- Mencampur cairan yang sulit tercampur

- Mempercepat pemanasan bahan-bahan

- Melarutkan lemak-lemak dan bahan-bahan lainnya

- Untuk emulsifikasi atau disperse

- Untuk pendahuluan pendinginan

b. Pemompaan

Ada dua jenis pompa yang digunakan di dalam produksi kosmetik, yaitu:

- Positive displacement pump

Page 29: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

29

Universitas Indonesia

Bekerja dengan menarik cairan ke dalam suatu rongga, kemudian

mendesaknya keluar pada sisi yang lain.

- Centrifugal pumps

Pada pompa ini, cairan dimasukkan di titik pusat propeler yang berputar

cepat.

c. Pemindahan Panas

Dalam banyak proses pembuatan kosmetik, bahan baku sering harus dipanaskan

samapai suhu 70-80OC, dicampur, dan kemudian didinginkan sampai sekitar 30-

40OC sebelum produk akhir dapat dipompa dan disimpan.

d. Filtrasi

Umumnya, filtrasi hanya diperlukan dalam memurnikan air dan untuk

penjernihan losion, dimana bahan-bahan baku produk-produk ini sering berisi

sejumlah kecil kontaminan yang akan mengganggu penampilan produk akhir jika

tidak dihilangkan.

e. Pengisian (Filling)

Pengisian untuk kosmetik yang berbentuk cair dapat menggunakan sistem vakum

pada botol-botol yang berderet-deret. Pengisian cream dapat memakai filteram

type, dimana cream dimasukkan ke dalam tube silindris dengan bantuan suatu

plunger.

5. Pembuatan Produk-Produk Khusus

a. Kosmetik cair

Pembuatan produk kosmetik cair mencakup pelarutan atau dispersi yang

baik, serta penjernihan. Untuk sejumlah produk kosmetik cair, parfum atau bahan

yang berminyak mungkin perlu dilarutkan terlebih dahulu. Ini umumnya

dilakukan dalam pembuatan shampo. Karena kejernihan suatu losion sangat

penting, maka kemasannya juga harus jernih. Untuk itu perlu pencucian dengan

udara bertekanan atau air panas yang di ikuti dengan pembilasan dan

pengeringan.

b. Gel

Page 30: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

30

Universitas Indonesia

Produk kosmetik dalam bentuk gel berkisar dari losion yang kental,

misalnya roll-ball antiperspirant sampai gel thixotropik yang sangat kental dan

tidak bisa mengalir, yang dapat digunakan sebagai kosmetik hairdressing dan hair

setting.

Losion kental lebih mudah dibuat yaitu dengan menambahkan sedikit

demi sedikit gellant padat ke dalam fase cair yang diaduk terus-menerus dengan

cepat memakai propeler yang di gerakkan turbin.

Cara pembuatan gel kental yang tidak bisa mengalir lebih sulit karena

pada produk akhirnya udara tidak bisa keluar dari dalamnya seperti halnya pada

losion kental. Gel kental harus di buat dalam ruang hampa udara atau dilakukan

melalui proses pembuangan udara yang rumit.

c. Mikroemulsi

Mikroemulsi terbentuk melalui sistem yang spontan, pembuatannya cukup

dengan alat pencampur yang sederhana, jadi tidak memerlukan alat pencampur

rumit berkecepatan tinggi. Pada umumnya dalam pembuatan mikroemulsi fase

minyak dengan suhu sekitar 800C ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam fase

air dalam suhu yang sama, sambil di aduk secara pelan. Untuk sementara produk

dipertahankan pada suhu di atas setting point-nya agar udara naik dan keluar. Ini

berarti bahwa pipa-pipa dan alat pengisi perlu dipanaskan dengan air panas atau

uap bercampur air.

d. Emulsi

Proses pembuatan emulsi mencakup tiga hal, diantaranya:

1. Emulsifikasi awal

Emulsifikasi awal biasanya dijalankan pada suhu yang lebih tinggi

untuk menjamin bahwa kedua fase serta hasil emulsi cukup mobil geraknya

sewaktu diaduk. Intensitas dan lama pengadukan tergantung efisiensi dispersi

emulsifator.

Page 31: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

31

Universitas Indonesia

Cara pembuatan emulsi yang baik adalah dengan menuangkan

serentak proporsi kedua fase yang sama pada setiap waktu ke dalam mixer

yang terus berputar sehingga emulsi terus-menerus terbentuk, tetapi ini hanya

dapat di lakukan dalam pabrik besar.

2. Pendinginan

Mendinginkan emulsi merupakan proses yang sangat penting,

terutama dalam produk yang berisi bahan-bahan mirip lilin yang berharga.

Selama pendinginan biasanya emulsi terus di aduk untuk mengurangi lamanya

proses serta untuk menghasilkan produk yang homogen.

3. Homogenisasi

Pada suhu yang tinggi, kebanyakan emulsi tidak stabil dan selama

pendinginan dalam batch terbentuk butiran-butiran emulsi atau pada produk

yang memiliki fase minyak dengan titik leleh tinggi, pada proses pendinginan

terjadi pengerasan produk. Karena itu, diperlukan pencampuran tambahan

untuk memperoleh produk seperti yang diinginkan.

Pencampuran tambahan ini bervariasi, mulai dari pelewatan produk

melalui pompa bergir berputar dengan tekanan rendah dari belakang, misalnya

50 psig atau penghancuran agregat-agregat kristal lilin, atau pelewatan katub

homogenizer dengan tekanan tinggi 5000 psig.

e. Pasta

Pasta, terutama pasta gigi, umunya dapat dibuat dengan menambahkan

komponen-komponen padat yang mungkin sudah dicampur sebelumnya ke dalam

komponen-komponen cair yang mungkin mencakup bahan-bahan yang larut

dalam air. Pencampuran dapat dilakukan dalam mixer terbuka atau mixer vakum.

Mixing dalam keadaan panas, di ikuti dengan pendinginan memakai alat Votator

atau metode serupa lainnya juga dapat dilakukan.

Metode alternatif penyiapan pasta yang terbuat dari bubuk padat di dalam

suatu cairan adalah melalui pencampuran awal yang kasar dan campuran ini di

masukkan ke dalam triple roller mill yang diberi berbagai tekanan dan pemutaran

sampai pasta yang di inginkan terbentuk.

Page 32: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

32

Universitas Indonesia

f. Sticks

Pada umumnya pembautan lipstick meliputi 3 tahap, yaitu:

1. Penyiapan campuran komponen, yaitu campuran minyak-minyak,

campuran zat-zat warna, dan campuran wax.

2. Pencampuran semua itu membentuk massa lipstick.

3. Pencetakan massa lipstick menjadi batangan-batangan lipstick.

Deodorant stick, pembuatanya mirip dengan pembautan emulsi, yaitu

suatu fase minyak (fatty acid) diadukkan dalam suatu fase larutan dalam air pada

suhu sekitar 700C. gel panas yang terbentuk diisikan ke dalam cetakan pada suhu

sekitar 60-650C dan dibiarkan memadat.

g. Powder

Pencampuran powder biasanya dijalankan di dalam satu wadah semi

bundar yang dilengkapi pengaduk spiral yang memiliki dua pita sehingga

campuran itu bergerak dalam dua arah yang berbeda. Mixer tipe ini sangat baik

untuk bath salts dan bahan-bahan kristal lainnya dan sering digunakan untuk

pembuatan face powder.

6. Kualitas Kontrol

Fungsi utama kontrol kualitas atau quality assurance adalah menjamin agar

perusahaan memenuhi standar tertinggi dalam setiap fase produksinya. Faktor –faktor

yang tercakup dalam kontrol kualitas adalah :

1. Personalia

2. Fasilitas

3. Spesifikasi Produk

Fungsi Kontrol Kualitas antara lain :

1. Kontrol dalam proses (in- process control)

2. Pengujian spesifikasi bahan baku (raw material specification testing)

3. Pengujian spesifikasi produk(product specification testing)

4. Pengawasan fasilitas penyimpanan dan distribusi (storage and distribution

facilities control)

Page 33: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

33

Universitas Indonesia

5. Pengawasan tempat yang mungkin sebagai produsen pihak ketiga (site inspection

of potential third party manufacture)

6. Pengawasan terhadap kontaminasi mikrobiologis (mikrobiological surveillance)

7. Kemungkinan memperpanjang tanggal kadaluwarsa produk (product exspiration

dating extension)

2.7. Penelitian Obat Herbal

Dalam rangka pengembangan dan pelestarian obat herbal yang merupakan

warisan dari nenek moyang perlu adanya suata metode yang tepat dalam memajukan

herbal ini agar dapat diterima di kalangan ilmiah dan bukan hanya merupakan bukti

empiris. Pemilihan bahan alam untuk penelitian dapat berasal dari bahan yang

mempunyai aktivitas secara tradisional dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk

menanggulangi penyakit (etnofarmakologi). Pemilihan bahan ini lazim dilakukan

karena tanpa harus melalui skrining aktivitas terlebih dahulu, sehingga penelitian

langsung bisa diarahkan pada aktivitas tertentu. Sistem penelitian ini kebanyakan

hanya suatu pembuktian secara ilmiah mengenai aktivitas seperti yang telah

dilakukan oleh masyarakat. Bahan penelitian yang dipilih berdasarkan skrining

aktivitas farmakologi tertentu, maka pembuktian selanjutnya mengikuti prosedur

yang ada pada literatur. Hal ini akan berbeda dengan penanganan bahan penelitian

hasil skrining aktivitas farmakologi secara keseluruhan (hipokratik skrining).

Skrining bahan ini dimulai pada sampel yang belum diketahui khasiatnya maka

skrining aktivitas farmakologi perlu dilakukan untuk memastikan khasiat bahan.

Setelah bahan ditentukan dengan cermat dan matang, maka tujuan penelitian segera

ditentukan untuk mengetahui arah tujuan penelitian yang jelas baik dari aspek tujuan

umum maupun tujuan khususnya.

Pengilmiahan herbal terdiri dari penelitian preklinis berupa uji manfaat dan uji

toksisitas secara in vitro dan in vivo dan uji klinis. Uji klinis sendiri saat ini

dikembangkan dengan 2 cara yaitu melalui penelitian yang berbasis pendidikan dan

penelitian yang berbasis pelayanan. Pada penelitian yang berbasis pelayanan

Page 34: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

34

Universitas Indonesia

sekarang disebut sebagai saintifikasi jamu. Pada gambar di bawah ini merupakan

tahap-tahapan penelitian obat herbal.

Alur peneletian obat bahan alam pada gambar 2.7.1. merupakan pola pikir

penelitian obat bahan alam untuk sampai kepada kesimpulan akan manfaat obat

bahan alam untuk kesehatan serta dapat diimplementasikan di dalam pengobatan

maupun industri farmasi.

Secara umum penelitian obat bahan alam dari segi penyelenggaranya saat ini

memiliki 2 jalur penelitian dan pengembangan yaitu :

1. Penelitian Berbasis Keilmuwan (kedokeran dan farmasi) yang

diselenggarakan oleh institusi perguruan tinggi, lembaga penelitian,

industri farmasi.

2. Penelitian Berbasis Pelayanan atau yang sekarang lebih sering disebut

sebagai “Saintifikasi Jamu”, dan dapat diselenggarakan oleh praktek

pribadi, klinik kesehatan atau Pelayanan Kesehatan Lainnya.

Isolasi senyawa aktif

Identifikasi senyawa aktif

Penentuan potensi senyawa aktif

Penentuan kadar (%) senyawa aktif

(standarisasi)

Uji Potensi produk (in vitro)

Legitimasi dan formalitas produk

LATAR BELAKANG PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN

KESIMPULAN DAN SARAN

PUSTAKA

Pemilihan bahan material

Tujuan Penelitian

Page 35: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

35

Universitas Indonesia

Gambar 2.7.1. Alur Penelitian Obat Bahan Alam

PENELITIAN

OBAT BAHAN

ALAM

Penelitian Berbasis

Keilmuan

(kedoteran dan Farmasi)

Penelitian Berbasis

Pelayanan

(Saintifikasi Jamu)

Perguruan Tinggi

Lembaga Penelitian,

Industri Farmasi

Praktek Pribadi

&

Pelayanan Kesehatan

Gambar 2.7.2. Jalur Penelitian Obat Bahan Alam Berdasarkan

Penyelenggaranya

Pada prisnsipnya semua jenis penelitian obat bahan alam berdasarkan

pembagian di atas memiliki tahap-tahapan yang sama. Tahap-tahapan tersebut adalah

sebagai berikut :

1. Penelitan Etnobotanis

2. Penelitian Preklinis (in vivo dan in vitro)

a. Uji Manfaat

b. Uji Toksisitas

- Toksisitas Umum

Penentuan LD50 dan IC50, Toksisitas Akut, Toksisitas Akut, Dan

- Toksisitas Khusus

Reproduksi, Mutagenisitas, Karsinogenik

c. Uji Stabilitas, pada produk-produk kosmetik ataupun produk estetika

3. Penelitian Klinis

Memiliki 4 tahapan yaitu :

Page 36: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

36

Universitas Indonesia

a. Fase I : Pengujian suatu obat untuk pertama kalinya pada manusia.

Yang diteliti adalah keamanan obat, bukan efektivitasnya, biasanya

dilakukan pada sukarelawan sehat.

b. Fase II : Pengujian Obat yang diujikan pertama kali pada sekelompok

kecil penderita yang kelak akan diobati dengan calon obat.

c. Fase III : Pengujian yang dilakukan untuk memastikan suatu obat baru

benar-benar berkhasiat dan untuk mengetahui kedudukannya

dibandingkan dengan obat standar.

d. Fase IV : disebut juaga post-marketing surveillance karena merupakan

pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan.

Tahap-tahap penelitan obat bahan alam di atas haruslah dilalui, untuk

mendapatkan bukti yang kuat mengenai efektivitas obat bahan alam tersebut untuk

kesehatan dan sekaligus obat bahan alam tersebut memiliki tempat yang dapat

disejajarkan dengan obat-obat konvensional.

Saintifikasi Jamu

Menurut Permenkes no 3./2010 saintifikasi jamu adalah pemerolehan bukti

ilmiah, terhadap jamu sebagai obat tradisional Indonsia, oleh dokter dan dokter gigi

sebagai profesi bersumpah, dari suatu klaim penggunaan turun-temurun yang

bertahap diarahkan menopang paradigm sehat yaitu promotif, preventif, rehabilitatif

dan paliatif sebelum menuju indikasi kuratif melalui fasilitas layanan kesehatan.

Tujuan Pengaturan Saintifikasi jamu ini adalah sebagai berikut (Pasal 3

Pemenkes 3/2010) :

1. Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga

kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif,

promotif, rehabilitatif dan paliatif melalui penggunaan jamu.

2. Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien yang tidak

sakit dengan penggunaan jamu di kalangan profesi kesehatan.

3. Miningkatkan penggunaan jamu di kalangan profesi kesehatan.

Page 37: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

37

Universitas Indonesia

4. Menjamin jamu yang aman, bermutu dan bermnfaat serta melindungi

masyarakat dari penggunaan jamu yang tidak tepat.

5. Meningkatkan penyediaan jamu yang memiliki khasiat nyata yang teruji

secara ilmiah, dan dimanafaatkan secara luas baik untuk pengobatan

sendiri maupun dalam fasilitas kesehatan.

Saintifikasi jamu ini meurpakan proses penjembatanan antara penyedia

layanan kesehatan yang berbasis herbal dan dilakukan oleh tenaga medis dengan

penelitian dibidang herbal itu sendiri dalam rangka mempercepat promosi dan

pemanfaatan herbal untuk kesehatan masyarakat. Alur konsep dan ruang lingkup

saintifikasi jamu dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.7.3. Alur Konsep dan Ruang Lingkup Saintifikasi Jamu (Depkes

RI, 2011)

2.8. Pemanfaatan Herbal untuk Industri Estetik dan Kedokteran

Pencegahan.

2.8.1. Pemanfaatan Herbal untuk Industri Estetika

Pemanfaatan bahan herbal dalam industri kosmetika dapat sebagai bahan

aktif, bahan pencampur (emulgator almiah), bahan pengawet, dan bahan pewarna

alamiah. Semua pemanfaatan produk kosmetika dengan menggunakan bahan dasar

Page 38: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

38

Universitas Indonesia

herbal tetap haruslah melalui proses penelitian mulai dari bahan baku obat bahan

alam sampai dengan uji manfaat, toksisitas dan stabilitas.

Standarisasi yang harus dilengkapi dalam pengemabangan herbal dalam

industri kosmetika adalah sebagai berikut :

a. Uji Manfaat

b. Uji Keamanan

c. Uji Stabilitas produk

d. Quality Control (QC)

2.8.1.1. Uji Manfaat dan Keamanan Kosmetika Herbal

Uji manfaat dan keamanan kosmetika herbal dapat diringkas dalam gambar di

bawah ini :

Gambar 2.8.1. Penilaian Manfaat dan Keamanan Produk Kosmetik (Wong

Lib, 2011)

Page 39: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

39

Universitas Indonesia

2.8.1.2. Uji Stabilitas Produk Kosmetik

Uji stabilitas dimaksudkan untuk menjamin kualitas produk yang telah

diluluskan dan beredar di pasaran. Dengan uji stabilitas dapat diketahui pengaruh

faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban terhadap parameter–parameter

stabilitas produk seperti kadar zat aktif, pH, berat jenis dan net

volume sehingga dapat ditetapkan tanggal kedaluwarsa yang sebenarnya.

Berdasarkan durasinya, uji stabilitas dibagi menjadi dua, yakni:

1. Uji stabilitas jangka pendek (dipercepat)

2. Uji Stabilitas Jangka Panjang (Real Time Study)

1. Uji Stabilitas Jangka Pendek (dipercepat)

Uji stabilitas jangka pendek dilakukan selama 6 bulan dengan kondisi ekstrim

(suhu 40±20C dan Rh 75% ± 5%). Interval pengujian dilakukan pada bulan ke – 3

dan ke-6.

2. Uji stabilitas jangka panjang (real time study)

Uji stabilitas jangka panjang dilakukan sampai dengan waktu kedaluwarsa

produk seperti yang tertera pada kemasan. Pengujiannya dilakukan setiap 3 bulan

sekali pada tahun pertama dan setiap 6 bulan sekali pada tahun kedua. Pada tahun

ketiga dan seterusnya, pengujian dilakukan setahun sekali. Misalkan untuk produk

yang memiliki ED hingga 3 tahun pengujian dialkukan pada bulan ke-3, 6, 9, 12, 18,

24 dan 36. Sedangkan produk yang memiliki ED selama 20 bulan akan diuji pada

bualn ke-3, 6, 9, 12, 18 dan 20.Untuk uji stabilitas jangka panjang, sampel disimpan

pada kondisi:

Ruangan dengan suhu 30±2oC dan Rh 75+-5% untuk menyimpan produk-

produkdengan klaim penyimpanan pada suhu kamar.

Ruangan dengan suhu 25±2oC dan Rh 75+-5% untuk menyimpan

produkprodukdengan klaim penyimpanan pada suhu sejuk.

Ruangan untuk uji stabilitas dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

a. Ruangan dengan suhu 40±2oC dan Rh 75% ±5%

b. Ruangan dengan suhu 30±2oC dan Rh 75 %±5%

Page 40: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

40

Universitas Indonesia

c. Ruangan dengan suhu 25±2oC dan Rh 40% ±5 %

d. Ruangan dengan suhu 40±2oC dan Rh ≤ 35%

Climatic chamber

Climatic chamber, suhu dan kelembaban yang dapat diatur sesuai dengan

yang diinginkan. Climatic chamber ini biasa di-setting pada suhu 25±2oC dan Rh

75±5%.

Uji stabilitas dilakukan terhadap produk baru atau setiap kali terjadi

perubahan proses produksi (alat baru atau metode pengolahan), perubahan formula,

perubahan bahan awal dan bahan pengemas. Sedangkan pada produk yang sudah

tervalidasi namun tidak mengalami perubahan selama proses produksi maka

dilakukan post marketing stability test. Post marketing stability test dilakukan dengan

mengambil sampel dari salah satu batch pertahun dari suatu produk, kemudian

dilakukan pengujian tiap 12 bulan sekali hingga masa kedaluwarsanya.

Pemantauan terhadap finished goods retained sample juga dilakukan. Untuk

retained sample dengan klaim penyimpanan pada suhu kamar, disimpan pada

ruangan bersuhu 30oC dengan kelembapan yang tidak ditentukan. Retained

sample diambil untuk setiap batch dengan diambil secukupnya untuk dapat dilakukan

dua kali analisis. Retained sample yang diambil meliputi produk jadi, raw

material dan bahan kemas. Retained sample produk jadi dengan klaim penyimpanan

pada kondisi sejuk, disimpan di ruangan ber-AC. Finished goods retained

sample disimpan sampai satu tahun setelah kedaluwarsanya.

2.8.1.3. Pengawasan Mutu (Quality Control) Produk Kosmetik

Pengawasan mutu merupakan salah satu bagian terpenting bagi industri, baik

obat maupun kosmetik. Bagian ini membahas mengenai berbagai aspek terutama

yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung kepada kualitas obat. Ilmu

Pengawasan mutu meliputi pengetahuan terkini tentang berbagai metode analisis

berikut cara memvalidasi metode analisis tersebut, pengetahuan tentang berbagai

Page 41: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

41

Universitas Indonesia

instrumen yang digunakan dalam analisis, pengetahuan tentang penanganan obat

mulai dari bahan baku hingga pemantauan produk obat setelah obat tersebut

diedarkan di masyarakat. Oleh karena itu untuk mendapatkan obat yang memenuhi

kriteria aman-berkhasiat-berkualitas tentunya sangat dibutuhkan seseorang dengan

kompetensi penguasaan pengawasan mutu.

Walaupun tidak serumit pengawasan mutu pada produksi obat, pengawasan

mutu kosmetik tidak bisa diabaikan. Sistem pengawasan mutu harus lengkap

langkah-langkahnya sesuai prosedur. Perlu diperhatikan permasalahan mengenai

prosedur pengambilan contoh, pengujian, pemeriksaan terhadap bahan awal,

kelayakan bangunan, personalia, peralatan yang digunakan, reagen yang dipakai, SOP

untuk eveluasi pengujian dan sebagainya.

Tugas dari pengawasan mutu produk kosmetik adalah bertanggungjawab pada

keluhan. Keluhan biasanya memiliki indikasi adanya produk kembalian dari

masyarakat, baik secara langsung atau melalui badan-badan tertentu. Biasanya,

keluhan pelnanggan tidak hanya mencakup adanya efek samping produk secara

langsung, tapi juga hal terkait produk, misalnya kerusakan produk, bau yang telah

berubah, kadaluarsa, kerusakan kemasan, atau hal lainnya yang menimbulkan

keraguan atas mutu produk.

Dalam tugasnya, bagian pengawasan mutu melakukan evaluasi pada produk

kembalian. Langkah yang dilakukan pertama kali adalah, menganalisa mana saja dari

produk kembalian yang perlu dilakukan pengujian kembali. Tidak semua produk

kembalian perlu dilakukan pengujian kembali, terlebih prosuk-produk yang sejak

diterima kembali tealh mengalami kerusakan seperti kadaluarsa atau ada perubahan

bentuk dan bau.

Untuk menjaga keamanan produk kembalian yang dilempar lagi ke pasar,

produk-produk kembalian ini hendaklah dievaluasi secara berkala oleh bagian

pengawasan mutu perusahan kosmetik, agar tidak lagi menjadi keluhan masyarakat.

Hal-hal yang terkait dengan produk kembalian ini hendaklah dicatat dan diarsipkan

rapi, lalu dikirimkan juga ke bagian terkait pengawasan mutu lainnya. Hal-hal penting

Page 42: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

42

Universitas Indonesia

untuk dicatat adalah : alasan pengembalian, jumlah yang dikembalikan, tanggal

perbaikan (bila diperbaiki), tanggal pemusnahan dan metode pemusnahan.

2.8.2. Pemanfaatan Herbal dalam Pelayanan Kesehatan

Pemanfaat herbal dalam bidang kesehatan diatur dalam Kepmenkes no 121

tahun 2008 tentang standar pelayanan medik herbal dan Kemenkes no 3 tahun 2011

tentang saintifikasi jamu. Dalam Kemenkes ini disebutkan sebuat bahwa pengobatan

herbal adalah pengobatan menggunakan bahan yang berasal dari tanaman, bisa

berupa daun, akar, biji-bijian dan lainnya, yang mengandung bahan yang berkhasiat

untuk tubuh. Dan pelayanan ini harus dilakukan oleh fasilitas kesehatan dengan

sumber dayanya adalah dokter , dokter spesialis dan dokter gigi yang sudah

mendapatkan sertifikat kompetensi melalui pendidikan pengobatan herbal dasar.

Fasilitas kesehatan yang dapat melalukan pelayanan herbal medik adalah

praktik dokter perorangan atau berkelompok; Balai pengobatan umum/swasta;

Puskesmas; Rumah sakit kelas A, B, C, dan D; atau rumah sakit rujukan nasional.

Standar pelayanan medik yang dilakukan adalah sebgai berikut :

a. Melakukan Anamnesa

b. Melakukan Pemeriksaan meliputi :

1. Pemetiksaan Fisik yang meliputi Inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi

2. Pemeriksaan penunjang yaitu laboratorium, radiologi, EKG

c. Menegakkan diagnosis secara ilmu kedokteran

d. Memperoleh informed consent dari penderita sesuai ketentuan yang berlaku

e. Pemberian obat herbal hanya dilakukan pada pasien dewasa

f. Pemberian terapi berdasarkan hasil diagnosis yang telah ditegakkan

g. Penggunaan pengobatan herbal dilakukan dengan menggunakan tanaman

berkahsiat obat (sebagai contoh yang selama ini digunakan di beberapa rumah

sakit)

h. Dalam memberikan obat herbal perlu dilakukan hal berikut :

1. Sedapat mungkin tidak mengkombinasikan dengan obat kimia

Page 43: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

43

Universitas Indonesia

2. Mencatat hasil pelayanan yang meliputi setiap kejadian atau perubahan yang

terjadi pada pasien termasuk efek samping

3. Mencatat setiap intervensi jenis obat herbal yang diberikan termasuk dosis

atau takaran, cara pemberian, bentuk sediaan

4. Untuk obat yang diracik sendiri perlu dijelaskan sumber bahan, proses

peracikan, sampai bentuk siap saji obat tersebut

i. Dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu apabila terjadi kasus

yang tidak tertangani

Untuk pengawasan Pelayanan herbal medik ini adalah langsung di bawah

Dinas Kesehatan dan Balai POM Propinsi/kabupaten atau kota. Dan pembinaan

dilakukan oleh fasilitas kesehatan masing-masing yang menyelenggarakan pelayanan

herbal medik ini.

Sedangkan saintifikasi jamu seperti sudah dijelaskan di atas meurupakan

bagian dari pelayanan herbal di layanan kesehatan tetapi menggabungkan juga unsur

penelitian yang berbasis pelayanan. Dalam penyelenggaraannya juga diatur siapa

yang boleh menyelanggarakannya dan bagaimana penyelenggaraannya. Semua proses

dalam saintifikasi jamu hampir sama dengan Kepmenkes tentang pelayanan herbal

medik di layanan kesehatan.

Page 44: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

44

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Agoes G., (2007). Teknologi Bahan Alam. Bandung : Penerbit ITB.

Anonim. (1982). Fase-Fase dalam Uji Klinik. Jurnal. Cermin dunia Kedokteran No.

25 ; hal 1 – 9.

Anonim. (2004). Harmonisasi ASEAN dalam Bidang Regulasi Kosmetik. Jurnal. Info

POM Vol. 5 No. 2 ; hal 1 – 4.

Ardiyanto, Danang. (2011). Observasi Klinik Jamu Sebagai Dasar Ilmiah Terapi

Kedokteran Modern. Makalah Ilmiah. Simposium Penelitian Bahan Obat

Alami XV.

Badan Pengawas Obat dan Makanan, (2005). Pedoman Cara Pembuatan Obat

Tradisional yang Baik. Jakarta : BPOM RI.

Badan Pengawas Obat dan Makanan, (2005). Penyiapan Simplisia Untuk Sediaan

Herbal. Jakarta : BPOM RI.

Badan Pengawas Obat dan Makanan, (2006). Pokok Pemikiran Menuju Integrasi

Obat Asli/Obat Bahan Alam Indonesia ke Dalam Pelayanan

Kesehatan.Jakarta : BPOM RI.

Badan Pengawas Obat dan Makanan, (2011). Persyaratan Teknis Cara Pembuatan

Obat Tradisional yang Baik. Jakarta : BPOM RI.

Badan POM RI. (2004). Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat

Bahan Alam Indonesia. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan

Makanan RI No : HK.00.05.4.2411.

Badan POM RI. (2010). Petunjuk Operasional Pedoman Cara Pembuatan Kosmetik

Yang Baik. Jakarta : Badan POM RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, (2000). Parameter Standar Umum

Ekstrak Tumbuhan Obat, cetakan pertama. Jakarta : Dirjen BPOM RI.

Dewoto, Hedi R. (2007). Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi

Fitofarmaka. Makalah Ilmiah. Majalah Kedokteran Indonesia Vol. 57, No. 7 ;

hal 205 – 211.

Page 45: Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu

45

Universitas Indonesia

Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional Badan POM RI. (2010).

Pengawasan Mutu. Presentasi Badan POM RI.

Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis

Tumbuhan edisi II. Bandung : Penerbit ITB.

Kementerian Kesehatan RI. (2007). Kebijakan Obat Tradisional Nasional. Jakarta :

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 381/Menkes/SK/III/2007.

Kementerian Kesehatan RI. (2008). Standar Pelayanan Medik Herbal. Jakarta :

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 121/Menkes/SK/II/2008.

Kementerian Kesehatan RI. (2010). Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis

Pelayanan Kesehatan. PerMenkes No : 003/Menkes/Per/I/2010.

Lestari, Endang D.S. (2006). Analisis Industri Farmasi di Indonesia : Pendekatan

Organisasi Industri. Naskah Lengkap Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi

fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.

Sari, Lusia R.K. (2006). Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Pertimbangan

Manfaat dan Keamanannya. Makalah Ilmiah. Jurnal Majalah Ilmu

Kefarmasian, Vo. III, No. 1 ; hal 1 – 7.

Sarjoni, (2010). Budidaya Tanaman Obat-obatan Secara Umum. 17 Januari 2012.

http://sarjoni.wordpress.com/2010/05/06/budidaya-tanaman-obat-

obatansecara-umum/

Siswanto, YW., (2004). Penanganan Hasil Panen Tanaman Obat Komersial. Jakarta

: Penebar Swadaya.

Sukandar, Elin Y. (2010). Trend an Paradigma Dunia Farmasi : Industri-Klinik-

Teknologi Kesehatan. Makalah Ilmiah . Departemen Farmasi, Fakultas MIPA

ITB Bandung.

Wahyuningsih, Mae S.H. (2009). Deskriptif Penelitian Dasar Herbal Medicine.

Makalah Ilmiah. Bagian Farmasi Kedokteran, Fakultas Kedokteran

Universitas Gajah Mada.

Lib, Wong. (2011). Plant Material Discovery for Cosmetic. Power Point Materi

Kuliah Estetika Indonesia