disusun oleh - · pdf fileiv kata pengantar puji syukur penulis panjatkan kehadirat tuhan yang...
TRANSCRIPT
PEMBERIAN DEEP BREATHING EXERCISES
STATUS OKSIGENASI PASIEN
SEDANG
RUMAH SAKIT Dr. MOEWARDI
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
DEEP BREATHING EXERCISES TERHADAP
OKSIGENASI PASIEN CEDERA KEPALA
SEDANG POST KRANIOTOMI DI RUANG ICU
RUMAH SAKIT Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
DISUSUN OLEH :
ADHY PRASETYO
NIM. P 13001
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
TERHADAP
CEDERA KEPALA
RUANG ICU
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
PEMBERIAN DEEP BREATHING EXERCISES
STATUS OKSIGENASI PASIEN CEDERA KEPALA
SEDANG
RUMAH SAKIT Dr. MOEWARDI
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
i
DEEP BREATHING EXERCISES TERHADAP
OKSIGENASI PASIEN CEDERA KEPALA
SEDANG POST KRANIOTOMI DI RUANG ICU
RUMAH SAKIT Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DISUSUN OLEH :
ADHY PRASETYO
NIM. P 13001
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
TERHADAP
OKSIGENASI PASIEN CEDERA KEPALA
RUANG ICU
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah dengan judul “Pemberian Deep Breathing Exercises Terhadap Status
Oksigenasi Pasien Cedera Kepala Post Kraniotomi di Ruang ICU Rumah Sakit
Dr. Moewardi Surakarta”
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat:
1. Ns. Wahyu Rima Agustin M.Kep, selaku Ketua STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di
STIKes Kusuma Husada Surakarta.
2. Ns. Meri Oktariani. M.Kep, selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan
yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes
Kusuma Husada Surakarta.
3. Ns. Alfyana Nadya R. M.Kep, selaku Sekretaris Program Studi DIII
Keperawatan yag telah memberikan kesempatan dan arahan untuk dapat
menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta.
4. Ns. Anisa Cindy Nurul A. M.Kep, selaku dosen pembimbing sekaligus
sebagai penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan
masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta
memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
5. Ns. Siti Mardiyah S.Kep, selaku dosen penguji yang telah membimbing
dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman
dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
6. Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya
serta ilmu yang bermanfaat.
v
7. Bapak saya Aliman dan ibu saya Sri Hartini, yang selalu menjadi inspirasi dan
memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan.
8. Kakak saya Wachyu Nugroho dan Asri Wahyu Pratiwi, adik saya Suryo
Harnowo yang selalu memberikan dukungan dan semangat.
9. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma
Husada Surakarta kelas 3A maupun 3B dan berbagai pihak yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta, 10 Mei 2016
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME .................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Tujuan Penulisan .......................................................................... 5
C. Manfaat Penulisan ........................................................................ 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan teori ............................................................................... 7
1. Cedera Kepala ...................................................................... 7
2. Asuhan Keperawatan ............................................................. 17
3. Status Oksigenasi ................................................................... 22
4. Deep Breathing Exercises (DBE) ........................................ 29
B. Kerangka Teori ............................................................................. 33
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subyek Aplikasi Riset .................................................................. 34
B. Tempat dan Waktu ....................................................................... 34
C. Media dan Alat yang digunakan ................................................... 34
D. Prosedur Tindakan Berdasarkan Aplikasi Riset ........................... 35
E. Alat Ukur Evaluasi ....................................................................... 36
BAB IV LAPORAN KASUS
A. Pengkajian .................................................................................... 37
B. Diagnosa Keperawatan ................................................................. 42
C. Intervensi Keperawatan ................................................................ 43
D. Implementasi Keperawatan ........................................................... 45
E. Evaluasi Keperawatan .................................................................. 51
vii
BAB V PEMBAHASAN
A. Pengkajian .................................................................................... 55
B. Diagnosa Keperawatan ................................................................. 62
C. Intervensi ....................................................................................... 66
D. Implementasi ................................................................................ 70
E. Evaluasi ........................................................................................ 73
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................... 76
B. Saran ............................................................................................. 79
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
viii
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 USULAN JUDUL
LAMPIRAN 2 LEMBAR KONSULTASI
LAMPIRAN 3 SURAT PERNYATAAN
LAMPIRAN 4 JURNAL
LAMPIRAN 5 ASUHAN KEPERAWATAN
LAMPIRAN 6 LOG BOOK
LAMPIRAN 7 PENDELEGASIAN
LAMPIRAN 8 LEMBAR OBSERVASI
LAMPIRAN 9 SOP DEEP BREATHING EXERCISES
LAMPIRAN 10 DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut World Health Organization (WHO) 2013 terjadi kecelakaan
yang menyebabkan cedera kepala sebanyak 940.000 (2,4%) diseluruh dunia.
Kejadian cedera kepala di Amerika Serikat pada tahun 2013 diperkirakan
mencapai 500.000 kasus, yang terdiri dari cidera kepala ringan sebanyak
296.678 orang (59,3%), cidera kepala sedang sebanyak 100.890 orang
(20,17%) dan cidera kepala berat sebanyak 102.432 orang (20,4%). Dari
sejumlah kasus tersebut 10% penderitanya meninggal sebelum tiba di Rumah
Sakit. Di Indonesia cedera kepala menempati peringkat pertama pada urutan
cedera yang dialami oleh korban kecelakaan lalu lintas yaitu sebesar 33,2%.
Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas (2013) ada sebanyak
18,9% korban kecelakaan lalu lintas yang mengalami cedera kepala.
Angka kejadian cedera kepala di RSUD Dr. Moewardi dari bulan
Januari-Oktober 2015 sebanyak 453 kasus, sedangkan data dari Instalasi
Gawat Darurat (IGD) dari tanggal 2 Juli-29 Juli 2015 di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta terdapat 43 pasien cidera kepala yang terdiri dari 29
(68,4%) laki-laki dan 14 (31,5%) perempuan yang mengalami cedera kepala
ringan sampai berat. Pasien dengan cidera kepala ringan (CKR) sebanyak 21
(48,8%), cidera kepala sedang (CKS) 8 (18,6%) dan cidera kepala berat
2
(CKB) 14 (32,5%). Cedera ini mayoritas disebabkan oleh kecelakaan
lalulintas. (RM RSDM, 2015)
Cedera kepala berat merupakan cidera kepala yang mengakibatkan
penurunan kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8, mengalami amnesia >
24jam. Penyebab cedera kepala berat adalah trauma tajam, kerusakan terjadi
hanya terbatas pada daerah yang mengalami robek, misalnya tertembak
peluru/benda tajam, ada juga penyebab lain yaitu trauma tumpul adalah
kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
Cedera akselerasi adalah peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik
disebabkan oleh pukulan maupun bukan dari pukulan, selain itu disebabkan
oleh kecelakaan kendaraan bermotor dan mobil, kecelakaan pada saat olah
raga. Bisa juga terjadi cedera akibat kekerasan, karena akibat benturan,
memar, robekan atau hemoragi dan dapat menababkan Hematom
intracerebral. (Hariyani, 2013)
Cidera kepala berat merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif, akibat trauma pasien
mengalami perubahan fisik maupun psikologis. Akibat yang sering terjadi
pada pasien CKB antara lain terjadi cedera otak sekunder, edema cerebral
,peningkatan tekanan intrakranial, vasospasme, hidrosefalus, gangguan
metabolik, infeksi dan kejang . (Hariyani, 2012)
Gambaran klinis cedera kepala berat adalah ada kontusio dan segera
terjadi kehilangan kesadaran. Pada hematom kesadaran dapat hilang segera
atau secara bertahap seiring dengan membesarnya hematom atau edema
3
interstisium. Pola pernafasan dapat secara progresif menjadi abnormal.
Respon pupil dapat lenyap atau secara progresif memburuk. Nyeri kepala
dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan peningkatan Tekanan Intra
Kranial (TIK). Dapat timbul muntah-muntah akibat peningkatan TIK.
Perubahan perilaku, kognitif, dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan
motorik dapat timbul segera atau secara lambat. (Hariyani, 2012)
Penanganan pasien cedera kepala berfokus pada mencegah terjadinya
kematian dan meminimalkan kecacatan. Untuk mengurangi resiko tersebut,
dibutuhkan penanganan yang cepat dan akurat, serta meminimalkan
terlambatnya rujukan yang menyebabkan kondisi pasien semakin memburuk.
Salah satu tindakan medis pada pasien cedera kepala adalah kraniotomi atau
pembedahan, pasien cedera kepala yang menjalani pembedahan akan
mengalami kelemahan pada otot-otot pernapasan selama operasi. Selain itu
ada kemungkinan terjadinya hipoksemia yang mengakibatkan penurunan
tekanan O2 parsial saturasi oksigen (SpO2), fraksi oksigen inspirasi (PaO2)
dan meningkatnya pernapasan atau Respiratory Rate (RR) sebagai
kompensasi yang dilakukan tubuh. Apabila SpO2 menurun dan PaO2
menurun secara otomatis tubuh akan berkompensasi meningkatkan usaha
ambilan oksigen dengan meningkatnya RR. Untuk menjaga kestabilan status
oksigenasi dan hemodinamik, peran perawat dalam penanganan secara non
farmakologi yaitu mempertahankan oksigenasi Non Rebreathing Mask
(NRM) 8-10 l/m, observasi frekuensi RR, kolaborasi untuk pemeriksaan
Analisa Gas Darah (AGD). Salah satu tindakan untuk stabilisasi oksigenasi
4
dan hemodinamika adalah dengan mengguanakan tehnik napas dalam.
(Batticaca, 2008)
Tehnik deep breathing exercises adalah tehnik menarik nafas secara
perlahan dan sedalam mungkin, kemudian menahan nafas selama 3 detik, lalu
buang nafas dengan santai, dari hasil penelitian Arzu dkk pada tahun 2008
menjelaskan bahwa teknik deep breathing exercises dapat meningkatkan
secara signifikan status oksigenasi yang dinyatakan dengan peningkatan
tekanan O2 parsial saturasi oksigen (SpO2) dan penurunan yang signifikan
pada tingkat pernafasan atau Respiratory Rate (RR). Teknik deep breathing
exercises dapat menghilangkan sekresi dan merelaksasikan pasien, selain itu
juga dapat meningkatkan pergerakan atau pengembangan dinding dada
sehingga dapat meningkatkan produksi surfaktan dan dapat meningkatkan
kompliensi paru-paru, ventilasi alveolus, meningkatkan oksigenasi dan
menurunkan RR.
Berdasarakan latar belakang masalah di atas penulis tertarik untuk
mengaplikasikan tindakan pemberian deep breathing exercises untuk
meningkatkan status oksigenasi pada pasien dengan cedera kepala.
5
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mengaplikasikan tehnik deep breathing exercises untuk
meningkatkan status oksigenasi pada pasien dengan cedera kepala.
2. Tujuan khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan cedera
kepala.
b. Penulis mampu merumuskan diagnose pada pasien dengan cedera
kepala.
c. Penulis mampu menyusun intervensi pada pasien dengan cedera
kepala.
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada pasien dengan cedera
kepala
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada pasien dengan cedera
kepala.
f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian tehnik deep breathing
exercise pada peningkatan status oksigenasi pada pasien dengan
cedera kepala.
6
C. Manfaat
1. Bagi pasien dan keluarga
Sebagai referensi dalam membantu meningkatkan status
oksigenasi yang dapat dilakukan secara mandiri ini untuk pasien dengan
bimbingan keluarga dalam kehidupan sehari – hari.
2. Bagi rumah sakit
Sebagai referensi bahwa pemberian deep breathing exercises
merupakan salah satu cara alternatif untuk meningkatkan status
oksigenasi yang dapat diimplementasikan pada pasien cedera kepala
untuk perawat secara mandiri.
3. Bagi institusi pendidikan
Sebagai referensi dalam pengembangan ilmu keperawatan
terutama mengenai tindakan – tindakan mandiri calon perawat dalam
pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala.
4. Bagi penulis
Sebagai pengalaman dalam melakukan intervensi berbasis riset di
bidang Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis khususnya pasien dengan
cedera kepala.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Cedera Kepala
a. Pengertian Cedera Kepala
Cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala, baik
secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan
gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi
psikososial baik temporer maupun permanen. (Sudiharto dan
Sartono, 2010)
b. Klasifikasi
Menurut Padila (2013), cedara kepala dapat dibagi menjadi 3,
yaitu:
1) Cedera Kepala Ringan
Glasgow Coma Scale>12, tidak ada kelainan dalam CT-
scan, tiada lesi operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah
Sakit.Trauma kepala ringan atau cedera kepala ringan adalah
hilangnya fungsi neurologi atau menurunnya kesadaran tanpa
menyebabkan kerusakan lainnya. Cedera kepala ringan adalah
trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak kehilangan
kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma,
laserasi dan abrasi. Cedera kepala ringan adalah cedara otak
8
karena tekanan atau terkena benda tumpul. Cedera kepala ringan
adalah cedera kepala tertutup yang ditandai dengan hilangnya
kesadaran sementara. Penelitian ini didapat kadar laktat rata-rata
pada penderita cedera kepala ringan 1,59 mmol/L.
2) Cedera Kepala Sedang
Glasgow Coma Scale 9 - 12, lesi operatif dan
abnormalitas dalam CT-scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah
Sakit). Pasien mungkin bingung atau somnolen namun tetap
mampu untuk mengikuti perintah sederhana (GCS 9-13). Pada
suatu penelitian cedera kepala sedang mencatat bahwa kadar
asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L.
3) Cedera Kepala Berat
Glasgow Coma Scale < 9 dalam 48 jam rawat inap di
Rumah Sakit. Hampir 100% cedera kepala berat dan 66% cedera
kepala sedang menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera
kepala berat terjadinya cedera otak primer seringkali disertai
cedera otak sekunder apabila proses patofisiologi sekunder yang
menyertai tidak segera dicegah dan dihentikan. Penelitian pada
penderita cedera kepala secara klinis dan eksperimental
menunjukkan bahwa pada cedera kepala berat dapat disertai
dengan peningkatan titer asam laktat dalam jaringan otak dan
cairan serebrospinalis (CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis
9
otak. Penderita cedera kepala berat, penelitian menunjukkan
kadar rata-rata asam laktat 3,25 mmol/L.
c. Etiologi
Menurut Brain Injury Association of America (2013),
penyebab utama cedera kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%,
kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan kecelakaan
secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat
ledakan di medan perang merupakan penyebab utama cedera kepala
kepala.
Menurut CDC (2011) dari 2006-2010, menyatakan bahwa
jatuh adalah penyebab utama traumatic brain injury (TBI),
prevalensi untuk 40% dari semua TBI di Amerika Serikat yang
mengakibatkan peningkatan di instalasi gawat darurat (IGD) rumah
sakit atau kematian. Jatuh secara tidak proporsional mempengaruhi
kelompok usia termuda dan tertua. Lebih dari setengah (55%) dari
TBI antara anak-anak 0-14 tahun disebabkan karena jatuh, lebih dari
dua pertiga (81%) dari TBI pada orang dewasa berusia 65 dan lebih
tua disebabkan karena jatuh. Kecelakaan kendaraan bermotor adalah
penyebab utama keseluruhan bermotor adalah penyebab utama
kedua kematian terkait TBI (26%) untuk periode 2006-2010 tahun.
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab
rawat inap pasien trauma kepala yaitu sebanyak 32,1% dan 29,8%
per 100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap
10
pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1% per100.000 populasi
di Amerika Serikat (Coronado, 2011). Penyebab utama terjadinya
trauma kepala adalah seperti berikut:
1) Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan
bermotor bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda
lain. Sehingga menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada
pengguna jalan raya (Rendi & Margareth, 2012). Penelitian
Babu dkk, menemukan bahwa penyebab cedera kepala pada
pasien dengan perdarahan epidural adalah kecelakaan lalulintas
sebesar 52%, diikuti oleh jatuh sebesar 25% (Babu,
Bhasin&Kumar, 2005). Penelitian Al- Mochdar (2005)
menemukan bahwa kecelakaan lalulintas sebesar 90,8% dan
Sadewo (2005) menemukan kecelakaan lalulintas sebesar 65,1%
diikuti oleh jatuh sebesar 16,3%.
2) Jatuh
Jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau
meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik
ketika masih digerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah
(Rendi & Margareth, 2012). Menurut CDC (2011), menyatakan
bahwa Jatuh secara tidak proporsional mempengaruhi kelompok
usia termuda dan tertua: Lebih dari setengah (55%) dari TBI
antara anak-anak 0-14 tahun disebabkan karena jatuh, lebih dari
11
dua pertiga (81%) dari TBI pada orang dewasa berusia 65 dan
lebih tua disebabkan karena jatuh.
3) Kekerasan
Kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau
perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera
atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada
barang atau orang lain (secara paksaan). (Padila, 2012)
d. Manifestasi Klinis
Tanda gejala pada pasien dengan cedera kepala menurut Wijaya
dan Putri (2013), adalah :
1) Cedera kepala ringan – sedang
a) Disorientasi ringan
b) Amnesia post traumatik
c) Hilang memori sesaat
d) Sakit kepala
e) Mual muntah
f) Vertigo dalam perubahan posisi
g) Gangguan pendengaran
2) Cedera kepala sedang – berat
a) Oedema pulmonal
b) Kejang
c) Infeksi
d) Tanda herniasi otak
12
e) Hemiparase
f) Gangguan syaraf kranial
e. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan
glukosa terpenuhi. Energy yang dihasilkan didalam sel-sel saraf
hamper seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai
cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah keotak walaupun
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak
boleh kurang dari 20mg %, karena akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa
tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 75% akan
terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia tubuh berusaha memenuhi
kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat hipoksia
atau kerusakan otak dapat terjadi penimbunan asam laktat akibat
mtabolisme anaerob. Dalam keaadan normal cerebral blood flow
(CBF) adalah 50-60 ml/menit/100gr. Jaringan otak, yang merupakan
15% dari kardiak output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung
sekuncup aktivitas atypical-myocrdial, perubahan tekanan vaskuler
dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah
13
perubahan gelombang T dan P dan distritmia, fibrilasi atrium dan
ventrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan
vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan
pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persarafan
simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol
otak tidak begitu besar. (Tarwoto, 2012)
f. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan cedera kepala
menurut Batticaca (2008) antara lain :
1) Deficit neurologis
2) Infeksi sistemik (pneumonia, septikemia)
3) Infeksi bedah neuro (infeksi luka, osteomielitis, meningitis,
ventrikulitis, abses otak)
4) Osifikasi heterotrofik (nyeri tulang pada sendi-sendi yang
menunjang berat badan)
5) Epidural Hematoma (EDH)
EDH adalah berkumpulnya darah di dalam ruang epidural
(ekstradural) di antara tengkorak dan dura meter. Keadaan ini sering
diakibatkan karena terjadi fraktur tulang tengkorak yang
menyebabkan arteri meningeal tengah terputus atau rusak (laserasi)
dimana arteri ini berada diantara dura meter dan tengkorak daerah
14
inferior menuju bagian tipis tulang temporal dan terjadi hemoragik
sehingga menyebabkan penekanan pada otak.
g. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
1) Penataksanaan di rumah sakit menurut Padila (2012), adalah:
a) Berikan infuse dengan cairan non osmotik (kecuali dextrose
oleh karena dexstrose cepat dimetabolisme menjadi H2O +
CO2 sehingga dapat menimbulkan edema serebri )
b) Diberikan analgesia/ antimuntah secara intavena
c) Berikan posisi kepala dengan sudut 15o – 45
o tanpa bantal
kepala, dan posisi netral, karena dengan posisi tersebut dari
kaki dapat meningkatkan dan memperlancar aliran balik
vena kepala sehingga mengurangi kongesti cerebrum dan
mencegah penekanan pada syaraf medula spinalis yang
menambah TIK.
d) Apabila terjadi komplikasi yang lebih hebat seperti
penggumpalan darah didalam otak maka perlu dilakukan
tindakan pembedahan kraniotomi.
2) Penatalaksanaan menurut Tarwoto (2012), adalah :
a) Prinsip penatalaksanaan cedera kepala adalah memperbaiki
perfusi jaringan serebral, karena organ otak sangat sensitif
terhadap kebutuhan oksigen dan glukosa. Untuk memenuhi
kebutuhan oksigen dan glukosa diperlukan keseimbangan
antara suplay dan demand yaitu dengan meningkatkan
15
suplai oksigen dan glukosa otak. Untuk meningkatakan
suplai oksigen di otak dapat dilakukan melalui tindakan
pemberian oksigen atau dengan mengajarkan teknik napas
dalam, mempertahankan tekanan darah dan kadar
hemoglobin yang normal. Sementara upaya untuk
menurunkan kebutuhan (demand) oksigen otak dengan cara
menurunkan laju metabolisme otak seperti menghindari
keadaan kejang, stress, demam, suhu lingkungan yang
panas, dan aktifitas yang berlebihan.
b) Untuk menjaga kestabilan oksigen dan glukosa otak juga
perlu diperhatikan adalah tekanan intrakranial dengan cara
mengontrol cerebral blood flow (CBF) dan edema serebri.
Keadaan CBF ditentukan oleh betbagai faktor seperti
tekanan darah sistemik, cerebral metabolic rate dan PaCO2 .
Pada keadaan hipertensi menyebabkan vasokontriksi
pembuluh darah otak hal ini akan menghambat oksigenasi
otak. Demikian juga pada peningkatan metabolisme akan
mengurangi oksigenasi otak karena kebutuhan oksigen
meningkat. Disamping itu pemberian obat-obatan untuk
mengurangi edema serebral, memperbaiki metabolisme otak
dan mengurangi gejala seperti nyeri kepala sangat
diperlukan.
16
h. Penanganan Cedera Kepala
Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip – prinsip ABC
(Airway, Breathing, Circulation). Keadaan hipoksemia, hipotensi,
anemia akan cenderung memperhebat peninggian tekanan
intrakranial dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk. Semua
cedera kepala berat memerlukan tindakan intubasi pada kesempatan
pertama.
1) Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera
atau gangguan - gangguan dibagian tubuh lainnya.
2) Pemeriksaan neurologis mencakup respons mata, motorik,
verbal, pemeriksaan pupil, reflek okulosefalik dan reflek
okuloves tubuler. Penilaian neurologis kurang bermanfaat bila
tekanan darah penderita rendah (syok).
3) Penanganan cedera – cedera dibagian lainnya
4) Pemberian pengobatan seperti : anti edema serebri, anti kejang,
dan natrium bikarbonat.
5) Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : Scan tomografi
computer otak, angiografi serebral dan lainnya (Satyanegara,
2010)
17
2. Asuhan Keperawatan
a. Asuhan Keperawatan pada Pasien Cedera Kepala
1) Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada
gangguan sistem persyarafan sehubungan dengan cedera kepala
tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya
komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu didapati
adalah sebagai berikut :
a) Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab) : nama,
umur, jenis kelamin, agama, alamat, golongan darah,
hubungan klien dengan keluarga.
b) Riwayat kesehatan : tingkat kesadaran Glow Coma Scale
(GCS) (< 15), muntah, dispnea/ takipnea, sakit kepala,
wajah simetris/ tidak, lemah, luka pada kepala, akumulasi
pada saluran nafas kejang.
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang
berhubungan dengan sistem persyarafan maupun penyakit
sistem sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit
keluarga terutama yang mempunyai penyakit keturunan atau
menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga
sebagai data subjektif. Data – data ini sangat berarto karena
dapat mempengaruhi prognosa klien.
18
2) Data Fokus
a) Breathing
Pengkajian breathing meliputi : pergerakan otot dada,
pemakaian otot bantu napas, frekuensi nadi tegangan dan irama
nadi, suara tambahan, batuk ada (produktif, tidak produktif) /
tidak, sputum (warna dan konsistensi), pemakaian alat bantu
napas.
b) Blood
Pengkajian blood meliputi : suara jantung, irama jantung,
capillary refill time (CRT), jugularis vena pressure (JVP),
edema
c) Brain
Pengkajian brain meliputi : tingkat kesadaran, periksaan kepala
(raut muka,bibir, mata, sclera, kornea, eksopthalmus, gerakan
bola mata, reflek kornea, persepsi sensori).
d) Bladder
Pengkajian bladder meliputi : urin (jumlah, warna, bau),
penggunaan kateter, kesulitan BAK (oliguri, poliuri, dysuri,
hematuri, nocturi).
e) Bowel
Pemeriksaan bowel meliputi : mukosa bibir, lidah, keadaan gigi,
nyeri telan, distensi abdomen, peristaltik usus, mual, muntah,
19
hematemesis, melena, penggunaan NGT, diare, konstipasi,
asites.
f) Bone
Pengkajian bone meliputi : turgor kulit, perdarahan kulit /
ptekie, ikterus, akral (hangat / dingin, kering / basah, merah /
pucat), pergerakan sendi (bebas / terbatas), fraktur, luka.
3) Pemeriksaan fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah : tingkat kesadaran, biasanya
GCS < 15, disorientasi orang, tempat dan waktu, perubahan nilai
tanda-tanda vital, kaku kuduk, hemiparese.
4) Pemeriksaan Penunjang
Menurut Price (2006) pemeriksaan penunjang pada pasien cedera
kepala adalah :
a) CT-Scan : CT-scan berguna untuk mendiagnosis dan memantau
lesi intrakranial atau mengevaluasi dan menentukan luasnya
cedera neurologis. Radiogram dilakukan dengan komputer
setiap interval 1 derajat dalam suatu busur sebesar 180 derajat.
CT-Scan telah dapat menggantikan echoensefalografi dan
memiliki kemampuan diagnostic yang jauh lebih lengkap.
b) MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa
kontras radioaktif.
20
c) Cerebral Angiography : Menunjukkan anomali sirkulasi
cerebral, seperti perubahan pada jaringan otak sekunder menjadi
odeme, perdarahan dan trauma.
d) Serial EEG : dapat melihat perkembangan gelombang yang
patologis.
e) X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang.
f) BAER : Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
g) PET : Mendeteksi perubahan aktifitas metabolisme otak.
5) Diagnosa Keperawatan
a) Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan :
Klien tidak menunjukan peningkatan tekanan intrakranial
Kriteria hasil :
Klien mengatakan tidak sakit kepala, mencegah cedera, GCS
dalam batasan normal, peningkatan pengetahuan pupil
membaik, tanda vital dalam batasan normal.
Intervensi :
(1) Ubah posisi klien secara bertahap
(2) Jaga suara tenang
(3) Atur posisi klien bedrest
(4) Kurangi cahaya ruangan
(5) Tinggikan kepala
21
(6) Pantau tanda dan gejala peningkatan TIK
(7) Kaji respon pupil
b) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan depresi pada
pusat nafas di otak.
Tujuan :
Mempertahankan pola napas yang efektif.
kriteria hasil :
Tidak ada penggunaan otot pernapasan, tidak ada sianosis atau
tidak ada tanda-tanda hipoksia dan gas darah dalam batas
normal, tanda-tanda vital dalam rentang normal.
Intervensi :
(1) Monitor tanda-tanda vital meliputi tekanan darah,
respiratory rate, nadi, suhu
(2) Monitor respirasi dan status O2
(3) Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan napas
buatan.
(4) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
(5) Pertahankan jalan napas yang paten
c) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
Tujuan :
Nyeri berkurang ataupun hilang
Kriteria hasil :
- Klien mampu mengungkapkan dapat mengontrol nyeri
22
- Melaporkan bahwa nyeri berkurang skala nyeri dari 2
menjadi 0
- Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
Intervensi :
(1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk
lokasi, skala, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
faktor presipitasi.
(2) Pilih dan lakukan penanganan nyeri ( farmakologi, non
farmakologi dan interpersonal)
(3) Ajarkan tentang teknik non farmakologi (relaksasi napas
dalam)
(4) Berikan analgesik untuk mengurangi nyeri
3. Status Oksigenasi
a. Pengertian Oksigenasi
Oksigenasi adalah proses penambahan oksigen ke dalam sistem.
Oksigenasi merupakan gas tidak berwarna dan tidak berbau yang
sangat dibutuhkan dalam proses metabolism sel. Sebagai hasilnya,
terbentuklah karbondioksida energidan air. Dalam periksaan status
oksigenasi erat kaitanya dengan pemeriksaan status hemodinamika.
Hemodinamika dapat didefinisikan sebagai pemeriksaan aspek
fisik dan sirkulasi darah, termasuk fungsi jantung dan karakteristik
fisiologis vaskuler perifer. Pemantauan hemodinamika merupakan
23
pusat dari perawatan pasien kritis dan dapat dikelompokan menjadi
non invasif, invasif, dan turunan (data dihitung dari pengukuran
lain).
Pengukuran hemodinamika penting untuk menegakan diagnosa
yang tepat, menentukan terapi yangs esuai dan memantau respon
terhadap terapi yang diberikan. (Jevon dan Ewen, 2009)
Dasar dari pemantauan hemodinamik adalah perfusi jaringan
yang adekuat seperti keseimbangan antara pasokan oksigen dengan
yang dibutuhkan, mempertahankan nutrisi, suhu tubuh dan
keseimbangan elektrokimiawi sehingga manifestasi klinis dari
gangguan hemodinamik berupa gangguan perfusi organ tubuh yang
bila tidak ditangani seacra cepat dan tepat akan jatuh ke dalam fungsi
organ multipel. Pemantauan hemodinamik bertujuan untuk
mengenali dan mengevaluasi perubahan-perubahan fisiologis
hemodinamik pada saat yang tepat, agar segera dilakukan terapi.
Parameter yang digunakan untuk menilai pemantauan hemodinamik
yang ada di bed site monitor dan berlangsung secara continus
diantaranya adalah pengukuran tanda- tanda vital.
Pengukuran hemodinamika penting untuk menegakkan
diagnosis yang tepat, menentukan terapi yang sesuai, dan
pemantauan respons terhadap terapi yang diberikan. Pengukuran
hemodinamika ini terutama untuk membantu untuk mengenali syok
sedini mungkin, sehingga dapat dilakukan tindakan yang tepat untuk
24
terhadap bantuan sirkulasi. Pengukuran hemodinamika ini meliputi
tekanan darah, frekuensi jantung dan pernafasan.
b. Metode Pengukuran Hemodinamika
Metode non invasif yang dilakukan dalam memonitor
hemodinamika melipui beberapa penilaian seperti :
1) Penilaian laju pernafasan ( Breathing )
Laju pernafasan merupakan indikator awal yang
signifikan dan disfungsi seluler. Penilian ini merupakan
indikator fisiologis yang sensitif dan harus dipantau dan direkam
secara teratur. Laju dan kedalaman pernafasan pada awalnya
meningkat sebagai respon terhadap hipoksia seluler. (Jevon dan
Ewens, 2009)
Monitoring respirasi di ICU untuk mengidentifikasi
penyakit dan menilai beratnya penyakit. Monitoring ini juga
bersamaan dengan riwayat penyakit, pemeriksaaan radiografi,
analisa gas darah dan spirometer. Beberapa parameter yang
diperlukan kecepatan pernafasan per menit, volume tidal,
oksigenasi dan karbondioksida. ICU biasanya digunakan
impedance monitor yang dapat mengukur kecepatan pernafasan,
volume tidal dan alarm apnea. Pernapasan normal dimana
kecepatan 16 - 24 x/menit, klien tenang, diam dan tidak butuh
tenaga untuk melakukannya, tachipnea yaitu pernapasan yang
cepat, frekuensinya lebih dari 24 x/menit, bradipnea yaitu
25
pernapasan yang lambat, frekuensinya kurang dari 16 x/menit,
dan apnea yaitu keadaan terhentinya pernapasan. ( Zakkiyah,
2014)
2) Penilaian SaO2
Pengukuran oksigen pada memberikan informasi yang
penting pada perawatan dan merupakan hal yang vital dalam
pengukuran kondisi fisiologis Saturasi oksigen adalah rasio
antara jumlah oksigen yang terikat oleh hemoglobin terhadap
kemampuan total Hb darah mengikat O2. Saturasi oksigen
(SaO2) merupakan persentase hemoglobin (Hb) yang
mengalami saturasi oleh oksigen yang mencerminkan tekanan
oksigen arteri darah (PaO2) yang digunakan untuk mengevaluasi
atatus pernafasan. Dari beberapa pengertian tadi, maka dapat
disimpulkan bahwa saturasi oksigen adalah perbandingan
kemampuan oksigen untuk berikatan dengan hemoglobin dan
dibandingkan dengan jumlah total keseluruhan jumlah darah.
Pengukuran SaO2 dilakukan dengan mengunakan Oksimeter
denyut (pulse oximetry) yaitu alat dengan prosedur non invasif
yang dapat dipasang pada cuping telinga, jari tangan, ataupun
hidung. Pada alat ini akan terdeteksi secara kontinue status
SaO2. Alat ini sangat sederhana, akurat, tidak mempunyai efek
samping dan tidak membutuhkan kalibrasi. Pulse oximetry
bekerja dengan cara mengukur saturasi oksigen (SaO2) melalui
26
transmisi cahaya infrared melalui aliran darah arteri pada lokasi
dimana alat ini diletakkan. Oksimeter dapat mendeteksi
hipoksemia sebelum tanda dan gejala klinis muncul, seperti
warna kehitaman pada kulit atau dasar kuku. Kisaran SaO2
normal adalah 95-100% dan SaO2 dibawah 70% dapat
mengancam kehidupan (Zakkiyah, 2014).
3) Monitor Tekanan Darah
Tekanan darah merupakan kekuatan lateral pada dinding
arteri oleh darah yang didorong dengan tekanan dari jantung.
Tekanan sistemik atau arteri darah dalam sistem arteri tubuh
adalah indikator yang baik tentang kesehatan kardiovaskuler.
Aliran darah mengalir pada sistem sirkulasi karena perubahan
tekanan. Darah mengalir dari daerah yang tekanannya tinggi ke
daerah yang tekanannya rendah. Kontraksi jantung mendorong
darah dengan tekanan tinggi ke aorta. Puncak dari tekanan
maksimum saat ejeksi terjadi adalah tekanan darah sistolik. Pada
saat ventrikel relaks darah yang tetap dalam arteri menimbulkan
tekanan diastolik atau minimum.
Tekan diastolik adalah tekanan minimal yang mendesak
dinding arteri setiap waktu. Unit dasar untuk pengukuran
tekanan darah adalag milimeter air raksa (mmHg). Tekanan
darah menggambarkan interelasi dari curah jantung, tahanan
vaskuler perifer, volume darah, vsikositas darah dan ealstisitas
27
arteri. Menurut WHO batas tekanan darah yang masih dianggap
normal adalah kurang dari 130/85 mmHg, sedangkan bila lebih
dari 140/90 mmHg dinayatakan sebagia hipertensi, dan
dinyatakan hipotensi dimana tekanan darah seseorang turun
dibawah angka normal, yaitu mencapai nilai rendah 90/60
mmHg. (Zakkiyah, 2014)
4) Monitor denyut jantung dan EKG
Denyut jantung yang cepat, lemah dan bergelombang
merupakan tanda khas dari syok. Denyut jantung yang
memantul penuh atau menusuk mungkin merupakan tanda
anemia, blok jantung, gagal jantung, atau tahap awal syok septik
suatu tahap hiperdinamik atau kompensasi. Perbedaan volume
anatar denyut sentral dan denyut distal mungkin disebabkan
oleh penurunan curah jantung dan juga suhu sekitar yang dingin.
Pemantauan EKG merupakan metode non invasif yang sangat
berharga dalam memantau denyut jantung secara kontinue.
Pemantauan ini dapat memberikan informasi kepada praktisi
terhadap tanda-tanda awal penurunan curah jantung. (Jevon dan
Ewens, 2009)
5) Monitor Suhu Tubuh
Pemantauan suhu pada pasien kritis merupakan hal yang
vital walaupun sering diabaikan dalam penatalaksanaan pasien
kritis. Suhu tubuh ditentukan oleh keseimbangan antara
28
produksi panas oleh kontraksi otot dan pembebasan panas
karena evaporasi tubuh. Produksi panas yang dihasilkan tubuh
antara lain berasal dari : Metabolisme dari makanan (Basal
Metabolic Rate), olahraga, shivering atau kontraksi otot skeletal,
peningkatan produksi hormon tiroksin (meningkatkan
metabolisme seluler), proses penyakit infeksi, termogenesis
kimiawi (rangsangan langsung dari norepinefrin dan efinefrin
atau dari rangsangan langsung simpatetik. Pengukuran suhu
tubuh oleh otak hipotalamus, permukaan kulit, dan medula
spinalis. Rangsangan panas akan menyebabkan vasodilatasi
yang menyebabkan keringat, sebaiknya bila terjadi
perangsangan dingin akan terjadi vasokontriksi dan menggigil
agar suhu tubuh kembali mencapai normal yakni suhu normal
berkisar antara 36,5°C –37.5°C. Lokasi pengukuran suhu adalah
oral (dibawah lidah), aksila, dan rektal (Zakkiyah, 2014)
6) Monitor curah urin
Curah urin secara tidak langsung memberikan petunjuk
mengenai curah jantung. Pada orang sehat, 25% curah jantung
memberikan perfusi ke ginjal. Ketika perfusi ginjal adekuat,
maka curah urin harusnya lebih dari 0,5 ml/kg per jam.
Penurunan curah urin mungkin merupakan tand awal
hipovolemia karena ketika curah jantung menurun, maka perfusi
ginjal juga menurun. Begitu curah urin kurang dari sekitar 500
29
mL/hari, maka ginjal tidak mampu untuk mengsekresikan
produk-produk sisa metabolisme sehingga akan terjadi uremia,
asidosis metabolik, dan hiperkalemia. Jika diuretik telah
diberikan misal furosemid, maka curah urin tidak dapat
membantu dalam penilaian curah jantung. Jika pasien
menggunakan kateter, maka pastikan bahwa selang tidak
tersumbat atau terpuntir. (Jevon dan Ewens, 2009)
4. Deep Breathing Exercises (DBE)
a. Pengertian
Deep Breathing Exercises atau teknik napas dalam adalah
bernapas dengan perlahan dan menggunakan diafragma, sehingga
memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang
penuh . Tujuan Deep Breathing Exercises adalah untuk mencapai
ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta untuk mengurangi
kerja bernapas, meningkatkan inflasi alveolar maksimal,
meningkatkan relaksasi otot, menghilangkan ansietas,
menyingkirkan pola aktifitas otot-otot pernapasan yang tidak
berguna, tidak terkoordniasi, melambatkan frekuensi pernapasan,
mengurangi udara yang terperangkap serta mengurangi kerja
bernapas.
Latihan pernapasan dapat dipraktikkan dalam beberapa
posisi, karena distribusi udara dan sirkulasi pulmonal beragam sesuai
30
dengan posisi dada. Banyak penderita membutuhkan oksigen
tambahan, dengan menggunakan metode aliran lambat, sambil
melakukan latihan pernapasan. Latihan napas dalam bukanlah
bentuk dari latihan fisik, ini merupakan teknik jiwa dan tubuh yang
bisa ditambahkan dalam berbagai rutinitas guna mendapatkan efek
relaks. Praktik jangka panjang dari latihan pernafasan dalam akan
memperbaiki kesehatan. Bernapas pelan adalah bentuk paling sehat
dari pernafasan dalam.
Hanya inspirasi dalam saja yang efektif untuk membuka pori-
pori khon dan menimbulkan ventilasi kolateral ke dalam alveolus di
sebelahnya yang mengalami penyumbatan. Dengan demikian kolaps
akibat absorpsi gas ke dalam alveolus yang tersumbat dapat dicegah.
(Dalam keadaan normal absorpsi gas ke dalam darah lebih mudah
karena tekanan parsial total gas-gas darah sedikit lebih rendah
daripada tekanan atmosfer akibat lebih banyaknya O2 yang
diabsorpsi ke dalam jaringan daripada CO2 yang diekskresikan).
Selama ekspirasi, pori-pori khon menutup, akibatnya tekanan di
dalam alveolus yang tersumbat meningkat sehingga membantu
pengeluaran sumbatan mukus. Bahkan dapat dihasilkan gaya
ekspirasi yang lebih besar, yaitu sesudah bernapas dalam, glotis
tertutup dan kemudian terbuka tiba-tiba seperti pada proses batuk
normal. Sebaliknya pori-pori khon tetap tertutup sewaktu inspirasi
dangkal, sehingga tidak ada ventilasi kolateral menuju alveolus yang
31
tersumbat, dan tekanan yang memadai untuk mengeluarkan
sumbatan mukus tidak akan tercapai. Absorpi gas-gas alveolus ke
dalam aliran darah berlangsung terus, dan mengakibatkan kolaps
alveolus. Dengan keluarnya gas dari alveolus, maka tempat yang
kosong itu sedikit demi sedikit akan terisi cairan edema. (Hendrizal
dkk, 2013)
b. Cara DBE atau Teknik Napas Dalam
Menurut Arzu dkk pada tahun 2008 teknik DBE ini
dilakukan satu hari paska operasi setelah ekstubasi, saat klien
beristirahat dalam posisi semi terlentang, pasien diinstruksikan untuk
menarik napas perlahan dan sedalam mungkin, kemudian menahan
napas selama 3 detik, lalu buang napas dengan santai. Dengan
bantuan dari perawat menggunakan input proprioseptif, pasien
didorong untuk membuat setiap napas berikutnya yang lebih dalam
dari napas sebelumnya selama lima sampai 10 napas. Periode ini
diikuti oleh masa istirahat ( yaitu, pernapasan normal ), dan siklus
diulang empat kali per jam. Dari hasil penelitian Arzu dkk pada
tahun 2008 menjelaskan bahwa teknik deep breathing exercises
dapat meningkatkan secara signifikan status oksigenasi yang
dinyatakan dengan peningkatan tekanan O2 parsial saturasi oksigen
(SpO2) dan penurunan yang signifikan pada tingkat pernapasan atau
Respiratory Rate (RR). Teknik deep breathing exercises dapat
menghilangkan sekresi dan merelaksasikan pasien, selain itu juga
32
dapat meningkatkan pergerakan atau pengembangan dinding dada
sehingga dapat meningkatkan produksi surfaktan dan dapat
meningkatkan kompliensi paru-paru, ventilasi alveolus,
meningkatkan oksigenasi dan menurunkan RR.
33
B. Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori
(Batticaca, 2008)
Farmakologi
Etiologi :
- Traum tembak
- Kecelakaan kerja
- Trauma benda tumpul
- Jatuh
- Kecelakaan Lalu lintas
Cedera kepala
Komplikasi
- Edema serebral
- Hematoma epidural
- Hematoma subdural
- Hemoragik intraserebral
Pembedahan kraniotomi
Penurunan tingkat kesadaran
Kelemahan otot pernapasan
selama operasi, hipoksemia
Penumpukan secret, SpO2 & PaO2
menurun, RR meningkat
Non farmakologi
Pemberian :
Deep Breathing Exercises
Pemberian :
- Obat pengencer secret
- Obat bronkodilator
- Obat bronkodilator
34
BAB III
METODE PENYUSUNAN KTI
APLIKASI RISET
A. Subjek Aplikasi Riset
Pasien yang mengalami cedera kepala sehari setelah post operatif
kraniotomi di ruang Intensive Care Unit (ICU) RS Dr. Moewardi Surakarta,
dengan kriteria usia 36 tahun, tidak mempunyai riwayat penyakit obtruksi
paru (COPD), MAP stabil kurang dari 65 mmHg, TD: 120/70 mmHg, heart
rate (HR) : 108 x/menit, respiratory rate (RR) 30 x/menit, saturasi oksigen
94% dan tidak terpasang ventilator mekanik.
B. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di RS Dr. Moewardi Surakarta ruang
Intensive Care Unit (ICU) pada tanggal 12 Januari 2016 sampai dengan
tanggal 14 Januari 2016.
C. Media dan Alat Ukur Yang Digunakan
Alat ukur yang digunakan menggunakan Bedside Monitor. Bedside
monitor adalah suatu alat yang digunakan untuk memonitor vital sign pasien,
berupa detak jantung, nadi, tekanan darah, temperature, saturasi oksigen,
bentuk pulsa jantung secara terus menerus.
35
D. Prosedur Tindakan Berdasarkan Riset
Prosedur Tindakan DBE atau Napas Dalam
Dilakukan 5-10 kali napas dalam satu siklus, dilakukan 4 siklus dalam satu
jam, bisa dilakukan 3x dalam sehari.
1. Fase Orientasi
a. Memberi salam / menyapa klien
b. Memperkenalkan diri
c. Menjelaskan tujuan tindakan
d. Menjelaskan prosedur
e. Menanyakan kesiapan klien
2. Fase Kerja
a. Menjaga privasi klien
b. Mempersiapkan klien
c. Meminta pasien meletakan satu tangan di dada satu tangan di
abdomen
d. Melatih pasien melakukan nafas perut (dengan menarik nafas dalam
melalui hidung hingga 3 hitungan, jaga mulut tetap tertutup)
e. Meminta pasien merasakan mengembangnya abdomen (cegah
lengkung pada punggung)
f. Meminta pasien menahan nafas hingga 3 hitungan
g. Meminta menghembuskan nafas perlahan dalam 3 hitungan (lewat
mulut bibir seperti meniup)
36
h. Meminta pasien merasakan mngempisnya abdomen dari kontraksi
otot
i. Menjelaskan kepada pasien untuk melakukan latihan ini bila
mengalami nyeri
3. Fase Terminasi
a. Merapikan pasien dan membereskan alat
b. Mengevaluasi tindakan
c. Mencuci tangan
d. Berpamitan
E. Alat Ukur Evaluasi Dari Aplikasi Tindakan Berdasarkan Riset
No Status
Hemodinamika
Tanggal : Tanggal : Tanggal :
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
1
2
3
4
5
Tekanan Darah
Respirasi
Nadi
SpO2
FiO2
37
BAB IV
LAPORAN KASUS
Pada bab ini berisi tentang laporan asuhan keperawatan yang dilakukan
pada Ny. T dengan cedera kepala sedang selama di ICU pada tanggal 12 Januari
2016 sampai dengan tanggal 14 Januari 2016 di Rumah Sakit Dr. Moewardi
Surakarta. Adapun laporan kasus yang akan di kemukakan pada bab ini meliputi
pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan,
implementasi keperawatan dan evaluasi keperawatan.
A. Pengkajian
Pengkajian pada tanggal 12 Januari 2016 jam 08.00 WIB yang
dilakukan dengan metode anamnesa, observasi langsung, pemeriksaan fisik,
serta menelaah catatan medis dan catatan perawat. Didapatkan hasil pasien
dengan nama Ny. T, usia 36 tahun, agama islam, pendidikan terahkir SMA,
pekerjaan swasta, alamt Wonogiri, tanggal masuk rumah sakit 11 Januari
2016, diagnosa medis post craniotomi, nomer registrasi 01.32.61.07, dokter
yang menangani dr. F. Identitas penanggungjawab Tn. R, usia 46 tahun,
pendidikan terahkir SMA, pekerjaan swasta, alamat Wonogiri, hubungan
dengan klien adalah suami.
Riwayat kesehatan, keluhan utama klien tampak nyeri dengan
penilaian comfort scale 27 (kesiagaan: 3 mengantuk, ketenangan: 2 sedikit
cemas, gangguan pernapasan: 3 batuk sesekali, tangis: 3 merintih, movement:
3 berulang gerakan ringan, kekuatan otot: 3 kekuatan tonus otot normal,
38
ketegangan wajah: 3 ketegangan jelas dibeberapa otot muka, tekanan darah: 3
peningkatan tekanan darah diatas baseline (1-3 selama 2 menit observasi),
detak jantung: 4 peningkatan detak jantung berulang (sering) diatas baseline)
yang menandakan nyeri sedang. Riwayat penyakit sekarang keluarga klien
mengatakan klien sebelumnya mengalami kecelakaan sepeda motor pada hari
senin 11 Januari 2016 sekitar pukul 10.00 WIB, kemudian dibawa ke
Puskesmas terdekat, diPuskesmas klien mendapatkan terapi injeksi asam
traneksamat 500mg dan dibalut lukanya untuk menghentikan perdarahan.
Dari Puskesmas klien diberi rujukan untuk dibawa ke rumah sakir dr.
Moewardi Surakarta.
Klien masuk IGD rumah sakit dr. Moewardi sekitar pukul 13.00 WIB,
di IGD didapatkan hasil pengkajian yaitu TD: 118/78 mmHg, HR: 85 x/menit
dan dari hasil pemeriksaan CT scan didapatkan hasil bahwa terjadi Epidural
Hematom, di IGD pasien mendapatkan terapi ceftriaxone 2gr, paracetamol
1gr, ranitidine 50mg dan infuse NaCl 20tpm. Atas indikasi Epidural
Hematom maka dilakukan tindakan kraniotomi untuk mengeluarkan
gumpalan darah dan dan menghentikan perdarahan, tindakan operasi
dilakukan sekitar pukul 22.00 WIB, hasil observasi setelah operasi, kesadaran
somnolen, keadaan umum pasien lemah, perdarahan selama operasi 300ml,
TD: 123/76 mmHg, HR: 89 x/menit, dan hasil pemeriksaan laboraturium Hb:
8,2 g/dl (12,0 -15,6 g/dl) Hct: 25 % (33 – 45 %) AL: 15,9 ribu/Ul (4,5 – 11,0
ribu/Ul) AT: 291 ribu/Ul (150 – 450 ribu/Ul) AE: 2,76 juta/Ul (4,10 – 5,10
juta/Ul) GDS: 155mg/dl (60 – 140 mg/dl) Alb: 2,7 g/dl (3,5 – 5,2 g/dl) Na:
39
134 mmol/l (136 – 145 mmol/l) K: 4,1 mmol/l (3,3 – 5,1 mmol/l) cl:
111mmol/l (98 – 106 mmol/l) ca ion: 1,16 mmol/l (1,17 – 1,29).
Pasien dipindahkan keruang ICU sekitar pukul 00.40 WIB tanggal 12
Januari 2016, pasien dipindahkan keruang ICU karena terjadi penurunan
kesadaran dan memerlukan monitor keadaan luka post kraniotomi, hasil
observasi di ruang ICU didapatkan hasil keadaan umum lemah, nilai GCS E:3
V:2 M:5, napas spontan terpasang NRM 8lpm, terpasang drain satu jalur
produksi minimal, lika operasi tidak rembes, BAK DC, produksi urin cukup,
TD: 128/68 mmHg HR: 98 x/menit suhu: 37,2 ºC RR:23 x/menit SPO2 98%,
terpasanginfus NaCl 20tpm. Riwayat penyakit dahulu, keluarga klien
mengatakan klien sebelumnya tidak memiliki riwayat penyakit dan belum
pernah mengalami kecelakaan sampai harus dirawat dirumah sakit, dan
didalam keluarga klien tidak ada yang memiliki penyakit menurun ataupun
menular.
Genogram
Keterangan :
Laki – laki Perempuan --- Tinggal satu rumah
Klien (ny. T 36 tahun, post craniotomi)
40
Data fokus, Breathing: pasien dapat bernapas dengan spontan, napas
dangkal, RR 30 x/menit, saturasi oksigen 94%, tidak ada sumbatan jalan
napas. Blood: tekanan darah 120/70 mmHg, HR 108 x/menit, kulit teraba
lembab, luka post operasi tidak rembes. Brain: terdapat luka post kraniotomi
yang masih terbalut, nilai GCS E=3 V=3 M=5, tidak terdapat kelumpuhan
anggota gerak, reflex pupil kanan/kiri : +/+, besar pupil kanan/kiri :
3mm/3mm. Bladder: tidak ada jejas dan tidak ada nyeri tekan pada daerah
vesica urinaria, terpasang DC, produksi urin kuning pekat. Bowel: tidak
terpasang NGT, tidak ada jejas, tidak ada gigi palsu, bising usus 11x/menit,
klien muntah 1 kali ± 100cc berwarna hijau kehitaman berupa cairan.
Pemeriksaan fisik, penampilan umum kesadaran somnolen, Td:
120/70 mmHg, HR: frekuensi 108 x/menit, irama teratur, kekuatan kuat,
Respirasi: frekuensi 30x/menit, irama cepat teratur, suhu: 36,8ºC. Kepala,
bentuk kepala mesocepal terdapat luka post kraniotomi masih terbalut, luka
tidak rembes, kulit kepala bersih, rambut tidak ada karena sudah dicukur saat
sebelum operasi. Pemeriksaan mata, palpebra tidak edema, konjungtiva tidak
anemis, sclera ikterik, pupil isokor, diameter ka/ki 3mm/3mm, reflek terhadap
cahaya ka/ki +/+, tidak menggunakan alat bantu penglihatan, hidung simetris
tidak ada secret tidak ada polip, mulut simetris keadaan bersih mukosa bibir
sedikit kering, gigi bersih lengkap tidak ada karies gigi, telinga simetris tidak
ada jejas tidak ada serumen. Leher, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid,
tidak ada jejas, tidak ada luka. Dada, paru-paru: inspeksi bentuk dada normal
tidak ada jejas, palpasi ekspansi paru kanan kiri sama, perkusi suara sonor
41
diseluruh lapang paru, auskultasi suara vesikuler diseluruh lapang paru,
jantung: inspeksi ictuscordis tidak tampak, palpasi ictuscordis teraba di ICS 5,
perkusi suara pekak, auskultasi bunyi jantung I II murni. Abdomen, inspeksi
umbilicus bersih perut tidak buncit, auskultasi peristaltik usus 11 x/menit,
perkusi kuadran I pekak kuadran II III IV timpani, palpasi tidak ada nyeri
tekan. Genetalia terpasang DC, rectum tidak terkaji, eksteremitas atas: kanan
terpasang infus, kekuatan otot ka/ki 3/3 (hanya mampu melawan gaya
gravitasi), ROM ka/ki aktif, capillary refile < 2 detik, perubahan bentuk
tulang tidak ada, perabaan akral hangat, ekstremitas bawah: kekuatan otot
ka/ki 3/3 (hanya mampu melawan gaya gravitasi), ROM ka/ki aktif, capillary
refile < 2 detik, perubahan bentuk tulang tidak ada, perabaan akral hangat.
Pemeriksaan penunjang dilakukan tanggal 12 Januari 2016, Hb: 8,2
g/dl (12,0 -15,6 g/dl) Hct: 25 % (33 – 45 %) AL: 15,9 ribu/Ul (4,5 – 11,0
ribu/Ul) AT: 291 ribu/Ul (150 – 450 ribu/Ul) AE: 2,76 juta/Ul (4,10 – 5,10
juta/Ul) GDS: 155mg/dl (60 – 140 mg/dl) Alb: 2,7 g/dl (3,5 – 5,2 g/dl) Na:
134 mmol/l (136 – 145 mmol/l) K: 4,1 mmol/l (3,3 – 5,1 mmol/l) cl:
111mmol/l (98 – 106 mmol/l) ca ion: 1,16 mmol/l (1,17 – 1,29) dan
pemeriksaan CT scan dilakukan pada tanggal 11 Januari 2016, pasien
dengan fraktur impresi temporal pariental sinistra, EDH region
temporaparietal (S) EDH region temporal cranial (O) oedem serebri pro
craniotomi.
42
B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian, penulis melakukan analisa data dengan
data fokus dan data obyektif. Didapatkan data klien tampak lemah, nilai GCS
E=3 V=3 M=5, kesadaran somnolen, TD: 120/70 mmHg, HR: 108 x/menit,
hasil pemeriksaan CT scan, pasien dengan fraktur impresi temporal pariental
sinistra, EDH region temporaparietal (S) EDH region temporal cranial (O)
oedem serebri pro craniotomi. Maka masalah keperawatan yang didapatkan
Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan peningkatan
tekanan intra kranial.
Data obyektif yang kedua didapatkan tarikan dada klien tidak
maksimal, tarikan napas dangkal, tingkat pernapasan/ respiratory rate (RR):
30 x/menit, saturasi oksigen 94%. Dari data obyektif tersebut didapatkan
masalah keperawatan ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
hiperventilasi.
Data obyektif yang ketiga didapatkan klien tampak tidak nyaman,
klien tampak mengerutkan dahi, klien tampak nyeri dengan penilaian comfort
scale 27 (kesiagaan: 3 mengantuk, ketenangan: 2 sedikit cemas, gangguan
pernapasan: 3 batuk sesekali, tangis: 3 merintih, movement: 3 berulang
gerakan ringan, kekuatan otot: 3 kekuatan otot normal, ketegangan wajah: 3
ketegangan jelas dibeberapa otot muka, tekanan darah: 3 peningkatan tekanan
darah (jarang) diatas baseline (1-3 selama 2 menit observasi), detak jantung: 4
peningkatan detak jantung berulang (sering) diatas baseline) yang
menandakan nyeri sedang, TD: 120/70 mmHg, HR: 108 x/menit. Dari data
43
tersebut didapatkan masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan
agen cedera fisik.
Dari data yang didapatkan tersebut maka prioritas diagnosa
keperawatan yang pertama yaitu ketidakefektifan pola nafas berhubungan
dengan hiperventilasi, yang kedua ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral
berhubungan dengan peningkatan tekanan intra cranial, dan yang ketiga
adalah nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik.
C. Intervensi Keperawatan
Prioritas masalah keperawatan yang utama adalah ketidakefektifan
pola napas berhubungan dengan hiperventilasi, setelah dilakukan tindakan
keperawatan 1 x 24jam ketidakfektifan pola napas dapat teratasi dengan
kriteria hasil klien mengatakan nyaman, klien mengatakan sesak berkurang,
RR dalam batasan normal 16-24 x/menit, saturasi oksigen dalam batasan
normal 95-100%.
Intervensi atau rencana keperawatan yaitu observasi RR klien,
rasional: RR dalam batasan normal menandakan pertukaran gas dalam paru
membaik, observasi klien masih merasa sesak atau tidak, rasional: sesak
napas merupakan satu bukti bahwa tubuh memiliki mekanisme kompensasi
sedang bekerja guna mencoba membawa oksigen lebih banyak ke jaringan,
ajarkan klien teknik deep breathing exercises, rasional: teknik deep breathing
exercises dapat merelaksasikan dan dapat meningkatkan pergerakan atau
pengembangan dada sehingga dapat meningkatkan produksi surfaktan,
meningkatkan kompliensi paru-paru, ventilasi alveolus dan menurunkan RR,
44
observasi saturasi oksigen klien, rasional: saturasi oksigen menunjukan
tercukupi tidaknya suplai oksigen ke jaringan, kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian obat bronkodilator bila diperlukan, rasional: obat
brokodilator digunakan untuk melonggarkan jalan napas, berikan oksigen
NRM 8-10 lpm bila diperlukan, rasional: pemberian oksigen melalui NRM
dapat membantu suplai oksigen ke paru-paru lebih banyak.
Diagnosa yang kedua adalah ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral
berhubungan dengan peningkatan tekanan intra kranial pada ny.T maka
penulis akan membahas rencana dan tujuan kriteria hasil yang mana setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24jam, pasien tidak mengalami
penurunan kesadaran dan mengalami peningkatan kesadaran ditunjukan
dengan peningkatan nilai GCS atau nilai GCS dari E=3 V=3 M=5 menjadi
E=4 V=5 M=6 dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi atau rencana keperawatan yaitu observasi tanda-tanda vital
klien rasionalnya untuk mengetahui tanda-tanda vital klien dalam batas
normal atau tidak, kaji nilai GCS rasionalnya fungsi kartikal dapat dikaji
dengan mengevaluasi pembukaan mata dan respon motorik, tinggikan posisi
kepala klien rasionalnya membantu drainase vena untuk mengurangi kongesti
serebro vascular, kurangi cahaya ruangan rasionalnya cahaya merupakan
salah satu rangsangan yang berisiko terhadap peningkatan tekanan intra
kranial, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian pelunak feses bila perlu
rasionalnya pasien dengan keadaan bedrest bias terjadi kemungkinan
konstipasi, edukasi keluarga untuk merangsang respon klien dengan
45
mengajak bicara klien saat berkunjung rasionalnya keluarga adalah orang
terdekat klien kemungkinan klien lebih dapat mrespon bila diajak bicara oleh
keluarganya terutama oleh suaminya.
Diagnosa yang ketiga adalah nyeri akut berhunbungan dengan agen
cedera fisik, setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x 24 jam nyeri
berkurang atau teratasi dengan kriteria hasil klien mengatakan nyeri
berkurang, skala nyeri berkurang dari 27 skala comfort scale menjadi 18 skala
comfort scale, tidak menunjukan ekspresi wajah menahan rasa nyeri, klien
mampu mengontrol nyeri, nadi dalam batasan normal 70-82 x/menit.
Intervensi atau rencana keperawatan yaitu kaji status nyeri pasien
dengan comfort scale, rasional: untuk mengetahui karakteristik nyeri, berikan
posisi nyaman untuk klien, rasional: untuk meminimalkan nyeri yang muncul,
berikan kesempatan dan ketenangan untuk klien saat beristirahat, rasional:
untuk meminimalkan terjadinya nyeri dan member posisi yang nyaman,
ajarkan metode napas dalam ketika nyeri muncul, rasional: teknik napas
dalam dapat digunakan untuk mengurangi rasa nyeri yang muncul, kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian analgesic bila diperlukan, rasional: analgesik
diberikan untuk mengurangi rasa nyeri yang hebat.
D. Implementasi Keperawatan
Tindakan dilakukan pada hari Selasa, 12 Januari 2016 jam 09.00 WIB
mengobservasi tanda-tanda vital klien, didapatkan data obyektif TD: 125/68
mmHg, N: 98 x/menit, RR: 28 x/menit, S: 37,2ºC. Jam 09.15 WIB
meninggikan posisi kepala klien ±30º didapatkan data obyektif klien hanya
46
diam dan memejamkan mata seperti orang yang masih tertidur, jam 09.20
WIB mengobservasi saturasi oksigen klien didapatkan data obyektif saturasi
oksigen klien 98%, jam 10.00 WIB memberikan edukasi kepada keluarga
klien untuk membantu merangsang respon klien dengan komunikasi,
didapatkan data subyektif keluarga klien mengatakan bersedia untuk
berbicara klien saat jam berkunjung, data obyektif keluarga klien tampak
berkomunikasi dengan klien.
Jam 10.30 WIB mengobservasi status RR klien didapatkan data
obyektif RR klien 28 x/menit, jam 11.30 WIB mengkaji status GCS klien,
didapatkan data obyektif nilai GCS E=3 obyektif klien membuka mata saat
dipanggil oleh perawat, V=4 klien menjawab pertanyaan dari perawat hanya
kata-kata saja, M=5 klien mampu melokalisir nyeri, jam 11.45 WIB
mengobservasi saturasi oksigen klien, didapatkan data obyektif saturasi
oksigen klien 95%, jam 12.00 WIB mengajarkan teknik deep breathing
exercises (menarik napas dalam menggunakan hidung, kemudian tahan
sampai 3 hitungan kemudian keluarkan melaluimulut secara perlahan)
dilakukan sebanyak 20 -40 x/jam, didapatkan data subyektif klien bersedia
untuk melakukan teknik ini, data obyektif klien mulai menarik napas secara
perlahan, menahan sampai 3 hitungan dan mengeluarkan melalui mulut
secara perlahan, klien dapt melakukan teknik ini sebanyak 30x dalam satu
jam.
Jam 13.05 WIB mengobservasi status RR klien, didapatkan data
subyektif klien mengatakan lebih nyaman dan data obyektif RR klien 25
47
x/menit, jam 13.10 WIB mengobservasi saturasi oksigen klien, didapatkan
data obyektif saturasi oksigen klien 97%, jam 13.25 mengobservasi status
nyeri klien, didapatkan data subyektif klien mengatakan masih sedikit pusing,
data obyektif skala nyeri 19 yang berarti nyeri ringan (kesiagaan : 3
mengantuk, ketenangan : 2 sedikit cemas, gangguan pernapasan : 2
pernapasan spontan dengan sedikit respon, tangis : 1 napas hening tidak ada
tangis, movement : 2 sesekali gerakan ringan, kekuatan otot : 2 kekuatan
tonus otot berkurang, ketegangan wajah : 2 tonus otot muka jelas tidak ada
ketegangan, tekanan darah baseline : 2 tekanan darah secara konsisten
dibawah baseline, detak jantung baseline : 3 peningkatan detak jantung jarang
diatas baseline).
Jam 13.55 WIB mengobservasi tanda-tanda vital, didapatkan data
obyektif klien tampak nyaman TD: 120/70 mmHg, Nadi : 86 x/menit, RR : 25
x/menit, Suhu : 36,8ºC, jam 14.10 mengkaji nilai GCS klien, didapatkan data
subyektif klien mengatakan masih sedikit pusing, data obyektif klien
membuka mata saat dipanggil oleh perawat (E=3), menjawab pertanyaan dari
perawat hanya kata-kata saja (V=4), dapat melakukan semua perintah
rangsang nyeri (M=6).
Tindakan hari kedua, tanggal 13 Januari 2016 jam 08.15 WIB
mengobservasi tanda-tanda vital klien, didapatkan data obyektif TD: 132/75
mmHg, Nadi: 98 x/menit, RR: 26 x/menit, suhu: 36,7ºC, jam 08.25 WIB
meninggikan posisi kepala klien ± 30º, didapatkan data obyektif klien hanya
terdiam sambil membuka matanya, jam 09.05 WIB mengobservasi saturasi
48
oksigen klien, didapatkan data obyektif saturasi oksigen klien 96%, jam 09.10
WIB mengobservasi status RR klien, didaptkan data obyektif RR klien 26
x/menit, jam 09.50 WIB mengkaji nilai GCS klien, didapatkan data subyektif
klien mengatakan masih pusing, data obyektif klien dapat membuka mata
secara spontan (E=4), klien berbicara hanya kata-kata (V=3), klien dapat
melakukan semua perintah rangsang nyeri (M=6).
Jam 10.15 WIB memberikan edukasi keluarga untuk selalu mengajak
klien berbicara saat berkunjung, didapatkan data subyektif keluarga klien
mengatakan bersedia dan data obyektif kelurga klien tampak sedang berbicara
dengan klien, jam 10.20 WIB mengobservasi nilai saturasi oksigen klien
didapatkan data obyektif saturasi oksigen klien 96%, jam 10.25 WIB
mengobservasi RR klien idapatkan data obyektif RR klien 26 x/menit, jam
10.30 WIB meminta klien untuk melakuakn teknik deep breathing exercises,
didapatkan data subyektif klien mau melakukan teknik deep breathing
exercises, dan data obyektif klien mulai menarik napas dalam secara pelan-
pelan dan kemudian mengeluarkan melalui mulut secara perlahan klien dapat
melakukan teknik ini sebanyak 34 x dalam satu jam.
Jam 11.35 WIB menanyakan kepada klien masih sesek atau tidak,
didapatkan data subyektif klien mengatakan tidak sesek, dan data obyektif
klien tampak lebih nyaman dan tarikan napas normal, jam 11.40 WIB
mengobservasi nilai RR klien, didapatkan data obyektif RR klien 24 x/menit,
jam 11.50 WIB mengobservasi nilai saturasi oksigen klien, didapatkan data
obyektif saturasi oksigen klien 98%, jam 13.00 WIB mengobsevasi status
49
nyeri klien, didapatkan data subyektif klien mengatakan masih merasa sedikit
senut-senut, data obyektif skala nyeri 17 yang berarti nyeri terkontrol
(kesiagaan : 3 mengantuk, ketenangan : 2 sedikit cemas, gangguan
pernapasan : 1 tidak ada batuk, tangis : 1 napas hening tidak ada tangis,
movement : 2 sesekali gerakan ringan, kekuatan otot : 2 kekuatan tonus otot
berkurang, ketegangan wajah : 2 tonus otot muka jelas tidak ada ketegangan,
tekanan darah baseline : 2 tekanan darah secara konsisten dibawah baseline,
detak jantung baseline : 2 detak jantung secara konsisten dibawah baseline),
jam 13.15 WIB mengobservasi tanda-tanda vital klien, didapatkan data
obyektif klien tampak lebih tenang dan nyaman TD: 130/78 mmHG, Nadi: 86
x/menit, RR: 24 x/menit, Suhu: 36,8ºC.
Tindakan hari ketiga tanggal 14 Januari 2016, jam 08.05 WIB
mengobservasi tanda-tanda vital klien, didapatkan data subyektif klien
mengatakan badanya terasa lebih baik, dan obyektif TD: 128/72 mmHg, nadi:
86 x/menit, RR: 26 x/menit, suhu: 37,3ºC, jam 08.15 WIB mengobservasi
nilai saturasi oksigen klien, didapatkan data subyektif klien mengatakan
sudah tidak terasa sesak napas, dan data obyektif saturasi oksigen klien 98%.
Jam 09.05 WIB mengobservasi nilai RR klien, didapatkan data
subyektif klien mengatakan sudah tidak sesak napas, dan data obyektif nilai
RR klien 24 x/menit, jam 09.15 WIB memberikan posisi yang nyaman untuk
klien (meninggikan bed bagian kepala), didapatkan data subyektif klien
merasa lebih nyaman, dan data obyektif klien tampak lebih tenang nyaman
relaks, jam 10.15 WIB mengkaji nilai GCS klien, didapatkan data subyektif
50
klien mengatakan masih sedikit pusing, data obyektif klien dapat membuka
mata secara spontan (E=4), klien berbicara hanya bila diberi pertanyaan atau
diberi instruksi (V=4), klien dapat melakukan semua perintah rangsang nyeri
(M=6).
Jam 11.20 WIB mengobservasi nilai saturasi oksigen klien didapatkan
data obyektif nilai saturasi oksigen klien 96%, jam 11.25 WIB mengobservasi
nilai RR klien didapatkan data obyektif RR klien 24 x/menit, jam 11.30 WIB
meminta klien untuk melakukan teknik deep breathing exercises, didapatkan
data subyektif klien mengatakan bersedia dan apabila klien merasa tidak
nyaman klien akan melakukan teknik ini, dan data obyektif klien mulai
melakukan teknik ini sebanyak 36x dalam satu jam, jam 12.35 WIB
mengobservasi nilai RR klien, didapatkan data subyektif klien mengtakan
tidak sesek lagi, dan data obyektif nilai RR klien 22 x/menit, jam 12.40 WIB
mengobservasi nilai saturasi oksigen klien, didapatkan data obyektif saturasi
oksigen klien 100%.
Jam 13.10 WIB mengobservasi status nyeri klien, didapatkan data
subyektif klien mengatakan masih sedikit senut-senut, data obyektif skala
nyeri 16 yang berarti nyeri terkontrol (kesiagaan : 2 tertidur tidak dalam,
ketenangan : 2 sedikit cemas, gangguan pernapasan : 1 tidak ada batuk, tangis
: 1 napas hening tidak ada tangis, movement : 2 sesekali gerakan ringan,
kekuatan otot : 2 kekuatan tonus otot berkurang, ketegangan wajah : 2 tonus
otot muka jelas tidak ada ketegangan, tekanan darah baseline : 2 tekanan darah
secara konsisten dibawah baseline, detak jantung baseline : 2 detak jantung
51
secara konsisten dibawah baseline), jam 13.15 WIB mengobservasi tanda-
tanda vital klien, data subyektif klien mengatakan lebih nyaman, data obyektif
yang didapatkan klien tampak relaks dan tenang, TD: 126/73 mmHg, nadi: 86
x/menit, RR: 22 x/menit, suhu: 36,9ºC.
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi yang pertama dilakukan tanggal 12 Januari 2016 jam 14.30
WIB pada diagnosa ketidakefektifan pola napas b.d hiperventilasi didapatkan
data subyektif klien mengatakan sesek sudah berkurang, data obyektif tarikan
napas klien normal, RR: 25 x/menit, nilai sturasi oksigen 97%, hasil analisa
masalah teratasi sebagian (nilai RR belum dalam batasan normal), planning
lanjutkan intervensi (observasi RR klien, observasi nilai sturasi oksigen klien,
ajarkan teknik deep breathing exercises).
Evaluasi jam 14.40 WIB pada diagnosa ketidakefektifan perfusi
jaringan cerebral b.d peningkatan tekanan intrakranial didapatkan data
subyektif klien mrngatakan masih sedikit pusing, data obyektif klien tampak
lebih nyaman TD: 120/70 mmHg, nadi: 86 x/menit, RR: 25 x/menit, suhu:
36,8ºC, nilai GCS klien membuka mata saat dipanggil oleh perawat (E=3)
menjawab pertanyaan dari perawat hanya kata-kata saja (V=4) dapat
melakukan semua perintah rangsang nyeri (M=6), hasil analisa maslah belum
teratasi (nilai GCS belum sesuai dengan kriteria hasil), planning lanjutkan
intervensi (observasi tanda-tanda vital klien, tinggikan posisi kepala klien,
observasi nilai GCS klien, kurangi cahaya ruangan).
52
Evaluasi pada diagnosa nyeri akut b.d agen cedera fisik jam 14.50
WIB didapatkan data subyektif klien mengatakan masih pusing, data obyektif
pengkajian nyeri dengan comfort scale skala nyeri 19 yang berarti nyeri
ringan (kesiagaan : 3 mengantuk, ketenangan : 2 sedikit cemas, gangguan
pernapasan : 2 pernapasan spontan dengan sedikit respon, tangis : 1 napas
hening tidak ada tangis, movement : 2 sesekali gerakan ringan, kekuatan otot
: 2 kekuatan tonus otot berkurang, ketegangan wajah : 2 tonus otot muka jelas
tidak ada ketegangan, tekanan darah baseline : 2 tekanan darah secara
konsisten dibawah baseline, detak jantung baseline : 3 peningkatan detak
jantung jarang diatas baseline), hasil analisa masalah teratasi sebagian (masih
terjadi nyeri, skala nyeri belum sesuai kriteria hasil), planning lanjutkan
intervensi (kaji status nyeri pasien, beri posisi yang nyaman untuk pasien,
ajarkan teknik napas dalam, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian
analgesik).
Evaluasi hari kedua pada tanggal 13 Januari 2016 jam 13.30 WIB
dengan diagnosa ketidakefektifan pola napas b.d hiperventilasi didapatkan
data subyektif klien mengatakan sudah tidak terlalu sesek, data obyektif
didapatkan data nilai saturasi oksigen klien 98% dan RR : 24 x/menit, hasil
analisa masalah teratasi, planning lanjutkan intervensi untuk mempertahankan
status oksigenasi klien (observasi RR klien, observasi nilai saturasi oksigen
klien, minta klien untuk melakukan teknik deep breathing exercises).
Evaluasi pada diagnosa ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral b.d
peningkatan tekanan intrakranial jam 13.40 WIB didapatkan data subyektif
53
klien mengatakan masih sedikit pusing, pada data obyektif didapatkan data
TD : 130/78 mmHg, N : 86 x/menit, RR : 24 x/menit, suhu : 36,8ºC, nilai
GCS E=4 klien dapt membuka mata secara spontan, V=3 klien berbicara
hanya kata-kata, M=6 klien dapat melakukan semua perintah rangsang nyeri,
hasil analisa masalah teratasi sebagian, planning lanjutkan intervensi
(observasi tanda-tanda vital, observasi nilai GCS, pertahankan posisi kepala
klien 30º, kurangi cahaya ruangan).
Evaluasi pada diagnosa nyeri akut b.d agen cedera fisik jam 13.50
WIB didapatkan data subyektif klien mengatakan masih merasa sedikit senut-
senut, data obyektif skala nyeri 17 yang berarti nyeri terkontrol (kesiagaan : 3
mengantuk, ketenangan : 2 sedikit cemas, gangguan pernapasan : 1 tidak ada
batuk, tangis : 1 napas hening tidak ada tangis, movement : 2 sesekali gerakan
ringan, kekuatan otot : 2 kekuatan tonus otot berkurang, ketegangan wajah : 2
tonus otot muka jelas tidak ada ketegangan, tekanan darah baseline : 2
tekanan darah secara konsisten dibawah baseline, detak jantung baseline : 2
detak jantung secara konsisten dibawah baseline), analisa masalah masalah
teratasi sebagian, planning lanjutkan intervensi (kaji status nyeri pasien, beri
posisi yang nyaman untuk pasien, ajarkan teknik napas dalam).
Evaluasi pada hari ke tiga tanggal 14 Januari 2016 jam 13.40 WIB
dengan diagnosa keperawatan ketidakefektifan pola napas b.d hiperventilasi
didapatkan data subyektif klien mengatakan tidak sesek lagi, data obyektif
nilai RR klien 22 x/menit, saturasi oksigen klien 100%, napas klien tampak
54
teratur, hasil analisa masalah teratasi, planning hentikan intervensi (klien
direncanakan pindah runang perawatan).
Evaluasi pada diagnosa ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral b.d
peningkatan tekanan intrakranial jam 13.50 WIB didapatkan data subyektif
klien mengatakan keadaanya sudah lebih baik, kepala masih terasa sedikit
pusing, data obyektif nilai GCS E=4 klien dapat membuka mata secara
spontan, V=4 klien berbicara hanya bila diberi pertanyaan atau diberi
instruksi, M=6 klien dapat melakukan semua perintah rangsang nyeri,
pemeriksaan tanda-tanda vital TD: 126/73 mmHg, nadi: 86 x/menit, RR: 22
x/menit, suhu: 36,9ºC, hasil analisa masalah teratasi, planning hentikan
intervensi (klien direncanakan pindah ruang perawatan).
Evaluasi pada diagnosa nyeri akut b.d agen cedera fisik pada jam
14.00 WIB didapatkan data subyektif klien mengatakan lebih nyaman nyeri
sudah berkurang sedikit senut-senut, data obyektif didapatkan skala nyeri 16
yang berarti nyeri terkontrol (kesiagaan : 2 tertidur tidak dalam, ketenangan :
2 sedikit cemas, gangguan pernapasan : 1 tidak ada batuk, tangis : 1 napas
hening tidak ada tangis, movement : 2 sesekali gerakan ringan, kekuatan otot
: 2 kekuatan tonus otot berkurang, ketegangan wajah : 2 tonus otot muka jelas
tidak ada ketegangan, tekanan darah baseline : 2 tekanan darah secara
konsisten dibawah baseline, detak jantung baseline : 2 detak jantung secara
konsisten dibawah baseline), TD: 126/73 mmHg, nadi: 86 x/menit, RR:
22x/menit, hasil analisa masalah teratasi, planning hentikan intervensi (klien
direncanakan pindah ruang perawatan).
55
BAB V
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan membahas tentang proses keperawatan pada
asuhan keperawatan Ny. T yang mana telah dilakukan pada tanggal 12 Januari
2016 di ruang ICU RS. Dr. Moewardi Surakarta. Dengan memperhatikan aspek
kehidupan dalam proses keperawatan yang mana menjadi prinsip dari pembahasan
asuhan keperawatan Ny.T yang terdiri dari tahap pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi
keperawatan.
A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap pertama atau primer yang dilakukan
penulis untuk menentukan diagnosa keperawatan dan intervensi sehingga
dapat dilakukan tindakan keperawatan atau implementasi yang kemudian
pasien mendapatkan peningkatan status kesehatan. Pengkajian yang
dilakukan secara fokus dan berkesinambungan akan menghasilkan data yang
akurat yang mana akan dibutuhkan perawat untuk menentukan diagnosa
keperawatan dan implementasi keperawatan. Tujuan dari pengkajian adalah
untuk memberikan panduan dari hasil pengkajian yang telah diperoleh agar
dapat menentukan diagnosa keperawatan serta tindakan atau implementasi
keperawatan (Kartikawati, 2011).
56
Pengkajian yang dilakukan oleh penulis yaitu dengan Primary Survey,
yaitu merupakan penilaian awal pasien trauma dimana menggunakan metode
pendekatan yang ditujukan untuk menentukan masalah – masalah yang
mengancam nyawa yang mana diantaranya terkait pernapasan, perdarahan,
jalan napas, sirkulasi, dan status kesadaran (breathing, blood, brain, bladder,
bowel) yang dilakukan dalam hitungan menit sejak pasien datang di ruang
ICU (Kartikawati, 2011).
Pasien merupakan Ny. T umur 36 tahun dirawat di ruang ICU atas
indikasi penurunan kesadaran post kraniotomy akibat trauma kepala. Cedera
kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala, baik secara langsung ataupun
tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu
gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen
(Sudiharto dan Sartono, 2010).
Menurut Padila (2013), cedara kepala dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
Cedera Kepala Ringan, cedera kepala sedang, dan cedera kepala berat. Cedera
kepala ringan ditandai dengan Glasgow Coma Scale>12, tidak ada kelainan
dalam CT-scan, tiada lesi operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit.
Trauma kepala ringan atau cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi
neurologi atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya.
Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh)
tidak kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma,
laserasi dan abrasi. Cedera Kepala Sedang ditandai dengan Glasgow Coma
57
Scale 9 - 12, lesi operatif dan abnormalitas dalam CT-scan dalam 48 jam
rawat inap di Rumah Sakit).
Cedera Kepala Berat Glasgow Coma Scale< 9 dalam 48 jam rawat
inap di Rumah Sakit. Hampir 100% cedera kepala berat dan 66% cedera
kepala sedang menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala berat
terjadinya cedera otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder apabila
proses patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan
dihentikan. Penelitian pada penderita cedera kepala secara klinis dan
eksperimental menunjukkan bahwa pada cedera kepala berat dapat disertai
dengan peningkatan titer asam laktat dalam jaringan otak dan cairan
serebrospinalis (CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis otak. (Padila, 2013)
Berdasarkan hasil pengkajian pada pasien Ny. T masuk dalam
kategori CKS. Keluhan utama pada Ny. T dengan cedera kepala sedang
adalahsesak napas. Sesak napas merupakan gejala yang nyata terhadap
ganguan pada trakeobronkial, parenkin paru dan rongga pleura. Sesak napas
terjadi karena peningkatan kerja pernapasan akibat meningkatnya resistensi
elastik paru-paru, dindingdada dan meningkatnya resistensi non elastisitas
(Muttaqin, 2010). Dalam pengkajian pasien mengatakan sesak nafas dengan
data obyektif didapatkan tarikan dada klien tidak maksimal, tarikan napas
dangkal, tingkat pernapasan/ respiratory rate (RR): 30 x/menit, saturasi
oksigen 94%.
Terjadinya sesak nafas pada pasien cedera kepala adalah akibat dari
peningkatan tekanan intrakranial yang menyebabkan sistim pernafasan yang
58
membawa O2 dari alveoli menjadi difusi yang masuk kedalam darah dan
menembus membran alveolokapiler.Oksigen yang berikatan dengan
hemoglobin menjadi semakin kecil sehingga larut dalam plasma darah.
Gangguan oksigenasi atau pernafasan disebabkan karena berkurangnya kadar
oksigen dalam darah (hipoksemia) yang selanjutkan akan menyebabkan
berkurangnya kadar oksigen dalam jaringan (hipoksia). (Padila, 2012)
Keluhan lain yang dirasakan pasien dengan cedera kepala adalah
peningkatan tekanan intra kranial (TIK).Pada pengkajian peningkatan tekanan
intra kranial didapatkan data klien tampak lemah, nilai GCS E=3 (membuka
matadengan perintah) V=3 (berbicara hanya kata-kata saja) M=5 (dapat
melokasi nyeri), kesadaran somnolen, TD: 120/70 mmHg, HR: 108 x/menit,
hasil pemeriksaan CT scan pasien dengan fraktur impresi temporal pariental
sinistra, EDH region temporaparietal (S) EDH region temporal cranial (O)
oedem serebri pro craniotomy.Hal ini seperti yang disampaikan Batticaca
(2008) bahwa apabila terjadi peningkatan kecil sekalipun dalam volume
bekuan darah dapat menimbulkan peningkatan TIK yang nyata.
CT-scan berguna untuk mendiagnosis dan memantau lesi intracranial
atau mengevaluasi dan menentukan luasnya cedera neurologis.Radiogram
dilakukan dengan komputer setiap interval 1 derajat dalam suatu busur
sebesar 180 derajat. CT-Scan telah dapat menggantikan echoensefalografi dan
memiliki kemampuan diagnostik yang jauh lebih lengkap. (Price. 2006)
Epidural Hematom (EDH) adalah berkumpulnya darah di dalam ruang
epidural (ekstradural) di antara tengkorak dan dura meter. Keadaan ini sering
59
diakibatkan karena terjadi fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri
meningeal tengah terputus atau rusak (laserasi) dimana arteri ini berada
diantara dura meter dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang
temporal dan terjadi hemoragik sehingga menyebabkan penekanan pada otak.
(Batticaca, 2008)
Terdapat juga masalah keperawatan yang lain yaitu nyeri. Nyeri
adalah pengalaman sensori yang tidak menyenangkan, atau pengalaman
emosional yangtidak menyenangkan (Zakiyah, 2015) . Pada pengkajian nyeri
didapatkan bahwa provoking/palliative nyeri pada temporo parrietal sinistra
karena benturan saat kecelakaan, klien tampak nyeri dengan penilaian
comfort scale 27 (kesiagaan: 3 mengantuk, ketenangan: 2 sedikit cemas,
gangguan pernapasan: 3 batuk sesekali, tangis: 3 merintih, movement: 3
berulang gerakan ringan, kekuatan otot: 3 kekuatan tonus otot normal,
ketegangan wajah: 3 ketegangan jelas dibeberapa otot muka, tekanan darah: 3
peningkatan tekanan darah (jarang) diatas baseline (1-3 selama 2 menit
observasi), detak jantung: 4 peningkatan detak jantung berulang (sering)
diatas baseline) yang menandakan nyeri sedang.
Comfort Scale merupakan skala perilaku dengan karakteristik satu
sampai lima, sehingga rentang skor yang didapat 8 – 40, dengan asumsi
ketidaknyamanan meningkat sebanding dengan nilai numerik yang lebih
tinggi. Kewaspadaan pasien, agitasi, respon pernapasan, gerakan fisisk,
tekanan darah, denyut jantung, otot, dan ekspresi wajah. Skala ini
dikembangkan untuk anak-anak, tetapi juga dapat digunakan untukbayi,anak
60
–anak, danorang dewasa dalam perawatan kritis atau pasien operasi yang
tidak mampu melaporkan nyeri. (Zakiyah, 2015)
Hal ni sesuai dengan teori Saferi (2013) yang menjelaskan bahwa
rasa nyeri kepala yang dirasakan pasien dengan cedera sedang tersebut karena
adanya hematoma epidural sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial sehingga mengakibatkan gangguan pernafasan dan penurunan
tekanan darah.
Hasil pengkajian lanjutan data fokus pada Ny. T, Breathing: pasien
dapat bernapas dengan spontan, napas dangkal, RR 30 x/menit, saturasi
oksigen 94%, tidak ada sumbatan jalan napas. Blood: tekanan darah 120/70
mmHg, HR 108 x/menit, kulit teraba lembab, luka post operasi tidak rembes.
Brain: terdapat luka post craniotomi yang masih terbalut, nilai GCS E=3 V=3
M=5, tidak terdapat kelumpuhan anggota gerak, reflex pupil kanan/kiri : +/+,
besar pupil kanan/kiri : 3mm/3mm. Bladder: tidak ada jejas dan tidak ada
nyeri tekan pada daerah vesica urinaria, terpasang DC, produksi urin kuning
pekat. Bowel: tidak terpasang NGT, tidak ada jejas, tidak ada gigi palsu,
bising usus 11x/menit, klien muntah 1 kali ± 100cc berwarna hijau kehitaman
berupa cairan.
Breathing yaitu Pengkajian breathing meliputi : pergerakan otot dada,
pemakaian otot bantu napas, frekuensi nadi tegangan dan irama nadi, suara
tambahan, batuk ada (produktif, tidak produktif) / tidak, sputum (warna dan
konsistensi), pemakaian alat bantu napas. Blood, Pengkajian blood meliputi :
suara jantung, irama jantung, capillary refill time (CRT), jugularis vena
61
pressure (JVP), edema. Brain, Pengkajian brain meliputi : tingkat kesadaran,
periksaan kepala (raut muka,bibir, mata, sclera, kornea, eksopthalmus,
gerakan bola mata, reflek kornea, persepsi sensori. Bladder, Pengkajian
bladder meliputi : urin (jumlah, warna, bau), penggunaan kateter, kesulitan
BAK (oliguri, poliuri, dysuri, hematuri, nocturi). Bowel, Pemeriksaan bowel
meliputi : mukosa bibir, lidah, keadaan gigi, nyeri telan, distensi abdomen,
peristaltic usus, mual, muntah, hematemesis, melena, penggunaan NGT,
diare, konstipasi, asites. Bone, Pengkajian bone meliputi : turgor kulit,
perdarahan kulit/ ptekie, ikterus, akral (hangat/ dingin, kering/ basah, merah/
pucat), pergerakan sendi (bebas/ terbatas), fraktur, luka.
Pada pengkajian di ICU pengkajian Bone tidak dilakukan dikarenakan
pengkajian perubahan bentuk tulang hanya dilakukan kepada pasien yang
bermasalah dengan ekstremitas.
Pengkajian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik pada Ny. T. Hasil
pemeriksaan fisik tidak menunjukkan adanya masalah. Pemeriksaan fisik
secara lengkap dilakukan sebagai skrining rutin untuk meningkatkan perilaku
sejahtera dan sebagai tindakan kesehatan preventif untuk menentukan
pemenuhan persyaratan asuransi kesehatan, layanan militer, atau pekerjaan
baru dan untuk penerimaan dirumah sakit atau fasilitas perawatan jangka
panjang. Perawat menggunakan pengkajian fisik untuk alasan mengumpulkan
data dasar tentang kesehatan klien, menambah informasi, menyangkal data
yang diperoleh dalam riwayat keperawatan, menginformasi dan
mengidentifikasi diagnose keperawatan, membuat penilaian klinis tentang
62
perubahan status kesehatan klien dan pelaksanaanya, mengevaluasi hasil
fisiologis dari asuhan. (Potter & Perry, 2005)
Hasil pemeriksaan laboratorium Ny. T dilakukan tanggal 12 Januari
2016, Hb: 8,2 g/dl Hct: 25 % AL: 15,9 ribu/Ul AT: 291 ribu/Ul AE: 2,76
juta/Ul GDS: 155mg/dl Alb: 2,7 g/dl Na: 134 mmol/l K: 4,1 mmol/l cl:
111mmol/l ca ion: 1,16 mmol/l. Hasil pemeriksaan menunjukkan penurunan
hemoglobin pada pasien. Pemeriksaan laboratorium salah satunya digunakan
untuk menegakan diagnosa penyakit dan memantau perkembangan
pengobatan terhadap suatu jenis penyakit tertentu melalui pemeriksaan yang
diperlukan.Hasil pemeriksaan Hb pasien rendah dikarenakan terjadi
perdarahan 300ml pada saat operasi. Pada pasien dengan cedara kepala, hal
yang perlu diperhatikan adalah terjadinya cedera otak sekunder akibat dari
penyebab sistemik seperti hypotensi, hypoksemia, hypocapnia, hypertensi,
anemia, hyperglikemia, hypernatrenia. (Potter & Perry, 2005)
Hemoglobin yang rendah pada pasien dapat terjadi akibat perdarahan
post trauma (akibat cedera kepala primer) dan juga akibat post operasi.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan hasil tentang keputusan respon
secara individu, keluarga dan komunitas terhadap masalah – masalah
kesehatan yang aktual dan berpotensi sehingga dapat diperoleh intervensi
untuk setiap permasalahan yang muncul (Dermawan, 2012).
63
Berdasarkan data yang diperoleh pada saat pengkajian didapatkan
klien mengatakan sesak napas, data obyektif yang didapatkan tarikan dada
klien tidak maksimal, tarikan napas dangkal, tingkat pernapasan/ respiratory
rate (RR): 30 x/menit, saturasi oksigen 94%.Sehingga didapatkan masalah
keperawatan ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi.
Ketidakefektifan pola napas menurut Herdman & Shigemi (2015)
adalah inspirasi atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi yang cukup.
Dalam diagnosa keperawatan ketidakefektifan pola napas terdapat beberapa
batasan karakteristik yaitu perubahan kedalaman pernapasan, perubahan
ekstruksi dada, bradipneu, penurunan tekanan ekspirasi, penurunan ventilasi
semenit, kerja pernapasan meninkat, ganguan pada pusat saraf pernapasan.
Apabila pada klien mengalami dua tanda dalam batasan karakteristik tersebut
maka dapat ditegakan diagnosa ketidakefektifan pola napas. (Muttaqin, 2010)
Penulis mendapatkan data yang kedua yaitu bahwa Ny. T tampak
lemah, nilai GCS E=3 V=3 M=5, kesadaran somnolen, TD: 120/70 mmHg,
HR: 108 x/menit, hasil pemeriksaan CT scan pasien dengan fraktur impresi
temporal pariental sinistra, EDH region temporaparietal (S) EDH region
temporal cranial (O) oedem serebri pro craniotomy. Maka masalah
keperawatan pertama yang didapatkan Ketidakefektifan perfusi jaringan
cerebral berhubungan dengan peningkatan tekanan intra kranial.
Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral menurut Herdman &
Shigemi (2015) adalah penurunan sirkulasi jaringan otak yang dapat
membahayakan kesehatan.Gejala klinis yang timbul akibat perluasan
64
hematoma cukup luas. Biasanya terlihat adanya kehilangan kesadaran
sebentar pada saat cedera, diikuti dengan pemulihan yang nyata secara
perlahan-lahan (interval yang jelas). Hal ini penting untuk diperhatikan,
walaupun interval nyata merupakan karakteristik dari hematoma epidural, hal
ini tidak terjadi pada kira-kira 15% dari klien yang mengalami lesi tersebut.
Selama interval tertentu, kompensasi terhadap hematoma luas terjadi melalui
absorbs cepat GCS dan penurunan volume intravaskular, yang
mempertahankan TIK normal. Ketika mekanisme ini tidak dapat
mengompensasi lagi, bahkan peningkatan kecil sekalipun dalam volume
bekuan darah menimbulkan peningkatan TIK yang nyata. Kemudian, sering
secara tiba-tiba, tanda kompensasi timbul (biasanya penyimpangan kesadaran
dan tanda defisit neurologis fokal seperti dilatasi dan fiksasi pupil atau
paralisis ekstremitas), dan klien menunjukan penurunan status kesehatan
dengan cepat. (Batticaca, 2008)
Diagnosa keperawatan yang ketiga adalah nyeri pada kepala.Pada
mekanisme nyeri yang dialami pada pasien cedera kepala ringan, rangsangan
nyeri dihantarkan melalui serabut saraf kecil.Rangsangan pada serabut saraf
kecil tersebut dapat menghambat substansi gelatinosa sehingga membuat
mekanisme yang mengkativasikan sel T yang selanjutnya menghantarkan
rangsangan nyeri (Lyndon, 2013).
Pengkajian nyeri yang digunakan penulis adalah dengan dengan
penilaian comfort scale dan didapatkan nilai 27 (kesiagaan: 3 mengantuk,
ketenangan: 2 sedikit cemas, gangguan pernapasan: 3 batuk sesekali, tangis: 3
65
merintih, movement: 3 berulang gerakan ringan, kekuatan otot: 3 kekuatan
tonus otot normal, ketegangan wajah: 3 ketegangan jelas dibeberapa otot
muka, tekanan darah: 3 peningkatan tekanan darah (jarang) diatas baseline (1-
3 selama 2 menit observasi), detak jantung: 4 peningkatan detak jantung
berulang (sering) diatas baseline) yang menandakan nyeri sedang. Hal ni
sesuai dengan teori Saferi (2013) yang menjelaskan bahwa rasa nyeri kepala
yang dirasakan pasien dengan cedera sedang tersebut karena adanya hematom
epidural sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial sehingga
mengakibatkan gangguan pernafasan dan penurunan tekanan darah.
Maka dapat dilihat dari hasil pengkajian nyeri yaitu provoking/
palliative nyeri pada temporo parrietal dextra karena benturan saat
kecelakaan. Data obyektif yang kedua yang didapat penulis saat pengkajian
yaitu TD: 120/70 mmHg, HR: 108 x/menit. Maka masalah keperawatan yang
kedua adalah nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik.
Dari diagnosa yang didapatkan maka penulis dapat menentukan
prioritas diagnosa sesuai dengan teori Kartikawati (2011) tentang pengkajian
Primary Survey yaitu breathing, blood, brain, bladder, bowel dimana
masalah pernapasan yang paling utama. Maka prioritas diagnosa yang
pertama adalah ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan
hiperventilasi, prioritas diagnosa yang kedua adalah gangguan perfusi
jaringan cerebral berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial, dan
prioritas diagnosa yang ketiga adalah nyeri akut berhubungan dengan agen
cedera fisik.
66
C. Intervensi
Intervensi adalah merupakan rencana tindakan yang utama dalam
keputusan awal yang akan dilakukan yang menyakut tentang siapa, kapan,
dan bagaimana untuk melakukan tindakan keperawatan (Dermawan, 2012).
Dalam pengambilan keputusan pemecahan masalah keperawatan hendaknya
sesuai dengan NIC (Nursing Interventions Classification) dan NOC (Nursing
Outcomes Classifications) sehingga tindakan yang dilakukan dapat sesuai
dengan jelas (spesific), dapat diukur (measurable), acceptance, rasional, dan
timming (Perry & Potter, 2005)
Prioritas masalah keperawatan yang utama adalah ketidakefektifan
pola napas berhubungan dengan hiperventilasi, setelah dilakukan tindakan
keperawatan 1 x 24 jam ketidakfektifan pola napas dapat teratasi dengan
kriteria hasil klien mengatakan nyaman, klien mengatakan sesak berkurang,
RR dalam batasan normal 16-24 x/menit, saturasi oksigen dalam batasan
normal 95-100%.
Intervensi dilakukan selama 1 x 24 jam dikarenakan pernapasan
merupakan kebutuhan utama yang harus segera terpenuhi, yang bisa
dinyatakan dengan saturasi oksigen 95% – 100%, apabila dalam 1 x 24 jam
saturasi oksigen sudah 95% - 100% bisa dilanjutkan intervensi untuk menjaga
kepatenan status oksigenasi klien yang dapat dilihat dari repiratory rate (RR)
16 – 22 x/menit dan saturasi oksigen (SpO2) 95% - 100%.
Intervensi atau rencana keperawatan yang pertama yaitu observasi RR
klien, rasional: RR dalam batasan normal menandakan pertukaran gas dalam
67
paru membaik. Observasi merupakan salah satu teknik atau metode dalam
mengumpulkan data untuk keperluan penelitian ilmiah, obat anestesi tertentu
dapat menyebabkan depresi pernapasan sehinga perawat perlu waspada
terhadap adanya pernapasan yang dangkal dan lambat serta batuk yang lemah.
Perawat mengkaji frekuensi, irama, kedalaman ventilasi pernapasan,
kesimetrisan gerakan dinding dada, bunyi napas, dan warna membran
mukosa. Apabila pernapasan dangkal, letakan tangan perawat di atas muka
atau mulut klien sehingga perawat dapat merasakan udara yang keluar,
oksimetri pulsa harus merefleksikan saturasi sebesar 92% sampai 100%.
(Potter, 2006)
Observasi klien masih merasa sesak atau tidak, rasional: sesak napas
merupakan satu bukti bahwa tubuh memiliki mekanisme kompensasi sedang
bekerja guna mencoba membawa oksigen lebih banyak ke jaringan, ajarkan
klien teknik deep breathing exercises, rasional: teknik deep breathing
exercises dapat merelaksasikan dan dapat meningkatkan pergerakan atau
pengembangan dada sehingga dapat meningkatkan produksi surfaktan,
meningkatkan kompliensi paru-paru, ventilasi alveolus dan menurunkan RR
(Arzu dkk, 2008). Observasi saturasi oksigen klien, rasional: saturasi oksigen
menunjukan tercukupi tidaknya suplai oksigen ke jaringan, kolaborasi dengan
dokter dalam pemberian obat bronkodilator bila diperlukan, rasional: obat
brokodilator digunakan untuk melonggarkan jalan napas, berikan oksigen
NRM (Non Rebreathing Mask) 8-10 lpm bila diperlukan, rasional: pemberian
68
oksigen melalui NRM dapat membantu suplai oksigen ke paru-paru lebih
banyak.
Pemberian NRM kepada klien bertujuan untuk meningkatkan ekspansi
dada, memperbaiki status oksigenasi klien dan memenuhi kekurangan
oksigen, membantu kelancaran metabolisme, mencegah hipoksia,
menurunkan kerja jantung, menurunkan kerja paru-paru pada klien dengan
dyspnea, meningkatkan rasa nyaman dan efisiensi frekuensi napas pada
penyakit paru (Aryani dkk, 2009). Pemberian NRM baik diberikan pada
masalah keperawatan perubahan pola napas, hipoksia (kekurangan oksigen
dalam jaringan), dypsnea (kesulitan bernapas), sianosis (perubahan warna
kebiru-biruan pada permukaan kulit karena kekurangan oksigen), apnea (tidak
bernapas), bradipnea (pernapasan lebih lambat dari normal dengan frekuensi
kurang dari 16 x/menit), takipnea (pernapasan lebih cepat dari normal dengan
frekuensi lebih dari 24 x/menit). (Tarwoto& Wartonah, 2010)
Masalah keperawatan yang kedua adalah Ketidakefektifan perfusi
jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial pada
Ny. T, maka penulis akan membahas rencana dan tujuan kriteria hasil yang
mana setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24jam, gcs pasien
meningkat dari E=3 V=3 M=5 menjadi E=4 V=5 M=6 atau mengalami
peningkatan, tanda-tanda vital klien dalam batasan normal
Intervensi atau rencana keperawatan yaitu observasi tanda-tanda vital
klien rasionalnya untuk mengetahui tanda-tanda vital klien dalam batas
normal atau tidak, kaji nilai GCS rasionalnya fungsi kortikal dapat dikaji
69
dengan mengevaluasi pembukaan mata dan respon motorik, tinggikan posisi
kepala klien (± 30º) rasionalnya membantu drainase vena untuk mengurangi
kongesti serebro vascular, kurangi cahaya ruangan rasionalnya cahaya
merupakan salah satu rangsangan yang berisiko terhadap peningkatan tekanan
intra kranial, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian pelunak feses bila
perlu rasionalnya pasien dengan keadaan bedrest bias terjadi kemungkinan
konstipasi, edukasi keluarga untuk merangsang respon klien dengan
mengajak bicara klien saat berkunjung rasionalnya keluarga adalah orang
terdekat klien kemungkinan klien lebih dapat mrespon bila diajak bicara oleh
keluarganya terutama oleh suaminya,
Masalah keperawatan yang ketiga yaitu nyeri akut berhubungan
dengan agen cedera fisik, setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x 24 jam
nyeri berkurang atau teratasi dengan kriteria hasil klien mengatakan nyeri
berkurang, skala nyeri berkurang dari 27 skala comfort scale menjadi 18 skala
comfort scale, tidak menunjukan ekspresi wajah menahan rasa nyeri, klien
mampu mengontrol nyeri, nadi dalam batasan normal 70-82 x/menit.
Intervensi atau rencana keperawatan yaitu kaji status nyeri pasien
menggunakan comfort scale, rasional: untuk mengetahui karakteristik nyeri,
berikan posisi nyaman untuk klien, rasional: untuk meminimalkan nyeri yang
muncul, berikan kesempatan dan ketenangan untuk klien saat beristirahat,
rasional: untuk meminimalkan terjadinya nyeri dan member posisi yang
nyaman, ajarkan metode napas dalam ketika nyeri muncul, rasional: teknik
napas dalam dapat digunakan untuk mengurangi rasa nyeri yang muncul,
70
kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic bila diperlukan,
rasional: analgesik diberikan untuk mengurangi rasa nyeri yang hebat.
D. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan rencana keperawatan untuk pasien
yang bertujuan agar masalah keperawatan pada pasien dapat teratasi.Dengan
masalah keperawatan yang utama adalah ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan hiperventilasi. Klienmengatakan sesak napas, data
obyektif yang didapatkan tarikan dada klien tidak maksimal, tarikan napas
dangkal, tingkat pernapasan/ respiratory rate (RR): 30 x/menit, saturasi
oksigen 94%. Maka tindakan keperawatan pertama yang dilakukan penulis
adalah memberikan deep breathing exercises, teknik ini dilakukan satu hari
paska operasi setelah ekstubasi, saat klien beristirahat dalam posisi semi
terlentang, pasien diinstruksikan untuk menarik napas perlahan dan sedalam
mungkin, kemudian menahan nafas selama 3 detik, lalu buang napas dengan
santai. Dengan bantuan dari perawat menggunakan input proprioseptif, pasien
didorong untuk membuat setiap napas berikutnya yang lebih dalam dari nafas
sebelumnya selama 5 sampai 10 napas. Periode ini diikuti oleh masa istirahat
(yaitu, pernapasan normal), dan siklus diulang empat kali per jam. (Arzu dkk,
2008)
Dari hasil penelitian Arzu dkk pada tahun 2008 menjelaskan bahwa
teknik deep breathing exercises dapat meningkatkan secara signifikan status
oksigenasi yang dinyatakan dengan peningkatan tekanan O2 parsial saturasi
71
oksigen (SpO2) dan penurunan yang signifikan pada tingkat pernafasan atau
Respiratory Rate (RR). Teknik deep breathing exercises dapat
menghilangkan sekresi dan merelaksasikan pasien, selain itu juga dapat
meningkatkan pergerakan atau pengembangan dinding dada sehingga dapat
meningkatkan produksi surfaktan dan dapat meningkatkan kompliensi paru-
paru, ventilasi alveolus, meningkatkan oksigenasi dan menurunkan RR.
Setelah pasien melakukan teknik deep breathing exercises selama
60menit penulis kembali mengobsevasi status oksigenasi dari pasien sebelum
melakukan teknik deep breathing exercisesdidapatkan hasil observasi RR: 28
x/menit sturasi oksigen 95% dan setelah melakukan teknik deep breathing
exercisesRR klien menjadi 26 x/menit dan saturasi oksigen juga meningkat
menjadi 97%.
Tindakan keperawatan yang kedua penulis memberikan tindakan
meninggikan posisi kepala untuk menangani masalah keperawatan
ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan peningkatan
tekanan intra kranial dengan keadaan pasien tampak lemah, nilai GCS E=3
V=3 M=5, kesadaran somnolen, TD: 120/70 mmHg, HR: 108 x/menit, hasil
pemeriksaan CT scan pasien dengan fraktur impresi temporal pariental
sinistra, EDH region temporaparietal (S) EDH region temporal cranial (O)
oedem serebri pro craniotomy.
Tujuan meninggikan posisi kepala menurut Batticaca(2008) yaitu
untuk membantu drinase vena untuk mengurangi kongesti serebrovaskular.
Tujuan lain menurut Supadi dkk (2008), bahwa apabila posisi kepala lebih
72
tinggi atau pasien dalam posisi semi fowler akan membuat oksigen di dalam
paru-paru semakin meningkat sehingga memperingan kesukaran napas. Posisi
ini akan mengurangi kerusakan membran alveolus akibat tertimbunnya
cairan. Hal tersebut dipengaruhi oleh gaya gravitasi sehingga O2 delivery
menjadi optimal. Sesak nafas akan berkurang dan akhirnya perbaikan kondisi
klien lebih cepat.
Tindakan keperawatan yang ketiga adalah mengobservasi nyeri klien
dengan comfort scale, comfort scalemerupakan skala perilaku dengan
karakteristik satu sampai lima, sehingga rentang skor yang didapat 8 – 40,
dengan asumsi ketidaknyamanan meningkat sebanding dengan nilai numerik
yang lebih tinggi. Kewaspadaan pasien, agitasi, respon pernapasan, gerakan
fisisk, tekanan darah, denyut jantung, otot, dan ekspresi wajah. Skala ini
dikembangkan untuk anak-anak, tetapi juga dapat digunakan untukbayi,anak
–anak, danorang dewasa dalam perawatan kritis atau pasien operasi yang
tidak mampu melaporkan nyeri. (Zakiyah, 2015)
Dari hasil observasi atau pengkajian nyeri didapatkan data obyektif
skala nyeri 19 yang berarti nyeri ringan (kesiagaan : 3 mengantuk,
Ketenangan : 2 sedikit cemas, gangguan pernapasan : 2 pernapasan
spontan dengan sedikit respon, tangis : 1 napas hening tidak ada tangis,
movement : 2 sesekali gerakan ringan, kekuatan otot : 2 kekuatan tonus otot
berkurang, ketegangan wajah : 2 tonus otot muka jelas tidak ada ketegangan,
tekanan darah baseline : 2 tekanan darah secara konsisten dibawah baseline,
detak jantung baseline : 3 peningkatan detak jantung jarang diatas baseline).
73
E. Evaluasi
Evaluasi merupakan tujuan akhir dari rencana asuhan keperawatan
yang telah dilaksanakan dalan tindakan keperawatan yang mana menyangkut
perkembangan pasien kesehatan pasien dan nilai efektifitas dalam tindakan
keperawatan (Dermawan, 2012).
Evaluasi yang digunakan sesuai tori yaitu SOAP (Subyektif, Obyektif,
Assessment, Planning)yang mana terdiri dari Subyektif adalah pernyataan dari
pasien atau keluarga pasien tentang perkembangan kesehatan pasien, Obyektif
adalah data yang didapat atau hasil dari pemberian tindakan keperawatan
kepada masalah kesehatan pasien, Assessment merupakan kesimpulan dari
tindakan keperawatan yang dilakukan, Planning adalah rencana selanjutnya
untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien.
Hasil perkembangan dari diagnose ketidakefektifan pola napas b.d
hiperventilasi didapatkan data subyektif klien mengatakan sesek sudah
berkurang, data obyektif RR klien 24 x/menit, saturasi oksigen klien 100%,
napas klien tampak teratur, hasil analisa masalah teratasi, planning hentikan
intervensi (klien direncanakan pindah runang perawatan).
Catatan perkembangan pada masalah keperawatan ketidakefektifan
perfusi jaringan cerebral b.d peningkatan tekanan intrakranialdidapatkan data
subyektif klien mengatakan keadaanya sudah lebih baik, kepala masih terasa
sedikit senut-senut, data obyektif nilai GCS E=4 klien dapat membuka mata
secara spontan, V=4 klien berbicara hanya bila diberi pertanyaan atau diberi
instruksi, M=6 klien dapat melakukan semua perintah rangsang nyeri,
74
pemeriksaan tanda-tanda vital TD: 126/73 mmHg, nadi: 86 x/menit, RR: 24
x/menit, suhu: 36,9ºC, hasil analisa masalah teratasi, planning hentikan
intervensi (klien direncanakan pindah ruang perawatan).
Catatan perkembangan pada masalah keperawatan nyeri akut b.d agen
cedera fisik jam 14.50 WIB didapatkan data subyektif klien mengatakan lebih
nyaman nyeri sudah berkurang, data obyektif didapatkan skala nyeri 16 yang
berarti nyeri terkontrol (kesiagaan : 2 tertidur tidak dalam, ketenangan : 2
sedikit cemas, gangguan pernapasan : 1 tidak ada batuk, tangis : 1 napas
hening tidak ada tangis, movement : 2 sesekali gerakan ringan, kekuatan otot
: 2 kekuatan tonus otot berkurang, ketegangan wajah : 2 tonus otot muka jelas
tidak ada ketegangan, tekanan darah baseline : 2 tekanan darah secara
konsisten dibawah baseline, detak jantung baseline : 2 detak jantung secara
konsisten dibawah baseline), TD: 126/73 mmHg, nadi: 86 x/menit, RR: 24
x/menit, hasil analisa masalah teratasi, planning hentikan intervensi (klien
direncanakan pindah ruang perawatan).
Berikut table evaluasi hasil dari aplikasi riset dan penelitian jurnal
a. Hasil aplikasi riset
Hari ke RR Saturasi oksigen/ SpO2
Sblm Lthan Ssdh Lthn Sblm Lthn Ssdh Lthn
1 28 x/menit 25 x/menit 95 % 97 %
2 26 x/menit 24 x/menit 96 % 98 %
3 24 x/menit 22 x/menit 96 % 100 %
75
b. Hasil penelitian jurnal (Arzu dkk, 2008)
RR Saturasi oksigen/ SpO2
Sblm Lthan Ssdh Lthn Sblm Lthn Ssdh Lthn
24,1 x/menit 21,8x/menit 97,4 % 99,2 %
Berdasarkan hasil evaluasi diatas tersebut, mendukung penelitian yang
dilakukan sebelumnya oleh Arzu dkk (2008) menunjukan bahwa teknik DBE
efektif untuk menstabilkan dan meningkatkan status oksigenasi pasien dengan
cedera kepala.
76
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah penulis melakukan pengkajian, penentuan diagnosa,
perencanaan, implementasi dan evaluasi tentang pemberian teknik deep
breathing exercises dalam terhadap penurunan nyeri pada asuhan
keperawatan Ny. T dengan cedera kepala post craniotomy ruang ICU RSUD
dr. Moewardi, maka dapat ditarik kesimpulan dengan prioritas masalah:
1. Pengkajian
Hasil pengkajian pada Ny. T dengan cedera kepala yaitu sesak
nafas dengan data obyektif didapatkan tarikan dada klien tidak maksimal,
tarikan napas dangkal, tingkat pernapasan/ respiratory rate (RR): 30
x/menit, saturasi oksigen 94%.
Klien tampak lemah, nilai GCS E=3 (membuka matadengan
perintah) V=3 (berbicara hanya kata-kata saja) M=5 (dapat melokasi
nyeri), kesadaran somnolen, TD: 120/70 mmHg, HR: 108 x/menit, hasil
pemeriksaan CT scan pasien dengan fraktur impresi temporal pariental
sinistra, EDH region temporaparietal (S) EDH region temporal cranial
(O) oedem serebri pro craniotomy.
Hasil observasi bahwa provoking/palliative nyeri pada temporo
parrietal sinistra karena benturan saat kecelakaan, klien tampak nyeri
dengan penilaian comfort scale 27 (kesiagaan: 3 mengantuk, ketenangan:
77
2 sedikit cemas, gangguan pernapasan: 3 batuk sesekali, tangis: 3
merintih, movement: 3 berulang gerakan ringan, kekuatan otot: 3
kekuatan tonus otot normal, ketegangan wajah: 3 ketegangan jelas
dibeberapa otot muka, tekanan darah: 3 peningkatan tekanan darah
(jarang) diatas baseline (1-3 selama 2 menit observasi), detak jantung: 4
peningkatan detak jantung berulang (sering) diatas baseline) yang
menandakan nyeri sedang.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnose keperawatan yang didapatkan pada Ny. T dengan cedera
kepala maka penulis dapat menentukan prioritas diagnosa yang pertama
ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, prioritas
diagnosa yang kedua adalah gangguan perfusi jaringan cerebral
berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial, dan prioritas
diagnosa yang ketiga adalah nyeri akut berhubungan dengan agen cedera
fisik.
3. Intervensi
Intervensi keperawatan yang disusun pada Ny. T dengan cedera
kepala yaitu untuk menyelesaikan masalah keperawatan ketidak efektifan
pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi adalah ajarkan klien teknik
deep breathing exercises, rasional: teknik deep breathing exercises dapat
merelaksasikan dan dapat meningkatkan pergerakan atau pengembangan
dada sehingga dapat meningkatkan produksi surfaktan, meningkatkan
kompliensi paru-paru, ventilasi alveolus dan menurunkan RR,
78
Intervensi keperawatan yang disusun untuk menyelesaikan masalah
keperawatan gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan
peningkatan tekanan intrakranial adalah tinggikan posisi kepala klien (±
30º) rasionalnya membantu drainase vena untuk mengurangi kongesti
serebro vascular.
Intervensi keperawatan yang disusun untuk menyelesaikan masalah
keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik adalah
kaji status nyeri pasien menggunakan comfort scale, rasional: untuk
mengetahui karakteristik nyeri, berikan posisi nyaman untuk klien.
4. Implementasi
Implementasi keperawatan yang dapat dilakukan pada Ny. T
dengan cedera kepala post craniotomy adalah mengajarkan klien teknik
deep breathing exercises, mengobservasi tanda-tanda vital klien,
meninggikan posisi kepala klien ±30º, mengobservasi saturasi oksigen
klien, memberikan edukasi kepada keluarga klien untuk membantu
merangsang respon klien dengan komunikasi, mengobservasi status RR
klien, mengkaji status GCS klien, mengobservasi status nyeri klien.
5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan yang didapat setelah 3 hari pengelolaan pada
Ny. T dengan cedera kepala post craniotomy adalah masalah ketidak
efektifan pola nafas dapat teratasi, masalah gangguan perfusi jaringan
cerebral dapat teratasi, masalah nyeri akut dapat teratasi.
79
6. Pemberian teknik teknik deep breathing exercises untuk ketidak efektifan
pola nafas pada pasien cedera kepala post craniotomy menunjukkan hasil
yang signifikan, karena dalam 3 hari pengelolaan status oksigenasi klien
meningkat dari RR 30 x/menit menjadi 24 x/menit, saturasi oksigen 94%
menjadi 100%.
B. Saran
Setelah penulis melakukan keperawatan pada pasien dengan cedera
kepala post craniotomy maka penulis akan memberikan usulan dan masukan
yang positif khususnya dibidang kesehatan antra lain:
1. Bagi Institusi Pendidikan
Agar dapat memotivasi mahasiswa untuk lebih membangun ilmu
pengetahuan melalui aplikasi jurnal yang lebih inovasif dan dapat
melakukan asuhan keperawatan yang komperhensif.
2. Bagi Tenaga Kesehatan Khususnya Perawat
Hendaknya perawat memiliki tanggung jawab dan ketrampilan yang baik
dan selalu berkoordinator dengan tim kesehatan lain dalam memberikan
asuhan keperawatan khususnya pada pasien-pasien di ruang intensif.
3. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan (Rumah Sakit)
Rumah sakit dapat memberikan pelayanan kesehatan dan
mempertahankan hubungan kerja sama baik antara tim kesehatan
maupun dengan pasien, sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan
asuhan keperawatan yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Ana Zakiyah. 2015. Nyeri : Konsep dan Penatalaksanaan dalam Praktik
Keperawatan Berbasis Bukti. Salemba Medika. Jakarta.
Andra W Saferi. 2013. KMB : Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan
Dewasa). Nuha Medika, Yogyakarta.
Aryani, R. dkk. 2009. Prosedur Klinik Keperawatan Pada Mata Ajar Kebutuhan
Dasar Manusia. CV. Trans Info Media, Jakarta.
Arzu Genc dkk, 2008. Effect of deep breathing exercises on oxygenation after
major head and neck surgery. www.ncbi.nlm (diakses pada 21 April
2008).
Babu ML, Bhasin SK, Kumar A. (2005). Extradural hematoma: An experience of
300 cases extradural. JK Science, 7(4), 205-207. (accessed 08
November 2014). http://www.springerlink.com
Coronado, V.G., Xu, L., Basavaraju, S.V., McGuire, L.C., Wald, M.M., Faul
M.D., et al. (2011). Surveillance for traumatic brain injury-related
deaths United States 1997-2007. MMWR, 60 (5),1-36
Dermawan, Deden. 2012. Proses Keperawatan Penerapan Konsep dan Kerangka
Kerja. Gosyen Publising, Yogyakarta.
Dewi Kartikawati. 2011. Buku Ajar Dasar – Dasar Keperawatan Gawat Darurat.
Salemba Medika, Jakarta.
Fransiska Batticaca B, 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Salemba Medika, Jakarta.
Grace, Price.A . 2006. Ilmu Bedah. Erlangga, Jakarta.
Hariyani, Vitri, et.al., 2012. Asuhan Keperawatan pada Ny.C dengan Cidera
Kepala Berat di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah
Moewardi. Eprints.ums.ac.id/.../02._NASKAH_PUBLIKASI.pdf. 27
November 2015 (11.30).
Herdman T Heather & Shigemi Kamitsuru. 2014. NANDA International, Inc.
Nursing Diagnoses : Definitions & Clasification 2015 – 2017. Wiley
Blackwell, Oxford.
Hendrizal, 2013. Pengaruh Terapi Oksigen Menggunakan Non-Rebreathing
Mask terhadap Tekanan Parsial CO2 Darah pada Pasien Cedera
Kepala Sedang. FK Universitas Andalas, Padang.
Jevon. P & Ewens. B, 2009. Monitoring The Criticalli Ill Patient, Essensial
Clinical Skills for Nurse, 2th edition. Erlangga, Jakarta.
Muttaqin Arif. 2010. Pengkajian Keperawatan : Aplikasi Pada Praktik Klinik.
Salemba Medika, Jakarta.
Padila. 2012. Buku ajar: Keperawatan medikal bedah. Yogjakarta: Nuha
Medika.
Perry dan Potter. 2005. Fundamental Keperawatan:Konsep, Proses dan Praktik.
Penerbit Buku Kedokteran, edisi 4. EGC, Jakarta.
Perry dan Potter. 2006. Fundamental Keperawatan:Konsep, Proses dan Praktik.
Penerbit Buku Kedokteran, edisi 6. EGC, Jakarta.
Rendy, Clevo dan Margareth. 2012. Asuhan Keperawatan Medikasi Bedah dan
Penyakit Dalam. Nuha Medika, Yogyakarta.
Sartono dan Sudiharto, 2010. Buku Panduan Basic Trauma Cardiac Life Suport.
CV. Agung Seto, Jakarta.
Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf Edisi IV. Tangerang. Gramedia Pustaka
Utama.
Tarwoto. 2012. Pengaruh Latihan Slow Deep Breathing Terhadap Intensitas
Nyeri Kepala Akut Pada Pasien Cedera Kepala Ringan. Jurnal
Universitas Indonesia. Jakarta ISBN 978-602-97846-3-3. diakses
tanggal 21 februari 2015.
Tarwoto & Wartonah. 2010. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan
Edisi Ketiga. Salemba Medika, Jakarta.
Wijaya, Andra Saferi dan Putri, Yessie Mariza. 2013. Keperawatan Medikal
Bedah 2. Nuha Medika. Yogyakarta.
Zakkiyah, Syifa. 2014. Pengaruh Mobilisasi Progresif Level 1 Terhadap Resiko
Dekubitus dan Perubahan Saturasi Oksigen Pada Pasien Kritis
Terpasang Ventilator Diruang ICU RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Penelitian Keperawatan