biologi konservasi laporan p2m -...
TRANSCRIPT
LAPORAN P2M
SOSIALISASI KONSERVASI HUTAN ADAT MELALUI PENDEKATAN
ERGOLOGI BERORIENTASI KEARIFAN LOKAL DI DESA TIGAWASA
KECAMATAN BANJAR, BULELENG
OLEH
PROF. DR. NYOMAN WIJANA, M.Si
PROF. DR. IBP. ARNYANA, M.Si
DR. IGAN. SETIAWAN, M.Si
DRS. SANUSI M, M.Pd
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2015
BIDANG PROGRAM : BIOLOGI
KONSERVASI
LEMBAR PENGESAHAN
a.Judul Program : Sosialisasi Konservasi Hutan Adat Melalui Pendekatan Ergologi
Berorientasi Kearifan Lokal di Desa Tigawasa Kecamatan Banjar, Buleleng
b. Jenis Program : Sosialisasi
c. BidangKegiatan :BiologiKonservasi
d. IdentitasPelaksana :
1. KetuaPelaksana :
- Nama : Prof. Dr. NyomanWijana, M.Si
- NIP : 196012311984031012
- NIDN : 0001126006
- Pangkat/Golongan : Pembina Utama/ IV e
- Alamat Kantor : Jalan Udayana Singaraja
- Alamat Rumah : Dusun Tegal Desa Sangsit, Kec. Sawan,
Buleleng
2. Anggota 1
- Nama : Prof. Dr. IBP. Arnyana, M.Si.
- NIP : 195812311986011005
- NIDN : 003111125821
- Pangkat/Golongan : Pembina Madya/IV d
- Alamat Kantor : Jalan Udayana Singaraja
- Alamat Rumah : BTN Banyuning Singaraja
2. Anggota 2
- Nama : Dr. IGAN Setiawan, M.Si
- NIP : 196107171986011003
- NIDN : 0017076102
- Pangkat/Golongan : Penata Tk I /IIId
- Alamat Kantor : Jalan Udayana Singaraja
- Alamat Rumah : Perumahan Banyuning Indah Blok B No. 46
Singaraja
2. Anggota 3
- Nama : Drs. Sanusi M, M.Pd
- NIP : 19584071983031001
- NIDN : 0019055701
- Pangkat/Golongan : Penata /IIIc
- Alamat Kantor : Jalan Udayana Singaraja
- Alamat Rumah : Singaraja
e. Biaya yang Diperlukan : Rp11.200.000,-
f. Lama Kegiatan : 12 Bulan
Daftar Isi
HalamanJudul ………………………………………………………………………… i
HalamanPengesahan…………………………………………………………………... ii
Bab I Pendahuluan
1.1 LatarBelakang……………………………………………………………………...
1.2 AnalisisSituasi……………………………………………………………………...
1.3 Identifikasi Dan RumusanMasalah………………………………………………...
1
3
6
Bab II KajianPustaka
2.1. VegetasiHutan……………………………………………………………………..
2.2. PendekatanErgologi……………………………………………………………….
2.3. KearifanLokal……………………………………………………………………..
2.4. TujuanKegiatan……………………………………………………………………
2.5. ManfaatKegiatan…………………………………………………………………..
7
8
17
18
19
Bab III MateridanMetodePelaksanaan
3.1. KerangkaPemecahanMasalah…………………………………………………….
3.2. RuangLingkupdanKeterbatasan………………………………………………….
3.3. KhalayakSasaran…………………………………………………………………..
3.4. Keterkaitan…………………………………………………………………………
3.5. MetodeKegiatan…………………………………………………………………...
20
20
21
21
22
Bab IV HasildanPembahasan
4.1. JumlahPeserta……………………………………………………………………..
4.2. AktivitasKegiatan ………………………………………………………………...
4.3. ProdukKegiatan……………………………………………………………………
24
24
25
Bab V Simpulandan Saran
5.1. Simpulan (sementara)……………………………………………………………...
5.2. Saran- saran………………………………………………………………………..
30
30
DaftarPustaka…………………………………………………………………………. 30
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penelitian yang telah dilakukan oleh Wijana (2013) adalah menggali tentang
biodiversity hutan yang ada di Desa Bali Aga khususnya Desa Tigawasa. Dari hasil kajian
tersebut dapat ditarik simpulan umum yaitu: (1) Hutan yang ada di desa Tigawasa masih
merupakan hutan primer; (2) Pola pengelolaan hutan di Desa Tigawasa mengacu pada
pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal, (3) komposisi spesies di hutan Desa Tigawasa
terdistribusi dalam ruang yang rapat dan mengelompok. Simpulan khusus yang mengarah
kepada parameter vegetasi yaitu 1) karakteristik spesies tumbuhan yang menyusun vegetasi
hutan adat yang ada di desa Tigawasa adalah sebanyak 24 spesies tumbuhan,2) Pola struktur
tegakan hutan adat yang ada di desa Tiga Wasa adalah berbentuk kurve J terbalik atau tipe L
atau tegakan tidak seumur; 3) indeks keanekaragaman spesies tumbuhan pada vegetasi hutan
adat yang ada di desa Tigawasa rata-rata 3,3829. Pola pengelolaan hutan adat di hutan desa
adat Tigawasa mengacu pada Dresta atau tradisi yang ada di desa tersebut.
Dengan melihat kondisi hutan yang ada di desa Bali Aga tersebut, perlu dilakukan
suatu bentuk kegiatan pelestraian hutan / bioconservation. Pelestarian dilakukan dengan
mengadakan sosialisasi konservasi melalui revegetasi atau reforestasi di Desa Tigawasa.
Pelestarian ini bertujuan untuk menjaga stabilitas vegetasi hutan adat yang ada di Desa
Tigawasa.
Isu sentral dalam kaitannya dengan revegetasi yang dilakukan oleh pemerintah,
pelaksanaannya di lapangan telah banyak mengalami kegagalan. Kegagalan terjadi akibat
kurang matangnya perencanaan, pelaksanaan, dan perawatan revegetasi tersebut. Dana yang
dikeluarkan, habis sedemikian rupa akibat dari mismanajemen. Tumbuhan yang ditanam di
daerah di mana revegetasi itu dilakukan, tidak dirawat sehingga tanaman tersebut mati.
Bahkan sering terjadi, tanaman yang digunakan untuk revegetasi adalah tanaman yang tidak
mempertimbangkan tumbuhan asli setempat, sehingga tanaman tersebut mengalahkan
tanaman aslinya.
Dalam pengabdian ini, pelaksanaan sosialisasi tentang pelestarian hutan adat dengan
menggunakan pendekatan ergologi berorientasi kearifan lokal. Hal ini dimaksudkan untuk
tetap mengangkat kearifan lokal yang ada di desa tersebut yang sudah bersifat familiarisme,
membudaya, dan menjadi kepercayaan yang merasuk sebagai jiwa hati.
Pendekatan ergologi adalah gabungan dari Ergonomi Total dan Ekologi. Ergonomi
Total mengkaji melalui konsep SHIP (sistemik, holistik, interdisiplin, dan partisipatori) dan
TTG (teknologi tepat guna). Kajian ini menekankan pada sikap, instrumen, dan lingkungan
(kerja) agar selaras dan harmonis serta nyaman untuk meningkatkan produktivitas kerja.
Ekologi mengkaji tentang lingkungan (abiotik, biotik dan culture) di mana lingkungan agar
senantiasa dalam keadaan equilibrium. Dengan demikian antara manusia dan lingkungannya
terjadi harmonisasi, kenyamanan. Konsep ini di dalam filosofi Hindu di Bali dikenal dengan
Tri Hita Karana. Artinya, kajian ergonomi dan ekologi yang dilakukan dilandasi oleh
kearifan lokal yang ada di desa tersebut. Keberhasilan tentang pengelolaan lingkungan
khususnya dalam pelestarian hutan, dengan menggunakan kearifan lokal telah berhasil
dilakukan di Desa Tenganan Pegeringsingan Kabupaten Karangasem-Bali (Wijana, 2000).
Sementara ini, belum ada bentuk pengabdian masyarakat yang terkait pola antara
program revegetasi atau reforestasi dengan penggunaan pendekatan ergologi berorientasi
kearifan lokal. Dengan demikian sangat dipandang perlu dan urgen untuk dilakukan
pengabdian masyarakatdalam bentuk sosialisasi implementasipendekatan ergologi
berorientasi kearifan lokal dalam konservasi hutan adat agar tercapai tujuan pelestarian hutan
dan harmonisasi kehidupan manusia dengan lingkungannya dapat tercapai.
1.2 Analisis Situasi
1.2.1 Tingkat Pendidikan
Data tingkat pendidikan masyarakat sampel Desa Tigawasa disajikan pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Tingkat Pendidikan Masyarakat Sampel di Desa Tigawasa
No Tingkat
Pendidikan
Desa Tigawasa
Jumlah(orang) Persentase (%)
1 Tidak Sekolah 2 6.67
2 SR/SD 13 43.34
3 SMP 9 30
4 SMA 2 6.67
5 Sarjana 4 13.33
Jumlah 30 100
Dari Tabel di atas tampak bahwa tingkat pendidikan masyarakat pada masing-
masing desa berbeda–beda yaitu pada Desa Tigawasa 6,67% tidak sekolah, 43,34%
bersekolah di sekolah rakyat (SR) atau sekolah dasar (SD), 30% memiliki pendidikan SMP,
6.67% memiliki pendidikan SMA, serta 13.33% memiliki pendidikan Sarjana Strata 1 (S1).
Pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan dan kepribadian seseorang. Orang yang
memiliki pendidikan yang lebih tinggi bermanfaat, karena baik dengan sengaja maupun tidak
sengaja menyebarluaskan pengetahuannya sewaktu mereka bergaul dalam masyarakat. Orang
yang memiliki jenjang pendidikan yang lebih tinggi juga lebih mudah memahami sikap orang
lain sehingga lebih menciptakan kerukunan di dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi semakin
tinggi pendidikan, maka semakin tinggi pula kecakapan seseorang untuk mengambil sikap
demi kelangsungan hutan yang ada di desa.
1.2.2 Tingkat Penghasilan
Tingkat penghasilan selama satu bulan Masyarakat sampel Desa Tigawasa dapat
dilihat pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2 Rekapitulasi Tingkat Penghasilan Selama Satu Bulan Masyarakat Desa
Tigawasa
No Tingkat Penghasilan Desa Tigawasa
Jumlah(orang) Persentase (%)
1 <1.000.000. 21 70
3 1.000.000. 4 13.33
4 > 1.000.000 5 16.67
Jumlah 30 100
Dari Tabel 1.2 tampak bahwa tingkat penghasilan masyarakat Desa Tigawasa 70%
warga berpenghasilan lebih kecil dari Rp.1.000.000, 13,33% berpenghasilan sebesar
Rp.1.000.000 dan 16,67% memiliki penghasilan > Rp.1.000.000. Semakin tinggi
penghasilan maka kepedulian terhadap hutan juga semakin tinggi, sehingga warga
masyarakat yang sudah sukses atau memiliki penghasilan lebih, sering menyumbangkan bibit
untuk konservasi.
1.2.3 Peran Pemerintah Dalam Konservasi
Peran pemerintah terhadap keberlangsungan hidup hutan yang ada di desa Tigawasa
secara umum dapat dinyatakan bahwa :
1. Pemerintah belum menyentuh secara keseluruhan dalam pengelolaan kondisi hutan
yang ada di desa tersebut. Hal ini dapat terlihat dari kondisi hutan yang ada di Desa
Tigawasa belum pernah dilakukan, sehingga masyarakat sangat membutuhkan tentang
pengetahuan dan pengelolaan yang terkait dengan hutan;
2. Pemberian bibit untuk konservasi di desa tersebut kurang mempertimbangkan konsep
in-situ dan ex-situ. Pemerintah hanya memberikan bibit tumbuhan sebatas
penyelesaian “proyek” sesuai dengan tahun anggaran;
3. Penghargaan terhadap upaya pelestarian hutan yang dilakukan oleh masyarakat yang
ada di Desa Tigawasa, belum pernah dilakukan. Hal ini sangat penting sebagai
“reward” yang diberikan kepada masyarakat untuk termotivasi dalam melaksanakan
konservasi.
4. Kondisi jalan yang sangat rusak untuk menuju ke Desa Tigawasa dan yang menuju ke
hutan di dusun Cangkongan, sebagai pertanda kekurangpedulian pemerintah terhadap
semangat masyarakat dalam melaksanakan konservasi.
1.2.4 Kendala dan Solusi Dalam Konservasi
Kendala-kendala yang dialami masyarakat Tigawasa dalam konservasi dapat
diktiarkan dalam Tabel 1.3.
Tabel 1.3 Kendala-kendala yang Dialami dan Solusi yang Dianjurkan
Dalam Konservasi di Hutan Desa Tigawasa
NO KENDALA DESA TIGAWASA SOLUSI
1 Kesadaran Kesadaran masyarakat
Tigawasa tinggi untuk
melakukan konservasi.
Peningkatan kesadaran
masyarakat melalui Pendekatan
Ergologi
2 Pengetahuan Pengetahuan masyarakat
tentang konservasi masih
rendah
Peningkatan pengetahuan
masyarakat melalui Pendekatan
Ergologi
3 Penyuluhan Penyuluhan yang terkait
dengan konservasi belum
pernah dilakukan
Pemerintah dan akademisi perlu
melakukan penyuluhan
4 Gotong Royong Gotong yang dilakukan oleh
masyarakat, baik dalam
menjaga kebersihan
Untuk masyarakat Tigawasa,
kegiatan gotong royong perlu
dipertahankan dan lebih
lingkungan maupun dalam
menjaga kelestarian hutan
tidak mengalami kendala yang
berarti
ditingkatkan lagi.melalui
Pendekatan Ergologi
5 Kondisi Lahan Kondisi lahan di kawasan
hutan tidak sebagai kendala
yang berarrti.
Dilaksanakan revegetasi dengan
memperhatikan kondisi lahan.
Revegetasi dilaksanakan pada
musim hujan dengan Pendekatan
Ergologi
6 Kondisi Vegetasi Pemanfaatan tumbuhan lokal
dan asli dari hutan tersebut
untuk kepentingan revegetasi
belum pernah dilakukan
Untuk meningkatkan populasi
spesies tumbuhan di dalam
ekosistem hutan, perlu dilakukan
revegetasi yang didahului dengan
pembibitan dengan menggunakan
konsep in-situ. Untuk itu perlu
dilakukan pembibitan dengan
mengambil benih dari hutan yang
ada di desa tersebut.
1.3 Identifikasi dan Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, masalah yang dapat diidentifikasi adalah perlunya dilakukan
sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan konservasi hutan adat yang ada di desa
Tigawasa. Perlu dicari suatu bentuk pendekatan yang digunakan untuk pengimplementasian
dari sosialisasi tersebut. Perlunya dilakukan antisipasi terhadap kerusakan hutan di masa
mendatang. Oleh karenanya diperlukan suatu tindakan untuk menjaga kelestarian hutan adat
yang ada di Desa Tigawasa tersebut. Dalam pengabdian ini akan dirumuskan masalah yang
akan dilaksanakan :
1. Pentingnys sosialisasi konservasi hutan adat dengan pendekatan ergologi berbasis
kearifan lokal di Desa Tigawasa untuk dapat meningkatkan sikap konservasi
masyarakat yang ada di Desa Tigawasa tersebut.
2. Tindak lanjut yang dapat dilakukan oleh masyarakat setempat untuk tetap menjaga
kelestarian hutan adat yang ada di Desa Tigawasa tersebut.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Vegetas Hutan
Kerusakan hutan di Indonesia semakin menghawatirkan. Berdasarkan data yang ada
untuk tahun 2000 luas kerusakan hutan di Indonesia mencapai 54,65 juta ha yang terdiri dari
9,75 juta ha hutan lindung, 3,9 juta ha hutan konservasi, dan 41 juta ha hutan produksi.
Kerusakan lahan di luar kawasan hutan mencapai 41, 69 juta ha.
Data dari Dinas Kehutanan Propinsi Bali tahun 2002 menunjukkan bahwa dari luas
lahan 127.271,5 ha kawasan hutan yang ada kondisi tegakan/vegetasi hutannya yang masih
bagus seluas 56,06%, hutan bervegetasi belukar atau semak sebesar 25,55% dan sisanya
berupa hutan kritis atau sangat rawan sampai kosong adalah sebesar 18,39%. Ada 3 faktor
penyebab kerusakan hutan di Bali yakni kebakaran, penebangan liar, dan pembibrikan.
Kebakaran hutan tahun 2002 mencapai 544,19 ha; penebangan liar 83,17 m3/th; dan
pembibrikan mencapai 5.245, 77 ha (Adnyana dan Suwarna, 2007).
Perambahan hutan terus berjalan hingga tahun 2011 (Bali Post, 7 Maret 2011), dan
bahkan ada kejadian yang cukup menarik yakni masyarakat yang peduli akan kelestarian
hutan ditembak pada saat orang tersebut melakukan penghijauan di tengah hutan pemerintah
(Bali Post, 12 April 2011). Fenomena lain yang hangat menjadi warta di media cetak adalah
meluapnya air Danau Buyan dan Danau Tamblingan sampai merendam pemukiman
penduduk, tempat wisata, dan lahan pertanian masyarakat sekitar. Hal ini diprediksi akibat
terjadinya alih fungsi lahan yakni dari ekosistem hutan menjadi ekosistem pemukiman dan
pertanian (Bali Post, 11 dan 13 April 2011).
Sebagaimana kerusakan hutan yang telah terjadi di Indonesia umumnya dan Bali
khususnya, telah dilakukan revegetasi atau reforestasi. Namun keberhasilan dari pelaksanaan
aktivitas ini kurang berhasil. Beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan dalam pelaksana
anrevegetasi tersebut di antaranya :
1. Pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tentang revegetasi atau reforestasi masih
sangat terbatas;
2. Pemahaman jenis tanaman yang akan ditanam dan digunakan untuk pelaksanaan
revegetasi atau reforestasi masih sangat rendah;
3. Pemahaman tentang kondisi lingkungan, di mana revegetasi atau reforestasi akan
dilakukan, belum dipahami secara komprehensif;
4. Sumber daya lingkungan yang ada di sekitar lokasi di mana revegetasi atau reforestasi
akan dilaksanakan, yang berkontribusi terhadap keberhasilan revegetasi atau reforestasi,
belum dipahami secara menyeluruh, masih bersifat partial;
5. Sumber daya manusia yang ada di sekitar lokasi di mana revegetasi itu dilakukan, belum
dilibatkan secara total;
6. Kaidah-kaidah ilmiah tentang ekologi vegetasi terutama terkait dengan parameter
vegetasi belum dipahami secara menyeluruh;
7. Biaya yang dianggarkan untuk revegetasi atau reforestasi sering tidak tepat sasaran; dan
8. Pemerintah belum membuat pertimbangan yang matang mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi program.
Dengan melihat factor kegagalan di atas, maka perlu dicarikan pola pelaksanaan
revegetasi atau reforestasi. Dalam penelitian ini akan diimplementasikan pemberdayaan
masyarakat dalam pengelolaan hutan (revegetasi, pemeliharaan dan pengamanan) melalui
pendekatan ergologi berorientasi kearifan lokal.
2.2 PendekatanErgologi
Pendekatan ergologi adalah suatu bentuk pendekatan yang menggabungkan antara
ergonomi dengan ekologi. Dalam pendekatan ergonomi menggunakan kaidah-kaidah
ergonomi berupa SHIP (sistemik, holistik, interdisiplin, partisipasi) dan TTG (teknologi tepat
guna). Pendekatan ergonomi ini dikenal dengan pendekatan Ergonomi Total.
Pendekatan ergonomi total (PET) adalah suatu bentuk pendekatan dalam
pembelajaran dengan menggunakan kaidah-kaidah ergonomi berupa SHIP dan TTG sebagai
dasar acuan untuk memecahkan permasalahan pembelajaran yang dihadapi sehingga
efektivitas dapat tercapai, menimbulkan rasa nyaman bagi peserta didik, kondisi tubuh tetap
dalam keadaan sehat, dan efesiensi pada segala aspek dapat terrealisasi.
Teknologi tepat guna (TTG) di mana pendekatan ini terdiri atas enam aspek meliputi
aspek teknis, ekonomis, ergonomis, sosio-kultural, hemat energi dan tidak merusak
lingkungan. Manuaba (2004a; 2005b) menguraikan satu persatu dari sisi teknis, ekonomis,
ergonomis, sosio-kultural, hemat energi, dan tidak merusak lingkungan. Demikian pula dari
konsep SHIP diuraikan secara rinci dan aplikasinya dalam dunia pendidikan seperti di bawah
ini.
Aspek Teknologi Tepat Guna (TTG)
(1) Teknis
Secara teknis bisa dipertanggungjawabkan berarti bahwa melalui pendekatan holistik
teknik yang digunakan tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku, sesuai
dengan standar, bahan yang biasa dipakai, metode pembuatan, perlindungan proteksi, aspek
legal, masukan para spesialis, mudah dirawat, komponen yang biasa, daya tahan, dan
kemampuan daur ulang.
Dalam aplikasi konsep ini ke dalam dunia pendidikan khususnya dalam penelitian ini,
agar sesuai dengan kriteria yang sudah dijabarkan seperti di atas maka dalam pelaksanaan
pendidikan dan pelatihan menggunakan alat-alat sederhana yang bisa diperoleh dari
lingkungan sekitar. Hal ini bermakna sebagai konsep pemanfaatan bahan berorientasi daur
ulang. Secara teknis juga dimaksudkan pelibatan para ahli ergonomi yang dalam hal ini
dilakukan oleh peneliti sendiri yang memiliki bidang keilmuan ergonomi.
(2) Ekonomis
Secara ekonomis harus dikaji melalui pendekatan holistik sehingga keputusan akhir
sesuai dengan kebutuhan dan prioritas yang ada. Faktor yang harus diperhitungkan ada
keterkaitan dengan pasar, finansial, dan perbelanjaan, komponen biaya pengeluaran, jadwal
waktu, keuntungan bagi stakeholders, kompetisi, menyampaikan dan menual desain
pemecahan, besarnya pasar, demografi, tipe pasar, trend masa depan, kebijakan pelayanan,
dan perhitungan akan beban dan penyimpanan.
(3) Ergonomis
Secara ergonomis, prinsipnya harus bisa built-in masuk di dalam proses
desain/perencanaan, seperti memenuhi kebutuhan pengguna, pengetahuan tentang bukan
pengguna, profil pengguna, kebutuhan pemakai, kenyamanan pengguna, mudah digunakan,
pemeliharaan produk, kepuasan pengguna, produk dan pengguna serasi, konteks dari
penggunaan produk, prilaku pengguna, keamanan produk, tuntutan fisik pengguna, tuntutan
mental pada pengguna, instruksi pengguna, umpan balik pengguna.
Perbaikan kondisi lingkungan atau kondisi hutan yang mengalami kerusakan maka
dilakukan penanaman kembali atau revegetasi. Dalam pelaksanaan revegetasi ini tentu
memperhatikan cara dan aturan yang memenuhi kaidah-kaidah ergonomi.
(4) Sosio-Kultural
Secara sosio-kultural, teknologi tersebut harus dapat meliputi norma, nilai, kebiasaan,
keinginan, impian, agama, kepercayaan, kebutuhan pemakai. Produk hendaknya jangan
sampai menimbulkan kepada hal-hal atau problem yang kritis dan tabu untuk mereka,
aestetika, nilai yang kuat dan berkualitas harus diperhitungkan.
(5) Hemat Energi
Hemat akan energi berarti bahwa produk harus mempunyai kontribusi yang bermakna
terhadap prinsip pembangunan berlanjut dan tidak malahan menghancurkan keberadaannya.
Produk harus bisa secara efektif dan efesien berkontribusi kepada pembangunan berlanjut di
dalam rangka menggunakan listrik, air dan lahan. Dalam pelaksanaan pembelaran tidak
dibatasi oleh ruang tetapi dapat dilaksanakan di lapangan secara langsung. Pelaksanaan
pembelajaran di lapangan tentu memperhatikan energi metabolisme peserta pelatihan dengan
kelengkapan dari delapan aspek ergonomi.
(6) Tidak Merusak Lingkungan
Tidak merusak lingkungan atau melakukan pelestarian lingkungan, dimaksudkan agar
produk tidak memberikan sesuatu kepada lingkungannya, seperti kantong plastik, polusi ke
berbagai sasaran seperti lahan, sungai, air dan udara. Setiap emisi dari produk harus tidak
menyebabkan polusi sebagai polutan. Konsep terpenting dari aspek ini adalah terwujudnya
clean and green.
Aspek SHIP
(1) Sistemik
Pengertian sistem menurut Wignjosoebroto (2000) adalah sekelompok elemen-elemen
(sub-sistem) yang terorganisir dan memiliki fungsi yang berkaitan erat satu dengan lainnya
guna mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan sebelumnya.
Dari definisi sistem yang disampaikan oleh Wignjosoebroto sebagai pakar ergonomi
dapat dinyatakan bahwa sistem itu sebagai suatu kesatuan yang berstruktur di mana kesatuan-
kesatuan tersebut terdiri dari sejumlah komponen yang saling berpengaruh dan masing-
masing komponen mempunyai fungsi tertentu dan secara bersama-sama melaksanakan fungsi
struktur yaitu mencapai tujuan dari sistem itu sendiri.
(2) Holistik
Holistik berarti bahwa antara satu sistem dengan sistem lainnya pasti ada kaitannya,
jadi tidak bisa dilepaskan begitu saja (Manuaba, 2004; 2005). Sebagai suatu contoh hubungan
antar sistem ini yang holistik dapat dilihat kembali pada sistem manusia-mesin. Suatu sistem
akan terjadi dalam satu lingkungan dan perubahan-perubahan yang timbul dalam lingkungan
itu akan mempengaruhi sistem dan elemen-elemen sistem tersebut. Suatu sistem dapat dibagi
ke dalam sub sistem dan seterusnya. Dalam kaitannya dengan aktivitas manusia sebagai suatu
system akan dapat pula dibagi-bagi kedalam job operations (subsistem), job position (job-
subsistem), duties (komponen), task (unit-unit), subtask (parts), dan task elemen (behavioral
elements).
Mengacu pada konsep aplikasi holistik dalam dunia pendidikan, hal ini bermakna
bahwa dalam kegiatan belajar mengajar hendaknya antara penanaman konsep pada tatanan
teori (kognitif) dengan penanaman konsep pada tatanan praktikum (psikomotor) dan afektif
tidak bisa dilepaskan. Lebih lanjut, hal ini bermakna pula bahwa bila salah satu atau
ketiganya mengalami masalah atau diprediksi menimbulkan masalah maka harus dipecahkan
secara menyeluruh dan bukan secara partial.
(3) Interdisipliner
Interdisipliner berarti bahwa semua disiplin terkait harus diikutsertakan di dalam
menganalisis suatu permasalahan (Manuaba, 2004 c). Hal ini berarti bahwa manusia dengan
keterbatasannya tetapi memiliki kemampuan skill atau spesialisasi yang spesifik pada
masing-masing diri manusia yang berbeda-beda.
Lebih lanjut Manuaba (2004 d) menyampaikan bahwa dengan dimilikinya spesialisasi
di masing-masing unit kerja, bukan berarti masing-masing unit bekerja sendiri-sendiri akan
tetapi masing-masing unit membentuk team work dalam landasan kerja yang ergonomik.
Dalam team work, masing-masing skill yang mereka miliki dapat digunakan untuk
memecahkan masalah yang ada sesuai sudut pandang skill yang mereka miliki dengan tetap
mengacu pada tatanan kerja team work. Hasil yang diperoleh dari kerja team work yang
terdiri dari berbagai komponen skill tersebut adalah terbentuknya suatu sistem yang efektif,
efesien dan tidak ada sisa-sisa permasalahan atau yang diperkirakan dapat menimbulkan
permasalahan setelah sistem itu berjalan.
(4) Partisipasi
Partisipasi merupakan terlibatnya orang secara mental dan emosional di dalam satu
kelompok yang merangsang mereka untuk berkontribusi kepada tujuan kelompok dan berbagi
tanggung jawab untuk apa yang dihasilkannya (Manuaba, 1999a dan 1999b; Adiputra, dkk;
1977). Ada 3 ide penting di dalamdefinisiiniialahadanyaketerlibatan (involvement), kontribusi
(contribution) dantanggungjawab (responsibility).
Partisipasi berarti adanya keterlibatan mental dan emosional daripada hanya aktivitas
otot. Keterlibatan tidak hanya karena keterampilannya, tetapi lebih kepada orang tersebut
sendiri secara utuh. Keterlibatan ini merupakan proses psikologis dan tidak karena sekedar
ikut dalam tugas. Sibuk dengan pekerjaan dari mereka yang terlibat tidak selalu bisa disebut
sebagai partisipasi.
Dalam Ekologi menggunakan prinsip-prinsip ekologi. Pendekatan ini digunakan
sebagai dasar acuan untuk memecahkan permasalahan pembelajaran yang dihadapi sehingga
efektivitas dapat tercapai, menimbulkan rasa nyaman, kondisi tubuh tetap dalam keadaan
sehat, dan efesiensi pada segala aspek dapat terrealisasi.
Bila konsep Ergonomi dikaitkan dengan Ekologi sebagai dasar dari kajian lingkungan
maka integrasi tersebut dapat digambarkan seperti tampak pada Gambar 2.1.
Ekonomis ;Teknis ;Ergonomis ; Sosiobudaya ; Hemat energi ; Melindungi lingkungan.
EKOLOGIERGONOMI
TOTAL
MANAJEMEN/ PENGELOLAAN
SAMPAH
Mengurangi efek
negatif thd
manusia
SHIP TTG
Sistemik ;
Holistik ;
Interdisipliner ;
Partisipatori.
Siklus Biogeokimiawi
Carrying capacity
Sustainability
Gambar 2.1. Skema Ergologi sebagai Integrasi Antara
Ergonomi dan Ekologi (DiadopsidariSudiarno, dkk. 2012)
Antara Ergonomi dan Ekologi memiliki keterkaitan seperti tampak pada Gambar 2.
Ilmu yang mempelajari hubungan organisme - organisme/ kelompok organisme (komponen biotis), khususnya MANUSIA terhadap lingkungannya (komponen abiotis). Teori Ekologi juga menaruh perhatian pada pengelolaan lingkungan hidup akibat pencemaran.
ERGONOMI EKOLOGI
Ilmu yang mengarahkan penggunaan pengetahuan secara sistematis mengenai relevansi karakteristik MANUSIA dalam mencapai kesesuaian perancangan sistem interaksi antara manusia, peralatan/ perkakas, mesin, lingkungan, tugas, pekerjaan, sistem organisasi, kebijakan, dan keputusan sehingga dapat menjamin pecapaian tujuan secara spesifik. MANUSIA
Gambar 2.2 Keterkaitan antara Ergonomi dan Ekologi (Diadopsi dari Sudiarno, dkk. 2012)
Dalam upaya pengelolaan hutan, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya degradasi
dengan menggunakan pendekatan ergologi berorientasi kearifan lokal dapat digambarkan
seperti tampak pada Gambar 2.3.
UPAYA PENGELOLAAN
HUTAN
1. Waste Generation ;
2. Pewadahan sampah ;
3. Pengumpulan sampah ;
4. Pemindahan & pengangkutan ;
5. Pengolahan & pembuangan akhir.
ERGO
NOM
IS
ERGO
NOM
IS
AKTIVITAS
FUNGSIONAL &
FASILITAS
STAKEHO
LDER
PILIHAN
TEKNOLOGI
PEMBIAYAAN &
RETRIBUSI
LEGALITAS &
HUKUM
ASPEK MANAJEMEN/
PENGELOLAAN SAMPAH
<Sistemik - Holistik - Interdisipliner - Partisipatori>
1. Bak sampah ;
2. Gerobak sampah ;
3. Tempat Pembuangan Sementara ;
4. Truk pengangkut ;
5. Tempat Pembuangan Akhir.
AKTIVITAS FUNGSIONAL
FASILITAS
1. Mencegah ;
2. Minimalisasi ;
3. Penggunaan kembali ;
4. Daur ulang ;
5. Recovery energi ;
6. Pembuangan akhir.
1. Pemerintah ;
2. Masyarakat/ komunitas ;
3. Sektor swasta;
4. Perguruan tinggi/ peneliti.
1. APBD Kota ;
2. Retribusi kebersihan.1. Peraturan Pemerintah ;
2. Peraturan Daerah.
Gambar 3. Bagan Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Ergologi
(Diadopsi dari Sudiarno, dkk. 2012)
1. Pertimbangan factor edafik,
klimatik dan biotik
2. Pertimbangan kearifan lokal
Sarana prasarana masyarakat
Reforestasi atau
Revegetasi
1. KemandirianMas
yarakat
Aspek Pemberdayaan Masyarakat
(Sistemik, Holistik, Interdisipliner, Partisipatif)
PELES
TARIA
N
HUTAN
1. Awig-Awig 2. Legenda
3. Religius
Implementasi dari Gambar2.3 di atas, dapat dilihat padaTabel2.1.
Tabel 2.1. Kaitan Antara Ergonomi Total, Ekologi, danKearifanLokal.
NO
ERGONOMI TOTAL EKOLOGI KEARIFAN LOKAL
1 Teknis Memperhatikan Faktor
Edafik, Klimatik, dan
Parameter Vegetasi
Memperhatikan Ala Ayuning
Dewase, Nandur Taru,
Darma Pemaculan, Asta
Kosala Kosali
2 Ekonomis Efesiensi dalam pembiayaan
: Pembuatan pupuk organik,
penggalian lubang tanam,
pembibitan, penanaman,
perawatan, konsumsi dll
Gotong royong,Menyama
Braya,Ngayah, Ngaturang
Bakti, Dana Punia, Karma
Phala, Awig-awig
3 Ergonomis Memperhatikan altitude dan
fisiografi lahan, Sarana
kerja, Motivasi kerja,
Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3)
Memperhatikan Desa Kala
Patra, Teben-Deliwan, Tegeh-
Endep, Asta Kosala Kosali,
Darma Pemaculan, Sesikut
Awak
4 Sosiokulutral Memperhatikan kondisi dan
lokasi kegiatan, jenis
tanaman yang ditanam,
kebermanfaatan tanaman
yang ditanam (tanaman in-
situ, tanaman langka,
bernilai ekonomi)
Kepercayaan masyarakat,
mitos macanduwe, lelipi
selem.Suara krama, paruman,
pawisik, Alas duwe, Alassuci,
puram retiwi, Alas tenget,
Teben keliwan,tegeh-endep,
Desa Kala Patra, Rerainan,
Ale ayuning Dewasa, Pala
gantung, pala Bungkah.
5 HematEnergi Memperhatikan data
intensitas cahaya,
ketersedian air, kesuburan
lahan
Melaksanakan
Upacaramapagtoya, mecaru,
tumpekngatag,
nangglukmerana,
wanakertih,Desa Kala
Patra,AlaAyuningDewasa,
AstaKosalaKosali
6 TidakMerusakLingkungan Konsep pelestarian
lingkungan melalui
revegetasi atau reforestasi
Memperhatikan Tri Hita
Karana,
Sad Kertih, Karma Phala,
Tenget, Duwe, Mretiwi
7 Sistemik Memperhatikan factor
Abiotik (edafik, klimatik),
biotic dan culture (ABC
Environment)
Sinkronisasi Tri Kaya
Parisuda, Tindak landaye,
Karma Phala
8 Holistik Memperhatikan keterkaitan
ABC Environment
Melihat genah pertiwi, surya,
wana, lan
Sarwasentana, Sarwawidya,
Sarwa Swadarmaning Krama
9 Interdisiplin Memperhatikan aspek
sumber daya alam, fisiologi
tanaman, hama dan penyakit
dll. Dengan melibatkan ahli-
ahli dan masyarakat serta
stakesholder
Sarwasentana, Sarwawidya,
Sarwa Swadarmaning Krama
10 Partisipatori Revegetasi atau reforestasi Gotong royong, Tatwamasi,
Dana punia, Swadarmaning
Krama, Manyamabraya,
Sukaduka, Cerik Kelih,Tua
Bajang, Luh Muani, Sugih
Tiwas Karma phala.
2.3 Kearifan Lokal
Kerusakan hutan di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Berdasarkan data yang ada
untuk tahun 2000 luas kerusakan hutan di Indonesia mencapai 54,65 juta ha yang terdiri dari
9,75 juta ha hutan lindung, 3,9 juta ha hutan konservasi, dan 41 juta ha hutan produksi.
Kerusakan lahan di luar kawasan hutan mencapai 41, 69 juta ha (Wijana, 2013).
Data dari Dinas Kehutanan Propinsi Bali tahun 2002 menunjukkan bahwa dari luas lahan
127.271,5 ha kawasan hutan yang ada kondisi tegakan/vegetasi hutannya yang masih bagus
seluas 56,06%, hutan bervegetasi belukar atau semak sebesar 25,55% dan sisanya berupa hutan
kritis atau sangat rawan sampai kosong adalah sebesar 18,39%. Ada 3 faktor penyebab
kerusakan hutan di Bali yakni kebakaran, penebangan liar, dan pembibrikan. Kebakaran hutan
tahun 2002 mencapai 544,19 ha; penebangan liar 83,17 m3/th; dan pembibrikan mencapai 5.245,
77 ha (Adnyana dan Suwarna, 2007).
Berkaitan dengan data di atas sangat perlu menggali kembali konsep kearifan lokal yang
ada di masing-masing desa setempat atau Bali pada umumnya, yang diimplementasikan ke
dalam pengeloaan lingkungan. Secara konseptual, kearifan lokal merupakan bagian dari
kebudayaan dan secara lebih spesifik merupakqan bagian dari sistem pengetahuan tradisional. Di
antara keberanekaragaman jenis kearifan lokal, ditemukan adanya beberapa kearifan lokal yang
memiliki kualitas dan keunggulan dengan kandungan nilai-nilai universal seperti nilai historis,
religius, etika, estetika, sains, dan teknologi yang disebut local genius. Filosofi Tri Hita Karana
adalah salah satu contoh local genius kebudayaan Bali.Filosofi ini penuh dengan kandungan
nilai, etika lokal, sedangkan di pihak lain juga mencakup kandungan nilai-nilai universal secara
kosmos, theos, antropos, dan logos dengan focus konvigurasi nilai harmoni (Geriya, 2007).
Lebih lanjut Geriya (2007) menyatakan bahwa secara substantif, pokok-pokok isi
kearifan local meliputi unsur-unsur : (1) konseplokal, (2) cerita rakyat (folklore), (3) ritual
keagamaan, (4) kepercayaan lokal, (5) berbagai pantangan dan anjuran yang terwujud sebagai
system prilaku dan kebiasaan publik. Secara fungsional, kearifan local merupakan perangkat
tradisi yang mencakup tiga dimensi : (1) dimensi potensi budaya yang meliputi unsure tangible
dan intangible, (2) dimensi metode dan pendekatan yang mengedepankan kearifan dan
kebijakan, (3) dimensi arah dan tujuan yang menekankan harmoni, keseimbangan dan
keberlanjutan.
Secara konkrit, eksistensi kearifan local sebagai unsure living culture, pada tataran
konsep nampak dari masih hidupnya konsep Tri Hita Karana; pada unsur cerita rakyat Nampak
pada hidupnya cerita lipi selem bukit di Tenganan dengan tema pelestarian hutan; pada tataran
ritual pada berlanjutnya upacara tumpek bubuh dan tumpek kandang dengan tema pelestarian
flora dan fauna; adanya kepercayaan tenget terhadap hutan atau sumber air dan pantangan
pencemaran areal sawah atau sungai yang diatur dalam awig-awig subak (Geriya, 2007).
Lebih lanjut Wiana (2007) menyebutkan bahwa konsep Hindu dalam pelestarian
lingkungan hidup termaktub di dalam Tattwa Hindu yang dirumuskan kedalam ajaranSad Kertih
yaitu : (1) Atma Kertih, (2) Samudra Kertih, (3) Wana Kertih, (4) Danu Kertih, (5) Jagat Kertih,
dan (6) Jana Kertih. Dalam penelitian ini berkaitan dengan Wana Kertih yaitu upaya untuk
pelestarian hutan dengan karakteristik upacara dan upakara yang dilaksanakan oleh umat Hindu.
2.4 TujuanKegiatan
Tujuandarikegiataniniadalahuntukmengetahui:
1. Peran pendekatan ergologi berbasis kearifan local dalam sosialisasi konservasi hutan adat
yang ada di DesaTigawasa dapat meningkatkan sikap konservasi masyarakat yang ada di
Desa Tigawasa tersebut?
2. Tindak lanjut yang dapat dilakukan oleh masyarakat setempat untuk tetap menjaga
kelestarian hutan adat yang ada di DesaTigawasa?
2.5 Manfaat Kegiatan
Manfaat kegiatan ini adalah untuk
1. Meningkatkan sikap konservasi masyarakat yang ada di DesaTigawasa;
2. Memberi solusi kedepan dalam menjaga kelestarian hutan adat yang ada di Desa
Tigawasa; dan
3. Meningkatkan kognisi masyarakat yang ada di Desa Tigawasa dalam konservasi hutan
adat.
BAB III
MATERI DAN METODE PELAKSANAAN
3.1 Kerangka Pemecahan Masalah
3.2 Ruang Lingkup dan Keterbatasan
Ruang lingkup kegiatan ini hanya sebatas pada sosialisasi konservasi hutan adat dengan
pendekatan ergologi berorientasi kearifan lokal. Di luar kegiatan tersebut belum dapat
dilaksanakan seperti kegiatan pembibitan, pembuatan lubang, penanaman, perawatan tanaman
dan lain-lain belum dapat dilaksanakan karena kegiatan tersebut memerlukan pendanaan yang
MASALAH:
STABILITAS
HUTAN ADAT
SOLUSI:
SOSIALISASI
E
R
G
O
N
O
M
I
E
K
O
L
O
G
I
N
ERGOLOGI
PRODUK : KOGNISI, SIKAP,
TINDAK LANJUT KE DEPAN
DALAM KONSERVASI
KEARIF
AN
LOKAL
Gambar 3.1 Kerangka
PemecahanMasalah
cukup besar dan waktu yang diperlukan juga cukup lama. Kegiatan ini lebih menekankan untuk
meningkatkan kognisi, sikap konservasi, dan menggali langkah-langkah yang dapat dijalankan
untuk menjaga dan mengamankan hutan adat di masa yang akan datang.
3.3 Khalayak Sasaran
Khalayak sasaran untuk kegiatan ini adalah seluruh masyarakat dan hutan adat yang ada
di Desa Tigawasa. Untuk khalayak sasaran masyarakat akan diwakili oleh beberapa komponen
masyarakat seperti pengurus desa dinas dan adat, tokoh masyarakat, masyarakat umum,
penglingsir, dan teruna teruni.
3.4 Keterkaitan
Kegiatan ini memiliki keterkaitan dengan instansi di sektor jenjang pendidikan yaitu :
1. Pihak LPM Undiksha sebagai pihak penyedia/penyandang dana dan nara sumber. Hal ini
bermakna juga bahwa pelaksanaan kegiatan ini sebagai implementasi dari salah satu Tri
Dharma Perguruan Tinggi;
2. FMIPA berperan langsung dalam kegiatan ini dengan melibatkan staf pengajar dalam
melaksanakan kegiatan P2M;
3. Masyarakat sebagai subyek dalam kegiatan ini merupakan sumber daya manusia yang
perlu ditingkatkan sikap konservasinya;
4. Hutan adat sebagai objek dalam kegiatan ini, agar tetap stabil dan berkesinmabungan
perlu direncanakan tindakan yang dapat dilakukan di masa yang akan datang;
Keterkaitan bidang ilmu yang dikuasai oleh pelaksana adalah sangat relevan yaitu teridiri dari
staf dosen yang mendalami tentang Ergonomi dan pendidikan Biologi khususnya Ilmu
Lingkungan.
3.5 Metode Kegiatan
Sebagaimana sudah disampaikan di atas, bahwa dalam kegiatan ini digunakan
pendekatan Ergologi berorientasi kearifan lokal. Pendekatan Ergologi merupakan gabungan
antara ergonomi dan ekologi. (lihat Gambar 1,2, dan 3). Keterkaitan antara ergonomi, ekologi
dan kearifan lokal sudah disampaikan pada Tabel 2. Untuk mentransfer informasi dengan
landasan pendekatan ergologi tersebut digunakan metode ceramah, diskusi, dan drill.
Tahap Persiapan
Dalam tahap persiapan ini dilakukan kegiatan :
1) Pengurusan ijin kegiatan ke Kepala Desa dan Kelian Adat;
2) Mengadakan koordinasi pelaksanaan kegiatan;
Tahap Pelaksanaan
Aktivitas dari seluruh kegiatan P2M ini disajikan pada Tabel 5.
Tabel 3.1. Rincian Jenis Kegiatan dan Waktu Pelaksanaan P2M di Desa Tigawasa,
Kecamatan Banjar, Buleleng
HARI
KE
JENIS KEGIATAN WAKTU
PELAKSANAAN
PELAKSANA
1 Registrasi 07.00 – 08.00 Panitia
Pembukaan oleh Kepala Desa
/Ketua LPM Undiksha.
08.00 – 08.30 Panitia
Informasi dan diskusi tentang
Konservasi hutan
08.30 - 10.00 Nara sumber
Informasi dan diskusi tentang
Kearifan Lokal
10.00 – 11.30 Nara Sumber
Informasi dan diskusi tentang
Ergologi dan kaitannya dengan
Konservasi
11.30 – 13.00 Nara Sumber
Observasi hutan adat 13.00 – 15.30 Peserta dan Nara
Sumber
3.6 Rancangan Evaluasi Kegiatan
Untuk mengevaluasi keberhasilan dari kegiatan pengabdian ini dilakukan dengan cara(1)
melihat dari daftar hadir jumlah peserta, (2) aktivitas peserta, (3) kesan dan pesan dari peserta
serta 4) penerapan konsep ergologi di lapangan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 JumlahPeserta
Jumlah peserta dari kegiatan ini dihadiri oleh 27 orang peserta (daftar hadir lihat
Lampiran 1) yang terdiri atas Kepala Dusun selaku wakil dari Kepala Desa, anggota masyarakat,
anggota PKK dan sekaa teruna teruni (STT). Mengacu pada pengertian partisipasi, maka dengan
melihat jumlah peserta yang terlibat langsung dengan objek dan subjek sasaran maka hal ini
sudah memenuhi kriteria dari partisipasi itu yakni involvement artinya ikut sertanya peserta
secara langsung dalam melibatkan diri dalam suatu kegiatan.
4.2 Aktivitas Kegiatan
Hasil pengabdian masyarakat ini dilihat dari aktivitas kegiatan yang dilaksanakan,
nampaknya memberikan hasil yang sangat memuaskan. Indikator yang dapat digunakan adalah :
1. Peserta secara antusias mengikuti kegiatan ini dari awal sampai dengan akhir kegiatan;
2. Ada sejumlah pertanyaan yang diajukan oleh peserta yang berkaitan dengan konsep
Konservasi Hutan Adat dan Ergologi;
3. Adanya interaksi aktif antara peserta-peserta, peserta – penyelenggara;
4. Sambutan dari pejabat yang hadir, memberikan apresiasi yang positif terhadap pelaksanaan
kegiatan ini. Bahkan untuk di masa mendatang agar dapat diselenggarakan kembali kegiatan
ini, karena kegiatan semacam ini jarang disentuh dari pihak-pihak terkait.
Kondisi di atas sangat didukung oleh pengertian dari SHIP dan TTG. Sistematik artinya
bahwa dalam pemberian informasi dan diskusi dalam kegiatan ini melibatkan sistem masyarakat
tradisional. Pemberian informasi didasarkan atas tingkat pengetahuan dari peserta dan
komunikasi dengan menggunakan bahasa yang sederhana. Holistik artinya bahwa dalam
melaksanakan kegiatan konservasi yang menggunakan pendekatan Ergologi tidak hanya
berdasarkan kognitif teoritis semata tetapi didasarkan atas galian kearifan lokal yang ada di
masyarakat setempat. Melibatkan semua steakholder mulai dari pejabat setempat sampai dengan
lapisan masyarakat yang paling bawah, termasuk organisasi yang ada. Interdisiplin artinya
bahwa konservasi tidak hanya berdasarkan reguler formal, tetapi juga dari sisi ekonomis,
ekologis, teknologis, sosio-kultural, dan sosio-politis. Partisipasi merupakan terlibatnya orang
secara mental dan emosional di dalam satu kelompok yang merangsang mereka untuk
berkontribusi kepada tujuan kelompok dan berbagi tanggung jawab untuk apa yang
dihasilkannya. TTG merupakan instrumen yang menggunakan peralatan teknologi yang tepat
guna, yang tidak hanya berdasarkan teknologi canggih, tetapi menggunakan teknologi
masyarakat setempat yang tradisional dan membudaya. (Winaja, 2015, Wijana, 2008; Manuaba,
1999 a dan 1999 b; Adiputra, dkk; 1977). Ada 3 ide penting di dalam definisi ini ialah adanya
keterlibatan (involvement), kontribusi (contribution) dan tanggung jawab (responsibility).
Partisipasi berarti adanya keterlibatan mental dan emosional daripada hanya aktivitas otot.
Keterlibatan tidak hanya karena keterampilannya, tetapi lebih kepada orang tersebut sendiri
secara utuh. Keterlibatan ini merupakan proses psikologis dan tidak karena sekedar ikut dalam
tugas. Sibuk dengan pekerjaan dari mereka yang terlibat tidak selalu bisa disebut sebagai
partisipasi.
4.3 Produk Kegiatan
Ada beberapa kearifan lokal yang dapat digali dari diskusi dengan masyarakat setempat
dan dijadikan pegangan dalam pelaksanaan konservasi oleh masyarakat setempat pula yaitu:
Secara umum dapat disampaikan bahwa pengelolaan hutan yang ada di Desa Tigawasa
tersebut mengacu pada Dresta atau tradisi yang ada di desa tersebut. Dresta atau tradisi yang
dijalankan tersebut sesuai dengan warisan yang mereka terima dari leluhur mereka yang
bercirikan kebaliagaan mereka. Seperti anggapan yang bernuansa positif adalah bahwa hutan
adalah suatu pura yang mretiwi, artinya bahwa hutan sebagai tempat suci untuk penyelenggaraan
upacara agama. Tradisi lainnya yang bernuansa kearah pelestarian hutan adalah pelaksanaan
dalam pemanfaatan hutan sebagai keperluan atas wargamasyarakat setempat. Dalam
pemanfaatan hutan oleh masyarakat setempat harus melalui tahapan yang mengikutiaturan yang
sudah disepakati bersama. Dan kesepakatan tersebut juga sebagai dresta yang berlangsung secara
turun temurun.
Pengelolaan hutan ini sepenuhnya dikelola oleh desa adat yang dibantu oleh
wargamasyarakat. Pengelolaan terkait dengan hal pokok yakni(1) pengelolaan untuk menentukan
waktu pelaksanaan upacara di purahutan, (2) pengelolaan tata cara mencari kayu, dan(3)
pembuatan batas-batas kawasan hutan dengan tegalan milik warga. Dari ketig apengelolaan
tersebut, selanjutnya akanberpengaruh terhadap kelestarian hutan tersebut.
Dalam pengelolaan hutan yang terkait dengan pelaksanaan upacara agama di dalam
purahutan tersebut ditempuh langkah-langkah berikut. Pertama dilakukan rapat atau paum yang
dihadiri oleh seluruh wargadesa. Dalam rapat atau paumtersebut, dirembugkan berbagai hal yang
terkait dengan akan dilaksanakannya upacara di purahutan. Kedua, apabila ada kesepakatan,
maka upacara akan dilaksanakan. (3) Aapabila ada “sesuatu” yang dirasakan olehmasyarakat
setempat atau oleh seseorang yang dianggap dan dipercaya oleh masyarakat setempat, maka
upacara di pura hutan tersebut tidak dijalankan. Oleh karenanya, pelaksanaan upacara di pura
hutan tersebut dari sisi waktu, tidak berjalan secara reguler.
Ada beberapa upacara yang berhubungan dengan hutan yaitu:
1) Sabha Ngubeng :merupakan sabha yang dilaksakan di pura pengubengan. Dalam
upacara ini tidak menggunakan gong, menggunakan canang capahan sebagai sarana
upacara. Capahan terdiri dari gantal metali benang (gantal yang terdiri daribase
/sirih, makna :basa/bumbu), pamor (makna : suci), gambir (makna: gambaran atau
tujuan), buah/pinang (makna : memperoleh kesimpulan yang baik setiap rapat) ,
temako/tembakau (makna : iklas menerima). Jadi tujuan digunakan capahan pada
upacara ini adalah pada setiap rapat bias berbicara yang baik ,memaparkan rencana,
iklas menerima sesuatu yang diberikan oleh para ulu dan mendapat tempat yang
bagus.
2) Sabha Mamiut :merupakan upacara yang di laksanakan di purapemantenan dan
purabaung. Upacara ini menggunakan guling meplahpah, dansesayutasoroh.
3) Sabha Sabuh Baas: upacara ini dilaksanakan di pura Kayehan Sanghyang. Upacara
ini menggunakan banten guling meplahpah dan sesayut duang soroh.
4) Sabha Nyeta: upacara ini dilaksanakan di Pura Pememan. Upacara ini menggunakan
banten guling meplahpah dan sesayut duangsoroh
5) Sabha Malguna: Upacara ini dilaksanakan di Pura Munduk Taulan. Banten yang
digunakan dalam upacara ini sama dengan banten yang digunakan dalam upacara
Sabuh Baas danNyeta.
Pengambilan kayu di hutan untuk keperluan pura, ada beberapa tahap yang harusditempuh,
yaitu (1) masyarakat yang memerlukan kayu harus menghadap Para Ulu untuk meminta ijin
pengambilan kayu di hutan, (2) masyarakat menghadap kepada balian desa (orang pintar) untuk
dicarikan hari baik untuk pengambilan kayu di hutan, (3) pengambilan kayu yang ada di hutan,
di damping oleh aparat desaadat, (4) pengambilan kayu yang dimaksud sesuai dengan ijin yang
telah dimiliki. Pengambilan kayu tidak boleh dari yang disepakati, dan bila dalam penebangan
nya melebih dari hasil kesepakatan, maka akan dikenakan sangsi adat.
Pengelolaan hutan tentang tata cara pembatasan area hutan dengan kebun warga yaitu
dengan membuat pagehan (bahan pembatas yang dibuat dari kayu yang masih hidup atau pagar
hidup). Pagehan ini dibuat setelah ada pengukuran dari pemerintah desa tentang luas dari tanah
warga tersebut. Tujuan dari dibuat pagehan adalah sebagai pembatas antara kebun dengan pura
hutan, sehingga warga tidak sembarangan memasuki memperluas perkebunannya ke pura hutan.
Dengan adanya pagehan ini, masyarakat yang memiliki kebun yang berdampingan dengan
purahutan ini, apabila secara sengaja memperluas areal perkebunannya atau memasuki pura
hutan, maka yang bersangkutan akan mengalami bencana, sakit atau bentuk lain secara niskala.
Kepercayaan ini telah berlangsung secara turun temurun dan telah banyak fenomena itu dialami
oleh masyarakat setempat.
Terkait dengan kondisi hutan, adat, dalam pelaksanaan observasi dan sekaligus
memberikan informasi tentang konservasi hutan, dapat dibuatkan dalam bentuk dokumentasi.
Dokumentasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
Gambar 4.1. Kondisi Hutan Adat Desa Tigawasa Bagian Dalam
r
Gambar 4.2. Kondisi Hutan Adat Desa Tigawasa yang Berbatasan dengan Kebun Warga
Setempat
Gambar 4.3. Suasana Pelaksanaan P2M di DesaTigawasa 2015
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan (Sementara)
Simpulan yang dapat ditarik dari kegiatan ini adalah:
1. Kegiatan pelaksanaan P2M ini mendapatkan apresiasi yang sangat baik dari masyarakat
Desa Tigawasa khususnya masyarakat yang ada di sekitar Hutan Adat.
2. Pemahaman masyarakat tentang konservasi hutan menjadi lebih meningkat.
3. Kesadaran masyarakat terkait peran dan pentingnya konservasi hutan menjadi lebih
meningkat.
4. Disadari bahwa kearifan local yang mereka miliki sebagai aset yang dapat digunakan
sebagai acuan dalam konservasi hutan adat yang ada di desa tersebut.
5. Tindak lanjut dari kegiatan P2M ini adalah(a) penyempurnaan laporan kegiatan P2M
dan(b) masih dipandang perlu untuk didiskusikan lagi dengan anggota P2M.
DaftarPustaka
Adnyana, Sandi I Wayan dan Suwarna, I wayan. 2007. Permasalahan dan Kerusakan
Lingkungan Hidup. Dalam Buku Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Denpasar : UPT Penerbit Universitas Udayana.
Geriya, I Wayan. 2007. Konsep dan Strategi Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Penataan
Lingkungan Hidup Daerah Bali. Dalam Buku Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Denpasar : UPT Penerbit Universitas Udayana.
Manuaba, A. 2004. Pendekatan Total PerluuntukAdanya Proses ProduksidanProduk yang
Manusiawi, Kompetitifdan Lestari. Makalah disampaikan pada Pertemuan seminar
Teknik Industri di Universitas Atmajaya, Yogyakarta 2004.
Sudiarno, Adithya; SritomoWignjosoebroto; UdisubaktiCiptomulyono. 2012. PerspektifErgologi
(IntegrasiErgonomidanEkologi) DalamManajemen/PengelolaanSampah.
http://www.google.co.id/search?hl=id&source=hp&biw=&bih=&q=ergologi&meta=&oq
=ergologi&aq=f&aqi=g-s1&aql=&gs_l=firefox-
hp.3..0i10.687804l690473l0l699916l8l8l0l0l0l0l244l1280l1j5j2l8l0.frgbld.
Diaksestanggal 10 April 2012.
Wiana, I Ketut. 2007. Konsep Hindu Tentang Pelestarian Lingkungan. Dalam Buku Kearifan
Lokal Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Denpasar : UPT Penerbit Universitas
Udayana.
Wignjosoebroto, S. 2000. Ergonomi, Studi Gerak. Teknik Analisis untuk Peningkatan
Produktivitas Kerja. Surabaya : Penerbit Guna Widya.
Wijana, Nyoman dan I NengahSumardika. 2009. PelestarianJenis-
JenisTumbuhanBergunaMelaluiKearifanLokal di DesaAdatTengananPegringsingan,
KabupatenKarangasem, Bali.DimuatdalamprosidingKonservasi Flora Indonesia
dalamMengatasiDampakPemanasan Global. Kebun Raya “EkaKarya – LIPI. Hal. 724 -
731. ISBN 978-979-799-447-1.
Wijana, Nyoman; Ida bagusPutuArnyana. 2013. AnalisisStrukturVegetasiHutanAdat,
UpayaPengelolaanBerbasisKearifanLokal Dan
PemberdayaanMasyarakatMelaluiPendekatanErgologi Di DesaBali AgaBuleleng – Bali.
HasilPenelitian. TidakDiterbitkan.
Wijana, Nyoman. 2014.
PembelajaranIlmuLingkunganMelaluiPendekatanErgologiBerorientasiBeberapaaspekErg
onomiUntukMeningkatkanHasilBelajarMahasiswaJurusanPendidikanBiologi FMIPA
Undiksha. Jurnal IKA Vol. 12, No. 1, Maret 2014. ISSN 1829-5282. Hal 88-100.
Wijana, Nyoman. 2014. AnalisisKomposisidanKeanekaragamanSpesiesTumbuhandi
HutanDesaBali AgaTigawasa, Buleleng – Bali.
JurnalSainsdanHumanioraLemlitUndiksha. Vol. 1 No. 1, April 2014. Hal 55-65.
Wijana, Nyoman. 2015. IlmuLingkungan. Yogyakarta: GrahaIlmu.