kajian ekonomi dan keuangan regional - bi.go.id · ge kajian ekonomi dan keuangan regional kata...
TRANSCRIPT
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
AGUSTUS
website : www.bi.go.id email : [email protected]
2016
KAJIAN EKONOMI DAN
KEUANGAN REGIONAL
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
VISI BANK INDONESIA :
kredibel dan terbaik di regional
melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian
inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil
MISI BANK INDONESIA :
1. Mencapai stabilitas nilai rupiah dan menjaga efektivitas transmisi
kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
yang berkualitas;
2. Mendorong sistem keuangan nasional bekerja secara efektif dan efisien
serta mampu bertahan terhadap gejolak internal dan eksternal untuk
mendukung alokasi sumber pendanaan/pembiayaan dapat berkontribusi
pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional;
3. Mewujudkan sistem pembayaran yang aman, efisien, dan lancar yang
berkontribusi terhadap perekonomian, stabilitas moneter dan
stabilitas sistem keuangan dengan memperhatikan aspek perluasan
akses dan kepentingan nasional;
4. Meningkatkan dan memelihara organisasi dan SDM Bank Indonesia
yang menjunjung tinggi nilai-nilai strategis dan berbasis kinerja, serta
melaksanakan tata kelola (governance) yang berkualitas dalam rangka
NILAI-NILAI STRATEGIS ORGANISASI BANK INDONESIA :
-nilai yang menjadi dasar Bank Indonesia, manajemen, dan pegawai
untuk bertindak dan atau berperilaku, yang terdiri atas Trust and Integrity,
Professionalism, Excellence, Public Interest, dan Coordination and Teamwork
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kata Pengantar
iii
BUKU Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Provinsi Riau ini merupakan
terbitan rutin triwulanan yang berisi analisis perkembangan ekonomi dan
perbankan di Provinsi Riau. Terbitan kali ini memberikan gambaran perkembangan
ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau pada triwulan II 2016 dengan penekanan
kajian pada kondisi ekonomi makro regional (PDRB dan Keuangan Daerah), Inflasi,
Perbankan dan Sistem Pembayaran, Ketenagakerjaan dan Prakiraan Perkembangan
Ekonomi Daerah pada triwulan III 2016. Analisis dilakukan berdasarkan data
laporan bulanan bank umum, data ekspor-impor yang diolah oleh Kantor Pusat
Bank Indonesia, data PDRB dan inflasi yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS)
Provinsi Riau, serta data dari instansi/lembaga terkait lainnya.
Tujuan dari penyusunan buku KEKR ini adalah untuk memberikan informasi kepada
stakeholders tentang perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau,
dengan harapan kajian tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu sumber
referensi bagi para pemangku kebijakan, akademisi, masyarakat, dan pihak-pihak
lain yang membutuhkan.
Kami menyadari masih banyak hal yang harus dilakukan untuk menyempurnakan
buku ini. Oleh karena itu kritik, saran, dukungan penyediaan data dan informasi
sangat diharapkan.
Pekanbaru, 23 Agustus 2016
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau
Ismet Inono Deputi Direktur
KATA PENGANTAR
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kata Pengantar
iv
duduk di rumah memegang amanah
duduk di tanah memegang petuah
duduk di kampung menjadi payung
duduk di banjar bertunjuk ajar
duduk di ladang tenggang menenggang
duduk di negeri tahukan diri
duduk di dusun ia penyantun
duduk beramai elok perangai
apa tanda Melayu bertuah,
tahu berguru pada yang sudah
tahu berbuat pada yang ada
tahu memandang jauh ke muka
apa tanda Melayu terbilang,
dada lapang pandangan panjang
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Daftar Isi
iv
HALAMAN
Kata Pengantar .................................................................. iii
Daftar Isi ............................................................................. iv
Daftar Tabel ....................................................................... vii
Daftar Grafik ...................................................................... viii
Daftar Gambar.................................................................... xii
Tabel Indikator Ekonomi Terpilih........................................ xiii
RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................. 1
BAB 1. ASESMEN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH 10
1.
2.
Kondisi Umum.............................................
PDRB Sisi Penggunaan..............................
10
12
2.1. Konsumsi ....................................... 13
2.2 Investasi (PMTB)............................ 15
2.3 Ekspor dan Impor ........................... 16
2.3.1. Ekspor ..................................
2.3.2. Impor ....................................
16
18
3. PDRB Sektoral ........................................... 19
3.1. Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan 20
3.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian .......... 22
3.3. Sektor Industri Pengolahan ............................ 23
3.4. Sektor Perdagangan, Besar dan Eceran, dan Reparasi
Mobil dan Sepeda Motor.................
24
4.
3.5.
4.1
Sektor Konstruksi...........................................
Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan
4.1.2.
26
26
28
28
29
29
DAFTAR ISI
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Daftar Isi
v
4.2
HALAMAN
4.2.1. Sektor Pertanian, Kehutanan dan
4.2.2. Sektor Pertambangan dan
4.2.3. Sektor Industri
4.2.4. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran,
dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor..
30
31
31
32
33
34
35
Boks 1
Boks 2
Quick Survei Paket Kebijakan Ekonomi
Permasalahan Ekonomi Riau
BAB 2. ASESMEN INFLASI DAERAH ................................................... 36
1. Kondisi Umum................................................................... 36
2.
Perkembangan Inflasi Provinsi Riau
2.1. Inflasi Kota..................................................................
2.1.1. Inflasi Kota Pekanbaru.....................................
2.1.2. Inflasi Kota Dumai............................................
2.1.3. Inflasi Kota Tembilahan....................................
2.2. Disagregasi Inflasi (yoy).............................................
2.2.1. Inflasi Inti (Core)...............................................
2.2.2. Inflasi Volatile Foods........................................
2.2.3. Inflasi Administered Price.................................
2.3. Prospek Perkembangan Harga Barang dan Jasa
Triwulan Berjalan......................................................
2.4. Program Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Riau
37
41
41
42
43
44
45
47
48
49
50
Boks 3
Upaya Pengendalian Inflasi di Provinsi Riau
BAB 3
ASESMEN KEUANGAN PEMERINTAH......................................
1. 1. Kondisi Umum.......................................................................
52
52
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Daftar Isi
vi
Boks 4
BAB 4.
HALAMAN
2. 2. Realisasi APBD Triwulan I 2016...........................................
3. 2.1 Realisasi Pendapatan................................................
4. 2.2 Realisasi Belanja........................................................
5. Hasil Rapat Koordinasi Revisi Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah( RPJMD) Provinsi Riau Tahun 2014-2019
6.
7. ASESMEN STABILITAS KEUANGAN DAERAH DAN PENGEMBANGAN
UMKM
53
54
55
59
1. Kondisi Umum Perbankan.................................................... 59
2. Perkembangan Bank Umum................................................ 60
2.1. ............................. 60
2.2. . 62
2.3. 63
3.
4.
Intermediasi dan Risiko Perbankan
65
67
4.1. Ketahanan S . 67
4.2. Ketahanan Sektor Rumah Tangga Daerah.............. 70
4.3. .... 72
5. Perkembangan Perbankan 74
6. 76
Boks 5 Upaya Pengendalian Inflasi di Provinsi Riau
BAB 5 ASESMEN PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH .................................................
77
1. Kondisi Umum Sistem Pembayaran Tunai dan Non Tunai.. 79
2. Perkembangan Transaksi Pembayaran Tunai..................... 80
2.1. Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow - Outflow)....... 80
2.2. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar.......................
2.3. Uang Rupiah Tidak Asli............................................
3. Perkembangan Transaksi Pembayaran Non Tunai............
3.1. Transaksi Kliring.......................................................
81
82
81
83
BAB 6 ASESMEN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN DAERAH...... 85
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Daftar Isi
vii
1.
HALAMAN
Kondisi Umum ..........
85
2.
3.
Ketenagakerjaan... .......
Kesejahteraan Daerah.............................................................
3.1. Penduduk Miskin Riau....................................................
3.2. Garis Kemiskinan Riau
3.3. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan
Kemiskinan (P2) Riau
86
90
90
91
92
Boks 6
BAB 7
Mempercepat Pembangunan Infrastruktur Maritim untuk
Mendukung Peningkatan Kepariwisataan dan Pertumbuhan Ekonomi
yang Berkelanjutan
PROSPEK PEREKONOMIAN ...
94
1. 94
2. Perkiraan Inflasi...... ............. 97
3. 99
Daftar Istilah xv
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Tabel
vii
HALAMAN
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan (yoy) ........................... 12
Tabel 1.2. Realisasi Belanja Pemerintah Daerah Provinsi Riau ............................ 14
Tabel 1.4. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau (Ribu Ton) ............... 16
Tabel 1.5. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral Dengan Migas (yoy,%) ....... 20
Tabel 3.1. Ringkasan Realisasi APBD Provinsi Riau ............................................ 53
Tabel 3.2. Ringkasan Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Riau ........................ 54
Tabel 3.3. Ringkasan Realisasi Belanja Daerah Provinsi Riau ............................... 56
Tabel 4.1 Perkembangan Indikator Perbankan di Provinsi Riau .......................... 60
Tabel 4.2. Perkembangan DPK di Provinsi Riau Menurut Kepemilikan ................ 63
Tabel 4.3. Kredit Lokasi Bank Menurut Sektor Ekonomi .................................... 67
Tabel 4.4. Kredit Lokasi Proyek Menurut Sektor Ekonomi ..................................... 68
Tabel 4.5. Kredit UMKM di Provinsi Riau Menurut Sektor Ekonomi ...................... 73
Tabel 5.1. Historis Net Outflow Lebaran dalam 6 tahun terakhir ........................... 81
Tabel 6.1. Tingkat Pengangguran Terbuka Pulau SUmatera .............................. 86
Tabel 6.2. Penduduk Usia 15 tahun keatas yang bekerja .................................. 87
Tabel 6.3. Garis Kemiskinan Provinsi
Tabel 7.1. Perkembangan Pertumb
Tabel 7.2. Outlook Pereko
Tabel 7.3. Perkembangan Infl
DAFTAR TABEL
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
viii
HALAMAN
Grafik 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional Secara Tahunan (yoy%) ..... 11
Grafik 1.2.Perkembangan Indeks Survei Ekspektasi Konsumen Riau ...................... 13
Grafik 1.3.Pergerakan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini ........................................ 14
Grafik 1.4.Kredit Konsumsi .................................................................................... 14
Grafik 1.5. Kredit Kendaraan Bermotor ................................................................ 14
Grafik 1.6. Indeks Suku Cadang dan Aksesori ....................................................... 14
Grafik 1.7. Perkembangan Nilai Realisasi PMDN di Provinsi Riau ........................... 15
Grafik 1.8. Perkembangan Nilai Realisasi PMA di Provinsi Riau .............................. 15
Grafik 1.9. Perkembangan Volume Ekspor CPO dan Turunan Riau ....................... 16
Grafik 1.10. Perkembangan Volume Ekspor Pulp and Paper Riau ......................... 16
Grafik 1.11. Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau ................................... 17
Grafik 1.12. Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau ............................ 17
Grafik 1.13. Ekspor CPO Dunia ............................................................................. 17
Grafik 1.14. Pertumbuhan Ekspor dan Indeks Dollar ............................................. 17
Grafik 1.15 Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah. ... 18
Grafik 1.16. Perkembangan Ekspor Non Migas Riau .............................................. 19
Grafik 1.17. Perkembangan Volume Impor Barang Modal di Provinsi Riau ............ 19
Grafik 1.18. Perkembangan Volume Impor Barang Intermedier ............................. 19
Grafik 1.19. Perkembangan Impor Barang Konsumsi ............................................. 19
Grafik 1.20. Perkembangan Harga Karet .............................................................. 21
Grafik 1.21. Perkembangan Harga Sawit .............................................................. 21
Grafik 1.22. Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Pertanian ............................. 21
Grafik 1.23. Perkembangan Kredit Perkebunan Kelapa Sawit ................................ 21
Grafik 1.24. Pertumbuhan Subse 22
Grafik 1.25. Perkembangan Lifting Minyak Bumi Provinsi Riau ............................. 22
Grafik 1.26. Perkembangan Kegiatan Usaha di Provinsi Riau ................................. 22
Grafik 1.27. Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Industri Pengolahan ........... 24
DAFTAR GRAFIK
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
ix
Grafik 1.28. Indeks Makanan Minuman dan Tembakau ....................................... 24
Grafik 1.29. Pertumbuhan Sektor Perdagangan Berdasarkan Subsektor ............. 25
Grafik 1.30. Jenis Pengeluaran Rumah Tangga ................................................... 25
Grafik 1.31. Perkembangan Kredit Durable Goods di Riau .................................... 25
Grafik 1.32. Indeks Barang Tahan Lama ................................................................ 25
Grafik 1.33. Kredit Konstruksi ............................................................................... 26
Grafik 1.34. Konsumsi
Grafik 1.36. Likert Scale
29
Grafik 1.41. Lifting
Grafik 1.43. P
Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi di Riau dan Nasional (yoy) .............................. 38
Grafik 2.2. Perkembangan Inflasi Ketiga Kota di Riau (yoy) ................................ 38
Grafik 2.3. Inflasi dan Sumbangan Kelompok Barang dan Jasa (yoy) .................. 39
Grafik 2.4. Perkembangan Inflasi Riau Nasional secara Triwulanan (qtq) ............ 39
Grafik 2.5. Historis Inflasi selama Tw II di Provinsi Riau (qtq) .............................. 40
Grafik 2.6. Inflasi dan Kontribusi Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa Tw II
2016 di Riau (qtq) ............................................................................. 41
Grafik 2.7. Perkembangan Inflasi Kota Pekanbaru dan Rata-rata Historis Tw II
(2011-2015) .................................................................................... 42
Grafik 2.8. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Pekanbaru
Tw II 2016 ........................................................................................ 43
Grafik 2.9. Perkembangan Inflasi Kota Dumai dan Rata-rata Historis
Tw II (2011-2015) ............................................................................. 43
Grafik 2.10. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Dumai
Tw II 2016 ......................................................................................... 43
Grafik 2.11. Perkembangan Inflasi Kota Tembilahan ............................................. 44
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
x
Grafik 2.12. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota
Tembilahan Tw II 2016........................................................................ 44
Grafik 2.13. Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy) ............................................... 45
Grafik 2.14. Perkembangan Inflasi Inti (core) di Riau (yoy) .................................... 46
Grafik 2.15. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD ............................. 46
Grafik 2.16. Perkembangan Harga Emas Dunia .................................................... 46
Grafik 2.17. Perkembangan Inflasi Tradables Goods dan Non Tradable
Goods (yoy) ....................................................................................... 46
Grafik 2.18. Perkembangan Inflasi Volatile Food di Riau (yoy) ............................... 47
Grafik 2.19. Perkembangan Harga Komoditas Bumbu-bumbuan di
Kota Pekanbaru ................................................................................ 47
Grafik 2.20. Perkembangan Harga Komoditas Beras di Kota ...... .48
Grafik 2.22. Perkembangan Inflasi Administered Price
Grafik 2.24. ...50
50
Grafik 4.1. Perkembangan Aset Bank Umum di Provinsi Riau ............................ 61
Grafik 4.2. Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kelompok ................ 61
Grafik 4.3. Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank ......... 61
Grafik 4.4. Pangsa Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank ..................... 61
Grafik 4.5. Perkembangan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan ............. 62
Grafik 4.6. Pertumbuhan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan ............... 62
Grafik 4.7. Perkembangan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan...................... 64
Grafik 4.8. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan ....................... 64
Grafik 4.9. Perkembangan Kredit Berdasarkan Kelompok dan Valuta ................ 65
Grafik 4.10. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Kelompok dan Valuta .................. 65
Grafik 4.11. Perkembangan LDR di Provinsi Riau ................................................ 65
Grafik 4.12. Perkembangan Non Performing Loan (NPL) di Provinsi Riau ............ 66
Grafik 4.13. Perkembangan NPL Sektoral di Provinsi Riau Triwulan I-2016............ 66
Grafik 4.14. Pangsa NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Tw I-2016 ........... 66
Grafik 4.15. NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Tw I-2016 ...................... 66
Grafik 4.16. Growth Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw.I-2016 .............. 68
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
xi
Grafik 4.17. Pangsa Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw.I-2016 ............... 68
Grafik 4.19. Perkembangan Kredit Perumahan ................................................... 70
Grafik 4.20. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor ................................... 70
Grafik 4.21. Perkembangan Kredit Multiguna ..................................................... 70
Grafik 4.22. Perkembangan Kredit Durable Goods ............................................ 70
Grafik 4.23. Indeks Penghasilan Konsumen dan Indeks Konsumsi Barang Tahan
71
Grafik 4.24. Perkembangan dan Pertumbuhan Kredit UMKM ............................ 72
Grafik 4.25. Pangsa Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha .............................. 72
Grafik 4.26. Perkembangan NPL Kredit UMKM .................................................. 73
Grafik 4.27. NPL Sektoral UMKM Triwulan I-2016 (%) ....................................... 73
Grafik 4.28. Perkembangan Aset Perbankan Syariah .......................................... 74
Grafik 4.29. Perkembangan DPK Perbankan Syariah Menurut Jenis Simpanan ... 74
Grafik 4.30. Perkembangan Pembiayaan Perbankan Syariah Menurut Jenis
Penggunaan ................................................................................... 75
Grafik 4.31. Penyaluran Pembiayaan Perbankan Syariah Secara Sektoral ............ 75
Grafik 4.32. Perkembangan NPL Perbankan Syariah ........................................... 76
Grafik 4.33. Perkembangan FDR Perbankan Syariah .......................................... 76
Grafik 4.34. Perkembangan Aset BPR/S ............................................................. 77
Grafik 4.35. Perkembangan DPK BPR/S .............................................................. 77
Grafik 4.36. Perkembangan Kredit BPR/S ........................................................... 77
Grafik 4.37. Penyaluran Kredit Sektoral ............................................................. 77
Grafik 4.38. Perkembangan NPL BPR/S .............................................................. 78
Grafik 4.39. Perkembangan LDR BPR/S .............................................................. 78
Grafik 5.1. Perkembangan Inflow dan Outflow di Provinsi Riau ........................ 80
Grafik 5.2. Perkembangan Inflow dan Outflow Bulanan Tw.I-2016 .............. 80
Grafik 5.3. Perkembangan UTLE yang Dimusnahkan ........................................ 82
Grafik 5.4. Perkembangan Peredaran Uang Rupiah Tidak Asli di Riau .............. 83
Grafik 5.5. Perkembangan Nilai Transaksi Kliring di Riau .................................. 84
Grafik 5.6. Perkembangan Volume Transaksi Kliring di Riau Growth ................ 84
Grafik 6.1. Perkembangan TPAK Riau Feb-2016 ............................................... 86
Grafik 6.2. Tingkat Pengangguran Terbuka Feb-2016 ........................................ 86
Grafik 6.3. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja ............................... 87
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
xii
Grafik 6.4. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja ................................. 88
Grafik 6.5. Jumlah Jam Kerja Per Minggu Feb-2016 .......................................... 89
Grafik 6.6. Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan .............................................. 89
Grafik 6.7. Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan ........................ 89
Grafik 6.8. Perkembangan Penduduk Miskin Riau ............................................. 90
Grafik 6.9. Sebaran Penduduk Miskin Riau .......................................................... 90
Grafik 6.10 Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan Riau .......................... 92
Grafik 6.11. Perkembangan Indeks Keparahan Kemiskinan Riau ......................... 92
Grafik 7.1 Perkembangan Indeks Keyakinan
Grafik 7.2 Perkembangan Indeks Ek
Grafik 7.3 Perkembangan Harga Bumbu-bu
Grafik 7.4 Perkembangan Harga Daging Segar dan Hasilnya di Kota Pekanbaru...98
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Gambar
xii
HALAMAN
Gambar 2.1. Inflasi Riau dan Nasional Tw I 2016 dibandingkan dengan
Historisnya (yoy).....................................
37
DAFTAR GAMBAR
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Tabel Indikator
xiii
I II III IV I II III IV I II
Indeks Harga Konsumen*) :
- Provinsi Riau 111.51 112.42 115.00 119.90 118.39 120.73 121.55 123.08 123.63 123.04
- Kota Pekanbaru 111.13 111.89 114.51 119.56 117.98 120.31 121.04 122.80 123.16 122.29
- Kota Dumai 111.27 112.62 115.02 119.60 118.50 120.83 122.16 122.75 124.23 124.48
- Kota Tembilahan 116.05 117.61 120.11 124.06 122.58 124.94 125.77 126.62 127.48 127.17
Laju Inflasi Tahunan (yoy, %) :
- Provinsi Riau 7.75 6.59 5.81 8.65 6.17 7.39 5.70 2.65 4.42 1.92
- Kota Pekanbaru 7.38 6.17 5.50 8.53 6.16 7.53 5.70 2.71 4.39 1.65
- Kota Dumai 7.26 6.78 5.88 8.53 6.50 7.29 6.21 2.63 4.84 3.02
- Kota Tembilahan 12.59 10.64 8.91 10.06 5.63 6.23 4.71 2.06 4.00 2.63
Pertumbuhan PDRB (yoy %, dengan migas) 4.05 2.83 2.61 1.39 (0.01) (2.13) (1.38) 4.45 2.32 2.40
Nilai Ekspor Non Migas (Juta USD) 2,988.85 2,833.27 3,075.96 3,162.66 2,596.67 3,009.73 2,558.21 2,670.62 2,220.90 2,633.10
Volume Ekspor Non Migas (ribu Ton) 4,442.86 4,119.36 4,548.42 5,196.40 4,348.07 5,124.70 4,697.83 5,378.75 4,183.82 4,311.28
Nilai Impor Non Migas (Juta USD) 407.21 351.21 380.77 299.12 304.74 280.97 303.32 195.42 265.06 304.08
Volume Impor Non Migas (ribu Ton) 542.25 585.34 602.44 686.66 723.88 531.30 482.82 390.43 670.27 655.36
I II III IV I II III IV I II
Bank Umum
Total Aset (dalam Rp Juta) 73,201,701 82,036,875 86,572,336 85,652,213 90,534,888 98,451,429 95,323,470 81,686,208 84,514,141 87,150,773
DPK (dalam Rp Juta) 54,466,287 60,795,211 63,383,834 64,143,197 66,525,297 70,420,859 69,189,487 62,050,178 62,588,183 65,616,219
- Giro 12,556,764 16,863,613 14,828,129 13,723,591 15,108,109 15,301,001 14,785,606 9,874,611 11,909,735 11,691,981
- Tabungan 27,363,917 26,936,859 27,586,835 29,478,220 27,139,376 27,688,804 28,427,087 31,117,804 28,694,078 30,903,236
- Deposito 14,545,606 16,994,736 20,968,870 20,941,386 24,277,812 27,431,054 25,976,795 21,057,764 21,984,370 23,021,002
Kredit (dalam Rp Juta) 48,487,679 50,668,252 50,978,867 52,283,437 52,401,716 54,012,485 54,946,577 56,538,247 56,252,232 58,325,238
- Modal Kerja 14,871,302 15,620,041 15,971,702 16,318,273 16,078,784 16,801,235 16,801,524 17,653,632 17,488,673 18,650,406
- Investasi 15,482,142 16,292,777 16,080,635 16,621,249 16,716,814 17,125,784 17,428,770 17,480,648 17,203,391 17,571,645
- Konsumsi 18,134,236 18,755,434 18,926,530 19,343,915 19,606,118 20,085,465 20,716,283 21,403,968 21,560,168 22,103,187
- LDR (%) 89.02 83.34 80.43 81.51 78.77 76.70 79.41 91.12 89.88 88.89
- NPL (%) 3.32 3.54 3.57 3.46 3.64 4.16 4.34 3.71 4.07 3.98
Kredit UMKM (dalam Rp Juta) 18,094,921 19,753,458 19,687,770 20,032,690 19,809,940 20,212,276 19,894,360 19,884,668 19,905,368 20,633,645
- Mikro 4,424,699 5,210,241 4,940,401 5,402,536 5,461,112 5,531,045 5,465,328 5,645,990 5,835,773 6,105,089
- Kecil 7,030,433 7,279,402 7,669,811 7,531,647 7,439,193 7,775,301 7,771,320 7,687,958 7,791,884 8,063,526
- Menengah 6,639,789 7,263,815 7,077,558 7,098,507 6,909,635 6,905,929 6,657,713 6,550,721 6,277,711 6,465,029
NPL UMKM (%) 5.12 5.82 5.99 5.49 6.20 6.71 7.41 6.76 7.65 7.69
BPR
Total Aset (dalam Rp Juta) 1,102,376 1,091,313 1,106,417 1,160,162 1,189,489 1,185,757 1,186,762 1,228,315 1,246,785 1,252,252
DPK (dalam Rp Juta) 748,775 744,336 770,216 809,748 847,560 857,250 881,188 877,171 895,393 911,325
- Tabungan 336,569 345,835 352,030 356,075 364,632 349,230 353,742 348,011 347,972 337,076
- Deposito 412,206 398,502 418,186 453,673 482,929 508,020 527,447 529,160 547,421 574,250
Kredit (dalam Rp Juta) - berdasarkan lokasi proyek 762,700 782,561 815,127 836,111 864,307 911,096 916,504 907,081 916,870 957,829
Rasio NPL (%) 15.47 15.78 15.56 13.75 14.45 13.84 14.39 12.92 14.08 13.76
LDR (%) 101.86 105.14 105.83 103.26 101.98 106.28 104.01 103.41 102.40 105.10
A. INFLASI DAN PDRB
INDIKATOR2014
2014
B. PERBANKAN
INDIKATOR
2016
2016
2015
2015
TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Tabel Indikator
xiv
C. SISTEM PEMBAYARAN
I II III IV I II III IV I II
247,524 2,250,641 2,610,379 3,154,898 (111,261) 2,575,811 1,801,608 3,405,622 (264,922) 5,668,369
1,884,781 1,135,202 2,330,869 721,361 1,798,608 1,405,848 2,414,612 1,224,352 2,253,374 1,293,835
2,132,305 3,385,843 4,941,248 3,876,259 1,687,347 3,981,659 4,216,220 4,629,974 1,988,452 6,962,203
Pemusnahan Uang (Jutaan lembar/keping) 380,769 317,520 196,336 249,464 185,727 303,590 171,823 313,207 799,259 614,941
Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) *) 73,538 97,703 90,461 104,120 89,640 109,603 88,477 68,937 - -
Volume Transaksi RTGS (lembar) *) 47,244 48,670 48,509 52,078 31,363 32,636 30,853 13,564 - -
Rata-rata Harian Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) 1,226 1,656 1,413 1,578 1,446 1,797 1,404 1,094 - -
Rata-rata Harian Volume Transaksi RTGS (lembar) 787 825 758 789 506 535 490 215 - -
Nominal Transaksi Kliring (Rp miliar) 7,742 7,672 8,070 8,438 7,881 5,163 8,684 7,366 6,890 6,560
Volume Transaksi Kliring (lembar) 261,889 257,996 256,661 274,715 254,005 135,164 237,984 206,110 209,067 194,424
Rata-rata Harian Nominal Transaksi Kliring (Rp miliar) 129 130 135 128 127 85 138 117 113 -
Rata-rata Harian Volume Transaksi Kliring (lembar) 60 59 60 66 62 61 63 63 61 -
Inflow (dalam Rp Juta)
Outflow (dalam Rp Juta)
Posisi Kas Gabungan (dalam Rp Juta)
INDIKATOR201620152014
TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
1
GAMBARAN UMUM
pada triwulan II 2016 mengalami pertumbuhan positif, yaitu sebesar 2,40% (yoy).
Pertumbuhan ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan triwulan I 2016
yang tercatat sebesar 2,32% (yoy) serta lebih tinggi jika dibandingkan periode yang
sama tahun 2015 yang tercatat kontraksi 2,13% (yoy). Jika dilihat dari pertumbuhan
ekonomi tanpa migas Riau triwulan II 2016 tercatat sebesar 4,08% (yoy), mengalami
peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 3,49% (yoy).
Perekonomian Riau pada triwulan II-2016 tercatat sebesar 2.40% (yoy), meningkat jika dibandingkan triwulan I 2016 sebesar 2.32% (yoy)
RINGKASAN EKSEKUTIF
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
2
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Riau ini sejalan dengan pertumbuhan
ekonomi nasional dan Sumatera yang juga tercatat meningkat masing-masing dari
4,92% (yoy) dan 4,18% (yoy) pada triwulan I 2016 menjadi 5,18% (yoy) dan 4,49%
(yoy) pada triwulan II-2016
I. ASSESMEN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Riau triwulan II 2016 bersumber dari
meningkatnya konsumsi pemerintah, investasi, dan perbaikan ekspor.
Konsumsi pemerintah pada triwulan laporan tercatat tumbuh meningkat
dibandingkan triwulan I 2016. Meningkatnya konsumsi pemerintah
didukung oleh monitoring realisasi anggaran yang lebih intensif. Selain itu,
meningkatnya pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan laporan juga
didorong oleh peningkatan investasi seiring dengan masih berlanjutnya
investasi pelaku usaha dan proyek infrastruktur strategis pemerintah.
Sedangkan meningkatnya ekspor terutama akibat meningkatnya permintaan
komoditas pulp semakin mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi
Riau triwulan laporan. Di sisi lain, perlambatan konsumsi rumah tangga dan
peningkatan impor menjadi faktor yang menahan laju pertumbuhan
ekonomi triwulan II 2016.
Kinerja sektor utama perekonomian Provinsi Riau pada triwulan II 2016
secara umum menunjukkan peningkatan. Peningkatan kinerja terjadi di tiga
sektor utama yaitu sektor pertanian, konstruksi, dan perdagangan besar
eceran. Meningkatnya pertumbuhan di sektor pertanian berasal dari
peningkatan kinerja perkebunan kelapa sawit seiring dengan membaiknya
harga TBS Lokal dan CPO Global dan meningkatnya kredit perkebunan
kelapa sawit. Sedangkan meningkatnya kinerja di sektor konstruksi
dipengaruhi oleh peningkatan realisasi belanja pemerintah yang mana hal ini
juga tercermin dari meningkatnya volume konsumsi semen. Sementara itu,
peningkatan kinerja sektor perdagangan besar dan eceran ditunjukkan oleh
peningkatan durable goods serta meningkatnya indeks pembelian barang
tahan lama sejalan dengan momentum perayaan Idul Fitri dan liburan
sekolah. Laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi tertahan oleh
kontraksi sektor pertambangan dan penggalian seiring dengan semakin
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Riau triwulan II 2016 bersumber dari meningkatnya konsumsi swasta, konsumsi pemerintah, investasi dan perbaikan kinerja ekspor
Pertumbuhan ekonomi dari sisi sektoral didorong oleh peningkatan kinerja sektor pertanian, konstruksi dan perdagangan besar dan eceran
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
3
menurunnya kinerja lifting migas serta melambatnya industri pengolahan
akibat melambatnya permintaan negara mitra dagang serta fluktuasi harga
komoditas internasional.
Memasuki triwulan III 2016, perkembangan berbagai indikator ekonomi
mengindikasikan membaiknya kinerja ekonomi Riau ke depan. Kegiatan
konsumsi diindikasikan mengalami perbaikan meski masih terbatas seiring
terjaganya daya beli dan sejalan dengan membaiknya ekspektasi konsumen
yang disertai dengan kenaikan kredit konsumsi dan pembelian durable
goods. Sementara itu, kegiatan investasi juga diindikasikan membaik sejalan
dengan monitoring anggaran secara lebih intensif untuk mempercepat
realisasi proyek infrastruktur strategis di Riau. Kegiatan investasi swasta juga
diperkirakan membaik yang tercermin pada meningkatnya konsumsi semen
dan indikator likert scale realisasi dan perkiraan investasi. Seiring dengan
mandatori campuran 20% biodiesel ke dalam bahan bakar berpotensi
meningkatkan penyerapan produk industri pengolahan sawit di Riau.
Di sisi sektoral, kinerja sektor pertanian dan industri pengolahan diperkirakan
meningkat seiring dengan adanya pergeseran musim panen dan semakin
gencarnya program pemerintah di sektor pertanian berupa intensifikasi dan
perluasan areal tanam. Periode liburan sekolah dan tahun ajaran baru juga
diperkirakan turut mendorong peningkatan aktivitas di sektor perdagangan
pada periode laporan. Sementara itu kinerja sektor pertambangan dan
penggalian diperkirakan mengalami kontraksi lebih dalam seiring dengan
penurunan lifting migas Riau. Secara keseluruhan tahun 2016, indikasi
perbaikan ekonomi masih cukup kuat seiring dengan membaiknya harga
komoditas perkebunan meskipun masih terbatas, serta realisasi proyek
infrastruktur strategis pemerintah yang terus ditingkatkan.
II. ASSESMEN INFLASI DAERAH
Inflasi Riau pada triwulan II-2016 tercatat sebesar 1,92% (yoy), lebih rendah
jika dibandingkan triwulan I-2016 yang tercatat sebesar 4,42% (yoy). Kondisi
ini sejalan dengan perkembangan inflasi nasional yang juga menunjukkan
penurunan dari 4,45% pada triwulan I-2016 menjadi 3,45% pada triwulan
Inflasi Provinsi Riau pada triwulan II 2016 tercatat sebesar 1,92% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan I 2016 sebesar 4,42% (yoy)
Perkembangan berbagai indikator ekonomi terkini mengindikasikan membaiknya kinerja ekonomi Riau triwulan III
2016
Pertumbuhan ekonomi sektoral bersumber dari meningkatnya kinerja sektor pertanian, industri pengolahan, perdagangan dan konstruksi.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
4
II-2016. Jika dibandingkan dengan rata-rata historis 5 tahun terakhir 2011-
2015, inflasi Riau pada triwulan I dan II-2016 masih tercatat lebih rendah.
Secara tahunan, menurunnya tekanan inflasi bersumber dari semua
komponen terutama dari kelompok volatile food seiring dengan terjaganya
pasokan dan tidak terlepas dari berbagai koordinasi aktif yang ditempuh
Pemerintah Daerah, Bank Indonesia, dan instansi terkait lainnya, antara lain
sidak dan operasi pasar untuk komoditas beras, gula pasir, minyak goreng,
daging sapi serta pemberian himbauan (moral suasion) secara aktif kepada
beberapa elemen masyarakat. Selain itu, penurunan inflasi juga bersumber
dari kelompok administered price akibat penurunan harga bahan bakar dan
penyesuaian tariff listrik untuk beberapa golongan pelanggan pada triwulan
laporan. Disisi lain, penurunan tekanan inflasi dari kelompok inti bersumber
dari menurunnya harga bahan bangunan seperti batu bata dan semen, serta
menurunnya harga laptop/notebook seiring dengan relatif terjaganya nilai
tukar rupiah yang mulai menunjukkan trend penurunan sejak awal tahun
2016.
Bila dilihat dari kota yang disurvei di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di
Kota Dumai mencapai 3,02% (yoy), diikuti oleh Tembilahan dan Pekanbaru
masing-masing 2,63% (yoy) dan 1,65% (yoy). Tekanan inflasi pada ketiga
kota tersebut menunjukkan penurunan bila dibandingkan dengan triwulan
I-2016 yang masing-masing tercatat sebesar 4,84% (yoy), 4,00% (yoy) dan
4,39% (yoy). Hal ini juga menunjukkan bahwa disparitas inflasi antar ketiga
kota (terutama Tembilahan dengan Pekanbaru dan Dumai) relatif mengecil.
III. ASSESMEN KEUANGAN PEMERINTAH
Alokasi anggaran pendapatan daerah Provinsi Riau pada tahun 2016 secara
umum mengalami penurunan dibandingkan tahun 2015. Dari sisi
pendapatan, APBD Provinsi Riau tercatat menurun sebesar 13% (yoy), yaitu
dari Rp8,72 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp7,58 triliun pada tahun 2016.
Penurunan ini juga dipengaruhi oleh menurunnya Dana Bagi Hasil (DBH)
migas seiring dengan semakin menurunnya lifting migas. Di sisi lain,
anggaran belanja pemerintah daerah pada tahun 2016 relatif meningkat
Secara tahunan, menurunnya tekanan inflasi bersumber dari semua komponen terutama volatile food seiring koordinasi aktifnya TPID
Riau
Realisasi anggaran pendapatan pemerintah Riau di triwulan II 2016 secara umum lebih baik jika dibandingkan triwulan I 2016.
Inflasi tahunan tertinggi terjadi di Kota Dumai, diikuti Tembilahan dan Pekanbaru
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
5
dibandingkan tahun 2015 sebesar 2,69% (yoy) yaitu dari Rp10,68 triliun
pada tahun 2015 menjadi Rp10,97 triliun pada tahun 2016.
Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau hingga
triwulan II 2016 secara umum lebih baik dibandingkan periode yang sama
pada tahun sebelumnya. Hingga triwulan II 2016 Anggaran Pendapatan
Daerah telah terealisasi sebesar 43,03% dari total yang dianggarkan,
sementara itu realisasi Anggaran Belanja Daerah telah mencapai 23,50%
dari total yang dianggarkan.
IV. ASSESMEN STABILITAS KEUANGAN DAERAH DAN
PENGEMBANGAN EKONOMI
Kinerja perbankan di Provinsi Riau pada triwulan II-2016 mengalami
penurunan dibandingkan dengan triwulan I-2016 yang tercermin dari
menurunnya pertumbuhan Aset, penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK),
namun hal ini berbanding terbalik dengan penyaluran Kredit Bank Umum
pada triwulan II-2016 yang tercatat sebesar Rp58,33 triliun, tumbuh sebesar
7,98% (yoy), lebih baik jika dibandingkan dengan triwulan I-2016 yang
tumbuh sebesar 7,35%(yoy) seiring dengan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi. Sementara itu, aset perbankan triwulan II-2016 tercatat mencapai
Rp88,40 triliun, mengalami penurunan dari kontraksi 6,50% (yoy) pada
triwulan sebelumnya menjadi kontraksi lebih dalam sebesar 11,28% (yoy).
Sementara, DPK pada triwulan laporan tercatat sebesar Rp66,52 triliun, juga
menurun dari kontraksi 5,77% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi
kontraksi lebih dalam sebesar 6,66% (yoy) pada triwulan II 2016.
Fungsi intermediasi bank umum di Provinsi Riau pada triwulan II-2016
mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, namun
masih lebih baik jika dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun
sebelumnya. Menurunnya fungsi intermediasi tercermin dari nilai Loan to
Deposit Ratio (LDR) yaitu sebesar 88,89% yang sebelumnya di triwulan I-2016
tercatat sebesar 89,88%. Namun demikian, nilai LDR tersebut masih dibawah
100% yang menunjukkan bahwa risiko likuiditas pada kondisi yang masih
terjaga dan adanya sikap kehati-hatian perbankan dalam penyaluran kredit.
Kinerja perbankan di Provinsi Riau pada triwulan II-2016 mengalami penurunan dibandingkan dengan
triwulan I-2016.
Fungsi intermediasi bank umum di Provinsi Riau pada triwulan II-2016 mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
6
Penyerapan kredit di Provinsi Riau pada triwulan II 2016 masih didominasi oleh
sektor pertanian dan perdagangan yang memiliki pangsa masing-masing
23,03% dan 21,88% dengan nilai kredit masing-masing sebesar Rp13,43
triliun dan Rp12,76 triliun. Tingginya penyerapan kredit pada sektor tersebut
tidak terlepas dari masih prospektifnya sektor tersebut di Provinsi Riau.
Penyaluran kredit kepada sektor pertanian masih didominasi oleh subsektor
perkebunan kelapa sawit sedangkan subsektor perdagangan didominasi oleh
subsektor perdagangan eceran makanan, minuman dan tembakau
Pertumbuhan kredit konsumsi di Provinsi Riau pada triwulan II-2016 sedikit
membaik jika dibandingkan dengan triwulan I 2016. Membaiknya
pertumbuhan kredit konsumsi tercermin dari penyaluran kredit ke sektor
perumahan yang tumbuh lebih baik dibanding triwulan sebelumnya.
Membaiknya realisasi kredit konsumsi pada triwulan laporan diperkirakan
didorong oleh daya beli masyarakat yang mulai membaik ditengah perbaikan
harga komoditas.
Total kredit yang disalurkan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) oleh bank umum di Provinsi Riau mencapai Rp20,63 triliun pada
triwulan II 2016, meningkat 2,08% (yoy) jika dibandingkan triwulan
sebelumnya yang tumbuh sebesar 0,48%. Porsi kredit yang diserap UMKM
dari total kredit yang diberikan bank umum di Provinsi Riau mengalami sedikit
penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 35,39% menjadi
35,38%.
Kinerja perbankan syariah di Provinsi Riau pada triwulan II-2016 tercatat
membaik dibandingkan triwulan sebelumnya. Kondisi ini tercermin dari
meningkatnya pertumbuhan aset, DPK dan pembiayaan dibandingkan
triwulan I-2016. Aset perbankan syariah tercatat sebesar Rp5,75 triliun
meningkat sebesar 19,12% (yoy) atau lebih tinggi dibandingkan triwulan I-
2016 yang tumbuh sebesar 6,78% (yoy).
Aset BPR/S di Provinsi Riau pada triwulan II-2016 tercatat sebesar Rp1,25
triliun, tumbuh membaik jika dibandingkan dengan triwulan I-2016 yaitu
dari 4,71% (yoy) menjadi 5,61% (yoy) pada triwulan II-2016. Sementara,
Penyerapan kredit di Provinsi Riau pada triwulan II 2016 masih didominasi oleh sektor pertanian dan sektor perdagangan
Kinerja perbankan syariah tercatat membaik dibandingkan triwulan sebelumnya. Sementara, kinerja BPR/S menunjukkan
perlambatan.
Pertumbuhan kredit konsumsi di triwulan II-2016 sedikit membaik jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Penyaluran kredit UMKM pada triwulan II 2016 meningkat dibandingkan triwulan I
2016.
Aset BPR/S tercatat tumbuh membaik dibandingkan triwulan I 2016.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
7
DPK BPR/S pada triwulan II-2016 tercatat sebesar Rp911 miliar, tumbuh
6,31% (yoy) membaik dibandingkan dengan triwulan I-2016 yang tumbuh
sebesar 5,64% (yoy).
V. ASSESMEN PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN DAN
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
Perkembangan transaksi pembayaran tunai di Provinsi Riau pada triwulan II
2016 mengalami net outlow, sejalan dengan kondisi yang terjadi pada
triwulan yang sama tahun sebelumnya. Hal ini utamanya didorong oleh
peningkatan outflow dan penurunan inflow, akibat seasonal factor
meningkatnya konsumsi masyarakat pada bulan Ramadhan di triwulan II
2016. Kondisi tersebut ditambah dengan meningkatnya penarikan secara
tunai oleh masyarakat menjelang hari raya Idul Fitri dan memasuki musim
liburan sekolah. Di sisi lain, transaksi non tunai melalui kliring mengalami
penurunan baik dari sisi nominal maupun volume.
Salah satu upaya Bank Indonesia dalam memenuhi kebutuhan uang kartal
layak edar (fit for circulation) di masyarakat, maka secara berkala Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau melakukan kegiatan pemusnahan
Uang Tidak Layak Edar (UTLE). Uang tidak layak edar tersebut diterima dari
setoran bank maupun penukaran uang dari masyarakat. Selain itu Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau juga rutin melakukan kegiatan kas
keliling wholesale untuk perbankan dan kas keliling retail untuk melayani
masyarakat umum.
Dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengidentifikasi
keaslian uang rupiah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau secara
rutin melakukan sosialisasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada
masyarakat di beberapa daerah termasuk kalangan perbankan melalui
prinsip 3D (Dilihat, Diraba, Diterawang). Dengan adanya sosialisasi ciri
keaslian uang rupiah, masyarakat diharapkan terhindar dari penyebaran
uang rupiah tidak asli.
Perkembangan transaksi pembayaran tunai di Provinsi Riau pada triwulan II 2016 mengalami net outlow
Bank Indonesia secara rutin melakukan sosialisasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada masyarakat
Secara berkala Bank Indonesia melakukan kegiatan pemusnahan Uang Tidak Layak Edar
(UTLE)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
8
VI. ASSESMEN KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN
Perkembangan ketenagakerjaan dan kesejahteraan di Provinsi Riau pada
tahun 2016 menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan.
Dari indikator terkait menunjukkan terjadi peningkatan kualitas
ketenagakerjaan antara lain menurunnya angka Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) Riau dari 6,72% di tahun 2015 menjadi 5,94% di tahun 2016.
Sementara perkembangan kesejahteraan di Provinsi Riau juga membaik
terlihat dari penurunan persentase jumlah penduduk miskin dibanding julah
penduduk di Riau yakni dari 8,42% pada Maret 2015 menjadi 7,98% pada
Maret 2016.
VII. PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan III-2016 secara umum
diperkirakan tumbuh meningkat, berada pada kisaran 2.70+0.5%(yoy)
dengan tendensi ke arah batas atas. Sumber pertumbuhan dari sisi
penggunaan diperkirakan berasal dari seluruh komponen baik konsumsi,
investasi, maupun ekspor yang mengalami perbaikan kinerja dibandingkan
triwulan sebelumnya. Sementara itu, secara sektoral peningkatan kinerja
diperkirakan berasal dari sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, sektor
industri pengolahan, sektor konstruksi, sektor perdagangan besar dan
eceran. Di sisi lain pertumbuhan ekonomi Riau tertahan oleh berlanjutnya
penurunan produksi sektor pertambangan dan penggalian yang
diperkirakan lebih dalam dari kontraksi yang terjadi pada triwulan I dan
triwulan II tahun 2016.
Ditinjau dari sisi penggunaan, pertumbuhan pada triwulan III 2016
diperkirakan ditopang oleh permintaan domestik terutama konsumsi rumah
tangga. Kondisi ini sejalan dengan perkembangan Indeks Keyakinan
Konsumen (IKK) pada triwulan III 2016 (Juli dan Agustus) di Provinsi Riau
menunjukkan adanya tren peningkatan. Peningkatan optimisme konsumen
tersebut diperkirakan karena ekspektasi perbaikan ekonomi sampai dengan
6 bulan yang akan datang, terutama espektasi terhadap penghasilan dan
konsumsi durable goods meskipun masih terbatas. Sementara itu konsumsi
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan II-2016 diperkirakan tumbuh meningkat pada kisaran 2.70+0.5%(yoy) dengan tendensi ke arah batas atas
Perkembangan ketengakerjaan dan kesejahteraan daerah di awal tahun 2016 terindikasi membaik.
Pertumbuhan ekonomi triwulan III 2016 diperkirakan ditopang oleh konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah dan
perbaikan ekspor
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
9
pemerintah juga diperkirakan akan meningkat jika dibandingkan triwulan
sebelumnya, terkait dengan mulai meningkatnya realisasi APBD pada
triwulan III 2016 meskipun dengan alokasi pendapatan yang lebih rendah
dibandingkan tahun lalu. Dari sisi eksternal, kinerja ekspor pada triwulan III
2016 diperkirakan membaik namun masih terbatas.
Dari sisi sektoral, kinerja sektor pertanian di triwulan mendatang
diperkirakan akan membaik dibandingkan triwulan I dan triwulan II 2016.
Faktor pendorong meningkatnya pertumbuhan diperkirakan berasal dari
subsektor perkebunan sawit. Kurang optimalnya produksi sawit pada awal
tahun 2016 karena tertundanya pemupukan pada saat kondisi asap pada
semester II 2015, diperkirakan akan terus mulai membaik pada triwulan III
2016. Selain itu mulai meningkatnya harga TBS lokal dan meningkatnya
permintaan domestik CPO (termasuk penyerapan untuk produk turunan),
serta mulai berproduksinya beberapa lahan replanting mendorong laju
pertumbuhan sektor pertanian. Sejalan dengan peningkatan kinerja sektor
pertanian Riau, perkembangan sektor industri pengolahan juga diperkirakan
akan meningkat yang didorong oleh perbaikan harga komoditas
internasional, meningkatnya kinerja industri pengolahan CPO dan produk
turunannya termasuk biodiesel, serta industri pengolahan pulp and paper.
Di sisi lain, menurunnya kinerja industri pengilangan migas dan batubara
menjadi faktor yang menahan pertumbuhan
Inflasi Provinsi Riau pada triwulan mendatang diperkirakan akan cenderung
mengalami peningkatan, yaitu berada pada kisaran 3.15+0.5% (yoy).
Meningkatnya tekanan inflasi disebabkan peningkatan harga bahan
makanan yang cukup tinggi pada awal triwulan III 2016. Adapun capaian
inflasi hingga akhir tahun 2016 diperkirakan berada pada kisaran 3,95
+0.5% (yoy), masih berada di dalam sasaran inflasi nasional 2016 sebesar
4±1% (yoy). Beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi melewati
batas atas kisaran proyeksi antara lain menguatnya kemungkinan terjadinya
la nina yang berpotensi menganggu produksi daerah sentra pertanian.
Sementara itu, faktor yang berpotensi membawa inflasi ke batas bawah yaitu
perkembangan harga minyak dunia yang masih belum membaik sehingga
meminimalisir tekanan inflasi dari kelompok administered prices.
Inflasi Riau pada triwulan III-2016 diperkirakan berada pada kisaran 3.15+0.5%
(yoy)
Pertumbuhan ekonomi di sisi sektoral utamanya diperkirakan bersumber dari subsektor perkebunan dan industri pengolahan
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
10
1. KONDISI UMUM
Perekonomian Riau pada triwulan II 2016 mengalami pertumbuhan positif, yaitu
sebesar 2,40% (yoy). Pertumbuhan ini mengalami peningkatan jika dibandingkan
dengan triwulan I 2016 yang tercatat sebesar 2,32% (yoy) serta lebih tinggi jika
dibandingkan periode yang sama tahun 2015 yang tercatat kontraksi 2,13% (yoy).
Jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi tanpa migas Riau triwulan II 2016 tercatat
sebesar 4,08% (yoy), mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya
yang sebesar 3,49% (yoy). Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Riau ini sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi nasional dan Sumatera yang juga tercatat
meningkat masing-masing dari 4,92% (yoy) dan 4,18% (yoy) pada triwulan I 2016
menjadi 5,18% (yoy) dan 4,49% (yoy) pada triwulan II-2016 (Grafik 1.1).
Bab 1 ASESMEN PERTUMBUHAN
EKONOMI DAERAH
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
11
Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional Secara Tahunan (yoy,%)
Sumber: BPS
Meningkatnya perekonomian Provinsi Riau pada triwulan II 2016 utamanya
disebabkan oleh peningkatan kinerja sektor pertanian, konstruksi, dan
perdagangan. Selain itu, beberapa sektor tersier seperti pengadaan listrik, gas juga
mengalami peningkatan. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan kinerja
sektor-sektor tersebut di atas, sektor jasa perusahaan baik pendidikan, kesehatan
dan lainnya serta administrasi pemerintahan, pertanahan, dan jaminan sosial juga
tercatat mengalami peningkatan sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi Riau
secara keseluruhan. Di sisi lain, peningkatan pertumbuhan ekonomi tertahan oleh
kontraksi sektor pertambangan dan penggalian yang semakin dalam, melambatnya
industri pengolahan, menurunnya kinerja sektor pengadaan air, pengelolaan
sampah dan perlambatan transportasi dan pergudangan serta real estate.
Faktor yang mendorong meningkatnya pertumbuhan di sektor pertanian berasal
dari peningkatan kinerja perkebunan kelapa sawit seiring dengan membaiknya
harga TBS Lokal dan CPO Global dan meningkatnya kredit perkebunan kelapa
sawit. Sedangkan meningkatnya kinerja di sektor konstruksi dipengaruhi oleh
peningkatan realisasi belanja pemerintah yang mana hal ini juga tercermin dari
meningkatnya volume konsumsi semen. Sementara itu, peningkatan kinerja sektor
perdagangan besar dan eceran ditunjukkan oleh peningkatan durable goods serta
meningkatnya indeks pembelian barang tahan lama sejalan dengan momentum
perayaan Idul Fitri dan liburan sekolah.
Dari sisi penggunaan, peningkatan kinerja ekonomi utamanya disebabkan oleh
meningkatnya konsumsi pemerintah, investasi, dan perbaikan ekspor. Konsumsi
pemerintah pada triwulan laporan tercatat tumbuh meningkat dibandingkan
I II III IV I II III IV I II
2014 2015 2016
Nasional 5.14 4.96 4.97 5.04 4.73 4.66 4.74 5.04 4.92 5.18
Sumatera 5.03 4.55 4.52 4.20 3.47 2.98 3.13 4.56 4.18 4.49
Riau 4.05 2.83 2.61 1.39 (0.0 (2.1 (1.3 4.45 2.32 2.40
(2.50) (1.50) (0.50) 0.50 1.50 2.50 3.50 4.50 5.50 6.50
Laju Pertumbuhan PDRB (% yoy)%
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
12
triwulan I 2016. Meningkatnya konsumsi pemerintah didukung oleh monitoring
realisasi anggaran yang lebih intensif. Selain itu, meningkatnya pertumbuhan
ekonomi Riau pada triwulan laporan juga didorong oleh peningkatan investasi yang
terelaksasi dengan peningkatan konsumsi semen, realisasi investasi PMA dan PMDN
serta likert scale realisasi dan perkiraan investasi triwulan II 2016. Sedangkan
meningkatnya ekspor terutama akibat meningkatnya permintaan komoditas pulp
semakin mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi Riau triwulan laporan.
2. PDRB SISI PENGGUNAAN
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Riau triwulan II 2016 bersumber dari
meningkatnya konsumsi pemerintah, investasi, dan perbaikan ekspor. Konsumsi
pemerintah pada triwulan laporan tercatat tumbuh meningkat dibandingkan
triwulan I 2016. Meningkatnya konsumsi pemerintah didukung oleh monitoring
realisasi anggaran yang lebih intensif. Selain itu meningkatnya pertumbuhan
ekonomi Riau pada triwulan laporan juga didorong oleh peningkatan investasi
seiring dengan masih berlanjutnya investasi pelaku usaha dan proyek infrastruktur
strategis pemerintah. Sedangkan meningkatnya ekspor terutama akibat
meningkatnya permintaan komoditas pulp semakin mendukung peningkatan
pertumbuhan ekonomi Riau triwulan laporan. Disisi lain, perlambatan konsumsi
rumah tangga dan peningkatan impor menjadi faktor yang menahan laju
pertumbuhan ekonomi triwulan II 2016.
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan (yoy)
Sumber: BPS Provinsi Riau
I II III IV I II Tw 1 Tw 2
1. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga 7.23 6.00 6.36 5.92 5.56 5.95 6.41 5.80 2.11 2.04 2.31 2.08
2. Pengeluaran Konsumsi LNPRT 15.44 (0.07) (1.61) 0.70 2.09 0.29 2.89 3.14 0.06 0.00 0.01 0.01
3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (3.08) 2.27 1.17 3.30 7.39 3.75 (1.69) 6.88 -0.09 0.14 -0.05 0.26
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto 1.81 1.61 2.40 5.31 6.79 4.06 2.96 3.09 0.45 1.23 0.95 1.01
5. Ekspor Luar Negeri 4.82 (30.63) (17.75) (9.55) 1.96 (15.27) (4.68) (9.11) 1.86 -4.96 -1.24 -2.47
6. Impor Luar Negeri (13.01) (7.10) (8.25) (17.42) 4.17 (7.65) (3.47) 15.63 -0.51 -0.29 -0.14 0.65
7. Net Ekspor Antar Daerah 26.49 (83.04) (63.82) (983.21) 15.62 (59.89) (23.18) (78.64) 0.86 -0.95 -0.93 -1.91
PDRB 2.70 (0.01) (2.13) (1.38) 4.45 0.22 2.32 2.40 2.70 0.22 2.32 2.40
2014 2015
2015
Growth (% yoy)
2016 2014
2016
Kontribusi Pertumbuhan (%)
Komponen Pengeluaran
2015
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
13
2.1. Konsumsi
Konsumsi rumah tangga Provinsi
Riau pada triwulan II 2016 tercatat
sebesar 5,80% (yoy), melambat jika
dibandingkan triwulan sebelumnya
yang mencapai 6,41% (yoy).
Melambatnya konsumsi rumah
tangga dipengaruhi pula oleh harga
komoditas internasional dan
permintaan negara mitra dagang
yang belum stabil sehingga mempengaruhi daya beli masyarakat yang mayoritas
bekerja di subsektor perkebunan kelapa sawit. Perlambatan konsumsi rumah
tangga ini juga tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan Indeks
Keyakinan Ekonomi (IKE) yang berada pada level pesimis (di bawah batas 100)
(Grafik 1.2) serta menurunnya Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) triwulan II 2016.
Pada triwulan II 2016, IKK tercatat sebesar 94,97% atau lebih rendah di
bandingkan triwulan I 2016 sebesar 96,91%. Disisi lain, IEK juga tercatat
mengalami penurunan dari 110,76% pada triwulan sebelumnya menjadi 101,66%
pada triwulan laporan.
Menurunnya Indeks Kondisi Ekonomi Saat ini di sebabkan oleh menurunnya Indeks
Penghasilan Konsumen pada level 101,5% triwulan II 2016, lebih rendah
dibandingkan triwulan lalu yang mencapai 109,16%. Selain itu, Indeks
Ketersediaan Lapangan Kerja yang berada pada level pesimis 57,61% bahkan lebih
rendah dibandingkan triwulan I 2016 sebesar 58,80%. Hal ini secara langsung
mempengaruhi Indeks Kegiatan Usaha Konsumen ke depan yang berada pada level
110,22%, menurun dibandingkan triwulan lalu sebesar 115,42% (Grafik 1.3).
Menurunnya ekspektasi konsumen terhadap kondisi saat ini juga terindikasi dari
Kredit Konsumsi yang tumbuh melambat secara tahunan (Grafik 1.4) serta
melambatnya kredit rumah tangga khususnya Kredit Kendaraan Bermotor (Grafik
1.5) yang terelaksasi pula pada Indeks Suku Cadang dan Aksesori berdasarkan hasil
Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia (Grafik 1.6).
Grafik 1.2. Perkembangan Indeks Survei Ekspektasi Konsumen Riau
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
70
80
90
100
110
120
130
140
150
160
Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II
2011 2012 2013 2014 2015 2016
IKK IKE IEK Garis 100
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
14
Sumber : LBU Bank Indonesia Sumber : Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia
Sementara itu, konsumsi pemerintah pada triwulan laporan masing-masing tercatat
tumbuh sebesar 3,14% (yoy) dan 6,88% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan I
2016 yang masing-masing tercatat sebesar 2,89% (yoy) dan kontraksi 1,69% (yoy).
Meningkatnya konsumsi pemerintah didukung oleh monitoring realisasi anggaran
yang lebih intensif sehingga mendorong realisasi triwulan II 2016 yang relatif lebih
baik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. (Tabel 1.1). Realisasi
belanja pemerintah pada triwulan II 2016 tercatat sebesar 23,50% atau Rp 2,58
triliun, lebih tinggi jika dibandingkan triwulan II 2015 yang tercatat sebesar 13,21%
atau sebesar Rp 1,41 triliun.
Grafik 1.3. Pergerakan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik 1.4. Kredit Konsumsi
Sumber: LBU Bank Indonesia
Grafik 1.5. Kredit Kendaraan Bermotor
Grafik 1.6. Indeks Suku Cadang dan Aksesori
0
20
40
60
80
100
120
140
160
Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II
2013 2014 2015 2016
Indeks Kegiatan Usaha Indeks Penghasilan Konsumen
Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja Garis 100
0
5
10
15
20
25
30
0
5
10
15
20
25
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II
2012 2013 2014 2015 2016
Per
sen
(%
)
Rp
Tri
liun
Kredit Konsumsi g - yoy (kanan)
-25
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
25
0
100
200
300
400
500
600
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Pe
rse
n (
%)
Rp
. M
ilia
r
Kendaraan g - yoy (kanan)
60
70
80
90
100
110
120
130
140
I II III IV I II III IV I II
2014 2015 2016
Suku Cadang dan Aksesori
Indeks Total
Tabel 1.2. Realisasi Belanja Pemerintah Daerah Provinsi Riau
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
Anggaran (Rp Miliar) Realisasi % Anggaran (Rp Miliar) Realisasi %
Pendapatan Daerah 8.721,57 3.768,55 43,21% 7.588,65 3.265,04 43,03%
Belanja Daerah 10.683,97 1.411,56 13,21% 10.972,07 2.578,12 23,50%
Pembiayaan Daerah 1.962,40 0,75 0,04% 3.383,43 3.131,90 92,57%
Surplus / (Defisit) -1.962,40 2.356,99 -120,11% -3.383,43 686,91 -20,30%
Triwulan II 2015 Triwulan II 2016Uraian
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
15
2.2. Investasi (PMTB)
Perkembangan investasi (PMTB) di Riau pada triwulan II 2016 tercatat sebesar
3,09% (yoy), meningkat jika dibandingkan triwulan I 2016 yang tercatat sebesar
2,96% (yoy). Kondisi ini didukung oleh meningkatnya realisasi investasi Penanaman
Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Realisasi PMDN
triwulan II 2016 tercatat sebesar Rp2,7 triliun, lebih tinggi dibandingkan triwulan I
2016 yang tercatat sebesar Rp1,34 triliun (Grafik 1.7). Sedangkan realisasi PMA
triwulan II 2016 tercatat sebesar USD 420 ribu, meningkat sangat signifikan
dibandingkan realisasi triwulan I 2016 yang tercatat hanya sebesar USD 42,46 ribu
(Grafik 1.8). Kondisi ini dipengaruhi oleh optimisme pelaku usaha terhadap kondisi
pertumbuhan ekonomi ke depan di tengah upaya untuk mempercepat proyek-
proyek infrastruktur pemerintah.
Kegiatan investasi PMDN di Riau utamanya bersumber dari kegiatan investasi di
industri makanan, kimia dasar dan pertambangan, sedangkan PMA di provinsi Riau
didominasi oleh investasi di bidang pertambangan, kimia dasar, dan farmasi,
perdagangan dan reparasi serta jasa lainnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari
Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah Provinsi Riau, jumlah investor PMA
dan PMDN di Riau terus meningkat dan perusahaan tersebut juga mampu
menyerap tenaga kerja baik Tenaga Kerja Indonesia maupun Asing (Tabel 1.3).
Grafik 1.7. Perkembangan Nilai Realisasi PMDN di Provinsi Riau
Grafik 1.8. Perkembangan Nilai Realisasi PMA di Provinsi Riau
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
-200
-100
0
100
200
300
400
500
600
-
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
3,000,000
3,500,000
4,000,000
4,500,000
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
% yoyUSD RibuRealisasi PMDN growth (yoy)
-500
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
-
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
700,000
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
% yoyUSD RibuRealisasi PMA Realisasi PMDN
Tabel 1.3. Jumlah Investor dan Tenaga Kerja PMA & PMDN di Riau
Sumber : Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah Provinsi Riau
I II I II
Jumlah Perusahaan 52 152 38 114
Tenaga Kerja Indonesia 894 1257 1490 2205
Tenaga Kerja Asing 11 12 11 22
2016
PMA PMDN
2016Uraian
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
16
2.3. Ekspor dan Impor
2.3.1. Ekspor
Kinerja net ekspor Provinsi Riau pada triwulan II 2016 tercatat tumbuh sebesar
0,03% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan I 2016 yang mengalami kontraksi
sebesar 1,65% (yoy). Perbaikan net ekspor bersumber dari peningkatan ekspor
antar daerah yang sebelumnya tumbuh 39,80% (yoy) menjadi 150,89% (yoy) pada
triwulan II 2016.
Tabel 1.4. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau (Ribu Ton)
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Berdasarkan hasil liaison Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau,
peningkatan ekspor terutama bersumber dari komoditas pulp seiring dengan
proyeksi peningkatan produksi pulp salah satu pemain besar di industri ini yang
mencapai di atas 10% (Grafik 1.10).
Grafik 1.9. Perkembangan Volume Ekspor CPO dan Turunan Riau
Grafik 1.10. Perkembangan Volume Ekspor Pulp Riau
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
I II III IV I II I-16 II-16 I-16 II-16
Makanan dan Hewan Bernyawa 426.03 378.30 398.85 530.07 1,733.24 385.27 343.40 9.21 7.97 (9.57) (9.23)
Tembakau dan Minuman 6.89 9.54 5.53 5.97 27.93 7.47 8.26 0.18 0.19 8.38 (13.41)
Barang Mentah 741.56 711.78 737.73 729.47 2,920.53 685.76 774.12 16.39 17.96 (7.52) 8.76
Bahan Bakar Mineral dan Pelumas 28.20 53.34 15.37 22.16 119.06 40.08 23.15 0.96 0.54 42.10 (56.59)
Minyak dan Lemak Nabati 2,613.93 3,403.66 3,004.55 3,541.13 12,563.28 2,455.28 2,562.86 58.69 59.45 (6.07) (24.70)
Bahan Kimia 118.96 171.17 114.89 136.84 541.85 172.27 169.38 4.12 3.93 44.81 (1.04)
Barang Manufaktur 412.50 396.91 420.91 413.11 1,643.43 437.40 429.92 10.45 9.97 6.04 8.32
Mesin dan Peralatan - 0.00 0.00 0.00 0.01 0.29 0.18 0.01 0.00 0.00 0.00
Hasil Olahan Manufaktur 0.00 0.00 0.01 0.00 0.01 - - - - (100.00) (100.00)
Koin, bukan mata uang - - - - - - - - - - -
4,348.07 5,124.70 4,697.83 5,378.75 19,549.34 4,183.82 4,311.28 100.00 100.00 (3.78) (15.87)
2016 Pangsa (%)
Volume Ekspor Non Migas (ribu Ton)
Total
Jenis 2015 (ribu ton) 2015yoy (%)
(40.0)
(20.0)
-
20.0
40.0
60.0
80.0
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
3,500
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
%
rib
u t
on
Vol (kiri) yoy (kanan)
(20.00)
(10.00)
-
10.00
20.00
30.00
40.00
-
100.0
200.0
300.0
400.0
500.0
600.0
700.0
800.0
900.0
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
%
rib
u t
on
Vol (kiri) yoy (kanan)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
17
Grafik 1.11. Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau
Grafik 1.12. Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Meningkatnya ekspor juga dipengaruhi oleh meningkatnya harga komoditas
global. Namun perbaikan ekspor ini masih relatif terbatas karena gejolak ekonomi
di Amerika Serikat, Eropa dan Tiongkok yang masih berlanjut (Grafik 1.13 dan
1.14) sehingga berdampak terhadap permintaan komoditas utama.
Berdasarkan negara tujuan ekspornya, peningkatan ekspor pada triwulan laporan
terutama berasal dari India yang tercatat sebesar 677 ribu ton, meningkat 29,18%
(qtq) dibandingkan triwulan I 2016 yang hanya mencapai 524 ribu ton. Namun
peningkatan ekspor tertahan oleh melemahnya permintaan dari Eropa yang
diperkirakan melambat akibat BREXIT meskipun jika dilihat dari pangsa ekspor Riau
ke Inggris relatif kecil namun kondisi BREXIT tersebut memberikan dampak
terhadap ekonomi negara mitra dagang Riau (Grafik 1.15).
\
(120.0)
(100.0)
(80.0)
(60.0)
(40.0)
(20.0)
-
20.0
40.0
60.0
-
50.0
100.0
150.0
200.0
250.0
300.0
350.0
400.0
450.0
500.0
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
%
ribu t
on
Vol (kiri) yoy (kanan)
-100
-50
0
50
100
150
200
250
-
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
%
rib
u t
on
Vol (kiri) yoy (kanan)
Grafik 1.13 Ekspor CPO Dunia (Juta MT)
Grafik 1.14. Pertumbuhan Ekspor dan Indeks Dollar
-
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
40,000
45,000
50,000
Other Benin Thailand Papua New Guinea Malaysia Indonesia
Sumber: Recent Economic Development Bank Indonesia
Sumber: United States Department of Agriculture
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
18
Grafik 1.15. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah Tujuan
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
2.3.2. Impor
Perkembangan impor Riau pada triwulan II 2016 tercatat sebesar 8,19% (yoy),
meningkat dibandingkan triwulan I 2016 yang tercatat tumbuh 1,56% (yoy).
Peningkatan kinerja impor terutama disebabkan oleh meningkatnya impor luar
negeri 15,63% (yoy) terjadi setelah mengalami kontraksi pada triwulan sebelumnya
sebesar 3,47% (yoy). Peningkatan impor luar negeri Provinsi Riau pada triwulan
laporan utamanya bersumber dari peningkatan impor non migas yang tercatat
tumbuh 161,73% (yoy), meningkat signifikan dibandingkan triwulan I 2016 yang
mengalami kontraksi sebesar 7,39% (yoy) sebagaimana yang ditunjukkan Grafik
1.16. Jika dilihat dari jenis barang non migas yang diimpor, barang modal dan
intermedier (Grafik 1.17 dan Grafik 1.18) tercatat mengalami peningkatan masing-
masing mencapai 125,08% (yoy) dan 163,59% (yoy), lebih tinggi dibandingkan
triwulan lalu yang masing-masing mengalami kontraksi sebesar 69,58% (yoy) dan
9,11% (yoy). Meningkatnya impor juga dipengaruhi oleh penguatan nilai tukar
rupiah yang pada triwulan II 2016 secara rata-rata tercatat sebesar
Rp13.317,00/USD, membaik jika dibandingkan rata-rata nilai tukar rupiah pada
triwulan I 2016 sebesar Rp13.527,00/USD. Namun peningkatan impor ini tertahan
oleh melambatnya impor barang konsumsi sebesar 23,34% (yoy) seiring dengan
melambatnya konsumsi rumah tangga (Grafik 1.19).
786 762 1,078 1,034
678 759 766 1,024 965 780 869 942 681 891 971 1,188 773 797
511 481
787 675 835 818 635
920 598
538 651 990
510 798 644
720
524 677
783 733
842 922 851 662 814
920
691 651 548
518
580
637 606
787
622 550
734 563
600 901
644 585 658
609
573 432
589
759
592
570 587
756
- -
1,343 1,257
1,433 1,457
1,830 1,657 1,558
1,667
1,617 1,717
1,892
1,988
1,985
2,228
1,890
1,928
981 896
-
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II
2012 2013 2014 2015 2016
Cina India ASEAN MEE Lainnya
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
19
Grafik 1.16. Perkembangan Impor Non Migas Riau
Grafik 1.17. Perkembangan Volume Impor Barang Modal di Provinsi Riau
Grafik 1.18. Perkembangan Volume Impor Barang Intermedier
Grafik 1.19. Perkembangan Impor Barang Konsumsi
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
3. PDRB SEKTORAL
Kinerja sektor utama perekonomian Provinsi Riau pada triwulan II 2016 secara
umum menunjukkan peningkatan. Peningkatan kinerja terjadi di tiga sektor utama
yaitu sektor pertanian, konstruksi, dan perdagangan besar eceran. Meningkatnya
pertumbuhan di sektor pertanian berasal dari peningkatan kinerja perkebunan
kelapa sawit seiring dengan membaiknya harga TBS Lokal dan CPO Global dan
meningkatnya kredit perkebunan kelapa sawit. Sementara itu, meningkatnya
kinerja di sektor konstruksi tercermin dari meningkatnya kredit konstruksi dan
volume konsumsi semen yang pada triwulan II 2016 tercatat sebanyak 379.929
ton, sedikit meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebanyak
373.842 ton. Selain itu, peningkatan kinerja sektor perdagangan besar dan eceran
ditunjukkan oleh peningkatan durable goods serta meningkatnya indeks pembelian
barang tahan lama.
-100
-50
0
50
100
150
200
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II
2012 2013 2014 2015 2016
yoy,%Ribu Ton Volume (ribu ton) growth (rhs)
(200)
(100)
-
100
200
300
400
500
600
700
800
-
20
40
60
80
100
120
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II
2012 2013 2014 2015 2016
%ribu Ton Barang Modal(lhs) yoy (rhs)
(50)
-
50
100
150
200
-
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
1,600
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II
2012 2013 2014 2015 2016
%ribu Ton Barang intermedier (lhs) yoy (rhs)
(200)
(100)
-
100
200
300
400
500
600
-
5
10
15
20
25
30
35
40
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II
2012 2013 2014 2015 2016
%ribu Ton Barang Konsumsi (lhs) yoy (rhs)
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
20
Selain itu, sektor jasa perusahaan baik pendidikan, kesehatan dan lainnya serta
administrasi pemerintahan, pertanahan dan jaminan sosial juga tercatat mengalami
peningkatan sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi Riau secara keseluruhan.
Namun peningkatan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi tertahan oleh
kontraksi sektor pertambangan dan penggalian yang semakin dalam, melambatnya
industri pengolahan, menurunnya kinerja sektor pengadaan air, pengelolaan
sampah dan perlambatan transportasi dan pergudangan serta real estate.
Tabel 1.5. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral Dengan Migas (yoy,%)
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
3.1. Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan Provinsi Riau pada triwulan II 2016
tercatat mengalami pertumbuhan positif sebesar 4,31% (yoy), lebih tinggi jika
dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan I 2016 sebesar 3,18% (yoy). Sejalan
dengan subsektor pertanian, peternakan, perburuan dan jasa pertanian, kinerja
subsektor kehutanan dan penebangan kayu serta subsektor perikanan juga tercatat
meningkat masing-masing dari 6,55% (yoy), kontraksi 3,01% (yoy) dan 0,33%
(yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya yang masing-masing tercatat sebesar
5,91% (yoy), kontraksi 7,10% (yoy) dan 0,09% (yoy).
2015
I II III IV I II IV I II
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 6.21 7.28 -4.54 -7.62 8.24 0.35 3.18 4.31 1.85 0.08 0.73 0.99
Pertambangan dan Penggalian -5.28 -8.43 -7.62 -6.07 -5.50 -6.91 -2.95 -4.35 -1.64 -2.12 -0.86 -1.23
Industri Pengolahan 5.63 -0.48 0.94 4.28 9.58 3.61 5.40 4.62 2.32 0.86 1.31 1.13
Pengadaan Listrik, Gas 6.81 8.32 8.67 8.51 1.18 6.43 14.66 17.24 0.00 0.00 0.01 0.01
Pengadaan Air 1.06 -2.90 3.10 2.55 7.01 2.41 2.00 -1.49 0.00 0.00 0.00 0.00
Konstruksi 8.46 4.59 5.07 8.06 7.69 6.39 3.84 4.87 0.63 0.51 0.31 0.40
Perdagangan Besar, Eceran, Rep. Mobil Motor 3.82 1.36 0.57 0.58 3.97 1.63 4.93 5.98 0.36 0.14 0.46 0.56
Transportasi dan Pergudangan 7.99 4.29 4.58 5.69 6.85 5.38 4.52 4.46 0.05 0.04 0.04 0.04
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 6.97 1.08 -2.17 -0.03 8.75 1.89 5.47 6.10 0.05 0.01 0.03 0.03
Informasi dan Komunikasi 5.64 8.88 7.70 5.26 6.90 7.15 4.21 5.19 0.04 0.04 0.03 0.03
Jasa Keuangan 4.93 5.84 -3.44 -0.11 -0.69 0.35 1.83 8.41 -0.01 0.00 0.02 0.08
Real Estate 5.32 7.04 7.91 8.38 9.98 8.34 1.91 0.51 0.08 0.07 0.02 0.00
Jasa Perusahaan 12.84 6.98 7.09 8.31 8.25 7.67 0.19 1.34 0.00 0.00 0.00 0.00
Adm Pemerintahan, Pertahanan & Jam. Sos. 1.53 1.38 6.08 5.92 4.21 4.39 -5.07 0.02 0.07 0.07 -0.07 0.00
Jasa Pendidikan 5.90 6.29 6.47 8.91 3.94 6.35 0.63 2.64 0.02 0.03 0.00 0.01
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 8.40 11.68 8.92 11.06 8.26 9.94 0.17 1.03 0.02 0.02 0.00 0.00
Jasa lainnya 11.14 8.41 9.55 11.20 11.24 10.14 5.65 6.27 0.05 0.04 0.03 0.03
2.70 -0.01 -2.13 -1.38 4.45 0.22 2.32 2.40 4.45 0.22 2.32 2.40
5.92 2.83 -0.57 -0.28 6.20 2.01 3.49 4.08 6.20 2.01 3.49 4.08
Growth (% yoy)
2015
Kontribusi Pertumbuhan (%)
2016 2015 2015 2014
PDRB
PDRB Tanpa Migas
Uraian2016
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
21
Meningkatnya kinerja sektor pertanian, kehutanan dan perikanan pada triwulan
laporan terindikasi dari meningkatnya harga CPO Global dan TBS Lokal akibat
menurunnya jumlah produksi seiring terjadinya La Nina. Selain CPO dan TBS, harga
karet juga menunjukkan tren meningkat. Pada dasarnya beberapa faktor yang
menyebabkan volatilitas harga komoditas dunia ini, antara lain kondisi ekonomi
internasional, volume permintaan dan pasokan, fluktuasi nilai tukar dan pergerakan
harga minyak dunia (Grafik 1.22 dan Grafik 1.23).
Grafik 1.20. Perkembangan Harga Karet
Sumber: Bloomberg
Grafik 1.21. Perkembangan Harga Sawit
Sumber : Bloomberg
Berdasarkan informasi dari contact liaison, peningkatan harga ini memberikan
optimisme terhadap kinerja sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan ke depan
(Grafik 1.24). Pada semester I 2016, produktifitas sawit berada pada titik yang
rendah seiring dengan terjadinya musim trek sehingga menyebabkan terbatasnya
suplai TBS yang secara otomatis mendorong kenaikan harga TBS dan CPO. Selain
itu, meningkatnya kinerja juga terindikasi dari perkembangan kredit perkebunan
kelapa sawit (Grafik 1.25) berdasarkan lokasi bank yang secara nominal tercatat
sebesar Rp 12,49 triliun atau tumbuh 15,51% (yoy), lebih tinggi jika dibandingkan
triwulan I 2016 yang tercatat sebesar Rp 11,59 triliun atau tumbuh 13,47% (yoy).
Grafik 1.22. Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Pertanian
Sumber: BPS Provinsi Riau
Grafik 1.23. Perkembangan Kredit Perkebunan Kelapa Sawit
Sumber : LBU Bank Indonesia
-40%
-20%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
-
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Harga Karet (USD) Growth
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1000
1100
1200
1300
1400
1500
1600
1700
1800
1900
TwI
TwII
TwIII
TwIV
TwI
TwII
TwIII
TwIV
TwI
TwII
TwIII
TwIV
TwI
TwII
TwIII
TwIV
TwI
TwII
TwIII
TwIV
TwI
TwII
TwIII
TwIV
TwI
TwII
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
TBS
CPO (RHS)
Rp/Kg$/MT
-2.00
-1.50
-1.00
-0.50
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
Total I II III IV Total I II
2015 2016
%
Axis Title
Pertanian, Peternakan, Perburuan dan Jasa Pertanian
Kehutanan dan Penebangan Kayu
Perikanan
0
10
20
30
40
50
60
0
2
4
6
8
10
12
14
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II
2012 2013 2014 2015 2016
Per
sen
(%
)
Rp
Tri
liun
Kredit Kelapa Sawit g - yoy (kanan)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
22
3.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian
Kinerja sektor pertambangan Riau pada triwulan II 2016 mengalami kontraksi
sebesar 4,35% (yoy), lebih dalam
dibandingkan kontraksi triwulan
sebelumnya sebesar 2,95% (yoy)
(Grafik 1.26). Semakin dalamnya
kontraksi terutama bersumber dari
penurunan kinerja pertambangan
minyak dan gas bumi yang pada
triwulan I 2016 tercatat kontraksi
2,77% (yoy), turun lebih dalam
pada triwulan II 2016 menjadi -
4,66% (yoy) sebagaimana yang ditunjukkan Grafik 1.28.
Berdasarkan hasil survei dan liaison, penurunan tersebut disebabkan semakin
berkurangnya cadangan minyak bumi dan keterbatasan perusahaan untuk
melakukan eksplorasi dan investasi ditengah melemahnya harga minyak yang tidak
memenuhi nilai keekonomisannya. Kondisi ini juga tercermin dari pencapaian lifting
minyak bumi Provinsi Riau yang hingga triwulan II 2016 masih cenderung
melanjutkan tren penurunan (Grafik 1.27).
Grafik 1.25. Perkembangan Lifting Minyak Bumi Provinsi Riau
Sumber: Kementerian ESDM
Grafik 1.26. Perkembangan Kegiatan Usaha di Provinsi Riau
Sumber: SKDU Bank Indonesia
Kinerja lifting minyak bumi di Riau ke depannya diperkirakan akan semakin
menurun akibat penurunan produktivitas sumur minyak yang sudah tua (natural
declining) dan minimnya penemuan sumber cadangan minyak baru yang produktif
-80
-60
-40
-20
0
20
40
60
I II III
IV
I II III
IV
I II III
IV
Tw
-I
Tw
-II
2013 2014 2015 2016
SBT
Grafik 1.24. Pertumbuhan Sektor Pertambangan dan Penggalian
Sumber: BPS Prov. Riau (diolah)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
23
di Provinsi Riau. Beberapa perusahaan pertambangan minyak berusaha menahan
laju penurunan produksi melalui penggunaan alat-alat drilling berteknologi tinggi,
seperti injeksi uap dan mulai melakukan uji coba bahan-bahan kimia seperti injeksi
kuman serta bahan kimia lainnya agar dapat mengambil sisa-sisa minyak bumi
namun tingginya biaya investasi tidak sebanding dengan harga minyak saat ini
sehingga tidak memenuhi nilai keekonomisannya. Selain itu, perusahaan minyak
juga dihadapkan pada permasalahan perijinan antara lain meliputi ijin eksploitasi,
ijin pengembangan sumur dan fasilitas produksi, serta ijin lingkungan (AMDAL)
termasuk terkait pembuangan limbah, dimana terjadi tumpang tindih antara
peraturan beberapa pihak berwenang.
Di sisi lain, perbaikan kontraksi di sektor pertambangan dan penggalian bersumber
dari perbaikan kinerja pertambangan batu bara yang semula tercatat kontraksi
sebesar 24,44% (yoy), membaik pada triwulan laporan kontraksi 5,15% (yoy).
Berdasarkan informasi dari contact liaison, kondisi ini didorong oleh perkembangan
harga batubara dunia yang mulai menunjukkan peningkatan akibat menurunnya
produksi batubara di Tiongkok dan Amerika Serikat sehingga perusahaan berupaya
untuk terus mempertahankan produksi dalam rangka menjaga eksistensi
perusahaan dan memenuhi kontrak dengan buyer pada triwulan laporan.
3.3. Sektor Industri Pengolahan
Kinerja sektor industri pengolahan dengan migas pada triwulan II 2016 tumbuh
4,62% (yoy), melambat jika dibandingkan triwulan I 2016 yang tumbuh sebesar
5,40% (yoy). Perlambatan kinerja sektor industri pengolahan pada triwulan laporan
didorong oleh beberapa subsektor berikut antara lain, kontraksi industri batubara
dan pengilangan migas, industri karet, barang dari karet dan plastik dan
perlambatan industri kayu dan industri makanan dan minuman (Grafik 1.29). Pada
triwulan II 2016 subsektor pertambangan dan pengilangan migas tercatat
mengalami kontraksi 0,43% (yoy), menurun dibandingkan triwulan sebelumnya
yang masih tumbuh 2,07% (yoy). Kontraksi industri batubara dan pengilangan
migas pada triwulan laporan terjadi seiring dengan semakin berkurangnya
cadangan minyak bumi. Subsektor lainnya yang mengalami kontraksi pada triwulan
II 2016 adalah industri karet, barang dari karet dan plastik sebesar -4,87% (yoy),
menurun cukup signifikan dibandingkan triwulan I 2016 yang masih tumbuh
5,89% (yoy). Kontraksi subsektor karet ini dipengaruhi oleh fluktuasi harga karet
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
24
yang belum menunjukkan perbaikan yang signifikan dan minimnya pasokan bahan
baku mengakibatkan kinerja perusahaan di subsektor industri pengolahan karet
juga semakin menurun.
Sementara itu, subsektor industri barang dari kayu, gabus dan barang anyaman
dari bambu, rotan dan sejenisnya pada triwulan laporan tercatat sebesar 3,77%
(yoy), melambat dibandingkan triwulan I 2016 yang tercatat sebesar 4,95% (yoy).
Berdasarkan informasi dari contact liaison, perlambatan tersebut disebabkan oleh
menurunnya permintaan kertas dari luar negeri sehubungan dengan masih
berlanjutnya politik dumping negara-negara kawasan Amerika terhadap produk
kertas Indonesia
Perlambatan kinerja sektor industri pengolahan juga bersumber dari subsektor
industri makanan dan minuman (Grafik 1.30) yang tercatat sebesar 5,53% (yoy),
sedikit melambat dibandingkan triwulan I 2016 sebesar 5,55% (yoy). Perlambatan
kinerja industri pengolahan subsektor makanan dan minuman yang salah satunya
adalah pengolahan kelapa sawit dipengaruhi oleh gejolak ekonomi di Amerika
Serikat, Eropa dan Tiongkok yang masih berlanjut sehingga mengakibatkan
menurunnya permintaan ekspor. Selain itu, belum stabilnya harga komoditas global
turut menggoncang kinerja perusahaan.
Grafik 1.27 Perkembangan Pertumbuhan Industri Pengolahan
Sumber : BPS Provinsi Riau
Grafik 1.28. Indeks Makanan, Minuman dan Tembakau
Sumber: Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia
3.4. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil
dan Sepeda Motor
Kinerja sektor perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda
motor pada triwulan II 2016 tercatat meningkat dibandingkan triwulan I 2016 yaitu
dari 4,93% (yoy) menjadi 5,98% (yoy). Peningkatan pada sektor ini terutama
didorong oleh peningkatan kinerja subsektor perdagangan mobil, sepeda motor
60
70
80
90
100
110
120
130
140
150
160
I II III IV I II III IV I II
2014 2015 2016
Makanan, Minuman dan Tembakau
Indeks Total
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
25
dan reparasinya serta perdagangan besar dan eceran yang pada triwulan laporan
masing-masing tercatat sebesar 6,02% dan 5,96% (yoy), meningkat dibandingkan
triwulan sebelumnya masing-masing sebesar 5,46% dan 4,73% (yoy) sebagaimana
Grafik 1.31. Kondisi ini sejalan dengan peningkatan konsumsi yang tercermin dari
peningkatan Indeks Rata-rata Penggunaan Penghasilan Konsumen untuk
pengeluaran barang transpor (Grafik 1.32) pada momentum Hari Raya Idul Fitri dan
liburan sekolah.
Grafik 1.29. Pertumbuhan Sektor Perdagangan berdasarkan subsektor
Sumber: BPS Provinsi Riau
Grafik 1.30 Jenis Pengeluaran Rumah Tangga
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Jika dilihat dari kredit perbankan, peningkatan pertumbuhan sektor perdagangan
juga tercermin dari meningkatnya penyaluran kredit durable goods berdasarkan
lokasi bank di Provinsi Riau (Grafik 1.33) yang pada triwulan laporan tercatat
sebesar Rp 71,02 Miliar atau tumbuh 253,61% (yoy), lebih tinggi jika dibandingkan
triwulan I 2016 yang tercatat sebesar Rp 55.60 Miliar atau tumbuh 182,40% (yoy).
Sejalan dengan hal tersebut, peningkatan kinerja sektor perdagangan besar dan
eceran juga tercermin dari meningkatnya Indeks Konsumsi Barang Tahan Lama
(Grafik 1.34) triwulan II 2016 yang berada pada level optimis 105,74% lebih tinggi
dibandingkan triwulan sebelumnya yang berada pada level pesimis 81,20%.
50
70
90
110
130
150
170
190
210
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
2013 2014 2015 2016
Indeks
Indeks Keyakinan Konsumen Pengeluaran Konsumsi Pengeluaran Barang Transpor
Grafik.1.31. Perkembangan Kredit Durable Goods di Riau
Sumber: LBU Bank Indonesia
Grafik.1.32. Indeks Barang Tahan Lama
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
-100
-50
0
50
100
150
200
250
300
0
10
20
30
40
50
60
70
80
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Pe
rse
n (
%)
Rp
Mil
iar
Durable Goods g - yoy (kanan)
0
20
40
60
80
100
120
140
Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II
2013 2014 2015 2016
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
26
Kinerja sektor konstruksi pada triwulan II 2016 tercatat sebesar 4,87% (yoy),
meningkat dibandingkan triwulan I 2016 sebesar 3,84% (yoy). Meningkatnya
realisasi investasi PMDN dan PMA serta semakin gencarnya pemerintah dalam
merealisasikan proyek-proyek yang di biayai dengan APBD juga turut mendorong
peningkatan kinerja sektor konstruksi pada triwulan laporan. Peningkatan kinerja
sektor kontruksi tercermin dari meningkatnya realisasi penyaluran dan
pertumbuhan kredit konstruksi berdasarkan lokasi bank di Provinsi Riau yang pada
triwulan laporan tercatat sebesar Rp 1,85 triliun, lebih tinggi jika dibandingkan
triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp 1,73 triliun (Grafik 1.35). Selain itu,
indikator peningkatan volume realisasi konsumsi semen yang pada triwulan laporan
mencapai 379.929 ton juga turut menjadi indikator pendukung meningkatnya
kinerja sektor konstruksi. Meskipun tidak setinggi periode yang sama tahun
sebelumnya, namun pencapaian volume konsumsi semen triwulan II 2016 ini
tercatat lebih tinggi di bandingkan realisasi triwulan I 2016 sebanyak 373.842 ton
(Grafik 1.36).
4. ASESMEN PERTUMBUHAN EKONOMI TRIWULAN BERJALAN
Memasuki triwulan III 2016, perkembangan berbagai indikator ekonomi
mengindikasikan membaiknya kinerja ekonomi Riau ke depan. Kegiatan konsumsi
diindikasikan mengalami perbaikan meski masih terbatas seiring terjaganya daya
beli dan sejalan dengan membaiknya ekspektasi konsumen yang disertai dengan
kenaikan kredit konsumsi dan pembelian durable goods. Sementara itu, kegiatan
investasi juga diindikasikan membaik sejalan dengan monitoring anggaran secara
3.5. Sektor Konstruksi
Grafik.1.33. Kredit Konstruksi
Sumber: LBU Bank Indonesia
Grafik.1.34. Konsumsi Semen
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia
-20
0
20
40
60
80
100
0
0.5
1
1.5
2
2.5
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II
2012 2013 2014 2015 2016
Pe
rse
n (
%)
Rp
Tri
liu
n
Konstruksi g - yoy (kanan)
-20
-10
0
10
20
30
40
50
-
100
200
300
400
500
600
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
%
rib
u T
on
Konsumsi Semen (kiri) g.yoy (kanan)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
27
lebih intensif untuk mempercepat realisasi proyek infrastruktur strategis di Riau.
Kegiatan investasi swasta juga diperkirakan membaik yang tercermin pada
meningkatnya konsumsi semen dan indikator likert scale realisasi dan perkiraan
investasi. Seiring dengan mandatori campuran 20% biodiesel ke dalam bahan
bakar berpotensi meningkatkan penyerapan produk industri pengolahan sawit di
Riau. Di sisi sektoral, kinerja sektor pertanian diperkirakan meningkat seiring
dengan adanya pergeseran musim panen dan semakin gencarnya program
pemerintah di sektor pertanian berupa intensiikasi dan perluasan areal tanam.
Periode liburan sekolah dan tahun ajaran baru juga diperkirakan turut mendorong
peningkatan aktivitas di sektor perdagangan pada periode laporan. Sementara itu
kinerja sektor pertambangan dan penggalian diperkirakan mengalami kontraksi
lebih dalam seiring dengan penurunan lifting migas Riau. Secara keseluruhan tahun
2016, indikasi perbaikan ekonomi masih cukup kuat seiring dengan membaiknya
harga komoditas perkebunan meskipun masih terbatas, serta realisasi proyek
infrastruktur strategis pemerintah yang terus ditingkatkan.
Tabel 1.6. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Tw III 2016
Uraian Tendensi Asesmen Pendukung
Pertumbuhan EkonomiPerbaikan konsumsi rumah tangga, pemerintah,
investasi, ekspor
Konsumsi Rumah TanggaPerayaan Hari Raya Idul Fitri, persepsi membaiknya
penghasilan konsumen
Konsumsi Pemerintah Monitoring realisasi anggaran yang lebih intensif
Investasi (PMTB)Ekspansi investasi existing, maintenance,
berlanjutnya proyek infrastruktur strategis
EksporPerbaikan harga komoditas internasional, kerjasama
internasional, rencana peningkatan produksi pulp
ImporPenguatan nilai tukar, membaiknya daya beli
masyarakat
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
28
4.1. PDRB SISI PENGGUNAAN
Seiring dengan perkembangan indikator terkini, perekonomian Riau pada triwulan
mendatang diperkirakan meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya.
Peningkatan ini utamanya didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga,
konsumsi pemerintah, investasi dan perbaikan ekspor.
4.1.1 Konsumsi
Peningkatan pendapatan akibat
ekspektasi membaiknya harga
komoditas perkebunan dan
meningkatnya realisasi anggaran
pemerintah daerah mendorong
peningkatan konsumsi rumah tangga.
Adapun faktor-faktor yang dapat
mendorong peningkatan konsumsi
rumah tangga antara lain adalah
perayaan Idul Fitri, libur sekolah dan tahun ajaran baru serta persepsi akan
membaiknya penghasilan mendorong realisasi konsumsi masyarakat. Sedangkan
faktor-faktor yang berpotensi menahan pertumbuhan konsumsi rumah tangga
adalah lebih rendahnya alokasi pendapatan tahun 2016 sehingga mengurangi
optimalisasi penggunaan anggaran serta adanya kebijakan penyesuaian tarif listrik
golongan tertentu dan menurunnya harga minyak mentah yang dapat menekan
perbaikan harga komoditas global.
Sementara itu, adanya monitoring anggaran yang lebih intensif diharapkan
mendorong realisasi konsumsi pemerintah yang lebih baik. Monitoring ini
merupakan salah satu faktor pendorong utama meningkatnya pertumbuhan
konsumsi pemerintah. Namun demikian, tertekannya pertumbuhan konsumsi
pemerintah dapat bersumber dari sikap pemerintah yang semakin hati-hati dalam
menggunakan anggaran dan adanya regulasi yang menghambat realisasi bantuan
sosial dan hibah.
Grafik 1.35. Indeks Survei Konsumen
Sumber: Survei Konsumen, Bank Indonesia
70
80
90
100
110
120
130
140
150
160
Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Agt
2011 2012 2013 2014 2015 2016
IKK IKE IEK Garis 100
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
29
4.1.2 Investasi
Indikator terkini menunjukkan
peningkatan kinerja investasi seiring
dengan meningkatnya investasi sektor
swasta dan pemerintah meskipun ada
kemungkinan bias ke bawah. Beberapa
faktor pendorong meningkatnya
pertumbuhan investasi pada triwulan
berjalan antara lain i) ekspansi investasi
existing danprogram maintenance, ii)
masih berlanjutnya proyek infrastruktur strategis seperti jalan tol, rehabilitasi
bangunan, peningkatan dan pembangunan jalan dan jembatan dan pembangunan
jalur kereta api Dumai-Bukit Kayu Kapur, iii) adanya penurunan suku bunga acuan
diharapkan menurunkan tingkat suku bunga bank, iv) relaksasi LTV diharapkan
meningkatkan KPR (investasi sektor konstruksi) dan v) insentif tax amnesty
diharapkan mendorong peningkatan masuknya dana segar sehingga dapat
meningkatkan kapasitas permodalan. Adapun faktor lain yang berpotensi menahan
pertumbuhan investasi di Riau pada triwulan III 2016 adalah sikap pelaku usaha
yang cenderung wait and see terkait perkembangan harga komoditas yang belum
optimal, belum maksimalnya kapasitas utilisasi dan belum disahkannya RTRW
sesuai dengan yang diharapkan pemerintah di Provinsi Riau.
4.1.3 Ekspor
Ekspor pada triwulan III 2016
diperkirakan meningkat meskipun
masih dalam level terbatas.
Perbaikan ekspor ini didukung oleh
menurunnya produksi CPO Dunia
sehingga menaikkan harga, Vietnam
yang akan segera bergabung dengan
International Tri-Partite Rubber
Commission (ITRC) dan diharapkan dapat mendorong perbaikan harga karet,
Grafik 1.36. Likert Scale Investasi
Sumber: Liaison Bank Indonesia
Grafik 1.37. Perkiraan Harga 3 Bulan yad
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
-1.50
-1.00
-0.50
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Investasi
Perkiraan Investasi
100
110
120
130
140
150
160
170
180
190
200
Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Agt
2013 2014 2015 2016
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
30
penetapan bea keluar serta kontrak penjualan biodiesel periode Mei-Oktober 2016
mendorong meningkatnya penjualan domestik, meningkanya produksi kertas dan
tisu guna memenuhi permintaan buyer salah satu perusahaan besar di industri
sejenis. Namun demikian, terdapat beberapa faktor yang dapat menahan
pertumbuhan ekspor Riau ke depan yaitu mulai diberlakukannya kebijakan
compound rubber Tiongkok (max 88%) mulai 1 Juli 2015 menurunkan demand
dari Tiongkok, Black campaign CPO di kawasan Eropa, meningkatnya intensi
proteksi industri dalam negeri maupun industri produk substitusi, pembatasan
volume ekspor karet terkait kesepakatan tri partit (Indonesia, Malaysia, Thailand)
untuk mendorong kenaikan harga dan kembali tertekannya harga minyak dunia
menyebabkan perbaikan harga komoditas yang tidak optimal.
4.1.4 Impor
Impor diperkirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan II 2016. Hal ini
dipicu oleh meningkatnya daya beli masyarakat serta penguatan nilai tukar yang
sudah terlihat sejak awal tahun 2016. Namun masih belum optimalnya kapasitas
utilisasi perusahaan di tengah gejolak ekonomi global berpotensi menahan laju
impor.
Grafik 1.38 Nilai Tukar Rupiah terhadap USD
Sumber: Bank Indonesia
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
31
4.2. PDRB SEKTORAL
Perekonomian Riau pada triwulan mendatang diperkirakan didorong oleh
peningkatan kinerja sektor pertanian, industri pengolahan, perdagangan besar &
eceran serta konstruksi. Peningkatan laju ekonomi sektoral diperkirakan tertahan
oleh kontraksi sektor pertambangan yang semakin dalam.
4.2.1 Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Panen raya kedua tanaman pangan pada periode laporan diperkirakan mendorong
membaiknya kinerja sektor ini. Beberapa faktor yang mendorong peningkatan
kinerja sektor ini antara lain adalah adanya kontrak penjualan biodiesel pemerintah
dengan perusahaan di Riau serta program pemerintah yang cukup baik di bidang
pertanian, antara lain:
Intensifikasi dan perluasan areal tanam oleh Distan melalui peningkatan
indeks pertanaman.
Bantuan alsintan berupa traktor roda empat dan handtractor kepada
petani.
Program penanaman 284.417 hektare tanaman jagung pada tahun 2016.
Program pembagian kapal tangkap ikan bagi nelayan
Perluasan area tanam bawang merah dengan jumlah insentif Rp37,5 juta
per hektar.
Adapun beberapa faktor yang berpotensi menahan laju pertumbuhan sektor
pertanian antara lain i) bantuan benih Pajale yang belum sepenuhnya disalurkan
(pertanian tabama), ii) belum disahkannya RTRW yang berdampak terhadap izin
sertifikat lahan yang tidak bisa dikeluarkan sehingga bantuan dana untuk
replanting kelapa sawit terhambat, ii) preferensi Tiongkok untuk mulai
menggunakan kedelai dibandingkan dengan kelapa sawit seiring dengan
berkembangnya industri peternakan serta selisih harga yang rendah dan iv) adanya
libur lebaran menyebabkan petani enggan melakukan panen kelapa sawit akibat
tutupnya beberapa petani kelapa sawit.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
32
Grafik 1.39. Perkembangan Harga Sawit
Sumber: Bloomberg
Grafik 1.40 Perkembangan Harga Karet
Sumber: Bloomberg
4.2.2 Sektor Pertambangan dan Penggalian
Subsektor pertambangan dan
penggalian diperkirakan akan
mengalami kontraksi yang semakin
dalam. Adapun perbaikan saat ini
diperkirakan bersifat sementara karena
harga yang relatif membaik. Namun
berdasarkan kondisi secara alamiah,
lifting migas mengalami penurunan
seiring dengan cadangan minyak yang semakin berkurang dan usia sumur yang tua
serta keterbatasan untuk melakukan eksplorasi baru. Akibatnya, produksi migas
secala alami turun sekitar 8-12% per tahun namun dengan investasi yang
dilakukan penurunan dapat ditekan menjadi 6-7%. Namun dengan kondisi saat ini,
perusahaan tidak mungkin melakukan investasi baru akibat harga yang tidak
memenuhi nilai keekonomisan atau tidak dapat menutupi biaya investasi yang
tergolong besar. Selain itu eksplorasi sumur baru juga menghadapi kendala
perijinan terutama izin amdal.
-40.00%
-30.00%
-20.00%
-10.00%
0.00%
10.00%
20.00%
30.00%
40.00%
-
100.00
200.00
300.00
400.00
500.00
600.00
700.00
800.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8*
2015 2016
US
D/M
T
Sawit growth
-35.00%
-30.00%
-25.00%
-20.00%
-15.00%
-10.00%
-5.00%
0.00%
5.00%
-
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8*
2015 2016
US
D/K
g
Karet growth
Grafik 1.41. Lifting Migas
Sumber: Kementerian ESDM
(25.00)
(20.00)
(15.00)
(10.00)
(5.00)
-
5.00
-
50.00
100.00
150.00
200.00
250.00
300.00
350.00
400.00
450.00
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II Agt
2011 2012 2013 2014 2015 2016
yo
y,%
rib
u b
are
l/h
ari
Lifting (LHS) growth (RHS)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
33
Grafik 1.42. Perkembangan Harga Batubara
Sumber: Bloomberg
Grafik 1.43 Perkembangan Harga Minyak WTI
Sumber: Bloomberg
Kenaikan harga minyak ke depan relatif terbatas mengingat masih tingginya
pasokan di tengah permintaan yang masih lemah. Meningkatnya harga minyak
akhir-akhir ini bersifat temporary dipengaruhi oleh penurunan supply AS dan
gangguan produksi (di Kanada, Nigeria, Libya dan Venezuela) serta perbaikan
demand pada awal triwulan III 2016, terutama dari India dan Tiongkok.
Berdasarkan informasi dari contact liaison, produksi batubara semester I 2016
meningkat dibandingkan 2015. Hal ini didorong oleh perkembangan harga
batubara dunia yang mulai menunjukkan peningkatan, sehingga perusahaan
berupaya untuk terus mempertahankan produksi dalam rangka menjaga eksistensi
perusahaan dan memenuhi kontrak dengan buyer pada triwulan laporan. Namun
demikian produksi batubara Riau relatif terbatas.
4.2.3 Sektor Industri Pengolahan
Kinerja industri pengolahan diperkirakan meningkat sejalan dengan kebijakan 15%
kelapa sawit dalam BBN semakin digencarkan sehingga meningkatkan penyerapan
domestik. Selain itu, peningkatan penjualan domestik di subsektor industri
pengolahan CPO menjadi Biodiesel terjadi akibat didorong oleh peningkatan
permintaan dari Pemerintah untuk mensuplai Pertamina. Di sisi lain, peningkatan
produksi kertas dan tisu dari salah satu pemain besar di industri sejenis turut
menjadi faktor yang dapat mendorong peningkatan pertumbuhan di sektor ini.
-30.00%
-25.00%
-20.00%
-15.00%
-10.00%
-5.00%
0.00%
-
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8*
2015 2016
US
D/T
on
Batubara growth
-60.00%
-50.00%
-40.00%
-30.00%
-20.00%
-10.00%
0.00%
10.00%
-
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8*
2015 2016
US
D/b
bl
Minyak WTI growth
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
34
Adapun faktor yang berpotensi menahan laju pertumbuhan sektor ini antara lain, i)
Black campaign CPO di Eropa, dalam
bentuk penerapan bea masuk dan
kewajiban adanya label POF (Palm Oil
Free). Begitu juga dengan negara lain
seperti India, Rusia dan Tiongkok yang
menerapkan adanya bea masuk, ii)
pasokan BBM yang masih cukup tinggi
menyebabkan kembali rendahnya harga
minyak dunia tekanan bagi
perkembangan harga komoditas
perkebunan, iii) keterbatasan pasokan
TBS akibat persaingan dengan perusahaan indusri sejenis, terutama pada saat
harga membaik di triwulan II 2016 sehingga produksi perusahaan meningkat
seiring dengan meningkatnya permintaan dan iv) tindakan anti dumping Amerika
Serikat.
4.2.4 Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil
dan Sepeda Motor
Meningkatnya konsumsi rumah tangga pada periode triwulan berjalan diperkirakan
mendorong peningkatan sektor perdagangan besar, eceran dan reparasi mobil ini.
Selain itu, masih rendahnya risiko tekanan inflasi, terutama dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintah menurunkan harga BBM bersubsidi dan tarif angkutan
menjadi insentif bagi pengusaha di sektor ini dan berpotensi mendorong
peningkatan daya beli masyarakat. Namun demikian, depresiasi nilai tukar dapat
menyebabkan harga sparepart, suku cadang dan aksesoris kendaraan bermotor
melambung sehingga menahan kinerja sektor perdagangan. Disisi lain,
pembatasan operasionalisasi truk selama mudik lebaran juga diperkirakan
menghambat pasokan dan stock barang.
Grafik 1.44. Indeks Pembelian Barang Tahan Lama
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
0
20
40
60
80
100
120
140
99
.00
94
.50
98
.40
10
0.0
0
10
0.0
0
10
4.0
0
11
8.5
0
10
5.0
0
10
8.7
3
90
.33
77
.00
99
.00
81
.20
10
5.7
4
11
1.0
0
Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Agt
2013 2014 2015 2016
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
35
4.2.5 Sektor Konstruksi
Seiring dengan berlanjutnya proyek
infrastruktur, kinerja kategori Konstruksi
diperkirakan membaik. Meningkatnya
kinerja sektor ini dapat menimbulkan
optimisme pelaku usaha terhadap
membaiknya daya beli masyarakat ke
depan. Sebaliknya, apabila pelaku
swasta khawatir dalam merealisasikan
investasinya terkait dengan kepatuhan
wajib pajak, terutama untuk penjualan rumah premium yang tercermin dari
undisbursed loan di kategori konstruksi yang didominasi oleh perumahan premium
dapat menjadi faktor yang menghambat pertumbuhan sektor konstruksi. Demikian
juga dengan belum disahkannya RTRW sesuai dengan yang diharapkan.
Grafik 1.45. Konsumsi Semen
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
-
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
Jan
-14
Fe
b-1
4
Ma
r-1
4
Ap
r-1
4
Ma
y-1
4
Jun
-14
Jul-
14
Au
g-1
4
Se
p-1
4
Oct
-14
No
v-1
4
De
c-1
4
Jan
-15
Fe
b-1
5
Ma
r-1
5
Ap
r-1
5
Ma
y-1
5
Jun
-15
Jul-
15
Au
g-1
5
Se
p-1
5
Oct
-15
No
v-1
5
De
c-1
5
Jan
-16
Fe
b-1
6
Ma
r-1
6
Ap
r-1
6
Ma
y-1
6
Jun
-16
Jul-
16
2014 2015 2016
%
To
n
Konsumsi Semen (kiri) g.yoy (kanan)
Reformasi struktural menjadi salah satu strategi utama yang dilakukan Pemerintah
untuk mendongkrak perekonomian Indonesia, di tengah perlambatan ekonomi global
yang salah satunya terangkum dalam 12 paket kebijakan yang merupakan bagian dari
9 Program Prioritas Nawacita. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut tidak
terlepas dari berbagai Tantangan Struktural Perekonomian berikut:
Gambar I
Tantangan Struktural Perekonomian
Optimisme terhadap ketahanan ekonomi tidak terlepas dari komitmen untuk terus
mempercepat dan melaksanakan reformasi structural tersebut secara berkelanjutan,
konsisten dan bersinergi lintas sektor serta antar pemerintah daerah dan pemerintah
pusat. Oleh sebab itu, untuk melihat bagaimana respon pelaku usaha terhadap paket
Riau melakukan Quick Survey terkait 12 paket kebijakan kepada 7 (tujuh) responden
yang bergerak di subsector industry pengolahan karet dan CPO dan perdagangan. Hasil
survey menunjukkan bahwa efektifitas kebijakan hanya dirasakan oleh 33% responden,
terutama terkait relevansi paket kebijakan IX, X dan XII terkait infrastruktur listrik dan
logistic, keterbukaan investasi dan Ease of Doing Business. Responden menyatakan
bahwa paket kebijakan tersebut belum tersosialisasikan dengan baik sehingga sebagian
besar responden belum merasakan dampak langsung efektifitas kebijakan tersebut.
Boks
Quick Survey Awareness Pelaku Usaha terhadap
Paket Kebijakan Ekonomi Pemerintah
Grafik 1 Efektifitas Kebijakan Grafik 2 Relevansi Kebijakan dengan
Bidang Usaha Responden
Untuk meningkatkan daya saing industri beberapa kendala masih dihadapi antara lain:
pengembangan kawasan industri yang belum terarah, masih banyaknya kendala perizinan, kondisi
infrastruktur yang belum memadai terutama jalan dan pelabuhan sehingga logistic cost juga masih
cukup tinggi. Selain itu realisasi APBD yang masih rendah, serta belum siapnya pemanfaatan dana
desa dan pemanfaatan CPO fund yang belum tepat sasaran juga menjadi salah satu sumber
permasalahan belum optimalnya pelaksanaan 12 paket kebijakan di Riau.
Grafik 2. Efektifitas Kebijakan Grafik 3. Relevansi Kebijakan dengan Bidang Usaha
Responden
Sumber: Quick Survey Bank Indonesia
Selama kurun waktu 12 tahun terakhir, struktur perekonomian Provinsi Riau
didominasi oleh 3 (tiga) sektor utama
yaitu sektor pertambangan dan
penggalian, industri pengolahan, dan
pertanian, kehutanan dan perikanan.
Namun demikian, secara jangka
panjang Provinsi Riau tidak lagi dapat
hanya mengandalkan sektor tersebut,
seiring dengan semakin menurunnya
lfting migas (khususnya sektor pertambangan dan penggalian dan industri
pengolahan migas), kondisi fluktuasi harga komoditas internasional (migas dan
CPO), dan masih terbatasnya hilirisasi di Provinsi Riau (hilirisasi hasil perkebunan
kelapa sawit).
Secara alamiah, lifting migas mengalami penurunan seiring dengan cadangan
minyak yang semakin berkurang dan usia sumur yang tua serta keterbatasan
untuk melakukan eksplorasi baru. Akibatnya, produksi migas secara alami turun
sekitar 8-12% per tahun namun dengan investasi yang dilakukan penurunan
dapat ditekan menjadi 6-7%. Namun harga migas saat ini tidak memenuhi nilai
keekonomisan sehingga perusahaan tidak dapat menutupi biaya investasi yang
Grafik 2. Perkembangan Nilai Realisasi PMDN di Provinsi Riau
Grafik 3. Perkembangan Nilai Realisasi PMA di Provinsi Riau
Sumber: Kementerian ESDM Sumber : Bloomberg
(30.00)
(25.00)
(20.00)
(15.00)
(10.00)
(5.00)
-
5.00
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II*
2011 2012 2013 2014 2015 2016
yoy,%ribu barel/hari Lifting (LHS) growth (RHS)
Grafik 1 Shifting Sektoral Riau
Sumber: BPS Provinsi Riau, diolah
Boks
Dinamika Sektoral Riau
tergolong besar. Selain itu eksplorasi sumur baru juga menghadapi kendala
perizinan terutama ijin amdal dan masih terkendala RTRW. Disisi lain, kenaikan
harga komoditas internasional ke depan relatif terbatas mengingat masih
tingginya pasokan di tengah permintaan yang masih lemah.
Sementara itu, pengembangan industri pengolahan yang saat ini masih didominasi
komoditas sawit memiliki beberapa tantangan sebagai berikut:
Gambar I
Faktor Pendukung dan Penghambat Pengembangan Industri Sawit
Sumber : Bank Indonesia
Dengan kondisi tersebut diatas, sudah seharusnya Provinsi Riau fokus terhadap
pengembangan kawasan industri dan infrastruktur yang mendukung
industrialisasi dalam jangka panjang seperti pengembangan sarana jalan,
pelabuhan, dan kelistrikan dengan terus melakukan monitoring progress dan
evaluasi secara intensif terutama untuk mendukung program hilirisasi sawit
(menciptakan nilai tambah produk kelapa sawit).
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
36
1. KONDISI UMUM
Perkembangan inflasi Provinsi Riau pada triwulan II 2016 berada pada level di
bawah perkiraan sebelumnya. Hal ini sejalan dengan tekanan inflasi Riau pada
triwulan II 2016 yang secara year-on-year tercatat lebih rendah dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Menurunnya tekanan inflasi terjadi di semua komponen
terutama dari kelompok volatile food seiring dengan terjaganya pasokan dan tidak
terlepas dari berbagai koordinasi aktif yang ditempuh Pemerintah Daerah, Bank
Indonesia, dan instansi terkait lainnya. Selain itu, penurunan inflasi juga bersumber
dari kelompok administered price dan inflasi inti akibat penurunan harga bahan
bakar, penyesuaian tariff listrik serta relatif terjaganya nilai tukar rupiah.
ASESMEN
INFLASI DAERAH
Bab 2
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
37
Namun demikian, penurunan laju inflasi yang lebih dalam tertahan oleh kenaikan
harga bawang putih, beras, bawang merah dan daging sapi akibat meningkatnya
permintaan yang tidak diiringi oleh peningkatan pasokan pada bulan Ramadhan dan
menjelang hari raya Idul Fitri. Sementara itu, kenaikan harga rokok kretek, rokok
putih dan rokok kretek filter turut menjadi faktor yang menahan penurunan inflasi
kelompok administered price secara tahunan. Demikian juga dengan penurunan
inflasi kelompok core yang tertahan oleh kenaikan sejumlah komoditas seperti gula
pasir, makanan jadi, serta biaya pendidikan khususnya di Sekolah Menengah Pertama
dan Sekolah Menengah Atas karena memasuki periode tahun ajaran baru.
2. PERKEMBANGAN INFLASI PROVINSI RIAU
Inflasi Riau pada triwulan II-2016 tercatat sebesar 1,92% (yoy), lebih rendah jika
dibandingkan triwulan I-2016 yang tercatat sebesar 4,42% (yoy). Kondisi ini sejalan
dengan perkembangan inflasi nasional yang juga menunjukkan penurunan dari
4,45% pada triwulan I-2016 menjadi 3,45% pada triwulan II-2016. Jika
dibandingkan dengan rata-rata historis 5 tahun terakhir 2011-2015, inflasi Riau pada
triwulan I dan II-2016 masih tercatat lebih rendah.
Gambar 2.1. Inflasi Riau dan Nasional Tw II 2016 dibandingkan dengan Historisnya (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Secara tahunan, menurunnya tekanan inflasi bersumber dari semua komponen
terutama dari kelompok volatile food seiring dengan terjaganya pasokan dan tidak
terlepas dari berbagai koordinasi aktif yang ditempuh Pemerintah Daerah, Bank
Indonesia, dan instansi terkait lainnya, antara lain sidak dan operasi pasar untuk
komoditas beras, gula pasir, minyak goreng, daging sapi serta pemberian himbauan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
38
(moral suasion) secara aktif kepada beberapa elemen masyarakat. Selain itu,
penurunan inflasi juga bersumber dari kelompok administered price akibat
penurunan harga bahan bakar dan penyesuaian tariff listrik untuk beberapa
golongan pelanggan pada triwulan laporan. Di sisi lain, penurunan tekanan inflasi
dari kelompok inti bersumber dari menurunnya harga bahan bangunan seperti batu
bata dan semen, serta menurunnya harga laptop/notebook seiring dengan relatif
terjaganya nilai tukar rupiah yang mulai menunjukkan trend penurunan sejak awal
tahun 2016.
Bila dilihat dari kota yang disurvei di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di Kota
Dumai mencapai 3,02% (yoy), diikuti oleh Tembilahan dan Pekanbaru masing-
masing 2,63% (yoy) dan 1,65% (yoy). Tekanan inflasi pada ketiga kota tersebut
menunjukkan penurunan bila dibandingkan dengan triwulan I-2016 yang masing-
masing tercatat sebesar 4,84% (yoy), 4,00% (yoy) dan 4,39% (yoy). Disparitas inflasi
antar ketiga kota (terutama Tembilahan dengan Pekanbaru dan Dumai) relatif
mengecil.
Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi di Riau dan
Nasional (yoy)
Grafik 2.2. Perkembangan Inflasi Ketiga Kota
di Riau (yoy)
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
Jika dilihat berdasarkan kelompok barang dan jasa yang disurvei di Provinsi Riau,
sumber penurunan tekanan inflasi secara tahunan pada triwulan II 2016 terutama
berasal dari penurunan yang cukup signifikan pada kelompok bahan makanan dan
kelompok transportasi & komunikasi. Kelompok sandang sedikit mengalami
peningkatan kontribusi dari 0,15% pada triwulan sebelumnya menjadi 0,16% pada
triwulan II-2016. Sebaliknya kelompok bahan makanan, makanan jadi, perumahan,
kesehatan, pendidikan, rekreasi & olahraga, serta transportasi & komunikasi
-
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II
2012 2013 2014 2015 2016
% (yoy) Nasional Riau Sumatera
1.65
3.02
2.63
1.92
I II III IV I II III IV I II
2014 2015 2016
% (yoy) Pekanbaru Dumai Tembilahan Riau
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
39
mengalami penurunan kontribusi dibandingkan triwulan sebelumnya. Adapun
kelompok barang dan jasa yang memberikan kontribusi terkecil adalah kelompok
transportasi & komunikasi dengan kontribusi sebesar -0,18% atau tercatat
mengalami deflasi sebesar -1,17% (yoy).
Grafik 2.3. Inflasi dan Sumbangan Kelompok Barang dan Jasa (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Sementara itu, perkembangan inflasi Riau secara triwulanan mengalami deflasi -
0,48% (qtq), menurun bila dibandingkan dengan triwulan I-2016 yang tercatat
mengalami inflasi sebesar 0,45% (qtq). Angka inflasi Riau pada triwulanan laporan
juga lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata historisnya dalam kurun waktu
5 (lima) tahun terakhir yang tercatat sebesar 1,01% (qtq).
Grafik 2.4. Perkembangan Inflasi Riau Nasional secara Triwulanan (qtq)
Sumber : BPS, diolah
Menurunnya tekanan inflasi Riau secara triwulanan didorong oleh menurunnya
harga subkelompok transpor, bumbu-bumbuan, bahan bakar, penerangan dan air,
perlengkapan/peralatan pendidikan. Dilihat dari komoditasnya, penurunan harga
utamanya bersumber dari bensin, cabai merah, solar, tarif listrik, batubata, semen,
buncis, cabai rawit, laptop/notebook, daging ayam ras, dan bahan bakar rumah
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
-2
0
2
4
6
8
10
Bahan Makanan Makanan Jadi Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan, Rekreasi TransportasiKomunikasi
% Kontribusi% (yoy)% (yoy) Tw I 2016 % (yoy) Tw II 2016 Kont.Tw I 2016 Kont.Tw I 2016
-2
-1
0
1
2
3
4
5
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II
2012 2013 2014 2015 2016
% qtq Pekanbaru Dumai Tembilahan Nasional Riau
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
40
tangga. Penurunan harga aneka cabai disebabkan oleh melimpahnya pasokan di
sebagian besar sentra produksi di Jawa dan Sumatera Barat, sedangkan menurunnya
harga daging ayam ras terjadi seiring dengan panen Day Old Chick (DOC) dan
meningkatnya impor jagung yang mampu meredam peningkatan harga pakan
ternak. Sementara itu, penurunan harga komoditas subkelompok transpor dan
bahan bakar, penerangan dan air seperti bensin dan solar disebabkan oleh
penurunan harga premium dan solar pada bulan Mei dan April 2016 dan kebijakan
tarif adjustment listrik setiap bulannya.
Grafik 2.5. Historis Inflasi selama Tw II di Provinsi Riau (qtq)
Sumber : BPS, diolah
Jika dilihat berdasarkan kelompok barang dan jasa yang disurvei, kelompok bahan
makanan, transportasi & komunikasi dan perumahan mengalami deflasi sebesar -
2,25% (qtq), -1,48% (qtq) dan -0,34% (qtq) dengan andil pada inflasi triwulan
laporan masing-masing sebesar -0,56%, -0,23% dan -0,08%. Sementara itu, inflasi
triwulanan tertinggi terjadi pada kelompok bahan makanan 1,51% (qtq) dengan
andil 0,31%, disusul kelompok sandang dan kesehatan masing-masing 0,73% (qtq)
dan 0,24% (qtq) dengan andil 0,05% dan 0,01%.
0.831.01 0.95
1.22
1.63
0.44
-0.48-0.71
0.20
0.59
-1.5
-0.5
0.5
1.5
2.5
3.5
Nasional Riau Pekanbaru Dumai Tembilahan
% (qtq) Historis 2011-2015 Tw II-2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
41
Grafik 2.6. Inflasi dan Kontribusi Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa Tw II 2016 di Riau (qtq)
Sumber : BPS, diolah
2.1. Inflasi Kota
2.1.1. Inflasi Kota Pekanbaru
Pada triwulan II-2016, Kota Pekanbaru mengalami inflasi sebesar 1,65% (yoy), lebih
rendah jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 4,39% (yoy).
Menurunnya tekanan inflasi terutama terjadi pada kelompok volatile food akibat
berlangsung musim panen di sebagian besar daerah sentra produksi khususnya Jawa
dan Sumatera Barat sehingga pasokan sejumlah komoditas strategis seperti cabai
merah, daging ayam ras dan cabai rawit relatif terjaga.
Sumber penurunan tekanan inflasi juga bersumber dari kelompok administered price
akibat adanya penurunan harga bensin dan solar pada periode triwulan laporan dan
kebijakan penyesuaian tarif listrik yang ditetapkan oleh Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral sehingga menyebabkan komoditas bensin, solar, tarif listrik
mengalami deflasi. Selain itu, deflasi juga terjadi kelompok inflasi inti seperti
batubata, semen dan laptop/notebook. Hal ini diperkirakan dipengaruhi oleh
terjaganya nilai tukar rupiah sehingga menyebabkan barang-barang impor
mengalami penurunan harga. Penurunan inflasi yang lebih dalam tertahan oleh
kenaikan tarif angkutan udara, bawang merah, beras, rokok kretek, gula pasir, rokok
putih dan bawang putih akibat meningkatnya permintaan pada bulan ramadhan dan
menjelang hari raya Idul Fitri sehingga mendorong distributor untuk menaikkan
harga.
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Bahan Makanan Makanan Jadi Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan,Rekreasi
TransportasiKomunikasi
% Kontribusi% (qtq)
% (qtq) Tw I 2016 % (qtq) Tw II 2016
Kont.Tw I 2016 Kont.Tw II 2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
42
Dilihat berdasarkan kelompok barang jasa, deflasi bersumber dari kelompok
transportasi & komunikasi sebesar -1,13% (yoy), sedangkan kelompok lainnya
mengalami inflasi dengan peningkatan tertinggi terjadi pada kelompok makanan jadi
3,77% (yoy), diikuti bahan makanan 2,65% (yoy), sandang 2,44% (yoy), dan
pendidikan, rekreasi & olahraga 2.37% (yoy). Dari keseluruhan kelompok, makanan
jadi dan bahan makanan memiliki kontribusi inflasi tertinggi masing-masing
mencapai 0,76% dan 0,59%.
Sebagian besar kelompok komoditas mengalami penurunan tekanan inflasi
dibandingkan dengan triwulan I-2016, dengan penurunan terbesar terjadi pada
kelompok bahan makanan dari 10,09% (yoy) menjadi 2,65% (yoy), transportasi &
komunikasi dari 2,11% (yoy) menjadi -1,13% (yoy), dan kelompok perumahan dari
2,37% (yoy) menjadi 0,58% (yoy). Sebaliknya, kelompok komoditas yang mengalami
peningkatan laju inflasi yaitu kelompok sandang dari 1,91% menjadi 2,44% (yoy).
Grafik 2.7 Perkembangan Inflasi Pekanbaru dan Rata-rata Historis Tw II (2011-2015)
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.8. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Pekanbaru Tw II 2016
2.1.2. Inflasi Kota Dumai
Sejalan dengan perkembangan inflasi kota Pekanbaru, inflasi kota Dumai juga
tercatat mengalami penurunan dari 4,84% menjadi 2,83% (yoy). Menurunnya
tekanan inflasi di Dumai terutama bersumber dari kelompok volatile food karena
terjaganya pasokan komoditas bumbu-bumbuan seperti bawang merah, cabai
merah, cabai rawit, serta telur ayam ras. Di sisi lain, relatif rendahnya inflasi inti
disebabkan oleh menurunnya harga emas perhiasan dan minyak goreng, sedangkan
penurunan inflasi administered price bersumber dari menurunnya harga bahan bakar
rumah tangga, solar dan tarif listrik seiring dengan kebijakan penyesuaian harga
-2
-1
0
1
2
3
4
5
0
2
4
6
8
10
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II
2012 2013 2014 2015 2016
% (qtq)% (yoy) Inflasi Triwulanan Inflasi Tahunan avg yoy
2.653.77
0.58
2.441.18
2.37
-1.13-0.2
0.2
0.6
1.0
-4
0
4
8
12
Bahan Makanan Makanan Jadi Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan,Rekreasi
Transport &Kom
% kontribusi% (yoy) % (yoy) Tw II 2016 Kont.Tw II 2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
43
komoditas tersebut oleh pemerintah. Penurunan laju inflasi yang lebih dalam
tertahan oleh kenaikan harga sejumlah komoditas seperti rokok kretek filter dengan
andil sebesar 0,47% serta meningkatnya biaya pendidikan Sekolah Menengah Atas
dan komoditas bawang putih yang masing-masing memiliki andil sebesar 0,25%
terhadap inflasi tahunan kota Dumai.
Apabila dilihat per kelompok komoditas semua komponen inflasi tercatat lebih
rendah dibandingkan triwulan sebelumnya. Penurunan inflasi terbesar triwulan
laporan terjadi pada kelompok bahan makanan dari 5,84% menjadi 2,83% (yoy)
pada triwulan II-2016, diikuti kelompok transportasi & komunikasi dari 2,08%
menjadi deflasi -0,90% (yoy). Begitu halnya kedua kelompok tersebut, kelompok
sandang, makanan jadi, perumahan, pendidikan, rekreasi & olahraga, serta
kesehatan juga mengalami perlambatan tekanan.
Grafik 2.9. Perkembangan Inflasi Kota Dumai dan Rata-rata Historis Tw II (2011-2015)
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.10. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Dumai Tw II 2016
2.1.3. Inflasi Kota Tembilahan
Searah dengan kedua kota lainnya, tekanan inflasi Kota Tembilahan pada triwulan
laporan tercatat sebesar 2,63% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya yang mencapai 4,00% (yoy). Penurunan tekanan inflasi ini utamanya
disebabkan oleh penurunan harga komoditas volatile food seperti cabai merah akibat
panen di daerah sentra produksi yang menyebabkan melimpahnya pasokan dan
terpenuhinya kebutuhan masyarakat di Kota Tembilahan. Sementara itu,
menurunnya tekanan inflasi juga bersumber dari inflasi inti yang berada pada level
terjaga terutama karena menurunnya harga telepon seluler dan bahan bangunan
besi beton. Hal ini diperkirakan terjadi karena apresiasi nilai tukar rupiah yang mana
-2
-1
0
1
2
3
4
5
0
2
4
6
8
10
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II
2012 2013 2014 2015 2016
% (qtq)% (yoy) Inflasi Tahunan Inflasi Triwulanan avg yoy
2.83
7.17
0.95
2.76
5.14
6.92
-0.90 -0.4
0.0
0.4
0.8
1.2
1.6
-2
0
2
4
6
8
BahanMakanan
MakananJadi
Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan,Rekreasi
Transport &Kom
% kontribusi% (yoy) % (yoy) Tw II 2016 Kont.Tw II 2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
44
gejolak kurs rupiah sejak awal tahun 2016 relatif terjaga. Selain itu, inflasi kelompok
administered price juga tercatat mengalami penurunan akibat menurunnya harga
bensin, solar dan tarif listrik seperti yang terjadi di Provinsi Riau dan nasional secara
umum. Namun demikian, penurunan inflasi yang lebih dalam tertahan oleh
meningkatnya harga bawang putih, bawang merah, jeruk, udang basah dan rokok
kretek sehingga menimbulkan tekanan inflasi.
Berdasarkan kelompoknya, penurunan inflasi terbesar terjadi pada kelompok
transportasi & komunikasi dari 1,89% menjadi deflasi 2,05% (yoy) pada triwulan II-
2016, diikuti oleh bahan makanan dari 7,51% menjadi 4,09% (yoy) dan perumahan
dari 2,08% menjadi 0,74% (yoy). Sebaliknya, kelompok lainnya mengalami
peningkatan inflasi, dengan tekanan inflasi tertinggi pada triwulan laporan terjadi
pada kelompok makanan jadi dari 3,26% menjadi 4,35% (yoy), dan kelompok
sandang dari 2,19% menjadi 3,09% (yoy).
Grafik 2.11. Perkembangan Inflasi Kota Tembilahan
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.12. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Tembilahan Tw II 2016
2.2. Disagregasi Inflasi1 (yoy)
Menurunnya tekanan inflasi Riau pada triwulan laporan didorong oleh menurunnya
tekanan inflasi pada semua komponen inflasi administered price, volatile food dan
inflasi inti. Menurunnya tekanan inflasi administered price bersumber dari penurunan
harga bensin, solar, dan bahan bakar rumah tangga sejalan dengan kebijakan
pemerintah yang menurunkan harga premium dan solar pada bulan Mei dan April
2016, serta kebijakan tarif adjustment listrik setiap bulannya. Sementara itu,
menurunnya tekanan inflasi volatile food disebabkan oleh menurunnya harga cabai
1 Disagregasi dilakukan dengan pendekatan subkelompok
-2
-1
-1
0
1
1
2
2
3
3
4
4
0
2
4
6
8
10
12
14
I II III IV I II III IV I II
2014 2015 2016
% (qtq)% (yoy) Inflasi Triwulanan Inflasi Tahunan avg yoy
4.09 4.35
0.74
3.09
4.99 4.91
(2.05)
-0.4
0.0
0.4
0.8
1.2
1.6
-4
-2
0
2
4
6
BahanMakanan
MakananJadi
Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan,Rekreasi
Transport &Kom
% kontribusi% (yoy) % (yoy) Tw II 2016 Kont.Tw II 2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
45
merah, cabai rawit dan daging ayam ras akibat berlangsungnya panen raya di besar
daerah sentra produksi serta panen Day Old Chick (DOC) dan meningkatnya impor
jagung yang mampu meredam peningkatan harga pakan ternak. Disisi lain,
terkendalinya laju inflasi inti dipengaruhi oleh terjaganya nilai tukar rupiah yang
mampu menekan gejolak harga inflasi inti seperti perlengkapan/peralatan
pendidikan berupa laptop/notebook, termasuk bahan bangunan seperti batubata
dan semen. Sebaliknya, penurunan laju inflasi tertahan oleh kenaikan harga rokok
kretek, bawang putih, beras, gula pasir dan makanan jadi yang masing-masing
memberikan andil 0,14%, 0,13%, 0,13%, 0,11% dan 0,10% terhadap inflasi
tahunan Provinsi Riau.
Grafik 2.13. Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy)
Sumber : BPS, diolah
2.2.1. Inflasi Inti (Core)
Laju inflasi inti pada triwulan II-2016 tercatat sebesar 2,60% (yoy), lebih rendah
dibandingkan triwulan I-2016 yang mencapai 2,98% (yoy). Terjaganya inflasi inti
merupakan dampak dari relatif terjaganya nilai tukar rupiah yang mulai menunjukkan
trend penurunan sejak awal tahun 2016. Penurunan tingkat inflasi ini juga turut
dipengaruhi oleh penurunan daya beli masyarakat akibat perlambatan ekonomi Riau
yang menyebabkan penurunan permintaan secara umum, serta relatif terkendalinya
ekspektasi inflasi. Pada akhir periode triwulan laporan perlambatan tekanan inflasi
inti didorong oleh penurunan harga komoditas batu bata/batu tela, semen,
laptop/notebook dan harga televisi berwarna.
-5
0
5
10
15
20
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7
2013 2014 2015 2016
(% yoy)CPI Core Volatile Food Administered
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
46
Di sisi lain, hal utama yang menahan laju penurunan inflasi inti adalah kenaikan harga
komoditas emas perhiasan dan kenaikan harga gula pasir yang terjadi di sebagian
besar daerah serta kenaikan harga makanan jadi pada bulan Ramadhan, menjelang
hari raya Idul Fitri, dan memasuki musim liburan sekolah sehingga permintaan
meningkat dan mendorong produsen serta distributor menaikkan harga. Selain itu,
penyumbang inflasi inti terbesar lainnya adalah kenaikan biaya pendidikan Sekolah
Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas yang masing-masing memiliki andil
sebesar 0,08% dan 0,07% akibat memasuki tahun ajaran baru.
Jika dilihat berdasarkan kota yang disurvei, inflasi inti terendah terjadi di Tembilahan
sebesar 2,19% (yoy), diikuti Pekanbaru dan Dumai masing-masing sebesar 2,29%
dan 4,08% (yoy). Apabila dilihat dari pergerakannya, inflasi inti di ketiga kota
tersebut mengalami penurunan dibandingkan triwulan I-2016.
Grafik 2.14. Perkembangan Inflasi Inti (core) di Riau (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.15. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 2.16. Perkembangan Harga Emas Dunia
Sumber : Bloomberg, diolah
Grafik 2.17. Perkembangan Inflasi Tradables Goods dan Non Tradable Goods (yoy)
Sumber : BPS, diolah
0
2
4
6
8
10
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II
2012 2013 2014 2015 2016
% (yoy) Pekanbaru Dumai Tembilahan RIAU
11,000
11,500
12,000
12,500
13,000
13,500
14,000
14,500
15,000
2-J
an
-15
23
-Ja
n-1
5
13
-Fe
b-1
5
9-M
ar-
15
30
-Ma
r-1
5
21
-Ap
r-1
5
13
-Ma
y-1
5
5-J
un
-15
26
-Ju
n-1
5
23
-Ju
l-1
5
13
-Au
g-1
5
4-S
ep
-15
28
-Se
p-1
5
20
-Oct
-15
10
-No
v-1
5
1-D
ec-
15
23
-De
c-1
5
18
-Ja
n-1
6
9-F
eb
-16
1-M
ar-
16
23
-Ma
r-1
6
14
-Ap
r-1
6
9 M
ei
20
16
30
Me
i 2
01
6
20
-Ju
n-1
6
15
-Ju
l-1
6
5 A
gu
st 2
01
6
Kurs Tengah
-20.00%
-15.00%
-10.00%
-5.00%
0.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
25.00%
-
200.00
400.00
600.00
800.00
1,000.00
1,200.00
1,400.00
1,600.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8*
2015 2016
US
D
Emas growth
0
2
4
6
8
10
12
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7
2013 2014 2015 2016
% (yoy)Tradeable Non Tradeable
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
47
2.2.2. Inflasi Volatile Food
Perkembangan harga kelompok volatile food pada periode triwulan laporan tercatat
sebesar 2,59% (yoy), menurun signifikan jika dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya yang sebesar 9,22% (yoy). Menurunnya tekanan inflasi volatile food
didorong oleh inflasi yang terjadi pada kelompok bahan makanan, terutama berasal
dari subkelompok bumbu-bumbuan, padi-padian, daging dan hasilnya serta sayuran.
Komoditas utama penyumbang deflasi dari kelompok tersebut ialah cabai merah,
buncis, cabai rawit, daging ayam ras dan jengkol. Penurunan tersebut terjadi seiring
dengan berlangsungnya musim panen di sebagian besar daerah sentra produksi
sehingga meningkatkan pasokan yang tersedia yang pada akhirnya mampu menekan
kenaikan harga.
Namun demikian, beberapa harga komoditas mulai menunjukkan kenaikan harga
pada akhir triwulan laporan seperti bawang putih, beras, bawang merah dan daging
sapi sehingga menahan penurunan laju inflasi kelompok volatile food pada triwulan
II-2016. Meningkatnya harga sejumlah komoditas strategis tersebut dipengaruhi oleh
faktor musiman Ramadhan dan menjelang hari raya Idul Fitri, namun kenaikan harga
yang terjadi masih dalam rentang harga yang wajar.
Jika dilihat dari ketiga kota perhitungan inflasi di Riau, inflasi volatile food terendah
pada triwulan II-2016 terjadi di Dumai sebesar 2,33% (yoy), diikuti oleh Pekanbaru
dan tertinggi di Tembilahan dengan angka inflasi masing-masing sebesar 2,43%
(yoy) dan 4,21% (yoy). Namun demikian, inflasi volatile food di ketiga kota tersebut
tercatat lebih rendah bila dibandingkan triwulan I-2016 yang masing-masing tercatat
sebesar 5,55% (yoy), 10,37% (yoy) dan 7,78% (yoy).
Grafik 2.18. Perkembangan Inflasi Volatile Food di Riau (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.19. Perkembangan Harga Komoditas Bumbu-bumbuan di Pekanbaru
Sumber : Survei Pemantantauan Harga BI
-8
-4
0
4
8
12
16
20
24
28
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014 2015
% (yoy) Pekanbaru Dumai Tembilahan RIAU
8000
18000
28000
38000
48000
58000
68000
MI
MII
MII
IM
IVM
VM
IM
IIM
III
MIV M
IM
IIM
III
MIV M
IM
IIM
III
MIV
MV
MI
MII
MII
IM
IV MI
MII
MII
IM
IVM
VM
IM
IIM
III
MIV
M I
M I
IM
III
M IV
Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 June-16 Juli 16
Cabe Merah Besar Cabe Merah KeritingCabe Rawit Bawang MerahBawang Putih
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
48
Grafik 2.20. Perkembangan Harga Komoditas Beras di Kota Pekanbaru
Grafik 2.21. Perkembangan Harga Daging dan Telur di Kota Pekanbaru
2.2.3. Inflasi Administered Prices
Pada triwulan II-2016 kelompok administered prices mengalami deflasi 0,26% (yoy),
lebih rendah dibandingkan triwulan I-2016 yang tercatat mengalami inflasi sebesar
3,46% (yoy). Deflasi kelompok inflasi ini terutama bersumber dari koreksi harga pada
kelompok transpor, perumahan, air, listrik, gas & bahan bakar akibat menurunnya
harga bensin, solar dan tarif listrik pada triwulan laporan seiring dengan kebijakan
penyesuaian harga bahan bakar dan listrik untuk beberapa golongan yang
diimplementasikan oleh pemerintah. Jika dilihat per kota, menurunnya tekanan
inflasi administered price terjadi pada semua kota yang disurvei di Provinsi Riau. Pada
triwulan II-2016, Pekanbaru mengalami deflasi administered price sebesar -0,87%
(yoy), sementara Dumai dan Tembilahan mengalami inflasi sebesar 1,25% dan
1,65% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 3,24%,
4,39%, dan 3,31% (yoy).
Grafik 2.22. Perkembangan Inflasi Administered Price (yoy)
Sumber : BPS, diolah
8000
18000
28000
38000
48000
58000
68000
MI
MII
MII
IM
IVM
VM
IM
IIM
III
MIV M
IM
IIM
III
MIV M
IM
IIM
III
MIV
MV
MI
MII
MII
IM
IV MI
MII
MII
IM
IVM
VM
IM
IIM
III
MIV
M I
M I
IM
III
M I
V
Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 June-16 Juli 16
Cabe Merah Besar Cabe Merah KeritingCabe Rawit Bawang MerahBawang Putih
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
160000
8000
13000
18000
23000
28000
33000
38000
43000
MI
MII
MII
I
MIV
MV
MI
MII
MII
I
MIV M
I
MII
MII
I
MIV M
I
MII
MII
I
MIV
MV
MI
MII
MII
I
MIV M
I
MII
MII
I
MIV
MV
MI
MII
MII
I
MIV
M I
M I
I
M I
II
M I
V
Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 June-16 Juli 16
Daging Ayam Ras Telur Ayam Ras Daging Sapi
-4
0
4
8
12
16
20
24
28
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014 2015
% (yoy) Pekanbaru Dumai Tembilahan RIAU
Sumber : Survei Pemantantauan Harga BI
Sumber : Survei Pemantantauan Harga BI
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
49
2.3 Prospek Perkembangan Harga Barang dan Jasa Triwulan Berjalan
Secara tahunan inflasi IHK Riau sampai dengan Juli 2016 mencapai 2,38% (yoy)
atau secara kumulatif Januari-Juli 2016 mengalami inflasi sebesar 1,04% (ytd),
meningkat jika dibandingkan posisi Juni 2016 yang secara kumulatif deflasi
0,02% (ytd) dan secara tahunan mencapai 1,92% (yoy), namun masih berada di
bawah kisaran sasaran inflasi Bank Indonesia 4±1% (yoy). Jika dilihat per
kelompok disagregasi, peningkatan inflasi berasal dari tekanan inflasi volatile
food yaitu kenaikan harga cabai merah, daging ayam ras, kentang beras, bawang
merah, dan daging sapi, serta kenaikan tekanan kelompok inti akibat
meningkatnya harga gula pasir dan emas perhiasan menjelang hari raya Idul Fitri.
Namun demikian jika dilihat secara historis, inflasi IHK secara year on year pada
bulan lebaran tahun ini cukup terkendali dan lebih rendah dibandingkan rata-
rata periode lebaran 4 tahun terakhir.
Ke depan, inflasi diperkirakan masih berada pada batas bawah sasaran inflasi
nasional 2016, yaitu 4%±1% (yoy). Pada bulan Agustus 2016, inflasi secara bulanan
(mtm) diperkirakan mengalami penurunan dibandingkan dengan bulan Juli 2016.
Penurunan tersebut diperkirakan terjadi pada kelompok disagregasi administered
price yakni penurunan Tarif Dasar Listrik rata-rata Rp3 per kwh pada 12 golongan
yang tidak mendapatkan subsidi. Penurunan tarif listrik ini disebabkan penguatan
nilai tukar rupiah terhadap dolar USD dan penurunan harga minyak Indonesia. Selain
itu penurunan bahan bakar Dexlite sebesar Rp.300/ liter yang resmi berlaku sejak 1
Agustus 2016 diperkirakan akan menurunkan laju inflasi pada kelompok ini.
Sementara itu, koordinasi kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia dalam
mengendalikan inflasi akan terus dilakukan, khususnya mewaspadai tekanan inflasi
volatile food akibat adanya kemungkinan fenomena La Nina yang akan menguat di
pertengahan 2016, meskipun masih dalam intensitas lemah. Fenomena tersebut
berpotensi menyebabkan banjir, longsor dan puting beliung sehingga dapat
menganggu produksi daerah sentra pertanian dan berpotensi memberikan
gangguan dari sisi supply. Namun demikian tekanan inflasi kelompok bahan
makanan secara keseluruhan diperkirakan akan berkurang pada periode Agustus
2016. Koordinasi kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam mengendalikan
inflasi akan terus diperkuat melalui upaya menjamin ketersediaan pasokan dan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
50
distribusi, khususnya berbagai bahan kebutuhan pokok, dan menjaga ekspektasi
inflasi agar tetap terkendali.
Grafik 2.23. Pergerakan Inflasi Tahunan Riau
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.25. Perkiraan Harga 3 Bulan Ke Depan
Sumber : Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik 2.26. Perkiraan Harga Per Kelompok
Grafik 2.24. Perbandingan Inflasi Juli Riau
2.4 Program Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Riau
Kegiatan pengendalian inflasi yang dilakukan di Provinsi Riau pada periode laporan
adalah terus meningkatkan koordinasi untuk mengendalikan harga. Pada jangka
pendek, TPID berkoordinasi dan menyusun program dalam menghadapi bulan
Ramadhan dan hari raya Idul Fitri yang secara historis selalu memberikan tekanan
kenaikan harga antara lain: (i) rapat koordinasi TPID untuk mempersiapkan program
pengendalian inflasi ramadhan; (ii) melakukan inspeksi mendadak ke pasar untuk
mengidentifikasi potensi lonjakan harga; (iii) melakukan pemantauan ketersediaan
pangan di gudang distributor dan pedagang pasar; (iv) menyelenggarakan
pertemuan dengan pelaku pasar untuk mengantisipasi tindakan spekulasi dan
mengambil keuntungan; (v) menyelenggarakan pertemuan dengan distributor dan
pemangku kebijakan lain untuk memastikan aliran distribusi bahan pangan dapat
dijaga; (vi) menyelenggarakan pasar murah/operasi pasar di lingkungan masyarakat;
0
2
4
6
8
10
12
14 Nasional Riau Pekanbaru Dumai Tembilahan
0,69
1,06
1,23
0,460,58
1,30
0,93 0,87 1,03
1,51
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1,40
1,60
Nasional Riau Pekanbaru Dumai Tembilahan
Inflasi Bulan Juli (% mtm)
Juli 2016 Avg Juli (2012-2015)
130
140
150
160
170
180
190
200
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
100
110
120
130
140
150
160
170
180
190
200
Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul
2013 2014 2015 2016
Bahan makananMakanan jadi, Minuman, Rokok, dan TembakauSandangTranspor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan
Grafik 2.26. Perkiraan Harga Per Kelompok Barang
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
51
(vii) merangkul tokoh agama untuk menjaga perilaku konsumtif masyarakat di bulan
Ramadhan; (viii) mengelola ekspektasi masyarakat melalui himbauan berupa
publikasi di media cetak maupun elektronik (talkshow dan iklan layanan masyarakat).
Pada jangka menengah, TPID akan melakukan evaluasi rumusan Roadmap TPID
Tahun 2015 untuk memonitor perkembangan kegiatan pengendalian inflasi yang
dilakukan, fokus pada komoditas volatile food beras, cabe merah, bawang merah,
daging sapi, dan daging ayam ras. Evaluasi meliputi beberapa aspek diantaranya:
progress dan kendala pelaksanaan program perbaikan sarana irigasi, pencetakan
lahan sawah baru, perbaikan teknis budidaya cabe, pengembangan bawang merah
varietas Bima, penyusunan masterplan pengembangan tanaman hortikultura, dan
sebagainya. Roadmap tersebut kemudian akan dilengkapi dengan penyesuaian
program kerja terbaru dan telah ditandatangani sebagai bentuk komitmen
pelaksanaan program TPID pada 1 Agustus 2016. Roadmap tersebut juga akan
dilengkapi rencana tindak lanjut hasil Rakornas VII TPID yang diselenggarakan pada
bulan Agustus 2016.
z
Upaya Pengendalian Inflasi di Provinsi Riau
Tantangan pengendalian inflasi di Provinsi Riau utamanya disebabkan oleh
11 komoditas dari 3 kelompok komoditas yang secara rata-rata memberikan andil
terbesar bagi pembentukan inflasi pada tahun 2015. Di tengah melambatnya
pertumbuhan ekonomi Riau akibat masih rendahnya kinerja sektor-sektor utama
membuat upaya pengendalian inflasi perlu dilakukan lebih baik, agar daya beli
masyarakat di tengah lesunya kondisi perekonomian tetap terjaga. Pada kelompok
administered price, komoditas tarif tenaga listrik, bensin dan rokok menjadi
komoditas pemberi andil terbesar. Sementara pada kelompok volatile food,
komoditas utama penyumbang andil inflasi di Riau adalah cabai merah, bawang
merah, beras, daging sapi dan telur ayam.
Selain komoditas-komoditas utama penyumbang andil terbesar tersebut, tantangan
dalam pengendalian inflasi adalah karakteristik Riau sebagai daerah non produsen
membuat ketergantungan yang relatif tinggi terhadap pasokan dari daerah produksi.
Gangguan produksi dan distribusi menjadi risiko yang perlu dikelola terutama
menghadapi Hari Raya Besar Keagamaan. Pada semester I-2016, faktor musiman di
Riau adalah pada periode bulan puasa dan menjelang Idul Fitri yang secara historis
memberikan tekanan inflasi yang relatif tinggi. Secara historis di 5 tahun terakhir,
rata-rata tingkat inflasi Riau di bulan puasa berada pada angka 0,85% (mtm).
Boks
Dalam upaya pengendalian inflasi di Riau, saat ini telah dibentuk Tim Pengendalian
Inflasi Daerah Provinsi Riau dan 12 TPID di tingkat Kabupaten/Kota. TPID yang terdiri dari
gabungan instansi lintas satker merupakan bentuk upaya koordinasi untuk mengatasi tekanan
inflasi dari berbagai sektor. Dari sisi penawaran, upaya peningkatan produksi dilakukan baik
dengan optimalisasi lahan yang ada maupun ekstensifikasi lahan baru. Upaya peningkatan
produksi perlu dilakukan secara komprehensif dengan meningkatkan sarana infrastruktur
pendukung seperti saluran irigasi yang banyak mengalami kerusakan. Untuk mengantisipasi
defisit pangan di Riau, perbaikan jalur distribusi berupa perbaikan jalan serta memprioritaskan
angkutan pangan mendapat perhatian untuk menjaga ketersediaan dan kelancaran pasokan.
Dari sisi permintaan, untuk menjaga harga berada pada tingkat yang wajar telah dilakukan
beberapa upaya seperti pemanfaatan pangan alternatif sagu di Riau untuk pemenuhan
karbohidrat. Selain itu himbauan terus disampaikan kepada masyarakat untuk tetap menjaga
konsumsi pada batas sewajarnya agar tidak terjadi lonjakan harga akibat kelangkaan barang.
Fungsi tata niaga sebagai intermediari antara penawaran dan permintaan juga menjadi
salah satu agenda program TPID Riau melalui percepatan proses pembangunan pasar induk
dengan referensi Pasar Kramat Jati di Jakarta dan Pasar Caringin di Bandung, monitoring
distribusi bahan pangan serta tindakan antisipasi perilaku profit taking yang dilakukan oleh para
pelaku usaha. Selain itu untuk meningkatkan pemenuhan pangan khususnya beras dari Riau,
dilakukan melalui optimalisasi Toko Tani Indonesia (TTI) sebanyak 16 outlet yang dipasok oleh
8 Gapoktan dari daerah produsen padi lokal. TPID juga secara berkala telah melakukan upaya
pengelolaan ekspektasi masyarakat melalui publikasi kegiatan seperti rapat koordinasi,
talkshow, himbauan bersama tokoh masyarakat serta iklan layanan masyarakat untuk dapat
menjaga pola konsumsi dan ekspektasi masyarakat mengenai respon kenaikan harga dan
ketersediaan pasokan.
Secara khusus untuk menghadapi periode bulan puasa serta Idul Fitri, program TPID
ditingkatkan terutama rapat koordinasi lintas satker untuk memastikan harga pangan pokok
tetap berada pada level wajar. Sebagai identifikasi awal, dilakukan inspeksi ke pasar untuk
mengetahui perkembangan harga dan analisa penyebab kenaikan harga. Untuk mengantisipasi
potensi penimbunan barang juga dilakukan inspeksi ke gudang dan pertemuan dengan para
distributor dan pedagang besar.
Sebagai respon kenaikan harga di bulan puasa, diselenggarakan operasi pasar serentak
di seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Riau yang dilaksanakan secara periodik. Pelaksanaan
difokuskan di titik-titik yang berkenaan langsung dengan masyarakat sehingga dampaknya
dapat langsung diterima oleh masyarakat. Selain itu, operasi pasar diselenggarakan
bekerjasama antar satuan kerja seperti Bulog, Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) serta
pihak swasta untuk mengakomodir komoditas-komoditas yang menjadi perhatian seperti beras,
daging, gula dan minyak goreng.
Upaya pengendalian inflasi yang dilakukan berdampak pada pencapaian inflasi Riau
yang relatif rendah di Semester I-2016. Secara spesifik untuk periode Ramadhan dan Idul Fitri
tahun 2016, inflasi yang terjadi hanya mencapai 0,43% (mtm), lebih rendah dari rata-rata inflasi
Riau di bulan puasa periode 2012-2015 yang mencapai 0,85% (mtm). Secara umum, infasi Riau
di Semester I-2016 adalah 1,92% (yoy) lebih rendah dibandingkan dengan inflasi nasional yang
mencapai 3,45% (yoy).
Tantangan pengendalian inflasi ke depan adalah dinamika perekonomian yang relatif
terjadi lebih cepat. Dalam rangka mengantisipasi tantangan tersebut, TPID Provinsi Riau akan
mengevaluasi Roadmap Pengendalian Inflasi di Riau baik di tingkat Provinsi maupun
Kabupaten/Kota. Beberapa pokok pembahasan yang akan dikaji adalah (i) peningkatan
produksi berdasarkan produk/kawasan unggulan; (ii) pengembangan infrastruktur pendukung
produksi dan distribusi pangan; (iii) pengembangan struktur pasar dan tata niaga bahan pangan
pokok; (iv) kegiatan operasi pasar dan pasar murah; (v) pengelolaan dampak penyesuaian
harga; (vi) mendorong ketersediaan informasi; dan (vii) koordinasi intensif antar SKPD. Untuk
mendukung pencapaian inflasi yang rendah dan stabil, perlu dilakukan upaya oleh segenap
pemangku kebijakan sehingga program dapat berjalan secara komprehensif.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah
52
1. Kondisi Umum
Perkembangan Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi
Riau hingga triwulan II 2016 secara umum lebih baik dibandingkan periode yang
sama pada tahun sebelumnya. Hingga triwulan II 2016 Anggaran Pendapatan
Daerah telah terealisasi sebesar 43,03% dari total yang dianggarkan, sementara itu
realisasi Anggaran Belanja Daerah telah mencapai 23,50% dari total yang
dianggarkan.
ASESMEN KEUANGAN
PEMERINTAHAAH
Bab 3
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah
53
2. Realisasi APBD Triwulan I 2016
Alokasi anggaran pendapatan daerah Provinsi Riau pada tahun 2016 secara umum
mengalami penurunan dibandingkan tahun 2015. Dari sisi pendapatan, APBD
Provinsi Riau tercatat menurun sebesar 13% (yoy), yaitu dari Rp8,72 triliun pada
tahun 2015 menjadi Rp7,58 triliun pada tahun 2016. Kondisi ini didorong oleh
penurunan rata-rata harga minyak internasional yaitu dari USD 48,68/barel di tahun
2015 menjadi USD 34,27/ barel di tahun 2016. Penurunan harga minyak dunia
tersebut berdampak terhadap penurunan Dana Bagi Hasil Provinsi Riau hingga 65%
(yoy), disamping karena adanya penurunan lifting minyak bumi akibat natural
declining. Di sisi lain, anggaran belanja pemerintah daerah pada tahun 2016 relatif
meningkat dibandingkan tahun 2015 sebesar 2,69% (yoy) yaitu dari Rp10,68 triliun
pada tahun 2015 menjadi Rp10,97 triliun pada tahun 2016. Peningkatan utamanya
berasal dari anggaran belanja transfer pemerintah Provinsi kepada pemerintah
Kabupaten/Kota.
Tabel 3.1. Ringkasan Realisasi APBD Riau Triwulan II 2015 dan Triwulan II 2016
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
Realisasi APBD pemerintah Provinsi Riau pada triwulan II 2016 khususnya belanja
pemerintah daerah relatif meningkat dibandingkan triwulan yang sama tahun
sebelumnya, sementara realisasi pendapatan daerah mengalami penurunan
meskipun tidak signifikan. Realisasi pendapatan dan belanja pemerintah Provinsi Riau
pada triwulan II 2016 masing-masing mencapai 43,03% dan 23,50% sementara
realisasi pada triwulan yang sama tahun 2015 tercatat sebesar 43,21% dan 13,21%
dari total anggaran. Rendahnya realisasi belanja pemerintah selama dua tahun
terakhir disinyalir juga menjadi dorongan bagi pemerintah daerah untuk
mempercepat realisasi APBD khususnya dari sisi belanja daerah pada tahun 2016.
Anggaran (Rp Miliar) Realisasi % Anggaran (Rp Miliar) Realisasi %
Pendapatan Daerah 8.721,57 3.768,55 43,21% 7.588,65 3.265,04 43,03%
Belanja Daerah 10.683,97 1.411,56 13,21% 10.972,07 2.578,12 23,50%
Pembiayaan Daerah 1.962,40 0,75 0,04% 3.383,43 3.131,90 92,57%
Surplus / (Defisit) -1.962,40 2.356,99 -120,11% -3.383,43 686,91 -20,30%
Triwulan II 2015 Triwulan II 2016Uraian
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah
54
2.1. Realisasi Pendapatan Realisasi pendapatan daerah Provinsi Riau hingga triwulan II 2016 tercatat sebesar
43,03%, menurun dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang
tercatat sebesar 43,21%. Penurunan realisasi pendapatan didorong oleh penurunan
realisasi kelompok pendapatan asli daerah (PAD).
Komponen utama yang mendorong penurunan realisasi PAD berasal dari realisasi
pajak daerah yang baru mencapai Rp992,57 miliar atau sebesar 35,89% dari total
yang dianggarkan pada tahun 2016, yaitu sebesar Rp2,76 triliun. Realisasi ini lebih
rendah jika dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya yang
mencapai Rp1,21 triliun atau sebesar 41,48% dari total yang dianggarkan.
Penurunan realisasi pendapatan pajak daerah salah satunya diperkirakan bersumber
dari penurunan realisasi pajak Keterangan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
(BBNKB) yang tidak sesuai target, yang sampai dengan triwulan II 2016 realisasi pajak
BBNKB tercatat sebesar Rp298,90 miliar atau 39,12% dari target sebesar Rp764,12
miliar. Realisasi ini lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama pada
tahun sebelumnya, dimana pada akhir triwulan II 2016 realisasi pajak BBNKB tercatat
sebesar Rp379,67 miliar atau sebesar 41,84% dari target sebesar Rp907,48 miliar.
Masih rendahnya realisasi dari pajak BBNKB diperkirakan karena penurunan jumlah
kendaraan baru di Provinsi Riau yang disebabkan daya beli masyarakat yang menurun
akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi secara nasional pada tahun 2016.
Tabel 3.2. Ringkasan Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Riau
Triwulan II Tahun 2015 dan 2016
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
Anggaran Realisasi % Anggaran Realisasi %
PENDAPATAN DAERAH 8.721,57 3.768,54 43,21 7.588,64 3.265,03 43,03
PENDAPATAN ASLI DAERAH 3.656,36 1.508,82 41,27 3.495,55 1.280,19 36,62
Pajak Daerah 2.924,92 1.213,18 41,48 2.765,55 992,57 35,89
Retribusi Daerah 24,37 8,66 35,54 11,00 4,39 39,91
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 208,54 130,64 62,64 218,00 1,46 0,67
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah 498,52 156,33 31,36 501,00 281,76 56,24
DANA PERIMBANGAN 4.196,34 1.820,73 43,39 4.085,27 1.978,68 48,43
Pendapatan Dana Bagi Hasil Pajak 559,67 475,56 84,97 877,34 427,98 48,78
Pendapatan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam 2.903,25 939,78 32,37 1.015,83 444,11 43,72
Pendapatan Dana Alokasi Umum 654,22 381,63 58,33 737,74 430,35 58,33
Pendapatan Dana Alokasi Khusus 79,20 23,76 30,00 1.454,36 676,23 46,50
Dana Penyesuaian 868,88 439,00 50,53 5,00 5,00 100,00
LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH 868,88 438,99 50,52 7,82 6,16 78,77
Tw II 2015 Tw II 2016Uraian (Miliar Rupiah)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah
55
Sementara itu, pendapatan yang berasal dari Dana Perimbangan hingga triwulan II
2016 tercatat mencapai Rp1,97 triliun atau sebesar 48,43% dari total yang
dianggarkan. Realisasi ini relatif meningkat dibandingkan periode yang sama pada
tahun sebelumnya yang terealisasi sebesar Rp1,82 triliun atau 43,39% dari total yang
dianggarkan. Peningkatan realisasi Dana Perimbangan berasal dari komponen
pendapatan dana alokasi khusus dimana pada triwulan II 2016 tercatat realisasi
sebesar Rp 676,23 miliar atau sebesar 46,50% dari yang dianggarkan. Jumlah ini
meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya dimana Dana Alokasi
Khusus hanya terealisasi sebesar Rp 23,76 miliar atau 30% dari yang dianggarkan.
Adanya peningkatan pendapatan dari Dana Alokasi Khusus sejalan dengan beberapa
proyek pemerintah pusat di Provinsi Riau, diantaranya proyek jalan tol Pekanbaru-
Dumai dan pembangunan jalur lintas kereta api trans-sumatera. Penurunan
pendapatan daerah yang berasal dari Dana Bagi Hasil sumber daya alam diperkirakan
mencapai 65% pada tahun 2016 dibandingkan tahun 2015. Kondisi ini terjadi akibat
penurunan harga minyak dunia dan faktor penurunan produksi yang disebabkan
oleh kondisi sumur yang semakin tua (natural declining).
2.2. Realisasi Belanja
Realisasi anggaran belanja Provinsi Riau pada triwulan II-2016 tercatat sebesar Rp
2,57 triliun atau sebesar 23,50% dari total alokasi anggaran. Total belanja langsung
pada tahun 2016 secara umum menurun dibandingkan tahun 2015, khususnya pada
komponen belanja barang dan jasa, serta belanja modal. Belanja barang dan jasa
pada tahun 2016 dianggarkan sebanyak Rp2,7 triliun, lebih rendah dibandingkan
tahun 2015 yang dianggarkan sebanyak Rp3,10 triliun. Sementara itu, belanja modal
yang dianggarkan pada tahun 2016 adalah sebesar Rp2,53 triliun, juga menurun jika
dibandingkan tahun 2015 yang sebesar Rp2,90 triliun. Penurunan alokasi anggaran
diperkirakan akibat penyesuaian terhadap menurunnya pendapatan di tahun 2016.
Di sisi lain, rencana anggaran kelompok belanja tidak langsung pada tahun 2016
cenderung meningkat dibandingkan tahun 2015, yaitu dari Rp4,40 triliun menjadi
Rp5,38 triliun. Peningkatan ini didorong oleh peningkatan pada belanja hibah,
belanja bagi hasil kepada pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa, serta
belanja pegawai. Kondisi ini diperkirakan akibat adanya peningkatan UMP dan UMK
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah
56
di tahun 2016 serta fokus pemerintahan di tahun 2016 yang lebih menitikberatkan
pada percepatan pembangunan di pedesaan.
Tabel 4.3. Ringkasan Realisasi Belanja Daerah Provinsi Riau Tw II 2015 dan Tw II 2016
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
Realisasi anggaran belanja pemerintah Provinsi Riau pada awal tahun 2016 tercatat
sebesar Rp2,57 triliun atau 23,50% dari total belanja sebesar Rp10,97 triliun yang
dianggarkan dalam APBD 2016. Kondisi ini menunjukkan peningkatan yang cukup
signifikan jika dibandingkan dengan realisasi belanja daerah pada triwulan II tahun
2015 yang tercatat sebesar Rp 1,41 triliun atau 13,21% dari total belanja sebesar
Rp10,68 triliun pada APBD 2015. Penyerapan anggaran belanja daerah baik belanja
langsung dan belanja tidak langsung mengalami kenaikan yang cukup signifikan jika
dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya. Pada triwulan II 2016
ini realisasi belanja tidak langsung di Provinsi Riau tercatat sebesar Rp2,57 triliun atau
sebesar 30,65% dari total anggaran belanja tidak langsung sebesar Rp5,38 triliun,
kondisi ini meningkat jika dibandingkan dengan realisasi belanja tidak langsung pada
triwulan II 2015 yang baru mencapai 21,04% dari anggaran belanja tidak langsung.
Meningkatnya realisasi belanja tidak langsung pada triwulan II 2016 bersumber dari
belanja hibah dan belanja bagi hasil yang masing-masing tercatat sebesar Rp638,96
miliar dan Rp451,41 miliar atau 49,39% dan 35,17% dari anggaran belanja hibah
dan belanja bagi hasil untuk tahun 2016. Kondisi ini lebih baik dibandingkan periode
yang sama pada tahun 2015 dimana realisasi belanja hibah dan belanja hasil hanya
sekitar 40,58% dan 2,77%.
Anggaran Realisasi % Anggaran Realisasi %
BELANJA DAERAH 10.683,97 1.411,55 13,21 10.972,07 2.578,12 23,50
BELANJA TIDAK LANGSUNG 4.402,19 926,22 21,04 5.388,35 1.651,76 30,65
Belanja Pegawai 1.122,75 390,88 34,81 1.202,95 496,42 41,27
Belanja Bunga - - - - -
Belanja Subsidi - - - - - -
Belanja Hibah 1.070,65 434,44 40,58 1.293,61 638,96 49,39
Belanja Bantuan Sosial 7,18 - - 10,00 4,88 48,80
Belanja Bagi Hasil 1.159,15 32,09 2,77 1.283,58 451,41 35,17
Belanja Bantuan Keuangan 1.032,47 68,88 6,67 1.580,21 60,07 3,80
Belanja Tidak Terduga 10,00 - - 18,00 - -
BELANJA LANGSUNG 6.281,78 485,33 7,73 5.583,72 926,36 16,59
Belanja Pegawai 272,81 76,92 28,20 340,56 105,11 30,86
Belanja Barang dan Jasa 3.107,85 264,04 8,50 2.711,04 502,92 18,55
Belanja Modal 2.901,12 144,31 4,97 2.532,12 318,33 12,57
Uraian (Miliar Rupiah)Triwulan II 2015 Triwulan II 2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah
57
Sementara itu Belanja Langsung terealisasi sebesar Rp 926,36 miliar atau 16,59%
dari Rp5,58 triliun yang dianggarkan. Realisasi ini lebih baik jika dibandingkan
dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya yakni sebesar Rp485,33 miliar
atau sebesar 7,73% dari yang dianggarkan sebesar Rp 6,28 triliun. Meningkatnya
realisasi belanja langsung tersebut, bersumber dari realisasi belanja modal dan
belanja barang dan jasa di triwulan II tahun 2016 yang tercatat relatif meningkat
dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Hingga Juni 2016,
realisasi belanja modal pemerintah Provinsi Riau tercatat mencapai Rp318,33 miliar,
lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun 2015 yang baru mencapai
Rp144,31 miliar. Selanjutnya, realisasi belanja barang dan jasa hingga akhir Juni 2016
mencapai Rp502,92 miliar, lebih tinggi dibandingkan realisasi pada periode yang
sama di tahun sebelumnya yang mencapai Rp264,04 miliar.
Meskipun relatif lebih baik dibanding tahun sebelumnya, realisasi belanja pemerintah
Provinsi Riau hingga akhir tahun 2016 masih perlu mendapat perhatian serius.
Adapun kendala dalam realisasi belanja APBD di Provinsi Riau antara lain:
1. Keterlambatan pengesahan APBD Kabupaten / Kota / Provinsi, termasuk
keterlambatan Daerah dalam menetapkan Perda APBD dan terlambatnya
penyusunan dan penetapan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD;
2. Belum kuatnya manajemen keuangan daerah, dan masih lemahnya
pemantauan pelaksanaan program/ kegiatan dengan belum diberlakukannya
reward dan punishment bagi SKPD yang tidak dapat memenuhi target
penyerapan;
3. Belum memadainya kemampuan manajemen pelaksanaaan proyek, antara lain
kurangnya koordinasi pelaksanaan kegiatan pembangunan di daerah, dan
keterbatasan SDM terkait dengan persiapan teknis, penyusunan RAB, dan
desain konstruksi atas pekerjaan fisik.
4. Tingginya pertukaran Pejabat Pengelola Keuangan pada awal tahun anggaran.
5. Pemerintah Daerah sangat berhati-hati dalam melaksanaan pengadaan barang
dan/atau jasa melalui lelang di daerah, sehingga terkadang proses lelang
mengalami keterlambatan. Proses pengadaan barang dan/atau jasa dapat
terhambat karena:
a. Tidak terdapat tenaga ahli (PPK) yang memadai pada masing-masing
satker, kurangnya personil yang mempunyai sertifikasi pengadaan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah
58
barang dan jasa; termasuk Keengganan pegawai untuk ditunjuk
menjadi PPK karena takut terjerat kasus hukum oleh oknum di
kepolisian dan kejaksaan.
b. belum ditetapkannya pengelola anggaran dan pengelola kegiatan/
pengadaan;
c. perencanaan pengadaan yang mengalami keterlambatan, meliputi
penetapan jadwal pengadaan, penyusunan dan penetapan dokumen
pengadaan, serta pengumuman pengadaan.
6. Terdapatnya double penganggaran antara pemerintah pusat dan
daerah terhadap kegiatan yang sama sehingga anggaran tidak terserap
dengan maksimal.
7. Kurang baiknya perencanaan anggaran yang berdampak terhadap
adanya revisi anggaran di pertengahan tahun. Hal ini biasanya akan
menyebabkan program dan kegiatan dimana program dan kegiatan
yang belum/tidak direncanakan sebelumnya tidak dapat dilaksanakan
pada awal tahun anggaran, karena harus menunggu perubahan
anggaran (APBD-P).
Solusi yang ditempuh agar penyerapan APBD di Provinsi Riau lebih maskimal
kedepannya antara lain :
1. Menyusun rencana penyerapan anggaran (disbursement plan) yang
sinkron dengan rencana pengadaan (procurement plan).
2. Mengurangi pertukaran Pejabat Pengelola Keuangan di awal tahun
anggaran sehingga kelancaran pelaksanaan anggaran pada tahun
berjalan dapat dilakukan dengan baik.
3. Komitmen dan kesepakatan antara legislatif dan yudikatif terhadap
pentingnya ketepatan waktu dalam penyusunan anggaran.
4. Penyusunan program di daerah berpatokan pada RPJMD dengan
mengacu kepada RPJMN.
Pada tanggal 27 Juni 2016, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA)
Provinsi Riau melaksanakan Rapat Koordinasi Revisi RPJMD Provinsi Riau Tahun 2014-
2019. Rapat ini bertujuan untuk melakukan penyempurnaan terhadap dimensi revisi
RPJMD dan penyesuaian terhadap regulasi, diantaranya terkait dengan Undang-Undang
23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah beserta revisinya, pergeseran asumsi
kemampuan keuangan yang signifikan, penyesuaian target, penetapan RPJMN 2015-
2019 dan Nawacita, revisi RPJPD Provinsi Riau 2005-2025, penyesuaian kebijakan
kewilayahan, perubahan pola perhitungan IPM, ringkasan struktur keuangan
unbalanced, koreksi indikator dan penetapan sasaran daerah, keselarasan antara isu,
arah kebijakan, program serta target yang ditetapkan. Selanjutnya fokus pembangunan
jangka panjang tahap PJMD ke 3 dengan mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi
pada tingkat 2-3%, IPM pada indeks 73, tingkat kemiskinan menurun 7-8% dengan
prioritas wilayah pedesaan, indeks gini 0,3, pengendalian inflasi hingga mencapai 3-4%
per tahun serta berkurangnya disparitas antar wilayah.
Adapun beberapa saran dan masukan dari stakeholder diantaranya adalah sebagai
berikut:
Melakukan percepatan pengesahan RTRW,
Mencari alternative pengganti sektor migas,
Pemerintah Provinsi Riau melalui Dinas Pendidikan diminta merumuskan
konsep pendidikan gratis,
Membuka keterisoliran daerah-daerah terpencil di kabupaten/Kota,
Melakukan transparansi pengelolaan pemerintahan dengan menggunakan
informasi tekhnologi, perlu adanya langkah kongkrit tingkat implementasi yang
jelas terhadap pelaksanaan kerjasama daerah PEKANSIKAWAN serta
menjadikan pariwisata sebagai salah satu sektor prioritas,
Penguatan restorasi gambut di Kabupaten Kepulauan Meranti,
Penguatan kerjasama daerah SIAPBEDELAU
Sumber: BAPPEDA Provinsi Riau
Boks
Revisi Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) Provinsi Riau Tahun 2014-2019
Penguatan pariwisata Kabupaten Siak,
Pengembangan industri hilir produk perkebunan sawit di Kabupaten Rokan Hulu dapat
memperkecil disparitas antar wilayah, dan
Pengurangan terhadap angka kemiskinan dan tingkat pengangguran dan perlu
dibangunnya sistem pelayanan kesehatan yang terintegrasi dengan memanfaatkan
informasi teknologi.
Sejalan dengan revisi RPJPD Provinsi Riau tahun 2005-2025, terdapat pergeseran
pencapaian target-target indikator ekonomi makro, perlunya peningkatan agroindustri,
perumusan alternatif baru pengganti migas dan perkebunan ke arah sektor lainnya
seperti sektor pariwisata berbasis budaya. Peningkatan sektor pariwisata secara
langsung akan berdampak pada perkembangan sektor rill secara swadaya masyarakat,
serta perputaran likuditas atau uang beredar di masyarakat menjadi lebih tinggi
sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Selain pengembangan sektor
alternatif, diperlukan pengembangan kawasan industri berbentuk ekonomi khusus
dengan adanya kekhususan produk industri yang ditonjolkan dan terintegrasi dengan
fasilitas perhubungan yang memadai. Beberapa fasilitas infrastruktur perhubungan
yang perlu dikembangkan secara intensif antara lain pelabuhan Kuala Enok, Tanjung
Buton, dan Dumai, pembangunan tol dan railway Pekanbaru Dumai, sekaligus
pengembangan Dumai sebagai salah satu titik pengembangan tol laut di wilayah pesisir
pulau Sumatera yang juga berbatasan langsung dengan Negara tetangga Singapura
dan Malaysia.
Sumber: BAPPEDA Provinsi Riau
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
59
1. Kondisi Umum Perbankan
Kinerja perbankan di Provinsi Riau pada triwulan II-2016 mengalami penurunan
dibandingkan dengan triwulan I-2016 yang tercermin dari menurunnya
pertumbuhan Aset, penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK), namun hal ini
berbanding terbalik dengan penyaluran Kredit yang justru mengalami pertumbuhan,
seiring dengan meningkatnya perekonomian. Pada triwulan II-2016 aset perbankan
tercatat mencapai Rp88,40 triliun, mengalami penurunan dari kontraksi 6,50% (yoy)
pada triwulan sebelumnya menjadi kontraksi lebih dalam sebesar 11,28% (yoy).
Sementara, DPK pada triwulan laporan tercatat sebesar Rp66,52 triliun, juga
menurun dari kontraksi 5,77% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi kontraksi
lebih dalam sebesar 6,66% (yoy) pada triwulan II 2016.
Bab 4 STABILITAS KEUANGAN
DAERAH, PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN dan
UMKM
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
60
Berbanding terbalik dengan perkembangan aset dan DPK yang mengalami
penurunan, penyaluran kredit pada triwulan II-2016 mengalami perbaikan jika
dibandingkan triwulan I-2016, yaitu dari 7,33% (yoy) tumbuh menjadi 7,94% (yoy)
dengan nilai mencapai Rp59,28 triliun. Seiring dengan membaiknya pertumbuhan
kredit, kualitas kredit yang disalurkan perbankan di provinsi Riau juga mengalami
perbaikan. NPL perbankan di triwulan II-2016 tercatat lebih rendah dibandingkan
dengan NPL di triwulan I-2016 dari 4,23% menjadi 4,14%. Sejalan dengan
penurunan pertumbuhan DPK yang diikuti pertumbuhan kredit yang mulai membaik,
LDR perbankan berada pada level 89,11% yang mencerminkan bahwa masih cukup
terjaganya likuiditas perbankan di Provinsi Riau.
Tabel 4.1. Perkembangan Indikator Perbankan di Provinsi Riau (RpJuta)
Sumber : Bank Indonesia
2. Perkembangan Bank Umum
2.1. Perkembangan Aset
Pada triwulan II 2016, aset bank umum di Provinsi Riau tercatat sebesar Rp87,15
triliun mengalami kontraksi sebesar 11,48% (yoy) menurun dibandingkan triwulan I
2016 yang mengalami kontraksi sebesar 6,65% (yoy). Jika dilihat secara triwulanan
aset bank umum mengalami ekspansi sebesar 3,12% (qtq) menurun dibandingkan
triwulan sebelumnya yang mengalami ekspansi sebesar 3,46% (qtq).
I II III IV I II Tw I 2016 Tw II 2016
Aset (Rp Juta) 91.724.376 99.637.187 96.510.233 82.914.524 85.760.926 88.403.026 (6,50) (11,28)
- Bank Umum 90.534.888 98.451.429 95.323.470 81.686.208 84.514.141 87.150.773 (6,65) (11,48)
- BPR/S 1.189.489 1.185.757 1.186.762 1.228.315 1.246.785 1.252.252 4,82 5,61
Kredit (Rp Juta) 53.266.023 54.923.581 55.863.081 57.445.328 57.169.102 59.283.067 7,33 7,94
- Bank Umum 52.401.716 54.012.485 54.946.577 56.538.247 56.252.232 58.325.238 7,35 7,98
- BPR/S 864.307 911.096 916.504 907.081 916.870 957.829 6,08 5,13
Kredit UMKM (Rp Juta) 19.809.940 20.212.276 19.894.360 19.884.668 19.905.368 20.633.645 0,48 2,08
Dana Pihak Ketiga (Rp Juta) 67.372.858 71.278.108 70.070.676 62.927.349 63.483.576 66.527.545 (5,77) (6,66)
- Bank Umum 66.525.297 70.420.859 69.189.487 62.050.178 62.588.183 65.616.219 (5,92) (6,82)
- BPR/S 847.560 857.250 881.188 877.171 895.392,67 911.325,21 5,64 6,31
LDR 79,06% 77,06% 79,72% 91,29% 90,05% 89,11%
NPL 3,82% 4,33% 4,50% 3,86% 4,23% 4,14%
- Bank Umum 3,64% 4,16% 4,34% 3,71% 4,07% 3,98%
- BPR/S 14,45% 13,84% 14,39% 12,92% 14,08% 13,76%
(yoy, %)2015 2016Indikator
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
61
Grafik 4.1. Perkembangan Aset Bank Umum di Provinsi Riau
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.2. Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kelompok
Sumber : Bank Indonesia
Berdasarkan kepemilikannya, menurunnya pertumbuhan aset bank umum pada
triwulan laporan terutama bersumber dari kontraksi aset kelompok bank umum
pemerintah sebesar 16,05% (yoy), lebih dalam dibandingkan kontraksi di triwulan
sebelumnya sebesar 9,64% (yoy). Sementara pertumbuhan aset bank swasta
mengalami pertumbuhan sebesar 1,74% (yoy) lebih baik dibandingkan triwulan
sebelumnya yang hanya tumbuh sebesar 1,40% (yoy). Pangsa aset bank umum
pemerintah masih tetap mendominasi dengan share 70,48% mengalami penurunan
dibandingkan triwulan sebelumnya dengan share 70,57%.
Grafik 4.3. Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.4. Pangsa Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank
Sumber : Bank Indonesia
Selanjutnya, jika dilihat berdasarkan kegiatannya, aset bank umum konvensional
(pangsa 93,44%) pada triwulan II-2016 tercatat mengalami kontraksi sebesar
13,05% (yoy) dengan nilai mencapai Rp81,43 triliun menurun dibanding triwulan
sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 7,37% (yoy) dengan nilai mencapai
Rp79,61%. Namun berbeda dengan kinerja bank umum syariah (pangsa 6,56%), di
-20
-10
0
10
20
30
0
20
40
60
80
100
120
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Persen (%)Rp Triliun Aset g - yoy (RHS)
20
40
60
80
100
120
10
20
30
40
50
60
70
80
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Rp Triliun Pemerintah Swasta Total (RHS)
20
40
60
80
100
120
10
20
30
40
50
60
70
80
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Rp Triliun Pemerintah Swasta Total (RHS)
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Persen (%) Konvensional Syariah
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
62
tengah perlambatan pertumbuhan aset bank umum konvensional, kinerja bank
umum syariah masih tercatat cukup baik dengan aset yang tumbuh sebesar 19,14%
(yoy) dengan nilai mencapai Rp5,72 triliun, membaik dibanding dengan triwulan
sebelumnya yang tumbuh sebesar 6,84% (yoy) dengan nilai mencapai Rp 4,91 triliun.
2.2. Perkembangan Dana Pihak Ketiga (DPK)
Penghimpunan DPK oleh bank umum di Provinsi Riau pada triwulan II-2016 tercatat
mengalami kontraksi sebesar 6,82% (yoy). Penurunan kinerja tersebut melanjutkan
perlambatan pertumbuhan DPK yang terjadi mulai triwulan I 2015. Terkontraksinya
DPK pada triwulan II 2016 bersumber dari Deposito (pangsa 35,08%) yang
terkontraksi lebih dalam yaitu dari kontraksi 9,45% (yoy) menjadi kontraksi 16,08%
(yoy) di triwulan II-2016, dan komponen Giro (pangsa 17,82%) yang terkontraksi
sebesar 23,59% (yoy), menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yang
terkontraksi 21,17% (yoy). Sementara itu Tabungan (pangsa 47,10%) mengalami
peningkatan pertumbuhan yang cukup signifikan dari 5,73% (yoy) di triwulan I-2016
menjadi 11,61% (yoy) di Triwulan II-2016.
Grafik 4.5. Perkembangan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.6. Pertumbuhan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan
S Sumber : Bank Indonesia
Deposito yang terkontraksi lebih dalam disebabkan oleh Deposito milik Pemerintah
Daerah yang terkontraksi semakin dalam dari kontraksi 47,67% (yoy) menjadi
kontraksi 63,16% (yoy) di triwulan II-2016. Kondisi ini menunjukkan Pemerintah
Daerah dan Badan banyak melakukan penarikan sejumlah dana yang disimpan dalam
bentuk Deposito, hal ini terkait dengan percepatan realisasi anggaran APBD pada
triwulan II-2016. Sementara penurunan pertumbuhan Giro disebabkan oleh
menurunnya Giro di sektor Pemerintah Daerah yang mengalami kontraksi semakin
dalam yakni dari kontraksi 43,27% (yoy) menjadi kontraksi 56,07% (yoy) pada
5
10
15
20
25
30
35
10
20
30
40
50
60
70
80
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
RpTriliun DPK Giro Tabungan Deposito
-40
-20
0
20
40
60
80
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II
2012 2013 2014 2015 2016
Persen (%)Giro Tabungan Deposito DPK
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
63
triwulan II-2016. Terjadinya kontraksi giro pemerintah daerah pada triwulan I-2016
dan triwulan II-2016 merupakan efek dari diberlakukannya Peraturan Menteri
Keuangan No.235/PMK.07/2015 perihal Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil
dan/atau Dana Alokasi Umum Dalam Bentuk Non Tunai dimana sejak PMK tersebut
diberlakukan, Dana Bagi Hasil (DBH) atau Dana Alokasi Umum (DAU) yang selama
ini disalurkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam bentuk dana tunai
berubah kedalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Di sisi lain, Tabungan
menunjukkan tren pertumbuhan dari triwulan I-2015 hingga triwulan II-2016
meskipun pertumbuhan di triwulan laporan relatif belum signifikan. Kondisi ini
mencerminkan masih cukup rendahnya daya beli masyarakat dan ekspektasi kondisi
perekonomian yang masih rendah sehingga masyarakat cenderung berjaga-jaga
menyimpan dananya dalam bentuk tabungan di perbankan.
Tabel 4.2. Perkembangan DPK di Provinsi Riau Menurut Kepemilikan (RpMiliar)
Sumber : Bank Indonesia
2.3. Perkembangan Penyaluran Kredit
Pada triwulan II-2016, kredit yang disalurkan oleh bank umum di Provinsi Riau
tercatat sebesar Rp58,33 triliun. Jumlah ini tumbuh sebesar 7,98% (yoy), lebih baik
jika dibandingkan dengan triwulan I-2016 yang tumbuh sebesar 7,35%(yoy).
Perbaikan penyaluran kredit menunjukkan mulai meningkatnya permintaan kredit
pada triwulan laporan, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi
meskipun masih terbatas.
I II III IV I II
Pemerintah 16.103 17.859 16.726 6.254 9.396 8.065 -54,84
Pemerintah Pusat 291 294 335 360 431 412 40,29
Pemerintah Daerah 13.832 15.818 14.341 4.094 7.634 6.467 -59,12
Badan/ Lembaga Pemerintah 106 102 114 130 165 164 60,19
Badan Usaha Milik Negara 1.820 1.602 1.768 1.525 1.038 907 -43,41
Badan Usaha Milik Daerah 53 43 168 144 129 116 168,78
Swasta 8.093 9.256 8.165 9.133 7.734 8.175 -11,68
Perusahaan Asuransi 84 67 80 85 82 69 3,36
Perusahaan Swasta 7.001 8.189 7.051 7.836 6.561 6.949 -15,14
Yayasan dan Badan Sosial 793 783 820 922 848 887 13,33
Koperasi 214 218 214 290 242 269 23,64
Lainnya 3 3 3 2 3 3 -7,33
Perorangan 42.326 43.302 44.295 46.661 45.455 49.374 14,02
RpMiliar2016
g - yoy2015
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
64
Grafik 4.7. Perkembangan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.8. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan
S Sumber : Bank Indonesia
Membaiknya penyaluran kredit pada triwulan II-2016 bersumber dari membaiknya
penyaluran kredit pada sektor pemerintah yang tumbuh sebesar 14,40% (yoy) lebih
baik jika dibandingkan triwulan I-2016 sebesar 13,65 (yoy). Membaiknya penyaluran
kredit juga ditopang oleh membaiknya penyaluran kredit di sektor swasta yang
mengalami kenaikan walaupun masih mengalami kontraksi sebesar 4,43% (yoy)
pada triwulan laporan, namun masih lebih baik jika dibandingkan triwulan
sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 4,50% (yoy). Sementara itu
berdasarkan jenis penggunaanya, kredit investasi (pangsa 30,13%) mengalami
perlambatan yaitu dari tumbuh 2,91% (yoy) di triwulan I 2016 menjadi 2,60% (yoy)
di triwulan II-2016 dengan nilai mencapai Rp17.57 triliun. Sementara kredit modal
kerja (pangsa 31,98%) mengalami perbaikan jika dibandingkan triwulan sebelumnya
yaitu dari 8,77% (yoy) di triwulan I 2016 tumbuh menjadi 11,01% (yoy) di triwulan
II 2016 dengan nilai mencapai Rp 18,65 triliun. Hal ini juga diikuti oleh membaiknya
kredit konsumsi (pangsa 37,90%) yang tumbuh dari 9,97% (yoy) di triwulan I-2016
menjadi 10,05% (yoy) di triwulan II-2016 dengan nilai mencapai Rp22,10 triliun.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka penyaluran kredit produktif di triwulan II-2016
mencapai Rp36,22 triliun atau tumbuh sebesar 6,76% (yoy).
0
10
20
30
40
50
60
70
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Rp TriliunModal kerja Investasi Konsumsi Produktif Total
-10
-5
0
5
10
15
20
25
30
35
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Persen (%) Modal kerja InvestasiKonsumsi ProduktifTotal
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
65
Grafik 4.9. Perkembangan Kredit Berdasarkan Kelompok dan Valuta
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.10. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Kelompok dan Valuta
S Sumber : Bank Indonesia
Perlambatan kredit terjadi pada penyaluran kredit valas sementara kredit dalam mata
uang Rupiah mengalami pertumbuhan. Kredit rupiah mencapai Rp57,49 triliun,
tumbuh 8,78% (yoy) meningkat jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang
tumbuh 7,99% (yoy). Sementara kredit valas mencapai Rp 832,99 miliar, mengalami
kontraksi yang semakin dalam sebesar 28,15% (yoy) jika dibandingkan triwulan
sebelumnya yang terkontraksi sebesar 21,52% (yoy).
3. Intermediasi dan Risiko Perbankan
Fungsi intermediasi bank umum di Provinsi Riau pada triwulan II-2016 mengalami
penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, namun masih lebih baik jika
dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya. Menurunnya
fungsi intermediasi tercermin dari nilai Loan to Deposit Ratio (LDR) yaitu sebesar
88,89% yang sebelumnya di triwulan I-2016 tercatat sebesar 89,88%. Namun
demikian, nilai LDR tersebut masih dibawah 100% yang menunjukkan bahwa risiko
likuiditas pada kondisi yang masih terjaga dan adanya sikap kehati-hatian perbankan
dalam penyaluran kredit.
Grafik 4.11. Perkembangan LDR di Provinsi Riau
Sumber : Bank Indonesia
0
1
2
3
0
10
20
30
40
50
60
70
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Rptriliun
Pemerintah Swasta Rupiah Valas (Kanan)
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
-10
-5
0
5
10
15
20
25
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Persen (%)Persen (%)
Pemerintah Swasta Rupiah Valas (Kanan)
74
76
78
80
82
84
86
88
90
92
94
10
20
30
40
50
60
70
80
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Persen (%)Rp Triliun
DPK Kredit LDR (Kanan)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
66
NPL kredit bank umum pada periode laporan menunjukkan penurunan dibandingkan
triwulan sebelumnya yaitu dari 4,07% menjadi 3,98%. Tingkat NPL kredit bank
umum yang menurun menunjukkan trend perbaikan kualitas kredit yang disalurkan
bank umum di Provinsi Riau dalam kurun 3 bulan terakhir. Dengan demikian kualitas
kredit di Provinsi Riau masih berada di bawah batas kewajaran yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia (5%) namun perlu menjadi perhatian oleh perbankan, mengingat
kecenderungan NPL dapat meningkat di triwulan berikutnya.
Grafik 4.12. Perkembangan Non Performing Loan (NPL) di Provinsi Riau
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.13. Perkembangan NPL Sektoral di Provinsi Riau Triwulan II-2016
S Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.14. Pangsa NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Triwulan II-2016
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.15. NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Triwulan II-2016
S Sumber : Bank Indonesia
Dilihat dari sektor ekonominya, NPL tertinggi masih dialami oleh sektor konstruksi
yaitu sebesar 8,05%, menurun dibandingkan triwulan I 2016 yang sebesar 9,48%.
Beberapa sektor lain yang memilki NPL cukup tinggi pada periode laporan ini adalah
sektor perdagangan sebesar 6,52% dan sektor pengangkutan 4,61%. Pada kedua
sektor tersebut angka NPL juga tercatat menunjukkan penurunan jika dibandingkan
triwulan sebelumnya.
1
2
3
4
5
-
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1,40
1,60
1,80
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Persen (%)RpTriliun
Kurang lancar Diragukan Macet Diragukan
0
2
4
6
8
10
Pe
rtan
ian
Pe
rtam
ban
gan
Pe
rin
du
stri
an
List
rik,
gas
dan
..
Ko
nst
ruks
i
Pe
rdag
anga
n, r
es.
.
Pe
nga
ngk
uta
n, p
er.
.
Jasa
Lain
nya
4,25
1,501,05 0,79
8,05
6,52
4,61 4,28
2,33
Persen (%)
24,57
0,26
1,14
0,07 6,41
35,85
2,74
6,71
22,25
Pertanian
Pertambangan
Perindustrian
Listrik, gas dan air
Konstruksi
Perdagangan, resto dan hotel
Pengangkutan, pergudangan
Jasa
Lainnya
-50
0
50
100
150
200
250
300
350
Pe
rtan
ian
Pe
rtam
ban
gan
Pe
rin
du
stri
an
List
rik,
gas
dan
air
Ko
nst
ruks
i
Pe
rdag
, re
sto
..
Pe
nga
ngk
uta
n, p
e..
Jasa
Lain
nya
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
67
4. Stabilitas Sistem Keuangan
4.1. Ketahanan Sektor Korporasi Daerah
Penyerapan kredit di Provinsi Riau pada triwulan II 2016 masih didominasi oleh sektor
pertanian dan perdagangan yang memiliki pangsa masing-masing 23,03% dan
21,88% dengan nilai kredit masing-masing sebesar Rp13,43 triliun dan Rp12,76
triliun. Tingginya penyerapan kredit pada sektor tersebut tidak terlepas dari masih
prospektifnya sektor tersebut di Provinsi Riau. Penyaluran kredit kepada sektor
pertanian masih didominasi oleh subsektor perkebunan kelapa sawit dengan pangsa
93,00%dari total kredit sektor pertanian atau sebesar Rp12,49 triliun. Sedangkan
subsektor perdagangan didominasi oleh subsektor perdagangan eceran makanan,
minuman dan tembakau dengan pangsa 18,46% dari total kredit sektor
perdagangan atu sebesar Rp2,36 triliun.
Pada triwulan II 2016 penyaluran kredit kepada sektor pertanian membaik yaitu
tercatat tumbuh sebesar 13,11% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan I 2016
yang tumbuh sebesar 9,57% (yoy), begitu pula dengan penyaluran kredit di sektor
perdagangan yang turut tumbuh sebesar 11,28% (yoy) di triwulan II 2016, membaik
jika dibandingkan dengan triwulan I 2016 yang tumbuh sebesar 8,71% (yoy).
Tabel 4.3. Kredit Lokasi Bank Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau (RpTriliun)
Sumber : Bank Indonesia
Meningkatnya penyaluran kredit sektor pertanian utamanya didorong oleh
peningkatan subsektor perkebunan kelapa sawit yang pada triwulan II 2016
tumbuh sebesar 15,51% (yoy) lebih baik dibanding triwulan sebelumnya yang
tumbuh sebesar 13,47% (yoy). Sementara meningkatnya penyaluran kredit
sektor perdagangan utamanya didorong oleh peningkatan sub sektor
I II III IV I II
Pertanian 11,45 11,87 12,14 12,62 12,54 13,43 23,03 13,11
Pertambangan 0,39 0,50 0,42 0,45 0,36 0,40 0,68 (20,47)
Perindustrian 2,14 2,26 2,28 2,31 2,43 2,52 4,31 11,48
Listrik, gas dan air 0,11 0,10 0,11 0,22 0,21 0,20 0,34 90,69
Konstruksi 1,76 1,88 2,14 1,90 1,73 1,85 3,17 (1,41)
Perdag, resto dan hotel 11,20 11,47 11,48 12,04 12,18 12,76 21,88 11,28
Pengangkutan, pergud 1,62 1,57 1,55 1,51 1,46 1,38 2,37 (12,29)
Jasa 4,08 4,24 4,08 4,05 3,76 3,64 6,24 (14,25)
Lainnya 19,65 20,11 20,74 21,43 21,58 22,15 37,98 10,12
Total 52,40 54,01 54,95 56,54 56,25 58,33 100,00 7,98
2016Pangsa g (yoy)RpTriliun
2015
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
68
perdagangan kelapa dan kelapa sawit yang di triwulan II 2016 tumbuh sebesar
3,69% (yoy) lebih baik dibanding triwulan I 2016 yang tumbuh 1,60% (yoy).
Grafik 4.16. Growth Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw.I-2016
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.17. Pangsa Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw.I-2016
S Sumber : Bank Indonesia
Tabel 4.4. Kredit Lokasi Proyek Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau (RpTriliun)
Sejalan dengan kredit berdasarkan lokasi bank, jumlah penyaluran kredit
berdasarkan lokasi proyek di Provinsi Riau pada triwulan I 2016 tercatat sebesar
Rp85,76 trilun atau tumbuh sebesar 13,33% (yoy) lebih baik dibandingkan triwulan
I 2016 yang tercatat sebesar Rp83,81 triliun atau tumbuh sebesar 13,19% (yoy).
Penyaluran kredit masih didominasi oleh sektor pertanian dan perdagangan yang
memiliki pangsa masing-masing 29,44% dan 17,45% dengan nilai kredit masing-
masing sebesar Rp25,24 triliun dan Rp14,96 triliun.
15,51
-18,38
1,46
3,69
12,01
-2,37
47,18
Perkebunan kelapa sawit
Perkebunan karet dan getah lainnya
Perdagangan eceran didominasi makanan
Perdagangan kelapa dan kelapa sawit
Perdagangan eceran komoditi lainnya.
Perdagangan eceran bahan konstruksi
Hotel bintang
93,00
2,68
18,46
5,22
5,57
4,94
10,02
Perkebunan kelapa sawit
Perkebunan karet dan getah lainnya
Perdagangan eceran didominasi makanan.
Perdagangan kelapa dan kelapa sawit
Perdagangan eceran komoditi lainnya.
Perdagangan eceran bahan konstruksi
Hotel bintangPersen (%)
I II III IV I II
Pertanian 19,34 19,83 20,24 24,91 24,43 25,25 29,44% 27,34
Pertambangan dan Penggalian 1,18 1,21 1,11 1,08 0,92 0,95 1,10% -21,72
Industri Pengolahan 9,03 8,72 9,23 8,98 8,31 8,44 9,84% -3,28
Listrik, Gas dan Air 0,45 0,45 0,48 1,76 1,65 1,75 2,04% 289,54
Konstruksi 1,95 2,23 2,46 2,29 2,17 2,35 2,74% 5,46
Perdagangan 12,04 12,50 12,59 14,36 14,59 14,96 17,45% 19,70
Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi 1,93 1,89 1,96 1,94 1,85 1,89 2,20% -0,07
Jasa 4,53 4,67 4,37 4,77 4,61 4,48 5,23% -4,12
Lainnya 23,60 24,17 24,93 25,13 25,28 25,69 29,96% 6,31
TOTAL KREDIT 74,05 75,67 77,37 85,22 83,82 85,76 100,00% 13,33
g (yoy)Sektor Ekonomi (Rp Triliun)2015 2016
Pangsa
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
69
Secara sektoral NPL sektor pertanian pada triwulan II 2016 berada pada level 4,25%
memburuk jika dibandingkan triwulan I 2016 yang berada pada level 3,92%,
sementara NPL di sektor perdagangan pada triwulan II 2016 berada pada level
6,52% membaik jika dibandingkan triwulan I 2016 yang berada pada level 7,01%
namun telah berada diatas treshold yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yaitu 5%,
oleh karena itu penyaluran kredit secara ekspansif di sektor Pertanian dan
Perdagangan harus dengan mempertimbangkan prinsip kehati-hatian.
Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan oleh Bank Indonesia
menunjukkan adanya perbaikan Kinerja keuangan pelaku usaha pada triwulan II-
2016 jika dibandingkan triwulan sebelumnya. Hal ini tercermin dari perkembangan
kemampuan akses kredit yang cenderung meningkat. Penurunan suku bunga
perbankan saat ini sudah mulai berdampak terhadap kondisi kredit para pelaku
usaha, baik dari kredit modal kerja ataupun kredit investasi. Meskipun demikian,
peningkatan diperkirakan belum siginifikan mengingat ketidakpastian kondisi
ekonomi dan masih terbatasnya permintaan.
Grafik 4.18. Akses Kredit (SBT%)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
70
4.2. Ketahanan Sektor Rumah Tangga Daerah
Kredit konsumsi di Provinsi Riau pada triwulan II-2016 sedikit membaik jika
dibandingkan dengan triwulan I 2016, dimana pada triwulan ini kredit konsumsi
tercatat tumbuh sebesar 10,05% (yoy) lebih baik dari triwulan sebelumnya yang
tumbuh 9,97% (yoy).
Grafik 4.19. Perkembangan Kredit Perumahan
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.20. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor
S Sumber : Bank Indonesia
Membaiknya pertumbuhan kredit konsumsi tercermin dari penyaluran kredit ke
sektor perumahan yang tumbuh lebih baik dibanding triwulan sebelumnya. Pada
triwulan II-2016, kredit perumahan tercatat sebesar Rp8,02 triliun atau tumbuh
sebesar 7,73% (yoy) meningkat dibandingkan dengan triwulan I-2016 yang tercatat
tumbuh Rp7,71 triliun atau tumbuh 5,52% (yoy). Membaiknya penyaluran kredit di
sektor perumahan bersumber dari meningkatnya kredit rumah tangga kepemilikan
rumah tinggal tipe 22 s.d 70 (pangsa 55,61%) yang pada triwulan II 2016 tercatat
tumbuh sebesar 18,46% (yoy) dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh hanya
sebesar 14,55% (yoy).
Grafik 4.21. Perkembangan Kredit Multiguna
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.22. Perkembangan Kredit Durable Goods
S Sumber : Bank Indonesia
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Persen (%)Rp Triliun
Perumahan g yoy (kanan)
-25
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
25
0
100
200
300
400
500
600
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Persen (%)Rp. Miliar
Kendaraan g yoy (kanan)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
0
2
4
6
8
10
12
14
16
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Persen (%)Rp. Triliun
Multiguna g yoy (kanan)
-100
-50
0
50
100
150
200
250
300
0
10
20
30
40
50
60
70
80
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Persen (%)Rp Miliar
Durable goods g yoy (kanan)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
71
Sementara kredit kendaraan bermotor pada triwulan II-2016 tercatat sebesar
Rp365,24 miliar, mengalami kontraksi yang lebih dalam jika dibandingkan triwulan
sebelumnya yakni dari kontraksi 12,05% menjadi 15,66% (yoy). Melambatnya
pertumbuhan di sektor kendaraan bermotor bersumber dari menurunnya kredit
kendaraan roda empat (pangsa 89,04%) yang mengalami kontraksi lebih dalam dari
kontraksi triwulan sebelumnya yaitu 12,73% (yoy) menjadi 16,83% (yoy).
Membaiknya kredit konsumsi juga ditopang oleh sektor kredit durable goods yang
mengalami peningkatan yang signifikan yaitu dari 182,40% (yoy) di triwulan I-2016
menjadi 253,61% (yoy) di triwulan II-2016 dengan nilai mencapai Rp71,02 miliar.
Meningkatnya kredit durable goods sejalan dengan kredit multiguna yang
pertumbuhannya meningkat dibanding triwulan sebelumnya yaitu dari 12,62% (yoy)
menjadi 21,67% (yoy) dengan nilai kredit sebesar Rp14,15 triliun.
Berdasarkan hasil Survei Konsumen, ketahanan sektor rumah tangga tercermin dari
peningkatan indeks konsumsi barang tahan lama yang meningkat pada periode
laporan. Peningkatan penghasilan masyarakat (Indeks Penghasilan Konsumen)
menjadi pendorong kuatnya konsumsi rumah tangga di Provinsi Riau yang
dipengaruhi momen Bulan Ramadan dan persiapan Idul Fitri.
Grafik 4.23. Indeks Penghasilan Konsumen dan Indeks Konsumsi Barang Tahan Lama
0
20
40
60
80
100
120
140
160
I II III IV I II III IV I II
2014 2015 2016
Indeks Penghasilan Konsumen
Indeks Konsumsi barang-barang kebutuhan tahan lama
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
72
4.3. Ketahanan Sektor UMKM
Total kredit yang disalurkan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) oleh
bank umum di Provinsi Riau mencapai Rp20,63 triliun pada triwulan II 2016,
meningkat 2,08% (yoy) jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh
sebesar 0,48%. Porsi kredit yang diserap UMKM dari total kredit yang diberikan bank
umum di Provinsi Riau mengalami sedikit penurunan dibandingkan triwulan
sebelumnya yaitu dari 35,39% menjadi 35,38%. Penyaluran kredit skala usaha mikro
(Pangsa 29,59%) memiliki pertumbuhan tertinggi pada triwulan II 2016 yaitu sebesar
10,38% (yoy), sementara kredit skala usaha menengah juga membaik walaupun
masih tercatat kontraksi sebesar 6,38% (yoy) namun masih lebih baik jika
dibandingkan triwulan I 2016 yang mengalami kontraksi sebesar 9,15% (yoy). Di sisi
lain kredit skala usaha kecil yang memiliki pangsa terbesar kredit UMKM Riau
(39,08%) pada triwulan II 2016 mengalami perlambatan dari tumbuh sebesar 4,74%
(yoy) pada triwulan I 2016 menjadi tumbuh 3,71% (yoy) pada triwulan II 2016.
Grafik 4.24. Perkembangan dan Pertumbuhan Kredit UMKM
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.25. Pangsa Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha
S Sumber : Bank Indonesia
Jika dilihat porsinya, kredit UMKM lebih banyak disalurkan pada usaha kecil sebesar
Rp8,06 triliun (pangsa 39,08%), kemudian diikuti oleh kredit usaha menengah
(pangsa 31,33%) dan kredit usaha mikro (pangsa 29,59%) masing-masing sebesar
Rp6,47 triliun dan Rp6,11 triliun.
-5
0
5
10
15
20
25
0
5
10
15
20
25
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Persen (%)Rp Triliun
Kredit UMKM g yoy (kanan)
Mikro30%
Kecil39%
Menengah31%
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
73
Tabel 4.5. Kredit UMKM di Provinsi Riau TwIV-2015 Menurut Sektor Ekonomi (RpMiliar)
Sumber : Bank Indonesia
Secara sektoral, penyerapan kredit UMKM yang disalurkan oleh bank umum di
Provinsi Riau masih didominasi oleh sektor perdagangan (pangsa 45,55%) dan
pertanian (pangsa 33,42%). Pada triwulan II-2016, kredit UMKM yang disalurkan ke
sektor perdagangan mencapai Rp9,40 triliun atau tumbuh sebesar 8,87% (yoy) di
triwulan II-2016, lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 7,09%
(yoy). Sementara itu, kredit UMKM yang disalurkan ke sektor pertanian mencapai
Rp6,89 triliun mengalami kontraksi sebesar 0,85% (yoy) lebih rendah dibandingkan
triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 0,52% (yoy).
Grafik 4.26. Perkembangan NPL Kredit UMKM
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.27. NPL Sektoral UMKM Triwulan II-2016 (%)
S Sumber : Bank Indonesia
NPL UMKM tercatat mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan I-2016
yaitu dari 7,65% menjadi 7,69%. Masih tingginya NPL tersebut didorong oleh
memburuknya NPL sektor pertanian yang tercatat cukup tinggi sebesar 7,30%
memburuk dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 6,68%.
Tingginya NPL di sektor tersebut diperkirakan karena harga komoditas yang belum
sepenuhnya membaik sehingga mencipatakan daya beli masyarakat yang rendah dan
I II III IV I II
Pertanian 6.658 6.956 6.952 6.772 6.693 6.896 33,42 -0,85
Pertambangan 158 186 150 161 92 95 0,46 -48,94
Perindustrian 466 391 390 432 415 452 2,19 15,62
Listrik, gas dan air 107 99 105 38 89 176 0,85 78,32
Konstruksi 1.060 1.060 1.023 1.046 1.078 1.184 5,74 11,66
Perdagangan 8.456 8.634 8.563 8.831 9.056 9.400 45,55 8,87
Pengangkutan 719 708 662 640 580 565 2,74 -20,14
Jasa 2.166 2.168 2.041 1.945 1.888 1.825 8,84 -15,82
Lainnya 21 12 9 20 17 41 0,20 254,25
Total 19.810 20.212 19.894 19.885 19.905 20.634 100 2,08
2016Pangsa g (yoy)RpMiliar
2015
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0
5
10
15
20
25
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Persen (%)Rp TriliunKredit UMKM NPL
7,30
5,66
5,56
0,89
8,31
8,21
8,45
7,35
1,77
Pertanian
Pertambangan
Perindustrian
Listrik, gas dan air
Konstruksi
Perdagangan
Pengangkutan
Jasa
Lainnya Persen (%)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
74
berpengaruh terhadap kemampuan membayar hutang jatuh tempo. Angka NPL di
sektor UMKM tersebut telah jauh melampaui batas aman yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia yaitu sebesar 5%. Oleh karena itu, perlu menjadi perhatian serius
perbankan untuk semakin meningkatkan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran
kredit UMKM.
5. Perkembangan Perbankan Syariah
Kinerja perbankan syariah di Provinsi Riau pada triwulan II-2016 tercatat membaik
dibandingkan triwulan sebelumnya. Kondisi ini tercermin dari meningkatnya
pertumbuhan aset, DPK dan pembiayaan dibandingkan triwulan I-2016. Aset
perbankan syariah tercatat sebesar Rp5,75 triliun meningkat sebesar 19,12% (yoy)
atau lebih tinggi dibandingkan triwulan I-2016 yang tumbuh sebesar 6,78% (yoy).
Sementara, dana yang dihimpun oleh perbankan syariah tercatat sebesar Rp3,93
triliun atau tumbuh 13,79% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya
yang tumbuh sebesar 12,18% (yoy). Peningkatan DPK perbankan syariah didorong
oleh meningkatnya jenis simpanan tabungan (pangsa 53,25%) dan deposito (pangsa
36,79%) dibandingkan triwulan I-2016. Tabungan meningkat dari 5,45% (yoy)
menjadi 8,49% (yoy), sementara Deposito tumbuh sebesar 25,87% (yoy) lebih tinggi
dari triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 21,79% (yoy). Sementara Giro
(pangsa 9,96%) tumbuh melambat dari 19,16% (yoy) pada triwulan I 2016 menjadi
4,11% (yoy) pada triwulan laporan.
Grafik 4.28. Perkembangan Aset Perbankan Syariah
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.29. Perkembangan DPK Perbankan Syariah Menurut Jenis Simpanan
S Sumber : Bank Indonesia
-20
-10
0
10
20
30
40
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Persen (%)
Rp Triliun
Aset g yoy (kanan)
- 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 8.000 9.000
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Rp Miliar
Giro Tabungan Deposito Total
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
75
Grafik 4.30. Perkembangan Pembiayaan Perbankan Syariah Menurut Penggunaan
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.31. Penyaluran Pembiayaan Perbankan Syariah Secara Sektoral
S Sumber : Bank Indonesia
Sementara di sisi pembiayaan, perbankan syariah pada triwulan II-2016 tercatat
sebesar Rp4,01 triliun meningkat dari tumbuh 6,22% (yoy) di triwulan I 2016
menjadi 17,88% (yoy). Meningkatnya pembiayaan perbankan syariah didorong oleh
peningkatan pembiayaan konsumsi (pangsa 49,59%) dan investasi (pangsa
31,69%). Pembiayaan konsumsi meningkat dari 11,63% (yoy) pada triwulan I 2016
menjadi 16,61% (yoy) pada triwulan II 2016, sementara pembiayaan investasi
mengalami perbaikan yang pada triwulan I 2016 tumbuh sebesar 10,08% (yoy),
pada triwulan II 2016 tumbuh menjadi 33,81% (yoy).
Secara sektoral, pembiayaan perbankan syariah masih terkonsentrasi pada sektor
pertanian (pangsa 12,48%) dan perdagangan (pangsa 17,04%). Pembiayaan sektor
pertanian dan perdagangan pada triwulan I-2016 masing-masing tercatat sebesar
Rp501 miliar dan Rp684 miliar mengalami peningkatan dibandingkan triwulan I
2016. Pembiayaan sektor pertanian meningkat dari tumbuh sebesar 19,23% menjadi
20,16% (yoy), sementara pembiayaan sektor perdagangan meningkat dari 16,91%
(yoy) menjadi 67,88% (yoy).
-
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
4.000
4.500
-
500
1.000
1.500
2.000
2.500
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Rp Miliar
Modal Kerja Investasi Konsumsi Total501
54
25
28
189
684
120
391
2.021
Pertanian
Pertambangan
Perindustrian
Listrik, gas dan air
Konstruksi
Perdag, resto dan hotel
Pengangkutan, pergud
Jasa
Lainnya
Rp Miliar
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
76
Grafik 4.32. Perkembangan NPL Perbankan Syariah
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.33. Perkembangan FDR Perbankan Syariah
S Sumber : Bank Indonesia
Selanjutnya, kualitas pembiayaan oleh perbankan syariah pada triwulan laporan
tercatat membaik, hal ini tercermin dari menurunnya NPF yaitu dari 5,50% di
triwulan I-2016 menjadi 4,96% di triwulan II-2016. Namun demikian, perbankan
syariah tetap perlu meningkatkan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran
pembiayaan. Di sisi lain, FDR perbankan syariah tercatat membaik dari 95,80% pada
triwulan I 2016 menjadi sebesar 101,87% yang menunjukkan bahwa risiko likuiditas
berada pada kondisi yang masih terjaga.
6. Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR/S)
Aset BPR/S di Provinsi Riau pada triwulan II-2016 tercatat sebesar Rp1,25 triliun,
tumbuh membaik jika dibandingkan dengan triwulan I-2016 yaitu dari 4,71% (yoy)
menjadi 5,61% (yoy) pada triwulan II-2016. Sementara, DPK BPR/S pada triwulan II-
2016 tercatat sebesar Rp911 miliar, tumbuh 6,31% (yoy) membaik dibandingkan
dengan triwulan I-2016 yang tumbuh sebesar 5,64% (yoy). Membaiknya
pertumbuhan DPK BPR/S didorong oleh membaiknya pertumbuhan tabungan
(pangsa 36,98%) dari yang pada triwulan II 2016 walau masih mengalami kontraksi
sebesar 3,48% (yoy) namun masih lebih baik dibandingkan triwulan I 2016 yang
mengalami kontraksi lebih dalam sebesar 4,57% (yoy). Namun membaiknya
pertumbuhan DPK tertahan oleh melambatnya pertumbuhan deposito (Pangsa
63,01%) yang pada triwulan II 2016 tumbuh sebesar 13,04% (yoy) melambat
dibandingkan triwulan I 2016 yang tumbuh sebesar 13,35% (yoy).
0
1
2
3
4
5
6
7
0
50
100
150
200
250
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Persen (%)Rp Miliar
Nominal NPL (Kanan)
75
80
85
90
95
100
105
-
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
4.000
4.500
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
DPK Pembiayaan FDR (Kanan)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
77
Grafik 4.34. Perkembangan Aset BPR/S
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.35. Perkembangan DPK BPR/S
S Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.36. Perkembangan Kredit BPR/S
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.37. Penyaluran Kredit Sektoral
S Sumber : Bank Indonesia
Perlambatan juga terjadi dari sisi penyaluran kredit, pada triwulan II-2016 kredit yang
disalurkan oleh BPR/S tercatat sebesar Rp958 miliar atau tumbuh 5,13% (yoy) atau
melambat dibandingkan triwulan I-2016 yang tumbuh mencapai 6,08% (yoy).
Melambatnya penyaluran kredit utamanya bersumber dari perlambatan sektor
perdagangan (pangsa 24,76%) dari 12,78% (yoy) di triwulan I-2016 menjadi
tumbuh sebesar 7,79% (yoy) di triwulan II-2016. Namun perlambatan pertumbuhan
kredit dimaksud tertahan oleh membaiknya penyaluran kredit ke sektor pertanian
(pangsa 27,82%) yang walaupun masih tercatat mengalami kontraksi sebesar 1,44%
(yoy) namun lebih baik dibandingkan triwulan I 2016 yang mengalami kontraksi lebih
dalam sebesar 1,82% (yoy).
Di sisi lain, kualitas kredit yang disalurkan oleh BPR/S pada triwulan II 2016 tercatat
mengalami perbaikan yakni sebesar 13,76%, lebih baik dibandingkan dengan
triwulan I-2016 dimana NPL tercatat pada level 14,08%. Selain itu, risiko likuiditas
BPR/S juga perlu menjadi perhatian dimana angka LDR BPR/S pada triwulan II-2016
012345678910
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Persen (%)Rp Miliar
Aset g yoy (kanan)
-
200
400
600
800
1.000
-
100
200
300
400
500
600
700
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Rp Miliar
Tabungan Deposito DPK (Kanan)
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
-
200
400
600
800
1.000
1.200
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Persen (%)Rp. Miliar
Kredit g yoy (kanan)
-
50
100
150
200
250
300
350
400
Per
tan
ian
Per
tam
ban
gan
Per
ind
ust
rian
List
rik,
gas
dan
air
Ko
nst
ruks
i
Per
dag
anga
n
Pen
gan
gku
tan
Jasa
Lain
nya
267
1 7 3 14
237
23 35
371 Rp Miliar
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
78
mencapai 105,10% yang menunjukkan bahwa DPK BPR/S tidak dapat menutupi
jumlah kredit yang disalurkan.
Grafik 4.38. Perkembangan NPL BPR/S
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.39. Perkembangan LDR BPR/S
S Sumber : Bank Indonesia
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
-
20
40
60
80
100
120
140
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Persen (%)Rp Miliar
Nominal NPL (Kanan)
96
98
100
102
104
106
108
110
112
I II III IV I II III IV I II III IV I II
2013 2014 2015 2016
Upaya Pengendalian Inflasi di Provinsi Riau Melalui Kegiatan Diversifikasi Pangan
Ketahanan pangan merupakan salah satu permasalahan di Provinsi Riau yang belum terselesaikan. Komoditas
pangan utama di Riau yaitu beras mengalami defisit pangan sebesar 59,45% pada tahun 2013 atau setara dengan
397.558 Ton. Kekurangan pasokan tersebut selama ini dipenuhi dari luar wilayah Riau. Ketergantungan pasokan
dari luar menyebabkan Riau menjadi rentan terhadap guncangan stok pangan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menekan permintaan
beras dengan melakukan upaya diversifikasi pangan. Sagu saat ini menjadi salah satu sektor ekonomi utama
masyarakat di Kepulauan Meranti. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2014), Kep. Meranti memiilki wilayah
seluas 370 ribu Hektar (BPS, 2014). Dari luas wilayah tersebut, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kep.
Meranti menyampaikan bahwa 16,17% merupakan areal perkebunan sagu. Selain itu, dari 41.299 KK yang terdiri
dari 183.912 jiwa penduduk Meranti (BPS Kep. Meranti, 2013), 6.766 KK (Dishutbun Kep. Meranti, 2014) atau
setara 16,38% bekerja di sektor sagu.
Dengan luas tanam mencapai 49.163 Hektar dimana 78% areal merupakan lahan sagu rakyat, Meranti dapat
memproduksi 210.162 Ton sagu kering/tahun (Dishutbun Kep. Meranti, 2014). Potensi pengembangan komoditas
sagu untuk mendorong perekonomian Kepulauan Meranti sangat besar, dengan permintaan rata-rata tepung sagu
kering sebanyak 400.000 Ton/thn, Meranti baru dapat memenuhi ± 50% dari permintaan tersebut. Apabila
permintaan 400,000 Ton/thn tepung sagu kering dapat dipenuhi dari Kab. Kep. Meranti, maka perputaran uang
untuk sagu ± Rp. 2,3 Triliun.
Mayoritas pemasaran hasil sagu tersebut dilakukan ke Cirebon yang akan mengolah bahan sagu tersebut
menjadi produk lain. Selain pasar lokal, sagu juga diminati oleh pasar eskpor. Malaysia dan Jepang menjadi dua
Negara tujuan ekspor sagu Meranti, dimana permintaan dari dua Negara tersebut memiliki kecenderungan
meningkat dikarenakan saat ini telah ada penelitian yang menunjukkan bahwa sagu dapat menjadi pangan
alternatif potensial. Selain itu sagu juga diketahui dapat diolah menjadi gula rendah glukosa. Selain dimanfaatkan
untuk industri berbagai makanan seperti mie sagu,dan kue sagu kering.Tepung sagu dari kepulauan Meranti juga
digunakan untuk bahan baku industri non makanan seperti produk biodegradable plastic. Potensi sagu juga tidak
terbatas pada produk olahan saja, namun limbah sagu seperti kulit tanaman dan ampas sagu dapat diolah menjadi
bahan bakar pembangkit listrik, pakan ternak serta bio ethanol.
Boks
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Bank Indonesia Provinsi Riau melalui perannya dalam perekonomian
Riau terutama dalam pengendalian hal inflasi pangan (volatile food) tergerak untuk melakukan pengembangan
komoditas sagu di Kepulauan Meranti sebagai komoditas alternatif pangan. Kegiatan ini dilakukan melalui
kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti melalui penandatanganan MoU pada tahun 2015.
Selanjutnya, Bank Indonesia melakukan sertifikasi terhadap benih varietas unggul Sagu Selat Panjang
Kabupaten Kepulauan Meranti yang dilanjutkan dengan pembentukan 5 kelompok tani pembenih varietas sagu
Selat Panjang Kepulauan Meranti yang telah disertifikasi. Pada bulan Desember tahun 2015, KPwBI Provinsi Riau
kembali memperkuat kerjasama melalui penandatangan Kerjasama Operasional (KSO) dengan Pemerintah
Kabupaten Kepulauan Meranti. Berdasarkan KSO tersebut, KPw BI Provinsi Riau menyalurkan bantuan Program
Sosial Bank Indonesia berupa satu unit kilang sagu kepada Kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga
(UP2K) di Kelurahan Desa Sungai Tohor.
Satu unit kilang sagu tersebut digunakan oleh masyarakat Desa Sungai Tohor untuk mengolah tanaman sagu
hasil pertanian mereka menjadi sagu basah, Petani sagu di Desa Sungai Tohor awalnya hanya merupakan petani
sagu yang menjual tanaman hasil perkebunan sagu kepada pengumpul dengan harga yang rendah. Dengan
mengolah tanaman sagu menjadi sagu basah yang merupakan turunan pertama, petani sagu mendapat manfaat
dengan menjual hasil olahan tersebut dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan menjual dalam bentuk tanaman
(tual). Sejak mulai dioperasikan pada awal tahun 2016, kilang sagu bantuan Bank Indonesia kepada UP2K Desa
Sungai Tohor telah memproduksi sebanyak 204 Ton sagu.
Selanjutnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti serta menjadikan
sagu sebagai alternatif komoditas pangan, pengolahan produk turunan sagu tidak dapat hanya berhenti sampai
dengan mengolah tanaman sagu menjadi sagu basah. Hal ini belum berdampak signifikan dalam menggerakkan
roda perekonomian terutama dari sisi inflasi. Sagu basah tersebut masih dapat diolah menjadi produk turunan
seperti tepung sagu yang dapat digunakan sebagai bahan baku makanan, dan dapat juga diolah menjadi produk
akhir seperti beras analog dan gula cair.
Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia Riau pada tahun 2016 berupaya mendorong pengolahan
sagu di Kepulauan Meranti untuk dapat dikembangkan menghasilkan produk turunan yang dapat menggantikan
atau menjadi alternatif komoditas penyumbang inflasi. Produk turunan tersebut antara lain berupa tepung sagu
dan beras analog sebagai komoditas alternatif menggantikan beras, serta gula cair dari tegu untuk mengurangi
ketergantungan impor akan kebutuhan gula dalam negeri.
Program Pengembangan Klaster Sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti oleh KPwBI Provinsi Riau dirancang
untuk jangka waktu 4 tahun.Tahap ini berakhir ketika kelompok yang dibina telah melalui tahap pashing out
(kemandirian). Adapun tujuan pengembangan klaster disini jelas yaitu adanya kemandirian. Untuk menjadikan
kelompok tani menjadi mandiri tentunya melalui sebuah proses. Proses ini dilalui melalui fase atau tahap-tahap,
dimana apabila prosesnya baik maka hasil yang akan di capai juga baik. Mekanisme dalam proses ini tak terlepas
dari sikap yang dibangun dalam sebuah kelembagaan kelompok tani sagu.
Fase 1 Fase 2 Fase 3 Fase 4
1. Identifikasi potensian dan perencanaan klaster sagu yang melibatkan masyarakat dan Pemda Kab.Kep Meranti.
2. Koordinasi dengan stakeholders Klaster Sagu di Kep.Meranti
3. Menetapkan konsentrasi bentuk program kepada petani sagu.
4. Melaksanakan Mou Dengan Pemda Kab.Kep.Meranti.
1. Pembentukan kelompok tani penangkar bibit sagu.
2. Melakukan Pelatihan penangkaran bibit sagu besertifikat.
3. Pembangunan 1 unit kilang sagu di Desa Sei.Tohor.
4. Pembinaan Kelompok Unit usaha kilang sagu melalui UP2K Desa Sei Tohor.
5. Melaksanakan Monitoring dan Evaluasi.
1. Perencanaan, Pengembangan
Produk turunan sagu.
2. Penjajakan informasi dan
sharing dengan stakeholder
terkait untuk pengolahan tepung
sagu menjadi gula cair.
3. Pelatihan Pengolahan tepung
sagu menjadi gula cair kepada
Kel.Tani sagu dan UMKM.
4. Pemberian bantuan teknis
perangkat mesin pengolahan
tepung sagu menjadi gula cair
kepada UP2K
5. Pelatihan pengemasan gula cair
dan manajemen usaha.
6. Fasilitasi perizinan
Dep.Kesehatan/Badan POM
untuk gula cair.
7. Pelatihan kelembagaan dan
Usaha Kelompok tani.
8. Sosialisasi dan Pelatihan
pembiyaan
usaha/penggalangan modal
usaha kel.tani mengarah
kepada Pembentukan LKMA
khususnya produsen dan
pemasaran produk.
9. Monitoring dan Evaluasi
1. Workshop kampanye gula cair untuk elemen masyarakat.
2. Peningkatan akses pasar untuk produk kelompok (Kel.UP2K).
3. Pembentukan LKMA (Lembaga Keuangan Mikro Agribisnsi) petani Sagu di Pulau Meranti.
4. Pelatihan Manajemen Lembaga Keuangan Mikro untuk UP2K
5. FGD dengan semua lembaga Pemerintah terkait menuju Meranti Mandiri Gula tahun 2018.
6. Evaluasi dengan mengukur Impact /dampak program metode PVA (Project Vektor Analisis). Untuk masyarakat binaan dan non binaan KPWBI Riau.
Telah dilaksanakan oleh KPwBI Provinsi Riau (Tahun Pertama)
Tahun 2016 (Tahun kedua)
Tahun 2017 (Tahun ketiga)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
79
1. Kondisi Umum Sistem Pembayaran Tunai dan Non Tunai
Perkembangan transaksi pembayaran tunai di Provinsi Riau pada triwulan II 2016
mengalami net outlow, sejalan dengan kondisi yang terjadi pada triwulan yang sama
tahun sebelumnya. Hal ini utamanya didorong oleh peningkatan outflow dan
penurunan inflow, akibat seasonal factor meningkatnya konsumsi masyarakat pada
bulan Ramadhan di triwulan II 2016. Kondisi tersebut ditambah dengan
meningkatnya penarikan secara tunai oleh masyarakat menjelang hari raya Idul Fitri
dan memasuki musim liburan sekolah. Di sisi lain, transaksi non tunai melalui kliring
mengalami penurunan baik dari sisi nominal maupun volume.
Bab 5 ASESMEN PENYELENGGARAAN
SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG
RUPIAH
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
80
2. Perkembangan Transaksi Pembayaran Tunai
2.1. Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow Outflow)
Perkembangan peredaran uang kartal di Provinsi Riau dapat terlihat dari pergerakan
arus uang masuk (inflow) dan arus uang keluar (outflow). Pada triwulan laporan,
terjadi peningkatan sisi outflow dari Rp1,98 triliun menjadi Rp6,96 triliun atau
meningkat dibanding triwulan sebelumnya sebesar 250,13% (qtq). Sementara itu
jumlah inflow pada triwulan II 2016 mengalami penurunan dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yaitu Rp2,25 triliun menjadi Rp1,29 triliun atau turun 42,58%
(qtq). Peningkatan jumlah outflow diperkirakan karena faktor musiman
meningkatnya konsumsi masyarakat pada bulan Ramadhan, yang berlanjut
menjelang hari raya Idul Fitri dan memasuki musim liburan sekolah sehingga
masyarakat lebih banyak melakukan penarikan secara tunai. Tingginya peningkatan
outflow dan rendahnya jumlah inflow pada triwulan laporan telah mendorong
terjadinya net outflow sebesar Rp5,66 triliun.
Grafik 5.1. Perkembangan Inflow dan Outflow di Provinsi Riau
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 5.2. Perkembangan Inflow dan Outflow Bulanan Triwulan II-2016
S Sumber : Bank Indonesia
(1,00)
-
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
-
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
I II III IV I II III IV I II
2014 2015 2016
Rp Triliun
inflow outflow net outflow
-
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
Inflow Outflow Net Outflow
1.294
6.962
5.668
Rp. Miliar
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
81
Tabel 5.1. Historis net outflow lebaran dalam 6 tahun terakhir
2.2. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar
Salah satu upaya Bank Indonesia dalam memenuhi kebutuhan uang kartal layak edar
(fit for circulation) di masyarakat, maka secara berkala Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Provinsi Riau melakukan kegiatan pemusnahan Uang Tidak Layak Edar
(UTLE). Uang tidak layak edar tersebut diterima dari setoran bank maupun penukaran
uang dari masyarakat. Selain itu Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau juga
rutin melakukan kegiatan kas keliling wholesale untuk perbankan dan kas keliling
retail untuk melayani masyarakat umum. Kegiatan kas keliling wholesale selama
periode triwulan II 2016 dilakukan di Belilas, Sie Apit, Dumai Expo, dan Bagan
Siapiapi. Selain itu pada bulan Ramadhan juga dilakukan kegiatan penukaran
bersama dengan perbankan yang dilakukan di beberapa kota yaitu Pekanbaru,
Tembilahan, Dumai, dan Pasir Pangaraian. Sementara itu kegiatan kas keliling retail
untuk kepentingan masyarakat umum dilakukan setiap 1 kali dalam seminggu.
Upaya lain yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau untuk
memenuhi uang layak beredar di Provinsi Riau adalah dengan membuka kas titipan.
Kas titipan yang sudah beroperasi normal berada di kota Dumai dengan plafon
sebesar Rp50 miliar, dan akan ditingkatkan Rp100 miliar (telah dilakukan
pemeriksaan oleh DPU). Untuk menambah jumlah kas titipan saat ini telah dilakukan
survey dan pembuatan kajian eligibilitas pembukaan kas titipan di 5 Kabupaten di
Riau, dan telah dilakukan sosialisasi di Rengat dan Pasir Pangaraian.
Tahun Bulan Inflow OutflowNet
Outflow
Total Net
Outflow
Growth Net
Outflow
7 143.264 887.186 743.922
8 134.029 2.729.102 2.595.073 3.338.995
7 390.546 1.195.829 805.283
8 730.599 2.386.992 1.656.392 2.461.675 -26,27%
6 372.888 1.272.864 899.976
7 453.223 3.250.585 2.797.362 3.697.338 50,20%
6 309.145 1.184.449 875.304
7 230.435 3.974.095 3.743.660 4.618.964 24,93%
6 475.443 1.687.565 1.212.122
7 1.133.615 3.284.678 2.151.063 3.363.185 -27,19%
6 415.018 4.170.889 3.755.870
7 1.997.090 460.510 (1.536.580) 2.219.290 -34,01%
2011
2012
2013
2014
2015
2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
82
Grafik 5.3. Perkembangan UTLE yang Dimusnahkan
Sumber : Bank Indonesia
Jumlah UTLE yang dimusnahkan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau
pada triwulan II-2016 tercatat sebesar Rp615 miliar, menurun jika dibanding triwulan
sebelumnya sebesar 23,06% (qtq) dengan rasio UTLE terhadap inflow sebesar
47,53%. Menurunnya pemusnahan uang tidak layak edar pada triwulan II - 2016
sejalan dengan menurunnya jumlah inflow pada triwulan laporan.
2.3. Uang Rupiah Tidak Asli
Dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengidentifikasi keaslian
uang rupiah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau secara rutin melakukan
sosialisasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada masyarakat di beberapa
daerah termasuk kalangan perbankan melalui prinsip 3D (Dilihat, Diraba,
Diterawang) di Pasir Pangaraian dan Lokasi Car Free Day. Dengan adanya sosialisasi
ciri keaslian uang rupiah, masyarakat diharapkan terhindar dari penyebaran uang
rupiah tidak asli. Jumlah uang rupiah tidak asli yang ditemukan oleh Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau pada triwulan II-2016 tercatat meningkat
dibandingkan dengan triwulan I-2016. Pada triwulan laporan, jumlah uang rupiah
tidak asli sebanyak 431 lembar, sementara pada triwulan sebelumnya sebanyak 369
lembar.
-50
0
50
100
150
200
250
-
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
I II III IV I II III IV I II
2014 2015 2016
Persen (%)Rp Miliar
UTLE Inflow Rasio g - yoy
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
83
Grafik 5.4. Perkembangan Peredaran Uang Rupiah Tidak Asli di Provinsi Riau
Sumber : Bank Indonesia
Uang rupiah tidak asli yang dikonfirmasi oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Riau terdiri dari 262 lembar menyerupai pecahan Rp100 ribu, 149 lembar
menyerupai pecahan Rp50 ribu dan 12 lembar menyerupai pecahan Rp20 ribu, 4
lembar menyerupai pecahan Rp10 ribu, dan 4 lembar menyerupai pecahan Rp5 ribu.
Penemuan tersebut berdasarkan permintaan klarifikasi perbankan dan masyarakat
serta setoran bank-bank ke Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau.
3. PERKEMBANGAN TRANSAKSI PEMBAYARAN NON TUNAI
3.1. Transaksi Kliring
Transaksi pembayaran dengan kliring pada triwulan II 2016 tercatat menurun baik
dari segi nominal transaksi maupun jumlah warkat yang digunakan. Menurunnya
nominal dan jumlah warkat kliring pada periode laporan diperkirakan dipengaruhi
oleh meningkatnya preferensi masyarakat terhadap transaksi pembayaran non tunai
melalui BI-RTGS yang transaksinya lebih cepat. Nilai transaksi kliring pada triwulan II
2016 tercatat sebesar Rp6,56 triliun dengan volume transaksi mencapai 194.424
lembar, menurun sedikit jika dibandingkan dengan triwulan I 2016 yang nilainya
tercatat sebesar Rp6,89 triliun dengan volume transaksi 209.067 lembar. Meskipun
terjadi penurunan transaksi pembayaran dengan kliring baik dari segi nominal
125 106 104 87123
202126 132
369431
-150
-100
-50
0
50
100
150
200
250
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
I II III IV I II III IV I II
2014 2015 2016
Persen (%)Lembar
Uang Rupiah Tidak Asli g (yoy) - kanan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
84
transaksi maupun jumlah warkat yang digunakan, namun nilai rata-rata transaksi per
warkat tercatat meningkat jika dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari Rp32,95
juta menjadi Rp33,74 juta per warkat.
Grafik 5.5. Perkembangan Nilai Transaksi Kliring di Provinsi Riau
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 5.6. Perkembangan Volume Transaksi Kliring di Provinsi Riau
S Sumber : Bank Indonesia
-20
-15
-10
-5
0
5
10
-
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
9.000
10.000
I II III IV I II III IV I II
2014 2015 2016
Persen (%)Rp. MiliarNominal yoy - nominal
-30
-25
-20
-15
-10
-5
0
-
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
300.000
I II III IV I II III IV I II
2014 2015 2016
Persen (%)Warkat Warkat yoy - lembar
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
85
1. Kondisi Umum
Perkembangan ketenagakerjaan dan kesejahteraan di Provinsi Riau pada tahun
2016 menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Dari indikator
terkait menunjukkan terjadi peningkatan kualitas ketenagakerjaan antara lain
menurunnya angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Riau dari 6,72% di tahun
2015 menjadi 5,94% di tahun 2016. Sementara perkembangan kesejahteraan di
Provinsi Riau juga membaik terlihat dari penurunan persentase jumlah penduduk
miskin dibanding jumlah penduduk di Riau yakni dari 8,42% pada Maret 2015
menjadi 7,98% pada Maret 2016.
Bab 6
ASESMEN
KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN DAERAH
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
86
2. Ketenagakerjaan
Grafik 6.1. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Feb - 2016
Sumber : BPS
Grafik 6.2. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Feb - 2016
Sumber : BPS
Kondisi ketenagakerjaan Provinsi Riau pada periode Februari 2016 menunjukkan
bahwa 2,98 juta (atau 67,01%) dari 4,4 juta jiwa penduduk dengan usia 15 tahun
ke atas merupakan angkatan kerja. Angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
mengalami penurunan dari periode Februari 2015 yang tercatat sebesar 6,72%
menjadi 5,94%. Trend penurunan TPT Riau searah dengan pergerakan TPT Indonesia
yang tercatat 5,81% pada Februari 2015 menjadi 5,50% di Februari 2016 sehingga
mengindikasikan terjadinya peningkatan ketenagakerjaan secara nasional.
Di tingkat regional, Riau merupakan provinsi dengan angka TPT kelima tertinggi di
Sumatera. Sementara Bengkulu menjadi daerah dengan angka TPT terendah di
Sumatera dengan angka 3,84%. Jika dibandingkan dengan periode Agustus 2015,
Kepulauan Riau merupakan satu-satunya provinsi di Sumatera yang mengalami
peningkatan TPT di tahun 2016, yang diperkirakan sebagai akibat perlambatan
ekonomi khususnya sektor industri, sehingga banyak pegawai yang diphk atau
dirumahkan.
Tabel 6.1 Tingkat Pengangguran Terbuka Pulau Sumatera (%)
73,59
70,34
70,01
68,87
68,63
68,53
68,06
68,06
67,01
65,58
64,24
58 60 62 64 66 68 70 72 74 76
Bengkulu
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Lampung
Jambi
Bangka Belitung
Indonesia
Riau
Kepulauan Riau
Aceh
9,03
8,13
6,49
6,17
5,94
5,81
5,5
4,66
4,54
3,94
3,84
0 2 4 6 8 10
Kepulauan Riau
Aceh
Sumatera Utara
Bangka Belitung
Riau
Sumatera Barat
Indonesia
Jambi
Lampung
Sumatera Selatan
Bengkulu
Provinsi Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel BengkuluLampung Babel Kepri
Agt 2014 9,02 6,23 6,50 6,56 5,08 4,96 3,47 4,79 5,14 6,69
Feb 2015 7,73 6,39 5,99 6,72 2,73 5,03 3,21 3,44 3,35 9,05
Agt 2015 9,93 6,71 6,89 7,83 4,34 6,07 4,91 5,14 6,29 6,20
Feb 2016 8,13 6,49 5,81 5,94 4,66 3,94 3,84 4,54 6,17 9,03
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
87
Sumber: BPS.
Tabel 6.2 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama
Sumber: BPS Provinsi Riau
Berdasarkan sektor ekonomi, penyerapan tenaga kerja di Riau masih didominasi oleh
sektor pertanian yaitu mencapai 41,44% dari total tenaga kerja, diikuti oleh sektor
perdagangan rumah makan dan jasa akomodasi dan sektor jasa kemasyarakatan
sosial dan perorangan dengan share penyerapan tenaga kerja masing-masing
mencapai 22,04% dan 18,26%. Penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian
tercatat menurun dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yaitu
46,09% menjadi 41,44%. Di sisi lain, penyerapan tenaga kerja pada sektor
perdagangan rumah makan dan jasa akomodasi mengalami peningkatan, yaitu dari
16,04% menjadi 22,04%.
Grafik 6.3 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama
2014 2015 2016
Pertanian Perkebunan Kehutanan Perburuan dan Perikanan 42,41 46,09 41,44
Pertambangan dan Penggalian 1,73 1,32 1,91
Industri 5,51 4,91 6,06
Listrik Gas dan Air Minum 0,31 0,12 0,32
Konstruksi 5,54 4,84 5,39
Perdagangan Rumah Makan dan Jasa Akomodasi 20,5 16,04 22,04
Transportasi Pergudangan dan Komunikasi 3,79 3,85 2,14
Lembaga Keuangan Real Estate Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan 2,29 2,98 2,44
Jasa Kemasyarakatan Sosial dan Perorangan 17,91 19,85 18,26
Total 100 100 100
FebruariLapangan Pekerjaan Utama
0 10 20 30 40 50
Pertanian, Pekerbunan..
Pertambangan dan..
Industri
Listrik, Gas..
Konstruksi
Perdagangan, ru..
Transportasi, Per..
Lembaga Keuangan
Jasa Kemasyarakatan
%2016 2015 2014
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
88
Sebagian besar penduduk bekerja di Provinsi Riau memiliki status pekerjaan sebagai
buruh/karyawan/pegawai yaitu sebesar 41,20%. Angka ini cenderung menurun
dibandingkan tahun 2015 yang tercatat sebesar 44,15%. Penurunan penduduk yang
bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai diperkirakan karena terjadinya
perlambatan ekonomi khususnya penurunan Kinerja sektor migas yang
menyebabkan terjadinya pengurangan karyawan di sektor usaha tersebut.
Sementara itu, penduduk yang bekerja dengan berusaha sendiri mengalami
peningkatan dari 18,63% di tahun 2015 menjadi 21,01% di tahun 2016. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa penduduk dituntut untuk kreatif menciptakan
lapangan kerja yang sendiri pasca terjadinya pengurangan karyawan di beberapa
sektor usaha.
Grafik 6.4 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama
Dilihat dari jumlah jam kerja perharinya, mayoritas tenaga kerja di Riau
menghabiskan waktu jam kerjanya selama 0 dan lebih dari 35 jam seminggu, yaitu
sebanyak 62,05%. Pekerja dengan waktu lebih dari 35 jam seminggu merupakan
pekerja penuh, sementara pekerja dengan waktu kurang dari 35 jam seminggu
merupakan pekerja tidak penuh. Dengan demikian, mayoritas angkatan kerja yang
bekerja di Riau pada Februari 2015 merupakan pegawai dengan waktu kerja penuh.
Hal ini sesuai dengan jumlah status pekerja terbesar di Riau yang berprofesi sebagai
buruh/karyawan/pegawai. Pekerja tidak penuh di Riau didominasi oleh pekerja yang
berprofesi sebagai wirausaha, pekerja keluarga dan buruh bebas.
21%
12%
5%41%
5%3%
13%
Berusaha Sendiri
Berusaha Dibantu BuruhTidak Tetap / Buruh TidakDibayar
Berusaha Dibantu BuruhTetap / Buruh Dibayar
Buruh /Karyawan/Pegawai
Pekerja Bebas di Pertanian
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
89
Grafik 6.5. Jumlah Jam Kerja per Minggu Februari - 2016
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
Grafik 6.6. Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
Grafik 6.7 Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
Tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh tenaga kerja di Riau mayoritas
merupakan tamatan SMP ke bawah, dengan prosentase sebesar 56,40%. Kondisi ini
tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya yang mencapai 58,58%dari total
angkatan kerja yang bekerja. Pekerja dengan tingkat pendidikan Diploma dan
Universitas hanya mencapai 11,43%, sementara pekerja yang menamatkan tingkat
pendidikan SMA dan SMK mencapai 32,17%. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa tingkat pendidikan tenaga kerja di Riau masih tergolong rendah.
3% 7%
13%
15%62%
1 - 7
8 - 14
15 - 24
25 - 34
0 dan 35+
SD kebawah37%
SMP19%
SMA23%
SMK9%
Diploma3%
Universitas9%
SD kebawah
SMP
SMA
SMK
Diploma
Universitas
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
SD KEBAWAH SMP SMA SMK DIPLOMA UNIVERSITAS
2,79
6,237,70
8,48
13,54
8,05
Feb 2015 Feb 2016
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
90
Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan, Tingkat Pengangguran Terbuka
(TPT) terbesar berada pada kelompok penduduk dengan tingkat pendidikan Diploma
dan Universitas, yaitu mencapai 21,59. Kondisi ini menunjukkan bahwa lapangan
kerja yang tersedia di Provinsi Riau belum optimal dalam menyerap tenaga kerja
dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
3. Kesejahteraan Daerah
3.1 Penduduk Miskin Riau
Jumlah penduduk miskin di Riau pada bulan Maret 2016 sebesar 515,40 ribu atau
7,98% dari jumlah penduduk Riau. Jumlah ini mengalami penurunan sebanyak
15,98 ribu jiwa jika dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2015 yang
berjumlah 531,39 ribu atau 8,42% dari jumlah penduduk Riau.
Grafik 6.8. Perkembangan Penduduk Miskin Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
Grafik 6.9. Sebaran Penduduk Miskin Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
Jumlah penduduk miskin di Riau baik yang tinggal di daerah pedesaan maupun
perkotaan pada Maret 2016 mengalami penurunan. Dimana pada daerah pedesaan
jumlah penduduk miskinnya mencapai 352,9 ribu penduduk, turun sebesar 11,98
ribu penduduk atau sekitar 3,28% jika dibandingkan dengan Maret 2015 yang
sebanyak 364,94 ribu penduduk. Sementara itu, jumlah penduduk miskin di Riau
yang tinggal di daerah perkotaan Maret 2016 sebesar 162,45 ribu jiwa, juga turun
sebesar 4 ribu jiwa atau sebesar 2,40% jika dibandingkan dengan Maret 2015 yang
sebesar 166,45 ribu jiwa.
8,47
8,22
7,72
8,12
8,42
7,98
7,2
7,4
7,6
7,8
8
8,2
8,4
8,6
420
440
460
480
500
520
540
2011 2012 2013 2014 2015 2016
Persen (%)Dalam Ribu
Jumlah Penduduk Miskin Persentase Penduduk Miskin
68%
32%
Perdesean Perkotaan
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
91
3.2 Garis Kemiskinan Riau
Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh GK, karena
penduduk miskin adalah penduduk yang memiki rata-rata pengeluaran per kapita
per bulan di bawah GK. Semakin tinggi GK, semakin banyak penduduk yang
tergolong sebagai penduduk miskin.
Tabel 6.3 Garis Kemiskinan Provinsi Riau Tahun 2016
Sumber : BPS Provinsi Riau
Garis Kemiskinan (GK) Riau pada tahun 2016 mencapai angka Rp426.001 per
kapita/bulan, meningkat 6,71% (yoy) dari tahun 2015 yang tercatat Rp399.211 per
kapita/bulan. Dengan memperhatikan komponen Garis Kemiskinan yang terdiri dari
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM),
terlihat bahwa komoditas makanan memiliki peranan yang jauh lebih besar
dibandingkan komoditas bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan
kesehatan).
Peningkatan GK di daerah perdesaan pada tahun 2016 mencapai 7,61% (yoy)
sementara peningkatan GK di daerah perkotaan pada tahun 2016 mencapai 5,32%
(yoy). Kondisi tersebut menggambarkan bahwa GK di daerah perdesaan mengalami
peningkatan yang lebih besar dibandingkan perkotaan sehingga mengakibatkan
jumlah peningkatan penduduk miskin di Riau relatif lebih cepat bertambah.
GKM GKNM
Perkotaan
Mar-15 280.361 124.441 404.802
Mar-16 292.026 134.320 426.346
Perdesaan
Mar-15 302.422 93.327 395.659
Mar-16 326.262 99.515 425.777
Kota + Desa
Mar-15 293.851 105.361 399.211
Mar-16 312.352 113.648 426.001
GK Tahun 2015Daerah Total
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
92
3.3 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan Kemiskinan
(P2) Riau
Indeks kedalaman kemiskinan (P1) pada tahun 2016 trend menurun. Indeks
kedalaman kemiskinan turun dari 1,382 pada Maret 2015 menjadi 1,359 pada Maret
2016. Penurunan indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran
penduduk miskin cenderung mendekati garis kemiskinan.
Grafik 6.10. Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
Grafik 6.11. Perkembangan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
Apabila dilihat secara terpisah, tingkat kedalaman kemiskinan di daerah perkotaan
mengalami penurunan yaitu dari 1,088 pada Maret 2015 menjadi 0,934 pada Maret
2016, berbanding terbalik dengan tingkat kedalaman kemiskinan di daerah
perdesaan yang mengalami kenaikan yaitu dari 1,569 pada Maret 2015 menjadi
1,633 pada Maret 2016. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran
penduduk miskin di daerah perkotaan semakin mendekati garis kemiskinan
sementara rata-rata pengeluaran penduduk miskin di daerah perdesaan semakin
menjauhi garis kemiskinan.
Kondisi yang sama juga terjadi pada Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Riau yang
menunjukkan trend penurunan, yaitu tercatat turun dari 0,358 pada Maret 2015
menjadi 0,337 pada Maret 2016. Penurunan indeks ini mengindikasikan
ketimpangan pengeluaran penduduk miskin mengalami penurunan. Jika
dibandingkan antara daerah perdesaan dan perkotaan tercatat bahwa Indeks
Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah perdesaan mengalami peningkatan dari 0,410
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
1,6
1,8
2
Smstr I Smstr II Smstr I Smstr II Smstr I Smstr II Smstr I
2013 2014 2015 2016
Ind
ek
s K
ed
ala
ma
n K
em
isk
ina
n (
%)
Kota Desa Riau
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
Smstr I Smstr II Smstr I Smstr II Smstr I Smstr II Smstr I
2013 2014 2015 2016
Ind
ek
s K
ep
ara
ha
n K
em
isk
ina
n (
%) Kota Desa Riau
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
93
pada Maret 2015 menjadi 0,424 pada Maret 2016, sedangkan di daerah perkotaan
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) mengalami penurunan dari 0,275 pada Maret
2015 menjadi 0,203 pada Maret 2016, hal ini mengindikasikan terjadi peningkatan
ketimpangan pengeluaran penduduk miskin di daerah perdesaan sementara di
daerah perkotaan terjadi penurunan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin.
Provinsi Riau memiliki potensi kemaritiman di bidang perikanan dan kelautan serta
maupun mengalami kendala antara lain: i) tidak ada industri pakan ikan sehingga biaya
yang dibutuhkan untuk pengembangan industri perikanan menjadi lebih mahal karena
pakan yang harus diimpor dari luar daerah; ii) masih banyaknya ilegal fishing di daerah
perbatasan oleh nelayan asing seperti di Bengkalis dan Rokan Hilir serta masih terdapat
kapal penangkap ikan yang belum memiliki izin, iii) mata rantai distribusi didominasi oleh
pengepul sehingga bargaining power nelayan dalam menentukan harga relatif rendah
akibat (sistem pinjaman dengan pengepul yang di nilai lebih likuid sesuai kebutuhan; iv)
pengawasan terhadap daerah perairan di Riau masih rendah akibat keterbatasan Sumber
Daya Manusia; dan v) keterbatasan infrastruktur seperti pelabuhan perikanan dan
galangan kapal.
Grafik 1. Produksi Perikanan Riau Grafik 2. Produsen Ikan di Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
2010 2011 2012 2013 2014 2015
Ton
Perikanan Laut Kolam Perairan Umum
Boks
Mempercepat Pembangunan Infrastruktur Maritim
Untuk Mendukung Peningkatan Kepariwisataan Dan
Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan
Tabel 1. Produksi Perikanan Riau Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2015
Grafik 1 Produsen Ikan Grafik 2 Produksi Ikan
Selain itu, Riau juga memiliki potensi wisata bahari yang tidak kalah menariknya
dibandingkan Provinsi lain di Sumatera. Promosi objek wisata tersebut sebenarnya telah
dilakukan melalui berbagai media elektronik, cetak dan social media, namun belum mampu
menarik banyak wisatawan. Hal ini disebabkan oleh kondisi infrastruktur jalan yang kurang
memadai, sarana transportasi dan akomodasi yang kurang memadai, serta kurang terawatnya
kondisi dan fasilitas pendukung di daerah wisata. Beberapa objek wisata bahari unggulan di
Provinsi Riau antara lain:
Gambar 1
Objek Wisata Bahari Riau
Untuk memaksimalkan potensi ini, pemerintah daerah Provinsi Riau perlu untuk memperketat
pengawasan kapal yang beroperasi di wilayah perairan Riau terutama di daerah perbatasan yang
rawan tindakan pencurian ikan dan penjualan ikan di tengah laut, mendata kembali seluruh
kapal penangkap ikan, optimalisasi alokasi bantuan anggaran untuk nelayan, peningkatan
kualitas pelabuhan perikanan, dan mengaktifikan kembali galangan kapal. Disisi lain, untuk
memaksimalkan potensi wisata bahari, Riau perlu untuk melakukan percepatan perbaikan
infrastruktur menuju daerah wisata disertai dengan peningkatan fasilitas pendukung dan kondisi
akomodasi agar lebih memadai. Selain itu diperlukan penguatan Sumber Daya Manusia (SDM)
di sektor Pariwisata dan sektor Jasa, peningkatan sosialisasi dan kampanye Sadar Wisata, serta
menarik wisatawan dengan mengadakan event wisata tahunan seperti Bakar Tongkang, Pacu
Jalur, Bono, dan Festival Pulau Rupat.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
94
1. PROSPEK MAKROREGIONAL
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan III-2016 secara umum diperkirakan
tumbuh meningkat, berada pada kisaran 2.70+0.5%(yoy) dengan tendensi ke arah
batas atas. Sumber pertumbuhan dari sisi penggunaan diperkirakan berasal dari
seluruh komponen baik konsumsi, investasi, maupun ekspor yang mengalami
perbaikan kinerja dibandingkan triwulan sebelumnya. Sementara itu, secara sektoral
peningkatan kinerja diperkirakan berasal dari sektor pertanian, kehutanan, dan
perikanan, sektor industri pengolahan, sektor konstruksi, sektor perdagangan besar
dan eceran. Di sisi lain pertumbuhan ekonomi Riau tertahan oleh berlanjutnya
penurunan produksi sektor pertambangan dan penggalian yang diperkirakan lebih
dalam dari kontraksi yang terjadi pada triwulan I dan triwulan II tahun 2016.
PROSPEK PEREKONOMIAN
DAERAH
Bab 7
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
95
Tabel 7.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Aktual dan Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan III-2016 serta 2016 (Dalam %)
*: Data Sementara; ** Data Sangat Sementara:P Proyeksi Bank Indonesia
Ditinjau dari sisi penggunaan, pertumbuhan pada triwulan III 2016 diperkirakan
ditopang oleh permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga. Kondisi ini
sejalan dengan perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada triwulan III
2016 (Juli dan Agustus) di Provinsi Riau menunjukkan adanya tren peningkatan.
Peningkatan optimisme konsumen tersebut diperkirakan karena ekspektasi
perbaikan ekonomi sampai dengan 6 bulan yang akan datang, terutama espektasi
terhadap penghasilan dan konsumsi durable goods meskipun masih terbatas.
Grafik 7.1. Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik 7.2. Perkembangan Indeks Ekspektasi Konsumen
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Sementara itu konsumsi pemerintah juga diperkirakan akan meningkat jika
dibandingkan triwulan sebelumnya, terkait dengan mulai meningkatnya realisasi
APBD pada triwulan III 2016, dimana Gubernur meminta komitmen kepada seluruh
Kepala SKPD untuk meningkatkan realisasi belanja di semester II 2016.
Dari sisi eksternal, kinerja ekspor pada triwulan III 2016 diperkirakan membaik
namun masih terbatas. Ekspor luar negeri diperkirakan masih mengalami kontraksi
sejalan dengan masih menurunnya kinerja sektor pertambangan dan penggalian dari
sisi migas, serta masih terbatasnya perbaikan kinerja sektor perkebunan sawit dan
industri CPO (non migas). Selain itu faktor yang menahan pertumbuhan ekonomi
I II III IV I* II* IIIP
PDRB 2.70 -0.01 -2.13 -1.38 4.45 0.22 2.34 2.40 2.2-3.2 1.9-2.9
2016P20142015
20152016
Komponen
0
20
40
60
80
100
120
140
160
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7
2013 2014 2015 2016
Indeks
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE)
Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) Garis 100
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7
2013 2014 2015 2016
Indeks
Indeks Penghasilan Konsumen Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja
Indeks Konsumsi Durable Goods Garis 100
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
96
Riau adalah perbaikan pertumbuhan ekonomi global terutama negara mitra dagang
utama yang diperkirakan masih terbatas pada triwulan mendatang.
Tabel 7.2 Outlook Perekonomian Global
Sumber: Recent Economic Development Bank Indonesia, Juli 2016
Dari sisi sektoral, kinerja sektor pertanian di triwulan mendatang diperkirakan akan
membaik dibandingkan triwulan I dan triwulan II 2016. Faktor pendorong
meningkatnya pertumbuhan diperkirakan berasal dari subsektor perkebunan sawit.
Kurang optimalnya produksi sawit pada awal tahun 2016 karena tertundanya
pemupukan pada saat kondisi asap pada semester II 2015, diperkirakan akan terus
mulai membaik pada triwulan III 2016. Selain itu mulai meningkatnya harga TBS
lokal dan meningkatnya permintaan domestik CPO (termasuk penyerapan untuk
produk turunan), serta mulai berproduksinya beberapa lahan replanting mendorong
laju pertumbuhan sektor pertanian. Sejalan dengan peningkatan kinerja sektor
pertanian Riau, perkembangan sektor industri pengolahan juga diperkirakan akan
meningkat yang didorong oleh perbaikan harga komoditas internasional,
meningkatnya kinerja industri pengolahan CPO dan produk turunannya termasuk
biodiesel, serta industri pengolahan pulp and paper. Di sisi lain, menurunnya kinerja
industri pengilangan migas dan batubara menjadi faktor yang menahan
pertumbuhan.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2016 secara keseluruhan
diperkirakan tetap berada pada kisaran 1,9 2,9% (yoy) sesuai proyeksi pada
triwulan sebelumnya, lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 yang hanya tumbuh
2015 2016 2017 2016 2017 2016 2017 2016 2017 2016 2017 2016 2017 2016 2017
Dunia 3,1 3,4 3,6 3,2 3,5 3,3 3,8 3,3 3,5 3,7 4,0 3,4 3,6 3,1 3,3
Negara Maju 1,9 2,1 2,1 1,9 2,0 1,8 2,1 1,7 2,1 2,1 2,1 2,1 2,1 1,7 1,9
Amerika Serikat 2,5 2,6 2,6 2,4 2,5 2,0 2,4 1,8 2,3 1,9 2,3 2,6 2,5 2,0 2,2
Kawasan Eropa 1,5 1,7 1,7 1,5 1,6 1,5 1,7 1,6 1,6 1,6 1,6 1,7 1,7 1,5 1,6
Jepang 0,6 1,0 0,3 0,5 -0,1 0,7 0,6 0,5 0,5 0,5 0,9 1,0 0,4 0,5 0,0
Negara Berkembang 4,0 4,3 4,7 4,1 4,6 4,2 4,8 4,3 4,4 4,7 5,3 4,3 4,7 4,1 4,4
Negara Berkembang Asia 6,6 6,3 6,2 6,4 6,3
Tiongkok 6,9 6,3 6,0 6,5 6,2 6,5 6,3 6,5 6,3 6,6 6,3 6,3 6,0 6,5 6,2
India 7,3 7,5 7,5 7,5 7,5 7,6 7,7 7,6 7,7 7,6 7,7 7,5 7,5 7,5 7,5
Volume Perdagangan Dunia (barang dan jasa) 2,6 3,4 4,1 2,9 3,3 2,2 2,9
Harga Komoditas (U.S.Dollars)
Minyak (Minas&ICP, USD per barel) 50,9 42,0 48,2 34,8 41,1 37 46 35 43
Mei 2016
Consensus Forecast Bank Indonesia
Januari 2016Realisasi
Mei 2016 Juni 2016April 2016 April 2016 Februari 2016
WEO IMF
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
97
sebesar 0,22% (yoy). Pertumbuhan tertinggi diperkirakan terjadi pada triwulan III
2016 ini. Peningkatan kinerja ekonomi didorong oleh peningkatan kinerja sektor
pertanian, kehutanan, dan perikanan dan sektor industri pengolahan. Meningkatnya
permintaan ekspor ke negara tujuan utama dan permintaan domestik terutama
produk CPO, pulp dan kertas serta turunannya. Di sisi lain faktor yang menghambat
laju pertumbuhan adalah penurunan kinerja sektor pertambangan dan penggalian
disebabkan oleh penurunan kinerja lifting minyak bumi akibat natural declining,
dengan perkiraan penurunan pada kisaran 4-6% (yoy). Dari sisi penggunaan,
peningkatan ekonomi pada tahun 2016 utamanya disebabkan oleh meningkatnya
konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi akibat mulai
meningkatnya kondisi perekonomian, serta perbaikan kontraksi kinerja ekspor Riau.
Meskipun demikian, terdapat risiko yang berpotensi membawa pertumbuhan
ekonomi Riau menyentuh batas bawah proyeksi (downside risks). Kondisi ini
utamanya terkait dengan kondisi sumur minyak yang tidak produktif (natural
declining), tidak optimalnya penggunaan teknologi injeksi untuk optimalisasi
produksi, serta eksplorasi sumur baru yang terkendala proses perizinan sehingga
diperkirakan berpotensi mengakibatkan kontraksi yang lebih dalam pada sektor
pertambangan migas. Selain itu, potensi pemulihan kinerja sektor pertanian masih
cukup rendah, terutama terhadap subsektor perkebunan kelapa sawit sehubungan
dengan dampak el nino dan la nina yang berpotensi menyebabkan kebakaran hutan
dan lahan, serta kondisi banjir sehingga produksi pertanian relatif terganggu.
2. PERKIRAAN INFLASI
Tabel 7.3. Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan Inflasi Riau Triwulan II 2016
Inflasi Provinsi Riau pada triwulan mendatang diperkirakan akan cenderung
mengalami peningkatan, yaitu berada pada kisaran 3.15+0.5% (yoy). Peningkatan
tersebut disebabkan oleh peningkatan harga terutama bahan makanan yang cukup
tinggi pada awal triwulan III 2016. Adapun capaian inflasi hingga akhir tahun 2016
I II III IV I II IIIP
Inflasi Tahunan (% yoy) 6.17 7.40 5.70 2.65 4.42 1.92 2.65 - 3.65 3.45 - 4.45
Keterangan2015
2016P2016
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
98
diperkirakan berada pada kisaran 3,95 +0.5% (yoy), masih berada di dalam sasaran
inflasi nasional tahun 2016 sebesar 4±1% (yoy).
Faktor pendorong inflasi Riau pada triwulan III 2016 diperkirakan terutama berasal
dari inflasi volatile food, bersumber dari kenaikan harga bahan makanan akibat
keterbatasan pasokan seiring dengan kemungkinan terjadinya la nina yang menguat
sehingga mengganggu pasokan dari beberapa sentra produksi yang banyak
memasok kebutuhan ke wilayah Riau. Beberapa komoditas seperti beras, cabe
merah, bawang merah, daging sapi diperkirakan akan meningkat karena
keterbatasan pasokan. Selain itu tekanan inflasi volatile food juga didorong oleh
meningkatnya permintaan masyarakat pada hari raya Idul Fitri di awal triwulan III.
Inflasi kelompok administered price, diperkirakan mengalami penurunan seiring
penurunan tarif listrik dan penurunan bahan bakar Dexlite. Sementara itu, meskipun
relatif stabil tekanan inflasi inti diperkirakan sedikit meningkat akibat mulai
membaiknya daya beli masyarakat karena meningkatnya penghasilan (akibat mulai
meningkatnya harga TBS lokal) dan peningkatan realisasi belanja pemerintah
sehingga akan meningkatkan sisi permintaan. Faktor yang menahan peningkatan
tekanan inflasi inti adalah penguatan nilai tukar rupiah sehingga menurunkan
imported inflation.
Grafik 7.3. Perkembangan Harga Bumbu-Bumbuan di Kota Pekanbaru
Grafik 7.4. Perkembangan Harga Daging Segar & Hasilnya di Kota Pekanbaru
Sumber: Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia
Beberapa faktor yang diidentifikasi berpotensi membawa inflasi melewati batas atas
kisaran proyeksi (downside risk) antara lain, menguatnya kemungkinan terjadinya la
nina yang berpotensi menganggu produksi daerah sentra pertanian dan
meningkatkan inflasi bahan makanan. Sementara itu, terdapat beberapa faktor yang
8000
18000
28000
38000
48000
58000
68000
MI MIII MV MII MIV MII MIV MII MIV MI MIII MI MIII MV MII MIV M II M IV M II
Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 June-16 Juli 16 Agst 16
Cabai Merah Besar Cabai Merah Keriting Cabai Rawit
Bawang Merah Bawang Putih
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
160000
8000
13000
18000
23000
28000
33000
38000
43000
MI MIII MV MII MIV MII MIV MII MIV MI MIII MI MIII MV MII MIV M II M IV M II
Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 June-16 Juli 16 Agst 16
Daging Ayam Ras Telur Ayam Ras Daging Sapi
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
99
berpotensi membawa inflasi ke batas bawah (upside risks) proyeksi, yaitu
perkembangan harga minyak dunia yang masih belum membaik sehingga
meminimalisir tekanan inflasi dari kelompok administered prices. Pada tingkat
regional, koordinasi aktif forum Tim Pengendalian Inflasi Daerah terus ditingkatkan
baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, dengan beberapa fokus
pembahasan antara lain implementasi roadmap TPID Provinsi dan menyusun
roadmap TPID di tingkat Kota/Kabupaten, serta sosialisasi dan membuat rencana
tindak lanjut arahan Presiden dalam Rakornas VII TPID antara lain:
1. Mengintensifkan koordinasi dan mengoptimalkan program/kegiatan
pengendalian inflasi di tingkat Kota/Kabupaten
2. Merumuskan dukungan intervensi atau program pengendalian arga yang
diperlukan dengan alokasi APBD yang memadai
3. Melakukan monitoring kewajaran stok pangan di gudang-gudang secara
berkala dengan berkoordinasi dengan penegak hukum
4. Monitoring kondisi infrastruktur distribusi pangan daerah, melakukan respon
perbaikan secara cepat, dan berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat jika
terjadi kendala
5. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memicu disparitas harga seperti biaya
transportasi, biaya dan kondisi bongkar muat, kondisi penyimpanan barang,
serta faktor-faktor lainnya.
3. REKOMENDASI
Sehubungan dengan upaya pengendalian inflasi, dan upaya peningkatan
pertumbuhan ekonomi, maka diusulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Jangka pendek
a. Melakukan tindak lanjut dan monitoring secara intensif arahan Presiden
dalam Rakornas VII TPID, serta diintegrasikan dalam roadmap
pengendalian inflasi yang saat ini sedang dilengkapi (TPID Provinsi)/akan
disusun (untuk beberapa TPID Kabupaten/Kota)
b. Riau memiliki 2,3 juta Ha areal perkebunan kelapa sawit dimana 1,2 juta
diantaranya merupakan perkebunan milik rakyat. Pada tahun 2016,
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
100
terdapat 168 ribu Ha lahan perkebunan rakyat yang akan direplanting.
Dengan karakteristik kelapa sawit yang baru akan menghasilkan pada
tahun ke 4 dan mencapai produksi optimal pada tahun ke 7, terdapat
risiko kehilangan penghasilan di 84.000 KK atau 336.000 jiwa (asumsi 1
KK mengelola 2 Ha dan 1 KK berisi 4 jiwa). Risiko tersebut dapat
dimitigasi dengan membudidayakan tanaman pangan dalam periode
tanaman belum menghasilkan. Selain menjaga daya beli masyarakat,
program tersebut berpotensi meningkatkan produksi pangan Riau yang
dapat menjaga ketersediaan pasokan dan pengendalian harga.
c. Mekanisme dan pengelolaan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP)
Sawit perlu diperjelas sehingga transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan CPO Fund dapat dipertanggungjawabkan. Riau sebagai
penyumbang CPO Fund terbesar perlu mendapat perhatian khusus
terutama pembiayaan replanting yang belum dapat disupport dengan
optimal oleh lembaga keuangan.
d. Diusulkan ke pemerintah pusat agar prioritas pengembangan saluran
irigasi yang sebagian besar menggunakan anggaran APBN merupakan
saluran untuk tanaman pangan, sehingga produksi tanaman pangan
dapat lebih ditingkatkan.
2. Jangka panjang
a. Fokus pengembangan kawasan industri dan infrastruktur yang
mendukung industrialisasi seperti sarana jalan, pelabuhan dan kelistrikan
dengan terus melakukan monitoring progress dan evaluasi secara
intensif terutama untuk mendukung program hilirisasi sawit
(menciptakan nilai tambah produk kelapa sawit); Pembangunan
infrastruktur jalan tol, irigasi dan pelabuhan (Tanjung Buton dan Kuala
Enok) sebagai jalur distribusi membutuhkan peran pemerintah pusat
dikarenakan kebijakan dan penggunaan anggaran APBN yang memiliki
porsi lebih besar. Dalam hal pemenuhan kelistrikan PLN untuk
kebutuhan industri (terutama industri CPO), saat ini juga terhitung
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
101
sangat costly bagi pihak perusahaan yang diminta mempersiapkan sisi
infrastruktur dan perlengkapannya.
b. Diperlukan kerjasama antar daerah dalam pemenuhan kebutuhan
pangan dikarenakan karakteristik Provinsi Riau bukan merupakan daerah
sentra produksi pangan, sebagai langkah awal diperlukan realisasi
rencana kerjasama antar Gapoktan provinsi Sumbar, Sumut, Sumsel
komoditas beras.
c. Perlunya penyusunan roadmap pengembangan kemaritiman di Provinsi
Riau mengingat potensi perikanan dan kelautan yang cukup besar. Hal
ini tercermin dari total produksi perikanan yang terus meningkat setiap
tahunnya. Namun fokus pengembangan terhadap sektor kemaritiman di
Riau relatif minim. Sampai dengan saat ini, tidak ada industri pakan ikan
sehingga biaya pengembangan perikanan di Riau menjadi lebih mahal.
Selain itu, pemerintah daerah Provinsi Riau perlu untuk memperketat
pengawasan kapal yang beroperasi di wilayah perairan Riau terutama di
daerah perbatasan yang rawan tindakan pencurian ikan dan penjualan
ikan di tengah laut, mendata kembali seluruh kapal penangkap ikan,
optimalisasi alokasi bantuan anggaran untuk nelayan, peningkatan
kualitas pelabuhan perikanan, dan mengaktifikan kembali galangan
kapal. Disisi lain, untuk memaksimalkan potensi wisata bahari, Riau perlu
untuk melakukan percepatan perbaikan infrastruktur menuju daerah
wisata disertai dengan peningkatan fasilitas pendukung dan kondisi
akomodasi agar lebih memadai. Disamping itu, diperlukan penguatan
Sumber Daya Manusia (SDM) di sektor Pariwisata dan sektor Jasa,
peningkatan sosialisasi dan kampanye Sadar Wisata, serta menarik
wisatawan dengan mengadakan event wisata tahunan seperti Bakar
Tongkang, Pacu Jalur, Bono, dan Festival Pulau Rupat.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
xv
Aktiva Produktif
Adalah penanaman atau penempatan yang dilakukan oleh bank dengan
tujuan menghasilkan penghasilan/pendapatan bagi bank, seperti penyaluran
kredit, penempatan pada antar bank, penanaman pada Sertifikat Bank
Indonesia (SBI), dan surat-surat berharga lainnya.
Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR)
Adalah pembobotan terhadap aktiva yang dimiliki oleh bank berdasarkan
risiko dari masing-masing aktiva. Semakin kecil risiko suatu aktiva, semakin
kecil bobot risikonya. Misalnya kredit yang diberikan kepada pemerintah
mempunyai bobot yang lebih rendah dibandingkan dengan kredit yang
diberikan kepada perorangan.
Kualitas Kredit
Adalah penggolongan kredit berdasarkan prospek usaha, kinerja debitur dan
kelancaran pembayaran bunga dan pokok. Kredit digolongkan menjadi 5
kualitas yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kurang Lancar,
Diragukan dan Macet.
Capital Adequacy Ratio (CAR)
Adalah rasio antara modal (modal inti dan modal pelengkap) terhadap Aktiva
Tertimbang Menurut Resiko (ATMR).
Dana Pihak Ketiga (DPK)
Adalah dana yang diterima perbankan dari masyarakat, yang berupa giro,
tabungan atau deposito.
DAFTAR ISTILAH
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
xvi
Financing to Deposit Ratio (FDR)
Adalah rasio antara pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah terhadap
dana yang diterima. Konsep ini sama dengan konsep LDR pada bank umum
konvensional.
Inflasi
Kenaikan harga barang secara umum dan terus menerus (persistent).
Inflasi Administered Price
Inflasi yang terjadi pergerakan harga barang-barang yang termasuk dalam
kelompok barang yang harganya diatur oleh pemerintah (misalnya bahan
bakar).
Inflasi Inti
Inflasi yang terjadi karena adanya gap penawaran aggregat and permintaan
agregrat dalam perekonomian, serta kenaikan harga barang impor dan
ekspektasi masyarakat.
Inflasi Volatile Food
Inflasi yang terjadi karena pergerakan harga barang-barang yang termasuk
dalam kelompok barang yang harganya bergerak sangat volatile (misalnya
beras).
Kliring
Adalah pertukaran warkat atau Data Keuangan Elektronik (DKE) antar peserta
kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah peserta yang
perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu.
Kliring Debet
Adalah kegiatan kliring untuk transfer debet antar bank yang disertai dengan
penyampaian fisik warkat debet seperti cek, bilyet giro, nota debet kepada
penyelenggaran kliring lokal (unit kerja di Bank Indonesia atau bank yang
memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagai penyelenggara kliring lokal)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
xvii
dan hasil perhitungan akhir kliring debet dikirim ke Sistem Sentral Kliring (unit
kerja yang menangani SKNBI di KP Bank Indonesia) untuk diperhitungkan
secara nasional.
Kliring Kredit
Adalah kegiatan kliring untuk transfer kredit antar bank yang dikirim langsung
oleh bank peserta ke Sistem Sentral Kliring di KP Bank Indonesia tanpa
menyampaikan fisik warkat (paperless).
Loan to Deposit Ratio (LDR)
Adalah rasio antara jumlah kredit yang disalurkan terhadap dana yang
diterima (giro, tabungan dan deposito).
Net Interest Income (NII)
Adalah antara pendapatan bunga dikurangi dengan beban bunga.
Non Core Deposit (NCD)
Adalah dana masyarakat yang sensitif terhadap pergerakan suku bunga.
Dalam laporan ini, NCD diasumsikan terdiri dari 30% giro, 30% tabungan dan
10% deposito berjangka waktu 1-3 bulan.
Non Performing Loans/Financing (NLPs/Ls)
Adalah kredit/pembiayaan yang termasuk dalam kualitas Kurang Lancar,
Diragukan dan Macet
Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP)
Adalah suatu pencadangan untuk mengantisipasi kerugian yang mungkin
timbul dari tidak tertagihnya kredit yang diberikan oleh bank. Besaran PPAP
ditentukan dari kualitas kredit. Semakin buruk kualitas kredit, semakin besar
PPAP yang dibentuk. Misalnya, PPAP untuk kredit yang tergolong Kurang
Lancar adalah 15% dari jumlah kredit Kurang Lancar (setelah dikurangi
agunan), sedangkan untuk kredit Macet, PPAP yang harus dibentuk adalah
100% dari total kredit macet (setelah dikurangi agunan).
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
xviii
Rasio Non Performing Loans/Financing (NPLs/Fs)
Adalah rasio kredit/pembiayaan yang tergolong NPLs/Fs terhadap total
kredit/pembiayaan. Rasio ini juga sering disebut rasio NPLs/Fs gross. Semakin
rendah rasio NPLs/Fs, semakin baik kondisi bank ysb.
Rasio Non Performing Loans (NPLs) Net
Adalah rasio kredit yang tergolong NPLs, setelah dikurangi pembentukan
Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP), terhadap total kredit
Sistem Bank Indonesia Real Time Settlement (BI RTGS)
Adalah proses penyelesaian akhir transaksi pembayaran yang dilakukan
seketika (real time) dengan mendebet maupun mengkredit rekening peserta
pada saat bersamaan sesuai perintah pembayaran dan penerimaan
pembayaran.
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKN-BI)
Adalah sistem kliring Bank Indonesia yang meliputi kliring debet dan kliring
kredit yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
Adalah persentase jumlah angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
Adalah persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja.