laporan akhir penerapan iptek -...
TRANSCRIPT
i
LAPORAN AKHIR
PENERAPAN IPTEK
PENERAPAN IPTEKS MELALUI PELATIHAN ERGO-
ENTREPRENEURSHIP UNTUK MENGEMBANGKAN
SIKAP KEWIRAUSAHAAN PEDAGANG KULINER DI
DESA PELIATAN UBUD GIANYAR BALI
Oleh:
Prof. Dr. I Made Sutajaya, M.Kes. (NIP. 196812171993031003)
Prof. Dr. Ni Putu Ristiati, M.Pd. (NIP. 195001041980032001)
Ida Ayu Putu Suryanti, S.Si., M.Si. (NIP. 198212052014042001)
Dibiayai dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA)
Universitas Pendidikan Ganesha dengan SPK Nomor: 29/UN48.16/PM/2016
Tanggal 25 Pebruari 2016
JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS MIPA
LEMBAGA PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
TAHUN 2016
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha
Kuasa, karena berkat rahmat’Nyalah maka Laporan Pengabdian pada Masyarakat yang
berjudul: “ Penerapan IPTEKS Melalui Pelatihan Ergo-Entrepreneurship untuk
Mengembangkan Sikap Kewirausahaan Pedagang Kuliner di Desa Peliatan Ubud
Gianyar Bali” dapat diselesaikan sesuai rencana. Dalam penulisan laporan pengabdian ini,
kami banyak mendapat masukan-masukan atau saran-saran dari berbagai pihak. Untuk itu
kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penulisan laporan pengabdian tersebut.
Kami menyadari sepenuhnya akan kekurangan isi laporan pengabdian ini, sehingga
dengan kerendahan hati kami mohon kritik dan saran untuk kelengkapan dan kesempurnaan
laporan pengabdian tersebut. Sebagai akhir kata kami berharap agar laporan pengabdian ini
bermanfaat terutama bagi mereka yang tertarik dengan masalah-masalah ergonomi di bidang
kuliner, khususnya yang berkaitan dengan sikap kewirausahaan.
Singaraja, Oktober 2016
Pelaksana Pengabdian
iv
ABSTRAK
PENERAPAN IPTEKS MELALUI PELATIHAN ERGO-ENTREPRENEURSHIP
UNTUK MENGEMBANGKAN SIKAP KEWIRAUSAHAAN PEDAGANG KULINER
DI DESA PELIATAN UBUD GIANYAR BALI
Oleh:
I Made Sutajaya, Ni Putu Ristiati, dan Ida Ayu Putu Suryanti
Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNDIKSHA
Tujuan pengabdian adalah memberdayakan masyarakat melalui pelatihan ergo-
entrepreneurship untuk mengembangkan sikap kewirausahaan yang akan berdampak positif
terhadap pendapatan pedagang kuliner. Pendekatan yang digunakan dalam pelatihan ini adalah
pendekatan partisipatori berbasis ergonomi. Kegiatan pelatihan ergo-entrepreneurship yang
dilakukan, diawali dengan identifikasi masalah, kemudian dibuat prioritas masalah dan
selanjutnya dibuat rencana tindak (action plan). Rencana tindak ini digunakan sebagai
intervensi terhadap pedagang kuliner yanng merupakan salah satu penerapan IPTEKS di
sektor informal. Pengabdian berupa pelatihan ergo-entrepreneurship dilakukan untuk
mengenalkan prinsip-prinsip ergonomi yang dipadukan dengan konsep kewirausahaan yang
dapat diimplementasikan dalam usaha kuliner lokal. Pengabdian ini melibatkan 15 orang
pedagang kuliner lokal yang berjualan di Alun-alun Desa Peliatan, Ubud, Gianyar.
Keberhasilan pengabdian ini dievaluasi dari perubahan sikap kewirausahaan pedagang kuliner
antara sebelum dan sesudah pelatihan. Sikap kewirausahaan didata dengan menggunakan
kuesioner kewirausahaan dengan skala Likert dan hasilya dianalisis dengan uji t paired karena
datanya berdistribusi normal pada taraf signifikansi 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pelatihan ergo-entrepreneurship ternyata dapat meningkatkan sikap kewirausahaan pedagang
dan berdampak langsung terhadap peningkatan pendapatan pedagang kuliner yang tentunya
akan berimbas kepada pendapatan masyarakat setempat serta terjalinnya kerjasama dengan
event organizer yang memerlukan kuliner. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa: (a)
penerapan IPTEKS melalui pelatihan ergo-entrepreneurship cukup memadai dilakukan dilihat
dari antusiasme pedagang kuliner untuk mengembangkan sikap kewirausahaannya dan (b)
penerapan IPTEKS melalui pelatihan ergo-entrepreneurship dapat meningkatkan sikap
kewirausahaan pedagang kuliner lokal secara bermakna sebesar 9,57% (p < 0,05).
Kata Kunci: Ergo-entrepreneurship, Kuliner, dan Kewirausahaan
v
ABSTRACT
THE APPLICATION OF SCIENCE AND TECHNOLOGY
THROUGH ERGO-ENTREPRENEURSHIP TRAINING TO DEVELOP
ENTREPRENEURSHIP ATTITUDES OF TRADERS IN PELIATAN VILLAGE
UBUD GIANYAR BALI
By
I Made Sutajaya, Ni Putu Ristiati, and Ida Ayu Putu Suryanti
Biology Department MIPA Faculty UNDIKSHA
The purpose of community service is to empower the community through training
ergo-entrepreneurship in developing of entrepreneurial attitude that will positively affect
revenue culinary merchants. The approach used in this training is based on participatory
approach ergonomics. Ergo-entrepreneurship training activities were carried out beginning
with the identification of the problems then made a priority issue and subsequently created an
action plan (action plan). This action plan is used as an intervention against traders culinary
which is one application of science and technology in the informal economy. Dedication form
ergo-entrepreneurship training conducted to introduce the principles of ergonomics, combined
with an entrepreneurial concept that can be implemented in local culinary business. This
devotion involves 15 subjects who selling goods on the local culinary square in Peliatan
Village, Ubud, Gianyar. The success of this service is evaluated from the change in the
entrepreneurial attitude of culinary merchants between before and after training.
Entrepreneurial attitudes were collected by using an entrepreneurship questionnaire with
Likert scale and the result was analyzed by paired t test for normally distributed data at the 5%
significance level. The results showed that the training ergo-entrepreneurship may increase
entrepreneurial attitude and the merchant directly impact the revenue increase of culinary
merchants that will certainly impact on the revenue of local communities and establishment of
cooperation with the event organizer that requires culinary. It can be concluded that: (a) the
application of science and technology through training ergo-entrepreneurship adequate done
seen from the enthusiasm of traders culinary to develop an attitude of entrepreneurship and (b)
the application of science and technology through training ergo-entrepreneurship may increase
entrepreneurial attitudes merchants local culinary significantly by 9.57% (p <0.05).
Keywords: Ergo-entrepreneurship, Entrepreneurship, and Culinary.
vi
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Sampul.................................................................................................... i
Halaman Pengesahan............................................................................................. ii
Kata Pengantar........................................................................................................ iii
Abstrak.................................................................................................................... iv
Abstract................................................................................................................... v
Daftar Isi................................................................................................................... vi
Daftar Tabel.............................................................................................................. vii
Daftar Gambar........................................................................................................... viii
Daftar Lampiran......................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
1.1 Analisis Situasi......................................................................................... 1
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah.................................................... 3
1.3 Tujuan Kegiatan...................................................................................... 4
1.4 Manfaat Kegiatan.................................................................................... 4
BAB II METODE PELAKSANAAN....................................................................... 5
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................... 20
BAB IV PENUTUP..................................................................................................... 31
4.1 Simpulan..................................................................................................... 31
4.2 Saran........................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 32
LAMPIRAN................................................................................................................. 34
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Kerangka Pemecahan Masalah melalui Penerapan IPTEKS...................... 5
Tabel 3.1. Karakteristik Kuliner yang Dijajakan (n = 15)............................................ 20
Tabel 3.2. Kondisi Lingkungan di Sekitar Tempat Berjualan (n = 15)...................... 20
Tabel 3.3. Hasil Analisis Deskriptif Penerapan IPTEKS dengan Kajian
Ergo-entrepreneurship.................................................................................... 21
Tabel 3.4. Hasil Uji Beda Sikap Kewirausahaan Pedagang Kuliner
antara Sebelum dan Sesudah Pelatihan (n = 15)............................................. 24
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1. Suasana Kuliner di Alun-alun Desa Peliatan..................................... 24
Gambar 3.2. Barang Dagangan yang Dijajakan Kuliner
di Alun-alun Desa Peliatan......................................................................... 25
Gambar 3.3. Suasana Kuliner saat Ada Turnamen Bola Voli.................................... 25
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Absensi Peserta Kegiatan…………………………………………. 34
Lampiran 2. Hasil Analisis Hasil Analisis Statistik Sikap Kewirausahaan
Pedagang Kuliner Sebelum dan Sesudah Pelatihan……………… 35
Lampiran 3. Foto-foto Kegiatan……………………………………..…………… 36
Lampiran 4. Peta Lokasi Daerah Sasaran................................................................. 37
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Analisis Situasi
Kondisi ekonomi masyarakat Desa Peliatan mulai tahun 2002 tampaknya mengalami
penurunan. Itu terjadi sebagai akibat terpuruknya usaha dalam bidang pariwisata sebagai
dampak dari Bom Bali pada saat itu. Itu terjadi karena masyarakat di Desa Peliatan lebih
dominan menggantungkan nasibnya di bidang pariwisata (RPJM, 2011). Kondisi tersebut
semakin diperparah oleh melambungnya harga sembako di pasaran. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa perekonomian di Desa Peliatan mengalami goncangan yang sangat serius
dan memerlukan penanggulangan sesegera mungkin agar tidak menimbulkan dampak yang
lebih buruk lagi yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin.
Padahal Desa Peliatan memiliki berbagai potensi ekonomi yang cukup handal dan
dapat mendatangkan penghasilan yang memadai. Misalnya dari hasil uji coba usaha kuliner
khas Desa Peliatan yang dibuka di Alun-alun depan Puri Peliatan selama 11 hari dari tanggal 4
s.d. 15 Maret 2012 diperoleh data: (a) penghasilan pedagang mencapai 1,5 s.d. 2,3 juta selama
kegiatan; (b) jumlah pelaku kuliner semakin meningkat yang semula hanya 9 pedagang
meningkat menjadi 31 pedagang; (c) antusiasme masyarakat untuk mengunjungi tempat
tersebut cukup tinggi, karena rerata kunjungan per hari kurang lebih 300 orang. Akan tetapi
dengan semakin banyaknya para pendatang yang membuka usaha di Desa Peliatan membuat
masyarakat Desa Peliatan semakin terdesak dan kehilangan peluang untuk usaha-usaha
tertentu karena ketatnya persaingan ekonomi saat ini dan rendahnya pengetahuan masyarakat
dalam bidang kewirausahaan.
Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan. Dalam perspektif
pembangunan ini, disadari betapa penting kapasitas manusia dalam upaya meningkatkan
kemandirian dan kekuatan internal atas sumber daya materi dan nonmaterial (Muchtar, 2007).
Potensi kuliner sesunguhnya adalah modal besar bagi masyarakat di Desa Peliatan, akan tetapi
karena tersendat-sendatnya upaya pemasaran kuliner tersebut mengakibatkan banyak
masyarakat yang beralih ke usaha lain. Permasalahan mendasar inilah yang tampaknya dapat
ditanggulangi melalui pemberdayaan masyarakat dengan pelatihan ergo-entrepreneurship.
Dalam pelatihan tersebut ditekankan bahwa prinsip-prinsip ergonomi selalu dijadikan acuan di
2
dalam memperbaiki kondisi kerja pada usaha kuliner baik pada proses pembuatan makanan
maupuun saat menjajakan makanan tersebut. Hal itu dilakukan demi terwujudnya kuliner lokal
yang layak jual dan sehat sehingga berpeluang untuk dikembangkan ke arah yang lebih maju
di era global yang ditandai dengan persaingan yang semakin ketat dan keras.
Perlunya dilakukan pengabdian masyarakat berupa pelatihan ergo-entrepreneurship,
karena dari hasil analisis situasi, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yang berkaitan
dengan pengembangan usaha ekonomi produktif atau usaha mikro masyarakat khususnya
dalam usaha kuliner yaitu: (a) kurangnya modal usaha; (b) ketidakberanian masyarakat untuk
memanfaatkan pinjaman di Bank sebagai modal usahanya; (c) kurangnya pengetahuan dan
pengalaman masyarakat tentang kewirausahaan; (d) kurangnya aset dan akses usaha; (e) mutu
hasil olahan yang relatif rendah; (e) sulitnya pemasaran produk yang dihasilkan; dan (f)
minimnya fasilitator yang dapat membantu masyarakat untuk memfasilitasi usaha pemasaran
dan pengadaan bahan baku. Hal ini mengakibatkan banyak usaha mikro yang tidak mampu
berkembang dan terancam bangkrut.
Di samping itu keberanian pedagang kuliner lokal untuk bersaing dengan pedagang-
pedagang dari luar desa atau dari luar Pulau Bali, tampaknya sangat mengkhawatirkan. Itu
terbukti dari ketidaksabaran pedagang pada saat sepi pengunjung. Pedagang kuliner lokal lebih
mudah menyerah dibandingkan dengan pedagang dari luar desa. Ini menunjukkan bahwa sikap
kewirausahaan mereka perlu dikembangkan lagi agar mereka lebih ulet, gigih, dan optimis
untuk mengembangkan kulinernya. Dalam hal ini prinsip-prinsip ergonomi yang lebih
menekankan kepada unsur kesehatan dan manajerial dalam beraktivitas yang dipadukan
dengan konsep-konsep kewirausahaan sangat perlu disosialisasikan kepada pedagang kuliner
local agar sikap kewirausahaannya dapat ditingkatkan. Ini merupakan modal dasar untuk
bersaing di era global.
Dilihat dari aspek ergonomi, ternyata para pedagang belum mempertimbangkan aspek-
aspek yang harus diterapkan dalam menjalankan usaha kuliner. Misalnya: (a) ketika memilih
tempat yang strategis untuk berjualan tidak mempertimbangkan kenyamanan pengunjung; (b)
ketika memilih warna sarana dan prasarana yang digunakan tidak mengacu kepada konsep
ergonomi yang menekankan bahwa warna merah sangat cocok untuk usaha kuliner; (c) ketika
menentukan waktu berjualan tidak mempertimbangkan perilaku masyarakat setempat yang
gemar berpetualang di bidang kuliner; dan (d) ketidakberanian menambah omset penjualan
3
pada hari-hari tertentu atau event tertentu yang dilaksanakan oleh desa, yang merupakan
peluang untuk meningkatkan pendapatan.
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah
Bertolak dari analisis situasi yang telah diungkapkan di atas dan hasil diskusi dengan
pedagang kuliner serta observasi terhadap situasi dan kondisinya teridentifikasi permasalahan
sebagai berikut.
1. Pedagang kuliner belum memiliki kerjasama dengan pihak lain dalam memasarkan
dan mempromosikan produknya.
2. Pemasaran terhadap produk yang dihasilkan masih terbatas pada lokasi tempat
berjualan.
3. Upaya pemasaran produk kuliner melalui kerjasama dengan event organizer yang
memerlukan kuliner masih sangat minim
4. Promosi melalui media terkait belum dilakukan, karena terbatasnya fasilitator atau
mediator yang bersedia untuk melalukan hal tersebut.
5. Ketidakberanian pedagang kuliner untuk memproduksi barang dagangannya dengan
jumlah yang lebih banyak, karena mekanisme pemasaran belum jelas.
Rumusan Masalah
Bertolak dari identifikasi permasalahan di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai
berikut.
1. Perlu disosialisasikan konsep-konsep ergo-entrepreneurship dalam mengatasi
permasalahan ergonomi dan kewirausahaan yang dihadapi oleh pedagang kuliner lokal
di Desa Peliatan.
2. Perlu pelatihan ergo-entrepreneurship melalui pendekatan partisipatori untuk
mengembangkan sikap kewirausahaan pedagang kuliner di Desa Peliatan.
3. Perlu penanganan segera terhadap permasalahan ergonomi dan kewirausahaan yang
selama ini menyertai pedagang kuliner di Desa Peliatan.
4
1.3 Tujuan Kegiatan
Tujuan yang ingin dicapai dalam kegiattan pengabdian masyarakat melalui penerapan
IPTEKS ini adalah sebagai berikut.
1. Menanamkan konsep-konsep ergo-entrepreneurship dalam mengatasi masalah
ergonomi dan kewirausahaan pada pedagang kuliner di Desa Peliatan.
2. Mengetahui cara mengatasi permasalahan ergonomi dan kewirausahaan yang dihadapi
pedagang kuliner di Desa Peliatan.
3. Mengetahui keberhasilan pelatihan ergo-entrepreneurship dilihat dari perubahan sikap
kewirausahaan pedagang kuliner di Desa Peliatan.
1.4 Manfaat Kegiatan
Manfaat yang diharapkan dari hasil kegiatan pengabdian masyarakat melalui
penerapan IPTEKS ini adalah sebagai berikut
1. Dapat dimanfaatkan sebagai acuan di dalam mengatasi kondisi kerja yang tidak
ergonomis dan sikap kewirausahaan yang belum memadai sehingga tidak
berdampak buruk terhadap keberlanjutan usaha kuliner di Desa Peliatan.
2. Dapat dimanfaatkan sebagai sumbangan pemikiran bagi pedagang kuliner dan
instansi terkait berkenaan dengan upaya mengatasi masalah ergonomi dan
kewirausahaan.
3. Dapat dimanfaatkan sebagai suatu alternatif solusi yang efektif dan efisien di
dalam mengatasi sikap kewirausahaan yang belum memadai dan masalah
pemasaran yang dihadapi oleh pedagang kuliner di Desa Peliatan.
5
BAB II
METODE PELAKSANAAN
2.1 Kerangka Pemecahan Masalah
Kerangka pemecahan masalah yang diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan
pengabdian masyarakat adalah sebagai berikut.
a. Melalui implementasi Teknologi Tepat Guna yang menekankan pada upaya
perbaikan sikap kewirausahaan yaitu: (1) secara teknis perbaikan tersebut dapat
dikalukan; (b) secara ekonomis dapat dibiayai; (3) secara kesehatan dapat
dipertanggung-jawabkan; (4) secara sosial budaya tidak bertentangan; (5) hemat
energi; dan (6) tidak merusak lingkungan (Manuaba, 2008)
b. Melalui implementasi pendekatan ergonomik partisipatori yang dapat dijelaskan
bahwa semua orang yang terlibat dalam pemecahan masalah harus dilibatkan sejak
awal secara maksimal agar dapat diwujudkan mekanisme kerja yang kondusif dan
diperoleh produk yang berkualitas sesuai dengan tuntutan jaman (Manuaba, 2008)
c. Melalui model Enthrepreneurship Capasity Building (ECP) yang diterapkan
melalui awareness program sebagai upaya untuk meningkatkan wawasan
pedagang kuliner tentang kewirausahaan dan pemasaran serta cara memonitoring
dan mengevaluasi perkembangan usahanya.
d. Melalui kerjasama usaha antara pedagang kuliner dengan event organizer yang
akan memberi peluang cukup besar untuk pemasaran produk.
Secara rinci kerangka pemecahan masalah melalui penerapan IPTEKS dapat dicermati
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Kerangka Pemecahan Masalah melalui Penerapan IPTEKS
NO KEGIATAN PENERAPAN IPTEKS
1 Identifikasi dan Pemecahan
Masalah Ergonomi
a) Kondisi kerja secara
umum
Melalui kajian ergonomi ditelusuri kondisi kerja yang
berpotensi memunculkan penyakit akibat kerja dan
berdampak kepada keberlanjutan usaha kuliner
b) Kondisi lingkungan di
tempat kerja
Disosialisasikan tentang prinsip-prinsip lingkungan kerja
yang ergonomis (aman, nyaman, dan sehat) serta cara
mengaplikasikan ergonomi dalam mengatasi kondisi
lingkungan yang berisiko memunculkan penyakit akibat
kerja dan berdampak kepada animo masyarakat untuk
6
berkunjung ke lokasi kuliner
c) Organisasi kerja Disosialisasikan tentang penerapan organisasi kerja yang
mengacu kepada pendekatan ergonomik partisipatori.
2 Diskusi interaktif dalam
menelusuri kendala yang
dijumpai dan alternatif
solusinya terkait dengan
aplikasi ergonomi
Secara partisipatori semua stakeholders yang terkait
diajak berdiskusi, sehingga kendala yang ada betul-betul
merupakan kendala bersama dan alternatif solusi yang
ditawarkan merupakan hasil pemikiran bersama
3 Pelatihan singkat
penyusunan action plan
(rencana tindak)
Setelah dipilah dan dipilih permasalahan yang
teridentifikasi dan berorientasi kepada kendala yang ada,
dilakukan pelatihan membuat rumusan action plan yang
mengacu kepada unsur 5 W, 2 H, dan 1 R (what: apa
yang akan dikerjakan); why: mengapa itu yang
dikerjakan; when: kapan
dikerjakan; who: siapa yang mengerjakan: where: dimana
dikerjakan; How: bagaimana caranya; How much: berapa
biayanya; dan Regulation: apa dasar hukum atau
peraturan yang digunakan
4 Kerjasama dengan pihak
konsumen
Difasilitasi kerjasama pemasaran dengan event organizer
yang memerlukan kuliner
5 Pemantauan keberlanjutan
usaha kuliner
Selalu diupayakan kerjasama mutualisme antara
penghasil produk kuliner dengan event organizer yang
memerlukan produk tersebut
2.2 Khalayak Sasaran
Khalayak sasaran yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan pengabdian masyarakat ini
adalah sebagai berikut.
1. Pedagang kulier di Desa Peliatan, Ubud, Gianyar yang saat ini mengalami
perrmasalahan ergonomi dan kewirausahaan ketika ingin memasarkan produknya.
2. Para generasi muda di Desa Peliatan, Ubud, Gianyar yang tertarik untuk menekuni
usaha kuliner yang sudah terbukti dapat menopang penghasilan keluarga.
3. Event Organizer (EO) yang bersedia menjadi perpanjangaan tangan para pedagang
kuliner terkait dengan upaya perluasan pemasaran produk.
2.3 Keterkaitan
Lembaga terkait yang dilibatkan dalam kegiatan pengabdian masyarakat melalui
penerapan IPTEKS ini adalah sebagai berikut.
1. Undiksha dengan Pemda Kabupaten Gianyar yang bisa secara kolaboratif dapat
membantu pedagang kuliner dalam mengatasi masalah pemasaran produk.
7
2. Pemerintahan Desa Peliatan melalui Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dapat
merintis kerjasama dengan pihak UNDIKSHA khususnya dalam hal pemecahan
masalah ergonomi dan kewirausahaan pedagang kuliner.
2.4 Metode Kegiatan
Metode kegiatan pengabdian masyarakat melalui penerapan IPTEKS ini adalah
sebagai berikut.
a. Tahap persiapan
Pada tahap persiapan dilakukan kegiatan sebagai berikut.
1) Sosialisasi program pengabdian masyarakat kepada mitra.
2) Penyusunan indikator dan instrumen program pengabdian masyarakat yang
berkaitan dengan upaya pemecahan masalah ergonomi dan kewirausahaan yang
dihadapi pedagang kuliner (mitra)
3) Penetapan tim pelaksana program pengabdian masyarakat sesuai dengan
kepakarannya masing-masing
4) Pelatihan terhadap tim pelaksana tentang konsep-konsep ergonomi dan
kewirausahaan yang dapat diaplikasikan dalam usaha kuliner.
b. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan program dilakukan kegiatan sebagai berikut.
1. Pendataan masalah-masalah ergonomi dan kewirausahaan yang menyertai
pedagang kuliner di Desa Peliatan selama ini.
2. Dilakukan ceramah dan diskusi (tanya-jawab) mengenai dampak negatif yang
diakibatkan oleh kondisi kerja yang tidak ergonomis dan sikap kewirausahaan
yang tidak memadai terhadap keberlanjutan usaha kuliner.
3. Mensosialisasikan cara-cara mengaplikasikan prinsip-prinsip ergonomi dan
kewirausahaan dalam mengatasi masalah pemasaran produk kuliner.
4. Menyampaikan kepada padagang kuliner (mitra) tentang prinsip-prinsip
ergonomi dan kewirausahaan yang layak dan tepat diterapkan di tempat
mereka.
8
5. Melalui diskusi interaktif, ditelususi kendala yang mungkin terjadi terkait
dengan aplikasi ergo-entrepreneurship dalam mengatasi permasalahan yang
dihadapi oleh pedagang kuliner.
6. Memfasilitasi kerjasama antara pedagang kuliner dengan Event Organizer
yangbmemerlukan produk kuliner untuk memperluas pemasaran produk.
c. Tahap Pemantauan
Pada tahap pemantauan terhadap program pengabdian masyarakat dilakukan kegiatan
sebagai berikut.
1. Pemantauan terhadap hasil pendataan masalah ergonomi dan kewirausahaan
yang dihadapi oleh edagang kuliner.
2. Pemantauan terhadap hasil pelatihan ergo-entrepreneurship dalam
mengembangkan sikap kewirausahaan pedagang kuliner.
3. Pemantauan terhadap kesadaran pedagang kuliner dalam mengaplikasikan
prinsip ergonomi dan kewirausahaan untuk menunjang keberlanjutan usaha
kuliner.
4. Pemantauan terhadap kerjasama antara pedagang kuliner dengan event
organizer yang siap memperluas upaya pemasaran produk.
2.5 Rancangan Evaluasi
Rancangan evaluasi yang akan dilakukan dalam menilai keberhasilan kegiatan
pengabdian masyarrakat adalah sebagai berikut.
1. Evaluasi terhadap perubahan sikap kewirausahaan pedagang kuliner setelah
diberikan pelatihan ergo-entrepreneurship.
2. Evaluasi terhadap hasil implementasi prinsip-prinsip ergonomi dan kewirausahaan
dalam mengatasi permasalahan para pedagang kuliner dilihat dari indikator berupa
sikap kewirausahaan.
3. Evaluasi terhadap keberlanjutan usaha kuliner setelah dipahaminya konsep ergo-
entrepreneurship yang dapat diaplikasikan dalam mengatasi masalah yang dihadapi
oleh pedagang kuliner.
4. Evaluasi terhadap keberhasilan kerjasama antara pedagang kuliner dengan event
organizer yang memerlukan produk kuliner.
9
2.6 Materi Pelatihan
2.6.1 Ergonommi dalam Pemberdayaan Masyarakat
Ergonomi berasal dari kata Yunani yaitu ergon (kerja) dan nomos (aturan). Definisi
ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni untuk menyerasikan alat, cara kerja dan lingkungan
pada kemampuan, kebolehan dan batasan manusia sehingga diperoleh kondisi kerja dan
lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan efisien sehingga tercapai produktivitas yang
setinggi-tingginya (Manuaba, 2008). Ergonomi sangat diperlukan di dalam suatu kegiatan
yang melibatkan manusia di dalamnya dengan memperhitungkan kemampuan dan tuntutan
tugas.
Kemampuan manusia sangat ditentukan oleh faktor-faktor profil, kapasitas fisiologi,
kapasitas psikologi dan kapasitas biomekanik, sedangkan tuntutan tugas dipengaruhi oleh
karakteristik dari materi pekerjaan, tugas yang harus dilakukan, organisasi dan lingkungan
dimana pekerjaan itu dilakukan (Manuaba, 2008). Dengan ergonomi dapat ditekan dampak
negatif pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena dengan ergonomi berbagai
penyakit akibat kerja, kecelakaan, pencemaran, keracunan, ketidak-puasan kerja, kesalahan
unsur manusia, bisa dihindari atau ditekan sekecil-kecilnya (Manuaba, 2008). Dalam hal ini
ergo-entrepreneurship dimaknai sebagai konsep-konsep ergonomi yang dapat
diimplementasikan di dalam pengembangan pengetahuan dan sikap kewirausahaan seseorang
sehingga mereka mampu bersaing di era global.
Sumber kerja diartikan sebagai aspek-aspek fisik, social atau organisasional dari
pekerjaan yang dapat: (a) menurunkan tuntutan pekerjaan dan biaya yang berkaitan dengan
faktor fisiologis dan psikologis; (b) berfungsi dalam pencapaian tujuan kerja; (c) menstimulasi
pertumbuhan, pembelajaran, dan perkembangan individu. Sumber kerja merupakan predictor
terpenting dari engagement, karena mampu memprediksi komitmen suatu organisasi. Sumber
kerja berperan dalam pembentukan proses motivasi karena karyawan mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan ekonomi, kompetensi, dan berhubungan dengan orang
lain. Penelitian terkini menyatakan bahwa suber kerja termasuk pada level tugas sebagai
umpan balik kinerja, level interpersonal sebagai dukungan dari rekan kerja, dan level
organisasi sebagai pembinaan supervisor (Bakker & Leiter, 2010: .Bakker, 2010; Bakker, et
al, 2011 ; Bakker, et al, 2008; Shimazu, et al, 2010)
10
Pemanfaatan prinsip-prinsip ergonomi dalam mendesain suatu produk membuat produk
tersebut menjadi lebih sesuai dengan pemakai (users friendly), memuaskan, nyaman dan aman
(Manuaba 2008; Fam, et al, 2007; Limerick, et al, 2007). Untuk memudahkan dan mengurangi
dampak negatif yang mungkin timbul, penerapan ergonomi hendaknya menggunakan bahasa
yang sederhana, bahasa perusahaan atau bahasa masyarakat. Pendekatan sistemik, holistik,
interdisipliner dan partisipatori (SHIP) hendaknya selalu dimanfaatkan dalam setiap
pemecahan masalah atau merencanakan sesuatu sehingga tidak ada lagi masalah yang
tertinggal atau muncul di kemudian hari (Manuaba, 2008; Azadeh, et al, 2007). Di samping itu
pendekatan SHIP hendaknya diterapkan dalam pemilihan dan alih teknologi sehingga menjadi
tepat guna, dengan persyaratan: (a) secara teknik hasilnya lebih baik; (b) secara ekonomi lebih
menguntungkan; (c) secara sosial budaya dapat diterima; (d) kesehatan dapat dijamin dan
dipertanggungjawabkan; (e) hemat dalam pemakaian energi; dan (f) tidak merusak lingkungan
(Manuaba, 2008; Munaf, et al., 2008). Dari beberapa perbaikan ergonomi terbukti bahwa
dengan penerapan ergonomi mampu memberikan keuntungan secara ekonomi, meningkatkan
keselamatan dan kenyamanan kerja. Malah telah sampai pada simpulan good ergonomi is
good economic yang merupakan acuan utama konsep ergo-entrepreneurship (Sutjana, et al.,
2008).
Pemberdayaan masyarakat terkait erat dengan faktor internal dan eksternal. Tanpa
mengecilkan arti dan peranan salah satu faktor, sebenarnya kedua faktor tersebut saling
berkontribusi dan mempengaruhi secara sinergis dan dinamis. Meskipun dari beberapa contoh
kasus yang disebutkan sebelumnya faktor internal sangat penting sebagai salah satu wujud
self-organizing dari masyarakat namun juga perlu memberikan perhatian pada faktor
eksternalnya (Anonim, 2012). Cook (1994) dalam Anonim (2012) menyatakan pembangunan
masyarakat merupakan konsep yang berkaitan dengan upaya peningkatan atau pengembangan
masyarakat menuju ke arah yang positif.
Giarci (2001) (dalam Anonim, 2012) memandang community development sebagai suatu
hal yang memiliki pusat perhatian dalam membantu masyarakat pada berbagai tingkatan umur
untuk tumbuh dan berkembang melalui berbagai fasilitasi dan dukungan agar mereka mampu
memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan untuk mengelola dan mengembangkan
lingkungan fisiknya serta kesejahteraan sosialnya. Proses ini berlangsung dengan dukungan
collective action dan networking yang dikembangkan masyarakat. Itu berarti pemberdayaan
11
masyarakat melalui pelatihan ergonomi sesungguhnya mengupayakan agar masyarakat
menyadari betapa pentingnya kesehatan dan kebugaran dalam bekerja. Di sisi lain melalui
pelatihan ergonomi dapat diwujudkan pembangunan berkelanjutan, karena akan tercipta
pekerja-pekerja yang tangguh tanpa terpapar oleh kondisi kerja yang tidak aman, tidak sehat,
dan tidak nyaman. Pada akhirnya akan diperoleh mekanisme kerja yang efektif, efisien, dan
produktif.
2.6.2 Pertimbangan Kearifan Lokal dalam Pemberdayaan Masyarakat
Kearifan lokal adalah unsur kebudayaan tradisional yang telah memiliki sejarah yang
panjang dan hidup dalam kesadaran kesadaran kolektif manusia dan masyarakat sejagat,
terkait dengan sumber daya alam, sumber daya kebudayaan, sumber daya manusia, ekonomi,
hokum dan keamanan (Geriya, 2007). Secara konseptual kearrifan lokal merupakan bagian
dari sistem pengetahuan sederhana (Sarna, 2008). Di antara keanekaragaman jenis kearifan
lokal, ditemukan beberapa kearifan lokal yang memiliki kualitas dan keunggulan dengan
kandungan nilai-nilai universal seperti historis, religius, etika, estetika, sains dan teknologi
yang disebut lokal genius.
Tri Hita Karana sebagai warisan budaya Bali ternyata memiliki banyak keterkaitan
dengan ergonomi karena kaya dengan filosofi, nilai, etika lokal, dan dengan focus berupa
konfigurasi nilai harmoni. Dalam hal ini prinsip ergonomi yang mengutamakan unsur
kenyamanan, kesehatan, keamanan, efisiensi, dan efektivitas serta produktivitas kerja amat
terkait dengan konsep Tri Hita Karana yang sangat mempengaruhi perilaku orang Bali dalam
beraktivitas. Di samping itu warisan leluhur tentang konsep keseimbangan yang dikenal
dengan istilah Tri Hita Karana tersebut selalu menjadi inspirasi bagi pengelolaan sumber daya
alam di Bali. Dalam hal ini penerapan ergonomi di industri kecil yang berbasis kearifan lokal
sesungguhnya adalah beruasaha agar terjadi keseimbangan antara aktivitas manusia dengan
daya dukung alam di sekitarnya. Penanganan limbah perusahaan dan pembatasan waktu kerja
merupakan upaya ergonomi untuk menserasikan antara tuntutan tugas dengan kemampuan
manusia dan faktor lingkungan yang menyertai para pekerja saat beraktivitas.
Budaya Bali sangat menekankan keseimbangan dari pola relasi hubungan dengan
Tuhan, manusia, dan lingkungan. Kedinamisan keseimbangan pola relasi ini sangat terkait
dengan dinamika perjalanan waktu dan keadaan yang terjadi (desa, kala, patra). Konsep desa
12
kala patra juga menjadi acuan dalam perbaikan stasiun dan proses kerja di industri kecil,
karena konsep ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan intervensi ergonomi di suatu
daerah (Sutajaya & Ristiati, 2011).
Ajaran Catur Purusartha (Dharma, Artha, Kama, Moksa) diarahkan untuk mencapai
tujuan kebebasan yang abadi dan kesejahteraan seantero alam semesta dengan istilah
mokshartam jagadhita. Tujuan untuk mencapainya adalah dengan Catur Marga (Karma,
Bhakti, Jnana, Raja). Konsep ini amat terkait dengan prinsip ergonomi yang menekankan
kepada upaya manusia untuk meningkatkan produktivitas kerjanya dalam mencapai
kesejahteraan hidup dan tetap terjaganya kualitas kesehatan jasmani dan rohani.
2.6.3 Pertimbangan Faktor Sosial Budaya dalam Pemberdayaan Masyarakat
Geriya (2007) menyatakan bahwa kristalisasi nilai-nilai budaya yang digali dari bumi
Indonesia adalah: (a) unsur ke-Tuhanan yang diungkapkan dengan bhinneka tunggal ika tan
hana dharma mangrua yang artinya berbeda-beda tetapi satu dan tidak ada agama yang
memiliki tujuan berbeda dimana unsur kerukunan dan toleransi agama menjadi bingkai
pemersatu; (b) unsur kemanusiaan yang egaliter dapat dijumpai pada tata kehidupan
bermasyarakat yakni menghargai sesama umat dan saling membantu jika tertimpa musiba;, (c)
unsur persatuan yang terihat jelas dengan adanya kebersamaan (collectives), kekeluargaan,
persatuan dan kesatuan serta kegotong-royongan; (d) unsur kerakyatan sebagai ciri demokrasi
terlihat dalam pengambilan keputusan dilakukan melalui jalan musyawarah mufakat; dan (e)
unsur keadilan tercermin dalam kehidupan hukum adat sebagai salah satu aspek budaya yang
mengatur secara adil dan merupakan kewajiban warga masyarakat setempat. Pendapat ini
sangat berkaitan dengan unsur-unsur yang perlu dipertimbangkan dalam penerapan ergonomi
khususnya di Bali yaitu: (a) bekerja diyakini sebagai suatu darma seseorang dan hasilnya akan
dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) melalui pelaksanaan
karma marga sebagai wujud bakti kepadaNya; (b) melalui penerapan ergonomi sejak dini
diharapkan dicapai kondisi kerja yang lebih manusiawi dan tidak memaksa seseorang untuk
bekerja di luar batasan, kemampuan dan kebolehannya; (c) suatu pekerjaan akan bisa
dilakukan secara efektif dan efisien dengan hasil maksimal jika dikerjakan secara bersama-
sama melalui tim kerja yang kondusif; (d) unsur kerakyatan sebagai ciri demokrasi sangat
kentara di dalam suatu organisasi kerja yang menerapkan pendekatan SHIP (sistemik, holistik,
13
interdisipliner dan partisipatori) karena pendekatan tersebut memberi peluang kepada setiap
orang untuk berkontribusi sama dalam setiap mengambil keputusan dan mereka yang ingin
menang sendiri dan otoriter akan tereliminasi; dan (e) unsur keadilan dapat dilihat pada sistem
pengupahan di mana prinsip ergonomi selalu menekankan kepada sistem pengupahan yang
proporsional sesuai dengan beban kerja atau risiko yang dihadapi pekerja.
Penelitian pemberdayaan masyarakat yang berorientasi ergonomi yang menyentuh unsur
tubuh manusia yaitu: bayu (kekuatan), sabda (suara) dan idep (pikiran) dapat dijelaskan
sebagai berikut (Sutajaya, et al, 2009).
1. Dalam menentukan permasalahan di tempat kerja hendaknya memperhatikan status
nutrisi atau energi dan pemanfaatan tenaga otot (bayu) terkait dengan subjek yang
akan dilibatkan dan intervensi ergonomi yang dikenakan terhadap subjek
penelitian.
2. Dalam membuat protokol penelitian unsur sabda atau pendapat (suara) subjek
perlu diperhatikan, karena apa yang diinginkan peneliti belum tentu sesuai dengan
keinginan subjek.
3. Saat memperbaiki kondisi kerjanya diharuskan untuk mengajak subjek secara
partisipatori turut berpikir atau memanfaatkan idep mereka demi tercapainya
kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.
Penelitian pemberdayaan masyarakat yang berorientasi ergonomi yang menyentuh
unsur sarana berlogika yaitu desa (tempat), kala (waktu) dan patra (kebiasaan) dapat
dijelaskan sebagai berikut (Sutajaya, et al, 2009).
1. Pada proses penelitian karateristik lokasi (tempat) penelitian sangat menentukan
keberhasilan suatu penelitian karena terkait dengan cara pemilihan sampel,
rancangan yang digunakan, dan strategi pendataan. Untuk itu perlu diketahui
karakteristik suatu wilayah yang akan dijadikan objek penelitian sehingga
penelitian dapat berlangsung lancar dengan hasil yang maksimal.
2. Waktu penelitian juga sangat menentukan validitas dan reliabilitas data yang
diperoleh karena jika salah menentukan alokasi waktu penelitian bisa berakibat
fatal atau penelitian mengalami kegagalan, misalnya: penelitian dilakukan saat ada
upacara agama, ini tentu akan mempengaruhi kondisi subjek.
14
3. Kebiasaan setempat perlu dipertimbangkan agar diperoleh data yang akurat karena
kebiasaan seseorang yang mungkin sudah dilakukan selama bertahun-tahun atau
bahkan berabad-abad lamanya tidak bertindak sebagai variabel pengganggu atau
menjadi masking effect dalam analisis data.
Penelitian pemberdayaan masyarakat yang berorientasi ergonomi yang menyentuh
unsur peradilan yaitu bukti, saksi dan ilikita (logika) dapat dijelaskan sebagai berikut
(Sutajaya, et al, 2009).
1. Bukti keberhasilan intervensi ergonomi sering digunakan sebagai acuan di dalam
melaksanakan intervensi berikutnya, karena bukti yang bisa dilihat dan dirasakan
oleh pekerja dapat bertindak sebagai pemicu motivasi pihak terkait untuk
memperbaiki kondisi kerjanya.
2. Saksi juga diperlukan untuk mempromosikan keberhasilan intervensi ergonomi
karena apa yang dikatakan atau dilaporkan oleh saksi yang dalam hal ini adalah
subjek dan peneliti dapat mempengaruhi minat pekerja atau orang lain yang tertarik
dengan intervensi tersebut untuk diterapkan di tempat mereka.
3. Ilikita atau logika sangat berpengaruh dalam mengambil suatu keputusan terkait
dengan upaya perbaikan yang akan dilakukan, karena dalam penerapan ergonomi
diawali dengan perbaikan yang sifatnya mudah dikerjakan, murah biayanya dan
masuk akal. Itu berarti secara logis apa yang diterapkan dalam penelitian ergonomi
hendaknya masuk akal dan bisa berlanjut atau tidak hanya terbatas sebagai
penelitian saja.
2.6.4 Sikap Kewirausahaan sebagai Penunjang Pemasaran
Wirausaha adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat dan menilai
kesempatan-kesempatan bisnis; mengumpulkan sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan
untuk mengambil tindakan yang tepat dan mengambil keuntungan dalam rangka meraih
sukses. Kewirausahaan pada hakekatnya adalah sifat, ciri dan watak seseorang yang memiliki
kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif. Sedangkan
yang dimaksudkan dengan seorang wirausahawan adalah orang-orang yang memiliki
kemampuan melihat dan menilai kesempatankesempatan bisnis; mengumpulkan sumber daya-
sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang tepat, mengambil keuntungan
15
serta memiliki sifat, watak dan kemauan untuk mewujudkan gagasan inovatif kedalam dunia
nyata secara kreatif dalam rangka meraih sukses/meningkatkan pendapatan (Amperaningrum
& Ichyaudin, 2009).
Orang-orang yang memiliki kreativitas dan inovasi yang tinggi dalam hidupnya. Secara
epistimologis, sebenarnya kewirausahaan hakikatnya adalah suatu kemampuan dalam berpikir
kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber daya, tenaga penggerak, tujuan,
siasat dan kiat dalam menghadapi tantangan hidup. Seorang wirausahawan tidak hanya dapat
berencana, berkata-kata tetapi juga berbuat, merealisasikan rencana-rencana dalam pikirannya
ke dalam suatu tindakan yang berorientasi pada sukses. Maka dibutuhkan kreatifitas, yaitu
pola pikir tentang sesuatu yang baru, serta inovasi, yaitu tindakan dalam melakukan sesuatu
yang baru.
Beberapa konsep kewirausahaan seolah identik dengan kemampuan para wirausahawan
dalam dunia usaha (business). Padahal, dalam kenyataannya, kewirausahaan tidak selalu
identik dengan watak/ciri wirausahawan semata, karena sifat-sifat wirausahawan pun dimiliki
oleh seorang yang bukan wirausahawan. Wirausaha mencakup semua aspek pekerjaan, baik
karyawan swasta maupun pemerintahan (Soeparman Soemahamidjaja, 1980 dalam
Amperaningrum & Ichyaudin, 2009).
Wirausahawan adalah mereka yang melakukan upaya-upaya kreatif dan inovatif dengan
jalan mengembangkan ide, dan meramu sumber daya untuk menemukan peluang (opportunity)
dan perbaikan (preparation) hidup (Prawirokusumo, 1997 dalam Amperaningrum &
Ichyaudin, 2009). Kewirausahaan (entrepreneurship) muncul apabila seseorang individu
berani mengembangkan usaha-usaha dan ide-ide barunya. Proses kewirausahaan meliputi
semua fungsi, aktivitas dan tindakan yang berhubungan dengan perolehan peluang dan
penciptaan organisasi usaha (Suryana, 2001 dalam Amperaningrum & Ichyaudin, 2009 ).
Esensi dari kewirausahaan adalah menciptakan nilai tambah di pasar melalui proses
pengkombinasian sumber daya dengan cara-cara baru dan berbeda agar dapat bersaing.
Menurut Zimmerer (1996) dalam Amperaningrum & Ichyaudin (2009), nilai tambah
tersebut dapat diciptakan melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Pengembangan teknologi baru (developing new technology)
2. Penemuan pengetahuan baru (discovering new knowledge)
16
3. Perbaikan produk (barang dan jasa) yang sudah ada (improving existing products or
services)
4. Penemuan cara-cara yang berbeda untuk menghasilkan barang dan jasa yang lebih
banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit (finding different ways of providing
more goods and services with fewer resources)
Walaupun di antara para ahli ada yang lebih menekankan kewirausahaan pada peran
pengusaha kecil, namun sifat inipun sebenarnya dimiliki oleh orang-orang yang berprofesi di
luar wirausahawan. Jiwa kewirausahaan ada pada setiap orang yang menyukai perubahan,
pembaharuan, kemajuan dan tantangan, apapun profesinya. Dengan demikian, ada enam
hakekat pentingnya kewirausahaan dengan penjelasan sebagai berikut (Amperaningrum &
Ichyaudin, 2009).
1. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan
sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses dan hasil bisnis (Ahmad
Sanusi, 1994 dalam Amperaningrum & Ichyaudin, 2009)
2. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang dibutuhkan untuk memulai sebuah usaha dan
mengembangkan usaha (Soeharto Prawiro, 1997 dalam Amperaningrum &
Ichyaudin, 2009)
3. Kewirausahaan adalah suatu proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru (kreatif)
dan berbeda (inovatif) yang bermanfaat dalam memberikan nilai lebih.
4. Kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan
berbeda (Drucker, 1959 dalam Amperaningrum & Ichyaudin, 2009)
5. Kewirausahaan adalah suatu proses penerapan kreatifitas dan keinovasian dalam
memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan
usaha (Zimmerer, 1996 dalam Amperaningrum & Ichyaudin, 2009)
6. Kewirausahaan adalah usaha menciptakan nilai tambah dengan jalan
mengkombinasikan sumber-sumber melalui cara-cara baru dan berbeda untuk
memenangkan persaingan.
Untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka setiap orang memerlukan ciri-ciri
dan juga memiliki sifat-sifat dalam kewirausahaan. Ciri-ciri seorang wirausaha adalah: (a)
percaya diri; (b) berorientasikan tugas dan hasil; (c) pengambil risiko; (d) kepemimpinan; (d)
keorisinilan; (e) berorientasi ke masa depan; dan (f) jujur dan tekun (Wikipedia, 2012)
17
Sifat-sifat seorang wirausaha adalah sebagai berikut (Wikipedia, 2012).
1. Memiliki sifat keyakinan, kemandirian, individualitas, optimisme.
2. Selalu berusaha untuk berprestasi, berorientasi pada laba, memiliki ketekunan dan
ketabahan, memiliki tekad yang kuat, suka bekerja keras, energik ddan memiliki
inisiatif.
3. Memiliki kemampuan mengambil risiko dan suka pada tantangan.
4. Bertingkah laku sebagai pemimpin, dapat bergaul dengan orang lain dan suka
terhadap saran dan kritik yang membangun.
5. Memiliki inovasi dan kreativitas tinggi, fleksibel, serba bisa dan memiliki jaringan
bisnis yang luas.
6. Memiliki persepsi dan cara pandang yang berorientasi pada masa depan.
7. Memiliki keyakinan bahwa hidup itu sama dengan kerja keras.
Bertolak dari ciri dan sifat watak seorang wirausahawan dapat diidentifikasi sikap
seorang wirausahawan yang dapat diangkat dari kegiatannya sehari-hari, sebagai berikut
(Wikipedia, 2012)
1. Disiplin
Dalam melaksanakan kegiatannya, seorang wirausahawan harus memiliki kedisiplinan
yang tinggi Arti dari kata disiplin adalah ketepatan komitmen wirausahawan terhadap tugas
dan pekerjaannya. Ketepatan yang dimaksud bersifat menyeluruh, yaitu ketepatan terhadap
waktu, kualitas pekerjaan, sistem kerja dan sebagainya. Ketepatan terhadap waktu, dapat
dibina dalam diri seseorang dengan berusaha menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu
yang direncanakan. Sifat sering menunda pekerjaan dengan berbagai macam alasan, adalah
kendala yang dapat menghambat seorang wirausahawan meraih keberhasilan Kedisiplinan
terhadap komitmen akan kualitas pekerjaan dapat dibina dengan ketaatan wirausahawan akan
komitmen tersebut. Wirausahawan harus taat azas. Hal tersebut akan dapat tercapai jika
wirausahawan memiliki kedisiplinan yang tinggi terhadap sistem kerja yang telah ditetapkan.
Ketaatan wirausahawan akan kesepakatan-kesepakatan yang dibuatnya adalah contoh dari
kedisiplinan akan kualitas pekerjaan dan sistem kerja.
18
2. Komitmen Tinggi
Komitmen adalah kesepakatan mengenai sesuatu hal yang dibuat oleh seseorang, baik
terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Dalam melaksanakan kegiatannya, seorang
wirausahawan harus memiliki komitmen yang jelas, terarah dan bersifat progresif (berorientasi
pada kemajuan). Komitmen terhadap dirinya sendiri dapat dibuat dengan identifikasi cita-cita,
harapan dan target-target yang direncanakan dalam hidupnya. Sedangkan contoh komitmen
wirausahawan terhadap orang lain terutama konsumennya adalah pelayanan prima yang
berorientasi pada kepuasan konsumen, kualitas produk yang sesuai dengan harga produk yang
ditawarkan, penyelesaian bagi masalah konsumen, dan sebagainya.Seorang wirausahawan
yang teguh menjaga komitmennya terhadapkonsumen, akan memiliki nama baik di mata
konsumen yang akhirnya wirausahawan tersebut akan mendapatkan kepercayaan dari
konsumen, dengan dampak pembelian terus meningkat sehingga pada akhirnya tercapai target
perusahaan yaitu memperoleh laba yang diharapkan.
3. Jujur
Kejujuran merupakan landasan moral yang kadang-kadang dilupakan oleh seorang
wirausahawan Kejujuran dalam berperilaku bersifat kompleks Kejujuran mengenai
karakteristik produk (barang dan jasa) yang ditawarkan, kejujuran mengenai promosi yang
dilakukan, kejujuran mengenai pelayanan purnajual yang dijanjikan dan kejujuran mengenai
segala kegiatan yang terkait dengan penjualan produk yang dilakukan olehwirausahawan.
4. Kreatif dan Inovatif
Untuk memenangkan persaingan, maka seorang wirausahawan harus memiliki daya
kreativitas yang tinggi.
Daya kreativitas tersebut sebaiknya dilandasi oleh cara berpikir yang
maju, penuh dengan gagasan-gagasan baru yang berbeda dengan produk-produk yang telah
ada selama ini di pasar Gagasan-gagasan yang kreatif umumnya tidak dapat dibatasi oleh
ruang, bentuk ataupun waktu Justru seringkali ide-ide jenius yangmemberikan terobosan-
terobosan baru dalam dunia usaha awalnya adalah dilandasi oleh gagasan-gagasan kreatif yang
kelihatannya mustahil
19
5. Mandiri
Seseorang dikatakan mandiri apabila orang tersebut dapat melakukan keinginan
dengan baik tanpa adanya ketergantungan pihak lain dalammengambil keputusan atau
bertindak, termasuk mencukupi kebutuhan hidupnya, tanpa adanya ketergantungan dengan
pihak lain Kemandirian merupakan sifat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang
wirausahawan Pada prinsipnya seorang wirausahawan harus memiliki sikap mandiri dalam
memenuhi kegiatan usahanya.
6. Realistis
Seseorang dikatakan realistis bila orang tersebut mampu menggunakan fakta/realita
sebagai landasan berpikir yang rasional dalam setiap pengambilan keputusan maupun
tindakan/ perbuatannya. ]Banyak seorang calon wirausahawan yang berpotensi tinggi, namun
pada akhirnya mengalami kegagalan hanya karena wirausahawan tersebut tidak realistis,
obyektif dan rasional dalam pengambilan keputusan bisnisnya. Karena itu dibutuhkan
kecerdasan dalam melakukan seleksi terhadap masukan-masukan/ sumbang saran yang ada
keterkaitan erat dengan tingkat keberhasilan usaha yang sedang dirintis.
20
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Penerapan IPTEKS dengan Kajian Ergo-entrepreneurship
Karakteristik kuliner yang dijajakan dan kondisi lingkungan kerja yang menyertai
pedagang kuliner saat beraktivitas dapat dicermati pada Tabel 3.1 dan 3.2.
Tabel 3.1. Karakteristik Kuliner yang Dijajakan (n = 15)
No Variabel Persentase
1 Berupa makanan tradisional 73,3%
2 Makanan khas desa setempat 40,0%
3 Dimasak sendiri oleh pedagang 73,3%
4 Tidak menggunakan penyedap rasa 46,7%
5 Bahannya berasal dari pasar desa setempat 86,7%
6 Memasak langsung di tempat berjualan 53,3%
Tabel 3.2. Kondisi Lingkungan di Sekitar Tempat Berjualan (n = 15)
No Variabel Keterangan
1 Areal parkir seluas 15 x 40 m Cukup memadai
2 Ada tempat beristirahat berupa bale sakenem(6x4m) Cukup nyaman untuk lesehan
3 Akses menuju kuliner sangat lancar Di pinggir jalan protokol
4 Tempat menyimpan rombong/ meja Di gedung serba guna atau di
sekitar kantor desa
5 Kebersihan areal Terjamin, karena ada petugas
kebersihan
6 Pengaturan parkir Dilakukan oleh seorang tukang
parkir
7 Keberadaan lalat, kecoa, dan tikus Diatasi dengan menutup atau
menggunakan rak kaca
8 Keberadaan debu terpaan angin Diatasi dengan menyiram areal
sebelum kuliner dibuka
9 Terpaan sinar matahari Diatasi dengan penambahan atap
pada rombong
10 Penanganan limbah kuliner Diatasi dengan membuang
limbah di tempat yang jauh dari
areal kuliner
11 Penggunaan detergen untuk mencuci piring dan
peralatan lainnya
Dapat diminimalkan dengan
memanfaat inke beralaskan daun
pisang sebagai wadah makanan
12 Lokasinya di sekitar Gedung Serba Guna Jika ada kegiatan di gedung
tersebut akan menambah jumlah
pembeli
21
Penerapan IPTEKS dalam pengabdian masyarakat yang berupaya untuk memfasilitasi
antara pedagang kulner lokal dengan akademisi terkait dengan sikap kewirausahaan pedagang
dan mekanisme pemasaran dinilai cukup berhasil. Hasil yang dicapai dalam kegiatan
pengabdian masyarakat bertajuk penerapan IPTEKS melalui pelatihan ergo-entrepreneurship
untuk mengembangkan sikap kewirausahaan pedagang kuliner di Desa Peliatan Ubud Gianyar
Bali dapat dicermati Tabel 3.3 dan 3.4.
Tabel 3.3. Hasil Analisis Deskriptif Penerapan IPTEKS dengan Kajian Ergo-
entrepreneurship
No Kegiatan Penerapan IPTEKS Hasil yang Dicapai
1 Identifikasi dan
Pemecahan Masalah
Ergonomi
a. Kondisi kerja
secara umum
Melalui kajian ergonomi
ditelusuri kondisi kerja yang
berpotensi memunculkan
penyakit akibat kerja dan
berdampak kepada
keberlanjutan usaha kuliner
Ditemukan penyakit akibat
kerja, khususnya sakit
pinggang, punggung, dan
bahu pada pekerja setelah
meraka berjualan kurang
lebih 4 jam. Ini diatasi dengan
penyedian tempat duduk bagi
pedagang yang sewaktu-
waktu bisa dimanfaatkan
untuk istirahat pendek ketika
belum ada pembeli.
b. Kondisi lingkungan
di tempat kerja
Disosialisasikan tentang
prinsip-prinsip lingkungan
kerja yang ergonomis (aman,
nyaman, dan sehat) serta cara
mengaplikasikan ergonomi
dalam mengatasi kondisi
lingkungan yang berisiko
memunculkan penyakit akibat
kerja dan berdampak kepada
animo masyarakat untuk
berkunjung ke lokasi kuliner
Setelah dijelaskan melalui
pelatihan tentang kondisi
lingkungan kerja yang
ergonomis, para pedagang
secara proaktif mengikuti
saran tersebut, akan tetapi
masih ada yang belum
konsisten melaksanakannya
terutama yang berkaitan
dengan pengelolaan sampah.
Di samping itu penanganan
terhadap debu di sekitar areal
kulner juga sering luput dari
perhatian pedagang. Kedua
masalah lingkungan tersebut
ditangani dengan
mempekerjakan petugas
kebersihan di areal tersebut
22
yang digaji oleh para
pedagang kuliner.
c. Organisasi kerja Disosialisasikan tentang
penerapan organisasi kerja
yang mengacu kepada
pendekatan ergonomik
partisipatori.
Mulai terbentuk organisasi
kerja dengan struktur
organisasi yang jelas. Struktur
organisasi ini sering
dimanfaatkan di dalam
penggalian dana melalui
bantuan sosial (bansos). Di
samping itu dengan
terbentuknya organisasi kerja
yang mantap, mekanisme
pemasaran semakin jelas
apalagi sudah dirintis
kerjasama dengan event
organizer yang
menyelenggaran kegiatan di
sekitar lokasi kuliner
2 Diskusi interaktif
dalam menelusuri
kendala yang
dijumpai dan
alternatif solusinya
terkait dengan
aplikasi ergonomi
Secara partisipatori semua
stakeholders yang terkait
diajak berdiskusi, sehingga
kendala yang ada betul-betul
merupakan kendala bersama
dan alternatif solusi yang
ditawarkan merupakan hasil
pemikiran bersama
Ditemukan kendala dalam
pengembangan sikap
kewirausahaan yaitu: (a)
kurang inovasi dalam
pengembangan kuliner; (b)
disiplin kerja belum
memadai, karena pedagang
sering tidak berjualan
sehingga pelanggan kabur; (c)
kurang tahan banting dalam
menghadapi pemasaran yang
tidak lancar; (d) belum
menyadari bahwa pelayanan
prima (customer services)
adalah kunci sukses
pedagang; dan (e) belum
berani menambah modal
usaha melalui pinjaman; dan
(f) belum berani menambah
jumlah dagangan saat ada
event-event tertentu. Kendala
ini dibahas bersama saat
pelatihan dan dicarikan solusi
melalui pendekatan
partisipatori yang mengacu
kepada kemampuan dan
kemauan serta kesiapan
pedagang untuk
23
mengembangkan usahanya.
3 Pelatihan singkat
penyusunan action
plan (rencana tindak)
Setelah dipilah dan dipilih
permasalahan yang
teridentifikasi dan berorientasi
kepada kendala yang ada,
dilakukan pelatihan membuat
rumusan action plan yang
mengacu kepada unsur 5 W, 2
H, dan 1 R (what: apa yang
akan dikerjakan); why:
mengapa itu yang dikerjakan;
when: kapan
dikerjakan; who: siapa yang
mengerjakan: where: dimana
dikerjakan; How: bagaimana
caranya; How much: berapa
biayanya; dan Regulation: apa
dasar hukum atau peraturan
yang digunakan
Melalui pembinaan yang
intensif dan pembuatan pola
sederhana dalam membuat
rencana aksi, para pekerja
menyadari bahwa apapun
yang mereka rencanakan
wajib ditulis atau
didokumentasinya dalam
sebuah catatan sehingga bisa
digunakan sebagai acuan di
dalam bertindak atau bisa
dimanfaatkan untuk evaluasi
hasil kegiatan
4 Kerjasama dengan
pihak konsumen
Difasilitasi kerjasama
pemasaran dengan event
organizer yang memerlukan
kuliner
Kerjasama dengan event
organizer yang telah dirintis
adalah dengan EO Turnamen
Bola Voli yang melaksanakan
kegiatan selama satu bulan
dan EO Turnamen Bulu
Tangkis yang melaksanakan
kegiatan selama dua minggu
serta EO SEMARAK Peliatan
yang melaksanakan kegiatan
selama tujuh hari
5 Pemantauan
keberlanjutan usaha
kuliner
Selalu diupayakan kerjasama
mutualisme antara penghasil
produk kuliner dengan event
organizer yang memerlukan
produk tersebut
Keberjanjutan kerjasama
antara akademisi, event
organizer, dan pedagang
kuliner tampaknya cukup
menjanjikan mengingat
antusiasme pedagang untuk
mengembangkan sikap
kewirausahaannya cukup
memadai.
24
Tabel 3.4. Hasil Uji Beda Sikap Kewirausahaan Pedagang Kuliner antara Sebelum dan
Sesudah Pelatihan (n = 15)
No Variabel Periode I
(Sebelum Pelatihan)
Periode II
(Sesudah Pelatihan)
Nilai t Nilai p
Rerata SB Rerata SB
1 Sikap
kewirausahaan
pedagang
56,22 4,01 61,60 4,04 6,282 0,0001
SB: Simpangan Baku
Hasil pemantauan terhadap kondisi kerja pedagang kuliner di Desa Peliatan,
Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar dapat dilihat pada Gambar 3.1, 3.2 dan 3.3.
Gambar 3.1. Suasana Kuliner di Alun-alun Desa Peliatan
25
Gambar 3.2. Barang Dagangan yang Dijajakan Kuliner di Alun-alun Desa Peliatan
Gambar 3.3. Suasana Kuliner saat Ada Turnamen Bola Voli
26
3.2 Pembahasan
3.2.1 Karakteristik Kuliner
Karakteristik kuliner yang ada di Desa Peliatan adalah: (a) menjajakan makanan
tradisional dilakukan oleh 73,3% pedagang; (b) menjajakan makanan khas desa setempat
dilakukan oleh 40,0% pedagang; (c) memasak sendiri makanan yang dijajakan dilakukan oleh
73,3%; (d) tidak menggunakan penyedap rasa dilakukan oleh 46,7% pedagang; (e)
menggunakan bahan baku dari pasar desa setempat dilakukan oleh 86,7% pedagang; dan (f)
memasak langsung di tempat berjualan dilakukan oleh 53,3% pedagang. Dilihat dari persenase
tersebut tampaknya kuliner di desa tersebut cenderung menjajakan makanan tradisional yang
dibuat sendiri oleh pedagang dengan menggunakan bahan baku yang dibeli di pasar desa
setempat. Kondisi tersebut tampaknya perlu dipertahankan agar makanan-makan khas Bali
tetap lestari dan semakin digemari oleh masyarakat. Di samping itu ditemukan bahwa hanya
46,7% saja yang tidak menggunakan penyedap rasa. Ditinjau dari unsur kesehatan tampaknya
hal itu perlu ditanggulangi sesegera mungkin agar tidak menimbulkan dampak negatif
terhadap kesehatan konsumen.
Makanan khas desa setempat yang dijajakan adalah topot, jaja kukus, tipat santok,
betutu, daluman, cendol, loloh, tipat sate, tahu basa lalah, jukut mebejek, pesan celengis, pesan
kakul, pesan lindung, bubuh basa nyuh, jaja giling-giling, dan lain-lain. Barang dagangan
tersebut sangat khas dinilai dari cara pembuatannya, cara penyajiannya, dan bumbu yang
digunakan. Kekhasan ini membuat para pelanggan wajib datang ke tempat tersebut karena di
tempat lain tidak ditemukan makanan khas seperti itu. Kondisi inilah yang membuat para
pedagang yakin bahwa dagangannya akan dicari oleh para pelanggan.
Keunikan makanan tersebut tentu berpotensi untuk dikembangkan dan dipasarkan
secara lebih luas dan dapat memotivasi para pedagang untuk berwirausaha lebih lanjut.
Sutajaya & Gunamantha (2014) melaporkan bahwa melalui pemberdayaan pedagang kuliner
mengakibatkan: (a) munculnya semangat baru bagi pedagang kuliner yang sebelumnya sempat
tidak percaya diri untuk berbisnis di bidang tersebut; (b) munculnya kelompok pedagang
kuliner yang siap berjualan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh desa; (c) berhasil
dibuat tenda knock down yang bisa dibongkar pasang, karena areal yang dimanfaatkan untuk
usaha kuliner tersebut paginya digunakan sebagai tempat parkir; dan (d) usaha kuliner yang
dibangun tersebut menjadi sumber penghasilan baru bagi pihak desa.
27
3.2.2 Kondisi Lingkungan di Areal Kuliner
Kondisi lingkungan di areal kuliner sangat menentukan keberlanjutan kuliner tersebut.
Dalam hal ini ditemukan bahwa: (a) areal parkir seluas 15 x 40 m dinilai cukup memadai
untuk 100 s.d. 150 orang pengunjung; (b) tersedianya tempat beristirahat berupa bale sakenem
(6x4m) diniilai cukup nyaman untuk lesehan atau sekadar untuk tempat duduk saat konsumen
menikmati hidangan yang disajikan; (c) akses menuju kuliner sangat lancar karena lokasinya
berada di pinggir jalan protokol; (d) tempat menyimpan rombong atau meja dimanfaatkan
gedung serba guna atau di sekitar kantor desa sehingga sangat efektif dan efisien saat
menyimpan peralatan tersebut; (e) kebersihan areal sangat terjamin, karena ada petugas
kebersihan yang selalu menjaga kebersihan di areal tersebut; (f) pengaturan parkir juga dinilai
cukup rapi, karena sudah dipekerjakan seorang tukang parkir yang cukup handal; (g)
keberadaan lalat, kecoa, dan tikus yang sering mengintai makanan yang dijajakan diatasi
dengan cara menutup atau menggunakan rak kaca; (h) keberadaan debu terpaan angin diatasi
dengan menyiram areal sebelum kuliner dibuka; (i) terpaan sinar matahari diatasi dengan
penambahan atap pada rombong; (j) penanganan limbah kuliner diatasi dengan membuang
limbah di tempat yang jauh dari areal kuliner; (k) penggunaan detergen untuk mencuci piring
dan peralatan lainnya dapat diminimalkan dengan memanfaat inke beralaskan daun pisang
sebagai wadah makanan; dan (l) dengan lokasi kuliner di sekitar Gedung Serba Guna
tampaknya sangat strategis karena mudah dijangkau dari segala penjuru dan jika ada kegiatan
di gedung tersebut akan menambah jumlah pembeli.
Kondisi lingkungan tersebut dinilai sangat memadai untuk pengembangan kuliner ke
arah yang lebih maju dan lebih mandiri. Dalam hal ini Adnyana (2013) melaporkan bahwa
kondisi lingkungan yang dipertimbangkan di dalam beraktivitas adalah suhu kering, suhu
basah, dan kelembaban relatif yang dipengaruhi oleh efek termal suatu peralatan. Suhu kering
yang menyertai para tukang banten saat beraktivitas adalah 29 s.d. 31o C dan suhu basahnya
adalah 27 s.d 29oC dengan kelembaban relatif 75 s.d 85%. Kondisi lingkungan tersebut dinilai
nyaman untuk beraktivitas sehingga tidak mengganggu produktivitas pekerja. Sutarja (2012)
melaporkan bahwa kenyamanan termal atau fisik lingkungan di tempat beraktivitas
dipengaruhi oleh temperatur, kelembaban relatif, kecepatan angin, pencahayaan, dan
kebisingan. Dalam hal ini ditemukan bahwa temperatur di tempat kerja berkisar antara 26,5
s.d. 31oC, kelembaban relatif berkisar antara 63 s.d 75%, dan kecepatan angin antara 0,03 s.d.
28
0,15 m per detik. Kondisi lingkungan dengan rentangan tersebut dinilai nyaman untuk
beraktivitas.
Di samping itu kondisi lingkungan biologis yang dinilai dari keberadaan lalat, kecoa,
dan tikus juga harus diperhatikan, karena dapat mengganggu kesehatan pembeli atau dapat
memunculkan kesan kumuh. Untuk itu disarankan agar tidak membuang limbah di sekitar
areal kuliner yang dapat mengundang binatang tersebut. Kondisi lingkungan secara fisik
seperti keberadaan debu yang dapat mengotori makanan juga perlu diperhatikan mengingat
areal kuliner berada di pinggir jalan protocol. Hamburan debu akibat terpaan angin atau akibat
laju kendaraan dapat mengotori makanan jika tidak ditanggulangi. Cara paling sederhana yang
dilakukann oleh ara pedagang kuliner adalah dengan jalan menyiram areal kuliner sebelum
kuliner dibuka. Ada juga yang sudah menggunakan rak kaca untuk menghindari paparan debu
tersebut.
Kondisi lingkungan secara kimiawi dilihat dari penggunaan deterjen untuk mencuci
piring dan peralatan kuliner. Hal ini ditanggulangi dengan menganjurkan kepada para
pedagang untuk menggunakan inke beralaskan daun pisang sebagai wadah makanan, sehingga
penggunaan deterjen untuk mencuci piring bisa diminimalkan. Pemanfaatan bahan penyedap
untuk menyedapkan rasa makanan juga termasuk kondisi lingkungan kimiawi yang dapat
mengganggu kesehatan pembeli. Hal ini ditanggulangi dengan sosialisasi bahaya yang
ditimbulkan oleh bahan penyedap yang mengandung monosodium glutamat (MSG) tersebut.
3.2.3 Sikap Kewirausahaan Pedagang Kuliner
Pada pengabdian ini ditemukan bahwa terjadi peningkatan yang signifikan sikap
kewirausahaan pedagang kuliner sebesar 9,57% antara sebelum dan sesudah pelatihan ergo-
entrepreneurship (p<0,05). Ini menandakan bahwa melalui pelatihan tersebut para pedagang
kuliner semakin termotivasi untuk mengembangkan usahanya. Di samping itu muncul
keberanian untuk berwirausaha. Dalam hal ini Sutajaya & Gunamantha (2014) melaporkan
bahwa terjadi peningkatan sikap kewirausahaan dilihat dari indikator: (a) produk kuliner
hanya dipasarkan di areal terbatas (22,2%); (b) usaha mencermati harga pasar (11,1%); (c)
kepedulian dengan harga pasar (38,9%); (d) usaha meningkatkan kualitas produk (0%); (e)
kecenderungan berusaha meningkatkan jumlah produk yang dihasilkan (66,7%); (f) usaha
meningkatkan jumlah dan kualitas produk (33,3%); (g) usaha memasarkan melalui pasar
29
tradisional di tempat lain (44,4%); (h) usaha memasarkan melalui pasar swalayan (22,2%); (i)
usaha untuk membuka toko kecil di kawasan wisata (22,2%); (j) usaha memasarkan produk
kuliner dengan harapan mendapat keuntungan yang lebih tinggi (11,1%); (k) keberanian
meminjam modal di LPD (27,8%); (l) usaha mengikuti kursus-kursus kewirausahaan (22,2%);
(m) usaha memperluas area pemasaran produk (22,2%); (n) usaha menawarkan produk kuliner
melalui rekanan dalam bidang pemasaran (5,6%); (o) usaha membeli produk kuliner dari
pedagang lain yang produknya berkualitas (27,8%); (p) usaha memenangkan persaingan di
pasaran (16,7%); (q) usaha sebagai penghasil produk sekaligus penjual (5,6%); (r) melakukan
diskusi dengan teman seprofesi (11,1%); (s) menjalin kerjasama dengan kelompok-kelompok
pedagang lainnya (11,1%); dan (t) usaha memperluas pemasaran ke pasar-pasar swalayan,
hotel, restoran, dan pihak lain (16,7%).
Sutajaya & Gunamantha (2014) juga melaporkan bahwa pelatihan yang dilakukan oleh
dua orang pakar kuliner yang sekaligus pakar ekonomi ternyata dapat mengubah sikap
kewirausahaan secara bermakna dimana terjadi peningkatan skor sikap kewirausahaan sebesar
41,59%. Ini menunjukkan bahwa para pedagang kuliner mulai termotivasi untuk menggeluti
bisnis tersebut. Di sisi lain tampak mereka semakin berani untuk menambah modal usaha
dengan harapan agar bisa ditingkatkan kuantitas produk. Upaya pemasaran melalui cara lain,
selain di areal yang disediakan pihak desa juga mulai tampak, karena 7 orang pedagang sudah
mulai memasang iklan bahwa mereka menerima pesanan.
Seirama dengan peningkatan sikap kewirausahaan tersebut diyakini berdampak
terhadap produktivitas pedagang. Itu bisa terjadi karena dengan semangat kewirausahaan
yang tinggi tentu akan berkorelasi positif terhadap peningkatan produk yang dijual dan pada
akhirnya omset penjualan akan meningkat. Ini tentu berdampak positif terhadap peningkatan
produktivitas kerja pedagang kuliner. Hal yang sama juga dilaporkan oleh: (1) Sudiajeng
(2010) melaporkan bahwa pemberdayaan pekerja melalui intervensi ergonomi pada organisasi
dan stasiun kerja dapat meningkatkan kinerja bengkel kayu dilihat dari peningkatan
produktivitas sebesar 87,50%, (2) Suardana (2012) melaporkan bahwa pendekatan ergonomi
dalam perancangan arsitektur meningkatkan kinerja pengguna bangunan dilihat dari
peningkatan ketelitian kerja sebesar 87,2% dan konstansi kerja sebesar 15,79%, (3) Wijaya
(2012) melaporkan bahwa penerapan manajemen kinerja klinik berbasis Tri Hita Karana
sebagai suatu pemberdayaan terhadap pekerja dapat meningkatkan kualitas kerja perawat dan
30
bidan di rumah sakit umum Bangli sebesar 43%, dan (4) Purnamawati (2013) melaporkan
bahwa pemberdayaan tukang benten melalui intervensi ergonomi dapat meningkatkan
efisiensi kerja tukang banten ngaben di Kota Denpasar, dilihat dari peningkatan produktivitas
sebesar 78%.
31
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Bertolak dari hasil analisis dan pembahasan yang dikaji berdasarkan literatur yang
relevan dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Penerapan IPTEKS melalui pelatihan ergo-entrepreneurship cukup memadai
dilakukan dilihat dari antusiasme pedagang kuliner untuk mengembangkan sikap
kewirausahaannya.
2. Penerapan IPTEKS melalui pelatihan ergo-entrepreneurship dapat meningkatkan
sikap kewirausahaan pedagang kuliner lokal secara bermakna sebesar 9,57% (p <
0,05).
4.2 Saran
Berdasarkan simpulan di atas, saran yang disampaikan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Kepada pedagang kuliner disarankan agar tetap menggunakan acuan ergo-
entrepreneurship dalam mengembangkan usahanya karena telah terbukti cukup
relevan untuk diaplikasikan.
2. Kepada aparat desa disarankan agar tetap mengembangkan kuliner local sebagai salah
satu ciri khas desa setempat.
3. Kepada dinas terkait hendaknya selalu memfasilitasi pengembangan kuliner di suatu
daerah mengingat usaha tersebut sangat potensial untuk menopang kehidupan
masyarakat.
32
DAFTAR PUSTAKA
Amperaningrum & Ichyaudin, 2009. Hakekat Kewirausahaan. [Cited 2012 September 10]
Available From http://adesyams.blogspot.com/2009/09/hakekat-kewirausahaan.html
Anonim, 2009, Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Berkelanjutan [Cited
2012 March 29] Available at
http://www.pemberdayaan.com/pembangunan/pemberdayaan-masyarakat-dan-
pembangunan-berkelanjutan.html.
Azadeh, A., Fam, M., Garakani,M.M. 2007. A Total Ergonomis Design Approach to Enhance
the Productivity in A Complicated Control System. Journal of Information Technology.
6 (7): 1036 – 1042.
Bakker, A.B., Schaufeli, W.B., Leiter, M.P. & Taris, T.W. 2008. Work Engagement: An
Emerging Concept in Occupational Health Psychology. Work and Strees Journal,
Vol.22. No. 3., 187-200.
Bakker, A.B. & Leiter, M.P. 2010. Where to Go from Here: Integration and Future Research
on Work Engagement; In: Bakker, A.B. & Leiter, M.P. Editor: Work Engagement, A
Handbook of Essential Theory and Research. New York: Psychology Press.
Bakker, A.B. 2010. Engagement and Job Crafting: Engaged Employees Create Their Own
Great Place to Work, In: Albrecht,S. Editor. Handbook of Employee Engagement
Perspectives, Issues, Researches and Practices. USA: Edward Elgar.
Bakker, A.B. Albrecht, S.L. & Leiter,M.P. 2011. Key Question Regarding Work Engagement,
European Journal of Work and Organizational Psychology. 20 (1), 4-28
Fam, M., Azadeh, A., Azam, A. 2007. Modeling an Integrated Health, Safety, and Ergonomis
Management System: Application to Power Plants. Journal of Res Health Sciences.
Vol 7 (2): 1 – 10.
Geriya. 2007. Konsep dan Strategi Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Penataan Lingkungan
Hidup di Bali. Denpasar: Universitas Udayana.
Limerick, L.B. Straker, L., Pollock, C. Dennis, G., Leveritt, S., Johnson, S. 2007.
Implementation of the Participative Ergonomis for Manual Tasks (PErforM)
Programme at Four Australian Underground Coal Mines. International Journal of
Industrial Ergonomis. Vol. 37, No. 2. February: 145 – 155.
Manuaba, A. 2008. Membangun Bali atau Membangun di Bali. Bali-HESG. Denpasar.
Muchtar, 2007. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Program Pengembangan Distrik (Kajian
Kebijakan dan Implementasinya di Provinsi Papua) Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Kesejahteraan Sosial. Vol.12.No.02, Mei-Agustus 2007.
Munaf, D.R., Suseno, T., Janu, R.I., Badar, A.M. 2008. Peran teknologi Tepat Guna untuk
Masyarakat Daerah Perbatasan. Jurnal Sosioteknologi No. 13 Tahun 7, April.
PLPBK, 2011. Pengembangan Potensi Seni dan Budaya Melalui Penataan Lingkungan
Permukiman Berbasis Komunitas sebagai Upaya untuk Meningkatkan Peluang Kerja
Bagi Warga Miskin di Desa Peliatan Ubud Gianyar Bali. PLPBK Desa Peliatan,
Kecamatan Ubud. Kabupaten Gianyar.
RPJM, 2011, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-DES) Desa Peliatan
Tahun 2011-2015. RPJM Desa Peliatan, Kec. Ubud. Kabupaten Gianyar.
Sarna, K. 2008. Pengembangan Bahan Ajar Biologi Berbasis Lokal Genius. Makalah
disampaikan dalam Seminar Jurusan Pendidikan Biologi Undiksha, Singaraja.
33
Shimazu, A. Miyanaka,D. Schaufeli,W.B. 2010. Work Engagement from A Culture
Perspective: In: Albrecht,S. editor. Handbook of Employee Engagement Perspectives,
Issue, Researches and Practices. USA: Edward Elgar
Sutajaya, I M. Ristiati, N.P, Setiabudi, G. I. 2009. Penerapan Ergonomi Berbasis Kearifan Lokal
untuk Meningkatkan Kualitas Kesehatan dan Produktivitas Pekerja di Industri Kecil. Laporan
Penelitan Strategis Nasional. Jurusan Pendidikan Biologi. F MIPA. UNDIKSHA.
Sutajaya, I M., & Ristiati, N.P. 2011. Perbaikan Kondisi Kerja Berbasis Kearifan Lokal yang
Relevan dengan Konsep Ergonomi untuk Meningkatkan Kualitas Kesehatan dan
Produktivitas Pematung di Desa Peliatan Ubud Gianyar. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Sains dan Humaniora ISSN 1979-7095. Volume 5, No.3, Desember
2011
Sutjana, I D.P. Sutajaya, I M., Purnawati, S. Adiamika, P, Tunas, K. Suardana, E, &
Swamardika, I.B.A. 2008. Preliminary Anthropometric Data of Medical Students for
Equipment Applications. Journal of Human Ergology Vol. 37. No 1.: 45 – 48.
Wikipedia, 2012. Kewirausahaan. [Cited 2012 September 10] Available at
http://id.wikipedia.org/wiki/Kewirausahaan
34
LAMPIRAN
Lampiran 1. Absensi Peserta Kegiatan
No Nama Tanda Tangan Peserta
1 Desak Made Mudawati
2 Ni Luh Kartikawati
3 Kadek Lebih
4 Ni Ketut Puji
5 Ni Wayan Sari
6 Ni Ketut Mertasari
7 Ni Nyoman Nila Armawati
8 Anak Agung Oka Sasih
9 Ni Made Darmi
10 Ni Ketut Ronen
11 Lasiati
12 Ni Made Ani
13 Ida Ayu Biang
14 Ni Wayan Sekar
15 Ni Kadek Jepun
35
Lampiran 2. Hasil Analisis Statistik Sikap Kewirausahaan Pedagang Kuliner Sebelum
dan Sesudah Pelatihan
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
SikapPI SikapPII
N 15 15
Normal Parameters(a,b) Mean 40.0556 56.7222
Std. Deviation 2.97978 3.44376
Most Extreme Differences
Absolute .124 .145
Positive .090 .107
Negative -.124 -.145
Kolmogorov-Smirnov Z .528 .614
Asymp. Sig. (2-tailed) .943 .845
a Test distribution is Normal. b Calculated from data. Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair 1 SikapPI - SikapPII
-16.66667 4.20084 .99015 -18.75570 -14.57764 -16.833 14 .000
36
Lampiran 3. Foto-foto Kegiatan
37
Lampiran 4. Peta Lokasi Daerah Sasaran
Peta Kawasan Wisata Peliatan yang Dijadikan Tempat Pengabdian Masyarakat berupa
Penerapan IPTEKS melalui Pelatihan Ergo-Entrepreneurship untuk Mengembangkan
Sikap Kewirausahaan Pedagang Kuliner
Sumber: http://www.google.co.id/search, diakses 23 Agustus 2014
Lokasi
Pengabdian