bab iii

52
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Demam Reumatik 3.1.1. Definisi Demam rematik merupakan suatu penyakit peradangan yang berkembang sebagai suatu komplikasi dari suatu infeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A di faring yang tidak mendapatkan pengobatan atau mendapatkan pengobatan yang kurang adekuat. 5,6,7 Demam rematik bukan merupakan suatu infeksi, tetapi merupakan suatu reaksi peradangan terhadap infeksi, yang menyerang berbagai bagian tubuh (misalnya persendian, jantung, kulit). 7 3.1.2. Etiologi Terdapat bukti-bukti yang mendukung adanya hubungan antara infeksi saluran nafas bagian atas oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan demam rematik akut serta penyakit jantung rematik. Sebanyak 2/3 dari pasien yang menderita demam rematik akut, mempunyai riwayat infeksi saluran nafas bagian atas beberapa minggu sebelumnya, dan angka insidens dari demam rematik akut hampir sama dengan infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A. Pasien dengan demam rematik akut hampir selalu mempunyai hasil serologi yang menunjukan adanya infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A baru- baru ini. Titer antibodi pasien-pasien tersebut lebih 12

Upload: septian-tri-anggara

Post on 01-Feb-2016

219 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

thanks

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Demam Reumatik

3.1.1. Definisi

Demam rematik merupakan suatu penyakit peradangan yang berkembang

sebagai suatu komplikasi dari suatu infeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A

di faring yang tidak mendapatkan pengobatan atau mendapatkan pengobatan yang

kurang adekuat.5,6,7 Demam rematik bukan merupakan suatu infeksi, tetapi

merupakan suatu reaksi peradangan terhadap infeksi, yang menyerang berbagai

bagian tubuh (misalnya persendian, jantung, kulit).7

3.1.2. Etiologi

Terdapat bukti-bukti yang mendukung adanya hubungan antara infeksi

saluran nafas bagian atas oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan

demam rematik akut serta penyakit jantung rematik. Sebanyak 2/3 dari pasien

yang menderita demam rematik akut, mempunyai riwayat infeksi saluran nafas

bagian atas beberapa minggu sebelumnya, dan angka insidens dari demam rematik

akut hampir sama dengan infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A. Pasien

dengan demam rematik akut hampir selalu mempunyai hasil serologi yang

menunjukan adanya infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A baru-baru ini.

Titer antibodi pasien-pasien tersebut lebih tinggi dibandingkan pasien-pasien

dengan infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A tanpa diikuti demam rematik

akut. Wabah faringitis oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A pada kelompok-

kelompok masyarakat yang tertutup seperti di asrama dan pangkalan militer, dapat

pula diikuti oleh wabah demam rematik akut. Terapi antimikroba yang digunakan

untuk mengeliminasi Streptococcus β-hemolyticus grup A dari faring dapat pula

mencegah episode awal dari demam rematik akut, dan sebagai upaya jangka

panjang, pengobatan profilaksis yang diberikan untuk mencegah terjadinya

faringitis oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A kembali, juga dapat mencegah

kekambuhan dari demam rematik akut.6,7,8

12

Page 2: BAB III

Streptococcus β-hemolyticus grup A merupakan bakteri kokus gram-

positif, yang sering berkolonisasi di kulit dan orofaring. Bakteri ini dapat

menimbulkan penyakit-penyakit supuratif, seperti faringitis, impetigo, selulitis,

miositis dan pneumonia. Streptococcus β-hemolyticus grup A juga dapat

menimbulkan penyakit-penyakit non-supuratif seperti demam reumatik, post-

streptokokus glomerulonefritis akut. Streptococcus β-hemolyticus grup A

mengeluarkan toksin sitolitik yaitu streptolisin S dan O. Dari kedua jenis toksin

ini, streptolisin O menimbulkan titer antibodi yang cukup tinggi dan persisten

sehingga menjadi marker berguna untuk mendeteksi adanya infeksi Streptococcus

β-hemolyticus grup A dan komplikasinya yang bersifat non-supuratif.6,7,8,9

Hubungan pasti antara infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan

timbulnya demam rematik tidak jelas, tetapi terdapat dugaan dimana bakteri ini

‘mempermainkan’ sistem imun tubuh. Streptococcus β-hemolyticus grup A

memiliki protein yang serupa dengan protein yang ditemukan pada jaringan-

jaringan tertentu tubuh manusia. Oleh sebab itu, sel sistem imun yang biasanya

menyerang bakteri Streptococcus β-hemolyticus grup A dapat memperlakukan

jaringan-jaringan tubuh tersebut, terutama jaringan jantung, persendian, kulit dan

sistem saraf pusat, sebagai suatu agen infeksi. Reaksi sistem imun inilah yang

menyebabkan proses peradangan.7

Tidak semua serotipe Streptococcus β-hemolyticus grup A dapat

menyebabkan demam rematik. Terdapat suatu konsep rhematogenicity dari

terinfeksinya penyakit ini. Serotipe Streptococcus β-hemolyticus grup A tertentu

(M tipe 1, 3, 5, 6, 18, 24) sering diisolasikan dari pasien dengan demam reumatik

akut dibandingan serotipe lainnya.7

Seperti yang telah terurai diatas, demam reumatik dipercaya timbul akibat

suatu respon autoimun, namun patogenesis pastinya masih belum jelas. Demam

reumatik hanya timbul pada anak-anak dan remaja yang sebelumnya telah

menderita faringitis oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A, dan hanya infeksi

faring tersebut yang dapat mencetuskan atau mereaktivasi demam rematik.7

3.1.3. Faktor Resiko

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya demam rematik adalah:

13

Page 3: BAB III

Riwayat keluarga. Beberapa orang memiliki gen yang membuat mereka

menjadi lebih rentan untuk terkena demam rematik.

Serotipe Streptococcus β-hemolyticus grup A. Beberapa strain tertentu

lebih berperan dalam timbulnya demam rematik dibandingkan strain

lainnya.

Faktor-faktor lingkungan. Resiko penting yang juga berperan dalam

terjadinya demam rematik berhubungan dengan kepadatan penduduk,

sanitasi yang buruk, dan kondisi-kondisi lain yang dapat mempermudah

transmisi cepat atau paparan berulang dari Streptococcus β-hemolyticus

grup A. 6,8

3.1.4. Patogenesis

Hubungan patogenik antara infeksi saluran napas bagian atas oleh

Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan demam reumatik akut masih belum

jelas. Salah satu rintangan terbesar dari usaha untuk memahami patogenesis

demam rematik akut dan penyakit jantung rematik adalah tidak terdapatnya

binatang percobaan. Banyak teori dari demam rematik akut dan penyakit jantung

reumatik yang telah diusulkan, namun hanya 2 yang dapat dipertimbangkan yaitu

the cytotoxicity theory dan teori imunologik.9

The cytotoxicity theory berpendapat bahwa suatu toxin dari Streptococcus

β-hemolyticus grup A terlibat dalam patogenesis demam rematik akut dan

penyakit jantung reumatik. Toksin ini akan beredar melalui pembuluh darah dan

mempengaruhi sistem tubuh lainnya. Streptococcus β-hemolyticus grup A

memproduksi berbagai enzim yang bersifat sitotoksik untuk sel jantung mamalia,

seperti streptolisin O, yang mempunyai efek sitotoksik langsung terhadap sel

mamalia dalam kultur jaringan. Pendukung terbanyak dari teori cytotoxicity

berpusat pada enzim ini. Namun, salah satu masalah utama dari hipotesis ini

adalah ketidakmampuannya untuk menjelaskan periode laten antara faringitis oleh

Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan onset dari demam reumatik akut.9

Teori imunologik menyatakan adanya suatu immune-mediated patogenesis

untuk demam rematik akut dan penyakit jantung rematik. Munculnya teori ini

oleh karena adanya persamaan manifestasi klinik dari demam rematik akut dengan

14

Page 4: BAB III

penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh proses imunopatogenik dan adanya

periode laten antara infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan demam

rematik akut.4 Teori ini menyatakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh sistem

imun tubuh yang bertindak tidak sesuai. Sel imun tubuh (antibody), yang dibuat

secara spesifik untuk mengenali dan menghancurksn agen penyebab penyakit

yang memasuki tubuh – dalam hal ini, Streptococcus β-hemolyticus grup A.

Antibodi ini mampu mengenali bakteri ini karena bakteri ini mengandung marker

spesifik sebagai tanda pengenal yang disebut antigen. Determinan antigenik antara

komponen Streptococcus β-hemolyticus Grup A (protein M, membran protoblas,

karbohidrat dinding sel grup A, kapsul hialuronat) dan jaringan spesifik mamalia

(jantung, otak, persendian) serupa. Sebagai contoh, beberapa M protein (M1, M5,

M6, M19) berbagi epitop dengan tropomiosin dan miosin pada manusia. Oleh

karena adanya persamaan antara antigen Streptococcus β-hemolyticus grup A dan

antigen sel-sel tubuh tertentu, maka antibodi tersebut dapat salah mengenali dan

menyerang sel tubuh sendiri.6,7,8,9

Infeksi saluran nafas bagian atas oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A

adalah pencetus utama dari individu yang terpredisposisi. Usaha terakhir untuk

menerangkan suspektabilitas pejamu terhadap kuman ini adalah gen respon imun

yang ditemukan pada sekitar 15% seluruh populasi. Respon imun yang dicetuskan

oleh kolonisasi Streptococcus β-hemolyticus grup A di faring meliputi: (1)

sensitisasi dari limfosit B oleh antigen streptokokus. (2) pembentukan antibodi

antistreptokokus. (3) pembentukan kompleks imun yang mengalami reaksi silang

dengan antigen sarkolema jantung. (4) respon inflamasi dari miokardium dan

katup jantung.7,8,9

3.1.5. Gejala Klinis

Karena tidak terdapatnya manifestasi klinis dan temuan laboratorium yang

patognomik untuk demam rematik akut, T. Ducket Jones, pada tahun 1944,

mengusulkan pedoman untuk mendiagnosis demam rematik akut dan untuk

mencegah overdiagnosis. Kriteria Jones, yang telah direvisi pada tahun 1992 oleh

American Heart Association, dibuat dengan maksud untuk mendiagnosis serangan

pertama dari demam rematik akut dan bukan untuk serangan ulangan. Terdapat 5

15

Page 5: BAB III

kriteria mayor dan 4 kriteria minor dan persyaratan absolut (mikrobiologik atau

serologik) dari bukti adanya infeksi Streptococcus β-hemolyticus Grup A baru-

baru ini. Diagnosis dari demam rematik akut akut dapat ditegakan dari kriteria

Jones jika seorang pasien memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2

kriteria minor serta memenuhi persyaratan absolut. Meskipun dengan aplikasi

ketat dari kriteria Jones, overdiagnosis atau underdiagnosis dari demam rematik

akut masih dapat terjadi. 6,8,9

Ada tiga keadaan dimana diagnosis demam rematik akut dapat dibuat

tanpa penetapan ketat dari kriteria Jones. Korea mungkin timbul sebagai

manifestasi klinis satu-satunya dari demam reumatik akut. Keadaan yang sama

mirip dengan seorang pasien yang dengan karditis dan baru datang berobat

pertama kali berbulan-bulan setelah onset demam reumatik. Beberapa pasien

dengan serangan ulangan dapat memenuhi kriteria Jones, beberapa lainnya tidak. 8

Manifestasi mayor. Terdapat 5 kriteria mayor. Adanya 2 kriteria mayor

dengan bukti (mikrobiologik atau serologik) dari infeksi Streptococcus β-

hemolyticus Grup A sebelumnya memenuhi kriteria Jones.

1. Poliartritis Migran.

Artritis timbul pada 75% pasien dengan demam rematik akut dan

sering melibatkan sendi-sendi besar, terutama sendi lutut, pergelangan

kaki, pergelangan tangan, dan siku. Keterlibatan tulang belakang, sendi-

sendi kecil dari tangan dan kaki, atau sendi panggul sangat jarang.

Persendian yang terkena rematik secara umum ditandai oleh adanya nyeri,

pembengkakan, kemerahan, teraba panas, dan keterbatasan gerak aktif;

bahkan jika bersinggungan dengan sprei menimbulkan perasaan tidak

enak.2,4,6 Nyeri ini dapat berlanjut dan dapat tampak tidak sesuai dengan

temuan klinis lainnya. Keterlibatan sendi pada demam rematik akut

bersifat migratory atau berpindah-pindah, sendi yang mengalami

peradangan yang sangat berat dapat menjadi normal dalam waktu 1-3 hari

tanpa pengobatan, sementara sendi-sendi lainnya mulai meradang.

Sehingga dapat ditemukan artritis yang saling tumpang tindih pada

beberapa sendi pada waktu yang bersamaan.6,8 Keluhan ini dapat menetap

hingga berminggu-minggu (2-4 minggu).8 Artritis monoartikuler jarang

16

Page 6: BAB III

terjadi kecuali jika terapi anti-inflamasi diberikan sejak awal sehingga

mencegah progresifitas dari poliartritis migran.

Jika seorang anak dengan demam dan artritis dicurigai menderita

demam rematik akut, biasanya akan membantu jika pemberian salisilat

ditunda dan pasien diobservasi untuk poliartritis. Respon dramatis

terhadap dosis salisilat yang kecil pun adalah salah satu karakteristik untuk

artritis dan tidak adanya respon itu menandakan diagnosis alternatif yang

lain.4 Rematik artritis tidak menyebabkan deformitas dan kerusakan sendi

jangka panjang7 Cairan sinovial pada demam rematik akut biasanya

mengandung 10.000-100.000 sel darah putih/mm3 dengan sel dominan

neutrofil, protein sebanyak 4 g/dL, kadar glukosa yang normal dan terjadi

pembentukan gumpalan musin. Akhir-akhir ini artritis merupakan

manifestasi awal dari demam rematik akut dan terdapat hubungan

sementara dengan tingginya titer antibodi dari Streptococcus β-

hemolyticus Grup A. Ada hubungan yang jelas antara beratnya artritis

dengan beratnya keterlibatan jantung.8

2. Karditis

Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling

berat karena merupakan satu-satunya manifestasi yang dapat

mengakibatkan kematian penderita pada fase akut dan dapat menyebabkan

kelainan katup sehingga terjadi penyakit jantung rematik.7 Diagnosis

karditis rematik dapat ditegakan secara klinis berdasarkan adanya salah

satu tanda berikut: (a) bising baru atau perubahan sifat bising organik, (b)

kardiomegali, (c) pankarditis, dan gagal jantung kongestif. 7 Pankarditis

adalah peradangan aktif miokardium, perikardium dan endokardium.7

Miokarditis dan atau perikarditis tanpa bukti adanya endokarditis jarang

disebabkan oleh penyakit jantung rematik. Kebanyakan kasus melibatkan

kerusakan pada katup mitral atau kombinasi dari katup mitral dan aorta.

Kerusakan pada katup aorta saja atau kerusakan katup sebelah kanan

sangat jarang. Sedangkan efek jangka panjang dari kerusakan jantung yang

lebih berat merupakan akibat dari kerusakan katup ini.

17

Page 7: BAB III

Pada beberapa anak dengan peradangan jantung tidak menunjukan

adanya gejala klinis, dan riwayat peradangan sebelumnya baru diketahui

bertahun-tahun kemudian saat kerusakan jantung telah terjadi. Beberapa

anak akan merasakan jantungnya berdebar-debar. Sedangkan lainnya akan

mengeluh nyeri pada dada yang disebabkan oleh peradangan selaput yang

menyelimuti jantung (perikarditis). Kegagalan jantung dapat terjadi, dan

menyebabkan anak tersebut menjadi cepat lelah dan sesak nafas, dengan

mual, muntah, nyeri perut atau batuk kering.7

Rematik karditis akut biasanya ditandai dengan danya takikardia

dan murmur jantung, dengan atau tanpa bukti danya keterlibatan

miokardium atau perkardium. Bising jantung merupakan manifestasi

karditis rematik yang seringkali muncul pertama kali, sementara tanda dan

gejala perikarditis serta gagal jantung kongestif biasanya baru timbul pada

keadaan yang lebih berat. Bising pada demam rematik dapat berupa bising

pansistol didaerah apeks (regurgitasi mitral), bising awal diastol di daerah

basal (regurgitasi aorta), dan bising mid-diastol pada apeks (bising Carey-

Coombs) yang timbul akibat adanya dilatasi ventrikel kiri. Selain itu,

rematik karditis ringan hingga berat dapat menyebabkan kardiomegali dan

penyakit jantung kongestif dengan hepatomegali dan edema perifer dan

pulmonal. Penemuan ekokardiografi meliputi effusi perikardium,

penurunan kontraktilitas ventrikular, dan regurgitasi aorta dan atau mitral.

Hasil ekokardiografi yang menunjukan adanya suatu regurgitasi katup

tanpa diserta bukti auskultasi tidak cukup untuk memenuhi kriteria Jones

untuk karditis.7

Karditis timbul pada 50-60% kasus demam reumatik akut.

Serangan ulangan demam reumatik akut pada pasien yang sebelumnya

terkena karditis pada serangan pertama kemungkinan untuk terkena

karditis lagi pada serangan ulangan sangat tinggi. Dampak utama dari

rematik karditis adalah penyakit katup yang bersifat kronik progresif,

khususnya stenosis katup, yang mungkin akan membutuhkan penggantian

katup dan dapat merupakan suatu predisposisi timbulnya endokarditis

terinfeksi.7

18

Page 8: BAB III

3. Korea Sydenhem

Korea sydenham terjadi pada 10-15% pasien dengan demam

rematik akut dan biasanya bermanifestasi sebagai suatu gangguan gerakan

yang bersifat tiba-tiba, tidak disadari, tidak berirama, klonik dan tanpa

tujuan serta perilaku neurologik yang terisolasi dan halus. Emosi yang

labil, inkoordinasi, kinerja sekolah yang buruk, gerakan tak terkendali, dan

wajah meringis, yang dicetuskan oleh stress dan hilang dengan tidur

merupakan ciri-ciri dari kelainan ini.7 Gerakan tersentak-sentak dan tak

terkendali ini mempunyai onset yang tersembunyi dan membahayakan,

tetapi biasanya baru timbul setelah gejala lainnya telah menghilang, dan

menetap hingga berbulan-bulan (4-8 bulan) sebelum dikenali. Gerakan ini

melibatkan seluruh otot-otot tubuh kecuali otot mata. Biasanya dimulai

dengan ekstremitas atas lalu menyebar ke ekstremitas bawah dan wajah.

Korea sering bersifat unilateral. Masa laten dari infeksi akut Streptococcus

β-hemolyticus Grup A menjadi korea lebih lama dibanding menjadi artritis

atau karditis dan dapat mencapai berbulan-bulan. Pemeriksaan klinis yang

dapat dilakukan untuk memperoleh ciri-ciri dari korea meliputi (1)

demonstrasi dari milkmaid’s grip’ (pemeras susu) yaitu kontraksi irreguler

dari otot-otot tangan sambil memeras jari pemeriksa, (2) gerakan

menyendok dan pronasi dari tangan saat lengan penderita di ekstensikan,

(3) gerakan seperti cacing dari lidah saat dijulurkan, (4) pemeriksaan

tulisan tangan untuk menilai gerakan motorik halus. Diagnosis ditegakan

berdasarkan temuan klinis dengan bukti yang mendukung adanya antibodi

Streptococcus β-hemolyticus Grup A. Namun, pada pasien dengan periode

laten yang lama dari sejak timbulnya infeksi Streptococcus β-hemolyticus

Grup A, kadar antibodi kemungkinan telah menurun hingga kadar normal.

Meskipun penyakit akut ini menyedihkan, korea jarang, bahkan hampir

tidak pernah terdapat gejala sisa yang permanen.6 Korea syndenham

merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting sehingga

dapat dianggap sebagai petanda adanya demam rematik meskipun tidak

ditemukan kriteria lain.7

19

Page 9: BAB III

4. Eritema Marginatum.

Eritema marginatum merupakan ruam yang jarang (<3% pasien

dengan demam reumatik akut) namun khas pada demam reumatik akut. Ini

meliputi lesi makular, eritematous dan serpiginous (menyebar, progresif)

dengan bagian tengah yang pucat, namun tidak gatal. Terjadi terutama di

bagian trunkus dan ekstremitas, tetapi tidak mengenai wajah.4,8 Kelainan

ini dapat berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lain,

dapat dicetuskan oleh pemberian panas, dan memucat jika ditekan. Tanda

mayor ini hanya ditemukan pada kasus yang berat.7

5. Nodul Subkutan.

Nodul subkutan sangat jarang terjadi (<1% pasien dengan demam

reumatik akut) dan meliputi nodul-nodul keras berdiameter kurang lebih 1

cm sepanjang permukaan ekstensor dari tendon dekat prominen tulang,

pada kulit kepala serta kolumna vertebralis, tidak terasa nyeri dan mudah

digerakan. Terdapat hubungan secara signifikan antara munculnya nodul-

nodul ini dengan penyakit jantung reumatik.7

Manifestasi Minor.

1) Riwayat demam rematik sebelumnya. Ini dapat digunakan sebagai salah

satu kriteria minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis

yang didasarkan pada kriteria objektif yang sama. Akan tetapi, riwayat

demam rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah diidap

seorang penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit

dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis.7

2) Arthralgia. Arthralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa

disertai peradangan atau keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus

dibedakan dengan nyeri pada otot atau jaringan periartikular lainnya, atau

dengan nyeri sendi malam hari yang lazim terjadi pada anak-anak normal.

Arthralgia tidak dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis

sudah dipakai sebagai kriteria mayor.7

3) Demam. Demam pada demam rematik adalah ringan, meskipun ada

kalanya mencapai 39C, terutapa jika terdapat artritis. Manifestasi ini lazim

20

Page 10: BAB III

berlangsung sebagai suatu suatu demam derajat ringan selama beberapa

minggu. Demam merupakan petanda infeksi yang tidak spesifik, dan

karena dapat dijumpai pada begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini

tidak memiliki arti diagnosis banding yang bermakna.7

4) Peningkatan kadar reaktan fase akut. Berupa kenaikan laju endap

darahm kadar protein C-reaktif serta leukositosis merupakan indikator non

spesifik dari peradangan atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut ini

hampir selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali jika korea

merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu diingat

bahwa laju endap darah juga meningkat pada kasus anemia dan gagal

jantung kongestif. Adapun protein C-reaktif tidak meningkat pada anemia,

akan tetapi mengalami kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap

darah dan kadar protein C reaktif dapat meningkat pada semua kasus

infeksi, namun apabila protein C reaktif tidak bertambah, maka

kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut dapat dipertanyakan.7

5) Interval P-R yang memanjang. Biasanya menunjukan adanya

keterlambatan abnormal sistem konduksi pada nodus arterioventrikel dan

sering juga dijumpai pada demam rematik, perubahan gambaran EKG ini

tidak spesifik untuk demam rematik. Selain itu, interval P-R yang

memanjang juga bukan pertanda yang memadai adanya karditis rematik.2

Bukti yang mendukung

Titer antistreptolisin O (ASTO) merupakan pemeriksaan diagnostik

standard untuk demam rematik, sebagai salah satu bukti yang mendukung

adanya infeksi streptokokus. Titer ASTO dianggap meningkat apabila

mencapai 250 unit Todd pada orang dewasa atau 333 unit Todd pada anak-

anak pada usia diatas 5 tahun, dan dapat dijumpai pada sekitar 70-80%

kasus demam rematik akut. Infeksi streptokokus juga dapat dibuktikan

dengan melakukan biakan usapan tenggorokan. Biakan positif pada 50%

kasus demam rematik akut. Bagaimanapun biakan yang negatif tidak dapat

mengesampingkan kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut.7

21

Page 11: BAB III

3.1.6. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

Kultur tenggorokan. Pengambilan sampel dengan cara mengusap kedua

tonsil dan laring bagian posterior kemudian dibiak dalam medium agar

darah domba, untuk melihat adanya infeksi Streptococcus β-hemolyticus

grup A. Koloni yang terbentuk pada medium biakan dapat diperiksa

dengan latex agglutination, florescent antibody assay, koagulasi atau

teknik presipitasi untuk membuktikan adanya infeksi Streptococcus β-

hemolyticus grup A. kultur tenggorokan untuk Streptococcus β-

hemolyticus grup A biasanya memberikan hasil negatif saat gejala dari

demam reumatik atau penyakit jantung reumatik telah muncul. Usahakan

untuk dapat mengisolasikan bakteri sebelum pemberian terapi antibiotik

untuk membantu mengkonfirmasikan diagnosis faringitis oleh

Streptococcus β-hemolyticus grup A dan dapat ditentukan serotip jenis apa

jika berhasil.7

Rapid antigen detection test. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen

dari Streptococcus β-hemolyticus grup A secara cepat, sehingga diagnosis

dapat segera ditegakan dan terapi antibiotik dapat segera diberikan saat

pasien masih berada dikamar pemeriksaan dokter. Spesifisitas dari

pemeriksaan ini lebih dari 95%, namun sensitivitasnya hanya 60-90%.

Oleh karena itu, pengambilan kultur tenggorokan dianjurkan.7

Antibodi antistreptokokus. Tanda-tanda klinik dari demam reumatik

dimulai saat tingkat antibodi antistreptokokus mencapai puncaknya. Oleh

karena itu, pemeriksaan ini berguna untuk mengkonfirmasi apakah

sebelumnya pernah terinfeksi oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A.

Antibodi antistreptokokus ini terutama berguna pada pasien dengan

manifestasi klinis korea karena ini merupakan satu-satunya tanda

diagnostik. Sensitifitas terhadap infeksi yang baru terjadi dapat

ditingkatkan dengan memeriksa beberapa jenis antibodi. Untuk memeriksa

apakah terjadi peningkatan titer antibodi maka pemeriksaan dilakukan

dengan jarak 2 minggu. Antibodi antistreptokokus ekstraseluler yang

paling sering diperiksa adalah antistreptolisin O (ASO) dan anti-Dnase B,

22

Page 12: BAB III

antihialuronidase, antistreptokinase, antistreptokokal esterase, dan anti-

nicotinamide adenine dinucleotide (anti-NAD). Tes antibodi terhadap

komponen seluler antigen Streptococcus β-hemolyticus grup Ameliputi

antistreptococcal polusaccharide, antiteicholic acid antibody, dan anti-M

protein antibody. Secara umum, antibodi terhadap antigen streptokokus

ekstraseluler meningkat selama bulan pertama setelah infeksi dan

membentuk gambaran plateau selama 3-6 bulan sebelum kembali ke kadar

normal setelah 6-12 bulan. Saat titer ASO mencapai puncaknya (2-3

minggu setelah onset demam rematik), sensitifitas pemeriksaan ini sebesar

80-85%. Anti-Dnase B mempunyai sensitifitas sedikit lebih tinggi (90%)

untuk memastikan demam rematik atau glomerulonefritis akut.

Antihialuronidase pada pasien demam reumatik dengan titer ASO yang

normal sering abnormal, dapat muncul terlebih dahulu, dan menetap lebih

lama dibanding peningkatan titer ASO selama demam reumatik.7

Acute-phase reactants: C-reactive protein dan lanju endap darah

meningkat pada penderita demam rematik oleh karena proses inflamasi

dari penyakit tersebut. Kedua pemeriksaan ini memiliki sensitifitas yang

tinggi namun spesifitas yang rendah terhadap demam rematik.7

Heart reactive antibodies: Tropomiosin meningkat pada penderita dengan

demam rematik akut.7

Rapid detection test for D8/17: Teknik immunofluorescence ini dapat

mengidentifikasi B-cell marker D8/17 bernilai positif 90% pada penderita

demam rematik dan dapat berguna untuk mengidentifikasi seseorang yang

beresiko terkena demam rematik.7

b. Pencitraan

Foto thoraks

Kardiomegali, kongesti pulmonal, dan temuan lainnya yang

berkaitan dengan kegagalan jantung terlihat pada foto thoraks seseorang

dengan demam rematik. Saat pasien tersebut demam dan menunjukan

distres pernapasan, foto thoraks membantu membedakan antara gagal

jantung kongestif dan rematik pneumonia.7

Ekokardiografi

23

Page 13: BAB III

Pada penderita penyakit jantung reumatik akut, ekokardiografi

mengidentifikasi dan menilai insufisiensi katup dan disfungsi ventrikel. 7

c. EKG

Sinus takikardi sering ditemukan bersamaan dengan penyakit

jantung rematik. Dapat juga disertai dengan blok jantung derajat I, II atau

III. Pada penderita yang disertai perikarditis akut, akan ditemukan ST

elevasi yang terlihat pada lead II, III, aVF dan V4-V6. Penyakit jantung

rematik juga dapat menyebabkan flutter atrium, takikardi atrium

multifokal, atau fibrilasi atrium dari penyakit katup mitral kronik dan

dilatasi atrium. Katerisasi jantung tidak diindikasikan untuk demam

rematik akut. 7

d. Pemeriksaan Histologi

Pemeriksaa patologi anatomi terhadap katup yang mengalami

insufisiensi dapat ditemukan lesi verrucous pada garis penutupan. Ashcoff

bodies (fokus perivaskuler yang merupakan kolagen eosinofil yang

dikelilingi limfosit, sel plasma, dan makrofag) ditemukan di perikardium,

regio perivaskular dari miokardium, dan endokardium. Ashcoff bodies

tampak granulomatous dengan fokus sentral fibrinoid yang pada akhirnya

akan digantikan oleh nodul-nodul jaringan parut. 7

3.1.7. Diagnosis

Seperti yang telah dijelaskan diatas, diagnosis demam rematik lazim

ditegakan berdasarkan kriteria Jones. Kriteria Jones memuat kelompok mayor dan

minor yang pada dasarnya merupakan manifestasi klinik dan laboratorik demam

rematik. Pada perkembangan selanjutnya, kriteria ini kemudian diperbaiki oleh

American Heart Association dengan menambahkan bukti adanya infeksi

streptokokus sebelumnya. 7

24

Page 14: BAB III

Tabel 1. Kriteria Jones (yang diperbaiki) untuk diagnosis demam reumatik

Apabila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria

minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya,

kemungkinan besar menandakan adanya demam rematik. Tanpa dukungan bukti

adanya infeksi streptokokus, maka diagnosis demam rematik harus selalu

diragukan, kecuali pada kasus demam reumatik dengan manifestasi mayor tunggal

berupa korea Syndenham atau karditis derajat ringan, yang biasanya terjadi jika

demam reumatik baru muncul setelah masa laten yang lama dari infeksi

streptokokus. 7

25

Kriteria Mayor

Karditis

Poliartritis

Korea

Eritema marginatum

Nodulus subkutan

Kriteria Minor

Klinik

Riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik sebelumnya

Artralgia

Demam

Laboratorium

Peningkatan kadar reaktan fase akut (protein C reaktif, laju endap darah, leukositosis)

Interval P-R yang memanjang

Ditambah

Tanda-tanda yang mendukung adanya infeksi streptokokus sebelumnya: kenaikan titer antistreptolisin O (ASTO) atau antibodi antistreptokokus lainnya, biakan usapan tenggorokan yang positif untuk streptokokus grup A atau baru menderita demam skarlatina.

Page 15: BAB III

Perlu diingat kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya sebagai

suatu pedoman dalam menentukan diagnosis demam reumatik. Kriteria ini

bermanfaat untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis, baik

berupa overdiagnosis maupun underdiagnosis. 7

3.2. Gagal Jantung Kongestif

3.2.1. Definisi

Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan

merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.

Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat di masa depan karena semakin

bertambahnya usia harapan hidup dan berkembangnya terapi penanganan infark

miokard mengakibatkan perbaikan harapan hidup penderita dengan penurunan

fungsi jantung.

Gagal jantung kongestif atau congestive heart failure (CHF) adalah

kondisi dimana fungsi jantung sebagai pompa untuk menghantarkan darah yang

kaya oksigen ke tubuh tidak cukup untuk memenuhi keperluan tubuh. Suatu

definisi objektif yang sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung kronik

hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas

mengenai disfungsi ventrikel. Sebenarnya istilah gagal jantung menunjukkan

berkurangnya kemampuan jantung untuk mempertahankan beban kerjanya.

3.3 Etiologi

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi

cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung. Di negara maju

penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan

di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung

katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Pada beberapa keadaan, sangat sulit

untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang

terjadi bersamaan pada penderita. Penyakit jantung koroner pada Framingham

Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27%

pada wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan

faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung7

26

Page 16: BAB III

Selain itu, penyebab gagal jantung kongestif dapat terjadi karena

kardiomiopati. Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung

yang bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit

jantung kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati

dibedakan menjadi empat kategori fungsional yaitu dilatasi (kongestif),

hipertrofik, restriktif dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit

otot jantung dimana terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa

dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada

jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa.

Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan

(autosomal dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai

dengan adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi

septum yang asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta

(kardiomiopati hipertrofik obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan

kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk, tidak membesar dan

dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat

pengisian ventrikel2,3,7.

Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik,

walaupun saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab

utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta.

Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume

(peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan

(peningkatan afterload). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal

jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel

kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul

bersamaan.7

3.2.2 Manifestasi Klinis

Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi gangguan

pada jantung, otot skeletal dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta

perubahan neurohormonal yang kompleks.

27

Page 17: BAB III

Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang

menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung. Hal ini menyebabkan aktivasi

mekanisme kompensasi neurohormonal, Sistem Renin – Angiotensin –

Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang

bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat

terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga

cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas

serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul

berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi

simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit,

hipertofi dan nekrosis miokard fokal.

Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin,

angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor

renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang

pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan

merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium

dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek

pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.

Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama

yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat.

Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap

peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada otot skelet dan fungsi

ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang

kompleks.

Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang

menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi

mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron

(sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk

memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.

Aktivasi .sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac

output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta

vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin).

28

Page 18: BAB III

Apabila hal ini timbul berlanjutan, dapat menyebabkan gangguan pada

fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya

apoptosis miosit,hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA

menyebabkan peningkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan

aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol

eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat

saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.

Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan

sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada

disfungsi endotel pada gagal jantung. Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide

yang berstruktur hampir sama yang memiliki efek yang luas terhadap jantung,

ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di

atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan

vasodilatsi.

Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNP) juga dihasilkan di jantung,

khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide

terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap

natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial and brain natriuretic peptide

meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan

bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron

dan reabsorbsi natrium di tubulus renal.

Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya

pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan pada

pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.Endotelin disekresikan

oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang

poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang

bertanggung jawab atas retensi natrium.

Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan

derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan arteri pulmonal

pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit

jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati

hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid.

29

Page 19: BAB III

Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung

memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung

sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski

dapat timbul sendiri. (Harbanu H.M, 2007)

Manifestasi Klinis

Umum

Deskripsi Mekanisme

Sesak napas (juga

disebut dyspnea)

Sesak napas selama melakukan

aktivitas (paling sering), saat

istirahat, atau saat tidur, yang

mungkin datang tiba-tiba dan

membangunkan. Pasien sering

mengalami kesulitan bernapas

sambil berbaring datar dan

mungkin perlu untuk menopang

tubuh bagian atas dan kepala di

dua bantal. Pasien sering

mengeluh bangun lelah atau

merasa cemas dan gelisah.

Darah dikatakan “backs up”

di pembuluh darah paru

(pembuluh darah yang

kembali dari paru ke

jantung) karena jantung

tidak dapat mengkompensasi

suplai darah.Hal ini

menyebabkan cairan bocor

ke paru-paru.

Batuk atau mengi yang

persisten

Batuk yang menghasilkan lendir

darah-diwarnai putih atau pink.

Cairan menumpuk di paru-

paru (lihat di atas).

Penumpukan kelebihan

cairan dalam jaringan

tubuh (edema)

Bengkak pada pergelangan kaki,

kaki atau perut atau penambahan

berat badan. 

Aliran darah dari jantung

yang melambat tertahan dan

menyebabkan cairan untuk

menumpuk dalam

jaringan. Ginjal kurang

mampu membuang natrium

dan air, juga menyebabkan

retensi cairan di dalam

jaringan.

Kelelahan Perasaan lelah sepanjang waktu Jantung tidak dapat

30

Page 20: BAB III

dan kesulitan dengan kegiatan

sehari-hari, seperti belanja, naik

tangga, membawa belanjaan

atau berjalan.

memompa cukup darah

untuk memenuhi kebutuhan

jaringan tubuh. 

Kurangnya nafsu makan

dan mual

Perasaan penuh atau sakit perut. Sistem pencernaan

menerima darah yang

kurang, menyebabkan

masalah dengan pencernaan.

Kebingungan dan

gangguan berpikir

Kehilangan memori dan

perasaan menjadi disorientasi. 

Perubahan pada tingkat zat

tertentu dalam darah, seperti

sodium, dapat menyebabkan

kebingungan.

Peningkatan denyut

jantung

Jantung berdebar-debar, yang

merasa seperti jantung Anda

balap atau berdenyut.

Untuk "menebus" kerugian

dalam memompa kapasitas,

jantung berdetak lebih cepat.

( American Heart Association, 2011)

31

Page 21: BAB III

Gambar menunjukkan gambaran umum gejala klinis pada pasien CHF

Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung Kongesti

Diagnosis CHF membutuhkan adanya minimal 2 kriteria besar atau 1 kriteria

utama dalam hubungannya dengan 2 kriteria minor.

Kriteria Mayor:

·         Paroksismal nocturnal dyspnea

·         Distensi vena pada leher

·         Rales

·         Kardiomegali (ukuran peningkatan jantung pada radiografi dada)

·         Edema paru akut

·         S3 ( Suara jantung ketiga )

·         Peningkatan tekanan vena sentral (> 16 cm H2O di atrium kanan)

·         Hepatojugular refluks

·         Berat badan   > 4.5 kg dalam 5 hari di tanggapan terhadap pengobatan

Kriteria Minor:

·         Bilateral ankle edema

·         Batuk nokturnal

·         Dyspnea pada aktivitas biasa

·         Hepatomegali

·         Efusi pleura

·         Penurunan kapasitas vital oleh sepertiga dari maksimum terekam

·         Takikardia (denyut jantung> 120 denyut / menit.)

Pada pasien ini didapatkan tiga kriteria mayor. Pertama terdapatnya

paroksismal nokturnal dispneu dari hasil anamnesis. Kedua, dari hasil

pemeriksaan fisik perkusi jantung, didapatkan adanya pembesaran jantung. Batas

jantung kanan terdapat pada linea sternalis dekstra, batas kiri pada linea axillaris

anterior sinistra, dan batas atas pada ICS II. Namun pada pemeriksaan fotothorax

kardiomegali sulit dinilai. Ketiga terdapat peninggian tekanan vena jugularis yaitu

(5+0) cmH2O. Keempat adanya efusi plura dextra dan sinistra yang menandakan

adanya edema paru akut.

32

Page 22: BAB III

Sedangkan untuk kriteria minor didapatkan bilateral angkle edema batuk

malam hari. Kedua terdapatnya dispnea d’effort yang didapatkan dari hasil

anamnesis pasien mengeluh mudah lelah dengan aktifitas ringan. ketiga

berdasarkan pemeriksaan rontgen thorax didapatkan pleural effusion. Oleh karena

itu pada pasien ini kami simpulkan diagnosis fungsionalnya adalah CHF.

3.2.3 Penatalaksanaan Gagal Jantung

Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditunjukkan pada 5

aspek:7

1. Mengurangi beban kerja jantung

2. Memperkuat kontraktilitas miokard

3. Mengurangi kelebihan garam dan cairan

4. Melakukan tindakan dan pengobatan khusus terhadap penyebab

5. Faktor-faktor pencetus kelainan yang mendasari.

3.2.3.1 Terapi 11

Pendekatan terapi pada gagal jantung dapat berupa terapi tanpa obat-

obatan, pemakaian obat-obatan, pemakaian alat dan tindakan bedah.

T erapi non farmakologi

• Edukasi mengenal gagal jantung, penyebab dan bagaimana mengenal

serta upaya bila timbul keluhan dan dasar pengobatan

• Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari

• Edukasi pola diet, control asupan garam, air dan kebiasaan alcohol

• Monitoring berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan secara

tiba-tiba

• Mengurangi berat badan pada obesitas

• Hentikan kebiasaan merokok

• Konseling mengenai obat.

Terapi Farmakologi

Terdapat 3 obat yang menunjukkan efektifitas klinik dalam mengurangi

gejala insufisiensi jantung tapi tidak mengembalikan kondisi patologik yang

asli.7 Tiga golongan tersebut adalah :

Vasodilator

33

Page 23: BAB III

Vasodilator dapat menurunkan secara selektif beban jantung sebelum

kontraksi, sesudah kontraksi atau keduanya (vasodilator yang seimbang)

Vasodilator Parental hendaknya diberikan kepada pasien dengan

kegagalan jantung berat atau tidak dapat diminum obat-obatan oral

misalnya pada pasien setelah operasi.

- Nitrogliserin adalah vasodilator kuat dengan pengaruh pada vena

dan pengaruh yang kuat pada jaringan pembuluh darah arteri.

Penumpukan vena paru dan sistemik dipulihkan melalui efek

tersebut. Obat ini juga merupakan vasodilator koroner yang efektif

sehingga merupakan vasodilator yang lebih disukai untuk terapi

kegagalan jantung pada keadaan infark miokard akut atau angina

tak stabil.

- Natrium nitropusida adalah vasodilator kuat dengan sifat-sifat

venodilator kurang kuat. Efeknya yang menonjol adalah

mengurangi beban jantung setelah kontraksi dan ini terutama

efektif untuk pasien kegagalan jantung yang menderita hipertensi

atau reguitasi katub berat

Vasodilator Oral

- Penghambat ACE

Mengeblok sistem renin angiotensin aldosteron dengan

menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II,

memproduksi vasodilator dengan membatasi angiotensin II,

menginduksi vasokonstriksi dan menurunkan retensi sodium

dengan mengurangi sekresi aldosteron. Obat yang serba guna

tersebut menurunkan tahanan perifer sehingga menurunkan

afterload, menurunkan resistensi air dan garam (dengan

menurunkan sekresi aldosteron) dan dengan jalan menurunkan

preload.

- Angiotensin reseptor bloker (ARB)

Merupakan pendekatan lain untuk menghambat system RAA

adalah yang akan mengeblok atau menurunkan sebagian besar efek

sistem. Namun demikian agen ini tidak menunjukkan efek

34

Page 24: BAB III

penghambat ACE pada jalur potensial lain yang memproduksi

peningkatan bradikinin, prostaglandin dan nitrit oksida dalam

jantung pembuluh darah dan jaringan lain. Karena itu, ARB dapat

dipertimbangkan sebagai alternatif pendapat ACE pada pasien yang

tidak dapat menerima pendapat ACE. Contoh obat pada golongan

ARB yang digunakan dalam terapi gagal adalah losartan, valsartan,

dan kondensartan. Ketiga obat tersebut tidak memiliki interaksi

yang berarti dengan obat-obat lain.

Beta-Bloker

Untuk terapi kegagalan jantung bersifat kontroversial namun dapat

efek-efek yang merugikan dari katekolamin pada jantung yang

mengalami kegagalan termasuk menekan reseptor beta pada otot jantung

situasi kegagalan jantung. Beta bloker digunakan pada pasien gagal

jantung stabil ringan, sedang atuau berat. Obat ini digunakan untuk terapi

gagal jantung adalah karvedilol, bisoprolol dan metoprolol succinate.

Antagonis kanal kalsium

Secara langsung menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah

dan penghambat pemasukan kalsium kedalam sel otot jantung. Kegunaan

pokok obat ini dalam terapi gagal jantung adalah berasal dari

pengurangan iskemia pada pasien dengan penyakit jantung koroner yang

mendasari. Semua antagonis kalsium mempunyai sifat inotropik negatif

sehingga digunakan secara berhati-hati pada pasien dengan difungsi

ventrikal kiri. Obat-obat golongan tersebut sebaiknya dihindari kecuali

untuk dipakai dalam terapi hipertensi dan anginadan untuk indikasi

tersebut hanya amlodipin yang boleh digunakan pada pasien gagal

jantung

Nitrat

Terutama berkhasiat venodilator dan oleh karena ini bermanfaat

untuk menyembuhkan gejala-gejala penumpukan vena dan paru-paru.

Obat-obat golongan ini mengurangi iskemia otot dengan menetralkan

tekanan pengisian ventrikel dan dengan melebarkan arteri koroner secara

35

Page 25: BAB III

langsung. Contoh obat golongan ini adalah Isosorbit mono nitrat (ISMN)

dan dinitrat (ISND).

Hidralazin

Hidralazin adalah obat yang murni mengurangi beban jantung

setelah konstraksi yang bekerja langsung pada otot polos arteri untuk

menimbulkan vasodilatasi. Hidralazin terutama berguna dalam

pengobatan reguitasi mitral kronis dan insufisiensi aorta. Hidralazin oral

merupakan dilator arterioral poten dan meningkatkan output kardiak pada

pasien gagal jantung kongestif.

Diuretik

Tujuan dari pemberian diuretik adalah mengurangi gejala retensi

cairan yaitu meningkatkan tekanan vena jugularis atau edema ataupun

keduanya. Diuretik menghilangkan retensi natrium pada CHF dengan

menghambat reabsorbsi natrium atau klorida pada sisi spesifik di tubulus

ginjal. Bumetamid, furosemid, dan torsemid bekerja pada tubulusdistal

ginjal.Pasien dengan gagal jantung yang lebih berat sebaiknya diterapi

dengan salah satu loop diuretik, obat-obat ini memiliki onset cepat dan

durasi aksinya yang cukup singkat. Manfaat dari terapi diuretik yaitu

dapat mengurang edema pulmo dan perifer dalam beberapa hari bahkan

jam.

Obat-obat Inotropik

Obat-obat inotropik positif meningkatkan kontraksi otot jantung dan

meningkatkan curah jantung. Meskipun obat-obat ini bekerja melalui

mekanisme yang berbeda, dalam tiap kasus kerja inotropik adalah akibat

penigkatan konsentrasi kalsium sitoplasma yang memicu kontraksi otot

jantung.

• Digitalis

Obat golongan digitalis ini memiliki berbagi mekanisme kerja sebagi

berikut

(a) Pengaturan konsentrasi kalsium sitosol

36

Page 26: BAB III

Terjadi hambatan pada aktivitas pompa proton. Hal ini

menimbulkan peningkatan konsentrasi natrium intra sel, yang

menyebabkan kadar kalsium intra sel yang meningkat

menyebabkan peningkatan kekuatan kontraksi sistolik.

(b) Peningkatan kontraktilitas otot jantung

Pemberian glikosida digitalis meningkatkan kekuatan kontraksi

otot jantung menyebabkan penurunan volume distribusi aksi, jadi

meningkatkan efisiensi kontraksi. Efek-efek ini menyebabkan

reduksi kecepatan jantung dan kebutuhan oksigen otot jantung

berhenti (berkurang).

Terapi digoksin merupakan indikasi pada pasien dengan disfungsi

sistolik ventrikel kiri yang hebat setelah terapi diuretic dan

vasodilator. Digoksin tidak diindikasikan pad pasien dengan gagal

jantung sebelah kanan atau diastolik. Obatyang termasuk dengan

golongan ini adalah digoksin dan digitoksin. Glikosida jantung

mempengaruhi semua jaringan yang dapat dirangsang, termasuk otot

polos dan susunan saraf pusat. Mekanisme efek ini belum diselidiki

secara menyeluruh tetapi mungkin melibatkan hambatan Na+ K+ -

ATPase di dalam jaringan ini.

Agonis β- adrenergic

Stimuli β- adrenergic memperbaiki kemampuan jantung dengan efek

inotropik spesifik dalam fase dilatasi. Hal ini menyebabkan masuknya

ion kalsium ke dalam sel miokard meningkat, sehingga dapat

meningkatkan kontraksi. Contoh obat ini adalah dopamine dan

dobutamin.

Inhibitor fosfodiesterase

Inhibitor fosfodiesterase memacu konsentrasi intrasel siklik –AMP.

Ini menyebabkan peningkatan kalsium intrasel dan kontraktilitas jantung.

Obat yang termasuk dalam golongan inhibitor fosfodiesterase adalah

amrinon dan mirinon.

Antagonis aldosteron

37

Page 27: BAB III

Antagonis aldosteron termasuk spironolakton dan inhibitor konduktan

natrium diktus kolektifus (triamteren dan amilorid). Obat-obat ini sangat

kurang efektif bila digunakan sendiri tanpa kombinasi dengan obat lain

untuk penatalaksanaan pada gagal jantung. Meskipun demikian, bila

digunakan kombinasi dengan Tiazid atau diuretika Ansa Henle, obat-obat

golongan ini efektif dalam mempertahankan kadar kalium yang normal

dalam serum. Spironolakton merupakan inhibitor spesifik aldosteron yang

sering meningkat pada gagal jantung kongestif dan mempunyai efek penting

pada retensi potassium. Triamteren dan Amilorid bereaksi pada tubulus

distal dalam mengurangi sekresi potassium.

38

Page 28: BAB III

39

Page 29: BAB III

3.2.3.2 Algoritma Terapi

Algoritma penatalaksanaan gagal jatung menurut ACC/AHA pratice

Guidelines 2005 berdasarkan stage dapat dilihat pada gambar 1. Pasien

stage A belum mengalami gagal jantung dan tidak memiliki penyakit

jantung struktural, namun beresiko tinggi mengalami gagal jantung. Pasien

stage B memiliki penyakit jantung struktural yang mendasari namun belum

mengalami gagal jantung serta belum ada tanda dan gejala gagal jantung.

Pasien stage C sudah mengalami gagal jantung dilihat dari adanya penyakit

jantung struktural serta tanda dan gejala gagal jantung. Pasien stage D

merupakan perkembangan dari stage C yang bertambah parah karena pasien

mengalami refraktosi gagal jantung pada saat istirahat. Dilihat dari kategori

pasien berdasarkan stage tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pasien

didiagnosa gagal jantung jika telah mengalami stage C dan D. Algoritme

penatalaksanaan gagal jantung menurut ACC/AHA practice Guidelines,

2005 terdiri dari 4 stage yaitu stage A, B, C, dan D (Gb.1) (Hunt, et al.,

2005). Sedangkan menurut NYHA (New York Heart Assosiation), gagal

jantung dibagi dalam 4 kelas yaitu 1, 2, 3, dan 4.

40

Page 30: BAB III

3.3 Gagal Jantung Kongestif dan Penyakit Jantung Rematik

Penyakit jantung rematik adalah gejala sisa dari demam rematik dan

merupakan jenis penyakit jantung didapat yang paling banyak dijumpai pada

populasi anak-anak dan dewasa muda. Puncak insiden demam rematik terdapat

pada kelompok usia 5-15 tahun; penyakit ini jarang dijumpai pada anak dibawah

usia 4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun. 9

Prevalensi demam rematik/penyakit jantung rematik yang diperoleh dan

penelitian WHO mulai tahun 1984 di 16 negara sedang berkembang di Afrika,

Amerika Latin, Timur Jauh, Asia Tenggara dan Pasifik Barat berkisar 0,1 sampai

12,6 per 1.000 anak sekolah, dengan prevalensi rata-rata sebesar 2,2 per 1.000.

Prevalensi pada anak-anak sekolah di beberapa negara Asia pada tahun 1980-an

berkisar 1 sampai 10 per 1.000. Dari suatu penelitian yang dilakukan di India

Selatan diperoleh prevalensi sebesar 4,9 per 1.000 anak sekolah, sementara angka

yang didapatkan di Thailand sebesar 1,2 sampai 2,1 per 1.000 anak seko1ah.

Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun

beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa revalensi

penyakit jantung rematik berkisar 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah. 9

41

Page 31: BAB III

Kurang lebih 39 % pasien dengan demam reumatik akut bisa terjadi

kelainan pada jantung mulai dari insufisiensi katup, gagal jantung, perikarditis

bahkan kematian. Dengan penyakit jantung reumatik yang kronik, pada pasien

bisa terjadi stenosis katup dengan derajat regurgitasi yang berbeda-beda, dilatasi

atrium, aritmia dan disfungsi ventrikel. Penyakit jantung reumatik masih menjadi

penyebab stenosis katup mitral dan penggantian katup pada orang dewasa di

Amerika Serikat.1 Menurut Hudak dan Gallo (1997), adanya malfungsi katup

dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh kelebihan beban tekanan

(obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang , seperti stenosis katup aortik

atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan beban volume yang menunjukan

peningkatan volume darah ke ventrikel kiri sehingga sebagai produk akhir dari

malfungsi katup akibat penyakit jantung reumatik adalah gagal jantung kongestif.2

Hubungan patogenik antara infeksi saluran napas bagian atas oleh

Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan demam reumatik akut masih belum

jelas. Salah satu rintangan terbesar dari usaha untuk memahami patogenesis

demam rematik akut dan penyakit jantung rematik adalah tidak terdapatnya

binatang percobaan. Banyak teori dari demam rematik akut dan penyakit jantung

reumatik yang telah diusulkan, namun hanya 2 yang dapat dipertimbangkan yaitu

the cytotoxicity theory dan teori imunologik.4

The cytotoxicity theory berpendapat bahwa suatu toxin dari Streptococcus

β-hemolyticus grup A terlibat dalam patogenesis demam rematik akut dan

penyakit jantung reumatik. Toksin ini akan beredar melalui pembuluh darah dan

mempengaruhi sistem tubuh lainnya. Streptococcus β-hemolyticus grup A

memproduksi berbagai enzim yang bersifat sitotoksik untuk sel jantung mamalia,

seperti streptolisin O, yang mempunyai efek sitotoksik langsung terhadap sel

mamalia dalam kultur jaringan. Pendukung terbanyak dari teori cytotoxicity

berpusat pada enzim ini. Namun, salah satu masalah utama dari hipotesis ini

adalah ketidakmampuannya untuk menjelaskan periode laten antara faringitis oleh

Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan onset dari demam reumatik akut.4,6

Teori imunologik menyatakan adanya suatu immune-mediated patogenesis

untuk demam rematik akut dan penyakit jantung rematik. Munculnya teori ini

oleh karena adanya persamaan manifestasi klinik dari demam rematik akut dengan

42

Page 32: BAB III

penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh proses imunopatogenik dan adanya

periode laten antara infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan demam

rematik akut.4 Teori ini menyatakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh sistem

imun tubuh yang bertindak tidak sesuai. Sel imun tubuh (antibody), yang dibuat

secara spesifik untuk mengenali dan menghancurksn agen penyebab penyakit

yang memasuki tubuh – dalam hal ini, Streptococcus β-hemolyticus grup A.

Antibodi ini mampu mengenali bakteri ini karena bakteri ini mengandung marker

spesifik sebagai tanda pengenal yang disebut antigen. Determinan antigenik antara

komponen Streptococcus β-hemolyticus Grup A (protein M, membran protoblas,

karbohidrat dinding sel grup A, kapsul hialuronat) dan jaringan spesifik mamalia

(jantung, otak, persendian) serupa. Sebagai contoh, beberapa M protein (M1, M5,

M6, M19) berbagi epitop dengan tropomiosin dan miosin pada manusia. Oleh

karena adanya persamaan antara antigen Streptococcus β-hemolyticus grup A dan

antigen sel-sel tubuh tertentu, maka antibodi tersebut dapat salah mengenali dan

menyerang sel tubuh sendiri.1

Infeksi saluran nafas bagian atas oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A

adalah pencetus utama dari individu yang terpredisposisi. Usaha terakhir untuk

menerangkan suspektabilitas pejamu terhadap kuman ini adalah gen respon imun

yang ditemukan pada sekitar 15% seluruh populasi. Respon imun yang dicetuskan

oleh kolonisasi Streptococcus β-hemolyticus grup A di faring meliputi: (1)

sensitisasi dari limfosit B oleh antigen streptokokus. (2) pembentukan antibodi

antistreptokokus. (3) pembentukan kompleks imun yang mengalami reaksi silang

dengan antigen sarkolema jantung. (4) respon inflamasi dari miokardium dan

katup jantung.8

43

Page 33: BAB III

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Demam rematik merupakan suatu penyakit peradangan yang berkembang

sebagai suatu komplikasi dari suatu infeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A

di faring yang tidak mendapatkan pengobatan atau mendapatkan pengobatan yang

kurang adekuat. Demam rematik bukan merupakan suatu infeksi, tetapi

merupakan suatu reaksi peradangan terhadap infeksi, yang menyerang berbagai

bagian tubuh (misalnya persendian, jantung, kulit).

Patofisilogi penyakit jantung rematik sendiri belum sepenuhnya diketahui,

namun kemungkinan terjadi reaksi autoantibody mimikri terhadap bagian dari

katup jantung sehingga timbul malfungsi dari katup jantung. Kondisi dapat

menimbulkan kegagalan pompa, baik oleh kelebihan beban tekanan atau dengan

kelebihan beban volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel

kiri sehingga sebagai produk akhir dari malfungsi katup akibat penyakit jantung

reumatik adalah gagal jantung kongestif.

4.2 Saran

Penulis sadar bahwa laporan kasus ini belum sepenuhnya sempurna, maka

dari itu kami memerlukan kritik dan kontruksif guna tercapainya kesempurnaan

dalam laporan ini.

44