bab iii
DESCRIPTION
thanksTRANSCRIPT
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Demam Reumatik
3.1.1. Definisi
Demam rematik merupakan suatu penyakit peradangan yang berkembang
sebagai suatu komplikasi dari suatu infeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A
di faring yang tidak mendapatkan pengobatan atau mendapatkan pengobatan yang
kurang adekuat.5,6,7 Demam rematik bukan merupakan suatu infeksi, tetapi
merupakan suatu reaksi peradangan terhadap infeksi, yang menyerang berbagai
bagian tubuh (misalnya persendian, jantung, kulit).7
3.1.2. Etiologi
Terdapat bukti-bukti yang mendukung adanya hubungan antara infeksi
saluran nafas bagian atas oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan
demam rematik akut serta penyakit jantung rematik. Sebanyak 2/3 dari pasien
yang menderita demam rematik akut, mempunyai riwayat infeksi saluran nafas
bagian atas beberapa minggu sebelumnya, dan angka insidens dari demam rematik
akut hampir sama dengan infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A. Pasien
dengan demam rematik akut hampir selalu mempunyai hasil serologi yang
menunjukan adanya infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A baru-baru ini.
Titer antibodi pasien-pasien tersebut lebih tinggi dibandingkan pasien-pasien
dengan infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A tanpa diikuti demam rematik
akut. Wabah faringitis oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A pada kelompok-
kelompok masyarakat yang tertutup seperti di asrama dan pangkalan militer, dapat
pula diikuti oleh wabah demam rematik akut. Terapi antimikroba yang digunakan
untuk mengeliminasi Streptococcus β-hemolyticus grup A dari faring dapat pula
mencegah episode awal dari demam rematik akut, dan sebagai upaya jangka
panjang, pengobatan profilaksis yang diberikan untuk mencegah terjadinya
faringitis oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A kembali, juga dapat mencegah
kekambuhan dari demam rematik akut.6,7,8
12
Streptococcus β-hemolyticus grup A merupakan bakteri kokus gram-
positif, yang sering berkolonisasi di kulit dan orofaring. Bakteri ini dapat
menimbulkan penyakit-penyakit supuratif, seperti faringitis, impetigo, selulitis,
miositis dan pneumonia. Streptococcus β-hemolyticus grup A juga dapat
menimbulkan penyakit-penyakit non-supuratif seperti demam reumatik, post-
streptokokus glomerulonefritis akut. Streptococcus β-hemolyticus grup A
mengeluarkan toksin sitolitik yaitu streptolisin S dan O. Dari kedua jenis toksin
ini, streptolisin O menimbulkan titer antibodi yang cukup tinggi dan persisten
sehingga menjadi marker berguna untuk mendeteksi adanya infeksi Streptococcus
β-hemolyticus grup A dan komplikasinya yang bersifat non-supuratif.6,7,8,9
Hubungan pasti antara infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan
timbulnya demam rematik tidak jelas, tetapi terdapat dugaan dimana bakteri ini
‘mempermainkan’ sistem imun tubuh. Streptococcus β-hemolyticus grup A
memiliki protein yang serupa dengan protein yang ditemukan pada jaringan-
jaringan tertentu tubuh manusia. Oleh sebab itu, sel sistem imun yang biasanya
menyerang bakteri Streptococcus β-hemolyticus grup A dapat memperlakukan
jaringan-jaringan tubuh tersebut, terutama jaringan jantung, persendian, kulit dan
sistem saraf pusat, sebagai suatu agen infeksi. Reaksi sistem imun inilah yang
menyebabkan proses peradangan.7
Tidak semua serotipe Streptococcus β-hemolyticus grup A dapat
menyebabkan demam rematik. Terdapat suatu konsep rhematogenicity dari
terinfeksinya penyakit ini. Serotipe Streptococcus β-hemolyticus grup A tertentu
(M tipe 1, 3, 5, 6, 18, 24) sering diisolasikan dari pasien dengan demam reumatik
akut dibandingan serotipe lainnya.7
Seperti yang telah terurai diatas, demam reumatik dipercaya timbul akibat
suatu respon autoimun, namun patogenesis pastinya masih belum jelas. Demam
reumatik hanya timbul pada anak-anak dan remaja yang sebelumnya telah
menderita faringitis oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A, dan hanya infeksi
faring tersebut yang dapat mencetuskan atau mereaktivasi demam rematik.7
3.1.3. Faktor Resiko
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya demam rematik adalah:
13
Riwayat keluarga. Beberapa orang memiliki gen yang membuat mereka
menjadi lebih rentan untuk terkena demam rematik.
Serotipe Streptococcus β-hemolyticus grup A. Beberapa strain tertentu
lebih berperan dalam timbulnya demam rematik dibandingkan strain
lainnya.
Faktor-faktor lingkungan. Resiko penting yang juga berperan dalam
terjadinya demam rematik berhubungan dengan kepadatan penduduk,
sanitasi yang buruk, dan kondisi-kondisi lain yang dapat mempermudah
transmisi cepat atau paparan berulang dari Streptococcus β-hemolyticus
grup A. 6,8
3.1.4. Patogenesis
Hubungan patogenik antara infeksi saluran napas bagian atas oleh
Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan demam reumatik akut masih belum
jelas. Salah satu rintangan terbesar dari usaha untuk memahami patogenesis
demam rematik akut dan penyakit jantung rematik adalah tidak terdapatnya
binatang percobaan. Banyak teori dari demam rematik akut dan penyakit jantung
reumatik yang telah diusulkan, namun hanya 2 yang dapat dipertimbangkan yaitu
the cytotoxicity theory dan teori imunologik.9
The cytotoxicity theory berpendapat bahwa suatu toxin dari Streptococcus
β-hemolyticus grup A terlibat dalam patogenesis demam rematik akut dan
penyakit jantung reumatik. Toksin ini akan beredar melalui pembuluh darah dan
mempengaruhi sistem tubuh lainnya. Streptococcus β-hemolyticus grup A
memproduksi berbagai enzim yang bersifat sitotoksik untuk sel jantung mamalia,
seperti streptolisin O, yang mempunyai efek sitotoksik langsung terhadap sel
mamalia dalam kultur jaringan. Pendukung terbanyak dari teori cytotoxicity
berpusat pada enzim ini. Namun, salah satu masalah utama dari hipotesis ini
adalah ketidakmampuannya untuk menjelaskan periode laten antara faringitis oleh
Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan onset dari demam reumatik akut.9
Teori imunologik menyatakan adanya suatu immune-mediated patogenesis
untuk demam rematik akut dan penyakit jantung rematik. Munculnya teori ini
oleh karena adanya persamaan manifestasi klinik dari demam rematik akut dengan
14
penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh proses imunopatogenik dan adanya
periode laten antara infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan demam
rematik akut.4 Teori ini menyatakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh sistem
imun tubuh yang bertindak tidak sesuai. Sel imun tubuh (antibody), yang dibuat
secara spesifik untuk mengenali dan menghancurksn agen penyebab penyakit
yang memasuki tubuh – dalam hal ini, Streptococcus β-hemolyticus grup A.
Antibodi ini mampu mengenali bakteri ini karena bakteri ini mengandung marker
spesifik sebagai tanda pengenal yang disebut antigen. Determinan antigenik antara
komponen Streptococcus β-hemolyticus Grup A (protein M, membran protoblas,
karbohidrat dinding sel grup A, kapsul hialuronat) dan jaringan spesifik mamalia
(jantung, otak, persendian) serupa. Sebagai contoh, beberapa M protein (M1, M5,
M6, M19) berbagi epitop dengan tropomiosin dan miosin pada manusia. Oleh
karena adanya persamaan antara antigen Streptococcus β-hemolyticus grup A dan
antigen sel-sel tubuh tertentu, maka antibodi tersebut dapat salah mengenali dan
menyerang sel tubuh sendiri.6,7,8,9
Infeksi saluran nafas bagian atas oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A
adalah pencetus utama dari individu yang terpredisposisi. Usaha terakhir untuk
menerangkan suspektabilitas pejamu terhadap kuman ini adalah gen respon imun
yang ditemukan pada sekitar 15% seluruh populasi. Respon imun yang dicetuskan
oleh kolonisasi Streptococcus β-hemolyticus grup A di faring meliputi: (1)
sensitisasi dari limfosit B oleh antigen streptokokus. (2) pembentukan antibodi
antistreptokokus. (3) pembentukan kompleks imun yang mengalami reaksi silang
dengan antigen sarkolema jantung. (4) respon inflamasi dari miokardium dan
katup jantung.7,8,9
3.1.5. Gejala Klinis
Karena tidak terdapatnya manifestasi klinis dan temuan laboratorium yang
patognomik untuk demam rematik akut, T. Ducket Jones, pada tahun 1944,
mengusulkan pedoman untuk mendiagnosis demam rematik akut dan untuk
mencegah overdiagnosis. Kriteria Jones, yang telah direvisi pada tahun 1992 oleh
American Heart Association, dibuat dengan maksud untuk mendiagnosis serangan
pertama dari demam rematik akut dan bukan untuk serangan ulangan. Terdapat 5
15
kriteria mayor dan 4 kriteria minor dan persyaratan absolut (mikrobiologik atau
serologik) dari bukti adanya infeksi Streptococcus β-hemolyticus Grup A baru-
baru ini. Diagnosis dari demam rematik akut akut dapat ditegakan dari kriteria
Jones jika seorang pasien memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor serta memenuhi persyaratan absolut. Meskipun dengan aplikasi
ketat dari kriteria Jones, overdiagnosis atau underdiagnosis dari demam rematik
akut masih dapat terjadi. 6,8,9
Ada tiga keadaan dimana diagnosis demam rematik akut dapat dibuat
tanpa penetapan ketat dari kriteria Jones. Korea mungkin timbul sebagai
manifestasi klinis satu-satunya dari demam reumatik akut. Keadaan yang sama
mirip dengan seorang pasien yang dengan karditis dan baru datang berobat
pertama kali berbulan-bulan setelah onset demam reumatik. Beberapa pasien
dengan serangan ulangan dapat memenuhi kriteria Jones, beberapa lainnya tidak. 8
Manifestasi mayor. Terdapat 5 kriteria mayor. Adanya 2 kriteria mayor
dengan bukti (mikrobiologik atau serologik) dari infeksi Streptococcus β-
hemolyticus Grup A sebelumnya memenuhi kriteria Jones.
1. Poliartritis Migran.
Artritis timbul pada 75% pasien dengan demam rematik akut dan
sering melibatkan sendi-sendi besar, terutama sendi lutut, pergelangan
kaki, pergelangan tangan, dan siku. Keterlibatan tulang belakang, sendi-
sendi kecil dari tangan dan kaki, atau sendi panggul sangat jarang.
Persendian yang terkena rematik secara umum ditandai oleh adanya nyeri,
pembengkakan, kemerahan, teraba panas, dan keterbatasan gerak aktif;
bahkan jika bersinggungan dengan sprei menimbulkan perasaan tidak
enak.2,4,6 Nyeri ini dapat berlanjut dan dapat tampak tidak sesuai dengan
temuan klinis lainnya. Keterlibatan sendi pada demam rematik akut
bersifat migratory atau berpindah-pindah, sendi yang mengalami
peradangan yang sangat berat dapat menjadi normal dalam waktu 1-3 hari
tanpa pengobatan, sementara sendi-sendi lainnya mulai meradang.
Sehingga dapat ditemukan artritis yang saling tumpang tindih pada
beberapa sendi pada waktu yang bersamaan.6,8 Keluhan ini dapat menetap
hingga berminggu-minggu (2-4 minggu).8 Artritis monoartikuler jarang
16
terjadi kecuali jika terapi anti-inflamasi diberikan sejak awal sehingga
mencegah progresifitas dari poliartritis migran.
Jika seorang anak dengan demam dan artritis dicurigai menderita
demam rematik akut, biasanya akan membantu jika pemberian salisilat
ditunda dan pasien diobservasi untuk poliartritis. Respon dramatis
terhadap dosis salisilat yang kecil pun adalah salah satu karakteristik untuk
artritis dan tidak adanya respon itu menandakan diagnosis alternatif yang
lain.4 Rematik artritis tidak menyebabkan deformitas dan kerusakan sendi
jangka panjang7 Cairan sinovial pada demam rematik akut biasanya
mengandung 10.000-100.000 sel darah putih/mm3 dengan sel dominan
neutrofil, protein sebanyak 4 g/dL, kadar glukosa yang normal dan terjadi
pembentukan gumpalan musin. Akhir-akhir ini artritis merupakan
manifestasi awal dari demam rematik akut dan terdapat hubungan
sementara dengan tingginya titer antibodi dari Streptococcus β-
hemolyticus Grup A. Ada hubungan yang jelas antara beratnya artritis
dengan beratnya keterlibatan jantung.8
2. Karditis
Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling
berat karena merupakan satu-satunya manifestasi yang dapat
mengakibatkan kematian penderita pada fase akut dan dapat menyebabkan
kelainan katup sehingga terjadi penyakit jantung rematik.7 Diagnosis
karditis rematik dapat ditegakan secara klinis berdasarkan adanya salah
satu tanda berikut: (a) bising baru atau perubahan sifat bising organik, (b)
kardiomegali, (c) pankarditis, dan gagal jantung kongestif. 7 Pankarditis
adalah peradangan aktif miokardium, perikardium dan endokardium.7
Miokarditis dan atau perikarditis tanpa bukti adanya endokarditis jarang
disebabkan oleh penyakit jantung rematik. Kebanyakan kasus melibatkan
kerusakan pada katup mitral atau kombinasi dari katup mitral dan aorta.
Kerusakan pada katup aorta saja atau kerusakan katup sebelah kanan
sangat jarang. Sedangkan efek jangka panjang dari kerusakan jantung yang
lebih berat merupakan akibat dari kerusakan katup ini.
17
Pada beberapa anak dengan peradangan jantung tidak menunjukan
adanya gejala klinis, dan riwayat peradangan sebelumnya baru diketahui
bertahun-tahun kemudian saat kerusakan jantung telah terjadi. Beberapa
anak akan merasakan jantungnya berdebar-debar. Sedangkan lainnya akan
mengeluh nyeri pada dada yang disebabkan oleh peradangan selaput yang
menyelimuti jantung (perikarditis). Kegagalan jantung dapat terjadi, dan
menyebabkan anak tersebut menjadi cepat lelah dan sesak nafas, dengan
mual, muntah, nyeri perut atau batuk kering.7
Rematik karditis akut biasanya ditandai dengan danya takikardia
dan murmur jantung, dengan atau tanpa bukti danya keterlibatan
miokardium atau perkardium. Bising jantung merupakan manifestasi
karditis rematik yang seringkali muncul pertama kali, sementara tanda dan
gejala perikarditis serta gagal jantung kongestif biasanya baru timbul pada
keadaan yang lebih berat. Bising pada demam rematik dapat berupa bising
pansistol didaerah apeks (regurgitasi mitral), bising awal diastol di daerah
basal (regurgitasi aorta), dan bising mid-diastol pada apeks (bising Carey-
Coombs) yang timbul akibat adanya dilatasi ventrikel kiri. Selain itu,
rematik karditis ringan hingga berat dapat menyebabkan kardiomegali dan
penyakit jantung kongestif dengan hepatomegali dan edema perifer dan
pulmonal. Penemuan ekokardiografi meliputi effusi perikardium,
penurunan kontraktilitas ventrikular, dan regurgitasi aorta dan atau mitral.
Hasil ekokardiografi yang menunjukan adanya suatu regurgitasi katup
tanpa diserta bukti auskultasi tidak cukup untuk memenuhi kriteria Jones
untuk karditis.7
Karditis timbul pada 50-60% kasus demam reumatik akut.
Serangan ulangan demam reumatik akut pada pasien yang sebelumnya
terkena karditis pada serangan pertama kemungkinan untuk terkena
karditis lagi pada serangan ulangan sangat tinggi. Dampak utama dari
rematik karditis adalah penyakit katup yang bersifat kronik progresif,
khususnya stenosis katup, yang mungkin akan membutuhkan penggantian
katup dan dapat merupakan suatu predisposisi timbulnya endokarditis
terinfeksi.7
18
3. Korea Sydenhem
Korea sydenham terjadi pada 10-15% pasien dengan demam
rematik akut dan biasanya bermanifestasi sebagai suatu gangguan gerakan
yang bersifat tiba-tiba, tidak disadari, tidak berirama, klonik dan tanpa
tujuan serta perilaku neurologik yang terisolasi dan halus. Emosi yang
labil, inkoordinasi, kinerja sekolah yang buruk, gerakan tak terkendali, dan
wajah meringis, yang dicetuskan oleh stress dan hilang dengan tidur
merupakan ciri-ciri dari kelainan ini.7 Gerakan tersentak-sentak dan tak
terkendali ini mempunyai onset yang tersembunyi dan membahayakan,
tetapi biasanya baru timbul setelah gejala lainnya telah menghilang, dan
menetap hingga berbulan-bulan (4-8 bulan) sebelum dikenali. Gerakan ini
melibatkan seluruh otot-otot tubuh kecuali otot mata. Biasanya dimulai
dengan ekstremitas atas lalu menyebar ke ekstremitas bawah dan wajah.
Korea sering bersifat unilateral. Masa laten dari infeksi akut Streptococcus
β-hemolyticus Grup A menjadi korea lebih lama dibanding menjadi artritis
atau karditis dan dapat mencapai berbulan-bulan. Pemeriksaan klinis yang
dapat dilakukan untuk memperoleh ciri-ciri dari korea meliputi (1)
demonstrasi dari milkmaid’s grip’ (pemeras susu) yaitu kontraksi irreguler
dari otot-otot tangan sambil memeras jari pemeriksa, (2) gerakan
menyendok dan pronasi dari tangan saat lengan penderita di ekstensikan,
(3) gerakan seperti cacing dari lidah saat dijulurkan, (4) pemeriksaan
tulisan tangan untuk menilai gerakan motorik halus. Diagnosis ditegakan
berdasarkan temuan klinis dengan bukti yang mendukung adanya antibodi
Streptococcus β-hemolyticus Grup A. Namun, pada pasien dengan periode
laten yang lama dari sejak timbulnya infeksi Streptococcus β-hemolyticus
Grup A, kadar antibodi kemungkinan telah menurun hingga kadar normal.
Meskipun penyakit akut ini menyedihkan, korea jarang, bahkan hampir
tidak pernah terdapat gejala sisa yang permanen.6 Korea syndenham
merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting sehingga
dapat dianggap sebagai petanda adanya demam rematik meskipun tidak
ditemukan kriteria lain.7
19
4. Eritema Marginatum.
Eritema marginatum merupakan ruam yang jarang (<3% pasien
dengan demam reumatik akut) namun khas pada demam reumatik akut. Ini
meliputi lesi makular, eritematous dan serpiginous (menyebar, progresif)
dengan bagian tengah yang pucat, namun tidak gatal. Terjadi terutama di
bagian trunkus dan ekstremitas, tetapi tidak mengenai wajah.4,8 Kelainan
ini dapat berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lain,
dapat dicetuskan oleh pemberian panas, dan memucat jika ditekan. Tanda
mayor ini hanya ditemukan pada kasus yang berat.7
5. Nodul Subkutan.
Nodul subkutan sangat jarang terjadi (<1% pasien dengan demam
reumatik akut) dan meliputi nodul-nodul keras berdiameter kurang lebih 1
cm sepanjang permukaan ekstensor dari tendon dekat prominen tulang,
pada kulit kepala serta kolumna vertebralis, tidak terasa nyeri dan mudah
digerakan. Terdapat hubungan secara signifikan antara munculnya nodul-
nodul ini dengan penyakit jantung reumatik.7
Manifestasi Minor.
1) Riwayat demam rematik sebelumnya. Ini dapat digunakan sebagai salah
satu kriteria minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis
yang didasarkan pada kriteria objektif yang sama. Akan tetapi, riwayat
demam rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah diidap
seorang penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit
dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis.7
2) Arthralgia. Arthralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa
disertai peradangan atau keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus
dibedakan dengan nyeri pada otot atau jaringan periartikular lainnya, atau
dengan nyeri sendi malam hari yang lazim terjadi pada anak-anak normal.
Arthralgia tidak dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis
sudah dipakai sebagai kriteria mayor.7
3) Demam. Demam pada demam rematik adalah ringan, meskipun ada
kalanya mencapai 39C, terutapa jika terdapat artritis. Manifestasi ini lazim
20
berlangsung sebagai suatu suatu demam derajat ringan selama beberapa
minggu. Demam merupakan petanda infeksi yang tidak spesifik, dan
karena dapat dijumpai pada begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini
tidak memiliki arti diagnosis banding yang bermakna.7
4) Peningkatan kadar reaktan fase akut. Berupa kenaikan laju endap
darahm kadar protein C-reaktif serta leukositosis merupakan indikator non
spesifik dari peradangan atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut ini
hampir selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali jika korea
merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu diingat
bahwa laju endap darah juga meningkat pada kasus anemia dan gagal
jantung kongestif. Adapun protein C-reaktif tidak meningkat pada anemia,
akan tetapi mengalami kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap
darah dan kadar protein C reaktif dapat meningkat pada semua kasus
infeksi, namun apabila protein C reaktif tidak bertambah, maka
kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut dapat dipertanyakan.7
5) Interval P-R yang memanjang. Biasanya menunjukan adanya
keterlambatan abnormal sistem konduksi pada nodus arterioventrikel dan
sering juga dijumpai pada demam rematik, perubahan gambaran EKG ini
tidak spesifik untuk demam rematik. Selain itu, interval P-R yang
memanjang juga bukan pertanda yang memadai adanya karditis rematik.2
Bukti yang mendukung
Titer antistreptolisin O (ASTO) merupakan pemeriksaan diagnostik
standard untuk demam rematik, sebagai salah satu bukti yang mendukung
adanya infeksi streptokokus. Titer ASTO dianggap meningkat apabila
mencapai 250 unit Todd pada orang dewasa atau 333 unit Todd pada anak-
anak pada usia diatas 5 tahun, dan dapat dijumpai pada sekitar 70-80%
kasus demam rematik akut. Infeksi streptokokus juga dapat dibuktikan
dengan melakukan biakan usapan tenggorokan. Biakan positif pada 50%
kasus demam rematik akut. Bagaimanapun biakan yang negatif tidak dapat
mengesampingkan kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut.7
21
3.1.6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Kultur tenggorokan. Pengambilan sampel dengan cara mengusap kedua
tonsil dan laring bagian posterior kemudian dibiak dalam medium agar
darah domba, untuk melihat adanya infeksi Streptococcus β-hemolyticus
grup A. Koloni yang terbentuk pada medium biakan dapat diperiksa
dengan latex agglutination, florescent antibody assay, koagulasi atau
teknik presipitasi untuk membuktikan adanya infeksi Streptococcus β-
hemolyticus grup A. kultur tenggorokan untuk Streptococcus β-
hemolyticus grup A biasanya memberikan hasil negatif saat gejala dari
demam reumatik atau penyakit jantung reumatik telah muncul. Usahakan
untuk dapat mengisolasikan bakteri sebelum pemberian terapi antibiotik
untuk membantu mengkonfirmasikan diagnosis faringitis oleh
Streptococcus β-hemolyticus grup A dan dapat ditentukan serotip jenis apa
jika berhasil.7
Rapid antigen detection test. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen
dari Streptococcus β-hemolyticus grup A secara cepat, sehingga diagnosis
dapat segera ditegakan dan terapi antibiotik dapat segera diberikan saat
pasien masih berada dikamar pemeriksaan dokter. Spesifisitas dari
pemeriksaan ini lebih dari 95%, namun sensitivitasnya hanya 60-90%.
Oleh karena itu, pengambilan kultur tenggorokan dianjurkan.7
Antibodi antistreptokokus. Tanda-tanda klinik dari demam reumatik
dimulai saat tingkat antibodi antistreptokokus mencapai puncaknya. Oleh
karena itu, pemeriksaan ini berguna untuk mengkonfirmasi apakah
sebelumnya pernah terinfeksi oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A.
Antibodi antistreptokokus ini terutama berguna pada pasien dengan
manifestasi klinis korea karena ini merupakan satu-satunya tanda
diagnostik. Sensitifitas terhadap infeksi yang baru terjadi dapat
ditingkatkan dengan memeriksa beberapa jenis antibodi. Untuk memeriksa
apakah terjadi peningkatan titer antibodi maka pemeriksaan dilakukan
dengan jarak 2 minggu. Antibodi antistreptokokus ekstraseluler yang
paling sering diperiksa adalah antistreptolisin O (ASO) dan anti-Dnase B,
22
antihialuronidase, antistreptokinase, antistreptokokal esterase, dan anti-
nicotinamide adenine dinucleotide (anti-NAD). Tes antibodi terhadap
komponen seluler antigen Streptococcus β-hemolyticus grup Ameliputi
antistreptococcal polusaccharide, antiteicholic acid antibody, dan anti-M
protein antibody. Secara umum, antibodi terhadap antigen streptokokus
ekstraseluler meningkat selama bulan pertama setelah infeksi dan
membentuk gambaran plateau selama 3-6 bulan sebelum kembali ke kadar
normal setelah 6-12 bulan. Saat titer ASO mencapai puncaknya (2-3
minggu setelah onset demam rematik), sensitifitas pemeriksaan ini sebesar
80-85%. Anti-Dnase B mempunyai sensitifitas sedikit lebih tinggi (90%)
untuk memastikan demam rematik atau glomerulonefritis akut.
Antihialuronidase pada pasien demam reumatik dengan titer ASO yang
normal sering abnormal, dapat muncul terlebih dahulu, dan menetap lebih
lama dibanding peningkatan titer ASO selama demam reumatik.7
Acute-phase reactants: C-reactive protein dan lanju endap darah
meningkat pada penderita demam rematik oleh karena proses inflamasi
dari penyakit tersebut. Kedua pemeriksaan ini memiliki sensitifitas yang
tinggi namun spesifitas yang rendah terhadap demam rematik.7
Heart reactive antibodies: Tropomiosin meningkat pada penderita dengan
demam rematik akut.7
Rapid detection test for D8/17: Teknik immunofluorescence ini dapat
mengidentifikasi B-cell marker D8/17 bernilai positif 90% pada penderita
demam rematik dan dapat berguna untuk mengidentifikasi seseorang yang
beresiko terkena demam rematik.7
b. Pencitraan
Foto thoraks
Kardiomegali, kongesti pulmonal, dan temuan lainnya yang
berkaitan dengan kegagalan jantung terlihat pada foto thoraks seseorang
dengan demam rematik. Saat pasien tersebut demam dan menunjukan
distres pernapasan, foto thoraks membantu membedakan antara gagal
jantung kongestif dan rematik pneumonia.7
Ekokardiografi
23
Pada penderita penyakit jantung reumatik akut, ekokardiografi
mengidentifikasi dan menilai insufisiensi katup dan disfungsi ventrikel. 7
c. EKG
Sinus takikardi sering ditemukan bersamaan dengan penyakit
jantung rematik. Dapat juga disertai dengan blok jantung derajat I, II atau
III. Pada penderita yang disertai perikarditis akut, akan ditemukan ST
elevasi yang terlihat pada lead II, III, aVF dan V4-V6. Penyakit jantung
rematik juga dapat menyebabkan flutter atrium, takikardi atrium
multifokal, atau fibrilasi atrium dari penyakit katup mitral kronik dan
dilatasi atrium. Katerisasi jantung tidak diindikasikan untuk demam
rematik akut. 7
d. Pemeriksaan Histologi
Pemeriksaa patologi anatomi terhadap katup yang mengalami
insufisiensi dapat ditemukan lesi verrucous pada garis penutupan. Ashcoff
bodies (fokus perivaskuler yang merupakan kolagen eosinofil yang
dikelilingi limfosit, sel plasma, dan makrofag) ditemukan di perikardium,
regio perivaskular dari miokardium, dan endokardium. Ashcoff bodies
tampak granulomatous dengan fokus sentral fibrinoid yang pada akhirnya
akan digantikan oleh nodul-nodul jaringan parut. 7
3.1.7. Diagnosis
Seperti yang telah dijelaskan diatas, diagnosis demam rematik lazim
ditegakan berdasarkan kriteria Jones. Kriteria Jones memuat kelompok mayor dan
minor yang pada dasarnya merupakan manifestasi klinik dan laboratorik demam
rematik. Pada perkembangan selanjutnya, kriteria ini kemudian diperbaiki oleh
American Heart Association dengan menambahkan bukti adanya infeksi
streptokokus sebelumnya. 7
24
Tabel 1. Kriteria Jones (yang diperbaiki) untuk diagnosis demam reumatik
Apabila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya,
kemungkinan besar menandakan adanya demam rematik. Tanpa dukungan bukti
adanya infeksi streptokokus, maka diagnosis demam rematik harus selalu
diragukan, kecuali pada kasus demam reumatik dengan manifestasi mayor tunggal
berupa korea Syndenham atau karditis derajat ringan, yang biasanya terjadi jika
demam reumatik baru muncul setelah masa laten yang lama dari infeksi
streptokokus. 7
25
Kriteria Mayor
Karditis
Poliartritis
Korea
Eritema marginatum
Nodulus subkutan
Kriteria Minor
Klinik
Riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik sebelumnya
Artralgia
Demam
Laboratorium
Peningkatan kadar reaktan fase akut (protein C reaktif, laju endap darah, leukositosis)
Interval P-R yang memanjang
Ditambah
Tanda-tanda yang mendukung adanya infeksi streptokokus sebelumnya: kenaikan titer antistreptolisin O (ASTO) atau antibodi antistreptokokus lainnya, biakan usapan tenggorokan yang positif untuk streptokokus grup A atau baru menderita demam skarlatina.
Perlu diingat kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya sebagai
suatu pedoman dalam menentukan diagnosis demam reumatik. Kriteria ini
bermanfaat untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis, baik
berupa overdiagnosis maupun underdiagnosis. 7
3.2. Gagal Jantung Kongestif
3.2.1. Definisi
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.
Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat di masa depan karena semakin
bertambahnya usia harapan hidup dan berkembangnya terapi penanganan infark
miokard mengakibatkan perbaikan harapan hidup penderita dengan penurunan
fungsi jantung.
Gagal jantung kongestif atau congestive heart failure (CHF) adalah
kondisi dimana fungsi jantung sebagai pompa untuk menghantarkan darah yang
kaya oksigen ke tubuh tidak cukup untuk memenuhi keperluan tubuh. Suatu
definisi objektif yang sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung kronik
hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas
mengenai disfungsi ventrikel. Sebenarnya istilah gagal jantung menunjukkan
berkurangnya kemampuan jantung untuk mempertahankan beban kerjanya.
3.3 Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi
cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung. Di negara maju
penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan
di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung
katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Pada beberapa keadaan, sangat sulit
untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang
terjadi bersamaan pada penderita. Penyakit jantung koroner pada Framingham
Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27%
pada wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan
faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung7
26
Selain itu, penyebab gagal jantung kongestif dapat terjadi karena
kardiomiopati. Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung
yang bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit
jantung kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati
dibedakan menjadi empat kategori fungsional yaitu dilatasi (kongestif),
hipertrofik, restriktif dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit
otot jantung dimana terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa
dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada
jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa.
Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan
(autosomal dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai
dengan adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi
septum yang asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta
(kardiomiopati hipertrofik obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan
kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk, tidak membesar dan
dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat
pengisian ventrikel2,3,7.
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik,
walaupun saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab
utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta.
Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume
(peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan
(peningkatan afterload). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal
jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel
kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul
bersamaan.7
3.2.2 Manifestasi Klinis
Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi gangguan
pada jantung, otot skeletal dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta
perubahan neurohormonal yang kompleks.
27
Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang
menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung. Hal ini menyebabkan aktivasi
mekanisme kompensasi neurohormonal, Sistem Renin – Angiotensin –
Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang
bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat
terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga
cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas
serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul
berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi
simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit,
hipertofi dan nekrosis miokard fokal.
Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor
renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang
pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan
merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium
dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek
pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama
yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat.
Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap
peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada otot skelet dan fungsi
ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang
kompleks.
Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang
menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi
mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron
(sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk
memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.
Aktivasi .sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac
output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta
vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin).
28
Apabila hal ini timbul berlanjutan, dapat menyebabkan gangguan pada
fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
apoptosis miosit,hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA
menyebabkan peningkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan
aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol
eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat
saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.
Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan
sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada
disfungsi endotel pada gagal jantung. Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide
yang berstruktur hampir sama yang memiliki efek yang luas terhadap jantung,
ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di
atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan
vasodilatsi.
Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNP) juga dihasilkan di jantung,
khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide
terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap
natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial and brain natriuretic peptide
meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan
bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron
dan reabsorbsi natrium di tubulus renal.
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya
pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan pada
pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.Endotelin disekresikan
oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang
poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang
bertanggung jawab atas retensi natrium.
Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan
derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan arteri pulmonal
pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit
jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati
hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid.
29
Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung
memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung
sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski
dapat timbul sendiri. (Harbanu H.M, 2007)
Manifestasi Klinis
Umum
Deskripsi Mekanisme
Sesak napas (juga
disebut dyspnea)
Sesak napas selama melakukan
aktivitas (paling sering), saat
istirahat, atau saat tidur, yang
mungkin datang tiba-tiba dan
membangunkan. Pasien sering
mengalami kesulitan bernapas
sambil berbaring datar dan
mungkin perlu untuk menopang
tubuh bagian atas dan kepala di
dua bantal. Pasien sering
mengeluh bangun lelah atau
merasa cemas dan gelisah.
Darah dikatakan “backs up”
di pembuluh darah paru
(pembuluh darah yang
kembali dari paru ke
jantung) karena jantung
tidak dapat mengkompensasi
suplai darah.Hal ini
menyebabkan cairan bocor
ke paru-paru.
Batuk atau mengi yang
persisten
Batuk yang menghasilkan lendir
darah-diwarnai putih atau pink.
Cairan menumpuk di paru-
paru (lihat di atas).
Penumpukan kelebihan
cairan dalam jaringan
tubuh (edema)
Bengkak pada pergelangan kaki,
kaki atau perut atau penambahan
berat badan.
Aliran darah dari jantung
yang melambat tertahan dan
menyebabkan cairan untuk
menumpuk dalam
jaringan. Ginjal kurang
mampu membuang natrium
dan air, juga menyebabkan
retensi cairan di dalam
jaringan.
Kelelahan Perasaan lelah sepanjang waktu Jantung tidak dapat
30
dan kesulitan dengan kegiatan
sehari-hari, seperti belanja, naik
tangga, membawa belanjaan
atau berjalan.
memompa cukup darah
untuk memenuhi kebutuhan
jaringan tubuh.
Kurangnya nafsu makan
dan mual
Perasaan penuh atau sakit perut. Sistem pencernaan
menerima darah yang
kurang, menyebabkan
masalah dengan pencernaan.
Kebingungan dan
gangguan berpikir
Kehilangan memori dan
perasaan menjadi disorientasi.
Perubahan pada tingkat zat
tertentu dalam darah, seperti
sodium, dapat menyebabkan
kebingungan.
Peningkatan denyut
jantung
Jantung berdebar-debar, yang
merasa seperti jantung Anda
balap atau berdenyut.
Untuk "menebus" kerugian
dalam memompa kapasitas,
jantung berdetak lebih cepat.
( American Heart Association, 2011)
31
Gambar menunjukkan gambaran umum gejala klinis pada pasien CHF
Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung Kongesti
Diagnosis CHF membutuhkan adanya minimal 2 kriteria besar atau 1 kriteria
utama dalam hubungannya dengan 2 kriteria minor.
Kriteria Mayor:
· Paroksismal nocturnal dyspnea
· Distensi vena pada leher
· Rales
· Kardiomegali (ukuran peningkatan jantung pada radiografi dada)
· Edema paru akut
· S3 ( Suara jantung ketiga )
· Peningkatan tekanan vena sentral (> 16 cm H2O di atrium kanan)
· Hepatojugular refluks
· Berat badan > 4.5 kg dalam 5 hari di tanggapan terhadap pengobatan
Kriteria Minor:
· Bilateral ankle edema
· Batuk nokturnal
· Dyspnea pada aktivitas biasa
· Hepatomegali
· Efusi pleura
· Penurunan kapasitas vital oleh sepertiga dari maksimum terekam
· Takikardia (denyut jantung> 120 denyut / menit.)
Pada pasien ini didapatkan tiga kriteria mayor. Pertama terdapatnya
paroksismal nokturnal dispneu dari hasil anamnesis. Kedua, dari hasil
pemeriksaan fisik perkusi jantung, didapatkan adanya pembesaran jantung. Batas
jantung kanan terdapat pada linea sternalis dekstra, batas kiri pada linea axillaris
anterior sinistra, dan batas atas pada ICS II. Namun pada pemeriksaan fotothorax
kardiomegali sulit dinilai. Ketiga terdapat peninggian tekanan vena jugularis yaitu
(5+0) cmH2O. Keempat adanya efusi plura dextra dan sinistra yang menandakan
adanya edema paru akut.
32
Sedangkan untuk kriteria minor didapatkan bilateral angkle edema batuk
malam hari. Kedua terdapatnya dispnea d’effort yang didapatkan dari hasil
anamnesis pasien mengeluh mudah lelah dengan aktifitas ringan. ketiga
berdasarkan pemeriksaan rontgen thorax didapatkan pleural effusion. Oleh karena
itu pada pasien ini kami simpulkan diagnosis fungsionalnya adalah CHF.
3.2.3 Penatalaksanaan Gagal Jantung
Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditunjukkan pada 5
aspek:7
1. Mengurangi beban kerja jantung
2. Memperkuat kontraktilitas miokard
3. Mengurangi kelebihan garam dan cairan
4. Melakukan tindakan dan pengobatan khusus terhadap penyebab
5. Faktor-faktor pencetus kelainan yang mendasari.
3.2.3.1 Terapi 11
Pendekatan terapi pada gagal jantung dapat berupa terapi tanpa obat-
obatan, pemakaian obat-obatan, pemakaian alat dan tindakan bedah.
T erapi non farmakologi
• Edukasi mengenal gagal jantung, penyebab dan bagaimana mengenal
serta upaya bila timbul keluhan dan dasar pengobatan
• Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari
• Edukasi pola diet, control asupan garam, air dan kebiasaan alcohol
• Monitoring berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan secara
tiba-tiba
• Mengurangi berat badan pada obesitas
• Hentikan kebiasaan merokok
• Konseling mengenai obat.
Terapi Farmakologi
Terdapat 3 obat yang menunjukkan efektifitas klinik dalam mengurangi
gejala insufisiensi jantung tapi tidak mengembalikan kondisi patologik yang
asli.7 Tiga golongan tersebut adalah :
Vasodilator
33
Vasodilator dapat menurunkan secara selektif beban jantung sebelum
kontraksi, sesudah kontraksi atau keduanya (vasodilator yang seimbang)
Vasodilator Parental hendaknya diberikan kepada pasien dengan
kegagalan jantung berat atau tidak dapat diminum obat-obatan oral
misalnya pada pasien setelah operasi.
- Nitrogliserin adalah vasodilator kuat dengan pengaruh pada vena
dan pengaruh yang kuat pada jaringan pembuluh darah arteri.
Penumpukan vena paru dan sistemik dipulihkan melalui efek
tersebut. Obat ini juga merupakan vasodilator koroner yang efektif
sehingga merupakan vasodilator yang lebih disukai untuk terapi
kegagalan jantung pada keadaan infark miokard akut atau angina
tak stabil.
- Natrium nitropusida adalah vasodilator kuat dengan sifat-sifat
venodilator kurang kuat. Efeknya yang menonjol adalah
mengurangi beban jantung setelah kontraksi dan ini terutama
efektif untuk pasien kegagalan jantung yang menderita hipertensi
atau reguitasi katub berat
Vasodilator Oral
- Penghambat ACE
Mengeblok sistem renin angiotensin aldosteron dengan
menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II,
memproduksi vasodilator dengan membatasi angiotensin II,
menginduksi vasokonstriksi dan menurunkan retensi sodium
dengan mengurangi sekresi aldosteron. Obat yang serba guna
tersebut menurunkan tahanan perifer sehingga menurunkan
afterload, menurunkan resistensi air dan garam (dengan
menurunkan sekresi aldosteron) dan dengan jalan menurunkan
preload.
- Angiotensin reseptor bloker (ARB)
Merupakan pendekatan lain untuk menghambat system RAA
adalah yang akan mengeblok atau menurunkan sebagian besar efek
sistem. Namun demikian agen ini tidak menunjukkan efek
34
penghambat ACE pada jalur potensial lain yang memproduksi
peningkatan bradikinin, prostaglandin dan nitrit oksida dalam
jantung pembuluh darah dan jaringan lain. Karena itu, ARB dapat
dipertimbangkan sebagai alternatif pendapat ACE pada pasien yang
tidak dapat menerima pendapat ACE. Contoh obat pada golongan
ARB yang digunakan dalam terapi gagal adalah losartan, valsartan,
dan kondensartan. Ketiga obat tersebut tidak memiliki interaksi
yang berarti dengan obat-obat lain.
Beta-Bloker
Untuk terapi kegagalan jantung bersifat kontroversial namun dapat
efek-efek yang merugikan dari katekolamin pada jantung yang
mengalami kegagalan termasuk menekan reseptor beta pada otot jantung
situasi kegagalan jantung. Beta bloker digunakan pada pasien gagal
jantung stabil ringan, sedang atuau berat. Obat ini digunakan untuk terapi
gagal jantung adalah karvedilol, bisoprolol dan metoprolol succinate.
Antagonis kanal kalsium
Secara langsung menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah
dan penghambat pemasukan kalsium kedalam sel otot jantung. Kegunaan
pokok obat ini dalam terapi gagal jantung adalah berasal dari
pengurangan iskemia pada pasien dengan penyakit jantung koroner yang
mendasari. Semua antagonis kalsium mempunyai sifat inotropik negatif
sehingga digunakan secara berhati-hati pada pasien dengan difungsi
ventrikal kiri. Obat-obat golongan tersebut sebaiknya dihindari kecuali
untuk dipakai dalam terapi hipertensi dan anginadan untuk indikasi
tersebut hanya amlodipin yang boleh digunakan pada pasien gagal
jantung
Nitrat
Terutama berkhasiat venodilator dan oleh karena ini bermanfaat
untuk menyembuhkan gejala-gejala penumpukan vena dan paru-paru.
Obat-obat golongan ini mengurangi iskemia otot dengan menetralkan
tekanan pengisian ventrikel dan dengan melebarkan arteri koroner secara
35
langsung. Contoh obat golongan ini adalah Isosorbit mono nitrat (ISMN)
dan dinitrat (ISND).
Hidralazin
Hidralazin adalah obat yang murni mengurangi beban jantung
setelah konstraksi yang bekerja langsung pada otot polos arteri untuk
menimbulkan vasodilatasi. Hidralazin terutama berguna dalam
pengobatan reguitasi mitral kronis dan insufisiensi aorta. Hidralazin oral
merupakan dilator arterioral poten dan meningkatkan output kardiak pada
pasien gagal jantung kongestif.
Diuretik
Tujuan dari pemberian diuretik adalah mengurangi gejala retensi
cairan yaitu meningkatkan tekanan vena jugularis atau edema ataupun
keduanya. Diuretik menghilangkan retensi natrium pada CHF dengan
menghambat reabsorbsi natrium atau klorida pada sisi spesifik di tubulus
ginjal. Bumetamid, furosemid, dan torsemid bekerja pada tubulusdistal
ginjal.Pasien dengan gagal jantung yang lebih berat sebaiknya diterapi
dengan salah satu loop diuretik, obat-obat ini memiliki onset cepat dan
durasi aksinya yang cukup singkat. Manfaat dari terapi diuretik yaitu
dapat mengurang edema pulmo dan perifer dalam beberapa hari bahkan
jam.
Obat-obat Inotropik
Obat-obat inotropik positif meningkatkan kontraksi otot jantung dan
meningkatkan curah jantung. Meskipun obat-obat ini bekerja melalui
mekanisme yang berbeda, dalam tiap kasus kerja inotropik adalah akibat
penigkatan konsentrasi kalsium sitoplasma yang memicu kontraksi otot
jantung.
• Digitalis
Obat golongan digitalis ini memiliki berbagi mekanisme kerja sebagi
berikut
(a) Pengaturan konsentrasi kalsium sitosol
36
Terjadi hambatan pada aktivitas pompa proton. Hal ini
menimbulkan peningkatan konsentrasi natrium intra sel, yang
menyebabkan kadar kalsium intra sel yang meningkat
menyebabkan peningkatan kekuatan kontraksi sistolik.
(b) Peningkatan kontraktilitas otot jantung
Pemberian glikosida digitalis meningkatkan kekuatan kontraksi
otot jantung menyebabkan penurunan volume distribusi aksi, jadi
meningkatkan efisiensi kontraksi. Efek-efek ini menyebabkan
reduksi kecepatan jantung dan kebutuhan oksigen otot jantung
berhenti (berkurang).
Terapi digoksin merupakan indikasi pada pasien dengan disfungsi
sistolik ventrikel kiri yang hebat setelah terapi diuretic dan
vasodilator. Digoksin tidak diindikasikan pad pasien dengan gagal
jantung sebelah kanan atau diastolik. Obatyang termasuk dengan
golongan ini adalah digoksin dan digitoksin. Glikosida jantung
mempengaruhi semua jaringan yang dapat dirangsang, termasuk otot
polos dan susunan saraf pusat. Mekanisme efek ini belum diselidiki
secara menyeluruh tetapi mungkin melibatkan hambatan Na+ K+ -
ATPase di dalam jaringan ini.
Agonis β- adrenergic
Stimuli β- adrenergic memperbaiki kemampuan jantung dengan efek
inotropik spesifik dalam fase dilatasi. Hal ini menyebabkan masuknya
ion kalsium ke dalam sel miokard meningkat, sehingga dapat
meningkatkan kontraksi. Contoh obat ini adalah dopamine dan
dobutamin.
Inhibitor fosfodiesterase
Inhibitor fosfodiesterase memacu konsentrasi intrasel siklik –AMP.
Ini menyebabkan peningkatan kalsium intrasel dan kontraktilitas jantung.
Obat yang termasuk dalam golongan inhibitor fosfodiesterase adalah
amrinon dan mirinon.
Antagonis aldosteron
37
Antagonis aldosteron termasuk spironolakton dan inhibitor konduktan
natrium diktus kolektifus (triamteren dan amilorid). Obat-obat ini sangat
kurang efektif bila digunakan sendiri tanpa kombinasi dengan obat lain
untuk penatalaksanaan pada gagal jantung. Meskipun demikian, bila
digunakan kombinasi dengan Tiazid atau diuretika Ansa Henle, obat-obat
golongan ini efektif dalam mempertahankan kadar kalium yang normal
dalam serum. Spironolakton merupakan inhibitor spesifik aldosteron yang
sering meningkat pada gagal jantung kongestif dan mempunyai efek penting
pada retensi potassium. Triamteren dan Amilorid bereaksi pada tubulus
distal dalam mengurangi sekresi potassium.
38
39
3.2.3.2 Algoritma Terapi
Algoritma penatalaksanaan gagal jatung menurut ACC/AHA pratice
Guidelines 2005 berdasarkan stage dapat dilihat pada gambar 1. Pasien
stage A belum mengalami gagal jantung dan tidak memiliki penyakit
jantung struktural, namun beresiko tinggi mengalami gagal jantung. Pasien
stage B memiliki penyakit jantung struktural yang mendasari namun belum
mengalami gagal jantung serta belum ada tanda dan gejala gagal jantung.
Pasien stage C sudah mengalami gagal jantung dilihat dari adanya penyakit
jantung struktural serta tanda dan gejala gagal jantung. Pasien stage D
merupakan perkembangan dari stage C yang bertambah parah karena pasien
mengalami refraktosi gagal jantung pada saat istirahat. Dilihat dari kategori
pasien berdasarkan stage tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pasien
didiagnosa gagal jantung jika telah mengalami stage C dan D. Algoritme
penatalaksanaan gagal jantung menurut ACC/AHA practice Guidelines,
2005 terdiri dari 4 stage yaitu stage A, B, C, dan D (Gb.1) (Hunt, et al.,
2005). Sedangkan menurut NYHA (New York Heart Assosiation), gagal
jantung dibagi dalam 4 kelas yaitu 1, 2, 3, dan 4.
40
3.3 Gagal Jantung Kongestif dan Penyakit Jantung Rematik
Penyakit jantung rematik adalah gejala sisa dari demam rematik dan
merupakan jenis penyakit jantung didapat yang paling banyak dijumpai pada
populasi anak-anak dan dewasa muda. Puncak insiden demam rematik terdapat
pada kelompok usia 5-15 tahun; penyakit ini jarang dijumpai pada anak dibawah
usia 4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun. 9
Prevalensi demam rematik/penyakit jantung rematik yang diperoleh dan
penelitian WHO mulai tahun 1984 di 16 negara sedang berkembang di Afrika,
Amerika Latin, Timur Jauh, Asia Tenggara dan Pasifik Barat berkisar 0,1 sampai
12,6 per 1.000 anak sekolah, dengan prevalensi rata-rata sebesar 2,2 per 1.000.
Prevalensi pada anak-anak sekolah di beberapa negara Asia pada tahun 1980-an
berkisar 1 sampai 10 per 1.000. Dari suatu penelitian yang dilakukan di India
Selatan diperoleh prevalensi sebesar 4,9 per 1.000 anak sekolah, sementara angka
yang didapatkan di Thailand sebesar 1,2 sampai 2,1 per 1.000 anak seko1ah.
Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun
beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa revalensi
penyakit jantung rematik berkisar 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah. 9
41
Kurang lebih 39 % pasien dengan demam reumatik akut bisa terjadi
kelainan pada jantung mulai dari insufisiensi katup, gagal jantung, perikarditis
bahkan kematian. Dengan penyakit jantung reumatik yang kronik, pada pasien
bisa terjadi stenosis katup dengan derajat regurgitasi yang berbeda-beda, dilatasi
atrium, aritmia dan disfungsi ventrikel. Penyakit jantung reumatik masih menjadi
penyebab stenosis katup mitral dan penggantian katup pada orang dewasa di
Amerika Serikat.1 Menurut Hudak dan Gallo (1997), adanya malfungsi katup
dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh kelebihan beban tekanan
(obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang , seperti stenosis katup aortik
atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan beban volume yang menunjukan
peningkatan volume darah ke ventrikel kiri sehingga sebagai produk akhir dari
malfungsi katup akibat penyakit jantung reumatik adalah gagal jantung kongestif.2
Hubungan patogenik antara infeksi saluran napas bagian atas oleh
Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan demam reumatik akut masih belum
jelas. Salah satu rintangan terbesar dari usaha untuk memahami patogenesis
demam rematik akut dan penyakit jantung rematik adalah tidak terdapatnya
binatang percobaan. Banyak teori dari demam rematik akut dan penyakit jantung
reumatik yang telah diusulkan, namun hanya 2 yang dapat dipertimbangkan yaitu
the cytotoxicity theory dan teori imunologik.4
The cytotoxicity theory berpendapat bahwa suatu toxin dari Streptococcus
β-hemolyticus grup A terlibat dalam patogenesis demam rematik akut dan
penyakit jantung reumatik. Toksin ini akan beredar melalui pembuluh darah dan
mempengaruhi sistem tubuh lainnya. Streptococcus β-hemolyticus grup A
memproduksi berbagai enzim yang bersifat sitotoksik untuk sel jantung mamalia,
seperti streptolisin O, yang mempunyai efek sitotoksik langsung terhadap sel
mamalia dalam kultur jaringan. Pendukung terbanyak dari teori cytotoxicity
berpusat pada enzim ini. Namun, salah satu masalah utama dari hipotesis ini
adalah ketidakmampuannya untuk menjelaskan periode laten antara faringitis oleh
Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan onset dari demam reumatik akut.4,6
Teori imunologik menyatakan adanya suatu immune-mediated patogenesis
untuk demam rematik akut dan penyakit jantung rematik. Munculnya teori ini
oleh karena adanya persamaan manifestasi klinik dari demam rematik akut dengan
42
penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh proses imunopatogenik dan adanya
periode laten antara infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan demam
rematik akut.4 Teori ini menyatakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh sistem
imun tubuh yang bertindak tidak sesuai. Sel imun tubuh (antibody), yang dibuat
secara spesifik untuk mengenali dan menghancurksn agen penyebab penyakit
yang memasuki tubuh – dalam hal ini, Streptococcus β-hemolyticus grup A.
Antibodi ini mampu mengenali bakteri ini karena bakteri ini mengandung marker
spesifik sebagai tanda pengenal yang disebut antigen. Determinan antigenik antara
komponen Streptococcus β-hemolyticus Grup A (protein M, membran protoblas,
karbohidrat dinding sel grup A, kapsul hialuronat) dan jaringan spesifik mamalia
(jantung, otak, persendian) serupa. Sebagai contoh, beberapa M protein (M1, M5,
M6, M19) berbagi epitop dengan tropomiosin dan miosin pada manusia. Oleh
karena adanya persamaan antara antigen Streptococcus β-hemolyticus grup A dan
antigen sel-sel tubuh tertentu, maka antibodi tersebut dapat salah mengenali dan
menyerang sel tubuh sendiri.1
Infeksi saluran nafas bagian atas oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A
adalah pencetus utama dari individu yang terpredisposisi. Usaha terakhir untuk
menerangkan suspektabilitas pejamu terhadap kuman ini adalah gen respon imun
yang ditemukan pada sekitar 15% seluruh populasi. Respon imun yang dicetuskan
oleh kolonisasi Streptococcus β-hemolyticus grup A di faring meliputi: (1)
sensitisasi dari limfosit B oleh antigen streptokokus. (2) pembentukan antibodi
antistreptokokus. (3) pembentukan kompleks imun yang mengalami reaksi silang
dengan antigen sarkolema jantung. (4) respon inflamasi dari miokardium dan
katup jantung.8
43
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Demam rematik merupakan suatu penyakit peradangan yang berkembang
sebagai suatu komplikasi dari suatu infeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A
di faring yang tidak mendapatkan pengobatan atau mendapatkan pengobatan yang
kurang adekuat. Demam rematik bukan merupakan suatu infeksi, tetapi
merupakan suatu reaksi peradangan terhadap infeksi, yang menyerang berbagai
bagian tubuh (misalnya persendian, jantung, kulit).
Patofisilogi penyakit jantung rematik sendiri belum sepenuhnya diketahui,
namun kemungkinan terjadi reaksi autoantibody mimikri terhadap bagian dari
katup jantung sehingga timbul malfungsi dari katup jantung. Kondisi dapat
menimbulkan kegagalan pompa, baik oleh kelebihan beban tekanan atau dengan
kelebihan beban volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel
kiri sehingga sebagai produk akhir dari malfungsi katup akibat penyakit jantung
reumatik adalah gagal jantung kongestif.
4.2 Saran
Penulis sadar bahwa laporan kasus ini belum sepenuhnya sempurna, maka
dari itu kami memerlukan kritik dan kontruksif guna tercapainya kesempurnaan
dalam laporan ini.
44