makalah sagu _ ir. y. p. karafir, m.ec
TRANSCRIPT
MODEL PENGEMBANGAN SAGU DI PAPUA
Yan Pieter Karafir
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Papua
ABSTRAC
Models of Sagu Production in Papua
Indonesia has the largest sago area in the world. Sago areas consist of Natural sago forest
an semi cultivated ones. Papua, (the Indonesian part of the Island New Guinea) is dominant sago
forest region in Indonesia. Three types of sago production has been identified in Papua,
Traditional micro system, improved micro system and macro, forest concession system. The
fourth system which, was recently proposed is the sago plantation, by transform sago forest into
sago plantation. Protection of germplasm, and research should accompany those development
activities
Pendahuluan
Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Michiel Flach, salah satu pakar tentang
tanaman sagu di dunia yang berasal dari Negeri Belanda, Indonesia memiliki luas areal sagu
terluas di dunia. Dalam bukunya berjudul Sago Palm Metroxylon Sagu Rottb, yang diterbitkan
tahun 1997 oleh Plant Resources Institute di Roma, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1
dibawah ini, dari luasan yang ada di Indonesia sebagian besar adalah hutan sagu yang terdapat
di Tanah Papua.
Tabel 1. Luas Areal Tanaman Sagu (Metroxylon Sagu Rottb) Di Dunia dan Di Indonesia
Kawasan Hutan Sagu
(Ha)
Sagu Semi budidaya
(Ha)
Persen dari luasan
dunia
Dunia 2.250.000.- 224.000.- 100
Indonesia
- Papua
- Maluku
1.250.000.-
1.200.000.-
-
148.000.-
14.000.-
50.000.-
56.5
49
2.02
Malaysia - 45.000.- 1.81
Sumber : Flach, M (1997)
Perbandingan areal sagu yang dibudidayakan atau semi budidaya dengan hutan sagu,
ternyata areal hutan sagu jauh lebih luas. Kiranya hal ini yang perlu menjadi perhatian dalam
upaya pengembangan sagu di Papua.
Meskipun Indonesia memiliki areal sagu terluas di dunia, upaya-upaya untuk
pengembangan sagu, lebih khusus lagi penelitian-penelitian untuk pengembangan sagu boleh
dikatakan tertinggal, dibandingkan dengan Jepang dan Malaysia. Hal ini terlihat dari hasil-hasil
penelitian mereka yang dipresentasikan dalam Simposium Sagu Internasional ke delapan, yang
diselenggarakan di Jayapura. Memang penelitian terhadap sagu selama ini lebih banyak pada
perannya sebagai bahan makanan pokok sebagian kecil masyarakat Indonesia, terutama yang
ada di Kawasan Timur Indonesia. Dalam kondisi seperti itu perhatian terhadap sagu kalah
dibandingkan dengan perhatian terhadap padi, karena beras merupakan makanan pokok
sebagian besar masyarakat Indonesia.
Perhatian terhadap sagu kiranya sudah mulai berubah. Hal ini dapat disimak dari artikel
yang ditulis Tek-Ann Chew et al, 2003 berjudul “Estimaty Enviromental Benefits of Sago
Cultiration”, yang saya kutip secara utuh dari Internet sebagai berikut :
…..Lactic acid and ethanol fermentation from sago : a new bussines concept. Sago plant fixing
carbondioxide photosyntetically and converting it to carbohydrate. In us, toxic gasoline additive methyl tet-
ester (MBTE) was found to leak from storage tank and cause ground water pollution. As Such, ethanol has
been viewed as the only substitute for MBTE and its production from corn starch is increasing rapidly. We
reckon that the sago starch is a more competitive raw material than cornstarch for ethanol production.
Environmental pollution proccess a great threat to the healthy living of human being and other wild like in
the ecosystem. Petroleum based plastics are non biodegradable and have caused significant
environmental pollution to reduce the use or petroleum based plastics, bio degradable plastics may
provide a solution. Poly Lactic Acid (PLA) which can be synthesized in to bio degradable plastics may
provide an alternative to several commonly used house hold / disposable plastics. However the current
PLA supply is low and the price hight as compared to petroleum based plastics. Nonetheless, the cost of
PLA maybe significantly reduced if a cheaper raw material coupled with a more efficient system of lactic
acid fermentation can be found. Again we see the potential of sago starch as a cheaper raw material and
the following continuous lactic acid fermentation system to revolutionize the traditional lactic production…
Dapat dikatakan bahwa dari hasil-hasil penelitian di negara lain, tanaman sagu dan
produksinya telah diangkat ke tahap industrialisasi dan produksi massal, sekaligus menawarkan
salah satu pemecahan terhadap pembagunan berwawasan lingkungan. Adalah sangat tidak
bijaksana, apabila kita sebagai insan Indonesia yang sesungguhnya dikarunai potensi sagu
terbesar secara alami, bila tidak dengan cepat bertindak meraih peluang itu.
2
Pelestarian Dan Perlindungan Kekayaan Jenis
Menurut peta penyebaran sagu, sebagaimana yang dikemukakan dalam buku Palm Sago,
A Tropical Starch from Marginal lands yang ditulis oleh Ruddle, K. et al tahun 1978, genus sagu
Metroxylon umumnya menyebar di Indonesia, Malaysia, Mindanao (Filipina), dan Papua New
Guinea. Namun di Indonesia diketahui, bahwa tanaman sagu di kebanyakan daerah, telah tinggal
sejarahnya saja, kalah dan tergusur oleh tanaman padi. Di Papua, yang merupakan daerah
dengan hutan sagu terluas di Indonesia gejala ancaman terhadap tergusurnya hutan sagu saja
tampak dengan jelas. Pembukaan tanah dalam pelaksanaan program transmigrasi telah
menghilangkan banyak areal sagu dan digantikan dengan tanaman padi. Dalam pengembangan
kota dan pemukiman penduduk, nasib yang sama dialami oleh areal-areal tanaman sagu di
sekitarnya.
Foto : H. Matanubun
3
Areal Sagu Di Sentani Tengah Kabupaten Jayapura Yang Terancam Pengembangan Kota
Kampus Universitas Negeri Pattimura di Poka Ambon, dibangun di atas areal sagu
Areal Sagu Di Sentani Tengah Kabupaten Jayapura Yang Terancam Pengembangan Kota
Foto : Y.P. Karafir
Foto : Y.P. Karafir
Sehubungan dengan adanya ancaman tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura
Provinsi Papua telah membuat Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2000 tentang Pelestarian
Kawasan Hutan Sagu. Walaupun konsep PERDA tersebut belum diajukan ke DPRD untuk
mendapat persetujuan dan penetapan telah disosialisasikan kepada tokoh-tokoh adat setempat,
namun belum semua orang mengetahui mengenai hal itu. Itulah sebabnya telah dilakukan
sosialisasi ulang setelah penetapan menjadi PERDA. Disamping itu kepentingan anggota-
anggota masyarakat adat yang beraneka ragam, membuat pengawasannya menjadi sulit dan
sering terjadi penjualan areal-areal sagu oleh perorangan kepada pihak lain. Selain itu,
kabupaten-kabupaten dan kota yang lain di Tanah Papua, khususnya yang memiliki areal hutan
sagu yang luas tidak ada yang ikut membuat PERDA sejenis.
Mengenai pengenalan jenis, para peneliti tidak perlu mulai dari nol, karena masyarakat di
daerah-daerah sagu telah melakukannya dengan sangat baik. Diperlukan pengetahuan Etno
Botani untuk mengungkapkan hal itu dari masyarakat. Dalam suatu penelitian yang dilakukan
dalam rangka kerjasama Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dengan
Pusat Studi Lingkungan Hidup UNCEN tahun 1986 di Kawasan Danau Sentani Kabupaten
Jayapura, telah diungkapkan di daerah ini sekitar 27 jenis pohon sagu terdiri dari 15 jenis yang
tidak berduri dan 12 jenis berduri, informasi yang diperoleh dari masyarakat lengkap dengan
potensi pati ciri-ciri botanisnya sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2. Itulah sebabnya
4
Bekas areal sagu yang telah menjadi sawah di Besum, Kabupaten Jayapura
kawasan sagu ini, terutama yang terletak di Sentani Tengah kini banyak dikunjungi para peneliti
dari Jepang dan Malaysia. Analisis jenis di daerah-daerah sagu yang lain di Tanah Papua belum
banyak dilakukan.
Tabel 2. Daftar Nama Jenis Sagu yang Terdapat dan Tumbuh di Sekitar Danau
Sentani (dalam bahasa setempat)
No. Nama B TD M TM Produksi (Tumang)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
Yamaha I
Yamaha II
Para Yamaha
Hurena I
Hurena II
Ronde
Munggin
Pui
Isah
Eubesum
Duruna
Jepha
Otokulu
Follo
Ouw
Pane
Wani
Ninggih
Fernali
Hopolo
Jache
Hili
Dena
Wabi I
Wabi II
Yakalope
Yokulem
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
40-50
30
30-40
10
20
10
15
20
-
15-20
20-30
20-30
20-30
20-30
10-15
20-30
15-20
20-25
10-15
25-30
30-40
5-8
20
6
4
15-20
-
5
Sumber : Tim PSL – UNCEN, 1986. Pengembangan Ekosistem Hutan Sagu di Daerah Sentani Jayapura, Irian Jaya, Hal IV-15Keterangan :
B = Berduri M = Dimakan
TB = Tidak berduri TM = Tidak Dimakan
1 Tumang = ± 10-15 Kg.
Mengenai luas yang sebenarnya masih merupakan taksiran kasar dengan angka yang
sangat bervariasi. Taksiran kasar dari Flach (1997) menghasilkan hasil seperti disajikan dalam
Tabel berikut:
Tabel 3. Taksiran Kasar Areal dimana terdapat areal sagu bermutu tinggi di Papua
menurut Flach (1997).
Daerah Hutan Sagu (Ha) Semi Budidaya (Ha)
Bintuni 300.000.- 2.000.-
Dataran Danau-Danau 400.000.- -
Wilayah Selatan 350.000.- 2.000.-
Daerah Lain 150.000.- 10.000.-
Total 1.200.000.- 14.000.-
Penafsiran yang menurut penulis lebih mendekati kenyataan, pernah dilakukan dalam
rangka Proyek Inventarisasi dan Evaluasi Sumberdaya Nasional Matra Darat oleh Badan
Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Dalam pengecekan kondisi di
darat dalam mencocokkan hasilnya dengan Universitas Cenderawasih khusunya Fakultas
Pertanian yang ada di Manokwari (kini sudah menjadi UNIPA). Hasil penelitian tersebut
menghasilkan data areal sagu di Papua seperti yang dikutip dari tulisan Hubertus Matanubun
dan Leo Martubongs dari Pusat Studi Ubi-Ubian dan Sagu UNIPA dan telah dipresentasikan
dalam Simposium International Sagu tahun 2005 yang lalu di Jayapura, disajikan dalam Tabel 4
berikut:
Tabel 4. Luas Sagu (Ha) pada beberapa daerah di Papua dihimpun dari Peta
Tematik BAKOSURTANAL.
No. Daerah Luas (Ha) Terdiri dari Keterangan
1. Inanwatan 579.261 489.192 Sq
9.450. Sq. H
Sq = Sagu semata
H = Hutan
6
80.619. H. Sq R = Rumput/alang-alang
Sq : 100% sagu
SqH : 50%-80% sagu
H.Sq: < 50% sagu
R.Sq : < 50% sagu
2. Agats (Mimika) 493.105 7.750 Sq
49.568 Sq.H
2.912 R.Sq
3. Bintuni 86.237 79.637. Sq
6.606 Sq.h
4. Mamberamo 21.537 13.493 Sq
8.044 Sq H
5. Merauke 284.955 -
6. Pulau Salawati 6.137 -
Total 1.471.232
Ada daerah-daerah sagu yang tampaknya belum tercakup dalam data dari
BAKOSURTANAL. Seperti daerah Yapen Waropen dan daerah Kaureh di Kabupaten Jayapura.
Ada daerah yang arealnya sempit tetapi bagi penduduk setempat sangat penting sebagai
lumbung pangan penduduk setempat, yakni Sentani Tengah dan Bukisi di Kabupaten Jayapura,
areal sekitar Sungai Wosimi di Kabupaten Teluk Wondama dan Dusun Sagu di Kampung Opiaref
di Pulau Biak.
Penelitian Tentang Sagu
Bila ditelusuri bahan-bahan pustaka, terbitan orang Indonesia tentang Tanaman Sagu dan
produk-produknya dibandingkan dengan tulisan dari orang-orang bangsa lain, sebagaimana telah
dikatakan di atas, masih sangat sedikit. Hasil penelitian tentang Tanaman Sagu juga sangat
sedikit. Aspek yang diteliti juga masih terbatas pada eksplorasi jenis dan ekologi tanaman serta
teknik produksi tradisional dan aspek teknologi pangan.
Lembaga yang terlibat dalam penelitian sagu terutama Departemen Kehutanan, khususnya
Balai Penelitian Kehutanan dan Badan Pusat Pengkajian Teknologi (BPPT) dan terakhir Litbang
Pertanian, khususnya Balai Penelitian Tanaman Pangan yang ada di Papua. Hasil penelitian dari
para pakar di ketiga lembaga ini yang banyak menghasilkan tulisan-tulisan tentang sagu di
Indonesia. Balai Penelitian Kehutanan yang berlokasi di Manokwari Provinsi Papua Barat telah
memasukkan penelitian sebagai salah satu program utamanya. Namun demikian, sangat sering
dilakukan mutasi sehingga peneliti yang berniat meneliti sagu ikut termutasi sehingga program-
program penelitian mereka juga menurun intensitasnya, hal yang sama dialami oleh Balai
Penelitian Tanaman Pangan di Jayapura. Di Universitas Cenderawasih, khususnya Fakultas
Pertanian telah didirikan suatu Pusat Studi yang salah satu programnya adalah Penelitian Sagu.
7
Pusat ini awal berdirinya tanggal 17 Februari 1988 dengan nama Pusat Studi Ubi-ubian
berdasarkan SK Rektor Universitas Cenderawasih Nomor 04/RT2L3.H/N/1988, kemudian
berganti nama menjadi Pusat Studi Ubi-ubian dan Sagu (PSUS) tanggal 1 April 1998
berdasarkan SK Rektor UNCEN Nomor 1150/PT23.H/C/1998. Ketiadaan anggaran rutin
sehingga penelitian-penelitian yang dilakukan baru atas pesanan. Kini PSUS dikelola oleh
Universitas Negeri Papua (UNIPA).
Minat untuk meneliti sagu dikalangan dosen dan mahasiswa UNIPA belum banyak. Dari
skripsi mahasiswa sejak tahun1990an, banyak mahasiswa yang menulis skripsi tentang sagu dan
dari jumlah ini 13 adalah Mahasiswa bidang Kehutanan.
Upaya koleksi jenis-jenis sagu telah dilakukan oleh Badan Penelitian Tanaman Pangan di
Koya-Jayapura, yang menghimpun sekitar 61 jenis dari berbagai daerah sebaran sagu di Papua
(Adiwidjin et al, 2000). Namun keberlanjutannya mengalami nasib yang sama dengan Balai
Penelitian Kehutanan di Manokwari, yakni menurun setelah peneliti utamanya dimutasikan.
Sistem Pengelolaan Sagu di Papua
Ada dua sistem pengelolaan sagu di Papua, yaitu usaha mikro dan usaha besar. Kedua
sistem ini masing-masing dapat diperinci menjadi dua. Usaha mikro utamanya adalah cara
tradisional yang sudah berabad-abad berlaku diantara masyarakat atau komunitas pemakan
sagu. Kini telah berkembang cara usaha mikro yang dimodifikasi, yakni dengan memasukkan
teknologi baru, dan organisasi serta manajemen pemasaran yang lebih baik. Usaha makro,
umumnya perusahaan besar Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan kini disarankan untuk
dikembangkan, yaitu mengubah hutan-hutan sagu menjadi perkebunan sagu. Keempat sistem ini
yang akan diuraikan masing-masing dalam tulisan ini selanjutnya.
1. Sistem Produksi, Distribusi Pemanfaatan Tanman Sagu Secara Tradisional
Hutan-hutan sagu bukanlah areal tidak bertujuan. Secara tradisional berlaku juga hukum
adat yang terdiri dari hak penguasaan dan hak pemanfaatan. Walaupun tidak seluruh areal
merupakan areal produksi atau areal yang secara teratur diolah, tetapi hak penguasaan tetap
ada juga pada areal yang tidak diolah, namun digunakan juga sebagai areal perburuan atau
ditebang untuk menghasilkan ulat sagu.
Di daerah-daerah sagu penduduk setempat umumnya menanam sagu pada areal yang
dekat dengan pemukiman bila ekosistemnya sesuai. Jenis-jenis yang ditanam adalah jenis yang
secara tradisional diketahui mengandung pati tinggi dan berumur agak genjah. Ada juga hutan
8
sagu yang merupakan tempat mencari makan penduduk lebih dari satu kampung. Dalam hal ini
penduduk kampung-kampung tersebut telah lama hidup dalam pergaulan bersama, bahkan
berhubungan sebagai kerabat dekat sehingga diijinkan memanfaatkan areal sagu bersama.
Penduduk dari kampung-kampung yang jauh memerlukan waktu satu minggu sampai satu bulan
di areal yang disebut sebagai ‘dusun sagu’ untuk mendapatkan tepung sagu sebagai makanan
yang cukup untuk empat sampai enam bulan bahkan bisa lebih dari enam bulan.
Cara produksi tradisional sudah banyak ditulis dalam buku-buku tentang sagu (Ruddle K.
et al, 1978; Haryanto B. dan P. Pangloli, 1992). Alat pangkur tradisional menghasilkan
hancuran isi batang sagu yang masih kasar sehingga pada proses-peramasan rendemen pati
yang dihasilkan hanya 40% sampai 60% dari pati yang bias diperoleh. Di beberapa daerah
seluruh proses ini dilakukan oleh kaum perempuan misalnya di Merauke dan Mimika. Di daerah
lain seperti di Jayapura dan Waropen, serta Inanwatan, kegiatan memangkur dilakukan oleh
kaum laki-laki sedangkan proses peramasan dilakukan oleh kaum perempuan.
Sumber : Buku Palm Sago, A Tropical Starch from Marginal lands oleh Ruddle, K. et al tahun 1978
Selain tepung sagu sebagai bahan makanan, banyak bagian dari tanaman sagu yang
secara tradisional telah digunakan oleh penduduk di sekitar areal sagu. Subento J.W. (2000)
telah mengiventarisasikan hal ini dalam penelitiannya di Desa Maniwak di Kabupaten Teluk
Wondama. Hal yang sama telah dilakukan oleh Dimara P.A. (2004) di Distrik Sentani Tengah di
Kabupaten Jayapura. Selain tepung sagu, ulat sagu dan jamur sagu merupakan makanan
tambahan yang dipanen penduduk.
9
Ulat sagu sebagai hasil tambahan bahan makanan
Foto : Skripsi Subento, J.A. (2000)
Foto : Skripsi Subento, J.A. (2000)
Untuk bangunan, daun sagu dianyam menjadi atap, pelepah daun sagu digunakan sebagai
bahan dinding, dan kulit batang sagu sebagai lantai.
Foto : Y.P. Karafir
Foto : Skripsi Subento, J.A. (2000)
10
Jamur sagu sebagai makanan tambahan
Bangunan Sekolah Dibangun Dengan Bahan-Bahan Dari Tanaman Sagu
Rumah Penduduk di Kampung
Bahan lantai rumah dari kulit batang sagu
Foto : Skripsi Subento, J.A. (2000)
Secara tradisional juga sudah terjadi perdaganan secara barter dengan sagu sebagai
komoditi yang dipertukarkan. Penduduk dari pedalaman biasa menukarkan hasil kebun dengan
sagu dari penduduk di pesisir. Hal ini terjadi antara penduduk Ayamaru dengan penduduk
Teminabuan di Kabupaten Sorong Selatan. Penduduk Pulau Biak biasa berdagang barter
dengan melakukan perjalanan dengan berperahu ke daerah Pulau Yapen dan Waropen di
sebelah Selatannya dan menukar ikan asar dengan tepung sagu. Hal ini biasa dilakukan dikala
musim teduh, antara bulan April-September, sedangkan antara Oktober-April, yang dikenal
sebagai musim ombak, sering terjadi rawan pangan karena penduduk tidak melaut.
2. Model Pengembangan Dari Sistem Tradisional
Sistem kedua yang dibahas disini adalah tetap usaha mikro, tetapi dengan melakukan
modifikasi pada tindak teknologi produksi, teknis budidaya dan organisasi pemasaran. Dua kasus
yang akan diulas disini adalah program ekspor sagu dari pemda Kabupaten Jayapura.
Pada tahun 1991 Pemda Provinsi Irian Jaya (sekarang Provinsi Papua) mendapat bantuan
sekitar 100 unit pemangkur sagu yang dibagi ke seluruh wilayah Papua. Kabupaten Jayapura
mendapat 22 unit yang dibagikan ke daerah-daerah potensi sagu. Untuk mendayagunakan
bantuan tersebut, pada tahun 1992 dibuatlah program ekspor sagu rakyat, yang melibatkan
instansi pemerintah sebagai fasilitator, masyarakat sebagai penggerak dan pelaksanaan dan
PUSKUD dan PT. Yotefa sebagai penampung dan pelaksana perdagangan. Ada sekitar tujuh
instansi yang dtugaskan dalam kegiatan ini, yakni :
1. Bappeda yang bertindak selaku koordinator, yang bertugas menghimpun
program dari tiap instansi dan mengatur pembiayaannya serta memantau kegiatan
yang dilaksanakan.
2. Bagian perekonomian sebagai wakil koordinator dan pemantau.
3. Dinas Pertanian Tanaman Pangan yang bertugas memfasilitasi pembudidayaan
tanaman sagu, penyuluhan kepada kelompok tani yang menerima bantuan mesin
parut sagu, dan membentuk kelompok tani bila ada.
11
4. Dinas Kehutanan bertugas untuk pendataan potensi sagu dan penelitian jenis
sagu.
5. Kantor Departemen Perdagangan bertugas mencari peluang pasar di dalam dan
di luar negeri, menerbitkan ijin ekspor, menghubungi para eksportir, mencari dan
menginformasikan harga tepung sagu di dalam dan di luar negeri, serta koordinasi
dengan PT. SUCOVINDO dalam hal persyaratan mutu.
6. Kantor Departemen Koperasi dengan tugas utama, penyuluhan untuk
meningkatkan kelembagaan, manajemen usaha dan administrasi dalam kegiatan
produksi dan pemasaran sagu. Kandep Koperasi diharapkan mempersiapkan KUD
sebagai wadah serta industri sagu (plasma). KUD diharapkan menjadi pelaksana unit
usaha processing sagu.
7. Kantor Departemen Perindustrian dengan tugas utama mengupayakan
peningkatan pengetahuan dan keterampilan perajin dalam proses pengolahan sagu
menjadi pati dengan syarat mutu yang sesuai untuk eksport, serta menerapkan sistem
pengendalian mutu terpadu kepada pengrajin dengan membentuk satuan tugas Gugus
Kendali Mutu dalam satuan produksi untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, maka
dalam rangka penyiapan instalansi serta industri sagu disusun program :
a. pengalokasian msien pemarut sagu
b. Pembuatan alat press smpas sagu
c. Pembuatan bak perendaman pati sagu
d. Pembuatan bak penjemuran
e. Pembuatan rumah sentra produksi dan gudang
f. Pembuatan bak perendaman batang sagu.
Selain itu disusun program pengadaan saran penunjang produksi :
a. Pengadaan genset motor tenaga penggerak
b. Pengadaan pompa air bersih’
c. Pengadaan bahan kimia untuk penjernihan/pemutihan pati sagu
d. Pengadaan drum, selang, timbangan/neraca, karung beras, dan lain
sebagainya.
Juga disusun program pelatihan tentang :
a. Proses produksi
b. Pengendalian mutu
c. Pengoperasian dan perawatan mesin/ peralatan produksi.
12
Ada dua perusahaan yang diminta sebagai penampung hasil yakni (1) PT. YODEFO, salah
satu anak perusahaan yang bernaung dibawah Irian Jaya Joint Development Foundation
(IJJDF)1 yang selama ini tugasnya menampung dan menawarkan biji kakao kering, kopra dan
karet rakyat, dan (2) PUSKUD Irian Jaya (kini PUSKUD PAPUA).
Dengan terbentuknya penyaluran yang baru, sistem penaungan sagu secara tradisional
seperti terlihat pada gambar 1, berubah menjadi seperti terlihat pada gambar 2.
Gambar 1. Sistem penanganan Produksi Sagu Secara Tradisional
1 3 4
Arah kegiatan fasilitator
Gambar 2. Mekanisme Baru Penanganan Sagu.
Ada perbedaan penganangan sistem pada gambar 1 dan gambar 2. Pada gambar 1, yang
dijual ke pasar lokal atau langsung kepada pedagang lokal adalah tepung sagu basah yang
diolah secara tradisional. Sedangkan pada proses di gambar 2, keterangannya adalah sebagai
berikut :
1. Petani menjual batang sagu ke KUD dengan harga sesuai dengan
kesepakatan antara KUD dan petani.
2. KUD, di Sentra produksi mengolah batangan sagu menjadi
Pati/tepung sagu sesuai prosedur dengan memperhatikan mutu ekspor dan sudah dikemas.
1 IJJDF didirikan tahun 1969 dengan dana dari Fundwi, dana PBB untuk pembangunan Irian Barat yang ketuanya dari Departemen Keuangan RI, Wakil Ketua adalah Gubernur Irian Jaya. Yayasan ini dengan semua anak perusahaannya dinyatakan bubar tahun 1996.
13
Areal Sagu Petani Konsumsi sendiri
Pasar lokal
Pedagang lokal Pasar Kabupaten
Konsumen lokal
Konsumen di Kota
Pemasaran:- Dalam
Negeri- Luar
Areal Sagu Petani
2KUD Sentra Produksi
Kandep Perind
PUSKUDPT. YODEFO
KandepKop Kandep PerdagDinas Pertanian
BappedaBag. Perekonomian
3. PT. YODEFO, PUSKUD dan swasta lain, membeli tepung sagu dari
KUD, KUD dengan harga yang ditetapkan bersama.
4. PUSKUD, PT. YODEFO dan swasta lain memasarkan ke dalam atau
ke luar negeri.
Walaupun telah berhasil mengekspor sekitar 20 ton tepung sagu, tetapi sistem ini
mengalami banyak sekali kendala dan akhirnya terhenti sama sekali. Saya akan mencoba
mengulas kendala-kendala tersebut yang kiranya perlu dipertimbangkan apabila pemerintah ingin
mengembangkan produksi sagu rakyat di masa depan.
Pertama, luas areal sagu dalam hubungan dengan pilihan teknologi pengolahan.
Ternyata, mesin pemarut sagu dengan kapasitas terpasang 500 kg/jam hancuran empulur
sagu, masih terlalu besar untuk areal tanaman sagu sekitar 4.000 ha, apalagi areal tersebut
dikuasai oleh banyak yang terhimpun dalam sekitar 12 kampung. Setelah berjalan selama satu
tahunan masyarakat menghentikan karena pohon sagu tingkat masa tebang menjadi sangat
kurang dan mereka ingin mengamankan kebutuhan subsisten mereka. Selain itu mesin pemarut
cukup besar sehingga jarak KUD dan areal tebangan makin jauh dan memerlukan banyak kerja
untuk mengangkut batangan sagu ke pabrik. Sebenarnya masyarakat menginginkan mesin
pemarut yang kecil dan mudah dibawa (portable) (lihat foto). Tampaknya ada anggota
masyarakat yang memakai mesin parut kelapa dengan memodifikasi gigi parutannya.
Kedua, Pengaruh terhadap pembagian kerja antar pria dan wanita.
Secara tradisional di Kabupaten Jayapura, dalam hal panen sagu menenbang pohon sagu
berumur masak tebang, memotong-motong batang yang sudah ditebang, menguliti batang sagu
dan memangkur untuk menghancurkan empulurnya, merupakan tugas kaum laki-laki. Tugas
14
Alat Mesin Parut Untuk Menghancurkan Empulur Sagu
“meramas”2 sagu dilakukan oleh kaum wanita. Introduksi gergaji rantai (Chainsaw) dan mesin
parut sagu sangat membantu kaum pria. Belum ada mesin yang dapat menggantikan tenaga
wanita untuk meramas sagu, sehingga tampaknya teknologi yang ada telah menimbulkan
ketidakadilan dari segi gender.
Mesin parut sagu bukan hanya memperpendek waktu menghancurkan empulur tetapi hasil
empulur lebih halus sehingga kadar tepung sagu yang dihasilkan bisa sampai tiga kali lebih
banyak dibandingkan bila penghancuran dilakukan secara tradisional (manual) kapasitas terpakai
dari mesin agak besar (500 kg/jam) yang diintorduksikan kepada masyarakat rata-rata 448
kg/jam (Yoku, A.E., 2001). Apabila kaum pria hanya memerlukan waktu satu jam, para wanita
memerlukan lebih dari 10 jam untuk menapis empulur yang telah hancur. Pada waktu
pelaksanaan kegiatan ini, mereka bekerja sampai jauh malam dengan memasang lampu gas.
Kandep Perindustrian pernah mencoba merancang mesin menapis sagu, tetapi hasilnya
masih kurang baik sehingga masyarakat membiarkannya terbelengkai. Adi Widjono dan Hayati
Lakuy (2000) melaporkan telah merekayasa beberapa alat-Pangkur dan alat ramas saku, alat ini
telah diuji coba di Merauke (Salor dan Onggari) dan di Jayapura (Sentani). Pangkur rantai yang
direkayasa pada saat itu, tahun 2000. di perkirakan sekitar Rp. 630.000.- Pangkur rantai Rp.
605.000,- dan pangkur gendang, sekitar Rp. 275-375 Juta karena memakai tenaga gerak dari
mesin pemotong rumput.
Ketiga, Perbedaan Harga Pokok dengan harapan yang ditawarkan oleh Eypartin.
Harga pokok per ton pada tingkat KUD pada saat itu tahun 1991 adalah Rp. 1.200.000.-
sedangkan harga yang ditawarkan oleh pedagang adalah Rp. 650.000.-. Perbedaan harga ini
disubsidi oleh pemerintah daerah sebagai tindakan mengamankan program yang telah berjalan.
Sedangkan exportir tidak mau mengambil resiko membeli dengan harga yang mahal dan menjual
dengan harga yang lebih rendah. Upaya untuk meminta bantuan ke Provinsi dan ke Pusat tidak
mendapat tanggapan, sedangkan upaya untuk mengefisiensikan seluruh proses memerlukan
waktu yang lama, misalnya dalam merekayasa mesin pangkur dan mesin peramas sagu. Hal
inilah yang merupakan salah satu sebab, mengapa usaha ini terhenti.
Keempat, Kinerja instansi pemerintah sebagai fasilitator
Program harus ditangani oleh lebih dari satu instansi untuk mencapai tujuan memerlukan
apa yang disebut sebagai penyatuan pandangan. Tanpa penyatuan pandangan, koordinasi 2 Di Papua, empulur yang telah hancur diambil oleh kaum wanita di taruh pada wadah dari pelepah sagu dan disirami air sambil diremas-remas untuk melepaskan aci dari bahan keras lain yang dengan air mengalir ke wadah penampungan. Itulah sebabnya kegiatan ini di Papua disebut meramas sagu.
15
sebaik apapun tidak dapat berhasil. Anggaran bisa dialokasikan kepada setiap instansi, tetapi
tanpa penyatuan pandangan masing-masing instansi bisa menggunakannya untuk tujuan yang
berbeda-beda sesuai program instansinya. Selain penggunaan anggaran yang tidak sinkron,
keaktifan masing-masing instansi sesuai dengan alokasi tugasnya bisa menjadi kendala.
Misalnya dalam program operasi ekspor sagu rakyat di Kabupaten Jayapura, titik terlemah ada
pada konsistensi penganggaran dan pola pembinaan KUD oleh instansi Kandep Koperasi.
Penyatuan masyarakat dalam membentuk koperasi dan pembiayaan kegiatan sentra produksi
sagu dan penyelesaian masalah organisasi dan tata laksana koperasi tidak mendapat
pendampingan dan saran pemecahan secara terus menerus dan baik. Bahkan untuk
memperbaiki alat yang rusak pada mesin karena tidak ada pembinaan, dibiarkan cukup lama
sehingga memacetkan seluruh kegiatan.
Dalam hal ini disarankan bahwa dalam introduksi peralatan mekanis dalam pembangunan,
sangat memerlukan bengkel perbaikan alat yang rusak. Tanpa tindakan itu, upaya yang
dilakukan adalah ibarat membuang garam ke laut.
Sumber: Atlas Sumberdaya Pesisir Teluk Bintuni (Tahun 2003)
Mereka tidak sadar, bahwa suatu pabrik membutuhkan supply bahan baku dalam jumlah
memadai scara terus menerus. Dalam hal ini diperlukan seorang Pembina bidang sosial ekonomi
dalam perusahaan untuk membantu dalam mengupayakan cara-cara yang efektif secara budaya.
Hal ketiga terkait dengan aspek teknis biologis dan agronomi dari tanaman sagu. Banyak
aspek mengenai pengelolaan produksi sagu yang rasanya masih perlu diteliti dan diperbaiki.
Pengaruh beraneka ragam jenis di hutan sagu jelas ada kaitan dengan tingkat produksi tepung
sagu yang juga sangat bervariasi. Dengan biaya yang sama untuk menebang dan mengangkut,
hasilnya bisa berbeda tergantung jenis yang ditebang. Selain itu penggunaan kanal atau sungai
untuk mengangkut batang-batang sagu yang ditebang ke pabrik juga dapat dipertanyakan
16
efektifitasnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Eko B. Supriyadi (1991), meskipun masih
perlu dikajikan beberapa kali, namun apa yang ditemukan bertolak belakang dengan apa yang
selama ini dilakukan, yakni lama perendaman berpengaruh sangat nyata terhadap kadar tepung
dalam empulur. Bila sampai tiga hari dikanal, kadar aci dalam empulur bisa turun sebesar
43 persen.
3. Sistem Pengelolaan Sagu Pola HPH
Setelah usai pelaksanaan proyek inventarisasi sumberdaya alam oleh BAKOSURTANAL,
termasuk areal-areal hutan sagu, maka mulai tahun 1988, pemerintah, khususnya Departemen
Kehutanan memberikan Hak Pengusahaan Hutan untuk pengelolaan hutan-hutan sagu. Di
Papua, berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi Irian Jaya pada saat itu, tahun 1991,
tercatat 10 perusahaan HPH dengan kondisi, sebagaimana tercatat pada Tabel 5.
Tabel 5. Keadaan perkembangan unit usaha HPH Sagu Tahun 1991.
No Nama
Perusahaan
No/Tgl
persetujuan
Luas Areal
(Ha)
Lokasi/Kabupaten Kegiatan
1 PT. Sagindo
Sari Lestari
663/Menhut-V/88
10-06-1988
100.000 Bintuni/Manokwari Pabrik
Sagu
sudah
berijin
2 Puskopad “A” 770/Menhut-II/88
10 – 10 – 1988
15.000 Inanwatan/Sorong survey dan
tata batas
3 Puskopad “B” 640/Menhut-V/80
10 – 9 – 1988
15.000 Agats/Merauke sda
4 PT. Tis Betawi
Internasional
725/Menhut-IV/89
05 – 06 – 1989
15.000 Belum Jelas
5 PT. Alam Guna
Utama
530/Menhut-II/89
20 – 04 – 1989
15.000 Inanwatan/Sorong Survey
6 PT. Multi
Sagata Agung
726/Menhut-IV/89
10 – 06 – 1989
15.000 Belum Jelas
7 PT. Duta
Kencana Bakti
Sentona
728/Menhut-IV/89
05 – 06 – 1989
15.000 Belum Jelas
8. PT. Budi
Sempurna Tani
724/Menhut-IV/89
05-06-1989
15.000 Belum Jelas
17
9. Pt. Sekarbumi
Lestari
531/Menhut-IV/89 15.000 Belum Jelas
10. PT. Sapta
Asiari Mid –
Bast
522/3722/Set 15.000 Tahap
Rekomendasi
Sumber : Dinas Kehutanan Dati I Irian Jaya
Dari sekian banyak perusahaan yang memperoleh ijin HPH, hanya sebuah anak
perusahaan dari Djayanti Group PT. Sagindo Sari lestari dari Arandai Bintuni yang benar-benar
operasional. Hal ini disebabkan oleh pendekatan awal dengan masyarakat adat dilakukan
dengan baik, bahakan disepakati bahwa masyarakatlah yang menebang, dan perusahaan hanya
membeli batangan sagu dari masyarakat untuk diolah dan diambil tepungnya. PUSKOPAD “A”
yang mendapad HPH sagu di Inanwatan, Kabupaten Sorong, (sekarang; Sorong Selatan),
karena masuk lewat swasta lain dan tidak bersilahturami dengan masyarakat adapt lebih dahulu
mendapat tantangan dan akhirnya menarik diri dari daerah itu. Perusahaan HPH sagu yang lain
tidak pernah ada kabar beritanya sampai hari ini. Areal HPH PT. Sagindo Sari Lestari terdiri dari
dua unit yang tersebar menjadi empat blok tebangan, sebagaimana disajikan dahulu Peta
Gambar 3. Terutama antara sungai Sebyar dan Sungai Wiriagar, dibangun kanal-kanal untuk
mengangkut batang-batang sagu hasil tebangan ( Peta, Gambar 3).
Pada tahun 1991 Struktur biaya produksi pati Sagu adalah sebagai berikut :
a. Harga pembelian dari petani Rp. 300,- / Kg
b. Susut dan Ongkos produksi Prosessing Rp. 50,- / Kg
c. Biaya Pemasaran/ angkutan Rp. 50.- / Kg
Total Rp. 400,- / Kg
d. Harga Jual Eksport (FOB) Rp. 400,- / Kg
18
Peta, Gambar 3. Areal HPH PT. Sagindo Lestari.
19
Pada tahun 1990 telah diproduksi 478.42 ton dengan nilai jual Rp. 191.368.000.- dan tahun
1991, prouduksi 695, 55 ton dengan nilai jual Rp. 278.220.000.-. Tampaknya, tujuan produksii
bukan untuk diekspor tetapi untuk dijadikan bahan perekat dari triplek dan plywood yang
diproduksikan perusahaan lain yang bernaung di bawah Djayanti Group yang terdapat di Seram,
Maluku dan Gresik, Jawa Timur.
Perusahaan ini kini tidak beroperasi lagi dikarenakan oleh biaya operasional tidak sesuaii
dengan harga jual tepung sagu di pasaran. Selain itu, produksi makin menurun karena batangan
sagu dari masyarakat tidak di supply secara teratur. Menurut Saya ada tiga aspek yang berkaitan
dengan rendahnya kinerja PT. Sagindo Sari Lestari. Pertama, penerapan sistem HPH, kedua
masalah tenaga kerja, dan ketiga kurangnya informasi hasil penelitian teknis dan social ekonomi
untuk menunjang suatu perusahaan besar bergerak dalam bidang pengelolaan sagu.
Sistem HPH, walaupun ada keharusan menanam pohon yang ditebang, namun pada
prakteknya perusahaan biasanya membayar dana reboisasi saja. Selain itu perusahaan dibebani
dengan bermacam-macam kewajiban seperti membayar PBB dan dana bina desa secara hukum,
tidak ada jaminan kelanjutan usaha seperti yang berlaku pada perkebunan besar dimana berlaku
hak guna usaha. Jadi secara teknis agronomi dan hukum, perusahaan hanya menebang habis
dan setelah itu pindah.
Masalah tenaga kerja sangat berkaitan dengan sistem sosial budaya setempat.
Masyarakat yang hidup di daerah yang tumbuh banyak hutan sagu, berbudaya peramu. Budaya
bercocok tanam mereka masih ada pada tahap marjinal, artinya menanam tetapi tidak
memelihara secara teratur. Dari segi penggunaan waktu lebih banyak menggunakan sistem
borong, dimana bila persediaan kebutuhan sudah habis baru secara intensif mereka bekerja
menebang pohon sagu dan menokok serta meramas, setelah sudah cukup untuk beberapa bulan
mereka istirahat atau mengalihkan kegiatan ke hal lain.
4. Perkebunan Sagu
Ide untuk mengubah hutan-hutan sagu di Papua menjadi perkebunan Sagu dimunculkan
oleh Dr. Toh. S. Jong dalam lokakarya pangan spesifik lokal di Jayapura Bulan Desember tahun
2005 yang lalu. Sebagai tindak lanjut dari ide tersebut, maka dengan bantuan Pemerintah
Papua, maka pada tahun 2004 dilakukan studi kelayakan di tiga wilayah penyebaran hutan sagu,
masing-masing di daerah Waropen, di Kaureh Kabupaten Jayapura dan di Inanwatan, Kabupaten
Sorong Selatan. Hasil studi kelayakan tersebut dipresentasikan juga dalam Simposium
International Sagu ke VIII bulan Agustus 2005 di Jayapura. Harapan pada saat itu bahwa pada
symposium itu di undang juga para pengusaha yang bergerak di bidang produksi sagu. Akan
tetapi hal ini tidak terjadi, hanya peneliti-peneliti sagu saja yang hadir.
20
Hasil studi kelayakan tersebut berkesimpulan, bahwa berdasarkan dukungan dari
masyarakat adat, dan potensi yang ada, perkebunan sagu seperti yang ada di Kabupaten
Bengkalis Provinsi Riau dapat juga dikembangkan pada hutan-hutan sagu di Tanah Papua.
Pemikiran-pemikiran teknis seperti pengurangan pada rumpun sagu, penjarangan, penanaman
baru, pembuatan kanal dan lain-lain ada tertera dalam laporan studi tersebut yang juga
dimasukkan dalam buku Prosiding Simposium Sagu Internasional ke VIII, sehingga tidak akan
diuraikan lebih lanjut disini.
Skenario penelitian Dalam Upaya Pengembangan Sagu Di Papua
Disadari, bahwa pengembangan produksi sagu memerlukan dukungan penelitian berbagai
segi disiplin ilmu. Tiga aktivitas utama yang perlu segera dibenahi adalah perlindungan,
pemanfaatan dan pengembangan. Dari segi pengembangan dua cara yang harus makin nyata
adalah : (1) secara mikro, pengembangan dari cara tradisional dengan sentuhan teknologi biologi
dan teknologi mekanis, serta teknologi organisasi produksi dan pemasaran. (2) Secara makro,
pengembangan perkebunan sagu pada areal hutan sagu. Untuk itu perlu kajian sosial budaya
terutama yang menyangkut hak-hak pemilikan dan pemanfaatan tenaga kerja. Selain itu perlu
kajian varitas terkait dengan kemampuan menghasilkan pati, dan pemanfaatan bagian lain dari
tumbuhan sagu. Kajian teknis agronomi, mulai dari lingkungan tumbuh, pemilihan bibit,
penanaman, dan pemeiliharaan, penanganan pasca panen, penggunaan kanal, proses kerja
pabrik, kemasan dan pemasaran.
Limbongan J. , Hayati Lakuy dan Jasper Louw (2004), peneliti dari BPTP Papua
menyarankan tujuh topik penelitian dan pengkajian sagu, yaitu : (1) koleksi dan karakteristik
Aksesi Sagu Lokal Papua, (2) Penyediaan sarana produksi sagu, (3) penelitian Rehabilitasi
Hutan Sagu rakyat, (4) Kajian Alat Pangkur dan pemasaran sagu tepat guna, (5) Kajian teknologi
penyimpanan tepung sagu, dan (6) Kajian kemasan tepung sagu ekonomis, serta (7) Studi
pemasaran sagu lokal, antar pulau maupun eksport ke luar negeri.
21
DAFTAR PUSTAKA
Adi Widjono, Aser Rouw dan Aminaipa, 2000. Identifikasi, Karakterisasi, dari Koleksi Jenis-Jenis
Sagu. Paper Pada Seminar Hasil Penelitian Sistem Usahatani Irian Jaya, Maret 2000
di Jayapura.
Adi Widjono dan Hayati Lakuy, 2000. Rekayasa Pangkur dan Peramas Sagu Sederhana.
Seminar Hasil Penelitian Sistem Usahatani Irian Jaya. Maret 2000 di Jayapura.
Ayomi, W. 1995. Studi Morfologi Sagu Berduri (Metroxylon rumphii Martius) di Daerah Waren
Kecamatan Waropen Bawah Kabupaten Daerah Tingkat II Yapen Waropen. Skripsi
Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih; anokwari.
Dimara, P.A. 2004. Interraksi Masyarakat Dengan Tumbuhan Sagu di Distrik Sentani Tengah
Kaupaten Jayapura. Skripsi Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua
Manokwari.
Dwi Rahmanto, 2000. Sifat dan Ciri Tempat Tumbuh Sagu (Metroxylon Sp) Di Desa Tandia
Kecamatan Wasior, Kabupaten Dati II Manokwari. Skripsi Jurusan Budidaya
Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih; Manokwari.
Flach, M. 1997. Sago Palm Metroxylon Sagu Rottb. International Plant Genetic Resources
Institute; Rome. Promoting The Concervation an The use of Under Utilized and
neglected Crups.
Hokoyoku Marthen, 2000. Potensi Tegakan Sagu (Metroxylon Sp) Di Sentani Tengah Kecamatan
Sentani, Kabupaten Jayapura. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Cenderawsih;
Manokwari.
Irian Jaya Disc, 1984. Pentingnya Sagu Di Irian Jaya. Suatu Catatan Tentang Aspek Sosial
Budaya dan Aspek Sosial Ekonomi. Makalah Untuk Seminar Sagu Tingkat
International di Jayapura- Irian Jaya 1984.
Irtho Marthen, 2000. Identifikasi Varietas Unggul Lokal Dari Jensi Sagu (Metroxylon Sagu Rottb)
Menurut Masyarakat Asli Di Desa Rasiei, Kecamatan Wasior Kabupaten Manokwari.
Skripsi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih;
Manokwari.
22
Isir, Selfiana, 1995. Studi Sistem Pembibitan dan Penanaman Sagu Secara Tradisional
Masyarakat Teminabuan. Kabupaten Sorong. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas
Cenderawasih, Manokwari.
Jong, F.S., Shortcut to Sago Palm Plantations : Rehabilitation of Natural Sago Forest into
Sustainable Sago Plantations. Paper International Symposium.
Jong, F.S dan M. Flach., Techincal Cansiderations And Recommendations For The
Establishment of A Commercial Sago Palm (Metroxylon sagu Rottb) Plantation;
Paper.
Judrajati, 1998. Kandungan Aci Jenis Sagu Berduri (Metroxylon Rumphii MART) Pada Tiga
Kondisi tempat Tumpuh Di Desa Tandia Kecamatan Wasior Kabupaten Dati II
Manokwari. Skripsi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas
Cenderawasih; Manokwari.
Lekitoo, K, 1998. Kandungan Aci Sagu Berduri (Metroxylon Rumphii Mart) Pada Kadar Salinitas
Tempat Tumbuh Yang Berbeda Di Desa Miei Kecamatan wasior Kabupaten Dati II
Manokwari. Skripsi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas
Cenderawasih; Manokwari.
Limbongan , J. Hayati Lakuy dan Yasper Low, 2003. Program Penelitian dan Pengakajian Sagu
Berwawasan Agribisnis dan Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan pada
Lokakarya Nasional Pangan Specifik Lokasi, Hotel Sentani Indah Jayapura, 2-4
Desember 2003.
Mimi Munami, Paratra Sukarwo dan Andreas Rumbino, 1984. Laporan Survey Inventarisasi
Potensi Sagu Di Daerah Bintuni, Kabupaten Manokwari Irian Jaya.
BAKOSURTANAL Bekerjasama dengan UNCEN.
PEMDA KABUPATEN JAYAPURA, 1992. Program Operasi Export Sagu Rakyat. Bagian
Perekda Setwilda TK. II. Jayapura.
Renwarin, J. 1998. Identifikasi, Koleksi dan Evaluasi Kultivar Sagu Unggul Irian Jaya untuk
Menunjang Perkebunan Sagu Komersial Di Indonesia Laporan Penelitian Hibah
Bersaing VII/I Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 1998/1999. Fakultas Pertanian
Universitas Cenderawasih, Manokwari.
23
Renyaan, S. J., H. E. I. Simbala dan Daniel Lantang, 1996. Studi awal Identifikasi Jenis Sagu Di
Desa Maribu Kecamatan Depapre Kabupaten Jayapura Irian Jaya. Laporan Hasil
Penelitian Program Studi Biologi Jurusan Pendidikan Matematika dan IPA Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cenderawasih; Jayapura.
Ruddle, K. et al ., 1978. Palm Sago A Tropical Starch From Marginal Lands. Australian National
Universitas Press; Canberra.
Station, WR and M. Flach, 1997. The Equatorial Swamp as a Natural Resource, Marthunus
Nijhof; The Hague.
Supriyadi, E. B. 1999. Perbedaan Kandungan Aci Bahan Baku Sagu Berduri Menurut Waktu
Perendaman Dalam Kanal Pada PT. Sagindo Sari Lestari Kecamatan Arandai
Kabupaten Manokwari. Skripsi Jurusan Budi Daya Hutan Fakultas Pertanian
Universitas Cenderawasih; Manokwari.
Susanto, J. W. 2000. Interaksi Masyarakat Dengan Tumbuhan Sagu Di Desa Maniwak
Kecamatan Wasior Kabupaten Manokwari. Skripsi Jurusan Kehutanan Fakultas
Pertanian Universitas Cenderawasih; Manokwari.
Tasik, S., 2000. Pengaruh Penutupan Bekas Sayat Tunas Gantung Sagu (Metroxylon Sagu
Rottb.) Terhadap Pertumbuhan Akar Di Desa Maniwak, Kecamatan Wasior. Skripsi
Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih; Manokwari.
Tek – An Chew, et al, 2003. Estimating The Environmental Benefits of Sago Cultiration. New
Century Fermentation Research Ltd. PT. National Timber and Forest Product
(NTFP).
Tim Peneliti PPUS UNIPA, 2004. Laporan Akhir Studi Kelayakan Pendayagunaan Hutan Sagu
Alam di Kabupaten Jayapura. Universitas Negeri Papua Bekerjasama dengan Dinas
Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Papua; Manokwari.
Tim Peneliti PPUS UNIPA, 2004. Laporan Akhir Studi Kelayakan Pemberdayaan Hutan Sagu
Alam menjadi Perkebunan sagu Berorientasi Agri Bisnis Berkelanjutan Di Kabupaten
Sorong Selatan. Universitas Negeri Papua Bekerjasama dengan Dinas Perkebunan
Provinsi Papua; Manokwari.
24
Tim Peneliti PPUS UNIPA, 2004. Laporan Akhir Studi Kelayakan Pengembangan Sagu Di
Provinsi Papua. Universitas Negeri Papua Bekerjasama dengan Dinas Perkebunan
Provinsi Papua; Manokwari.
Tim PSL – UNCEN, 1986. Pengembangan Hutan Sagu di Daerah Sentani Jayapura Irian Jaya.
Kerjasama Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dengan
Pusat Studi Lingkungan Hidup UNCEN.
Weyai. S. Y. H. 2001. Pertumbuhan Tunas Kultivar Sagu (Metroxylon Sagu Rottb.) Lokal Asal
Waropen di Desemaian. Skripsi Jurusan Kehutanan, Fakultas pertanian Universitas
Cenderawasih; Manokwari.
Wyzer, V. J. 1996. Teknik – Teknik Pembibitan dan Penanaman Sagu (Metroxylon Sp)
Masyarakat Desa Tandia – Kecamatan Wasior, Kabupaten Dati II Manokwari. Skripsi
Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih; Manokwari.
Yoku, A. E. 2001. Effisiensi Teknik Pengolahan Sagu Secara Semi Mekanis Di Kecamatan
Sentani Kota Kabupaten Jayapura. Kripsi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Cenderawasih; Manokwari.
25