journal reading ppt 2

51
JOURNAL READING Diagnosis dan Pengobatan Reaksi Kusta di Layanan Terpadu – Perspektif Pasien di Nepal Sonia F. Raffe, Min Thapa, Saraswoti Khadge, Khrisna Tamang, Deanna Hagge, Diana N.J. Lockwood PLoS Neglected Tropical Disease 7(3): e2089. doi:10.1371/journal.pntd.0002089 Dipublikasi pada tanggal 7 Maret 2013 LIDYA CHRISTY AGUSTINE BONITA (030.10.161) FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI SMF KULIT DAN KELAMIN RSUD KARDINAH TEGAL PEMBIMBING: DR. SRI PRIMAWATI INDRASWARI, SP.KK, MM

Upload: lidya-christy-agustine-bonita

Post on 06-Sep-2015

264 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

journal reading dermatology

TRANSCRIPT

PowerPoint Presentation

JOURNAL READING

Diagnosis dan Pengobatan Reaksi Kusta di Layanan Terpadu Perspektif Pasien di NepalSonia F. Raffe, Min Thapa, Saraswoti Khadge, Khrisna Tamang, Deanna Hagge, Diana N.J. Lockwood

PLoS Neglected Tropical Disease 7(3): e2089.doi:10.1371/journal.pntd.0002089Dipublikasi pada tanggal 7 Maret 2013

Lidya Christy Agustine Bonita (030.10.161)Fakultas Kedokteran Universitas TrisaktiSMF Kulit dan Kelamin RSUD Kardinah TegalPembimbing: dr. Sri Primawati Indraswari, Sp.KK, MM

AbstrakLatar belakangMetodepasien langsung maupun rujukan dengan reaksi kusta diwawancara di dua rumah sakit kusta di Nepal.data kuantitatif dan kualitatif dari pemeriksaan klinis dan tinjauan kasusHasilTotal 75 pasien diwawancaraMereka yang langsung mendatangi dokter spesialis 6,6 kali lebih dulu mendapat pengobatan yang sesuai dibandingkan dengan mereka yang mendatangi tempat lainnya (95% CI: 3.01 to 14.45). Rata-rata keterlambatan antara onset dari symptom sampai dimulainya kortikosteroid adalah 2,9 bulan (rentang 0-24 bulan). Hasil (2)Hambatan ada pada kurangnya pengetahuan pasien & prioritas kesehatan yang masih rendahInkonsistensi dalam ketersediaan kortikosteroid teridentifikasi, dan 41% pasien yang diobati untuk kusta dan reaksi pada pasien rawat jalan mendatangi beberapa tempat untuk pengobatan lanjutKesimpulanlayanan spesialis dibutuhkan untuk terus memberikan dukungan yang signifikan dalam pendekatan sistem kesehatan terpadu terhadap diagnosis dan pengelolaan reaksi kusta.PendahuluanTujuanDengan mendokumentasi perjalanan ini, penelitian bertujuan untuk menggambarkan:Ringkasan penulisRingkasan penulis (2)METODEPersetujuan etikPemilihan pasienKriteria inklusiPengumpulan dataAnalisis dataHasilDetail pasien57 partisipan (78%) yang diwawancarai adalah laki-laki.Usia partisipan merata dalam kisaran 16-78 tahun, dengan usia rata-rata 40 tahun.93% pasien tinggal di pedesaan. 55% tidak pernah sekolah dan 49% adalah petani (gambar 1). Pasien berasal dari 27 kabupaten berbeda di Nepal, termasuk 11 kabupaten di luar area jangkauan 2 RS tersebut

Gambar 1. Usia, jenis kelamin, dan status pendidikan pasienPasien telah didiagnosis dengan penyakit kusta antara Agustus 2005 dan Juli 2010.65 peserta (86%) bertipe multibasiler dan 10 peserta (14%) bertipe pausibasiler.49 pasien (65%) pertama kali didiagnosis kusta di layanan spesialis, 15 dirumah sakit daerah atau rumah sakit umum, 4 oleh dokter pribadi, 5 di pos kesehatan dan 2 di lokasi lain.

Frekuensi follow up ke layanan spesialisDari pasien yang diwawancarai:38 (51%) adalah pasien rawat inap yang menerima pengobatan reaksi,19 (25%) mendatangi layanan spesialis lebih dari sekali per bulan,11 (15%) satu kali sebulan 4 (5%) kurang dari sekali dalam sebulan.3 dari pasien baru terdiagnosis pada saat wawancara sehingga frekuensi follow-up belum didapatkanDetail reaksi55% pasien baru pertama kali datang dengan reaksi dan tidak terdiagnosis kusta sebelumnya (gambar 2).24 pasien sedang dalam pengobatan MDT pada saat diagnosis reaksi 6 pasien telah menyelesaikan pengobatan MDT.

Gambar 2. Hubungan waktu diagnosis reaksi dan multi-drug therapyDetail reaksi (2)42 pasien bertipe T1R (termasuk delapan pasien neuritis murni)32 pasien bertipe ENL1 pasien memiliki baik T1R dan ENL secara bersamaan (gambar 2).

Gambar 2. Hubungan waktu diagnosis reaksi dan multi-drug therapyDetail reaksi (3)Perubahan lesi kulit merupakan gejala umum pada T1RPerkembangan nodul yang nyeri adalah gejala yang paling sering dilaporkan di ENL, diikuti oleh nyeri sendi atau wajah (tabel 1).Saat wawancara, 37% memiliki beberapa bukti neuropati dengan tes kekuatan otot motorik dan tes sensorik: 35% dari T1R, 35% ENL, dan 62,5% dari pasien neuritis.

Tabel 1. Gejala yang dilaporkan oleh pasien dengan reaksi kustaDetail reaksi (4) Saat munculnya reaksi kusta, pasien mendatangi beberapa layanan berikut:29 pasien langsung ke dokter spesialis (termasuk 3 yang saat ini pasien rawat inap),17 pasien mendatangi dokter pribadi,13 pasien ke rumah sakit daerah atau rumah sakit umum,8 pasien ke pengobatan tradisional,5 pasien ke pos kesehatan,1 pasien ke toko obat dan2 pasien ke lokasi lain (gambar 3).

Gambar 3. Jumlah pasien yang pada awalnya mendatangi tiap layananJarak antara tempat tinggal pasien dengan tempat pelayanan kesehatan: 1. sebanyak 51% berjarak satu jam perjalanan2. sebanyak 43% berjarak satu hari perjalanan3. 4% lebih dari satu hari perjalanan4. 3% sudah merupakan pasien rawat inap ketika reaksi muncul

Kebanyakan pasien (56%) melakukan perjalanan dengan bus ketika berkonsultasi awal.

Kedatangan ke layanan spesialisKedatangan ke layanan spesialis (2)

Gambar 4. Sumber rujukan ke layanan spesialis kustaSecara keseluruhan, pasien yang datang ke layanan spesialis 6,6 kali lebih dulu dimulai pengobatan steroid dibanding pasien yang berkonsultasi di tempat lain [RR 6,6 (95% CI: 3,01-14,45)].

Pengobatan reaksi (2)

Gambar 5. Frekuensi reaksi berdasarkan tipe episodeDurasi pengobatan:9 pasien berhasil diobati dengan 12 minggu steroid dan 14 pasien (34% total) berespon dalam 20 minggu. Hanya dua pasien ENL yang berhasil dikelola dalam 20 minggu.Lima puluh empat (72%) dari pasien memerlukan rawat inap dengan median durasi 35,5 hariKeterlambatan datang ke pelayananPeserta 55, laki-laki 32 tahun dari Nepal Tenggara telah menyadari perubahan kulit dan kesemutan di tangan kanannya selama dua bulan sebelum ia mendatangi Rumah Sakit Lalgadh untuk berkonsultasi. Ketika ditanya mengapa ia menunggu begitu lama untuk berobat, ia menjelaskan karena penting baginya untuk menyelesaikan pekerjaan menanam padi di ladang. Kesehatannya adalah prioritas lebih rendah dibandingkan memberi makan keluarganya.

Peserta 50, laki-laki 23 tahun, awalnya menyadari kelainan kulit dengan sensasi tidak normal, tetapi baru berkonsultasi ketika muncul nodul beberapa minggu kemudian. Karena kepercayaan tradisional, ia mendatangi dukun setempat yang mengatakan bahwa ia terkena cacar air dan mengobatinya dengan tanah liat. Tiga bulan kemudian karena nodul menetap, ia mendatangi sebuah rumah sakit spesialis kusta atas saran dari penderita kusta lain dari desanya.Delapan (12%) dari total pasien berkonsultasi dengan pengobatan tradisional dengan kisaran 1-50 kali sebelum mencari perawatan di tempat lain. 6 menerima terapi ritual, 1 tidak menerima pengobatan dan 1 pasien disarankan untuk mendatangi layanan spesialis kusta.

Kelanjutan perawatanKelanjutan pengobatanPeserta 70, seorang petani 58 tahun didiagnosa menderita kusta dan reaksi kusta tipe 1 pada awal tahun ini. Dia menjelaskan bahwa ia memperoleh MDT-nya di pos kesehatan desa, namun ia harus ke rumah sakit kusta dua kali sebulan untuk memperoleh steroid, yang membutuhkan satu hari perjalanan.Ketika ditanya mengapa ia harus pergi ke dua lokasi yang berbeda untuk follow-up, ia mengatakan tidak tahu.Dari pasien yang diobati secara rawat jalan, 18 pasien (58%) dapat memperoleh MDT dan steroid dari lokasi yang sama, tetapi 13 (42%) mendatangi dua lokasi yang berbeda; satu untuk MDT, kedua untuk steroid. Belum jelas alasan mengapa pasien memilih untuk mendatangi 2 tempat pengobatan.DiskusiKesimpulanKesimpulanReferensi1. Scollard DM, Adams LB, Gillis TP, Krahenbuhl JL, Truman RW, et al. (2006) The Continuing Challenges of Leprosy. Clin Microbiol Rev 19: 338381. doi:10.1128/CMR.19.2.338-381.2006.2. Saunderson P (2002) How to Recognise and Manage Leprosy Reactions. International Federation of Anti-Leprosy Associations. 52 pp.3. Britton WJ, Lockwood DNJ (2004) Leprosy. Lancet 363: 12091219. doi:10.1016/S0140-6736(04)15952-7.4. Kahawita IP, Walker SL, Lockwood DNJ (2008) Leprosy type 1 reactions and erythema nodosum leprosum. Anais Brasileiros de Dermatologia 83: 7582.5. Bryceson A, Pfaltzgraff RE, editors (1990) Leprosy. 3rd edition. Edinburgh: Churchill Livingstone.6. Van Veen N, Nicholls PG, Smith W, Richardus JH (2007) Corticosteroids for treating nerve damage in leprosy. (A Cochrane review). Lepr Rev 79: 36171. doi:10.1002/14651858.CD005491.pub2.7. Sundar Rao P, Sugamaran D, Richard J, Smith W (2006) Multi-centre, double blind, randomized trial of three steroid regimens in the treatment of type-1 reactions in leprosy. Lepr Rev 77: 25.8. Naafs B (2006) Treatment of Leprosy: science or politics? Trop Med Int Health 11: 268278. doi:10.1111/j.1365-3156.2006.01561.x.9. Pocaterra L, Jain S, Reddy R, Muzaffarullah S, Torres O, et al. (2006) Clinical course of erythema nodosum leprosum: an 11-year cohort study in Hyderabad, India. Am J Trop Med Hyg 74: 868879.10. Leprosy WECO (1998) WHO Expert Committee on Leprosy. 7th edition. Geneva: World Health Organization.11. Worldbank (2007) Nepal: Transport At Glance. siteresourcesworldbankorg: 12. Available: http://siteresources.worldbank.org/INTSARREGTOPTRANSPORT/1812598-1130163732725/21884244/Nepal_Transport_At_Glance_2007_update_2008.pdf. Accessed 2 April 2012.12. Jain MC (2008) Leprosy Scenario in Nepal. J Nepal Med Assoc 47: 259263.13. World Health Organization (2009) Enhanced Global Strategy for Further Reducing the Disease Burden due to Leprosy (Plan Period: 20112015). World Health Organization.14. Pope C, Ziebland S, Mays N (2000) Analysing qualitative data. BMJ 320: 114 116.15. Richardus JH, Withington SG, Anderson AM, Croft RP, Nicholls PG, et al. (2003) Adverse events of standardized regimens of corticosteroids for prophylaxis and treatment of nerve function impairment in leprosy: results from the TRIPOD trials. Lepr Rev 74: 319327.16. Wijesinghe PR, Settinayake S (2005) An analysis of the pattern of detection of leprosy patients by institutions in the general health services in Sri Lanka after the integration of leprosy services into general health services. Lepr Rev 76: 296304.17. Siddiqui MR, Velidi NR, Pati S, Rath N, Kanungo AK, et al. (2009) Integration of Leprosy Elimination into Primary Health Care in Orissa, India. PLoS ONE 4:e8351. doi:10.1371/journal.pone.0008351.