definisi mati

Upload: yana-aurora-prathita

Post on 16-Oct-2015

29 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Definisi Mati Resusitasi mutakhir telah membawa perubahan-perubahan pada definisi kematian. 8 Mati klinis adalah henti nafas (tidak ada gerak nafas spontan) ditambah henti sirkulasi (jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti, tetapi tidak ireversibel. Pada masa dini kematian inilah, pemulaian resusitasi dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi sistem organ vital termasuk fungsi otak normal, asalkan diberi terapi optimal. Mati biologis (kematian semua organ) selalu mengikuti mati klinis bila tidak dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau bila upaya resusitasi dihentikan. Mati biologis merupakan proses nekrotisasi semua jaringan, dimulai dengan neuron otak yang menjadi nekrotik setelah kira-kira 1 jam tanpa sirkulasi, diikuti oleh jantung, ginjal, paru dan hati yang menjadi nekrotik selama beberapa jam atau hari. Pada kematian, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik yang berat, denyut jantung dan nadi berhenti pertama kali pada suatu saat, ketika tidak hanya jantung, tetapi organisme secara keseluruhan begitu terpengaruh oleh penyakit tersebut sehingga tidak mungkin untuk tetap hidup lebih lama lagi. Upaya resusitasi pada kematian normal seperti ini tidak bertujuan dan tidak berarti. Henti jantung (cardiac arrest) berarti penghentian tiba-tiba kerja pompa jantung pada organisme yang utuh atau hampir utuh. Henti jantung yang terus berlangsung sesudah jantung pertama kali berhenti mengakibatkan kematian dalam beberapa menit. Dengan perkataan lain, hasil akhir henti jantung yang berlangsung lebih lama adalah mati mendadak (sudden death). Diagnosis mati jantung (henti jantung ireversibel) ditegakkan bila telah ada asistol listrik membandel (intractable, garis datar pada EKG) selama paling sedikit 30 menit, walaupun telah dilakukan RJP dan terapi obat yang optimal. Mati serebral (kematian korteks) adalah kerusakan ireversibel (nekrosis) serebrum, terutama neokorteks. Mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati serebral ditambah dengan nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebelum, otak tengah dan batang otak. Mati sosial (status vegetatif yang menetap, sindroma apalika) merupakan kerusakan otak berat ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsif, tetapi mempunyai elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa refleks yang utuh. Ini harus dibedakan dari mati serebral yang EEGnya tenang dan dari mati otak, dengan tambahan ketiadaan semua refleks saraf otak dan upaya nafas spontan. Pada keadaan vegetatif mungkin terdapat daur sadar-tidur.Kapan seseorang dinyatakan matiBila fungsi jantung dan paru berhenti, kematian sistemik atau kematian sistem tubuh lainnya terjadi dalam beberapa menit, dan otak merupakan organ besar pertama yang menderita kehilangan fungsi yang ireversibel, karena alasan yang belum jelas. Organ-organ lain akan mati kemudian. Sesudah tahun 1960 an, dengan penggunaan ventilasi buatan dan cara-cara bantuan lain pada kasus-kasus kerusakan otak akibat trauma atau sebab lain, bila kemudian kerusakan ini terbukti ireversibel, jantung kadang-kadang dapat terus berdenyut selama 1 pekan atau lebih, atau bahkan sampai 14 hari, dengan sebagian besar otak mengalami dekomposisi. 9 Dengan kondisi seperti ini jantung dapat terus berdenyut sampai 32 hari (pada seorang anak umur 5 tahun). 6 Penghentian ireversibel semua fungsi otak disebut mati otak (MO). Penghentian total sirkulasi ke otak normotermik selama lebih dari 10 menit tidak kompatibel dengan kehidupan jaringan otak. 6 Jadi penghentian fungsi jantung mengakibatkan MO dalam beberapa menit, sedangkan penghentian fungsi otak mengakibatkan kehilangan fungsi jantung dalam beberapa jam atau hari. Kebanyakan kalangan yang berwenang dalam kedokteran dan hukum sekarang ini mendefinisikan kematian dalam pengertian MO walaupun jantung mungkin masih berdenyut dan ventilasi buatan dipertahankan. 7Akan tetapi banyak pula yang memakai konsep MBO sebagai pengganti MO dalam penentuan mati. 1,9 Menurut pernyataan IDI 1988, 4 seseorang dinyatakan mati bila a) fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau b) telah terbukti terjadi MBO. Secara klasis dokter menyatakan mati berdasarkan butir a tersebut dan ini dapat dilakukan di mana saja, di dalam atau di luar rumah sakit. Bahwa fungsi spontan nafas dan jantung telah berhenti secara pasti, dapat diketahui setelah kita mencoba melakukan resusitasi darurat. Pada resusitasi darurat, di mana kita tidak mungkin menentukan MBO, seseorang dapat dinyatakan mati bila 1) terdapat tanda-tanda mati jantung atau 2) terdapat tanda-tanda klinis mati otak yaitu bilamana setelah dimulai resusitasi, pasien tetap tidak sadar, tidak timbul pula nafas spontan dan refleks muntah (gag reflex) serta pupil tetap dilatasi selama 15-30 menit atau lebih, kecuali kalau pasien hipotermik, di bawah pengaruh barbiturat atau anestesia umum. 3,4,11 Menurut Peraturan Pemerintah RI no 18 tahun 1981, 1 tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia, meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli-ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan dan denyut jantung seseorang telah berhenti. Menurut penulis, batasan mati ini mengandung 2 kelemahan. Yang pertama, pada henti jantung (cardiac arrest) fungsi otak, nafas dan jantung telah berhenti, namun sebetulnya kita belum dapat menyatakan mati karena pasien masih mungkin hidup kembali bila dilakukan resusitasi. Yang kedua, dengan adanya kata-kata denyut jantung telah berhenti, maka ini justru kurang menguntungkan untuk transplantasi, karena perfusi ke organ-organ telah berhenti pula, yang tentunya akan mengurangi viabilitas jaringan/organ. Diagnosis MBO Diagnosis MBO barangkali merupakan diagnosis paling penting yang pernah dibuat oleh dokter, karena bila telah dipastikan, normalnya ventilator akan dilepaskan dari pasien dan henti jantung akan terjadi tidak lama kemudian. Jadi, diagnosis ini merupakan ramalan yang terlaksana dengan sendirinya (self-ful filling prophecy). Kebanyakan dokter yang merawat dapat membenarkan dilepaskannya ventilator dari pasien, karena meneruskan ventilasi mekanis memberikan stres bagi famili pasien dan staf perawatan. Selain itu, terapi yang diteruskan secara tidak langsung menyatakan bahwa pemulihan masih dimungkinkan dan memberi famili pasien harapan palsu. Namun ventilasi yang diteruskan selama periode yang singkat sesudah diagnosis MBO memungkinkan perolehan organ kualitas bagus untuk tujuan transplantasi dan seringkali dilakukan.Penerimaan batang otak sebagai sumber kehidupan dan penghentian ventilasi sebagai akibat diagnosis MBO potensial sulit bagi orang awam untuk menerimanya. Tidaklah mudah untuk memberitahu famili pasien, yang berwarna merah, hangat dan kelihatannya bernafas dengan nyaman pada ventilator, mati. Bahkan lebih sulit lagi jika famili pasien melihat gerakan pasien yang dinyatakan dokter timbul pada tingkat spinal dan tidak mengindikasikan fungsi otak. Masyarakat di negara maju seperti Inggris 12 sangat mempercayai dokter dan biasanya tidak dijumpai kesulitan tatkala dibuat diagnosis MBO.Sekarang ini sudah dapat diterima bahwa batang otak, dan bukan seluruh otak, pengatur respirasi dan stabilitas kardiovaskular. Diyakini bahwa untuk mendapatkan kesadaran harus ada kontinyuitas neuronal antara sistem saraf periferal dan korteks. Bila batang otak yang menghubungkan keduanya mati, kontinyuitas sistem yang diaktifkan oleh retikular terganggu dan tidak dapat timbul kesadaran.Diagnosis MBO dan petunjuknya dapat dilihat pada fatwa IDI 5 tentang MBO. Diagnosis MBO mempunyai dua komponen utama. Komponen pertama terdiri dari pemenuhan prasyarat-prasyarat dan komponen kedua adalah tes klinik fungsi batang otak.Prasyarat. Prasyarat-prasyarat dapat dilihat pada tabel 1. Pada hakekatnya sebelum melakukan tes klinis, dokter harus menetapkan tanpa keraguan bahwa pasien komatous dan bergantung pada ventilator dan mempunyai kondisi yang konsisten dengan koma ireversibel dan hilangnya fungsi batang otak. Pasien dengan MBO tidak dapat bernafas. Dokter-dokter yang tidak familiar dengan diagnosis MBO kadang-kadang menyarankan dokter seniornya untuk melakukan testing pada pasien yang tidak bergantung pada ventilator dengan cedera berat. Fenomena ini menonjolkan tiga hal. Pertama dokter-dokter yang bekerja di ICU perlu lebih dahulu mengkaji langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis MBO sesuai fatwa IDI 5 yang memang belum tersosialisasikan dengan baik, agar jangan sampai melewatkan langkah-langkah yang harus dijalani sebelum melakukan testing arefleksia batang otak. Kedua adalah adanya kenyataan bahwa beberapa pasien menderita cedera otak berat yang akhirnya inkompatibel dengan kehidupan yang lama, namun kausa kematiannya bukanlah MBO. Beratnya cedera otak pada pasien-pasien ini dapat mengindikasikan keputusan untuk menghentikan terapi aktif atau membatasi terapi aktif. Keputusan penghentian atau limitasi terapi individual untuk tiap pasien dan sangat kontras dengan diagnosis MBO yang identik bagi semua pasien. Hal ketiga adalah perlunya tanpa keraguan memantapkan diagnosis cedera otak ireversibel yang cukup untuk menyebabkan koma apneik. Diagnosis yang kompatibel adalah cedera kepala, perdarahan subarakhnoid, perdarahan intraserebral, tenggelam dan henti jantung. Penegakan diagnosis memerlukan anamnesis yang cukup dan pemeriksaan klinis serta investigasi (biasanya CT Scan). Kausa koma yang reversibel yang menyulitkan diagnosis primer harus pula disingkirkan. Khususnya sedatif, analgetik dan pelumpuh otot hendaknya disingkirkan, sebagai kausa ketidaksadaran atau arefleksia. Pasien hendaknya mempunyai suhu sentral lebih dari 35C. Intoksikasi obat, hipotermia, gangguan metabolik atau endokrin, semua dapat menyebabkan perubahan berat pada fungsi batang otak, namun reversibel. MBO tidak boleh dipertimbangkan bila terdapat kondisi-kondisi ini, baik sebagai penyebab koma primer ataupun faktor penunjang.

Elektrolit, gula darah dan gas darah arterial hendaknya diperiksa dan gangguan yang cukup untuk menyebabkan koma hendaknya diatasi. Selain itu, upaya yang sungguh-sungguh harus sudah dikerjakan untuk mengatasi efek-efek edema serebri, hipoksia dan syok. Sebagai konsekuensi, untuk memenuhi prasyarat-prasyarat, diperlukan waktu dan tidaklah biasa untuk menegakkan diagnosis MBO sebelum 24 jam perawatan di rumah sakit. Seringkali pasien sudah dirawat di rumah sakit jauh lebih lama.

CT Scan bermanfaat tidak saja untuk mengetahui kausa MBO, tetapi juga untuk memperlihatkan efek herniasi lewat tentorium dan foramina magnum. Kompresi arteri dan vena mengakibatkan edema sitotoksik dan tekanan intrakranial dapat meningkat akibat terhalangnya drainase cairan serebrospinal oleh sumbatan aquaduktus atau ruang subarakhnoid. Perubahanperubahan ini menyebabkan herniasi berlanjut dan posisi otak menurun. Penurunan ini begitu besar sehingga cabang-cabang arteri basilaris (yang mendarahi batang otak) teregang dan mengakibatkan perdarahan intraparenkimal dan memperparah edema.13 Interpretasi perubahanperubahan ini pada seksi aksial tradisional CT Scan memerlukan pengalaman. Herniasi otak, bagi dokter nonradiologis, paling mudah dilihat pada citra CT koronal.13 Untuk contoh grafik edema otak ireversibel dan herniasi, pembaca dianjurkan untuk membaca buku Plum dan Posner; The Diagnosis of Stupor and Coma. 13 Dalam membuat diagnosis MBO kadang-kadang dijumpai kesukaran (lihat tabel 2). Bila dokter yang bertugas masih ragu-ragu mengenai: a) diagnosis primer, b) kausa disfungsi batang otak yang reversibel (obat atau gangguan metabolik), c) kelengkapan tes klinis, maka hendaknya jangan dibuat diagnosis MBO !!.Tes klinis. Sebelum melakukan tes formal, kita harus memastikan bahwa pasien tidak menunjukkan postur abnormal (deserebrasi dan dekortikasi) dan tidak mempunyai refleks okulo-sefal aktif (fenomena mata kepala boneka) atau aktivitas kejang. Bila ada salah satu gejala tersebut, pasti terjadi hantaran impuls saraf lewat batang otak dan selanjutnya tes tidak diperlukan dan tidak tepat untuk dilakukan. Batang otak berarti masih hidup. Tes formal fungsi batang otak dilaksanakan di samping tempat tidur dan memerlukan demonstrasi apnea dalam keadaan hiperkarbia dan tidak adanya refleks batang otak. Peralatan canggih tidak diperlukan selain analisis gas darah. Tes ini sendiri mudah dilakukan, hanya memerlukan waktu beberapa menit dan hasilnya jelas. Bila memang tanda-tanda fungsi batang otak yang hilang di atas ada semua, maka hendaknya secara sistematis diperiksa 5 refleks batang otak (lihat tabel 3). Kelima refleks harus negatif sebelum diagnosis MBO ditegakkan. Tes terhadap refleks-refleks batang otak dapat menilai integritas fungsional batang otak dengan cara yang unik. Tidak ada daerah otak lainnya yang dapat diperiksa sepenuhnya seperti ini. Ini menguntungkan karena konsep mati yang baru secara tak langsung menyatakan bahwa semua yang berarti bagi kehidupan manusia bergantung pada integritas jaringan yang hanya beberapa sm3 ini. Tes ini mencari ada atau tidak ada respons, dan bukan gradasi fungsi. Ini mudah dilakukan dan dapat dimengerti oleh setiap dokter atau perawat yang terlatih. Ini tidak bergantung pada mesin, atau super spesialis.

Tes yang paling pokok untuk fungsi batang otak adalah tes untuk henti nafas (lihat tabel 4).

Namun, apnea dan arefleksia saraf kranial juga terjadi pada keadaan nonfatal lain seperti ensefalitis batang otak dan sindroma Guillain-Barre.14 Lagi-lagi perlu ditekankan bahwa tes-tes jangan dilakukan bila prasyarat-prasyarat belum dipenuhi. Ini perlu diperhatikan agar jangan sampai terjadi kesalahan prosedur sebab selalu ada saja laporan kasus yang menggambarkan keadaan yang menyerupai MBO tetapi ternyata dapat pulih kembali. Bila setiap kasus didekati secara sistematis, tidak akan terjadi kesalahan.

Menurut pengamatan penulis ada beberapa kasus yang perlu diperhatikan karena merupakan problematik yang sifatnya nasional. Hal ini disebabkan karena belum tersosialisasinya Fatwa IDI tahun 1990 5 dan juga karena tidak adanya materi tersebut dalam kurikulum pendidikan kedokteran di Indonesia. Kasus yang terjadi di antaranya sebagai berikut: 1. Seorang dokter spesialis anestesiologi melakukan resusitasi jantung paru pada seorang anak, yang mengalami henti jantung (cardiac arrest) selama 4 jam dan resusitasi dihentikan dan anak tersebut dinyatakan mati sesudah orang tua anak mengizinkan dihentikannya resusitasi. Jadi seolah-olah yang menentukan mati anak tersebut adalah orang tuanya, padahal seharusnya dokter yang menanganinya.2. Diagnosis MBO ditegakkan dengan cara tidak benar, sehingga ada pasien yang sudah dinyatakan MBO ternyata tetap hidup; dan pada kasus lain pasien menjadi mati padahal sebenarnya bukan MBO dan masih mungkin dapat diselamatkan. Sebagai contoh telah terjadi kasus berikut ini:Seorang pasien koma dikonsulkan ke dokter spesialis saraf. Setelah memeriksa dokter tersebut menyatakan mati batang otak dan memberitahu famili pasien yang kemudian bersiap-siap untuk mengubur jenazah. Namun ada dokter spesialis anestesiologi yang mengetahui proses tahapan-tahapan dalam menegakkan diagnosis mati batang otak, sehingga pasien tetap dirawat terus dan akhirnya sadar dan tetap hidup. Jadi diagnosis MBO di sini tidak betul karena tidak mengikuti tahapan diagnosis MBO. Dapat dipastikan bahwa dokter spesialis saraf tersebut tidak membaca fatwa IDI.3. Setelah ditegakkan diagnosis MBO, ventilator tetap dipasang terus dengan oksigen 20% dan diberi terapi minimal seolah-olah pasien masih hidup dengan sakit terminal dan menunggu mati klasik. 4. Setelah pasien dinyatakan MBO, dokter yang merawat menyatakan bahwa ventilator belum bisa dilepas karena belum ada izin dari famili pasien. Di sini, lagi-lagi seakan-akan famili pasien yang menentukan kematian pasien tersebut. Seorang pasien telah dinyatakan mati batang otak, tetapi dokter spesialis anestesiologi yang merawat melanjutkan ventilasi buatan, dan memberi terapi minimal sebagaimana layaknya pasien dalam keadaan terminal. Dengan demikian mayat yang seharusnya segera dikubur, tetap mendapat terapi (misalnya disuntik) sehingga mayat tersebut disakiti. Ini berarti dokter tersebut melanggar fatwa IDI tentang mati, melanggar kode etik spesialis anestesiologi, tidak etis karena mendapat honor dari merawat mayat, dan melakukan kebohongan publik, memberi harapan palsu kepada famili pasien dan melakukan hal yang berdosa (dari sudut pandangan agama Islam dan mungkin agama-agama lain).5. Sebelum dipraktekkan secara luas MBO adalah mati, maka transplantasi organ kadaver seperti jantung, paru atau hati tidak mungkin dapat dilaksanakan.6. Perlakuan pasien MBO yang sembrono atau insensitif dapat menimbulkan derita dan distres yang tak perlu bagi keluarga dan perawat. Kekurangan komunikasi atau informasi sering menimbulkan kesalahpahaman, seperti pemakaian istilah mencabut pipa ventilator, menghentikan bantuan hidup dan sebagainya. Perlu dijelaskan (kepada keluarga dan juga khalayak yang lebih luas), bahwa sewaktu melepas ventilator, dokter tidak menghentikan terapi dan membiarkan seseorang meninggal, tetapi sekedar menghentikan upaya yang sia-sia terhadap seseorang yang telah meninggal.7. Tabel 5 : Penentuan Mati MBO8. 9. Dianjurkan agar tes dilakukan oleh 2 orang dokter yang berpengalaman dalam soal ini. 15 Dalam praktek mereka ini biasanya spesialis anestesiologi, neurologi, bedah saraf atau dokter intensivis, tetapi tentunya hal ini tidak esensial. Siapa saja yang memahami prasyarat dapat melakukan tes ini ! Jika ada kaitannya dengan kepentingan transplantasi organ, yang berwenang menentukan kematian adalah 2 orang dokter yang tidak terikat dengan tindakan transplantasi tersebut.6 Setelah dilakukan tes dan tes ulang, dan dipastikan MBO, maka hendaknya pasien dinyatakan mati, keluarga diberitahu, dan dibuat catatan seperlunya. Seseorang mati saat dokter (dengan menggunakan kriteria yang diterima) menyatakannya mati. Sertifikat kematian dapat kemudian dikeluarkan. Bila ventilasi buatan diteruskan guna kepentingan donasi organ, perlu dijelaskan bahwa ini tidak akan menghidupkan. Pembedahan dapat dilaksanakan kemudian sesuai kehendak tim operasi. Pertimbangan utama diteruskannya ventilasi buatan ini ialah untuk menjamin bahwa resipien dapat menerima organ dengan kondisi sebagus mungkin. Pemberian vasopresor atau antibiotika mungkin pula harus diteruskan.10. Untuk mengurangi risiko timbul kesalahpahaman di kemudian hari, semua diskoneksi sebaiknya dilakukan oleh dokter, bukan perawat. Memang tidak alasan yang logis untuk ini, tetapi dalam masalah ini, masih mungkin dijumpai perilaku yang irasional !

Seseorang dinyatakan mati bilamana: a) fungsi spontan nafas dan jantung telah berhenti secara pasti/ireversibel, atau b) telah terbukti terjadi MBO. Pada resusitasi darurat, di mana kita tidak dapat menegakkan diagnosis MBO, seseorang dapat dinyatakan mati bila terdapat tanda-tanda mati jantung dan atau tanda-tanda klinis mati otak.MBO hanya dapat ditetapkan pada keadaan dan di tempat tertentu, karena memerlukan beberapa persyaratan meskipun dapat ditetapkan oleh setiap dokter. Jadi, tidak mungkin ditetapkan dalam keadaan darurat di unit darurat. Kendati pada kebanyakan kasus, kematian dinyatakan secara klasis, bukan atas dasar MBO dan jaringan masih dapat juga diambil dari kadaver untuk ditransplantasikan, namun untuk lebih menunjang keberhasilan transplantasi organ, lebih ideal kalau perfusi ke organ dapat dipertahankan, hingga saat pengangkatan organ. Untuk inilah dirasakan kepentingan penentuan MBO sebagai dasar pernyataan mati.Melepas ventilator dari pasien dengan MBO adalah konsekuensi logis karena ventilasi mekanis tidak lagi berguna sebab pasien sudah mati. Jelas ini bukanlah pengakhiran terapi bantuan hidup seperti yang dilakukan pada pasien dalam stadium terminal penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Untuk melepas ventilator tidak diperlukan izin famili.Di Indonesia, PB Ikatan Dokter Indonesia pernah mengeluarkan keputusan yang berhubungan dengan masalah ini (SK-PB IDI No. 336/PB/A.4/88 mengenai Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati), yang sebelumnya dikeluarkan juga SK-PB IDI No. 319/PB/4/88 mengenai Pernyataan Dokter Indonesia tentang Informed Consent. Pada intinya (sebagai ringkasan), kriteria mati menurut IDI adalah sebagai berikut : meyakini adanya prakondisi tertentu yaitu pasien dalam keadaan koma, nafas berhenti, tidak responsif, dibantu ventilator; ada tanda-tanda telah terjadi kerusakan otak struktural yang tidak dapat diperbaiki lagi meyakini bahwa tidak ada penyebab koma dengan berhentinya napas yang reversible, misalnya intoksikasi obat, hypotermia, dan gangguan metabolik endokrin. meyakini bahwa refleks-refleks batang otak telah hilang secara permanen (refleks terhadap cahaya, refleks kornea, refleks vestibulo-okular, refleks muntah, refleks terhadap rangsangan yang cukup kuat di tubuh)