kajian ekonomi dan keuangan regional · ge kajian ekonomi dan keuangan regional kata pengantar iii...
TRANSCRIPT
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
FEBRUARI
2017
KAJIAN EKONOMI DAN
KEUANGAN REGIONAL
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
website : www.bi.go.id
VISI BANK INDONESIA :
kredibel dan terbaik di regional
melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian
inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil
MISI BANK INDONESIA :
1. Mencapai stabilitas nilai rupiah dan menjaga efektivitas transmisi
kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
yang berkualitas;
2. Mendorong sistem keuangan nasional bekerja secara efektif dan efisien
serta mampu bertahan terhadap gejolak internal dan eksternal untuk
mendukung alokasi sumber pendanaan/pembiayaan dapat berkontribusi
pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional;
3. Mewujudkan sistem pembayaran yang aman, efisien, dan lancar yang
berkontribusi terhadap perekonomian, stabilitas moneter dan
stabilitas sistem keuangan dengan memperhatikan aspek perluasan
akses dan kepentingan nasional;
4. Meningkatkan dan memelihara organisasi dan SDM Bank Indonesia
yang menjunjung tinggi nilai-nilai strategis dan berbasis kinerja, serta
melaksanakan tata kelola (governance) yang berkualitas dalam rangka
NILAI-NILAI STRATEGIS ORGANISASI BANK INDONESIA :
-nilai yang menjadi dasar Bank Indonesia, manajemen, dan pegawai
untuk bertindak dan atau berperilaku, yang terdiri atas Trust and Integrity,
Professionalism, Excellence, Public Interest, dan Coordination and Teamwork
GE
GE
GE
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kata Pengantar
iii
BUKU Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Provinsi Riau ini merupakan
terbitan rutin triwulanan yang berisi analisis perkembangan ekonomi dan
perbankan di Provinsi Riau. Terbitan kali ini memberikan gambaran perkembangan
ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau pada triwulan I-2017 dengan penekanan
pada kondisi ekonomi makro regional antara lain, Asesmen Pertumbuhan Ekonomi
Daerah, Asesmen Inflasi Daerah, Asesmen Keuangan Pemerintah, Asesmen
Stabilitas Keuangan Daerah dan Pengembangan Ekonomi, Asesmen
Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah, Asesmen
Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan, serta Prospek Perekonomian tahun 2017
berdasarkan indikator terkini. Analisis dilakukan berdasarkan data bulanan bank
umum, data ekspor-impor yang diolah oleh Kantor Pusat Bank Indonesia, hasil
survei Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau, data PDRB dan Inflasi yang
diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau, serta data pendukung yang
diperoleh dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Provinsi Riau dan
instansi/lembaga lainnya, termasuk informasi anekdotal terkait.
Tujuan dari penyusunan buku KEKR ini adalah untuk memberikan informasi kepada
stakeholders tentang perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau,
dengan harapan kajian tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu sumber
referensi bagi para pemangku kebijakan, akademisi, masyarakat, dan pihak-pihak
lain yang membutuhkan.
Kami menyadari masih banyak hal yang harus dilakukan untuk menyempurnakan
buku ini. Oleh karena itu kritik, saran, dukungan penyediaan data dan informasi
sangat diharapkan.
Pekanbaru, Februari 2017
Kepala Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Provinsi Riau
Siti Astiyah
Direktur
KATA PENGANTAR
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kata Pengantar
iv
duduk di rumah memegang amanah
duduk di tanah memegang petuah
duduk di kampung menjadi payung
duduk di banjar bertunjuk ajar
duduk di ladang tenggang menenggang
duduk di negeri tahukan diri
duduk di dusun ia penyantun
duduk beramai elok perangai
apa tanda Melayu bertuah,
tahu berguru pada yang sudah
tahu berbuat pada yang ada
tahu memandang jauh ke muka
apa tanda Melayu terbilang,
dada lapang pandangan panjang
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Daftar Isi
iv
HALAMAN
Kata Pengantar ........................................................................................ iii
Daftar Isi .................................................................................................. iv
Daftar Tabel ............................................................................................. vii
Daftar Grafik ............................................................................................ viii
Daftar Gambar.......................................................................................... xii
Tabel Indikator Ekonomi Terpilih................................................................ xiii
RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................ 1
BAB 1. ASESMEN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH 10
1.
2.
Kondisi Umum............................................................
PDRB Sisi Penggunaan................................................
10
12
2.1 Konsumsi ......................................................... 13
2.2 Investasi (PMTB)................................................ 15
2.3 Ekspor dan Impor ............................................. 17
2.3.1. Ekspor ...................................................
2.3.2. Impor .....................................................
17
20
3. PDRB Sektoral ............................................................ 22
3.1 Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan....... 23
3.2 Sektor Pertambangan dan Penggalian ............... 26
3.3 Sektor Industri Pengolahan ............................... 28
3.4 Sektor Perdagangan, Besar dan Eceran, dan
Reparasi Mobil dan Sepeda Motor.....................
30
DAFTAR ISI
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Daftar Isi
v
BAB 2. ASESMEN INFLASI DAERAH ..................................................... 36
1. Kondisi Umum................................................................... 36
2.
Perkembangan Inflasi Provinsi Riau
2.1. Inflasi Kota.................................................................
2.1.1. Inflasi Kota Pekanbaru......................................
2.1.2. Inflasi Kota Dumai............................................
2.1.3. Inflasi Kota Tembilahan....................................
2.2. Disagregasi Inflasi (yoy)..............................................
2.2.1. Inflasi Inti (Core)...............................................
2.2.2. Inflasi Volatile Foods.........................................
2.2.3. Inflasi Administered Price..................................
2.3. Prospek Perkembangan Harga Barang dan Jasa
Triwulan Berjalan........................................................
2.4. Program Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Riau..
37
41
41
42
43
44
45
47
48
49
50
BAB 3
BAB 4.
ASESMEN KEUANGAN PEMERINTAH..............................................
1. 1. Kondisi Umum.........................................................................
2. 2. Realisasi APBD Triwulan I 2016................................................
3. 2.1 Realisasi Pendapatan....................................................
4. 2.2 Realisasi Belanja............................................................
5.
6. ASESMEN STABILITAS KEUANGAN DAERAH DAN PENGEMBANGAN
UMKM
52
52
53
54
59
1. Kondisi Umum Perbankan.................................................... 59
2. Perkembangan Bank Umum................................................ 60
2.1. ............................. 60
2.2. . 62
2.3. 63
3.
4.
Intermediasi dan Risiko Perbankan
65
67
4.1. Ketahanan S . 67
4.2. Ketahanan Sektor Rumah Tangga Daerah.............. 70
4.3. .... 72
5. 74
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Daftar Isi
vi
6. Perkembangan Bank Perkreditan .. 76
BAB 5 ASESMEN PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN DAN
PENGELOLAAN UANG RUPIAH .....................................................
87
1. Kondisi Umum Sistem Pembayaran Tunai dan Non Tunai.. 87
2. Perkembangan Transaksi Pembayaran Tunai.......................... 88
2.1. Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow - Outflow)...... 88
2.2. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar..........................
2.3. Uang Rupiah Tidak Asli............................................
3. Perkembangan Transaksi Pembayaran Non Tunai................
3.1. Transaksi Kliring.......................................................
3.2. Layanan Keuangan Digital (LKD)...............................
Boks 5.1.Gambus : Gerakan Bumi Melayu Bebas Uang Lusuh
Boks 5.2. Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank
(KUPVA BB) Provinsi Riau
91
92
93
93
94
BAB 6 ASESMEN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN DAERAH......... 99
1. Kondisi Umum ........ 99
2.
3.
Ketenagakerjaan... .
Kesejahteraan Daerah........................................................
3.1. Penduduk Miskin Riau................................................
3.2. Garis Kemiskinan Riau ......
3.3. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan
Kemiskinan (P2) Riau
3.4. Nilai Tukar Petani.........................................................
100
105
105
105
106
108
BAB 7
Boks 6. Mempercepat Pembangunan Infrastruktur Maritim untuk
Mendukung Peningkatan Kepariwisataan dan Pertumbuhan Ekonomi
yang Berkelanjutan
PROSPEK ...........
109
1. 109
2. Perkiraan Inflasi...... ............. 115
3. .. 117
Daftar Istilah xv
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Daftar Isi
vii
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Tabel
vii
HALAMAN
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan (yoy) ............................. 12
Tabel 1.2. Realisasi Belanja Pemerintah Daerah Provinsi Riau .............................. 14
Tabel 1.4. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau (Ribu Ton) ................ 16
Tabel 1.5. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral Dengan Migas (yoy,%) ....... 20
Tabel 3.1. Ringkasan Realisasi APBD Provinsi Riau .............................................. 53
Tabel 3.2. Ringkasan Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Riau ......................... 54
Tabel 3.3. Ringkasan Realisasi Belanja Daerah Provinsi Riau ................................ 56
Tabel 4.1 Perkembangan Indikator Perbankan di Provinsi Riau ........................... 60
Tabel 4.2. Perkembangan DPK di Provinsi Riau Menurut Kepemilikan .................. 63
Tabel 4.3. Kredit Lokasi Bank Menurut Sektor Ekonomi ...................................... 67
Tabel 4.4. Kredit Lokasi Proyek Menurut Sektor Ekonomi ..................................... 68
Tabel 4.5. Kredit UMKM di Provinsi Riau Menurut Sektor Ekonomi ...................... 73
Tabel 5.1. Historis Net Outflow Lebaran dalam 6 tahun terakhir ........................... 81
Tabel 6.1. Tingkat Pengangguran Terbuka Pulau SUmatera ................................ 86
Tabel 6.2. Penduduk Usia 15 tahun keatas yang bekerja..................................... 87
Tabel 6.3. Garis Kemiskinan Provinsi
Tabel 7.1. Perkembangan Pertumb
Tabel 7.2. Outlook Pereko
Tabel 7.3. Perkembangan Infl
DAFTAR TABEL
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
viii
HALAMAN
Grafik 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional Secara Tahunan (yoy%) ..... 11
Grafik 1.2.Perkembangan Indeks Survei Ekspektasi Konsumen Riau ...................... 13
Grafik 1.3.Pergerakan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini ........................................ 14
Grafik 1.4.Kredit Konsumsi .................................................................................... 14
Grafik 1.5. Kredit Kendaraan Bermotor ................................................................ 14
Grafik 1.6. Indeks Suku Cadang dan Aksesori ....................................................... 14
Grafik 1.7. Perkembangan Nilai Realisasi PMDN di Provinsi Riau ........................... 15
Grafik 1.8. Perkembangan Nilai Realisasi PMA di Provinsi Riau ............................. 15
Grafik 1.9. Perkembangan Volume Ekspor CPO dan Turunan Riau ....................... 16
Grafik 1.10. Perkembangan Volume Ekspor Pulp and Paper Riau ......................... 16
Grafik 1.11. Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau ................................... 17
Grafik 1.12. Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau ............................ 17
Grafik 1.13. Ekspor CPO Dunia ............................................................................. 17
Grafik 1.14. Pertumbuhan Ekspor dan Indeks Dollar ............................................. 17
Grafik 1.15 Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah. ... 18
Grafik 1.16. Perkembangan Ekspor Non Migas Riau .............................................. 19
Grafik 1.17. Perkembangan Volume Impor Barang Modal di Provinsi Riau ............ 19
Grafik 1.18. Perkembangan Volume Impor Barang Intermedier ............................. 19
Grafik 1.19. Perkembangan Impor Barang Konsumsi ............................................. 19
Grafik 1.20. Perkembangan Harga Karet .............................................................. 21
Grafik 1.21. Perkembangan Harga Sawit .............................................................. 21
Grafik 1.22. Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Pertanian ............................. 21
Grafik 1.23. Perkembangan Kredit Perkebunan Kelapa Sawit ................................ 21
Grafik 1.24. Pertumbuhan Subse 22
Grafik 1.25. Perkembangan Lifting Minyak Bumi Provinsi Riau ............................. 22
Grafik 1.26. Perkembangan Kegiatan Usaha di Provinsi Riau ................................. 22
Grafik 1.27. Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Industri Pengolahan ........... 24
DAFTAR GRAFIK
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
ix
Grafik 1.28. Indeks Makanan Minuman dan Tembakau ....................................... 24
Grafik 1.29. Pertumbuhan Sektor Perdagangan Berdasarkan Subsektor ............. 25
Grafik 1.30. Jenis Pengeluaran Rumah Tangga ................................................... 25
Grafik 1.31. Perkembangan Kredit Durable Goods di Riau .................................... 25
Grafik 1.32. Indeks Barang Tahan Lama ................................................................ 25
Grafik 1.33. Kredit Konstruksi ............................................................................... 26
Grafik 1.34. Konsumsi
Grafik 1.36. Likert Scale
29
Grafik 1.41. Lifting
Grafik 1.43.
Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi di Riau dan Nasional (yoy) .............................. 38
Grafik 2.2. Perkembangan Inflasi Ketiga Kota di Riau (yoy) ................................ 38
Grafik 2.3. Inflasi dan Sumbangan Kelompok Barang dan Jasa (yoy) .................. 39
Grafik 2.4. Perkembangan Inflasi Riau Nasional secara Triwulanan (qtq) ............ 39
Grafik 2.5. Historis Inflasi selama Tw II di Provinsi Riau (qtq) .............................. 40
Grafik 2.6. Inflasi dan Kontribusi Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa Tw II
2016 di Riau (qtq) ............................................................................. 41
Grafik 2.7. Perkembangan Inflasi Kota Pekanbaru dan Rata-rata Historis Tw II
(2011-2015) .................................................................................... 42
Grafik 2.8. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Pekanbaru
Tw II 2016 ........................................................................................ 43
Grafik 2.9. Perkembangan Inflasi Kota Dumai dan Rata-rata Historis
Tw II (2011-2015) ............................................................................. 43
Grafik 2.10. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Dumai
Tw II 2016 ......................................................................................... 43
Grafik 2.11. Perkembangan Inflasi Kota Tembilahan ............................................. 44
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
x
Grafik 2.12. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota
Tembilahan Tw II 2016 ....................................................................... 44
Grafik 2.13. Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy) ............................................... 45
Grafik 2.14. Perkembangan Inflasi Inti (core) di Riau (yoy) .................................... 46
Grafik 2.15. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD ............................. 46
Grafik 2.16. Perkembangan Harga Emas Dunia .................................................... 46
Grafik 2.17. Perkembangan Inflasi Tradables Goods dan Non Tradable
Goods (yoy) ....................................................................................... 46
Grafik 2.18. Perkembangan Inflasi Volatile Food di Riau (yoy) ............................... 47
Grafik 2.19. Perkembangan Harga Komoditas Bumbu-bumbuan di
Kota Pekanbaru ................................................................................ 47
Grafik 2.20. Perkembangan Harga ...... .48
Grafik 2.22. Perkembangan Inflasi Administered Price
...50
50
Grafik 4.1. Perkembangan Aset Bank Umum di Provinsi Riau ............................ 61
Grafik 4.2. Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kelompok ................ 61
Grafik 4.3. Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank ......... 61
Grafik 4.4. Pangsa Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank ..................... 61
Grafik 4.5. Perkembangan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan ............. 62
Grafik 4.6. Pertumbuhan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan ............... 62
Grafik 4.7. Perkembangan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan...................... 64
Grafik 4.8. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan ....................... 64
Grafik 4.9. Perkembangan Kredit Berdasarkan Kelompok dan Valuta ................ 65
Grafik 4.10. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Kelompok dan Valuta .................. 65
Grafik 4.11. Perkembangan LDR di Provinsi Riau ................................................ 65
Grafik 4.12. Perkembangan Non Performing Loan (NPL) di Provinsi Riau ............ 66
Grafik 4.13. Perkembangan NPL Sektoral di Provinsi Riau Triwulan I-2016 ........... 66
Grafik 4.14. Pangsa NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Tw I-2016 ........... 66
Grafik 4.15. NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Tw I-2016 ...................... 66
Grafik 4.16. Growth Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw.I-2016 .............. 68
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
xi
Grafik 4.17. Pangsa Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw.I-2016 ............... 68
Grafik 4.19. Perkembangan Kredit Perumahan ................................................... 70
Grafik 4.20. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor ................................... 70
Grafik 4.21. Perkembangan Kredit Multiguna ..................................................... 70
Grafik 4.22. Perkembangan Kredit Durable Goods ............................................ 70
Grafik 4.23. Indeks Penghasilan Konsumen dan Indeks Konsumsi Barang Tahan
71
Grafik 4.24. Perkembangan dan Pertumbuhan Kredit UMKM ............................ 72
Grafik 4.25. Pangsa Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha .............................. 72
Grafik 4.26. Perkembangan NPL Kredit UMKM .................................................. 73
Grafik 4.27. NPL Sektoral UMKM Triwulan I-2016 (%) ...................................... 73
Grafik 4.28. Perkembangan Aset Perbankan Syariah .......................................... 74
Grafik 4.29. Perkembangan DPK Perbankan Syariah Menurut Jenis Simpanan ... 74
Grafik 4.30. Perkembangan Pembiayaan Perbankan Syariah Menurut Jenis
Penggunaan ................................................................................... 75
Grafik 4.31. Penyaluran Pembiayaan Perbankan Syariah Secara Sektoral ............ 75
Grafik 4.32. Perkembangan NPL Perbankan Syariah ........................................... 76
Grafik 4.33. Perkembangan FDR Perbankan Syariah .......................................... 76
Grafik 4.34. Perkembangan Aset BPR/S ............................................................. 77
Grafik 4.35. Perkembangan DPK BPR/S .............................................................. 77
Grafik 4.36. Perkembangan Kredit BPR/S ........................................................... 77
Grafik 4.37. Penyaluran Kredit Sektoral ............................................................. 77
Grafik 4.38. Perkembangan NPL BPR/S .............................................................. 78
Grafik 4.39. Perkembangan LDR BPR/S .............................................................. 78
Grafik 5.1. Perkembangan Inflow dan Outflow di Provinsi Riau ........................ 80
Grafik 5.2. Perkembangan Inflow dan Outflow Bulanan Tw.I-2016 .............. 80
Grafik 5.3. Perkembangan UTLE yang Dimusnahkan ........................................ 82
Grafik 5.4. Perkembangan Peredaran Uang Rupiah Tidak Asli di Riau .............. 83
Grafik 5.5. Perkembangan Nilai Transaksi Kliring di Riau .................................. 84
Grafik 5.6. Perkembangan Volume Transaksi Kliring di Riau Growth ................ 84
Grafik 6.1. Perkembangan TPAK Riau Feb-2016 ............................................... 86
Grafik 6.2. Tingkat Pengangguran Terbuka Feb-2016 ........................................ 86
Grafik 6.3. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja ............................... 87
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
xii
Grafik 6.4. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja ................................. 88
Grafik 6.5. Jumlah Jam Kerja Per Minggu Feb-2016 .......................................... 89
Grafik 6.6. Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan .............................................. 89
Grafik 6.7. Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan ........................ 89
Grafik 6.8. Perkembangan Penduduk Miskin Riau ............................................. 90
Grafik 6.9. Sebaran Penduduk Miskin Riau .......................................................... 90
Grafik 6.10 Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan Riau .......................... 92
Grafik 6.11. Perkembangan Indeks Keparahan Kemiskinan Riau ......................... 92
Grafik 7.1 Perkembangan Indeks Keyakinan
Grafik 7.2 Perkembangan Indeks Ek
Grafik 7.3 Perkembangan Harga Bumbu-bu
Grafik 7.4 Perkembangan Harga Daging Segar dan Hasilnya di Kota Pekanbaru...98
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Gambar
xii
HALAMAN
Gambar 2.1. Inflasi Riau dan Nasional Tw I 2016 dibandingkan dengan
Historisnya (yoy)........................................................................
37
DAFTAR GAMBAR
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Tabel Indikator
xiii
I II III IV I II III IV
Indeks Harga Konsumen*) :
- Prov insi Riau 118,39 120,73 121,55 123,08 123,63 123,04 123,53 128,05
- Kota Pekanbaru 117,98 120,31 121,04 122,80 123,16 122,29 125,12 127,95
- Kota Dumai 118,50 120,83 122,16 122,75 124,23 124,48 125,91 127,63
- Kota Tembilahan 122,58 124,94 125,77 126,62 127,48 128,23 129,02 129,89
Laju Inflasi Tahunan (yoy, %) :
- Prov insi Riau 6,17 7,39 5,70 2,65 4,42 1,92 3,27 4,04
- Kota Pekanbaru 6,16 7,53 5,70 2,71 4,39 1,65 3,37 4,19
- Kota Dumai 6,50 7,29 6,21 2,63 4,84 3,02 3,07 3,98
- Kota Tembilahan 5,63 6,23 4,71 2,06 4,00 2,63 2,58 2,58
Pertumbuhan PDRB (yoy %, dengan migas) (0,03) (2,06) (1,36) 4,39 2,74 2,75 1,26 2,22
Nilai Ekspor Non Migas (Juta USD) 2.596,67 3.009,73 2.558,21 2.670,62 2.220,90 2.633,10 2.825,90 3.542,48
Volume Ekspor Non Migas (ribu Ton) 4.348,07 5.124,70 4.697,83 5.378,75 4.183,82 4.311,28 4.667,19 5.726,23
Nilai Impor Non Migas (Juta USD) 304,74 280,97 303,32 195,42 265,06 308,58 269,62 230,97
Volume Impor Non Migas (ribu Ton) 723,88 531,30 482,82 390,43 670,27 657,14 635,96 607,88
I II III IV I II III IV
Bank Umum
Total Aset (dalam Rp Juta) 90.534.888 98.451.429 95.323.470 81.686.208 84.514.141 87.150.773 87.903.910 88.418.334
DPK (dalam Rp Juta) 66.525.297 70.420.859 69.189.487 62.050.178 62.588.183 65.616.219 66.367.322 66.694.915
- Giro 15.108.109 15.301.001 14.785.606 9.874.611 11.909.735 11.691.981 11.296.303 10.170.171
- Tabungan 27.139.376 27.688.804 28.427.087 31.117.804 28.694.078 30.903.236 31.178.733 34.332.524
- Deposito 24.277.812 27.431.054 25.976.795 21.057.764 21.984.370 23.021.002 23.892.287 22.192.220
Kredit (dalam Rp Juta) 52.401.716 54.012.485 54.946.577 56.538.247 56.252.232 58.325.238 58.407.053 58.391.877
- Modal Kerja 16.078.784 16.801.235 16.801.524 17.653.632 17.488.673 18.650.406 18.611.309 18.292.928
- Investasi 16.716.814 17.125.784 17.428.770 17.480.648 17.203.391 17.571.645 17.133.957 16.796.593
- Konsumsi 19.606.118 20.085.465 20.716.283 21.403.968 21.560.168 22.103.187 22.661.787 23.302.356
- LDR (%) 78,77 76,70 79,41 91,12 89,88 88,89 88,01 87,55
- NPL (%) 3,64 4,16 4,34 3,71 4,07 3,98 3,91 3,44
Kredit UMKM (dalam Rp Juta) 19.809.940 20.212.276 19.894.360 19.884.668 19.905.368 20.633.645 20.495.810 20.384.469
- Mikro 5.461.112 5.531.045 5.465.328 5.645.990 5.835.773 6.105.089 6.081.458 6.201.696
- Kecil 7.439.193 7.775.301 7.771.320 7.687.958 7.791.884 8.063.526 8.000.244 7.987.938
- Menengah 6.909.635 6.905.929 6.657.713 6.550.721 6.277.711 6.465.029 6.414.108 6.194.835
NPL UMKM (%) 6,20 6,71 7,41 6,76 7,65 7,69 7,29 6,26
BPR
Total Aset (dalam Rp Juta) 1.189.489 1.185.757 1.186.762 1.228.315 1.246.785 1.252.252 1.289.943 1.330.013
DPK (dalam Rp Juta) 847.560 857.250 881.188 877.171 895.393 911.325 947.369 983.399
- Tabungan 364.632 349.230 353.742 348.011 347.972 337.076 359.182 363.207
- Deposito 482.929 508.020 527.447 529.160 547.421 574.250 588.187 620.193
Kredit (dalam Rp Juta) - berdasarkan lokasi proyek 864.307 911.096 916.504 907.081 916.870 957.829 953.911 957.239
Rasio NPL (%) 14,45 13,84 14,39 12,92 14,08 13,76 14,07 13,21
LDR (%) 101,98 106,28 104,01 103,41 102,40 105,10 100,69 97,34
20162015
B. PE RBANKAN
INDIKATOR
INDIKATOR20162015
TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Tabel Indikator
xiv
C. S IS TE M PE MBAYARAN
I II III IV I II III IV
(111.261) 2.575.811 1.801.608 3.405.622 (264.922) 5.668.369 175.963 3.999.341
1.798.608 1.405.848 2.414.612 1.224.352 2.253.374 1.293.835 3.014.802 1.521.300
1.687.347 3.981.659 4.216.220 4.629.974 1.988.452 6.962.203 3.190.765 5.520.641
Pemusnahan Uang (Jutaan lembar/keping) 185.727 303.590 171.823 313.207 799.259 614.941 955.228 766.843
Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) *) 89.640 109.603 88.477 68.937 - - - -
Volume Transaksi RTGS (lembar) *) 31.363 32.636 30.853 13.564 - - - -
Rata-rata Harian Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) 1.446 1.797 1.404 1.094 - - - -
Rata-rata Harian Volume Transaksi RTGS (lembar) 506 535 490 215 - - - -
Nominal Transaksi Kliring (Rp miliar) 7.881 5.163 8.684 7.366 6.890 6.560 6.374 6.607
Volume Transaksi Kliring (lembar) 254.005 135.164 237.984 206.110 209.067 194.424 191.425 201.373
Rata-rata Harian Nominal Transaksi Kliring (Rp miliar) 127 85 138 117 113 104 106 105
Rata-rata Harian Volume Transaksi Kliring (lembar) 62 61 63 63 61 63 60 63
2015 2016
Inflow (dalam Rp Juta)
Outflow (dalam Rp Juta)
Posisi Kas Gabungan (dalam Rp Juta)
INDIKATOR
TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
RINGKASAN EKSEKUTIF
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
10
1. KONDISI UMUM
Searah dengan perekonomian nasional, perekonomian Riau pada triwulan IV-
2016 tumbuh sebesar 2,22% (yoy), mengalami peningkatan dibandingkan triwulan
III-2016 yang tercatat sebesar 1,26% (yoy). Peningkatan tersebut terutama terjadi
pada konsumsi pemerintah dan investasi. Konsumsi pemerintah meningkat cukup
tinggi setelah pada triwulan sebelumnya mengalami kontraksi. Meningkatnya
konsumsi pemerintah juga menjadi salah satu faktor pendorong utama
meningkatnya pertumbuhan investasi. Dari sisi penawaran, peningkatan terjadi di
seluruh sektor utama kecuali sektor pertambangan yang cenderung melanjutkan tren
penurunan dalam 5 tahun terakhir. Meningkatnya kinerja sektor konstruksi tidak
terlepas dari meningkatnya realisasi belanja pemerintah terutama di bidang
Bab 1 ASESMEN PERTUMBUHAN
EKONOMI DAERAH
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
11
infrastruktur. Selain itu, meningkatnya pertumbuhan sektor pertanian dan industri
pengolahan tidak terlepas dari meningkatnya produksi kelapa sawit pasca musim
trek, serta perbaikan harga komoditas internasional. Di sisi lain, momentum perayaan
hari besar keagamaan pada triwulan IV-2016 mendorong kenaikan kinerja sektor
perdagangan besar dan eceran di Provinsi Riau. Secara keseluruhan tahun
pertumbuhan ekonomi Riau 2016 tercatat sebesar 2,23% (yoy), meningkat
dibandingkan tahun 2015 yang hanya tumbuh sebesar 0,22% (yoy). Peningkatan
tersebut utamanya bersumber dari kenaikan pertumbuhan konsumsi swasta
dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara dari sisi penawaran, pertumbuhan
bersumber dari sektor perkebunan, industri pengolahan, dan perdagangan yang
tercatat tumbuh meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Demikian juga dengan
kontraksi sektor pertambangan dan penggalian yang menunjukkan perbaikan
dibandingkan tahun lalu.
Meningkatnya perekonomian Riau 2016 sejalan dengan pertumbuhan ekonomi
Nasional dan Sumatera yang masing-masing tumbuh sebesar 5,02% dan 4,29%
(yoy), lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 4,88% dan 3,53% (yoy).
Angka pertumbuhan tersebut juga mencerminkan bahwa pertumbuhan ekonomi
Riau masih lebih rendah dibandingkan Nasional dan Sumatera. Apabila dilihat dari
pertumbuhan ekonomi tanpa migas Riau sebesar 3,74% (yoy), lebih tinggi
dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 2,03% (yoy).
Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional Secara Tahunan (yoy,%)
Sumber: BPS
Memasuki triwulan I-2017, indikasi perbaikan perekonomian masih cukup kuat.
Kinerja perekonomian Riau pada triwulan mendatang diperkirakan masih ditopang
oleh permintaan domestik yang kuat. Peningkatan ini utamanya didorong oleh
peningkatan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi. Adanya
4,94
4,49
2,22
I II III IV I II III IV I II III IV
2014 2015 2016
Nasional Sumatera Riau
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
12
kenaikan Upah Minimum Regional Provinsi Riau dari Rp2.095.000,- pada tahun 2016
menjadi Rp2.266.723 pada tahun 2017 atau sekitar 8,20%, serta momentum
perbaikan harga komoditas perkebunan dan potensi peningkatan harga minyak
sawit Indonesia diperkirakan mampu mendorong daya beli masyarakat sehingga
dapat memberikan dampak yang cukup baik bagi pertumbuhan konsumsi rumah
tangga. Di sisi lain, pengesahan APBD yang lebih cepat dari pengesahan APBD tahun
lalu serta masih berlanjutnya proyek infrastruktur strategis pemerintah juga
diperkirakan dapat mendorong kenaikan konsumsi pemerintah, sekaligus
meningkatkan investasi yang saat ini masih cenderung wait and see. Di samping itu,
perbaikan harga komoditas dan kondisi perekonomian negara mitra dagang juga
diperkirakan mampu memberikan dampak terhadap peningkatan kinerja sektor
perkebunan dan industri pengolahan. Adanya indikasi kenaikan harga barang pada
awal tahun 2017 turut mendorong peningkatan kinerja sektor perdagangan. Dengan
demikian, perekonomian Riau pada triwulan I-2017 diperkirakan meningkat
dibandingkan triwulan IV-2016 pada kisaran 2,0 3,0% (yoy). Meskipun demikian,
masih terdapat beberapa faktor risiko yang mewarnai perekonomian Riau ke depan
yang perlu diantisipasi lebih lanjut. Salah satunya terkait dengan ketidakpastian
ekonomi global yang masih cukup tinggi dapat menahan perbaikan harga
komoditas.
2. PDRB SISI PENGGUNAAN
Searah dengan perekonomian Nasional, perekonomian Riau pada triwulan IV-2016
mengalami peningkatan dari 1,26% (yoy) pada triwulan lalu menjadi 2,22% (yoy).
Namun angka pertumbuhan tersebut masih di bawah pertumbuhan ekonomi
Nasional dan Sumatera yang masing-masing sebesar 4,94% dan 4,49 (yoy). Adapun
sumber pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan IV-2016 utamanya didorong oleh
peningkatan dari sisi domestik. Meningkatnya permintaan domestik terutama
bersumber dari kenaikan konsumsi pemerintah dan investasi, sementara konsumsi
rumah tangga tumbuh melambat dan ekspor terkontraksi lebih dalam.
Meningkatnya konsumsi pemerintah pada akhir tahun 2016 didorong oleh upaya
pemerintah daerah dalam merealisasikan anggaran menjelang tutup buku 2016. Hal
ini terlihat dari peningkatan realisasi belanja pemerintah daerah baik belanja barang
dan jasa maupun belanja modal sehingga turut mendorong meningkatnya
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
13
pertumbuhan dari sisi investasi. Sementara itu, momentum perbaikan harga
komoditas perkebunan belum dapat memberikan dampak yang cukup baik bagi
perdagangan di Provinsi Riau yang tercermin dari kinerja ekspor yang terkontraksi
lebih dalam, sementara pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga masih tumbuh
melambat dibandingkan triwulan sebelumnya.
Secara keseluruhan tahun 2016, pertumbuhan ekonomi Riau tercatat sebesar 2,23%
(yoy), masih berada di bawah pertumbuhan ekonomi Nasional dan Sumatera yang
sebesar 5,02% dan 4,29% (yoy). Namun demikian realisasi pertumbuhan ekonomi
Riau tersebut lebih tinggi jika dibandingkan pertumbuhan ekonomi Riau 2015 yang
sebesar 0,22% (yoy). Meningkatnya perekonomian Riau 2016 didorong oleh
kenaikan konsumsi swasta dari 0,29% (yoy) pada tahun 2015 menjadi 2,65% (yoy)
pada tahun 2016. Sementara konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan
investasi meski tercatat tumbuh namun tidak setinggi tahun sebelumnya. Di sisi lain,
kinerja ekspor masih melanjutkan tren menurun meskipun tidak sedalam kontraksi
pada tahun 2016. Pertumbuhan ekonomi Riau 2016 utamanya didorong oleh
membaiknya net ekspor bukan dari meningkatnya kinerja ekspor luar negeri yang di
tahun 2016 tumbuh relatif tetap dibandingkan tahun 2015. Masih terkontraksinya
pertumbuhan net ekspor juga disebabkan oleh tingginya impor. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa perbaikan ekonomi negara mitra dagang yang secara
fundamental masih relatif terbatas dan perbaikan harga komoditas belum
memberikan dampak yang cukup besar bagi perkembangan permintaan ekspor.
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan (yoy)
I II III IV I II III IV
1. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga 6,00 6,36 5,92 5,56 5,95 6,42 5,76 5,08 4,32 5,38 2,03 1,90
2. Pengeluaran Konsumsi LNPRT (0,07) (1,61) 0,70 2,09 0,29 2,89 3,14 2,77 1,82 2,65 0,00 0,01
3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah 2,27 1,17 3,30 7,39 3,75 (1,69) 6,88 (4,50) 4,07 1,34 0,13 0,05
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto 1,61 2,40 5,31 6,79 4,06 2,96 3,32 3,57 4,48 3,60 1,23 1,17
5. Ekspor Luar Negeri (30,63) (17,75) (9,55) 1,96 (15,27) (4,60) (13,09) (5,42) (34,34) (15,35) (4,96) (3,88)
6. Impor Luar Negeri (7,10) (8,25) (17,42) 4,17 (7,65) (3,97) 14,64 11,61 27,43 11,99 (0,29) 0,49
7. Net Ekspor 0,16 (1,43) (12,00) (0,54) (3,86) (1,43) (1,85) (4,32) (2,69) (2,61) (1,17) (0,69)
PDRB (0,01) (2,13) (1,38) 4,45 0,22 2,74 2,75 1,26 2,22 2,23 0,22 2,23
Komponen Pengeluaran2016 2015 2016
Kontribusi
Pertumbuhan (%)2016 2015
2015
Growth (% yoy)
Sumber : BPS
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
14
2.1. Konsumsi
Konsumsi rumah tangga Provinsi
Riau pada triwulan IV-2016
tercatat sebesar 4,32% (yoy),
melambat jika dibandingkan
triwulan sebelumnya yang
mencapai 5,08% (yoy). Secara
tahunan pertumbuhan konsumsi
rumah tangga tahun 2016
melambat dari 5,95% (yoy) pada
tahun 2015 menjadi 5,38% (yoy). Melambatnya konsumsi rumah tangga
dipengaruhi oleh kenaikan harga barang yang tercermin dari realisasi inflasi tahun
2016 yang mencapai 4,04% (yoy), lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 yang hanya
sebesar 2,65% (yoy). Meningkatnya tekanan inflasi yang terjadi di hampir seluruh
kelompok barang dan jasa, ditambah perbaikan kondisi perekonomian yang masih
terbatas menekan kemampuan daya beli masyarakat. Perlambatan konsumsi rumah
tangga ini tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan Indeks Keyakinan
Ekonomi (IKE) yang berada pada level pesimis (di bawah batas 100) (Grafik 1.2). Pada
triwulan laporan, IEK tercatat sebesar 103,83% lebih rendah dibandingkan triwulan
sebelumnya yang sebesar 124,67%. Menurunnya ekspektasi konsumen terhadap
kondisi saat ini juga terindikasi dari kredit kendaraan bermotor (Grafik 1.3) dan kredit
durable goods yang tumbuh melambat secara tahunan (Grafik 1.4).
Grafik 1.2. Perkembangan Indeks Survei Ekspektasi Konsumen Riau
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik 1.3. Kredit Kendaraan Bermotor
Sumber: LBU Bank Indonesia
Grafik 1.4. Kredit Durable Goods
Sumber: LBU Bank Indonesia
70
80
90
100
110
120
130
140
150
160
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Jan
2012 2013 2014 2015 2016 2017
IKKIKEIEKGaris 100
-25
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
25
0
100
200
300
400
500
600
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2013 2014 2015 2016
Persen (%)Rp. MiliarKendaraan growth (yoy)
-100
-50
0
50
100
150
200
250
300
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2013 2014 2015 2016
Persen (%)Rp Miliar Durable Goods growth (yoy)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
15
Sementara itu, konsumsi pemerintah pada triwulan laporan tercatat tumbuh sebesar
4,07% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat kontraksi
sebesar 4,50% (yoy). Meningkatnya pertumbuhan konsumsi pemerintah pada
triwulan IV-2016 sejalan dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan realisasi
terutama belanja langsung dan infrastruktur. Namun demikian pertumbuhan
konsumsi pemerintah secara keseluruhan tahun 2016 hanya sebesar 1,34% (yoy) di
bawah realisasi tahun 2015 yang mencapai 3,75% (yoy). Hal ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain faktor kehati-hatian dalam merealisasikan anggaran,
penundaan DAU untuk Pemerintah Provinsi Riau dan beberapa Kab/Kota di Riau
sedangkan sebagian besar Kab/Kota tidak memiliki anggaran SILPA, dan
pemotongan DBH akibat berkurangnya lifting migas dan menurunnya harga minyak
dunia. Realisasi belanja pemerintah Provinsi Riau tahun 2016 tercatat sebesar
83,22% atau Rp 8,63 triliun dari total yang dianggarkan sebesar Rp10,37 Triliun.
Namun realisasi ini tercatat lebih tinggi jika dibandingkan tahun 2015 yang hanya
mencapai 68,15% atau sebesar Rp7,76 triliun (Tabel 1.2).
Tabel 1.2. Realisasi Belanja Pemerintah Daerah Provinsi Riau
Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2017 diperkirakan meningkat. Adapun
faktor-faktor yang dapat mendorong peningkatan konsumsi rumah antara lain
perbaikan harga komoditas yang diharapkan memberikan dampak terhadap
kenaikan daya beli masyarakat, serta persepsi akan membaiknya penghasilan sejalan
dengan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) diperkirakan dapat mendorong
realisasi konsumsi masyarakat (Grafik 1.5). Disisi lain, pengesahan APBD-P yang lebih
cepat dibandingkan tahun 2015 diharapkan mampu mendorong realisasi konsumsi
pemerintah yang lebih baik. Monitoring anggaran secara lebih intensif juga
merupakan salah satu faktor pendorong utama pertumbuhan konsumsi pemerintah.
Jumlah
Anggaran
(triliun)
Realisasi
(triliun)
%
Realisasi
Jumlah
Anggaran
(triliun)
Realisasi
(triliun)
%
Realisasi
Pendapatan Daerah 7,407 6,911 93,3 7,233 6,736 93,13
Belanja Daerah 11,388 7,761 68,15 10,365 8,625 83,22
Pembiayaan Daerah 3,981 3,982 100,01 3,132 3,132 100,01
Surplus/(Defisit) -3,981 -0,850 21,35 -3,132 -1,889 60,33
Uraian
2015 2016
Sumber : BPKAD
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
16
Grafik 1.5 Upah Minimum Provinsi Riau
2.2. Investasi (PMTB)
Perkembangan investasi (PMTB)
di Riau pada triwulan IV-2016
tercatat sebesar 4,48% (yoy),
meningkat jika dibandingkan
triwulan III-2016 yang tercatat
sebesar 3,57% (yoy). Indikator
terkini menunjukkan kenaikan
kinerja investasi seiring dengan
meningkatnya investasi sektor
swasta dan pemerintah meskipun ada kemungkinan bias ke bawah. Beberapa faktor
pendorong pertumbuhan investasi pada triwulan berjalan antara lain: i) ekspansi
investasi existing dan program maintenance perusahaan industri pengolahan dan
perhotelan; ii) masih berlanjutnya proyek infrastruktur strategis seperti jalan tol trans
sumatera yang melewati Pekanbaru-Dumai seluar 131.475 Km, serta pembangunan
jalur kereta api di 4 titik yakni Rantau Prapat-Dumai (249 Km), Duri-Pekanbaru (90
Km), Pekanbaru-Muaro (164 Km), Pekanbaru-Jambi (350 Km); iii) adanya penurunan
suku bunga acuan diharapkan menurunkan tingkat suku bunga bank; iv) relaksasi
LTV diharapkan meningkatkan investasi properti (sektor konstruksi); dan v) insentif
tax amnesty diharapkan mendorong peningkatan masuknya dana segar sehingga
dapat meningkatkan kapasitas permodalan. Kondisi ini juga terkonfirmasi dari
peningkatan realisasi investasi sejumlah pelaku usaha yang terelaksasi dari hasil
liaison (Grafik 1.6). Kegiatan investasi di subsektor pengolahan kelapa sawit berupa
1.1
40
.00
0
1.2
87
.00
0
1.5
20
.00
0
1.7
20
.00
0
1.9
10
.00
0
2.1
29
.65
0
2.3
05
.34
6
-
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
-
500.000
1.000.000
1.500.000
2.000.000
2.500.000
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
gro
wth
(%
yoy)
Rp
UMK (Rp)
Growth (% yoy)
Grafik 1.6. Likert Scale Investasi
Sumber: Liaison Bank Indonesia
-1,50
-1,00
-0,50
0,00
0,50
1,00
1,50
-3,00
-2,50
-2,00
-1,50
-1,00
-0,50
0,00
0,50
1,00
1,50
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2013 2014 2015 2016
Penjualan Ekspor
Kapasitas Utilisasi
SK Gubernur Riau No.1058/XI/2016 tanggal 21 November 2016 tentang Upah Minimum Kab/Kota se-Provinsi Riau Tahun 2017
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
17
replanting. Contact liaison menginformasikan bahwa pada akhir tahun 2016
dilakukan replanting perkebunan seluas 4.000 Ha dari 11.000 Ha luas perkebunan
yang ada. Investasi oleh grup perusahaan berupa pembangunan pabrik biodiesel
pada tahun 2017 di daerah Lubuk Gaung. Selain itu, untuk meningkatkan supply
tenaga listrik di pabrik dan derah sekitar, perusahaan yang bergerak di subsektor
pengolahan kelapa melakukan investasi berupa pembangunan power plant.
Secara keseluruhan tahun, pertumbuhan investasi Riau 2016 yang sebesar 3,60%
(yoy) tidak setinggi tahun 2015 yang mencapai 4,06% (yoy). Hal ini juga tercermin
dari realisasi PMA dan PMDN yang relatif lebih rendah dibandingkan tahun
sebelumnya. Kondisi ini dipengaruhi oleh sikap wait and see pelaku usaha terhadap
kondisi pertumbuhan ekonomi Riau selama tahun 2016. Sampai dengan triwulan I-
2017, investasi diperkirakan tumbuh positif dan relatif meningkat dibandingkan
triwulan IV-2016, seiring dengan meningkatnya realisasi investasi swasta dan
pemerintah yang diharapkan dapat mendorong gairah investasi di Riau yang
tentunya tidak terlepas dari berbagai kemudahan perizinan yang ditawarkan.
2.3 Ekspor dan Impor
2.3.1. Ekspor
Kinerja ekspor barang dan jasa pada triwulan IV-2016 mengalami kontraksi sebesar
34,34%, lebih dalam dibandingkan dengan triwulan III-2016 yang mengalami
Grafik 1.7. Perkembangan Nilai Realisasi PMDN di Provinsi Riau
Grafik 1.8. Perkembangan Nilai Realisasi PMA di Provinsi Riau
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
-200
-100
0
100
200
300
400
500
600
-
500.000
1.000.000
1.500.000
2.000.000
2.500.000
3.000.000
3.500.000
4.000.000
4.500.000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2013 2014 2015 2016
% yoyRp RibuRealisasi PMDN growth (yoy)
-500
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
-
100.000
200.000
300.000
400.000
500.000
600.000
700.000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2013 2014 2015 2016
% yoyUSD RibuRealisasi PMA growth (yoy)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
18
kontraksi sebesar 5,42%. Secara keseluruhan tahun 2016, perkembangan ekspor
Riau masih relatif stabil dari kontraksi 15,27% (yoy) menjadi kontraksi 15,35% (yoy).
Tabel 1.3. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau (Ribu Ton)
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Berdasarkan hasil liaison Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau,
menurunnya ekspor terutama bersumber dari subsektor industri pengolahan karet
yang cenderung melanjutkan tren penurunan sejak awal tahun 2016. Contact
menginformasikan bahwa selama harga karet belum mengalami perbaikan yang
signifikan, perkembangan ekspor karet belum akan menunjukkan perbaikan yang
optimal. Perusahaan lebih memilih untuk berhati-hati dalam melakukan penjualan
terutama pada saat harga karet jatuh. Namun untuk penjualan yang bersifat kontrak
jangka waktu tertentu, buyer dapat menunda waktu pengiriman barang khususnya
apabila harga dinilai kurang menguntungkan. Kuatnya bargaining power buyer juga
dipengaruhi oleh sistem penentuan harga yang dikuasai oleh pihak asing. Sementara
itu, adanya pembatasan ekspor sebesar 2.000 ton per bulan untuk menaikkan harga
saat ini belum membuahkan hasil yang diharapkan. Contact liaison di Provinsi Riau
cenderung mengabaikan peraturan terkait pembatasan ekspor tersebut, menyusul
pelanggaran batasan ekspor yang telah dilakukan oleh Thailand terlebih dahulu. Hal
ini juga dikonfirmasi oleh Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (GAPKINDO)
Cabang Pekanbaru yang menyatakan tidak terdapat sanksi yang tegas untuk
pelanggaran tersebut sehingga pengusaha cenderung melakukan ekspor di atas
batas yang diizinkan saat harga sedang tinggi. Meskipun demikian, stok bahan baku
I II III IV 2015 2016 2015 2016Makanan dan Hewan Bernyawa 1.733,24 385,3 343,4 363,7 515,4 1.607,7 8,87 8,51 6,09 (7,24) Tembakau dan Minuman 27,93 7,5 8,3 4,6 5,2 25,5 0,14 0,14 (5,86) (8,53) Barang Mentah 2.920,53 685,8 774,1 792,9 894,3 3.147,1 14,94 16,66 0,67 7,76 Bahan Bakar Mineral dan Pelumas 119,06 40,1 23,2 - - 63,2 0,61 0,33 (79,99) (46,89) Minyak dan Lemak Nabati 12.563,28 2.455,3 2.562,9 2.861,6 3.731,3 11.611,1 64,26 61,47 23,23 (7,58) Bahan Kimia 541,85 172,3 169,4 179,7 140,4 661,8 2,77 3,50 (58,66) 22,13 Barang Manufaktur 1.643,43 437,4 429,9 464,7 439,6 1.771,5 8,41 9,38 (1,05) 7,80 Mesin dan Peralatan 0,01 0,3 0,2 - 0,0 0,5 0,00 0,00 (98,98) 0,00 Hasil Olahan Manufaktur 0,01 - - - 0,0 0,0 0,00 0,00 429,05 (96,79) Koin, bukan mata uang - - - - - - - - - -
19.549,34 4.183,8 4.311,3 4.667,2 5.726,2 18.888,5 100,00 100,00 6,67 (3,38)
Pangsa (%)201620162015
yoy (%)
Total
Jenis
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
19
yang terus berkurang akibat alih fungsi lahan membuat kinerja usaha pengolahan
karet semakin tertekan.
Di sisi lain, peningkatan ekspor terutama bersumber dari komoditas CPO (Grafik 1.9)
dan Pulp seiring dengan proyeksi peningkatan produksi pulp salah satu pemain besar
industri pulp and paper besar di Riau yang mencapai di atas 10% (Grafik 1.10).
Namun demikian perbaikan ekspor ini masih tertahan akibat gejolak ekonomi di
Amerika Serikat, Eropa dan Tiongkok yang masih berlanjut sehingga berdampak
terhadap terbatasnya permintaan terhadap komoditas utama tersebut.
Grafik 1.9. Perkembangan Volume Ekspor CPO dan Turunan Riau
Grafik 1.10. Perkembangan Volume Ekspor Pulp Riau
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Grafik 1.11. Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Grafik 1.12 Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Berdasarkan negara tujuan ekspornya, penurunan permintaan ekspor berasal dari
China dan ASEAN yang pada triwulan IV-2015 masing-masing sebesar 1.188 ribu
ton dan 787 ribu ton, atau secara tahunan permintaan dari kedua negara tersebut
menurun 2,86% dan 8,66% (yoy) menjadi 1.154 ribu ton dan 719 ribu ton pada
triwulan IV-2016.
(40,00)
(20,00)
-
20,00
40,00
60,00
80,00
0
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
4.000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2013 2014 2015 2016
%y
oy
rib
u t
on
Volume growth
(20,00)
(10,00)
-
10,00
20,00
30,00
40,00
-
100,00
200,00
300,00
400,00
500,00
600,00
700,00
800,00
900,00
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2013 2014 2015 2016
%yo
y
rib
u t
on
Volume growth
(120,00)
(100,00)
(80,00)
(60,00)
(40,00)
(20,00)
-
20,00
40,00
60,00
-
50,00
100,00
150,00
200,00
250,00
300,00
350,00
400,00
450,00
500,00
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2013 2014 2015 2016
%yo
y
ribu t
on
Volume growth
-100
-50
0
50
100
150
200
250
-
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
3,50
4,00
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2013 2014 2015 2016
%yo
y
rib
u t
on
Volume growth
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
20
Adapun sumber peningkatan volume ekspor pada triwulan laporan terutama berasal
dari India dan MEE yang masing-masing tercatat sebesar 863 ribu ton dan 764 ribu
ton, meningkat 19,90% dan 1,11% (yoy) dibandingkan triwulan IV-2015 yang
masing-masing sebesar 720 ribu dan 756 ribu ton.
Grafik 1.15 Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah Tujuan
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Seiring dengan mulai membaiknya perekonomian negara mitra dagang dan
meningkatnya harga komoditas perkebunan, kinerja ekspor triwulan I-2017
diperkirakan meningkat. Namun demikian, terdapat beberapa faktor yang dapat
menahan pertumbuhan ekspor Riau ke depan yaitu mulai diberlakukannya kebijakan
786 762 1.078 1.034 678 759 766 1.024 965 780 869 942 681 891 971 1.188
773 797 849 1.154
511 481
787 675 835 818 635
920 598
538 651 990
510 798 644
720
524 677 822 863 783 733
842 922 851 662 814
920
691 651 548
518
580
637 606 787
622 550 576
719 734 563
600 901 644 585 658
609
573 432
589
759
592
570 587
756
501 545 584
764 1.343
1.257
1.433 1.457
1.830 1.657 1.558
1.667
1.617 1.717
1.892
1.988
1.985
2.228
1.890
1.928
1.763 1.741 1.837
2.226
-
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014 2015 2016
rib
u t
on
Cina India ASEAN MEE Lainnya
Grafik 1.13 Ekspor CPO Dunia (Juta MT)
Grafik 1.14. Pertumbuhan Ekspor Non Migas Riil
-
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
45.000
50.000
Other Benin Thailand Papua New Guinea Malaysia Indonesia
Sumber: USDA
Sumber: Recent Economic Development BI
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
21
compound rubber1 Tiongkok sehingga diproyeksikan akan menurunkan demand dari
Tiongkok, black campaign CPO di kawasan Eropa, meningkatnya proteksi industri
dalam negeri maupun industri produk substitusi, pembatasan volume ekspor karet
terkait kesepakatan tri partit (Indonesia, Malaysia, Thailand) untuk mendorong
kenaikan harga dan kembali tertekannya harga minyak dunia menyebabkan
perbaikan harga komoditas yang tidak optimal, penerapan amandemen Solas2 1972
per 1 Juli 2016 terkait Verifikasi Berat Peti Kemas yang belum diiringi dengan
sosialisasi yang memadai dikhawatirkan menghambat aktivitas ekspor, serta
terjadinya gangguan produktivitas sawit akibat tingginya curah hujan. Dari pasar
keuangan gobal, risiko antara lain berasal dari arah kebijakan pemerintah AS dan
frekuensi kenaikan suku bunga lanjutan di AS tahun 2017, serta proses
penyeimbangan ekonomi dan penyehatan sektor keuangan di Tiongkok.
2.3.2. Impor
Perkembangan impor barang dan jasa Provinsi Riau pada triwulan IV-2016 tercatat
meningkat 27,43% (yoy), tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya
yang sebesar 11,61% (yoy). Meningkatnya impor terutama bersumber dari
komoditas non migas (Grafik 1.16). Jika dilihat dari jenis barang, impor barang modal
dan intermedier (Grafik 1.17 dan Grafik 1.18) tercatat mengalami peningkatan
dibandingkan triwulan lalu. Secara keseluruhan tahun 2016, impor juga tercatat
lebih tinggi yaitu mencapai 11,99% (yoy), meningkat dibandingkan tahun 2015 yang
mengalami kontraksi sebesar 7,65%. Namun peningkatan impor ini tertahan dengan
menurunnya impor barang konsumsi yang juga terindikasi dari menurunnya
konsumsi rumah tangga akibat masih terbatasnya perbaikan kondisi perekonomian
Riau.
1 Kebijakan Compound Rubber merupakan kebijakan yang diterapkan pemerintah Tiongkok
dalam menerapkan standar baru karet kompon yang berpengaruh terhadap bea masuk yang
dikenakan pemerintah setempat. 2 Amandemen SOLAS (Safety of Life at Sea) mengatur tentang keselamatan kapal dan berat
kotor peti kemas yang diangkut untuk melindungi keselamatan kapal dagang dan efektifitas
arus barang
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
22
Impor luar negeri pada triwulan I-2017 diperkirakan tumbuh lebih tinggi
dibandingkan triwulan IV-2016. Hal ini dipicu oleh mulai meningkatnya daya beli
masyarakat serta penguatan nilai tukar yang pada triwulan IV-2016 secara rata-rata
tercatat sebesar Rp13.774,34/USD, membaik jika dibandingkan rata-rata nilai tukar
rupiah pada triwulan III-2016 yang sebesar Rp13.850,88/USD (Grafik 1.20). Namun
masih belum optimalnya kapasitas utilisasi perusahaan di tengah gejolak ekonomi
global berpotensi menahan laju impor.
Grafik 1.20 Nilai Tukar Rupiah terhadap USD
12.500
12.700
12.900
13.100
13.300
13.500
13.700
13.900
14.100
14.300
14.500
Jan
Feb
Mar
Ap
r
May Jun
Jul
Au
g
Sep
Oct
No
v
Dec Jan
Feb
Mar
Ap
r
May Jun
Jul
Au
g
Sep
Oct
No
v
Dec
2015 2016
1 USD/Rp Rata-rata Triwulanan
Rp Thd USD
Grafik 1.16. Perkembangan Impor Non Migas Riau
Grafik 1.17. Perkembangan Volume Impor Barang Modal di Provinsi Riau
Grafik 1.18. Perkembangan Impor Barang Intermedier
Grafik 1.19. Perkembangan Impor Barang Konsumsi
-100
0
100
200
300
400
500
600
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014 2015 2016
% yoyRibu Ton Impor Non Migas growth
(200)
(100)
-
100
200
300
400
500
600
700
800
-
20
40
60
80
100
120
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014 2015 2016
% yoyRibu Ton Barang Modal growth
(100)
-
100
200
300
400
500
600
700
-
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014 2015 2016
% yoyRibu Ton Barang Intermedier growth
(200)
(100)
-
100
200
300
400
500
600
-
5
10
15
20
25
30
35
40
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014 2015 2016
% yoyRibu Ton Barang Konsumsi growth
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Sumber : Bank Indonesia
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
23
3. PDRB SEKTORAL
Kinerja sektor utama perekonomian Provinsi Riau pada triwulan IV-2016 secara
umum menunjukkan peningkatan. Meningkatnya pertumbuhan dari sisi penawaran
terutama bersumber dari empat sektor utama yaitu sektor perkebunan, industri
pengolahan, konstruksi, dan perdagangan besar eceran, sementara sektor
pertambangan dan penggalian terkontraksi lebih dalam seiring dengan natural
declining yang terus berlanjut. Berakhirnya musim trek pada bulan Agustus 2016
mendorong peningkatan hasil perkebunan khususnya kelapa sawit. Selain itu adanya
perbaikan harga komoditas dapat memberikan dampak yang optimal terhadap
kinerja industri pengolahan. Di sisi lain, adanya perayaan Hari Besar Keagamaan
Nasional (HKBN) dan realisasi belanja langsung maupun infrastruktur pemerintah
turut mendorong peningkatan kinerja sektor perdagangan dan konstruksi.
Tabel 1.4. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral Dengan Migas (yoy,%)
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Secara keseluruhan tahun 2016, sektor perkebunan, industri pengolahan, dan
perdagangan tercatat tumbuh meningkat dibandingkan tahun 2015. Demikian juga
dengan kontraksi sektor pertambangan dan penggalian yang menunjukkan
I II III IV
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 0,35 3,66 4,63 3,06 4,55 3,98 0,08 0,92
Pertambangan dan Penggalian -6,91 -1,53 -3,19 -5,26 -6,81 -4,22 -2,12 -1,18
Industri Pengolahan 3,61 5,13 4,15 3,20 5,94 4,61 0,86 1,13
Pengadaan Listrik, Gas 6,43 15,90 15,64 14,79 8,28 13,52 0,00 0,01
Pengadaan Air 2,41 2,00 -1,15 -0,79 -1,70 -0,45 0,00 0,00
Konstruksi 6,39 3,84 4,87 5,25 5,63 4,92 0,51 0,41
Perdagangan Besar, Eceran, Rep. Mobil Motor 1,63 4,93 6,60 3,61 4,46 4,88 0,14 0,46
Transportasi dan Pergudangan 5,38 4,52 4,46 2,46 1,02 3,06 0,04 0,03
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 1,89 5,47 6,10 1,67 -0,12 3,17 0,01 0,02
Informasi dan Komunikasi 7,15 4,21 5,19 6,26 4,12 4,95 0,04 0,03
Jasa Keuangan 0,35 1,83 8,47 5,96 6,53 5,65 0,00 0,05
Real Estate 8,34 1,91 0,51 1,12 2,52 1,52 0,07 0,01
Jasa Perusahaan 7,67 0,19 1,34 1,64 7,11 2,64 0,00 0,00
Adm Pemerintahan, Pertahanan & Jam. Sos. 4,39 -3,53 3,31 -2,69 1,58 -0,30 0,07 0,00
Jasa Pendidikan 6,35 0,63 2,64 0,98 -1,34 0,68 0,03 0,00
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 9,94 0,17 1,03 0,93 0,13 0,56 0,02 0,00
Jasa lainnya 10,14 5,65 6,27 6,02 7,39 6,35 0,04 0,03
0,22 2,74 2,75 1,26 2,22 2,23 0,22 2,23
2,03 3,61 4,16 2,82 4,37 3,74 2,03 3,74
2016
Kontribusi
Pertumbuhan (%)
20152016 2016
Growth (yoy)
2015
PDRB
PDRB Tanpa Migas
Uraian
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
24
perbaikan dibandingkan tahun lalu. Sementara, sektor konstruksi tercatat tumbuh
melambat sejalan dengan realisasi investasi yang tidak setinggi tahun 2015.
Hingga triwulan I-2017, kinerja sektor perkebunan dan industri pengolahan
diperkirakan meningkat seiring dengan perbaikan harga komoditas dan kondisi
perekonomian negara mitra dagang yang diperkirakan mampu memberikan dampak
terhadap kenaikan permintaan.
3.1. Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan Provinsi Riau pada triwulan IV-2016
tercatat tumbuh 4,55% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan
triwulan III-2016 sebesar 3,06% (yoy). Peningkatan tersebut utamanya bersumber
dari subsektor pertanian, peternakan, perburuan dan jasa pertanian yang tercatat
sebesar 5,68% (yoy), tumbuh meningkat dibandingkan pertumbuhan triwulan
sebelumnya yang sebesar 3,43% (yoy). Secara keseluruhan, laju pertumbuhan sektor
pertanian, kehutanan, dan perikanan pada tahun 2016 juga mengalami peningkatan
yaitu 3,98% (yoy), lebih tinggi jika dibandingkan realisasi 2015 yang hanya sebesar
0,35% (yoy).
Meningkatnya kinerja sektor pertanian, kehutanan dan perikanan pada triwulan
laporan terindikasi dari peningkatan produksi TBS pasca musim trek sejak Agustus
2016 lalu. Peningkatan produksi juga diikuti dengan perbaikan harga kelapa sawit
dan karet baik lokal maupun global (Grafik 1.21 dan Grafik 1.22).
Grafik 1.21. Perkembangan Harga Karet
Sumber: Bloomberg
Grafik 1.22. Perkembangan Harga Sawit
Sumber : Bloomberg
1,30
1,50
1,70
1,90
2,10
2,30
2,50
2,70
13.000
14.000
15.000
16.000
17.000
18.000
19.000
20.000
21.000
I II II IV I II III IV I*
2015 2016 2017
Bokar
Karet Dunia
Rp/Kg $/MT
-
200
400
600
800
1.000
1.200
1.400
1.000
1.200
1.400
1.600
1.800
2.000
2.200
I II II IV I II II IV I II II IV I II II IV I II II IV I II II IV I II III IV I*
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
TBS CPO
Rp/Kg $/MT
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
25
Berdasarkan informasi dari contact liaison, produktivitas sawit semester I-2016
berada pada titik yang rendah seiring dengan terjadinya musim trek sehingga
menyebabkan terbatasnya suplai TBS yang secara otomatis mendorong kenaikan
harga TBS dan CPO, namun excess supply minyak nabati pada triwulan III-2016
menekan kenaikan harga komoditas global. Pada dasarnya beberapa faktor yang
menyebabkan volatilitas harga komoditas dunia ini, antara lain kondisi ekonomi
internasional, volume permintaan dan pasokan, fluktuasi nilai tukar dan pergerakan
harga minyak dunia.
Grafik 1.23. Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Pertanian
Sumber: BPS Provinsi Riau
Grafik 1.24. Likert Scale Pertanian
Sumber : Liaison Bank Indonesia
Grafik 1.25. Nilai Tukar Petani
Sumber : LBU Bank Indonesia
Grafik 1.26. Inflasi Pedesaaan
Sumber : LBU Bank Indonesia
Di sisi lain, sebagian besar penduduk di Provinsi Riau bekerja sebagai buruh/karyawan
dan terkonsentrasi pada sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan
perikanan. Besarnya komposisi penduduk yang bekerja di sektor pertanian
berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani terutama pada saat terjadi
tekanan dari sisi harga komoditas internasional yang terus mengalami penurunan.
Hal ini terlihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Riau yang pada triwulan IV-2016
-2,00
-1,50
-1,00
-0,50
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
I II III IV I II III IV I II III IV
2014 2015 2016
% yoy
Pertanian, Peternakan, Perburuan dan Jasa Pertanian
Perikanan
Kehutanan dan Penebangan Kayu
-4,00
-3,00
-2,00
-1,00
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Penjualan Domestik
Penjualan Ekspor
88
90
92
94
96
98
100
102
104
100
105
110
115
120
125
130
135
I II III IV I II III IV
2015 2016
Indeks Diterima Petani
Indeks Dibayar Petani
Nilai Tukar Petani
(20)
(15)
(10)
(5)
-
5
88
90
92
94
96
98
100
102
104
I II III IV I II III IV
2015 2016Nilai Tukar Petani g Total Inflasi Pedesaan
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
26
tercatat sebesar 102,23 meningkat jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang
sebesar 99,11 (Grafik 1.25)3. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai yang diterima
petani lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan. Selain itu, tekanan inflasi
pedesaan juga mengalami penurunan sehingga menyebabkan daya beli petani masih
relatif baik (Grafik 1.26).
Sementara itu, panen raya kedua tanaman pangan pada awal tahun 2017
diperkirakan mendorong membaiknya kinerja sektor pertanian pada triwulan
mendatang. Beberapa faktor yang mendorong peningkatan kinerja sektor ini antara
lain adalah adanya kontrak penjualan biodiesel pemerintah dengan perusahaan di
Riau serta program pemerintah yang cukup baik di bidang pertanian seperti,
intensifikasi dan perluasan areal tanam padi, jagung, kedelai melalui peningkatan
indeks pertanaman, bantuan alat produksi pertanian berupa traktor roda empat dan
handtractor kepada petani, program penanaman 284.417 hektar jagung pada tahun
2016, program pembagian kapal tangkap ikan bagi nelayan, serta perluasan area
tanam bawang merah dengan jumlah insentif Rp37,5 juta per hektar.
Adapun beberapa faktor yang berpotensi menahan laju pertumbuhan sektor
pertanian antara lain: i) belum disahkannya RTRW yang berdampak terhadap izin
sertifikat lahan yang tidak bisa dikeluarkan sehingga bantuan dana untuk replanting
kelapa sawit terhambat; dan ii) preferensi Tiongkok untuk mulai menggunakan
kedelai dibandingkan dengan kelapa sawit seiring dengan berkembangnya industri
peternakan serta selisih harga yang rendah.
3.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian
Kinerja sektor pertambangan Riau pada triwulan IV-2016 mengalami kontraksi
sebesar 6,81% (yoy), lebih dalam dibandingkan kontraksi triwulan sebelumnya yang
sebesar 5,26% (yoy). Semakin dalamnya kontraksi terutama bersumber dari
penurunan kinerja pertambangan minyak dan gas bumi yang pada triwulan IV-2016
tercatat kontraksi sebesar 7,49% (yoy), turun lebih dalam dibandingkan triwulan III-
2016 yang sebesar 5,61% (yoy) sebagaimana ditunjukkan Grafik 1.27. Namun
3 Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan salah satu indikator untuk mengetahui gambaran tentang
perkembangan tingkat pendapatan petani dari waktu ke waktu sebagai dasar kebijakan untuk
memperbaiki tingkat kesejahteraan petani. NTP dihitung dengan menggunakan rasio indeks
harga yang dibayar petani dengan yang diterima petani (dalam persen).
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
27
demikian, secara keseluruhan tahun 2016, kontraksi sektor pertambangan dan
penggalian mengalami perbaikan dari 6,91% (yoy) pada tahun 2015 menjadi 4,22%
(yoy). Contact liaison pada triwulan
laporan menginformasikan bahwa
cadangan minyak bumi masih cukup
banyak, namun mahalnya teknologi
yang dibutuhkan untuk kegiatan lifting
minyak bumi melalui secondary
recovery mengakibatkan perusahaan
tidak mampu untuk melakukannya.
Hal ini juga makin ditekan oleh
perkembangan harga minyak dunia yang masih terbatas (Grafik 1.31). Turunnya
lifting minyak dan gas bumi (Grafik 1.28) mengakibatkan porsi ekspor berkurang
sehingga produksi yang ada digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Grafik 1.28. Perkembangan Lifting Minyak Bumi Provinsi Riau
Sumber: Kementerian ESDM
Grafik 1.29. Perkembangan Kegiatan Usaha Pertambangan di Provinsi Riau
Sumber: SKDU Bank Indonesia
Grafik 1.30. Perkembangan Harga Batubara
Grafik 1.31. Harga Minyak Dunia
Sumber: Bloomberg
Sumber : Bloomberg
(16,00)
(14,00)
(12,00)
(10,00)
(8,00)
(6,00)
(4,00)
(2,00)
-
2,00
4,00
-
50,00
100,00
150,00
200,00
250,00
300,00
350,00
400,00
450,00
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I*
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
yo
y,%
rib
u b
are
l/h
ari
Lifting growth
-80
-60
-40
-20
0
20
40
60
I II III IV I II III IV I II III IV Tw-I Tw-II Tw-III Tw-IV
2013 2014 2015 2016
SBT
(30,00)
(20,00)
(10,00)
-
10,00
20,00
30,00
40,00
-
10
20
30
40
50
60
70
80
90
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I*
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
%
US
D/M
T
Coal Growth
-
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I*
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
US
D/b
bl
Minyak WTI
Minyak Minas
Grafik 1.27. Pertumbuhan Sektor Pertambangan dan Penggalian
-4,00
-3,00
-2,00
-1,00
0,00
1,00
I II III IV I II III IV I II III IV
2014 2015 2016
% yoy
Pertambangan Minyak dan GasBumi
Pertambangan Batubara dan Lignit
Sumber: BPS Provinsi Riau
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
28
Kontraksi sektor pertambangan dan penggalian pada tahun 2016 juga menunjukkan
perbaikan kontraksi yang cukup signifikan dari kontraksi 67,98% pada tahun 2015
menjadi 10,46% (yoy). Perbaikan kinerja di sektor pertambangan batubara ini sejalan
dengan perkembangan harga batubara dunia yang mulai menunjukkan peningkatan
akibat menurunnya produksi batubara di Tiongkok dan Amerika Serikat sehingga
perusahaan berupaya untuk terus mempertahankan produksi dalam rangka menjaga
eksistensi perusahaan dan memenuhi kontrak dengan buyer pada triwulan laporan
(Grafik 1.30).
Kinerja lifting minyak bumi di Riau ke depannya diperkirakan akan semakin menurun
akibat penurunan produktivitas sumur minyak yang sudah tua (natural declining) dan
minimnya penemuan sumber cadangan minyak baru yang produktif di Provinsi Riau.
Oleh sebab itu, pada triwulan berjalan subsektor pertambangan dan penggalian
diperkirakan akan mengalami kontraksi yang semakin dalam. Secara alamiah, lifting
migas mengalami penurunan seiring dengan cadangan minyak yang semakin
berkurang dan usia sumur yang tua serta keterbatasan untuk melakukan eksplorasi
baru. Akibatnya, produksi migas secara alamiah turun sekitar 8-12% per tahun
namun dengan investasi yang dilakukan penurunan dapat ditekan menjadi 6-7%.
Penurunan tersebut secara langsung berdampak terhadap perkiraan kontraksi yang
lebih dalam pada sektor pertambangan dan penggalian pada triwulan I-2017 seiring
dengan tingginya proporsi minyak dan gas terhadap sektor tersebut.
3.3. Sektor Industri Pengolahan
Kinerja sektor industri pengolahan
(termasuk industri pengolahan
migas) pada triwulan IV-2016
tumbuh sebesar 5,94% (yoy),
mengalami peningkatan jika
dibandingkan triwulan III-2016
yang tumbuh sebesar 3,20%
(yoy). Meningkatnya kinerja sektor
industri pengolahan pada triwulan
laporan utamanya didorong oleh peningkatan kinerja subsektor industri makanan
dan minuman (Grafik 1.32). Meningkatnya kinerja industri pengolahan juga
Grafik 1.32. Pertumbuhan Industri Pengolahan
Sumber: BPS Prov. Riau (diolah)
-0,50
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
I II III IV I II III IV I II III IV
2014 2015 2016
% yoy
Industri Batubara dan Pengilangan Migas
Industri Kertas dan Barang dari Kertas
Industri Makanan dan Minuman
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
29
tercermin dari angka pertumbuhan tahunan yang sebesar 4,61% (yoy), tumbuh lebih
tinggi dibandingkan 2015 yang sebesar 3,61% (yoy).
Meningkatnya kinerja sektor industri pengolahan sejalan dengan peningkatan sektor
pertanian, kehutanan, dan perkebunan (Grafik 1.33). Berdasarkan hasil liaison
triwulan IV-2016, peningkatan kinerja perusahaan yang bergerak di subsektor
pengolahan kelapa sawit didorong oleh meningkatnya permintaan produk turunan
CPO. Hal ini dikonfirmasi oleh perusahaan yang bergerak dalam memproduksi
produk turunan CPO seperti minyak goreng dan biodiesel. Khusus untuk biodiesel,
terjadi peningkatan yang siginifikan dalam permintaan biodiesel dalam negeri pada
tahun 2016 dibandingkan tahun 2015. Total penjualan biofuel dan biodiesel salah
satu perusahaan biofuel dan biodiesel terbesar di Indonesia pada tahun 2016
diperkirakan mencapai 1,3 juta ton. Jumlah ini jauh meningkat dibandingkan tahun
2015 yang hanya mampu menjual 360 ribu ton. Rendahnya penjualan di tahun 2015
disebabkan karena harga minyak dunia menurun sehingga harga biofuel dan
biodiesel kurang kompetitif. Sejak pertengahan tahun 2015, pemerintah membuat
langkah yang melegakan industri biofuel dalam negeri, dengan melakukan
pembelian biofuel untuk produksi biosolar bagi Pertamina. Pemerintah memberikan
subsidi dengan membeli biofuel pada level harga yang menguntungkan bagi
pengusaha yang berasal dari dana pungutan ekspor CPO yang mencapai 50 USD/ton.
Hal ini juga dilakukan dalam rangka pemenuhan mandatori campuran penggunaan
biodiesel ke dalam bahan bakar nabati mencapai 20%.
Grafik 1.33 Likert Scale Industri Pengolahan
Sumber : Liaison Bank Indonesia
Grafik 1.34. Indeks Makanan, Minuman dan Tembakau
Sumber: Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia
Kinerja industri pengolahan pada triwulan berjalan diperkirakan meningkat sejalan
dengan kebijakan 15% biodiesel kelapa sawit dalam BBN semakin digencarkan
sehingga meningkatkan penyerapan domestik. Selain itu, peningkatan penjualan
-4,00
-3,00
-2,00
-1,00
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Penjualan Domestik
Penjualan Ekspor
60
70
80
90
100
110
120
130
140
150
160
I II III IV I II III IV I II III IV
2014 2015 2016
Makanan, Minuman dan Tembakau
Indeks Total
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
30
domestik di subsektor industri pengolahan CPO menjadi Biodiesel terjadi akibat
didorong oleh peningkatan permintaan dari Pemerintah untuk mensuplai Pertamina.
Adapun faktor yang berpotensi menahan laju pertumbuhan sektor ini antara lain: i)
Black campaign CPO di Eropa, dalam bentuk penerapan bea masuk dan kewajiban
adanya label POF (Palm Oil Free), serta dari negara lain seperti India, Rusia dan
Tiongkok yang menerapkan adanya bea masuk; ii) pasokan BBM yang masih cukup
tinggi menyebabkan kembali rendahnya harga minyak dunia sehingga juga
memberikan tekanan bagi perkembangan harga komoditas perkebunan; iii)
keterbatasan pasokan TBS akibat persaingan dengan perusahaan indusri sejenis,
terutama pada saat harga membaik sehingga produksi perusahaan meningkat seiring
dengan meningkatnya permintaan; iv) tindakan anti dumping kertas oleh Amerika
Serikat; dan v) harga gas industri yang masih relatif tinggi serta adanya penyesuaian
tarif listrik yang berpotensi meningkatkan biaya dan menekan margin usaha.
3.4. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan
Sepeda Motor
Kinerja sektor perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda motor
pada triwulan IV-2016 tercatat meningkat dari 3,61% (yoy) pada triwulan III-2016
menjadi 4,46% (yoy) pada triwulan IV-2016. Meningkatnya pertumbuhan sektor ini
didorong oleh peningkatan kinerja subsektor perdagangan mobil, sepeda motor dan
reparasinya serta perdagangan besar dan eceran yang pada triwulan IV-2016
masing-masing tumbuh sebesar 5,24% dan 4,17% (yoy), lebih tinggi dibandingkan
triwulan sebelumnya yang masing-masing sebesar 3,29% dan 3,73% (yoy)
sebagaimana Grafik 1.35. Kondisi ini sejalan dengan pengeluaran rumah tangga
(Grafik 1.36) yang secara umum menunjukkan peningkatan. Secara tahunan, sektor
perdagangan juga tercatat tumbuh positif sebesar 4,88% (yoy), meningkat
dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 1,63% (yoy).
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
31
Grafik 1.35. Pertumbuhan Sektor Perdagangan berdasarkan subsektor
Sumber: BPS Provinsi Riau
Grafik 1.36 Jenis Pengeluaran Rumah Tangga
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Sejalan dengan hal tersebut, peningkatan kinerja sektor perdagangan besar dan
eceran juga tercermin dari meningkatnya Indeks Konsumsi Barang Tahan Lama
(Grafik 1.38) triwulan IV-2016 yang berada pada level optimis 107,25 lebih tinggi
dibandingkan triwulan sebelumnya yang berada pada level 104,75. Peningkatan
konsumsi barang tahan lama ini juga didorong oleh apresiasi nilai tukar pada akhir
tahun 2016 yang menyebabkan harga sparepart, suku cadang dan aksesoris lebih
murah dan terjangkau sehingga mendorong kinerja sektor perdagangan ke depan.
Hingga triwulan I-2017 kinerja sektor perdagangan diperkirakan terus meningkat
seiring dengan perbaikan harga komoditas yang terus berlanjut, kenaikan upah
minimum, dan relatif terjaganya tingkat inflasi diharapkan dapat mendorong daya
beli masyarakat.
-0,20
-0,10
0,00
0,10
0,20
0,30
0,40
0,50
I II III IV I II III IV I II III IV
2014 2015 2016
% yoy Perdagangan Mobil, Sepeda Motor dan Reparasinya
Perdagangan Besar dan Eceran
100
120
140
160
180
200
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2013 2014 2015 2016
Bahan makananMakanan jadi, Minuman, Rokok, dan TembakauPerumahan, Listrik, Gas, dan Bahan BakarSandangKesehatan
Grafik.1.37. Likert Scale Perdagangan
Sumber: Liaison Bank Indonesia
Grafik.1.38. Indeks Barang Tahan Lama
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
-4,00
-3,00
-2,00
-1,00
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Penjualan Domestik
Penjualan Ekspor9
9,0
0
94
,50
98
,40
10
0,0
0
10
0,0
0
10
4,0
0
11
8,5
0
10
5,0
0
10
8,7
3
90
,33
77
,00
99
,00
81
,20
10
5,7
4
10
4,7
5
10
7,2
5
0
20
40
60
80
100
120
140
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2013 2014 2015 2016
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
32
3.5. Sektor Konstruksi
Kinerja sektor konstruksi pada triwulan IV-2016 tercatat sebesar 5,63% (yoy),
meningkat dibandingkan triwulan III-2016 sebesar 5,25% (yoy). Hal ini terkonfirmasi
dari peningkatan kredit konstruksi (Grafik 1.39) dan konsumsi semen (Grafik 1.39)
pada triwulan IV-2016. Peningkatan kinerja sektor konstruksi tercermin dari
meningkatnya realisasi penyaluran dan pertumbuhan kredit konstruksi berdasarkan
lokasi bank di Provinsi Riau yang pada triwulan laporan tercatat membaik dari
kontraksi 6,01% (yoy) pada triwulan III-2016 menjadi kontraksi 2,01% (yoy)
sebagaimana ditunjukkan pada Grafik 1.38. Selain itu, volume realisasi konsumsi
semen yang pada triwulan laporan tumbuh positif sebesar 5,45% (yoy), meningkat
jika dibandingkan triwulan III-2016 yang terkontraksi sebesar 3,77% (yoy). Dilihat
dari volumenya, konsumsi semen pada triwulan IV-2016 mencapai 576,20 ribu ton,
lebih tinggi dibandingkan triwulan III-2016 maupun triwulan yang sama periode
2015 yang masing-masing sebesar 450,54 dan 546,40 ribu ton (Grafik 1.40).
Meskipun pertumbuhan investasi tahun 2016 hanya sebesar 4,88% (yoy) atau tidak
setinggi tahun 2015 yang sebesar 6,39% (yoy), terjaganya pertumbuhan positif
investasi tersebut didorong oleh beberapa faktor diantaranya masih berlanjutnya
proyek infrastruktur strategis seperti jalan tol dan pembangunan jalur kereta api;
perbaikan kondisi permodalan karena adanya penurunan suku bunga acuan yang
diharapkan dapat mendorong menurunnya tingkat suku bunga bank; kebijakan tax
amnesti diharapkan meningkatkan kapasitas permodalan, serta relaksasi LTV yang
berpotensi meningkatkan investasi properti (sektor konstruksi).
Grafik.1.39. Kredit Konstruksi
Sumber: LBU Bank Indonesia
Grafik.1.40. Konsumsi Semen
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
25
30
0
0,5
1
1,5
2
2,5
I II III IV I II III IV I II III IV
2014 2015 2016
Persen (%)Rp. TriliunKredit Konstruksi g - yoy
-20
-10
0
10
20
30
40
50
-
100,00
200,00
300,00
400,00
500,00
600,00
700,00
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
%
rib
u T
on
Konsumsi Semen g-yoy
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
33
Memasuki triwulan I-2017, kinerja sektor konstruksi diperkirakan agak sedikit
melambat. Kondisi ini sejalan dengan pola belanja pemerintah dan realisasi investasi
yang kecenderungannya mulai meningkat pada triwulan kedua. Masih tumbuh
positifnya kinerja sektor ini dapat menimbulkan optimisme bagi pelaku usaha
terhadap membaiknya daya beli masyarakat ke depan. Sebaliknya, apabila pelaku
swasta khawatir dalam merealisasikan investasinya terkait dengan kepatuhan wajib
pajak, terutama untuk penjualan rumah premium yang tercermin dari undisbursed
loan di kategori konstruksi yang didominasi oleh perumahan premium, dapat
menjadi faktor yang menghambat pertumbuhan sektor konstruksi. Demikian juga
dengan belum disahkannya RTRW masih menjadi faktor penghambat dalam
pengembangan sektor tersebut.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
35
1. KONDISI UMUM
Sejalan dengan perkiraan Bank Indonesia, inflasi Provinsi Riau pada triwulan IV
2016 mengalami peningkatan. Meningkatnya tekanan inflasi terutama bersumber
dari peningkatan inflasi volatile food akibat gangguan produksi di daerah pemasok
terutama komoditas bumbu-bumbuan dan daging segar yang mengalami
peningkatan harga secara signifkan. Selain itu, peningkatan juga terjadi pada
kelompok administered price akibat penyesuaian tarif listrik dan kenaikan harga
rokok, serta kelompok core akibat peningkatan harga nasi dengan lauk, sewa
rumah dan kontrak rumah. Namun demikian tekanan inflasi yang lebih tinggi pada
kedua kelompok tersebut tertahan oleh penurunan harga emas perhiasan, minyak
goreng dan gula pasir (kelompok core) serta relatif stabilnya tarif angkutan udara
(kelompok administered price). Relatif terkendalinya laju inflasi di Provinsi Riau tidak
ASESMEN
INFLASI DAERAH
Bab 2
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
36
terlepas dari berbagai koordinasi aktif Bank Indonesia, Pemerintah Daerah, dan
instansi terkait lainnya akan terus dilakukan dan difokuskan pada upaya menjamin
ketersediaan pasokan dan kelancaran distribusi untuk meminimalisir tekanan inflasi
yang lebih tinggi.
2. PERKEMBANGAN INFLASI PROVINSI RIAU
Inflasi Riau pada triwulan IV-2016 tercatat 4,04% (yoy), lebih tinggi dibandingkan
triwulan III-2016 yang sebesar 3,27% (yoy), dan lebih tinggi dibandingkan akhir
tahun 2015 yang sebesar 2,65% (yoy). Kondisi ini berbanding terbalik dengan
perkembangan inflasi nasional yang menunjukkan penurunan dari 3,07% (yoy)
pada triwulan III-2016 menjadi 3,02% (yoy) pada triwulan IV-2016, dan lebih
rendah dibandingkan realisasi inflasi tahun 2015 yang sebesar 3,35% (yoy). Jika
dilihat realisasi inflasi provinsi di Sumatera tahun 2016, inflasi terendah terjadi di
Provinsi Lampung sebesar 2,78% (yoy), sementara tertinggi terjadi di Provinsi
Bangka Belitung 6,75% (yoy) .
Gambar 2.1. Inflasi Riau, Sumatera dan Nasional Tw IV2016
dibandingkan dengan Historisnya (yoy)
Inflasi se-Sumatera Tahun 2016
Inflasi 3 Tahun Terakhir
Sumber : BPS, diolah
Secara tahunan, meningkatnya tekanan inflasi Riau bersumber dari ketiga
komponen baik core, volatile food maupun administered price. Peningkatan
Sumbar
4,89
Aceh
3,95
Sumut
6,34
Riau4,04%
Babel
6,75
Bengkulu
5,00
Lampung
2,78
Kepri
3,53
Sumsel
3,58
Jambi
4,39
8.36
3.35 3.02
8.65
2.65
4.04
8.62
3.05
4.53
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2014 2015 2016
% yoy Nasional Riau SumateraNasional
3,02%
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
37
tekanan inflasi secara signifikan terjadi pada kelompok volatile food terutama
bersumber dari kenaikan harga cabai merah akibat curah hujan yang tinggi
sehingga menyebabkan gagal panen di daerah sentra produksi seperti Sumatera
Utara dan Sumatera Barat. Selain itu tekanan inflasi volatile food juga bertambah
oleh peningkatan harga daging ayam ras dan telur ayam ras yang disebabkan
meningkatnya permintaan komoditas tersebut menjelang Natal dan Tahun Baru
2017. Meningkatnya tekanan inflasi juga terjadi pada kelompok administered price
dan kelompok core akibat meningkatnya tarif listrik pada bulan Oktober 2016,
harga rokok kretek dan rokok kretek filter karena meningkatnya tarif cukai rokok
(administered price), serta meningkatnya harga nasi dengan lauk, sewa rumah dan
kontrak rumah (core).
Gambar 2.2. Inflasi dan Sumbangan/Kontribusi Kelompok Barang dan Jasa (yoy)
Bila dilihat dari kota yang disurvei di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di Kota
Pekanbaru mencapai 4,19% (yoy), diikuti oleh Kota Dumai dan Kota Tembilahan
masing-masing 3,98% dan 2,58% (yoy). Tekanan inflasi di Kota Pekanbaru dan
INFLASI RIAU
2.65
4.42
1.92
3.27
4.04
IV I II III IV
2015 2016
INFLASI CORE VOLATILE FOOD ADMINISTERED PRICE
3.99
9.22
2.59
8.839.76
IV I II III IV
2015 2016
3.232.98
2.60 2.50
3.19
IV I II III IV
2015 2016
0.31
3.46
-0.260.02
0.42
IV I II III IV
2015 2016
Gangguan pasokan cabai merahterutama dari Sumut dan SumbarSeptember-November 2016
Peningkatan permintaan bahanpangan menjelang Natal dan TahunBaru
Kenaikan tariff cukai sehinggameningkatkan harga rokokkretek/kretek filter
Kenaikan tariff angkutan udara padaakhir tahun
Kenaikan tariff listrik di Oktober2016
Peningkatan konsumsi pemerintah Kegiatan sektor konstruksi
meningkat Depresiasi nilai tukar Faktor yang menahan: melemahnya
harga komoditas internasional
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
38
Kota Dumai menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan triwulan III-2016
yang masing-masing tercatat 3,37% (yoy) dan 3,07% (yoy). Sementara tekanan
inflasi di Kota Tembilahan relatif tetap pada tingkat inflasi 2,58% (yoy). Tingkat
inflasi antar ketiga kota (terutama Tembilahan dengan Pekanbaru dan Dumai)
mencerminkan disparitas inflasi yang relatif mengecil.
Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi Nasional,
Riau, Sumatera (yoy)
Grafik 2.2. Perkembangan Inflasi Ketiga Kota
di Riau (yoy)
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
Jika dilihat berdasarkan kelompok barang dan jasa yang disurvei di Provinsi Riau,
sumber peningkatan tekanan inflasi secara tahunan pada triwulan IV 2016
terutama berasal dari peningkatan yang cukup signifikan pada kelompok bahan
makanan dan kelompok makanan jadi yang masing-masing memberikan kontribusi
sebesar 2,56% dan 1,32% pada triwulan IV-2016, meningkat dibandingkan
triwulan lalu yang masing-masing memberikan kontribusi 2,23% dan 1,03%.
Tingkat inflasi tahunan pada kedua kelompok tersebut sebesar 9,73% dan 6,33%
(yoy), meningkat dari triwulan sebelumnya yang sebesar 8,71% dan 4,96% (yoy).
Sebaliknya penurunan kontribusi terjadi pada kelompok sandang dan kelompok
kesehatan yang mengalami penurunan dari 0,14% dan 0,08% menjadi 0,12% dan
0,06%. Di sisi lain kontribusi negatif masih terjadi pada kelompok transportasi dan
komunikasi yang sebesar -0,15% pada triwulan laporan, melanjutkan tren
kontribusi negatif dari triwulan lalu.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2015 2016
% yoy Nasional Riau Sumatera
0
2
4
6
8
10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2015 2016
% yoy Pekanbaru Dumai Tembilahan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
39
Grafik 2.3. Inflasi Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Provinsi Riau
Sumber : BPS, diolah
Sementara itu, perkembangan inflasi Riau secara triwulanan tercatat sebesar 2,01%
(qtq), sama dengan realisasi inflasi triwulanan di triwulan III 2016 yang juga sebesar
2,01% (qtq). Namun demikian, realisasi inflasi Riau pada triwulan IV 2016 tercatat
lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata historisnya dalam kurun waktu 5
(lima) tahun terakhir yang sebesar 1,86% (qtq).
Grafik 2.4. Perkembangan Inflasi Riau Nasional secara Triwulanan (qtq)
Sumber : BPS, diolah
Tekanan inflasi Riau secara triwulanan didorong oleh kenaikan harga subkelompok
bumbu-bumbuan, dan sub kelompok rokok, tembakau dan minuman beralkohol.
Berdasarkan komoditasnya, peningkatan tekanan inflasi terjadi pada subkelompok
bumbu-bumbuan yang bersumber dari kenaikan harga cabai merah, cabai hijau
dan bawang merah, akibat berkurangnya supply dari daerah sentra produksi di
-1.0
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
-2
0
2
4
6
8
10
Bhn Makanan Makanan Jadi Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan,Rekreasi
TransportKomunikasi
% Kontribusi Inflasi (% yoy) Inf.yoy Tw III 2016 Inf.yoy Tw IV 2016
Kont.yoy Tw III 2016 Kont.yoy Tw IV 2016
-2
0
2
4
6
I II III IV I II III IV I II III IV
2014 2015 2016
(% qtq) Riau Nasional Sumatera
-2
-1
0
1
2
3
4
5
I II III IV I II III IV I II III IV
2014 2015 2016
(% qtq) Pekanbaru Dumai Tembilahan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
40
Sumatera Utara dan Sumatera Barat yang disebabkan oleh tingginya curah hujan
sehingga mengakibatkan gangguan produksi/gagal panen. Sementara itu
peningkatan subkelompok rokok, tembakau, minuman beralkohol terjadi akibat
meningkatnya harga rokok kretek dan rokok kretek filter akibat peningkatan tarif
cukai rokok.
Grafik 2.5. Historis Inflasi selama Tw IV di Provinsi Riau (qtq)
Sumber : BPS, diolah
Jika dilihat berdasarkan kelompok barang dan jasa yang disurvei, Inflasi tertinggi
berasal dari kelompok bahan makanan diikuti oleh kelompok makanan jadi, dan
kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga dengan tingkat inflasi masing-masing
sebesar 4,89%, 2,17%, dan 1,40% (qtq), atau masing-masing memberikan andil
inflasi sebesar 1,29%, 0,45% dan 0,09%. Sementara itu, realisasi inflasi triwulanan
terendah terjadi pada kelompok kesehatan dan kelompok sandang dengan tingkat
inflasi sebesar 0,05% dan -0,22% (qtq).
Grafik 2.6. Inflasi dan Kontribusi Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa Tw IV 2016 di Riau (qtq)
Sumber : BPS, diolah
1.581.86 1.93
1.641.98
1.04
2.012.26
1.37
0.67
-0.5
0.5
1.5
2.5
3.5
Nasional Riau Pekanbaru Dumai Tembilahan
% (qtq) Historis 2011-2015 Tw IV-2016
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
-1
0
1
2
3
4
5
6
Bhn MakananMakanan Jadi Perumahan Sandang KesehatanPendidikan, RekreasiTransport Komunikasi
% Kontribusi Inflasi (% qtq) Inf.qtq Tw III 2016 Inf.qtq Tw IV 2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
41
2.1. Inflasi Kota
2.1.1. Inflasi Kota Pekanbaru
Pada triwulan IV-2016, Kota Pekanbaru mengalami inflasi sebesar 4,19% (yoy),
lebih tinggi jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 3,37% (yoy).
Meningkatnya tekanan inflasi di Kota Pekanbaru terutama bersumber dari
kelompok volatile food yang tercatat mengalami inflasi 10,46% (yoy), lebih tinggi
dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 9,60% (yoy). Tingginya inflasi
kelompok volatile food disebabkan oleh kondisi curah hujan yang cukup tinggi
sehingga beberapa sentra produksi di Sumatera Utara dan Sumatera Barat
mengalami gagal panen dan mengakibatkan berkurangnya pasokan cabai merah
yang memberikan kontribusi cukup tinggi (1,18%) terhadap inflasi Pekanbaru
selama triwulan IV 2016.
Selain itu, sumber tekanan inflasi juga bersumber dari kelompok inti yang tercatat
3,50% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan III-2016 yang sebesar 2,58% (yoy).
Meningkatnya laju inflasi inti disebabkan oleh kenaikan harga nasi dengan lauk
(kelompok makanan jadi), sewa rumah, kontrak rumah (kelompok perumahan),
dan kenaikan tarif pulsa ponsel serta biaya Sekolah Menengah Pertama dan
Sekolah menengah Atas (kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga). Di sisi lain,
peningkatan inflasi core yang lebih tinggi tertahan oleh penurunan harga minyak
goreng dan emas perhiasan yang diakibatkan oleh menurunnya harga komoditas
CPO dan emas di pasar internasional. Sementara itu, inflasi administered price
masih tercatat deflasi 0,30% (yoy), meskipun tidak sedalam deflasi pada triwulan
sebelumnya yang sebesar 0,61%(yoy). Tekanan inflasi berasal dari meningkatnya
tarif listrik di Oktober 2016 dan kenaikan rokok kretek dan rokok kretek filter yang
disebabkan meningkatnya tarif cukai rokok.
Dilihat berdasarkan kelompok barang jasa, inflasi di Pekanbaru pada triwulan
laporan bersumber dari semua kelompok kecuali kelompok transportasi &
komunikasi yang mengalami deflasi 0,90% (yoy). Tekanan inflasi tertinggi berasal
dari kelompok bahan makanan dan makanan jadi yang masing-masing
memberikan andil sebesar 2,49% dan 1,33%, dengan tingkat inflasi 10,34% dan
6,56% (yoy). Laju inflasi kelompok bahan makanan dan makanan jadi tersebut
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
42
tercatat lebih tinggi dibandingkan triwulan III-2016 yang tercatat 9,44% dan
5,00% (yoy) dengan andil masing-masing sebesar 2,20% dan 1,01%.
Grafik 2.7 Perkembangan Inflasi Pekanbaru
dan Rata-rata Historis Tw IV (2011-2015)
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.8. Andil Berdasarkan Kelompok
Barang dan Jasa di Pekanbaru Tw IV 2016
Sumber : BPS, diolah
2.1.2. Inflasi Kota Dumai
Sejalan dengan perkembangan inflasi kota Pekanbaru, inflasi Kota Dumai juga
tercatat mengalami peningkatan, dari 3,07% di triwulan III 2016 menjadi 3,98%
(yoy) pada triwulan IV 2016. Meningkatnya tekanan inflasi di Kota Dumai terutama
bersumber dari kelompok volatile food seiring dengan kenaikan harga komoditas
bumbu-bumbuan seperti cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah, harga ikan
segar yaitu nila, tongkol, kembung, dan gabus, serta beberapa jenis sayuran seperti
bayam dan buncis. Kenaikan harga komoditas tersebut juga dipicu oleh gangguan
pasokan dari daerah sentra produksi yang banyak memasok kebutuhan ke Kota
Dumai terutama dari Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Selain kelompok volatile food, tekanan inflasi dari kelompok core juga mengalami
peningkatan dari 2,11% menjadi 2,52% (yoy), demikian halnya kelompok
administered price yang meningkat dari 1,67% menjadi 2,93% (yoy). Peningkatan
inflasi core bersumber dari meningkatnya harga nasi dengan lauk, sewa rumah,
dan kenaikan tarif pulsa ponsel pada periode laporan, sementara peningkatan
inflasi administered price bersumber pada peningkatan tarif listrik pada Oktober
2016 dan peningkatan harga rokok kretek filter yang disebabkan oleh
meningkatnya tarif cukai. Peningkatan inflasi pada kelompok core tertahan oleh
menurunnya beberapa harga komoditas diantaranya harga emas perhiasan dan
gula pasir.
-1
0
1
2
3
4
5
-2
0
2
4
6
8
10
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2013 2014 2015 2016
% (qtq)% (yoy) Inflasi Triwulanan Inflasi Tahunan avg yoy 5th
10.34
6.56
1.061.97
1.17
3.98
-0.90
-1.0
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
-2
0
2
4
6
8
10
12
BahanMakanan
MakananJadi
Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan,Rekreasi
Transport &Kom
% kontribusiInflasi (% yoy) Inf.yoy Tw IV 2016 Kont.yoy Tw IV 2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
43
Apabila dilihat per kelompok komoditas, kelompok bahan makanan dan makanan
jadi memiliki kontribusi terbesar terhadap inflasi Kota Dumai pada triwulan IV-2016
masing-masing 2,17% dan 1,41%, dengan tingkat inflasi 8,36% dan 6,65% (yoy).
Kontribusi tersebut meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar
1,74% dan 1,10% dengan tingkat inflasi 6,73% dan 5,25% (yoy). Sementara itu,
kelompok yang memiliki andil inflasi terendah adalah transportasi dan komunikasi
yang bahkan tercatat deflasi 0,11% dengan tingkat deflasi pada triwulan laporan
sebesar 0,71% (yoy), meskipun tidak sedalam dibandingkan triwulan sebelumnya
yang tercatat deflasi sebesar 1,21% (yoy).
2.1.3. Inflasi Kota Tembilahan
Berbeda dengan kedua kota perhitungan inflasi lainnya, tekanan inflasi Kota
Tembilahan pada triwulan laporan tercatat sebesar 2,58% (yoy), sama dengan
realisasi inflasi pada triwulan sebelumnya yang juga sebesar 2,58% (yoy). Tekanan
inflasi bersumber dari kelompok volatile food yang meningkat dari 5,30% menjadi
6,24% (yoy), serta kelompok administered price yang tercatat sedikit meningkat
dari 0,75% menjadi 0,87% (yoy). Peningkatan inflasi volatile food bersumber dari
meningkatnya harga bumbu-bumbuan antara lain cabai merah, cabai rawit,
bawang merah, dan bawang putih, harga beras, udang basah, serta daging ayam
ras. Sementara itu kenaikan inflasi administered price, bersumber dari kenaikan tarif
listrik dan harga rokok kretek filter pada Oktober 2016.
Di sisi lain, inflasi core mengalami penurunan dari 1,88% di triwulan III 2016
menjadi 1,36% (yoy) pada triwulan IV 2016. Menurunnya tekanan inflasi core
tersebut utamanya disumbang oleh menurunnya harga komoditas emas perhiasan
Grafik 2.9. Perkembangan Inflasi Kota Dumai
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.10. Andil Berdasarkan Kelompok
Barang dan Jasa di Kota Dumai Tw III-2016
Sumber : BPS, diolah
-1
0
1
2
3
4
5
-2
0
2
4
6
8
10
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2013 2014 2015 2016
% (qtq)% (yoy) Inflasi Triwulanan Inflasi Tahunan avg yoy 5th
8.36
6.65
1.91 1.45
2.73
0.71 -0.71
-1.0
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
-2
0
2
4
6
8
10
12
BahanMakanan
MakananJadi
Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan,Rekreasi
Transport &Kom
% kontribusiInflasi (% yoy) Inf.yoy Tw IV 2016 Kont.yoy Tw IV 2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
44
seiring menurunnya haga emas internasional. Namun demikian, penurunan inflasi
core lebih dalam tertahan oleh peningkatan harga minyak goreng dan kenaikan
tarif pulsa ponsel yang tejadi pada Desember 2016.
Berdasarkan kelompok barang dan jasa, kelompok bahan makanan memiliki
kontribusi terbesar di Kota Tembilahan yaitu 1,74% dengan tingkat inflasi 6,04%
(yoy). Kontribusi tersebut meningkat dibandingkan triwulan III 2016 yang sebesar
1,45% dengan tingkat inflasi 5,12% (yoy). Kelompok penyumbang inflasi terbesar
kedua adalah kelompok makanan jadi, minuman, rokok tembakau dengan
kontribusi 0,65% dan tingkat inflasi 3,20% (yoy), mengalami penurunan jika
dibandingkan triwulan sebelumnya yang memberikan kontribusi 0,80% dan
tingkat inflasi 3,88% (yoy). Kelompok transportasi dan komunikasi menjadi
kelompok dengan kontribusi terendah terhadap inflasi Kota Tembilahan, yaitu
sebesar -0,23%, atau tercatat deflasi sebesar 2,22%(yoy). Meski demikian deflasi
tersebut tidak sedalam triwulan III-2016 yang memberikan kontribusi -0,26%
dengan tiingkat deflasi 2,48% (yoy).
Grafik 2.11. Perkembangan Inflasi Kota Tembilahan
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.12. Andil Berdasarkan Kelompok Barang
dan Jasa di Kota Tembilahan Tw IV-2016
Sumber : BPS, diolah
2.2. Disagregasi Inflasi1 (yoy)
Meningkatnya inflasi Riau pada triwulan IV 2016 didorong oleh tekanan inflasi
terutama berasal dari kelompok volatile food. Kenaikan inflasi volatile food tersebut
utamanya disebabkan oleh kenaikan harga bumbu-bumbuan terutama cabai
merah, cabai rawit, dan bawang merah akibat gagal panen di beberapa sentra
produksi sehingga mengganggu ketersediaan pasokan. Sementara itu, meskipun
1
Disagregasi dilakukan dengan pendekatan subkelompok
-1
-1
0
1
1
2
2
3
3
4
4
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
I II III IV I II III IV I II III IV
2014 2015 2016
% (qtq)% (yoy) Inflasi Triwulanan Inflasi Tahunan avg yoy 2th
6.04
3.20
0.41
3.253.86
0.30
-1.0
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
-2
0
2
4
6
8
10
BahanMakanan
MakananJadi
Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan,Rekreasi
Transport &Kom
% kontribusiInflasi (% yoy) Inf.yoy Tw IV 2016 Kont.yoy Tw IV 2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
45
tidak mengalami peningkatan secara signifikan, tekanan inflasi administered price
dan inflasi core juga lebih tinggi dibandingkan triwulan III 2016. Faktor yang
mendorong peningkatan inflasi administered price adalah terkait penyesuaian tarif
listrik pada bulan Oktober 2016 dan kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif
cukai rokok sehingga meningkatkan harga rokok kretek dan rokok kretek filter di
Pekanbaru, Dumai, dan Tembilahan. Pada inflasi core, tekanan inflasi berasal dari
peningkatan harga nasi dengan lauk, kontrak rumah, sewa rumah, dan tarif pulsa
ponsel.
Grafik 2.13. Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy)
Sumber : BPS, diolah
2.2.1. Inflasi Inti (Core)
Laju inflasi core pada triwulan IV-2016 tercatat sebesar 3,19% (yoy), lebih tinggi
dibandingkan triwulan III-2016 yang mencapai 2,50% (yoy). Meningkatnya tekanan
inflasi core bersumber dari peningkatan harga nasi dengan lauk yang disebabkan
meningkatnya harga bahan baku (terutama beras dan komoditas bumbu-
bumbuan), peningkatan harga kontrak rumah dan sewa rumah akibat peningkatan
tarif listrik di Oktober 2016, serta meningkatnya tarif pulsa ponsel yang disebabkan
peningkatan harga dari provider telekomunikasi yang rutin dilakukan menjelang
perayaan Hari Besar Keagamaan Nasional. Faktor yang menahan peningkatan laju
inflasi core lebih tinggi adalah penurunan harga beberapa komoditas seperti emas
perhiasan, minyak goreng, dan gula pasir akibat menurunnya harga komoditas
emas dan CPO di pasar internasional. Selain itu relatif terjaganya pasokan
-5
0
5
10
15
20
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2013 2014 2016
(% yoy)CPI Core Volatile Food Administered
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
46
komoditas core secara umum, relatif stabilnya nilai tukar rupiah, terkendalinya
ekspektasi masyarakat, dan cenderung moderatnya tekanan permintaan secara
umum juga menahan laju peningkatan inflasi core di triwulan IV 2016.
Jika dilihat berdasarkan kota yang disurvei, inflasi core terendah pada triwulan IV-
2016 terjadi di Kota Tembilahan sebesar 1,73% (yoy), sementara inflasi core
tertinggi terjadi di Pekanbaru dan Dumai masing-masing sebesar 4,81%dan 3,73%
(yoy).
Grafik 2.14. Perkembangan Inflasi Inti (core) di
Riau (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.15. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah
Terhadap USD
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 2.16. Perkembangan Harga Emas
Dunia
Sumber : Bloomberg, diolah
Grafik 2.17. Perkembangan Inflasi Tradables
Goods dan Non Tradable Goods (yoy)
Sumber : BPS, diolah
2.2.2. Inflasi Volatile Food
Perkembangan harga kelompok volatile food pada periode triwulan laporan
tercatat sebesar 9,76% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang
sebesar 8,83% (yoy). Meningkatnya tekanan inflasi volatile food terutama didorong
0
2
4
6
8
10
I II III IV I II III IV I II III IV
2014 2015 2016
% (yoy) RIAU Pekanbaru Dumai Tembilahan
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
1 J
uly
20
14
14
Au
gu
st 2
01
4
19
Se
pte
mb
er
20
14
27
Oct
ob
er
20
14
2 D
ece
mb
er
20
14
12
Ja
nu
ary
20
15
17
Fe
bru
ary
20
15
26
Ma
rch
20
15
5 M
ay
20
15
12
Ju
ne
20
15
24
Ju
ly 2
01
5
1-S
ep
-15
8 O
kt
20
15
16
No
p 2
01
5
22
De
s 2
01
5
1-F
eb
-16
10
-Ma
r-1
6
18
-Ap
r-1
6
26
Me
i 2
01
6
1-J
ul-
16
12
Ag
ust
20
16
21
-Se
p-1
6
27
Okt
20
16
2 D
es
20
16
-30
-20
-10
0
10
20
30
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2014 2015 2016
g (% yoy)$/OZ Harga Emas growth (yoy)
0
2
4
6
8
10
12
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2013 2014 2015 2016
% (yoy)Tradeable Non Tradeable
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
47
oleh inflasi yang terjadi pada subkelompok bumbu-bumbuan yaitu cabai merah dan
bawang merah.
Berdasarkan hasil Survei Pemantauan Harga (SPH) Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Provinsi Riau, harga cabai merah mulai mengalami peningkatan mulai
September sampai dengan November 2016 pada kisaran harga Rp.60.000-
93.000/Kg. Kenaikan harga tersebut dipicu oleh kenaikan harga dari daerah
pemasok seperti Sumatera Utara dan Sumatera Barat akibat curah hujan tinggi
yang menyebabkan gagal panen di sentra produksi sehingga supply cabai di pasar
menjadi terbatas.
Jika dilihat dari ketiga kota perhitungan inflasi di Riau, inflasi volatile food tertinggi
pada triwulan IV-2016 terjadi di Kota Pekanbaru sebesar 10,46% (yoy), diikuti oleh
Dumai dan Tembilahan masing-masing sebesar 8,24% dan 6,24% (yoy). Inflasi
volatile food di ketiga kota tersebut tercatat meningkat bila dibandingkan triwulan
III-2016 yang masing-masing tercatat 9,60%, 6,53%, dan 5,30% (yoy).
Grafik 2.18. Perkembangan Inflasi Volatile
Food di Riau (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.20. Perkembangan Harga
Komoditas Beras di Kota Pekanbaru
Grafik 2.19. Perkembangan Harga Komoditas
Bumbu-bumbuan di Pekanbaru
Sumber : Survei Pemantantauan Harga BI
Grafik 2.21. Perkembangan Harga Daging dan
Telur di Kota Pekanbaru
-4
0
4
8
12
16
20
24
28
I II III IV I II III IV I II III IV
2014 2015 2016
% (yoy) RIAU Pekanbaru Dumai Tembilahan
10,000
12,000
14,000
16,000
18,000
20,000
22,000
24,000
26,000
I II III IV I II III IV V I II III IV I II III IV I II III IV V I II III IV I II III IV I II III IV V I II III IV
Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov Des
Rp Beras Kualitas Murah I Beras Kualitas Murah II Beras Kualitas Medium I
Beras Kualitas Medium II Beras Kualitas Super I Beras Kualitas Super II
15,000
25,000
35,000
45,000
55,000
65,000
75,000
85,000
95,000
105,000
I II III IV I II III IV V I II III IV I II III IV I II III IV V I II III IV I II III IV I II III IV V I II III IV
Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov Des
Rp Cabe Merah Besar Cabe Merah Keriting Cabe Rawit
Bawang Merah Bawang Putih
-
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
140,000
160,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
40,000
45,000
I II III IV I II III IV V I II III IV I II III IV I II III IV V I II III IV I II III IV I II III IV V I II III IV
Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov Des
RpRpDaging Ayam Ras Telur Ayam Ras Daging Sapi
Sumber : Survei Pemantantauan Harga BI
Sumber : Survei Pemantantauan Harga BI
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
48
2.2.3. Inflasi Administered Prices
Pada triwulan IV-2016 kelompok administered prices mengalami inflasi sebesar
0,42% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan III-2016 yang mengalami inflasi
sebesar 0,02% (yoy). Inflasi administered price pada triwulan laporan terutama
bersumber dari kenaikan tarif listrik dan harga rokok kretek dan rokok kretek filter.
Kenaikan harga komoditas tersebut disebabkan oleh kebijakan yang ditetapkan
oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terkait penyesuaian tarif listrik
sebagai dampak kenaikan harga minyak dan depresiasi nilai tukar Rupiah di bulan
Oktober 2016, serta kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif cukai rokok.
Jika dilihat per kota perhitungan inflasi di Provinsi Riau, tekanan inflasi administered
price tertinggi terjadi di Kota Dumai dengan tingkat inflasi sebesar 2,93% dikuti
Kota Tembilahan sebesar 0,87% (yoy), sementara di Kota Pekanbaru terjadi deflasi
sebesar 0,30% (yoy).
Grafik 2.22. Perkembangan Inflasi Administered Price (yoy)
Sumber : BPS, diolah
2.3 Prospek Perkembangan Harga Barang dan Jasa Triwulan Berjalan
Secara tahunan, realisasi inflasi Riau pada bulan Januari 2017 sebesar 5,21% (yoy),
lebih tinggi jika dibandingkan posisi Desember 2016 yang sebesar 4,04% (yoy).
Namun demikian realisasi inflasi tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan
rata-rata inflasi periode Januari tahun 2012-2016 yang sebesar 5,33% (yoy). Inflasi
Riau tahunan tersebut melewati sasaran inflasi nasional yang sebesar 4±1% (yoy).
-4
0
4
8
12
16
20
24
28
I II III IV I II III IV I II III IV
2014 2015 2016
% (yoy) RIAU Pekanbaru Dumai Tembilahan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
49
Meningkatnya tekanan inflasi pada Januari 2017 terutama didorong oleh kenaikan
harga komoditas yang diatur pemerintah (administered price) seperti biaya
perpanjangan STNK, tarif listrik, rokok kretek filter, rokok putih, dan bensin.
Kenaikan biaya perpanjangan STNK mengacu pada PP No.60 Tahun 2016 tentang
Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), menggantikan
ketentuan PP No.50 Tahun 2010 dan berlaku sejak 6 Januari 2017. Sedangkan,
kenaikan harga rokok disebabkan oleh kenaikan tarif cukai rokok tahun 2017 mulai
10,54% s/d 13% sehingga kenaikan harga jual eceran (HJE) rata-rata meningkat
sebesar 12,26%. Selain itu, komoditas bensin juga mengalami inflasi akibat
kenaikan harga bensin non subdisi seperti Pertamax, Pertalite, Pertamina Dex, dan
Dexlite masing-masing sebesar Rp300/liter sejak tanggal 5 Januari 2017 seiring
dengan kenaikan harga minyak dunia.
Tekanan inflasi core pada Januari 2017 juga meningkat, disebabkan oleh kenaikan
tarif pulsa ponsel, sewa rumah, dan mobil. Meningkatnya tarif pulsa ponsel
terpantau sejak September 2016 disebabkan operator jasa telekomunikasi
bermaksud untuk menutup biaya investasi setelah terjadi kompetisi harga pada
periode sebelumnya. Selain itu, perubahan tarif pulsa juga dilakukan untuk
mengantisipasi lonjakan permintaan pada momentum tertentu seperti tahun baru
dan hari kebesaran agama sehingga untuk memenuhi kenaikan permintaan
tersebut perusahaan harus melakukan ekspansi dengan penambahan infrastruktur
Base Transceiver Station (BTS) yang berdampak pada penambahan biaya
operasional. Kenaikan harga sewa rumah disebabkan oleh mengikuti pola musiman
kenaikan harga pada awal tahun, serta akibat adanya kenaikan tarif listrik.
Sementara itu, kenaikan harga mobil dipengaruhi oleh faktor kenaikan upah
minimum dan kebijakan pemerintah terkait bea balik nama. Meskipun demikian,
tekanan inflasi inti lebih tinggi tertahan oleh turunnya harga telepon seluler dan
gula pasir
Kelompok volatile food, meskipun masih memberikan andil inflasi yang relatif
tinggi, namun secara tahunan sedikit menurun dibandingkan posisi Desember
2016. Tekanan inflasi volatile food pada awal tahun berasal dari berkurangnya
pasokan komoditas ikan segar (ikan mujair dan udang basah) yang disebabkan
menurunnya produksi budidaya akibat tingginya curah hujan pada awal tahun
2017. Di sisi lain, faktor yang menahan peningkatan inflasi volatile food lebih tinggi
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
50
adalah penurunan harga cabai merah dan bawang merah, melanjutkan tren
penurunan harga cabai merah dan bawang merah di Riau yang terjadi sejak
Desember 2016.
Tekanan inflasi cukup tinggi dengan tendensi meningkat terjadi di seluruh
kabupaten/kota. Inflasi tertinggi terjadi di Kota Dumai sebesar 1,58% (mtm) atau
4,94% (yoy), meningkat dibandingkan Desember 2016 yang tercatat 0,07% (mtm)
atau 3,98% (yoy), utamanya akibat kenaikan tarif listrik, dan harga daging ayam
ras. Inflasi tertinggi kedua terjadi di Kota Pekanbaru sebesar 1,46% (mtm) atau
5,45% (yoy), lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumya sebesar 0,27% (mtm)
atau 4,19% (yoy) seiring dengan meningkatnya tarif listrik, rokok kretek filter, sewa
rumah, ikan mujair, rokok putih, mobil, dan bensin. Sementara itu, inflasi Kota
Tembilahan tercatat terendah di Provinsi Riau yaitu sebesar 1,19% (mtm) atau
3,32% (yoy), meningkat dibandingkan Desember 2016 yang sebesar 0,02% (mtm)
atau 2,58% (yoy). Hal tersebut diakibatkan kenaikan tariff pulsa ponsel, cabai
rawit, besi beton, udang basah, papan, beras dan biaya perpanjangan STNK
Grafik 2.23. Pergerakan Inflasi Tahunan Riau
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.24. Perbandingan Inflasi Januari Riau
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.25. Perkiraan Harga 3 Bulan Ke
Depan
Sumber : Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik 2.26. Perkiraan Kondisi ke Depan
Sumber : Survei Konsumen Bank Indonesia
0
2
4
6
8
10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1
2015 2016 2017
(% yoy)
Axis Title
Nas Riau Pku Dum Tbh
3.49
5.21 5.454.94
3.32
6.44 6.26 6.136.43
7.30
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Nasional Riau Pekanbaru Dumai Tembilahan
% yoy) Jan 2017 avg Jan (2013-2015)
130
140
150
160
170
180
190
200
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Jan
2013 2014 2015 2016 2017
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130
140
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Jan
2013 2014 2015 2016 2017
Indeks Kegiatan Usaha Indeks Penghasilan Konsumen
Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja Garis 100
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
51
2.4 Program Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Riau
Kegiatan TPID yang dilakukan pada periode laporan adalah pelaksanaan Rapat
Koordinasi TPID di Kabupaten Indragiri Hilir pada tanggal 19 Januari 2017, pokok
pembahasan dalam pertemuan dimaksud yaitu: (i) mengevaluasi upaya
pengendalian inflasi yang telah dilakukan oleh TPID Kab. Indragiri Hilir di tahun
2016 dan tantangan yang dihadapi khususnya tekanan yang berasal dari kelompok
volatile food dan (ii) tantangan pengendalian inflasi yang akan dihadapi di tahun
2017. Sebagai respon kebijakan jangan pendek dan beberapa hal yang perlu
mendapatkan perhatian khusus bagi TPID antara lain: (i) budidaya cabai merah
dengan memanfaatkan lahan pekarangan rumah yang diinisiasi oleh TPID Kab.
Indragiri Hilir bekerjasama dengan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). TPID
Kab. Indragiri Hilir akan memberikan bantuan sebanyak 3.000 batang cabai kepada
300 rumah tangga di 20 Kecamatan, (ii) program Desa Maju Inhil Jaya yang
memiliki concern untuk memperbaiki infrastruktur jalur distribusi sampai ke
pedesaan, dan (iii) mengoptimalkan kegiatan operasi pasar dan pasar murah
bekerjasama dengan distributor dan agen yang ada di Kab. Indragiri Hilir. Selain itu,
sebagai bentuk upaya memaksimalkan kinerja TPID Kab. Indragiri Hilir, juga akan
disusun roadmap pegendalian inflasi sebagai acuan dan monitoring pelaksanaan
program kerja pengendalian inflasi di tahun 2017. Roadmap tersebut akan
mengacu kepada roadmap pengendalian inflasi Riau dengan 7 (tujuh) fokus utama
yang akan disesuaikan dengan karakteristik daerah. Selanjutnya, peningkatan
kinerja TPID juga akan dilakukan melalui:
1. Mengembalikan peran pasar sebagai tempat pembentukan harga dengan cara
memfasilitasi petani agar tidak menjual barang melalui tengkulak
(memperpendek rantai distribusi barang).
2. Mengoptimalkan pemanfaatan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS)
sebagai sumber informasi harga pangan strategis harian dan membantu untuk
menetapkan kebijakan pengendalian inflasi secara cepat dan tepat.
3. Mengoptimalkan peran Toko Tani Indonesia sebagai media untuk
memperpendek rantai distribusi dan menghindari disparitas harga antar
daerah.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
52
4. Merealisasikan pembangunan pasar induk secara cermat dan melibatkan pihak
yang memiliki pengalaman dalam membangunan pasar untuk memastikan
keberlanjutan fungsinya sebagai monitoring arus lalu lintas komoditas
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah
50
1. Kondisi Umum
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) merupakan tolak ukur penting
keberhasilan suatu daerah dalam meningkatkan potensi perekonomian daerah.
APBD menunjukkan alokasi belanja untuk melaksanakan program/kegiatan dan
sumber-sumber pendapatan, serta pembiayaan yang digunakan untuk mendanai
program/kegiatan dimaksud, dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi
daerah, pemerataan pendapatan, serta pembangunan di berbagai sektor.
Pencapaian tujuan tersebut diharapkan dapat dilakukan melalui peningkatan
ASESMEN KEUANGAN
PEMERINTAHAAH
Bab 3
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah
51
potensi penerimaan pajak dan retribusi daerah ditambah dengan dana transfer dari
pemerintah Pusat yang digunakan untuk mendanai penyelenggaraan layanan
publik dalam jumlah yang mencukupi juga berkualitas.
Perkembangan realisasi APBD Provinsi Riau hingga triwulan IV 2016 secara umum
sedikit membaik dibandingkan tahun 2015. Realisasi pendapatan daerah pada
triwulan IV 2016 terealisasi sebesar Rp6,74 triliun atau sebesar 93,13% dari total
yang dianggarkan yaitu Rp7,23 triliun. Nilai realisasi pendapatan tersebut sedikit
menurun jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2015 yang mencapai Rp6,91
triliun atau secara prosentase tercatat 93,30%. Penurunan realisasi anggaran ini
dikarenakan rendahnya realisasi pendapatan asli daerah yang sebelumnya pada
tahun 2015 terealisasi Rp3,47 triliun atau secara prosentase 102,04% dari Rp3,408
triliun, namun pada tahun 2016 hanya mencapai Rp3,10 triliun atau secara
prosentase 88,85% dari Rp3,496 triliun.
Dari sisi belanja daerah,
sampai dengan triwulan IV
tahun 2016 angka realisasi
tercatat Rp8,62 triliun atau
secara prosentase 83,22 %
dari total yang dianggarkan
sebesar Rp10,365 triliun.
Realisasi tersebut meningkat
signifikan apabila dibanding-
kan dengan periode 2015
yang hanya sebesar Rp7,76
triliun atau secara
prosentase 68,15% dari
total Rp11,388 triliun yang dianggarkan. Peningkatan signifikan berasal dari
realisasi komponen belanja tidak langsung yang meningkat dari 61,94% di 2015
menjadi 81,79% pada tahun 2016.
Grafik 3.1. Perkembangan APBD Provinsi Riau Tahun
2015 dan 2016
S Sumber : BPKAD Provinsi Riau
7.407
11.388
7.233
10.365
6.911 7.76
6.740
8.625
0
2
4
6
8
10
12
PendapatanDaerah
Belanja Daerah PendapatanDaerah
Belanja Daerah
2015 2016
Anggaran RealisasiTriliun
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah
52
2. Realisasi APBD Provinsi Riau Tahun 2016
Realisasi APBD pemerintah Provinsi Riau pada triwulan IV 2016 khususnya dari
sisi belanja pemerintah daerah mengalami peningkatan dibandingkan tahun
sebelumnya, sementara realisasi pendapatan daerah mengalami penurunan
meskipun tidak signifikan.
Sesuai dengan APBD Perubahan Provinsi Riau 20161
, komponen pendapatan
tercatat mengalami penurunan 2,3% (yoy), yaitu dari Rp7,407 triliun pada
tahun 2015 menjadi Rp7,233 triliun pada tahun 2016. Total realisasi
pendapatan sampai dengan akhir tahun mencapai Rp6,73 triliun atau secara
prosentase sebesar 93,13%, menurun dibandingkan realisasi pendapatan
daerah pada tahun 2015 yang mencapai Rp6,91 triliun atau secara prosentase
sebesar 93,3%. Menurunnya pendapatan daerah pada tahun 2016 didorong
oleh kondisi lifting minyak bumi di Provinsi Riau yang semakin menurun setiap
tahunnya akibat natural declining dan diperburuk oleh harga minyak
internasional yang mengalami penurunan dari USD 48,68/Barel rata-rata di
tahun 2015 menjadi USD 43,34/Barel rata-rata di tahun 2016. Penurunan
harga minyak dunia tersebut berdampak terhadap penurunan Dana Bagi Hasil
Provinsi Riau hingga 29% (yoy) dari Rp2,394 triliun di 2015 turun menjadi
Rp1,695 triliun di 2016, dengan tingkat realisasi di tahun 2016 mencapai
Rp1,46 triliun atau 86,31%.
Di sisi lain, anggaran belanja pemerintah daerah pada tahun 2016 mengalami
penurunan sebesar 8,98% (yoy), yaitu dari Rp11,388 triliun pada tahun 2015
menjadi Rp10,365 triliun pada tahun 2016. Namun demikian dari sisi realisasi
belanja daerah tahun 2016 mengalami peningkatan signifikan yaitu mencapai
Rp8,62 triliun atau secara prosentase 83,22%, meningkat dibandingkan tahun
2015 yang hanya sebesar Rp7,76 triliun atau secara prosentase 68,15%.
1 APBD Perubahan Provinsi Riau disahkan pada bulan September 2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah
53
Tabel 3.1. Ringkasan Realisasi APBD Riau Tahun 2015 & Tahun 2016
Sumber : BPKAD Provinsi Riau
Apabila dilihat secara historis realisasi APBD tahun 2013 hingga tahun 2016,
realisasi pendapatan Provinsi Riau terus mengalami penurunan, dengan realisasi
terendah terjadi pada tahun 2016 yang sebesar 93,13% dari alokasi anggaran.
Jumlah
Anggaran
(triliun)
Realisasi
(triliun)
%
Realisasi
Jumlah
Anggaran
(triliun)
Realisasi
(triliun)
%
Realisasi
PENDAPATAN 7.407 6.911 93.3 7.233 6.736 93.13
PENDAPATAN ASLI DAERAH 3.408 3.477 102.04 3.496 3.106 88.85
Pajak Daerah 2.671 2.573 96.33 2.766 2.418 87.43
Pendapatan Retribusi Daerah 0.033 0.022 65.46 0.011 0.013 115.31
Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah
Yang Dipisahkan0.209 0.178 85.46 0.219 0.083 38.12
Lain-lain PAD Yang Sah 0.495 0.704 142.27 0.501 0.592 118.25
DANA TRANSFER - PERIMBANGAN 3.128 2.549 81.48 3.729 3.622 97.12
Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan Pajak 2.394 1.831 76.47 1.695 1.463 86.31
Dana Alokasi Umum 0.654 0.654 100 0.604 0.738 0
Dana Alokasi Khusus 0.079 0.063 80 1.430 1.421 99.32
LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH 0.872 0.885 101.57 0.008 0.008 99.54
Pendapatan Hibah 0.003 0.005 170.5 0.003 0.003 98.72
Dana Penyesuaian Otonomi Khusus 0.869 0.881 101.36 0.005 0.005 100
BELANJA DAERAH 11.388 7.761 68.15 10.365 8.625 83.22
BELANJA TIDAK LANGSUNG 6.674 4.134 61.94 5.388 4.407 81.79
Belanja Pegawai 1.167 0.980 83.95 1.178 1.008 85.56
Belanja Hibah 1.024 0.937 91.45 1.309 1.304 99.63
Belanja Bantuan Sosial 0.007 0.001 11.92 0.010 0.006 57.2
Belanja Bagi Hasil 1.435 1.233 85.92 1.423 1.177 82.77
Belanja Bantuan Keuangan 2.831 0.983 34.72 1.413 0.910 64.35
Belanja Tidak Terduga 0.209 - - 0.055 0.002 3.13
BELANJA LANGSUNG 4.714 3.627 76.94 4.977 4.219 84.76
Belanja Pegawai 0.285 0.216 75.56 0.322 0.285 88.65
Belanja Barang dan Jasa 2.092 1.397 66.78 2.320 1.898 81.83
Belanja Modal 2.337 2.014 86.21 2.336 2.035 87.14
SURPLUS/(DEFISIT) -3.981 -0.850 21.35 -3.132 -1.889 60.33
PEMBIAYAAN DAERAH 3.981 3.982 100,01 3.132 3.132 100.01
Penerimaan Pembiayaan Daerah 3.981 3.982 100,01 3.132 3.132 100.01
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Daerah Tahun
Sebelumnya3.981 3.982 100,00 3.132 3.132 100
Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman - - - - 0.000 -
PEMBIAYAAN NETTO 3.981 3.982 100,01 3.132 3.132 100.01
SISA LEBIH PEMBIAYAAN ANGGARAN (SILPA) 0.000 3.132 - - 1.243 -
Uraian
2015 2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah
54
Sebaliknya, realisasi belanja daerah tahun 2016 justru mulai menunjukkan adanya
perbaikan.
Dilihat dari selisih anggaran, realisasi APBD Provinsi Riau untuk tahun 2016 telah
mengalami perbaikan dibandingkan tahun 2015. Pada tahun 2016, APBD Provinsi
Riau mengalami defisit sebesar Rp1,889 triliun atau terealisasi sebesar 60,33% dari
alokasi anggaran yang telah direncanakan sebesar Rp3,131 triliun. Apabila
dibandingkan dengan tahun 2015, selisih realisasi anggaran pendapatan dan
belanja Provinsi Riau mengalami perbaikan yang cukup signifikan dimana pada
tahun 2015 defisit anggaran yang terealisasi hanya sebesar Rp849,92 miliar atau
21,35% dari alokasi anggaran yang telah direncanakan.
Grafik 3.2. Perkembangan Realisasi APBD
Provinsi Riau (%)
Sumber: BPKAD Provinsi Riau
Grafik 3.3. Surplus/Defisit APBD
Provinsi Riau
Sumber: BPKAD Provinsi Riau
Hal serupa terjadi di pos pembiayaan daerah netto yang menunjukkan tren yang
searah dengan defisit daerah. Pada tahun 2016 total pembiayaan netto yang
dianggarkan mengalami penurunan cukup signifikan hingga Rp850 miliar
dibandingkan tahun 2015 dan terealisasi sesuai dengan yang telah dianggarkan
sebesar Rp3,13 triliun.
100.82 109.89
93.3 93.13 85.16 81.43
68.15
83.22
2013 2014 2015 2016
Pendapatan Daerah Belanja Daerah%
2013
2014
2015
2016
AlokasiAnggaran
-562.75 520.63 -3981.4 -3131.9
NilaiRealisasi
550.26 2530.34 -849.92 -1889.4
-5000
-4000
-3000
-2000
-1000
0
1000
2000
3000Rp. Miliar
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah
55
2.1. Realisasi Pendapatan
Berdasarkan struktur APBD Tahun Anggaran 2016, pendapatan daerah dapat
dibagi dalam tiga bagian utama yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD)2
, Dana
Perimbangan3
dan Lain-lain Pendapatan yang sah. Grafik 3.4 menunjukkan pada
tahun 2016 terjadi pergeseran komposisi antara Dana Perimbangan dan PAD
Provinsi Riau dibandingkan tahun 2015. Pada tahun 2016, Dana Perimbangan
menjadi komposisi yang paling mendominasi dalam struktur pendapatan Provinsi
Riau yaitu sebesar 54% atau Rp3,622 triliun. Sementara itu PAD memiliki share
sebesar 46% atau Rp3,106 triliun dan Lain-lain Pendapatan yang sah sebesar
0,12% atau Rp7,77 miliar.
Grafik 3.4. Komposisi Pendapatan Daerah Realisasi Provinsi Riau 2015-2016
Sumber : BPKAD Provinsi Riau
Apabila dilihat dari rasio derajat kemandirian atau derajat otonomi fiskal dimana
46% anggaran pendapatan merupakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) maka
kondisi Provinsi Riau masih dapat dikategorikan cukup baik meskipun rasio dana
2 Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber
sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang terdiri dari Pajak Daerah, Pendapatan
Retribusi Daerah, Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan dan Lain-lain
PAD yang sah.
3 Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang
bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
serta antar pemerintah daerah.
0%
50%
100%
2015
2016
3.4773.106
2.549 3.622
0.885 0.008
LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH
DANA TRANSFER - PERIMBANGAN
PENDAPATAN ASLI DAERAH
2015 2016
13% 0.12%
37% 54%
50% 46%
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah
56
transfer terhadap total pendapatan daerah mengalami peningkatan yang tajam dari
Rp2,54 triliun dengan prosentase sebesar 37% di 2015 hinga mencapai 54% di
2016 atau sebesar Rp3,62 triliun. Kenaikan yang signifikan ini dikarenakan adanya
peningkatan dana alokasi khusus dari pemerintah pusat.
Realisasi pendapatan daerah
Provinsi Riau tahun 2016
tercatat sebesar Rp6,73
triliun dengan prosentase
sebesar 93,13%. Realisasi ini
menurun apabila diban-
dingkan tahun 2015 yang
tercatat sebesar Rp6,91
triliun dengan prosentase
93,3%. Penurunan realisasi
pendapatan didorong oleh
penurunan realisasi PAD
yang menurun signifikan dari yang telah dianggarkan. PAD yang berhasil
direalisasikan pada tahun 2016 hanya sebesar 88,85% atau Rp3,10 triliun menurun
signifikan dibandingkan realisasi tahun 2015 dengan prosentase 102,04% atau
sebesar Rp3,47 triliun.
Komponen utama yang mendorong penurunan realisasi PAD berasal dari realisasi
pajak daerah yang tidak memenuhi target yang diharapkan, yaitu hanya mencapai
Rp2,41 triliun atau sebesar 87,43% dari total yang dianggarkan pada tahun 2016
yaitu sebesar Rp2,76 triliun. Realisasi ini lebih rendah jika dibandingkan realisasi
tahun 2015 yang mencapai Rp2,57 triliun atau sebesar 96,33% dari total yang
dianggarkan. Penerimaan pajak dan retribusi di Provinsi Riau juga dapat
dikategorikan rendah apabila dilihat dari rasio penerimaan pajak dan retribusi
terhadap PDRB Provinsi Riau. Untuk tahun 2016, rasio pajak dan retribusi Provinsi
Riau hanya mencapai 0,35%, menurun dibandingkan dengan rasio tahun 2015
yang mencapai 0,39%.
Rendahnya rasio pajak dan retribusi tersebut secara tidak langsung mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau. Hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi
Grafik 3.5. Realisasi Pendapatan APBD Prov Riau
Tahun 2015 & 2016 (Triliun)
Sumber : BPKAD Provinsi Riau
Triliun
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah
57
suatu daerah yang tinggi dapat tercermin dari kemajuan dan perkembangan
sektor-sektor produksi penyumbang pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut
yang telah berperan secara optimal dalam memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap pajak daerah. Selain itu, peran pemerintah daerah dalam menetapkan
kebijakan yang menunjang tercapainya peningkatan pajak daerah juga sangat
menentukan.
Sementara itu, pendapatan yang berasal dari Dana Perimbangan pada tahun 2016
tercatat mencapai Rp3,62 triliun atau sebesar 97,12% dari total yang dianggarkan.
Realisasi ini meningkat signifikan dibandingkan tahun 2015 yang hanya terealisasi
sebesar Rp2,54 triliun atau 81,48% dari total yang dianggarkan. Peningkatan
realisasi Dana Perimbangan berasal dari komponen pendapatan dana alokasi
khusus yang meningkat signifikan pada tahun 2016 dengan realisasi sebesar
Rp1,42 triliun atau sebesar 99,32% dari total yang dianggarkan. Jumlah ini
meningkat dibandingkan tahun sebelumnya dimana Dana Alokasi Khusus hanya
terealisasi sebesar Rp63,36 miliar atau 80% dari yang dianggarkan.
Tabel 3.2. Ringkasan Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Riau Tahun 2015 & 2016
Sumber : BPKAD Provinsi Riau
Jumlah
Anggaran
(triliun)
Realisasi
(triliun)
%
Realisasi
Jumlah
Anggaran
(triliun)
Realisasi
(triliun)
%
Realisasi
PENDAPATAN 7.407 6.911 93.3 7.233 6.736 93.13
PENDAPATAN ASLI DAERAH 3.408 3.477 102.04 3.496 3.106 88.85
Pajak Daerah 2.671 2.573 96.33 2.766 2.418 87.43
Pendapatan Retribusi Daerah 0.033 0.022 65.46 0.011 0.013 115.31
Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah
Yang Dipisahkan0.209 0.178 85.46 0.219 0.083 38.12
Lain-lain PAD Yang Sah 0.495 0.704 142.27 0.501 0.592 118.25
DANA TRANSFER - PERIMBANGAN 3.128 2.549 81.48 3.729 3.622 97.12
Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan Pajak 2.394 1.831 76.47 1.695 1.463 86.31
Dana Alokasi Umum 0.654 0.654 100 0.604 0.738 0
Dana Alokasi Khusus 0.079 0.063 80 1.430 1.421 99.32
LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH 0.872 0.885 101.57 0.008 0.008 99.54
Pendapatan Hibah 0.003 0.005 170.5 0.003 0.003 98.72
Dana Penyesuaian Otonomi Khusus 0.869 0.881 101.36 0.005 0.005 100
Uraian
2015 2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah
58
Adanya peningkatan pendapatan dari Dana Alokasi Khusus sejalan dengan
beberapa proyek pemerintah pusat di Provinsi Riau, diantaranya proyek jalan tol
Pekanbaru-Dumai dan rencana pembangunan jalur lintas kereta api trans-
Sumatera. Hal ini sejalan dengan prioritas pembangunan Nasional yang telah
diselaraskan dengan RKPD Provinsi Riau poin pertama yaitu fokus pembangunan
dan pemantapan infrastruktur di Provinsi Riau. Di sisi pendapatan Dana Bagi Hasil
khususnya bagi hasil sumber daya alam mengalami penurunan hingga 29 % (yoy)
dari Rp2,394 triliun turun menjadi Rp1,695 triliun. Realisasi dana bagi hasil sumber
daya alam pada tahun 2016 mencapai Rp1,46 triliun atau 86,31%. Kondisi ini
terjadi akibat penurunan harga minyak dunia dan faktor penurunan produksi yang
disebabkan oleh kondisi sumur yang semakin tua (natural declining).
2.2. Realisasi Belanja
Secara umum realisasi anggaran belanja Provinsi Riau mengalami peningkatan
sebesar 11,13% atau Rp865 miliar dibandingkan tahun sebelumnya. Anggaran
belanja Provinsi Riau pada tahun 2016 tercatat sebesar Rp10,36 triliun, dengan
tingkat realisasi sebesar Rp8,62 triliun atau 83,22%. Angka realisasi tersebut
meningkat dibandingkan tahun 2015 yang hanya tercatat sebesar 68,15% atau
Rp7,76 triliun. Dengan realisasi belanja daerah sebesar Rp8,62 triliun dan realisasi
pendapatan daerah yang hanya sebesar Rp6,73 triliun, maka terdapat defisit APBD
Provinsi Riau tahun 2016 sebesar Rp1,89 triliun yang pada akhirnya kekurangan
tersebut ditutup oleh pembiayaan yang berasal dari dana SiLPA tahun 2015 sebesar
Rp3,1 triliun. Oleh karena itu, setelah realisasi anggaran tahun 2016, masih
terdapat sisa dana SiLPA Provinsi Riau sebesar Rp1,24 triliun.
Apabila dilihat dari struktur belanja daerah pada APBD tahun 2016 yang terdiri dari
Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung, komposisi Belanja Tidak Langsung
dan Belanja Langsung daerah Provinsi Riau adalah cukup berimbang yaitu 51,08 %
berbanding 48,91%. Pada tahun 2016, realisasi belanja tidak langsung tercatat
mencapai Rp4,40 triliun atau 81,79% dari alokasi anggaran. Nilai realisasi ini
meningkat cukup signifikan apabila dibandingkan dengan realisasi pada tahun
2015 yang hanya tercatat sebesar Rp4,13 triliun atau 61,94% dari alokasi
anggaran.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah
59
Adapun empat pos belanja tidak langsung dengan komposisi realisasi terbesar
secara berturut turut adalah belanja hibah dengan realisasi Rp1,30 triliun atau
secara prosentase 99,63%, diikuti oleh belanja bagi hasil dengan realisasi sebesar
Rp1,17 triliun atau 82,77%, belanja pegawai4
dengan realisasi sebesar Rp1,0 triliun
atau 85,56%, dan belanja bantuan keuangan yang diberikan kepada pemerintah
kab/kota dan desa di Provinsi Riau dengan realisasi sebesar Rp909,50 miliar atau
64,35% dari alokasi anggaran.
Tabel 3.3. Ringkasan Realisasi Belanja Daerah Provinsi Riau Tahun 2015 & 2016
Sumber : BPKAD Provinsi Riau
Sementara itu untuk Belanja Langsung, realisasi terbesar secara berturut turut
adalah belanja modal dengan realisasi sebesar Rp2,03 triliun atau 87,14% dari total
alokasi anggaran, dan belanja barang dan jasa dengan realisasi sebesar Rp1,89
triliun atau 81,83%. Rasio belanja modal dan Rasio belanja barang dan jasa di
Provinsi Riau relatif tinggi apabila dibandingkan dengan provinsi lain di wilayah
Sumatera. Rasio belanja modal Provinsi Riau mencapai sekitar 23,63% dari total
belanja daerah, rasio tersebut berada diatas rata-rata wilayah Sumatera yang
4 Belanja Pegawai dalam Pos Belanja Langsung adalah belanja yang terkait langsung dengan
produktivitas kegiatan atau terkait langsung dengan tujuan organisasi. Contohnya Honor yang
yang harus dibayarkan oleh pemerintah kepada pegawai karena melakukan pekerjaan.
Sedangkan Belanja Pegawai dalam Pos Belanja Tidak Langsung adalah belanja yang tidak secara
langsung terkait dengan produktivitas atau tujuan organisasi. Contohnya gaji bulanan pegawai
yang harus dibayarkan baik ybs bekerja atau tidak bekerja.
Jumlah
Anggaran
(triliun)
Realisasi
(triliun)% Realisasi
Jumlah
Anggaran
(triliun)
Realisasi
(triliun)% Realisasi
BELANJA DAERAH 11.388 7.761 68.15 10.365 8.625 83.22
BELANJA TIDAK LANGSUNG 6.674 4.134 61.94 5.388 4.407 81.79
Belanja Pegawai 1.167 0.980 83.95 1.178 1.008 85.56
Belanja Hibah 1.024 0.937 91.45 1.309 1.304 99.63
Belanja Bantuan Sosial 0.007 0.001 11.92 0.010 0.006 57.2
Belanja Bagi Hasil 1.435 1.233 85.92 1.423 1.177 82.77
Belanja Bantuan Keuangan 2.831 0.983 34.72 1.413 0.910 64.35
Belanja Tidak Terduga 0.209 - - 0.055 0.002 3.13
BELANJA LANGSUNG 4.714 3.627 76.94 4.977 4.219 84.76
Belanja Pegawai 0.285 0.216 75.56 0.322 0.285 88.65
Belanja Barang dan Jasa 2.092 1.397 66.78 2.320 1.898 81.83
Belanja Modal 2.337 2.014 86.21 2.336 2.035 87.14
Uraian
2015 2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah
60
berkisar 20,72%. Hal serupa juga terlihat dari rasio belanja barang dan jasa yang
juga relatif tinggi sebesar 24,71% diatas rata-rata wilayah Sumatera yang berkisar
21,80%. Secara akumulasi total belanja langsung di Provinsi Riau terealisasi sebesar
Rp4,22 triliun atau 84,76% dari alokasi anggaran belanja langsung, atau 45,6%
dari total belanja daerah. Realisasi ini meningkat cukup tinggi dibandingkan
realisasi tahun 2015 yang hanya mencapai Rp3,62 triliun atau 76,94% dari alokasi
anggaran.
Tabel 3.6. Realisasi Belanja Daerah Provinsi Riau Tahun 2015 & 2016
Sumber : BPKAD Provinsi Riau
Besarnya proporsi dari pos belanja langsung tersebut di atas dikarenakan fokus
pemerintah di tahun 2016 yang lebih menitikberatkan pada percepatan
pembangunan di daerah pedesaan khususnya pembangunan infrastruktur.
Semakin tinggi rasio belanja modal, akan semakin baik pengaruhnya terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Namun secara keseluruhan, meskipun relatif lebih baik dibanding tahun
sebelumnya, realisasi belanja pemerintah Provinsi Riau kedepan masih perlu
mendapat perhatian serius. Adapun kendala dalam realisasi belanja APBD di
Provinsi Riau antara lain:
1. Keterlambatan pengesahan APBD Kabupaten/Kota/Provinsi, termasuk
keterlambatan Daerah dalam menetapkan Perda APBD dan terlambatnya
penyusunan dan penetapan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD;
1.17 1.18 0.98 1.01
1.02 1.31 0.94 1.301.44
1.42 1.23 1.18
2.83 1.41 0.98 0.91
0.290.32 0.22 0.29
2.092.32 1.40 1.90
2.34 2.34 2.01 2.04
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2015 2016 2015 2016
Anggaran Realisasi
Belanja Pegawai (Belanja Tidak Langsung) Belanja Hibah
Belanja Bagi Hasil Belanja Bantuan Keuangan
Belanja Pegawai (Belanja Langsung) Belanja Barang dan Jasa
Belanja Modal
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah
61
2. Belum kuatnya manajemen keuangan daerah, dan masih lemahnya
pemantauan pelaksanaan program/kegiatan dengan belum diberlakukannya
reward dan punishment bagi SKPD yang tidak dapat memenuhi target
penyerapan;
3. Belum memadainya kemampuan manajemen pelaksanaaan proyek, antara lain
kurangnya koordinasi pelaksanaan kegiatan pembangunan di daerah, dan
keterbatasan SDM terkait dengan persiapan teknis, penyusunan RAB, dan
desain konstruksi atas pekerjaan fisik.
4. Tingginya pertukaran Pejabat Pengelola Keuangan pada awal tahun anggaran.
5. Pemerintah Daerah sangat berhati-hati dalam melaksanaan pengadaan barang
dan/atau jasa melalui lelang di daerah, sehingga terkadang proses lelang
mengalami keterlambatan. Proses pengadaan barang dan/atau jasa dapat
terhambat karena:
a. Tidak terdapat tenaga ahli (PPK) yang memadai pada masing-masing
satker, kurangnya personil yang mempunyai sertifikasi pengadaan
barang dan jasa; termasuk Keengganan pegawai untuk ditunjuk
menjadi PPK karena takut terjerat kasus hukum oleh oknum di
kepolisian dan kejaksaan.
b. Belum ditetapkannya pengelola anggaran dan pengelola kegiatan/
pengadaan;
c. Perencanaan pengadaan yang mengalami keterlambatan, meliputi
penetapan jadwal pengadaan, penyusunan dan penetapan dokumen
pengadaan, serta pengumuman pengadaan.
6. Terdapatnya double penganggaran antara pemerintah pusat dan
daerah terhadap kegiatan yang sama sehingga anggaran tidak
terserap dengan maksimal.
7. Kurang baiknya perencanaan anggaran yang berdampak terhadap
adanya revisi anggaran di pertengahan tahun. Hal ini biasanya akan
menyebabkan program dan kegiatan dimana program dan kegiatan
yang belum/tidak direncanakan sebelumnya tidak dapat dilaksanakan
pada awal tahun anggaran, karena harus menunggu perubahan
anggaran (APBD-P).
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah
62
Solusi yang ditempuh agar penyerapan APBD di Provinsi Riau lebih
maksimal ke depannya antara lain:
1. Menyusun rencana penyerapan anggaran (disbursement plan) yang
sinkron dengan rencana pengadaan (procurement plan).
2. Mengurangi pertukaran Pejabat Pengelola Keuangan di awal tahun
anggaran sehingga kelancaran pelaksanaan anggaran pada tahun
berjalan dapat dilakukan dengan baik.
3. Komitmen dan kesepakatan antara legislatif dan yudikatif terhadap
pentingnya ketepatan waktu dalam penyusunan anggaran.
4. Penyusunan program di daerah berpatokan pada RPJMD dengan
mengacu kepada RPJMN.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
66
Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan Riau
Tekanan terhadap stabilitas sistem keuangan daerah Riau pada triwulan IV 2016
menurun sejalan dengan membaiknya kinerja perekonomian.
Kerentanan sektor korporasi dan rumah tangga Riau pada triwulan IV 2016
menurun dibandingkan triwulan sebelumnya
Kinerja perbankan Riau pada triwulan IV membaik dibandingkan triwulan
sebelumnya
Bab 4 STABILITAS KEUANGAN
DAERAH, PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN dan
UMKM
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
67
1. Perkembangan Sistem Keuangan Riau
Tekanan stabilitas keuangan Riau pada triwulan IV 2016 mengalami penurunan
dibandingkan triwulan III 2016 sejalan dengan membaiknya kinerja ekonomi.
Fungsi intermediasi perbankan Riau pada triwulan IV 2016 mengalami
perlambatan, yang tercermin dari pertumbuhan kredit yang lebih rendah
dibandingkan dengan triwulan lalu. Pada triwulan IV 2016, pertumbuhan kredit
perbankan Riau tercatat sebesar 3,28% (yoy), melambat dibandingkan triwulan III
2016 yang tercatat 6,30% (yoy). Namun, risiko intermediasi perbankan membaik
sejalan dengan membaiknya kinerja perekonomian Riau pada triwulan IV 2016
yang tumbuh sebesar 2,22%; lebih tinggi dari pertumbuhan triwulan III 2016 yang
tercatat 1,26%.
1.1. Ketahanan Sektor Korporasi
Penyerapan kredit di Provinsi Riau pada triwulan IV 2016 masih didominasi oleh
sektor pertanian dan perdagangan yang memiliki pangsa masing-masing 22,04%
dan 21,43%, dengan nilai kredit masing-masing sebesar Rp12,87 triliun dan
Rp12,51 triliun. Tingginya penyerapan kredit pada dua sektor itu tidak terlepas dari
dominasi kedua sektor tersebut dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Provinsi
Riau. Penyaluran kredit kepada sektor pertanian masih didominasi oleh subsektor
perkebunan kelapa sawit dengan pangsa 93,04% dari total kredit sektor pertanian
atau sebesar Rp11,97 triliun. Sementara itu, subsektor perdagangan didominasi
oleh subsektor perdagangan eceran makanan, minuman dan tembakau dengan
pangsa 18,49% dari total kredit sektor perdagangan atau sebesar Rp2,31 triliun.
Pada triwulan IV 2016 penyaluran kredit kepada sektor pertanian tumbuh sebesar
1,93% (yoy), melambat dibandingkan triwulan III 2016 yang tumbuh sebesar
9,48% (yoy), begitu pula dengan penyaluran kredit di sektor perdagangan yang
juga melambat dari tumbuh sebesar 9,88% (yoy) di triwulan III 2016, menjadi
tumbuh 3,89% (yoy) di triwulan IV 2016.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
68
Tabel 4.1. Kredit Lokasi Bank Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau (RpTriliun)
Sumber : Bank Indonesia
Menurunnya penyaluran kredit sektor pertanian utamanya didorong oleh
penurunan subsektor perkebunan kelapa sawit yang pada triwulan IV 2016
tumbuh sebesar 3,15% (yoy) melambat dibanding triwulan sebelumnya yang
tumbuh sebesar 11,27% (yoy). Hal ini ditengarai akibat masih rendahnya harga
komoditas kelapa sawit dan turunannya sehingga perbankan melihat adanya
peningkatan faktor risiko dalam penyaluran kredit yang menyebabkan perbankan
lebih berhati-hati di dalam penyaluran kredit ke subsektor ini. Sementara itu
menurunnya penyaluran kredit sektor perdagangan utamanya didorong oleh
melambatnya penyaluran kredit pada sub sektor hotel berbintang dimana pada
triwulan III 2016 tumbuh sebesar 34,62% (yoy) melambat dibanding triwulan IV
2016 yang tumbuh 21,26% (yoy).
Grafik 4.1. Growth Subsektor Pertanian dan
Perdagangan
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.2. Pangsa Subsektor Pertanian dan
Perdagangan
Sumber : Bank Indonesia
Secara sektoral NPL sektor pertanian pada triwulan IV 2016 berada pada level
3,21% membaik jika dibandingkan triwulan III 2016 yang sebesar 3,83%,
I II III IV I II III IV
Pertanian 11,45 11,87 12,14 12,62 12,54 13,43 13,29 12,87 22,04 1,93
Pertambangan 0,39 0,50 0,42 0,45 0,36 0,40 0,38 0,33 0,57 (26,28)
Perindustrian 2,14 2,26 2,28 2,31 2,43 2,52 2,38 2,49 4,26 7,72
Listrik, gas dan air 0,11 0,10 0,11 0,22 0,21 0,20 0,19 0,17 0,30 (22,97)
Konstruksi 1,76 1,88 2,14 1,90 1,73 1,85 2,01 1,86 3,19 (2,01)
Perdagangan, restoran dan hotel 11,20 11,47 11,48 12,04 12,18 12,76 12,62 12,51 21,43 3,89
Pengangkutan, pergudangan 1,62 1,57 1,55 1,51 1,46 1,38 1,33 1,27 2,17 (15,97)
Jasa 4,08 4,24 4,08 4,05 3,76 3,64 3,51 3,57 6,12 (11,80)
Rumah Tangga dan Lainnya 19,65 20,11 20,74 21,43 21,58 22,15 22,68 23,32 39,93 8,82
Total 52,40 54,01 54,95 56,54 56,25 58,33 58,41 58,39 100,00 3,28
Pangsa (yoy)2015
RpTriliun2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
69
sementara NPL di sektor perdagangan pada triwulan IV 2016 berada pada level
5,15% membaik jika dibandingkan triwulan III 2016 yang sebesar 6,25%. Namun
demikian level tersebut berada diatas treshold yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
yaitu 5%, sehingga penyaluran kredit secara ekspansif di sektor perdagangan
diharapkan harus dengan tetap mempertimbangkan prinsip kehati-hatian.
Berdasarkan hasil Survei Konsumen Bank Indonesia, optimisme masyarakat
terhadap ketersediaan lapangan kerja berada pada level 101.5 (di atas 100). Ini bisa
dipandang sebagai dampak mulai pulihnya kondisi keuangan korporasi atas
pelemahan harga komoditas yang terjadi sehingga sebagian besar korporasi akan
lebih ekspansif dan membuka peluang baru dalam hal penyediaan tenaga kerja.
Selain itu, komponen Indeks Penghasilan Konsumen menunjukkan peningkatan
dari 121,75 pada triwulan III 2016 menjadi 140,75 pada triwulan IV 2016. Hal ini
menunjukkan ekspektasi masyarakat terhadap kondisi perekonomian Provinsi Riau
dalam enam bulan mendatang lebih baik lagi.
Grafik 4.3. Hasil Survei Konsumen Bank Indonesia
Sumber : Bank Indonesia
1.2. Kerentanan Sektor Rumah Tangga
Pertumbuhan kredit konsumsi di Provinsi Riau pada triwulan IV-2016 mengalami
perlambatan jika dibandingkan dengan triwulan III 2016, dimana pada triwulan ini
kredit konsumsi tercatat tumbuh sebesar 8,87% (yoy) melambat jika dibandingkan
triwulan sebelumnya yang tumbuh 9,39% (yoy).
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
70
Grafik 4.4. Perkembangan Kredit Perumahan
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.5. Perkembangan Kredit Kendaraan
Bermotor
Sumber : Bank Indonesia
Melambatnya pertumbuhan kredit konsumsi tercermin dari penyaluran kredit ke
sektor kendaraan bermotor, kredit multi guna dan kredit durable goods. Kredit
kendaraan bermotor pada triwulan IV-2016 tercatat sebesar Rp312,73 miliar,
mengalami kontraksi yang lebih dalam jika dibandingkan triwulan sebelumnya
yakni dari kontraksi 17,41% menjadi kontraksi 20,67% (yoy). Menurunnya
pertumbuhan kredit di sektor kendaraan bermotor bersumber dari menurunnya
kredit kendaraan roda empat (pangsa 95,84%) yang masih mengalami kontraksi
meskipun lebih kecil dari kontraksi triwulan sebelumnya yaitu 18,61% (yoy)
menjadi 15,78% (yoy). Selain itu, kredit kendaraan roda dua (pangsa 2,62%) juga
mengalami kontraksi, tercatat sebesar Rp8,21 miliar atau dari tumbuh positif
5,75% (yoy) di triwulan III 2016 menjadi negatif 70,30% (yoy) di triwulan IV 2016.
Perlambatan kredit juga terjadi pada sektor kredit durable goods yang mengalami
perlambatan dari 138,76% (yoy) di triwulan III-2016 menjadi 95,66% (yoy) di
triwulan IV-2016, dengan nilai mencapai Rp89,83 miliar.
Pada triwulan laporan, kredit perumahan tercatat sebesar Rp7,85 triliun atau
tumbuh sebesar 2,33% (yoy), melambat dibandingkan dengan triwulan III-2016
yang tercatat tumbuh Rp8,16 triliun atau tumbuh 9,02% (yoy). Melambatnya
penyaluran kredit di sektor perumahan bersumber dari kredit rumah tangga
kepemilikan rumah tinggal tipe 22 s.d 70 (pangsa 62,49%) yang pada triwulan IV
2016 tercatat tumbuh sebesar 22,03% (yoy), lebih rendah dibanding triwulan
sebelumnya yang tumbuh 23,52% (yoy). Penyaluran kredit di sektor perumahan
yang melambat ini diharapkan dapat membaik seiring dengan dilonggarkan
kebijakan LTV yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk pembiayaan properti,
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
71
Kebijakan tersebut di diharapkan dapat memperkuat permintaan domestik untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun demikian, perlambatan sebagian besar kredit konsumsi ini masih sedikit
tertahan oleh kredit Multiguna yang tumbuh lebih baik dibanding triwulan
sebelumnya. Kredit multiguna mengalami kenaikan pertumbuhan sebesar 9,06%
(yoy), setelah di triwulan sebelumnya kontraksi sebesar 1,25% (yoy) dengan nilai
Rp13,69 triliun.
Grafik 4.6. Perkembangan Kredit Multiguna
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.7. Perkembangan Kredit
Durable Goods
Sumber : Bank Indonesia
Melambatnya pertumbuhan kredit konsumsi di Provinsi Riau sejalan dengan hasil
Survei Konsumen Bank Indonesia dimana Indeks Kondisi Ekonomi Saat ini berada
pada level 95,8 (dibawah 100), meskipun Indeks Keyakinan Konsumen berada di
level 110,3. Namun demikian masyarakat memandang bahwa pada triwulan
mendatang kinerja perekonomian akan terakselerasi, hal ini terlihat dari Indeks
Ekspektasi Konsumen yang mengalami peningkatan dari 104,42 pada triwulan III
2016 menjadi 124,7 di triwulan IV 2016.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
72
Grafik 4.8. Hasil Survei Konsumen Bank Indonesia
Sumber : Bank Indonesia
2. Kondisi Umum Perbankan Riau
Indikator utama kinerja perbankan di Riau pada triwulan IV 2016
menunjukkan kinerja yang meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya.
Pertumbuhan aset perbankan Riau pada triwulan IV 2016 meningkat dibandingkan
triwulan III 2016 sejalan dengan membaiknya kinerja perekonomian. Total aset
perbankan Riau tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 8,24% (yoy) pada
triwulan laporan, atau meningkat dibandingkan triwulan lalu yang tercatat
kontraksi sebesar 7,78% (yoy). Total aset bank umum di Riau pada triwulan IV
2016 tercatat sebesar Rp88,42 triliun. Dibandingkan dengan pertumbuhan
perbankan secara industri, pertumbuhan aset perbankan Riau masih sedikit di
bawah angka pertumbuhan nasional yang sebesar 9,74%.
Jika dilihat per kelompok Bank, penyumbang utama kenaikan aset adalah bank
BUMN (pangsa 70,51%) yang tumbuh 10,30% (yoy) pada triwulan laporan setelah
mengalami kontraksi 10,94% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Berdasarkan jenis
kegiatan bank, yang menyumbangkan kenaikan adalah bank konvensional (pangsa
93,45%) yang mengalami kenaikan pertumbuhan dari triwulan sebelumnya,
sementara bank syariah mengalami perlambatan. Bank konvensional tumbuh
sebesar 7,97% (yoy) pada triwulan laporan, setelah di triwulan sebelumnya
mengalami kontraksi sebesar 9,14% (yoy).
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
73
Grafik 4.9. Perkembangan Aset Perbankan Riau
Sumber : Bank Indonesia
Sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan aset, pertumbuhan DPK
perbankan Riau pada triwulan IV 2016 juga mengalami peningkatan. Pada
triwulan IV 2016, DPK tumbuh sebesar 7,49% (yoy), atau meningkat dibandingkan
triwulan III 2016 yang tercatat kontraksi sebesar 4,08% (yoy). Posisi DPK pada
triwulan laporan tercatat sebesar Rp66,69 triliun. Komposisi DPK Riau relatif tidak
berubah dalam kurun waktu lima tahun terakhir, dengan porsi utama berupa
tabungan (51,48%), diikuti oleh deposito (33,27%) dan giro (15,25%).
Dibandingkan nilai DPK nasional yang sebesar Rp4.837 triliun atau tumbuh sebesar
9,60% (yoy) pada triwulan laporan, pertumbuhan DPK di Riau tumbuh lebih
rendah.
Grafik 4.10. Perkembangan DPK Perbankan Riau
Sumber : Bank Indonesia
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
74
Seiring meningkatnya pertumbuhan aset dan DPK, fungsi intermediasi
perbankan Riau yang tercermin melalui penyaluran kredit justru mengalami
perlambatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Pada triwulan IV 2016, kredit
perbankan Riau tumbuh 3,28% (yoy), melambat dibandingkan triwulan
sebelumnya yang tercatat sebesar 6,30% (yoy). Total kredit perbankan Riau pada
triwulan IV 2016 tercatat sebesar Rp58,39 triliun. Sejalan dengan pertumbuhan
aset dan DPK Riau yang berada di bawah nasional, pertumbuhan kredit perbankan
Riau pada triwulan laporan juga lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit
nasional yang tercatat sebesar 7,86% (yoy).
Grafik 4.11. Perkembangan Kredit Perbankan Riau
Sumber : Bank Indonesia
Di sisi lain, kualitas kredit perbankan Riau mengalami perbaikan pada triwulan
laporan. Pada triwulan IV 2016, Non-Performing Loan (NPL) berada pada level
3,44%, atau menurun dibandingkan NPL Riau pada triwulan lalu yang tercatat
sebesar 3,91%. Tingkat NPL kredit di Riau ini juga lebih tinggi dibandingkan
nasional yang tercatat sebesar 2,93%.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
75
Grafik 4.12. Perkembangan Risiko Kredit Perbankan Riau
Sumber : Bank Indonesia
Loan to deposit ratio (LDR) perbankan Riau pada triwulan IV 2016 mengalami
penurunan. LDR pada triwulan laporan tercatat sebesar 87,69%, sedikit lebih
rendah dari triwulan III 2016 yang tercatat sebesar 88,18%. Penurunan LDR ini
disebabkan oleh laju pertumbuhan penyaluran pembiayaan yang lebih rendah
dibandingkan penghimpunan DPK yang dilakukan oleh bank.
4.2.1 Perkembangan Bank Umum
4.2.1.1. Perkembangan Penghimpunan DPK
Peningkatan pertumbuhan DPK pada triwulan IV 2016 didorong oleh kenaikan
pertumbuhan tabungan. Pertumbuhan tabungan pada triwulan laporan tercatat
sebesar 10,33% (yoy) atau naik dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat
sebesar 9,68% (yoy). Peningkatan tersebut terutama didorong oleh tabungan
penduduk perseorangan yang tumbuh sebesar 10,54% (yoy), naik dari 9,11% (yoy)
pada triwulan III 2016. Peningkatan tabungan penduduk perseorangan tersebut
memberikan dampak yang besar kepada pertumbuhan tabungan sejalan dengan
pangsanya yang besar, yakni 96,00% dari keseluruhan tabungan di Riau. Pangsa
tabungan terhadap total DPK Riau pada triwulan IV 2016 tercatat sebesar 51,48%.
Pertumbuhan deposito perbankan Riau pada triwulan IV 2016 tercatat sebesar
5,39% (yoy) atau naik signifikan dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat
kontraksi sebesar 8,02% (yoy). Pertumbuhan deposito Riau tersebut terutama
didorong oleh kenaikan pertumbuhan deposito swasta menjadi sebesar 27,71%
(yoy) dibanding triwulan III 2016 yang sebesar 17,20% (yoy). Peningkatan deposito
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
76
penduduk perseorangan juga turut menyumbang sejalan dengan pangsanya yang
besar, yakni 75,12% dari keseluruhan deposito di Riau. Pangsa deposito terhadap
keseluruhan DPK pada triwulan III 2016 tercatat sebesar 33,20%.
Sementara itu, komponen giro juga tercatat mengalami peningkatan pertumbuhan
pada triwulan IV 2016 menjadi sebesar 2,99% (yoy) dibandingkan triwulan lalu
yang tercatat kontraksi sebesar 23,6% (yoy). Peningkatan pertumbuhan tersebut
terutama didorong oleh peningkatan pertumbuhan giro swasta yang tercatat
sebesar 9,34% (yoy) pada triwulan laporan, meningkat dibandingkan triwulan lalu
yang tercatat tumbuh -5,79% (yoy). Giro swasta memiliki pangsa yang cukup
dominan terhadap keseluruhan giro di Riau yakni sebesar 42,02% pada triwulan IV
2016. Sementara pangsa giro terhadap keseluruhan DPK tercatat sebesar 15,25%.
Berdasarkan kepemilikan, peningkatan pertumbuhan DPK pada triwulan IV 2016
terutama didorong oleh golongan nasabah perorangan dan sektor swasta. Pada
triwulan laporan, DPK nasabah sektor swasta tumbuh sebesar 14,25% (yoy), atau
naik signifikan dari triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 5,78% (yoy).
Pertumbuhan yang tinggi ini juga didorong oleh DPK perseorangan, yang memiliki
pangsa terbesar sebesar 77,67% dari keseluruhan DPK. Komponen tersebut
tumbuh sebesar 11,03% (yoy), naik dari triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar
9,06% (yoy).
Sejalan dengan DPK sektor swasta, DPK sektor pemerintah juga mengalami
perbaikan dari level kontraksi pada triwulan IV 2016. DPK sektor pemerintah
mengalami pertumbuhan sebesar -28,80% (yoy) pada triwulan laporan, atau tidak
sedalam triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar -43,6% (yoy).
4.2.1.2. Penyaluran Kredit
Laju pertumbuhan kredit perbankan Riau mengalami perlambatan pada
triwulan IV 2016. Kredit perbankan pada triwulan IV tercatat mengalami
pertumbuhan sebesar 3,28% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan
sebelumnya yang tercatat sebesar 6,30% (yoy).
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
77
Ditinjau berdasarkan sektor ekonomi, penyaluran kredit perbankan Riau pada
triwulan laporan masih didominasi oleh sektor Pertanian dengan pangsa 22,04%
dari total kredit. Sektor utama daerah lainnya, yaitu Industri Perdagangan, juga
memiliki pangsa kredit signifikan sebesar 21,43%, disusul oleh sektor Jasa sebesar
6,12%.
Apabila ditinjau berdasarkan penggunaannya, penyaluran kredit perbankan Riau
pada triwulan laporan masih didominasi oleh kredit konsumsi dengan pangsa
39,91%. Sementara itu, kredit modal kerja dan investasi menempati urutan kedua
dan ketiga dengan pangsa masing-masing sebesar 31,33% dan 28,77% dari total
kredit.
Berdasarkan sektor ekonominya, perlambatan penyaluran kredit Riau di triwulan IV
2016 terjadi hampir pada seluruh sektor, dengan perlambatan terbesar di sektor
pertanian dan perdagangan besar dan eceran. Laju pertumbuhan kredit sektor
pertanian melambat menjadi sebesar 1,93% (yoy) pada triwulan IV 2016, setelah
sebelumnya tumbuh 9,48% (yoy). Laju pertumbuhan kredit untuk sektor industri
perdagangan juga melambat menjadi 3,89% (yoy) pada triwulan laporan, dari
9,88% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Selain sektor perindustrian, seluruh sektor
lainnya mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif, dengan penurunan
terbesar pada sektor pertambangan serta sektor listrik, gas dan air. Sektor
pertambangan tumbuh -26,28% (yoy) pada triwulan IV 2016, lebih dalam
dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar -8,60% (yoy). Sementara
sektor listrik, gas dan air tumbuh -22,97% (yoy) pada triwulan laporan, setelah
tumbuh positif pada triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 77,40% (yoy).
4.2.1.3. Perkembangan Suku Bunga Bank Umum
Suku bunga simpanan di bank umum mengalami perkembangan yang
bervariasi pada triwulan III 2016. Suku bunga simpanan dalam bentuk deposito
mengalami penurunan di triwulan laporan menjadi 6,63% dari 6,99% pada
triwulan sebelumnya. Penurunan suku bunga deposito ini terjadi pada seluruh
tenor, kecuali untuk tenor panjang lebih dari 24 bulan. Sementara itu, suku bunga
tabungan juga sedikit mengalami penurunan dari 1,57% menjadi 1,48%. Sama
halnya dengan deposito dan tabungan, suku bunga giro juga mengalami
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
78
penurunan menjadi 2,10% pada triwulan laporan, lebih rendah dibandingkan
triwulan lalu yang sebesar 2,19%.
Berdasarkan jenis penggunaannya, suku bunga pinjaman pada triwulan IV 2016
secara umum mengalami penurunan dibandingkan triwulan III 2016. Penurunan
suku bunga pinjaman pada triwulan laporan terjadi pada seluruh jenis
penggunaannya. Suku bunga kredit modal kerja pada triwulan laporan tercatat
sebesar 12,24%; atau menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat
12,44%. Suku bunga kredit investasi pada triwulan laporan tercatat sebesar
11,80% atau menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar
11,97%. Sejalan dengan kredit modal kerja dan kredit investasi, suku bunga kredit
konsumsi pada triwulan laporan juga mengalami penurunan menjadi 12,49%,
menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 12,64%.
Berdasarkan sektor ekonominya, penurunan suku bunga perbankan Riau pada
triwulan III 2016 terjadi pada hampir seluruh sektor. Suku bunga kredit sektor
perdagangan besar dan eceran pada triwulan IV 2016 mengalami penurunan
dibandingkan triwulan III 2016, yakni dari 11,79% menjadi sebesar 11,47%. Suku
bunga kredit sektor industri pertanian juga mengalami penurunan pada triwulan
laporan dari 12,22% di triwulan lalu menjadi 11,84%. Suku bunga kredit sektor
lainnya juga juga mengalami penurunan suku bunga kredit, kecuali sektor listrik
gas dan air yang mengalami peningkatan suku bunga dari 11,36% menjadi
11,45%.
4.2.1.4. Kualitas Penyaluran Kredit/Pembiayaan Bank Umum
Kualitas kredit Riau pada triwulan IV 2016 cenderung mengalami perbaikan
dibandingkan triwulan sebelumnya. Non Performing Loan (NPL) sebagai indikator
kualitas kredit yang disalurkan perbankan pada periode ini tercatat sebesar 3,44
atau membaik dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 3,91%.
Berdasarkan sektor ekonominya, peningkatan kualitas kredit perbankan Riau pada
triwulan IV 2016 terutama didorong oleh sektor pertanian dan perdagangan, yang
merupakan sektor dominan. NPL sektor pertanian pada triwulan laporan tercatat
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
79
sebesar 3,21%; atau menurun dari triwulan lalu yang sebesar 3,83%. NPL sektor
industri perdagangan juga mengalami penurunan dari 6,25% pada triwulan III
2016 menjadi 5,15% pada triwulan IV 2016.
4.2.2 Perkembangan Perbankan Syariah
Industri perbankan syariah pada triwulan IV 2016 di Riau menunjukkan
pertumbuhan positif namun sedikit melambat dibandingkan triwulan
sebelumnya. Pertumbuhan aset perbankan syariah di triwulan IV 2016
mencatatkan pertumbuhan yang meningkat dari 17,239% (yoy) pada triwulan III
2016 menjadi 12,30 (yoy).
Grafik 4.13. Perkembangan Aset Perbankan
Syariah
Grafik 4.14. DPK Perbankan Syariah
Menurut Jenis Simpanan
Sumber : Bank Indonesia Sumber : Bank Indonesia
Sejalan dengan pertumbuhan aset, laju pertumbuhan DPK perbankan syariah Riau
juga mengalami peningkatan pada triwulan IV 2016. DPK perbankan syariah Riau
mencatatkan pertumbuhan sebesar 12,34% (yoy); atau meningkat dibandingkan
triwulan sebelumnya yang tercatat 10,41% (yoy). Tabungan masih mendominasi
struktur DPK perbankan Syariah dengan pangsa 53,00%, disusul oleh Deposito dan
Giro dengan pangsa masing-masing sebesar 37,07% dan 9,93%.
Sementara itu, pada triwulan IV 2016 pembiayaan perbankan syariah Riau tumbuh
sebesar 22,98% (yoy); meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar
20,86% (yoy). Pembiayaan jenis Konsumsi dengan pangsa terbesar (49,71%)
memiliki laju pertumbuhan yang meningkat di triwulan IV 2016, yaitu dari 19,68%
(yoy) pada triwulan III 2016 menjadi sebesar 22,81% (yoy). Selain itu, pembiayaan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
80
Modal Kerja (pangsa 32,89%) yang mulai tumbuh positif pada triwulan laporan
juga turut menyumbang pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah Riau dengan
laju sebesar 2,67% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada triwulan
sebelumnya yang tercatat negatif sebesar 0,86% (yoy). Sebaliknya, pembiayaan
Investasi (pangsa 17,40%) mengalami perlambatan pertumbuhan dari sebesar
39,82% (yoy) pada triwulan III 2016 menjadi 37,69% (yoy).
Sejalan dengan laju pertumbuhan pembiayaan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan peningkatan DPK, angka Financing to Deposit Ratio (FDR) perbankan
syariah Riau pada triwulan IV 2016 mengalami peningkatan ke level 100,24% dari
96,92% di triwulan III 2016.
Grafik 4.15. Pertumbuhan Pembiayaan Perbankan Syariah
Berdasarkan Jenis Penggunaan
Sumber : Bank Indonesia
4.2.3 Perkembangan Kinerja Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Aset BPR di Provinsi Riau pada triwulan IV 2016 tumbuh positif. Pertumbuhan
aset BPR pada triwulan laporan tercatat sebesar 8,28% (yoy), sedikit lebih rendah
dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 8,69% (yoy).
Sejalan dengan pergerakan tumbuh aset BPR di Riau, pertumbuhan DPK BPR Riau
pada triwulan IV 2016 mengalami peningkatan. Pertumbuhan DPK BPR pada
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
81
triwulan laporan tercatat sebesar 12,11% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan
sebelumnya yang tumbuh sebesar 7,51% (yoy). Peningkatan pertumbuhan tersebut
didorong terutama oleh komponen deposito (pangsa 63,07%) yang naik signifikan
sebesar 17,20% (yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 11,52% (yoy).
Selain itu, komponen tabungan (pangsa 36,93%) juga tumbuh lebih tinggi pada
triwulan laporan, sebesar 4,37% (yoy) dari 1,54% (yoy) pada triwulan yang lalu.
Grafik 4.16. Perkembangan Aset BPR/S Grafik 4.17. Perkembangan DPK BPR/S
Sumber : Bank Indonesia Sumber : Bank Indonesia
Di sisi penyaluran kredit, pertumbuhan kredit BPR Riau pada triwulan IV 2016 juga
mengalami peningkatan. Pertumbuhan kredit BPR Riau pada triwulan laporan
tercatat sebesar 5,53% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang
tercatat sebesar 4,08% (yoy). Berdasarkan jenis penggunaannya, kenaikan
pertumbuhan tersebut terutama disumbang oleh kredit modal kerja dan kredit
investasi. Kredit modal kerja konsumsi BPR Riau tumbuh sebesar 4,01% (yoy) pada
triwulan laporan, setelah tumbuh negatif sebesar 0,13% (yoy) pada triwulan lalu.
Sementara kredit investasi BPR Riau tumbuh sebesar 0,10% (yoy) pada triwulan
laporan, yang sebelumnya juga tumbuh negatif sebesar 3,69% (yoy). Pertumbuhan
kedua jenis kredit ini dapat meng-offset perlambatan kredit konsumsi yang pada
triwulan laporan tumbuh melambat dari 15,31% (yoy) di triwulan lalu menjadi
sebesar 10,36% (yoy).
Bila ditinjau berdasarkan sektor ekonominya, kenaikan pertumbuhan kredit BPR
Riau pada triwulan laporan terutama disumbang oleh kredit sektor pertanian,
sebagai kredit sektoral dengan pangsa terbesar, yang tumbuh sebesar 1,94% (yoy)
dari tumbuh negatif 2,36% (yoy) pada triwulan lalu.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
82
Grafik 4.18. Perkembangan Kredit BPR/S
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
Grafik 4.19. Perkembangan NPL BPR/S
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
NPL BPR Riau pada triwulan IV 2016 sedikit mambaik dibandingkan triwulan
sebelumnya. Pada triwulan laporan NPL BPR Riau tercatat sebesar 13,21%; turun
dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 14,07%. Sementara itu, indikator
Loan to Deposit Ratio (LDR) BPR Riau pada triwulan laporan turun dari sebelumnya
100,69% pada triwulan III 2016 menjadi 97,34% pada triwulan laporan.
Penurunan rasio disebabkan oleh DPK yang tumbuh lebih tinggi dibandingkan
Kredit.
4.2.4 Perkembangan Kredit Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM)
Peran perbankan dalam membiayai kegiatan UMKM di Riau pada triwulan IV
2016 sedikit mengalami penurunan dibandingkan triwulan III 2016. Kredit
UMKM Provinsi Riau tercatat sebesar 2,51% (yoy) di triwulan laporan, atau
melambat dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 3,02% (yoy).
Riau merupakan provinsi dengan pangsa penyaluran kredit UMKM terbesar ketiga
di regional Sumatera yaitu sebesar 12,5%, setelah Sumatera Utara dan Sumatera
Selatan dengan pangsa masing-masing sebesar31,7% dan 13.7%
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
83
Grafik 4.20 Perkembangan dan Pertumbuhan
Kredit UMKM
Tabel 4.21. Pangsa Kredit UMKM Pulau
Sumatera
Sumber : Bank Indonesia Sumber : Bank Indonesia
Berdasarkan kategori debitur, kredit UMKM perbankan Riau disalurkan berimbang,
dengan yang terbesar ke usaha Kecil dengan porsi 39,19% dari total kredit yang
diberikan kepada UMKM. Sementara itu, kredit yang disalurkan ke usaha Mikro
dan usaha Menengah memiliki pangsa masing-masing sebesar 30,42% dan
30,39%. Kredit yang disalurkan ke usaha Mikro pada triwulan IV 2016 melambat
sebesar 9,84% (yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 11,27% (yoy).
Hampir sejalan dengan kredit ke usaha Mikro, kredit yang disalurkan ke usaha
Menengah pada triwulan IV 2016 turun lebih dalam sebesar negatif 5,43% (yoy)
dibandingkan triwulan sebelumnya yang juga tumbuh negatif 3,66% (yoy).
Sementara itu, laju kredit yang disalurkan ke usaha Kecil pada triwulan laporan
menunjukkan kondisi yang positif, dengan pertumbuhan di triwulan IV 2016
3,90% (yoy), meningkat dari triwulan III 2016 yang tercatat sebesar 2,95% (yoy).
Berdasarkan lapangan usahanya, perlambatan kredit UMKM Riau pada triwulan IV
2016 terutama didorong oleh kinerja sektor perdagangan. Kredit UMKM sektor
perdagangan tercatat tumbuh sebesar 5,87% (yoy) pada triwulan laporan, atau
melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 9,34%.
Pertumbuhan kredit UMKM sektor konstruksi juga mengalami perlambatan pada
triwulan laporan menjadi sebesar 27,31% (yoy) atau melambat dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya yang sebesar 32,81 (yoy). Selain itu, pertumbuhan
kredit UMKM sektor perindustrian tercatat negatif sebesar 3,04% (yoy) atau turun
Kredit
UMKM
(Rp, triliun)
Aceh 9,56 5,9%
Sumatera Utara 51,76 31,7%
Sumatera Barat 15,07 9,2%
Riau 20,38 12,5%
Jambi 10,92 6,7%
Sumatera Selatan 22,41 13,7%
Bengkulu 5,73 3,5%
Lampung 15,62 9,6%
Kep. Bangka Belitung 4,01 2,5%
Kep. Riau 7,99 4,9%
Total Sumatera 163,46 100,0%
856,97
19,1%
Pangsa Kredit
UMKM Pulau Sumatera
Pangsa P. Sumatera terhadap Nasional
Kredit UMKM Nasional (Rp, triliun)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
84
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang masih tumbuh positif sebesar
9,24% (yoy).
Risiko kredit UMKM pada triwulan IV 2016 membaik dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Non Performing Loan (NPL) kredit UMKM di Riau pada
triwulan laporan tercatat sebesar 6,26%, lebih rendah dari triwulan sebelumnya
sebesar 7,29%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan NPL kredit UMKM nasional
triwulan IV 2016 yang tercatat sebesar 4,15%, dan NPL Provinsi-Provinsi lainnya di
Pulau Sumatera yang tercatat sebesar 5,06%.
Grafik 4.22. Perkembangan NPL Kredit
UMKM
Grafik 4.23. Perkembangan NPL Kredit
UMKM
Sumber : Bank Indonesia Sumber : Bank Indonesia
Kualitas kredit UMKM Riau pada triwulan IV 2016 mengalami perbaikan untuk
setiap kategori debitur. NPL kredit usaha Mikro pada triwulan IV 2016 tercatat
sebesar 2,83%, menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar
3,78%. Selain itu, NPL kredit usaha Kecil dan usaha Menengah juga memiliki
pergerakan yang sama, yang pada triwulan IV 2016 tercatat masing-masing
sebesar 8,72% dan 6,52%, yang menurun dibandingkan triwulan sebelumnya
masing-masing sebesar 9,92% dan 7,33%.
Penurunan NPL kredit UMKM Riau pada triwulan IV 2016 terutama didorong oleh
penurunan NPL sektor perdagangan, terutama perdagangan eceran makanan,
minuman dan tembakau, yang merupakan sektor ekonomi dengan pangsa kredit
UMKM terbesar di Riau. NPL kredit UMKM sektor perdagangan besar dan eceran
pada triwulan laporan tercatat sebesar 6,58%, menurun dibandingkan triwulan lalu
sebesar 8,13%. Sementara itu, sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
85
justru mengalami kenaikan NPL di triwulan laporan dan tercatat sebesar 12,00%;
meningkat dibandingkan triwulan lalu yang tercatat sebesar 9,21%.
Bila ditinjau berdasarkan pangsanya, porsi kredit UMKM perbankan di Riau
terhadap total kredit yang diberikan pada triwulan IV 2016 sedikit menurun
menjadi 34,91%, dari sebelumnya sebesar 35,09%. Penyaluran kredit UMKM di
Riau mayoritas ditujukan kepada sektor perdagangan (45,87%), diikuti sektor
industri pertanian (32,94%), dan sektor jasa (9,05%).
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
87
1. Kondisi Umum Sistem Pembayaran Tunai dan Non Tunai
Perkembangan transaksi pembayaran tunai di Provinsi Riau pada triwulan IV 2016
tercatat mengalami net outflow, hal ini sejalan dengan kondisi yang terjadi pada
triwulan yang sama pada tahun sebelumnya. Secara umum pada triwulan IV 2016
terjadi penurunan inflow jika dibandingkan dengan triwulan III 2016, sementara
outflow tercatat mengalami peningkatan sebanyak Rp2,23 triliun yang utamanya
didorong oleh seasonal factor akibat meningkatnya pengeluaran pemerintah
sebesar 30,66% (qtq) dibandingkan triwulan III 2016, ditambah dengan
meningkatnya penarikan secara tunai oleh masyarakat menjelang perayaan Natal
Bab 5 ASESMEN PENYELENGGARAAN
SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG
RUPIAH
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
88
dan Tahun Baru 2017. Apabila dibandingkan dengan posisi triwulan IV pada tahun
2015, arus uang masuk (inflow) meningkat sebesar 24,25% (yoy) sejalan dengan
arus uang keluar (outflow) yang juga meningkat sebesar 19,24% (yoy). Sementara
itu, transaksi non tunai melalui kliring mengalami penurunan baik dari sisi nominal
maupun volume. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya,
transaksi kliring dari sisi nominal dan volume mengalami kontraksi secara berturut-
turut sebesar 10,31% dan 2,30% (yoy).
2. Perkembangan Transaksi Pembayaran Tunai
2.1. Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow Outflow)
Perkembangan peredaran
uang kartal di Provinsi Riau
dapat terlihat dari pergerakan
arus uang masuk (inflow) dan
arus uang keluar (outflow).
Sesuai dengan pola
seasonalnya, penarikan uang
kartal meningkat signifikan
(outflow) dari Rp3,19 triliun
pada triwulan III 2016 menjadi
Rp5,52 triliun pada triwulan IV
2016, atau meningkat dibanding triwulan sebelumnya sebesar 73,02% (qtq).
Kondisi ini disertai dengan penurunan jumlah setoran tunai (inflow) pada triwulan
IV 2016 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu Rp3,01 triliun menjadi
Rp1,52 triliun atau menurun 49,54% (qtq).
Peningkatan jumlah penarikan uang kartal (outflow) pada triwulan IV 2016
utamanya didorong oleh seasonal factor akibat meningkatnya pengeluaran
konsumsi pemerintah sebesar 30,66% (qtq) dibandingkan triwulan sebelumnya
ditambah dengan meningkatnya penarikan secara tunai oleh masyarakat menjelang
perayaan Natal dan Tahun Baru 2017. Secara umum pada triwulan IV 2016,
perkembangan transaksi tunai di Provinsi Riau mencatat net cash outflow sebesar
Rp3,99 triliun.
Grafik 5.1. Perkembangan Inflow dan Outflow di
Provinsi Riau
Sumber : Bank Indonesia
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
89
Kondisi net cash outflow tersebut di atas tidak hanya terjadi pada Triwulan IV 2016,
akumulasi total pada tahun 2016, transaksi tunai di Provinsi Riau juga mencatat net
cash outflow sebesar Rp9,58 triliun meningkat sebesar Rp1,97 triliun atau secara
prosentase 24,85% dibanding tahun 2015. Peningkatan tersebut tercatat baik dari
sisi inflow yang meningkat 18,11% (yoy) atau meningkat dari Rp6,84 triliun pada
tahun 2015 menjadi Rp8,08 triliun, maupun outflow yang meningkat 21,67% (yoy)
dari Rp14,52 triliun di 2015 meningkat menjadi Rp17,66 triliun di 2016.
Grafik 5.2. Perkembangan Inflow dan Outflow
Triwulan IV-2016
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 5.3. Perkembangan Inflow
dan Outflow 2016
Sumber : Bank Indonesia
Apabila dilihat dari sisi permintaan, kebutuhan uang oleh masyarakat tercermin dari
pergerakan aliran uang outflow. Sesuai dengan polanya, permintaan uang sangat
dipengaruhi oleh pengeluaran konsumsi entitas ekonomi seperti pemerintah dan
rumah tangga termasuk organisasi masyarakat (LNPRT). Hal tersebut dapat terlihat
pada grafik 5.4, yang menggambarkan pertumbuhan permintaan uang yang
direpresentasikan oleh aliran outflow secara historis selama tiga tahun terakhir
yang pergerakannya searah dengan pertumbuhan pengeluaran entitas ekonomi
pada umumnya.
Untuk tahun 2016, terjadi peningkatan pertumbuhan aliran outflow secara tajam
pada triwulan II 2016 hingga mencapai Rp4,97 triliun atau tumbuh 250,13% (qtq).
Hal tersebut dipengaruhi oleh peningkatan pengeluaran entitas ekonomi antara
lain tingginya peningkatan pengeluaran konsumsi pemerintah pada triwulan II
2016 yang dipicu oleh meningkatnya realisasi pembiayaan pemerintah daerah
sebesar 92.57% dari yang telah dianggarkan sebelumnya utamanya disebabkan
oleh meningkatnya anggaran belanja transfer pemerintah provinsi kepada
pemerintah kabupaten/kota Riau. Dari sisi masyarakat terjadi peningkatan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
90
permintaan uang tunai dikarenakan persiapan menjelang hari raya idul fitri, libur
sekolah serta tahun ajaran baru terjadi secara hampir bersamaan di trwiulan II
2016.
Grafik 5.4. Pergerakan Pertumbuhan Konsumsi (qtq) dan Outflow (qtq)
di Provinsi Riau
Sumber : Bank Indonesia
Sementara itu, permintaan uang tunai (outflow) pada triwulan IV 2016 juga
mengalami peningkatan sebanyak Rp2,23 triliun atau tumbuh sebesar 73,02%
(qtq) yang utamanya didorong oleh seasonal factor meningkatnya pengeluaran
konsumsi pemerintah untuk pembayaran proyek-proyek pemerintah sebesar
30,66% (qtq). Dilihat dari sisi masyarakat terjadinya peningkatan permintaan uang
tunai disebabkan karena tingginya pengeluaran menjelang perayaan Natal dan
Tahun Baru 2017. Selain itu, peningkatan pengeluaran dalam rangka persiapan
pemilihan umum kepala daerah oleh organisasi masyarakat (LNPRT) juga menjadi
salah satu faktor pendorong meningkatnya permintaan uang tunai di Provinsi Riau.
Berdasarkan Grafik 5.4 dapat terlihat bahwa tingkat pengeluaran pemerintah juga
memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap permintaan uang tunai dengan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
91
proporsi yang dominan dibandingkan tingkat pengeluaran masyarakat pada
umumnya.
2.2. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar
Dalam melaksanakan fungsi dan wewenang mengeluarkan dan mengedarkan uang
Rupiah di wilayah Indonesia, Bank Indonesia senantiasa berupaya untuk memenuhi
kebutuhan uang kartal masyarakat dalam nominal yang cukup, jenis pecahan yang
sesuai serta tepat waktu dan layak edar (fit for circulation), maka secara berkala
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau melakukan pelayanan baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui perbankan. Pelayanan secara langsung
dilakukan dalam bentuk kas keliling dan program/gerakan peduli uang lusuh.
Untuk meningkatkan kualitas uang beredar di masyarakat, KPw BI Provinsi Riau
melakukan kerjasama dengan 48 Bank Umum di Provinsi Riau untuk melayani
masyarakat dalam hal penukaran uang lusuh. Selain itu Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Provinsi Riau juga rutin melakukan kegiatan kas keliling wholesale untuk
perbankan dan kas keliling retail untuk melayani masyarakat umum di Provinsi Riau.
Kegiatan kas keliling wholesale selama periode triwulan IV 2016 dilakukan di Pasir
Ujung Batu, Rengat, Siak, Dumai, Tembilahan, Pekanbaru, Air Molek, dan Teluk
Kuantan. Sementara itu kegiatan kas keliling retail untuk kepentingan masyarakat
umum dilakukan setiap 1 (satu) kali dalam seminggu. Dalam rangka menggalakkan
penggunaan uang layak edar, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau juga
memiliki program yang dinamakan GAMBUS (Gerakan Bumi Melayu Bebas Uang
Lusuh) yang dilakukan pada bulan Desember 2016.
Upaya lain yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau
secara tidak langsung untuk memenuhi uang layak beredar di Provinsi Riau adalah
dengan membuka kas titipan di perbankan. Kas titipan diharapkan dapat
membantu Bank Indonesia untuk mendukung penyebaran uang layak edar agar
dapat didistribusikan sampai ke pelosok pelosok daerah. Kas titipan yang sudah
beroperasi normal berada di Kota Dumai dengan plafon sebesar Rp100 miliar sejak
triwulan IV 2016 yang sebelumnya hanya sebesar Rp50 miliar. Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Provinsi Riau juga telah membuka kas titipan baru yang mulai
beroperasi pada triwulan IV 2016 di Kota Rengat (Rokan Hulu) dengan plafon
sebesar Rp100 miliar.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
92
Terkait dengan upaya menjaga kualitas uang yang beredar, Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Provinsi Riau secara rutin melakukan kegiatan pemusnahan Uang Tidak
Layak Edar (UTLE) yang diterima dari setoran bank maupun penukaran uang dari
masyarakat. Adapun untuk jumlah UTLE yang dimusnahkan oleh Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Provinsi Riau pada triwulan IV-2016 tercatat sebesar Rp767 miliar,
menurun 19,72% (qtq), dengan rasio UTLE terhadap inflow sebesar 50,41%.
Menurunnya pemusnahan UTLE pada triwulan IV 2016 tersebut sejalan dengan
menurunnya jumlah inflow pada triwulan laporan.
Grafik 5.5. Perkembangan UTLE yang Dimusnahkan
Sumber : Bank Indonesia
2.3. Uang Rupiah Tidak Asli
Bank Indonesia terus berupaya untuk mengantisipasi penggunaan dan peredaran
uang Rupiah palsu salah satunya selain melakukan koordinasi yang intensif dan
rutin dengan berbagai pihak (termasuk kepolisian), Bank Indonesia juga berupaya
untuk meningkatkan tingkat keamanan uang Rupiah melalui peresmian uang
Rupiah tahun emisi 2016 dengan feature pengaman yang lebih canggih
dibandingkan sebelumnya di bulan Desember 2016.
Dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengidentifikasi keaslian
uang rupiah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau juga secara rutin
melakukan sosialisasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada masyarakat di
beberapa daerah termasuk kalangan perbankan melalui prinsip 3D (Dilihat, Diraba,
Diterawang). Hingga bulan Desember 2016, Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Riau telah melakukan sosialisasi CIKUR sebanyak 14 kali melalui kunjungan
industri yang dilakukan oleh sekolah-sekolah maupun event khusus seperti Expo di
beberapa daerah dan kegiatan Car Free Day.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
93
Jumlah uang rupiah tidak asli yang ditemukan oleh Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Provinsi Riau pada triwulan IV-2016 tercatat sebanyak 173 lembar, lebih
rendah dibandingkan dengan triwulan III-2016 yang sebanyak 295 lembar. Uang
rupiah tidak asli yang dikonfirmasi oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi
Riau tersebut terdiri dari 90 lembar menyerupai pecahan Rp100 ribu, 70 lembar
menyerupai pecahan Rp50 ribu, 7 lembar menyerupai pecahan Rp20 ribu, serta 6
lembar menyerupai pecahan Rp5 ribu. Penemuan tersebut berdasarkan permintaan
klarifikasi perbankan dan masyarakat serta setoran bank-bank ke Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Provinsi Riau.
Grafik 5.6. Perkembangan Peredaran Uang Rupiah Tidak Asli di Provinsi Riau
Sumber : Bank Indonesia
3. PERKEMBANGAN TRANSAKSI PEMBAYARAN NON TUNAI
3.1. Transaksi Kliring
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat aktivitas ekonomi di
suatu daerah selain melalui peredaran uang tunai juga dapat melalui transaksi non
tunai yang tercatat di daerah tersebut. Bank Indonesia memiliki SKNBI (Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia) sebagai sarana transfer dana non tunai secara ritel
baik yang dilakukan oleh Bank Indonesia maupun penyelenggara kliring lokal yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Berdasarkan pencatatan yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Riau, pada triwulan IV 2016 transaksi non tunai dengan menggunakan
sistem kliring di Provinsi Riau secara umum meningkat, baik dari segi nominal
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
94
transaksi maupun jumlah warkat yang digunakan. Nilai transaksi kliring pada
triwulan IV 2016 tercatat sebesar Rp6,607 triliun dengan volume transaksi
mencapai 201.373 lembar, meningkat jika dibandingkan triwulan III 2016 yang
nilainya tercatat sebesar Rp6,374 triliun dengan volume transaksi 194.424 lembar.
Grafik 5.7. Perkembangan Nilai
Transaksi Kliring di Provinsi Riau
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 5.8. Perkembangan Volume
Transaksi Kliring di Provinsi Riau
S Sumber : Bank Indonesia
Grafik 5.9. Nilai Transaksi Kliring Tw IV 2016 Provinsi Riaun
Sumber : Bank Indonesia
Terjadinya peningkatan transaksi pembayaran dengan kliring baik dari segi nominal
transaksi maupun jumlah warkat yang digunakan, diikuti pula dengan peningkatan
nilai rata-rata transaksi per warkat dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari
Rp33,29 juta menjadi 34,50 juta per warkat atau meningkat 3,66% (qtq).
Peningkatan transaksi kliring pada triwulan IV 2016 baik dari nominal transaksi
maupun warkat yang digunakan diperkirakan sebagai dampak dari implementasi
Surat Edaran Bank Indonesia No.17/753/DPSP berupa penyesuaian nilai transaksi
RTGS dan SKNBI telah mulai normal kembali.
3.2. Layanan Keuangan Digital (LKD)
Dalam upaya melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai penyelenggara sistem
pembayaran, Bank Indonesia berupaya untuk selalu mengembangkan alat
pembayaran yang semakin dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat baik
secara tunai maupun non tunai. Dengan melihat perkembangan teknologi
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
95
terutama pengguna telepon genggam dimasyarakat yang tumbuh signifikan serta
peluang menggalakkan financial inclusion terdapat potensi pasar yang sangat besar
bagi produk sistem pembayaran yang berbasis pada teknologi. Sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan layanan keuangan terutama non tunai dengan
memanfaatkan kemajuan teknologi berbasis mobile/web, Bank Indonesia
mendukung penyelenggaraan LKD (Layanan Keuangan Digital) yang berpotensi
besar dalam menjangkau seluruh pelosok Indonesia.
Definisi LKD sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia 16/8/PBI/2014
tentang Uang Elektronik (Electronic Money) adalah kegiatan layanan jasa sistem
pembayaran dan keuangan yang dilakukan melalui kerjasama dengan pihak ketiga
serta menggunakan sarana dan perangkat teknologi berbasis mobile/web dalam
rangka keuangan inklusif. LKD akan memberikan kesempatan kepada masyarakat
yang tidak terjangkau oleh layanan resmi perbankan seperti kantor cabang bank
atau ATM (unbanked) untuk mendapatkan layanan keuangan yang efisien, aman
dan cepat.
Fasilitas LKD memberikan manfaat baik bagi konsumen maupun penyedia layanan.
Bagi konsumen, fasilitas LKD memungkinkan transaksi keuangan dilakukan dengan
efisien, aman dan cepat. Dengan memanfaatkan teknologi, transaksi keuangan
dapat dilakukan dengan biaya transaksi serta risiko kehilangan uang yang lebih
rendah. Sedangkan bagi penyelenggara/penyedia layanan, LKD memberikan
peluang untuk dapat mengakses pasar yang baru serta memperkenalkan layanan
baru untuk transaksi bernilai kecil dengan frekuensi tinggi. Selain itu, layanan
tersebut juga dapat mendorong pengembangan pelayanan, khususnya pada
produk inti. Dengan demikian bagi penyedia layanan selain dapat menjadi sumber
pendapatan baru, kegiatan ini juga memberi peluang untuk cross selling antar
penyedia layanan. Sedangkan bagi masyarakat, fasilitas LKD dapat membantu
masyarakat serta pengusaha mikro kecil, yang paling rentan dengan transfer tunai
sebagai salah satu alat pembayaran non-tunai serta menghindari .
Grafik 5.10. Perkembangan Jumlah Agen LKD
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
96
Penyelenggaraan LKD dapat
dilakukan bank dengan agen LKD
badan hukum maupun agen LKD
individu. Khusus untuk implementasi
LKD menggunakan agen LKD
individu, saat ini hanya
diperuntukkan bagi bank BUKU 41
.
Sampai saat ini baru 3 (tiga) bank
yang memperoleh izin dari Bank
Indonesia antara lain Bank Rakyat
Indonesia, Bank Mandiri dan Bank Central Asia. Jumlah agen LKD di Provinsi Riau
per posisi November 2016 sebanyak 4016 agen. Sepanjang tahun 2016, jumlah
agen LKD di Provinsi Riau terus meningkat dari tahun sebelumnya, meskipun laju
peningkatan jumlah LKD setiap bulannya (mtm) masih cenderung rendah. Secara
keseluruhan pada tahun 2016 terjadi dua kali lonjakan penambahan jumlah agen
LKD di Provinsi Riau yaitu pada bulan Juni dan bulan November. Peningkatan tajam
di bulan Juni 2016, dikarenakan kebutuhan masyarakat akan transaksi non tunai
meningkat akibat persiapan menjelang hari raya Idul Fitri, baik untuk konsumsi
maupun untuk transfer kepada kerabat.
Saat ini LKD di Provinsi Riau
sudah tersebar hampir di
seluruh kabupaten/kota yang
ada meskipun secara umum
rasio penyebarannya masih
terpusat di daerah
kabupaten/kota dengan
tingkat pangsa PDRB yang
tinggi seperti Kota
Pekanbaru, Kampar,
Bengkalis dan Siak dengan
total rasio sebesar 63,64%. Adapun daerah dengan jumlah agen terbanyak berada
di Kota Pekanbaru sebanyak 1.179 agen, sedangkan daerah dengan jumlah agen
1
Bank dengan modal inti di atas Rp30 Triliun.
Sumber : LBBU, Bank Indonesia
Grafik 5.8. Jumlah Agen LKD Spasial Provinsi Riau
Sumber: LBBU Bank Indonesia, diolah
3,78%
35,93%
Kab. Kampar
Kab. Bengkalis
Kab. Indragiri Hulu
Kab. Indragiri Hilir
Kab. Rokan Hulu
Kab. Rokan Hilir
Kab. Pelalawan
Kab. Siak
Kab. Kuantan Singingi
Kab. Kepulauan Meranti
Kota Pekanbaru
Kota Dumai
Kab./Kota Lainnya di Riau
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
97
terendah berada di Kabupaten Kuantan Singingi yaitu sebanyak 124 agen (pangsa
3,78%).
Berdasarkan hasil survei dan monitoring yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Provinsi Riau pada tahun 2016, masyarakat merasa terbantu
dengan adanya program LKD khususnya bagi masyarakat yang tinggal di wilayah
yang jauh dari kantor bank dan ATM sehingga dapat lebih mudah mengakses
layanan keuangan. Namun demikian, masih terdapat hambatan dari sisi
pengetahuan masyarakat yang masih rendah dan cenderung khawatir dalam
melakukan transaksi menggunakan produk LKD dan memilih produk konvensional
seperti tabungan dan setor tarik tunai di kantor Bank.
Dari sisi infrastruktur di lapangan, ketidakstabilan sinyal dan jaringan
telekomunikasi masih menjadi permasalahan dalam penggunaan layanan LKD di
beberapa daerah. Masih terdapat daerah yang masuk kategori blank spot atau
tidak tercover jaringan telekomunikasi sehingga tidak dapat dilakukan perluasan
LKD di wilayah tersebut. Dari sisi agen pelaksana, pengetahuan dalam
mengoperasionalkan perangkat butuh ditingkatkan karena masih terdapat agen
yang belum mengerti sepenuhnya cara menggunakan mesin EDC yang digunakan
untuk melayani nasabah LKD.
Sehubungan dengan hal tersebut, upaya pengembangan LKD terus dilakukan oleh
Bank Indonesia melalui kegiatan edukasi dan sosialisasi yang akan dilaksanakan di
daerah-daerah yang potensial. Bank Indonesia bersama Perbankan penyelenggara
LKD perlu lebih giat dalam memberikan edukasi keuangan terutama untuk wilayah-
wilayah di luar Kota Pekanbaru baik kepada masyarakat pada umumnya dan agen
LKD pada khususnya sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan keterbukaan
masyarakat tentang Layanan Keuangan Digital. Apabila agen LKD telah memiliki
pengetahuan yang cukup diharapkan agen LKD agar lebih aktif dalam melakukan
edukasi ke masyarakat pentingnya LKD sehingga tidak hanya meningkatkan literasi
keuangan di masyarakat namun menjadi perluasan nasabah dan pelanggan bagi
agen yang akhirnya juga akan memberikan keuntungan kepada agen. Terkait
dengan permasalahan infrastruktur, Bank Indonesia dapat melakukan diskusi dan
pendekatan kepada perusahaan telekomunikasi untuk dapat mendorong
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
98
pengembangan jaringan yang bisa digunakan pihak perbankan untuk mengetahui
daerah-daerah yang potensial untuk dilakukan pengembangan LKD.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
99
1. KONDISI UMUM
Perkembangan ketenagakerjaan dan kesejahteraan di Provinsi Riau pada
Agustus 2016 menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan.
Beberapa indikator menunjukkan terjadi peningkatan kualitas ketenagakerjaan
antara lain menurunnya angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Riau dari
7,83% pada Agustus 2015 menjadi 7,43% pada Agustus 2016. Sementara
perkembangan kesejahteraan di Provinsi Riau juga membaik terlihat dari penurunan
persentase jumlah penduduk miskin dibanding jumlah penduduk di Riau yakni dari
8,82% pada September 2015 menjadi 7,67% pada September 2016 dan
peningkatan Nilai Tukar Petani dari 99,11 pada triwulan III 2016 menjadi 102,23
pada triwulan IV 2016.
Bab 6 ASESMEN
KETENAGAKERJAAN DAN
KESEJAHTERAAN DAERAH
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
100
2. KETENAGAKERJAAN
Grafik 6.1. Tingkat Partisipasi Angkatan
Kerja (TPAK) Agustus - 2016
Sumber : BPS - diolah
Grafik 6.2. Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) Agustus - 2016
Sumber : BPS - diolah
Kondisi ketenagakerjaan Provinsi Riau pada periode Agustus 2016 menunjukkan
bahwa 2,99 juta (atau 66,25%) dari 4,51 juta jiwa penduduk Riau dengan usia 15
tahun ke atas merupakan angkatan kerja. Angka Tingkat Pengangguran Terbuka
(TPT) mengalami penurunan dari periode Agustus 2015 yang tercatat sebesar
7,83% menjadi 7,43%. Trend penurunan TPT Riau searah dengan pergerakan TPT
Indonesia yang tercatat 6,18% pada Agustus 2015 menjadi 5,61% di Agustus
2016 sehingga mengindikasikan terjadinya peningkatan ketenagakerjaan secara
nasional. Hal ini juga searah dengan arah perbaikan perekonomian Riau sampai
dengan triwulan III tahun 2016 dibandingkan tahun 2015.
Di tingkat regional, Riau merupakan provinsi dengan angka TPT ketiga tertinggi di
Sumatera. Sementara Bangka Belitung menjadi daerah dengan TPT terendah di
Sumatera dengan angka 2,60%. Jika dibandingkan dengan periode Agustus 2015,
Kepulauan Riau merupakan satu-satunya provinsi di Sumatera yang mengalami
peningkatan TPT di tahun 2016, yang diperkirakan sebagai akibat perlambatan
ekonomi khususnya sektor industri, sehingga banyak pegawai yang dirumahkan.
66,25
60,00 62,00 64,00 66,00 68,00 70,00 72,00 74,00
Bengkulu
Sumatera Selatan
Lampung
Bangka Belitung
Jambi
Sumatera Barat
Indonesia
Riau
Sumatera Utara
Kepulauan Riau
Aceh
7,43
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kepulauan Riau
Aceh
Riau
Sumatera Utara
Indonesia
Sumatera Barat
Lampung
Sumatera Selatan
Jambi
Bengkulu
Bangka Belitung
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
101
Tabel 6.1 Tingkat Pengangguran Terbuka Pulau Sumatera (%)
Sumber: BPS. - diolah
Tabel 6.2 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja
Menurut Lapangan Pekerjaan Utama
Sumber: BPS Provinsi Riau
Berdasarkan sektor ekonomi, penyerapan tenaga kerja di Riau masih didominasi
oleh sektor pertanian yaitu mencapai 41,88% dari total tenaga kerja, diikuti oleh
sektor perdagangan rumah makan dan jasa akomodasi serta sektor jasa
kemasyarakatan sosial dan perorangan dengan share penyerapan tenaga kerja
masing-masing mencapai 18,65% dan 17,40%. Penyerapan tenaga kerja pada
sektor pertanian tercatat menurun dibandingkan periode yang sama pada tahun
sebelumnya yaitu dari 42,61% menjadi 41,88%. Seiring dengan penurunan
penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian, penyerapan tenaga kerja pada
sektor perdagangan rumah makan dan jasa akomodasi pun mengalami penurunan,
yaitu dari 20,40% menjadi 18,65%. Sementara Sektor Industri mengalami
peningkatan yaitu dari 5,97% menjadi 7,56%.
Provinsi Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Babel Kepri
Agt 2014 9,02 6,23 6,50 6,56 5,08 4,96 3,47 4,79 5,14 6,69
Feb 2015 7,73 6,39 5,99 6,72 2,73 5,03 3,21 3,44 3,35 9,05
Agt 2015 9,93 6,71 6,89 7,83 4,34 6,07 4,91 5,14 6,29 6,20
Feb 2016 8,13 6,49 5,81 5,94 4,66 3,94 3,84 4,54 6,17 9,03
Agt 2016 7,57 5,84 5,09 7,43 4,00 4,31 3,30 4,62 2,60 7,69
2015 2016
Pertanian Perkebunan Kehutanan Perburuan dan Perikanan 42,61 41,88
Pertambangan dan Penggalian 1,50 1,50
Industri 5,97 7,56
Listrik Gas dan Air Minum 0,22 0,65
Konstruksi 5,72 5,70
Perdagangan Rumah Makan dan Jasa Akomodasi 20,40 18,65
Transportasi Pergudangan dan Komunikasi 3,84 4,28
Lembaga Keuangan Real Estate Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan 2,60 2,38
Jasa Kemasyarakatan Sosial dan Perorangan 17,14 17,40
Total 100 100
AgustusLapangan Pekerjaan Utama
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
102
Grafik 6.3 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja
Menurut Lapangan Pekerjaan Utama
Sebagian besar penduduk bekerja di Provinsi Riau memiliki status pekerjaan sebagai
buruh/karyawan/pegawai yaitu sebesar 41,53%. Angka ini cenderung menurun
dibandingkan Agustus 2015 yang tercatat sebesar 46,29%. Penurunan penduduk
yang bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai diperkirakan karena terjadinya
perlambatan ekonomi khususnya penurunan Kinerja sektor migas yang
menyebabkan terjadinya pengurangan karyawan di sektor usaha tersebut dan
sektor pendukung (perusahaan subkontraktor). Sementara itu, penduduk yang
bekerja dengan berusaha sendiri mengalami peningkatan dari 18,69% pada
Agustus 2015 menjadi 21,23% pada Agustus 2016. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa kondisi ekonomi menuntut sebagian masyarakat untuk lebih kreatif dalam
menciptakan lapangan kerja sendiri, terutama pasca terjadinya pengurangan
karyawan di beberapa sektor usaha.
41,88
0 10 20 30 40 50
Pertanian Perkebunan Kehutanan…
Pertambangan dan Penggalian
Industri
Listrik Gas dan Air Minum
Konstruksi
Perdagangan Rumah Makan dan Jasa…
Transportasi Pergudangan dan Komunikasi
Lembaga Keuangan Real Estate Usaha…
Jasa Kemasyarakatan Sosial dan Perorangan
Persen (%)2016 2015
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
103
Grafik 6.4 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja
Menurut Lapangan Pekerjaan Utama
Dilihat dari jumlah jam kerja per hari, mayoritas tenaga kerja di Riau menghabiskan
waktu jam kerjanya selama 0*1
dan lebih dari 35 jam seminggu (atau pekerja
waktu penuh), yaitu sebanyak 64,04%. Pekerja dengan waktu lebih dari 35 jam
seminggu merupakan pekerja penuh, sementara pekerja dengan waktu kurang dari
35 jam seminggu merupakan pekerja tidak penuh. Dengan demikian, mayoritas
angkatan kerja yang bekerja di Riau pada Agustus 2015 merupakan pegawai
dengan waktu kerja penuh. Hal ini sesuai dengan jumlah status pekerja terbesar di
Riau yang berprofesi sebagai buruh/karyawan/pegawai. Pekerja tidak penuh di Riau
didominasi oleh pekerja yang berprofesi sebagai wirausaha, pekerja keluarga dan
buruh bebas.
Grafik 6.5. Jumlah Jam Kerja per Minggu
Agustus - 2016
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
Grafik 6.6. Pendidikan Tertinggi yang
Ditamatkan
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
1 Termasuk penduduk yang sementara tidak bekerja.
21,23
41,53
Berusaha Sendiri
Berusaha Dibantu Buruh TidakTetap / Buruh Tidak Dibayar
Berusaha Dibantu Buruh Tetap /Buruh Dibayar
Buruh / Karyawan
Pekerja Bebas
Pekerja tidak dibayar
3% 6%
14%
13%64%
1 - 7
8 - 14
15 - 24
25 - 34
0* dan 35+
37%
18%
33%
12%SD kebawah
SMP
SMA / SMK
Pendidikan Tinggi
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
104
Grafik 6.7 Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Tingkat Pendidikan
yang Ditamatkan
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
Tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh tenaga kerja di Riau mayoritas
merupakan tamatan SMP ke bawah, dengan prosentase sebesar 55,24%. Kondisi
ini tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya yang mencapai 56,26%dari total
angkatan kerja yang bekerja. Pekerja dengan tingkat pendidikan Diploma dan
Universitas hanya mencapai 11,89%, sementara pekerja yang menamatkan tingkat
pendidikan SMA dan SMK mencapai 32,87%. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa tingkat pendidikan tenaga kerja di Riau masih tergolong
rendah.
Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan, Tingkat Pengangguran Terbuka
(TPT) terbesar berada pada kelompok penduduk dengan tingkat pendidikan SMA
dan SMK yaitu mencapai 12,93%. Sementara TPT kelompok penduduk dengan
tingkat pendidikan perguruan tinggi mengalami penurunan dari 9,51% pada
Agustus 2015 menjadi 7,74% pada Agustus 2016. Kondisi ini menunjukkan
adanya perbaikan kondisi ketenagakerjaan bahwa lapangan kerja yang tersedia di
Provinsi Riau semakin optimal dalam menyerap tenaga kerja dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi.
2,79
5,66
12,93
7,74
0
2
4
6
8
10
12
14
SD kebawah SMP SMA / SMK Pendidikan Tinggi
Agustus 2015 Agustus 2016
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
105
3. KESEJAHTERAAN DAERAH
3.1 Penduduk Miskin Riau
Jumlah penduduk miskin di Riau pada bulan September 2016 sebesar 501,59 ribu
atau 7,67% dari jumlah penduduk Riau. Jumlah ini menurun sebanyak 61,33 ribu
jiwa jika dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2015 yang
berjumlah 562,92 ribu atau 8,82% dari jumlah penduduk Riau.
Grafik 6.8. Perkembangan Penduduk Miskin
Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
Grafik 6.9. Sebaran Penduduk Miskin
Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
Jumlah penduduk miskin di Riau baik yang tinggal di daerah pedesaan maupun
perkotaan pada September 2016 mengalami penurunan. Di daerah pedesaan
jumlah penduduk miskinnya mencapai 337,47 ribu penduduk, turun sebesar 50,66
ribu penduduk atau sekitar 13,05% (yoy) jika dibandingkan dengan September
2015 yang sebanyak 388,13 ribu penduduk. Sementara itu, jumlah penduduk
miskin di Riau yang tinggal di daerah perkotaan September 2016 sebesar 164,12
ribu jiwa, juga turun sebesar 10,67 ribu jiwa atau sebesar 6,10%(yoy) jika
dibandingkan dengan September 2015 yang sebesar 174,79 ribu jiwa.
3.2 Garis Kemiskinan Riau
Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh GK, karena
penduduk miskin adalah penduduk yang memiki rata-rata pengeluaran per kapita
per bulan di bawah GK. Semakin tinggi GK, semakin banyak penduduk yang
tergolong sebagai penduduk miskin.
Tabel 6.3 Garis Kemiskinan Provinsi Riau Tahun 2016
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
106
Sumber : BPS Provinsi Riau
Garis Kemiskinan (GK) Riau di tahun 2016 mencapai angka Rp437.259 per
kapita/bulan, atau meningkat 4,82% (yoy) dari tahun 2015 yang tercatat
Rp417.164 per kapita/bulan. Dengan memperhatikan komponen Garis Kemiskinan
yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non
Makanan (GKNM), terlihat bahwa komoditas makanan memiliki peranan yang jauh
lebih besar dibandingkan komoditas bukan makanan (perumahan, sandang,
pendidikan, dan kesehatan). Peranan GKM terhadap GK pada September 2016
mencapai 73,59%, sementara peranan GKNM terhadap GK adalah 26,41%.
Peningkatan GK di daerah perdesaan pada tahun 2016 mencapai 4,12% (yoy)
sementara peningkatan GK di daerah perkotaan pada tahun 2016 mencapai
5,30% (yoy). Kondisi tersebut menggambarkan bahwa GK di daerah perkotaan
mengalami peningkatan yang lebih besar dibandingkan perdesaan sehingga
mengakibatkan jumlah peningkatan penduduk miskin di Riau relatif lebih cepat
bertambah.
3.3 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan Kemiskinan
(P2) Riau
Indeks kedalaman kemiskinan (P1) pada tahun 2016 menunjukkan adanya trend
penurunan. Indeks kedalaman kemiskinan turun dari 1,453 pada September 2015
menjadi 1,355 pada September 2016. Penurunan indeks ini mengindikasikan
bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung mendekati garis
kemiskinan.
Makanan Bukan Makanan Total
Sep-15 288.596 128.812 417.408
Sep-16 301.570 137.972 439.542
Sep-15 318.195 98.585 416.780
Sep-16 333.174 100.786 433.960
Sep-15 306.835 110.329 417.164
Sep-16 321.762 115.497 437.259
Perkotaan
DaerahGaris Kemiskinan (Rp/Kapita/Bln)
Kota + Desa
Perdesaan
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
107
Grafik 6.10. Perkembangan Indeks
Kedalaman Kemiskinan (P1) Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
Grafik 6.11. Perkembangan Indeks
Keparahan Kemiskinan (P2) Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
Apabila dilihat secara terpisah, tingkat kedalaman kemiskinan di daerah perkotaan
mengalami peningkatan yaitu dari 0,834 pada September 2015 menjadi 1,330
pada September 2016, berbanding terbalik dengan tingkat kedalaman kemiskinan
di daerah perdesaan yang mengalami penurunan yaitu dari 1,847 pada September
2015 menjadi 1,370 pada September 2016. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-
rata pengeluaran penduduk miskin di daerah perkotaan semakin menjauh dari garis
kemiskinan sementara rata-rata pengeluaran penduduk miskin di daerah perdesaan
semakin mendekati garis kemiskinan.
Kondisi yang sama juga terjadi pada Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Riau yang
menunjukkan tren penurunan, yaitu tercatat turun dari 0,446 pada September
2015 menjadi 0,399 pada September 2016. Penurunan indeks ini mengindikasikan
bahwa ketimpangan pengeluaran penduduk miskin mengalami penurunan. Jika
dibandingkan antara daerah perdesaan dan perkotaan tercatat bahwa Indeks
Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah perdesaan mengalami penurunan dari 0,599
pada September 2015 menjadi 0,364 pada September 2016, sedangkan di daerah
perkotaan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) mengalami peningkatan dari 0,206
pada September 2015 menjadi 0,454 pada September 2016, hal ini
mengindikasikan terjadi penurunan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin di
daerah perdesaan sementara di daerah perkotaan terjadi kenaikan ketimpangan
pengeluaran penduduk miskin.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
108
3.4 Nilai Tukar Petani
Nilai Tukar Petani pada triwulan IV-2016 meningkat jika dibandingkan dengan
triwulan III-2016 yakni dari 99,11 menjadi 102,23. Kenaikan NTP pada triwulan IV-
2016 disebabkan oleh kenaikan indeks harga yang diterima petani sebesar 2,61%,
lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan indeks harga yang dibayar petani
sebesar 0,77%. Nilai NTP di atas 100 secara umum memberikan gambaran bahwa
kegiatan pertanian di Provinsi Riau mulai membaik dan memberikan nilai tambah
dalam peningkatan taraf hidup petani, tercermin dari besarnya pendapatan yang
diperoleh petani dibanding biaya yang dikeluarkan oleh petani. Peningkatan nilai
tukar petani dicatatkan oleh seluruh subsektor kecuali subsektor peternakan, yang
menjadi satu-satunya subsektor penyusun NTP yang mengalami penurunan indeks
Niali Tukar Usaha Petani (NTUP) sebesar 0,53%. NTUP terendah dicatatkan oleh
subsektor peternakan sebesar 109,15. Sementara NTUP tertinggi dicatatkan oleh
subsektor perikanan sebesar 118,05.
Grafik 6.12. Perkembangan Nilai Tukar Petani
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
94
1. PROSPEK MAKROREGIONAL
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan II-2017 secara umum diperkirakan
tumbuh meningkat, berada pada kisaran 2,8+0,5%(yoy) dengan tendensi ke arah
batas bawah. Sumber pertumbuhan dari sisi penggunaan diperkirakan berasal dari
konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi, dan ekspor yang tumbuh
positif dan meningkat jika dibandingkan triwulan I-2017. Sementara itu, secara
sektoral peningkatan kinerja diperkirakan berasal dari sektor konstruksi dan
perdagangan besar dan eceran. Di sisi lain pertumbuhan ekonomi Riau tertahan oleh
tingginya impor dan berlanjutnya kontraksi sektor pertambangan dan penggalian.
Secara keseluruhan tahun 2017, pertumbuhan ekonomi Riau diperkirakan akan
mencapai 2,5-3,5% (yoy), lebih tinggi jika dibandingkan tahun 2016 yang sebesar
PROSPEK PEREKONOMIAN
DAERAH
Bab 7
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
95
2,23% (yoy). Laju pertumbuhan tertinggi diperkirakan bersumber dari ekspor dan
konsumsi pemerintah. Pada tahun 2017, harga komoditas dan energi diperkirakan
mengalami perbaikan seiring dengan mulai pulihnya perekonomian global yang
dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Selain itu, lebih
besarnya anggaran APBD 2017 Provinsi Riau dibandingkan tahun 2016 diharapkan
menjadi pendorong perekonomian Riau ke depan.
Tabel 7.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Riau Aktual dan Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi Riau Tahun 2017 (% yoy)
P Proyeksi Bank Indonesia
Perekonomian Riau ke depan masih didorong oleh konsumsi rumah tangga.
Berdasarkan perkembangan indikator terkini, indeks keyakinan konsumen terhadap
kondisi ekonomi pada awal tahun 2017 relatif menurun. Pesimisme konsumen
tersebut dilatarbelakangi oleh perkembangan harga yang belum menunjukkan
perbaikan signifikan serta lifting migas sebagai salah satu sektor utama Riau yang
masih melanjutkan tren menurun hingga Januari 2017 (Grafik 7.1). Namun jika
dilihat dari indeks ekspektasi konsumen sampai dengan 6 bulan yang akan datang
secara umum menunjukkan peningkatan (Grafik 7.2).
Grafik 7.1. Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik 7.2. Perkembangan Indeks Ekspektasi Konsumen
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Sementara itu konsumsi pemerintah juga diperkirakan akan meningkat jika
dibandingkan triwulan berjalan. Hal tersebut didorong oleh lebih tingginya anggaran
APBD Provinsi Riau Tahun 2017. APBD 2017 disahkan pada bulan November 2016,
I II III IV I II III
PDRB 2,71 -0,03 -2,06 -1,36 4,39 0,22 2,74 2,75 1,26 2,22 2,23 2,0-3,0 2,3-3,3 2.5-3.5
Komponen 2014 20152015 2016 2017
70
80
90
100
110
120
130
140
150
160
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Jan
2012 2013 2014 2015 2016 2017
IKKIKEIEKGaris 100
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130
140
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Jan
2013 2014 2015 2016 2017
Indeks Kegiatan Usaha Indeks Penghasilan Konsumen
Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja Garis 100
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
96
lebih cepat dibandingkan APBD tahun sebelumnya yang biasanya baru disahkan
pada bulan Desember. Percepatan pengesahan APBD tersebut diharapkan
mendorong percepatan realisasi anggaran. Peningkatan belanja pemerintah tersebut
juga diikuti oleh peningkatan investasi seiring dengan berlanjutnya proyek strategis
yang prosesnya terus dipercepat. Adapun beberapa proyek strategis yang masih
terus berlanjut antara lain adalah pembangunan jalan tol trans sumatera yang
melewati Pekanbaru-Dumai seluar 131.475 Km, pembangunan jalur kereta api di 4
titik yakni Rantau Prapat-Dumai (249 Km), Duri-Pekanbaru (90 Km), Pekanbaru-
Muaro (164 Km), Pekanbaru-Jambi (350 Km), serta adanya program peningkatan
dan pembangunan jalan dan jembatan yang terus dilakukan dalam rangka
peningkatan kualitas jalan dalam rangka mendukung kelancaran distribusi barang
dan jasa.
Dari sisi eksternal, kinerja ekspor pada triwulan II-2017 diperkirakan tumbuh positif
sejalan dengan mulai pulihnya kondisi perekonomian global yang berdampak
terhadap peningkatan permintaan negara mitra dagang dan harga komoditas
internasional. Jika dilihat secara lebih rinci, ekspor barang dan jasa Riau triwulan ke
depan didominasi oleh ekspor luar negeri yang memiliki pangsa mencapai 88,29%.
Melihat outlook ekonomi global ke depan, perbaikan permintaan terutama
diperkirakan berasal dari India yang pertumbuhannya relatif meningkat, sementara
perkiraan ekonomi negara lainnya relatif melambat. Adapun komoditas utama yang
banyak di ekspor ke India antara lain CPO dan pulp.
Grafik 7.3 Outlook Perekonomian Global
Sumber: Recent Economic Development Bank Indonesia, Januari 2017
3,1
7,3 6,9
2,5
1,5
0,6
3,1
7,3 6,9
2,5
1,5
0,6
3,2
7,4
6,4
2,2
1,4
0,1
-
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
8,0
Dunia India Tiongkok Amerika Eropa Jepang
% y
oy
2015 2016P 2017P
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
97
Dari sisi penawaran, peningkatan kinerja sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan
pada triwulan II-2017 diperkirakan relatif stabil. Faktor pendorong meningkatnya
pertumbuhan diperkirakan berasal dari subsektor perkebunan sawit. Kurang
optimalnya produksi sawit pada tahun 2016 disebabkan oleh musim trek yang
berlangsung sejak Januari-Agustus tahun 2016, sehingga pada semester II-2016
sampai dengan awal tahun 2017 produksi berpotensi meningkat, disamping mulai
berproduksinya tanaman yang direplanting. Dengan demikian, meningkatnya
produksi dan meningkatnya harga TBS lokal yang juga dipengaruhi oleh perbaikan
harga komoditas internasional mendorong laju pertumbuhan sektor pertanian,
kehutanan, dan perikanan ini.
Sejalan dengan peningkatan kinerja sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan
Riau, kinerja sektor industri pengolahan juga diperkirakan meningkat. Membaiknya
perekonomian negara mitra dagang dan meningkatnya harga komoditas
perkebunan mendorong capaian pertumbuhan sektor ini, terutama subsektor
industri pengolahan CPO dan produk turunannya termasuk biodiesel, serta industri
pengolahan pulp and paper. Meningkatnya pertumbuhan sektor industri pengolahan
juga dipengaruhi oleh mandatori campuran biodiesel ke dalam bahan bakar nabati.
Hal tersebut dikonfirmasi oleh contact liaison yang menyatakan terjadi peningkatan
yang siginifikan terhadap permintaan biodiesel dalam negeri sejak tahun 2016.
Dengan demikian, peningkatan permintaan sektor industri pengolahan tidak hanya
bersumber dari luar negeri tetapi juga domestik.
Di sisi lain, sektor pertambangan dan penggalian migas masih cenderung
melanjutkan tren menurun. Secara natural, produksi turun 8-12% jika tidak
melakukan investasi apapun. Contact liaison Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Riau, menginformasikan bahwa cadangan minyak bumi masih cukup
banyak, namun mahalnya teknologi yang dibutuhkan untuk kegiatan lifting minyak
bumi melalui secondary recovery belum mampu memenuhi nilai keekonomisannya.
Turunnya lifting migas menjadi faktor penahan pertumbuhan ekonomi Riau seiring
dengan proporsinya yang besar terhadap perekonomian Riau, yang pada tahun 2016
mencapai 27,93%.
Selanjutnya, perkembangan sektor konstruksi diperkirakan menunjukkan
peningkatan yang cukup baik. Hal ini didorong oleh peningkatan APBD pemerintah
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
98
yang digunakan untuk melanjutkan sejumlah proyek infrastruktur strategis.
Pertumbuhan sektor konstruksi ini juga tercermin dari meningkatnya konsumsi
semen di Riau. Hingga akhir tahun 2017, pertumbuhan sektor ini diperkirakan masih
terus berlanjut. Adapun faktor yang dapat menghambat perkembangan sektor ini
antara lain perkembangan aktivitas swasta yang sampai dengan triwulan berjalan
diperkirakan masih berjalan relatif lambat yang terindikasi dari lambatnya
pertumbuhan kredit investasi. Hal ini juga dipengaruhi oleh kondisi investor yang
masih wait and see terhadap perkembangan ekonomi Riau ke depan.
Sektor perdagangan besar dan eceran juga diperkirakan meningkat hingga akhir
tahun 2017. Peningkatan tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi daya beli
masyarakat yang menunjukkan perbaikan. Secara umum, meningkatnya kinerja
sektor ini didorong oleh perbaikan harga komoditas yang terus berlanjut, kenaikan
Upah Minimum Provinsi Riau, apresiasi nilai tukar rupiah, relatif terjaganya tingkat
inflasi.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2017 secara keseluruhan
diperkirakan berada pada kisaran 2,50 3,50% (yoy), lebih tinggi dibandingkan
capaian tahun 2016 yang tumbuh sebesar 2,23% (yoy). Peningkatan kinerja
ekonomi didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga, belanja pemerintah,
investasi, peningkatan ekspor, dan tertahannya pertumbuhan impor. Sementara dari
sisi penawaran, sumber pertumbuhan ekonomi berasal dari 4 sektor utama yaitu
sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan; industri pengolahan; konstruksi; dan
perdagangan besar & eceran. Di sisi lain, masih terkontraksinya pertumbuhan sektor
pertambangan dan penggalian menjadi penahan laju pertumbuhan ekonomi Riau
yang lebih tinggi.
Secara umum, faktor pendorong meningkatnya pertumbuhan diperkirakan berasal
dari perbaikan harga komoditas, meningkatnya permintaan ekspor dan penyerapan
domestik, volume produksi seiring dengan berakhirnya musim trek dan mulai
berproduksinya tanaman yang telah direplanting, lebih tingginya APBD 2017
dibandingkan tahun lalu, percepatan realisasi anggaran pemerintah daerah dan terus
berlanjutnya pembangunan proyek infrastruktur strategis, serta membaiknya kondisi
perekonomian yang mendorong ekspektasi investor yang lebih baik terhadap kondisi
ekonomi ke depan.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
99
Meskipun demikian, kondisi perekonomian ke depan dibayangi beberapa risiko
eksternal dan domestik. Dari pasar keuangan global, risiko antara lain bersumber dari
arah kebijakan pemerintah AS dan frekuensi kenaikan suku bunga lanjutan di AS
pada tahun 2017, serta proses penyeimbangan ekonomi dan penyehatan sektor
keuangan di Tiongkok yang juga menjadi salah satu negara mitra dagang utama
Riau. Dari sisi domestik, risiko terkait dengan penyesuaian administered prices sejalan
dengan kebijakan lanjutan reformasi subsidi energi oleh pemerintah sehingga
berpotensi memberikan dampak terhadap perubahan harga barang dan jasa. Selain
itu, terdapat risiko yang berpotensi membawa pertumbuhan ekonomi Riau
menyentuh batas bawah proyeksi (downside risks). Kondisi ini utamanya terkait
dengan kondisi sumur minyak yang tidak produktif (natural declining), tidak
optimalnya penggunaan teknologi injeksi untuk optimalisasi produksi, serta
eksplorasi sumur baru yang terkendala proses perizinan sehingga diperkirakan
berpotensi mengakibatkan kontraksi yang lebih dalam pada sektor pertambangan
migas. Selain itu, potensi pemulihan kinerja sektor pertanian masih cukup rendah,
terutama terhadap subsektor perkebunan kelapa sawit sehubungan dengan dampak
el nino dan la nina yang berpotensi menyebabkan kebakaran hutan dan lahan, serta
kondisi banjir sehingga produksi pertanian relatif terganggu. Berdasarkan FGD
dengan BMKG Provinsi Riau, La Nina lemah telah terjadi sejak Juli 2016 dan diprediksi
masih bertahan hingga awal tahun 2017. Hal tersebut disebabkan oleh pola
klimatologis equatorial yang secara umum akan berdampak pada penurunan
intensitas hujan pada bulan Februari dan akan kembali meningkat sekitar
pertengahan Maret, serta puncak musim hujan pertama pada bulan April 2017.
Daerah yang menjadi perhatian agak kering adalah wilayah pesisir seperti Rohil,
Dumai, Bengkalis, Siak Bagian pesisir, Meranti, Pelalawan Bagian pesisir. Musim
kemarau secara signifikan diprediksi pada bulan Mei hingga September 2017.
Prediksi curah hujan Riau pada bulan Januari-Juni 2017 didominasi kriteria
menengah (150-200mm/bulan) dan mulai berkurang pada bulan Mei Juni 2017.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
100
2. PERKIRAAN INFLASI
Tabel 7.2. Perkembangan Inflasi Aktual Riau dan Prakiraan Inflasi Riau Triwulan II-2017 dan Tahun 2017
Inflasi Provinsi Riau triwulan II-2017 diperkirakan berada pada kisaran 4,5-5,5% (yoy)
dengan tendensi ke arah batas atas. Tingkat inflasi triwulan II-2017 diperkirakan
lebih tinggi jika dibandingkan triwulan yang sama tahun 2016. Secara keseluruhan
tahun 2017, tingkat inflasi diperkirakan berkisar antara 4,0-5,0% (yoy) dengan
tendensi ke arah batas atas, lebih tinggi dibandingkan capaian tahun 2016 yang
sebesar 4,04% (yoy). Peningkatan tersebut disebabkan oleh peningkatan harga
terutama bahan makanan yang cukup tinggi pada awal tahun 2017, penyesuaian
tarif listrik dan penyesuaian harga BBM.
Faktor pendorong inflasi Riau pada tahun 2017 diperkirakan terutama berasal dari
inflasi volatile food, bersumber dari kenaikan harga bahan makanan akibat
keterbatasan pasokan seiring dengan kemungkinan terjadinya la nina yang menguat
sehingga mengganggu pasokan dari beberapa sentra produksi yang banyak
memasok kebutuhan ke wilayah Riau. Beberapa komoditas seperti aneka cabai,
beras, bawang merah, daging ayam ras, dan daging sapi diperkirakan akan
meningkat karena keterbatasan pasokan. Selain itu tekanan inflasi volatile food juga
didorong oleh meningkatnya permintaan masyarakat menjelang Ramadhan dan Idul
Fitri pada akhir triwulan II-2017.
Inflasi kelompok administered price, diperkirakan mengalami peningkatan seiring
dengan penyesuaian tarif listrik secara bertahap, kebijakan BBM 1 harga, dan
kenaikan harga BBM non subsidi turut menjadi faktor yang memberikan tekanan
terhadap laju inflasi kelompok administered price. Sementara itu, meskipun relatif
stabil tekanan inflasi inti diperkirakan sedikit meningkat akibat mulai membaiknya
daya beli masyarakat karena meningkatnya penghasilan (akibat mulai meningkatnya
harga TBS lokal) dan peningkatan realisasi belanja pemerintah sehingga akan
meningkatkan sisi permintaan. Faktor yang menahan peningkatan tekanan inflasi inti
adalah penguatan nilai tukar rupiah sehingga menurunkan imported inflation.
I II III IV I II III IV
INFLASI 6,17 7,40 5,70 2,65 4,42 1,92 3,27 4,04 4.0-5.0 4.5-5.5 4.0-5.0
Keterangan2015 2016 2017
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
101
Grafik 7.4. Tracking Inflasi SPH dan BPS Grafik 7.5. Perkiraan Harga Mendatang
Sumber: SPH Bank Indonesia dan Rilis Inflasi BPS Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi melewati batas atas kisaran
proyeksi antara lain menguatnya kemungkinan terjadinya la nina yang berpotensi
menganggu produksi daerah sentra pertanian, kenaikan permintaan pada
momentum liburan sekolah dan hari besar keagamaan, penyesuaian tarif listrik,
kenaikan harga BBM non subsidi, kenaikan cukai rokok tahunan, kenaikan harga
pakan ternak, dan sebagainya. Sementara itu, faktor yang berpotensi membawa
inflasi ke batas bawah yaitu perkembangan harga minyak dunia yang masih belum
membaik sehingga meminimalisir tekanan inflasi dari kelompok administered prices,
apresiasi nilai rupiah, melimpahnya pasokan pada saat musim panen yang terjadi
bersamaan di beberapa daerah sentra produksi, kebijakan pemerintah yang semakin
baik di bidang ketahanan pangan, kebijakan impor, penurunan tingkat suku bunga,
dan sebagainya. Pada tingkat regional, koordinasi aktif forum Tim Pengendalian
Inflasi Daerah terus ditingkatkan baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota,
dengan beberapa fokus pembahasan antara lain implementasi roadmap TPID Provinsi
dan menyusun roadmap TPID di tingkat Kota/Kabupaten, serta sosialisasi dan
membuat rencana tindak lanjut arahan Presiden dalam Rakornas VII TPID antara lain:
1. Mengintensifkan koordinasi dan mengoptimalkan program/kegiatan
pengendalian inflasi di tingkat Kota/Kabupaten, disertai dengan evaluasi
secara berkala.
2. Merumuskan dukungan program intervensi dalam rangka stabilisasi harga
atau program pengendalian harga lain yang diperlukan dengan alokasi APBD
yang memadai
(1,50)
(1,00)
(0,50)
-
0,50
1,00
1,50
2,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2016 2017
% m
tm
Rilis Inflasi BPS Tracking Inflasi SPH
140
145
150
155
160
165
170
175
180
185
190
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I*
2013 2014 2015 2016 2017
Perkiraan Harga 3 Bulan Mendatang
Perkiraan Harga 6 Bulan Mendatang
Perkiraan Harga 12 Bulan Mendatang
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
102
3. Melakukan monitoring kewajaran harga dan stok pangan di pasaran dan
gudang-gudang distributor besar secara berkala dengan berkoordinasi
dengan aparat penegak hukum
4. Monitoring kondisi dan pengembangan infrastruktur distribusi pangan
daerah, melakukan respon perbaikan secara cepat, serta koordinasi intensif
dengan Pemerintah Pusat jika terjadi kendala
5. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memicu disparitas harga seperti biaya
transportasi, biaya dan kondisi bongkar muat, kondisi penyimpanan barang,
serta faktor-faktor lainnya.
3. REKOMENDASI
Sehubungan dengan upaya pengendalian inflasi, dan upaya peningkatan
pertumbuhan ekonomi, maka diusulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Jangka pendek
a. Melakukan monitoring secara intensif tindak lanjut arahan Presiden
dalam Rakornas VII TPID dan Rakorpusda Tahun 2016. Selain itu seluruh
TPID di Kabupaten/Kota diharapkan dapat menyusun roadmap
pengendalian inflasi, mengacu kepada roadmap pengendalian inflasi
Provinsi Riau dengan 7 fokus utama yaitu: peningkatan produksi
berdasarkan kawasan/produk unggulan, pengembangan infrastruktur
pendukung produksi dan distribusi bahan pangan, pengembangan
struktur pasar dan tata niaga pangan pokok, kegiatan operasi pasar dan
pasar murah, pengelolaan dampak penyesuaian harga, mendorong
ketersediaan informasi, dan koordinasi intensif SKPD.
b. Penguatan sektor pariwisata dan industri kreatif sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi daerah, yang diawali dengan penyusunan
konsep & blueprint pengembangan pariwisata berbasis alam dan budaya
yang diintegrasikan dengan rencana pengembangan infrastruktur
pendukung untuk meningkatkan aksesibilitas daerah wisata serta
promosi yang memadai. Selain itu perlu dilakukan koordinasi dari
seluruh unsur (pentahelix) agar memiliki persamaan persepsi terhadap
blueprint pengembangan yang disusun.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
103
c. Mendorong berbagai kegiatan Meeting, Incentive, Convention, and
Exchibition (MICE) dalam rangka penguatan permintaan domestik
melalui aktivitas konsumsi seperti berbagai event pariwisata/budaya
berskala nasional dan internasional, melalui media pemasaran yang
massive dan terpusat, serta penciptaan budaya masyarakat sadar wisata.
d. Membangun persepsi positif terhadap iklim investasi melalui publikasi
perkembangan kemajuan pembangunan infrastruktur melalui media
komunikasi yang lebih luas dan terintegrasi, dengan kredibilitas
informasi yang lebih tinggi (Regional Investor Relation Unit/RIRU). Hal ini
juga disertai dengan informasi terkait kebijakan-kebijakan di daerah
yang memberikan insentif khusus bagi para investor di Provinsi Riau.
2. Jangka Menengah Panjang
a. Percepatan proyek pembangunan infrastruktur, terutama jalan, listrik
dan pelabuhan. Pada dasarnya, pembangunan infrastruktur yang
memadai akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan nilai
tambah perekonomian. Selain dapat meningkatkan kualitas kehidupan
masyarakat, kondisi infrastruktur yang baik juga akan mendorong
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Hal
ini sejalan dengan simulai kebijakan yang dilakukan oleh Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau dengan menggunakan model
CGE-INDOTERM bahwa untuk melakukan akselerasi pertumbuhan
ekonomi di Provinsi Riau, percepatan pembangunan infrastruktur jalan,
listrik dan pelabuhan menjadi salah satu fokus pembangunan
pemerintah daerah.
b. Percepatan implementasi kerjasama antar daerah dalam pemenuhan
kebutuhan pangan dikarenakan karakteristik Provinsi Riau bukan
merupakan daerah sentra produksi pangan. Sebagai langkah awal
diperlukan realisasi rencana kerjasama antar GAPOKTAN provinsi
Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan khususnya
untuk komoditas beras yang sudah dijajaki oleh Dinas Ketahanan
Pangan
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
104
c. Perlunya penyusunan roadmap pengembangan kemaritiman di Provinsi
Riau mengingat potensi perikanan dan kelautan yang cukup besar. Hal
ini tercermin dari total produksi perikanan yang terus meningkat setiap
tahunnya. Namun fokus pengembangan terhadap sektor kemaritiman di
Riau relatif minim. Sampai dengan saat ini, masih belum terdapat industri
pakan ikan sehingga biaya pengembangan perikanan di Riau menjadi
lebih mahal. Selain itu, pemerintah daerah Provinsi Riau perlu untuk
memperketat pengawasan kapal yang beroperasi di wilayah perairan
Riau terutama di daerah perbatasan yang rawan tindakan pencurian ikan
dan penjualan ikan di tengah laut, mendata kembali seluruh kapal
penangkap ikan, optimalisasi alokasi bantuan anggaran untuk nelayan,
peningkatan kualitas pelabuhan perikanan, dan mengaktifikan kembali
galangan kapal. Di sisi lain, diperlukan optimalisasi pengembangan
potensi wisata bahari Riau, antara lain melalui percepatan perbaikan
infrastruktur, peningkatan fasilitas pendukung dan kondisi akomodasi
agar lebih memadai, penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) di sektor
Pariwisata dan Jasa Pendukung.