pemanfaatan herbal dari hulu ke hilir dalam konteks saintifikasi jamu
DESCRIPTION
Herbal untuk estetika dalam konteks saintifikasi jamuTRANSCRIPT
1
Universitas Indonesia
Pengelolaan Herbal dalam dari hulu ke Hilir
dalam Konteks Saintifikasi Jamu dan
Pemanfaatannya dalam Bidang Estetika
dr. Richard S.N. Siahaan, M.Si.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Obat merupakan komponen pendukung utama dalam pelayanan kesahatan,
sehingga upaya pembangunan kesehatan senantiasa memperhatikan pembangunan di
bidang kefarmasian. Pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk menjamin
ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat, terutama obat essential melalui
“Kebijakan Obat Nasional”. Demi menunjang ketersediaan dan pemerataan bahan
baku obat maka pengembangan obat tradisional menjadi alternatif karena bahan baku
obat itu sendiri berada di sekitar kita. Pemerintah pun dalam salah satu subsistem
SKN disebutkan bahwa pengembangan dan peningkatan obat tradisional ditujukan
agar diperoleh obat tradisional yang bermutu tinggi, aman, memiliki khasiat nyata
yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas, baik untuk pengobatan
sendiri oleh masyarakat maupun dalam pelayanan kesehatan formal (Kepmenkes 381
Tentang Kebijakan Obat Tradisional, 2007).
Pada tahun 2007, total nilai impor bahan farmasi penting mencapai USD
211,7 juta, 59% diantaranya adalah bahan baku antibiotika. Dan Indonesia tercatat
mengimpor bahan farmasi dari RRC sebesar USD 76,5 juta, dan dari India sebesar
USD 25 juta. Kondisi ini senantiasa mendorong pemerintah untuk berusaha
menggapai kemandirian di bidang industri kefarmasian nasional. Indonesia termasuk
mega-centre keaneka-ragaman hayati, namun belum banyak dimanfaatkan dan ekspor
masih banyak dalam bentuk raw material (bahan mentah dan simplisia kering) yang
memiliki nilai ekonomi rendah jika dibanding dengan ekstrak ataupun produk siap
pakai (Herbal terstandar, fitofarmaka ataupun sediaan kosmetik). Diperkirakan
2
Universitas Indonesia
40.000 spesies tumbuhan hidup di muka bumi ini, 30.000 di antaranya tumbuh di
Indonesia. Dari jumlah itu, baru sekitar 180 spesies yang dimanfaatkan sebagai bahan
oleh industri obat tradisional dan industri kosmetika.
Perguruan tinggi yang memiliki peranan dalam mengimplementasikan
tridarma perguruan tinggi yaitu fungsi pendidikan, pengajaran dan penelitian serta
pengabdian kepada masyarakat diharapakan dapat mencetak profesional yang bukan
hanya menguasai ilmu secara teoritis saja tetapi mampu juga menguasai ilmu
pengetahuan secara praktis dan aplikatif yang bisa langsung dimanfaatkan atau
dirasakan oleh masyarakat luas. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dapat
dilakukan oleh perguruan tinggi meliputi kegiatan pembinaan dan pendampingan
terhadap Industri Kecil Obat Tradisional. Pembinaan yang dapat dilakukan berupa
sosialisasi Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) dan penerapan
CPOTB dalam proses produksi obat tradisional. Dengan proses implementasi ilmu
dilapangan maka mahasiswa bisa tahu bagaimana pengembangan obat tradisional
dilapangan yang sesungguhnya.
Dari Penjelasan di atas maka diperlukan suatu kegiatan yang dapat membantu
mahasiswa dalam mengembangkan kelimuannya, serta dapat berfikir tanggap dan
kritis dalam memecahkan persoalan yang timbul di lapangan atau di dunia kerja
nantinya. Bentuk kegiatan tersebut diantaranya Praktek Kerja Lapangan. Praktek
Kerja Lapangan merupakan mata kuliah wajib sebagai mahasiswa Magister Herbal
Universitas Indonesia baik jurusan herbal medik dan estetika yang berbobot 2 SKS.
Dengan melakukan Praktek Kerja Lapangan maka diharapkan mahasiswa dapat
mengetahui dan megerti mengenai pengembangan dan pemanfaat obat tradisional dari
Hulu sampai ke Hilir.
Praktek Kerja lapangan yang dilaksanakan di Jakarta, Jawa Tengah dan
Surabaya berupa kegiatan kunjungan serta mengobservasi kegiatan yang dilakukan
pada masing-masing institusi yang berkaitan dengan pengolahan, pengembangan dan
pemanfaatan obat tradisional untuk kesehatan dan industri kosmetika. Kegiatan
berupa melakukan kunjungan ke B2P2 TO-OT, Pabrik Pengolahan Ekstrak Herbal
PT Borobudur, industri obat herbal PT Deltomed, Pusat Ristek Dan Pendidikan Marta
3
Universitas Indonesia
Tilaar Grup, Serta Klinik saintifikasi jamu Di Tawangmangu dan Poli Obat
Tradisional Indonesia (OTI) RS dr. Soetomo Surabaya. Kegiatan ini diharapakan
dapat membantu mahasiswa dalam menimba pengalaman dan pengetahuan yang
bersifat aplikatif untuk menunjang pendidikan magister Herbal.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengembangan Herbal dari Hulu ke Hilir
Pengembangan obat tradisional di Indonesia tidak terlepas dari cara
pengolahan herbal itu sendiri dari Hulu sampai ke Hilir dan cara pemanfaatannya di
dunia kesehatan dan kecantikan. Cara-cara pengolahan dan standardisasi dari obat
herbal itu mulai dari penanaman, pengolahan, industri dan pemelitian manfaat dan
pemanfaatannya sangat mempengaruhi Kualitas, keamanan, khasiat (Quality, Safety
and Efficacy) obat bahan alam tersebut.
Dalam bab ini akan dibahas mengenai :
1. Pengertian obat tradisional dan Obat Bahan alam,
2. Jamu, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka
3. Tinjauan umum Proses Pengolahan herbal dari Hulu ke Hilir.
4. Penyediaan Bahan Baku Obat Herbal (raw material) (penerapan GAP)
5. Pengolahan Raw Material menjadi Herbal terstandar. (Penerapan GMP)
6. Proses Pengolahan Herbal menjadi produk jadi kesahatan (Penerapan GMP)
7. Penelitian Obat Herbal (Penerapan GCP)
8. Pemanfaatan Herbal untuk industri estetik dan Kedokteran Pencegahan.
2.2. Pengertian Obat Tradisional dan Obat Bahan Alam
Menurut Permenkes No 246/Menkes/Per/V/1990 yang dimaksud dengan obat
tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dan bahan-bahan tersebut,
yang secara traditional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
4
Universitas Indonesia
Sedangkan yang dimakasud dengan Obat Bahan Alam adalah semua jenis sediaan
bahan alam yang belum sampai pada isolate murni. Menurut Keputusan Badan POM
Nomor : HK.00.05.4.2411 tahun 2006, yang termasuk ke dalam obat bahan alam
Indonesia ada 3 kategori yaitu Jamu, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka.
Penggolangan ini dapat dilihat pada gambar 2.1.
Sediaan Berupa Simplisia
dengan Bukti Empiris
Sediaan Berupa Ekstrak
dengan Bukti Ilmiah
secara Pra Klinis
Sediaan Berupa Ekstrak
dengan Bukti Ilmiah
secara Klinis
Jamu
Obat Herbal
Terstandar
(OHT)
Fitofarmaka
Gambar 2.1. Kategori Obat Bahan Alam Indonesia (BPOM, 2006)
2.3. Jamu, Obat Herbal Tersdandar dan Fitofarmaka
Jamu adalah obat bahan alam yang sediannya masih berupa simplisia
sederhana. Khasiat dan keamanannya baru terbukti secara empiris berdasarkan
pengalaman turun temurun. Disebut sebagai jamu bila sudah digunakan di masyarakat
secara turun temurun melewati 3 generasi atau setara dengan 180 tahun. Menurut
BPOM RI jamu harus memenuhi kriteria Aman sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan, klaim khasiat berdasarakan data empiris, dan memenuhi persyaratan mutu
yang berlaku.
Obat Herbal Terstandar adalah obat bahan alam yang bentuk sediaannya
sudah dalam bentuk ekstrak dengan bahan dan proses pembuatan yang
tersdandarisasi. Herbal terstandar juga harus melewati uji praklinis seperti uji
5
Universitas Indonesia
keamanan (toksisitas jangka pendek dan jangka panjang), Uji Manfaat (efek
farmakologinya), dan harus memenuhi kualiatas pembuatan herbal yang terstandar.
Menurut BPOM, Obat Herbal Terstandar harus memenuhi kriteria Aman sesuai
persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah (uji Praklinik,
dan terlah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku dalam produk jadi.
Fitofarmaka adalah Obat herbal terstandar yang sudah naik kelas menjadi
fitofarmaka karena sudah melalui uji klinis. Dosis pada hewan percobaan
dikonversikan ke dosis aman bagi manusia. Dari uji inilah diketahui keamanan efek
pada hewan percobaan dan manusia. Menurut BPOM fitofarmaka harus memenuhi
kriteria seperti obat herbal terstandar hanya saja ditambahakan dengan bukti khasiat
harus sudah melalui uji klinis.
2.4. Tinjauan Umum Proses Pengolahan Obat Bahan Alam dari Hulu ke Hilir
Pengolahan obat bahan alam harus memenuhi kriteria mutu yang sudah
terstandarisasi, oleh karena itu proses pengolahan yang baik merupakan mulai dari
penananaman sampai pada pemanfaat obat bahan harus memenuhi urut-urutan dan
standar yang sudah ditetapkan demi menjamin reliabilitas dari obat bahan alam
tersebut.
Secara umum tahap-tahapan pengolahan dan pemanfaatan obat bahan alam
adalah sebagai berikut :
1. Proses penyedian bahan baku obat bahan alam yang meliputi proses
penanaman (budi daya), pemanenan, dan penanganan pasca panen yang
harus menerapkan Good Agriculture Practice (GAP) dan Good Colecting
Practice (GCP)
2. Proses Pengolahan bahan alam menjadi obat tersdandar yang meliputi
proses pembuatan simplisia sampai dengan penkekstrakan sampai dengan
produk jadi dalam industri yang harus menerapkan Good Manufacturing
Practice (GMP)
3. Proses pengujian dan penelitian obat bahan alam yang sudah dalam bentuk
formulasi atau sediaan kosmetik untuk mendapatkan data stabilitas dan
6
Universitas Indonesia
toksisitas dari obat bahan alam tersebut, dan peneliti harus sudah
menerapkan Good Clinical Practice (GCP)
4. Proses pemanfaatan obat bahan alam untuk estetika dan kedokteran
(pengobatan). Pemanfaatan di bidang kecantikan harus memenuhi
pengujian manfaat, keamanan dan stabilitas produk. Sedangkan untuk
pemanfaatannya di bidang kedokteran diatur dalam permenkes tentang
saintifikasi jamu dimana dalam saintifikasi jamu ini penelitian dan
pemnafaatan obat herbal dijadikan satu layanan dalam sebuah klinik atau
institusi kesehatan yang sudah ditunjuk.
Tahap-tahapan pengolahan dan pemanfaat obat herbal dari Hulu ke Hilir dapat
dilihat pada gambar 2.3. di bawah ini.
Budidaya
HutanTanaman
Liar
Study
Etnobotani
PengumpulanPasca
Panen
Serbuk
Tingtur
Simplisia
Bahan Baku
Uji Manfaat
Industri
Pemakaian di
bidang
kedokteran
Pemakaian dalam Bidang
Kecantikan dan
Perawatan Tubuh
Ekstrak
Uji
Toksisitas
Uji
Stabilitas
GAP GCP GMP
Saintifikasi Jamu
Good
Clinical
Practice
Gambar 2.3. Pemanfaatan obat Herbal dari Hulu ke Hilir dan Sistem Jaminan Mutu
Obat Herbal
2.5. Penyediaan Bahan Baku Obat Herbal (raw material) (penerapan GAP)
Penyiapan bahan baku obat dimulai dengan Studi etnobotani sampai dengan
penanganan pasca panen.
7
Universitas Indonesia
Etno botani merupakan ilmu botani mengenai pemanfaatan tumbuhan dalam
keperluan shari-hari dan adat suku bangsa. Studi ini tidak hanya menyangkut
taksonomi teapi memyangkut pengetahuan botani yang bersifat kedaerahan, berupa
tinjauan interpretasi dan asosiasi yang mempelajari hubungan timbal balik antara
manusia dengan tanaman. Studi etnobotani adalah studi yang bertujuan untuk
mencari bahan-bahan alam dari tumbuh-tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai
bahan alam obat-obatan.
Tahapan-tahapan yang harus dilakukan sesuai dengan penerapan Good
Agriculuture Practice adalah sebagai berikut :
1. Pemilihan Bibit Tanaman Obat
Bibit merupakan salah satu penentu keberhasilan budidaya tanaman. Budidaya
tanaman sebenarnya telah dimulai sejak memilih bibit tanaman yang baik, karena
bibit merupakan obyek utama yang akan dikembangkan dalam proses budidaya
selanjutnya. Selain itu, bibit juga merupakan pembawa gen dari induknya yang
menentukan sifat tanaman setelah berproduksi. Oleh karena itu untuk memperoleh
tanaman yang memiliki sifat tertentu dapat diperoleh dengan memilih bibit yang
berasal dari induk yang memiliki sifat tersebut.
Pemilihan bibit tanaman obat terdiri dari 2 aspek yaitu pemilihan varietas
unggul untuk tanaman obat yang memliki bahan baku yang unggul dengan
kandungan tertentu dan identitas botani yang memiliki kandungan tertentu yang
memiliki efek farmakologi. Untuk menjaga kwalitas unggul dari tanaman obat maka
perbanyakan dari bibit tanaman obat dapat secara pembenihan dengan biji (generatif),
secara vegetatif dan dengan kultur jaringan.
2. Budidaya Tanaman Obat
Dalam budidaya tanaman obat disini termasuk kedalamnya adalah pemilihan
lahan dan pemupukan, pengairan, pemeliharaan dan pengendalian organisme
pengganggu.
Keragaman jenis tanaman obat mulai dari jenis tanaman dataran rendah
sampai tanaman dataran tinggi menuntut penyesuaian lingkungan untuk kegiatan
8
Universitas Indonesia
budidaya tanaman tersebut. Setiap jenis tanaman obat membutuhkan kondisi
lingkungan tertentu agar dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal.
Lingkungan pertumbuhan yang dimaksud meliputi iklim dan tanah. Beberapa
unsur iklim seperti suhu, curah hujan dan penyinaran matahari secara langsung
berpengaruh bagi pertumbuhan tanaman. Setiap tanaman obat membutuhkan suhu
udara yang sesuai agar proses metabolisme dapat berjalan baik, sedangkan suhu tanah
akan mempengaruhi proses perkecambahan benih. Suhu tanah yang terlalu rendah
dapat menghambat proses perkecambahan, sedangkan suhu tanah yang terlalu tinggi
dapat mematikan embrio yang terdapat pada biji.
Tanaman obat-obatan membutuhkan curah hujan yang cukup dengan
distribusi yang merata. Ketersediaan air merupakan salah satu faktor penentu
keberhasilan budidaya tanaman obat. Apabila jumlah curah hujan tidak dapat
memenuhi kebutuhan air bagi tanaman obat maka harus dilakukan penyiraman atau
pengairan melalui irigasi.
Penyinaran matahari juga sangat penting pada budidaya tanaman obat. Sudut
dan arah datangnya sinar matahari, lama penyinaran dan kualitas sinar merupakan
faktor-faktor yang mempengaruhi proses fotosintesis pada tanaman obat. Jumlah
radiasi matahari yang tidak optimal akan menyebabkan penurunan kualitas dan
kuantitas produksi tanaman obat. Beberapa jenis tanaman obat membutuhkan
pelindung untuk mengurangi jumlah radiasi matahari yang diterima, tetapi jenis
tanaman obat lainnya membutuhkan jumlah radiasi matahari maksimal untuk
berfotosintesis.
Unsur-unsur iklim lain seperti kelembaban, angin dan keawanan juga perlu
diperhatikan dan disesuaikan dengan kebutuhkan tanaman obat yang akan
dibudidayakan. Kesuburan tanah tempat bercocok tanam tanaman obat juga
merupakan penentu keberhasilan budidaya tanaman obat tersebut. Kesuburan tanah
yang harus diperhatikan meliputi kesuburan fisik, kimia dan biologi. Tanah sebaiknya
memiliki perbandingan fraksi liat, lempung dan pasir yang seimbang, gembur,
kandungan bahan organik tinggi, aerase dan drainase baik, memiliki kandungan hara
yang tinggi, pH tanah cenderung netral antara 6,0 – 7,0.
9
Universitas Indonesia
3. Pemanenan
Mengingat produk tanaman obat dapat berasal dari hasil budidaya dan dari
hasil eksplorasi alam maka penanganan atau penentuan saat panen secara tepat sangat
berarti. Tanaman obat haruslah dipanen sepanjang waktu-waktu tertentu (musim yang
optimal) untuk memastikan hasil produksi hasil akhir tanaman obat tersebut memiliki
kwalitas yang terbaik. Waktu untuk pemanenan tergantung dari tanaman dan bagian
tanaman yang akan dipanen, dan biasanya rincian cara pemenenan masing-masing
tanaman obat ada pada pharmacophe, standarisasi, monograf yang ada di masing-
masing negara. Secara umum yang sudah diketahui bahwa konsentrasi dari
kandungan aktif dari tanaman obat berfariasi tergantung dari stadium dari
pertumbuhan dan perkembangannya. Waktu pemanenan haruslah ditentukan
berdasarkan waktu terbaik dimana kualitas dan jumlah dari kandungan zat aktifnya
tinggi pada saat itu. Selama pemanenan perhatian perlu dilakukan untuk memastikan
bahwa tidak ada bahan lain, rumput-rumputan liar, atau tanaman lain yang bercampur
dengan tanaman obat pada saat pemanenan.
Tanaman obat haruslah dipanen pada kondisi yang terbaik, harus menghindari
embun hujan atau kelembaban yang tinggi. Bila pemanenan memerlukan kondisi
yang kering, tanaman yang dipanen haruslah diangkut secepatnya ke dalam fasilitas
pengeringan di dalam ruangan untuk mempercepat pengeringan untuk mencegah
kemungkinan efek yang merusak yang disebabkan oleh karena peningkatan level
kelembaban yang dapat meningkatkan fermentasi dari jasad renik dan jamur.
Alat pemotong, pemanen dan mesin-mesin lainnya haruslah dijaga tetap
bersih untuk mengurangi kerusakan dan kontaminasi dari tanah dan material lainnya.
Mesin haruslah disimpan ditempat yang tidak terkontaminasi dan kering atau fasilitas
yang bebas dari serangga, tikus, burung dan hama lainnya, dan tidak dapat dilalui
oleh ternak dan hewan lainnya. Kontak dengan tanah haruslah dihindarkan untuk
menghindari perluasan kemungkinan adanya perkemangan jasada renik pada material
tanaman obat. Tanaman obat yang dipanen haruslah diangkut dalam keadaan bersih
dan kondisi kering dan harus dimasukan ke dalam keranjang yang bersih, kantong
10
Universitas Indonesia
kering, trailer, gerobak atau container yang lain dan dibawa ke titik penjemputan
untuk dibawa ke fasilitas pemrosesan berikutnya.
Semua kontainer yang digunakan pada pemanenan haruslah dijaga tetap
bersih dan bebas dari kontaminan yang berasal dari tanaman yang dipanen
sebelumnya atau material asing lainya. Jika container sedang tidak digunakan maka
haruslah tetap dijaga dalam kondisi kering dalam area yang terlindung dari serangga,
tikus, burung dan hama lainnya, dan juga tidak bisa dilalui oleh ternak atau hewan
lainnya.
Pada dasarnya tujuan penanganan dan pengelolaan saat panen adalah sebagai
berikut :
a. Untuk memperoleh bahan baku yang memenuhi standar mutu.
b. Menghindari terbuangnya hasil panen secara percuma serta mengurangi
kerusakan hasil panen.
c. Agar semua hasil panen dapat dimanfaatkan sesuai harapan.
4. Penanganan Pasca Panen
Penanganan dan pengelolaan pascapanen adalah suatu perlakuan yang
diberikan pada hasil pertanian hingga produk siap dikonsumsi. Penanganan dan
pengelolaan pascapanen tanaman obat dilakukan terutama untuk menghindari
kerugian-kerugian yang mungkin timbul akibat perlakuan prapanen dan pascapanen
yang kurang tepat. Hal-hal yang dapat mengakibatkan kerugian, misalnya terjadinya
perubahan sifat zat yang terdapat dalam tanaman, perlakuan dan cara panen yang
tidak tepat, masalah daerah produksi yang menyangkut keadaan iklim dan
lingkungan, teknologi pascapanen yang diterapkan, limbah, serta masalah sosial-
ekonomi dan budaya masyarakat.
Pengelolaan pascapanen tanaman obat perlu dilakukan secara hati-hati.
Pengelolaan pascapanen meliputi kegiatan penyortiran, pencucian, pengolahan hasil
(pengupasan kulit serta pengirisan), pengeringan, pengemasan, sampai pada
penyimpanan.
Adapun tujuan pengelolaan pascapanen tanaman obat dapat dirangkum
sebagai berikut :
11
Universitas Indonesia
a. Mencegah kerugian karena perlakuan prapanen yang tidak tepat.
b. Menghindari kerusakan akibat waktu dan cara panen yang tidak tepat.
c. Mengurangi kerusakan pada saat pengumpulan, pengemasan, dan
pengangkutan saatpendistribusian hasil panen.
d. Menghindari kerusakan karena teknologi pascapanen yang kurang tepat.
e. Menekan penyusutan kuantitatif dan kualitatif hasil.
f. Terjaminnya suplai bahan baku produksi tanaman obat meskipun tidak pada
musimnya.
g. Pengolahan limbah yang dapat memberikan nilai tambah bagi produsen
simplisia, contoh sisa-sisa hasil pengolahan simplisia untuk pembuatan
pupuk kompos.
h. Meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya alam dan menjamin
kelestariannya.
Kegiatan pengelolaan pascapanen tanaman obat menunjukkan suatu sistem
yang kompleks serta melibatkan banyak faktor, baik teknis, sosial budaya, dan
ekonomi. Melihat hubungan yang saling berkait dan kompleks tersebut maka
diperlukan peran pemerintah danswasta secara aktif dalam membantu meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan tanaman obat.
2.6. Pengolahan Raw Material menjadi Herbal terstandar. (Penerapan GMP)
Proses pengolahan raw material menjadi bahan baku dasar herbal merupakan
hal yang sangat penting untuk menjaga kualitas produk jadi suatu herbal sehingga
jumlah kandungan zat aktif tidak terganggu dan khasiat dari herbal tersebut dapat
terjada. Jenis-jenis bahan dasar herbal dapat berupa simplisia, ekstrak herbal, dan
Minyak Atsiri.
2.6.1. Pembuatan Simplisia
Simplisia merupakan bawan awal pembuatan sediaan herbal. Mutu sediaan
herbal sangat dipengeruhi oleh mutu simplisia yang digunakan, karena itu sumber
simplisia, cara pengolahan dan penyimpanan harus dilakukan dengan baik. Simplisia
12
Universitas Indonesia
adalah bahan alam yang digunakan sebagai bahan sediaan herbal yang belum
mengalami pengolahan bahan yang telah dikeringkan. (BPOM, 2005).
Penanaganan pembuatan simplisia mulai dari pemanenan sampai pasca panen
sudah dijelaskan di atas. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai penanganan
pengolahan tanaman obat sesudah dipanen sampai dibentuk simplisia. Prosesnya
adalah sebagai berikut :
1. Penyortiran (Sortir Basah)
Penyortiran basah dilakukan setelah selesai panen dengan tujuan untuk
memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing, bahan yang tua dengan yang
muda atau bahan yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Bahan nabati yang baik
memiliki kandungan campuran bahan organik asing tidak lebih dari 2%. Proses
penyortiran pertama bertujuan untuk memisahkan bahan yang busuk atau bahan yang
muda dan yang tua serta untuk mengurangi jumlah pengotor yang ikut terbawa dalam
bahan.
2. Pencucian
Pencucian bertujuan menghilangkan kotoran-kotoran dan mengurangi
mikriba-mikroba yang melekat pada bahan. Pencucian harus segera dilakukan setelah
panen karena dapat mempengaruhi mutu bahan. Pencucian menggunakan air bersih
seperti air dari mata air, sumur atau PAM. Penggunaan air kotor menyebabkan
jumlah mikroba pada bahan tidak akan berkurang bahkan akan bertambah. Pada saat
pencucian perhatikan air cucian dan air bilasannya, jika masih terlihat kotor ulangi
pencucian/pembilasan sekali atau dua kali lagi. Perlu diperhatikan bahwa pencucian
harus dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin untuk menghindari larutnya
atau terbuangnya zat yang tekandung dalam bahan. Pencucian bahan dapat dilakukan
dengan beberapa cara antara lain :
a. Perendaman Bertingkat
Perendaman biasanya dilakukan pada bahan yang tidak banyak mengandung
kotoran seperti daun, bunga, buah dan lain-lain. Proses perendaman dilakukan
beberapa kali pada wadah dan air yang berbeda, pada rendaman pertama air
13
Universitas Indonesia
cuciannya mengandung kotoran paling banyak. Saat prendaman kotoran-kotoran yang
melekat kuat pada bahan dapat dihilngkan langsung dengan tangan. Metode ini akan
menghemat penggunaan air, namun sangat mudah melarutkan zat-zat yang
terkandung dalam bahan.
b. Penyemprotan
Penyemprotan biasanya dilakukan pada bahan yang kotorannya banyak
melekat pada bahan seperti rimpang, akar, umbi, dan lain-lain. Proses penyemprotan
dilakukan dengan menggunakan air yang bertekanan tinggi. Untuk lebih meyakinkan
kebersihannya, kotoran yang melekat kuat pada bahan dapat dihilangkan langsung
dengan tangan. Proses ini biasanya menggunakan air yang cukup banyak, namun
dapat mengurangi resiko hilang atau larutnya kandungan dalam bahan.
c. Penyikatan (manual maupun otomatis)
Pencucian dengan menyikat dapat dilakukan terhadap jenis bahan yang
keras/tidak lunak dan kotorannya melekat sangat kuat. Pencucian ini memakai alat
bantu sikat yang digunakan bentuknya bisa bermacam-macam, dalam hal ini perlu
diperhatikan kerbersihan dari sikat yang digunakan. Penyikatan dilakukan terhadap
bahan secara perlahan dan teratur agar tidak merusak bahannya. Pembilasan
dilakukan pada bahan yang sudah disikat. Metode pencucian ini dapat menghasilkan
bahan yanga lebih bersih dibandingkan dengan metode pencucian lainnya, namun
meningkatkan resiko kerusakan bahan, sehingga merangsang pertumbuhan bakteri
atau mikroorganisme.
3. Penirisan/Pengeringan
Setelah pencucian, bahan langsung ditiriskan di rak-rak pengering. Khusus
untuk bahan rimpang penjemuran dilakukan selama 4 – 6 hari. Selesai pengeringan
dilakuakn kembali penyortiran apabila bahan langsung digunakan dalam bentuk segar
sesuai dengan permintaan. Contohnya untuk rimpang jahe, perlu dilakukan
penyortiran sesuai standar perdagangan, karena mutau bahan menentukan harga jual.
Berdasarkan standar perdagangan, mutu rimpang jahe segar dikategorikan sebagai
berikut :
14
Universitas Indonesia
a. Mutu I : Bobot 250 gr/rimpang, kulit tidak terkelupas, tidak
mengandung benda asing dan tidak berjamur.
b. Mutu II : Bobot 150 – 249 gr/rimpang, kulit tidak mengandung benda
asing dan tidak berjamur.
c. Mutu III : Bobot sesuai hasil analisis, kulit yang terkelupas maksimum
10%, benda asing maksimum 3%, kapang maksimum 10%.
4. Perajangan
Perajangan pada bahan dilakukan untuk mempermudah proses selanjutnya
seperti pengeringan, pengemasan, penyulingan minyak atsiri dan penyimpanannya.
Perajangan biasa hanya dilakukan pada bahan yang ukurannya agak besar dan tidak
lunak sperti akar, rimpang, batang, buah dan lain-lain. Ukuran perajangan tergantung
dari bahan yang digunakan dan berpengaruh terhadap kualitas simplisia yang
dihasilkan. Perajangan terlalu tipis dapat mengurangi zat aktif yang terkandung dalam
bahan. Sedangkan jika terlalu tebal, maka pengurangan kadar air dalam bahan agak
sulit dan memerlukan waktu yang lama dalam penjemuran dan kemungkinan besar
bahan mudah ditumbuhi jamur.
Ketebalan perajangan untuk rimpang temulawak adalah sebesar 7 – 8 mm,
jahe, kunyit dan kencur 3 – 5 mm. Perajangan bahan dapat dilakukan secara manual
dengan pisau yang tajam dan terbuat dari steinlees ataupun dengan mesin
pemotong/perajang. Bentuk irisan split atau slice tergantung tujuan pemakaian. Untuk
tujuan mendapatkan minyak atsiri yang tinggi bentuk irisan sebaiknya membujur
(split) dan jika ingin bahan lebih cepat kering bentuk irisan sebaiknya melintang
(slice).
5. Pengeringan
Pengeringan merupakan suatu cara pengawetan atau pengolahan pada bahan
dengan cara mengurangi kadar air, sehingga proses pembusukan dapat terhambat.
Dengan demikian dapat dihasilkan simplisia terstandar, tidak mudah rusak dan tahan
disimpan dalam waktu yang lama. Dalam proses ini, kadar air dan reaksi-reaksi zat
aktif dalam bahan akan berkurang, sehingga suhu dan waktu pengeringan harus
15
Universitas Indonesia
diperhatikan.Suhu pengeringan tergantung dari bahan yang akan dikeringkan. Pada
umumnya suhu pengeringan antara 40-60oC dana hasil yang baik dari proses
pengeringan adalah simplisia dengan kadar air 10%. Demikian juga dengan waktu
pengeringan pada tiap bahan berbeda tergantung dari bahan yang dikeringkan seperti
rimpang, daun, kayu atau bunga. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam proses
pengeringan adalah kebersihan, (khususnya pengeringan dengan menggunakan sinar
matahari), kelembaban udara, dan tebal bahan (tidak saling menumpuk). Pengeringan
dapat dilakukan dengan cara tradisional dengan menggunakan sinar matahari atau
dengan cara modern dengan menggunakan alat pengering seperti oven, rak pengering,
blower, atau dengan fresh dryer. Pengeringan hasil rajangan dari temu-temuan dapat
dilakukan dengan sinar matahari, oven, bolwer dan fresh dryer pada suhu 30-50oC.
Pengeringan pada suhu terlalu tinggi dapat merusak komponen aktif, sehingga
mutunya dapat menurun.
Pengeringan dapat menyebabkan perubahan-perubahan hidrolisa enzimatis,
pencokelatan, fermentasi dan oksidasi. Ciri-ciri pengeringan sudah berakhir apabila
daun ataupun temu-temuan sudah dapat dipatahkan dengan mudah. Pada umumnya
bahan (simplisia) yang sudah kering memiliki kadar air 8 – 10%. Dengan jumlah
kadar air tersebut kerusakan bahan dapat ditekan baik dalam pengolahan maupun
waktu penyimpanan,
6. Penyortiran (Sortir Kering)
Penyortiran dilakukan bertujuan untuk memisahkan benda-benda asing yang
terdapat pada simplisia, misalnya akar-akar, pasir, kotoran unggas atau benda asing
lainnya. Proses penyrotiran merupakan tahap akhir dari pembuatan simplisia kering
sebelum dilakukan pengemasan, penyimpanan, atau pengolahan lebih lanjut. Setelah
penyortiran, simplisia ditimbang untuk mengetahui rendeman hasil dari proses pasca
panen yang dilakukan.
7. Pengemasan
Pengemasan dapat dilakukan pada simplisia yang sudah dikeringkan. Jenis
kemasan yang digunakan dapat berupa plastik, kertas maupun karung goni.
Persyaratan kemasan yaitu dapat menjamin mutu produk yang dikemas, mudah
16
Universitas Indonesia
dipakai, tidak mempersulit penanganan, dapat melindungi isi pada saat pengankutan,
tidak beracun dan tidak bereaksi dengan isi dan kalau boleh mempunyai bentuk dan
rupa yang menarik.
Berikan label yang jelas pada setiap kemasan tersebut yang isinya menuliskan
nama bahan, bagian dari tanaman bahan yang digunakan, tanggal pengemasan, nomer
kode produksi, nama dan alamat penghasil, berat bersihm dan metode penyimpanan.
8. Penyimpanan
Penyimpanan simplisia dapat dilakukan di ruang biasa pada suhu kamar,
ataupun di ruangan ber AC (air conditioner). Ruang penyimpanan haruslah bersih,
udaranya cukup kering, dan berventilasi udara. Ventilasi harus cukup baik karena
hama menyukai udara yang lembab dan panas. Sebelum penyimpanan ada hal-hal
utama yang harus diperthatikan yaitu :
a. Gudang harus terpisah dari tempat penyimpanan bahan lainnya ataupun
penyimpanan alat dan dipelihara dengan baik.
b. Ventilasi udara cukup baik dan bebas dari kebocoran atu kemungkinan
masuk air hujan.
c. Suhu gudang tidak melebih 30oC.
d. Kelembaban udara sebaiknya diusahakan serendah mungkin (65oC) untuk
mencegah terjadinya penyerapan air. Kelembaban udara yang tinggi dapat
memacu pertumbuhan mikroorganisme sehingga menurunkan mutu bahan
dalam bentuk segar maupun kering.
e. Masuknya sinar matahari langsung menyinari simplisia harus dicegah.
f. Masuknya hewan, serangga maupun tikus yang sering memakan simplisia
yang disimpan harus dicegah.
2.6.2. Ekstraksi
Ektrak tanaman obat yang dibuat dari simplisia nabati dapat dipandang
sebagai bahan awal, bahan antara atau bahan produk jadi. Ekstraksi adalah penyarian
zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dari bagian tanaman obat, hewan dan beberapa
17
Universitas Indonesia
jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat aktif terdapat di dalam sel, namun sel tanaman
dan hewan berbeda demikian pula ketebalannya, sehingga diperlukan metode
ekstraksi dengan pelarut tertentu dalam mengekstraksinya.
Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia yang
terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan massa
komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar
muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut.
2.6.2.1. Jenis-Jenis Ekstraksi
Jenis ekstraksi bahan alam yang sering dilakukan adalah ekstraksi secara
panas dengan cara refluks dan penyulingan uap air dan ekstraksi secara dingin dengan
cara maserasi, perkolasi dan alat soxhlet.
a. Maserasi
Maserasi dilakukan dengan cara memasukkan 10 bagian simplisia dengan
derajat yang cocok ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan penyari 75 bagian,
ditutup dan dibiarkan selama 5 hari, terlindung dari cahaya sambil diaduk sekali-kali
setiap hari lalu diperas dan ampasnya dimaserasi kembali dengan cairan penyari.
Penyarian diakhiri setelah pelarut tidak berwarna lagi, lalu dipindahkan ke dalam
bejana tertutup, dibiarkan pada tempat yang tidak bercahaya, setelah dua hari lalu
endapan dipisahkan.
Keuntungan menggunakan ekstraksi dengan metode ini adalah peralatannya
sederhana. Kerugiannya waktu yang diperlukan untuk mengekstraksi sampel cukup
lama, solvent yang digunakan lebih banyak, dan metode ekstraksi ini tidak dapat
digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai tekstur keras, contohnya adalah
benzoin, tiraks dan lilin.
b. Perkolasi
Perkolasi dilakukan dengan cara dibasahkan 10 bagian simplisia dengan
derajat halus yang cocok, menggunakan 2,5 bagian sampai 5 bagian cairan penyari
dimasukkan dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya 3 jam. Massa dipindahkan
sedikit demi sedikit ke dalam perkolator, ditambahkan cairan penyari. Perkolator
ditutup dibiarkan selama 24 jam, kemudian kran dibuka dengan kecepatan 1 ml
18
Universitas Indonesia
permenit, sehingga simplisia tetap terendam. Filtrat dipindahkan ke dalam bejana,
ditutup dan dibiarkan selama 2 hari pada tempat terlindung dari cahaya.
Keuntungan ekstraksi dengan menggunakan metode perkolasi adalah tidak
memerlukan langkah tambahan karena sampel padat telah terpisah dari ekstrak.
Sedangkan kerugiannya adalah kontak antara sampel padat tidak merata atau terbatas
apabila dibandingkan dengan metode refluks, dan pelarut akan menjadi dingin selama
proses perkolasi sehingga tidak melarutkan komponen secara efisien.
c. Reluks
Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya adalah ekstraksi berkesinambungan.
Bahan yang akan diekstraksi direndam dengan cairan penyari dalam labu alas bulat
yang dilengkapi dengan alat pendingin tegak, lalu dipanaskan sampai mendidih.
Cairan penyari akan menguap, uap tersebut akan diembunkan dengan pendingin tegak
dan akan kembali menyari zat aktif dalam simplisia tersebut, demikian seterusnya.
Ekstraksi ini biasanya dilakukan 3 kali dan setiap kali diekstraksi selama 4 jam.
Keuntungan dari metode ini adalah digunakan untuk mengekstraksi sampel-
sampel yang mempunyai tekstur kasar dan tahan pemanasan langsung. Kerugiannya
adalah membutuhkan volume total pelarut yang besar dan sejumlah manipulasi dari
operator.
d. Soxhletasi
Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya ekstraksi secara berkesinambungan.
Cairan penyari dipanaskan sampai mendidih. Uap penyari akan naik melalui pipa
samping, kemudian diembunkan lagi oleh pendingin tegak. Cairan penyari turun
untuk menyari zat aktif dalam simplisia. Selanjutnya bila cairan penyari mencapai
sifon, maka seluruh cairan akan turun ke labu alas bulat dan terjadi proses sirkulasi.
Demikian seterusnya sampai zat aktif yang terdapat dalam simplisia tersari
seluruhnya yang ditandai jernihnya cairan yang lewat pada tabung sifon.
Keuntungan menggunakan metode ini adalah dapat digunakan untuk sampel
dengan tekstur ang lunak dan tidak tahan terhadap pemanasan secara langsung, hanya
menggunakan pelarut yang lebih sedikit, suhu pemanasan dan waktu pemanasannya
19
Universitas Indonesia
dapat diatur. Sedangkan kerugiannya adalah ekstrak yang terkumpul di baian bawah
wadah dipanaskan terus menerus karena pelarut didaur ulang. Proses ini dapat
menyebabkan reaksi peruraian oleh panas, jumlah senyawa yang diekstraksi akan
melampaui tingkat kelaruttannya dalam pelarut tertentu, sehingga dapat megendap
dalam wadah dan dibutuhkan volume pelarut yang lebih banyak untuk
melarutkannya, untuk skala besar, pelarut yang digunakan adalah pelarut dengan titik
didih yang tidak terlalu tinggi, contohnya methanol dan air.
e. Penyulingan dengan Destilasi Uap
Ekstraksi dengan menggunakan metode penyulingan uap ini digunakan untuk
mendapatkan tanaman obat yang mengandung minyak atsiri yang mudah menguap,
seperti minyak essesntial dari tanaman. Prinsipnya adalah Proses pemisahan
komponen-komponen campuran dari dua atau lebih cairan, berdasarkan perbedaan
tekanan uap masing-masing komponen.
Prisnsip kerjanya adalah sebagai berikut :
a. Ketel uap dan penyulingan terpisah.
b. Ketel uap yang berisi air dipanaskan dan uapnya dilairkan ke ketel
penyulingan yang berisi bahan baku
c. Partikel minyak terbawa uap dan dialirkan dalam pendingin kemudian
dipisahkan.
Keuntungan dari destilasi uap ini adalah kualitas minyak yg dihasilkan paling
baik. Kerugiannya adalah perlu biaya besar karena setidaknya butuh dua ketel dan
umumnya dilakukan oleh pabrikan yang besar.
2.6.3. Standarisasi Simplisia dan Herbal
Produk herbal dan simplisia selain cara pengolahannya yang terstandar produk
akhir dari Simplisia atau herbal harus juga memenuhis standar mutu yang sudah
ditetapkan. Dengan standarisasi mutu ini maka produk herbal dan simplisia dapat
bersaing di perdagangan nasional maupun internasional dan dapat menjadikan produk
yang mempunyai khasiat yang sesuai dengan tanaman yang sudah dibuat simplisia
ataupun herbal terstandar.
20
Universitas Indonesia
1. Standarisasi Simplisia
Simplisia sebagai bahan baku harus memenuhi 3 parameter mutu umum
(nonspesifik) suatu bahan yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian, aturan
penstabilan (wadah, penyimpanan, distribusi) Simplisia sebagai bahan dan produk
siap pakai harus memenuhi trilogi Quality-Safety-Efficacy Simplisia sebagai bahan
dengan kandungan kimia yang berkontribusi terhadap respon biologis, harus memiliki
spesifikasi kimia yaitu komposisi (jenis dan kadar) senyawa kandungan (Depkes RI,
1985).
Kontrol kualitas merupakan parameter yang digunakan dalam proses
standardisasi suatu simplisia. Parameter standardisasi simplisia meliputi parameter
non spesifik dan spesifik. Parameter nonspesifik lebih terkait dengan faktor
lingkungan dalam pembuatan simplisia sedangkan parameter spesifik terkait langsung
dengan senyawa yang ada di dalam tanaman. Penjelasan lebih lanjut mengenai
parameter standardisasi simplisia sebagai berikut:
a. Kebenaran simplisia
Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan dengan cara organoleptik,
makroskopik dan mikroskopik. Pemeriksaan organoleptik dan makroskopik
dilakukan dengan menggunakan indera manusia dengan memeriksa kemurnian dan
mutu simplisia dengan mengamati bentuk dan ciri-ciri luar serta warna dan bau
simplisia. Sebaiknya pemeriksaan mutu organoleptik dilanjutkan dengan mengamati
ciri-ciri anatomi histologi terutama untuk menegaskan keaslian simplisia.
b. Parameter non spesifik
Parameter non spesifik meliputi uji terkait dengan pencemaran yang
disebabkan oleh pestisida, jamur, aflatoxin, logam berat, penetapan kadar abu, kadar
air, kadar minyak atsiri, penetapan susut pengeringan.
c. Parameter spesifik
Parameter ini digunakan untuk mengetahui identitas kimia dari simplisia. Uji
kandungan kimia simplisia digunakan untuk menetapkan kandungan senyawa tertentu
dari simplisia. Biasanya dilkukan dengan analisis kromatografi lapis tipis (Depkes RI,
1985).
21
Universitas Indonesia
2. Standarisasi Ektraks
Ekstrak terstandar berarti konsistensi kandungan senyawa aktif dari setiap
batch yang diproduksi dapat dipertahankan, dan juga dapat mempertahankan
pemekatan kandungan senyawa aktif pada ekstrak sehingga dapat mengurangi secara
signifikan volume permakaian per dosis, sementara dosis yang diinginkan terpenuhi,
serta ekstrak yang diketahui kadar senyawa aktifnya ini dapat dipergunakan sebagai
bahan pembuatan formula lain secara mudah seperti sediaan cair , kapsul, tablet, dan
lain-lain.
a. Parameter Non Spesifik
1. Susut Pengeringan
Susut pengeringan merupakan pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada
temperatur 105oC selama 30 menit atau sampai konstan, yang dinyatakan dalam
persen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak menguap/atsiri dan
sisa pelarut organik) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di
atmosfer/lingkungan udara terbuka (Depkes RI, 2000).
2. Bobot Jenis
Parameter bobot jenis ekstrak merupakan parameter yang mengindikasikan
spesifikasi ekstrak uji. Parameter ini penting, karena bobot jenis ekstrak tergantung
pada jumlah serta jenis komponen atau zat yang larut didalamnya (Depkes RI, 2000).
3. Kadar air
Kadar air adalah banyaknya hidrat yang terkandung zat atau banyaknya air
yang diserap dengan tujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang
besarnya kandungan air dalam bahan (Depkes RI, 2000).
4. Kadar abu
Parameter kadar abu merupakan pernyataan dari jumlah abu fisiologik bila
simplisia dipijar hingga seluruh unsur organik hilang. Abu fisiologik adalah abu yang
diperoleh dari sisa pemijaran (Depkes RI, 2000).
b. Parameter Spesifik
1. Identitas
22
Universitas Indonesia
Identitas ekstrak dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Deskripsi tata nama:
Nama Ekstrak (generik, dagang, paten)
Nama latin tumbuhan (sistematika botani)
Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun, buah,)
Nama Indonesia tumbuhan
Ekstrak dapat mempunyai senyawa identitas artinya senyawa tertentu yang
menjadi petunjuk spesifik dengan metode tertentu. Parameter identitas ekstrak
mempunyai tujuan tertentu untuk memberikan identitas obyektif dari nama dan
spesifik dari senyawa identitas (Depkes RI, 2000).
2. Organoleptik
Parameter oranoleptik digunakan untuk mendeskripsikan bentuk, warna, bau,
rasa menggunakan panca indera dengan tujuan pengenalan awal yang sederhana dan
seobyektif mungkin (Depkes RI, 2000).
3. Kadar sari
Parameter kadar sari digunakan untuk mengetahui jumlah kandungan senyawa
kimia dalam sari simplisia. Parameter kadar sari ditetapkan sebagai parameter uji
bahan baku obat tradisional karena jumlah kandungan senyawa kimia dalam sari
simplisia akan berkaitan erat dengan reproduksibilitasnya dalam aktivitas
farmakodinamik simplisia tersebut (Depkes RI,1995).
4. Pola kromatogram
Pola kromatogram mempunyai tujuan untuk memberikan gambaran awal
komponen kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram kemudian dibandingkan
dengan data baku yang ditetapkan terlebih dahulu (Depkes RI, 2000).
2.7. Proses Pengolahan Herbal Menjadi Produk Jadi Kesehatan (Penerapan
GMP)
Herbal yang terstandar sudah dapat diolah menjadi produk yang dapat baik
didalam dunia kedokteran (Promotif, Preventif dan Rehabilitatif) ataupun dapat
digunakan dalam industri kosmetik dan kecantikan.
23
Universitas Indonesia
2.7.1. Pengolahan Obat Herbal untuk Bidang Kedokteran
Pengolahan obat herbal menjadi produk jadi kesehatan haruslah mememuhi
perysaratan yang sudah ditetapkan pemerintah dalam Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang Baik (CPOTB).
Persyaratan untuk suatu perusahaan memproduksi obat tradisional sesuia
dengan CPOTB adalah sebagai berikut :
1. Syarat perusahaan
a. Bentuk Badan Hukum; PT, koperasi
b. Memiliki NPWP
c. Didirikan bebas amdal
d. Memiliki minimal seorang apoteker sebagai penanggungjawab
e. Mengikuti C.P.O.T.B
2. Proses Produksi
Yanga dimaksud dengan proses produksi adalah membuat, mencampur,
mengolah, mengubah bentuk, mengisi, membungkus dan atau memberi
penandaan obat tradisional untuk diedarkan.
Poses produksi terdiri dari :
a. Penyiapan bahan baku obat tradisional
Penyiapana bahan baku obat tradisional sudah dibahas pada tulisan
sebelumnya pada proses pembuatan obat tradisional dari raw material
menjadi produk herbal
b. Proses produksi
Proses produksi produk bahan dasar herbal (yang sudah diekstraksi)
sampai dengan bahan jadi dapat diringkas gambar di bawah ini.
24
Universitas Indonesia
Gambar 2.6.1. Proses Pembuatan Obat herbal Menjadi Produk Jadi
Dalam proses produksi maka obat tradisional haruslah memiliki
laboratorium pemeriksaan Mutu. Dalam laboratorium ini yang akan dinilai
adalah sebagai berikut :
homogenitas, campuran
derajat halus
logam berat
toksisitas akut
mikrobiologis
keseragaman bobot / volume
kekerasan
daya hancur
c. Pewadahan / labelisasi /pengepakan
Pewadahan dan pengepakan yang sesuai dengan prinsip CPOTB adalah
sebagai berikut :
OT, harus diwadahi, dibungkus sesuai aturan
WADAH, barang yang dipergunakan untuk mewadahi, berhubungan
langsung, termasuk penutupnya.
25
Universitas Indonesia
Karena berhubungan langsung, maka syarat harus tidak
mempengaruhi, mengotori, melindungi selama penyimpanan, dan
pengangkutan / peredaran
Pembungkus yaitu barang yang dipergunakan untuk membungkus OT
atau wadah OT.
Syarat haruslah tahan, melindungi wadah selama penyimpanan
pengakutan dan peredaran dan jika berfungsi wadah, syarat sama
wadah
Penandaan adalah tulisan, gambar atau bentuk pernyataan lain yang
dicantumkan pada pembungkus, wadah, etiket, brosur.
Penandaan khusus berdasarkan jenis obat tradisional yang dibuat yaitu
Jamu, Obat Herbal Terstandar, Dan Fitofarmaka.
Penandaan Lain
- Nama OT atau nama dagang
- Komposisi
- Bobot, volume / jumlah obat perwadah
- Dosis pemakaian
- Cara pemakaian
- Khasiat / kegunaan, yang disetujui MenKes
- Kontraindikasi, ditetapkan MenKes
- Tanda peringatan, bunyi ditetapkan MenKes
- Nomor Pendaftaran
- Nomor Kode produksi
- Merek dagang
- Nama dan alamat perusahaan
2.6.2. Pembuatan Herbal menjadi Produk Kosmetik dan Kecantikan
Pembuatan produk herbal mnejadi produk kosmetik dan kecantikan tidak
memiliki regulasi khusus untuk hanya harus memnuhi peraturan yang sudah
ditetapkan oleh Badan POM mengenai Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik (CPKB)
yang sudah mengikuti regulasi berdasarkan perjanjian kosmetik di wilayah ASEAN
26
Universitas Indonesia
yang disebut sebagai ASEAN Cosmetic Directive yang bertujuan untuk membentuk
harmaonisasi ASEAN dala bidang kosmetik dan produk kecantikan.
Langkah-langkah dalam proses pembuatan kosmetik adalah sebagai berikut :
1. Pemilihan Formula
Mengingat keterbatasan bahan baku, peralatan, serta waktu, sementara
kosmetik harus segera diproduksi untuk mengejar musim, tren, fashion dan lain-lain,
kita harus pandai memilih formulasi agar kosmetik itu dapat segera diproduksi dan
dapat memenuhi tujuan tertentu.
Sebelum pemilihan terakhir atas suatu formulasi (setelah melewati percobaan-
percobaan klinis kecil-kecilan atas keamanan formulasi beserta bahan-bahan baku di
dalamnya), kita harus secara realistis yakin bahwa formulasi kita memang akan dapat
diproduksi secara besar-besaran dengan menggunakan alat-alat pabrik yang telah ada.
Bahkan pada saat itupun, bahan-bahan baku yang terkandung dalam formulasi itu
masih harus secara kritis diteliti kembali sebelum betul-betul dipilih untuk digunakan.
2. Pemilihan Metode Pembuatan
Tujuan dari proses kosmetik adalah untuk menghasilkan suatu produk yang
seragam serta memiliki keawetan yang panjang, maka pemilihan metode pembuatan
yang tepat dengan menggunakan peralatan yang tersedia itu esensial.
Produksi besar-besaran umumnya didasarkan pada hasil pengamatan produksi
percobaan (clinical batch). Selama pembuatan cilnical batches, perlu dilakukan
pengamatan parameter-parameter kritis yang mempengaruhi kinerja produk, antara
lain:
a. Langkah-langkah kritis dalam metode pembuatan.
b. Sifat-sifat produk yang kritis, seperti viskositas, dll.
c. Bahan-bahan baku inti, seperti surfaktan, lubrikan, bahan pensuspensi, bahan
pembuat gel, atau bahan-bahan alam atau sintetik yang menentukan.
Setelah mengidentifikasi, parameter-parameter kritis tersebut, perlu memilih
cara pembuatan yang paling tepat dan peralatan yang paling cocok agar menghasilkan
27
Universitas Indonesia
produk yang “ideal”. Karena pembesaran produksi dari clinical batch ke pilot size
batches dan akhirnya ke produksi besar-besaran mungkin harus mengkompromikan
hal-hal tertentu dalam produksi, diharuskan untuk memilih metode khusus atau
peralatan yang paling memenuhi standar selama pembuatan clinical batch agar
kompromi tersebut tidak terlalu menyimpang.
3. Rencana Pembesaran Bacth
Pembesaran produk dari laboratory size bathces (clinical bathces), yang
umumnya sampai 25 kg, ke pilot plant bathces (25-200 kg) disebut scale-up
formulasi atau produksi. Untuk produksi kosmetik yang masih baru, scale-up dapat
diselesaikan dalam 2 fase :
Pembuatan Clinical Batch
Pengalaman pertama dengan batch ukuran agak besar umumnya ditemui
disini. Karena itu, formulator produk itu sebaiknya hadir menyaksikan pembuatan
clinical batch tersebut untuk menghindari masalah yang mungkin timbul akibat tidak
tersedianya metode pembuatan yang kurang terperinci. Setelah beberapa clinical
batch sukses dibuat, suatu pembuatan umumnya sudah bisa dituliskan dalam format
tertulis yang dapat dengan mudah dilanjutkan ke produksi pilot plant batches.
Pembuatan Pilot Plant Batch
Umumnya pembuatan batch dalam fase pilot plant batches disarankan untuk
dilanjutkan sebelum tes keamanan klinis fase III mulai dilakukan untuk produk hasil
metode pembuatan pilihan terakhir. Kebutuhan produksi untuk tes klinis demikian
umumnya membutuhkan batches ukuran agak besar (200 kg).
Penelitian terhadap produksi pilot plant juga disebut penelitian perkembangan
proses yang diadakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok berikut dan
untuk mengidentifikasi langkah-langkah inti dalam proses pembuatan yang perlu
disahkan atau ditolak:
- Formulasi itu bisa diproduksi lebih banyak atau tidak
28
Universitas Indonesia
- Apakah metode produksi itu sesuai dengan kemempuan produk yang
diharapkan dan dengan peralatan yang ada
- Apakah diperlukan peralatan baru atau pabrik ke tiga
- Apakah langkah-langkah pokok proses pembutan telah teridentifikasi
- Apakah studi untuk validitas telah didesain dengan baik
Penelitian terhadap produksi pilot plant perlu diarahkan untuk dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara memuaskan. Jika timbul pertanyaan
apakah produk itu fleksibel untuk diproduksi, maka sebaiknya produk itu diproduksi
dengan menggunakan peralatan dan ukuran batch yang akan dipakai secara rutin.
Puncak kegiatan scale-up biasanya berupa produksi yang memuaskan dalam
bentuk production demonstration batch yang kemudian digunakan untuk mengisi
kebutuhan packaging demonstration run yang menghasilkan produk akhir yang telah
dikemas. Studi validasi biasanya dijalankan selama pembuatan production
demonstration batch dan packaging demonstration run.
4. Proses Produksi
Produk kosmetik dibuat di dalam batch, di bawah pengawasan pengaturan
Pemerintah, yaitu Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik (CPKB) atau Good
Manufacturing Practices (GMP) di A.S.. Peralatan yang digunakan dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: mixing, dispersing, homogenizers, filling equipment.
Proses dan tujuan
a. Pencampuran (mixing)
Tujuan dari pencampuran antara lain:
- Mencampur cairan yang sulit tercampur
- Mempercepat pemanasan bahan-bahan
- Melarutkan lemak-lemak dan bahan-bahan lainnya
- Untuk emulsifikasi atau disperse
- Untuk pendahuluan pendinginan
b. Pemompaan
Ada dua jenis pompa yang digunakan di dalam produksi kosmetik, yaitu:
- Positive displacement pump
29
Universitas Indonesia
Bekerja dengan menarik cairan ke dalam suatu rongga, kemudian
mendesaknya keluar pada sisi yang lain.
- Centrifugal pumps
Pada pompa ini, cairan dimasukkan di titik pusat propeler yang berputar
cepat.
c. Pemindahan Panas
Dalam banyak proses pembuatan kosmetik, bahan baku sering harus dipanaskan
samapai suhu 70-80OC, dicampur, dan kemudian didinginkan sampai sekitar 30-
40OC sebelum produk akhir dapat dipompa dan disimpan.
d. Filtrasi
Umumnya, filtrasi hanya diperlukan dalam memurnikan air dan untuk
penjernihan losion, dimana bahan-bahan baku produk-produk ini sering berisi
sejumlah kecil kontaminan yang akan mengganggu penampilan produk akhir jika
tidak dihilangkan.
e. Pengisian (Filling)
Pengisian untuk kosmetik yang berbentuk cair dapat menggunakan sistem vakum
pada botol-botol yang berderet-deret. Pengisian cream dapat memakai filteram
type, dimana cream dimasukkan ke dalam tube silindris dengan bantuan suatu
plunger.
5. Pembuatan Produk-Produk Khusus
a. Kosmetik cair
Pembuatan produk kosmetik cair mencakup pelarutan atau dispersi yang
baik, serta penjernihan. Untuk sejumlah produk kosmetik cair, parfum atau bahan
yang berminyak mungkin perlu dilarutkan terlebih dahulu. Ini umumnya
dilakukan dalam pembuatan shampo. Karena kejernihan suatu losion sangat
penting, maka kemasannya juga harus jernih. Untuk itu perlu pencucian dengan
udara bertekanan atau air panas yang di ikuti dengan pembilasan dan
pengeringan.
b. Gel
30
Universitas Indonesia
Produk kosmetik dalam bentuk gel berkisar dari losion yang kental,
misalnya roll-ball antiperspirant sampai gel thixotropik yang sangat kental dan
tidak bisa mengalir, yang dapat digunakan sebagai kosmetik hairdressing dan hair
setting.
Losion kental lebih mudah dibuat yaitu dengan menambahkan sedikit
demi sedikit gellant padat ke dalam fase cair yang diaduk terus-menerus dengan
cepat memakai propeler yang di gerakkan turbin.
Cara pembuatan gel kental yang tidak bisa mengalir lebih sulit karena
pada produk akhirnya udara tidak bisa keluar dari dalamnya seperti halnya pada
losion kental. Gel kental harus di buat dalam ruang hampa udara atau dilakukan
melalui proses pembuangan udara yang rumit.
c. Mikroemulsi
Mikroemulsi terbentuk melalui sistem yang spontan, pembuatannya cukup
dengan alat pencampur yang sederhana, jadi tidak memerlukan alat pencampur
rumit berkecepatan tinggi. Pada umumnya dalam pembuatan mikroemulsi fase
minyak dengan suhu sekitar 800C ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam fase
air dalam suhu yang sama, sambil di aduk secara pelan. Untuk sementara produk
dipertahankan pada suhu di atas setting point-nya agar udara naik dan keluar. Ini
berarti bahwa pipa-pipa dan alat pengisi perlu dipanaskan dengan air panas atau
uap bercampur air.
d. Emulsi
Proses pembuatan emulsi mencakup tiga hal, diantaranya:
1. Emulsifikasi awal
Emulsifikasi awal biasanya dijalankan pada suhu yang lebih tinggi
untuk menjamin bahwa kedua fase serta hasil emulsi cukup mobil geraknya
sewaktu diaduk. Intensitas dan lama pengadukan tergantung efisiensi dispersi
emulsifator.
31
Universitas Indonesia
Cara pembuatan emulsi yang baik adalah dengan menuangkan
serentak proporsi kedua fase yang sama pada setiap waktu ke dalam mixer
yang terus berputar sehingga emulsi terus-menerus terbentuk, tetapi ini hanya
dapat di lakukan dalam pabrik besar.
2. Pendinginan
Mendinginkan emulsi merupakan proses yang sangat penting,
terutama dalam produk yang berisi bahan-bahan mirip lilin yang berharga.
Selama pendinginan biasanya emulsi terus di aduk untuk mengurangi lamanya
proses serta untuk menghasilkan produk yang homogen.
3. Homogenisasi
Pada suhu yang tinggi, kebanyakan emulsi tidak stabil dan selama
pendinginan dalam batch terbentuk butiran-butiran emulsi atau pada produk
yang memiliki fase minyak dengan titik leleh tinggi, pada proses pendinginan
terjadi pengerasan produk. Karena itu, diperlukan pencampuran tambahan
untuk memperoleh produk seperti yang diinginkan.
Pencampuran tambahan ini bervariasi, mulai dari pelewatan produk
melalui pompa bergir berputar dengan tekanan rendah dari belakang, misalnya
50 psig atau penghancuran agregat-agregat kristal lilin, atau pelewatan katub
homogenizer dengan tekanan tinggi 5000 psig.
e. Pasta
Pasta, terutama pasta gigi, umunya dapat dibuat dengan menambahkan
komponen-komponen padat yang mungkin sudah dicampur sebelumnya ke dalam
komponen-komponen cair yang mungkin mencakup bahan-bahan yang larut
dalam air. Pencampuran dapat dilakukan dalam mixer terbuka atau mixer vakum.
Mixing dalam keadaan panas, di ikuti dengan pendinginan memakai alat Votator
atau metode serupa lainnya juga dapat dilakukan.
Metode alternatif penyiapan pasta yang terbuat dari bubuk padat di dalam
suatu cairan adalah melalui pencampuran awal yang kasar dan campuran ini di
masukkan ke dalam triple roller mill yang diberi berbagai tekanan dan pemutaran
sampai pasta yang di inginkan terbentuk.
32
Universitas Indonesia
f. Sticks
Pada umumnya pembautan lipstick meliputi 3 tahap, yaitu:
1. Penyiapan campuran komponen, yaitu campuran minyak-minyak,
campuran zat-zat warna, dan campuran wax.
2. Pencampuran semua itu membentuk massa lipstick.
3. Pencetakan massa lipstick menjadi batangan-batangan lipstick.
Deodorant stick, pembuatanya mirip dengan pembautan emulsi, yaitu
suatu fase minyak (fatty acid) diadukkan dalam suatu fase larutan dalam air pada
suhu sekitar 700C. gel panas yang terbentuk diisikan ke dalam cetakan pada suhu
sekitar 60-650C dan dibiarkan memadat.
g. Powder
Pencampuran powder biasanya dijalankan di dalam satu wadah semi
bundar yang dilengkapi pengaduk spiral yang memiliki dua pita sehingga
campuran itu bergerak dalam dua arah yang berbeda. Mixer tipe ini sangat baik
untuk bath salts dan bahan-bahan kristal lainnya dan sering digunakan untuk
pembuatan face powder.
6. Kualitas Kontrol
Fungsi utama kontrol kualitas atau quality assurance adalah menjamin agar
perusahaan memenuhi standar tertinggi dalam setiap fase produksinya. Faktor –faktor
yang tercakup dalam kontrol kualitas adalah :
1. Personalia
2. Fasilitas
3. Spesifikasi Produk
Fungsi Kontrol Kualitas antara lain :
1. Kontrol dalam proses (in- process control)
2. Pengujian spesifikasi bahan baku (raw material specification testing)
3. Pengujian spesifikasi produk(product specification testing)
4. Pengawasan fasilitas penyimpanan dan distribusi (storage and distribution
facilities control)
33
Universitas Indonesia
5. Pengawasan tempat yang mungkin sebagai produsen pihak ketiga (site inspection
of potential third party manufacture)
6. Pengawasan terhadap kontaminasi mikrobiologis (mikrobiological surveillance)
7. Kemungkinan memperpanjang tanggal kadaluwarsa produk (product exspiration
dating extension)
2.7. Penelitian Obat Herbal
Dalam rangka pengembangan dan pelestarian obat herbal yang merupakan
warisan dari nenek moyang perlu adanya suata metode yang tepat dalam memajukan
herbal ini agar dapat diterima di kalangan ilmiah dan bukan hanya merupakan bukti
empiris. Pemilihan bahan alam untuk penelitian dapat berasal dari bahan yang
mempunyai aktivitas secara tradisional dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
menanggulangi penyakit (etnofarmakologi). Pemilihan bahan ini lazim dilakukan
karena tanpa harus melalui skrining aktivitas terlebih dahulu, sehingga penelitian
langsung bisa diarahkan pada aktivitas tertentu. Sistem penelitian ini kebanyakan
hanya suatu pembuktian secara ilmiah mengenai aktivitas seperti yang telah
dilakukan oleh masyarakat. Bahan penelitian yang dipilih berdasarkan skrining
aktivitas farmakologi tertentu, maka pembuktian selanjutnya mengikuti prosedur
yang ada pada literatur. Hal ini akan berbeda dengan penanganan bahan penelitian
hasil skrining aktivitas farmakologi secara keseluruhan (hipokratik skrining).
Skrining bahan ini dimulai pada sampel yang belum diketahui khasiatnya maka
skrining aktivitas farmakologi perlu dilakukan untuk memastikan khasiat bahan.
Setelah bahan ditentukan dengan cermat dan matang, maka tujuan penelitian segera
ditentukan untuk mengetahui arah tujuan penelitian yang jelas baik dari aspek tujuan
umum maupun tujuan khususnya.
Pengilmiahan herbal terdiri dari penelitian preklinis berupa uji manfaat dan uji
toksisitas secara in vitro dan in vivo dan uji klinis. Uji klinis sendiri saat ini
dikembangkan dengan 2 cara yaitu melalui penelitian yang berbasis pendidikan dan
penelitian yang berbasis pelayanan. Pada penelitian yang berbasis pelayanan
34
Universitas Indonesia
sekarang disebut sebagai saintifikasi jamu. Pada gambar di bawah ini merupakan
tahap-tahapan penelitian obat herbal.
Alur peneletian obat bahan alam pada gambar 2.7.1. merupakan pola pikir
penelitian obat bahan alam untuk sampai kepada kesimpulan akan manfaat obat
bahan alam untuk kesehatan serta dapat diimplementasikan di dalam pengobatan
maupun industri farmasi.
Secara umum penelitian obat bahan alam dari segi penyelenggaranya saat ini
memiliki 2 jalur penelitian dan pengembangan yaitu :
1. Penelitian Berbasis Keilmuwan (kedokeran dan farmasi) yang
diselenggarakan oleh institusi perguruan tinggi, lembaga penelitian,
industri farmasi.
2. Penelitian Berbasis Pelayanan atau yang sekarang lebih sering disebut
sebagai “Saintifikasi Jamu”, dan dapat diselenggarakan oleh praktek
pribadi, klinik kesehatan atau Pelayanan Kesehatan Lainnya.
Isolasi senyawa aktif
Identifikasi senyawa aktif
Penentuan potensi senyawa aktif
Penentuan kadar (%) senyawa aktif
(standarisasi)
Uji Potensi produk (in vitro)
Legitimasi dan formalitas produk
LATAR BELAKANG PENELITIAN
METODOLOGI PENELITIAN
KESIMPULAN DAN SARAN
PUSTAKA
Pemilihan bahan material
Tujuan Penelitian
35
Universitas Indonesia
Gambar 2.7.1. Alur Penelitian Obat Bahan Alam
PENELITIAN
OBAT BAHAN
ALAM
Penelitian Berbasis
Keilmuan
(kedoteran dan Farmasi)
Penelitian Berbasis
Pelayanan
(Saintifikasi Jamu)
Perguruan Tinggi
Lembaga Penelitian,
Industri Farmasi
Praktek Pribadi
&
Pelayanan Kesehatan
Gambar 2.7.2. Jalur Penelitian Obat Bahan Alam Berdasarkan
Penyelenggaranya
Pada prisnsipnya semua jenis penelitian obat bahan alam berdasarkan
pembagian di atas memiliki tahap-tahapan yang sama. Tahap-tahapan tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Penelitan Etnobotanis
2. Penelitian Preklinis (in vivo dan in vitro)
a. Uji Manfaat
b. Uji Toksisitas
- Toksisitas Umum
Penentuan LD50 dan IC50, Toksisitas Akut, Toksisitas Akut, Dan
- Toksisitas Khusus
Reproduksi, Mutagenisitas, Karsinogenik
c. Uji Stabilitas, pada produk-produk kosmetik ataupun produk estetika
3. Penelitian Klinis
Memiliki 4 tahapan yaitu :
36
Universitas Indonesia
a. Fase I : Pengujian suatu obat untuk pertama kalinya pada manusia.
Yang diteliti adalah keamanan obat, bukan efektivitasnya, biasanya
dilakukan pada sukarelawan sehat.
b. Fase II : Pengujian Obat yang diujikan pertama kali pada sekelompok
kecil penderita yang kelak akan diobati dengan calon obat.
c. Fase III : Pengujian yang dilakukan untuk memastikan suatu obat baru
benar-benar berkhasiat dan untuk mengetahui kedudukannya
dibandingkan dengan obat standar.
d. Fase IV : disebut juaga post-marketing surveillance karena merupakan
pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan.
Tahap-tahap penelitan obat bahan alam di atas haruslah dilalui, untuk
mendapatkan bukti yang kuat mengenai efektivitas obat bahan alam tersebut untuk
kesehatan dan sekaligus obat bahan alam tersebut memiliki tempat yang dapat
disejajarkan dengan obat-obat konvensional.
Saintifikasi Jamu
Menurut Permenkes no 3./2010 saintifikasi jamu adalah pemerolehan bukti
ilmiah, terhadap jamu sebagai obat tradisional Indonsia, oleh dokter dan dokter gigi
sebagai profesi bersumpah, dari suatu klaim penggunaan turun-temurun yang
bertahap diarahkan menopang paradigm sehat yaitu promotif, preventif, rehabilitatif
dan paliatif sebelum menuju indikasi kuratif melalui fasilitas layanan kesehatan.
Tujuan Pengaturan Saintifikasi jamu ini adalah sebagai berikut (Pasal 3
Pemenkes 3/2010) :
1. Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga
kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif,
promotif, rehabilitatif dan paliatif melalui penggunaan jamu.
2. Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien yang tidak
sakit dengan penggunaan jamu di kalangan profesi kesehatan.
3. Miningkatkan penggunaan jamu di kalangan profesi kesehatan.
37
Universitas Indonesia
4. Menjamin jamu yang aman, bermutu dan bermnfaat serta melindungi
masyarakat dari penggunaan jamu yang tidak tepat.
5. Meningkatkan penyediaan jamu yang memiliki khasiat nyata yang teruji
secara ilmiah, dan dimanafaatkan secara luas baik untuk pengobatan
sendiri maupun dalam fasilitas kesehatan.
Saintifikasi jamu ini meurpakan proses penjembatanan antara penyedia
layanan kesehatan yang berbasis herbal dan dilakukan oleh tenaga medis dengan
penelitian dibidang herbal itu sendiri dalam rangka mempercepat promosi dan
pemanfaatan herbal untuk kesehatan masyarakat. Alur konsep dan ruang lingkup
saintifikasi jamu dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.7.3. Alur Konsep dan Ruang Lingkup Saintifikasi Jamu (Depkes
RI, 2011)
2.8. Pemanfaatan Herbal untuk Industri Estetik dan Kedokteran
Pencegahan.
2.8.1. Pemanfaatan Herbal untuk Industri Estetika
Pemanfaatan bahan herbal dalam industri kosmetika dapat sebagai bahan
aktif, bahan pencampur (emulgator almiah), bahan pengawet, dan bahan pewarna
alamiah. Semua pemanfaatan produk kosmetika dengan menggunakan bahan dasar
38
Universitas Indonesia
herbal tetap haruslah melalui proses penelitian mulai dari bahan baku obat bahan
alam sampai dengan uji manfaat, toksisitas dan stabilitas.
Standarisasi yang harus dilengkapi dalam pengemabangan herbal dalam
industri kosmetika adalah sebagai berikut :
a. Uji Manfaat
b. Uji Keamanan
c. Uji Stabilitas produk
d. Quality Control (QC)
2.8.1.1. Uji Manfaat dan Keamanan Kosmetika Herbal
Uji manfaat dan keamanan kosmetika herbal dapat diringkas dalam gambar di
bawah ini :
Gambar 2.8.1. Penilaian Manfaat dan Keamanan Produk Kosmetik (Wong
Lib, 2011)
39
Universitas Indonesia
2.8.1.2. Uji Stabilitas Produk Kosmetik
Uji stabilitas dimaksudkan untuk menjamin kualitas produk yang telah
diluluskan dan beredar di pasaran. Dengan uji stabilitas dapat diketahui pengaruh
faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban terhadap parameter–parameter
stabilitas produk seperti kadar zat aktif, pH, berat jenis dan net
volume sehingga dapat ditetapkan tanggal kedaluwarsa yang sebenarnya.
Berdasarkan durasinya, uji stabilitas dibagi menjadi dua, yakni:
1. Uji stabilitas jangka pendek (dipercepat)
2. Uji Stabilitas Jangka Panjang (Real Time Study)
1. Uji Stabilitas Jangka Pendek (dipercepat)
Uji stabilitas jangka pendek dilakukan selama 6 bulan dengan kondisi ekstrim
(suhu 40±20C dan Rh 75% ± 5%). Interval pengujian dilakukan pada bulan ke – 3
dan ke-6.
2. Uji stabilitas jangka panjang (real time study)
Uji stabilitas jangka panjang dilakukan sampai dengan waktu kedaluwarsa
produk seperti yang tertera pada kemasan. Pengujiannya dilakukan setiap 3 bulan
sekali pada tahun pertama dan setiap 6 bulan sekali pada tahun kedua. Pada tahun
ketiga dan seterusnya, pengujian dilakukan setahun sekali. Misalkan untuk produk
yang memiliki ED hingga 3 tahun pengujian dialkukan pada bulan ke-3, 6, 9, 12, 18,
24 dan 36. Sedangkan produk yang memiliki ED selama 20 bulan akan diuji pada
bualn ke-3, 6, 9, 12, 18 dan 20.Untuk uji stabilitas jangka panjang, sampel disimpan
pada kondisi:
Ruangan dengan suhu 30±2oC dan Rh 75+-5% untuk menyimpan produk-
produkdengan klaim penyimpanan pada suhu kamar.
Ruangan dengan suhu 25±2oC dan Rh 75+-5% untuk menyimpan
produkprodukdengan klaim penyimpanan pada suhu sejuk.
Ruangan untuk uji stabilitas dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
a. Ruangan dengan suhu 40±2oC dan Rh 75% ±5%
b. Ruangan dengan suhu 30±2oC dan Rh 75 %±5%
40
Universitas Indonesia
c. Ruangan dengan suhu 25±2oC dan Rh 40% ±5 %
d. Ruangan dengan suhu 40±2oC dan Rh ≤ 35%
Climatic chamber
Climatic chamber, suhu dan kelembaban yang dapat diatur sesuai dengan
yang diinginkan. Climatic chamber ini biasa di-setting pada suhu 25±2oC dan Rh
75±5%.
Uji stabilitas dilakukan terhadap produk baru atau setiap kali terjadi
perubahan proses produksi (alat baru atau metode pengolahan), perubahan formula,
perubahan bahan awal dan bahan pengemas. Sedangkan pada produk yang sudah
tervalidasi namun tidak mengalami perubahan selama proses produksi maka
dilakukan post marketing stability test. Post marketing stability test dilakukan dengan
mengambil sampel dari salah satu batch pertahun dari suatu produk, kemudian
dilakukan pengujian tiap 12 bulan sekali hingga masa kedaluwarsanya.
Pemantauan terhadap finished goods retained sample juga dilakukan. Untuk
retained sample dengan klaim penyimpanan pada suhu kamar, disimpan pada
ruangan bersuhu 30oC dengan kelembapan yang tidak ditentukan. Retained
sample diambil untuk setiap batch dengan diambil secukupnya untuk dapat dilakukan
dua kali analisis. Retained sample yang diambil meliputi produk jadi, raw
material dan bahan kemas. Retained sample produk jadi dengan klaim penyimpanan
pada kondisi sejuk, disimpan di ruangan ber-AC. Finished goods retained
sample disimpan sampai satu tahun setelah kedaluwarsanya.
2.8.1.3. Pengawasan Mutu (Quality Control) Produk Kosmetik
Pengawasan mutu merupakan salah satu bagian terpenting bagi industri, baik
obat maupun kosmetik. Bagian ini membahas mengenai berbagai aspek terutama
yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung kepada kualitas obat. Ilmu
Pengawasan mutu meliputi pengetahuan terkini tentang berbagai metode analisis
berikut cara memvalidasi metode analisis tersebut, pengetahuan tentang berbagai
41
Universitas Indonesia
instrumen yang digunakan dalam analisis, pengetahuan tentang penanganan obat
mulai dari bahan baku hingga pemantauan produk obat setelah obat tersebut
diedarkan di masyarakat. Oleh karena itu untuk mendapatkan obat yang memenuhi
kriteria aman-berkhasiat-berkualitas tentunya sangat dibutuhkan seseorang dengan
kompetensi penguasaan pengawasan mutu.
Walaupun tidak serumit pengawasan mutu pada produksi obat, pengawasan
mutu kosmetik tidak bisa diabaikan. Sistem pengawasan mutu harus lengkap
langkah-langkahnya sesuai prosedur. Perlu diperhatikan permasalahan mengenai
prosedur pengambilan contoh, pengujian, pemeriksaan terhadap bahan awal,
kelayakan bangunan, personalia, peralatan yang digunakan, reagen yang dipakai, SOP
untuk eveluasi pengujian dan sebagainya.
Tugas dari pengawasan mutu produk kosmetik adalah bertanggungjawab pada
keluhan. Keluhan biasanya memiliki indikasi adanya produk kembalian dari
masyarakat, baik secara langsung atau melalui badan-badan tertentu. Biasanya,
keluhan pelnanggan tidak hanya mencakup adanya efek samping produk secara
langsung, tapi juga hal terkait produk, misalnya kerusakan produk, bau yang telah
berubah, kadaluarsa, kerusakan kemasan, atau hal lainnya yang menimbulkan
keraguan atas mutu produk.
Dalam tugasnya, bagian pengawasan mutu melakukan evaluasi pada produk
kembalian. Langkah yang dilakukan pertama kali adalah, menganalisa mana saja dari
produk kembalian yang perlu dilakukan pengujian kembali. Tidak semua produk
kembalian perlu dilakukan pengujian kembali, terlebih prosuk-produk yang sejak
diterima kembali tealh mengalami kerusakan seperti kadaluarsa atau ada perubahan
bentuk dan bau.
Untuk menjaga keamanan produk kembalian yang dilempar lagi ke pasar,
produk-produk kembalian ini hendaklah dievaluasi secara berkala oleh bagian
pengawasan mutu perusahan kosmetik, agar tidak lagi menjadi keluhan masyarakat.
Hal-hal yang terkait dengan produk kembalian ini hendaklah dicatat dan diarsipkan
rapi, lalu dikirimkan juga ke bagian terkait pengawasan mutu lainnya. Hal-hal penting
42
Universitas Indonesia
untuk dicatat adalah : alasan pengembalian, jumlah yang dikembalikan, tanggal
perbaikan (bila diperbaiki), tanggal pemusnahan dan metode pemusnahan.
2.8.2. Pemanfaatan Herbal dalam Pelayanan Kesehatan
Pemanfaat herbal dalam bidang kesehatan diatur dalam Kepmenkes no 121
tahun 2008 tentang standar pelayanan medik herbal dan Kemenkes no 3 tahun 2011
tentang saintifikasi jamu. Dalam Kemenkes ini disebutkan sebuat bahwa pengobatan
herbal adalah pengobatan menggunakan bahan yang berasal dari tanaman, bisa
berupa daun, akar, biji-bijian dan lainnya, yang mengandung bahan yang berkhasiat
untuk tubuh. Dan pelayanan ini harus dilakukan oleh fasilitas kesehatan dengan
sumber dayanya adalah dokter , dokter spesialis dan dokter gigi yang sudah
mendapatkan sertifikat kompetensi melalui pendidikan pengobatan herbal dasar.
Fasilitas kesehatan yang dapat melalukan pelayanan herbal medik adalah
praktik dokter perorangan atau berkelompok; Balai pengobatan umum/swasta;
Puskesmas; Rumah sakit kelas A, B, C, dan D; atau rumah sakit rujukan nasional.
Standar pelayanan medik yang dilakukan adalah sebgai berikut :
a. Melakukan Anamnesa
b. Melakukan Pemeriksaan meliputi :
1. Pemetiksaan Fisik yang meliputi Inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
2. Pemeriksaan penunjang yaitu laboratorium, radiologi, EKG
c. Menegakkan diagnosis secara ilmu kedokteran
d. Memperoleh informed consent dari penderita sesuai ketentuan yang berlaku
e. Pemberian obat herbal hanya dilakukan pada pasien dewasa
f. Pemberian terapi berdasarkan hasil diagnosis yang telah ditegakkan
g. Penggunaan pengobatan herbal dilakukan dengan menggunakan tanaman
berkahsiat obat (sebagai contoh yang selama ini digunakan di beberapa rumah
sakit)
h. Dalam memberikan obat herbal perlu dilakukan hal berikut :
1. Sedapat mungkin tidak mengkombinasikan dengan obat kimia
43
Universitas Indonesia
2. Mencatat hasil pelayanan yang meliputi setiap kejadian atau perubahan yang
terjadi pada pasien termasuk efek samping
3. Mencatat setiap intervensi jenis obat herbal yang diberikan termasuk dosis
atau takaran, cara pemberian, bentuk sediaan
4. Untuk obat yang diracik sendiri perlu dijelaskan sumber bahan, proses
peracikan, sampai bentuk siap saji obat tersebut
i. Dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu apabila terjadi kasus
yang tidak tertangani
Untuk pengawasan Pelayanan herbal medik ini adalah langsung di bawah
Dinas Kesehatan dan Balai POM Propinsi/kabupaten atau kota. Dan pembinaan
dilakukan oleh fasilitas kesehatan masing-masing yang menyelenggarakan pelayanan
herbal medik ini.
Sedangkan saintifikasi jamu seperti sudah dijelaskan di atas meurupakan
bagian dari pelayanan herbal di layanan kesehatan tetapi menggabungkan juga unsur
penelitian yang berbasis pelayanan. Dalam penyelenggaraannya juga diatur siapa
yang boleh menyelanggarakannya dan bagaimana penyelenggaraannya. Semua proses
dalam saintifikasi jamu hampir sama dengan Kepmenkes tentang pelayanan herbal
medik di layanan kesehatan.
44
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Agoes G., (2007). Teknologi Bahan Alam. Bandung : Penerbit ITB.
Anonim. (1982). Fase-Fase dalam Uji Klinik. Jurnal. Cermin dunia Kedokteran No.
25 ; hal 1 – 9.
Anonim. (2004). Harmonisasi ASEAN dalam Bidang Regulasi Kosmetik. Jurnal. Info
POM Vol. 5 No. 2 ; hal 1 – 4.
Ardiyanto, Danang. (2011). Observasi Klinik Jamu Sebagai Dasar Ilmiah Terapi
Kedokteran Modern. Makalah Ilmiah. Simposium Penelitian Bahan Obat
Alami XV.
Badan Pengawas Obat dan Makanan, (2005). Pedoman Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang Baik. Jakarta : BPOM RI.
Badan Pengawas Obat dan Makanan, (2005). Penyiapan Simplisia Untuk Sediaan
Herbal. Jakarta : BPOM RI.
Badan Pengawas Obat dan Makanan, (2006). Pokok Pemikiran Menuju Integrasi
Obat Asli/Obat Bahan Alam Indonesia ke Dalam Pelayanan
Kesehatan.Jakarta : BPOM RI.
Badan Pengawas Obat dan Makanan, (2011). Persyaratan Teknis Cara Pembuatan
Obat Tradisional yang Baik. Jakarta : BPOM RI.
Badan POM RI. (2004). Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat
Bahan Alam Indonesia. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan RI No : HK.00.05.4.2411.
Badan POM RI. (2010). Petunjuk Operasional Pedoman Cara Pembuatan Kosmetik
Yang Baik. Jakarta : Badan POM RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, (2000). Parameter Standar Umum
Ekstrak Tumbuhan Obat, cetakan pertama. Jakarta : Dirjen BPOM RI.
Dewoto, Hedi R. (2007). Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi
Fitofarmaka. Makalah Ilmiah. Majalah Kedokteran Indonesia Vol. 57, No. 7 ;
hal 205 – 211.
45
Universitas Indonesia
Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional Badan POM RI. (2010).
Pengawasan Mutu. Presentasi Badan POM RI.
Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan edisi II. Bandung : Penerbit ITB.
Kementerian Kesehatan RI. (2007). Kebijakan Obat Tradisional Nasional. Jakarta :
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 381/Menkes/SK/III/2007.
Kementerian Kesehatan RI. (2008). Standar Pelayanan Medik Herbal. Jakarta :
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 121/Menkes/SK/II/2008.
Kementerian Kesehatan RI. (2010). Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis
Pelayanan Kesehatan. PerMenkes No : 003/Menkes/Per/I/2010.
Lestari, Endang D.S. (2006). Analisis Industri Farmasi di Indonesia : Pendekatan
Organisasi Industri. Naskah Lengkap Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi
fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.
Sari, Lusia R.K. (2006). Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Pertimbangan
Manfaat dan Keamanannya. Makalah Ilmiah. Jurnal Majalah Ilmu
Kefarmasian, Vo. III, No. 1 ; hal 1 – 7.
Sarjoni, (2010). Budidaya Tanaman Obat-obatan Secara Umum. 17 Januari 2012.
http://sarjoni.wordpress.com/2010/05/06/budidaya-tanaman-obat-
obatansecara-umum/
Siswanto, YW., (2004). Penanganan Hasil Panen Tanaman Obat Komersial. Jakarta
: Penebar Swadaya.
Sukandar, Elin Y. (2010). Trend an Paradigma Dunia Farmasi : Industri-Klinik-
Teknologi Kesehatan. Makalah Ilmiah . Departemen Farmasi, Fakultas MIPA
ITB Bandung.
Wahyuningsih, Mae S.H. (2009). Deskriptif Penelitian Dasar Herbal Medicine.
Makalah Ilmiah. Bagian Farmasi Kedokteran, Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada.
Lib, Wong. (2011). Plant Material Discovery for Cosmetic. Power Point Materi
Kuliah Estetika Indonesia